HUBUNGAN INDUSTRIAL

Download penyelesaian industrial, dan pengenalan hubungan industrial bagi masyarakat ... hubungan industrial. Ketiga, pemerintah sebagai representas...

1 downloads 894 Views 203KB Size
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hubungan industrial merupakan suatu system hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam produksi barang dan jasa yang terdiri unsure pengusaha, pekerja/ buruh, dan pemerintag yang didasari nilai-nilai pancasila dan UUD Negara RI. Dalam pelaksanaan hubungan industrial, pemerintah, pekerja/buruh atau serikat pekerja buruh serta penngusaha atau organisasi pengusaha mempunyai fungsi dan peran masing-masing yang sudah digariskan dalam UUD. Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang pengertian hubungan industrial prinsip-prinsip industrial. Dengan adanya hubungan industrial dalam suatu perusaaan, maka akan dapat meningkatkan produktivitas dan kerjasama antar karyawan dan pengusaha sehingga perusahaan dapat berjalan terus. Selain itu juga latar belakang penulis makalah ini adalah sebagaimana tugas yang diberikan oleh dosen yang kemudian akan digabungkan dengan berbagai materi. B. TUJUAN Tujuan-tujuan dari penulisan makalah ini adalah memberikan informasi tentang hubungan industrial pancasila di Indonesia. Sehingga dapat diharapkan pembaca dapat memahami teori hubungan pancasila dengan jelas dan dapat menganalisis informasi tersebut.

1

BAB II PEMBAHASAN

HUBUNGAN INDUSTRIAL A. PENGERTIAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Hampir setiap individu dapat dikatakan memiliki hubungan kerja baik dengan perorangan maupun dengan suatu lembaga. Hubungan kerja adalah suatu hubungan yang timbul antara pekerja dan pengusaha setelah diadakan perjanjian sebelumnya oleh kedua belah pihak. Pekerja menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada pengusaha dengan menerima upah dan sebaliknya pengusaha menyatakan pula kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja dengan membayar upah (Shamad, 1997). Suatu hubungan kerja umumnya diikuti dengan suatu perjanjian kerja yang memuat hak dan kwajiban kedua belah pihak baik secara langsung maupun tertulis. Dengan demikian perjanjian kerja merupakan hasil interaksi diantara pihakpihak yang terlibat dalam suatu proses produksi. Hubungan kerja merupakan cikal bakal dari hubungan industrial. Suatu hubungan kerja dapat berkembang menjadi hubungan industrial apabila memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti kolektivitas dan organisasi kerja. Apabila terjadi hubungan kerja antara pihak-pihak secara kolektiv dalam suatu proses produksi, yaitu melibatkan sekelompok pekerja dan pemberi kerja dalam suatu organisasi kerja (perusahaan), maka hubungan kerja itu berubah menjadi hubungan industrial. Sebaliknya, suatu hubungan kerja yang masih bersifat perorangan atau belum melibatkan sekelompok orang dalam suatu organisasi kerja belum bisa disebut sebagai hubungan industrial. Selain itu, ada yang menyebutkan hubungan industrial merupakan suatu bentuk interaksi berbagai institusi, seperti serikat kerja, asosiasi pengusaha, prosesproses pelembagaan yang menyangkut tawar-menawar, arbitrasi, serta hasil tawar-menawar dan arbitrasi tersebut, berupa kesepakatan bersama maupun pemenuhan tuntutan (Gardner dan Palmer, 1994). Seiring kompleksnya masalah yang muncul dalam hubungan industrial maka perhatiannya meluas meliputi perilaku dan interaksi berbagai pihak ditempat kerja yang membentuk hubungan ketenagakerjaan antara managemen dan buruh, misal perbedaan kepentingan majikan dan pekerja, dan cara perbedaan itu dibentuk dan diekspresikan.

2

Jadi, secara sederhana hubungan industrial diartikan sebagai suatu sistem hubungan yang terbentuk diantara para pelaku proses produksi barang atau jasa (Suwarto, 2000). Namun, hubungan industrial tidak hanya sekedar sistem hubungan diantara para pelaku ditempat kerja, tapi meliputi sekumpulan fenomena didalam maupun diluar tempat kerja yang berkaitan dengan penetapan dan pengaturan hubungan ketenagakerjaan. Dalam perkembangannya, hubungan industrial menyangkut hubungan sosial, ekonomi, dan politik yang lebih luas (Smeru, 2002). Tujuan hubungan industrial adalah meningkatkan produktifitas dan kesejahteraan pekerja dan pengusaha, dimana keduanya saling berkaitan. Peningkatan produktifitas tidak bisa dicapai bila kesejahteraan pekerja tidak diperhatikan. Sebaliknya, kesejahteraan pekerja tidak bisa dipenuhi bila tidak terjadi peningkatan produktifitas perusahaan dan kerja. Sarana utama hubungan industrial dapat dibedakan menjadi dua kelompok. Pertama, pada tingkat perusahaan ialah serikat buruh, Kesepakatan Kerja Bersama/Perjanjian Kerja Bersama, Peraturan Perusahaan, lembaga kerjasama bipartit, pendidikan, dan mekanisme penyelesaian perselisihan industrial. Kedua, sarana yang bersifat makro, yaitu serikat buruh, organisasi pengusaha, lembaga kerjasama tripartid, peraturan perundang-undangan, penyelesaian industrial, dan pengenalan hubungan industrial bagi masyarakat luas (Smeru, 2002). Kesulitan dalam pengaturan hubungan industrial adalah perbedaan kepentingan antara pekerja dan pengusaha sehingga tidak jarang muncul konflik kepentingan atau gejolak industrial di antara para pelaku industrial. Pada umumnya, konflik yang terjadi bersumber pada peraturan-peraturan yang berlaku di tempat kerja, yakni satu pihak berupaya merubah dan membuat peraturan baru di tempat kerja, sementara pihak lain berupaya mempertahankan peraturan-peraturan yang sudah berlaku (Anantaraman, 1990). Peraturan di tempat kerja dapat dibagi menjadi dua macam. Pertama, peraturan-peraturan substanstif yang mencakup pengaturan upah, jam kerja, dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan hubungan kerja yang diatur dalam peraturan perusahaan atau Kesepakatan Kerja Bersama (KKB). Kedua, peraturan-peraturan prosedural yang umumnya terdapat dalam peraturan perundangan tentang buruh, seperti peraturan tentang prosedur pendaftaran serikat pekerja (Batubara, 2002).

3

B. PELAKU HUBUNGAN INDUSTRIAL Dalam hubungan industrial, setidaknya ada tiga pelaku yang saling berinteraksi, yaitu pekerja, pengusaha, dan pemerintah. Pekerja dan pengusaha merupakan pelaku utama hubungan industrial ditingkat perusahaan. Dalam hal ini, pekerja dan pengusaha mempunyai hak yang sama melindungi dan mengamankan kepentingan masing-masing bahkan berhak melakukan tekanan melalui kekuatan bersama bila perlu. Hubungan keduanya juga berpotensi mengundang konflik yang berkaitan dengan perbedaan persepsi terhadap kepentingan masing-masing (Smeru, 2002). Fungsi pemerintah dalam hubungan industrial adalah membuat peraturan dan perundangan ketenagakerjaan agar hubungan keduanya berjalan seimbang dilandasi pengaturan hak dan kewajiban yang ada. Selain itu, pemerintah berfungsi menyelesaikan berbagai perselisihan industrial yang terjadi secara adil. Tiga pelaku industrial dijelaskan sebagai berikut: 1. Pengusaha (Manajemen). Istilah manajemen merujuk pada individu yang bertanggung jawab merealisasikan tujuan dari pengusaha dan organisasi kerja mereka. Manajemen sekurangnya mencakup tiga kelompok. Pertama, para pemilik dan pemegang saham perusahaan. Kedua, jajaran direktur eksekutif dan manager. Ketiga, personalia Human Resources Departement (HRD), yang bertanggung jawab khusus mengatur hubungan perusahaan dengan buruh serta serikat buruh. Manajemen berperan melakukan negosiasi dan menginvestasikan peraturan-peraturan dan kebijakn-kebijakan perusahaan tentang hubungan industrial (Katz dan Kochan, 1992). 2. Buruh Istilah buruh (labour) meliputi pekerja dan serikat buruh yang mewakili mereka. Para buruh dapat mempengaruhi perusahaan untuk memenuhi tuntutan mereka melalui serikat buruh. Penduduk dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja adalah mereka yang bekerja dan sedang mencari kerja. Sedangkan, bukan angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (>15 tahun) yang tidak bekerja dan tidak mencari kerja. Buruh dalam konteks Indonesia adalah mereka yang dalam angkatan kerja. Namun, study hubungan industrial membatasi kategori buruh adalah mereka yang terlibat hubungan dengan pengusaha, berarti tidak

4

memasukkan kategori pegawai negeri dan angkatan kerja yang bekerja sendiri (Swasono, 2000). 3. Pemerintah Yang masuk dalam istilah pemerintah yaitu pertama, pemerintah lokal dan pemerintah pusat. Kedua, lembaga-lembaga pemerintah yang bertanggung jawab membuat atau merubah kebijakan publik yang mempengaruhi hubungan industrial. Ketiga, pemerintah sebagai representasi dari berbagai kepentingan publik. Pemerintah bisa berperan sebagai regulator dengan mengeluarkan peraturan perburuhan, misal peraturan bagaimana para pekerja membentuk serikat buruh dan pengaturan hak dan kewajiban yang bisa dimiliki oleh serikat buruh (Kartz dan Kochan, 1992). C. ASAL-USUL PERKEMBANGAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Hubungan industrial dikenal di Eropa pada pertengahan abad ke-18 seiring munculnya revolusi industri. Awalnya hubungan industrial bersifat personal antara buruh dan pengusaha, bahkan hubungan yang terjalin bersifat kekeluargaan. Segala persoalan yang munculpun diselesaikan secara pribadi dan kekeluargaan. Intinya kala itu hubungan industrial belum melahirkan berbagai peraturan kompleks ditempat kerja. Revolusi industri menyebabkan perubahan besar dalam berproduksi. Perkembangan teknologi produksi dan bahan baku yang melimpah mempermudah peningkatan produksi yang mendatangkan keuntungan besar bagi perusahaan. Dampaknya perusahaan lebih bertambah besar dan cara produksi lebih praktis dari sebelumnya. Seiring kompleksnya permasalahan yang muncul antara pekerja dan pengusaha dirasakan perlu adanya pengaturan hak dan kewajiban yang dipatuhi oleh kedua pihak agar tercipta harmonisasi dalam perusahaan. Pasca revolusi industri sampai akhir abad ke 19 hubungan industrial semakin menjadi isu yang meninjol. Pada masa ini hubungan industrial banyak dipengaruhi oleh paham liberalisme, yang di[populerkan oleh Adam Smith yang dapat dilihat dari beberapa pandangan berikut : Pertama, pada dasarnya antara pengusaha dan buruh memiliki kepentingan yang berbeda, pengusaha selalu berusaha mencari keuntungan sebesar-besarnya sementara itu buruh juga berupaya mendapatkan upah yang sebear-besarnya. Akibatnya diantara keduanya akan selalu memiliki hubungan yang bersifat konfliktual terus-menerus. Kedua, hubungan antara pengusaha dan pekerja yang selalu dilandasi oleh konflik kepentingan itu akan berupaya mencapai titik temu. Akibat paling nyata pengaruh paham liberalisme terhadap hubungan industrial adalah munculnya pandangan bahwa buruh adalah benda atau objek 5

ekonomi. Dengan kata lain pekerja adalah faktor produksi yang digunakan sebagai sarana untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Dalam kondisi demikian para buruh sering merasa tertindas dan mengalami kondisi yang menyedihkan, seperti jam kerja yang panjang, kesejahteraan kerja yang sangat rendah, anak-anak terpaksa ikut bekerja, gizi yang rendah dan banyak yang sakit-sakitan. Penindasan yang banyak dialami oleh para buruh mendorong mereka untuk menghimpun diri dalam suatu organisasi. Kesadaran berorganisasi di kalangan buruh menandai munculnya aksi-aksi kolektif dalam mengajukan tuntutan terhadap pengusaha dan aksi mereka berkembang menjadi aksi kolektif, seperti mogok kerja, dan penutupan perusahaan sebagai sarana sah dalam hubungan industrial. Seiring perkembangannya terjadi pergeseran pandangan terhadap hubungan industrial. Pendekatan dalam bidang manajemen yang dikenal dengan scientific management muncul dipelopori oleh F. W. Taylor, pendekatan yang diungkapkannya mulai mengakui perbedaan di antara pekerja berdasarkan tingkat keterampilan yang dimiliki pekerja. Pandangan selanjutnya yang lebih modern dalam bidang manajemen dan hubungan industrial muncul pada tahun 1930-an. Dalam pandanagn ini, para pekerja mulai dipandang sebagai individu dan juga makhluk sosial yang berinteraksi dengan sesamanya. Hal yang perlu diperhatikan adalah, perkembangan hubungan industrial bukan saja ditentukan oleh perkembangan bidang manajemen tetapi juga dipengaruhi oleh perkembangan politik pada akhir abad sembilan belas dan permulaan abad dua puluh. Perkembangan politik saat itu didominasi oleh sistem politik demokrasi, dimana rakyat ikut berperan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut publik melalui lembaga-lembaga perwakilan. Hal tersebut membuat kondisi para buruh semakin terlindungi dengan adanya peraturan perundangan yang mengatur hak dan kwajiban antara pengusaha dan pekerja, seperti pengaturan tentang keselamatan kerja, pengupahan dan jam kerja. D. PERSPEKTIF-PERSPEKTIF DALAM HUBUNGAN INDUSTRIAL Ron Bean (1995), hubungan industrial adalah studi tentang bagaimana peranan pemerintah, manajemen, dan pekerja dalam rangka membuat perubahan atau mempertahankan peraturan di tempat kerja. Anantaraman (1990), mengembangkan dua pendekatan dalam membahas hubungan industrial, yaitu perspektif unitary dan class conflict.

6

Perspektif unitary, hubungan industrial merupakan hubungan kerja sama antara pihak manajemen dan buruh yang bersifat harmonis. Manajemen dan buruh merupakan satu tim kesatuan yang saling membutuhkan, dimana manajemen adalah pihak yang menentukan kebijaksanaan, sedang buruh merupakan pihak yang menjalankannya. Sementara perspektif konflik kelas (class conflict) memandang pihak manajemen dan buruh adalah pihak dengan kepentingan yang berbeda dan cenderung bersifat antagonis. Stephen J. Deery dan David H. Plowman (1991), perspektif pluralist menurutnya memandang bahwa suatu oraganisasi kerja meliputi berbagai kelompok dengan kepentingan,tujuan dan aspirasi yang beragam. Berdasarkan pendekatan ini konflik dalam hubungan kerja tidak dapat dihindari. Sementara itu perspektif marxist bertolak dari pemikiran bahwa dalam masyarakat industri selalu muncul konflik yang berdasarkan kelas yaitu, antara kelas pemilik modal dengan kelas buruh. J. Dunlop (1958), menegaskan bahwa peraturan di tempat kerja harus dijadikan sebagai variabel dependent yang dipengaruhi oleh proses interaksi para pelaku hubungan industrial sebagai variabel independent. Proses itu meliputi yaitu: 1. Status relatif dari pelaku. Pemerintah, manajemen, dan pekerja dalam hubungan industrial memiliki status dan posisi yang berbeda. Status dan posisi para pelaku itu dipengaruhi dan ditentukan dalam peraturan perundangan serta terikat dalam sistem politik yang dianut oleh suatu negara. 2. Konteks dimana para pelaku berinteraksi Konteks dimana para pelaku hubungan industrial berinteraksi tidak bisa diabaikan ketika membuat peraturan di tempat kerja. Peraturan itu bukan hanya dipengaruhi oleh kondisi faktor internal tapi juga faktorfaktor luar. 3. Ideologi dari sistem hubungan industrial. Faktor ini menunjuk pada hubungan antara sistem hubungan industrial dan sistem politik yang berlaku dalam suatu negara. Biasanya negaranegara yang baru memulai pembangunan industri berupaya menciptakan stabilitas sosial dan politik disektor perburuhan dengan

7

cara membatasi atau bahkan melarang keterlibatan serikat buruh dalam politik. Sehingga Dunlop menekankan perlunya persamaan persepsi atau pandangan meskipun tidak dipungkiri adanya ideologi dari masing-masing pelaku. Apabil dalam suatu industri manajemen berpandangan terlalu paternalistik dalam menghadapi buruh sementara di pihak lain buruh tidak mengakui fungsi dari pimpinan perusahaan maka hubungan industrial tidak akan berjalan mulus dan stabil. E. PERSELISIHAN INDUSTRIAL Perselisihan di antara pelaku dalam proses produksi disebut dengan perselisihan industrial. Perselisihan industrial dapat diartikan sebagai perselisihan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja atau gabungan pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja meyangkut masalah hak, kepentingan, dan pemutusan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja di satu perusahaan. Perselisihan pekerja biasanya diawali dengan tuntutan pekerja, baik secara lisan maupun tulisan. Perselisihan timbul ketika usulan atau tuntutan pekerja tidak segera ditanggapi oleh pihak pengusaha, tidak segera dilakukan perundingan, atau karena kesepakatan antara manajemen dan pekerja tentang jenis tuntutan atau nilai tuntutan belum tercapai. Suatu penelitian yang dilakukan oleh lembaga SMERU (2002) menyimpulkan empat penyebab utama perselisihan industrial, yaitu: 1. Tuntutan non-formatif, yaitu suatu tuntutan yang berhubungan denganhal-hal yang tidak diatur dalam peraturan perundangan dan PKB/KKB. Perselisihan semacam ini muncul sebagai refleksi dari ketidakpuasan pekerja terhadap kondisi kerja, misalnya belum adanya atau relatif rendahnya uang makan, uang transportasi dan uang susu, pakaian seragam, uang penyelenggaraan dan dana rekreasi, sistem pembayaran upah, cuti haid, kejelasan status pekerja, service charge di perhotelan, fasilitas tempat kerja kurang memadai atau pencabutan fasilitas, dan hal lain-lain. 2. Tuntutan normatif, yaitu tuntutan terhadap hak-hak yang telah diatur dalam peraturan perundangan dan hak-hak yang telah disepakati dalam PKB/KKB, maupun penyesuaian terhadap kebijakan pemerintah yang baru. Misalnya, pelaksanaan Upah Minimum Regional (UMR) atau upah yang telah menjadi kesepakatan bersama (tripartit), uang lembur, cuti melahirkan, tunjangan perkawinan dan melahirkan, bonus, pembentukkan serikat pekerja dan pemilihan pengurus secara 8

demokratis, Tunjangan Hari Tua (THT), Tunjangan Hari Raya (THR), dan pemberian pesangon. 3. Provokasi oleh pihak ketiga di luar perusahaan (misalnya oleh pekerja dari perusahaan lain atau serikat pekerja afiliasi lain) dan aksi solidaritas untuk melakukan tuntutan bersama secara massal, misalnya menuntut pemberlakuan upah minimum (UMR), kenaikan uang transportasi dan uang makan sebagai akibat kenaikan BBM, dan pemberlakuan cuti haid. 4. Tekanan dari beberapa pekerja di dalam perusahaan yang memaksa pekerja lain agar ikut berunjuk rasa. Berdasarkan temuan penelitian SMERU, perselisihan industri dapat dibagi ke dalam empat kategori utama menurut intensitas dan cakupannya, yaitu: pertama, perselisihan ringan, yakni perselisihan industrial tanpa mogok kerja dan melibatkan lebih dari satu pekerja yang dapat diselesaikan secara bipartit (baik didampingi atau tidak didampingi oleh serikat buruh atau serikat buruh afiliasi); kedua, perselisihan sedang, yaitu perselisihan industrial yang disertai mogok kerja dan didampingi atau melibatkan lebih dari satu pekerja yang dapat diselesaikan secara bipartit (baik didampingi atau tidak didampingi oleh serikat buruh atau serikat buruh afiliasi); ketiga, perselisihan berat, yaitu perselisihan industrial tanpa mogok kerja yang dapat diselesaikan di tingkat tripartit dan P-4D/P-4P; keempat, perselisihan sangat berat, yaitu perselisihan industrial yang disertai mogok kerja dan melibatkan lebih dari satu pekerja yang belum atau dapat diselesaikan di tingkat tripartit dan P-4D/P-4P. Menurut Hyman (1984), pemogokan dapat didefinisikan sebagai a temporary stoppage of work by a group of employees in order to express grievance or enforce demand. Definisi lain tentang pemogokan dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 1997, yaitu suatu tindakan pekerja secara bersama-sama menghentikan atau memperlambat pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan perselisihan industrial yang dilakukan, agar pengusaha memenuhi tuntutan pekerja. Namun, dalam kenyataannya, pemogokan tidak selalu harus didahului dengan gagalnya perundingan tetapi dapat juga terjadi pada saat perundingan sedang berlangsung atau mendahului suatu perundingan untuk memaksa agar perundingan segera dilakukan. Dalam konteks hubungan industrial, negara memiliki peran normatif yang secara mendasar memang potensial untuk dominan, seperti peran sebagai legislator, pemilik modal, agen resolusi konflik, pengelola ekonomi, dan pengatur hubungan industrial. Namun, melalui peran normatifnya ini negara juga tidak jarang terjebak ke dalam kontradiksi antara logika akumulasi modal yang mengabaikan syarat dan ketentuan ketenegakerjaan

9

dengan logika akomodasi yang seharusnya melindungi korban-korban dari akumulasi modal. Kontradiksi semacam inilah yang membuat peran negara cenderung berada di antara dilema sebagai sumber keuntungan sepihak bagi modal atau sebaliknya menjadi sumber kesejahteraan bagi pekerja atau justru berhasil dalam menciptakan keseimbangan antara kontradiksi tersebut (Nugroho, 2003).

10

HUBUNGAN INDUSTRIAL DI INDONESIA A. PERKEMBANGAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DI INDONESIA Perkembangan hubungan industrial di Indonesia dibagi menjadi beberapa periode, yaitu periode kolonial, periode pasca kemerdekaan dan demokrasi terpimpin, periode Orde Baru, dan periode pasca Orde Baru. 1. Periode Kolonial Hubungan industrial mulai dikenal di indonesia bersamaan dengan pertumbuhan modal swasta di indonesia. Pertumbuhan modal swasta ini membuka peluang bagi orang-orang Eropa untuk bekerja di perusahaan-perusahaan swasta dan bidang-bidang tertentu dalam sistem birokrasi kolonial. Pada masa itu, hubungan industrial lebih mencerminkan hubungan antara para buruh Eropa dengan perusahaanperusahaan swasta Eropa dan pemerintrah Belanda. Sementara itu, kaum buruh bumiputra ditempatkan pada status yang paling rendah dalam stratifikasi masyarakat kolonial sehingga hubungan antara kaum buruh bumiputra dengan manajemen perusahaan swasta Eropa lebih mencerminkan hubungan antara majikan dan budak atau pihak penjajah dengan pihak yang dijajah. Namun di balik perkembangan hubungan industrial pada masa kolonial dimulai ketika berdiri serikat buruh pertama untuk orang Indonesia pada tahun 1908, yakni Serikat Buruh Kereta Api (VSTP – Vereeniging voor spoor en Tramweg Personeel). VSTP dikenal organisasi pelopor dalam sejarah pergerakan buruh di Indonesia dan berkembang sebagai wadah persatuan bagi seluruh buruh kereta api, baik swasta maupun pemerintahan. Setelah kepemimpinan VSTP dikendalikan oleh tokoh-tokoh sosialis, seperti Henk Sneevliet dan Semaun maka sistem hubungan industrial yang berlaku pada waktu itu mulai digugat.dan sejak saat itu, sampai tahun 1926, hubungan industrial lebih banyak diwarnai gejolak industrial berupa pemogokan yang menuntut perbaikan kesejahteraan kaum buruh. Dan dari adanya penjelasan di atas dapat dilihat bahwa pergeseran struktur ekonomi kolonial di Hindia Belanda dari kebijakan tanam paksa ke liberalisme ekonomi, tidak sepenuhnya di ikuti oleh perubahan struktur masyarakat yang kondusif. Karena hubunganhubungan sosial lama yang feodalistik dan paternalistik tetap dipertahankan dan akhirnya kembali menjustifikasi hubungan–hubungan (struktur) produksi yang eksploitatif di antara buruh dan majikan. Ada beberapa fase hubungan industrial:

11

Fase pertama: Dorongan beraksi dalam bidang industri sampai Tahun 1925. Fase ini di tandai, terutama dengan pertumbuhan pesat organisasiorganisasi sukarela pada Tahun 1910-an, seperti perkumpulan keagamaan, partai politik dan serikat buruh yang terorganisasi. Pada fase ini, aksi-aksi pemogokan buruh adalah hal yang bisa ditolerir oleh pemerintah Belanda. Fase kedua: Perhatian terhadap jaminan sosial (1926 -1930). Undang-undang pidana yang dikeluarkan pemerintahan kolonial di awal tahun 1920–an, pemberontakan PKI yang pada akhir tahun 1926, dan gagalnya aksi-aksi pemogokan yang dilakukan serikat buruh membuat serikat–serikat buruh kesulitan untuk menuntut manajemen perusahaan meningkat kesejahteraan buruh. Pemerintahan Belanda sangat membatasi kegiatan-kegiatan hubungan industrial yang berbentuk pemogokan. Sehingga memaksa sebagian besar serikat buruh mencari cara alternatif untuk memperbaiki kesejahteraan buruh. Dengan cara mengumpulkan dana-dana kesejahteraan sosial dari para anggota serikat buruh dan membentuk organisasi dana bantuan gotongroyong. Fase ketiga: Masa depresi (1930-1935). Masa depresi membuat kaum buruh rentan terhadap pemecatan. Salah satu contonya adalah satu perusahaan besar memecat 1169 buruh antara Juni sampai Novermber 1930, tapi memburuhkan 488 buruh baru.salah satu perubahan kereta api swasta besar, perusahaan Kereta Api Hindia Belanda, juga melakukan hal yang sama pada Tahun 1931. Fase keempat: Pemulihan ekonomi (1936-1941). Pada fase pemulihan ekonomi, kegiatan-kegiatan serikat buruh terpusat pada kesejahteraan sosial dan pengembangan koperasi, dana simpanan dan kegiatan-kegiatan bantuan gotong-royong. Serikat buruh terus mendorong para anggotanya untuk tetap menyumbang demi kepentingan dana tersebut, dan bekerja dengan serikat-serikat buruh mereka dalam membangun usaha koperasi yang baru. Dan dengan demikian kegiatan utama serikat-serikat buruh adalah mengorganisir para buruh dalam sebuah sebuah 12

industrial, di sebuah tempat kerja maupun suatu daerah menjadi suatu tindakan bersama dalam rangka memperbaiki gaji dan kondisi buruh. Di pihak lain, pemerintahan kolonial Belanda menganggap segala usaha untuk mengorganisir para buruh pribumi merupakan aktifitas politik yang mengancam, tidak hanya kepentingan-kepentingan ekonomi perusahaan Eropa tetapi juga keberadaan negara kolonial. 2. Periode Awal Kemerdekaan dan Demokrasi Terpimpin Pada permulaan kemerdekaan hubungan industrial tidak mengalami perubahan yang signifikan, yaitu masih diwarnai oleh orientasi politik. Setelah kemerdekaan terbentuklah Barisan Buruh Indonesia (BBI) yang diprakarsai oleh para tokoh buruh dalam rangka ikut serta mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia. Ada dua pemikiran yang muncul yang membuat BBI pecah menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang memandang perlunya keterlibatan organisasi buruh dalam gerakan politik, salah satunya dengan mendirikan partai politik, yaitu Partai Buruh Indonesia. Kedua, kelompok yang beranggapan bahwa organisasi buruh tidak perlu disatukan dengan gerakan politik tetapi memusatkan perhatian pada bidang sosial-ekonomi, yang kemudian membentuk Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GASBI) yang kemudian bergabung dengan Gerakan Serikat Buruh Vertikal (GSBV) dan berubah nama menjadi Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Pada masa pemerintahan Perdana Menteri M. Natsir, atau dekade lima puluhan gerakan buruh sulit dipisahkan dari gerakan politik. Polarisasi di kalangan organisasi buruh sering diakibatkan oleh perbedaan orientasi politik. Polarisasi yang menonjol pada masa itu adalah munculnya upaya untuk membendung perkembangan SOBSI yang beraliansi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), dengan cara diberlakukannya peraturan pelarangan mogok dan pembentukan organisasi-organisasi buruh tandingan yang menjadi organ partai politik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa gerakan buruh pada masa ini lebih banyak dipusatkan pada gerakan politik dibandingkan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan buruh. Pada dekade enam puluhan atau tepatnya setelah presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, hubungan industrial juga masih dipengatuhi oleh gerakan-gerakan politik. Pada masa ini hubungan industrial yang bersifat antagonistis dan konfrontatif makin menonjol yang tidak hanya dilakukan oleh partai komunis saja tapi juga ditiru oleh

13

serikat buruh lainnya. Hal ini berlanjut sampai akhirnya terjadi peristiwa G30 S/PKI di mana serikat buruh SOBSI kembali menjadi tulang punggung pemberontakan tersebut. Setelah peristiwa G30 S/PKI, muncul dua wadah dalam lingkungan serikat buruh, yaitu Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI) yang memusatkan perhatian pada aksi-aksi politik, dan Sekretariat Bersama Buruh (Sekber Buruh) yang menitikberatkan pada masalahmasalah sosial-ekonomi. 3. Periode Pemerintahan Orde Baru Pada masa ini terjadi gerak balik perkembangan hubungan industrial kembali seperti pada masa kolonial di mana pemerintah terlibat jauh dalam penataan hubungan industrial di Indonesia, dengan kata lain gerakan-gerakan buruh menjadi sepi secara politik. Berkaitan dengan hal itu, apa yang dikemukakan oleh Hilmar Farid (2002), mungkin bisa membantu: Munculnya Orde Baru ditandai oleh penataan ulang hubungan industrial. Penguasa militer menerapkan model exclusionary corporatism yang menyingkirkan buruh dari proses pengambilan keputusan dan menyelesaikan perselisihan dengan represi. Gerakan buruh yang tumbuh subur sebelum Tahun 1965 dihancurkan (dimulai dengan membunuh dan menangkapi aktivis sayap kirinya) dan Tahun 1973 dibentuk Federasi Buruh Seluruh Indonesia sebagai wadah tunggal. Militer yang mulai terlibat dalam urusan perburuhan ketika terjadi nasionalisasi perusahaan Tahun 1957 memegang peranan utama dalam mengontrol gerakan buruh semasa Orde Baru. Panglima Kopkamtib Laksamana Sudomo yang kemudian menjadi Menteri Tenaga Kerja pertengahan Tahun 1980-an merombak wadah tunggal menjadi semakin terpusat dan dikontrol dengan nama baru, Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI). Dengan sistem perburuhan seperti ini pemerintah mulai meningkatkan produksi untuk ekspor dan mendorong laju industrialisasi. Pengusaha dan birokrat pendukungnya menikmati keuntungan berlipat tapi pada saat bersamaan memelihara kontradiksi yang inheren dalam sistem kapitalis. Ada sekurang-kurangnya dua faktor yang mendasari politik perburuhan represif yang dikerjakan oleh pemerintahan Orde Baru. Pertama, secara politik, pengekangan terhadap gerakan buruh bermaksud

14

untuk mencegah kemunculan kembali anasir-anasir radikal atau kiri dalam gerakan buruh dan secara umum untuk membatasi ruang gerak tiap organisasi yang bersifat massal, termasuk organisasi gerakan buruh. Kedua, secara ekonomi, pembatasan gerakan buruh dimaksudkan untuk memuluskan jalannya tuntutan-tuntutan berbagai agenda ekonomi waktu itu dan ada sedikit relasi langsung dengan kebutuhan, seperti strategi Industri Substitusi Impor (ISI) atau keperluan untuk menarik modal asing (Jebatu, 2004). Pada dekade 1990-an, ketika rezim Orde Baru mulai mengalami keletihan, fatigue, restrukturisasi dan cengkeraman Orde Baru atas gerakan buruh mulai mengendur atau longgar, ditandai dengan munculnya fenomena dan eksperimen serikat-serikat buruh di luar serikat buruh “resmi” atau diakui oleh negara. Ini menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan hubungan-hubungan kelas: buruh – modal – negara. Pada era ini sumber pemogokan buruh industrial bisa disebabkan menjadi dua faktor, yaitu faktor-faktor yang bersumber pada struktur dasar industrial Indonesia dan faktor konsentrasi-industrial. Namun, upaya untuk memahami resistensi dan konflik industrial belum cukup hanya mendasarkan pada penjelasan terhadap konflik kelas di antara kapital dan buruh, tapi perlu memeriksa perkembangan industrialisasi Indonesia dan lebih khusus mencermati kontradiksi inheren dalam transisi dari kebijakan melihat ke dalam yang tercermin dalam kebijakan Industri Substitusi Impor (ISI) menuju kebijakan memandang keluar Industri Berorientasi Ekspor (IBE), dan menuju kebijakan ekonomi pasar terbuka yang kompetitif. Robison (1998) berpendapat bahwa jika peralihan dari ISI ke IBE tidak diikuti oleh perubahan-perubahan praktik-politik maka akan menimbulkan kontradiksi inheren dalam transisi itu sendiri. Dengan demikian, apabila hubungan-hubungan industrial tidak megalami perubahan, sementara pada level kebijakan telah terjadi pergeseran dari kebijakan ISI ke IBE maka kontradiksi itu akan melahirkan gelombang pemogokan buruh. B. KEMUNCULAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PANCASILA (HIP) Kemunculan Hubungan Industrial Pancasila (HIP) dapat dikatakan merupakan bagian dari restrukturisasi dimaksutkan, antara lain, untuk meredam ancaman akivitas politik buruh terhadap stabilitas social politik yang dibutuhkan untuk mendukung pembangunan.

15

Untuk mencapai tujuan tersebut, Orde Baru menjalankan 2 langkah sekaligus, yaitu : 1. Penataan pada aspek kelembagaan Orde baru meleburkan serikat-serikat buruh di Indonesia ke dalam wadah tunggal yang bernama Federasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) 1973, dan berganti nama menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) 1985. Dengan begitu, dapat peleburan serikat-serikat. 2. Penataan pada aspek Ideologi Pemerintah orde baru memperkenalkan sebuah konsep baru dalam hubungan industrial di Indonesia yang dikenal dengan Hubungan Industrial Pancasila (HIP). HIP adalah suatu konsep hubungan industrial yang disusun berdasarkan pertimbangan social- budaya dan nilai- nilai tradisional Indonesia. Konsep HIP berdasarkan pada tiga asas kemitraan, yaitu : 1. Mitra dalam produksi 2. Mitra dalam tanggung jawab 3. Mitra dalam keuntungan, antara buruh, pengusaha, dan pemerintah. Tujuan konsep ini adalah untuk mewujudkan masyarakat industry yang ideal. Misi yang ingin dicapai HIP adalah terciptanya ketenangan dalam bekerja dari berusaha, peningkatan produktivitas dan kesejahteraan, serta peningkatan harkat dan martabat buruh. Beberapa hal yang membedakan HIP dengan hubungan industry lainnya adalah : 1. Buruh bekerja bukan hanya untuk mencari nafkah,tetapi juga sebagai pengabdian manusia kepada tuhannya, sesame manusia, masyarakat, bangsa, dan Negara. 2. Buruh bukan hanya sebagai factor produksi, tetapi juga sebagai manusia pribadi dengan segala harkat dan martabatnya. 3. Buruh dan pengusaha mempunyai kepentingan yang sama. 4. Setiap perbedaan pendapat antara buruh dan pengusaha diselesaikan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.

16

5. Harus ada keseimbangan antara hak dan kewajiban kedua belah pihak dalam perusahaan Untuk mewujudkan HIP, diperlukan sarana utama, yaitu adanya : SP/SB, organisasi, pengusaha, lembaga kerja sama bipatrit, lembaga kerja sama tripatrit, perjanjian kerja (PK), peraturan perusahaan (PP), kesepakatan kerja bersama (KKB), peraturan penyelesaian perselisihan industrial, dan peraturan perundang-undangan. Orde baru memperkenalkan istilah karyawan yang mesti dibedakan dengan istilah buruh. istilah buruh, didefinisikan dengan konsep proletariat, yaitu suatu konsep yang merujuk pada hubungan konfliktual antara para majikan dan para buruh. Sebaliknya, istilah karyawan dianggap memiliki arti persatuan (hubungan yang harmonis) antara para majikan, manajemen, dan para buruh, bersifat kooperatif, dan bebas dari konflik. C. HUBUNGAN INDUSTRIAL PASCA ORDE BARU Salah satu perubahan penting akibat kebijakan desentralisasi ini adalah munculnya sistem hubungan industrial yang memungkinkan para buruh bebas mendirikan serikat buruh pada tingkat perusahaan sesuai UU No.21/2000. Bersama dengan munculnya euforia politik di Indonesia pasca kejatuhan rezim Orde Baru, muncul perdebatan tentang-tentang relevansi sistem Hubungan Industrial Pancasila (HIP) di Indonesia. Terdapat sekurangkurangnya 2 pendapat, yaitu : 1. Kalangan yang beranggapan bahwa HIP sudah tidak relevan diberlakukan di era otonomi daerah sekarang ini dan sudah saatnya HIP direvisi dengan suatu peradigma baru. 2. Sebagian kalangan lain yang berpendapat bahwa HIP masih relevan atau ideal bagi buruh sehingga HIP masih bisa diterapkan. Berbagai gejolak industrial yang muncul pasca kejatuhan rezim Orde Baru tidak semata-mata dipicu oleh perbedaan kepentingan mendasar antara pengusaha dengan buruh, namun dapat pula dipicu oleh masalah kecil atau kesalahpahaman, termasuk kesalahpahaman dalam memahami peraturan pemerintah maupun peraturan perusahaan. Meskipun demikian, sebagian besar perselisihan masih dapat diselesaikan secara bipatrit meskipun kedua belah pihak masih dalam taraf belajar mengenai hubungan industrial dan kebebasan berserikat.

17

Berdasarkan penelitian SMERU (2002), suatu hubungan industrial yang harmonis adalah hubungan kerja yang didasari oleh rasa saling percaya, saling menghargai dan dihargai, dan saling memberi. Factor –faktor yang dapat mempengaruhi hubungan indusrial antara lain adalah : gaya kepemimpinan pengusaha, pengetahuan pengusaha dan buruh mengenai hak dan kewajiban masing-masing serta penerapannya, iklim kerja yang mendukung, serta kesediaan pengusaha dan buruh untuk berunding. Berdasarkan temuan SMERU (2002), ada beberapa cara yang dapat dilakukan pihak perusahaan untuk mempertahankan dan meningkatkan hubungan industrial yang lebih baik dan lebih harmonis, antara lain : 1. 2. 3.

4.

5.

6.

7.

Mengadakan tatap muka dengan buruh dan serikat buruh secara rutin. Menyediakan kotak saran agar buruh dapat memberi masukan tanpa harus menyertakan identitas. Memilih kepala bagian personalia yang mampu meredam perselisihan dan dapat mengatur perundingan antara buruh, pengusaha, dan serikat buruh secara adil. Membuat program pendidikan atau pelatihan bagi buruh, termasuk untuk meningkatkan pemahaman buruh terhadap peraturan pemerintah. Mengutamakan penyelesaian secara bipatrit atau kesepakatan bersama melalui musyawarah antara buruh atau serikat buruh dengan pihak manajemen. Mengikuti pertemuan-pertemuan Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) untuk memecahkan atau memberikan solusi tentang masalah ketenagakerjaan. Mengadakan kegiatan bersama, seperti rekreasi, olahraga, pemilihan karyawan teladan.

18

BAB III PENUTUP KESIMPULAN Pada masa colonial pergerakan buruh tidak terpisahkan dari pergerakan kemerdekaan (anti kolonial). Kondisi yang hampir serupa juga mewarnai hubungan industrial pada awal kemerdekaan dimana masih diwarnai oleh orientasi politik. Pada masa ini seluruh tenaga dan pikiran dicurahkan untuk mempertahankan kemerdekaan sehingga polarisasi dalam hubungan industrial tidaklah terasa. Polarisasi dalam hubungan industrial mulai dirasakan ketika pada tahun 1947 terbentuk serikat buruh SOBSI yang berorientasi pada komunisme. Pada masa pemerintahan Orde Baru, terjadi gerak balik perkembangan hubungan industrial seperti pada masa kolonial dimana pemerintah terlibat jauh dalam penataan hubungan industrial seperti pada masa kolonial dimana pemerintah terlibat jauh dalam penataan hubungan industrial di Indonesia. Dengan kata lain, kalau pada masa orde lama gerakan buruh menjadi riuh rendah dengan politik maka pada masa orde baru gerakan-gerakan buruh menjadi sepi secara politik. Bahkan buruh diasingkan, diabaikan dari politik, dan gerakan buruh dibatasi dibawah wadah tunggal serikat buruh atau yang dikenal dengan istilah political labor union. Kemunculan HIP dapat dikatakan merupakan bagian dari restrukturisasi gerakan buruh di Indonesia oleh pemerintah Orde Baru. Langkah restrukturisasi dimaksutkan, antara lain, untuk meredam andcaman aktivitas politik buruh terhadap stabilitas social politik yang dibutuhkan untuk mendukung pembangunan. Untuk mencapaii tujuan tersebut, Orde baru menjalankan dua langkah sekaligus, yaitu penataan pada aspek kelembagaan dan aspek ideology.

19

DAFTAR PUSTAKA

Haha Haryanto dkk. 2009. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia http://www.stekpi.ac.id/informasi/datas/users/1-hubungan%20industrial.pdf

20