HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DENGAN MENTAL EMOSIONAL ANAK USIA

Download Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita ... perkembangan mental dan emosional pada anak. Orangtua memiliki cara dan ...

2 downloads 717 Views 1MB Size
Sukesi, S.Kep., Ns., M.Kes.

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DENGAN MENTAL EMOSIONAL ANAK USIA PRASEKOLAH

Diterbitkan oleh: Forum Ilmiah Kesehatan (Forikes) Ponorogo, 2015

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DENGAN MENTAL EMOSIONAL ANAK USIA PRASEKOLAH Oleh: Sukesi, S.Kep., Ns., M.Kes.

Forum Ilmiah Kesehatan (FORIKES)

i

FORIKES HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DENGAN MENTAL EMOSIONAL ANAK USIA PRASEKOLAH Oleh: Sukesi, S.Kep., Ns., M.Kes. ISBN: 978-602-1081-04-4 Diterbitkan Oleh: Forum Ilmiah Kesehatan (FORIKES) © 2015 Forum Ilmiah Kesehatan (Forikes) Jl. Cemara, RT. 01, RW. 02, Ds./Kec. Sukorejo, Ponorogo E-mail: [email protected], Telepon: 085235004462

Editor: Suparji Desain kulit muka : Heru Santoso Wahito Nugroho

Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang Dilarang mengutip, memperbanyak dan menerjemahkan sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

Cetakan Pertama 2015

ii

KATA PENGANTAR Memahami pertumbuhan perkembangan anak adalah sangat penting bagi orang tua agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, bisa berhasil dalam kehidupannya kelak baik dalam karier, studi maupun dalam hidup bermasyarakat. Mengenali dan memahami pertumbuhan dan perkembangan anak menjadi sebuah keharusan bagi orang tua agar bisa mempersiapkan anak dalam menghadapi kehidupannya dengan baik dan terarah kepada hal-hal yang positif. Anak-anak akan berhadapan dengan tuntutan hidup yang lebih sulit karena pengaruh lingkungannya yang menjadi sangat luas. Kemampuan anak mengatur dirinya sangat diperlukan untuk menghadapi kehidupan sekarang dan di masa yang akan datang. Untuk itu anak perlu diasuh dengan baik. Pengasuhan anak pada usia di bawah 6 tahun sangat menentukan kepribadian anak kelak. Oleh karena itu pengasuhan di lingkungan keluarga amatlah penting artinya. Buku hasil penelitian bidang ilmu kesehatan anak ini membahas tentang fenomena pola asuh orang tua terhadap mental emosional anak secara sistematis: pemahaman terhadap latar belakang masalah sampai dengan pembahasan dari hasil analisis data. Dalam melakukan penelitian dengan hasil yang memuaskan secara ilmiah, sudah seharusnya menggunakan berbagai buku rujukan. Saya berharap Buku referensi ilmiah ini dapat memberikan kontribusi bagi dosen khususnya bidang ilmu kesehatan anak sebagai bahan rujukan. Saya menyadari bahwa buku referensi ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran, masukan maupun kritik akan diterima dengan senang hati dan terbuka demi perbaikan selanjutnya. Surabaya, 2015 Penulis Sukesi, S.Kep., Ns., M.Kes

iii

DAFTAR ISI Halaman Judul 1 -i Halaman Judul 2 -ii Kata Pengantar -iii Daftar Isi -iv BAB 1

BAB 2

BAB 3 BAB 4

BAB 5 BAB 6

PENDAHULUAN -1 1.1 Latar Belakang Masalah -1 1.2 Rumusan Masalah -5 1.3 Tujuan Penelitian -5 1.4 Manfaat Penelitian -6 TINJAUAN PUSTAKA -7 2.1 Pola asuh-8 2.2 Perkembangan emosi -27 2.3 Anak usia prasekolah -34 2.4 Konsep Dasar Perkembangan Emosi Anak Usia Prasekolah -39 KERANGKA KONSEPTUAL & HIPOTESIS -68 3.1 Kerangka Konseptual Penelitian -68 3.2 Hipotesis Penelitian -70 METODE PENELITIAN -71 4.1 Jenis Penelitian -71 4.2 Rancangan Penelitian -71 4.3 Lokasi dan waktu penelitian -72 4.4 Populasi -72 4.5 Sampel, Besar Sampel, Cara Pengambilan Sampel -73 4.6 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional -75 4.7 Prosedur pengumpulan data dan Instrumen pengumpulan data -79 4.8 Pengolahan dan analisis data -81 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN -83 SIMPULAN DAN SARAN -123

DAFTAR PUSTAKA -126

iv

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita, karena pada masa ini merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan dasar yang akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya. Kualitas anak masa kini merupakan penentu kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang. Oleh karena itu anak harus dipersiapkan agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Tumbuh dan berkembang secara optimal dapat tercapai apabila ada interaksi yang saling berkaitan antara faktor genetik dan lingkungan bio-psiko-sosial dan perilaku. Interaksi anak dan orang tua, terutama peranan orang tua yang sangat bermanfaat bagi proses perkembangan anak secara keseluruhan (Soetjiningsih, 2002). Hak dan kewajiban anak sesuai dengan UU No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dalam bab III pasal 4 : “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Anak adalah tunas bangsa, potensi dan generasi muda penerus cita cita perjuangan bangsa memiliki peran dalam menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Perkembangan anak terdiri beberapa aspek salah satunya adalah perkembangan emosi (Hurlock EB, 1991). Perkembangan kecerdasan pada masa pra sekolah 1

2

(3-6 tahun) mengalami peningkatan, pada usia ini anak memiliki rasa ingin tahu dan sikap antusias yang kuat terhadap segala sesuatu, memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai laki-laki atau wanita dan mengenal beberapa hal yang dianggapnya berbahaya. Untuk perkembangan emosionalnya pada masa usia prasekolah anak sudah mulai menyadari akunya, bahwa akunya (dirinya) berbeda dengan anak yang lain dan menuntut pengakuan dari lingkungannya (Yusuf, 2011). Jika perkembangan emosi anak terganggu sejak awal dikawatirkan akan terbawa hingga dewasa yang dapat memicu timbulnya permasalahan yang lebih berat lagi. Pada masa usia prasekolah selain sebagai masa peka, usia balita juga disebut sebagai “periode kritis” karena dalam masa ini diletakkan dasar untuk perkembangan struktur kepribadian individu. Sebagaimana diungkapkan Freud (dalam Mashar, 2011) berbagai gangguan psikologis yang dialami seseorang timbul karena adanya pengalaman yang tidak menyenangkan (traumatis) di masa anak. Kekurangan kasih sayang , perpisahan dengan ibu, kekerasan dan kegagalan dalam memenuhi kebutuhan pada masa prasekolah akan menimbulkan kecemasan yang dapat menghambat perkembangan mental atau bahkan gangguan perilaku yang serius. Hal ini menunjukkan pentingnya upaya pengembangan seluruh potensi anak pada usia prasekolah. Masalah tingkah laku dalam proses perkembangan dapat timbul tidak hanya tertuju pada pertumbuhan fisik saja tetapi juga pada perkembangan mental dan emosional. Beberapa bentuk permasalahan emosi hasil survey yang dilakukan oleh Izzaty pada tahun

3

2005 di Taman Kanak-kanak di Yogyakarta adalah agresivitas, kecemasan, temper tantrum, sulit konsentrasi, gagap atau kesulitan berkomunikasi, menarik diri, enuresis dan encopresis, berbohong, menangis berlebihan, bergantung, pemalu, dan takut yang berlebihan (Mashar R, 2011). Menurut Yusuf (2011) prevalensi permasalahan pada anak berkisar dari 3,5% untuk masalah perhatian dan hiperaktivitas, 10,4% untuk masalah kecemasan, dan 21,9% untuk ganggguan pada tingkah laku. Sedangkan berdasarkan data rekam medik yang ada di Unit Rawat Jalan Poli Tumbuh Kembang Anak RSU Dr Soetomo Surabaya pada tahun 2011 ditemukan adanya gangguan perkembangan sebesar 1887 anak yang meliputi : gangguan motorik 521 anak (27,61%), gangguan personal sosial 302 anak (16%), gangguan bicara 622 (32,96%), gangguan perkembangan yang lain 442 anak (23,42%). Selain hal tersebut menurut Mashar (2011) pada akhir-akhir ini telah terjadi peningkatan kasus bunuh diri pada anak berusia di bawah 15 tahun sebesar 120% (0,8-1,7 per 100.000/tahun), dan gangguan psikologis kecemasan, stress, frustasi, agresifitas, perilaku anarkis dan gangguan emosi lain. Perilaku menyimpang pada anak seperti kasus bunuh diri merupakan salah satu indikasi ketidakpastian anak menyikapi kondisi lingkungan sekitarnya. Rasa kecewa, malu, amarah dan perasaan negatif yang bersifat destruktif bersumber pada ketidak mampuan anak mengenali dan mengelola emosi. Hasil pengamatan di TK Al-Hikmah Mojo Surabaya yang terdiri dari gabungan TK A dan TK B, peneliti menemukan dari 160 anak, terdapat 50 anak (31,25%) yang kemungkinan

4

mengalami masalah perkembangan emosi yaitu 23 anak (46%) tidak mampu mengendalikan emosinya seperti pemarah dan bereaksi berlebihan tanpa sebab yang jelas, 20 anak (40%) pemalu, 4 anak (8%) kurang mampu mengadakan interaksi sosial yang baik dan 3 orang (6%) masih suka menangis. Menurut Hurlock (1991), faktor yang mempengaruhi perkembangan mental dan emosional adalah keluarga, lingkungan, sekolah, dan kesehatan. Faktor keluarga, terutama pola asuh orang tua, mempunyai peranan terbesar terhadap gangguan perkembangan mental dan emosional pada anak. Orangtua memiliki cara dan pola tersendiri dalam mengasuh dan membimbing anak. Pengaruh pola asuh orangtua akan berdampak besar pada kehidupan anak di kemudian hari. Seperti pola asuh orangtua yang demokratis yang ditujukan dengan kepedulian orangtua pada masalah yang dihadapi anaknya akan mendukung terbentuknya anak yang mampu mengeksplorasi emosinya. Sebaliknya pola asuh orang tua yang permisif dan otoriter akan menghasilkan pengalaman traumatik pada anak, agresif, kecemasan dan mudah putus asa (Yusuf, 2011). Banyak orangtua yang keliru dalam memperlakukan anak karena ketidaktahuan mereka akan cara membimbing dan mengasuh yang benar. Apabila hal ini terus terjadi, maka pertumbuhan dan perkembangan anak akan terganggu (Santrock, 2007). Masalah mental emosional anak prasekolah dapat terjadi karena adanya beberapa faktor. Salah satunya adalah pergeseran peran orangtua. Karena tuntutan ekonomi yang semakin tinggi menyebabkan pergeseran

5

peran orangtua yang lebih memilih sebagai pekerja kantor. Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya hambatan hubungan orangtua dengan anak, terutama komunikasi, kedekatan emosional dan waktu bersama. Lingkungan juga turut memberikan peran dalam mempengaruhi perkembangan emosi anak. Ketegangan yang terjadi secara terus menerus, jadwal yang ketat, perlakuan otoriter dan terlalu banyak pengalaman yang menggelisahkan dapat menjadikan anak menjadi lebih mudah berselisih paham, mudah marah dan menjadi lebih penakut (Hurlock, 1991). Dampak yang dapat terjadi pada anak yaitu anak menjadi tidak percaya diri, tidak berkarakter, kurang terampil, lebih agresif, lebih mudah marah, kurang menghargai, sopan santun dan kesepian (Goleman, 2000). Akibat dari dampak tersebut akan menghambat perkembangan mental emosional anak. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskankan diatas maka rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah : Adakah hubungan antara pola asuh dengan mental emosional anak usia prasekolah ? 1.3

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan maka tujuan penelitian ini adalah mengkaji dan menganalisis: 1. Pola asuh pada anak usia prasekolah. 2. Mental emosional anak usia prasekolah

6

3. Hubungan antara pola asuh dengan mental emosional anak usia prasekolah. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis, praktis maupun orang tua sebagai berikut: 1. Teoritis Hasil penelitian ini dapat menjelaskan hubungan pola asuh dengan masalah mental emosional anak usia prasekolah di Taman Kanak-Kanak sehingga dapat digunakan sebagai kerangka dalam pengembangan ilmu keperawatan anak yang berhubungan dengan penanganan masalah mental emosional anak usia prasekolah. 2. Praktis a. Hasil penelitian ini dapat menjadi penunjang kajian keperawatan anak terutama tentang pentingnya penerapan pola asuh yang tepat dalam mengurangi masalah mental emosional anak usia prasekolah. b. Memberikan masukan bagi tenaga pendidik dalam meningkatkan perkembangan emosi anak usia pra sekolah. c. Memberikan informasi bagi penelitian selanjutnya terkait tentang pola asuh orang tua dan masalah mental emosional anak usia prasekolah. 3. Bagi orang tua/ yang diteliti Dari hasil penelitian ini, anak terdeteksi mental emosionalnya dan sebagai dasar untuk melakukan

7

tindakan dalam mempersiapkan anak untuk dapat berkembang secara optimal, berprestasi dan berpotensi

8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pola Asuh 2.1.1 Pengertian pola asuh Pola asuh orangtua adalah cara orang tua memperlakukan anaknya dengan menjaga, merawat, dan mendidik anaknya. Dari cara perlakuan orang tua akan mencerminkan karakteristik tersendiri yang mempengaruhi pola sikap anak di kemudian hari. Berikut ini adalah beberapa pengertian tentang pola asuh: 1 Menurut Baumrind yang dikutip oleh Yusuf (2011), mendefinisikan pola asuh sebagai pola sikap atau perlakuan orang tua terhadap anak yang masingmasing mempunyai pengaruh tersendiri terhadap perilaku anak antara lain terhadap kompetensi emosional, sosial, dan intelektual anak. 2 Pola asuh adalah cara pendekatan orang dewasa kepada anak dalam memberikan bimbingan, arahan, pengaruh dan pendidikan supaya anak menjadi dewasa dan mampu berdiri sendiri (Soegeng, 2004). 3 Pola asuh orang tua merupakan gambaran tentang sikap dan perilaku orang tua dan anak berinteraksi, berkomunikasi selama mengadakan kegiatan asuh (Dewi, 2008).

9

2.1.2 Jenis pola asuh orang tua Jenis pola asuh orang tua yang diterapkan oleh orang tua adalah sebagai berikut: 1. Pola asuh otoriter Pengasuhan otoriter adalah gaya yang membatasi dan menghukum, mendesak anak untuk mengikuti arahan mereka dan menghormati pekerjaan dan upaya mereka. Orang tua yang otoriter menerapkan batas dan kendali yang tegas pada anak dan meminimalisir perdebatan verbal, sering memukul anak, memaksakan aturan secara kaku tanpa menjelaskannya. Anak dari orang tua otoriter seringkali tidak bahagia, ketakutan, minder, tidak mampu memulai aktivitas dan memiliki kemampuan komunikasi yang lemah (Santrock, 2007) 2. Pola asuh permisif Santrock (2007) membagi pola asuh permisif menjadi dua, yaitu pola asuh yang mengabaikan dan pola asuh yang menuruti. Pola asuh yang mengabaikan adalah jenis pola mengasuh anak yang tidak terlibat dalam kehidupan anak. Anak-anak yang orang tuanya menggunakan pola asuh mengabaikan mengembangkan suatu perasaan bahwa aspek lain kehidupan orang tua lebih penting daripada diri mereka. Anak cenderung tidak memiliki kemampuan sosial, pengendalian diri yang buruk dan tidak mandiri. Dalam masa remaja mereka mungkin menunjukkan sikap suka membolos dan nakal.

10

3.

Sedangkan pola asuh yang menuruti adalah merupakan gaya pengasuhan orang tua yang sangat terlibat dalam kehidupan anak, namun tidak terlalu menuntut atau mengontrol anak. Orang tua membiarkan anak melakukan apa yang ia inginkan sehingga anak tidak pernah belajar mengendalikan perilakunya sendiri dan selalu berharap mendapatkan keinginannya. Pola Asuh Demokratis Pola asuh demokratis adalah pola asuh orang tua pada anak yang mendorong anak-anak agar mandiri namun masih menerapkan batas-batas dan pengendalian atas tindakan-tindakan mereka. Orang tua memperlihatkan sikap yang hangat dan penyayang terhadap anak. Orang tua menunjukkan kesenangan dan dukungan sebagai respon terhadap perilaku konstruktif anak. Anak-anak yang mempunyai orang tua yang demokratis sering kali ceria, bisa mengendalikan diri, mandiri , ramah dengan teman sebaya, dapat bekerja sama dan bisa mengatasi stress (Santrock, 2007)

2.1.3 Ciri-ciri pola asuh Menurut Diana Baumrind (dikutip oleh Yusuf, 2011), ciri masing-masing pola asuh orangtua antara lain : 1. Ciri Pola asuh otoriter. Sikap atau perilaku orang tua dengan gaya pengasuhan otoriter adalah sebagai berikut ;

11

a.

2.

3.

Sikap acceptance rendah, namun kontrolnya tinggi b. Suka menghukum secara fisik c. Bersikap mengomando (mengharuskan/memerintah anak untuk melakukan sesuatu tanpa kompromi) d. Bersikap kaku (keras) e. Cenderung emosional dan bersikap menolak Ciri Pola asuh permisif Sikap atau perilaku orang tua yang gaya pengasuhannya permisif antara lain : a. Sikap acceptance nya tinggi namun kontrolnya rendah b. Memberi kebebasan kepada anak untuk menyatakan dorongan/ keinginannya. Ciri Pola Asuh Demokratis a. Sikap acceptance dan kontrolnya tinggi b. Bersikap responsif terhadap kebutuhan anak c. Mendorong anak untuk menyatakan pendapat atau pertanyaan d. Memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik dan yang buruk

2.1.4 Pengaruh pola asuh terhadap anak Yusuf (2011) juga menjelaskan bahwa masingmasing pola asuh akan memberikan pengaruh yang berbeda-beda pada anak. 1. Pengaruh Pola Asuh Otoriter terhadap Anak a. Anak mudah tersinggung b. Anak penakut

12

c. Pemurung, tidak bahagia d. Mudah terpengaruh e. Mudah stress f. Tidak mempunyai arah masa depan yang jelas g. Tidak bersahabat 2. Pengaruh Pola Asuh Permisif terhadap Anak a. Bersikap impulsif dan agresif b. Suka memberontak c. Kurang memiliki rasa percaya diri dan pengendalian diri d. Suka mendominasi e. Tidak jelas arah hidupnya f. Prestasinya rendah 3. Pengaruh Pola Asuh Demokratis terhadap Anak a. Bersikap bersahabat b. Memiliki rasa percaya diri c. Mampu mengendalikan diri d. Bersikap sopan e. Mau bekerja sama f. Memiliki rasa ingin tahunya yang tinggi g. Mempunyai tujuan/arah hidup yang jelas h. Berorientasi terhadap prestasi Coleman JC (1980) berpendapat bahwa sikap dari orang tua dan anak dalam berbagai keadaan pada masa perkembangan kepribadian anak dapat timbul/terjadi karena berbagai hal. Sikap orang tua dan berbagai keadaan anak pada masa perkembangan dapat dilihat pada tabel berikut.

13

Tabel 2.1 Sikap orang tua dan berbagai keadaan anak pada masa perkembangan Pengaruh Terhadap Perkembangan kepribadian Penolakan 1 (Rejected) Merasa gelisah/diasingkan, melawan orang tua, mencari bantuan kepada orang lain, tidak mampu memberi dan menerima kasih sayang 2 Melindungi anak Kurang berani dalam pekerjaan, lekas secara berlebihan menyerah, pasif dan bergantung kepada (Overprotection) orang lain, ingin menjadi anak emas, kurang kreatif 3 Melindungi anak Hanya memikirkan dirinya sendiri, secara berlebihan selalu menuntut, tidak tahan kecewa, karena memanjakan lebih berkecil hati, kurang bertanggung (Overpermissiveness)jawab, ingin menarik perhatian untuk diri sendiri, cenderung menolak peraturan dan minta diistimewakan 4 Menentukan norma- Menilai dirinya & hal lain dengan norma etika dan norma yang terlalu keras dan tinggi, moral terlalu tinggi menjadi kaku dan keras kepala, (Perfectionism) cenderung menjadi sempurna, lekas merasa bersalah/tidak berarti 5 Disiplin yang terlalu Menilai dan menuntut pada dirinya keras terlalu keras juga, selalu memerlukan penghargaan tinggi dari luar 6 Disiplin yang tidak Sikap terhadap nilai dan norma juga teratur atau yang tidak teratur, sering ragu-ragu dalam bertentangan membuat keputusan 7 Perselisihan orang Gelisah dan merasa kurang disayang, tua sikap bermusuhan & agresivitas 8 Perceraian Merasa terasing, gelisah & cemas, rasa setianya berpindah dari ibu ke ayah atau sebaliknya Sumber: Coleman JC (1980)

No

Sikap Orang tua

14

2.1.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh Beberapa faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua terhadap anak antara lain: 1. Lingkungan tempat tinggal Suatu lingkungan tempat tinggal akan mempengaruhi cara orang tua dalam menerapkan gaya pengasuhan yang dilakukan orangtua terhadap anaknya. Hal ini terlihat pada keluarga yang tinggal di kota-kota besar, maka kemungkinan orangtua akan banyak mengontrol perilaku anaknya, karena merasa khawatir akan banyaknya pengaruh-pengaruh pergaulan yang buruk bagi anaknya. Sedangkan pada keluarga yang tinggal di kota-kota kecil ataupun daerah pedesaan, orangtua akan lebih longgar kepada anak karena pengaruh pergaulan yang belum terlalu komplek seperti di kotakota besar lainnya (Mussen, 1994). 2. Pendidikan orangtua Pendidikan orangtua akan mempengaruhi cara pengasuhan orangtua terhadap anak. Pendidikan orang tua yang rendah cenderung lebih otoriter dibandingkan orang tua yang berpendidikan tinggi, yang lebih mengutamakan kehangatan, kasih sayang dengan tetap memberikan batas-batas pengendalian (Mussen, 1994). Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalaian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan untuk dirinya,

15

masyarakat, bangsa dan Negara (Depdiknas, 2003). Jenjang pendidikan adalah tahapan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai dan kemampuan yang dikembangkan (Depdiknas, 2003). 3. Kelas sosial dan status ekonomi Keluarga dari kelas sosial yang berbeda memiliki pandangan yang berbeda dalam cara mengasuh anak. Menurut Sigelman & Shafefer 1995 dalam Yusuf 2011 telah membandingkan orangtua kelas menengah dan kelas bawah atau pekerja. Hasilnya menunjukkan bahwa orangtua kelas bawah atau pekerja cenderung sangat menekankan kepatuhan, respek terhadap otoritas, lebih restriktif (keras) dan otoriter, kurang memberikan alasan kepada anak, kurang bersikap hangat dan memberikan kasih sayang kepada anak. Adapun pengaruh status ekonomi terhadap pengasuhan orangtua kepada anak adalah orangtua dari status ekonomi rendah cenderung lebih menekankan kepatuhan kepada figur-figur yang mempunyai otoritas, kelas menengah dan atas cenderung menekankan kepada pengembangan inisiatif, keingintahuan dan kreatifitas anak. Sedangkan menurut Santrock (2007), orang dengan status ekonomi yang lebih rendah, maka cenderung (1) menggunakan hukuman fisik lebih banyak dalam mendisiplinkan anak mereka, (2) menciptakan suasana rumah dimana orang tua memiliki otoritas atas anak, (3) lebih mengatur serta kurang suka mengadakan percakapan dengan anak. Orang tua dengan status ekonomi yang lebih tinggi (1) lebih peduli pada

16

pembentukan inisiatif anak, (2) anak diposisikan hampir setara dan aturan didiskusikan bukan ditetapkan secara otoriter, (3) lebih sedikit menggunakan hukuman fisik dan (4) tidak mengatur serta lebih membuka percakapan dengan anak. 2.1.6 Prinsip mengasuh anak Mengasuh anak membutuhkan pengetahuan, keterampilan, pengalaman dan kesabaran orang tua. Beberapa prinsip dasar yang sebaiknya diterapkan dalam mengasuh anak adalah: 1. Penuh kasih sayang Menurut Solichin (2001) sejak kecil anak dapat merasakan bahwa ia disayangi, disenangi, diperhatikan, diterima dan dihargai. Kasih sayang yang diberikan kepada anak ditunjukkan secara wajar sesuai dengan usia anak, misalnya dengan cara mencium, membelai, memuji, menepuk bahunya, mengucapkan kata-kata yang menghibur atau meneguhkan dan lain-lain. Kasih sayang orang tua harus : a. Tetap (konstan) dan tulus, artinya ada sepanjang masa, bahkan pada saat anak berbuat salahpun dia tetap merasakan bahwa dia disayangi. b. Nyata sehingga anak benar-benar merasakan adanya kasih sayang tersebut. Suasana kasih sayang penting dikembangkan di dalam keluarga, terutama dalam kehidupan orang tua sebagai suami isteri yang akan menjadi contoh

17

langsung bagi anak. Kasih sayang dan kesetiaan orang tua akan menimbulkan perasaan aman di dalam keluarga, sehingga keluarga menjadi tempat berkembangnya anak dengan baik dan hal ini akan mendorong terbentuknya kasih sayang dalam jiwa dan sanubari anak. Anak yang dibesarkan dalam suasana kasih sayang akan menjadi orang yang bisa menyayangi dan dapat membalas kasih sayang orang lain. Yusuf (2011) juga berpendapat bahwa sikap dan perlakuan orang tua yang baik adalah yang memberikan curahan kasih sayang yang ikhlas kepada anak serta memelihara hubungan yang harmonis antar anggota keluarga. Hubungan yang harmonis, penuh pengertian dan kasih sayang akan membuahkan perkembangan perilaku yang baik bagi anak. 2. Penanaman disiplin yang membangun. Dalam mengasuh anak sebaiknya ditentukan batasan dari perilaku anak yang merupakan tata tertib dalam keluarga. Hal ini akan merupakan pedoman bagi anak, sehingga anak dapat mengerti perilaku apa yang diperbolehkan dan perilaku mana yang tidak diperbolehkan. Dengan adanya tata tertib, anak juga dilatih agar mengenal disiplin sehingga anak dapat mengendalikan diri serta bertanggung jawab. Hal ini sangat penting apabila anak kelak sudah dewasa, agar anak dapat menyesuaikan diri dengan norma dan aturan yang ada di masyarakat (Solichin, 2001). Ada sepuluh cara menanamkan disiplin pada anak, yaitu :

18

a. Konsisten (tidak berubah) Menanamkan disiplin pada anak sebaiknya ada kesepakatan antara ayah dan ibu sehingga setiap tindakan dalam menanamkan disiplin tidak berubah-ubah. Apabila terjadi perbedaan pendapat antara ayah dan ibu agar diselesaikan berdua tanpa diketahui oleh anak. Anak memerlukan panduan yang jelas agar tidak membingungkan. b. Jelas Peraturan yang diberikan sederhana dan jelas sehingga anak mudah melakukannya serta menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti oleh anak. c. Memperhatikan harga diri anak Apabila anak berbuat suatu kesalahan, anak perlu ditegur agar anak mengerti bahwa perbuatannya tidak baik dan tidak perlu diulangi lagi. Cara menegur harus memperhatikan kemampuan anak untuk memahaminya. Apabila memungkinkan, janganlah menegur anak di hadapan orang lain, karena hal ini akan membuat anak merasa malu sehingga anak akan tetap mempertahankan tingkah lakunya tersebut. d. Beralasan dan dapat dimengerti Alasan dari tata tertib yang dilakukan oleh orang tua perlu dijelaskan kepada anak, sehingga anak melakukannya dengan penuh kesadaran. Namun pada situasi tertentu orang tua perlu memahami keadaan anak. Hal ini akan menambah dekatnya hubungan orang tua dan anak. e. Memberikan hadiah

19

Hadiah berupa pujian, penghargaan, atau barang diberikan jika anak berbuat sesuai dengan yang diharapkan orang tua. Hal ini akan menumbuhkan rasa percaya diri pada anak. Pemberian hadiah adalah pengalaman menyenangkan bagi anak, sehingga akan mendorong anak untuk mengulangi perbuatan yang sama. Sedangkan untuk anak yang tidak pernah dihargai keberhasilannya anak akan menjadi tidak bersemangat untuk berusaha. f. Hukuman Pemberian hukuman pada dasarnya bertujuan untuk menunjukkan kepada anak bahwa perbuatannya salah, namun harus sangat berhati-hati dalam memilih jenis hukuman yang akan diberikan, jangan sampai menyakiti fisik ataupun jiwa anak. Pemberian hukuman harus disesuaikan dengan kesalahan anak, segera dilakukan dan tidak ditunda, agar anak dapat menghubungkan perbuatannya dengan hukuman yang anak terima. Dengan demikian anak akan mengerti mengapa ia harus dihukum. Hal ini akan membuat anak berusaha untuk tidak mengulangi perbuatannya itu, tidak menimbulkan rasa dendam dan tidak akan kehilangan kepercayaan kepada dirinya. Hukuman diberikan secara bertahap yaitu mula-mula hanya sekedar peringatan dan pemberian nasehat, lalu berupa teguran yang disertai dengan pemberitahuan mengenai macam hukuman yang bisa diberikan, kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan pemberian hukuman. Hukuman merupakan pilihan terakhir dalam proses pengasuhan anak.

20

g. Luwes Jangan terlalu kaku dalam menegakkan disiplin, sesuaikan dengan situasi dan keadaan anak, karena setiap anak itu unik dan mempunyai sifat yang berbeda. h. Keterlibatan anak Sebaiknya anak dilibatkan dalam membuat setiap tata tertib. Anak perlu mengetahui alasan diberlakukannya tata tertib itu, sehingga anak merasakan bahwa tata tertib itu untuk kepentingannya sendiri. i. Bersikap tegas Bersikap tegas bukan berarti bersikap kasar, baik dalam tindakan (fisik) maupun perkataan. Apabila dianggap perlu memberikan hukuman jangan terpengaruh oleh anak, tetapi tetaplah memberikan hukuman tersebut. j. Jangan emosional Dalam menghukum anak, hindari keterlibatan emosi orang tua, misalnya jika orang tua dalam keadaan jengkel, dapat menghukum anak tidak sesuai dengan kesalahannya. Sebaliknya jika orang tua dalam keadaan senang akan membiarkan saja kesalahan anak. Akibatnya anak akan bingung dalam menentukan perilaku apa yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Menurut Cooper (2009) anak usia prasekokah sudah sadar tentang cara berperilaku yang baik, maka orang tua perlu mengajarkan bersikap baik dan lembut kepada orang lain, bersikap sopan, merawat mainan dan menyimpan mainan setelah digunakan serta

21

merawat barang miliknya. Jika anak melakukan perilaku yang buruk maka orang tua sebaiknya langsung mengatasinya dengan memberinya konsekuensi kecil, sebagai contoh, bila anak mencoreti dinding dengan krayon maka mintalah anak membantu membersihkan. 3. Meluangkan waktu untuk kebersamaan Solichin (2001) berpendapat bahwa meluangkan waktu bersama anak merupakan hal yang amat penting dalam pengasuhan anak, sehingga tercipta lingkungan dan suasana yang menunjang perkembangan mereka. Luangkan waktu untuk: a. Bermain bersama dengan anak. Anak akan memperoleh kesenangan dengan bisa bermain dengan orang tuanya. b. Berbincang-bincang dengan anak saling mendengar dan menanggapi c. Melatih keterampilan sehari-hari seperti memasak, memperbaiki mainan dan lainnya, akan sangat berguna bagi anak dikemudian hari. d. Melakukan kegiatan bersama secara teratur seperti makan, menonton televisi atau berlibur bersama akan menambah semangat dan perasaan memiliki didalam keluarga. 4. Membedakan yang salah dan yang benar, yang baik dan yang buruk Anak perlu diajarkan untuk membedakan antara yang benar dan yang

22

salah serta yang baik dan yang buruk. Hal-hal yang diajarkan adalah nilai-nilai yang berlaku di lingkungan keluarga, masyarakat sekitar dan budaya bangsa, misanya adat istiadat, norma dan nilai yang berlaku. Hal ini sangat diperlukan agar anak mudah menyesuaikan diri dengan masyarakat (Solichin, 2001). Contoh dari membedakan yang salah dan yang benar, yang baik dan yang buruk adalah: a. Berlaku ramah dan jujur terhadap orang lain b. Menghargai orang lain beserta miliknya (minta ijin apabila ingin memakainya) c. Sikap dan perilaku sopan santun terhadap orang yang lebih tua d. Tidak menyakiti orang lain. Anak belajar tentang benar dan salah, baik dan buruk dari orang tuanya dan dari orang lain di lingkungannya. Pengertian tentang benar dan salah akan terjadi kalau dilakukan terus menerus dan tetap, tidak berubah-ubah dan tidak berbeda-beda. 5. Mengembangkan sikap saling menghargai Orang tua perlu menciptakan suasana saling menghargai satu sama lain, misalnya jika orang tua berbuat salah, jangan segan untuk segera meminta maaf. Orang tua juga perlu mendorong anak agar menghargai dan menghormati orang tua. Tunjukkan perhatian terhadap kegiatan anak, berlaku jujur dan tulus setiap saat, jangan pilih kasih, selalu berusaha menepati janji dan menunjukkan kepercayaan kepada anak (Solichin, 2001). Selain hal tersebut menurut Cooper (2009) orang tua juga perlu mengajari anak

23

untuk menghargai orang lain dan berperilaku sopan dengan orang lain. Jika berbicara dengan rasa hormat dan memperlakukan orang lain sejajar meskipun latar belakang agama dan budaya berbeda. Memberi anak tugas ringan di rumah misalnya memilah pakaian kotor menurut warnanya serta membagi pakaian yang telah disetrika menurut pemiliknya merupakan salah satu bentuk dorongan positif terhadap peran anak dalam rumah tangga sehingga anak merasa dilibatkan dan dihargai dalam keluarga. 6. Memperhatikan dan mendengarkan pendapat anak Orang tua memberikan perhatian kepada anak sejak usia dini dan mencoba melihat segala sesuatu dari sisi anak. Mendengarkan dan berusaha untuk mengerti pendapat anak tanpa dipengaruhi oleh pendapat orang tua. Hal ini akan membuat hubungan orang tua dan anak menjadi lebih dekat, sehingga anak dapat menyatakan perasaannya, termasuk perasaan yang baik dan yang buruk seperti rasa marah dan tidak senang, tanpa takut kehilangan kasih sayang dari orang tuanya (Solichin, 2001). Menurut Cooper (2009) orang tua adalah orang yang paling anak percayai. Jika anak ingin berbicara sebaiknya orang tua menjadi pendengar yang baik, upayakan menghentikan apapun yang sedang orang tua kerjakan, kontak mata dengannya dan duduklah agar orang tua sejajar dengan anak. Pastikan perhatian tetap padanya dan jangan biarkan pikiran melayang.

24

7. Membantu mengatasi masalah Cooper (2009) menyatakan bahwa membantu anak mengatasi masalah sehari-hari dapat membangun anak untuk merasa yakin tentang dirinya sendiri dan bangkit dari kegagalan yang dialaminya. Saat anak menghadapi sebuah tantangan dukunglah anak untuk menyelesaikan sendiri sebelum orang tua turut campur. Sedangkan pendapat Solchin (2001) anak membutuhkan bimbingan apabila ia menghadapi masalah, namun orang tua jangan memaksakan pendapatnya. Pahami masalah sesuai sudut pandang anak dan berikan beberapa pendapat serta doronglah anak untuk memilih yang sesuai dengan keadaaanya. 8. Melatih anak mengenal diri sendiri dan lingkungannya Latihlah anak mengenal dirinya. “Saya ini anak laki-laki” atau “Saya adalah anak perempuan”. Kemudian mengenal orang lain di lingkungan sekitarnya, misal: ibu, bapak, kakak, nenek, kakek , paman, bibi, teman, tetangga dan lain-lain sehingga semakin lama pengenalan anak semakin luas. Anak juga perlu dilatih mengenal emosi dan cara menyalurkan emosi yang baik agar tidak menyakiti diri sendiri dan orang lain, misalnya jika bapak ibu hendak berangkat bekerja anak menangis, maka orang tua perlu menanyakan kenapa anak menangis (tidak langsung membujuk dengan membelikan permen). Mungkin anak takut ditinggal karena merasa tidak aman, ingin ikut dengan orang tua atau karena faktor yang lainnya (dimarahi oleh pengasuhnya sewaktu orang tua tidak di rumah). Jelaskan kepada anak

25

bahwa ibu/ bapak akan pergi bekerja dan sore akan pulang. Dengan demikian anak dilatih untuk mengenali dan mengatasi perasaannya. Apabila anak marah, ia perlu dilatih untuk menyatakan perasaanya dan menyalurkan perasaan rasa marah tetapi tidak menyakiti dirinya atau orang lain. Anak juga dilatih untuk mengenali dan mengatasi berbagai emosi lainnya. 9. Mengembangkan kemandirian Rangsanglah inisiatif anak dan berikan kebebasan kepada anak untuk mengembangkan diri. Berikan kesempatan kepada anak untuk mengerjakan sesuatu menurut keinginan sendiri, asal tidak bertentangan dengan norma masyarakat. Untuk memupuk inisiatif ini, orang tua perlu memuji hasil karya anak. Jika hasil karya anak selalu di cela maka hal tersebut akan membekas terus dalam dirinya sehingga kegairahan dan kepercayaan diri anak menjadi berkurang. Anak akan acuh tak acuh malas, sukar mengambil keputusan dan selalu bergantung kepada orang lain. Anak juga harus dilatih untuk mengurus dirinya sendiri sesuai dengan usia dan jangan selalu ditolong, misalnya mencuci tangan, memakai baju, mandi, makan dan mengerjakan pekerjaan lainnya. Kalau anak melakukan kesalahan, usahanya gagal atau melakukan perbuatan yang kurang baik, beritahukan dengan cara yang mudah dimengerti oleh anak. Tunjukkan apa kesalahannya. Jelaskan, mengapa ia tidak boleh melakukannya, jangan langsung menghukumnya, apalagi tanpa

26

penjelasan. Anak akan menjadi bingung. Orang tua sebaiknya juga tidak memberikan sebutan nama yang bisa merugikan perkembangan anak, yang dikaitkan dengan kegagalannya atau perbuatannya yang salah, seperti “Si Tolol”, “Si Bodoh”, “Si Payah” dan lainlain. 10. Memahami keterbatasan anak Menurut Solichin (2001) setiap anak mempunyai kelebihan dan kekurangan. Orang tua hendaknya jangan menuntut melebihi kemampuan anak dan jangan membandingkan anak yang satu dengan yang lainnya. Cooper (2009) menyatakan bahwa anak usia enam tahun sudah mengembangkan rasa keadilan yang kuat sehingga ia ingin diperlakukan seperti saudara kandungnya. Orang tua sebaiknya membagi kasih sayang dan perhatian yang sama pada semua anak dan menghindari sikap pilih kasih untuk mencegah tumbuhnya rasa benci antar saudara kandung. Jika anak merasa terus-menerus diusik dan dibanding-bandingkan dengan saudara kandungnya maka anak akan merasa dengki dan bertingkah laku buruk hanya untuk menarik perhatian orang tua. Cara untuk menghindari sikap pilih kasih adalah dengan menerapkan aturan-aturan rumah yang sama kepada semua anak. 11. Menerapkan nilai agama dalam kehidupan seharihari Orang tua perlu mengajarkan nilai-nilai agama kepada anak sejak usia dini dan menerapkannya

27

dalam kehidupan sehari-hari. Cara yang paling baik adalah orang tua memberikan contoh dan mengajak anak untuk berlaku yang sama, misalnya berdoa sebelum melakukan kegiatan, memaafkan kesalahan orang lain, mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Tuhan dan lain-lain (Solichin, 2001). Sedangkan menurut Yusuf (2011), orang tua hendaknya membimbing , mengajarkan atau melatih ajaran agama terhadap anak, seperti berwudhu, sholat (bacaan dan gerakan), membaca doa, bersykur ketika mendapat anugerah, bersikap jujur, menjalin persaudaraan dengan orang lain. 2.2 Perkembangan Emosi 2.2.1 Pengertian Emosi

1.

2.

Berikut ini beberapa pengertian emosi: Perkembangan mental emosional didefinisikan sebagai perkembangan perasaan/ afeksi yang melibatkan suatu campuran antara gejolak fisiologis dan perilaku yang tampak (Santrock, 2007). Menurut Lazzarus (1991) dalam Mashar (2011) perkembangan emosi adalah suatu keadaan yang kompleks pada diri organisme, yang meliputi perubahan secara badaniah dalam bernafas, detak jantung, perubahan kalenjar dan kondisi mental, seperti keadaan menggembirakan yang ditandai dengan perasaan yang kuat dan biasanya disertai dorongan yang mengacu pada suatu bentuk perilaku.

28

3.

Emosi merupakan setiap keadaan pada diri seseorang yang disertai warna afektif (misal, gembira, bahagia, terkejut, benci dan sebagainya) baik pada tingkat lemah maupun pada tingkat yang luas (Yusuf, 2011)

2.2.2 Teori – Teori Emosi

1.

Adapun beberapa teori emosi yaitu Menurut Walgito (1997) dalam Marsha (2011), mengemukakan tiga teori emosi: a. Teori Sentral Menurut teori ini, gejala kejasmanian merupakan akibat dari emosi yang dialami oleh individu; jadi individu mengalami emosi terlebih dahulu baru kemudian mengalami perubahan-perubahan dalam kejasmaniannya. Sebagai contoh: orang menangis karena merasa sedih, tertawa itu gembira, lari itu karena takut, dan berkelahi itu karena marah. b. Teori Periferal Teori ini dikemukakan oleh seorang ahli yang berasal dari Amerika Serikat bernama Williams James (1842 - 1910). Menurut teori ini justru sebaliknya, gejala-gejala kejasmanian bukanlah merupakan akibat dari emosi yang dialami oleh individu, tetapi malahan emosi yang dialami individu merupakan akibat dari gejala gejala kejasmanian. c. Teori Kepribadian Menurut teori ini, emosi merupakan suatu aktivitas pribadi, dimana pribadi tidak dapat

29

2.

3.

4.

dipisah-pisahkan dalam jasmani dan psikis sebagai dua substansi yang terpisah karena itu, maka emosi meliputi pula perubahan – perubahan kejasmanian. Menurut Canon Bard dalam Yusuf (2011), merumuskan teori tentang pengaruh fisiologis terhadap emosi. Teori ini menyatakan bahwa situasi menimbulkan rangkaian pada proses syaraf. Suatu situasi yang saling mempengaruhi antara thalamus (pusat penghubung antara bagian bawah otak dengan susunan urat syaraf di satu pihak dan alat keseimbangan atau Cerebellum dengan Cerebrar Cortex (bagian otak yang terletak di dekat permukaan sebelah dalam dari tulang tengkorak, suatu bagian yang berhubungan dengan proses kerjanya pada jiwa taraf tinggi, seperti berpikir). Menurut Lindsley dalam Yusuf (2011), mengemukakan teorinya yang disebut “Activition Theory” (teori penggerakkan). Menurut teori ini emosi disebabkan oleh pekerjaan yang terlampau keras dari susunan syaraf terutama otak. Contohnya, apabila individu mengalami frustrasi, susunan syaraf bekerja sangat keras yang menimbulkan sekresi kelenjar kelenjar tertentu yang dapat mempertinggi pekerjaan otak, maka hal ini menimbulkan emosi. John B. Watson dalam Yusuf (2011), mengemukakan bahwa ada tiga pola dasar emosi, yaitu takut, marah, dan cinta (fear, anger and love). Ketiga jenis emosi tersebut menunjukkan respons tertentu pada stimulus tertentu pula, tetapi kemungkinan terjadi pula modifikasi (perubahan).

30

2.2.3 Mekanisme Emosi Emosi yang dialami oleh individu terjadi melalui beberapa tahap. Lewis dan Rosenblum dalam Yusuf (2011), mengutarakan proses terjadinya emosi melalui lima tahap, yaitu: 1. Elicitiors, yaitu adanya dorongan berupa situasi atau peristiwa. Misalnya, peristiwa didekati harimau. 2. Receptors, yaitu aktivitas di pusat system saraf. Setelah indra menerima rangsangan dari luar, dalam hal ini mata melihat mendekatnya seekor harimau, maka mata berfungsi sebagai indra penerima stimulus atau reseptor awal. Setelah mata menerima stimulus, informasi tersebut diteruskan ke otak sebagai pusat system saraf. 3. State, yaitu perubahan spesifik yang terjadi dalam aspek fisiologis. Setelah rangsangan mencapai otak maka otak menerjemahkan dan mengolah stimulus serta menyebarkan kembali stimulus yang telah diterjemahkan ke berbagai bagian tubuh seperti jantung berdetak keras, tekanan darah naik, badan tegang atau terjadi perubahan pada hormone lainnya. 4. Expression, yaitu terjadinya perubahan pada daerah yang dapat diamati, seperti pada wajah, tubuh, suara atau tindakan yang terdorong oleh perubahan fisiologis. Sebagai contohnya otot wajah mengencang, tubuh tegang, mulut terbuka dan suara keras berteriak atau bahkan lari kencang menjauh.

31

5. Experience, persepsi dan interpretasi individu pada kondisi emosionalnya. Dengan pengalaman individu dalam menerjemahkan dan merasakan perasaan sebagai rasa takut, stress, terkejut dan ngeri. 2.2.4 Ciri-ciri Emosi Menurut Yusuf (2011), emosi sebagai suatu peristiwa psikologis mengandung ciri-ciri sebagai berikut: 1. Bersifat fluktuatif. 2. Lebih bersifat subyektif daripada peristiwa psikologis lainnya. 3. Banyak bersangkut paut dengan peristiwa pengenalan panca indera. Mengenai ciri-ciri emosi ini dapat dibedakan antara emosi pada anak dengan emosi orang dewasa yang dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.1 Karakteristik Emosi Anak dan Dewasa Emosi Anak 1. Berlangsung singkat dan berakhir tiba-tiba 2. Terlihat lebih hebat/ kuat 3. Bersifat sementara/ dangkal 4. Lebih sering terjadi 5. Dapat diketahui dengan jelas dari tingkah lakunya

Sumber: Yusuf (2011)

Emosi Orang dewasa 1. Berlangsung lebih lama dan berakhir dengan lambat 2. Tidak terlihat lebih hebat/ kuat 3. Lebih mendalam dan lama 4. Jarang terjadi 5. Sulit diketahui karena lebih pandai menyembunyikan

32

2.2.5 Peran penting Emosi Bagi manusia, emosi tidak hanya berfungsi untuk survival atau sekedar untuk mempertahankan diri terhadap adanya gangguan atau rintangan tetapi juga memberikan kekuatan pada manusia. Adanya perasaan cinta, sayang, cemburu, marah atau benci, membuat manusia dapat menikmati hidup bersama dengan orang lain. Emosi sebagai pembangkit energi. Emosi dapat memberikan kita semangat dalam bekerja bahkan juga semangat untuk hidup, contoh perasaan cinta dan sayang. Namun emosi juga dapat memberikan dampak negatif yang membuat seseorang tidak bersemangat untuk hidup, contoh perasaan sedih dan benci. Menurut Horlock (1991), individu memiliki emosi dominan dalam diri. Emosi dominan adalah salah satu atau beberapa jenis emosi yang berpengaruh kuat terhadap perilaku individu. Emosi yang dominan pada diri individu akan mempengaruhi kepribadian anak dan kemampuan sosialnya . Emosi yang dominan juga akan menentukan suasana hati yang dirasakan. Anak yang memiliki emosi dominan riang akan memandang ringan rintangan yang menghalangi langkahnya. Secara umum, emosi memiliki fungsi dan peranan dalam kehidupan seseorang. Fungsi dan peranan emosi adalah sebagai berikut: 1. Merupakan bentuk komunikasi sehingga anak dapat menyatakan segala kebutuhan dan perasaannya pada orang lain. Sebagai contoh, anak yang merasakan sakit atau marah biasanya mengekspresikan emosinya dengan menangis. Menangis merupakan bentuk

33

komunikasi anak dengan lingkungannya pada saat anak belum mampu mengutarakan perasaannya dalam bentuk verbal. Demikian pula halnya ekspresi tertawa terbahak-bahak, ataupun memeluk ibunya dengan erat. 2. Emosi berperan dalam mempengaruhi kepribadian dan penyesuaian diri anak dengan lingkungan sosialnya, antara lain: a. Tingkah laku emosi anak yang ditampilkan merupakan sumber penilaian lingkungan sosial terhadap dirinya. Penilaian lingkungan sosial ini akan menjadi dasar individu dalam menilai dirinya sendiri. Penilaian ini akan membentuk konsep diri anak berdasarkan perlakuan tersebut. Sebagai contoh jika seseorang anak sering mengekspresikan ketidaknyamanannya dengan menangis, lingkungan sosialnya akan menilai ia sebagai anak yang cengeng. Anak akan diperlakukan sesuai dengan penilaiannya tersebut (misal, sering mengolok-olok anak, mengucilkan atau menjadi overprotective).. b. Emosi menyenangkan atau tidak menyenangkan dapat mempengaruhi interaksi sosial anak melalui reaksi-reaksi yang ditampilkan lingkungannya. Melalui reaksi lingkungan sosial anak dapat belajar untuk membentuk tingkah laku emosi yang dapat diterima lingkungannya. c. Emosi dapat mempengaruhi iklim psikologis lingkungan. Jika ada anak yang pemarah dalam suatu kelompok, maka dapat mempengaruhi kondisi psikologis lingkungan saat itu, misalnya permainan menjadi tidak menyenangkan, timbul pertengkaran atau malah bubar.

34

d. Tingkah laku yang sama dan ditampilkan secara berulang dapat menjadi satu kebiasaan. Jika seorang anak yang ramah dan suka menolong merasa senang dengan perilakunya tersebut dan lingkungan pun menyukainya , maka anak akan melakukan perbuatan tersebut berulang-ulang sehingga akhirnya menjadi kebiasaan. e. Tegangan emosi yang dililiki anak dapat menghambat atau mengganggu aktivitas motorik dan mental anak. Seorang anak yang mengalami stress atau ketakutan menghadapi suatu situasi, dapat menghambat anak untuk melakukan aktivitas. Misalnya, seorang anak menolak bermain melukis dengan jari tangan karena takut akan mengotori bajunya dan dimarahi orang tuanya. Dengan demikian anak menjadi kehilangan keberanian untuk mencobanya dan kemampuan pengembangan dirinya terhambat. 2.3 Anak Usia Prasekolah 2.3.1 Pengertian anak usia prasekolah Menurut Moersintowarti (2002) masa prasekolah adalah masa anak antara umur 2-6 tahun . Pada masa ini pertumbuhan berlangsung dengan stabil, terjadi perkembangan dengan aktifitas jasmani yang bertambah dan meningkatnya keterampilan dan proses berfikir.

35

2.3.2. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Menurut Moersintowarti (2002), faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak dibagi dalam 2 golongan yaitu: 1. Faktor dalam (internal) Faktor internal meliputi: perbedaan ras/ etnik atau bangsa, keluarga, umur, jenis kelamin, kelainan genetik dan kromosome. 2. Faktor luar (eksternal/ lingkungan) Lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan tercapai atau tidaknya potensi bawaan. Faktor lingkungan ini secara garis besar dibagi menjadi a. Faktor pranatal. Faktor pranatal meliputi: gizi ibu saat hamil, mekanis, toksin/zat kimia, endokrin, radiasi, infeksi, kelainan imunologi, anoksia embrio dan psikologis ibu. b. Faktor persalinan Komplikasi persalinan pada bayi seperti trauma kepala dan asfiksia dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan otak. c. Faktor postnatal Faktor postnatal terdiri dari: pemenuhan kebutuhan gizi, penyakit kronis, lingkungan fisik dan kimia, endokrin, sosio ekonomi, obat-obatan, stimulasi, lingkungan pengasuhan dan psikologis (hubungan anak dengan orang di sekitarnya). Seorang anak yang tidak dikehendaki oleh orang tuanya atau anak yang selalu merasa tertekan akan mengalami

36

hambatan di dalam perkembangannya.

pertumbuhan

dan

2.3.3 Kebutuhan dasar anak Menurut Moersintowarti (2002), kebutuhan anak untuk pertumbuhan dan perkembangan secara garis besar dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu 1. Kebutuhan akan ASUH Kebutuhan asuh meliputi: nutrisi, perawatan kesehatan dasar, pakaian, perumahan, hygiene diri dan sanitasi lingkungan serta kesegaran jasmani. 2. Kebutuhan emosi/ kasih sayang (ASIH) Kebutuhan akan asih yaitu kebutuhan terhadap emosi meliputi : a. Kasih sayang orang tua Kasih sayang orang tua yang hidup rukun berbahagia dan sejahtera yang memberikan bimbingan, perlindungan, perasaan aman kepada anak merupakan salah satu kebutuhan yang diperlukan anak untuk tumbuh dan berkembang seoptimal mungkin. b. Rasa aman Seorang anak akan merasa diterima oleh orang tuanya bila merasa bahwa kepentingannya diperhatikan serta merasa ada hubungan yang erat antara anak dan keluarganya. c. Harga diri Setiap anak ingin merasa bahwa mempunyai tempat dalam keluarga. Keinginanya diperhatikan,

37

d.

e.

f.

g.

apa yang dikatakannya ingin didengar orang tua dan tidak diacuhkan. Kebutuhan akan sukses Setiap anak ingin merasa bahwa apa yang diharapkan daripadanya dapat dilakukannya. Dan merasa sukses mencapai sesuatu yang diinginkan orang tua. Janganlah anak dipaksa melakukan sesuatu diluar kemampuannya, Mandiri Kemandirian pada anak hendaknya selalu didasarkan pada perkembangan anak. Apabila orang tua masih menuntut anaknya mandiri yang melampaui kemampuannya, maka anak dapat menjadi tertekan. Anak masih perlu bantuan untuk belajar mandiri, belajar untuk memahami persoalan. Memahami apa yang harus diperhatikan dan kesemuanaya itu memerlukan waktu. Dorongan Anak membutuhkan dorongan dari orang-orang sekelilingnya apabila tak mampu menghadapi situasi atau masalah. Tentu saja dorongan yang diberikan bukan merupakan bantuan yang seutuhnya sehingga anak tinggal menerima jadi, tetapi dapat berupa langkah-langkah yang dapat diambil dengan memberi semangat bahwa dia dahulu dapat mengatasi dengan baik dan sebagainya. Dengan demikian anak merasa dapat dorogan dan mempunyai semangat untuk menghadapi situasi atau masalah. Kebutuhan mendapatkan kesempatan dan pengalaman.

38

h. Anak-anak membutuhkan dorongan orang tua dan orang di sekelilingnya dengan memberikan kesempatan dan pengalamam dalam mengembangkan sifat bawaannya, i. Rasa memiliki Kebutuhan anak merasa memiliki sesuatu (betapapun kecilnya) harus diperhatikan. Semua benda miliknya yang dianggap berharga harus dapat ia miliki sendiri (bagi orangtua barang tersebut tidak berharga sama sekali.). Orang tua harus dapat memberikan rasa memiliki pada anak. Penghargaan orang tua pada benda milik anak sangat diperlukan. 3. Kebutuhan akan stimulasi (ASAH) Stimulasi mental merupakan cikal bakal dalam proses belajar anak (pendidikan dan pelatihan). Stimulasi merupakan hal yang sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Stimulasi mental akan menunjang perkembangan mentalpsikososial, antara lain kecerdasan, kreatifitas, keterampilan, moral etika, produktifitas dan sebagainya. 2.3.4 Tugas-tugas perkembangan anak usia pra sekolah Salah satu dasar untuk menentukan apakah seorang anak telah mengalami perkembangan dengan baik adalah memulai apa yang disebut dengan tugastugas perkembangan atau development task. Menurut

39

Havighurts (dalam Hurlock, 1991) tugas-tugas perkembangan pada anak bersumber pada tiga hal, yaitu: kematangan fisik, rangsangan atau tuntutan dari masyarakat dan norma pribadi mengenai aspirasiaspirasinya. Tugas-tugas perkembangan anak usia pra sekolah adalah sebagai berikut : 1. Belajar memfungsikan visual motoriknya secara sederhana 2. Belajar makan makanan padat 3. Belajar bahasa 4. Mengenali realita sosial atau fisiknya 5. Belajar melibatkan diri secara emosional dengan orang tua, saudara 6. Belajar membedakan benar atau salah 7. Membentuk nurani 2.4

Konsep Dasar Perkembangan Emosi Anak Usia Prasekolah

2.4.1 Pola emosi pada masa anak usia prasekolah Pola emosi pada anak usia prasekolah menurut Yusuf (2011) adalah: 1. Cemas Cemas merupakan perasaan takut yang bersifat khayalan yang tidak ada obyeknya. Kecemasan muncul akibat dari pengalaman yang diperoleh, baik dari orang tua, buku bacaan, televisi atau film. Contoh perasaan cemas: anak takut berada di kamar yang gelap, takut hantu dan sebagainya. 2. Takut

40

3.

4.

5.

Takut merupakan perasaan terancam oleh suatu obyek yang dianggap membahayakan. Beberapa cara yang khas memperlihatkan rasa takut pada masa anak-anak adalah gemetar, mundur dan menarik diri atau merasa sakit yang dikhayalkan/keluhan palsu (Hurlock, 1991). Marah Marah merupakan perasaan tidak senang, atau benci baik terhadap diri sendiri, orang lain atau obyek tertentu yang diwujudkan dalam bentuk verbal (katakata kasar atau makian/sumpah serapah), atau non verbal seperti mencubit, memukul, menampar, menendang dan merusak. Pada masa ini penyebab amarah yang paling umum adalah pertengkaran mengenai permainan atau tidak tercapainya keinginan, dan serangan yang hebat dari anak lain. Cemburu Pada masa ini anak menjadi mudah cemburu bila ia mengira bahwa minat dan perhatian orang tua beralih kepada orang lain didalam keluarga, biasanya adik yang baru lahir. Anak yang lebih muda dapat mengungkapkan kecemburuannya secara terbuka atau menunjukkannya dengan kembali berperilaku seperti anak kecil, mengompol, pura-pura sakit atau menjadi nakal. Perilaku ini semua bertujuan untuk menarik perhatian. Ingin tahu Anak mempunyai rasa ingin tahu terhadap hal yang baru dilihat, juga mengenai tubuhnya sendiri dan tubuh orang lain. Perasaan ini ditandai dengan pertanyaan – pertanyaan yang diajukan anak,

41

6.

7.

misalnya anak ingin mengetahui mengapa orang yang lebih tua berbeda dari yang lebih muda, mengapa laki-laki berbeda dengan perempuan dan sebagainya (Yusuf, 2011). Menurut Hurlock (1991) dengan semakin luasnya lingkungan anak-anak maka semakin meluas pula keingintahuan mereka. Kegembiraan. Anak-anak merasa gembira apabila terpenuhi keinginannya. Kondisi yang melahirkan perasaan gembira pada anak diantaranya terpenuhinya kebutuhan jasmaniah (makan dan minum), keadaan jasmani yang sehat, diperolehnya kesempatan untuk bergerak (bermain secara leluasa) dan memiliki mainan yang disenangi. Kasih sayang Kasih sayang merupakan perasaan senang untuk memberikan perhatian atau perlindungan terhadap orang lain, binatang atau benda yang menyenangkan. Ia mengungkapkan kasih sayang secara lisan bila sudah besar, tetapi ketika masih kecil anak menyatakannya secara fisik dengan memeluk, menepuk dan mencium obyek kasih sayangnya.

2.4.2 Faktor yang mempengaruhi emosi pada anak

1.

Faktor yang mempengaruhi emosi pada anak antara lain: Pola asuh Mendidik anak secara otoriter, yang menggunakan metode hukuman untuk memperkuat kepatuhan secara ketat, akan mendorong emosi yang

42

2.

tidak menyenangkan menjadi dominan. Cara mendidik anak yang bersifat demokratis dan permisif akan menimbulkan suasana rumah yang lebih santai yang akan menunjang bagi ekspresi emosi yang menyenangkan. Orang tua yang melindungi anak secara berlebihan (overprotective), yang hidup dalam prasangka bahaya terhadap segala sesuatu, akan menimbulkan rasa takut pada anak menjadi dominan (Hurlock, 1991). Faktor genetika (Temperamen anak) Temperamen merupakan sifat-sifat keturunan yang dimiliki oleh individu dari orang tua yang dapat berupa fisik maupun mental. Mengenai mental misalnya sifat pemarah, pendiam dan lain-lain (Desmita, 2012). Temperamen juga merupakan salah satu dimensi psikologis yang berhubungan dengan aktivitas fisik dan emosional serta merespon. Secara sederhana temperamen dapat diartikan sebagai perbedaan kualitas dan intensitas respon emosional serta pengaturan diri yang memunculkan perilaku individual yang terlihat sejak lahir, yang relatif stabil dan menetap dari waktu ke waktu dan pada semua situasi, yang dipengaruhi oleh interaksi antara pembawaan, kematangan dan pengalaman. Konsistensi temperamen dibentuk oleh faktor keturunan, kematangan dan pengalaman. Klasifikasi temperamen menurut Chess dan Thomas (1991) yang dikutip oleh Santrock (2007) dibedakan menjadi 3 yaitu: a. Easy child

43

3.

4.

Anak yang memiliki temperamen ini umumnya memiliki mood yang positf, bisa terbiasa dengan cepat terhadap rutinitas dan dapat dengan mudah beradaptasi dengan pengalaman baru. b. Difficult child Anak yang memiliki reaksi negative dan sering menangis, rutinitasnya tidak teratur dan lambat dalam menerima perubahan. c. Slow-to-warm-up child Anak memiliki tingkat aktivitas yang rendah, agak negative dan menunjukkan intensitas mood yang rendah. Kondisi Kesehatan anak Kesehatan yang baik dapat mendorong emosi yang menyenangkan menjadi dominan. Sedangkan kesehatan yang buruk menyebabkan emosi yang tidak menyenangkan menjadi dominan (Hurlock, 1991). Anak yang sehat cenderung tidak mudah emosional jika dibandingkan dengan anak yang kurang sehat ( Baharuddin, 2010). Kondisi keluarga (Suasana Rumah) Jika anak tumbuh dalam lingkungan rumah yang lebih banyak berisi kebahagiaan dan apabila pertengkaran, kecemburuan, dendam, dan perasaan lain yang tidak menyenangkan diusahakan sesedikit mungkin, maka anak akan lebih banyak mempunyai kesempatan untuk menjadi anak yang bahagia (Hurlock, 1991). Menurut Gottman (2008) komunikasi yang buruk antara ibu dan ayah, permusuhan antara ibu dan ayah serta terjadinya perceraian orang tua mempunyai pengaruh yang

44

5.

kurang baik terhadap anak, misalnya anak menjadi pemurung, menutup diri, pemalu dan galak terhadap teman sebaya. Sedangkan menurut Santrock (2007) menyatakan bahwa anak dari keluarga yang bercerai menunjukkan penyesuaian diri yang lebih buruk dibanding anak-anak dari keluarga tidak bercerai. Selain itu jumlah anggota keluarga besar cenderung berpotensi menimbulkan emosi dibandingkan dengan keluarga kecil. Hubungan dengan Teman Sebaya Jika anak diterima dengan baik oleh kelompok teman sebaya maka emosi yang menyenangkan akan menjadi dominan padanya, sedangkan jika anak ditolak atau diabaikan oleh kelompok teman sebaya maka emosi yang tidak menyenangkan akan menjadi dominan padanya (Hurlock, 1991). Menurut Santrock (2007) hubungan sebaya yang baik diperlukan untuk perkembangan sosioemosional yang normal. Anak yang menarik diri, yang ditolak oleh teman sebaya dan anak yang merasa kesepian akan memiliki risiko untuk mengalami depresi. Anak yang bersikap agresif terhadap teman sebaya mereka memiliki risiko mengalami beberapa masalah kenakalan pada masa remaja dan putus sekolah. Melalui interaksi teman sebaya anak-anak belajar bagaimana menyatakan pendapat, menghargai dan menegoisasi solusi atas perselisihan mereka. Banyak anak pra sekolah menghabiskan waktu yang cukup lama dalam interaksi sebaya hanya dengan mengobrol dengan teman bermain tentang

45

6.

menegosiasikan peran dan aturan dalam permainan, berdebat dan setuju. Hubungan dengan Para Anggota Keluarga Hubungan yang tidak rukun dengan orang tua atau saudara akan lebih banyak menimbulkan kemarahan dan kecemburuan sehingga emosi ini akan cenderung menguasai kehidupan anak di rumah (Hurlock , 1991). Sifat temperamental dan perlakuan orang tua yang berbeda terhadap anak-anaknya mempengaruhi hubungan antar saudara. Saudara dengan temperamen yang tenang yang diperlakukan secara relative sama oleh orang tua cenderung bisa saling bergaul dengan baik. Sebaliknya, sudara dengan temperamen yang buruk atau salah satu diperlakukan lebih istimewa oleh orang tua, kurang bisa akur (Santrock, 2007). Yusuf (2011), berpendapat bahwa hubungan yang harmonis (penuh kasih sayang dan pengertian) antara anggota keluarga (ayah dengan ibu, orang tua dengan anak dan anak dengan anak) akan membuahkan perkembangan perilaku anak yang baik. Sedangkan yang tidak harmonis seperti sering terjadi pertentangan/perselisihan akan mempengaruhi perkembangan emosi yang tidak baik, seperti keras kepala, pembohong dan kurang peduli terhadap norma yang berlaku.

2.4.3 Bentuk-bentuk Permasalahan Emosi Anak Menurut Mashar (2011), berdasarkan dari berbagai penelitian, permasalahan umum yang sering ditemui pada

46

anak adalah agresivitas, temper tantrum, kecemasan, menarik diri, takut berlebihan, kekurangan afeksi, hipersensivitas, kecemasan dan bunuh diri. 1. Agresivitas Izzaty (2005) dalam Mashar (2011), memaparkan agresivitas sebagai istilah umum yang dikaitkan dengan adanya perasaan-perasaan marah atau permusuhan atau tindakan melukai orang lain baik dengan tindakan kekerasan secara fisik, verbal, maupun menggunakan ekpresi wajah dan gerakan tubuh yang mengancam atau merendahkan. Tindakan agresif pada umumnya merupakan tindakan yang disengaja oleh pelaku untuk mencapai tujuan tujuan tertentu. Ada dua tujuan utama tindakan agresif yang saling bertentangan satu dengan yang lainnya, yaitu untuk membela diri di satu pihak dan di pihak lain adalah untuk meraih keunggulan dengan cara membuat lawan tidak berdaya. Mashar (2011), mendefinisikan agresivitas sebagai tingkah laku menyerang baik secara fisik maupun verbal atau baru berupa ancaman yang disebabkan adanya rasa permusuhan dan frustrasi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa agresivitas merupakan tindakan menyerang baik secara fisik, verbal maupun ekspresi wajah yang mengancam atau merendahkan untuk mencapai tujuan tertentu, yang didasari adanya perasaan permusuhan atau frustrasi. Agresivitas pada anak TK memiliki beberapa bentuk umum. Yang paling sering muncul adalah

47

bentuk verbal, misalnya dengan mengeluarkan katakata “kotor” yang terkadang anak tidak selalu mengerti maknanya. Kedua, agresif dalam bentuk tindakan fisik, misalnya dengan menggigit, menendang, mencubit, mencakar, memukul, dan semua tindakan fisik yang bertujuan untuk menyakiti fisik. Sasarannya adalah orang-orang dekat yang ada di sekitar anak, seperti orang tua, pengasuh, pendidik, teman, dan objek fisik lain seperti tembok, lemari, sarana sekolah, atau sasaran lainnya. Agresivitas pada anak usia dini dapat berdampak psikologis dan sosial. Dampak psikologis yang mungkin muncul berupa kecenderungan untuk meningkatnya perilaku agresif baik dalam frekuensi maupun intensitas jika perilaku ini tidak ditangani secara efektif. Selain itu, perilaku agresif juga dapat menyebabkan anak cenderung menjadi anti sosial karena ketidakmampuannya menahan emosi dan lebih terjebak dalam perilaku perilaku impulsif. Selain dampak psikologis, dampak sosial bagi perilaku agresif anak juga dapat mengakibatkan anak cenderung dikucilkan dan ditakuti oleh teman-teman sebayanya. Agresivitas dapat terjadi pada setiap anak, terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkannya. Faktor ini dapat berupa faktor biologis yang berasal dari dalam diri anak (internal) maupun faktor lingkungan yang berasal dari luar diri anak (eksternal). Faktor faktor biologis dapat berupa pengaruh genetik, sistem otak. Adapun faktor faktor eksternal dapat berupa kemiskinan, kondisi

48

lingkungan fisik yang tidak mendukung (suhu udara yang panas, oksigen terbatas), dan kecenderungan meniru model kekerasan terhadap figur-figur model yang ada disekitarnya maupun pengamatan tidak langsung pada figur-figur model kekerasan di televisi. Selain karena faktor faktor yang telah diuraikan tersebut, Izzaty (2005) dalam Mashar (2011) menguraikan bahwa terkadang penyebab perilaku agresiv pada anak dapat disebabkan oleh pemicu yang berkaitan dengan kondisi perkembangan, seperti kemampuan bicara belum lancar, energi anak yang berlebihan, perasaan yang tertekan dan terluka, serta keinginan mencari perhatian. Agresivitas pada anak usia dini yang tidak ditangani dengan baik akan berpeluang besar menjadi perilaku yang menetap dan menimbulkan masalah baru di masa perkembangan selanjutnya. Berbagai perilaku antisosial, kenakalan remaja, putus sekolah, dan perilaku-perilaku negatif lain dapat terjadi karena agresivitas masa usia dini yang tidak ditangani dengan baik. Mengingat pentingnya penanganan agresivitas sejak dini, maka orang tua dan pendidik perlu memperhatikan beberapa perlakuan awal bagi anak dengan perilaku agresiv sebagai berikut : a. Mengajarkan pada semua anak tentang keterampilan sosial untuk berhubungan dengan orang lain b. Menciptakan lingkungan sekolah yang menekan tingkat frustrasi atau tekanan pada anak, sehingga

49

lebih memberi keleluasaan anak dalam beraktivitas selama proses pembelajaran, misalnya dengan penerapan pembelajaran aktif. c. Orang tua dan pendidik dapat pula menerapkan teknik - teknik penghapusan (extinction) atau pengabaian, yaitu dengan mengabaikan perilaku agresiv anak dan tidak menunjukkan perhatian saat anak berperilaku agresif. d. Anak diajarkan untuk lebih mengembangkan kecerdasan emosinya, dengan melatih anak untuk mampu mengenali emosi, mengelola emosi, berempati, mengembangkan hubungan baik dengan teman, dan motivasi diri. 2.

Temper Tantrum Temper tantrum adalah suatu letupan kemarahan anak yang sering terjadi pada saat anak menunjukkan sikap negativistik atau penolakan. Perilaku ini sering diikuti dengan tingkah seperti menangis dengan keras, berguling-guling di lantai, menjerit, melempar barang, memukul-mukul, menendang, dan berbagai kegiatan (Mashar, 2011). Temper tantrum sering dialami pada anak usia dini karena ketidakmampuan mereka dalam mengontrol emosi, mengungkapkan kemarahan dengan tepat, dan terjadinya kondisi regresi atau fixasi dalam perkembangan. Menurut Freud, salah satu self defence mechanism yang sering dikembangkan oleh anak adalah dengan berhenti pada tahap perkembangan sebelumnya dengan tidak mau menuntaskan tugas-tugas perkembangan pada fase berikutnya. Individu yang

50

mengembangkan defense denga pola fixasi tidak berani memasuki fase perkembangan berikutnya, karena kecemasan terhadap tuntutan yang lebih pada fase yang lebih tinggi. Anak yang menunjukkan tingkah laku fixasi dapat terlihat pada anak anak yang tingkah lakunya tetap meski usianya bertambah. Contohnya, pada anak-anak TK yang masih menunjukkan perilaku temper tantrum secara terus-menerus, atau masih terus minum susu dengan menggunakan dot, atau masih selalu mengompol dan Buang Air Besar di celana. Berbeda dengan fixasi, regresi merupakan pola yang lebih mengarah pada kemunduran proses perkembangan kembali pada tahap yang pernah dilalui, sebagai contoh, seorang anak TK yang awalnya sudah menunjukkan kemampuan mengelola emosi dengan baik tanpa menunjukkan perilaku temper tantrum, ketika memiliki adik baru anak cenderung kembali menunjukkan polapola perilaku temper tantrum yang sama seperti ketika masih berusia sekitar dua tahun. Perilaku anak yang kembali pada pola perkembangan usia dua tahun padahal sudah berusia empat tahun disebut sebagai regresi. Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya temper tantrum. Menurut Zaviera (2008), faktor yang dapat menyebabkan terjadinya temper tantrum diantaranya adalah sebagai berikut: a. Terhalangnya keinginan anak mendapatkan sesuatu Setelah tidak berhasil meminta sesuatu dan tetap menginginkannya, anak mungkin saja memakai cara tantrum untuk menekan orang tua agar mendapatkan yang ia inginkan. b. Ketidakmampuan anak mengungkapkan diri

51

c.

d.

Anak-anak punya keterbatasan bahasa, ada saatnya ia ingin mengungkapkan sesuatu tapi tidak bisa, dan orang tua pun tidak bisa mengerti apa yang diinginkan. Kondisi ini dapat memicu anak menjadi frustrasi dan terungkap dalam bentuk tantrum. Tidak terpenuhinya kebutuhan Anak yang aktif membutuhkan ruang dan waktu yang cukup untuk selalu bergerak dan tidak bisa diam dalam waktu yang lama. Kalau suatu saat anak tersebut harus menempuh perjalanan panjang dengan mobil (dan berarti untuk waktu yang lama dia tidak bisa bergerak bebas), dia akan merasa stress. Salah satu kemungkinan cara pelepasan stressnya adalah tantrum. Pola asuh orang tua Cara orang tua mengasuh anak juga berperan untuk menyebabkan tantrum. Anak yang terlalu dimanjakan dan selalu mendapatkan apa yang diinginkan, bisa tantrum ketika suatu kali permintaanya ditolak. Bagi anak yang terlalu dilindungi dan didominasi oleh orang tuanya, sekali waktu anak bisa jadi bereaksi menentang dominasi orang tua dengan perilaku tantrum. Orang tua yang mengasuh secara tidak konsisten juga bisa menyebabkan anak tantrum. Misalnya, orang tua yang tidak punya pola yang jelas kapan ingin melarang, kapan ingin mengizinkan anak berbuat sesuatu, dan orang tua yang sering kali mengancam untuk menghukum tapi tidak pernah menghukum. Anak akan dibingungkan oleh orang tua dan menjadi tantrum ketika orang tua benar-

52

benar menghukum. Atau pada ayah-ibu yang tidak sependapat satu sama lain, yang satu memperbolehkan anak, yang lain melarang. Anak bisa menjadi tantrum agar mendapatkan keinginannya dan persetujuan dari kedua orang tua. e. Anak merasa lelah, lapar atau dalam keadaan sakit f. Anak sedang stress (akibat tugas sekolah, dll) dan merasa tidak aman (insecure) Selain hal tersebut, menurut Mashar (2011) faktor yang dapat menyebabkan terjadinya temper tantrum pada anak adalah: a. Anak gagal melakukan sesuatu sehingga anak marah dan tidak mampu mengendalikannya. Hal ini akan semakin parah jika anak merasakan bahwa orang lain, atau orang tua selalu membandingkan dengan orang lain, atau orang tua memiliki tuntutan yang lebih tinggi pada anak. b. Anak menginginkan sesuatu selalu ditolak atau dimarahi c. Anak merasa putus asa untuk mengungkapkan maksudnya pada lingkungan sekitarnya, sementara lingkungan dirasa tidak cukup mengerti maksudnya. d. Anak mencontoh tindakan penyaluran amarah yang salah dari ayah atau ibunya, atau media elektronik (televisi). Anak memahami bahwa jika ia marah, ia dapat berlaku seperti yang ia lihat, misalnya dengan mengamuk, melempar barang dan menendang. Pemahaman terhadap anak temper tantrum tidak hanya dapat dilakukan dengan mengamati penyebab munculnya perilaku tersebut, tetapi dapat pula diamati dari gejala-

53

gejala yang tampak. Terdapat beberapa gejala yang dapat muncul pada anak temper tantrum, yaitu: a. Anak memiliki kebiasaan tidur, makan, dan buang air besar tidak teratur b. Sulit beradaptasi dengan situasi, makanan, dan orang orang baru c. Lambat beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi d. Mood atau suasana hatunya lebih sering negatif. Anak sering merespons sesuatu dengan penolakan e. Mudah dipengaruhi sehingga timbul perasaan marah atau kesal. f. Perhatiannya sulit dialihkan g. Memiliki perilaku yang khas, seperti: menangis, menjerit, membentak, menghentak-hentakkan kaki, merengek, mencela, membanting pintu, memecahkan benda, memaki, mencela diri sendiri, menyerang kakak/ adik atau teman, mengancam, dan perilakuperilaku negatif lainnya. Perilaku temper tantrum, dapat diatasi dengan perilaku orang tua atau pendidik yang tetap mampu mengontrol emosi dengan menunjukkan sikap yang tenang, lemah lembut, tidak terpancing untuk ikut marah, dan tegas. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menghadapi anak temper tantrum adalah: a. Pencegahan dengan mengenali kebiasaan-kebiasaan anak, mengetahui secara pasti pada kondisi-kondisi seperti apa munculnya tantrum serta mengatur pola asuh atau pola didik yang baik bagi orang tua dan pendidik. b. Ketika temper tantrum terjadi maka hendaknya dipastikan bahwa lingkungan sekitar anak aman,

54

c.

3.

orang tua atau pendidik harus tetap tenang dan berusaha menjaga emosinya sendiri agar tetap tenang. Setelah anak menunjukkan penurunan perilaku temper tantrum, maka orang tua atau pendidik perlu segera mendekati anak, memeluk dan memberi ketenangan kepada anak. Setelah anak tenang baru orang tua atau pendidik memberi pengertian tentang perilaku anak tanpa menyudutkan. Sebaiknya hindari upaya menenangkan anak dengan memberi perhatian yang berlebihan dan menuruti kemauan anak saat anak mengembangkan perilaku temper tantrum karena hal ini akan menjadi penguat positif untuk perilaku negative tersebut. Ketika temper tantrum telah berlalu, maka jangan diikuti dengan hukuman, sindiran-sindiran, jangan memberikan hadiah apapun. Berikanlah rasa cinta dan aman pada anak, orang tua perlu bekerja sama dengan pendidik (guru) dalam melakukan evaluasi terhadap perilaku tantrum anak selain mengkonsultasikan anak ke ahli yang lebih kompeten.

Menarik Diri (Withdrawal) Withdrawal merupakan permasalahan emosi yang diarahkan ke dalam diri sendiri dengan kecenderumgam menarik diri dari interaksi sosial (Mashar, 2011). Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan anak menarik diri, antara lain: a. Lingkungan kurang memberikan stimulasi dan dorongan untuk bersosialisasi

55

b. c. d.

Kecenderungan tipe kepribadian anak yang introvert Rasa tidak puas pada diri anak terhadap lingkungan Perbedaan usia anak dengan teman sebaya dan ketidakadaan minat yang sama Anak yang mengalami menarik diri menunjukkan gejalagejala umum yang cukup mudah diamati, seperti: a. Tidak mau bersosialisasi atau bergaul selain dengan keluarganya b. Pendiam, rendah diri, malu, takut, tidak banyak bicara dan bermain sendiri c. Sering melamun, menyendiri dan tidak suka keramaian d. Menjadi bahan olok-olok teman sebaya e. Cenderung tidak suka terlibat dalam kegiatan kelompok Menarik diri pada anak perlu mendapat penanganan serius mengingat besarnya pengaruh sosialisasi dengan teman sebaya terhadap perkembangan anak. Interaksi dengan teman sebaya dapat meningkatkan kemampuan kognitif, perkembangan bahasa, moral, emosi dan keterampilan sosial pada diri anak. Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan dalam penanganan menarik diri diantaranya : a. Orang tua dan pendidik perlu lebih mengembangkan sikap penerimaan dan penghargaan setiap ekspresi anak baik perasaan, ide, pernyataan, ataupun ungkapan-ungkapan verbal anak. Penghargaan dari lingkungan sekitar akan menimbulkan percaya diri dan rasa aman pada anak.

56

b.

4.

Anak perlu lebih distimulasi untuk mengikuti kegiatan-kegiatan kelompok agar anak terbiasa berinteraksi dengan banyak orang.

Takut Berlebihan Takut yang berlebihan menurut Plutchik (2003), sering kali digambarkan sebagai kondisi yang dialami individu berupa perasaan tidak senang yang diikuti dengan tanda-tanda fisik seperti berkeringat, detak jantung yang meningkat dan gemetar. Perasaan ini biasanya muncul karena adanya peristiwa atau situasi yang dianggap berbahaya. Terdapat beberapa sumber takut yang biasa dialami oleh individu, yaitu hewan (serangga, ngengat dan ulat), benda-benda berbahaya seperti listrik, atau tempat-tempat tertentu. Ketakutan pada anak dapat diamati dari gejala yang tampak seperti berperilaku agresiv terhadap sesuatu yang ditakuti (menyerang, memukul atau membunuh hewan), menarik diri, mencari kenyamanan atau perlindungan kepada orang tua dan melarikan diri atau bersembunyi. Perasaan takut yang berlebihan pada anak akan menghambat anak dalam beraktivitas, sehingga anak perlu mendapat penanganan secara tepat. Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi ketakutan yang berlebihan pada anak antara lain: a. Mengidentifikasi ketakutan anak dan tidak membenani anak dengan kecemasan-kecemasan yang dirasakan oleh oleh orang tua atau pendidik b. Memberi pengertian kepada anak tentang sumber rasa takut dan jika memungkinkan menerapkan teknik perubahan tingkah laku dengan pembiasaan-

57

c.

d.

5.

pembiasaan terhadap sumber rasa takut secara bertahap. Memberi antisipasi kepada anak dengan melatih anak untuk secara mandiri mampu mengatasi rasa takutnya, misalnya dengan mengajak anak berinteraksi dan mengamati hal-hal yang menimbulkan rasa takut. Memberi figure model agar ditiru anak untuk mengatasi rasa takut.

Kekurangan Afeksi Afeksi meliputi perasaan kasih sayang, rasa kehangatan dan persahabatan yang ditunjukkan pada orang lain. Kebutuhan psikologis yang sangat penting bagi kesehatan mental adalah kebutuhan akan cinta kasih atau kasih sayang (Mashar, 2011). Menurut Hurlock (1991), menyatakan bahwa anak yang dibesarkan dengan kasih sayang menunjukkan perkembangan fisik dan emosi yang lebih sehat dibandingkan dengan anak-anak yang dibesarkan di panti asuhan dan kekurangan kasih sayang. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kekurangan afeksi pada masa anak dapat menimbulkan bahaya perkembangan berupa: a. Perkembangan fisik yang terlambat, mengalami gangguan bicara b. Sulit konsentrasi dan perhatian yang mudah teralih c. Sulit mempelajari bagaimana membina hubungan baik dengan orang lain d. Tampak lebih agresif dan nakal

58

e. Kurangnya minat terhadap orang lain, menarik diri, egois dan penuntut Kekurangan atau kelebihan afeksi yang dialami anak akan menyebabkan gangguan dalam perkembangan, terutama mengakibatkan kesulitan anak dalam mengembangkan ikatan emosional dengan orang lain sehingga menghalangi dirinya menjadi anggota kelompok teman sebayanya. 6.

Hipersensitivitas Hipersensitivitas adalah kepekaan emosional yang berlebihan dan sering dijumpai pada anak-anak. Anak dikatakan hipersensitivitas apabila anak mudah sekali merasa sakit hati dan menunjukkan respon berlebihan terhadap sikap dan perasaan orang lain. Anak yang hipersensitif tidak dapat menerima penilaian, komentar dan kritik orang lain tanpa rasa sakit hati. Reaksi anak terhadap rasa sakit hati dapat berupa baik yang nyata maupun yang hanya prasangka saja, dapat membangkitkan perasaan kesal yang mendalam. Anak yang hipersensitif biasanya mudah marah dan sering mengalami suasana hati yang murung tanpa penyebab yang jelas. Hipersensitif dapat disebabkan karena perasaan berbeda dengan orang lain. Anak merasa dirinya tidak sepandai, semenarik atau sepopuler anak-anak lain. selain itu dapat pula disebabkan oleh adanya harapan-harapan yang tidak realitas. Bila anak terlalu berharap dari orang lain, secara terus menerus anak akan merasa kecewa. Anak yang hipersensitif memiliki harapan yang tinggi

59

bahwa orang lain akan selalu bersikap manis dan memahami kebutuhannya. Kondisi tersebut biasanya terbentuk dari pola asuh dan sikap orang tua yang overprotective dan memanjakan. Beberapa hal yang perlu dilakukan oleh orang tua atau pendidik dalam menangani anak hypersensitive di antaranya: a. Membiasakan anak untuk menerima masukan, kritik dan saran dari lingkungan sekitar b. Mengajarkan pada anak memlikil keterampilan menyelesaikan masalah c. Menghindari sikap overprotective 7.

Kecemasan Kecemasan merupakan rasa takut pada sesuatu tanpa sebab yang jelas, yang sering kali berlangsung lama (Mashar, 2011). Biasanya rasa takut juga diikuti oleh kegelisahan dan dugaan-dugaan akan terjadinya halhal buruk. Pikiran tentang bahaya yang nyata maupun yang ada dalam imajinasinya sendiri sering kali menjadi sumber kecemasan. Pada anak prasekolah, kecemasan yang banyak dialami adalah kecemasan karena perpisahan anak dengan pengasuh terutama pada saat awal masuk sekolah. Terdapat beberapa gejala yang dapat diamati saat anak mengalami kecemasan yaitu berupa gelisah, menangis, sulit tidur, mimpi buruk, sulit makan, gangguan pencernaan, ketidakmauan ditinggal sendiri dan menarik diri. Sebagian besar faktor penyebab kecemasan karena pola asuh orang tua yang kurang tepat, terutama saat awal

60

kehidupan anak dalam membentuk basic trust atau kepercayaan dasar. Anak yang tidak memiliki rasa aman dan memandang dunia di luar dirinya sebagai ancaman, ia cenderung lebih mudah mengalami kecemasan khususnya saat mengalami berbagai perubahan situasi dan kondisi sekitar. Beberapa penyebab kecemasan yang dialami anak yaitu: a. Orang tua yang terlalu melindungi. b. Orang tua yang tidak konsisten, yang menyebabkan anak tidak mampu memprediksi sesuatu yang akan terjadi, c. Aturan atau disiplin yang terlalu berlebihan, sehingga menimbulkan rasa cemas pada anak jika melakukan kesalahan karena adanya hukuman atau sanksi yang ditakuti oleh anak. d. Orang tua yang selalu menuntut kesempurnaan atas prestasi anak, membuat anak selalu merasa dituntut melakukan yang terbaik. Hal ini dapat menimbulkan ketegangan pada diri anak dan membuat anak tidak dapat relaks dalam menghadapi berbagai sesuatu. e. Anak yang selalu mendapat penghargaan bersyarat akan cenderung mengalami kecemasan karena anak akan menuntut dirinya sesuai tuntutan dari lingkungan dan membuat anak tidak dapat berekspresi apa adanya. f. Kritikan yang berlebihan dari orang tua atau orang dewasa di sekitarnya. g. Ketergantungan yang berlebihan terhadap orang dewasa yang ada di sekitarnya. Anak yang selalu tergantung pada orang lain dan tidak dibiasakan untuk mandiri, cenderung lebih mudah

61

mengembangkan kecemasan karena ketidakpercayaan pada diri sendiri bahwa ia mampu. h. Anak yang cenderung tidak banyak bersosialisasi dengan orang lain. i. Figur model orang tua yang sering menunjukkan kecemasan j. Adanya kegagalan atau frustasi yang terus-menerus. Berbagai sumber kecemasan tersebut lebih banyak terjadi karena adanya interaksi anak dan orang tua yang kurang tepat. Beberapa cara yang dapat ditempuh untuk menangani kecemasan pada anak adalah sebagai berikut: a. Mencari sumber yang membuat anak cemas. b. Memberikan rasa aman kepada anak dengan menunjukkan sikap yang tenang, menerima keadaan anak, dan tidak menambah beban psikologis pada anak dengan mengancam, menakut-nakuti atau memarahi anak. c. Membantu anak mengatasi rasa cemasnya misalnya dengan menerapkan teknik desentralisasi sistematis, yaitu secara bertahap membantu anak sedikit demi sedikit mengurangi kecemasannya. d. Mengalihkan perhatian anak dari sumber cemas dengan melatih anak untuk relaksasi atau melakukan kegiatan-kegiatan yang menarik. e. Melakukan hal-hal yang menenangkan, seperti mendengarkan musik, cerita atau menggambar. f. Mengajak anak berbicara tentang sumber kecemasan yang dialami dengan kata-kata yang menenangkan dan membuat anak merasa aman.

62

g. h. 8.

Membiasakan anak terbuka dan mampu mengekspresikan perasaanya. Meminta bantuan ahli jika kecemasan berlarut-larut.

Bunuh Diri Bunuh diri adalah tindakan merusak diri sendiri yang dapat mengakibatkan kematian (Mashar, 2011). Faktor pencetus yang mengakibatkan anak melakukan bunuh diri antara lain: anak tidak memiliki keterampilan hidup menghadapi stress, orang tua gagal dalam mengajarkan keterampilan hidup pada anak. Ketidakmampuan anak dalam menghadapi stress dapat disebabkan oleh faktor lingkungan yang ada di sekitar anak. Lingkungan yang mempunyai masalah sosial misalnya terjadi kekerasan, persaingan ekonomi dapat mempengaruhi keharmonisan dalam rumah tangga dan kondisi psikis anak. Anak-anak yang mengalami kekerasan, kecanduan, kemiskinan dan pelanggaran seksual atau emosional memiliki risiko lebih tinggi terhadap percobaan bunuh diri. Selain itu lingkungan sekolah juga berpengaruh besar terhadap anak. Seorang guru yang tidak bijak dapat menyebabkan stress pada diri anak, karena dipermalukan di depan teman-temannya. Bunuh diri juga dapat terjadi karena faktor media masa. Santrock (2002), membedakan faktor penyebab bunuh diri dikaitkan dengan faktor proksimal dan distal. Faktor proksimal (kondisi saat ini) yang dapat memicu seseorang berupaya untuk bunuh diri antara lain: keadaan ketegangan seperti dipermalukan di depan teman-

63

temannya, dihukum, diejek dan merasa terancam. Adapun faktor distal adalah pengalaman masa lalu anak yang sering kali menyebabkan seseorang berupaya bunuh diri. Pengalaman distal dapat berupa kondisi keluarga yang tidak harmonis, kurang adanya dukungan emosional dan afeksi, tekanan-tekanan dari kedua orang tua. 2.4.4

Deteksi dini masalah mental emosional

Untuk mendeteksi secara dini adanya penyimpangan/ masalah mental emosional pada anak usia prasekolah digunakan Kuesioner Masalah Mental Emosional (KMME) dari Kemenkes (2012). KMME terdiri dari 12 pertanyaan yaitu: 1. Apakah anak anda seringkali terlihat marah tanpa sebab yang jelas? (seperti banyak menangis, mudah tersinggung atau bereaksi berlebihan terhadap hal-hal yang sudah biasa dihadapinya) 2. Apakah anak anda tampak menghindar dari temanteman atau anggota keluarganya? (seperti ingin merasa sendirian, menyendiri atau merasa sedih sepanjang waktu, kehilangan minat terhadap hal-hal yang biasa sangat dinikmati) 3. Apakah anak anda terlihat berperilaku merusak dan menentang terhadap lingkungan di sekitarnya? (seperti melanggar peraturan yang ada, mencuri, seringkali melakukan perbuatan yang berbahaya bagi dirinya, atau menyiksa binatang atau anak-anak lainnya) dan nampak tidak perduli dengan nasihatnasihat yang sudah diberikan kepadanya?

64

4.

Apakah anak anda memperlihatkan adanya perasaan ketakutan atau kecemasan berlebihan yang tidak dapat dijelaskan asalnya dan tidak sebanding dengan anak lain seusianya? 5. Apakah anak anda mengalami keterbatasan oleh karena adanya konsentrasi yang buruk atau mudah teralih perhatiannya, sehingga mengalami penurunan dalam aktivitas sehari-hari atau prestasi belajarnya? 6. Apakah anak anda menunjukkan perilaku kebingungan sehingga mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dan membuat keputusan? 7. Apakah anak anda menunjukkan perubahan pola tidur? (seperti sulit tidur sepanjang waktu, terjaga sepanjang hari, sering terbangun di waktu tidur malam oleh karena mimpi buruk, mengigau) 8. Apakah anak anda mengalami perubahan pola makan ? (seperti kehilangan nafsu makan, makan berlebihan atau tidak mau makan sama sekali) 9. Apakah anak anda seringkali mengeluh sakit kepala, sakit perut atau keluhan-keluhan fisik lainnya? 10. Apakah anak anda seringkali mengeluh putus asa atau berkeinginan untuk mengakhiri hidupnya? 11. Apakah anak anda menunjukkan adanya kemunduran perilaku atau kemampuan yang sudah dimilikinya? (seperti mengompol kembali, menghisap jempol, atau tidak mau berpisah dengan orang tua/ pengasuhnya)

65

12. Apakah anak anda melakukan perbuatan yang berulang-ulang tanpa alasan yang jelas? Pendeteksian ini rutin dilakukan setiap 6 bulan pada anak usia 36-72 bulan. Jadwal deteksi dini masalah mental emosional sesuai dengan jadwal skrining/ pemeriksaan perkembangan anak. Cara melakukan dengan menanyakan setiap pertanyaan dengan lambat , jelas dan nyaring, satu persatu perilaku yang tertulis pada KMME kepada orang tua atau pengasuh anak. Catat jawaban YA, kemudian hitung jumlah jawaban YA. Interpretasi: bila ada jawaban YA, maka kemungkinan anak mengalami masalah mental emosional. Intervensi yang dapat dilakukan: 1) Bila jawaban “Ya” hanya 1 (satu) : a. Lakukan konseling kepada orang tua dengan menggunakan Buku Pedoman Pola Asuh yang Mendukung Perkembangan Anak b. Lakukan evaluasi setelah 3 bulan, bila tidak ada perubahan rujuk ke Rumah Sakit yang memiliki fasilitas kesehatan jiwa/ tumbuh kembang anak 2) Bila jawaban “Ya” ditemukan 2 (dua) atau lebih : a. Rujuk ke Rumah Sakit yang memiliki fasilitas kesehatan jiwa/ tumbuh kembang anak. Rujukan harus disertai informasi mengenai jumlah dan masalah mental emosional yang ditemukan. Beberapa penelitian yang terdahulu:

66

Tabel 2.2 Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu yang Terkait Topik/judul penelitian 1 Pengaruh pola asuh orangtua terhadap gejala kenakalan anak/remaja dan penanggulangan nya di Kabupaten Semarang (Astuti, AM. Endah Sri, 2004)

Variabel 2 pola asuh orang tua, kenakalan anak/remaja, penanggulan kenakalan anak/remaja

Tujuan penelitian 3 Menganalisis pengaruh pola asuh orangtua terhadap gejala kenakalan anak/remaja dan penanggulangan nya

Hasil penelitian 4 1. Peran orangtua cukup memberikan pengaruh terhadap munculnya gejala kenakalan anak/remaja yaitu memberikan sumbangan sebesar 19,4% (sumbangan terbesar diberikan oleh orang tua yang menjalankan model mengasuh permisif) 2. Pengaruh tingkat Tingkat Menganalisis Tipe pola asuh yang pendidikan dan tipe pola pendidikan, pengaruh tingkat diterapkan dalam asuh orangtua terhadap tipe pola asuh pendidikan dan tipe mengasuh anak pra perkembangan psikososial orang tua, pola asuh orangtua sekolah sangat anak pra sekolah di TK perkembangan terhadap berpengaruh terhadap Aisyiyah II Nganjuk,. psikososial perkembangan perkembangan (Rahayu Budi Utami, anak pra psikososial anak pra psikososial . 2008) sekolah sekolah 3. Hubungan pola asuh Pola asuh Menganalisis Terdapat hubungan orangtua dengan orang tua, hubungan pola asuh yang positif sebesar perkembangan anak usia perkembangan orangtua dengan 0,786 atau 78,6% pra sekolah (2,5-5 tahun) di anak usia perkembangan anak antara pola suh play group Aisyiyah prasekolah usia pra sekolah dengan Pandes Wedi Klaten, Feri (2,5-5 tahun) perkembangan anak. Catur Y, 2008) 4. Hubungan antara pola asuh Pola asuh Menganalisis Tidak ada hubungan orang tua dengan prestasi orang tua, hubungan antara antara pola asuh belajar pada anak prestasi pola asuh orang tua paksaan, demokratis, tunagrahita ringan di belajar anak dengan prestasi penelantar dengan SDLB Kabupaten Bungo belajar pada anak prestasi belajar pada Jambi (Fitriyanti, 2010) tunagrahita ringan anak tuna grahita ringan di SDLB Negeri Kab Bungo Jambi

67

1

2 Pola asuh Styles on a Preschool Aged orang tua, Child’s Social Emotional sosial Development in USA emosional (Brook Berg, 2011) anak usia prasekolah, kecerdasan emosinal pengasuhan positf pengasuhan negatif 6. Is There a Relation Pola asuh ibu, between Mother’s kecerdasan Parenting Styles and emosional Children’s Trait Emotional anak Intelligence in USA ( Albert Alegre, 2012)

5. The Effects of Parenting

3 Menganalisis hubungan tipe pola asuh orang tua terhadap anak usia prasekolah dengan sosial emosional

4 Menunjukkan bahwa para orang tua yang menerapkan pola asuh autoritatif mempunyai anak dengan nilai tertinggi dalam perkembangan sosial emosional

Menganalisis hubungan antara pola asuh ibu dengan kecerdasan emosional anak

Tidak ada korelasi antara kecerdasan emosional dengan 2 variabel pengasuhan : pengasuhan positif dan pengasuhan negatif

68

BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Konseptual

Keterangan : Diteliti

: Tidak diteliti

Gambar 3.1 Kerangka konseptual penelitian

69

Dari kerangka konseptual tersebut dapat dijelaskan bahwa menurut Hurlock (1991, mental emosional anak selain dipengaruhi oleh pola asuh juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain yaitu: faktor genetika (temperamen anak), faktor lingkungan yang meliputi hubungan dengan sebaya dan hubungan dengan saudara atau , kondisi/ suasana rumah, jenis kelamin anak dan pengasuh anak di rumah (nenek, kakek). Namun dari beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi anak, faktor yang paling berperan adalah pola asuh orang tua terhadap anak. Orangtua memiliki cara dan pola tersendiri dalam mengasuh dan membimbing anak. Pengaruh pola asuh orangtua akan berdampak besar pada kehidupan anak di kemudian hari. Menurut Mussen, faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua adalah lingkungan tempat tinggal, pendidikan orang tua dan kelas sosial dan status ekonomi keluarga. Pendidikan orangtua yang rendah cenderung lebih otoriter dibandingkan orang tua yang berpendidikan tinggi, yang lebih mengutamakan kehangatan, kasih sayang dengan tetap memberikan batas-batas pengendalian. Orang tua kelas bawah atau pekerja cenderung sangat menekankan kepatuhan, respek terhadap otoritas, lebih restriktif (keras) dan otoriter, kurang memberikan alasan kepada anak, kurang bersikap hangat dan memberikan kasih sayang kepada anakdan orangtua dari status ekonomi rendah cenderung lebih menekankan kepatuhan kepada figur-figur yang mempunyai otoritas, kelas menengah dan atas cenderung menekankan kepada pengembangan inisiatif, keingintahuan dan kreatifitas anak.

70

3.2 Hipotesis penelitian Hipotesis dalam penelitian ini adalah: Ada hubungan antara pola asuh dengan mental emosional anak

71

BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah observasional analitik yang berusaha untuk mengungkapkan suatu masalah di tempat tertentu dan mencari hubungan antar variabel 4.2 Rancang bangun penelitian

Gambar 4.1 Rancang Bangun Penelitian

72

Rancang bangun yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross-sectional, yaitu jenis penelitian yang menekankan pada waktu pengukuran atau observasi data variabel tergantung dan bebas dinilai secara simultan pada suatu saat, jadi tidak ada tindak lanjut. 4.3 Lokasi dan Waktu penelitian Lokasi penelitian di Taman Kanak-Kanak AlHikmah Mojo Surabaya. Pemilihan lokasi ini berdasarkan pertimbangan: 1) Jumlah anak usia pra sekolah di TK Al-Hikmah cukup besar, 2) Mudah dijangkau, 3) Terdapat beberapa anak yang kemungkinan mengalami masalah mental emosional. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Juli 2013 dengan tahapan sebagai berikut: 1. Tahap penyusunan pra proposal sampai dengan ujian pra proposal dan ujian proposal dilaksanakan pada bulan Januari - April 2013. 2. Tahap Ethical Clearance, ijin penelitian dan pelaksanaan penelitian dilaksanakan pada bulan April – Juni 2013 3. Tahap penyusunan hasil akhir sampai dengan seminar hasil penelitian pada bulan Juni - Agustus 2013 4.4 Populasi Populasi dalam penelitian ini: ibu, ayah, anak usia pra sekolah di Taman Kanak – Kanak Al-Hikmah Mojo Surabaya pada bulan Mei 2013

73

4.5 Sampel, Sampel

Besar

Sampel,

Cara

Pengambilan

Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian ibu, ayah, anak usia pra sekolah di Taman Kanak – Kanak AlHikmah Mojo Surabaya pada bulan Mei 2013 yang sesuai dengan kriteria sampel. Kriteria Inklusi dalam penelitian ini adalah: 1. Anak yang sekolah di TK Al-Hikmah Mojo Surabaya berusia usia 5– 6 tahun 2. Anak dalam keadaan sehat ( status gizinya baik, berdasarkan data berat badan anak di sekolah dan data kehadiran sekolah) 3. Anak tinggal bersama kedua orang tuanya (berdasarkan biodata orang tua di sekolah) 4. Ibu dan ayah bersedia untuk ikut dalam penelitian dengan dibuktikan menanda tangani Informed consent Kriteria Eksklusi dalam penelitian ini adalah: 1. Anak dalam keadaan sakit fisik ( anak sering tidak masuk sekolah karena sakit, berdasarkan data kehadiran sekolah) 2. Kondisi keluarga (Broken Home): ibu dan ayahnya sudah bercerai, ibu dan ayah sering berselisih paham (sumber informasi biodata orang tua di sekolah dan orang tua ) 3. Anak yang sulit diasuh: anak yang lambat dalam menerima perubahan, menjengkelkan, sulit diarahkan (sumber informasi dari ibu guru sekolah TK)

74

4.

5.

Hubungan dengan teman sebaya kurang baik karena tindakan bully: mendorong teman, memukul teman, mengambil barang milik orang lain (sumber informasi dari ibu guru sekolah TK) Hubungan dengan saudara kandung kurang baik karena ada persaingan antar saudara kandung /Sibling Rivalry (sumber informasi orang tua)

Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus yang dikutip dari Windhu (2011) sebagai berikut: 𝑛=

[Zα√4.π.(1−π) + Zβ √2.π1 (1−π1 )+2.π2 (1−π2 ) ]2 (π1 − π2 )2

Keterangan : Zα : Adjusted SD untuk α uji 2 arah Zβ : Adjudted SD untuk β (β= 0,20, Z=0,84 π1 : proporsi respon kelompok 1 yang diharapkan π2 : proporsi respon kelompok 2 yang diharapkan π : proporsi gabungan = (π1 + π2 )/2 Berdasarkan rumus tersebut besar sampel yaitu: π = (π1 + π2 )/2 = (0,4 + 0,1)/2 = 0,25 𝑛= n =

1,96√4.0,25.(1−0,25)+ 0.84√2.0,4(1−0,4)+ 2.0,1.(1−0,1)² (0,4−0,1)² 2,5214 0,09

= 28

Jadi besar sampel dalam penelitian ini adalah 28 responden ibu dan 28 responden bapak

75

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah probability sampling dengan cara Simple Random Sampling. Simple random sampling adalah pengambilan sampel yang dilakukan secara acak sederhana tanpa memperhatikan strata yang ada dalam anggota populasi. Cara ini dilakukan apabila anggota populasi dianggap homogen. Cara pengambilan sampel pada penelitian ini dimulai dengan menyusun daftar nama orang tua dan anak usia 5-6 tahun, kemudian memberi nomor urut pada subyek anggota populasi dan dipilih sejumlah sampel yang disesuaikan dengan kriteria sampel. 4.6 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional 4.6.1 Identifikasi Variabel Identifikasi variabel dalam penelitian ini dibagi 3 1. Variabel bebas adalah pola asuh ibu dan pola asuh ayah 2. Variabel tergantung adalah Mental emosional anak usia prasekolah 3. Variabel perancu meliputi status sosial ekonomi keluarga, pendidikan ibu dan ayah, lingkungan tempat tinggal, jenis kelamin anak dan pengasuh anak di rumah (nenek, kakek). 4.6.2 Definisi Operasional variabel Sebelum menyusun kuesioner, variabel yang ingin diteliti perlu diberikan penjelasan. Variabel dalam penelitian ini masing-masing secara operasional didefinisikan sebagai berikut:

76

1. Pola asuh ibu dan ayah Pola asuh ibu dan ayah adalah pola perilaku ibu dan ayah dalam merawat, membesarkan, mendidik dan memperlakukan anak-anaknya. 1. Pola pengasuhan otoriter yaitu orang tua memperlakukan anak dengan keras & suka mengatur kehidupan 2. Pola pengasuhan Permisif yaitu orang tua yang menuruti atau memberi kebebasan apa saja yang diinginkan anak 3. Pola pengasuhan demokratis yaitu orang tua memperlakukan anak dengan kasih sayang, membimbing dan mengarahkan Intrumen dalam pengumpulan data pola asuh ibu dan ayah adalan kuesioner. Skala pengukurannya adalah ordinal. Kriteria pola asuh orang ibu dan ayah: Skor 1: untuk jawaban “Sangat tidak setuju”, Skor 2: untuk jawaban “ Tidak setuju”, Skor 3 : untuk jawaban “Netral”, Skor 4: untuk jawaban “ Setuju”, Skor 5: untuk jawaban “ Sangat setuju”. Skor yang tertinggi adalah pola asuh yang dominan. Jika didapatkan selisih total skor senilai 1-7 antara pola asuh, maka dikriteriakan sebagai pola asuh kombinasi. 2. Mental emosional Mental emosional adalah perkembangan anak dalam merespon suatu perangsang yang menyebabkan perubahan psikologis dalam dirinya sehingga akan mempengaruhi kepribadiannya

77

dalam berinteraksi dengan orang disekitarnya. Intrumen dalam pengumpulan data mental emosional adalah menggunakan Lembar Kuesioner Masalah Mental Emosional (KMME). Skala pengukurannya adalah nominal dengan criteria: Kemungkinan mengalami masalah mental emosional bila ada jawaban “YA” ≥ 1, Ringan jika jawaban Ya = 1- 4, Sedang jika jawaban Ya = 5-8, Berat jika jawaban Ya = 9-12. Tidak mengalami masalah mental emosional jika tidak ada jawaban “YA” 3. Status ekonomi keluarga Status ekonomi keluarga adalah kemampuan keluarga untuk mencukupi seluruh anggota keluarga yang diukur dengan penghasilan total orangtua dalam satu bulan. Intrumen dalam pengumpulan data status ekonomi keluarga adalah kuesioner. Skala pengukuran nominal dengan kriteria Status sosial ekonomi rendah jika penghasilan orangtua < UMR Status ekonomi menengah/tinggi jika penghasilan orangtua > UMR. 4. Pendidikan Ibu Pendidikan ibu adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang diperoleh ibu. Intrumen dalam pengumpulan data pendidikan ibu adalah kuesioner. Skala pengukuran pendidikan ibu adalah ordinal dengan kriteria Dasar: SD, SMP, MTs,

78

Menengah:SMU, MA, Tinggi: Diploma, Sarjana, Pasca Sarjana. 5. Pendidikan Ayah Pendidikan ayah adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang diperoleh ibu. Intrumen dalam pengumpulan data pendidikan ayah adalah kuesioner. Skala pengukuran pendidikan ibu adalah ordinal dengan kriteria Dasar: SD, SMP, MTs, Menengah:SMU, MA, Tinggi: Diploma, Sarjana, Pasca Sarjana. 6. Lingkungan tempat tinggal Lingkungan tempat tinggal adalah lingkungan tempat tinggal dimana orangtua menerapkan pola asuh terhadap anaknya. Intrumen dalam pengumpulan data lingkungan tempat tinggal menggunakan kuesioner. Skala pengukuran adalah nominal dengan kriteria: kota kecil atau pedesaan jika anak tinggal di desa atau wilayah kecamatan, kota besar jika anak tinggal di ibukota propinsi. 7. Jenis kelamin Jenis kelamin adalah jenis kelamin yang dimiliki anak. instrument dalam pengumpulan data menggunakan kuesioner. Skala data jenis kelamin adalah nominal dengan kriteria perempuan jika anak memiliki tanda jenis kelamin perempuan dan aki-laki jika anak memiliki tanda jenis kelamin laki-laki.

79

8. Pengasuh anak di rumah Pengasuh anak di rumah adalah seseorang yang setiap hari ikut terlibat dalam mengasuh /merawat anak. Intrumen dalam pengumpulan data pengasuh anak di rumah adalah kuesioner. Skala pengukuran nominal dengan kriteria: Orang tua sendiri jika anak hanya diasuh oleh kedua orang tuanya dan kombinasi Orang tua, nenek, kakek, pembantu. 4.7 Prosedur pengumpulan data dan Instrumen pengumpulan data. 4.7.1Prosedur pengumpulan data Data yang dikumpulkan adalah data primer yaitu langsung dari responden, dalam hal ini orang tua murid anak usia pra sekolah TK dengan menggunakan lembar kuesioner. Pelaksanaan penelitian dilakukan setelah peneliti mendapatkan ijin penelitian dari Fakultas Kesehatan Masyarakat yang ditujukan ke Kepala sekolah TK Al-Hikmah Mojo Surabaya, Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya dan Kepala Bakesbangpol Linmas Kota Surabaya. Pengumpulan data dilakukan setelah mendapatkan ijin penelitian. Untuk memperlancar proses pengumpulan data peneliti meminta bantuan ibu guru TK Al-Hikmah. Proses pengumpulan data dimulai dengan peneliti memperkenalkan diri, menjelaskan tujuan penelitian, manfaat penelitian dan risiko yang ditimbulkan akibat penelitian. Kemudian peneliti mengajukan lembar persetujuan untuk menjadi responden. Apabila bapak dan ibu bersedia berpartipasi dalam penelitian ini, bapak dan

80

ibu diminta menandatangani, setelah ibu dan bapak memahami prosedur penelitian. Selanjutnya bapak dan ibu diminta untuk mengisi data identitas bapak, ibu dan anak serta menjawab kuesioner Pola asuh ibu dan bapak. Untuk pengisian kuesioner Mental emosional anak dilakukan peneliti bersama dengan responden (kelengkapan kuesioner terlampir dalam lampiran). Dalam proses pengumpulan data terdapat 5 responden (bapak) yang gugur dikarenakan bepergian keluar pulau atau tugas dinas luar kota dan digantikan dengan responden baru sebagai penggantinya. 4.7.2Instrumen pengumpulan data Instrumen yang digunakan untuk memperoleh data khusus tentang Pola asuh ibu dan ayah adalah kuesioner berdasarkan Parenteral Authority Questionnary (PAQ) (Buri, 1991) yang dikutip Royke 2013 sejumlah 30 item dan telah dimodifikasi oleh peneliti. PAQ didesain untuk mengukur 3 tipe pola asuh yang dicetuskan oleh Baumrind. Instrumen yang telah dimodifikasi sejumlah 30 item selanjutnya dikembangkan lagi menjadi 45 item untuk kepentingan uji reliabilitas yaitu masing-masing 15 item untuk setiap pola asuh, dan jawaban dibuat dalam bentuk skala Likert ( sangat tidak setuju, tidak setuju, netral, setuju dan sangat setuju). Kuesioner pola asuh orang tua diuji cobakan pada 15 sampel. Dari 45 item soal yang disusun diperoleh hasil 35 item yang valid. Sedangkan item yang dinyatakan gugur sejumlah 10. Kemudian dari 35 item soal tersebut nomornya diurutkan dan diambil 30 item untuk mempermudah

81

dalam penilaian pola asuh sekaligus disesuaikan dengan jumlah awal adopsi item dari Royke 2013. Item untuk menilai pola asuh Demokratis: 4,5,8,11,15,20,22,23,27, dan 30. Item menilai pola asuh yang Otoriter yaitu item 1,3,7,9,12,16,18,25,26,29 dan item untuk menilai pola asuh Permisif yaitu item 2,6,10,13,14,17,19,21,24 dan 28. Untuk menilai PAQ, masing - masing nilai item dari tiap tipe pola asuh dijumlahkan (Royke, 2013). Instrument ini telah dikonsultasikan kepada Psikiater Konsultan Anak-Remaja. Untuk mengetahui reliabilitas kuesioner maka kuesioner diuji cobakan pada 15 sampel yang berbeda dan hasil nya diperoleh nilai Alpha = 0,852. Dengan n = 15, taraf kesalahan 5% r tabel = 0,514. Karena Nilai Alpha ( r hitung) ini lebih besar dari nilai r tabel untuk taraf kesalahan 5% ( 0,852 > 0,514) dan nilai ini tergolong tinggi sehingga bisa disimpulkan bahwa item pola asuh orang tua reliabel dan dapat dipergunakan untuk penelitian. Kuesioner yang digunakan untuk memperoleh data tentang mental emosional anak adalah Lembar Kuesioner Masalah Mental Emosional (KMME) yang diadopsi dari Kementrian Kesehatan RI (2012). Kuesioner ini jenis tertutup yang berisi 12 pernyataan tentang beberapa masalah mental emosional yang memerlukan jawaban “ya” atau “tidak”. 4.8 Pengolahan dan Analisis data 4.8.1 Pengolahan data Pengolahan data kuantitatif dilakukan secara manual dan menggunakan komputer. Tahapan/ langkahlangkah dalam pengolahan data adalah sebagai berikut:

82

1. Editing, yaitu pemeriksaan kebenaran pengisian data oleh responden pada kuesioner 2. Coding, yaitu pemberian kode pada masing-masing kelompok atau jenis data dalam kuesioner yang telah diisi oleh responden. 3. Scoring, dilakukan pada jawaban responden yang telah diisi pada kuesioner. 4. Tabulating, yaitu menjumlahkan data ke dalam tabel yang telah disiapkan. 5. Entry, yaitu data yang telah diberi kode dipindahkan ke dalam komputer. 4.8.2 Analisis data Analisis dilakukan melalui dua tahap, tahap pertama adalah analisis univariat. Pada analisis ini, variabel penelitian dianalisis secara diskriptif untuk mendapatkan gambaran distribusi frekuensi rerponden. Variabel yang disajikan dalam bentuk diskriptif meliputi karakeristik anak usia prasekolah (5-6 tahun), karakteristik ibu dan ayah, pola asuh ibu dan ayah serta mental emosinal anak. Selanjutnya dilakukan analisis bivariat untuk mengetahui hubungan tiap variabel tergantung dengan variabel bebas menggunakan uji KhiKuadrat.

83

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Gambaran Umum Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kelompok Belajar Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu Mojo Surabaya. Kelompok Belajar Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu Mojo Surabaya berada di jalan Mojo Kidul dan berdiri pada tahun 2003 Memiliki karyawan sejumlah 20 orang yang terdiri : Kepala sekolah (1 orang), Staf Tata Usaha (1 orang), Staf Guru (15 orang), Tenaga pembantu (2 orang) dan Satpam (2 orang). Kualifikasi guru di Kelompok Belajar Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu Mojo Surabaya adalah Sarjana: 8 orang, Diploma III: 1 orang, Diploma II: 1 orang dan SMA 5 orang. Kurikulum yang dipakai adalah Kurikulum Pendidikan Nasional dan Islam Terpadu. Kelompok Belajar Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu Mojo Surabaya terdiri dari 2 TK yaitu TK-A dan TK-B. kelompok Belajar TK-A terdiri dari 4 kelas yaitu, kelas Nabi Ismail, kelas Nabi Ibrahim, Nabi Muhammad dan kelas Nabi Musa. Sedangkan Kelompok belajar TK-B terdiri dari kelas Nabi Yunus, kelas Nabi Sulaiman, kelas Nabi Ayyub dan kelas nabi Yusuf. Masing – masing kelas memiliki kapasitas 20 anak. Kegiatan belajar mengajar dilaksanakan mulai jam 7.00 sampai jam 10.30 WIB. Fasilitas yang ada meliputi 8 ruang kelas belajar, 1 ruang Kepala Sekolah, 2 ruang guru, 2 ruang kamar kecil, 1 ruang menyimpan ATK dan permainan anak serta tempat bermain anak.

84

5.2

Data Umum Untuk melakukan analisis univariat data umum mendiskripsikan karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin anak, urutan kelahiran anak, usia, pendidikan, pekerjaan ibu dan ayah, status sosial ekonomi, lingkungan tempat tinggal, 5.2.1 Jenis Kelamin Anak 55.0%

53.6%

50.0% 46.4% 45.0% 40.0% Perempuan

Laki-laki

Gambar 5.1 Distribusi Jenis Kelamin Anak usia pra sekolah (5-6 tahun) di TK Al-Hikmah Mojo Surabaya pada bulan Mei – Juni 2013 Berdasarkan gambar 5.1 dapat dijelaskan bahwa hasil penelitian diperoleh data responden anak yang berjenis kelamin perempuan (53,6 %) lebih banyak dibandingkan yang berjenis kelamin laki-laki (46,4%).

85

5.2.2

Urutan Kelahiran Anak

100.0% 57.1% 25.0%

14.3%

3.6%

0.0% 1

2

3

4

Gambar 5.2 Distribusi Urutan Kelahiran Anak usia pra sekolah (5-6 tahun) di TK Al-Hikmah Mojo Surabaya pada bulan Mei – Juni 2013 Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data bahwa anak yang berkedudukan sebagai anak pertama (57,1 %) lebih banyak dibandingkan dengan anak kedua (25%), anak ketiga (14,3%) dan anak keempat (3,6%). 5.2.3 60.0%

Pengasuh Anak di Rumah 50.0%

40.0% 20.0%

7.1%

21.4%

14.3% 3.6%

3.6%

0.0%

Gambar 5.3 Distribusi Pengasuh di Rumah Anak usia pra sekolah (5-6 tahun) di TK Al Hikmah Mojo Surabaya pada bulan Mei – Juni 2013

86

Berdasarkan tabel 5.3 dapat dijelaskan bahwa sebagian (50%) anak diasuh oleh orang tuanya sendiri tanpa orang lain dan paling sedikit (3,6%) yaitu anak yang diasuh oleh kombinasi orang tua, nenek, kakek, pembantu dan kombinasi orang tua, nenek, pembantu. Anak yang diasuh oleh orang tuanya sendiri tanpa orang lain lebih banyak dibanding anak yang diasuh oleh orang tuanya beserta nenek, kakek dan pembantu rumah tangga. 5.2.4

Usia Ibu 21.4% (40-49 tahun)

10.7% (20-29 tahun) 67.9% (30-39 tahun)

Gambar 5.4 Distribusi usia Ibu anak usia pra sekolah (56 tahun) di TK Al-Hikmah Mojo Surabaya pada bulan Mei – Juni 2013 Berdasarkan gambar 5.4 dapat diketahui bahwa usia ibu sebagian besar (67%) berusia antara 30-39 tahun dan sebagian kecil (10,7%) ibu berusia antara 20-29 tahun.

87

5.2.5 Pekerjaan Ibu 35.7% (Tidak Bekerja) 64.3% (Bekerja)

Gambar 5.5 Distribusi pekerjaan ibu anak usia pra sekolah (5-6 tahun) di TK Al-Hikmah Mojo Surabaya pada bulan Mei – Juni 2013 Ditinjau dari pekerjaan ibu anak usia pra sekolah (5-6 tahun) didapatkan sebagian besar (64.3%) adalah ibu bekerja. 5.2.6

Pendidikan Ibu 3.6% (Dasar) 35.7% (Menengah) 60.7% (Tinggi)

Gambar 5.6 Distribusi pendidikan Ibu anak usia pra sekolah ( 5-6 tahun) di TK Al-Hikmah Mojo Surabaya pada bulan Mei – Juni 2013

88

Berdasarkan gambar 5.6 dapat diketahui bahwa pendidikan ibu sebagian besar (60,7%) adalah mempunyai pendidikan tinggi dan sebagian kecil (3,3%) yang berpendidikan dasar.

5.2.7 Usia Ayah

7.1% (5059 tahun)

3.6% (2029 tahun)

25.0% (4049 tahun) 64.3% (3039 tahun)

Gambar 5.7 Distribusi usia Ayah anak usia pra sekolah (5-6 tahun) di TK Al-Hikmah Mojo Surabaya pada bulan Mei – Juni 2013 Berdasarkan gambar 5.7 dapat dijelaskan bahwa usia ayah sebagian besar (64.3% ) berusia antara 30-39 tahun dan sebagian kecil (3,6%) berusia antara 20-29 tahun.

89

5.2.8 Pekerjaan Ayah

96.4% (Bekerja)

3.6% (Tidak Bekerja)

Gambar 5.8 Distribusi pekerjaan Ayah anak usia pra sekolah (5-6 tahun) di TK Al-Hikmah Mojo Surabaya pada bulan Mei – Juni 2013 Berdasarkan gambar 5.8 dapat dijelaskan bahwa ditinjau dari pekerjaan ayah hampir seluruhnya (96,4%) ayah adalah bekerja dan sebagian kecil (3,6%) ayah tidak bekerja. 5.2.9

Pendidikan Ayah 14.3% (Dasar)

57.1% (Tinggi)

28.6% (Menenga h)

Gambar 5.9 Distribusi pendidikan Ayah anak usia pra sekolah (5-6 tahun) di TK Al-Hikmah Mojo Surabaya pada bulan Mei – Juni 2013

90

Berdasarkan gambar 5.9 dapat dijelaskan bahwa pendidikan ayah sebagian besar (57,1%) mempunyai pendidikan tinggi dan sebagian kecil (14,3%) pendidikan dasar . 5.2.10

Status Ekonomi Keluarga

10.7% (Rendah) 89.3% (MenengahTinggi)

Gambar 5.10 Distribusi status ekonomi keluarga Ayah dan Ibu anak usia pra sekolah (5-6 tahun) di TK AlHikmah Mojo Surabaya pada Mei – Juni 2013 Berdasarkan gambar 5.10 dapat diketahui bahwa status ekonomi keluarga hampir seluruhnya (89,3%) berstatus ekonomi menengah-tinggi.

91

5.2.11 Lingkungan Tempat Tinggal Tabel 5.1 Distribusi lingkungan tempat tinggal Ayah dan Ibu anak usia pra sekolah (5-6 tahun) di TK AlHikmah Mojo Surabaya pada Mei - Juni 2013 Lingkungan Tempat Tinggal Pedesaan Perkotaan Jumlah

Frekuensi Persentase 28 28

100 100

Berdasarkan hasil penelitian seperti yang tercantum dalam tabel 5.1 dapat diketahui bahwa seluruh responden yaitu (100%) bertempat tinggal di lingkungan perkotaan sehingga semua responden memiliki karakteristik yang sama 5.3

Data Khusus

5.3.1

Pola Asuh Ibu

Berdasarkan hasil penelitian seperti tercantum dalam tabel 5.2 dapat diketahui bahwa sebagian besar ibu (67,8% menerapkan tipe pola asuh ibu yang demokratis , dan tidak ada yang menerapkan tipe pola asuh otoriter, permisif maupun tipe pola asuh yang kombinasi demokratis + otoriter + permisif.

92

Tabel 5.2 Pola Asuh Ibu anak usia pra sekolah (5-6 tahun) di TK Al-Hikmah Mojo Surabaya pada bulan Mei – Juni 2013 Pola Asuh Ibu

Frekuensi

Persentase

Demokratis Otoriter Permisif Demokratis + Otoriter

19 8

67,8 28,6

Demokratis + Permisif

1

3,6

Demokratis + Otoriter + Permisif

-

-

Jumlah

28

100

5.3.2 Pola Asuh Ayah Berdasarkan tabel 5.3 dapat dijelaskan bahwa sebagian besar ayah (57,1%) tipe pola asuh yang diterapkan adalah tipe pola asuh demokratis, sebagian kecil (7,2%) ayah yang menerapkan tipe pola asuh demokratis + otoriter + permisif dan tidak ada yang mempunyai tipe pola asuh otoriter dan permisif.

93

Tabel 5.3 Distribusi tipe Pola Asuh Ayah anak usia pra sekolah (5-6 tahun) di TK Al-Hikmah Mojo Surabaya pada bulan Mei – Juni 2013 Pola Asuh Ayah Demokratis Otoriter Permisif Demokratis + Otoriter Demokratis + Permisif Demokratis + Otoriter + Permisif Jumlah

Frekuensi 16 7 3 2 28

Persentase 57,1 25,0 10,7 7,2 100

5.3.3 Mental Emosional Anak Tabel 5.4 Distribusi Mental Emosional Anak Usia 5-6 Tahun di TK Al-Hikmah Mojo Surabaya pada Bulan Mei-Juni 2013 Mental Emosional Anak Kemungkinan Mengalami Masalah Mental Emosional Tidak Mengalami Masalah Mental Emosional Jumlah

Frekuensi

Persentase

10

32,1

18

67,9

28

100

Berdasarkan tabel 5.4 dapat dijelaskan bahwa dari 28 anak didapatkan sebagian besar (67,9%) anak tidak mengalami masalah mental emosional.

94

5.3.4 Pola asuh ibu berdasarkan pendidikan ibu Tabel 5.5 Pola asuh ibu terhadap anak usia pra sekolah (5-6 tahun) berdasarkan Pendidikan di TK Al-Hikmah Mojo Surabaya pada Bulan Mei - Juni 2013 Pendidikan Ibu

Pola Asuh Ibu Demokratis Demokratis, Demokratis, Otoriter Permisif n % n % n % Tinggi 14 82,4 3 17,6 Menengah 5 50,0 5 50,0 Dasar 1 100 Jumlah 19 67,8 8 28,6 1 3,6 p = 0,095 (p > 0,05, Uji Eksak dari Fisher)

Jumlah

N 17 10 1 28

% 100 100 100 100

Berdasarkan tabel 5.5 menunjukkan bahwa pola asuh demokratis, lebih banyak diterapkan oleh ibu pendidikan tinggi (82,4%) sedangkan ibu berpendidikan menengah hanya sebagian (50%) dan ibu dengan pendidikan dasar tidak ada (0)%). Pola asuh kombinasi demokratis otoriter, diterapkan oleh sebagian kecil ibu pendidikan tinggi (17,6%) dan sebagian pendidikan menengah (50%). Pola asuh kombinasi demokratis permisif hanya diterapkan oleh ibu yang berpendidikan dasar. Artinya ibu yang berpendidikan tinggi cenderung demokratis murni pola asuhnya. Hasil uji Eksak dari Fisher didapatkan p = 0,095 ( p > 0,05) menunjukan

95

bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan ibu dengan tipe pola asuh ibu.. 5.3.5

Pola asuh ibu berdasarkan status ekonomi keluarga

Tabel 5.6 Pola asuh ibu terhadap anak usia pra sekolah (5-6 tahun) berdasarkan status ekonomi keluarga di TK Al-Hikmah Mojo Surabaya pada bulan Mei - Juni 2013 Status Ekonomi Keluarga MenengahTinggi Rendah Jumlah

Demokratis N 18

% 72,0

Pola Asuh Ibu Demokratis, Demokratis, Otoriter Permisif n % n % 7 28,0 -

1 33,3 1 33,3 1 33,3 19 67,8 8 28,6 1 3,6 p= 0,234 ( p > 0,05, uji Eksak dari Fisher)

Jumlah

N 25

% 100

3 28

100 100

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa pola asuh demokratis lebih banyak diterapkan oleh ibu dengan status ekonomi keluarga menengah-tinggi (72%) dan ibu dengan status ekonomi keluarga rendah hanya hampir sebagian (33,3%). Pola asuh kombinasi demokratis dan permisif hanya diterapkan oleh ibu dengan status ekonomi keluarga yang rendah. Artinya semakin tinggi status ekonomi keluarga maka cenderung demokratis murni pola asuhnya. Hasil uji Eksak dari Fisher didapatkan p = 0,234 (p > 0,05) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara status ekonomi

96

keluarga dengan tipe pola asuh ibu. Pola asuh ibu berdasarkan lingkungan tempat tinggal 5.3.6 Pola asuh ibu berdasarkan lingkungan tempat tinggal Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua responden ibu lingkungan tempat tinggalnya di kota besar dan sebaran pola asuhnya adalah ibu yang menerapkan pola asuh demokratis lebih banyak (67,8%) dibandingkan ibu yang menerapkan pola asuh kombinasi demokratis otoriter (28,6%) dan pola asuh kombinasi demokratis, otoriter dan permisif (3,6%). 5.3.7 Pola asuh ayah berdasarkan pendidikan ayah Tabel 5.7 Pola asuh ayah anak usia pra sekolah (5-6 tahun) berdasarkan pendidikan di TK Al-Hikmah Mojo Surabaya padaBulan Mei-Juni 2013 Pola Asuh Ayah Pendidikan Demokrati Ayah s

Demokratis, Demokratis, Demokrati Otoriter Permisif s, Otoriter, Permisif

Jumlah

n

%

n

%

n

%

n

%

N

%

Tinggi

9

56,2

3

18,8

2

12,5

2

12,5

16

100

Menengah

6

75,0

2

25,0

-

-

-

-

8

100

Dasar

1

25,0

2

50,0

1

25,0

-

-

4

100

Jumlah 16 57,1 7 25,0 3 10,7 p = 0,560 ( p > 0,05 , Uji Eksak dari Fisher)

2

7,2

28

100

97

Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa pola asuh demokratis lebih banyak diterapkan oleh ayah yang pendidikan menengah (75,0%) sedangkan yang berpendidikan tinggi hanya sebagian besar (56,2%) dan pendidikan dasar sebagian kecil (25%). Pola asuh kombinasi demokratis dan otoriter diterapkan oleh sebagian ayah yang pendidikan dasar (50,0%) sedangkan pendidikan menengah hanya hampir sebagian (25,0%) dan pendidikan tinggi hanya sebagian kecil (18,8%). Hasil Khi-Kuadrat didapatkan p = 0,912 ( p > 0,05) menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan ayah dengan tipe pola asuh ayah. 5.3.8 Pola asuh ayah berdasarkan status ekomomi keluarga Tabel 5.8 Pola asuh ayah terhadapa anak usia prasekolah (5-6 tahun) berdasarkan Status ekonomi keluarga di TK Al-Hikmah Mojo Surabaya pada bulan Mei-Juni 2013 Status Ekonomi Keluarga

Pola Asuh Ayah

Jumlah

Demokratis Demokratis, Demokrati Demokrati Otoriter s, Permisif s, Otoriter, Permisif n % n % n % n %

N

%

Menenga h-Tinggi Rendah

15

60,0

6

24,0

2

8,0

2

8,0

25

100

1

33,3

1

33,3

1

33,3

-

-

3

100

Jumlah

16

57,1

7

25,0

3

10,7

2

7,2

28 100

p = 0,560 ( p > 0,05 , Uji Eksak dari Fisher)

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan data bahwa pola asuh demokratis, lebih banyak diterapkan

98

ayah dengan status ekonomi keluarga menengah-tinggi (60,0%) dan hanya hampir sebagian status ekonomi keluarganya rendah (33,3%). Pola asuh kombinasi demokratis otoriter dan pola asuh kombinasi demokratis permisif lebih banyak diterapkan ayah dengan status ekonomi keluarga yang rendah (33,3%). Hasil uji Eksak dari Fisher didapatkan p = 0,560 (p > 0,05) menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara status ekonomi keluarga dengan tipe pola asuh ibu. 5.3.9 Pola asuh ayah berdasarkan lingkungan tempat tinggal Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua responden ayah lingkungan tempat tinggalnya di kota besar dan sebaran pola asuhnya adalah ayah yang menerapan pola asuh demokratis lebih banyak (57,1%) dibandingkan ayah yang menerapkan pola asuh kombinasi demokratis dan otoriter (25 %), pola asuh kombinasi demokratis dan permisif (10,7%) dan pola asuh kombinasi demokratis dan otoriter dan permisif (2,7%). 5.3.10. Hubungan antara pola asuh ibu dengan mental emosional anak Berdasarkan Tabel 5.9 dapat dijelaskan bahwa anak yang kemungkinan mengalami masalah mental emosional, lebih banyak didapatkan pada ibu yang menerapkan pola asuh kombinasi demokratis dan otoriter (50,0%) sedang ibu yang menerapkan pola asuh

99

demokratis hanya hampir sebagian (31,6%). Anak yang tidak mengalami masalah mental emosional, lebih banyak didapatkan pada ibu dengan pola asuh demokratis (68,4%) dan pola asuh kombinasi demokratis permisif (100%). Hasil uji Regresi Logistik didapatkan p = 0,429 (p > 0,05) menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara tipe pola asuh ibu dengan mental emosional anak. Tabel 5.9 Hubungan antara pola asuh ibu dengan mental emosional anak usia pra sekolah (5-6 tahun) di TK AlHikmah Mojo Surabaya pada bulan Mei-Juni 2013 Tipe Pola Asuh Ibu

Demokratis Demokratis dan Otoriter Demokratis dan Permisif Jumlah

Mental Emosional Tidak Kemungkinan mengalami mengalami masalah masalah mental mental emosional n % n % 13 68,4 6 31,6 4 50,0 4 50,0 1

100

-

Jumlah

N 19 8

% 100 100

1

100

18 67,9 10 32,1 28 p = 0,429 (p > 0,05, Uji Regresi Logistik)

100

5.3.11 Hubungan antara pola asuh ayah dengan mental emosional anak Berdasarkan tabel 5.10 dapat dijelaskan bahwa anak yang kemungkinan mengalami masalah mental emosional, lebih banyak terjadi pada ayah yang menerapkan pola asuh kombinasi demokratis dan otoriter dan permisif (50,0%) sedangkan pola asuh kombinasi

100

demokratis dan otoriter hanya hampir sebagian (42,9%) dan pola asuh kombinasi demokratis dan permisif sebagian kecil (33,3%) maupun ayah yang menerapkan pola asuh demokratis juga sebagian kecil (31,3%). Hasil uji Regresi Logistik didapatkan p = 0,708 (p >0,05) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pola asuh ayah dengan mental emosional anak. Tabel 5.10 Hubungan antara pola asuh ayah dengan mental emosional anak usia pra sekolah (5-6 tahun) di TK Al-Hikmah Mojo Surabaya pada bulan Mei-Juni 2013 Tipe Pola Asuh Ayah

Mental Emosional Tidak mengalami masalah mental emosional n %

Demokratis

Jumlah

Kemungkinan mengalami masalah mental N

%

N

%

11

68,7

5

31,3

16

100

4

57,1

3

42,9

7

100

2

66,7

1

33,3

3

100

1

50,0

1

50,0

2

100

18

62,9

32,1 10 p = 0,708 ( p > 0,05, Uji Regresi Logistik)

28

100

Demokratis dan Otoriter Demokratis dan Permisif Demokratis dan Permisif dan Otoriter Jumlah

101

5.3.12

Hubungan jenis kelamin anak dengan mental emosional anak

Tabel 5.11 Hubungan antara jenis kelamin dengan mental emosional anak usia pra sekolah (5-6 tahun) di TK Al-Hikmah Mojo Surabaya pada Bulan Mei-Juni 2013 Jenis Kelamin

Mental Emosional Tidak mengalami masalah N %

Jumlah

Perempuan

10

66,3

Kemungkinan mengalami masalah % n 5 33,3

15

100

Laki laki

8

61,5

5

38,3

13

100

Jumlah

18

62,9

10

32,1

28

100

N

%

p = 0,923 (p > 0,05, Uji Regresi Logistik)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada anak yang tidak mengalami masalah mental emosional, lebih banyak pada anak jenis kelamin perempuan (66,3%) daripada anak jenis kelamin laki-laki (61,5%). Sedangkan anak yang kemungkinan mengalami masalah mental emosional lebih banyak pada anak jenis kelamin laki-laki (38,3%) dibanding anak jenis kelamin perempuan (33,3%). Hasil uji Eksak dari Fisher diperoleh p = 0,923 (p > 0,05) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan mental emosional anak.

102

5.3.13 Hubungan antara pengasuh anak dirumah dengan mental emosional anak Tabel 5.12 Hubungan antara pengasuh anak dirumah dengan mental emosional anak usia pra sekolah (5-6 tahun) di TK Al-Hikmah Mojo Surabaya pada Bulan Mei-Juni 2013 Pengasuh anak di rumah

Mental Emosional Tidak mengalami masalah mental emosional n %

Jumlah

Kemungkinan mengalami masalah mental n

%

N

%

Orang tua Orang tua dan nenek Orang tua, nenek dan kakek Orang tua, nenek dan pembantu Orang tua, nenek, kakek dan pembantu Orang tua dan Pembantu

10 2 1

71,4 100 25

4 3

28,6 75

14 2 4

100 100 100

1

100

-

-

1

100

-

-

1

100

1

100

4

66,7

2

33,3

6

100

Jumlah

18

100

100

28

100

10 p = 0, 426 ( p > 0,05, Uji Regresi Logistik )

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa anak yang kemungkinan mengalami masalah mental emosional lebih banyak terjadi pada anak yang diasuh oleh orang tua, nenek, kakek dan pembantu (100%) serta diasuh orang tua, nenek dan kakek (75%) hanya sebagian kecil yang diasuh orang tuanya saja (28,6%). Artinya

103

anak yang diasuh bersama orang tua, nenek, kakek dan pembantu cenderung kemungkinan mengalami masalah mental emosional. Hasil uji Eksak dari Fisher diperolep p = 0,426 (p > 0,05) menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara pengasuh anak di rumah dengan mental emosional anak. 5.4 PEMBAHASAN Pembahasan ini sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk mempelajari hubungan antara pola asuh yang diterapkan orangtua kepada anak dengan mental emosional anak usia prasekolah (5-6 tahun) di TK AlHikmah Mojo Surabaya, dan setelah melakukan analisa dan melihat hasil yang diperoleh maka didapatkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pola asuh dengan mental emosional anak. 5.4.1 Pola asuh orangtua Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pola asuh orang tua anak usia prasekolah (5-6 tahun) di TK AlHikmah Mojo Surabaya sebagian besar ibu dan ayah menerapkan pola asuh demokratis. Pola asuh orang tua merupakan pola sikap atau perlakuan orang tua terhadap anak yang masing-masing mempunyai pengaruh tersendiri terhadap perilaku anak antara lain terhadap kompetensi emosional, sosial dan intelektual anak (Yusuf, 2011). Menurut Baumrind (1967) dalam Yusuf (2011) memaparkan bahwa pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu untuk

104

mengendalikan mereka, pendekatannya bersifat hangat, selalu mengarahkan aktifitas anak secara rasional, senantiasa mendorong anak untuk menyatakan pendapat atau bertukar pikiran dengan anak mengenai kebijakannya dan menerima rasa keberatan anak jika anak merasa sulit untuk menyesuaikan diri serta memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik maupun yang buruk. Anak mendapatkan kebebasan untuk memilih dan melakukan suatu tindakan secara bertanggung jawab dibawah pengawasan orang tua dan dapat dipertanggung jawabkan secara moral. Pola asuh ini bertentangan dengan pola asuh otoriter dimana orang tua cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya diikuti dengan ancaman-ancaman, memaksa, memerintah dan menghukum. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi, dan dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah, serta tidak memerlukan umpan balik dari anaknya. Sedangkan orang tua yang menerapkan pola asuh permisif biasanya memberikan pengawasan yang longgar. Mereka cenderung tidak menegur atau tidak memperingatkan anak apabila sedang dalam bahaya dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh orangtua. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Baumrind (1967) dalam Yusuf (2011) bahwa pola asuh demokratis memang merupakan pola asuh yang terbaik dalam mendukung perkembangan anak. Berbagai macam pola asuh yang diterapkan orang tua tergantung dari latar belakang orang tua dan faktor lain yang mempengaruhinya. Pendidikan orang tua mempunyai peranan dalam penerapan pola asuh terhadap

105

anak. Berdasarkan dari hasil analisis yang peneliti dapatkan, pendidikan menengah dan tinggi yang dimiliki ibu dan ayah paling menonjol dalam penelitian ini. Responden ibu dengan latar belakang pendidikan menengah dan tinggi sebagian besar menerapkan pola asuh demokratis terhadap anaknya. Demikian juga dengan ayah yang berlatar belakang pendidikan menengah dan tinggi hampir seluruhnya menerapkan pola asuh demokratis. Hasil uji Eksak dari Fisher didapatkan tidak ada hubungan antara pendidikan ayah dengan pola asuh ayah terhadap anak.. Menurut Dariyo (2004), bahwa tingkat pendidikan orang tua akan mempengaruhi kemampuan orang tua dalam membimbing anak, dengan pendidikan yang baik, kemampuan orang tua dalam membimbing anak akan semakin baik pula. Orang tua dengan pendidikan yang tinggi akan lebih bijaksana dan lebih mengerti harus bersikap bagaimana dalam mengasuh anak-anaknya yang memiliki karakter yang berbeda-beda. Pendidikan orang tua yang tinggi membuat orang tua dapat menerima informasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik, bagaimana cara menjaga kesehatan anaknya, pendidikannya dan sebagainya (Soetjiningsih, 2002). Orang tua akan lebih memilih mengasuh anak dengan cara terbaik dengan harapan anak akan menjadi seseorang yang berperilaku positif, baik di mata keluarga maupun masyarakat. Sedangkan menurut Utami (2006), mengatakan bahwa dengan adanya bekal ilmu untuk mendampingi anak akan menuntun orang tua ke arah demokratis dibanding dengan yang tidak memiliki bekal ilmu. Hasil penelitian ini tidak mendukung pendapat

106

Dariyo (2004), Soetjiningsih (2002) bahwa tingkat pendidikan orang tua akan mempengaruhi kemampuan orang tua dalam membimbing anak, dengan pendidikan yang baik, kemampuan orang tua dalam membimbing anak akan semakin baik pula. Pola asuh orang tua berdasarkan status sosial ekonomi keluarga dari hasil penelitian didapatkan bahwa ibu dan ayah dengan status ekonomi keluarga menengah – tinggi sebagian besar menerapkan pola asuh demokratis dan sebagian kecil menerapkan pola asuh kombinasi demokratis dan otoriter. Sedangkan ibu dan ayah dengan status ekonomi keluarga yang rendah hampir pola asuh yang diterapkan adalah bervariasi yaitu pola asuh demokratis, kombinasi demokratis dan otoriter maupun kombinasi demokratis dan permisif. Hasil uji Eksak dari Fisher menunjukkan tidak ada hubungan antara status ekonomi keluarga dengan pola asuh orang tua. Kondisi perekonomian keluarga akan berdampak pada pola asuh orang tua terhadap anaknya. Santrock (2007) memaparkan bahwa orang tua dengan status ekonomi yang lebih tinggi, maka (1) lebih peduli pada pembentukan inisiatif anak, (2) anak diposisikan hampir setara dan aturan didiskusikan bukan ditetapkan secara otoriter, (3) lebih sedikit menggunakan hukuman fisik dan (4) tidak mengatur serta lebih membuka percakapan dengan anak. Sedangkan orang tua dengan status ekonomi yang lebih rendah cenderung (1) menggunakan hukuman fisik lebih banyak dalam mendisiplinkan anak mereka, (2) menciptakan suasana rumah dimana orang tua memiliki otoritas atas anak, (3) lebih mengatur serta kurang suka mengadakan percakapan dengan anak.

107

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan pendapat Santrock (2007) maupun pendapat Sigelman & Shafefer dalam Yusuf (2011) bahwa orang tua kelas bawah sangat menekankan kepatuhan, respek terhadap otoritas, lebih restriktif (keras) dan otoriter, kurang memberikan alasan kepada anak, kurang bersikap hangat dan memberikan kasih sayang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara status ekonomi keluarga dalam penerapan pola asuh terhadap anak. Berdasarkan lingkungan tempat tinggal orang tua, pola asuh yang diterapkan pada anak diperoleh hasil bahwa seluruh orang tua yang bertempat tinggal di perkotaan sebagian besar menerapkan pola asuh yang demokratis. Menurut Mussen (1994) suatu lingkungan tempat tinggal akan mempengaruhi cara orang tua dalam menerapkan pola asuh yang dilakukan orang tua terhadap anaknya. Keluarga yang tinggal di kota besar kemungkinan orang tua akan banyak mengontrol perilaku anaknya, karena merasa khawatir akan banyak pengaruh pergaulan yang buruk bagi anaknya. Selain itu sikap acceptance dan kontrol yang tinggi merupakan salah satu ciri pola asuh orang tua yang demokratis (Yusuf, 2011). Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Mussen (1994) bahwa suatu lingkungan tempat tinggal dapat mempengaruhi cara orang tua dalam menerapkan pola asuh pada anaknya. 5.4.2 Mental emosional anak Hasil identifikasi tentang masalah mental emosional pada 28 anak usia prasekolah (5-6 tahun) di TK Al-Hikmah Mojo Surabaya, hampir setengah

108

responden kemungkinan mengalami masalah mental emosional. Masalah mental emosional yang terjadi yaitu anak terlihat sering marah tanpa sebab, berperilaku merusak dan menentang, konsentrasi yang buruk/mudah teralihnya perhatiannya, kesulitan dalam berkomunikasi, perubahan pola makan, mengeluh sakit perut, mengeluh putus asa dan perbuatan yang berulang-ulang. Menurut Clemes yang dikutip Tarmizi (2009) bahwa terjadinya penyimpangan perilaku anak disebabkan kurangnya ketergantungan antara anak dengan orang tua. Hal ini terjadi karena antara anak dan orang tua tidak pernah sama dalam segala hal. Ketergantungan anak kepada orang tua ini dapat terlihat dari keinginan anak untuk memperoleh perlindungan, dukungan, dan asuhan dari orang tua dalam segala aspek kehidupan. Selain itu, anak yang menjadi “masalah” kemungkinan terjadi akibat dari tidak berfungsinya sistem sosial di lingkungan tempat tinggalnya. Dengan kata lain perilaku anak merupakan reaksi atas perlakuan lingkungan terhadap dirinya. Anak-anak yang kemungkinan mengalami masalah mental emosional pada penelitian ini diduga karena: (1) Sebagian besar ibu dalam penelitian ini adalah bekerja. Ibu yang bekerja diluar rumah pada zaman yang sudah modern saat ini merupakan suatu hal yang biasa dan merupakan tuntutan masyarakat yang sudah maju, karena dengan bekerja mengurangi kejenuhan di dalam mengurus rumah tangga dan dapat menambah penghasilan keluarga, menambah wawasan serta pengetahuan dalam pergaulan di dalam masyarakat. Pekerjaan yang dilakukan oleh ibu sangat bervariasi baik

109

sebagai PNS, bekerja di sektor swasta maupun berwiraswasta. Menurut Gunarsa (2010) ibu yang terlalu lelah karena pekerjaan baik di luar atau di dalam rumahnya menempatkan ibu pada suatu kedudukan dimana secara tidak sadar ia menjadi tokoh yang kurang sabar dalam menghadapi anak-anaknya, bila interaksi antara ibu dan anak tidak maksimal menyebabkan kurangnya komunikasi, anak kurang mendapatkan kasih sayang dari orang ruanya karena ibu terlalu sibuk dengan pekerjaaanya. Jadi ibu yang bekerja di luar rumah sebaiknya bisa membagi waktu untuk pekerjaaan dan untuk rumah tangganya dan ibu tidak hanya mengandalkan anak di asuh oleh pengasuh saja, (2) Pengasuh anak di rumah. Dalam penelitian ini anak selain diasuh oleh orang tuanya sendiri ada sebagian anak juga diasuh oleh orang tua nenek, kakeknnya. Dalam budaya keluarga di Indonesia, figure nenek dan kakek memiliki tempat khusus. Hubungan kekerabatan antara anak dengan orang tua dan cucu dengan nenek kakek sangat dekat, keberadaan grandparents memang tidak bisa dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan anak. Menurut Prameswari (2012), mempercayakan pengasuhan anak kepada nenek kakek di satu sisi memang menguntungkan. Nenek kakek menjadi salah satu sumber bantuan, dukungan dan dorongan. Mereka lebih berpengalaman, lebih mengetahui apa yang harus dilakukan jika cucu tidak enak badan, tidak mau makan, menangis dan sebagainya. Masalah kasih sayang juga tidak diragukan lagi. Mereka dengan sepenuh hati akan memberikan yang terbaik untuk bagi cucunya. Namun kadang-kadang campur tangan nenek maupun kakek

110

dalam mengasuh anak sering tidak sejalan dengan orang tua. Nenek kakek membuat aturan sendiri, meski anaknya sudah dewasa dan berkeluarga di mata nenek dan kakek umumnya anak tetap dianggap anak dan dipandang belum berpengalaman merawat dan mengasuh anak. Aturan yang dibuat anaknya dirasa terlalu rumit dan sulit. Nenek dan kakek merasa bahwa mengasuh cucu merupakan kesempatan menebus kesalahan yang dulu pernah mereka lakukan selama mengasuh putra-putri mereka. Pola asuh yang diterapkan biasanya cenderung permisif (lebih banyak memberikan keleluasaan kepada cucu untuk melakukan apa saja yang dikehendaki dan mendapatkan apa yang diinginkan). Pola asuh yang tidak sejalan antara orang tua dan nenek kakek, bisa membuat perkembangan psikologis anak menjadi anak tidak seimbang. Akan terjadi dualisme kepemimpinan dalam diri anak-anaknya. Hal ini menyebabkan anak-anak bingung, harus mengikuti perkataan siapa, orang tua yang melahirkan mereka atau nenek dan kakek yang sehariharinya mengasuh mereka. Padahal peran orang tua sebagai pengasuh seharusnya lebih besar daripada nenek dan kakeknya. Orang tua tetap harus menjadi figur pengasuh yang utama. Selain terjadinya dualisme dalam diri anak, sikap mandiri dan disiplin juga sulit untuk terbentuk dalam dirinya. Anak yang lebih dekat dengan nenek atau kekeknya, cenderung lebih bersikap santai, kurang bisa menegakkan disiplin, kurang mandiri. Anak lebih suka merengek dan manja karena nenek atau kakeknya, sehingga secara tidak sadar menganggap sikap seperti itu bukan masalah yang besar. Ketidak mandirian ini bisa berkembang dari hal-hal yang kecil, seperti tidak

111

mau mandi sendiri, makan harus diambilkan atau bahkan minta disuapi, sampai dalam menyelesaikan masalahmasalah mereka sendiri, baik di sekolah maupun lingkungan di rumahnya. Pada akhirnya akan timbul pula sifat kurang percaya diri dalam diri anak karena terbiasa dibantu untuk mendapatkan atau meraih sesuatu. Konflik yang mungkin terjadi antara orang tua dengan nenek dan kakek akibat perbedaan cara pandang dalam pengasuhan anak bisa diatasi dengan komunikasi dan kesepakatan antara lain: a) Santun membicarakan secara terbuka, sampaikan harapan orang tua terhadap nenek dan kakek dalam merawat dan menerapkan pola asuh. Jelaskan bahwa orang tua telah sepakat tentang cara mengasuh anak, b) Hargai pendapat nenek dan kakek apabila mempunyai cara pandang yang berbeda dengan orang tua. Tegaskan bahwa orang tua mempunyai tujuan mulia dari cara mengasuh anak, c) Ajak nenek dan kakek untuk menambah pengetahuan tentang cara mengasuh anak, misalnya dengan mengajaknya untuk mengikuti seminar perawatan dan pengasuhan anak, atau membaca mejalah dan buku-buku serupa, d) Ajak nenek dan kakek berbagi peran dalam merawat dan mengasuh anak, misal orang tua membuat aturan dalam merawat dan mendisiplinkan anak, sedangkan nenek dan kakek ikut mengawasi penerapannya. Sebaiknya nenek dan kekek diajak berdiskusi serta dilakukan kesepakatan yang baik. (3) Urutan kelahiran anak. Jika ditinjau dari segi urutan kelahiran anak, terdapat sebagian kecil anak yang dalam struktur keluarga berada pada urutan anak nomor dua. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Stein (1970) yang dikutup Herwani (2013) bahwa anak yang

112

lahir kedua selalu merasa tidak pernah mendapat perhatian penuh dari orang tuanya, selalu memiliki saudara (kakak) yang lebih diperhatikan daripada dirinya, seperti di dalam lomba, anak kedua selalu mencoba untuk mengejar atau menyusul anak pertama. Jika anak pertama adalah “baik” atau berhasil, maka anak kedua mungkin menjadi buruk atau merasa tidak pasti tentang dirinya dan kemampuannya bahkan mungkin menjadi pemberontak. (4) Faktor jenis kelamin. Jenis kelamin anak laki-laki pada penelitian ini menunjukkan ada kecenderungan kemungkinan mengalami masalah mental emosional dibandingkan dengan anak perempuan. Menurut Hurlock (1991) anak laki-laki cenderung lebih ekspresif dalam mengungkapan emosinya misalnya pemarah, tidak bisa diam, teriak-teriak dan jahil sedangkan kalau anak perempuan mudah menangis, takut dan cemberut. 5.4.3 Hubungan antara pola asuh dengan mental emosional anak Hasil analisis secara diskriptif menunjukkan bahwa anak yang tidak mengalami masalah mental emosional didapatkan lebih banyak pada anak yang ibunya menerapkan pola asuh demokratis. Anak yang kemungkinan mengalami masalah mental emosional terjadi lebih banyak pada anak yang memperoleh pola asuh ibu yang kombinasi demokratis otoriter, kombinasi demokratis dan permisif serta kombinasi demokratis dan otoriter dan permisif dibanding ibu yang menerapkan pola asuh demokratis. Namun hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan

113

antara pola asuh ibu dengan mental emosional anak. Sedangkan untuk hubungan antara pola asuh ayah dengan mental emosional anak secara analisis deskriptif didapatkan bahwa anak yang tidak mengalami masalah mental emosional lebih banyak didapatkan pada ayah yang menerapkan pola asuh demokratis. Anak yang kemungkinan mengalami masalah mental emosional, lebih banyak terjadi pada anak yang ayahnya menerapkan pola asuh kombinasi demokratis dan otoriter serta kombinasi demokratis dan otoriter dan permisif dibandingkan dengan ayah yang menerapkan pola asuh demokratis. Hasil uji statistik menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pola asuh ayah dengan mental emosional anak. Meskipun pola asuh yang diterapkan orang tua berbeda yaitu pola asuh demoktaris, kombinasi demokratis dan otoriter, kombinasi demokratis dan permisif, serta pola asuh kombinasi demokratis dan otoriter dan permisif ternyata mental emosional anaknya kemungkinan mengalami masalah. Masa prasekolah merupakan masa yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, salah satunya perkembangan emosi. Posisi kunci dalam pembinaan anak terutama pada usia dini (0-6 tahun) berada di tangan orang tuanya. Pada usia ini hampir seluruh waktu anak berada di dekat orang tuanya dan akan sangat tergantung kepadanya. Orang tuanyalah yang paling mengetahui secara seksama perubahan yang terjadi pada anaknya (BKKBN, 2009). Sehingga jelas orangtua harus bertanggung jawab terhadap kehidupan anaknya. Orang tua sangat berperan dalam pembentukan konsep diri,

114

sebagai teladan atau tokoh peniruan (model) bagi anak, dan stimulator tumbuh kembang anak. Mengingat sangat srategisnya posisi orang tua dalam mengembangkan kepribadian anak, maka orangtua serta anggota keluarga harus mampu mewujudkan lingkungan keluarga yang positif dan dapat merangsang tumbuh kembang anak secara optimal sesuai dengan usia anak baik dalam aspek fisik, psikis, keterampilan, kecerdasan, sosial maupun emosional (BKKBN, 2009). Anak usia pra sekolah memerlukan pemenuhan kebutuhan akan rasa kasih sayang dan memiliki. Kebutuhan akan rasa kasih sayang adalah kebutuhan untuk mengadakan hubungan afeksi atau ikatan emosional dengan orang lain, yang diaktualisasikan dalam bentuk akan rasa memiliki dan dimiliki, mencintai dan dicintai, kebutuhan akan rasa diakui dan diikutsertakan dalam kelompok. Menurut Maslow, tanpa cinta dan kasih sayang akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan individu. Terhambatnya pemenuhan akan rasa cinta dan kasih sayang menjadi penyebab utama tingkah laku maladjustment (Desmita , 2012). Pola asuh merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi emosi pada anak. Pola asuh adalah proses memperkenalkan dan mendukung perkembangan fisik, emosi, sosial dan intelektual seorang bayi sampai dewasa berupa interaksi antara anak dan pengasuhnya, yang meliputi proses pengembangan pengetahuan dan keterampilan yang sesuai untuk anak, memberi aturan dan batasan, menanamkan kepercayaan, memberi perlindungan, memenuhi kebutuhan anak serta

115

mengajarkan tingkah laku umum yang dapat diterima oleh masyarakat (Davies 2000 dalam Herwini 2013). Pola asuh orang tua terhadap anak akan menentukan perkembangan kepribadian anak. Orang tua yang cara mendidik anaknya bersifat demokratis akan menimbulkan suasana rumah yang lebih santai yang akan menunjang bagi ekspresi emosi yang menyenangkan, anak akan bersikap bersahabat, memiliki rasa percaya diri, mampu mengendalikan diri. Orang tua yang mendidik anaknya secara otoriter, yang menggunakan metode hukuman untuk memperkuat kepatuhan secara ketat, akan mendorong emosi yang tidak menyenangkan menjadi dominan, anak mudah tersinggung, mudah stress, tidak bersahabat, penakut dan lain-lain. Orang tua yang melindungi anak secara berlebihan (overprotective), yang hidup dalam prasangka bahaya terhadap segala sesuatu, akan menimbulkan rasa takut pada anak menjadi dominan (Hurlock, 1991). Bredehoft dkk (1998) dalam Herwini (2013) menyatakan bahwa pemanjaan berlebihan berasal dari kebutuhan orang tua. Dalam pola asuh memanjakan berlebihan, orang tua tidak memberikan sesuatu yang tepat bagi anak-anak mereka. Orang tua memberi anakanak seluruh sumber daya keluarga yang berlebihan pada saat perkembangan yang tidak tepat, yang mencegah mereka bertanggung jawab dari tugas-tugas dalam perkembangan diri mereka. Pada pola asuh pemanjaan berlebihan, anak-anak akan tumbuh dalam dunia yang tidak realitas akibatnya anak gagal untuk mempelajari berbagai keterampilan seperti ketekunan, mengatasi kegagalan secara efektif dan dalam pergaulan dengan

116

orang lain. Menurut Coleman (1980), anak yang terlalu dimanjakan seringkali menjadi anak yang manja, egois, tidak pengertian dan menuntut berlebihan, namun mereka mudah masuk kedalam hubungan interpersonal yang hangat tetapi cenderung mengeksploitasi orang lain untuk kepentingan mereka sendiri dengan cara yang sama seperti saat mereka mengeksploitasi orang tua mereka. Emosi pada anak dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya adalah : yang pertama pola asuh orang tua. Pola asuh orang tua yang diterapkan pada anak dipengaruhi beberapa faktor, seperti pendidikan orang tua, status sosial ekonomi dan lingkungan tempat tinggal. Yang kedua Faktor genetika (Temperamen anak). Temperamen merupakan sifat-sifat keturunan yang dimiliki oleh individu dari orang tua yang dapat berupa fisik maupun mental. Mengenai mental misalnya sifat pemarah, pendiam dan lain-lain (Desmita, 2012). Temperamen juga merupakan salah satu dimensi psikologis yang berhubungan dengan aktivitas fisik dan emosional serta merespon. Yang ketiga kondisi kesehatan anak. Kesehatan anak yang baik dapat mendorong emosi yang menyenangkan menjadi dominan. Sedangkan kesehatan yang buruk menyebabkan emosi yang tidak menyenangkan menjadi dominan (Hurlock, 1991). Anak yang sehat cenderung tidak mudah emosional jika dibandingkan dengan anak yang kurang sehat (Baharuddin, 2010). Yang ke empat kondisi keluarga (suasana rumah). Jika anak tumbuh dalam lingkungan rumah yang lebih banyak berisi kebahagiaan dan apabila pertengkaran, kecemburuan, dendam, dan perasaan lain yang tidak menyenangkan diusahakan sesedikit mungkin,

117

maka anak akan lebih banyak mempunyai kesempatan untuk menjadi anak yang bahagia (Hurlock, 1991). Yang kelima hubungan dengan teman sebaya. Jika anak diterima dengan baik oleh kelompok teman sebaya maka emosi yang menyenangkan akan menjadi dominan padanya, sedangkan jika anak ditolak atau diabaikan oleh kelompok teman sebaya maka emosi yang tidak menyenangkan akan menjadi dominan padanya (Hurlock, 1991). Menurut Santrock (2007) hubungan sebaya yang baik diperlukan untuk perkembangan sosioemosional yang normal. Anak yang menarik diri, yang ditolak oleh teman sebaya dan anak yang merasa kesepian akan memiliki risiko untuk mengalami depresi. Anak yang bersikap agresif terhadap teman sebaya mereka memiliki risiko mengalami beberapa masalah kenakalan pada masa remaja dan putus sekolah. Yang terakhir adalah hubungan dengan para anggota keluarga. Hubungan yang tidak rukun dengan orang tua atau saudara akan lebih banyak menimbulkan kemarahan dan kecemburuan sehingga emosi ini akan cenderung menguasai kehidupan anak di rumah (Hurlock,1991). Sifat temperamental dan perlakuan orang tua yang berbeda terhadap anak-anaknya mempengaruhi hubungan antar saudara. Saudara dengan temperamen yang tenang yang diperlakukan secara relatif sama oleh orang tua cenderung bisa saling bergaul dengan baik. Sebaliknya, saudara dengan temperamen yang buruk atau salah satu diperlakukan lebih istimewa oleh orang tua, kurang bisa akur (Santrock, 2007). Yusuf (2011), berpendapat bahwa hubungan yang harmonis (penuh kasih sayang dan pengertian) antara anggota keluarga (ayah dengan ibu, orang tua dengan anak dan

118

anak dengan anak) akan membuahkan perkembangan perilaku anak yang baik. Sedangkan yang tidak harmonis seperti sering terjadi pertentangan/perselisihan akan mempengaruhi perkembangan emosi yang tidak baik, seperti keras kepala, pembohong dan kurang peduli terhadap norma yang berlaku. Dengan mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi mental emosional anak maka banyak hal yang dapat mempengaruhi masalah mental emosional sehingga kemungkinan tidak hanya pola asuh orang tua saja yang mempengaruhi masalah mental emosional pada anak. Untuk menghindari hal ini, peneliti sudah berusaha untuk mencari responden yang homogen sehingga bisa diminimalkan faktor lain yang ikut berpengaruh. Ada penelitian yang hampir serupa dengan penelitian ini yaitu penelitian yang dilakukan di TK Kemala Bhayangkari 13 Pontianak oleh Irma Hariyani, Marwani dan Sutarmono yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pola asuh orang tua dengan perilaku agresivitas anak. Faktor yang diduga lebih dominan menyebabkan anak berperilaku agresif yaitu faktor biologis seperti transmisi genetik, system otak, kemiskinan dan faktor dari lingkungan yang memberikan contoh tidak baik untuk perkembangan anak. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah pada penelitian ini pola asuh orang tua dihubungkan langsung dengan anak yang mengalami masalah perilaku agresivitas. Sedangkan penelitian yang peneliti lakukan adalah responden anak yang belum terdeteksi masalah mental emosionalnya serta pola asuh orang tua selain dihubungkan mental

119

emosional anak juga dihubungkan dengan pendidikan orang tua, status ekonomi keluarga dan lingkungan tempat tinggal. Tidak adanya hubungan yang signifikan antara pola asuh ibu dan ayah dengan mental emosinal anak usia pra sekolah (5-6 tahun) pada penelitian ini diduga berkaitan dengan: 1) Kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi misalnya televisi bisa berdampak pada emosi anak. Anak-anak merupakan salah satu konsumen media televisi yang populasinya besar sekali. Pada umumnya, sebagian anak-anak menyukai film-film yang berbau action atau yang menampilkan gerakan-gerakan cepat disertai efek suara yang dahsyat, sehingga semakin dashyat gerakan yang dilihat, semakin tinggi pula tingkat keinginan untuk menontonnya. Menurut Hafis (2012) hal itu dapat memberikan dampak memicu perilaku agresif dan cenderung kepada tindakan kekerasan. Menurut peneliti dari Universitas Bristol, anak-anak yang menghabiskan waktu berjam-jam didepan televisi atau bermain game akan lebih rentan mengalami kesulitan psikologis, seperti masalah yang terkait dengan masalah emosi, hiperaktif atau menyebabkan hal-hal yang menantang dibanding dengan anak yang jarang menonton televisi. Televisi merupakan media yang telah mempengaruhi berjuta-juta anak. Televisi telah menyebabkan ketergantungan sehingga kehadirannya seakan-akan sebagai sesuatu yang wajib. Televisi mampu mengubah pola hidup, makan, tidur, belajar, berperasaan, berfikir bahkan pola hiburan pengisi waktu. Sebagai contoh, banyak ditemui anak-anak yang menonton televisi saat jam makan malam atau sambil mengerjakan

120

pekerjaan rumah mereka, atau ketika mereka bangun pagi sebelum sekolah, mereka biasanya akan menyalakan televisi terlebih dahulu untuk melihat acara kartun yang ada. Selain itu sisi negatif media televisi yaitu lemahnya pengawasan dan sensor terhadap program dan film yang layak ditonton. Acara televisi sekarang ini sudah tidak mengenal sistem pembagian segmen penonton. Sehingga sebuah film yang segmennya untuk orang dewasa, dapat dikonsumsi oleh anak-anak. Film-film atau sinetron yang bertemakan kekerasan, hidup bebas, menebarkan ketakutan atau fantasi tentu sangat berpotensi merusak karakter anak. oleh karena itu, anak-anak perlu dilindungi dari serbuan berbagai tayangan media televise karena tidak semua programnya layak mereka saksikan. Tayangan yang berbau brutalisme, sadisme, kekerasan dan emosi berlebihan dapat memberikan pengaruh yang tidak baik kepada anak-anak. Media televisi sangat kuat mempengaruhi sikap dan perilaku anak-anak, misalnya bagaimana cara berpakaian, berperasaan, berfikir, normanorma kehidupan mulai luntur, seperti anak yang mulai kurang ajar kepada orang yang lebih tua, karena si anak melihat hal yang sama dalam tayangan televisi. Oleh karena itu perancangan program siaran untuk anak-anak perlu mendapat perhatian serius mengingat tingkat penalaran mereka yang sangat terbatas, namun memiliki rasa ingin tahu yang begitu besar. Pada usia yang sangat rentan terhadap sesuatu yang baru, anak-anak mudah sekali terpengaruh berbagai pengajaran, atau informasi yang menyesatkan, maka diperlukan sebuah pengendalian mutu siaran, agar anak-

121

anak tidak menjadi korban sasaran program yang tidak bertanggung jawab. Selain hal tersebut hal-hal yang perlu diperhatikan sebagai dampak kemajuan teknologi terhadap perkembangan emosi anak yaitu: (1) Orang tua sebaiknya memperhatikan kegiatan atau aktivitas anak. Ikut berperan aktif dan mengarahkan setiap aktivitas yang dilakukan anak. (2) Orang tua hendaknya bisa bersikap yang dapat dipercaya oleh anak, berkata yang benar dan tidak menakuti atau mengancam supaya tercipta hubungan yang erat dengan anak. hal ini akan berpengaruh positif bagi emosi anak. Jika hubungan anak dengan orang tua dekat, baik dan tidak ada masalah maka anak akan lebih dapat mengontrol emosi yang terjadi dan buruknya dampak kemajuan teknologi terhadap perkembangan anak dapat diminimalkan. 2) Usia orang tua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ( 67,9%) usia ibu adalah berusia antara 30-39 tahun dan sebagian besar (64,3%) usia ayah juga antara 30-39 tahun. Rentang usia responden dalam penelitian ini berada pada tingkat dewasa awal sehingga dapat menjalankan perannya secara optimal sebagai orang tua sehingga pola asuh yang dominan adalah demokratis. 3) Urutan kelahiran anak. Dalam penelitian ini anak yang berkedudukan sebagai anak pertama didapatkan sebagian besar (57,1%). Anak pertama atau anak sulung selalu menjadi pusat perhatian di dalam keluarga, dia memiliki ayah dan ibu untuk dirinya sendiri sebelum saudaranya lahir. Menurut Stein dalam Herwani 2013 anak pertama selalu menjadi harapan orang tua yang biasanya sangat tinggi. Sering diberikan tanggung jawab

122

dan diharapkan untuk menjadi contoh. Anak pertama seringkali menyenangkan orang, dapat dipercaya, mempunyai hati yang terbuka kerjasamanya baik dan secara mental sanggup menahan beban tanpa mengeluh. 5.4.4 Keterbatasan Penelitian Keterbatasan yang peneliti hadapi adalah penelitian ini sampelnya hanya terbatas pada satu sekolah taman kanak-kanak saja sehingga hasilnya belum dapat digeneralisasikan. Penelitian ini sampelnya kurang bervariasi sehingga hasilnya kurang sempurna. Selain itu pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner memungkinkan jawaban yang diberikan oleh responden cenderung subyektif.

123

BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN 6.1

6.2

Kesimpulan Dengan mengacu pada hasil penelitian dan analisa, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Pola asuh (ibu dan ayah) terhadap anak usia prasekolah (5-6 tahun) di TK Al-Hikmah Mojo Surabaya sebagian besar menerapkan pola asuh demokratis. 2. Anak usia prasekolah (5-6 tahun) di TK AlHikmah Mojo Surabaya sebagian besar tidak mengalami masalah mental emosional. 3. Tidak ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan mental emosional pada anak usia prasekolah (5-6 tahun) di TK Al-Hikmah Mojo Surabaya tetapi ada potensi bahwa pola asuh demokratis yang diterapkan oleh ayah dan ibu cenderung menghasilkan kemungkinan anak mengalami masalah mental emosional. Saran Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian ada beberapa saran yang dapat peneliti sampaikan: 1. Emosi anak usia prasekolah cenderung masih labil sehingga membutuhkan perhatian khusus agar dapat berkembang dengan baik. Oleh karena itu diharapkan para pendidik di Taman Kanak-Kanak dapat meningkatkan stimulasi untuk perkembangan emosi anak melalui program kegiatan belajar yang berbasis pada

124

setiap ranah perkembangan anak seperti kegiatan mengenal emosi diri, kepuasan hati, mengenali emosi negatif dan mengelola emosi negatif. 2. Hasil penelitian ini hendaknya menjadi masukan bagi orang tua bahwa pola asuh merupakan hal yang sangat penting untuk dipertimbangkan dan dilaksanakan dalam menunjang perkembangan anak. Selain itu sebagai orang tua diharapkan lebih aktif dalam mencari informasi yang tepat tentang pola asuh yang tepat guna diterapkan untuk mendukung perkembangan mental emosional anaknya agar dapat berkembang secara optimal. Dan upaya tindak lanjut yang dapat dilakukan orang tua jika anaknya kemungkinan mengalami masalah mental emosional adalah dengan melakukan konseling ke Rumah Sakit yang memiliki fasilitas kesehatan jiwa anak atau poli tumbuh kembang anak atau ke bagian psikologi anak. 3. Perlu penelitian lebih lanjut yang mempelajari tentang faktor-faktor selain pola asuh orang tua seperti: perkembangan IPTEK dan pekerjaan ibu yang mungkin mempengaruhi perkembangan mental emosional pada anak usia prasekolah atau hubungan pola asuh orang tua dengan mental emosional anak usia sekolah serta jumlah sampel yang lebih besar. 4. Diharapkan peran serta petugas kesehatan yang berkecimpung di bagian kesehatan anak (khususnya dalam hal ini perawat anak atau

125

bidan) untuk melakukan deteksi dini mental emosinal pada anak usia prasekolah mengingat adanya kemungkinan masalah mental emosional pada masa anak-anak dapat menghambat perkembangan mental atau bahkan gangguan yang serius.

126

DAFTAR PUSTAKA Alegre Albert, 2012. Is There a Relation between Mothers’ Parenting Style and Children’s Trait Emotional Intelligence, Electronic Journal of Research in Educational Psychology. 10(1), 005034. ISSN: 1696-2095, 2012, No 26, USA Baharuddin, 2009. Pendidikan dan Psikologi Perkembangan, Jogjakarta, Ar-RuzzMedia. Brook Berg, 2011. The Effects of Parenting Styles on a Preschool Aged Child’s Social Emotional Development, American Psychological Associatoin, USA Coleman JC, Butcher JN, Carson RC, 1980. Abnormal Psychology And Modern Life. 6 th edition, Scott, Foreman and Company, New York USA Cooper Carol, Claire Halsey, Su Laurent, Karen Sullivan (Alih Bahasa Listiani Nadia), 2009. Ensiklopedia Perkembangan Anak, Jakarta, Penerbit Erlangga Dariyo, 2004. Psikologi Perkembangan Remaja, Jakarta, Ghalia Indonesia. Desmita, 2012. Psokologi Perkembangan peserta didik, Bandung, PT Remaja Rosdakarya.

127

Departemen pendidikan Nasional, 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2003 Tentang Sistem pendidikan Nasional, Jakarta, Depdiknas. Dewi I, 2008. Mengenal bentuk pola asuh orang tua , http://www.kabarindonesia.com (sitasi 15 Pebruari 2013) Direktorat pengembangan ketahanan keluarga BKKBN, 2009. Pengasuhan dan pembinaan tumbuh kembang anak, Jakarta: Bina penyuluhan bina keluarga balita Godam, 2008. Jenis/macam tipe pola asuh orang tua pada anak & cara mendidik/mengasuh anak yang baik, http://organisasi .org (sitasi 15 Pebruari 2013) Gottman

J, DeClaire, J 2008. Mengembangkan Kecerdasan Emosional Anak, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama.

Gultom Eric , 2002. Sinopsis Pediatri, Tangerang, Binarupa. Herwani Tuti, 2013. Pengembangan instrument penilaian pola asuh dan analisis risiko terjadinya gangguan skizofrenia pada anak berkedudukan istimewa di dalam keluarga, Desertasi, Universitas Airlangga Fakultas Kesehatan Masyarakat.

128

Hoare Peter, 1993. Essential Child Psichyatry, Churchill Livingstone Medical Divition of Longmab Group UK Limited , Newyork and Tokyo Hurlock, EB 1991. Perkembangan Anak, Edisi 6, Jilid 1, Jakarta, Penerbit Erlangga. Izzaty, RE 2006. Prediktor Permasalahan Perilaku Anak Usia TK, Jurnal Sosiosains, Vol. 19, No. 2 Irma

Hariyani, Marwani dan Sutarmono, 2012. Hubungan antara pola asuh orang tua dengan perilaku agresivitas anak di TK Kemala Bhayangkari 13 Pontianak, Jurnal Untan.ac.id (sitasi 12 Agustus 2013)

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2012. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak Di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar, Jakarta, Penerbit Kemenkes R.I. Kuntoro, 2011. Metode Statistik, Edisi Kedua, Surabaya, Penerbit Pustaka Melati. Mashar, D 2011. Emosi Anak Usia Dini dan Strategi Pengembangannya, Edisi 1, Jakarta, Kencana. Moersintowarti BN, Titi S Sularyo, Soetjiningsih, Hariyono S, IG.N Gde Ranuh, 2002. Tumbuh

129

kembang Anak dan Remaja, Buku ajar I, Jakarta, Penerbit CV Sagung Seto. Muaddab Hafis, 2012. Pengaruh TV terhadap emosi anak, netsains.net/2012/01, (sitasi tanggal 23 Juli 2013) Mussen, Paul H Conger, (1994). Child Development and Personality, Third edition, New York, Haper Collins Publisher. Notoadmodjo, S , 2007. Kesehatan masyarakat: Ilmu dan seni, Jakarta, Rineka Cipta. Notoadmodjo, S, 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta, Rineka Cipta. Nursalam, 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Jakarta, Salemba Medika. Prameswari, (2013) Bagaimana Bila Anak diasuh Kakek dan neneknya, http://www.republika.co.id/berita/gayahidup/parenting/12/06/27/m69lj2-bagaimanakahbila-anak-diasuh-kakek-dan-neneknya Royke TK, 2013. Hubungan Pola asuh dan depresi pada remaja Overweight-Obese di salah satu SMA swasta Surabaya, Laporan penelitian Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa FK UNAIR

130

Santrock JW, 2007. Perkembangan Anak, Edisi 7, Jilid 2, Jakarta, Penerbit Erlangga. Singaribun Masri, 1982. Metode penelitian Survey, edisi kedua, Jakarta, LP3ES. Soegeng, S 2004. Pendidikan Anak Usia Dini, Jakarta, PT. Rineka Citra Pendidikan. Soetjiningsih, 2002. Tumbuh Kembang Anak, Jakarta, EGC. Sujiono Yuliani N, 2009. Konsep dasar Pendidikan Anak Usia Dini, Jakarta, PT Indeks. Yusuf, S 2011. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya. Zaviera Ferdinan, 2008. Mengenali & Memahami Tumbuh Kembang Anak, Jogjakarta, Katahati.