JURNAL ANASTASIA VANNY LAUNARDO - PASCA UNHAS

Download kota Makassar. Dilakukan pemeriksaan visus menggunakan tes gambar acak Kay, dan pemeriksaan retinoskopi pada anak dengan visus yang tidak s...

0 downloads 307 Views 77KB Size
KELAINAN REFRAKSI PADA ANAK USIA 3 – 6 TAHUN DI KECAMATAN TALLO KOTA MAKASSAR Anastasia Vanny Launardo, Achmad Afifudin, Noor Syamsu dan Rahasiah Taufik

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui frekuensi kejadian kelainan refraksi pada anak usia 3 – 6 tahun di kecamatan Tallo kota Makassar. Penelitian ini menggunakan metode penelitian observational cross sectional, dengan jumlah sampel 185 anak yang dijaring dari kecamatan Tallo kota Makassar. Dilakukan pemeriksaan visus menggunakan tes gambar acak Kay, dan pemeriksaan retinoskopi pada anak dengan visus yang tidak sesuai umurnya. Analisis hubungan menggunakan uji Pearson Chi-Square, dan dinyatakan bermakna jika nilai p ≤ 0.05. Hasil analisis menunjukkan, bahwa dari 185 anak, terdapat jenis kelamin laki-laki 90 anak (48.6%) dan perempuan 95 anak (51.4%). Sampel dibagi atas tiga kelompok berdasarkan usia; kelompok I: usia 3 - <4 tahun 59 anak (31.9%), kelompok II: usia 4 - <5 tahun 67 anak (36.2%), dankelompok III: usia 5 - <6 tahun 59 anak (31.9%). Didapatkan 5 anak (2.7%), dengan prevalensi berdasarkan usia 3 - <4, 4 - <5, dan 5 - <6 adalah 1.7%, 3.0%, dan 3.4%. Anak dengan kelainan refraksi, yang dilanjutkan untuk pemeriksaan retinoskopi hanya 2 anak. Hasil retinoskopi yang diperoleh adalah antara SER -1.375 sampai +2.25 (nilai rata-rata untuk mata kanan +0.38 D; SD, 1.75, dan mata kiri +0.56D; SD, 1.69). Prevalensi kelainan refraksi pada anak usia 3 – 6 tahun di kecamatan Tallo kota Makassar adalah 2.7%. Tidak ada perbedaan bermakna antara usia terhadap kejadian kelainan refraksi. Kata Kunci : Kelainan Refraksi, Anak Usia 3-6 tahun

ABSTRACT The research aimed at investigating the frequency of refractive error occurrences on the children of 3-6 years old at Tallo district, Makassar City. The research used an observational cross sectional research method, with 185 samples children who were picked up form Tallo district, Makassar City. Visual acuity examination using Kay Picture Test Crowded LogMAR book, and retinoscopy examination were carried out on the children with abnormal visual acuity. Relationship analysis using Pearson Chi-Square test and it was considered significant if its value was p ≤ 0.05. Data analysis reveals out of 185 children, there are 90 (48.6%) male children and 95 (51.4%) female children. The sample are divided into three groups based on their ages; group I: age 3 - <4 years old, 59 (31.9%) children, group II: 4 - <5 years old, 67 (36.2%) children, and group III: 5 - 6 years old group, 59 (31.9%) children. It is obtained that 5 (2.7%) children with prevalence based on the ages of 3 - <4, 4 - <5, and 5 – 6 years old are: 1.7%, 3.0%, and 3.4%. The children with refractive error, who are continued with retinoscopy examination are only 2 children. The result of the retinoscopy obtained is SER between -1.375 to +2.25 (the mean scores for right eye [RE] are: +0.38 D; SD, 1.75, and left eye [LE] are: +0.56D; SD, 1.69). Prevalence of refractive error on the 3 - 6 years old children at Tallo district Makassar is 2.7%. There are no significant difference between age and refractive error occurences. Keywords : Refractive Error, Children age 3-6 years old PENDAHULUAN Kelainan refraksi adalah keadaan bayangan tegas tidak dibentuk pada retina, dimana terjadi ketidakseimbangan sistem penglihatan pada mata sehingga menghasilkan bayangan yang kabur. Sinar tidak dibiaskan tepat pada retina, tetapi dapat di depan atau di belakang retina dan/ atau tidak terletak pada satu titik fokus. Kelainan refraksi dapat diakibatkan terjadinya kelainan kelengkungan kornea dan lensa, perubahan indeks bias, dan kelainan panjang sumbu bola mata.

Kelainan refraksi dapat terjadi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain umur, jenis kelamin, ras, dan lingkungannya. Oleh Hammond CJ, dkk dalam penelitiannya mengenai pengaruh genetik dan lingkungan terhadap pasangan-pasangan kembar yang tinggal di lingkungan yang berbeda menyatakan, genetik memegang peranan besar pada miopia dan hipermetropia. Oleh Goh P.P, dkk dalam Malaysian study (2003) pada anak usia sekolah, didapatkan prevalensi miopia lebih tinggi pada anak usia lebih tua, jenis kelamin perempuan, anak dengan tingkat pendidikan orang tua yang lebih tinggi, dan ras Tionghoa. Hypermetropia lebih banyak ditemukan pada anak usia lebih muda dan pada etnik lainnya. Saad A, El-Bayoumy BM (2007) pada anak sekolah di Mesir mendapatkan tingkat pendidikan, aktivitas (kegiatan membaca dekat), status ekonomi, dan riwayat keluarga memiliki hubungan terhadap terjadinya kelainan refraksi. Gangguan refraksi masih merupakan salah satu penyebab kebutaan di dunia. World Health Organization (WHO) menyatakan, terdapat 45 juta orang yang menjadi buta di seluruh dunia, dan 135 juta dengan low vision. Diperkirakan gangguan refraksi menyebabkan sekitar 8 juta orang (18% dari penyebab kebutaan global) mengalami kebutaan. Angka kebutaan anak di dunia masih belum jelas, namun diperkirakan ada sekitar 1,4 juta kasus kebutaan pada anak, dan 500.000 kasus baru terjadi tiap tahunnya. Sebagian besar anak-anak ini meninggal beberapa bulan setelah mengalami kebutaan. Penyebab kebutaan pada anak sangat bervariasi pada tiap negara. Diperkirakan setiap satu menit terdapat satu anak menjadi buta dan hampir setengahnya berada di Asia Tenggara CEHJ (2007). Angka kebutaan di Afrika dan Asia diperkirakan sekitar 15/10.000 anak. Angka ini sangat besar bila dibandingkan angka kebutaan anak di Eropa dan Amerika Utara yang hanya 3/10.000 anak. Di Eropa yang merupakan negara maju, angka kebutaan pada anak sekitar 3:10.000 (CEHJ (2007). Angka kebutaan di Indonesia menempati urutan ketiga di dunia. Bahkan kondisi kebutaan di Indonesia merupakan yang terburuk di Asia dan ASEAN. Hingga saat ini, sekitar 3,1 juta (1,5%) penduduk Indonesia mengalami kebutaan. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan negara-negara miskin, seperti Bangladesh, Maladewa, Bhutan, Nepal, dan Myanmar. Angka kebutaan negara lain di kawasan Asia yang cukup tinggi antara lain Bangladesh (1,0%), India (0,7%), dan Thailand (0,3%). Depkes RI (1983) Berdasarkan hasil survei Indera Penglihatan dan Pendengaran tahun 1993-1996 yang dilakukan di delapan provinsi menunjukkan prevalensi kebutaan di Indonesia sebesar 1,5 persen dengan penyebabnya katarak 0,78%, glaukoma 0,20%, kelainan refraksi 0,14%, kelainan retina 0,13%, kelainan kornea 0,10%, dan oleh penyebab lain 0,15%. Kebutaan pada anak di Indonesia sebesar 0,6 per 1000 anak. Depkes RI (1998) Menurut Sirlan F dkk (2009) di Jawa Barat, hasil survei menunjukkan prevalensi kebutaan sebesar 3,6%; dengan angka kelainan refraksi sebesar 2,8%, namun tidak ditemukan data untuk anak usia 3-6 tahun. Di Makassar, angka kebutaan dan kelainan mata pada anak belum pernah dilaporkan sebelumnya. Hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) di Indonesia (2007) menunjukkan angka kebutaan sebesar 0,9%. Dengan angka tertinggi di Provinsi Sulawesi Selatan (2,6%) dan terendah di Provinsi Kalimantan Timur (0,3%). Mengingat besarnya masalah kebutaan di dunia, WHO pada tanggal 30 September 1999, mencanangkan komitmen global Vision 2020: The Right to Sight untuk mendorong penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan tertentu yang sebenarnya dapat dicegah atau direhabilitasi. Vision 2020, the right to sight merupakan gagasan dari seluruh dunia berupa upaya kesehatan untuk menanggulangi masalah gangguan penglihatan dan kebutaan yang dapat dicegah atau direhabilitasi dengan dasar keterpaduan upaya dan bertujuan untuk menurunkan jumlah kebutaan pada tahun 2020 (Thulasiraj D dkk., 2001; Collin C dkk., 2005; Limburg H dkk., 1990). Terdapat empat prinsip utama dalam program Vision 2020 ini, yaitu eye health promotion, prevention of eye diseases, curative intervention, dan rehabilitation. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut diperlukan usaha dari tiap wilayah dan kerja sama tim, dimana kegiatan skrining diperlukan sebagai langkah awal dalam penuntasan masalah kebutaan secara global (Thulasiraj D dkk., 2001; Collin C dkk., 2005; Limburg H dkk., 1990).

Ciner dkk tahun 1998 menyatakan, kelainan refraksi berada di urutan ke empat kelainan terbanyak pada anak, dan merupakan penyebab utama kecacatan pada anak. Pada anak usia 3-6 tahun, ambliopia, dan faktor resiko ambliopia seperti strabismus, dan kelainan refraksi yang signifikan merupakan kelainan penglihatan dengan prevalensi terbanyak (Ciner dkk.,1998; Abolfotouh dkk., 1993; American Optometric Association Consensus Panel n Pediatric Eye and Vision Examination, 2002; Moore, 2006). Di Indonesia, gangguan penglihatan akibat kelainan refraksi dengan prevalensi sebesar 22,1% juga menjadi masalah yang cukup serius. Sementara 10% dari 66 juta anak usia sekolah (5-19 tahun) menderita kelainan refraksi. Sampai saat ini angka pemakaian kacamata koreksi masih sangat rendah, yaitu 12,5% dari prevalensi. Apabila keadaan ini tidak ditangani secara menyeluruh, akan terus berdampak negatif terhadap perkembangan kecerdasan anak dan proses pembelajarannya, yang selanjutnya juga mempengaruhi mutu, kreativitas, dan produktivitas angkatan kerja (15-55 tahun), yang diperkirakan berjumlah 95 juta orang sesuai data BPS tahun 2000. Pada gilirannya nanti akan mengganggu laju pembangunan ekonomi nasional yang kini dititikberatkan pada pengembangan dan penguatan usaha kecil menengah (UKM) untuk mengentaskan golongan ekonomi lemah dari kemiskinan (KMKRI, 2005). Pemeriksaan refraksi merupakan pemeriksaan dasar, tetapi sangat menentukan langkah selanjutnya dalam diagnostik dan terapi. Menurut Hartmann EE, dkk, pemeriksaan refraksi pada anak pra sekolah paling tepat dilakukan mulai usia 3 tahun, oleh karena pada usia tersebut diperkirakan anak sudah dapat diajak untuk kooperatif. Pemeriksaan yang tepat dan akurat pada pasien dengan gangguan refraksi dapat dicapai melalui tahapan sebagai berikut, yaitu: 1) pemeriksaan refraksi subjektif, 2) pemeriksaan refraksi objektif, 3) cross cylinder test, dan binocular balancing. Namun pada anak masih sulit untuk dilakukan pemeriksaan subjektif, cross cylinder test dan binocular balancing karena pemeriksaan ini membutuhkan kerja sama yang baik antara pasien dan pemeriksanya. (Benjamin, 2006) Dalam penelitian ini pemeriksaan refraksi akan dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan refraksi subjektif. Namun kelemahan dari metode ini adalah bahwa hasil refraksi bergantung sepenuhnya pada respons pasien, sehingga diperlukan komunikasi yang baik antara dokter dan pasien, termasuk dalam menggunakan istilah tertentu, misalnya lebih jelas atau lebih kabur (Carlson, 1996). Dalam skrining yang dilakukan pada anak usia 3-6 tahun tentu pemeriksaan ini akan menjadi lebih sulit dilakukan dengan hasil maksimal oleh karena komunikasi yang terbatas, sehingga dalam penelitian ini akan dibantu dengan menggunakan pemeriksaan retinoskopi sebagai pemeriksaan objektif. Pemeriksaan objektif adalah pemeriksaan refraksi dimana hasil refraksi dapat ditentukan tanpa mengandalkan masukan atau respons dari pasien. Kelebihan pemeriksaan ini adalah pemeriksaan dapat dilakukan tanpa informasi subjektif dari pasien mengenai kualitas visus yang diperoleh selama prosedur berlangsung. Kerja sama dari pasien yang diperlukan hanya pada saat, misalnya, meletakkan kepala, atau memfiksasi pandangan pada target tertentu. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan menggunakan retinoskopi, otorefraksi, atau fotorefraksi (Corboy dkk, 2003). Pada penelitian ini akan menggunakan retinoskopi, karena belum tersedianya fasilitas otorefraksi dan fotorefraksi. Retinoskopi merupakan salah satu pemeriksaan refraksi objektif dimana dibutuhkan keterampilan operator untuk menentukan gangguan refraksi pada pasien. Oleh karena itu, dalam penelitian ini seluruh pemeriksaan retinoskopi akan dilakukan di bawah pengawasan dokter ahli. Skrining adalah identifikasi dini dari individu dalam populasi tertentu yang beresiko terpapar suatu keadaan subklinis, dimana indentifikasi ini bisa bermanfaat bila dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Penangan yang efektif dapat menghasilkan outcome yang lebih baik, dengan pengaruhnya tidak hanya terbatas pada individu tertentu saja, tetapi juga terhadap keseluruhan populasinya. Skrining merupakan intervensi kesehatan pada masyarakat yang bertujuan untuk mengurangi resiko atau beban populasi dari suatu penyakit (Squirrell Dm, 2003; Kristinsson JK, 1997) Program skrining pada anak usia 3 - 6 tahun telah banyak dilakukan di berbagai negara. Salah satunya oleh Lennerstrand dkk tahun 1995 yang melakukan skrining terhadap disfungsi okuler pada anak. Ia menjelaskan bahwa dalam skrining terhadap anak pra sekolah, dapat dilakukan

dengan membagi atas dua kelompok, yang mencakup masalah-masalah okuler dan kondisi visual yang serius, yang harus diketahui dalam masa awal kehidupan anak, dan mencakup kondisi yang lebih ringan daripada kelompok pertama, seperti yang paling sering adalah ambliopia, yang dapat didiagnosa dengan melakukan pemeriksaan monokuler pada usia 3-4 tahun. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi anak dengan masalah penglihatan sejak dini, sehingga anak bisa mendapatkan penanganan dan terapi yang sesuai secepatnya. Terapi yang cepat dan tepat terhadap masalah kelainan refraksi seperti hipermetropia ambliogenik, astigmatisme, anisometropia, dan myopia dapat mencegah kebutaan dan hilangnya penglihatan yang permanen. Braverman (2007). Di Makassar saat ini telah banyak dilakukan usaha-usaha penanggulangan kebutaan, salah satunya dengan adanya kerja sama antara bagian Ilmu Kesehatan Mata Universitas Hasanuddin dengan Pemerintah Kota setempat dengan mencanangkan dua kecamatan di wilayah kota Makassar sebagai kecamatan Mata Sehat. Kedua kecamatan tersebut adalah kecamatan Tallo dan kecamatan Ujung Tanah. Penelitian ini akan menjadi salah satu bentuk usaha awal dalam pemberantasan kebutaan dan mendukung upaya pemerintah untuk mewujudkan visi dan misi dari Vision 2020 di Indonesia. Sejauh pengetahuan peneliti, di Makassar belum ada penelitian tentang kelainan refraksi pada anak usia 3 - 6 tahun, sehingga hal ini menjadi latar belakang dilakukannya penelitian ini. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian cross sectional, dengan satu kali pengambilan data terhadap 185 anak yang masuk ke kriteria inklusi di kecamatan Tallo kota Makassar pada bulan November 2010. Seluruh tindakan dilakukan atas persetujuan subyek melalui lembar informed consent, serta setelah penelitian dinyatakan memenuhi persyaratan etik untuk dilaksanakan dari komisis etik penelitian biomedis pada manusia fakultas kedokteran Universitas Hasanuddin. Pemeriksaan visus dilakukan pada kedua mata dengan menggunakan Tes Gambar Acak LogMAR Kay (Kay Picture Crowded LogMAR Book Test). Sebelum dilakukan pemeriksaan dilakukan orientasi pengenalan gambar antara pemeriksa dan subyek. Nilai normal yang didapatkan untuk anak usia di bawah 4 tahun adalah tajam penglihatan satu mata 0,100 LogMAR (6/7 atau 20/25 Snellen) atau lebih baik dengan perbedaan tajam penglihatan antara kedua mata tidak lebih dari 0,050 LogMAR (dua gambar). Nilai normal untuk anak usia 4 sampai 5 tahun adalah tajam penglihatan satu mata 0,050 LogMAR (6/6 atau 20/20 Snellen) atau lebih baik dengan perbedaan tajam penglihatan antara kedua mata tidak lebih dari 0,025 LogMAR (dua gambar). Apabila didapatkan visus yang tidak sesuai usia subyek, maka dilakukan pemeriksaan retinoskopi untuk menilai jenis dan derajat kelainan refraksi subyek. Sebelum memulai pemeriksaan retinoskopi, kedua mata ditetes sikloplegik (cyclopentolate1%) sebanyak 1 tetes dan bila diperlukan dapat diulangi lagi 15 menit kemudian, sekitar 40 menit sebelum dilakukan pemeriksaan. HASIL PENELITIAN Analisis data menunjukkan, bahwa dari 185 anak, terdapat jenis kelamin laki-laki 90 anak (48.6%) dan perempuan 95 anak (51.4%). Sampel dibagi atas tiga kelompok berdasarkan usia; kelompok I: usia 3 - <4 tahun 59 anak (31.9%), kelompok II: usia 4 - <5 tahun 67 anak (36.2%), dankelompok III: usia 5 - <6 tahun 59 anak (31.9%). Didapatkan 5 anak (2.7%), dengan prevalensi berdasarkan usia 3 - <4, 4 - <5, dan 5 - <6 adalah 1.7%, 3.0%, dan 3.4%. Pada pemeriksaan visus, ditemukan subyek dengan visus normal sebanyak 180 anak (97.3%), dan kelompok dengan visus tidak normal sebanyak 5 anak (2.7%). Berdasarkan riwayat herediter, subyek dibagi atas 3 kelompok, yaitu kelompok dengan tanpa riwayat herediter sebanyak 174 (94.6%) anak, kelompok dengan riwayat ibu memakai kacamata sebanyak 7 (3.8%) anak, dan kelompok dengan riwayat bapak memakai kacamata sebanyak 3 (1.6%) anak. Menurut riwayat kebiasaan, dalam hal ini kebiasaan nonton dekat, dibagi atas 2 kelompok, yaitu subyek dengan kebiasaan nonton dekat sebanyak 60 (32.4%) anak, dan subyek tanpa kebiasaan nonton dekat sebanyak 125 (67.6%) anak.

Sedangkan, berdasarkan riwayat penyakit matanya, subyek dibagi atas 2 kelompok, yaitu kelompok dengan riwayat penyakit mata sebanyak 5 (2.7%) anak, dan kelompok tanpa riwayat penyakit mata sebanyak 180 (97.3%) anak. Karakteristik sampel dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Karakteristik subyek penelitian berdasarkan distribusi jenis kelamin, usia, hasil pemeriksaan visus, riwayat herediter, riwayat kebiasaan, dan riwayat penyakit mata sebelumnya

Karakteristik Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah Usia 3 – < 4 tahun 4 - < 5 tahun 5 – 6 tahun Jumlah Hasil Pemeriksaan Visus Normal Tidak normal Jumlah Riwayat Herediter Tidak ada Ibu memakai kacamata Bapak memakai kacamata Jumlah Riwayat kebiasaan Tidak nonton dekat Nonton dekat Jumlah Riwayat penyakit mata Tidak ada Ada Jumlah

n (%) 90 (48.6) 95 (51.4) 185 (100) 59 (31.9) 67 (36.2) 59 (31.9) 185 (100) 180 (97.3) 5 (2.7) 185 (100) 175 (94.6) 7 (3.8) 3 (1.6) 185 (100) 125 (67.6) 60 (32.4) 185 (100) 180 (97.3) 5 (2.7) 185 (100)

Tabel 2. Persentase kelainan refraksi pada anak usia 3 – 6 tahun berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin

Normal (n%)

Visus Tidak normal (n%)

Total (n%)

Laki-laki

88 (97.8)

2 (2.2)

90 (100)

Perempuan

92 (96.8)

3 (3.2)

95 (100)

180 (97.3)

5 (2.7)

185 (100)

Total Fisher’s Exact Test (p = 0.526)

Pada tabel 2 dapat dilihat frekuensi kejadian kelainan refraksi berdasarkan jenis kelamin. Dari data tersebut dapat disimpulkan frekuensi kelainan refraksi tidak berbeda antara jenis kelamin perempuan maupun laki-laki (p=0.526). Tabel 3. Persentase kelainan refraksi pada anak usia 3 – 6 tahun berdasarkan usia Usia

Normal (n%)

Visus Tidak normal (n%)

Total (n%)

3 - <4 tahun

58 (98.3)

1 (1.7)

59 (100)

4 - < 5 tahun

65 (97.0)

2 (3.0)

67 (100)

5 - <6 tahun

57 (96.6)

2 (3.4)

59 (100)

180 (97.3) Total Pearson Chi-Square (p=0.838)

5 (2.7)

185 (100)

Pada tabel 3 dapat dilihat frekuensi kejadian kelainan refraksi berdasarkan usia. Dari data tersebut dapat disimpulkan tidak ada perbedaan frekuensi kelainan refraksi di antara kelompok usia (p=0.838). Tabel 4. Persentase kelainan refraksi pada anak usia 3 – 6 tahun berdasarkan aktivitas/ kebiasaan nonton jarak dekat Riwayat aktivitas

Normal (n%)

Visus Tidak normal (n%)

Total (n%)

Nonton dekat

55 (91.7)

5 (8.3)

60 (100)

Tidak nonton dekat

125 (100)

0 (0.0)

125 (100)

180 (97.3) Total Fisher’s Exact Test (p = 0.003)

5 (2.7)

185 (100)

Pada tabel 4 dapat dilihat frekuensi kejadian kelainan refraksi berdasarkan riwayat aktivitas/ kebiasaan nonton jarak dekat. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan frekuensi kelainan refraksi pada subyek dengan kebiasaan nonton jarak dekat (8,3%), dibandingkan subyek tanpa kebiasaan nonton jarak dekat (0.0%, p = 0.003). Tabel 5. Persentase kelainan refraksi pada anak usia 3 – 6 tahun berdasarkan riwayat herediter Riwayat Herediter

Normal (n%)

Visus Tidak normal (n%)

Total (n%)

Ada

170 (97.7)

4 (2.3)

174 (100)

Tidak ada

10 (90.9)

1 (9.1)

11 (100)

180 (97.3) Total Fisher’s Exact Test (p = 0.267)

5 (2.7)

185 (100)

Pada tabel 5 dapat dilihat frekuensi kejadian kelainan refraksi berdasarkan riwayat herediter. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa ada tidak ada perbedaan frekuensi kelainan refraksi pada subyek dengan riwayat herediter (2,3%), dibandingkan subyek tanpa riwayat herediter (9,1%, p = 0.267). Nilai rata-rata pemeriksaan visus pada anak usia 3 - <4 tahun adalah 0.39 LogMAR (SD, 0.69) pada mata kanan (VOD); dan 0.28 LogMAR (SD, 0.12) pada mata kiri (VOS), usia 4 - <5 tahun 0.0 LogMAR (SD, 0.77) pada mata kanan; dan 0.0 LogMAR (SD, 0.13) pada mata kiri, usia 5 - <6 tahun 0.0 LogMAR (SD, 0.09) pada mata kanan; dan 0.0 LogMAR (SD, 0.07) pada mata kiri. Dari hasil pemeriksaan retinoskopi didapatkan subyek 1 dengan compound miop astigmat pada kedua mata, dan subyek 2 dengan mixed astigmat pada kedua mata. Keduanya kemudian diberikan koreksi sesuai hasil pemeriksaan, dan didapatkan visus setelah koreksi pada subyek 1 OD 0,025 LogMAR dan OS 0,0 LogMAR, dan pada subyek 2 adalah 0,0 LogMAR pada kedua mata (SER 1.375 sampai +2.25 (nilai rata-rata untuk mata kanan +0.38 D; SD, 1.75, dan mata kiri +0.56D; SD, 1.69). PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian cross sectional pada 185 anak usia 3 – 6 tahun yang bertujuan untuk mengetahui frekuensi kejadian kelainan refraksi di kecamatan Tallo kota Makassar. Dari penelitian didapatkan hasil subyek dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 90 anak (48.6%), dan subyek dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 95 anak (51.4%). Pada penelitian ini, didapatkan 5 anak dengan kelainan refraksi dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 2 anak (40%) dan perempuan sebanyak 3 anak (60%), namun tidak ditemukan perbedaan yang bermakna antara jenis kelamin dan kejadian kelainan refraksi dalam penelitian ini (p = 0.526). Pada penelitian yang dilakukan oleh Al-Rowaily M.A tahun 2009 melaporkan dari 1319 anak, didapatkan 60 (4.5%) anak dengan kelainan refraksi (4.2% anak laki-laki dan 4.9% perempuan) dan tidak ada perbedaan yang bermakna. Fan DSP dkk pada tahun 2004 melaporan juga bahwa tidak ada perbedaan spherical equivalent refraction (SER) yang bermakna antara anak perempuan dan laki-laki (p=0.209). Sebaliknya, oleh Lee DJ dkk tahun 2000 melaporkan adanya perbedaan prevalensi antara anak laki-laki dan perempuan, dimana perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini dikatakan, kemungkinan disebabkan oleh kecenderungan orang tua yang lebih memperhatikan anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, sehingga kelainan refraksi pada anak laki-laki lebih cepat terdeteksi. Berdasarkan usia, subyek dibagi atas 3 kelompok, yaitu usia 3 - <4 tahun sebanyak 59 anak (31.9%), usia 4 - <5 tahun sebanyak 67 anak (36.2%), dan usia 5 - <6 tahun sebanyak 59 anak (31.9%). Sebagian besar penellitian pada usia pra sekolah mengambil subyek dengan usia antara 3 sampai 6 tahun, oleh karena pada usia 3 tahun anak telah dapat diajak untuk bekerja sama dan sebagian besar telah mengenali kemudian mencocokkan gambar, bahkan ada yang mampu menyebutkan nama gambar. Usia 3 hingga 6 tahun juga adalah masa yang paling tepat untuk dilakukan skrining mendeteksi strabismus dan ambliopia (Wilson WK Yip, DSP Fan, 2007). DSP Fan dkk pada penelitiannya mengenai kelainan refraksi pada anak usia pra sekolah juga mengambil sampel dengan usia 2-6 tahun, namun tidak dirincikan sebaran jumlah subyek berdasarkan usianya. Dalam penelitian ini, visus subyek diperiksa dengan menggunakan buku gambar acak LogMAR Kay (Kay Picture Crowded LogMAR Book Test). Visus normal pada anak dibagi berdasarkan usia, dimana dengan menggunakan Kay Picture test, pada anak usia kurang atau sama dengan 4 tahun dengan visus kurang atau sama dengan 0,1 logMAR dimana perbedaan visus antara kedua mata tidak lebih dari 0,05 logMAR akan dinyatakan normal, dan pada anak usia lebih dari 4 tahun dinyatakan normal bila visus mereka kurang atau sama dengan 0,05 logMAR dimana perbedaan antara kedua mata tidak lebih dari 0,025. Sebelum melakukan pemeriksaan, kami terlebih dahulu melakukan anamnesis terhadap orang tua mengenai riwayat pemakaian kacamata pada subyek maupun orang tua, riwayat trauma, dan riwayat penyakit mata yang pernah atau sedang diderita oleh subyek. Selama pengambilan sampel penelitian, kami dapatkan sampel dengan riwayat herediter sebanyak 10 sampel, dimana riwayat ibu dengan kacamata sebanyak 7 sampel, dan riwayat bapak dengan kacamata sebanyak 3 sampel.

Namun tidak satupun dari sampel penelitian yang menggunakan kacamata atau sedang menggunakan kacamata saat dilakukan pengambilan sampel, dan tidak satupun dari sampel dengan riwayat herediter memiliki visus tidak normal. Setelah dilakukan pemeriksaan visus pada 185 anak, didapatkan 5 anak dengan visus yang tidak sesuai usianya. Prevalensi kelainan refraksi pada anak secara keseluruhan adalah sebesar 2,7%. Berdasarkan usianya, prevalensi kelainan refraksi pada usia 3 - <4 tahun adalah sebesar 1,7%, (VOD mean 0.39 LogMAR [SD, 0.69]; VOS mean 0.28 LogMAR [SD, 0.12]) usia 4 - <5 tahun sebesar 3,0% (VOD mean 0.0 LogMAR [SD, 0.77]; VOS mean 0.0 LogMAR [SD, 0.13]), dan usia 5 - <6 tahun sebesar 3,4% (VOD mean 0.0 LogMAR [SD, 0.09]; VOS mean 0.0 LogMAR [SD, 0.07]). Dari hasil yang diperoleh, tidak ditemukan perbedaan yang bermakna antara kelompok usia dengan kelainan refraksi (p=0.838). Dalam teori emetropisasi, seharusnya kelainan refraksi ditemukan terbesar pada kelompok usia 3 - <4 tahun oleh karena perkembangan bola mata, dalam hal ini kornea, lensa, dan panjang bola mata yang belum sempurna dan seimbang. Namun dari hasil yang didapatkan terlihat sebaliknya, dimana prevalensi kelainan refraksi terbesar didapatkan pada kelompok usia 5 - <6 tahun. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti aktivitas dan kebiasaan anak, misalnya kebiasaan nonton televisi yang terlalu dekat. Juga menilai aktivitas anak seperti lebih sering main di luar rumah atau dalam rumah. Dalam penelitian kami dapat dilihat ada perbedaan yang bermakna antara frekuensi kelainan refraksi pada kelompok dengan kelompok tanpa kebiasaan nonton jarak dekat, yaitu kejadian kelainan refraksi lebih tinggi pada kelompok dengan kebiasaan nonton jarak dekat (p = 0.003). Oleh Rose KA dkk tahun 2008 tentang hubungan kebiasaan atau aktivitas luar rumah dalam menurunkan kelainan myopia pada anak melaporkan, aktivitas luar rumah yang tinggi (olahraga dan bermain di luar) berhubungan dengan status refraksi yang lebih hiperopik dan miopik yang lebih rendah pada anak usia 12 tahun. Anak yang melakukan kegiatan aktivitas dekat dan kurang aktivitas luar rumah memiliki nilai rata-rata refraksi hiperopik yang paling rendah (+0,27 D; 95% CI, 0.02-0.52), sedangkan anak yang kurang melakukan aktivitas dekat dan lebih banyak aktivitas luar rumah memiliki status refraksi hiperopik yang paling tinggi (+0.56 D; 95% CI, 0.38-0.75). Oleh DSP Fan tahun 2004 dalam penelitiannya melaporkan kejadian miopia meningkat hingga 43% setelah 5 tahun sejak penelitian berlangsung. Dalam studi ini, selain menilai SER, ia juga menilai perubahan panjang aksis bola mata pada subyeknya. Hasil penelitiannya menunjukkan adanya perubahan SER yang bermakna (p<0.001) pada awal dan akhir penelitian, yaitu +0.77 D menjadi -0.44 D (mean -1.29, SD 1.39), dan perubahan panjang aksis bola mata rata-rata selama 5 tahun penelitian sebesar 1.72 mm (SD, 0.8 mm) (p <0.01). Disebutkan pula terjadi penurunan ketebalan lensa dari 3.8 mm (SD, 0.37 mm) menjadi 3.74 mm (SD, 0.51 mm) (p < 0.001), dan terjadi peningkatan kedalaman vitreus dari 15.01 mm (SD, 0.68 mm) menjadi 16.42 mm (SD, 0,88 mm) (p < 0.001). Dari hasil penelitiannya, disimpulkan bahwa terdapat pergeseran kelainan refraksi yang nyata dari hipermetropia menjadi miopia. Dalam penelitian kami tidak dilakukan pengukuran panjang aksis bola mata serta ketebalan lensa dan vitreus. Selain itu, penelitian kami juga merupakan penelitian cross sectional dengan waktu yang singkat, dan hanya mengambil data pengukuran satu kali, sehingga sulit untuk menilai perubahan-perubahan yang terjadi. Selanjutnya terhadap kelima anak ini dilakukan pemeriksaan lanjut untuk mengetahui jenis dan derajat kelainan refraksinya dengan menggunakan retinoskopi. Namun, dari kelima sampel, hanya 2 anak yang dapat mengikuti pemeriksaan lanjutan. Tiga anak lain tidak diperiksa, oleh karena 1 anak pindah daerah di luar kota Makassar, 1 anak tidak ditemukan, dan 1 wali anak menolak untuk dilakukan pemeriksaan menggunakan tetes mata sikloplegik. Sebelum dilakukan pemeriksaan menggunakan retinoskopi, kedua mata anak diteteskan tetes mata sikloplegik 1% sebanyak 1 tetes dan diulang lagi setelah 15 menit sebanyak 1 tetes, sekitar 40 menit sebelum dilakukan pemeriksaan. Dari pemeriksaan retinoskopi kedua subyek diperoleh OD: -1.00 C -0,75, axis 45 (compound miop astigmat, SER = -1.375 D), OS: -0,75 C -0,75, axis 45 (compound miop astigmat, SER = -1.125), dan OD: +4.00,C -3.75, axis 15 (mixed astigmat, SER = +2.125 D), OS: +4.25, C -4.00, axis 160 (mixed astigmat, SER = +2.25 D), dengan visus setelah koreksi adalah OD: 0,025 LogMAR, OS: 0,0 LogMAR, dan OD: 0,0 LogMAR, OS: 0,0

LogMAR. Nilai rata-rata SER mata kanan sebesar +0.38 D (SD, 1.75) dan mata kiri +0.56 D (SD, 1.69). Oleh DSP Fan dalam skrining pada anak pra sekolah mengklasifikasikan kekuatan refraktif (spherical equivalent refraction = SER) menjadi 3 kelompok. Mata dengan SER -0,49 D sampai +2.00 D diklasifikasikan normal, -0,50 D atau kurang sebagai miopia, dan lebih dari +2.00 sebagai hipermetropia. Dari nilai SER yang didapatkan dalam penelitian ini, jenis kelainan refraksi dikategorikan sebagai miopia dan hipermetropia. Dalam penelitian ini tidak dapat dilakukan uji korelasi antara usia anak dengan SER oleh karena jumlah sampel yang dapat diperiksa kelainan refraksinya sangat kurang. Oleh DSP Fan dkk dalam penelitiannya pada 255 anak melaporkan nilai rata-rata SER mata kanan adalah +0.77 D (Standar deviasi = SD, 0.80 D), dengan range -0.88 - +4.88 D, dan pada mata kiri adalah +0.85D (SD 0.81 D), dengan range -0.88 - +5.00 D. Tidak ditemukan perbedaan yang bermakna antara SER kedua mata (p = 0.13). Pada penelitian ini didapatkan jumlah anak yang menderita kelainan refraksi hanya 2.7% dari populasi sampel mewakili kecamatan Tallo kota Makassar. Dari hasil penelitian kami ini, dapat disimpulkan bahwa frekuensi kelainan refraksi di kecamatan Tallo kelurahan Wala-walaya ini rendah. Dibandingkan prevalensi yang diperoleh oleh Goh dkk tahun 2005 dalam Malaysian study sebesar 17,8%, di Kingdom of Saudi Arabia (KSA) oleh Mohammad A dan Al-Rowaily tahun 2009 sebesar 4,5%, Abolfotouh dkk tahun 1993 dalam Abha study sebesar 23%, Wedad M dkk tahun 2002 sebesar 10,7%. Di India didapatkan prevalensi ini sebesar 4,9% (Murthy dkk., 2002); di Iran sebesar 3,9% (Khalaj dkk., 2009); dan di Afrika Selatan sebesar 2,74% (Naidoo dkk., 2003). Jumlah sampel yang kami ambil dalam penelitian ini memang tidak sebesar penelitian-penelitian lainnya, sehingga prevalensi yang kami dapatkan dalam penelitian ini bukanlah prevalensi menyeluruh seperti yang dilakukan oleh penelitian-penelitian tersebut. Namun tetap perlu diperhatikan bahwa penelitian kami merupakan sebuah penelitian awal yang akan menjadi dasar penelitian selanjutnya dengan jumlah sampel yang lebih besar, sehingga dapat diperoleh prevalensi kelainan refraksi pada usia dini secara menyeluruh di kota Makassar. KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian dan uji statistik diambil kesimpulan bahwa frekuensi kejadian kelainan refraksi pada anak usia 3 - <4 tahun sebesar 1,7%, frekuensi kejadian kelainan refraksi pada anak usia 4 - <5 tahun sebesar 3,0%, frekuensi kejadian kelainan refraksi pada anak usia 5 <6 tahun sebesar 3,4%, jenis kelainan refraksi yang didapatkan dalam penelitian ini adalah compound miop astigmat (subyek 1) dan mixed astigmat (subyek 2). Tidak ada perbedaan yang bermakna antara kejadian kelainan refraksi berdasarkan usia di kecamatan Tallo kota Makassar. Kejadian kelainan refraksi yang bermakna pada subyek dengan aktivitas nonton dekat lebih tinggi dibandingkan subyek tanpa aktivitas nonton dekat (P = 0.003), dan berdasarkan faktor herediter (p=0,267). Skrining kelainan refraksi dianjurkan untuk dilakukan di tiap-tiap sekolah atau secara berkala pada anak usia 3 – 6 tahun. Diperlukan penelitian lebih lanjut dalam jumlah sampel yang jauh lebih besar dengan mengevaluasi kelainan refraksi pada seluruh anak usia 3 – 6 tahun, baik dengan visus normal ataupun tidak normal, untuk melihat hubungan antara usia dan derajat kelainan refraksinya agar dapat diketahui prevalensi kelainan refraksi pada anak usia 3 – 6 tahun di kota Makassar. Untuk mewujudkan hal ini, maka diperlukan pula sistem, tenaga ahli, dan peralatan yang lebih lengkap dan efisien, untuk memperoleh sampel yang lebih besar, dan prevalensi yang menyeluruh. DAFTAR PUSTAKA Abolfotouh, M., Faheem, Y., Badawi, I., Khairallah, S., 1993. Prevalence of refractive errors and their optical correction among school boys in Abha City, Asir Region, Saudi Arabia. Health Ser. J.Eastern Mediterran. Volume 7, 2.

American Academy of Ophthalmology. 2009. Basic Clinical Science and Course 2005-2006 [CD ROM]. New York: American Academy of Ophthalmology; American Academy of Pediatrics, Committee on Practice and Ambulatory Medicine. Eye Examination in Infants, Children, and Young Adults by Pediatricians 2003;111(4):902-907. Benjamin, WJ., 2006. Borish’s clinical refraction. Philadelphia: WB Saunders Co. Ciner E, Dobson V, Schmidt P, Allen, D, Cyert, L, dkk., 2005. A survey of vision screening policy of preschool children in the United States. Survey of Ophthalmology, 43: 445-457. Ciner, EB, Schmidt, PP, Orel-Bixler, D, Dobson, C, Maguire, M, dkk. 1998. Vision screening of preschool children: evaluating the past, looking toward the future. Optometry and Vision Science, 75(8): 571-584. Collin C, Babar Q. Vision 2020 at the district level. Community Eye Health Journal. June 2005;18(54):1-4 Community Eye Health Journal. 2007. Prevention of Childhood Blindness Teaching Set. Available at http://www.cehjournal.org/files/tsno4/04.asp. Corboy, J. M., Norath, D. J., Reffner, R., Stone, R. 2003. The retinoscopy book-an introductory manual for eye care professional. 5th edition. Slack Inc, New Jersey. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Ditjen Binkesmas. Survei morbiditas mata dan kebuataan di 8 propinsi. 1983. Hasil serta laporan pertemuan kerja upay kesehatan mata dan pencegahan kebutaan di puskesmas dan rujukannya, 1998; 12-7. Depkes RI. Ditjen Binkesmas. 1998. Hasil survey kesehatan indera penglihatan dan pendengarn 1996,1998; 12-7. Fan DSP, Cheung EYY, Lai RYK, dkk., 2004. Myopia progression among preschool Chinese children in Hong Kong. Ann Acad Med Singapore;33:39-43. Rose K.A., Morgan I.G., Ip J., Kifley A., Huynh S., Smith W., Mitchell P., 2008. Outdoor Activity Reduces the Prevalence of Myopia in Children. American Academy of Ophthalmology. 115(8): 1279-85. Khalaj, M., Gasemi, M., Zeidi, I.M., 2009. Prevalence of refractive errors in primary school children (7–15 years) of Qazvin City. Eur. J. Sci. Res. 28(2), 174–185. Goh, P.P., Abqariyah, Y., Pokharel, G.P., Ellwein, L.B., 2005. Refractive error and visual impairment in school –age children in Gombak District, Malaysia. Opthalmology 112, 678– 685. http://www.v2020.org/default.asp. Hammond, C.J., Snieder H, Gilbert, C.E., Spector, T.D., 2001. Genes and Environment in Refractive Error: The Twin Eye Study. Investigative Ophthalmology and Visual Science: 42(6). Limburg H, Scheinn. Vision 2020. The Epidemiology of Eye Disease, Second Edition. London. Arnold Published, 2003.p.120-36Ades AE. Evaluating screening test and screening programmes. Arch Dis Child 1990;65:792-5. Moore, B., 2006. The Massachusetts preschool vision screening program. Optometry 77 (8), 371– 377. Murthy, G.V., Gupta, S.K., Ellwein, L.B., Munoz, S.R., Pokharel,G.P., Sanga, L., dkk., 2002. Refractive error in children in an urban population in New Delhi. Invest. Ophthalmol. Vis. Sci. 43, 623–631. Naidoo, K.S., Raghunandan, A., Mashige, K.P., dkk., 2003. Refractive error and visual impairment in African children in South Africa. Invest. Ophthalmol. Vis. Sci. 44, 3764.

Wedad, M., Bardisi, Bakr M., bin Sadiq, 2002. Vision screening of preschool children in Jeddah, Saudi Arabia. Saudi Med. J. 23 (4),44-49. Thulasiraj RD, Muralikrishan R. Vision 2020. The global initiative for right to sight. Community Ophthalmology. 2001:1;20-22 Saad A, El-Bayoumy B.M., 2007. Environmental risk factors for refractive error among Egyptian schoolchildren. East Mediterr Health J:13(4).