Jurnal HPT Volume 3 Nomor 1 Januari 2015 ISSN: 2338-4336
POPULASI KUTU SISIK Diaspidiotus Perniciosus Comstock (Hemiptera: Diaspididae) DAN PARASITOIDNYA PADA PERTANAMAN APEL (Malus Sylvestris L) (STUDI KASUS DI KECAMATAN PUJON DAN BUMIAJI KOTA BATU) Ahmad Muhlisin, Sri Karindah, Bambang Tri Rahardjo Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Universitas Brawijaya Jln. Veteran, Malang 65145, Indonesia; email:
[email protected]
ABSTRACT The aim of this research was to observed the scale insect population density and parasitoids presence in two locations of the apple plantation. The research was conducted on April to June 2014. This research used a survey method in apple plantation at Mardiredo Village, Pujon District and Bulukerto Village, Bumiaji District, which have different number of precipitation, i. e. 2.310 mm and 3.000 mm per year, respectively. Population density of D. perniciosus were counted on randomly five sample trees at each location. Ten centimeter of tree branch from each quadrants was taken as the sample unit. Population of D. perniciosus on those branches were counted once a week. The number of D. perniciosus on fruit had been also counted on young and ripened fruit. Whereas to observe the presence of parasitoid the tree branch was covered by gauze.The observation of parasitoids was taken within 3 days interval for 4 weeks. Morphology identification was done in Entomology laboratory Brawijaya University. Result of this research showed that the population of D. perniciosus in Mardiredo, Pujon was higher than Bulukerto, Bumiaji. Parasitoids that was found in this research were Aphytis sp., Marietta sp., and Promuscidea sp. Parasitoids only found in Pujon with low parasitism level with the average of 10,34%. Keywords: Scale insect, Aphytis sp., Marietta sp., Promuscidea sp. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengamati kepadatan populasi kutu sisik dan parasitoidnya di dua lokasi pertanaman apel. Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai bulan Juni 2014. Metode pengamatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei pada dua lokasi pertanaman apel yang mendapatkan curah hujan berbeda, di Pujon 2.310 mm per tahun dan di Bumiaji 3.000 mm per tahun. Pengamatan populasi kutu sisik dan parasitoidnya dilakukan pada lima tanaman contoh yang telah dipilih secara acak dari masing-masing lokasi. Dari setiap tanaman contoh dipilih 4 batang tanaman sesuai dengan arah mata angin. Pengamatan dilakukan dengan menghitung populasi kutu sisik pada batang tanaman apel sepanjang 10 cm. Penghitungan populasi kutu sisik pada buah dilakukan dengan mengambil satu buah yang ada pada tanaman contoh. Populasi dihitung pada saat buah muda dan saat dilakukan pemanenan. Pengamatan parasitoid dilakukan dengan menyungkup batang tanaman contoh dengan mika plastik berbentuk silinder. Pengamatan parasitoid dilakukan setiap 3 hari sekali selama 4 minggu. Identifikasi parasitoid dilakukan di 109
Muhlisin et al., Populasi Kutu Sisik Diaspidiotus Perniciosus Comstock …
Laboratorium Entomologi Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa populasi kutu sisik di Desa Mardiredo Kecamatan Pujon lebih tinggi dibandingkan populasi kutu sisik di Desa Bulukerto Kecamatan Bumiaji. Parasitoid kutu sisik yang ditemukan diantaranya Aphytis sp., Marietta sp., dan Promuscidea sp. Parasitoid kutu sisik hanya ditemukan di Desa Madiredo Kecamatan Pujon dengan tingkat parasitasi rata-rata 10,34 %. Kata Kunci: kutu sisik, Aphytis sp., Marietta sp., dan Promuscidea sp. musim panas, dan induk betina dapat menghasilkan 7 “crawler” per hari sedangkan populasi terendah terjadi pada saat musim dingin dan induk betina menghasilkan 1 “crawler” per hari (ParryJones, 1936). Ketergantungan petani terhadap pestisida kimiawi untuk mengendalikan hama kutu sisik pada pertanaman apel di Batu dan sekitarnya masih sangat besar. Kondisi ini membuat sebagian besar petani apel melakukan sistem pertanian sangat intensif dengan input pestisida kimiawi yang tinggi untuk mengendalikan hama. Menurut Untung (2007), penggunaan pestisida kimiawi secara berlebihan dapat mengakibatkan tekanan lingkungan yang mendorong pada terjadinya reaksi ekologi (Ecological backlash) dan salah satu dampaknya adalah resistensi hama terhadap pestisida serta musnahnya musuh alami sebagai pengendali hayati populasi hama. Oleh karena itu penggunaan pestisida kimiawi harus dilakukan secara bijaksana dengan memperhatikan dinamika populasi dan faktor yang mempengaruhinya agar dampak negatif terhadap lingkungan dapat kurangi. Mellado (2011) menyatakan bahwa populasi kutu sisik dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya varietas yang ditanam, umur tanaman, keadaan geografis seperti ketinggian tempat, suhu, kelembaban, dan curah hujan serta keberadaan musuh alami seperti predator dan parasitoid. Faktor – faktor yang
PENDAHULUAN Tanaman apel merupakan komoditi hortikultura yang cukup penting, karena memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Di Indonesia tanaman apel banyak dikembangkan di berbagai daerah, salah satu sentra produksi apel di Jawa Timur adalah Kota Batu dan Kecamatan Pujon Kabupaten Malang (Sunarjono, 2013). Beberapa tahun terakhir produksi apel di Kota Batu mulai mengalami penurunan.Data BPS Kota Batu (2010) menunjukkan terjadinya penurunan produksi apel sebesar 34.74% dari 1.291.352 kwintal tahun 2009 menjadi 842.799 kwintal pada tahun 2010. Penurunan produksi ini disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya adalah serangan kutu sisik. Kutu sisik yang menyerang tanaman apel adalah Diaspidiotus perniciosus. Hama ini sangat mudah menyebar ke berbagai daerah karena gejala pada buah sulit terdeteksi pada saat dilakukan penyortiran buah saat akan melakukan ekspor ke luar daerah (Kozár, 1990). Pulau Jawa dan Sumatra memliki tingkat populasi kutu sisiksangat tinggi karena kutu ini hidup pada beberapa tanaman perkebunan seperti jeruk, apel, kelapa, kakau, kapas, camper, dan mulberi (Kalshoven, 1981). Mellado (2011) menyatakan bahwa hama ini sulit dikendalikan karena memiliki perkembangan populasi yang tinggi terutama pada musim kemarau. Populasi D. perniciosus tertinggi terjadi pada saat
110
Jurnal HPT
Volume 3 Nomor 1
mempengaruhi kepadatan poluasi kutu sisik tersebut penting untuk diketahui agar tindakan pengendalian yang dilakuakan oleh petani tepat sasaran dan tidak menimbulkan kerugian terutama bagi lingkungan. Untung (2007) menyatakan bahwa faktor – faktor yang mempengaruhi kepadatan populasi suatu spesies hama dalam suatu daerah dapat berbeda-beda. Oleh karena itu pengamatan kepadatan populasi hama kutu sisik serta faktor-faktor yang mempengaruhi seperti keberadaan musuh alami perlu dilakukan, agar keputusan pengendalian yang digunakan efektif dan efisien serta tidak mencemari lingkungan.
Januari 2015
Madiredo Kecamatan Pujon memiliki ketinggian 1.100 mdpl, suhu berkisar antara 19 – 20 0C dengan kelembaban udara 61% dan curah hujan rata-rata 2.310 mm per tahun (BPPP Kota Batu, 2010). Teknik pengambilan unit contoh Teknik pengambilan unit contoh yang digunakan merupakan hasil modifikasi dari penelitian Garcia-Mari dan Sorribas, 2010 (dalam Mellado, 2011). Di desa Bulukerto dan Madiredo di tentukan plot yang menjadi objek pengamatan kutu sisik. Unit contoh batang tanaman apel yang terserang kutu sisik diambil secara acak sebanyak 5 tanaman dari masing – masing lokasi penelitian. Menurut Mellado (2011) kutu sisik memiliki sebaran acak sehinggga pengambilan unit contoh yang paling baik adalah dilakukan secara acak. Wesley (1995) menyatakan bahwa untuk mengetahui sebaran populasi suatu spesies yang memiliki sebaran acak, dapat menggunakan teknik pengambilan unit contoh berdasarkan quadran, oleh karena itu dari masing- masing pohon diambil 4 batang tanaman terserang yang disesuaikan dengan arah mata angin yaitu arah utara, selatan, barat dan timur. Pengambilan unit contoh berdasarkan arah quadran ditujukan untuk mengetahui pengaruh arah sebaran angin terhadap sebaran populasi kutu sisik.
METODOLOGI Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai bulan Juni 2014. Metode pengamatan yang digunakan adalah metode survei. Penelitian dilakukan di dua tempat sentra pertanaman apel yaitu di desa Mardiredo kecamatan Pujon dan desa Bulukerto kecamatan Bumiaji. Varietas tanaman apel yang biasa ditanaman di Pujon adalah Manalagi, sedangkan di Bumiaji adalah varietas Romebeauty. Desa Bulukerto Kecamatan Bumiaji memiliki ketinggian 600 – 1.000 mdpl, suhu minimum 24 – 18 0C dan suhu maksimum 32 – 28 oC dengan kelembaban udara sekitar 75 – 98% dan curah hujan ratarata 3000 mm per tahun sedangkan Desa
Gambar 1. Desain sungkup yang digunakan untuk pengamatan populasi kutu siisk pada batang tanaman apel.
111
Muhlisin et al., Populasi Kutu Sisik Diaspidiotus Perniciosus Comstock …
Revision of Aphelinidae (Hymenoptera) In Egypt (Abd-rabou, 2002).
Pengamatan populasi kutu sisik Pengamatan populasi kutu sisik dilakukan dengan menghitung luasan batang unit contoh tanaman yang telah dipilih (dalam penelitian ini diambil panjang batang 10 cm) kemudian dikalikan dengan lingkar batang dari tiap batang unit contoh. Selanjutnya dilakukan perhitungan populasi kutu sisik dengan interval pengamatan seminggu sekali dibantu dengan kaca pembesar dan Handcounter. Untuk menghitung populasi kutu sisik pada buah, diambil satu unit contoh buah yang ada pada batang dan dihitung populasi kutu sisik pada saat buah muda dan sebelum dilakukan pemanenan. Selain itu juga dihitung intensitas serangan kutu sisik pada buah dengan menghitung total buah terserang dibagi total buah pada satu unit contoh pohon.
Analisis data Perbedaan populasi kutu sisik pada batang tanaman apel di Bumiaji dan Pujon dianalisis dengan uji T. Perbedaan populasi kutu sisik pada batang tanaman apel antara quadran pengambilan sampel dianalisis dengan uji Chi Square. Uji Chi Square berguna untuk menguji hubungan atau pengaruh arah kuadran pengambilan unit contoh terhadap sebaran populasi kutu sisik. Rumus uji Chi Square yang digunakan menurut Wismanto, 2007 yaitu:
χ² : nilai Chi Square f0 : frekuensi yang di observasi fh :frekuensi yang di harapkan
Pengamatan parasitoid Unit contoh batang yang telah terpilih dihitung jumlah koloni kutu sisik, kemudian batang tersebut di sungkup (Gambar 1) agar parasitoid yang memarasit tubuh hama kutu sisik tidak terbang keluar. Selanjutnya pengamatan parasitoid dilakukan setiap 3 hari sekali selama 4 minggu. Serangga atau parasitoid selain kutu sisik yang muncul dalam sungkup kemudian diambil dengan menggunakan aspirator, dan dimasukkan dalam fial film yang telah diberi alkohol 70%. Serangga yang tertangkap dibawa ke Laboratorium Hama, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang untuk di identifikasi. Identifikasi dilakukan dengan mengacu pada Resurrection of Aphytis (Hymenoptera: Aphelinidae), A Parasite Of Tea Scale, With Notes On A New Group Of Species (Rosen dan DeBach, 1977), Aphelinidae of India (Hymenoptera: Chalcidoidea): A Taxonomic Revision (Hayyat, 1998),
Perbedaan populasi dan intensitas serangan kutu sisik pada buah apel dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Perhitungan intensitas serangan D. perniciosus pada buah apel dihitung dengan rumus: Intensitas =
∑ buah terserang x 100% ∑ buah dalam satu pohon
Untuk mengetahui tingkat parasitasi terhadap kutu sisik maka dihitung jumlah kutu sisik yang terparasit menggunakan kaca pembesar dengan melihat ciri-cirinya yaitu perisai yang berlubang dan terdapat spot nekrotik pada perisainya (Mellado, 2011). Dari hasil perhitungan tersebut dibagi dengan total populasi kutu sisik dalam tiap unit contoh.
Rumus tingkat parasitasi D. perniciosus: Parasitasi =
112
∑hama terparasit x 100%
Jurnal HPT
Volume 3 Nomor 1
∑populasi hama satu sempel.
Januari 2015
karena pengendalian kutu sisik secara kimia yang dilakukan petani apel di Bumiaji lebih intensif dari pada petani apel di Pujon. Selain itu keadaan geografis terutama curah hujan juga mempengaruhi populasi kutu sisik. Kecamatan Bumiaji memiliki curah hujan 3.000 mm per tahun, sedangkan kecamatan pujon hanya memiliki curah hujan 2.310 mm per tahun (BPPP, 2010). Hal ini menyebabkan populasi hama kutu sisik lebih cepat berkembang di Pujon dari pada di Bumiaji. Mellado (2011) menyatakan bahwa populasi kutu sisik dapat berkembang pesat pada kisaran curah hujan 2.500 - 3.000 mm/tahun dengan kelembaban 70 %.
dalam
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan kepadatan populasi kutu sisik Hasil penelitian menunjukkan bahwa, terdapat perbedaan yang nyata dari rerata populasi kutu sisik pada batang apel di Desa Bulukerto Kecamatan Bumiaji dan Desa Mardiredo Kecamatan Pujon (p = 0,007). Hasil pengamatan rerata populasi kutu sisik pada batang tanaman apel (Tabel 1) di Pujon lebih tinggi dibandingkan rerata populasi kutu sisik di Bumiaji. Hal ini disebabkan
Tabel 1. Rerata populasi kutu sisik pada batang tanaman apel di Bumiaji dan Pujon pada bulan April – Juni 2014 Waktu pengamatan Rata-rata populasi kutu sisik per batang Pujon Bumiaji 24/04/2014 38 9 01/05/2014 72 21 14/05/2014 116 31 28/05/2014 168 37 11/06/2014 249 48 18/06/2014 285 59
Gambar 2. Rerata Populasi Kutu Sisik pada batang pohon apel Berdasarkan Arah kuadran pada bulan April – Juni 2014 Berdasarkan hasil pengamatan pengambilan unit contoh (Gambar 2), populasi kutu sisik sesuai arah kuadran terdapat perbedaan yang signifikan antara
113
Muhlisin et al., Populasi Kutu Sisik Diaspidiotus Perniciosus Comstock …
Rata-rata populasi kutu sisik yang menyerang buah apel di Bumiaji dan Pujon dan intensitas serangan kutu sisik pada buah pada masing-masing unit contoh tanaman disajikan pada Tabel 2. Rata-rata populasi dan intensitas serangan kutu sisik pada buah apel di Bumiaji lebih rendah dibandingkan dengan hasil pengamatan di Pujon. Hal ini disebabkan oleh pengendalian yang dilakukan petani di Bumiaji lebih intensif dari pada di Pujon. Penyemprotan insektisida berbahan aktif metomil 25% dan insektisida berbahan aktif Beta siflutrin rutin dilakukan setiap 5 hari sekali oleh petani Bumiaji agar serangan hama kutu sisik tidak menyebar luas, selain itu sanitasi buah yang terserang hama juga rutin dilakukan. Sedangkan di Pujon pengendalian yang dilakukan belum begitu intensif sehingga menyebabkan populasi dan intensitas serangan hama lebih tinggi.
populasi kutu sisik pada batang tanaman apel dengan arah kuadran yang berbeda (p = 0,021). Pada lokasi pengamatan di Pujon, pengambilan unit contoh kuadran timur terdapat populasi tertinggi yaitu 151 ekor per 10 cm batang. Selanjutnya diikuti oleh arah kuadran selatan sebanyak 139 ekor, kuadran barat 127 ekor, dan kuadran utara sebanayak 87 ekor. Di Bumiaji, populasi kutu sisik pada pengambilan unit contoh kuadran timur memiliki populasi tertinggi yaitu 38 ekor per 10 cm batang. Selanjutnya diikuti oleh arah kuadran barat dan utara yaitu sebesar 23 ekor dan arah kuadran selatan sebanyak 17 ekor. Rata-rata populasi kutu sisik tertinggi pada kedua lokasi pengamatan sama-sama terdapat pada kuadran timur. Hal ini disebakan oleh waktu penelitian yang dilakukan pada bulan April sampai Juni yang masih terjadi angin muson barat sehingga angin bertiup dari arah barat menuju arah timur (Azteria, 2009). Tiupan arah angin dari arah barat menuju arah timur menyebabkan populasi kutu sisik pada kuadran timur cenderung lebih tinggi dibandingkan arah kuadran barat, selatan dan utara. Arah tiupan angin merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap sebaran populasi kutu sisik. Stadia crawler dapat tersebar dari tanaman satu ke tanaman yang lain melalui angin (DeBach dan Rosen, 1991).
Pengamatan parasitoid Pengamatan terhadap parasitoid yang telah dilakukan di Desa Bulukerto Kecamatan Bumiaji dan Desa Madirejo Kecamatan Pujon menemukan parasitoid kutu sisik dari 3 genus yang berbeda yaitu Aphytis, Marietta, dan Promuscidea. Semua parasitoid yang ditemukan berasal dari Desa Madirejo Kecamatan Pujon.
Tabel 2. Rata-rata populasi kutu sisik perbuah dan intensitas serangan kutu sisik pada buah pertanaman sampel Lokasi
Bumiaji Pujon
Rata-rata populasi per buah Pengamatan ke-1 (x ± SD) 0,50 ± 0,22 4,80 ± 7,76
Pengamatan ke-2 (x ± SD) 1,00 ± 4,35 6,90 ± 9,17
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya yaitu penggunaan pestisida yang tinggi di Bumiaji menyebabkan tidak adanya parasitoid yang mampu
Intensitas serangan Pengamatan ke-1 ((x ± SD) 1,60% ± 0,14 17,60% ±0,02
Pengamatan ke-2 (x ± SD) 2,52% ± 0,15 22,23%± 0,02
bertahan hidup. Rosen dan DeBach (1979) menyatakan bahwa penggunaan pestisida sangat berpengaruh terhadap keberadaan musuh alami terutama
114
Jurnal HPT
Volume 3 Nomor 1
parasitoid. Faktor lain yang berpengaruh terhadap kemunculan parasitoid adalah curah hujan. Curah hujan yang tergolong tinggi (300 – 400 mm/ bulan) pada saat pengamatan dilakukan menyebabkan populasi parasitoid sangat rendah. Curah hujan, Suhu dan kelembapan memiliki peran yang penting bagi keberlangsungan hidup parasitoid (Mellado, 2011).
Januari 2015
dalam Mengkaji Terjadinya Monsun di Kawasan Barat Indonesia. Bogor: Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor. http://repository.ipb.ac.id/handle/1 23456789/60258. Diakses tanggal 28 Februari 2014. Bagus W. 2007. Dasar Statistika. Semarang. Penerbit ANDI. hlm. 2831 Blumberg, D. dan Luck, R. F. 1990. Differences in the ratio of superparasitism between two strains of Comperiella bifasciata (Howard) (Hymenoptera: Encyrtidae) parasitizing California Red Scale (Homoptera: Diaspidiae) an adaptation to circumvent encapsulation Annals of the Entomological Society of America, 83: 591- 597. Borer, E. T., Murdoch, W. W. and Swarbrick, S. L. 2004. Parasitoid coexistence: linking patial field patterns with mechanism. Ecology. hlm. 667-678. DeBach, P. dan Rosen, D. 1991. Biological control by natural enemies. Cambridge University Press. New York, USA. hlm. 2227. Forster, L. and Luck, R. 1996. The role of natural enemies of California red scale in an IPM program in California citrus. Proceedings of the International Society of Citriculture. 1: 504-507. Garcia-Mari. F dan Sorribas. J. 2010. Comparative efficacy of different combinations of natural enemis for the biological control of California red scale in citirus groves. Journal of the institusi agroforestry mediterania Valencia, 55: 42-48. Hayyat, M. 1998. Aphelinidae of India (Hymenoptera: Chalcidoidea. Memoirs on Entomology,
KESIMPULAN 1. Pertambahan rata-rata populasi kutu sisik pada batang pertanaman apel di Pujon adalah 49 crawler per minggu. Pertambahan rata-rata populasi kutu sisik di Bumiaji adalah 10 crawler per minggu. 2. Rata-rata populasi kutu sisik pada buah apel di Pujon adalah 6,9 per buah dengan intensitas serangan 22,23%. Rata-rata populasi kutu sisik pada buah apel di Bumiaji 1 ekor per buah dengan intensitas serangan 2,52%. 3. Parasitoid kutu sisik yang ditemukan yaitu Aphytis sp., Maeirtta sp., dan Promuscidea sp. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kepada Dr. Ir. Sri Karindah, Ms dan Dr. Ir. Bambang Tri Rahardjo, SU atas bimbingan, arahan dan dukungannya sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik. DAFTAR PUSTAKA Abdelrahman, I. 1974. Growth, development and innate capacity for increase in Aphytis chrysomphali Mercet and A. melinus DeBach, parasites of California red scale, Aonidiella aurantii (Mask.). Australian Journal of Zoology, 22: 213- 230. Azteria, V.2009. Pemanfaatan Data EAR (Equatorial Atmosphere Radar)
115
Muhlisin et al., Populasi Kutu Sisik Diaspidiotus Perniciosus Comstock …
Rhodesia. Publication Mazoe Citrus Experimental Station Annual Report. 5: 11-52. Rooper, T. 2007. Apple pest menegement for home gardenest. learningstore.uwex.edu/pdf/A2179. Diakses pada 10 Oktober 2014 Rosen, D. dan P. DeBach. 1979. Species of Aphytis of the world (Hymenoptera: Russian: Zoological Institute of The Academy of Science of The U.S.s.R. hlm. 250. Sembel, Dantje T. 2012. Dasar – Dasar Perlindungan Tanaman.Yogyakarta. Penerbit ANDI. hlm. 153-176. Smith, D. 1978. Biological control of scale insects on citrus in southeastern Queensland. Journal of the Australian Entomology Society, 17: 367-371. Soewarno, N. 1995, “Budidaya Tanaman Hortikultura” KhususnyaTanaman Buah-Buahan, Fak. Pertanian, Universitas Brawijaya. Malang. hlm. 156-160. Sunarjono, H. 2013. Berkebun 26 jenis tanaman buah. Jakarta. Penebar Swadaya. hlm. 156-160. Untung, K. 2007. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu, Edisi Kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hlm. 166-190. Wesley. A. 1995. Environmental Science Laboratory Manual. http://207.239.98.140/upperschool/s cience/classes/apes/text/activities/qu adrat0304.htm. Diakses pada 10 Oktober 2014. Yu, D. S., Luck, R. F. dan Murdoch, W. W. 1990. Competition, resource partitioning and coexistence of an endoparasitoid Encarsia perniciosi and an ectoparasitoid Aphytismelinus of the California red scale. Ecological Entomology, 15: 469-480.
International Volume 13. Gainesville, Florida. Hoyt, S.C. 1993 (updated 2010). San Jose Scale. Orchard Pest Management Online, Washington State University Tree Fruit research and Extension Center. http//ip30.eti.uva.ni/bis/diaspididae .php?menuentry=sooerten&selece d=bes hrijuing&id Diakses tanggal 28 Februari 2014. Huffaker. C. B. 1962. Biological Control of Olive Scale. California: University Of Calofornia. Annual review of entomology, 36: 611636. Kfir, R. dan R. F. Luck. 1979. Effects of constant and variable temperature extremes on sex ratio and progeny production by Aphytis melinus and A. lingnanensis (Hymenoptera: Aphelinidae). Journal of Ecological Entomology, 4: 335-44. Kota Batu Dalam Angka. 2010. Badan Pusat Statistik Kota Batu. Malang. Kozár, F., (1990). 1.1.5 Zoogeographical considerations. In: D. Rosen (ed.), Armoured scale insects, their biology, natural enemies and control.World Crop Pests. Elsevier, Amsterdam, the Netherlands. 4: 135-148. Maskell, W.M. 1896. (Aspidiotus perniciosus) Comstock, and (Aonidia fusca) Maskell: A question of identity or variation. Canadian Entomologist. 5: 74-82 Mellado. J. 2011. Biological control of California red scale, Aonidiella aurantii (Hemiptera: Diaspididae): spatial and temporal distribution of natural enemies, parasitism levels and climate effects. Instituto Agroforestal Mediterráneo. Valencia. hlm. 28-56 Parry-Jones, E., 1936. Bionomics and ecology of red scale in Southern
116