eksostosis - USU Institutional Repository - Universitas Sumatera Utara

dilakukan untuk persiapan pemakaian gigitiruan disebut bedah preprostetik. Tingginya angka pencabutan gigi yang terjadi saat ini dan meningkatnya pend...

171 downloads 795 Views 584KB Size
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penonjolan tulang (eksostosis) adalah suatu pertumbuhan benigna jaringan tulang yang keluar dari permukaan tulang. Secara khas keadaan ini ditandai dengan tertutupnya tonjolan tersebut oleh kartilago. Penonjolan di daerah midline rahang atas disebut torus palatinus sedangkan penonjolan dilateral rahang bawah disebut torus mandibularis.1,2 Berdasarkan hasil penelitian Aree Jainkittivong dkk (2000) yang dilakukan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Chulalongkorn, Thailand di dapat prevalensi pasien dengan penonjolan tulang sebanyak 26,9% dari 960 subjek yang diteliti.3 Patogenesis dari penonjolan tulang ini masih diperdebatkan, dapat dipengaruhi faktor genetik misalnya umur dan jenis kelamin atau faktor lingkungan misalnya trauma setelah pencabutan gigi dan tekanan kunyah.4 Penonjolan tulang berhubungan dengan meningkatnya umur dan jenis kelamin, hal ini bisa dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Aree Jainkittivong dkk (2000) menunjukkan prevalensi penonjolan tulang tertinggi terjadi pada umur 60 tahun dan pada kelompok umur yang lebih tua yaitu sebesar 21,7%. Distribusi penonjolan tulang berdasarkan jenis kelamin didapat bahwasanya laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan dengan perbandingan 1,66:1.3 Sementara itu dari penelitian yang dilakukan oleh Firas dkk (2006) dan Sawair dkk (2009) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan prevalensi penonjolan tulang yang signifikan antara laki-laki dan perempuan.5,6 Penonjolan tulang umumnya lebih banyak terjadi pada maksila dibandingkan dengan mandibula dengan perbandingan 5,1:1.3,7 Penonjolan tulang juga dapat terjadi setelah pencabutan gigi. Penonjolan ini harus dihilangkan untuk persiapan pemakaian gigitiruan. Apabila tidak dihilangkan, akan mempengaruhi jaringan lunak, stabilitas gigitiruan, retensi gigitiruan, adaptasi gigitiruan dan dapat mengganjal basis gigitiruan sehingga harus dihilangkan dengan tindakan bedah.2,8 Tindakan bedah yang

Universitas Sumatera Utara

dilakukan untuk persiapan pemakaian gigitiruan disebut bedah preprostetik. Tingginya angka pencabutan gigi yang terjadi saat ini dan meningkatnya penduduk berumur lanjut, meningkatkan kebutuhan akan bedah preprostetik yang salah satu tindakannya adalah alveolektomi.9-12 Menurut Archer, alveolektomi adalah suatu tindakan bedah untuk membuang prosesus alveolaris yang menonjol atau prosesus alveolaris yang tajam sehingga bisa dilakukan aposisi mukosa.13-15 Alveolektomi juga berarti pemotongan sebagian atau seluruh prosesus alveolaris yang menonjol pada maksila atau mandibula, pengambilan torus palatinus maupun torus mandibularis yang besar.13,15-17 Tindakan alveolektomi pertama kali dilakukan oleh A. T. Willard of Chelsea pada tahun 1853 di Massachusetts, Amerika Serikat. Willard melakukan pembuangan papila interdental gingival dan margin alveolar sehingga memungkinkan penutupan celah dari jaringan lunak. Pada tahun 1876, W. George Beers dari Montreal melakukan suatu tindakan alveolektomi yang sangat radikal. Ia melakukan pengambilan sebagian besar prosesus transversal atau septa, serta plat luar dan dalam alveolus dengan menggunakan tang potong. Shearer mempublikasikan “External Alveolectomy” pada tahun 1920, yang menggambarkan teknik yang digunakannya sejak tahun 1905. Sejak teori Willard dipublikasikan, banyak yang mendukung maupun menentang keseluruhan konsep alveolektomi serta tindakan bedah untuk melakukan pembuangan gigi.13 Molt pada tahun 1923, mendorong digunakannya pre-operasi studi model untuk menghindari dilakukannya tindakan bedah yang terlalu luas. Ia menganjurkan agar septum interdental dipertahankan sehingga dapat berfungsi sebagai matriks pada proses regenerasi tulang. Ia juga menganjurkan agar penutupan jaringan lunak tidak terlalu tegang, serta tidak terlalu rapat menutupi margin yang luka untuk mempertahankan kedalaman sulkus vestibular.13 Masalah resorpsi tulang berlebih yang mengikuti suatu tindakan alveolektomi mulai diakui pada tahun 1936, pada saat O. T. Dean mempublikasikan suatu teknik yang benar-benar baru yaitu “Intra-Septal Alveolectomy” yang pertama kali digunakannya pada tahun 1916. Pada tahun 1966 Obwegeser, anggota American

Universitas Sumatera Utara

Society of Oral Surgeons, di Walter Reed Army Medical Center, merekomendasikan suatu modifikasi dari teknik Dean untuk menanggulangi kasus protrusi premaksilaris yang ekstrim. Obwegeser mengembangkan teknik “crush” Dean yang meliputi pematahan dan pembentukan kembali korteks palatal seperti halnya korteks labial.13 Dean (1941) dan Obwegeser (1986), memperkenalkan teknik untuk menghilangkan undercut bagian depan rahang atas atau tonjolan tanpa perlu dilakukan pemotongan tulang alveolar secara berlebihan.18 Tujuan dari tindakan alveolektomi adalah untuk pengambilan torus palatinus maupun torus mandibularis yang besar, tindakan pengurangan dan perbaikan tulang alveolar yang menonjol atau tidak teratur, dan untuk menghilangkan undercut yang dapat mengganggu. Alveolektomi dilakukan dengan prinsip mempertahankan tulang yang tersisa semaksimal mungkin. Hal ini akan mempengaruhi persiapan pemakaian gigitiruan yang berhubungan dengan retensi, stabilitas, estetik, dan fungsi yang lebih optimal.19 Berdasarkan keterangan di atas dan melihat pentingnya tindakan alveolektomi sebelum pemakaian gigitiruan, penulis bermaksud melakukan penelitian mengenai prevalensi tindakan alveolektomi berdasarkan jenis kelamin, umur dan regio yang dilakukan di Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial RSGMP FKG USU tahun 2011-2012. Alasan peneliti memilih Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial RSGMP FKG USU karena belum adanya data tentang prevalensi tindakan alveolektomi berdasarkan jenis kelamin, umur dan regio yang dilakukan di Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial RSGMP FKG USU tahun 2011-2012 dan lokasi tersebut lebih mudah dijangkau oleh peneliti.

1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas dan selama ini belum adanya data tentang prevalensi tindakan alveolektomi berdasarkan jenis kelamin, umur dan regio yang dilakukan di Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial RSGMP FKG USU tahun 2011-2012, maka perumusan permasalahan yang timbul sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

1. Berapa prevalensi tindakan alveolektomi berdasarkan jenis kelamin, umur dan regio yang dilakukan di Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial RSGMP FKG USU tahun 2011-2012.

1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui prevalensi tindakan alveolektomi berdasarkan jenis kelamin di Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial RSGMP FKG USU tahun 2011-2012. 2. Untuk mengetahui prevalensi tindakan alveolektomi berdasarkan umur di Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial RSGMP FKG USU tahun 2011-2012. 3. Untuk mengetahui prevalensi tindakan alveolektomi berdasarkan regio di Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial RSGMP FKG USU tahun 2011-2012.

1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dan informasi mengenai prevalensi tindakan alveolektomi berdasarkan jenis kelamin, umur dan regio yang dilakukan di Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial RSGMP FKG USU tahun 2011-2012. 2. Hasil penelitian ini diharapkan akan memberi kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan kepada instansi kesehatan maupun menjadi bahan ajar yang berguna bagi fakultas-fakultas kedokteran gigi. 3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi kepada masyarakat tentang prevalensi tindakan alveolektomi berdasarkan jenis kelamin, umur dan regio yang dilakukan di Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial RSGMP FKG USU tahun 2011-2012. 4. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan penyuluhan bagi tenagatenaga kesehatan.

Universitas Sumatera Utara