I. PENDAHULUAN LATAR BELAKANG SAPI PERAH

Download Manajemen sistem pemerahan otomatis sama sekali tidak membutuhkan ... Mengetahui efek pemerahan susu menggunakan mesin perah portable terha...

0 downloads 536 Views 538KB Size
1

I.

PENDAHULUAN

Latar Belakang Sapi perah merupakan penghasil utama susu untuk konsumsi manusia. Susu hanya didapatkan pada akhir siklus reproduksi dan sangat tergantung pada sekresi sejumlah hormon yang diatur oleh sistem neuroendokrin (Senger, 2003). Proses pengeluaran susu yang disebut dengan ejeksi susu atau Milk Let Down, memerlukan aktivitas sensoris, aktivitas saraf, aktivitas hormon oksitosin, kontraksi sel mioepitel dan transfer mekanis susu dari alveoli hingga ke puting susu (Senger, 2003; Bruckmaier, 2005). Ejeksi susu memerlukan suatu lingkungan bebas stres emosional untuk sapi perah dalam mencapai pelepasan oksitosin berkelanjutan untuk pengeluaran susu hingga pengosongan ambing selesai (Bruckmaier, 2005). Proses pemerahan dapat membuat stres pada sapi perah yang terlihat dari peningkatan kadar kortisol, sedangkan menyusui anakan tidak demikian (Lupoli et al., 2001). Efek perlawanan terhadap pemerahan tercermin oleh peningkatan kortisol darah selama pemerahan sekitar 15 ng/mL (Rushen et al., 2001) sampai 25 ng/mL (Hopster et al., 2002; Negrao et al., 2004), meskipun hasil nilai kortisol dari mesin pemerah susu lebih rendah dari pemerahan tangan yang berkisar antara 25 ng/ml sampai 27,6 ng/ml (Gorewit et al., 1992). Stres selama pemerahan tidak hanya mengganggu kesejahteraan hewan namun juga berefek negatif pada ejeksi susu, menghasilkan peningkatan sisa susu yang dapat berpengaruh negatif pada

2

kesehatan (Rushen et al., 2001) dan juga peningkatan resiko perlukaan ambing (Hemsworth et al., 1989; Bruckmaier 2005). Keuntungan penggunaan mesin perah adalah meningkatkan efektifitas dan efisiensi dari pemerahan dan tenaga kerja (White et al., 2006). Secara normal, mesin perah menimbulkan pelepasan oksitosin dan ejeksi susu melalui reflek neuroendokrin, tetapi mesin perah terkadang dapat menimbulkan stres dan menyebabkan pengurangan produksi susu (Tancin et al., 1995). Sampai saat ini, telah banyak dilaporkan efek pemerahan menggunakan mesin perah pada Automatic Milking System (AMS) dan Tandem Parlor Milking System (TMS). Beberapa studi menemukan peningkatan kadar kortisol pada sapi perah menggunakan AMS daripada TMS (Hopster et al., 2002; Wenzel et al., 2003; Hagen et al., 2004), sementara yang lain tidak menemukan perbedaan (Gigax et al., 2006). Tingkah laku kegelisahan seperti melangkah, mengangkat kaki dan menendang, lebih tinggi pada AMS daripada TMS (Wenzel et al., 2003), sementara yang lain tidak menemukan perbedaan seperti itu (Hopster et al., 2002). Wenzel et al. (2003) dan Hagen et al. (2004, 2005) melihat adanya tanda stres pada AMS, sedangkan Hopster et al. (2002) menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan dalam hal kesejahteraan hewan antara sapi yang diperah dengan AMS dan TMS. Manajemen sistem pemerahan otomatis sama sekali tidak membutuhkan kehadiran manusia, sedangkan manajemen sistem pemerahan parlor masih memungkinkan terjadinya interaksi manusia dan hewan. Menurut Rushen et al. (2001), kehadiran manusia dapat menurunkan beberapa tingkah laku kegelisahan

3

dan detak jantung pada sapi yang diperah pada tempat asing. Meski demikian penanganan yang kasar pada sapi dapat menyebabkan sapi menjadi ketakutan terhadap orang tersebut yang berakibat pada peningkatan residual susu dan pengurangan produksi susu (Rushen et al., 1999a). Di Indonesia sistem pemerahan sebagian besar masih dilakukan secara manual meskipun sekarang sudah ada beberapa peternakan yang menggunakan mesin perah. Salah satu peternakan yang sudah menggunakan mesin perah adalah Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul-Hijauan Pakan Ternak (BBPTU-HPT) Baturraden, Purwokerto, Jawa Tengah. Selain menggunakan mesin perah tandem parlor, peternakan tersebut juga menggunakan mesin perah portable. Penggunaan mesin perah portable pada sapi multipara dapat meningkatkan kadar kortisol hingga 15 ng/ml (Rushen et al, 2001), sedangkan pada sapi primipara dapat menimbulkan stres pada awal laktasi (Reenen et al, 2002). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai efek penggunaan

mesin perah portable yang

sesuai dengan prosedur pemerahan yang digunakan di Indonesia terhadap respon fisiologis dan tingkah laku sapi perah.

Perumusan Masalah Pemerahan tampaknya dapat membuat stres yang terlihat dari peningkatan kortisol. Sistem pemerahan sapi di Indonesia dilakukan secara manual ataupun menggunakan mesin perah baik tandem atau portable. Mesin perah terkadang dapat menimbulkan stres dan menyebabkan pengurangan produksi susu. Mesin perah baik tandem atau portable dinilai dapat meningkatkan efektifitas dan

4

efisiensi dari pemerahan dan tenaga kerja, namun permasalahannya bagaimana respon fisiologis dan tingkah laku sapi yang ditimbulkan akibat penggunaan mesin perah portable tersebut masih belum diketahui.

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui efek pemerahan susu menggunakan mesin perah portable terhadap kadar kortisol serum darah. 2. Mengevaluasi dan menghitung rasio Neutrofil/Limfosit (N/L) sebagai indikator stres. 3. Mengevaluasi tingkah laku hewan selama proses pemerahan menggunakan mesin perah portable dan mengkaji hubungannya dengan kadar kortisol serum darah.

Manfaat Penelitian Manfaat teoritis : Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai penambah kepustakaan yang berhubungan dengan proses pemerahan menggunakan mesin perah portable dan pengaruhnya pada respon fisiologis dan tingkah laku sapi perah yang dilihat dengan perubahan kadar kortisol darah, rasio N/L dan tingkah laku hewan.

5

Manfaat praktis : 1. Manfaat bagi masyarakat Diharapkan masyarakat dapat mengetahui efek pemerahan susu terhadap kondisi fisiologis dan tingkah laku hewan ternaknya. Langkah selanjutnya yang

dapat

dilakukan

adalah

mengevaluasi

kembali

manajemen

pemerahan susu yang selama ini digunakan untuk mencegah timbulnya stres pada sapi perah. 2. Manfaat bagi pemerintah Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi kepada pemerintah, bahwa proses pemerahan susu yang selama ini dilakukan dapat mempengaruhi fisiologis dan tingkah laku hewan ternak. Perubahan tersebut dapat dilihat dari kadar kortisol dan rasio N/L dalam darah, dan juga terjadi perubahan tingkah laku ternak. Hasil penelitian ini dapat digunakan

sebagai

pertimbangan

untuk

menentukan

manajemen

pemerahan yang terbaik untuk mengurangi stres pada sapi perah.

Keaslian Penelitian Sapi primipara yang diperah dengan metode pemerahan Tandem Parlor Milking System (TMS) dan Automated Milking System (AMS) pernah dikaji oleh

Hopster et al. (2002). Hasil penelitian Hopster et al. (2002) menunjukkan tidak ada perbedaan jumlah melangkah selama proses pemerahan antara sapi AMS (4,7) dan sapi TMS (8,0). Tidak ada sapi yang menendang selama persiapan ambing dan selama pemerahan. Konsentrasi kortisol plasma meningkat secara siginikan

6

dari baseline, hingga mencapai konsentrasi maksimal 27,2 ng/ml pada sapi AMS dan 21,0 ng/ml pada sapi TMS. Wenzel et al. (2003) mempelajari tingkah laku menendang dan respon stres pada sapi selama pemerahan pada double-sided parlor dengan menghitung jumlah tendangan sapi dan mengukur konsentrasi kortisol susu. Hasilnya tingkah laku menendang pada ketiga fase pemerahan lebih sering terjadi pada AMS daripada double-sided parlor. Perbedaan signifikan untuk tahap persiapan ambing (t=2.690; d.f. 31; P≤0,05) dan sangat signifikan untuk pemerahan inti (t=5.064; d.f. 27; P≤0,01) dan diakhir pemerahan (t=4.820; d.f. 28; P≤0,01). Tingkah laku menendang jarang terjadi dan tidak ada perbedaan antara kedua sistem pemerahan. Kortisol susu sapi AMS lebih tinggi daripada sapi double-sided parlor baik pemerahan pagi hari (t=3.165; d.f. 18; P≤0,01), ataupun pemerahan sore hari (t=1,68; d.f. 26; P≤0,05). Namun, Gygax et al. (2006) mendapatkan hasil yang berbeda pada konsentrasi kortisol susu sapi yang diperah dengan sistem AMS dan Auto-Tandem Milking Parlor (ATM). Hasilnya tidak terdapat perbedaan kortisol susu pada sapi yang diperah dengan AMS dan maupun dengan ATM (AMSpartially forced: 1,15±0.07; AMSfree cow traficc: 1,02±0.12; ATM: 1,01±0.16 nmol/l). Efek pemerahan menggunakan mesin perah portable telah diteliti pada sapi perah multipara (Runshen et al., 2001) dan sapi primipara (Reenen et al., 2002). Runshen et al. (2001) mengambil darah setiap 15 menit sekali menunjukkan bahwa terjadi peningkatan konsentrasi kortisol pada pemerahan sapi yang diperah di tempat biasanya dari 5 ng/ml menjadi 15 ng/ml pada menit ke-45

7

setelah pemerahan, sedangkan sapi yang diperah di ruangan isolasi dengan kontak manusia naik menjadi 20 ng/ml dan tanpa kontak manusia naik menjadi 25 ng/ml. Kejadian menendang secara signifikan lebih tinggi (P<0,001) pada pemerahan kontrol (5,47±0,44 min-1) daripada ruangan terisolasi (0,84±0,44 min-1). Kejadian melangkah berbeda sangat signifikan pada ruangan terisolasi tanpa kontak manusia (3,89 ± 0,47 min-1) daripada pemerahan kontrol (0,93±0,47 min-1) atau pada ruangan isolasi dengan kontak manusia (0,89±0,47 min-1). Sedangkan pada penelitian Reenen et al. (2002) menunjukkan bahwa pemerahan menggunakan mesin perah portable pada awal laktasi dapat menimbulkan stres pada sapi muda berdasarkan adanya hambatan ejeksi susu. Kortisol susu setelah 10 menit pemasangan ambing hari ke 2 hingga hari ke 130 menurun seiring waktu yang menunjukkan sapi mulai terbiasa dengan mesin perah (hari ke-2: 11,5 ± 0,78ng/ml; hari ke-4: 8,9 ± 9,6ng/ml; hari ke-130: 9,6 ± 1,01ng/ml). Beberapa sumber ilmiah telah banyak mengkaji tentang sistem pemerahan otomatis, tandem parlor dan mesin perah portable yang sesuai dengan prosedur yang berlaku di peternakan masing-masing yang berada di luar negeri. Sedangkan kajian sistem pemerahan dengan mesin perah portable dengan prosedur pemerahan yang berlaku di Indonesia belum pernah dilakukan.