DIMENSI ETIS ILMU BIOTEKNOLOGI DAN TANTANGANNYA DEWASA INI

menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, guna menempatkan pembahasan ... Smith,6 kendati ada serangkaian definisi tentang apa itu bioteknologi,...

4 downloads 344 Views 88KB Size
36

JURNAL ETIKA

Volume 5, November 2013: 36-53

DIMENSI ETIS ILMU BIOTEKNOLOGI DAN TANTANGANNYA DEWASA INI* J. Sudarminta Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta [email protected]

Abstract This article is an attempt to show the importance of the ethical dimensions of biotechnology, some main issues that need to be addressed in an ethical reflection on contemporary biotechnology, and why those issues, at present, are quite challenging to deal with. As an introductory remark, first, some reasons why the ethical dimensions of science should be addressed in a philosophy of science will be given, and then a basic understanding of what biotechnology is, and what is the urgency for dealing with its ethical issues, will also be given. Keywords: biotechnology, ethical dimensions, genetic-engineering, posthuman future, commercialization.

1. Pendahuluan Dalam kajian Filsafat Ilmu (Philosophy of Science), biasa dibedakan antara aspek ontologis, aspek epistemologis dan aspek aksiologis. Salah satu bagian dari kajian aspek aksiologis ilmu adalah mengkaji dimensi etis dalam bidang ilmu yang bersangkutan. Dengan dimensi etis ilmu di sini dimaksudkan aspek-aspek dalam ilmu yang terkait dengan persoalan moral. Dalam pembahasan kali ini fokus perhatian akan diarahkan pada dimensi etis ilmu bioteknologi. Apa itu ilmu bioteknologi dan mengapa dimensi etis ilmu bioteknologi dewasa ini cukup mendesak untuk dikaji? Manakah persoalan pokok (main issues) yang perlu dikaji dalam sebuah kajian etis tentang bioteknologi? Mengapa persoalan itu menimbulkan tantangan tersendiri dewasa ini yang tidak mudah untuk dihadapi? Itulah beberapa *

Tulisan ini pernah disampaikan pada Konferensi HIDESI ke-XXIII, tanggal 28-29 Juni 2013, dan disesuaikan untuk keperluan Jurnal Etika.

Dimensi Etis Ilmu Bioteknologi dan Tantangannya Dewasa Ini

JURNAL ETIKA

Volume 5, November 2013: 36-53

37

pertanyaan pokok yang akan dicoba dijawab dalam tulisan ini. Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, guna menempatkan pembahasan ini dalam konteks filsafat ilmu secara lebih luas, kiranya baik kalau pertama-tama kita lihat terlebih dulu mengapa kegiatan ilmiah pada umumnya melibatkan dimensi etis sehingga etika dalam ilmu perlu mendapatkan perhatian. 2. Pentingnya Dimensi Etis dalam Kajian Filsafat Ilmu Ada beberapa alasan yang dapat diberikan guna menunjukkan pentingnya memberi perhatian pada dimensi etis dalam kajian filsafat ilmu. Alasan pertama adalah semakin tidak memadainya pandangan yang memisahkan dengan tegas, atau membuat dikotomi, antara wilayah ilmu (science) dan nilai-nilai (values), termasuk di dalamnya nilai-nilai etis. Dalam pandangan yang tak memadai ini ilmu dianggap bersifat deskriptif, faktual, objektif, universal dan rasional; sedangkan nilai-nilai dianggap bersifat normatif, konseptual, subjektif, partikular dan tidak rasional. Pandangan yang mengimplikasikan dualisme fakta dan nilai ini, seperti dikemukakan oleh Hilary Putnam,1 awalnya bersumber dari Empirisisme Atomistis David Hume yang memisahkan secara tegas antara pernyataan deskriptif (is statement) dan pernyataan normatif (ought statement) dan menganggap bahwa secara logis tidak absah menarik suatu kesimpulan normatif dari pernyataan deskriptif. Pandangan ini kemudian juga masih tercermin dalam faham Positivisme abad ke-19 dan Neopositivisme abad ke-20. Namun, dewasa ini, seperti ditunjukkan oleh Putnam dalam buku yang sama,2 pemisahan tegas atau dikotomi antara fakta dan nilai yang berimplikasi pada dikotomi antara ilmu dan etika umumnya disadari sebagai tidak memadai. Dalam praktek kegiatan ilmiah, fakta dan nilai —walaupun masih dapat dibedakan— senyatanya tak dapat dipisahkan satu sama lain.3 Kenyataan ini juga digarisbawahi oleh van Peursen dalam bukunya Fakta, Nilai, Peristiwa, khususnya Bab VII dab VIII.4 Keseluruhan buku ini menyoroti secara khusus hubungan antara ilmu pengetahuan dan etika dan menggarisbawahi pentingnya dimensi etis dalam kegiatan ilmiah manusia 1

Hilary Putnam. The Collapse of The Fact/Value Dichotomy and Other Essays. Cambridge, MA: Harvard University Press, 2003, hlm. 7-27. 2 Ibid. hlm. 28-64. 3 Bagian 6 dalam buku E.D. Klemke, Robert Hollinger, David Wyss Rudge (Eds.), Introductory Readings in the Philosophy of Science. New York: Prometheus Books, 1998, dengan judul “Science and Values” memuat artikel-artikel dari para filsuf ilmu yang dengan jelas menunjukkan bagaimana kegiatan ilmiah selalu melibatkan pertimbangan dan putusan nilai oleh para ilmuwan. 4 C. A. van Peursen, Fakta, Nilai, Peristiwa. Tentang Hubungan antara Ilmu Pengetahuan dan Etika. Diterjemahkan oleh A. Sonny Keraf. Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1990.

Dimensi Etis Ilmu Bioteknologi dan Tantangannya Dewasa Ini

38

JURNAL ETIKA

Volume 5, November 2013: 36-53

sebagai kebijaksanaan dalam menafsirkan, memahami dan menyikapi realitas. “Realitas kongkret bukanlah realitas yang terdiri dari fakta atau substansi baku. Realitas adalah bidang etis dari kehidupan sehari-hari.”5 Alasan kedua mengapa dimensi etis itu penting untuk diperhatikan dalam kajian tentang ilmu pengetahuan adalah karena kegiatan ilmiah, sebagai bagian dari kegiatan manusia pada umumnya, punya implikasi etis yang tak pernah boleh diabaikan. Para ilmuwan, dalam melakukan kegiatan ilmiah, tidak hanya perlu mengindahkan kaidah-kaidah kognitif yang dibakukan dalam komunitas ilmiahnya, tetapi juga nilai-nilai dan normanorma etis yang terkait dengan bidang keilmuan yang digelutinya. Para ilmuwan sebagai pengemban profesi secara moral terikat oleh kode etik profesinya yang memuat baik tuntutan kompetensi ilmiah di bidang ilmunya maupun tuntutan kompetensi moral. Dalam melakukan kegiatannya, para ilmuwan misalnya terikat oleh standar perilaku etis dalam kegiatan ilmiah seperti wajib bersikap jujur, tidak memalsukan data, tidak melakukan plagiarisme. Ia juga perlu teliti dan hati-hati dalam melakukan kajian dan membuat eksperimen penelitian, meminimalkan kemungkinan keliru, baik dalam memilih metode maupun dalam menyajikan data hasil penelitian, menghindari bias-bias pribadi dan kelompok. Ilmuwan juga wajib bersikap terbuka terhadap temuan dan masukan data baru dalam bidangnya, bersedia menerima kritik dari mentor maupun rekan sejawat, menghormati kebenaran dan bersikap rendah hati untuk mengakui kekeliruan. Dalam melakukan penelitian ilmiah, para ilmuwan juga terikat oleh kaidah-kaidah etis seperti tidak melakukan penelitian yang merendahkan martabat manusia (misalnya bertentangan dengan kode etik Nuremberg 1947 dan Deklarasi Helsinki 1964). Mereka juga perlu menghindari penelitian yang rasis, seksis dan diskriminatif terhadap kelompok minoritas. Sebagai pengemban profesi para ilmuwan juga memiliki tanggungjawab sosial untuk tidak melakukan penelitian yang merugikan masyarakat, tetapi sebaliknya melakukan penelitian yang berguna bagi masyarakat. Mereka juga wajib menyampaikan seobjektif mungkin ke publik konsekuensikonsekuensi dari temuan-temuan mereka. Dalam mempublikasikan hasil penelitian ilmiahnya para ilmuwan juga wajib mematuhi kaidah yang berlaku untuk publikasi ilmiah serta menjaga integritas dan kredibilitas profesionalnya sebagai ilmuwan. Alasan ketiga adalah semakin besarnya pengaruh ilmu pengetahuan dan dampak sosial temuan-temuannya terhadap berbagai sendi kehidupan manusia dewasa ini, dan hal itu menjadi lebih mendesak lagi ketika ilmu 5

Ibid. hlm. 69.

Dimensi Etis Ilmu Bioteknologi dan Tantangannya Dewasa Ini

JURNAL ETIKA

Volume 5, November 2013: 36-53

39

pengetahuan dewasa ini semakin tak terpisahkan dari teknologi (technoscience). Hampir tak terbayangkan bahwa dewasa ini masih ada masyarakat yang samasekali imun terhadap pengaruh atau sama sekali tak merasakan dampak sosial dari ilmu pengetahuan modern, terlebih lagi dalam bentuk teknologi modern sebagai penerapannya. Bahwasanya dewasa ini ilmu pengetahuan semakin erat terjalin dengan teknologi, nampak jelas dari gejala semakin dekatnya jarak antara temuan ilmiah di laboratorium berikut penentuan hak paten atas temuan tersebut dan penerapan teknologisnya dalam industri. Dewasa ini kemajuan ilmu pengetahuan juga amat ditunjang oleh kemajuan teknologi dan sebaliknya. Kalau kita menyadari bahwa ilmu pengetahuan dewasa ini semakin besar pengaruh dan dampak sosial temuannya terhadap berbagai sendi kehidupan manusia, maka menjadi penting juga untuk menyadari implikasi etis dari temuan-temuan ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam teknologi. Alasan keempat adalah eratnya kaitan antara perhatian terhadap kaidah-kaidah etis dalam melaksanakan kegiatan ilmiah dengan ketercapaian tujuan hakiki kegiatan tersebut. Kegiatan ilmiah pada hakikatnya adalah kegiatan yang bertujuan: (1) mencari dan menemukan pengetahuan yang benar tentang realitas, baik realitas alam maupun realitas sosial; (2) menata secara sistematis, metodis dan koheren pengetahuan sedemikian rupa sehingga dapat menyingkapkan potensi dan mekanisme yang masih tersembunyi dalam alam serta merumuskan teori ilmiah yang dapat memberi penjelasan terbaik, berdasarkan data dan evidensi yang tersedia, terhadap gejala-gejala yang ada dalam alam dan masyarakat; (3) memecahkan masalah-masalah yang dihadapi manusia dalam interaksinya dengan alam dan manusia lain dalam masyarakat. Agar ketiga tujuan hakiki kegiatan ilmiah tersebut dapat tercapai, para ilmuwan terikat oleh kaidah keilmuan dan kaidah perilaku etis. Pengetahuan yang benar tentang realitas, penyingkapan potensi dan mekanisme yang masih tersembunyi dalam alam serta penjelasan yang terbaik tentang gejala sosial yang diamati, serta pemecahan masalah yang dihadapi, hanya mungkin dicapai kalau para ilmuwan berupaya mematuhi kaidah-kaidah perilaku etis sebagai bagian tak terpisahkan dari tanggung jawab profesinya. 3. Ilmu Bioteknologi dan Pentingnya Dimensi Etis Di Dalamnya 3.1. Pengertian Ilmu Bioteknologi Bioteknologi adalah cabang ilmu terapan multidisiplin yang sejak tahun 1970-an berkembang cepat serta besar sekali pengaruhnya dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Sisi terapan terkait dengan teknologi di dalamnya. Sedangkan sifat multidisiplin nampak dari kenyataan bahwa ilmu Dimensi Etis Ilmu Bioteknologi dan Tantangannya Dewasa Ini

40

JURNAL ETIKA

Volume 5, November 2013: 36-53

bioteknologi memadukan berbagai disiplin ilmu seperti ilmu biologi, kimia, farmasi, kedokteran, pertanian dan teknologi. Seperti dikatakan oleh John E. Smith,6 kendati ada serangkaian definisi tentang apa itu bioteknologi, namun pada dasarnya bioteknologi melibatkan penggunaaan sel-sel atau pun enzym, dalam mikroba, tumbuhan, dan binatang guna menggabungkan, membelah atau pun mengubah materi. Dalam rumusan Federasi Bioteknologi Eropa yang dikutip Smith, bioteknologi dimengerti sebagai “integrasi ilmu-ilmu alam dan organisme, sel, bagian daripadanya dan molekul yang analog untuk membuat produk barang dan jasa.”7 Secara sederhana, ilmu bioteknologi dapat dipahami sebagai ilmu dan teknologi yang menggunakan pengetahuan tentang sistem dan mekanisme kehidupan, khususnya terkait sistem dan mekanisme jaringan sel serta biologi molekuler, guna menciptakan produk yang berguna dan memecahkan masalah, baik di bidang industri makanan, manufaktur, farmasi, kedokteran, peternakan dan pertanian. Bioteknologi adalah ilmu dan teknologi yang memiliki potensi yang amat besar untuk merekayasa kehidupan, bukan hanya kehidupan bakteri, tumbuhan, dan binatang, tetapi juga kehidupan manusia sendiri. Kenyataan bahwa bioteknologi dapat juga dipakai untuk merekayasa kehidupan manusia, membuat pemikir seperti Fukuyama menyebut bioteknologi sebagai revolusi yang dapat membawa ke masa depan pasca-manusia.8 Ia mengkhawatirkan ancaman yang muncul dari bioteknologi kontemporer karena kini secara teknis dimungkinkan untuk mengubah kodrat manusiawi kita dan dengan demikian akan membawa kita ke tahap sejarah yang dapat disebut “pasca-manusia”.9 Penerapan bioteknologi dalam dunia medik, di satu pihak telah membawa dampak positif yang layak disambut baik, tetapi di lain pihak juga memunculkan persoalan serius yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Dampak positif misalnya, berkat rekayasa genetika, 1991 telah ditemukan vaksin anti kolera yang dapat dimakan berupa kentang yang sudah direkayasa. Teknologi rekombinan DNA oleh Herbert Boyer juga telah dipakai untuk memproduksi sejumlah besar insulin dalam bakteri yang dipakai menggandakan untuk pengobatan sakit gula.10

6

John E. Smith, Biotechnology. Cambridge: Cambridge University Press, 2009, hlm. 2-3. Ibid. hlm. 2 8 Francis Fukuyama, Our Posthuman Future. Consequences of the Biotechnolgy Revolution. New York: Farar, Straus and Giroux, 2002. 9 Ibid. hlm. 7. 10 Jonathan Morris, The Ethics of Biotechnology. New York: Chelsea House Publishers, 2006, hlm. 24. 7

Dimensi Etis Ilmu Bioteknologi dan Tantangannya Dewasa Ini

JURNAL ETIKA

Volume 5, November 2013: 36-53

41

Penerapan bioteknologi dalam bidang medik juga telah memungkinkan pengobatan penyakit keturunan dan meningkatkan kualitas genetis keturunan. Lewat pengobatan dengan menggunakan sel-punca (stem-cells) organ vital yang rusak dapat diganti atau diremajakan. Lewat teknologi bayi tabung pasangan suami-isteri yang salah satu atau keduanya mandul dapat memperoleh anak, dan bahwa karena seleksi genetis embrio juga dapat dilakukan, orangtua dapat memilih embrio mana yang lebih sehat yang akan ditanam dalam rahim untuk dilahirkan. Teknologi kloning yang sudah berhasil diterapkan pada binatang, secara teknis pada prinsipnya juga dapat diterapkan untuk manusia. Berkat keberhasilan dalam pemetaan genom manusia, dewasa ini secara medik juga sudah dimungkinkan untuk membuat pemindaian dan pemetaan gen (genetic scanning and mapping) manusia serta melakukan terapi genetis, baik secara somatis maupun yang menyangkut garis keturunan (germline genetic theraphy). Kemungkinankemungkinan itu memang amat menjanjikan, namun di lain pihak juga memunculkan persoalan etis serius yang tidak dapat diabaikan, karena daya kekuatan yang ada di tangan manusia itu juga dapat dipakai untuk tujuantujuan yang tidak selalu membuat hidup manusia lebih manusiawi. Awal perkembangan bioteknologi modern sebenarnya sudah dimulai sejak struktur molekuler DNA ditemukan oleh Watson dan Crick pada tahun 1950-an, karena setelah penemuan struktur tersebut, dapat dikatakan rahasia kehidupan mulai terkuak dan kemungkinan dilakukannya rekayasa genetika mulai terbuka. Kemudian terobosan besar lagi sejak 1973 sejak teknologi rekombinan DNA ditemukan, karena sejak saat itu para bioteknolog dapat memindahkan gen dari satu tempat ke tempat lain dalam satu genom atau bahkan dari organisme yang satu ke organisme lain. Inilah awal dimungkinkannya modifikasi genetik dan memunculkan apa yang disebut organisme yang termodifikasi secara genetik atau GMO (genetically modified organism). Sejak tahun 1990-an teknologi rekombinan DNA sudah digunakan untuk mengubah kandungan makanan, misalnya meningkatkan kualitas nutrisinya, dan meningkatkan hasil panenan tanaman pangan, maupun menumbuhkan tanaman pangan yang tahan hama dan dapat tumbuh dalam cuaca yang kurang mendukung. Dewasa ini, berbagai jenis makanan yang dikonsumsi publik adalah makanan jenis GMO. Di Amerika Serikat misalnya, 89% kacang kedelai, 83% kapas, dan 61% jagung sudah merupakan GMO. Seperti yang kita ketahui, Indonesia adalah pengimpor kedelai terbesar dari Amerika Serikat. Jagung dan kapas dari Amerika Serikat juga diekspor ke seluruh dunia. Seberapa jauh produk makanan dalam bentuk GMO itu cukup aman bagi kesehatan manusia untuk

Dimensi Etis Ilmu Bioteknologi dan Tantangannya Dewasa Ini

42

JURNAL ETIKA

Volume 5, November 2013: 36-53

dikonsumsi? Tidak adakah dampak lingkungan alam, misalnya terkait dengan kemungkinan terjadinya ketidakseimbangan dalam alam, rusaknya keanekaragaman hayati dan semakin berkurang atau bahkan musnahnya jenis tanaman lokal akibat desakan masuknya tanaman produk GMO? Itulah petanyaan-pertanyaan yang membawa kita ke pentingnya kajian etis dalam ilmu bioteknogi. 3.2. Pentingnya Dimensi Etis Dalam Bioteknologi Ada beberapa alasan yang kiranya dapat disebutkan mengapa dimensi etis dalam bioteknologi dewasa ini semakin penting untuk diberi perhatian. Pertama, bioteknologi adalah teknologi yang dewasa ini amat besar pengaruhnya dalam masyarakat karena dapat merekayasa berbagai bentuk kehidupan, termasuk kehidupan manusia, dan hasil rekayasa itu tidak hanya dapat membawa dampak yang positif bagi kehidupan manusia dan tatanan kehidupan yang ada, tetapi juga dampak yang negatif. Pentingnya dimensi etis dalam bioteknologi adalah menjamin agar transformasi kehidupan yang dihasilkan oleh bioteknogi itu sedapat mungkin dapat memperbesar dampak yang positif dan mengurangi dampak yang negatif. Daya kemampuan yang dimiliki manusia berkat bioteknologi yang memungkinkan dia campur tangan ke dalam hampir seluruh proses kehidupan serta kemampuan untuk merekayasa jaringannya, jelas memiliki implikasi etis yang tidak dapat diabaikan. Alasannya adalah karena dalam campur tangan tersebut integritas kehidupan dan keluhuran martabat manusia dapat dipertaruhkan. Kedua, pentingnya dimensi etis dalam bioteknologi juga terkait dengan tanggung jawab para bioteknolog sebagai salah satu pengemban profesi dalam masyarakat. Berdasarkan etika profesi, para bioteknolog, selain perlu memiliki kompetensi ilmiah dan teknis sebagai bagian dari tanggung jawab sosial profesinya, mereka juga perlu memiliki kompetensi moral. Etika bioteknologi atau bioetika diperlukan untuk dapat mengambil keputusan yang benar dalam menentukan kebijakan pengembangan bioteknologi. Tanggung jawab sosial terkait profesi dalam masyarakat juga meliputi tanggung jawab moral. Berbagai proses ilmiah-teknologis dalam bioteknologi mutakhir sangat rumit dan mengandaikan kemampuan pemahaman yang hanya dimiliki para ahli kepada siapa publik yang lebih luas tergantung. Hubungan yang tak seimbang antara para pemegang profesi sebagai tenaga ahli dengan masyarakat luas serta ketergantungan masyarakat pada pengemban profesi ini memuat tanggung jawab sosial yang bersifat moral dari para bioteknologi sebagai salah satu kelompok profesional dalam masyarakat. Ketiga, langkah kemajuan terkait temuan-temuan baru dalam bioteknologi lewat kegiatan rekayasa genetika relatif cukup cepat, sehingga Dimensi Etis Ilmu Bioteknologi dan Tantangannya Dewasa Ini

JURNAL ETIKA

Volume 5, November 2013: 36-53

43

ada kekhawatiran bahwa logika teknologi yang cenderung melakukan begitu saja apa yang secara teknis dapat dilakukan lebih dominan dalam menentukan kebijakan perkembangan bioteknologi daripada kebijakan yang disertai pertimbangan etis yang matang. Padahal pertimbangan etis selalu diperlukan agar kepentingan berbagai pihak yang terkait dengan kebijakan yang diambil serta kesejahteraan umum masyarakat lebih diperhatikan. Keempat, hal di atas sering diperparah oleh dorongan dan desakan kepentingan bisnis komersial yang mau mengambil untung dari pemilikan hak paten atas temuan baru di bidang bioteknologi dan pemanfaatkan temuan itu dalam berbagai industri yang mendatangkan keuntungan bagi perusahaan besar multinasional. Karena desakan kepentingan bisnis komersial menjadi dominan, maka sering kurang cukup memberi perhatian pada kepentingan masyarakat pengguna yang lebih luas. Karena penelitian dan penerapan hasil penelitian di bidang bioteknologi memerlukan keahlian yang khusus, peralatan yang canggih dan membutuhkan biaya yang besar, maka biasanya yang sanggup membiayai penelitian dan penerapannya dalam industri itu adalah perusahaan multinasional. Mereka memiliki pertimbangan keuntungan bisnis yang tidak selalu selaras dengan kepentingan publik yang lebih luas. Pencermatan terhadap gejala ini dari segi etika sosial juga diperlukan. Agar kepentingan masyarakat banyak juga masuk pertimbangan dalam pengambilan kebijakan dan perusahaanperusahaan besar itu dapat secara efektif dikontrol oleh masyarakat, maka berbagai bentuk regulasi, baik pada tingkat nasional maupun internasional kiranya diperlukan.11 Penggunaan secara bertanggungjawab atas kemampuan teknis yang dimungkinkan oleh rekayasa genetika memerlukan evaluasi etis yang melibatkan partisipasi berbagai pihak yang terkait, baik para ahli bioteknologi, mereka yang akan mengambil untung dari produk dan jasanya, serta publik yang lebih luas dalam masyarakat yang akan terkena dampak penggunaan produk dan jasa tersebut. 4. Beberapa Persoalan Pokok dalam Etika Bioteknologi 4.1. Persoalan Keamanan Dalam Bioteknologi Persoalan pokok pertama yang layak diperhatikan dalam etika bioteknologi adalah persoalan keamanan publik. Hal itu terkait misalnya 11

Terkait pentingnya regulasi ini, mengingat baik dampak poisitif maupun negatif dapat muncul dari revolusi bioteknologi, Fukuyama mengusulkan perlunya ada pengendalian politis terhadap pengembangan bioteknologi dengan membentuk lembaga atau komite etik, baik pada tingkat nasional maupun internasional yang dapat memberi pertimbangan dalam penentuan kebijakan pemerintah di bidang bioteknologi sehingga dampak positif dapat lebih diupayakan dan dampak negatif bagi publik yang lebih luas dapat dihindarkan. Lih Fukuyama, Our Posthuman Future, hlm. 181-194.

Dimensi Etis Ilmu Bioteknologi dan Tantangannya Dewasa Ini

44

JURNAL ETIKA

Volume 5, November 2013: 36-53

dengan kemungkinan terjadinya dampak yang merusak dan merugikan (hazard) atau pun tingginya resiko (risk calculation) yang harus diambil dalam penggunaan produk dan jasa yang dihasilkan. Hal itu berlaku, baik untuk manusia dan makhluk hidup yang lain, maupun untuk lingkungan alam secara keseluruhan. Pertimbangan keamanan dalam bioteknologi perlu memperhatikan patogenitas atau kemampuan potensial organisme hidup dan virus (baik yang alami maupun yang direkayasa secara genetis) mempengaruhi manusia, binatang dan tumbuhan, sampai menyebabkan munculnya penyakit. Selain itu juga dampak toksik dan allergis terkait dengan produksi mikroba. Keamanan produk terkait terjadinya kontaminasi, infeksi atau pun tekanan abikat terjadinya mutasi.12 Penggunaan antibiotik yang berlebihan dalam pertanian dapat membawa akibat makanan yang dikonsumsi manusia menimbulkan resistensi antibiotik dalam tubuh manusia dalam melawan penyakit. Mengingat semakin banyaknya jenis pangan yang tergolong organisme yang secara genetis termodikasi (GMO) —seperti tomat yang direkayasa secara genetis supaya tak cepat busuk, kedelai yang tahan hama, dsb.— keamanan bagi publik juga menyangkut aman-tidaknya produk tersebut bila dikonsumsi masyarakat.13 Keamanan bagi publik juga terkait penanggulangan terhadap penggunaan senjata biologis dalam konteks perang dan terorisme.14 4.2. Persoalan Sel-Punca (Stem-Cells) Sel-punca adalah sel-sel yang belum terdiferensiasi dan yang memiliki kapasitas untuk memperbarui diri dan mencapai differensiasi dalam banyak arah. Sel-punca memiliki enzyme khusus dan antigen sel khusus serta memiliki kemampuan untuk mengungkapkan gen yang teratur dalam pertumbuhannya. Sel-punca bersifat totipotent, pluripotent dan multipotent. Dalam waktu 24 jam sejak terjadinya pembuahan sel telur yang matang dan menghasilkan zygote, terjadi pembelahan sel mitotik membentuk dua sel dan kemudian diikuti menjadi empat, delapan, enambelas, dst. Pada tahap awal ini semua sel mempertahankan potensinya untuk membentuk embrio. Sel-sel pada awal ini disebut “totipotent”. Sekitar empat hari setelah pembuahan, terbentuk blastocyst, sel-sel khusus yang bulat; lingkaran luar sel-sel blastocyst nantinya membentuk placenta dan jaringan lain yang terkait sementara massa sel (epiblast atau massa sel-sel 12

Smith, Biotechnology, hlm. 224-228. Bab 6 dengan judul “GM Foods: What Are They Doing to Our Dinner,” dalam buku Jonathan Morris The Ethics of Biotechnology, hlm.104-130 dengan jelas menunjukkan perspektif etis terkait keamanan makanan yang tergolong organisme yang secara genetis termodifikasi untuk dikonsumsi manusia. 14 Ibid. hlm. 228-231. 13

Dimensi Etis Ilmu Bioteknologi dan Tantangannya Dewasa Ini

JURNAL ETIKA

Volume 5, November 2013: 36-53

45

dalam) akan selanjutnya membentuk semua sel dan jaringan embrio serta tubuh manusia. Namun, sementara sel-sel itu disebut sebagai “pluripotent” dan secara umum dimengerti sebagai sel-sel punca embrionik, masingmasing sel itu tidak dapat secara individual membentuk fetus, karena tak dapat membentuk placenta. Kemampuan sel-punca embrionik untuk mendiferensiasi menjadi banyak sel dan tipe jaringan telah mengundang minat besar dalam kemungkinannya bagi kepentingan terapetis. Sedangkan sel-sel “multipotent” adalah sel-sel yang lebih mungkin menjadi jaringan yang lebih terbatas yang ada dalam janin atau jaringan dewasa dan hanya dapat memunculkan sel-sel dari jaringan itu saja.15 Ada tiga jenis sel-punca embrionik manusia. Pertama, sel-punca yang dipanen dari embrio tahap awal; kedua, sel-punca yang dipanen dari janin yang gugur atau digugurkan; ketiga, sel-punca dari tubuh dewasa. Penelitian menunjukkan bahwa sel-punca yang dipanen dari embrio tahap awal lebih banyak potensi yang masih dapat dikembangkan. Persoalan etis terkait dengan sel-punca embrionik muncul karena di satu pihak ada dampak positif yang amat menjanjikan, tetapi di lain pihak juga dapat membahayakan sikap hormat kita terhadap hidup manusia. Dampak positif yang amat menjanjikan nampak dari prakiraan bahwa sel-punca embrionik dapat membantu pengobatan regeneratif dengan menggantikan sel-sel yang rusak dengan sel-sel baru. Misalnya penyakit parkinson, alzheimer, sakit gula, dan kelumpuhan saraf tulang belakang karena kecelakaan. Pengembangan sel punca juga dapat menunjang penciptaan organ vital seperti ginjal, jantung, untuk ditransplantasikan guna mengganti organ-organ yang sudah usang. Di lain pihak, bahaya pengabaian terhadap keluhuran martabat manusia juga dapat muncul karena mengabaikan status moral embrio manusia. Penghormatan terhadap keluhuran martabat manusia haruslah meliputi penghormatan terhadap embrio manusia, karena kehidupan manusia sudah mulai sejak terjadinya konsepsi. Embrio manusia sudah memiliki hak untuk hidup sebagaimana manusia yang sudah lahir. 4.3. Persoalan Kloning Manusia Yang dimaksud dengan “kloning” adalah proses pemroduksian organisme yang secara genetik persis sama dengan melakukan transfer inti sel somatik (somatic cell nuclear transfer) ke dalam sel telur guna menciptakan embrio yang nantinya dapat diimplantasikan ke dalam rahim. “Kloning manusia” adalah penerapan teknologi transfer inti sel somatik untuk menciptakan manusia yang akan memiliki semua inti gen yang dimiliki oleh orang yang mendonasikan inti sel yang diimplantasikan. 15

Smith, Biotechnology, hlm. 213-217.

Dimensi Etis Ilmu Bioteknologi dan Tantangannya Dewasa Ini

46

JURNAL ETIKA

Volume 5, November 2013: 36-53

Dengan melakukan transfer inti sel somatik yang diambil dari domba dewasa ke dalam sel telur, pada awal 1997, tim peneliti di Roslin Institute, Scotlandia, di bawan pimpinan Ian Wilmut dan Keith Campbell, berhasil membuat kloning domba yang diberi nama Dolly. Pada bulan Juli 1998, para peneliti dari Universitas Hawai berhasil membuat kloning tikus dan menciptakan proses pelipatgandaannya. Keberhasilan penerapan teknologi kloning dengan melakukan transfer inti sel somatik pada binatang telah memberi harapan, tetapi sekaligus juga mengundang kekhawatiran bahwa teknologi yang kurang lebih sama akan dapat dipergunakan untuk membuat kloning manusia. Kekhawatiran terhadap kemungkinan dilakukannya kloning manusia telah mendorong ditetapkannya oleh Kongres Amerika Serikat “Pakta Larangan Membuat Kloning Manusia 1998” (Prohibition of Cloning of Human Beings Act of 1998). Atas rekomendasi Komisi Penasihat Bioetik Nasional Amerika Serikat, Presiden Clinton mengadakan moratorium selama 5 tahun atas semua bentuk penelitian ke arah kloning manusia, dan berharap bahwa kebijakan itu juga diikuti oleh para presiden negara-negara lain. Pada dasarnya ada dua alasan pokok yang mendorong dilakukannya kloning manusia, yakni alasan reproduktif (reproductive cloning) dan alasan terapetis (therapeutic cloning). Kloning reproduktif adalah kloning untuk menghasilkan anak dengan ciri-ciri biogenetis yang persis sama dengan anak dari mana inti sel somatik diambil. Kloning terapetis dilakukan dengan merekayasa embrio manusia sedemikian rupa sehingga pertumbuhannya dihentikan pada beberapa siklus pertama pembelahan sel dan tidak sampai tumbuh menjadi janin. Kloning terapetis kadang dianggap lebih dapat diterima daripada kloning reproduktif, karena rekayasa terhadap embrio manusia dilakukan pada tahap dini sebelum diimplantasikan ke dalam rahim. Para ilmuwan percaya bahwa banyak pengetahuan berharga dapat dipelajari dari kloning embrio. Kloning embrio juga diprediksikan akan menjadi sumber berharga bagi pengembangan sel punca embrionik yang dipandang dapat menjadi sarana terapetis ampuh untuk menyembuhkan berbagai penyakit degeneratif serta pengganti organ atau jaringan yang rusak. Ada beberapa alasan yang dapat mendorong orang untuk melakukan kloning manusia yang bersifat reproduktif. Pertama, mungkin orangtua ingin menggantikan anaknya yang mati dengan mengambil inti sel somatiknya sebelum mati. Kedua, kloning dibuat untuk dapat mendonorkan organ yang dibutuhkan oleh anggota keluarga. Ketiga, pasangan suami-isteri yang mandul mungkin memilih kloning untuk memperoleh anak agar sekurangkurangnya salah satu dari pasangan itu dapat secara genetis terkait dengan

Dimensi Etis Ilmu Bioteknologi dan Tantangannya Dewasa Ini

JURNAL ETIKA

Volume 5, November 2013: 36-53

47

anak yang akan dilahirkan. Keempat, kalau orangtua memiliki ciri genetik yang berbahaya bagi keturunannya, teknologi kloning dapat memberi keturunan yang bebas dari ciri genetik yang berbahaya tersebut. Orangtua juga mungkin dapat memilih ciri-ciri genetis yang dinilai unggul untuk keturunannya dengan merekayasa embrio dalam proses membuat kloning. Misalnya ingin punya anak yang punya tingkat kecerdasan tinggi, atau tubuh yang atletis, wajah yang cantik atau tampan, dsb. Memang ada beberapa alasan pro kloning manusia, tetapi juga tidak sedikit alasan kontranya. Kalau memperhatikan alasan-alasan pro dan kontra yang sering dikemukakan,16 nampak bahwa manfaat kloning manusia masih belum dapat dipastikan sampai sekarang. Akan tetapi berbagai bentuk kemungkinan mudaratnya yang sampai sekarang dapat dibayangkan, telah membuka mata kesadaran kita untuk tidak membuka kotak pandora yang akan memasukkan umat manusia ke dalam kondisi yang justru tidak manusiawi. Alih-alih meningkatkan kualitas hidup manusia, penerapan teknologi kloning pada manusia jangan-jangan malah akan merendahkannya menjadi barang permainan bagi segelintir orang yang kebetulan punya kemampuan untuk melakukannya. Hal itu secara lebih khusus berlaku untuk kloning reproduktif. Sedangkan untuk kloning terapetik, kendati ada banyak manfaat medik yang dapat disumbangkan, namun prosesnya melibatkan rekayasa dengan embrio bakal manusia. Kalau sikap hormat terhadap keluhuran martabat manusia berlaku juga untuk embrio bakal manusia sejak dini, maka kloning terapetis pun secara moral bermasalah. 4.4. Persoalan antara Kepentingan Terapi dan Peningkatan Kondisi Tubuh Manusia Dewasa ini, rekayasa genetika yang berkaitan dengan manusia tidak hanya bertujuan untuk terapi atau penyembuhan dari penyakit yang jelas diderita seseorang, tetapi juga untuk peningkatan kondisi tubuh agar lebih ideal seperti dimaui oleh sang empunya tubuh (biotechnological enhancement). Diantaranya adalah rekayasa guna membentuk tubuh yang awet muda (dengan mengkonsumsi suplemen pemerlambat penuaan atau anti-aging) sehingga mempunyai masa produktif lebih lama dan masih bisa mandiri kendati usia sudah lanjut. Dengan kemajuan bioteknologi kini dimungkinkan mengganti organ tubuh yang sudah aus atau rusak, dan dimungkinkan pula melakukan modifikasi genetik sehingga diperoleh keturunan yang lebih baik. Kemungkinan “merekayasa gen” sehingga salah satu fungsi dapat lebih ditingkatkan juga dapat membuat masa hidup 16

Beberapa alasan pro-kontra kloning manusia misalnya dapat dilihat dalam buku J. Morris, The Ethics of Biotechnology, hlm. 56-82.

Dimensi Etis Ilmu Bioteknologi dan Tantangannya Dewasa Ini

48

JURNAL ETIKA

Volume 5, November 2013: 36-53

manusia lebih panjang. Para olahragawan juga dapat menggunakan steroid ataupun dopamine untuk meningkatkan daya kekuatan raganya. Bioeknologi juga dapat menghasilkan berbagai produk farmasi yang menghasilkan obat penenang (seperti prozac, ecstacy, misalnya) yang dapat mengurangi stres, membuat perasaan senantiasa ceria, memperkuat daya ingat, menghapus kenangan buruk tentang suatu peristiwa masa lalu, dsb. Persoalan etis terkait berbagai upaya rekayasa untuk meningkatkan kualitas kondisi tubuh atau biotechnological enhancement itu antara lain adalah ada ketidakpastian apakah dalam jangka pendek maupun jangka panjang upaya rekayasa itu memang aman untuk manusia. Suatu peringatan medis yang layak diperhatikan, seperti pernah dinyatakan oleh Leon Kass, seorang dokter ahli biokimia dan pernah menjadi Ketua Penasihat Presiden Bidang Bioetika pada masa G. Bush menjadi Presiden Amerika Serikat: “anything powerful enough to enhance system A is likely to be powerful enough to harm system B.”17 Penelitian menunjukkan misalnya pemakaian steroid dan dopamine ternyata kemudian membawa efek samping bagi pemakainya berupa penyakit alzheimer. Juga pemakaian berbagai obat penenang dapat berefek samping merusak saraf pemakainya. Selain itu berbagai bentuk biotechnological enhancement juga memunculkan masalah keadilan dalam menilai prestasi manusia. Kalau seorang olahragawan menjadi juara renang atau lari dalam sebuah olimpiade, tetapi kemudian terbukti bahwa prestasinya itu karena ia memakai steroid, misalnya, bukankah kemenangan itu tidak adil (fair) terhadap para pesaingnya? Demikian juga kalau seseorang memiliki ingatan yang amat kuat, tetapi hal itu hanya gara-gara mengkonsumsi sejenis obat peningkat ingatan, kiranya penghargaan kita terhadapnya akan berbeda kalau prestasi itu lebih karena upaya alami yang ia lakukan. Salah satu kasus mutakhir tentang biotechnological enhancement ini adalah apa yang oleh majalah TIME edisi bulan Mei 2013 disebut “The Angelina Effect.” Artis film Angelina Jolie yang terkenal dengan bibir dan keindahan tubuhnya, selama tiga bulan melakukan pengangkatan jaringan kedua payudaranya (masectomy), dan selanjutnya melakukan rekonstruksi payudaranya kembali. Hal tersebut dilakukan Jolie kendati saat ini pada kedua payudaranya tidak diketemukan kanker, namun hasil pemindaian (scanning) DNA menunjukkan bahwa ditemukan gen BRCA 1 yang 17

Leon B. Kass, “Biotechnology and Our Human Future: Some General Reflections.” Dalam Sean D. Sutton (Ed.), Biotechnology: Our Future As Human Beings and Citizens. Albany, N.Y.: State University of New York Press, 2009: hlm. 9-29; pernyataan yang dikutip terdapat pada hlm. 14.

Dimensi Etis Ilmu Bioteknologi dan Tantangannya Dewasa Ini

JURNAL ETIKA

Volume 5, November 2013: 36-53

49

berpotensi 87% menyebabkan kanker payudara dan 50% menyebabkan kanker ovarium. Kanker payudara tersebut diturunkan oleh ibunya yang meninggal dunia akibat penyakit tersebut pada usia 56 tahun. Operasi pada kedua payudara Jolie dilakukan dengan pertimbangan bahwa dengan operasi tersebut maka resiko kanker yang dialami Jolie menurun hingga 5% sehingga harapan hidup dan kesempatan untuk menjaga dan mengasuh anak-anaknya lebih besar. Apakah yang dibuat oleh Angelina Jolie itu, asal orang punya uang (karena biayanya memang mahal) secara etis tidak bermasalah? Kalau demi peningkatan kualitas kesehatan seseorang, seperti dilakukan Jolie, kiranya memang tidak bermasalah. Tetapi bagaimana kalau biotechnological enhancement yang mengeluarkan biaya amat mahal digunakan untuk hal-hal yang tidak vital, hanya karena seseorang punya uang untuk membayar? Karena mahalnya pembiayaan, produk bioteknologi cenderung hanya dapat diakses dan dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat tertentu yang memiliki tingkat pendapatan tinggi. Sebagai contoh misalnya biaya untuk memindai gen adalah sebesar $ 3000 dan suntikan hormon sebesar $ 1000 per bulan. Selain itu arah penelitian bioteknologi seringkali mengikuti trend yang sedang laku di pasaran atau yang menunjang kepentingan komersial para pemilik modal besar daripada kebutuhan mendesak masyarakat. Misalnya, penelitian untuk mengatasi kebotakan yang menelan biaya 10 kali lebih besar, lebih mudah mendapatkan penyandang dana daripada biaya untuk mengatasi penyakit malaria di seluruh dunia. Bukankah kenyataan itu memunculkan masalah etis ketidakadilan sosial? 4.5. Persoalan Pembuatan Patent Gen Manusia Seperti dicatat oleh Eric S. Grace,18 14 Maret 1995, secara tak terduga sebelumnya, kantor patent Amerika Serikat mengumumkan patent no. 5, 397, 696 milik Institut Kesehatan Nasional (National Institutes of Health-NIH) Amerika Serikat atas materi genetis seorang warga negara asing, yakni seorang laki-laki suku Haghai dari daerah pegunungan di Papua Nugini. Suku Haghai yang hanya berjumlah 260 orang merupakan suku tertutup dan baru berhubungan dengan dunia luar sekitar 1984. Institut Kesehatan Nasional Amerika Serikat sekarang mendaku kepemilikan atas garis sel yang mengandung DNA laki-laki Haghai yang belum dimodifikasi bersama dengan beberapa metode untuk menggunakannya untuk mendeteksi HTLV-1 terkait retrovirus. Pat Mooney, direktur eksekutif Rural

18

Dalam bukunya Biotechnology Unzipped: Promises and Realities, Washington, DC: Joseph Henry Press, 1997, hlm. 200 dst.

Dimensi Etis Ilmu Bioteknologi dan Tantangannya Dewasa Ini

50

JURNAL ETIKA

Volume 5, November 2013: 36-53

Advancement Foundation International (RAFI), suatu Yayasan yang menentang komersialisasi gen manusia, pernah mengatakan: “Kalau pada masa kolonialisme para peneliti mencari sumber daya alam dari para penduduk asli... kini dalam jaman biokolonialisme, mereka mencari orang dari penduduk asli sendiri.”19

Institut Kesehatan Nasional Amerika Serikat mencari sampel gen manusia dari 19 negara tanpa menjanjikan pembayaran apa pun pada pemilik asli sel yang mereka ambil dan gunakan. Kepentingannya adalah melengkapi data bagi Proyek Keanekaragaman Genom Manusia, suatu program internasional untuk membuat sampel darah dan jaringan dari sebanyak mungkin kelompok penduduk asli di dunia. Kegunaan dari DNA manusia dari penduduk yang jauh itu adalah kemungkinannya untuk membantu para peneliti di negara maju untuk membuat diagnosa dan mengobati penyakit serta mengembangkan vaksin. Misalnya sampel darah yang diambil dari penduduk yang mengidap penyakit asma di daerah pulau Tristan da Cunha di Atlantik Selatan dapat dijual oleh para peneliti ke perusahaan biotek-nologi yang berbasis di California. Perusahaan itu selanjutnya menjual vaksin yang belum cukup terbukti berikut hak pengobatan penyakit asma ke perusahaan Jerman Boehringer Ingelheim seharga $ 70 juta. Gejala tersebut tentu saja menimbulkan masalah etis, karena seperti ditengarai oleh RAFI, Amerika Serikat dan beberapa negara maju, lewat perusahaan-perusahaan bioteknologi mereka telah menjadikan gen dari berbagai penduduk asli di dunia sebagai barang dagangan. RAFI atau Yayasan Internasional Pemajuan Pedesaan itu melakukan pengawasan terhadap pematenan DNA penduduk asli sejak 1993 dan berusaha mendesak lembaga internasional dan pemerintah-pemerintah untuk mengajukan pelanggarnya ke Pengadilan Internasional di Den Haag. 6. Tantangan Etis Ilmu Bioteknologi Dewasa Ini Pesatnya perkembangan ilmu bioteknologi dewasa ini dan besarnya dampak pengaruh yang diakibatkannya bagi sikap dan perilaku kita terhadap kehidupan semua makhluk ciptaan, termasuk kehidupan manusia sendiri, menimbulkan tantangan etis tersendiri. Kini sepertinya dengan bioteknologi manusia sudah sanggup menguak rahasia kehidupan dan mampu merekayasanya secara teknis atas struktur jaringan dan mekanisme kerjanya. Kehidupan tak lagi menjadi sebuah misteri yang layak dihormati.Tantangan etis terkait revolusi bioteknologi dewasa ini menjadi lebih sulit ditanggapi,

19

Ibid. hlm. 200.

Dimensi Etis Ilmu Bioteknologi dan Tantangannya Dewasa Ini

JURNAL ETIKA

Volume 5, November 2013: 36-53

51

karena perkaranya tidak dapat dilihat secara hitam putih begitu saja. Seperti dinyatakan oleh Fukuyama:20 “Bioteknologi menghadapkan kita pada suatu dilema moral khusus, karena setiap reservasi yang kita miliki terhadap kemajuan perlu kita imbangi dengan pengakuan akan sumbangannya yang menjanjikan dan tak dapat dibantah.”

Justru karena bukan hanya akibat yang membahayakan atau merugikan bagi kehidupan pada umumnya dan kehidupan manusia khususnya, yang dapat dihasilkan oleh bioteknologi, tetapi juga akibat baik yang tidak sedikit, maka tantangan etis yang kita hadapi terkait revolusi bioteknologi dewasa ini menjadi lebih pelik untuk dihadapi. Suatu jalan tengah antara dua ekstrem —di satu pihak penolakan mentah-mentah atas berbagai penelitian dan eksperimen bioteknologis karena dipandang membahayakan, dan di lain pihak penerimaan begitu saja tanpa disertai sikap kritis karena dinilai telah membawa banyak manfaat dan ke depannya menjanjikan lebih banyak manfaat lagi— perlu diambil. Bioteknologi, sebagai ilmu dan teknologi (techno-science) yang relatif baru juga masih banyak melakukan eksperimen yang hasil dan dampaknya ke depan masih banyak diliputi ketidakpastian. Revolusi bioteknologi di satu pihak jelas membawa banyak manfaat bagi perbaikan kondisi kehidupan manusia. Terobosan yang dihasilkan berkat rekayasa genetika yang dimungkinkan oleh temuan teknologi rekombinan DNA telah dapat meningkatkan kuantitas, dan dalam hal tertentu juga kualitas, hasil produksi pertanian, kehutanan dan peternakan, dsb. Dari pembuatan bibitbibit unggul untuk berbagai tanaman pangan sampai kemungkinan dilakukannya transfer gen yang membuat buah-buahan tidak cepat membusuk, memiliki warna yang cerah serta memiliki kandungan gizi yang lebih baik. Di bidang kehutanan misalnya, bioteknologi dapat menciptakan pohon yang yang lebih tahan musim dingin, tak mudah terkena penyakit atau dirusak hama, memiliki daya tumbuh lebih cepat. Di bidang peternakan, berbagai binatang dapat menunjang kemajuan bioteknologi, dan sebaliknya bioteknologi dapat meningkatkan kesehatan binatang serta meningkatkan produknya (misalnya ternak sapi yang berdaging empuk dan kurang kadar lemak, ternak ayam yang lebih banyak telur dengan kandungan protein tinggi, dsb). Peternakan yang dipadukan dengan bioteknologi juga dapat menghasilkan berbagai produk farmasi dan obatobatan. Kemajuan bioteknologi di bidang medis telah banyak membawa berbagai terobosan, baik dalam melakukan diagnosa penyakit, pengobatan 20

Fukuyama, Our Posthuman Future, hlm. 84.

Dimensi Etis Ilmu Bioteknologi dan Tantangannya Dewasa Ini

52

JURNAL ETIKA

Volume 5, November 2013: 36-53

maupun penanggulangan penyakit, termasuk memotong rantai penyakit turunan yang bersifat genetis. Kemampuan memproduksi insulin dalam jumlah besar jelas merupakan berkat bagi banyak orang yang terkena penyakit diabet. Di lain pihak daya kekuatan dahsyat yang kini dimiliki manusia berkat kemajuan bioteknologi untuk merekayasa gen, mengembangkan selpunca embrionik dan kemudian melakukan transplantasi organ tubuh yang dihasilkan, serta melakukan intervensi terhadap berbagai bentuk kehidupan, dapat membawa dampak yang membahayakan integritas kehidupan dan merendahkan keluhuran martabat manusia. Daya kemampuan baru yang dibawa oleh revolusi biotekologi juga dapat disalahgunakan untuk tujuantujuan yang jahat (seperti untuk membuat senjata biologis, bioterorisme, eugenika rasialis, dan komersialisasi gen manusia). Penggunaan bioteknologi untuk tujuan baik pun, tanpa disertai kepekaan etis dan kearifan, masih mungkin membawa dampak negatif yang tidak terduga atau sampai sekarang belum dapat dipastikan. Guna menjamin agar bioteknologi nantinya dapat digunakan untuk melayani manusia dan bukan memperbudaknya, atau agar manfaat penggunaannya dapat lebih terjamin daripada mudaratnya, maka pertimbangan etis dan regulasi dalam bentuk ketentuan hukum, baik pada tingkat internasional maupun nasional, kiranya akan terus diperlukan.21

Daftar Pustaka Bailey, Britt and Marc Lappe (Eds.). Engineering The Farm. Ethical and Social Aspects of Agricultural Biotechnology. Washington: Island Press. 2002. Dyson, Anthony and John Harris (Eds.). Ethics and Biotechnology. London and New York: Routledge. 1994. Fukuyama, Francis. Our Posthuman Future. Consequences of the Biotechnology Revolution. New York: Farrar, Straus and Giroux. 2002.

21

Mereka yang berminat mendalami berbagai persoalan pentingnya regulasi di bidang bioteknologi ini, misalnya terkait persoalan genetika manusia, industri makanan yang menggunakan organisme yang secara genetis termodifikasi (GMO), dan sistem patent, dapat membaca buku Han Somsen (Ed.), The Regulatory Challenge of Biotechnology. Human Genetics,Food and Patents.Chelltenham, UK: Edward Elgar. 2007.

Dimensi Etis Ilmu Bioteknologi dan Tantangannya Dewasa Ini

JURNAL ETIKA

Volume 5, November 2013: 36-53

53

Guilford-Blake, Roxanna and Debbie Strickland (Eds.). Guide to Biotechnology 2008. Washington DC: Bio Org. 2008. Grace, Eric S. Biotechnology Unzipped: Promises and Realities. Washington DC: Joseph Henry Press. 1997. Klemke, E.D., Robert Hollinger, David Wyss Rudge (Eds.), Introductory Readings in the Philosophy of Science. New York: Prometheus Books. 1998. Lanigan, Barbara (Ed.). Human Dignity and Bioethics. New York: Nova Science Publishers, Inc., 2008. Morris, Jonathan. The Ethics of Biotechnology. New York: Chelsea House Publishers. 2006. Putnam, Hilary. The Collapse of The Fact/Value Dichotomy and Other Essays. Cambridge, MA: Harvard University Press. 2003. Resnik, David B. The Ethics of Science. An Introduction. London and New York: Routledge. 1998. Smith, John E. Biotechnology. Cambridge: Cambridge University Press. 2009. Somsen, Han (Ed.) The Regulatory Challenge of Biotechnology. Human Genetics, Food and Patents. Cheltenham, UK: Edward Elgar. 2007. Sutton, Sean D. (Ed.). Biotechnology. Our Future As Human Beings and Citizens. Albany: SUNY Press. 2009. van Peursen, C. A. Fakta, Nilai, Peristiwa. Tentang Hubungan antara Ilmu Pengetahuan dan Etika. Diterjemahkan oleh A. Sonny Keraf. Jakarta: Penerbit PT Gramedia. 1990. Voneky, Sukja and Rudiger Wolfrum (Eds.). Human Dignity and Human Cloning, Leiden/Boston: Martinus Nijhoff Publishers. 2004.

Dimensi Etis Ilmu Bioteknologi dan Tantangannya Dewasa Ini