IMPLEMENTASI AJARAN HUKUM WARIS ISLAM PADA

Download pembagian harta warisan dalam masyarakat. B. Rumusan Masalah. Berdasarkan uraian sebelumnya maka dalam tulisan ini akan dibahas pokok mas...

0 downloads 485 Views 245KB Size
IMPLEMENTASI AJARAN HUKUM WARIS ISLAM PADA MASYARAKAT BUGIS DI KABUPATEN BONE Oleh: Asni Zubair Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Watampone Abstract Implementation of Islamic inheritance law school at the Bugis Bone lasts through dynamic interaction with the teachings of their customary inheritance law. The interaction between these two teachings are sometimes in the form of inheritance law conflict interaction, cooperation, and sometimes going through the struggle, but not up to the competition. This can be seen for example on the principle of inheritance as the basis of consultation, individual, bilateral and prohibitions inheriting that happened in the Bugis Bone in their inheritance. Kata Kunci: Implementasi, Hukum Waris Islam, Masyarakat Bugis I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Implementasi ajaran hukum waris Islam pada masyarakat Bugis di Bone berlangsung melalui interaksi1 antara hukum waris Islam dengan hukum waris adat masyarakat setempat. Interaksi kedua sistem hukum waris ini berupa hubungan yang dinamis antara sistem nilai yang terkandung dalam ajaran hukum waris Islam dengan sistem nilai yang ada dalam hukum waris adat masyarakat. Hal ini berlangsung dalam bentuk kerjasama, persaingan dan pertentangan.2 Apabila 1

Interaksi dalam antropologi sebagai proses sesuai menyesuaikan antara suatu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya atau antara dua sistem nilai yang merangkum semua aspek dinamik maupun statik antara kebudayaan yang berinteraksi. Ralp Lintoln, Antropologi Suatu Penyelidikan tentang Manusia, (Bandung: Jemmars 1984), h. 266 2 Lihat Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1978), h. 199.

31

hubungan antara hukum waris Islam dan hukum waris adat masyarakat Bugis dicermati, maka tampak keduanya berada pada interaksi kerjasama. Hal ini dapat dipetik dari ungkapan lontara’ tentang hubungan ade’ dan hukum Islam bahwa: Mappakaraajai sara’ẽ ri ade’ẽ mappakalebbi’i ade’ẽ ri sara’ẽ. Temmakkullẽi ade’ẽ naruusa’ tarobicaranna sara’ẽ temmakkullẽtoi sara’ẽ naruusa’ tarobicaranna ade’ẽ. Puusai ade’ẽ ritarobicaranna massappaai ritarobicaranna sara’ẽ. Puusai sara’ẽ ritarobicarana massappaai ritarobicaranna ade’ẽ. Temmakkullẽi sipusa-pusang iyya duwa 3 temmakkullẽitoi siruusa’ iyya duwa. Dari kutipan di atas dapat dikatakan bahwa syari’at menghormati aturan dalam ade’, ade’ juga menghormati aturan syari’at. Tidak pantas ade’ membatalkan aturan syari’at dan juga syari’at tidak membatalkan aturan ade’ yang dipandang baik. Apabila suatu hal tidak ditemukan dalam aturan ade’ akan dicari dalam aturan syari’at. Jika sesuatu tidak ditemukan dalam aturan syari’at akan dicari dalam aturan ade’. Tidak mungkin antara keduanya saling mengaburkan dan tidak mungkin keduanya saling bertentangan. Tampak dari ungkapan ini bahwa antara ade’ dan syari’at saling bekerjasama mengatasi berbagai persoalan masyarakat. Bilamana ada persoalan yang terjadi maka syari’at maupun ade’ secara bersama-sama menemukan solusi untuk menyelesaikannya, termasuk jika dilakukan pembagian harta warisan dalam masyarakat. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian sebelumnya maka dalam tulisan ini akan dibahas pokok masalah bagaimana implementasi ajaran hukum waris Islam pada masyarakat Bugis di Kabupaten Bone? C. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) dengan menggunakan metode kualitatif. Data 3 Sebagaimana dituturkan Andi Muhammad Ali dalam Haddise, “Hukum Kewarisan Islam di Bone Kajian tentang Pelaksanaannya berhadapan dengan Hukum Kewarisan Adat”. Laporan Penelitian Individual. Watampone: STAIN, 2004, h. 2.

32

penelitian ini berasal dari masyarakat Kabupaten Bone yang mengalami dan melakukan pembagian harta warisan. Pengumpulan data lapangan dilakukan dengan wawancara mendalam (in-depth interview) untuk mengungkap implementasi ajaran hukum waris Islam yang telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat Bugis di Bone, II. PEMBAHASAN A. Sekitar Harta Bawaan dan Harta Bersama Harta warisan yang dimaksud dalam hukum waris Islam adalah harta peninggalan pewaris setelah dilakukan beberapa kewajiban yang berkaitan sebelum dibagikan kepada ahli warisnya. Beberapa kewajiban yang berkaitan dengan harta peninggalan yang dimaksudkan adalah tindakan yang dilakukan sebelum menjadikan harta tersebut sebagai harta warisan, yaitu didahului dengan menyelesaikan biaya pengurusan jenazah mulai dari perawatan/pengobatan sampai penyelenggaraan jenazah pewaris, membayarkan utang-utang pewaris, serta menunaikan wasiat pewaris manakala dia meninggalkan wasiat yang berkenaan dengan harta bendanya.4 Dari pengertian ini terdapat tiga unsur pokok yang terkandung di dalamnya, yaitu: Pertama, harta adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai, baik berbentuk benda (bergerak atau tidak) serta hak-hak yang mempunyai nilai kebendaan atau hak yang mengikuti bendanya. Kedua, harta peninggalan adalah harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris sebelum dikeluarkan hak-hak orang lain. Ketiga, beberapa kewajiban yang berkaitan dengan harta peninggalan adalah tindakan pengeluaran harta yang menjadi hak orang lain dan hak pewaris.5 Hak orang lain dari harta peninggalan seperti utang pewaris kepadanya, sedangkan hak pewaris dari harta peninggalannya yaitu biaya penyelenggaraan jenazahnya secara baik.

4

Lihat Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, (Jakarta: Gunung Agung, 1984), h. 90-96. 5 Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia Eksistensi dan Adaptabilitas, (Yogyakarta: Ekonisia Fakultas Ekonomi UII, 2005), h. 139.

33

Oleh karena itu, harta peninggalan sebelum dibagikan kepada ahli waris harus dilakukan beberapa kewajiban yang berkaitan, agar harta yang menjadi hak orang lain dan hak pewaris tidak dimanfaatkan oleh ahli waris. Di antara kewajiban yang berkaitan dengan harta peninggalan adalah pengeluaran harta yang menjadi hak janda atau duda yang berupa harta pribadi yang diperoleh melalui berbagai sumber. Selain itu dilakukan pengeluaran harta untuk pelunasan hutang, wasiat, dan biaya pengurusan jenazah pewaris. Dalam hal ini interaksi hukum waris Islam dan hukum waris adat masyarakat melalui bentuk kerjasama6 karena baik hukum waris Islam maupun hukum waris adat masyarakat samasama melakukan beberapa kewajiban sebelum harta peninggalan dibagikan kepada para ahli warisnya. Beberapa kewajiban terhadap harta warisan dalam ajaran hukum waris adat yang disebut dengan ripacakkaari (dibersihkan) seperti melakukan pelunasan hutang pewaris (makkamaja inreng) baik hutang ketika pewaris masih hidup maupun hutang pewaris saat meninggal dunia untuk menutupi biaya penyelenggaraan jenazahnya. Meskipun dalam hukum waris Islam tidak membebani ahli waris untuk membayar hutang pewaris apabila harta peninggalannya tidak mencukupi, tetapi dalam masyarakat Bugis di Bone menganggap hal tersebut tidak pantas (dẽ’ nasitinaaja) membiarkan utang pewaris tidak terbayarkan. Maka ahli waris yang memiliki kemampuan tanpa diminta akan membayarkan utang pewarisnya. Kewajiban berkenaan harta peninggalan yang berupa pengeluaran harta pihak janda atau duda menunjukkan bahwa hukum Islam menegaskan adanya harta pribadi suami atau istri yang tidak dapat diganggu oleh pihak lain. Harta pribadi suami dikuasai sendiri, begitu pula harta istri dikuasai sepenuhnya oleh istri itu sendiri. Pemberian hak pada masing-masing suami ataupun istri untuk menguasai secara pribadi atas hartanya dalam Islam diisyaratkan melalui QS. An-Nisa’ (4): 32 yang menyatakan bahwa untuk laki-laki ada harta kekayaan yang diperolehnya dari hasil usahanya, dan untuk perempuan ada

6

Soerjono Soekanto, loc. cit..

34

harta kekayaan yang diperolehnya dari hasil usahanya sendiri.7 Konsekuensi adanya pemilikan pribadi oleh suami dan istri tersebut apabila terjadi perceraian atau kematian salah satu pihak, maka harta pribadi itu kembali pada janda atau duda. Karena itu sewaktu salah satu pihak meninggal, langkah awal yang dilakukan ialah mengeluarkan harta yang menjadi hak janda ataupun duda tersebut. Mengenai penetapan pengertian tiap jenis atau macam harta itu masih terjadi perbedaan dalam perumusan, sehingga menimbulkan salah tafsir. Harta bawaan menurut Muhammad Daud Ali adalah harta yang telah dimiliki suami istri sebelum pernikahan. Sementara menurut Idris Ramulyo, beliau menekankan bahwa harta bawaan adalah harta yang diperoleh suami istri selama pernikahan berlangsung atas pemberian dan berkenaan dengan hak-hak (hibah, warisan dan wasiat).8 Adapun Iman Sudiyat merumuskan harta bawaan adalah harta warisan yang telah diterima suami/istri dari pihak keluarganya masing-masing.9 Dari pengertian tersebut sudah ada kepastian tentang cara memperoleh harta bawaan yaitu melalui warisan tetapi tidak ditegaskan waktunya. Adapun rumusan Muhammad Daud Ali dan Idris Ramulyo berbeda dalam hal waktu dan cara memperoleh harta bawaan itu. Muhammad Daud Ali menegaskan waktu perolehannya sebelum pernikahan dilangsungkan tetapi tidak disertai dengan caranya, hanya bersifat umum yakni diperoleh melalui pemberian dan berkenaan dengan hak. Sementara Idris Ramulyo menegaskan waktu memperoleh harta bawaan yakni selama pernikahan berlangsung dan caranya dengan melalui pemberian dan berkenaan dengan hak-hak. Rumusan Iman Sudiyat dan Idris Ramulyo hampir sama karena keduanya menegaskan cara 7

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: PT. Syaamil Cipta Media bekerjasama dengan Yayasan Penyelenggara Penerjemah/ Penafsir Al-Qur’an Revisi Terjemah oleh Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia, 2005), h. 83 8 Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 28 9 Iman Sudiyat, Hukum Adat Setsa Asas, (Yogyakarta: Liberty, 1981), h. 143

35

perolehan yaitu dengan hak-hak meskipun Iman Sudiyat hanya membatasi pada warisan, tetapi keduanya berbeda dalam waktu perolehan. Idris Ramulyo menyebut waktu perolehan harta bawaan itu yakni selama pernikahan berlangsung, sedangkan Iman Sudiyat tidak menegaskan waktunya. Harta bawaan dalam hukum adat masyarakat disebut dengan waramparang siwali yang akan kembali kepada si pembawa harta.10 Dengan kata lain bahwa dengan meninggalnya pewaris, maka harta yang dibawa dari keluarganya akan kembali menjadi bagian harta warisan untuk kerabatnya sebagai ahli waris berdasarkan hubungan nasab apabila pewaris tersebut tidak meninggalkan anak/ keturunan. Tetapi aturan ini tidak berlaku secara kaku, artinya harta bawaan masing-masing suami dan istri dapat saja disatukan apalagi bila mereka memiliki anak/ keturunan. Harta bersama dalam hukum waris adat masyarakat Bugis di Bone dikenal dengan nama waramparang balirẽẽso akan dibagi dua antara janda dan duda apabila terjadi perceraian dan dalam perkawinan mereka tidak dikaruniai anak. Seperti dituturkan oleh Bapak Andi Muhammad Ridwan Petta Rani ”waramparang balirẽsoona dibagẽ duwai narẽkko 11 masserangngi” (harta bersama dibagi dua kalau bercerai). Harta bersama dibagi dua untuk janda dan duda apabila mereka telah bercerai, sebab keduanya memang memiliki hak yang sama terhadap harta tersebut. ”Komaatẽi garassẽddinna lakkainna iyarẽga bainẽna, narẽkko engka ana na’duwangi riarẽngngi sitengnga waramparang balirẽsoona riwalunna, kodẽgaaga ana’ riwẽrẽng manengngiro waramparang balirẽsoẽ. Dẽ nakkitaawa kanenna koriwaramparang balirẽsoona.”12 (Ketika salah seorang dari pasangan suami istri meninggal dunia, jika mereka memiliki anak maka seperdua dari harta 10

Wawancara dengan Bapak Drs. Juhuri pada tanggal 7 Januari 2009 di Kelurahan Manurungẽ Kecamatan Tanete Riattang. 11 Wawancara dengan Bapak Andi Muhammad Ridwan Petta Rani pada tanggal 8 Mei 2008 di Kelurahan Biru Kecamatan Tanete Riattang. 12 Wawancara dengan Bapak Andi Muhammad Ridwan Petta Rani pada tanggal 8 Mei 2008 di Kelurahan Biru Kecamatan Tanete Riattang dan ibu Intang pada tanggal 10 Januari 2009 di Kelurahan Macanang Kecamatan Tanete Riattang Barat.

36

bersama diberikan kepada janda atau duda. Kalau mereka tidak memiliki anak maka harta bersama diserahkan seluruhnya kepada janda atau duda. Saudara si mati tidak mendapat bagian dari harta bersama. Sedangkan apabila terjadi kematian dari salah satu pihak suami atau istri, maka harta bersama itu setengahnya diserahkan kepada janda atau duda bila dalam perkawinan mereka ada anak atau keturunan. Adapun setengahnya lagi ditambah dengan harta bawaannya akan menjadi harta warisan yang dibagikan kepada semua ahli warisnya. Harta bersama (waramparang balirẽẽso) antara pewaris dengan janda atau duda akan sepenuhnya diberikan kepada janda atau duda apabila dalam perkawinan mereka tidak ada anak atau keturunan, sedangkan dari pihak kerabat pewaris tidak berhak mewarisi harta bersama (waramparang balirẽẽso) tersebut. B. Tinjauan terhadap Asas-asas Kewarisan Hukum waris Islam memiliki lima asas yang berkaitan dengan sifat peralihan harta warisan kepada ahli waris, cara pemilikan harta oleh yang berhak menerima, kadar harta yang diterima dan waktu terjadinya peralihan harta itu. Asas-asas yang dimaksud adalah asas ijbari, asas bilateral, asas individual, asas keadilan berimbang, dan asas semata akibat adanya kematian.13 Semua asas itu memiliki saling keterkaitan satu sama lain. Salah satu asas yang berlaku dalam pembagian harta warisan pada masyarakat Bugis di Bone adalah asas musyawarah (Bugis: appadaẽloreng/ siassamaturuusi) dan asas majjujung mallẽmpa. Asas-asas ini menarik untuk diperhatikan karena kalau dihubungkan dengan asas hukum waris Islam tampaknya ada kurang sejalan, di samping hal-hal lain yang sudah sejalan. 1. Asas Musyawarah Asas musyawarah selalu dipraktekkan oleh masyarakat Bugis di Bone dalam setiap pembagian harta warisan. Ketika pembagian harta warisan akan 13

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2004), h. 17.

37

dilakukan, maka semua ahli waris dihadirkan untuk turut menyaksikan, oleh karena itu harta warisan tidak akan dibagi manakala masih ada salah seorang ahli waris belum hadir. Kalaupun salah seorang ahli waris memang tidak sempat hadir tetapi dia mengirim pesan/menginformasikan bahwa dirinya tidak dapat hadir dan menyerahkan sepenuhnya urusan tersebut kepada saudaranya, maka barulah pembagian harta warisan dilakukan.14 Selain itu, biasanya juga dihadirkan orang yang dituakan/ disegani (riakkitaangi) dalam keluarga ataupun tokoh masyarakat. Kehadiran seseorang yang dituakan ataupun tokoh masyarakat diharapkan dapat memberi arahan dan nasehat kepada para ahli waris manakala dalam musyawarah terdapat perbedaan pendapat yang mengarah kepada perselisihan di antara ahli waris. Seperti dituturkan oleh Bapak Haji Muhammad Jafar, ”parellu engka tau riakkitaangi rilaleng sẽddiẽ keluarga”15 (perlu ada orang yang dituakan dalam keluarga). Oleh karena itu masyarakat Bugis di Bone selalu menunjuk orang yang dituakan dan didengar nasehatnya dalam setiap rumpun keluarga. Hal ini dilakukan untuk mencegah timbulnya perselisihan yang lebih parah agar segala permasalahan dalam keluarga tersebut dapat diselesaikan dengan jalan kekeluargaan sehingga ikatan kekerabatan dan jalinan kekeluargaan itu tetap harmonis sampai kapanpun. Tujuan musyawarah dalam setiap pembagian harta warisan adalah agar diperoleh kata sepakat, dengan kata sepakat maka hubungan kekeluargaan di antara ahli waris tetap terjalin dengan baik dan harmonis. Dalam proses musyawarah ini kerelaan masing-masing ahli waris berperan penting untuk mencapai kata sepakat. Apabila setiap ahli waris rela membagi harta warisan secara kekeluargaan, maka dapat dilakukan pembagian secara kekeluargaan, atau dibagi secara 14 Seperti dituturkan oleh Bapak Andi Muhammad Ridwan Petta Rani pada tanggal 8 Mei 2008 di Kelurahan Biru Kecamatan Tanete Riattang. 15 Wawancara dengan Bapak Haji Muhammad Jafar pada tanggal 11 Oktober 2008 di Desa Sugiale’ Kecamatan Barebbo.

38

damai sesuai dengan kesepakatan seluruh ahli waris. Bahkan, berdasarkan hal tersebut maka adalah sah bilamana ada di antara ahli waris yang merelakan atau menggugurkan haknya dalam pembagian harta warisan itu untuk selanjutnya diserahkan kepada ahli waris yang lain.16 Musyawarah dengan kerelaan masing-masing ahli waris ini mengakibatkan adanya perbedaan besar bagian yang diterima oleh ahli waris dengan besar bagian yang semestinya diterima menurut ketentuan dalam hukum waris Islam. Meskipun demikian, dalam banyak kasus, semangat atau jiwa hukum waris Islam tidak ditinggalkan. Baik yang berhubungan dengan bagian anak laki-laki dan perempuan maupun bagian ahli waris lainnya. Dalam asas musyawarah yang dijalankan masyarakat Bugis di Bone dapat dikemukakan bahwa musyawarah dilakukan dalam kaitannya dengan penetapan besar bagian masing-masing ahli waris.17 Sebab melalui musyawarah bagian masing-masing ahli waris dapat diputuskan. Kerelaan dari masing-masing ahli waris (sihallalakiang) dalam musyawarah berperan besar dalam menemukan kata sepakat. Seperti dituturkan oleh ibu Hj. Halimah, “biasa di dalam musyawarah engka riaseng sihallalakiang.”18 Ada ahli waris yang 16

Ada berbagai alasan yang memungkinkan dapat mendorong seseorang untuk rela menggugurkan haknya dalam suatu pembagian harta warisan. Misalnya dia adalah seseorang yang berhasil dalam kehidupan ekonominya bila dibandingkan dengan ahli waris lainnya. Dengan demikian secara sukarela ia memberikan haknya kepada pihak yang kurang berhasil kehidupan ekonominya itu. Atau ia menyadari bahwa yang paling banyak mengurus orang tua mereka semasa hidupnya adalah salah seorang dari ahli waris di antara mereka, sehingga wajar jika ahli waris tersebut diberi bagian lebih banyak dari harta warisan orang tua (pewaris). Satria Effendi M. Zain, “Analisa Fiqh Terhadap Yurisprudensi Tentang Kewarisan” dalam Mimbar Hukum, No. 20 Tahun VI, 1995 h. 81. 17 Wawancara dengan Bapak M. Agus Genda pada tanggal 22 Desember 2008 di Salẽkoẽ Kecamatan Tanete Riattang. 18 Wawancara dengan ibu Hj. Halimah pada tanggal 11 Agustus 2008 di Kelurahan Watampone Kecamatan Tanete Riattang. Semua ahli waris saling merelakan bagian yang diterimanya untuk diberikan kepada ahli

39

merelakan bagiannya untuk diserahkan kepada ahli waris yang lain. Juga merelakan dalam arti memberikan persetujuan terhadap permintaan ahli waris lainnya untuk meminta suatu harta warisan meskipun mungkin kalau diadakan penilaian, maka bagian yang telah diperoleh ahli waris yang meminta itu sudah melebihi dari bagian yang semestinya dia peroleh.19 Hak masing-masing ahli waris tidak dihapuskan. Tiap ahli waris memiliki kesadaran bahwa dirinya mempunyai hak untuk mewarisi harta pewarisnya, meskipun kemudian bagiannya itu diserahkan kepada ahli waris lainnya. Begitupula ahli waris yang meminta kerelaan ahli waris lain untuk diberikan kepadanya harta melebihi bagian yang semestinya dia terima, hal itu tidak menghapus hak mewaris dari ahli pewaris yang dimintai kerelaannya. Tujuan dilaksanakannya musyawarah adalah untuk mencapai kata mufakat agar hubungan kekeluargaan (assisompungeng masselessureng)20 di antara ahli waris tetap terjalin baik dan harmonis. Interaksi hukum waris Islam dan hukum waris adat dalam hal ini berlangsung dalam bentuk pertentangan dan kerjasama. Apabila dilihat secara lahiriah terhadap pembagian harta warisan yang tidak dilakukan sebagaimana ketentuan angka-angka seperti bagian seorang ahli waris anak laki-laki memperoleh sama dengan bagian dua orang anak perempuan dalam hukum waris Islam, maka dapat dikatakan bahwa masyarakat Bugis di Bone belum melaksanakan hukum waris sesuai dengan tuntutan Al-Quran khususnya yang berkenaan dengan ahli waris anak laki-laki dan anak perempuan. Hal ini berarti tampak terjadi pertentangan antara kedua sistem hukum waris ini. Akan tetapi kalau waris yang membutuhkan setelah mereka menyadari bagiannya. Sihallakiang berarti saling menghalalkan karena ada kerelaan dari ahli waris akan bagian yang diterimanya. 19 Wawancara dengan Bapak Syapriadi, S. Pd. pada tanggal 14 Januari 2009 di Kelurahan Macanang Kecamatan Tanete Riattang Barat. 20 Wawancara dengan Bapak Haji Muhammad Jafar pada tanggal 11 Oktober 2008 di Desa Sugiale’ Kecamatan Barebbo.

40

dilihat dari tujuan musyawarah yang dilakukan dalam pembagian harta warisan dan prinsip yang mendasarinya, maka akan didapat kesimpulan yang lain. Tujuan musyawarah untuk mendapatkan kata sepakat dalam pembagian harta warisan sehingga kerukunan keluarga tetap terpelihara. Hal mana sejalan dengan nilai ajaran Islam untuk selalu memelihara silaturrahim. Hal ini berarti terjadi interaksi dalam bentuk kerjasama di mana dalam hukum waris Islam yang diatur secara rinci dan tegas bertujuan untuk menciptakan keadilan serta memelihara hak masing-masing ahli waris agar tidak terjadi perselisihan. Prinsip kerelaan dalam pelaksanaan hukum Islam, khususnya di dalam bidang muamalah bahwa kerelaan21 seseorang dapat meniadakan pelaksanaan hukum yang telah ada karena yang dihapuskan bukan ketetapan hukum tersebut tetapi mengedepankan kesepakatan perdamaian di antara ahli waris. Oleh karena itu selama di antara ahli waris masih saling merelakan (Bugis: sihallalakiang) --seperti yang dilakukan masyarakat Bugis-- kepada ahli waris yang lain untuk memperoleh bagian tertentu walau dari kacamata hukum waris Islam (angka-angka dalam farāid ) tidak sesuai, tetapi praktek seperti itu masih dapat ditolerir oleh hukum waris Islam. Begitupula sesama ahli waris tidak meniadakan hak-hak yang seharusnya diperoleh ahli waris lainnya.22 Persetujuan di antara ahli waris dapat menyalahi ketentuan yang telah ditetapkan dalam hukum waris. 21 Pembagian harta warisan atas dasar rela sama rela diperkenankan, bahkan jika salah seorang ahli waris tidak menerima bagiannya atas dasar kerelaannya juga tidak dianggap bersalah. Ada perbedaan yang signifikan antara pembagian harta warisan atas dasar rela sama rela (‘an tarā din) atau hibah dengan putusan pengadilan yang berangkatnya dari persengketaan (khuşumah). Rela sama rela dalam masalah yang berhubungan antar sesama manusia (perdata) berarti mendasarkan pada perasaan hati (wijdaniyah). Ketika “hukum” wijdaniyah itu dapat diterapkan maka hukum yang kaku dan formal itu tidak harus selalu diterapkan. Lihat Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum, (Yogyakarta: Gama Media, 2004), h. 198. 22 Abdul Ghofur Anshori, op. cit., h. 149.

41

Kalau dalam hukum waris Islam persetujuan atau perdamaian di antara ahli waris itu dikenal dengan istilah al-sulh, sedangkan dalam hukum waris adat disebut dengan appadaẽloreng.23 Oleh sebab itu, apabila para ahli waris bersepakat untuk membagi harta warisan tidak sesuai dengan angka-angka dalam ketentuan hukum waris Islam, maka atas dasar persetujuan itu boleh diterapkan sesuai dengan kesepakatannya.24 Dasar hukum yang juga diperpegangi dalam perdamaian ini adalah pasal 183 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi ”para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya.”25 Ini berarti bahwa dalam Kompilasi Hukum Islam dibolehkan untuk melakukan perdamaian setelah masing-masing ahli waris telah mengetahui bagiannya sesuai dengan ketentuan hukum waris Islam. Hukum waris Islam dan hukum waris adat berinteraksi dalam bentuk kerjasama, hal ini dapat dilihat dengan adanya hubungan dinamis antara keduanya. Sistem nilai dalam hukum waris adat mengenal perdamaian dengan musyawarah yang disebut appadaẽloreng, demikian pula dalam sistem hukum waris Islam mengenal perdamaian dengan musyawarah yang disebut sulh dalam bentuk takhaaruj.26 Jadi kedua sistem hukum waris ini menganut asas musyawarah untuk mufakat dalam menyelesaikan pembagian harta 23

Wawancara dengan Bapak Andi Muhammad Ridwan Petta Rani pada tanggal 8 Mei 2008 di Biru Kecamatan Tanete Riattang. 24 Perdamaian dan kesepakatan yang dilakukan oleh para pihak secara sukarela yang menjadi subyek hukum mempunyai peranan dan nilai sangat tinggi, hal ini diakui oleh hukum Islam sepanjang perdamaian yang dimaksud itu mengenai hak hamba. Lihat Qodri Azizy, loc. cit. 25 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992), h. 158. 26 Takhaaruj adalah perjanjian atau perdamaian para ahli waris untuk mengeluarkan atau mengundurkan sebagiannya dari pewarisan dengan suatu imbalan/ prestasi yang ditentukan. Hasanain Muhammad Makhluf, AlMawaris fi al-Syari’at al-Islamiyyah, (Kairo: Lajnah al-Bayyan al-Araby, 1958), h. 198.

42

warisan. 2. Asas majjujung mallẽmpa Sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya bahwa asas ini memberikan bagian harta warisan lebih besar kepada ahli waris anak laki-laki daripada ahli waris anak perempuan. Kenyataan ini merupakan pengaruh dari hukum waris Islam yang menetapkan bahwa bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.27 Ketentuan seperti ini bahkan telah melembaga dalam masyarakat Bugis dengan istilah majjung makkunraiẽ mallẽmpa oroanẽ. Antara hukum waris Islam dan hukum waris adat terjadi interaksi dalam bentuk kerjasama karena hukum waris adat menerima (meresepsi) nilai-nilai hukum waris Islam dalam hal besar perolehan hak antara ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan. Meskipun sebelumnya ada ”pertentangan” di antara kedua hukum waris tersebut, karena dalam hukum waris adat lama menganut pola pembagian sama rata antara ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan. Sedangkan dalam ketentuan hukum waris Islam berdasarkan Q.S. An-Nisa’ (4): 1128 ditetapkan bahwa bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa asas ini pada hakekatnya memiliki persamaan dengan asas dalam hukum waris Islam yaitu persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dan perbedaan besar bagian perolehan harta warisan. Hanya saja ketika asas ini dipraktekkan dalam kaitannya dengan bagian perolehan di antara ahli waris tidak dilaksanakan menurut ketetapan perbandingan seperti dalam farāid , tetapi lebih didasarkan kepada kerelaan ahli waris sebagaimana yang terjadi dalam musyawarah.

27

Lihat surat An Nisa’ (4): 11 bahwa Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Departemen Agama RI, op. cit., h. 78. 28 Ibid.

43

3. Asas bilateral-individual Sebagaimana telah dikemukakan berkenaan dengan asas bilateral ini bahwa harta warisan beralih kepada ahli waris melalui dua arah. Artinya ahli waris memperoleh hak atas harta warisan dari kedua belah pihak, yakni dari pihak kerabat laki-laki dan pihak kerabat perempuan.29 Menurut Hazairin bahwa apabila Al-Qur’an dipelajari dengan menggunakan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk menganalisis tentang berbagai sistem kemasyarakatan, yakni tentang berbagai jenis sistem kekeluargaan, sistem garis keturunan, berbagai macam larangan perkawinan, maka dapat ditemukan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an tentang perkawinan dan kewarisan mencerminkan suatu bentuk sistem kekeluargaan yang bilateral.30 Asas bilateral-individual ini pula yang dianut masyarakat Bugis Bone karena sistem kekerabatannya berbentuk parental, yaitu hubungan antara seorang anak dengan keluarga lain selalu sederajat antara keluarga pihak ibunya dengan keluarga pihak ayahnya. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya perbedaan antara paman dan bibi serta kerabat lainnya dari pihak ayah dan dari pihak ibu, semua kerabat ini disebut dengan siajing marẽppẽ’ (kerabat dekat). Apabila seorang kerabat misalnya A memiliki hubungan keluarga dengan B, jalurnya dihubungkan dari ayah dan ibu A, maka kekerabatan keduanya disebut siajing marẽppẽ’ wali waali.31 (kerabat dekat dari dua arah). Sistem kekerabatan seperti ini menimbulkan konsekuensi sistem hukum waris yang berbentuk individual, yaitu semua anggota keluarga berhak untuk mewarisi atau memiliki kemungkinan menggunakan hak warisnya secara 29

Ibid. Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit maupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. Q. S. An-Nisa’(4): 7. 30 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Qur’an dan Hadith, (Jakarta: Tintamas, 1982), h. 13 31 Wawancara dengan Bapak Andi Muhammad Ridwan Petta Rani pada tanggal 8 Mei 2008 di Biru Kecamatan Tanete Riattang.

44

bersama dalam pembagian harta warisan yang ada. Menurut hukum waris adat lama masyarakat Bugis, kedudukan ahli waris laki-laki dan perempuan itu sama. Mereka berhak mewarisi harta pewarisnya, begitu pula mereka memperoleh bagian yang sama seperti ungkapan samawwai asenna manaẽ.32 Jadi antara lakilaki dan perempuan mendapatkan bagian yang sama, seperti makna ungkapan tadi bahwa pembagian harta warisan seperti permukaan air yang rata, tidak ada yang lebih tinggi dari yang lain. Asas individual dalam masyarakat Bugis di Bone dapat dilihat pada saat penyerahan bagian harta warisan kepada masing-masing ahli waris. Penyerahan tersebut ditandai dengan kata-kata penyerahan seperti dituturkan oleh Andi Muhammad Ridwan Petta Rani, ”komaẽloni riwẽrẽng bagianna iyarẽga ripakkatenningi, riolliini makkeda Baco’ iko iyyẽ muakkatenning, Beccẽ’ iko iyyẽ muakkatenning.”33 (jika bagiannya hendak diserahkan, dipanggillah Baco’ ini yang kau pegang/kuasai, Beccẽ’ ini yang kau pegang/kuasai). Dengan penyerahan seperti itu menandakan bahwa masing-masing ahli waris diberi kekuasaan penuh untuk mengelola dan memanfaatkan sendiri bagiannya tanpa harus bergantung kepada ahli waris lain. Implementasi hukum waris Islam pada masyarakat Bugis di Bone dalam asas bilateral ini berlangsung dalam bentuk kerjasama dengan hukum waris adat masyarakat. Hal ini dikarenakan adanya sistem kekerabatan dalam masyarakat berbentuk parental (bilateral) sama seperti yang diinginkan oleh AlQuran.34 Sistem kekerabatan yang dimaksudkan sesuai 32

Wawancara dengan Bapak Andi Muhammad Ridwan Petta Rani pada tanggal 8 Mei 2008 di Biru Kecamatan Tanete Riattang. Samawwai asenna manaẽ (pembagian harta warisan seperti permukaan air yang rata) merupakan istilah untuk menggambarkan bahwa antara ahli waris laki-laki dan perempuan kedudukannya sama dalam memperoleh hak waris, begitupula dengan jumlah bagian yang mereka terima. 33 Wawancara dengan Bapak Andi Muhammad Ridwan Petta Rani pada tanggal 8 Mei 2008 di Biru Kecamatan Tanete Riattang. 34 Hazairin, op. cit., h. 16

45

keinginan Al-Quran adalah berbentuk parental (bilateral). Dengan persamaan sistem kekerabatan yang dianut oleh kedua aturan hukum waris ini menjadikan proses interaksi berjalan dengan baik dan saling bekerja sama untuk mewujudkan keadilan bagi keluarga dari pihak laki-laki dan perempuan. 4. Asas Kekerabatan dan Perkawinan Hukum waris Islam menganut asas kekerabatan dan perkawinan. Karena untuk dapat beralihnya harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup harus ada hubungan kekerabatan antara keduanya. Hubungan kekerabatan ini ditentukan oleh adanya hubungan darah. Begitupula hak untuk mewarisi ditentukan atas dasar hubungan perkawinan. Berlakunya hubungan saling mewarisi di antara suami dan istri didasarkan adanya akad pernikahan yang sah, dan di antara suami istri itu masih berlangsung ikatan perkawinan pada waktu salah satu pihak meninggal dunia.35 Asas kekerabatan dalam hukum waris Islam berinteraksi kerjasama dengan asas kekerabatan dalam hukum waris adat, karena keduanya menjadikan kekerabatan sebagai penyebab terjadinya hubungan saling mewarisi. Namun asas perkawinan dalam hukum waris Islam terjadi pertentangan dengan ketentuan hukum waris adat lama yang tidak mengenal pewarisan karena sebab perkawinan, sehingga tidak terdapat ketentuan yang menetapkan bolehnya suami dan istri saling mewarisi. Ini terlihat dari waktu pembagian harta warisan yang baru dilakukan setelah kedua orang tua (sepasang suami istri) meninggal dunia. Hukum Islam yang akomodatif berinteraksi dengan hukum adat yang dinamis menyebabkan pertentangan yang terjadi tidak mengarah kepada persaingan satu sama lain, tetapi justru bergerak saling mendekat untuk kemudian saling bekerjasama. Hal ini dapat dilihat banyaknya kasus setelah salah seorang dari orang tua meninggal dunia,

35

Hasbi ash-Shiddiqy, Fiqhul Mawaris, (Semarang: Pustaka Rizki Putera, 1997), h. 34

46

maka orang tua yang masih hidup membagikan harta warisan kepada anaknya. Dalam pembagian harta warisan masyarakat Bugis di Bone, biasanya ahli waris yang banyak memberikan kontribusi kepada keluarga, maka ia diberikan harta yang lebih banyak. Kontribusi yang dimaksudkan misalnya adalah ahli waris yang bertanggung jawab terhadap kehidupan pewaris seperti merawat (mattungka) pewaris semasa hidup hingga akhir hayatnya. Dalam hal ini pewaris sebelum meninggal memberikan harta kepada yang merawatnya itu berupa hibah, selain harta warisan yang nantinya akan dibagi kepada ahli waris. Kalaupun dalam ketentuan hukum waris adat lama masyarakat tidak mengenal saling mewarisi antar suami istri, tetapi apabila salah seorang di antara mereka meninggal dunia maka janda atau duda memiliki peran penting dalam mengurus harta peninggalan pewaris. Selain itu calon pewaris (dalam hal ini suami dan istri/orang tua) juga menyimpan harta tersendiri untuk biaya hidupnya dan persiapan penyelenggaraan jenazahnya kelak setelah ia meninggal dunia yang dalam istilah Bugis disebut ampi kaalẽ.36 Kalaupun nantinya harta ampi kaalẽ ini tidak habis untuk keperluan tersebut, maka sisa harta ini menjadi milik orang yang merawat pewaris. Meskipun demikian ada juga yang membagi sisa harta ampi kaalẽ ini37 bersama dengan harta warisan pewaris kepada masing-masing ahli waris yang berhak. Kalau diperhatikan tampaknya harta yang disimpan khusus oleh calon pewaris berupa ampi kaalẽ

36

Ampi kale adalah harta yang disisakan orang tua setelah membagikan hartanya kepada anak-anaknya, harta tersebut dipakai untuk biaya hidupnya dan dipersiapkan kelak sebagai biaya perawatan jenazahnya juga biaya rangkaian upacara setelah penguburannya. Wawancara dengan Becce Tang pada tanggal 11 Januari 2009 di Kecamatan Palakka. 37 Wawancara dengan Bapak Haji Muhammad Jafar, tokoh masyarakat pada tanggal 11 Oktober 2008 di Desa Sugiale’ Kecamatan Barebbo.

47

ini tidaklah bertentangan dengan hukum waris Islam38 yang senantiasa memberi bagian harta warisan kepada janda ataupun duda di samping bagian harta warisan untuk anak-anak/keturunan dan orang tua pewaris. Jadi meskipun hukum waris adat lama tidak mengenal saling mewarisi antar suami istri tetapi dengan harta ampi kaalẽ, menjadikan kehidupan janda atau duda terjamin. Jika dicermati maka antara hukum waris Islam dan hukum waris adat secara bersama memberi perhatian kepada kehidupan janda atau duda, hanya saja jalurnya berbeda. Janda atau duda dalam hukum waris Islam memperoleh jaminan melalui adanya bagian tertentu (furūd ) sedangkan dalam hukum waris adat lama melalui harta ampi kaalẽ. Setelah melewati interaksi pertentangan, kedua sistem hukum waris ini berinteraksi dengan cara kerjasama yang berupa akomodasi.39 Hukum waris adat yang dinamis dapat menyerap nilai ajaran hukum waris Islam mengenai kedudukan orang tua pewaris dapat mewaris bersama dengan anak pewaris. Demikian juga saudara pewaris dapat mewaris bersama dengan anak perempuan pewaris. Sehingga dengan demikian terjadi persamaan antara hukum waris Islam dengan hukum waris adat mengenai keutamaan ahli waris yang memiliki hubungan kekerabatan lebih dekat dengan pewaris daripada ahli waris yang memiliki hubungan kekerabatan yang lebih jauh dengan adanya ahli waris yang lebih dekat dapat menghalangi ahli waris yang lebih jauh hubungan kekerabatannya dari pewaris. Mengenai ahli waris orang tua dan saudara kandung pewaris, meskipun pada dasarnya mereka itu 38

Wawancara dengan Bapak Andi Najamuddin Petta Ilẽ, tokoh masyarakat (budayawan) pada tanggal 13 November 2008 di Kelurahan Ta’ Kecamatan Tanete Riattang. 39 Akomodasi sebagai penyelesaian hanya dapat diterima untuk sementara waktu, ini berarti kedua pihak belum tentu puas sepenuhnya. Akomodasi merupakan suatu cara menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan, sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya. Soejono Soekanto, op. cit., h. 77 dan 83

48

termasuk ahli waris, akan tetapi dalam praktek di mana mereka seharusnya berhak untuk mewaris, seringkali hak-hak mereka menjadi kabur. Hal ini misalnya dapat dilihat dalam praktek pembagian harta warisan ketika pewaris tidak meninggalkan anak, maka janda ataupun duda menjadi ahli waris satu-satunya yang mengambil semua harta warisan tanpa memberikan hak mewaris kepada orang tua si pewaris. Demikian pula ketika terjadi kasus di mana pewaris tidak meninggalkan anak kandung dan janda ataupun duda, juga tidak meninggalkan orang tua, tetapi dia mempunyai anak angkat, maka anak angkat inilah yang mengambil seluruh harta si pewaris yang biasanya telah dihibahkan kepadanya. Saudara kandung pewaris yang semestinya berhak mewaris akhirnya tidak kebagian sedikitpun, terlebih apabila harta pewaris itu didapatkan dari hasil usahanya, bukan harta bawaan. Hukum waris Islam memberikan hak mewaris sebagai ahli waris zaw al-furūd kepada saudara kandung pewaris laki-laki dan perempuan dalam kasus orang yang meninggal (pewaris) tidak meninggalkan anak dan ayah (kalalah).40 Adapun ayah dan ibu pewaris menjadi ahli waris zaw al-furūd yang tidak terhalangi oleh ahli waris lainnya. Apabila seseorang meninggal dan tidak memiliki anak maka dia diwarisi oleh ayah ibunya. Jika pewaris juga tidak meninggalkan orang tua, maka akan diwarisi oleh kakek neneknya. Apabila kakek nenek pewaris juga tidak ada, maka akan diwarisi oleh saudara-saudaranya. Jika saudara-saudara pewaris juga tidak ada, maka akan diwarisi oleh anak-anak saudaranya (keponakan pewaris). Jika pewaris juga tidak meninggalkan keponakan, maka akan diwarisi oleh paman pewaris. Dan apabila pewaris juga tidak meninggalkan paman, maka hartanya akan diwarisi oleh anak-anak paman pewaris.41 40 Inilah pendapat Abu Bakr ash-Shiddiq, ‘Umar, ‘Ali dan Jumhur Ulama. Lihat Ahmad Mustafa al-Marāgi, Tafsir al-Marāgi Jilid II Juz IV, (Beirut: Dār al-Fikr, 1974 M/ 1394 H), h. 39 dan 200. 41 Haddise, op. cit., h. 21-22.

49

Jadi antara hukum waris Islam dengan hukum waris adat sama-sama memberikan hak mewaris kepada orang tua dan saudara kandung pewaris, khususnya dalam kasus pewaris tidak meninggalkan anak keturunan. Dengan demikian bahwa terjadinya kekaburan hak mewaris bagi orang tua dan saudara kandung pewaris bukan disebabkan karena hukum waris Islam dan atau hukum waris adat tidak memberikan hak kepada mereka. Tetapi hal tersebut lebih dikarenakan adanya praktek masyarakat di mana satu sisi memberi hak kepada orang tua dan saudara kandung untuk mewaris, tetapi di sisi lain mereka sulit untuk memperoleh bagian harta warisan dalam kasus pewaris tidak meninggalkan keturunan. Sehingga kalau mereka tidak meminta haknya sebagai ahli waris, maka dapat dipastikan hak-hak itu akan dihilangkan oleh janda/duda dan atau anak angkat pewaris. Umumnya masyarakat di Indonesia yang sistem kekerabatannya parental/ bilateral apabila seseorang meninggal (pewaris) meninggalkan istri dan anak-anak yang masih kecil, maka harta warisannya berada di bawah pengawasan istri (janda) pewaris. Penguasaan janda terhadap harta warisan dapat dia lakukan selama hidupnya, atau dia dapat mengalihkan harta tersebut kepada anak-anaknya setelah mereka dapat berdiri sendiri.42 Dalam rangka pengawasan harta warisan, seorang janda dapat juga berperan sebagai pembagi harta warisan kepada para ahli waris yang ada dan berhak mendapatkan bagian, tanpa adanya campur tangan pihak saudara pewaris. Tetapi hal ini tidak demikian yang 42

Sebaliknya jika pewaris yang meninggalkan duda serta anak-anak yang masih kecil, maka si duda ini berkewajiban mengurus anak-anak dan harta warisan. Tetapi apabila si duda ini mengakhiri masa dudanya dengan menikah lagi, maka sebaiknya anak-anak atau yang menjadi wali mereka mencatat harta bawaan ibunya dan harta bersama ayah ibunya. Agar nanti jika mereka memiliki saudara tiri lain ibu, mereka tidak dirugikan dalam pembagian harta warisan. Lihat Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat, Hukum Agama Hindu, Islam, (Bandung: Citra Adityah Bakti, 1991), h. 101.

50

terjadi manakala pewaris tidak tidak memiliki anak.43 Dalam hal seperti ini, yaitu pewaris tidak meninggalkan anak/keturunan maka biasanya duda ataupun jandanya tidak dapat mengawasi harta warisan secara mandiri karena tentu saja saudara-saudara pewaris akan meminta bagian dari harta warisan yang menjadi haknya. Interaksi antara ajaran hukum waris Islam dengan hukum waris adat dalam hal ini berlangsung melalui kerjasama. Meskipun interaksi keduanya sempat berlangsung melalui pertentangan. Garis keutamaan ahli waris yang tadinya menurut ketentuan hukum waris adat lama masyarakat berlangsung sangat ketat. Misalnya kedudukan anak sebagai penghalang ahli waris lain tidak memungkinkan mereka memperoleh bagian harta warisan. Namun dalam perkembangan selanjutnya interaksi hukum waris Islam dan hukum waris adat berlangsung secara dinamis. Sehingga dalam praktek pembagian harta warisan di masyarakat, penetapan ahli warisnya tidak lagi hanya dari kelompok ahli waris pertama tetapi juga bersama dengan kelompok ahli waris lain. C. Hal-hal yang Berkaitan dengan Pembagian Harta Warisan 1. Larangan mewarisi Dalam hukum waris adat lama masyarakat Bugis, seseorang menjadi tidak berhak mewaris misalnya karena seorang anak yang berbuat sesuatu yang tidak direstui oleh orang tua. Seperti apabila ada anak perempuan yang menikah tidak sesuai dengan keinginan orang tua sehingga ia melakukan kawin lari (Bugis: silariang)44 maka menurut adat, si anak perempuan itu 43

Amir Syarifuddin, Pelaksanaan…, h. 316; Hilman Hadikusuma, op. cit., h. 54. 44 Perkawinan dengan cara lari bersama dilakukan untuk menghindarkan diri dari keharusan sebagai akibat perkawinan dengan cara pelamaran atau peminangan, atau juga untuk menghindarkan diri dari rintangan-rintangan dari pihak orangtua dan sanak saudara yang terutama datangnya dari pihak orang tua dan sanak saudara pihak perempuan. Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT RajaGrafindo

51

tidak berhak mendapatkan harta warisan orang tuanya. Dengan kejadian itu biasanya orangtua mengingkari sang anak tersebut dengan menyatakan bahwa orang tua tidak mengakuinya lagi sebagai anak (riassakkaarangngi) dan dianggap sudah tidak ada dan telah ditelan bumi (ripaoppaangi taana).45 Bahkan untuk kasus yang lebih jauh, anak yang telah diingkari keberadaannya oleh orang tuanya itu dianggap telah mati dengan diadakan acara mattampung.46 Respons orang tua terhadap perilaku anak yang kawin lari memang sangat keras karena menyangkut harga diri/martabat kehormatan (siri’) keluarga yang telah dinodai oleh sang anak bersama dengan lelaki yang melarikan anaknya. Maka dalam hal ini si anak tadi tidak diberi hak untuk memperoleh bagian harta warisan dari orangtuanya. Akan tetapi keadaan seperti ini dapat berubah apabila beberapa tahun kemudian--biasanya si anak yang telah melakukan kawin lari (silariang) tersebut telah memiliki anak--. Kemudian dengan membawa serta anak mereka menghadap orangtua untuk meminta maaf (maddẽẽcẽng), biasanya karena melihat kehadiran cucu dan kebahagiaan anaknya bersama keluarga barunya, akhirnya orangtua menerima permintaan maaf anaknya. Dengan demikian orangtua telah menyambung kembali ikatan silaturrahim dengan anak (Bugis: narokoongi ana’na).47 Setelah kejadian itu, maka tentu saja sang anak yang tadinya tidak memperoleh hak dari harta warisan orang tuanya, sudah kembali mempunyai hak untuk mewaris.

Persada, 2005), h. 225 45 Wawancara dengan Bapak Andi Muhammad Ridwan Petta Rani, tokoh masyarakat (budayawan) pada tanggal 8 Mei 2008 di Biru Kecamatan Tanete Riattang 46 Dalam hal ini anak yang dianggap telah mati oleh orang tuanya dibuatkan semacam kuburan sebagai tanda kematiannya. Wawancara dengan Bapak Andi Muhammad Ridwan Petta Rani, tokoh masyarakat (budayawan) pada tanggal 8 Mei 2008 di Biru Kecamatan Tanete Riattang. 47 Wawancara dengan Bapak Andi Muhammad Ridwan Petta Rani, tokoh masyarakat (budayawan) pada tanggal 8 Mei 2008 di Biru.

52

Implementasi hukum waris Islam dalam hal ini berlangsung melalui interaksi yang berbentuk pertentangan, ini terjadi ketika dalam ketentuan adat lama masyarakat tidak memberi hak waris kepada anak yang menikah tidak sesuai dengan kemauan orang tua. Sedangkan dalam ketentuan hukum waris Islam, seorang anak akan mendapat hak sebagai ahli waris dari orang tuanya kecuali bila ia membunuh pewaris atau murtad. Tetapi dalam perkembangannya hukum waris Islam dan hukum waris adat berinteraksi dalam bentuk kerjasama karena masyarakat telah mengenal larangan mewaris dalam ajaran hukum waris Islam. 2. Sikap Tokoh Agama terhadap Pembagian Harta yang dilakukan Masyarakat Sikap tokoh agama berbeda-beda dalam menyikapi pembagian harta warisan yang dilakukan/dipraktekkan oleh masyarakat Islam di Kabupaten Bone. Terhadap pembagian harta warisan yang dilakukan/dipraktekkan oleh masyarakat tersebut, maka sikap/pandangan tokoh agama berbeda satu sama lain. Ada yang berpendapat bahwa pembagian harta warisan yang dilakukan berdasarkan hukum waris adat lama yakni dengan menyamaratakan bagian antara ahli waris laki-laki dan perempuan itu tidak disetujui karena hal itu menyalahi aturan teks Al-Qur’an. Begitupula dengan orang tua yang membagi hartanya sebelum meninggal dunia karena itu berarti orang tersebut mengelak dari ketentuan hukum waris Islam.48 Pandangan tokoh agama di sini menyatakan bahwa tidak ada jalan lain bagi masyarakat Muslim, mereka harus menerapkan semua ketentuan Hukum Waris Islam. Pandangan ini didasarkan pada kehendak Allah dalam Q.S. An-Nisa’(4): 14 bahwa barang siapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar batas-batas hukumNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka, dia kekal di dalamnya dan dia akan mendapat

48

Wawancara dengan Bapak Drs. K. M. Haji Jamaluddin Abdullah, M. Th.I tanggal 14 Juli 2008 di Kelurahan Biru Kecamatan Tanete Riattang

53

azab yang menghinakan.49 Pandangan tokoh agama di sini berpegang kepada teks Al-Qur’an (tekstual), sehingga pembagian harta warisan bagi seorang muslim harus mengikuti bunyi teks tersebut, jika tidak dilakukan seperti itu berarti siap menerima hukuman yang menghinakan. Ada pula tokoh agama berpandangan bahwa pembagian harta warisan yang didasarkan atas musyawarah dan saling merelakan (sihallalakiang) bagian masing-masing antara ahli waris itu tidak bertentangan dengan hukum Islam. Adapun orangtua yang sebelum meninggal membagikan/ menghibahkan hartanya kepada seluruh bakal ahli waris, karena mereka menghindari akan adanya perselisihan/persengketaan di kemudian hari. Mengenai pembagian harta warisan yang menyamaratakan bagian ahli waris laki-laki dan perempuan, hal tersebut tidak dipermasalahkan karena di masa sekarang ini perempuan juga turut berpartisipasi aktif dalam mencari nafkah untuk keluarga. Jadi kewajiban mencari nafkah tidak hanya dibebankan kepada laki-laki saja maka wajar kalau bagian mereka disamakan.50 Pandangan tokoh agama di sini menyerahkan sepenuhnya pembagian harta warisan itu kepada kesepakatan dan kerelaan hasil musyawarah semua ahli waris. Pembagian harta warisan idealnya diselesaikan dengan mengikuti/mengacu ketentuan hukum waris Islam, baik tentang ahli warisnya serta bagian masingmasing ahli waris tersebut yang ditetapkan dalam AlQuran dan hadis. Apabila hal itu telah dilakukan dan setelah para ahli waris itu menyadari bagiannya dan kemudian hendak melakukan perdamaian, maka mereka kemudian melakukan musyawarah dengan 49

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: PT. Syaamil Cipta Media bekerjasama dengan Yayasan Penyelenggara Penerjemah/ Penafsir Al-Qur’an Revisi Terjemah oleh Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia, 2005), h. 79 50 Wawancara dengan ibu Dra. Hj. Halimah, tokoh masyarakat pada tanggal 11 Agustus 2008 di Watampone.

54

mempertimbangkan berbagai hal untuk memberikan harta warisan dengan porsi yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi para ahli waris.51 Ahli waris perlu menyadari bagiannya sebelum melakukan perdamaian agar terhindar dari perasaan tertipu sehingga dia benarbenar rela kepada hasil yang diperoleh. Pandangan tokoh agama di sini melewati jalan tengah dari kedua jenis pandangan tokoh agama sebelumnya. Bahwa sebaiknya masyarakat Muslim tetap melakukan pembagian harta warisan berdasarkan ketentuan Hukum Waris Islam, tetapi setelah menyadari bagiannya52 maka boleh saja para ahli waris itu bermusyawarah dan saling merelakan untuk memberi porsi harta warisan yang besar kecilnya disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi ahli waris. III. PENUTUP Berangkat dari uraian sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa implementasi ajaran hukum waris Islam melalui proses interaksi dengan hukum waris adat yang berlangsung dalam bentuk kerjasama meskipun di beberapa segi adakalanya sempat muncul ”pertentangan”. Namun seiring dengan interaksi kerjasama antar kedua sistem hukum waris tersebut, bergeser menjadi kerjasama berupa akomodasi antara keduanya. Berlakunya hukum waris Islam di masyarakat sesuai dengan teori receptio a contrario, yaitu bahwa adat baru berlaku bila tidak bertentangan dengan hukum Islam.

51

Wawancara dengan Bapak Drs. H. Ruslan Daeng Matteru, M. Ag. pada tanggal 17 Oktober 2008 di Watampone 52 Pandangan seperti ini dianut dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 183 bahwa para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islan di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992), h. 158

55

IV. REFERENSI Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992. Anshori, Abdul Ghofur. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia Eksistensi dan Adaptabilitas, Yogyakarta: Ekonisia Fakultas Ekonomi UII, 2005. Azizy, Qodri A. Eklektisisme Hukum Nasional Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum, Yogyakarta: Gama Media, 2004. Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: PT Syaamil Cipta Media bekerjasama dengan Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Qur’an Revisi Terjemah oleh Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia, 2005. Haddise, ”Hukum Kewarisan Islam di Bone Kajian tentang Pelaksanaannya berhadapan dengan Hukum Kewarisan Adat”. Laporan Penelitian Individual. Watampone: STAIN, 2004. Hadikusuma, Hilman. Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat, Hukum Agama Hindu, Islam, Bandung: Citra Adityah Bakti, 1991. Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid 3, terj. M.A. Abdurrahman dan A. Haris Abdullah, Semarang: Penerbit Asy-Syifa’, 1990. Lintoln, Ralp. Antropologi Suatu Penyelidikan tentang Manusia, Bandung: Jemmars 1984. Makhluf, Hasanain Muhammad. Al-Mawaris fi al-Syari’at alIslamiyyah, Kairo: Lajnah al-Bayyan al-Araby, 1958.

56

al-Marāgi, Ah mad Mustafā. Tafsir al-Marāgi Jilid II Juz IV, Beirut: Dār al-Fikr, 1974 M/ 1394 H. Ramulyo, Idris. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2004. Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1978. Sudiyat, Iman. Hukum Adat Setsa Asas, Yogyakarta: Liberty, 1981. Syarifuddin, Amir. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta: Gunung Agung, 1984. _______. Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, 2004. Zain, Satria Effendi M. “Analisa Fiqh Terhadap Yurisprudensi Tentang Kewarisan” dalam Mimbar Hukum, No. 20 Tahun VI, 1995.

57