DASAR-DASAR PSIKOLOGI PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN

DASAR-DASAR PSIKOLOGI PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN Pendahuluan ... konsep pola asuh Kristen, yang sebnjutnya dikategorikan sebagai gerakan...

111 downloads 989 Views 74KB Size
DASAR-DASAR PSIKOLOGI PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN

Pendahuluan Pendidikan Agama Kristen dalam pendidikan formal, sepertinya dijadikan mata pelajaran "second class" atau mata pelajaran yang tidak dibanggakan. Apa sesungguhnya yang terjadi sehingga pandangan seperti itu muncul? Bahkan bukan dari pihak-pihak lain, tetapi justru dari dalam kekristenan sendiri, baik dari pihak guru juga dari pihak peserta didik. Ada berbagai alasan yang diungkapkan. Pernah suatu hari dalam sebuah diklat Guru PAK yang saya bawakan, saya berdiskusi dengan beberapa guru PAK sebagai peserta diklat. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak bangga menjadi guru PAK, justru mereka merasa minder karena dianggap sebagai guru yang tidak berkualitas. Di samping itu, peserta didik juga menganggap bahwa pelajaran agama Kristen tidak penting, sehingga kebanyakan dari mereka bolos pada jam-jam pelajaran agama tersebut. Sekali lagi, mengapa fenomena tersebut terjadi? Apakah memang pembelajaran PAK yang tidak menarik atau faktor pendukung pembelajaran yang tidak memadai? Tentu hal ini membutuhkan penelitian lebih lanjut, namun pesan mendasar yang dapat ditangkap dari fenomena tersebut sesungguhnya dapat dijadikan indikator yang menunjukkan bahwa pelaksanaan Pendidikan Agama Kristen harus dimaksimalkan lagi dalam segala segi, yakni: SDM nya, fasilitas pembelajaran, kurikulum dan metodenya. Sebuah analisis yang dikerjakan oleh Thomas H. Groome dan Horace Busnell setidaknya memberi jawaban memadai bagi jpagumulan tersebut. Groome membangun analisanya pada tiga dimensi waktu untuk menanggapi pelaksanaan pendidikan Kristen Dalam tulisannya diungkapkan bahwa, Pendidikan Agama Kristen tidak bisa dipisahkan dari memahami masa lampau, masa kini dan masa depan. Adapun hal itu tidak bisa dipahami sebagai masa yang terpisah secara linear karena jika waktu kemudian disalahpahami sebagai tiga masa terpisah, maka kegiatan pendidikan cenderung menekankan yang satu dan mengabaikan dua yang lainnya sehingga merusak seluruh kegiatan. Maka dari itu Pendidikan Agama Kristen dalam pelaksanaannya pada masa kini seharusnya sendjRtiasa dibangun dari warisan masa laiu, dan melihat kepada kebutuhan masa depart dari pengaplikasian masa lalu dan masa kini. Mengutip pandangan John Dewey, Groome mencatatkan bahwa apa yang telah dikerjakan dalam keluarga manusia masa lalu sebagai "modal peradaban yang dikumpulkan", sebagian tugas pendidikan adalah menjamin "modal yang dikumpulkan" tersebut dilestarikan dan disediakan bagi orang-orang pada masa kini. Bagi Groome, John Dewey menempatkan pendidikan masa lalu tersebut sebagai upaya untuk "mengumpulkan warisan" bagi peradaban-peradaban selanjutnya. Sehubungan dengan keberadaan pendidikan pada masa kini, mengutip Piaget, Groome menilai tentang dimensi waktu masa kini sebagai upaya "menemukan kembali" dalam arti berusaha menemukan kebenarannya bagi diri kita sendiri, sama halnya seperti apa yang ditegaskan Piaget bahwa segala kognisi harus didasarkan pada proses yang aktif dan reflektif di masa kini. Maka dari itu, masa kini tidak hanya memakai dan menemukan kembali apa yang telah diketahui, masa kini menambah warisan pengetahuan. Sehubungan dengan mengungkap keprihatinan terhadap pendidikan di masa depan, secara khusus dalam kaitannya dengan

realisasi Pendidikan Agama Kristen di masa depan, Groome melihat bahwa apa yang sebelumnya telah disampaikan oleh Plato dalam The Republic, diungkapkannya kembali bahwa, visinya tentang naradidik adalah apa yang paling menentukan cara seseorang mendidik. Dalam perkembangan selanjutnya, John Dewey memainkan peranannya yang sehakikat dengan apa yang Plato visikan. John Dewey melihat bahwa pendidik menurut sifat pekerjaannya diwajibkan untuk melihat pekerjaan masa kininya dari sudut apa yang telah berhasil atau gagal dicapai demi masa depan yang tujuantujuannya bersangkut paut dengan tujuan-tujuan masa kini. Hal yang sama juga ditegaskan oleh Dwayne Huebner, bahwa hai yang paling penting dari nilai kehidupan seseorang dan komunitas adalah pendidikan. Groome juga mengkaji bahwa Freire pun menegaskan hal yang pada hakikatnya menempatkan pendidikan pada nilai keutuhan peserta didik. Pendidikan yang bersifat utopis yang dimaksudkan Freire sesungguhnya berawal dari keprihatinannya terhadap pelaksanaan pendidikan yang terlampau menempatkan naradidik sebagai obyek pendidikan dan bukannya diperlakukan sebagai subyek yang utuh, yang memiliki segenap potensi untuk menjadikan dirinya apapun deng pengalaman hidupnya. Maka dari itu seperti apa yang telah diungkapkan Freire, "pendidikan diharapkan tidak mengizinkan orang-orang menerima apa yang telah ada (juga dalam pemahaman ini, memberikan apa yang telah ada) tetapi menuntun mereka membangun dunia yang lebih baik sebagai gantinya". Merujuk kepada pelaksanaan Pendidikan Agama Kristen, dapat dikatakan bahwa dalam usaha-usaha awalnya, Pendidikan Agama Kristen dibangun dalam konsep pola asuh Kristen, yang sebnjutnya dikategorikan sebagai gerakan Pendidikan Agama Kristen dengan memaksimalkan proses sosialisasi. Sosialosasi secara sederhana dapat dikatakan sebagai proses pendidikan yang beriaku wajar dan dengan sendirinya; dimana orang tua, persekutuan, masyarakat meneruskan pengetahuan, kebiasaan, niai-nilai kepada anak-anak, anggota persekutuan dan anggota masyarakat". Sebagai pengagas model sosialisasi, Horace Bushnell dalam Christian Nurture nya menempatkan Pendidikan Agama Kristen sebagai asuhan Kristen, dimana orang tua atau keluarga sebagai suatu kesatuan organik, sehingga iman Kristen yang dipercayai dan diamalkan oleh orang tua Kristen mengalir ke dalam kehidupan anak-anaknya. Hal ini berarti menonjolkan tanggung jawab orang tua sebagai orang-orang yang seharusnya hidup sesuai dengan iman Kristen. Bushnell menegaskan bahwa di dalam keluargalah anak-anak menerima PAK pertama kalinya, sehingga selanjutnya ia bertumbuh melalui proses induksi alamiah (sosialisasi) dalam iman Kristen. Mengkritisi Horace Bushnell, Thomas H. Groome melihat bahwa apa yang diupayakan oleh Bushnell tidak seharusnya berhenti pada nilai sosialisasi semata, tetapi perlu dibangun pola yang ada hal yang prinsip yang penulis lihat dalam karya Groome, bahwa kekuatan pelaksanaan Pendidikan Agama Kristen, seharusnya melihat pada dimensi waktu yang telah dan sedang membangun serta mewariskan nilai-nilai pendidikan yang tidak boleh stagnan pada dimensi masa kini, tetapi lebih berupa pengaplikasian segenap kognisi yang ada dalam membangun pendidik dan naradidik bukan bagi sekelompok orang atau kepentingan "penguasa" tetapi berorientasi pada kebutuhan-kebutuhan masyarakat.

Pengertian dan Ruang Lingkup PAK: Sebuah Reimplementasi Pendekatan Psikologi dalam Pembelajaran PAK. Menyoal tentang pengertian PAK dan ruang lingkupnya, pertama-tama perlu melihat pengertian PAK dari beberapa tokoh yang telah berkecimpung dalam dunia pendidikan Kristen di Wyckoff dan C.L.J. Sherrill yang disarikan oleh Robert R. Boehlke mengenai struktur pendidikan Agama Kristen dalam implementasi pendidikan psikologi sentrisnya. E.G. Homrighausen dan I.H. Enklar membangun sebuah kesepahaman melihat pendidikan agama yang berkembang di dunia Barat, tidak tepat dalam penggunaan istilahnya, khususnya di Indonesia sebagai konteks yang pluralistik ini. Kesepahaman yang dibangun E.G. Homrighausen dan I.H. Enklar tentang pendidikan Kristen atau Pendidikan Agama Kristen tersebut cenderung melihat pada sisi kejelasan dan ketegasan nilai pendidikan agama yang dibangun, yaitu Pendidikan Agama Kristen, bukan agama yang lain. Dalam ulasannya, B.S Sidjabat menanggapi arah pendidikan Kristen, mengatakan bahwa "Pendidikan Kristen merupakan upaya ilahi dan manusiawi dilakukan secara bersahaja dan berkesinambungan untuk memberikan pengetahuan, nilai-nilai, sikap-sikap, keterampilan, sensitivitas, tingkah laku yang konsisten dengan iman Kristen.

Peserta Didik dalam PAK, Siapa dan Bagaimana Mereka? Tidak maksimalnya pembelajaran PAK seringkali bukan saja dipengaruhi oleh SDM, dan lingkungan belajar yang tidak memadai, justru akan lebih parah akibatnya apabila pendidik bahkan peserta didik itu sendiri tidak memahami dirinya, jati dirinya'dan kehadiran dirinya, baik sebagai pendidik maupun sebagai peserta didik dalam PAK. Apa yang dimaksud dengan tidak memahami diri/keberadaan diri tersebut erat kaitannya dengan hakikat dasariahnya, sehingga PAK seringkali dijadikan hanya sebuah pengalaman mengajar dan pengalaman belajar semata, bukan pada tujuannya semula yaitu pemulihan dan pemberdayaan manusia menuju pada karakter hidup yang memuliakan Tuhan. Paul W.Cates, seorang filsuf pendidikan Kristen, mendefinisikan anak didik sebagai 1) individu yang memiliki tingkah laku, keinginan, pengetahuan, dan keterampilan, dimana individu tersebut ciptaan yang diciptakan menurut Gambar Rupa Allah (Kej. 1:27), namun sekaligus juga orang berdosa (Rm. 3:23), dan mahluk yang memiliki mental, jiwa, fisik, roh, serta social interests. 2) mencari kebenaran (Rm. 1:14); memiliki hati yang menghargai, memiliki keinginan untuk melakukan apa yang benar (Flp. 1:8-10), orang yang belajar melalui meneliti sesuatu, melakukan apa yang ia pelajari (Yon. 4:15), serta individu yang memberikan responnya terhadap kebenaran (Yoh. 4:26). Leon Marsh mengatakan bahwa, The most poignant characteristic of the religious nature of the learner is that he was made in the image of God. This concept of the imago Dei suggests that the learner is like God in several ways.

Pendidlk dalam PAK, Apa yang terjadi? Ada apa dengan guru PAK sekarang ini? Kebanyakan dari mereka merasa jenuh dengan proses pendidikan yang mereka kerjakan.60 Alasan mendasarnya adalah mereka menemukan din mereka sedang stagnan dan mengerjakan sesuatu yang monoton dari hari ke sehari dalam tanggung jawab pendidikan mereka. Sungguh suatu alasan yang seharusnya tidak pernah terjadi dalam panggilan hidup sebagai pendidik. Howard Hendricks, dalam bukunya Teaching to Change Lives menegaskan bahwa, "the effective teacher always teach from the overflow of a full life. The law of the teacher, simply stated, is this: If you stop growing today you menegaskan bahwa seorang guru harus tahu apa yang ia akan ajarkan, pengetahuan yang sempurna harus berdampak pula pada pengajaran yang sempurna.62 Jika kembali kepertanyaan awal, ada apa dengan guru PAK? Reaksi awal yang harus dibangun adalah pertama-tama tentu memberatkan kepada posisi guru yang bersangkutan. Guru bertanggung jawab sepenuhnya terhadap kompetensi dirinya, keahlian dirinya, serta segala hal menyangkut kesiapan dirinya baik mental maupun spiritualnya. Maka dari itu, seorang guru harus bijak membangun kapasitas hidupnya, seperti apa yang Howard Hendricks pikirkan dalam perjalananan kehidupan seorang guru yaitu, "think of this way, as lona as you live, you learn; and as long as you learn, you live.

Tanggapan Tidak dapat dipungkiri bahwa teologi tetap membangun hubungan dengan ilmu-ilmu lain, terutama dalam metode dan bahkan dengan ilmu-ilmu tertentu teologi pun membangun hubungan berlindan dan dengan konten. Misalnya, teologi dan filsafat, meski memiliki konten yang berbeda, namun tidak dapat memungkiri sumbangsih filsafat bagi teologi. Dalam hal ini, Pendidikan Agama Kristen mau tidak mau harus membangun hubungan dengan ilmu pendidikan murni juga ilmu psikologi. Hal ini semaga-mata pada metode dan bahkan pada bagian-bagian tertentu pun berkaitan dengan konten psikologi, misalnya psikologi perkembangan.