FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN ANEMIA

Download Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang disebabkan karena kekurangan ... khususnya Indonesia, meskipun defisiensi asam folat, defisien...

0 downloads 498 Views 386KB Size
4

TINJAUAN PUSTAKA Anemia Anemia merupakan kondisi kurang darah yang terjadi bila kadar hemoglobin darah kurang dari normal (Depkes 2008). Nilai tersebut berbedabeda untuk kelompok umur dan jenis kelamin sebagaimana ditetapkan oleh WHO seperti tercantum pada tabel 1. Tabel 1 Batas normal kadar hemoglobin Kelompok

Umur

Anak

1-4 tahun 5-11 tahun 12-14 tahun Laki-laki (>15 tahun) Wanita (>15 tahun) Wanita hamil

Dewasa

Hemoglobin (g/dl) 11 11.5 12 13 12 11

* WHO (2001).

Penggolongan jenis anemia menjadi ringan, sedang, dan berat belum ada keseragaman mengenai batasannya, hal ini disebabkan oleh perbedaan kelompok umur, kondisi penderita, komplikasi dengan penyakit lain, keadaan umum gizi penderita, lamanya menderita anemia, dan lain-lain yang sulit dikelompokkan. Akan tetapi, menurut Husaini (1989) bahwa semakin rendah kadar Hb, makin berat anemia yang diderita. Secara umum, terdapat dua faktor yang menyebabkan anemia gizi yaitu faktor gizi dan non-gizi. Adapun faktor non gizi adalah sebagai berikut : 1. Banyak kehilangan darah. Pendarahan mengakibatkan tubuh kehilangan banyak sel darah merah. Pendarahan ada 2 jenis, yakni pendarahan eksternal (pendarahan yang terjadi secara mendadak dan dalam jumlah banyak) dan pendarahan kronis (pendarahan yang terjadi sedikit demi sedikit, tetapi berlangsung secara terus-menerus). Contoh pendarahan adalah investasi cacing tambang, kecelakaan, atau menstruasi. Wanita mengalami kehilangan darah sebanyak 40-50 ml setiap bulannya akibat menstruasi (UNICEF 1998). 2. Rusaknya sel darah merah. Perusakan sel dapat berlangsung di dalam pembuluh darah akibat penyakit, seperti malaria atau thalasemia (UNICEF 1998).

5

3. Kurangnya produksi sel darah merah. Hal ini dapat disebabkan karena makanan yang dikonsumsi kurang mengandung zat gizi, terutama besi, asam folat, vitamin B12, vitamin C, dan zat gizi lainnya (Wirakusumah 1998). Selanjutnya faktor gizi yang menjadi penyebab anemia antara lain : a. Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang disebabkan karena kekurangan zat besi. Zat besi dibutuhkan untuk sintesis hemoglobin dalam pembentukan sel darah merah (Allen & Sabel 2001). Anemia defisiensi besi ditandai dengan pengecilan ukuran sel darah merah (microcytic) dan penurunan kadar Hb (hypochromic). Anemia defisiensi besi merupakan penyebab anemia yang paling umum terjadi di negara sedang berkembang, khususnya Indonesia, meskipun defisiensi asam folat, defisiensi vitamin B12 dan protein, serta vitamin-vitamin lainnya dan trace elements berperan pula terhadap terjadinya anemia (Husaini 1999). Faktor risiko utama anemia gizi besi yaitu rendahnya intik besi, penyerapan besi yang rendah karena tingginya konsumsi komponen fitat atau fenol, dan periode kehidupan ketika kebutuhan besi tinggi (misalnya pertumbuhan dan kehamilan) (WHO 2008). b. Anemia akibat defisiensi asam folat. Folat atau vitamin B9 merupakan zat gizi yang ditemukan terutama pada buah-buahan citrus dan sayuran berdaun hijau. Bila secara lama kurang mengkosumsi pangan jenis tersebut maka dapat mengalami defisiensi asam folat. Ketidakmampuan menyerap asam folat dari pangan juga dapat mengalami defisiensi asam folat. Kekurangan asam folat dapat menyebabkan terjadinya anemia megaloblastic, yaitu sel darah merah lebih besar dari normal dan memiliki nukleus yang belum terdiferensiasi secara sempurna (megaloblasts) (Allen & Sabel 2001). c. Anemia akibat defisiensi vitamin B12. Penyebab anemia karena kekurangan konsumsi pangan sumber vitamin B12 (daging, telur, dan susu) jarang terjadi, namun sering terjadi karena usus halus tidak dapat menyerap vitamin ini. Hal ini dikarenakan adanya pembedahan perut atau usus halus. Kekurangan karena vitamin ini juga dapat menyebabkan terjadinya anemia megaloblastic, yakni sel darah merah lebih besar dari normal dan memiliki nukleus yang belum terdiferensiasi secara sempurna (megaloblasts) (Wirakusumah 1998). d. Anemia akibat defisiensi vitamin C. Kekurangan konsumsi vitamin C juga dapat

menyebabkan

anemia.

Tubuh

memerlukan

vitamin

C

untuk

menghasilkan sel darah merah. Vitamin ini juga membantu tubuh menyerap zat besi yang penting sebagai pembangun blokade sel-sel darah merah

6

(Almatsier 2000). Selain itu, vitamin ini berperan dalam penyerapan besi sebagai reducing agent yang mengubah bentuk feri menjadi fero dan chelating agent yang mengikat besi sehingga daya larut besi meningkat (Allen & Sabel 2001). Tanda-tanda Anemia Adapun tanda-tanda dari anemia adalah (1) lesu, lemah, letih, lelah, lalai (5L), (2) Sering mengeluh pusing dan mata berkunang-kunang, (3) Gejala lebih lanjut adalah kelopak mata, bibir, lidah, kulit, dan telapak tangan menjadi pucat. Penderita anemia dapat mengalami salah satu tanda atau beberapa tanda anemia tersebut (Depkes 1998). Akibat Anemia Banyak dampak yang dapat ditimbulkan akibat anemia. Anemia pada remaja dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan dan konsentrasi belajar, mengganggu pertumbuhan sehingga tinggi badan tidak mencapai optimal, menurunkan

kemampuan

fisik

olahragawan

dan

olahragawati,

dan

mengakibatkan muka pucat, serta dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah sakit (Grantham et al. 2001), sedangkan anemia pada kelompok dewasa dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah sakit, menurunkan produktivitas kerja, dan menurunkan kebugaran (Hass & Brownlie 2001). Hemoglobin Hemoglobin ialah sejenis pigmen yang terdapat dalam sel darah merah, bertugas membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh (Brody 1994). Hemoglobin kaya akan zat besi (Pearce 1992 diacu dalam Puri 2007). Hemoglobin yang mewakili lebih dari 95% dari protein pada sel darah merah, mengandung 60% besi tubuh. Hemoglobin bersama dengan kofaktor heme, disintesis di dalam sel darah merah yang immature (belum dewasa) (Brody 1994). Hemoglobin memiliki berat molekul 64 500 dan tersusun atas empat sub unit. Dua sub unit disebut α-globin, dan dua lainnya disebut β-globin. Masingmasing sub unit mengandung sebuah grup heme yang dapat mengikat sebuah molekul oksigen. Atom besi yang terdapat dalam kelompok heme tersebut harus dalam bentuk fero untuk mengikat oksigen (Brody 1994). Nilai hemoglobin darah merupakan salah satu indikator paling umum yang digunakan untuk mengetahui anemia gizi besi (Almatsier 2000). Berkurangnya kadar hemoglobin dalam darah merah berbanding lurus dengan

7

banyaknya zat besi yang tersedia dalam sel darah merah. Bila intake zat besi yang dikonsumsi dari bahan pangan sedikit maka produktivitas hemoglobin akan menurun (Depkes 1998). Nilai hemoglobin kurang peka terhadap tahap awal kekurangan besi, akan tetapi berguna untuk mengetahui beratnya anemia. Nilai hemoglobin yang rendah menggambarkan kekurangan besi yang sudah lanjut (Almatsier 2000). Hemoglobin merupakan indikator yang paling sering digunakan untuk melihat defisiensi besi karena murah, mudah untuk dilakukan dan cepat. Tetapi, kadar hemoglobin juga dipengaruhi oleh faktor lain selain defisiensi besi. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Anemia Karakteristik Umum Contoh Jenis Kelamin. Jumlah penderita anemia lebih banyak wanita dibanding pria. Beberapa alasan wanita lebih banyak terkena anemia yaitu 1) Pada umumnya masyarakat Indonesia lebih banyak mengonsumsi makanan nabati dibandingkan hewani, sehingga masih banyak yang menderita anemia; 2) Wanita lebih jarang makan makanan hewani dan sering melakukan diit pengurangan makan karena ingin langsing; 3) Mengalami haid setiap bulan, sehingga membutuhkan zat besi dua kali lebih banyak daripada pria (Depkes 1998). Besar Keluarga. Menurut Prihartini et al. (1996) besar keluarga sangat berpengaruh pada jumlah makanan yang harus disediakan. Semakin sedikit jumlah anggota kelurga maka semakin mudah terpenuhi kebutuhan makanan seluruh anggota keluarga. Demikian juga, apabila jumlah anggota keluarga banyak, maka makanan yang tersedia tidak mencukupi apabila pendapatan terbatas. Besar keluarga akan mempengaruhi konsumsi gizi di dalam suatu keluarga dan akan mempengaruhi pula pada kesehatan anak-anak dan ibu. Konsumsi pangan tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi tetapi juga faktor non ekonomi. Faktor non ekonomi tersebut di antaranya besar keluarga dan komposisi umur dalam keluarga (Putri 2004). Sanjur (1982) diacu dalam Putri (2004) menyatakan bahwa besar keluarga mempunyai pengaruh pada belanja pangan. Pendapatan per kapita dan belanja pangan akan menurun sejalan dengan meningkatnya jumlah anggota keluarga. Pendidikan. Faktor pendidikan dapat mempengaruhi status anemia seseorang sehubungan dengan pemilihan makanan yang dikonsumsi. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan mempengaruhi pengetahuan dan informasi tentang gizi yang lebih baik dibandingkan seseorang yang berpendidikan lebih rendah

8

(Permaesih & Herman 2005). Menurut Atmarita dan Fallah (2004), tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi memudahkan seseorang untuk dapat menerima informasi dan menerapkannya dalam perilaku dan gaya hidup sehat sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Pekerjaan. Pekerjaan seseorang dapat mempengaruhi besarnya pendapatan, selain itu juga lamanya waktu yang dipergunakan seseorang ibu untuk bekerja di dalam dan di luar rumah, jarak tempat kerja dapat mempengaruhi susunan makanan dalam keluarganya (Khumaidi 1989). Hasil penelitian Oktaviani (1989) diacu dalam Putri (2004) menunjukkan bahwa

tingkat

pengeluaran

pendapatan

yang

yang

berbeda.

berbeda

Golongan

akan

menyebabkan

berpendapatan

rendah,

alokasi proporsi

pengeluaran untuk pangan lebih besar dibandingkan pengeluaran lainnya, sedangkan pada golongan berpendapatan tinggi persentase pengeluaran pangan lebih kecil dibandingkan pengeluaran lainnya. Status Gizi Status gizi adalah keadaan seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang lama (Supariasa et al. 2001). Menurut Thompson (2007) diacu dalam Arumsari (2008), status gizi mempunyai korelasi positif dengan konsentrasi hemoglobin, artinya semakin buruk status gizi seseorang maka semakin rendah kadar Hbnya. Adapun penilaian status gizi berbeda-beda untuk setiap kelompok umur. Status Gizi Usia 10-14 tahun. Status gizi penduduk umur 10-14 tahun dapat dinilai berdasarkan IMT yang dibedakan menurut umur dan jenis kelamin. Rujukan untuk menentukan kurus, apabila nilai IMT kurang dari 2 standar deviasi (SD) dari nilai rerata, dan berat badan (BB) lebih jika nilai IMT lebih dari 2 SD nilai rerata standar WHO 2007. Tabel 2 Standar penentuan kurus dan berat badan (BB) lebih menurut nilai rerata IMT, umur, dan jenis kelamin Umur (Tahun)

Laki-laki

Perempuan

-2SD

+2SD

Rerata IMT

-2SD

+2SD

10

Rerata IMT 16.4

13.7

21.4

16.6

13.5

22.6

11

16.9

14.1

22.5

17.3

13.9

23.7

12

17.5

14.5

23.6

18.0

14.4

24.9

13

18.2

14.9

24.8

18.8

14.9

26.2

14

19.0

15.5

25.9

19.6

15.5

27.3

*WHO 2007 diacu dalam Depkes (2008)

9

Status Gizi Usia >15 tahun. Pengukuran paling reliabel untuk ras spesifik dan populasi untuk menentukan status gizi adalah Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT merupakan indeks berat badan seseorang dalam hubungannya dengan tinggi badan, yang ditentukan dengan membagi berat badan dalam satuan kilogram dengan kuadrat tinggi dalam satuan meter kuadrat (Riyadi 2003). IMT = Berat Badan (kg) Tinggi Badan2 (m2) Tabel 3 Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT) Kategori Kurus

IMT (kg/m2) <18.5

Normal

18.5 - 24.9

Overweight

25.0 – 26.9

Obese

>27

*Depkes (1998) diacu dalam Depkes (2008)

Intik dan Bioavailabilitas Zat Besi (Fe) Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam tubuh manusia dan hewan, yakni sebanyak 3-5 gram di dalam tubuh manusia dewasa (Almatsier 2000). Zat besi berperan sebagai pusat katalis untuk berbagai fungsi metabolik. Besi dibutuhkan tubuh dalam transportasi oksigen dalam bentuk hemoglobin yang penting untuk respirasi sel. Besi dalam bentuk mioglobin, dibutuhkan dalam penyimpanan oksigen di dalam otot. Zat besi juga merupakan komponen berbagai enzim jaringan, seperti sitokrom, yang penting dalam produksi energi (Strain & Cashman 2002). Besi bekerja sama dengan rantai protein-pengangkut elektron, yang berperan dalam metabolisme energi di dalam tiap sel. Protein pengangkut memindahkan hidrogen dan elektron yang berasal dari zat gizi penghasil energi ke oksigen sehingga membentuk air. Selanjutnya dalam proses tersebut dihasilkan ATP (Almatsier 2000). Tidak semua zat besi yang berada dalam makanan dapat diserap oleh tubuh karena bioavailabilitasnya yang rendah atau kurangnya asupan pangan hewani (UNICEF 1998). Zat besi yang berasal dari hewani, penyerapannya tidak banyak dipengaruhi oleh jenis kandungan makanan lain dan lebih mudah diabsorpsi dibandingkan zat besi yang berasal dari nabati. Makanan nabati, misalnya sayuran hijau tua, walaupun kaya akan zat besi namun hanya sedikit yang bisa diserap dengan baik oleh usus (Wirakusumah 1998). Namun pangan

10

sumber zat besi terutama zat besi hem, yang bioavailabilitasnya tinggi, sangat jarang dikonsumsi oleh masyarakat di negara berkembang. Kebanyakan masyarakat memenuhi kebutuhan besi dari produk nabati (Depkes 1998). Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi jumlah zat besi yang diserap oleh tubuh, yaitu ketersediaan zat besi di dalam tubuh, bioavailabitas zat besi, dan adanya faktor penghambat zat besi. Apabila jumlah zat besi yang berada di dalam tubuh menurun maka penyerapan zat besi akan meningkat. Pada laki-laki, penyerapan zat besi akan meningkat setelah pertumbuhan berhenti dan memasuki masa dewasa. Sebaliknya, pada wanita setelah masa menopause cadangan zat besi dalam tubuh meningkat dan penyerapannya menurun karena tidak mengalami menstruasi lagi (Wirakusumah 1998). Zat besi yang terdapat dalam bahan makanan dapat berasal dari hewan maupun tumbuhan. Zat besi yang berasal dari tumbuh-tumbuhan memiliki daya serap lebih rendah (5%) dibanding zat besi yang berasal dari hewan yang mempunyai daya serap tinggi (15%). Bentuk zat besi yang terdapat di dalam makanan dapat mempengaruhi penyerapan zat besi oleh tubuh. Ada dua macam bentuk zat besi dalam makanan, yaitu hem dan nonhem. Zat besi hem berasal dari hewan seperti daging, ikan, dan ayam, sedangkan zat besi non-hem terdapat pada pangan nabati, seperti sayur-sayuran, biji-bijian, kacangkacangan, dan buah-buahan. Walaupun kandungan zat besi hem dalam makanan hanya antara 5-10%, tetapi penyerapannya mencapai 15%, sedangkan zat besi nonhem penyerapannya hanya 5% (UNICEF 1998). Penyerapan zat besi non-hem sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor penghambat maupun pendorong, sedangkan besi hem tidak (Thankachan et al. 2008). Adapun faktor yang mempermudah penyerapan zat besi non-hem adalah vitamin C (asam askorbat) (UNICEF 1998). Vitamin C dapat meningkatkan penyerapan zat besi non-hem sampai empat kali lipat (Wirakusumah 1998). Zat besi diangkut melalui dinding usus dalam senyawa dengan asam amino atau dengan vitamin C. Vitamin C umumnya hanya terdapat di dalam pangan nabati, yakni sayur dan buah terutama yang asam, seperti jeruk, nanas, rambutan, pepaya, gandaria, dan tomat. Vitamin C juga banyak terdapat di dalam sayuran daun-daunan dan jenis kol (Almatsier 2000). Namun pada sebuah percobaan intervensi bagian pengawasan di sebuah daerah di Meksiko, konsumsi 25 mg asam askorbat, misalnya jeruk limau dengan mengonsumsi 2 kali/hari selama 8

11

bulan gagal meningkatkan status besi pada wanita yang kekurangan besi (Garcia et al. 1999). Selain faktor yang mendorong penyerapan zat besi non-hem, terdapat pula faktor-faktor yang menghambat. Menurut Thankachan et al. (2008), zat yang menghambat penyerapan zat besi antara lain adalah asam fitat, asam oksalat, dan polifenol seperti tanin yang terdapat pada teh dan kopi. Asam phytat dan fosfat banyak terdapat pada bahan makanan yang berasal dari tumbuhtumbuhan, misalnya serealia. Seseorang yang banyak makan nasi, tetapi kurang makan sayur-sayuran serta buah-buahan dan lauk pauk, akan dapat menjadi anemia (Husaini 1978 diacu dalam Syarief 1994). Beberapa jenis sayuran hijau juga mengandung asam oksalat yang dapat menghambat penyerapan besi, namun efek menghambatnya relatif lebih kecil dibandingkan asam fitat dalam serealia dan tanin yang terdapat dalam teh dan kopi (Almatsier 2000). Kopi dapat menurunkan penyerapan besi bila dikonsumsi setelah makan sebesar 39 persen karena kopi mengandung zat polifenol yang dapat mengikat besi (Morck et al. 1983). Tanin yang terdapat dalam teh dan kopi dan beberapa jenis sayuran dan buah juga menghambat absorpsi besi dengan cara mengikatnya (Almatsier 2000). Absorpsi zat besi pada diet yang banyak mengandung makanan yang tinggi kandungan tanin akan menurun sekitar 1-2 persen (UNICEF 1998). Apabila makanan yang dikonsumsi setiap hari tidak cukup banyak mengandung zat besi atau absorpsinya rendah, maka ketersediaan zat besi untuk tubuh tidak cukup memenuhi kebutuhan akan zat besi. Hal ini terutama terjadi pada orang-orang yang mengonsumsi makanan yang kurang beragam, seperti menu makanan yang hanya terdiri dari nasi dan kacang-kacangan. Akan tetapi, apabila di dalam menu terdapat pula bahan-bahan makanan yang meninggikan absorpsi zat besi seperti daging, ayam, ikan, dan vitamin C, maka ketersediaan zat besi yang ada dalam makanan dapat ditingkatkan sehingga kebutuhan akan zat besi akan terpenuhi (Husaini 1989). Gaya Hidup Gaya hidup merupakan ciri pribadi yang dimiliki oleh setiap orang. Sebagai ciri atau karakteristik, gaya hidup banyak berpengaruh terhadap tingkah laku dalam kehidupan individu dan dengan kata lain, gaya hidup merupakan disposisi atau watak yang melatarbelakangi perilaku, reaksi atau respon seseorang terhadap diri dan lingkungan yang mempengaruhinya (Mulyono 1994

12

dalam Andiyani 2007). Selanjutnya menurut Sanjur (1982) dalam Andiyani (2007), gaya hidup adalah hasil pengaruh beragam peubah bebas yang terjadi di dalam keluarga atau keluarga. Peubah yang membentuk gaya hidup termasuk penyediaan materi, sifat situasi, kerangka ide budaya dan sifat-sifat psikologis serta kesehatan. Gaya hidup merupakan hasil penyaringan dari sekumpulan interaksi sosial, budaya, keadaan dan hasil pengaruh beragam variabel bebas yang terjadi di dalam keluarga atau rumah tangga. Gaya hidup dapat diartikan sebagai cara hidup masyarakat. Gaya hidup seperti kegiatan merokok, konsumsi alkohol dan aktifitas fisik turut berperan dalam menentukan status kesehatan (Suharjo 1989). Konsumsi Alkohol Alkohol merupakan minuman yang hanya mengandung energi dan bersifat diuretik. Metabolisme alkohol akan membutuhkan vitamin B1 dan niasin. Sifat diuretik dari alkohol juga akan mengurangi vitamin-vitamin B, vitamin C, mineral kalsium, kalium, dan magnesium. Minum alkohol secara berlebihan dapat menurunkan penyerapan asam folat (Anonim 2007). Alkohol juga akan menurunkan nafsu makan sehingga tubuh terhalang untuk memperoleh asupan konsumsi gizi seimbang (Anonim 2009 & Khomsan 2002). Riwayat Penyakit Infeksi dan parasit dapat menyebabkan anemia melalui peningkatan kehilangan zat gizi terutama besi. Prevalensi anemia yang tinggi pada laki-laki sering disebabkan karena infeksi dan parasit (Yip 1994). Penyakit-penyakit yang dapat menjadi penyebab anemia antara lain malaria, HIV, cacing tambang, dan diare kronis. Malaria. Penyakit malaria dapat menyebabkan penurunan absorpsi besi selama periode sakit dan dari hasil hemolisis intravaskuler dapat menyebabkan rendahnya kadar hemoglobin. Plasmodium falciparum malaria merupakan penyebab utama dari anemia berat pada daerah Afrika tropis. Malaria berkontribusi sekitar 60% dari semua kasus anemia tingkat berat pada bayi di Tanzania, sementara kekurangan besi terhitung sebanyak 30%. Kekurangan besi dan malaria dapat memperberat anemia (Menendez et al. 1994). Infeksi HIV. Infeksi HIV secara kuat berhubungan dengan anemia, terutama di Afrika dan dapat meningkatkan risiko perkembangan penyakit lainnya. Lebih dari 70% individu yang AIDS mengalami anemia. Anemia mungkin disebabkan oleh penyakit kronis; defisiensi zat gizi; ketidakseimbangan faktor pertumbuhan yang

13

berakibat dari aksi HIV pada makrofag, fibroblas, dan sel T; infeksi parvovirus B19 yang tidak terkontrol; dan overdosis (Bain 1997). Infeksi Cacing Tambang. Cacing tambang menginfeksi hampir 1 milyar individu dan menyebabkan kehilangan darah dari mukosa usus (Stephenson 1987). Semakin banyak jumlah cacing tambang, maka semakin banyak darah dan besi yang hilang. Kehilangan darah akibat infestasi cacing tambang dapat menyebabkan anemia tingkat sedang dan berat (Gillespie & Johnston 1998). Jumlah cacing tambang yang cukup banyak dapat menyebabkan kehilangan besi yang lebih banyak dan kehilangan besi pada feses sebanyak 3.4 mg per hari. Remaja dan dewasa lebih mudah terinfeksi dibandingkan bayi dan anak-anak (Stephenson 1987). Diare. Menurut UNICEF (1998), diare dapat memperberat kejadian anemia. Diare adalah buang air besar dalam bentuk cairan lebih dari tiga kali dalam satu hari dan biasanya berlangsung selama dua hari atau lebih. Orang dengan HIV sering mengalami diare. Diare dapat menjadi masalah berat. Diare yang ringan dapat pulih dalam beberapa hari. Namun, diare yang berat dapat menyebabkan dehidrasi (kekurangan cairan) atau masalah gizi yang parah. Hal ini membuat tubuh tidak dapat berfungsi dengan baik dan dapat membahayakan jiwa, khususnya pada anak dan orang tua. Adapun penyebab diare adalah 1) Infeksi dari berbagai bakteri yang disebabkan oleh kontaminasi makanan maupun air minum; 2) Infeksi berbagai macam virus; 3) Alergi makanan, khususnya susu atau laktosa (makanan yang mengandung susu) 4) Parasit yang masuk ke tubuh melalui makanan atau minuman yang kotor (Yayasan Spiritia 2008). Tanda-tanda dari penyakit diare adalah 1) Buang air besar cair, 2) Muntah, 3) Tidak nafsu makan, 4) badan lesu dan lemah, 5) Mata cekung, 6) Bibir kering, 7) Tangan dan kaki dingin, dan 8) Kadang disertai kejang dan panas tinggi (Dinkes DKI Jakarta 2007). Citra Tubuh Citra tubuh adalah keyakinan individu terhadap tubuhnya, citra tubuh yang negatif dapat menimbulkan suatu gangguan citra tubuh. Salah satu gangguan citra tubuh adalah overestimation yaitu mempersepsikan tubuhnya lebih besar dari keadaan yang sesungguhnya. Hasil penelitian Santy (2006) menunjukkan bahwa sebanyak 52.6 persen remaja mengalami distorsi persepsi (overestimation) terhadap tubunya. Citra tubuh yang keliru sering diikuti oleh pembatasan konsumsi makanan dengan tidak memperhatikan kaidah gizi dan

14

kesehatan. Akibatnya, asupan gizi secara kuantitas dan kualitas tidak sesuai dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan (Santy 2006). Penelitian di kota Bogor menujukkan sekitar 20 persen perempuan dewasa yang memiliki status gizi normal beranggapan dirinya gemuk (Hardinsyah 1998 diacu dalam Hardinsyah 2007). Data survei IMT yang dilakukan oleh Depkes (2003) diacu dalam Hardinsyah (2007) menunjukkan bahwa seperenam jumlah perempuan yang bergizi baik merasa mengalami kegemukan.