INTERAKSI ANTAR PEDAGANG KAKI LIMA JALAN GAMBIR KOTA TANJUNGPINANG

Download praja (satpol pp), lembaga swadaya masyarakat sebagai sebuah jaringan sosial sektor informal. Pedagang kaki lima seringkali didefinisikan s...

0 downloads 384 Views 304KB Size
INTERAKSI ANTAR PEDAGANG KAKI LIMA JALAN GAMBIR KOTA TANJUNGPINANG

SKRIPSI

OLEH

ARY SULISTIONO NIM : 090569201025

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI TANJUNGPINANG 2017

ABSTRAK Pedagang kaki lima seringkali didefinisikan sebagai suatu usaha yang memerlukan modal relatif sedikit, berusaha dalam bidang produksi dan penjualan untuk memenuhi kebutuhan kelompok konsumen tertentu. Usahanya dilaksanakan pada tempat-tempat yang dianggap strategis dalam lingkungan yang informal. Sektor usaha pedagang kaki lima tersebut seringkali menjadi incaran bagi masyarakat dan pendatang baru untuk membuka usaha di daerah perkotaan. Hal ini disebabkan karena adanya ciri khas dan relatif mudahnya membuka usaha (tidak memerlukan modal yang besar) di sektor tersebut. Penelitian ini berusaha mengungkapkan fakta-fakta yang terjadi di jalan gambir kota Tanjungpinang terhadap interkasi antar pedagang sayur. Penelitian ini termasuk penelitian pendekatan kualitatif dan jenis deskriptif, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode observasi, wawancara, dokumentasi. Kemudian data yang telah terkumpul berupa kata-kata dianalisis dengan teknik analisis deskriptif kualitatif. Adapun hasil temuan dalam penelitian yaitu bahwa interaksi yang terjadi dijalan gambir kota Tanjungpinang dilihat dari keberadaan kelompoknya, bentuk interaksi yang terjadi adanya kerjasama, persaingan dan pertikaian atau konflik dan bentuk persaingannya berupa persaingan ekonomi. Kata Kunci : Interaksi Sosial, Pedagang Kaki Lima

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Kota menjadi pusat pembangunan sektor formal, maka kota dipandang lebih menjanjikan bagi masyarakat desa. Kota bagaikan mempunyai kekuatan magis yang mampu menyedot warga desa, sehingga terjadi perpindahan penduduk dari desa ke kota. Kondisi tersebut di atas dikenal dengan teori faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull factor) dalam urbanisasi. Akan tetapi kota tidak seperti apa yang diharapkan kaum migran. Tenaga kerja yang banyak tidakbisa sepenuhnya ditampung sektor formal. Lapangan kerja formal yang tersedia mensyaratkan kemampuan dan latar belakang pendidikan tertentu yang sifatnya formal, sehingga tenaga kerja yang tidak tertampung dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya memilih sektor informal. Fakta yang dapat dilihat adalah adanya ketidakmampuan sektor formal dalam menampung tenaga kerja, serta adanya sektor informal yang bertindak sebagai pengaman antara pengangguran dan keterbatasan peluang kerja, sehingga dapat dikatakan adanya sektor informal dapat meredam kemungkinan keresahan sosial sebagai akibat langkanya peluang kerja (Noor Effendy, 2000:46). Mereka para pekerja di sektor informal, banyak di “cap” sebagai pelaku ekonomi bayangan (shadow economy), black economy atau underground economy. Demikian pula para pedagang kaki lima telah dipandang sebagai patologi sosial karena kehadiran

pedagang kaki lima digambarkan sebagai perwujudan pengangguran tersembunyi atau setengah tersembunyi atau setengah pengangguran yang luas atau sebagai pekerjaan sektor tersier sederhana yang bertambah secara luar biasa di dunia ketiga. Faktanya sejak dahulu hingga sekarang bahkan sampai kapanpun sektor informal tidak akan bisa dihapus atau dihilangkan karena itu pilihan bagi mereka yang menggeluti pekerjaan di sektor informal. Realitas diatas semakin membuat jarak, dikotomis dan menjadikan centang perenang antara yang formal dan informal antara yang legal dan ilegal. Oleh karena itu tepat kiranya jika ada upaya pelembagaan sektor informal sebagai salah satu bentuk pengukuhan terhadap eksistensi pedagang kaki lima (PKL) dalam pusaran modernitas. Perlu di ketahui bahwa pedagang kaki lima (PKL) dalam aktifitasnya telah mengalami berbagai perubahan. Perubahan yang terjadi bukan hanya sekedar mereka beralih profesi melainkan perubahan pola peran, interaksi dan jaringan pedagang kaki lima. Karena perasaan senasib dan sepenanggungan mereka banyak berasal dari daerah yang sama telah banyak melakukan proses-proses transformasi sosial ekonomi dan budaya terhadap pedagang kaki lima lainnya kaitannya upaya mempertahankan pekerjaan yang menjadi sumber penghidupan. Dalam aktivitasnya, pedagang kaki lima membangun pola interaksi antar sesama pedagang kaki lima maupun dengan Pembeli. Interaksi pedagang kaki lima juga terbangun dengan pemasok barang, lembaga pemerintah, satuan polisi pamong

praja (satpol pp), lembaga swadaya masyarakat sebagai sebuah jaringan sosial sektor informal. Pedagang kaki lima seringkali didefinisikan sebagai suatu usaha yang memerlukan modal relatif sedikit, berusaha dalam bidang produksi dan penjualan untuk memenuhi kebutuhan kelompok konsumen tertentu. Usahanya dilaksanakan pada tempat-tempat yang dianggap strategis dalam lingkungan yang informal. Sektor usaha pedagang kaki lima tersebut seringkali menjadi incaran bagi masyarakat dan pendatang baru untuk membuka usaha di daerah perkotaan. Hal ini disebabkan karena adanya ciri khas dan relatif mudahnya membuka usaha (tidak memerlukan modal yang besar) di sektor tersebut. Kota Tanjungpinang merupakan ibukota dari Provinsi Kepulauan Riau, sebagai ibu kota provinsi jumlah penduduk di kota tanjung pinang setiap tahunnya terus bertambah, dengan semakin meningkatnya pertumbuhan jumlah penduduk maka semakin banyak pula dibutuhkan lapangan pekerjaan untuk kegiatan ekonomi masyarakatnya. Semakin berkembangnya masyarakat maka semakin bervariasi jenis usaha yang dilakukan oleh masyarakat yang ada di Kota Tanjungpinang baik di sektor formal, informal maupun sektor non formal, salah satu yang menjadi bahasan dalam penelitian ini adalah usaha masyarakat kota Tanjungpinang yang bergerak pada sektor informal yaitu pedagang kaki lima.

Pedagang kaki lima kota Tanjungpinang semakin meningkat seiring dengan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat. kota Tanjungpinang sudah banyak terdapat pedagang kaki lima yang tersebar di berbagai kawasan kota, salah satunya adalah pedagang kaki lima yang menjual sayur di jalan gambir Kota Tanjungpinang. Para pedagang kaki lima yang ada di jalan Gambir sudah melaksanakan aktifitas ekonominya dalam kurun waktu yang terbilang lama, mengingat lahan yang dipergunakan adalah badan jalan, jelas bukan diperuntukkan sebagai tempat berjualan. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Tanjungpinang, terdapat lebih kurang 57 lapak penjual yang terdiri dari 53 PKL yang berjualan berbagai jenis sayur-sayuran kebutuhan masyarakat kota Tanjungpinang, seperti kangkung, bayam, sawi, terong, jengkol, cabe, bawang dan lain-lain. Tempat lokasi berjualan dengan memamfaatkan bahu jalan dan kadangkadang memakan badan jalan, memanfaatkan aktivitas jalan raya masih sepi karena berjualan di mulai pada jam 03.00 pagi sampai dengan jam 07.00 pagi (Sumber : Data lapangan 2016). Berdasrakan perjanjian yang telah disepakati antara para pedagang sayur di Jalan Gambir dengan Pemerintah Kota Tanjungpinang membuat peneliti tertarik untuk meneliti tentang bagaimana bentuk-bentuk interaksi yang dilakukan oleh para pedagang sayur di jalan gambir dalam mempertahankan eksistensinya berjualan di daerah yang memang dilarang oleh pemerintah namun mereka masih tetap bertahan.

Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah yang dipaparkan dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : Bagaimana bentuk-bentuk interaksi yang terjadi antar sesama Pedagang kaki lima di Jalan Gambir Kota Tanjungpinang?

Konsep Operasional Mengacu kepada topik untuk menciptakan kesamaan pendapat serta kesatuan pengertian dalam pembahasan ini maka perlu kiranya penulis mengemukakan konsep oprasional tentang berbagai istilah yang digunakan dalam penulisan ini. Adapun konsep tersebut adalah: 1. Pedagang Kaki Lima Dalam penelitian ini yang dimaksud adalah pedagang kaki lima yang berjualan

sayur-sayuran

di

sepanjang

lokasi

Jalan

Gambir

Kota

Tanjungpinang. 2. Interaksi Sosial Interaksi sosial merupakan hubungan antara individu satu dengan individu yang lain, individu satu dapat mempengaruhi individu yang lain begitu pula sebaliknya, sehingga akan menjadi suatu hubungan yang saling timbal balik. Interaksi sosial dalam penelitian ini adalah bentuk interaksi secara asosiatif dan disosiatif. a. Interaksi asosiatif adalah interaksi

yang dilakukan untuk

mempererat hubungan antar sesama pedagang kaki lima yang

dapat berupa kerjasama, asimilasi dan akulturasi. Dalam penelitan ini bertujuan untuk melihat bagaiman bentuk interaksi asoisiatif yang dilakukan antar sesama pedagang dan bagimana proses berjalnnya interaksi asosiatif tersebut. b. Interaksi

disosiatif adalah interaksi

yang dapat

merusak,

merenggangkan bahkan menghancurkan hubungan antar sesama anggota masyarakat. Dalam penelitian ini interaksi disosiatif dilihat untuk mengetahui bagaimana bentuk dan prosesnya yang terjadi pada hubungan antar sesama pedagang sayur yang ada di Jalan Gambir. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitan deskriptif kulaitatif, yakni berupaya menyajikan gambaran yang terperinci mengenai suatu situasi khusus dilokasi penelitian dengan tujuan menggambarkan secara cermat karakteristik dari suatu gejala atau masalah yang akan diteliti. Mely G.Tan (Silalahi, 2010:28) menjelaskan bahwa penelitian yang bersifat deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu antara suatu gejala dengan gejala lainnya dimasyarakat.

2. Lokasi Penelitian Penelitian tentang interaksi pedagang kaki lima yang berjualan sayur ini mengambil lokasi di Jalan Gambir Kota Tanjungpinang. Alas an dipilihnya lokasi ini sebagi lokasi penelitan karena telah melalui pertimbangan bahwa lokasi jalan gambir merupakan tempat pedagang yang berjualan di trotar jalan dan benarbenar telah melanggar aturan pemerintah Kota Tanjungpinang, selain itu lokasi jalan gambir juga merupakan lokasi yang repersentatif bagi peneliti guna melakukan penelitian tentang interaksi pedagang sayur di pasar Jalan Gambir. 3. Jenis Data a. Data Primer Data ini diperoleh dari hasil wawancara mendalam dengan informan serta melalui pengamatan selama penelitian berlangsung. Dalam penelitian ini data primer berupa data yang diperoleh dari pedagang kaki lima yang ada di Jalan Gambir Kota Tanjungpinang. b. Data sekunder Data sekunder merupakan data yang didapat dari pihak kedua atau dari sumber lain yang tersedia sebelum penelitian dilakukan. Dalam penelitan ini data sekunder berupa foto dan juga dokumen dari sumber data tertulis yang berasal dari instansi pemerintahan setempat.

4. Populasi dan Sampel Populasi subjek dalam penelitian ini adalah interaksi antar pedagang kaki lima dijalan gambir kota Tanjungpinang. Teknik penarikan sampel yang digunakan teknik Snowball Sampling. (Sugiyono, 2011: 61), Snowball sampling adalah teknik penentuan sampel yang mula-mula jumlahnya kecil, kemudian sampel ini disuruh memilih para pedagang untuk dijadikan sampel begitu seterusnya, sehingga jumlah sampel semakin banyak. Ibarat bola salju yang menggelinding semakin lama semakin besar. Definisi Snowball Sampling adalah teknik penentuan sampel yang mula-mula jumlahnya kecil, kemudian membesar. Ibarat bola salju yang menggelinding yang lama-lama menjadi besar. Dalam penentuan sampel, pertama-tama dipilih satu atau dua orang sampel, tetapi karena dengan dua orang sampel ini belum merasa lengkap terhadap data yang diberikan, maka peneliti mencari orang lain yang dipandang lebih tahu dan dapat melengkapi data yang diberikan oleh dua orang sampel sebelumnya. Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah mencari tahu informasi tentang bagaimana interaksi antar pedagang kaki lima dijalan gambir kota Tanjungpinang. Dari data yang telah didapatkan dalam penelitian ini jumlah sampel atau informan penelitian berjumlah 6 orang. Tehnik Analisa Data Dalam penelitian ini teknik analisis data yang digunakan adalah analisis data secara kualitatif, data yang diperoleh dari hasil penelitian ini akan dianalisis

secara kualitatif, dengan cara memberikan gambaran informasi masalah secara jelas dan mendalam. Hasil dari gambaran informasi akan diinterpretasikan sesuai dari hasil penelitian yang dilakukan berdasarkan dukungan teori yang berkaitan dengan objek penelitian dari informan dengan cara wawancara maupun observasi. Informasi atau data yang diperoleh akan dianalisis dan diberikan penjelasan sesuai dengan yang didapatkan dan ditarik suatu kesimpulan mengenai hasil penelitian. Data-data yang telah didapat kemudian dipisahkan dan diberi penjelasan agar data yang didapat dipahami dan mudah dimengerti.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kerangka Teori Interaksi sosial dapat terjadi bila memenuhi dua aspek yaitu adanya kontak sosial dan komunikasi. Kontak sosial dapat bersifat positif atau negatif, tergantung dari predisposisi sikap seseorang yang menunjukan kesediaan atau penolakan. Kontak sosial juga bersifat primer, yakni apabila individu yang terlibat bertemu langsung (face to face), atau sekunder yang berarti individu yang terlibat bertemu melalui media tertentu. Sementara komunikasi baik yang verbal ataupun nonverbal merupakan saluran untuk menyampaikan perasaan ataupun ide / pikiran dan sekaligus sebagai media untuk dapat menafsirkan atau memahami pikiran atau perasaan orang lain.

Kesadaran dalam berkomunikasi di antara warga-warga suatu masyarakat, menyebabkan suatu masyarakat dapat dipertahankan sebagai suatu kesatuan. Karenanya pula dalam setiap masyarakat terbentuk apa yang dinamakan suatu sistem komunikasi. Sistem ini terdiri dari lambang-lambang yang diberi arti dan karenanya mempunyai arti-arti khusus oleh setiap masyarakat. Karena kelangsungan kesatuannya dengan jalan komunikasi itu, setiap masyarakat dapat membentuk kebudayaannya berdasarkan sistem komunikasinya masing-masing. Gillin & Gillin dalam soekanto(2010) membagi bentuk interaksi sosial ke dalam dua bentuk, yaitu : 

Proses Asositif (Association process)



Proses Disosiatif (Opposition process)

1. Proses Asosiatif adalah bentuk interaksi yang bersifat

menyatukan anggota

masyarakat. Bentuk – bentuk proses Asosiatif : a. Kerjasama (Cooperatif) yaitu suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok untuk mencapai tujuan bersama. b. Asimilasi yaitu perpaduan dua atau lebih kebudayaan yang bersifat harmonis. Proses Asimilasi timbul bila ada : 1. Kelompok-kelompok manusia yang berbeda kebudayaannya. 2. Orang-perorangan sebagai warga kelompok yang saling bergaul secara langsung dan intensif untuk waktu yang lama.

3. kebudayaan-kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia tesebut masing-masing berubah dan saling menyesuaikan diri. c. Akulturasi yaitu dua kebudayaan yang hidup saling berdampingan secara damai. 2.

Proses Disosiatif adalah cara yang bertentangan dengan individu atau kelompok untuk mencapai suatu tujuan dan cenderung menciptakan perpecahan. Bentuk proses Disosiatif : 1. Persaingan (competition) yaitu suatu proses dimana dua pihak atau lebih saling berlomba untuk mencapai suatu kemenangan. Terdapat tipe-tipe yang menghasilkan bentuk persaingan, yaitu sebagai berikut : a. Persaingan ekonomi, persaingan dibidang ekonomi timbul karena terbatasnya

persediaan

apabila

dibandingkan

dengan

jumlah

konsumen. b. Persaingan kebudayaan, persaingan dalam bidang kebudayaan terjadi ketika para pedagang barat berdagang di pelabuhan-pelabuhan jepang atau sewaktu pendeta-pendeta agama kristen meluaskan agamanya di Jepang. c. Persaingan kedudukan dan peranan, di dalam diri seseorang maupun di dalam kelompok terdapat keinginan-keinginan untuk diakui

sebagai orang atau kelompok yang mempunyai kedudukan serta peranan yang terpandang. d. Persaingan ras, persaingan ras sebenarnya juga merupakan persaingan di bidang kebudayaan. Perbedaan ras, perbedaan warna kulit, bentuk tubuh, maupun corak rambut dan sebagainya. 2. Kontravensi yaitu proses sosial yang berada diantara persaingan dan pertikaian. Bentuk-bentuk kontravensi : a. Perbuatan penolakan, perlawanan, dan lain-lain. b. Menyangkal pernyataan orang lain dimuka umum. c. Melakukan penghasutan. d. Berkhianat. e. Mengejutkan lawan, dan lain-lain. 3. Konflik atau Pertentangan yaitu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha memenuhi tujuan dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai ancaman atau kekerasan. Bentuk-bentuk pertentangan : a. Pertentangan pribadi, tidak jarang terjadi bahwa dua sejak mulai berkenalan sudah saling tidak menyukai. Apabila permulaan yang buruk tadi dikembangkan, maka timbul rasa saling membenci.

b. Pertentangan rasial, dalam hal ini pun para pihak akan menyadari betapa adanya perbedaan-perbedaan antara mereka yang seringkali menimbulkan pertentangan. c. Pertentangan antara kelas-kelas sosial, pada umumnya pertentangan ini disebabkan oleh perbedaan kepentingan, misalnya kepentingan antara majikan dan buruh. d. Pertentangan politik, biasanya pertentangan ini menyangkut baik antara golongan-golongan dalam satu masyarakat, maupun antara negara-negara yang berdaulat. e. Pertentangan yang bersifat internasional, ini disebabkan karena perbedaan-perbedaan kepentingan yang kemudian merembes ke kedaulatan negara. Pengertian Pedagang dan Pedagang Kaki Lima Pengertian pedagang secara etimologi adalah orang yang berdagang atau biasa juga disebut saudagar. Jadi pedagang adalah orang-orang yang melakukan kegiatan kegiatan perdagangan sehari-hari sebagai mata pencaharian mereka. Pedagang kaki lima adalah suatu usaha yang memerlukan modal relatif sedikit, berusaha dalam bidang produksi dan penjualan untuk memenuhi kebutuhan kelompok konsumen tertentu. Usahanya dilaksanakan pada tempat-tempat yang dianggap strategis dalam lingkungan yang informal. Pedagang kaki lima menurut Annat (1983:30) bahwa istilah pedagang kaki lima merupakan peninggalan dari zaman

penjajahan Inggris. Istilah ini diambil dari ukuran lebar trotoar yang waktu dihitung dengan feet (kaki) yaitu kurang lebih 31 cm lebih sedikit, sedang lebar trotoar pada waktu itu adalah lima kaki atau sekitar 1,5 meter lebih sedikit. Jadi orang berjualan di atas trotoar kemudian disebut pedagang kaki lima (PKL). Sedangkan Karafir (1977:4) mengemukakan bahwa pedagang kaki lima adalah pedagang yang berjualan di suatu tempat umum seperti tepi jalan, taman-taman, emperan toko dan pasar-pasar tanpa atau adanya izin usaha dari pemerintah. Masalah keberadaan PKL serta upaya untuk menghilangkannya atau menggusurnya sesungguhnya merupakan fenomena lama yang dialami oleh pemerintah di kota-kota besar. Sejak terjadinya krisis ekonomi, pembangunan perekonomian daerah dan pengembangan wilayah sebagai upaya peningkatan pembangunan daerah dan pemerataan pertumbuhan antar daerah mengalami hambatan dan keterbatasan dalam pemanfaatan sumber daya alam, ketersediaan modal, kemitraan pemerintah, masyarakat dan dunia usaha. Berkembangnya PKL dipicu oleh gagalnya pemerintah membangun ekonomi yang terlihat dari rendah dan lambatnya pertumbuhan ekonomi, tidak berkembangnya usaha–usaha di sektor riil yang pada akhirnya menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran yang sampai saat ini diprediksi kurang lebih 40 juta penduduk sedang menganggur. Yang menjadi perhatian kita, seandainya pemerintah punya komitmen yang kuat dalam mensejahterakan masyarakatnya harus menyiapkan dana khusus sebagai jaminan PKL yang digusur untuk memulai usaha baru ditempat lain.

Mengingat PKL yang digusur biasanya tanpa ada ganti rugi karena dianggap illegal. Bagaimanapun juga PKL adalah juga warga negara yang harus dilindungi hakhaknya, hak untuk hidup, bebas berkarya, berserikat dan berkumpul. Jadi yang terkena dampak dari adanya PKL yaitu para masyarakat pengguna jalan dan mengurangi keindahan tatanan jalan perkotaan maupun di desa. PKL adalah kegiatan sektor marginal (kecil-kecilan) yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: a.

Pola kegiatan tidak teratur baik dalam hal waktu, permodalan maupun penerimanya.

b.

Tidak tersentuh oleh peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah (sehingga kegiatannya sering dikatakan”liar”)

c.

Modal, peralatan dan perlengkapan maupun omsetnya biasanya kecil dan diusahakan dasar hitung harian

d.

Pendapatan mereka rendah dan tak menentu

e.

Tidak mempunyai tempat yang tetap dan keterkaitan dengan usaha-usaha yang lain

f.

Umumnya dilakukan untuk dan melayani golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah.

Secara garis besar karakteristik PKL (Ismawan, 2002), digambarkan sebagai berikut: 1. Informalitas. Sebagian besar PKL bekerja diluar kerangka legal dan pengaturan yang ada, maka keberadaan mereka pun tak diakui oleh pemerintah setempat. 2. Mobilitas. Aspek informalitas dari PKL juga membawa konsekuensi tiadanya jaminan keberlangsungan aktifitas yang dijalani, sehingga usaha ini merupakan sektor yang relatif mudah dimasuki dan ditinggalkan. Apabila terdapat peluang maka dengan banyak pelaku yang turut serta, sebaliknya apabila terjadi perubahan peluang ke arah negatif pelakunya akan berkurang. 3. Kemandirian. Umumnya para pedagang mencari modal sendiri tanpa mendapatkan bantuan dari pemerintah. Lembaga keuangan lokal

dengan

berbagai peraturan dan prinsip keberhati-hatian membatasi kemungkinan berhubungan dengan para PKL, karena tiadanya jaminan yang dimiliki mereka. 4. Hubungan dengan sektor formal. Meskipun kehadiran mereka tidak diakui, namun peranan mereka dalam membantu sektor formal sangatlah besar, terlebih lagi dalam hal pendistribusian barang kepada konsumen.

Sedangkan menurut BPS, karakteristik sektor informal sebagai berikut: 1. Mandiri. Pada umumnya usaha yang dilakukan tanpa ada bantuan dari pekerja/buruh, artinya dikerjakan langsung oleh pemimpin perusahaan.

2. Modal. Modal yang dikeluarkan dalam melakukan usaha berasal dari milik sendiri. 3. Waktu. Rata-rata waktu kerja sektor informal dalam sehari, paling lama adalah 9 jam. 4. Pinjaman. Dalam menjalankan usaha mayoritas, mereka tidak memanfaatkan bantuan pinjaman pemerintah ataupun bank lokal. Tetapi mencari pinjaman lainnya, yang berasal dari keluarga atau kerabat terdekat. Beberapa alasan, mereka yang tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah adalah ketidak tahuan

adanya bantuan, ketidak tahuan dalam

prosedur pengajuan atau

penerimaan bantuan dan penolakan proposal dari lembaga yang bersangkutan.

Tujuan utama dari kegiatan perdagangan adalah untuk menjual barang dagangan dengan mendapatkan keuntungan. Umumnya kegiatan perdagangan dilakukan ditempat-tempat yang mudah dijangkau oleh konsumen. Begitu pula dengan kegiatan perdagangan PKL yang menjual dagangan di lokasi-lokasi yang ramai, untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Sasaran penjualan produk PKL ditujukan kepada masyarakat dari golongan ekonomi menengah ke bawah, sehingga harga yang ditawarkan relatif murah dibandingkan dengan harga yang ditawarkan di pertokoan.

BAB IV Interkasi Antar Pedagang Kaki Lima Jalan Gambir Kota Tanjungpinang Karakteristik Informan Pada Bagian ini akan dideskripsikan karakteristik yang merupakan identitas informan penelitian yang diperlukan untuk melihat latar belakang kehidupan informan itu sendiri, sebagai dasar pijakan dari pembahasan yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. 1. Umur Informan Penelitian Tingkat umur dipandang penting dalam upaya menggali data karakteristik subjek. Umur merupakan salah satu informasi yang paling mendasar. Umur tidak hanya menentukan dalam kelompok mana seseorang digolongkan yang terpenting adalah bahwa umur juga menjadi sesuatu yang membedakan sikap dan tingkah laku suatu kelompok masyarakat lainnya. 2. Pendidikan Informan Penelitian Dalam penelitian ini pendidikan yang akan dibahas adalah pendidikan formal Informan penelitian, karena dilihat dari fungsi pendidikan yaitu pendidikan adalah hal yang paling utama dalam menentukan status sosial dan juga dalam penerimaaan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi didalam kehidupan sosial masyarakat. Faktor pendidikan bersifat mutlak dalam penerimaan atau penolakan suatu perubahan dalam masyarakat karena

pengetahuan masyarakat dipengaruhi oleh pendidikan yang dimilikinya untuk mencari informasi terhadap sesuatu yang dianggap baru. 3. Lama Menjadi Pedagang Sayur Bekerja merupakan salah satu cara bagi seseorang untuk memperoleh pedapatan guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari - hari. Menjadi seorang pedagang adalah pilihan yang telah dipilih oleh subjek penelitian. Bekerja sebagai seorang pedagang sudah mereka lalui bukan dari satu atau dua tahun yang lalu, tetapi sudah bertahun tahun. Hasil penelitian juga melihat bagaimana pendapat salah seorang pdagang yang telah lebih 7 tahun berjualan di lokasi Jalan Gambir, sebagai berikut: “ Saya sudah lebih dari 7 tahun berjualan di pasar Jalan Gambir, selama saya berjualan disana saya merasa jauh lebih baik, dagangan saya lebih cepat habis dibandingkan ketika saya diharuskan berjualan ditempat lain. Masyarakat taunya kami berjualan dijalan gambir, jika kami dipindahkan mungkin dagangan kami tidak akan laku..” (Hasil wawancara dengan ibuk inang pada bulan Januari 2016 ) Berdasarkan wawancara dengan ibu inang bahwasannya sudah lebih dari 7 tahun berjualan dan sudah memiliki banyak pelanggan membuat para pedagang lebih nyaman berjualan, dagangannya juga lebih cepat habis hingga untuk itu para pedagang sayur dijalan gambir bertahan hingga bertahun-tahun.

4. Pendapatan Informan Penelitian Pendapatan sebagai jumlah penerimaan yang diperoleh suatu keluarga yang bersumber dari pekerjaan pokok termasuk juga pekerjaan tambahan. Pendapatan berkaitan erat dengan jenis pekerjaan seseorang, karena pendapatan adalah merupakan imbalan atas pekerjaan yang telah dilakukan seseorang, jadi dapat dinyatakan bahwa pekerjaan maupun kegiatan untuk memperoleh pendapatan dan biasanya imbalan yang diberikan berupa barang dan uang.

Interaksi Asosiatif Yang Dilakukan Oleh Para Pedagang Interaksi sosial dapat diartikan sebagai hubungan - hubungan sosial yang dinamis. Hubungan sosial yang dimaksud dapat berupa hubungan antara individu yang satu dengan individu yang lainnya, maupun antara kelompok individu. Dalam interaksi juga terdapat simbol, dimana simbol diartikan sebagai sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan kepadanya oleh mereka yang menggunakannya. Interaksi sosial merupakan hubungan antara individu satu dengan individu yang lain, individu satu dapat mempengaruhi individu yang lain begitu pula sebaliknya, sehingga akan menjadi suatu hubungan yang saling timbal balik. Hubungnan tersebut juga terjadi antara individu dengan individu, individu dengan kelompok atau kelompok. Interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi

antara kelompok tersebut sebagai kesatuan dan biasanya tidak menyangkut pribadi anggota-anggotanya. 1. Komunikasi Antar Pedagang Dalam kehidupan didunia ini, manusia tidak terlepas dari berbagai masalah kehidupan. Semua masalah tersebut harus dihadapi dengan penuh kesabaran dan tawakal. Problematika kehidupan yang dihadapi setiap manusia berbeda-beda apabila dilihat dari tingkat kesulitan dan kemudahannya. Diantara masalah itu ada yang sangat berat dihadapi, adapula yang mudah untuk diselesaikan. 2. Kerjasama Yang Dilakukan Antar Pedagang Manusia adalah makhluk sosial dimana dalam kehidupannya sehari-hari tidak bisa dipisahkan dengan interaksinya kepada orang lain baik itu keluarga, teman, ataupun tetangga. Salah satu asas pokok berjualan ialah dengan menghormati mereka. Banyak hal yang mungkin berbeda antara pedagang satu dengan yang lain dan juga berbeda dengan kita. Baik dari segi ekonomi, aktivitas sehari-hari, dan lain-lain. Untuk itu kita harusnya menghormati sesama pedagang agar hubungan dengan mereka menjadi damai dan harmonis. Peran damai inilah yang menjadi magnet antar pedagang untuk terus berinteraksi dan saling bantu membantu antar sesama pedagang.

Bentuk Interaksi Disosiatif Yang Dilakukan Pedagang Dalam masyarakat juga terdapat interaksi yang dilakukan justru dapat menimbulkan kerenggangan hubungan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Bentuk interaksi yang berkaitan dengan proses disosiatif ini dapat terbagi atas bentuk persaingan, kontravensi, dan pertentangan. Persaingan merupakan suatu proses sosial, dimana individu atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing, mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan. 1. Bentuk Persaingan Yang Terjadi Antar Pedagang Interaksi sosial dapat dibedakan menjadi dua, yaitu proses yang asosiatif dan disosiatif. Interaksi sosial asosiatif merupakan hubungan yang bersifat positif, artinya hubungan ini dapat mempererat atau memperkuat jalinan atau solidaritas kelompok. Adapun hubungan sosial disosiatif merupakan hubungan yang bersifat negatif, artinya hubungan ini dapat merenggangkan atau menggoyahkan jalinan atau solidaritas kelompok yang telah terbangun. 2. Bentuk Konflik Yang Terjadi Pertikaian memang pernah terjadi antar pedagang, walaupun hal tersebut terjadi secara tersembunyi, artinya hal tersebut hanya dirasakan oleh satu pihak saja. Pertikaian dalam bentuk kontravensi antara pedagang di pasar Jalan Gambir sering muncul karena adanya ketidaksesuaian antara pedagang satu dengan pedagang yang lain terkait cara menarik pembeli pedagang lain.

Bentuk solidaritas antar pedagang yang terjadi dijalan gambir adanya bentuk kerjasama antar sesama pedagang yaitu apabila dari salah satu pedagang yang tidak ada barang maka pedagang menyarankan untuk membeli disebelah atau pedagang tersebut yang mengambilkan barangnya, bukan hanya barang namun kalau tidak ada kembalian antar sesama mereka saling bertuka uang, untuk solidnya mereka bekerja sama, sehingga walaupun ada konflik yang terjadi mereka harus bersikap professional, karena dari beberapa pedagang yang berjualan dijalan gambir ada yang sudah cukup lama da nada yang baru artinya yang baru menyesuaikan dengan yang lama. Penyebab terjadinya konflik biasanya meliputi tentang adanya perbedaan kepentingan-kepentingan yang ada didalam masayrakat. Dalam penelitian ini penyebab menculnya konflik karena adanya perbedaan kepentingan antar sesama pedagang dalam menjual barang dagangan. Perbedaan barang dagang yang laris dibeli oleh pembeli tentunya sedikit banyak akan memunculkan rasa tidak senang dengan pedagang lain, hal ini tentunya akan menjadi bumbu-bumbu konflik yang kapan saja bisa meuncul diantara pedagang. Konflik yang terjadi antara pedagang sayur Jalan Gambir jarang terlihat karena kebersamaan diantara para pedagang sudah terjalin dengan kuat. Namun konflik pernah terjadi di kawasan pasar Jalan Gambir. Konflik melibatkan kelompok pedagang dengan pereman yang pernah datang dan menganggu pedagang yang berjualan dipasar gambir.

BAB V PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan pada pembahasan sebelmnya maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yang bisa disimpulkan diantaranya sebagai berikut : 1. Keberadaan kelompok pedagang sayur menjadi daya tarik tersendiri di dalam lokasi pedagang kaki lima di Jalan Gambir. Terbentuknya kelompok pedagang setidaknya dipengaruhi beberapa faktor yaitu kedekatan fisik lapak, kedekatan lingkungan tempat tinggal, kesamaan nasib, kesamaan profesi, dan kesamaan pemikiran. Beberapa hal tersebut telah membentuk interaksi sosial antar pedagang yang lebih menonjolkan sebuah hubungan kerja yang didasarkan atas rasa kebersamaan antar pedagang. 2. Bentuk interaksi antar pedagang dapat terlihat dengan adanya kerjasama, persaingan, dan pertikaian atau konflik baik antara pedagang atau pun pedagang dengan kelompok lain. Bentuk kerjasama antara satu pedagang dengan

pedagang

lain

merupakan

bentuk

kerjasama

yang

saling

menguntungkan seperti halnya kerjasama yang dilakukan antar sesama pedagang sayur. Bentuk kerjasama tersebut misalnya saling barter makanan, menjaga lapak sebelah, saling pinjam-meminjami uang yang merupakan

wujud dari kebersamaan dan rasa kekeluargaan yang tinggi diantara pedagang. 3. Bentuk persaingan yang terjadi di dalam lingkungan padagang berupa persaingan ekonomi. Persaingan ini timbul karena ada keinginan pedagang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan sebisa mungkin mendapatkan keuntungan. Persaingan dalam menarik pembeli menjadi bentuk persaingan yang ada di pasar Jalan Gambir. Hasil persaingan pedagang lebih bersifat disosiatif positif yang dilakukan dengan jujur dan mengembangkan rasa solidaritas. Bentuk kontravensi hanya sedikit terlihat di antara pedagang. Bentuk kontravensi tersebut munculnya rasa tidak suka terhadap pedagang lain yang mendapatkan pembeli lebih banyak. Kontravensi yang terjadi diantara pedagang kaki lima di jalan gambir jarang menimbulkan masalah besar bagi pedagang karena mereka sangat menyadari bahwa mereka berdagang bersama-sama dan mencari rejeki bersama. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dideskripsikan maka dapat deberikan beberapa rekomendasi terkait permasalahan mengenai pedaga di pasar Jalan Gambir sebagai berikut : 1. Pemerintah Kota Tanjungpinang harus merubah persepsinya

terhadap

PKL bukan sebagai penerima dari kebijkan pembangunan perkotaan tetapi sebagai bagian dari realitas sosial yang akan selalu ada dalam proses

pembangunan saat ini. Oleh karena itu PKL sudah harus menjadi variabel yang perlu diperhitungkan dalam merencanakan pembangunan kota. 2. Penataan terhadap pedagang harus dilakukan dengan memperhatikan aspek keindahan, ketertiban dan kepentingan pedagang itu sendiri. Caranya adalah dengan memfasilitasi pedagang dengan menyediakan tempat-tempat khusus bagi pedagang untuk berdagang. Kepentingan ekonomi pedagang perlu dipertimbangkan dengan menyediakan tempat yang tidak menjauhkan pedagang dari para konsumennya, sehingga eksistensi mereka tetap bisa dipertahankan tanpa merusak aspek keindahan dan ketertiban kota. 3. Perlu adanya pembinaan yang berkelaanjutan bagi para PKL agar mereka bisa lebih di kordinir supaya mereka tidak kembali lagi turun ke jalan dan berjualan di srana umum.

DAFTAR PUSTAKA

Ambarwaty. Srie Hany, 2003. Studi Aktivitas Pedagang Kaki Lima Dalam Pemanfaatan Ruang di Kota Salatiga. Tesis tidak diterbitkan. Program Pasca Sarjana Magister Teknik Pembangunan Kota. Universitas Diponegoro, Semarang Ali Achsan Mustafa, 2008. Model Transformasi Sosial Sektor Informal:Sejarah, Teori dan Praksis Pedagang Kaki Lima. Editor : Isa Wahyudi. INSPIRE Indonesia. Basrowi, 2005. Pengantar sosiologi, Bogor : Penerbit Ghalia Indonesia. Bintarto, 1989. Interaksi Desa Kota, Jakarta: Ghalia Indonesia Burhan Bungin, 2006. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Danim, Sudarwan. 2002. Menjadi Peneliti kualitatif. Bandung : Pustaka Setia De Soto, Hernando, 1991, Masih Ada Jalan Lain, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Dorodjatun Kuntjoro Djakti, 1986. Kemiskinan Di Indonesia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Ibrahim, Jabal Tarik, 2003, Sosiologi Pedesaan, Malang: UMM Press Manning, Chris dan Tadjuddin Noer Effendi, 1996. Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. McGee, T.G dan Y.M. Yeung, 1977. Hawkers in Southeast Asian Cities: Planning for the Bazaar Economy. IDRC Publisher. Canada. Noer Effendi, Tadjuddin, 1993. Sumber Daya Manusia Peluang Kerja dan Kemiskinan. Yogyakarta: Tiara Wacana Pitirim A.Sorokim, 1928. Contemporary Sociological Theories. New York. Harper and Brother Rachbini, Didik, J dan Abdul Hamid, 1994. Ekonomi Informal Perkotaan Gejala Involusi Gelombang Kedua, Jakarta : LP3ES

Rachmad K Susilo, 2008. 20 Tokoh Sosiologi Modern. Yogyakarta: AR-RUZZ Media Ritzer, George, 2002. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta. Fajar Interpratama Offset. Santosa, Budi; Hessel Nogi S. Tangkilisan, 2004, Strategi Pengembangan Sektor Pariwisata: Perspektif Manajemen Strategik Sektor Publik. Yogyakarta:YPAPI Santoso, Slamet, 2004, Dinamika Kelompok, Jakarta: Bumi Aksara Soerjono Soekanto, 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sukmadinata & Nana Syaodih, 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Todaro, Michael P, 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga Edisi Ketujuh. terjemahan. Jakarta. Penerbit Erlangga W.F Ogburn & Meyer F. Nimkoff, 1953. A Handbook of sociology. Routledge & Kegan Paul Ltd. Widodo, Ahmadi, 2002. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemilihan Lokasi Usaha PKL, Studi Kasus Kota Semarang. Tesis tidak diterbitkan. Program Pascasarjana, Magister Teknik Pembangunan Kota, Universitas Diponegoro, Semarang.