Jaminan Sosial Dukung Layanan Kesehatan Prima di Korea Selatan Dikirim oleh humas3 pada 23 Mei 2011 | Komentar : 0 | Dilihat : 12015
Dr. Drs. Luqman Hakim, MSc Tulisan Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (FIA-UB) berhasil masuk jurnal internasional. Mengangkat judul "Implementasi Kebijakan Pelayanan Kesehatan di Korea Selatan", tulisan Dr. Drs. Luqman Hakim, MSc diterbitkan dalam jurnal "Korean Studies in Indonesia" Volume II No. 1. "Usia Korea tidak beda jauh dengan Indonesia, bahkan lebih muda karena baru merdeka pada 1948. Saat merdeka kondisinya juga lebih buruk karena hancur-hancuran oleh Perang Dunia II", Luqman mengawali pernyataan saat diwawancarai PRASETYA Online beberapa waktu silam (14/5). Sampai sekarang pun Korea Selatan tidak berhenti berkecamuk karena konflik yang dialaminya dengan negara tetangga, Korea Utara. Akan tetapi, kata dia, Korea Selatan kini jauh lebih unggul dalam banyak hal ketimbang Indonesia diantaranya terkait pelayanan kesehatan. Tulisan yang mendeskripsikan layanan kesehatan Negeri Ginseng tersebut merupakan hasil pengamatan langsung saat dirinya mendapat kesempatan mengikuti aktivitas co-teaching di Hankuk University of Foreign Studies (HUFS) selama dua bulan (Desember 2009-Februari 2010). Disela-sela kegiatan tersebut, Luqman menyempatkan diri melakukan penelitian kecil tentang implementasi kebijakan pelayanan kesehatan yang hingga sekarang masih sangat pelik implementasinya di Indonesia. Dengan metode eksploratori, penelitian tersebut dipusatkan di Seoul National University Hospital serta masyarakat dan beberapa klinik kecil di dua kota utama yakni Seoul dan Daejon. Selain pengamatan dan wawancara, ia juga mendapat testimoni dari seorang warga Kanada yang tinggal di Korea bernama Lisa. Korea Selatan yang kini tengah berevolusi menjadi negara maju dinilai berhasil melakukan reformasi pelayanan kesehatan. Karena itu, masyarakatnya pun mendapatkan jaminan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan cara murah, mudah dan cepat. Hal senada juga disampaikan dalam testimoni Lisa. Lisa yang pernah sakit dan mendapat pelayanan kesehatan di Korea, menggambarkan bahwa pelayanan kesehatan yang ia terima jauh lebih baik daripada yang bisa didapat masyarakat di negaranya sendiri. Pengakuan Lisa juga diperkuat hasil wawancara sejumlah responden di Seoul dan Daejon yang percaya bahwa
pelayanan kesehatan publik di negaranya jauh lebih baik ketimbang negara maju seperti Amerika Serikat. "Oleh karena itu banyak warga Korea mencibir Paman Sam ketika ide reformasi pelayanan kesehatan yang diintrodusir Presiden Obama mengundang pro-kontra yang berkepanjangan", kata dia. Kunci sukses Korea dalam pelayanan publik ini, menurut Luqman adalah keberhasilan negara tersebut mewujudkan jaminan sosial kesehatan yang dapat diperoleh warga dengan cara membayar premi terlebih dulu. "Masyarakat sempat berfikir mengenai asuransi ketika proses pembangunan ekonomi yang semakin cepat dikhawatirkan membawa efek negatif berupa pengangguran", ujarnya. Ketika hal tersebut dikhawatirkan mendorong orang malas bekerja, mereka segera memilih membuat jaminan sosial kesehatan tenaga kerja. "Bisa dikatakan sistem jaminan sosial kesehatan ini berhasil karena etos kerja yang tinggi dari Bangsa Korea Selatan", kata dia. Proses-proses terbentuknya jaminan tersebut menurut Luqman sangatlah cepat, hanya sekitar dua dekade yakni antara awal 1970-an hingga akhir 1980-an. Lebih lanjut ia menyampaikan, masyarakat Korea memiliki kesadaran tinggi terhadap asuransi. Mereka bahkan merasa rugi jika tidak memilikinya. "Membangun kesadaran ini tidak sekali jadi. Dengan inisiatif dari pemerintah, program ini sempat jatuh bangun dan pernah gagal juga", kata dia. Dalam perjalanannya kemudian, pemerintah berkedudukan sebagai pengawas lembaga asuransi yang merupakan extra institution. "Keberhasilan Korea Selatan dalam mengelola jaminan pelayanan kesehatan bagi masyarakatnya merupakan pelajaran berharga bagi Indonesia", kata Luqman. Menurutnya, ada suasana berbeda antara Indonesia dengan beberapa negara yang jaminan kesehatannya berjalan seperti Korea Selatan dan Eropa. "Di negara-negara tersebut tuntutan jaminan kesehatan dibarengi dengan kesediaan membayar", kata dia. Sedikit berbeda, tuntutan yang sama di Indonesia tanpa adanya kesediaan membayar. "Ini tidak akan berhasil", tandas pria yang menamatkan S2-nya di Inggris ini. [nok]
Artikel terkait Prof Sjamsiar Kritisi Sistem Pengadaan Jasa Semiloka Nasional Kepustakawanan Indonesia 2018 UB dan BNN Sosialisasikan Gerakan Pencegahan Narkoba Sociopreneur Sebagai Solusi Masalah Sosial FIA Kembali Helat ESPRIEX