JURNAL KELUARGA-EDISI I 2018.INDD

Download Program KKbPK dalam SdKi 2017. (Foto: MPC BKKBN). Informasi Kependudukan, KB dan Pembangunan Keluarga. Peran BKKBn dI BalIK geraKan...

0 downloads 529 Views 29MB Size
Program Kkbpk dalam Sdki 2017

Informasi Kependudukan, KB dan Pembangunan Keluarga

Peran bkkbn di balik gerakan penanggulangan Stunting (Foto: MPC BKKBN)

Edisi Kesatu 2018, www.bkkbn.go.id/ISSN: 0304-9195

DAFTAR ISI

jendela Menko PMK Puan Maharani:

2

Menko PMK Puan Maharani (tengah), Menteri Kesehatan Nila A Moeloek (kanan) dan Kepala BKKBN Sigit Priohutomo mengangkat jari menyimbolkan slogan KB “2 Anak Cukup”: bersinergi dalam mendukung Program Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK). (Foto: Repro)

Kampung KB, Lokus Pembangunan Keluarga Kecil-Sejahtera kependudukan & kb

Dana Desa di Balik Program Pemberdayaan Keluarga

Berkaca pada Data Badan Pusat Statistik

8

LAPORAN UTAMA

Angka Sdki di Acara Diseminasi Hasil Penelitian Dari Forum Pakar dan Pemangku Kepentingan

Atasi Stunting Putus Lingkaran Kemiskinan

Bonus Demografi di Ajang Pilkada 2018

Menteri Kesehatan Nila A Moeloek

Tanya Jawab Keluarga

Menekan Stunting Melalui Program 1.000 HPK Plt Kepala BKKBN tentang Penanganan Stunting:

sosok

Lakukan Secara Simultan

Upaya Mencegah dan Menanggulangi Stunting:

Dari Istana Sampai Rumah Tangga

plesiran

Hantu Itu Bernama “Stunting”

Wisata Religi di Kampung KB Batu Merah

Inilah Pendapat Mereka

LAPORAN khusus Kedeputian Latbang BKKBN

Kembangkan Kolaborasi dengan Lembaga Peneliti Internasional

24

22

opini KONSULTASI KESEHATAN dr. Irma Ardiana MAPS Menjawab

31 32 34 36 40

PERSPEKTIF

Publisher Direktorat Advokasi dan KIE

Stunting

Penanggungjawab Sugiyono Redaktur Fabiola Tazrina Tazir Soetriningsih Annisa Halimatusyadiah Antonius Angkawijaya Dadi Ahmad R Penyunting/Editor Fimela A Didik Trihartanto Dwi Nurhayati Sancoyo Rahardjo Heru Subroto Desain Grafis Fajar Sidiq Aji Witono Sekretariat Samyono Siswanto Kurniasih Rika Utari Pembuat Artikel Irma Ardiana Anindita Dyah Sekarpuri Yudhistira Fotografer Yudi Aprianto Alamat Kantor Jl. Permata No. 1 Halim Perdanakusumah Jakarta Timur Telp/Fax. (021) 8008261, 8094703 Redaksi menerima tulisan terkait isu Kependudukan, Keluarga Berencana, dan Pembangunan Keluarga. Tulisan diketik 1,5 spasi, maksimal 3 halaman kwarto dan dikirim ke alamat/kantor redaksi atau email redaksi. email: [email protected] [email protected] [email protected]

S

tunting diartikan sebagai kekurangan gizi kronis pada balita dan anak. Sejak negeri ini merdeka dan hingga kini, kasus ini selalu saja ‘mencuat’. Ketika negara maju disibukkan dengan urusan anggaran untuk menangani kasus kelebihan gizi, negara berkembang, termasuk Indonesia justru sebaliknya. Meski angka prevalensi Stunting di Indonesia menurun, namun jumlah penderitanya masih terbilang banyak dan menyebar di kantong-kantong kemiskinan. Saat ini 9 juta balita dan anak mengalami Stunting. Secara persentase – 29 persen kasus Stunting yang terjadi saat ini – Indonesia berada di atas ambang batas 20 persen negara dengan kasus Stunting berdasarkan parameter WHO (World Health Organization - Badan Kesehatan Dunia). Ironisnya, 29 persen dari total kasus Stunting, justru terjadi pada keluargakeluarga berekonomi mapan. Ada sesuatu yang salah dalam pola asuh anak. Maka, tanpa intervensi, Indonesia dipastikan akan memiliki “generasi yang hilang”, karena Stunting menyebabkan kemunduran otak, termasuk tinggi badan pengidapnya. Sungguh tepat langkah pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan mengangkat masalah ini secara nasional melalui program penanganan Stunting di “100 kabupaten-kota dan 1000 desa” di 2018. Sebuah program percepatan dari

hanya delapan provinsi di 2017. Diproyeksikan, pada 2019 angka prevalensi Stunting akan turun ke level 28 persen. Dengan berbagai program percepatan dan terobosan, angka itu diyakini bakal tercapai, bahkan bisa jadi lebih rendah. BKKBN sendiri telah memulainya sejak dulu melalui program Bina Keluarga Balita (BKB), pola asuh, Pendewasaan Usia Perkawinan, dan Generasi Berencana (GenRe), serta program 1000 Hari Pertama Kehidupan. Program ini dapat berkontribusi dalam penurunan Stunting walaupun tidak ditujukan semata-mata untuk menurunkan kasus Stunting. Pada era kepemimpinan Plt. Sigit Priohutomo, BKKBN dipastikan akan lebih mempertajam dan membumikan upayaupaya penanganan Stunting. Karena ini memang menjadi salah satu domain atau lokus garapan sejak awal BKKBN didirikan. Bekerja di area yang sangat luas, memang sulit. Untuk itu, pemilihan wilayah garapan layak ditetapkan. Kampung KB di wilayah “100 kabupatenkota dan 1000 desa” bisa menjadi model penggarapan intervensi Stunting ala program Kependudukan, KB dan Pembangunan Keluarga. Itu akan segera dilakukan. Semoga saja percepatan penanganan Stunting segera terwujud, dan bangsa ini akan memiliki generasi berpotensi, berketahanan dan berkualitas kelak. Sugiyono

Jurnal Keluarga l

EDISI KESATU 2018

l

1

JENDELA

Menko PMK Puan Maharani:

Kampung KB, Lokus Pembangunan Keluarga Kecil-Sejahtera Keluarga Berencana tidak hanya dimaknai sebagai upaya pengendalian kelahiran semata. Akan tetapi juga membangun kesadaran setiap keluarga agar memiliki perhatian dan dukungan terhadap persoalan sosial budaya, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan yang memadai agar kehidupan keluarga menjadi sejahtera.

Menko PMK Puan Maharani ketika membuka Rakornas Program KKBPK 2018. (MPC BKKBN)

K



eluarga yang sejahtera tidak hanya berkaitan dengan pengen­ dalian kelahiran anak saja,” tan­ das Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebu­ dayaan (Menko PMK) Puan Maharani ketika mewakili Presiden Joko Widodo membuka Rapat Kerja Nasional Program Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) di Hotel Sahid Jakarta, pertengahan Februari lalu. Bagi Puan, program KB strategis dalam

2

konstelasi pembangunan nasional, dan karenanya Kampung KB merupakan salah satu inovasi strategis untuk menumbuhkan kegiatan-kegiatan prioritas program Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) bersama program pembangunan sektor lain. Seperti kesehatan, pendidikan, sosial, ekonomi, dan lainnya dengan mengedepankan partisipasi masyarakat setempat yang kelak menerima manfaatnya. ”Kampung KB sebagai lokus pem­

l Jurnal Keluarga l EDISI KESATU 2018

bangunan keluarga kecil dan sejahtera membutuhkan dukungan dan perlu bersinergi dengan kegiatan dan program Kementerian dan sektor lainnya,” cetus Puan. Saat ini Pemerintah sedang menyusun Rancangan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2019. Menurut Puan, kegiatan Rakornas ini merupakan kesempatan yang sangat baik untuk mensinergikan berbagai kegiatan Kementerian/Lembaga terkait ke dalam lokus Kampung KB.

JENDELA

Plt Kepala BKKBN Sigit Priohutomo memberikan plakat BKKBN kepada Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brojonegoro dan salah seorang pembicara Rakernas Program KKBPK. (MPC BKKBN)

Kegiatan ini, lanjut Puan, dapat menjadi forum untuk menyinergikan kegiatan dari Kementerian yang diperlukan, target yang mampu dilakukan sesuai dengan kapasitas fiskal APBN, peran pemerintah daerah dan substansi lainnya yang perlu dimasukkan RKP 2019. Dengan begitu Kampung KB di tahun 2019 berisikan program-program yang terintegrasi. Menurut Puan Maharani, BKKBN yang memiliki petugas lapangan KB (PKB/ PLKB) dan pendamping (kader), memiliki potensi di dalam mengawal pembinaan keluarga Indonesia. Melalui Pendamping dan Petugas lapangan, BKKBN dapat mengoptimalkan pembinaan keluarga dalam mengakses layanan kesehatan, layanan pendidikan, pemberdayaan ibu, pemberdayaan ekonomi dan pembinaan hidup sehat dengan gizi yang baik. “Diharapkan sinergitas program di Kampung KB dengan pendampingan PKB/PLKB dapat mengoptimalkan pembinaan keluarga dalam mengakses

Cak Lontong sebagai penyuluh KKBPK dalam kegiatan Rakornas KBPK 2018. (MPC BKKBN)

angka fertilitas total (TFR) sebesar 2,4. Artinya, setiap wanita Indonesia ratarata melahirkan 2,4 anak selama masa reproduksinya. TFR hasil SDKI 2017 ini menurun dibandingkan hasil SDKI 2012, yaitu sebesar 2,6 anak per wanita. Penurunan TFR ini juga diikuti oleh kenaikan angka prevalensi kontrasepsi (CPR) dari 61,9 persen pada tahun 2012 menjadi 63,6 persen pada tahun 2017. Untuk itu Sigit berharap Rakornas ini dapat memperkuat komitmen bang­ sa untuk menempatkan program KKBPK sebagai program strategis dalam pem­ bangunan karakter. Ini guna menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara, sesuai dengan tema Rakornas KKBPK Tahun 2018 “Penguatan Integrasi Program Lintas

Suasana Rakornas Program KKBPK 2018. (MPC BKKBN)

layanan kesehatan, layanan pendidikan, pemberdayaan ibu, pemberdayaan ekonomi dan pembinaan hidup sehat dengan gizi yang baik,” harap Menko PMK. Puan mengatakan, tahap kedua setelah pembangunan infrastruktur adalah pembangunan sumber daya manusia. Keberhasilan program keluarga berencana akan memberikan manfaat bagi generasi masa depan dan negara dalam mengelola kehidupan yang lebih sejahtera. SDKI 2017 Plt Kepala BKKBN Sigit Priohutomo dalam laporan penyelenggaraan Rakornas 2018 mengemuk ak an, hasil Sur vei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) Tahun 2017 menunjukkan bahwa

Sektor di Kampung KB Guna Mempercepat Ter wujudnya Kualitas Sumber Daya Manusia.” Hadir dalam pembukaan Rakornas KKBPK antara lain Menteri Kesehatan Nila A Moeloek, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brojonegoro, Kepala Staf Umum TNI, para mantan kepala dan sesepuh BKKBN, para pejabat tinggi madya BKKBN dan kementerian/lembaga. Rakornas ini juga dihadiri para pimpinan tinggi pratama BKKBN Pusat dan Provinsi, para kepala organisasi perangkat daerah program KKBPK Provinsi dan Kabupaten/ Kota seluruh para pimpinan organisasi swadaya masyarakat, organisasi profesi, pusat studi dan mitra strategis BKKBN. (her)

Jurnal Keluarga l

EDISI KESATU 2018

l

3

JENDELA

Plt Kepala BKKBN Sigit Priohutomo memukul gong di pembukaan Rakornis Mitra Kerja BKKBN di Jakarta, 27 Februari 2018. (MPC BKKBN)

Dana Desa di Balik Program Pemberdayaan Keluarga

K

eberhasilan pembangunan di Indonesia, khususnya hasil pembangunan dengan Dana Desa, perlu diimbangi dengan kegiatan operasional di desa. Badan Kependudukan, dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) diharapkan ikut ambil bagian di dalamnya. Pernyataan itu dikemukakan Prof Dr Haryono Suyono selaku Ketua Dewan Pakar Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemdes PDTT) di depan peserta Rapat Kerja Teknis (Rakornis) Mitra Kerja BKKBN di Jakarta, pertengahan Februari lalu. Dia pun memberikan gambaran bahawa jalan desa yang telah dibangun pada 2015 sepanjang 22,9 ribu km, pada 2016 (66,9 ribu km) dan 2017 (109,3 ribu km); jembatan pada 2015 sepanjang 234,4 km, pada 2016 (511,9 km) dan 2017

4

sepanjang 852,2 km. Sambungan air bersih 2015 sebanyak 5.831 unit, pada 2016 (16.295 unit) dan pada 2017 sebanyak 303.473 unit. Embung desa 255 unit (2015), 686 unit (2016) dan pada 2017 sebanyak 3.715 unit. PAUD desa pada 2015 sebanyak 3.005 unit, 2016 (11.926 unit) dan 28.792 unit pada 2017. Sumur dan MCK 26.704 unit pada 2015, 51.402 unit (2016) dan pada 2017 sebanyak 264.031 unit. Drainase pada 2015 sebanyak 37.832 unit, 2016 (78.594 unit) dan 182.919 unit pada 2017. Mantan Menko Kesra dan Taskin/ Kepala BKKBN ini mengajak semua pihak untuk mengisi hasil pembangunan sarana tersebut dengan menyukseskan Germas, merevitalisasi Posyandu maupun Polindes, mendukung kebun bergizi dan Posdaya. “Di sini saya tegaskan jangan uthik-uthik Posyandu dengan lima meja. Enggak usah

l Jurnal Keluarga l EDISI KESATU 2018

ditambah. Kita lebih menekankan pada perbaikan gizi ibu hamil dan balita agar tidak terkena Stunting,” tutur Prof Haryono. “Kita juga harus kirim anak balita ke PAUD, menggiatkan pedidikan dan olah raga remaja. UPPKS dan koperasi kita kembangkan sebagai bagian dari produk unggulan kawasan perdesaan (prukades) dan BUMDes serta mengembangkan program lansia sejahtera,” tambahnya. Prof Haryono juga mengajak semua pihak untuk mempersiapkan gerakan membangun keluarga. “Ini sesuai dengan BKKBN. Ajak semua sektor membantu keluarga. Ajak semua instansi masuk ke desa. Undang mereka saat merayakan hari bhakti mereka ataupun merayakan hari besar nasional. Misalnya Hari Anak Nasional, Hari Koperasi, Hari Pendidikan dan setiap peringatan Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus.” “Co b a, K am p ung K B ju g a a ktif

JENDELA

Penyerahan penghargaan kepada sejumlah Kepala Perwakilan BKKBN oleh Plt Kepala BKKBN Sigit Priohutomo. (MPC BKKBN)

memasang spanduk menyambut harihari besar tersebut. Suasana akan gegap gempita dan warga desa akan ikut bangga,” tuturnya dengan suara ‘menggeledek’. “Kalau perlu setiap kementerian dan lembaga bila menggelar seminar dan sejenisnya, adakan di desa. Pusatkan di desa,” tambahnya. Menurut catatan Jurnal Keluarga, BKKBN pernah menggelar kegiatan pertanian, koperasi, keluarga berencana (Pertasikencana) pada tahun 1980-an pada peringatan Hari Bhakti Koperasi 12 Juli, di Desa Tayu, Kabupaten Pati (Jawa Tengah).

Ajak semua sektor membantu keluarga. Ajak semua instansi masuk ke desa. Undang mereka saat merayakan hari bhakti mereka ataupun merayakan hari besar nasional

Plt Kepala BKKBN Sigit Priohutomo melakukan penandatanganan dengan mitra kerja Kampung KB. (MPC BKKBN)

Semua pejabat pusat maupun daerah di seluruh Indonesia dari ketiga instansi tersebut ‘tumpek bleg’ datang ke Tayu dan mereka menginap di rumahrumah penduduk. Kegiatan seminar juga diselenggarakan di desa, sehingga desa ini benar-benar ‘kejatuhan rejeki’ bagaikan pasar malam. Warung-warung dadakan didirikan oleh masyarakat dengan sajian camilan khas kampung. Laris manis ‘ruar biasa’. Dalam kaitan ini Haryono Suyono

mengajak untuk menerapk an dan memperbaiki delapan fungsi keluarga yang dikaitkan dengan 17 sasaran SDG’s. Tujuh belas sasaran SDG’s antara lain pengentasan kemiskinan, penghapusan kelaparan, pendidikan, kesehatan anak, kesehatan ibu, penyakit menular, lingkungan dan kekayaan hayati. Sementara 8 Fungsi Keluarga adalah cinta kasih, perlindungan, kesehatan dan KB, pendidikan, ekonomi (wirausaha), dan fungsi lingkungan hidup. Adapun langkah dukungan strategis

Jurnal Keluarga l

EDISI KESATU 2018

l

5

JENDELA produk lokal. Mereka diberi pelajaran keterampilan untuk menghasilkan produk laku jual dan mendapatkan untung,” ujarnya.

yang dilakukan meliputi peningkatan komitmen semua sektor, jaringan kabu­pa­ ten perlu digeser ke desa, mem­bangkit­kan partisipasi semua sektor serta KIE di desa. “Yang perlu dilakukan, coba permudah pelayanan KB Mandiri, tingkatkan pem­ berdayaan keluarga miskin. Tawarkan dan usahakan agar peta keluarga di seluruh desa sempurna dan selalu diperbarui. Di sini Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) sangat berperan dan bersahabat dengan pendamping dan relawan desa mendampingi pengembangan ekonomi perdesaan.” “Ini dilakukan melalui pemberdayaan kekuatan ekonomi warga dan mem­per­ lancar pemberdayaan keluarga dengan berbasis pada SDG’s,” ujarnya.

Prof. Haryono Suyono. (MPC BKKBN)

Peta keluarga Prof Haryono mengajak BKKBN ber­ sama dinas dan organisasi kemasyarakatan dan Kemendes PDT T memanfaatkan adanya Dana Desa. “Ajak juga perguruan tinggi untuk mengirim mahasiswa berKKN di desa. Mereka diajak berpartisipasi dengan memperhatikan peta keluarga yang dibuat oleh PKLB dan masyarakat, lengkap dengan indikatornya. Mahasiswa dan Dosen Pembimbing mengadakan KKN dengan laporan melalui seminar dan tulisan ilmiah.” “ Tawarkan peta keluarga sebagai pedoman sasaran pemberdayaan keluarga prasejahtera dan sejahtera I atau keluarga misk in. Yak ink an kepala desa agar mempergunakan peta sebagai pedoman semua pembangunan di desa. Dorong pembangunan terpadu di desa,” Prof Haryono berpesan. Desa, menurut Prof Haryono, perlu

mengembangkan produk unggulan kawasan perdesaan (prukades) dalam meningkatkan skala ekonomi berbasis teknologi dan inovasi. “Pusatkan, misalnya lahan pertanian di satu tempat, sehingga bisa ditangani oleh traktor ukuran besar. Juga pembentukan BUMDes untuk menciptakan iklim usaha kondusif, penyediaaan sarana dan prasarana pasca panen. Hal ini perlu dibarengi de­ ngan peningkatan kapasitas manjemen, perluasan akses pasar, peningkatan skala ekonomi dan bantuan modal.” “Buatlah embung desa, selain untuk pertanian juga bisa sebagai lahan perikanan dan wisata. Sarana olah raga desa jangan disepelekan. Manfaatkan untuk kegiatan keluarga muda, bina mereka dengan menyajikan warung dan kegiatan bisnis. Keluarga muda, termasuk anaknya, diajak olah raga secara teratur, sekaligus memanfaatkan kegiatan untuk menjual

Suasana Rakornis bersama mitra kerja BKKBN. (MPC BKKBN)

6

l Jurnal Keluarga l EDISI KESATU 2018

Pelayanan KB Mudah Prof Haryono tak lupa berpesan. “Saya berpesan, pelihara data yang up to date sehingga keluarga muda prasejahtera selalu diikutsertakan di setiap ada upaya pemberdayaan. Siapkan keluarga muda prasejahtera untuk rajin belajar dan berlatih agar selalu siap ikut berbagai kesempatan.” Mantan Menteri Negara Kependudu­ kan/Kepala BKKBN ini mengingatkan perlunya dukungan ‘pelayanan KB mudah dan pelayanan kontrasepsi mudah’ untuk semua keluarga. Juga penting untuk menyempurnaan pelatihan bidan bagi pelayanan kontrasepsi yang mudah dan tersedia di mana pun, serta meyakinan semua keluarga bahwa kontrasepsi apapun baik bagi setiap ibu. “Utamakan keluarga mudah mendapat pelayanan kontrasepsi dan pemberdayaan dengan sempurna. Perhatikan keluarga akseptor yang petani menjadi pelaku, pelopor dan penggerak Prukades dan BUMDes yang gigih dan berhasil,” tambah Prof Haryono Suyono. Dampak luar biasa Ketua IV Bidang Kesehatan Keluarga dan Lingkungan Tim Penggerak (TP) PKK, Laksmi Widiastuti, dalam paparannya mengatakan selama ini TP PKK sepenuhnya berperan aktif ikut menyukseskan program Kampung KB. Sementara itu, mitra abadi BKKBN, TNI, yang disuarakan utusan Kepala Staf Umum TNI dalam acara tersebut menegaskan bahwa masalah kependudukan mempunyai dampak dan efek yang luar biasa apabila tidak dikendalikan, terutama menyangkut kemiskinan dan pengangguran. Untuk itu, Mabes TNI mengimbau seluruh stakeholder, termasuk institusi terkait serta sesama mitra kerja, untuk menjadikan program KKBPK milik bersama, d e n g a n m e n g e m b a n g k a n m e to d e komunikasi informasi dan edukasi kepada sasaran pasangan usia subur yang belum ber-KB agar menjadi peserta KB. Mabes TNI telah menetapkan bahwa Program Manunggal TNI-Kes KKBPK mulai tahun ini akan ditingkatkan intensitasnya. Kegiatan ini merupakan kontribusi TNI dan BKKBN agar pertumbuhan penduduk seimbang dengan daya dukung yang tersedia, sehingga akan terwujud bangsa yang kuat, makmur dan sejahtera. (her/sara)

JENDELA

Rakornis Kemitraan 2018

Menanti Intervensi Berbagai Sektor di Kampung KB

H

ingga saat ini Kampung KB telah dicanangkan di 7.657 lokasi, tersebar di berbagai kabupaten dan kota di seluruh ndonesia. Sayangnya belum semua sektor melibatkan diri di dalamnya. Ketika membuka Rapat Koordinasi Tek nis (Rakornis) Kemitraan Tahun 2018 di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BKKBN dr. Sigit Priohutomo, MPH mengemukakan hal itu, sejalan dengan tema Rakornis “Melalui Sinergitas Kegiatan Mitra Kerja Di Kampung KB, Kita Tingkatkan Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga”. Dalam Rakornis yang digelar BKKBN ini, Sigt mengatakan, pembentukan Kampung Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu bentuk upaya nyata pelaksanaan program Kependuduk an, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) dalam upaya mewujudkan 9 Agenda Prioritas Pembangunan (Nawa Cita). Termasuk juga pelaksanaan Strategi Pembangunan Nasional 2015-2019. “Dari laporan Pelaksanaan Program dan Kegiatan di Kampung KB dari awal pencanangan di Cirebon, Jawa Barat, oleh Presiden Joko Widodo dua tahun lalu sampai dengan saat ini, Kampung KB telah dicanangkan di 7.657 lokasi yang tersebar di kabupaten dan kota di seluruh Indonesia,” ungkap Sigit. Sigit mengatakan, sebagian Kampung KB baru berisi kegiatan, seperti layanan KB, kesehatan, dan PKK. Program dari sektor lain yang mengarah pada pembangunan sumber daya manusia belum banyak yang terintegrasi di dalamnya. Maka, peningkatan kualitas Kampung KB menjadi salah satu prioritas BKKBN di 2018. “Dukungan komitmen yang bersinergi dan terpadu dari para pemangku kepen­ tingan dan mitra kerja diperlukan secara operasional, mulai dari tingkat pusat hingga ke lini lapangan. Ada sekurangnya 119 kemitraan, dan jumlah ini akan terus bertambah. Seluruh sektor di pusat dan

Ketua TIm Penggerak PKK Provinsi Jambi, Hj. Sherrin Tharia Zola. (repro)

Ketua TIm Penggerak PKK Provinsi Bangka Belitung, Melati Erzaldi. (repro)

daerah dapat terintegrasi bekerja sama dan teraplikasikan dengan baik terutama di daerah. Ini butuh dorongan dari pusat,” kata Sigit.

berharap semua stakeholder yang ada, satu pemikiran satu visi, satu misi,” ajaknya. Disamping itu, Sherrin mengemukakan bahwa peran tokoh agama dan tokoh adat juga sangat penting dalam menyukseskan program KB. “Tokoh agama dan tokoh adat juga harus kita gandeng,” tutur Sherrin. TP PKK Provinsi Jambi sendiri telah mengadakan Desa Percontohan PKK di seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Jambi. Seluruh program PKK, termasuk yang berkaitan dengan Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga diterapkan di dalamnya. Sementara Melati Erzaldi, Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi Bangka Belitung terlihat begitu antusias mengikuti kegiatan yang dimulai dari pukul 09.30 wib tersebut. Besar harapannya agar seluruh desa/kam­ pung di Provinsi Bangka Belitung dapat menjadi Kampung KB guna mewujudkan sumber daya manusia dan keluarga yang berkualitas. Pada pembuk aan Rakornis juga diberikan penghargaan kepada lembaga diklat Kampung KB terbaik. Ada 13 provinsi yang mendapat penghargaan. Provinsi Yogyakarta, Sulawesi Tenggara, dan Jawa Barat merupakan tiga provinsi yang mendapat nilai akreditasi teratas. (san)

TP PKK: Satu Visi-Misi Sementara itu, Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi Jambi, Hj. Sherrin Tharia Zola, di sela-sela acara Rakornis mengingatkan agar seluruh mitra kerja PKK, baik dari pemerintahan maupun non pemerintahan bisa meningkatkan kerjasama untuk melaksanakan seluruh program kerja KB dan Pembangunan Keluarga yang telah dirancang. “Dengan sinergi dan kerjasama, pelaksanaan program akan lebih mudah dan terarah,” ujarnya. Sherrin menyatakan bahwa program KB dan Pembangunan Keluarga sangat baik bagi masyarakat, upaya untuk membangun keluarga, meningkatkan kualitas keluarga, dengan mulai merencanakan jumlah dan program anak. “KB ini untuk memudahkan orangtua juga. Pemikiran praktisnya dua anak cukup, dari segi ekonomisnya juga lebih mudah untuk masyarakat,” ungkap Sherrin. Sherrin berharap, sinergi seluruh mitra KB akan meningkat sehingga realisasi program KB akan lebih baik, yang juga berpengaruh terhadap pembangunan daerah. “Kita

Jurnal Keluarga l

EDISI KESATU 2018

l

7

LAPORAN UTAMA

Atasi Stunting Putus Lingkaran Kemiskinan Para ekonom terkenal dunia mengidentifikasi strategi paling cerdas dalam berinvestasi, yaitu investasi untuk perbaikan status gizi penduduk. Investasi pada gizi dapat membantu memutus lingkaran kemiskinan dan meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) negara-negara hingga 3% per tahun.

Menko PMK Puan Maharani. (repro)

I

nvestasi sebesar 1 dolar AS pada gizi dapat menghasilkan kembalinya 30 dolar AS dalam peningkatan kesehatan, pendidikan dan produktivitas eko­ nomi. Demikian ditegaskan dalam Doku­ men The Copenhagen Consensus 2012. Perbaikan gizi antara lain akan mencegah terjadinya Stunting. Menteri Koordinator bidang Pem­ bangunan Manusia dan Kebudayaan

8

Menteri Kesehatan Nila A Moeleok. (MPC BKKBN)

(Menko PMK) Puan Maharani berpendapat penanganan masalah Stunting harus dilakukan secara sinergis. Karenanya, penanganannya harus dilakukan secara keroyokan oleh pihak-pihak terkait yakni 13 kementerian dan lembaga secara terkoordinir. Sementara Menteri Kesehatan Nila A Moeloek yang juga hadir pada R akornas Program Kependuduk an,

l Jurnal Keluarga l EDISI KESATU 2018

Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) di Jakarta, Selasa (13/2) mengemukakan sekitar 37% (9 juta) anak Indonesia mengalami Stunting di seluruh wilayah dan lintas kelompok pendapatan. Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya atau otak tidak berkembang dengan baik. Kekurangan gizi kronis terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah anak lahir. Tetapi Stunting baru nampak setelah anak berusia dua tahun. Balita pendek (Stunting) ditandai dengan kondisi fisik panjang badan atau tinggi badan anak lebih pendek dari anak normal seusianya. Dengan kata lain, seorang anak dinyatakan Stunting apabila tinggi badan yang dimiliki berada di bawah dua kali standar deviasi.

Sebab masalah Stunting tidak hanya masalah gizi dan kesehatan, tapi juga terkait dengan cara hidup dan pemenuhan sarana prasarana dasar masyarakat

LAPORAN UTAMA

Dewan Pembina Perhimpunan Dokter Gizi Medik Indonesia (PDGMI) Prof. dr Fasli Jalal. (MPC BKKBN)

Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brojonegoro. (MPC BKKBN)

Dalam berbagai kesempatan Menko Puan juga mengemukakan penurunan jumlah Stunting dilakukan dengan inter­ vensi belasan kementerian dan lembaga secara terkoordinir. Sebab masalah Stunting tidak hanya masalah gizi dan kesehatan, tapi juga terkait dengan cara hidup dan pemenuhan sarana prasarana dasar masyarakat.

Dikatakan, hasil penurunan angka Stunting sejauh ini sudah sesuai target. Pada 2016, angka Stunting di atas 27,5 persen dan pada 2017 sudah turun menjadi 27,5 persen, sementara target yang disasar pada 2018 sebesar 29 persen. “Walau begitu kita tetap harus buat sinergi dan gebrakan percepatan menurunkan angka Stunting,” ungkapnya. Menurut Menteri Perencanaan Pem­

Kemiskinan

& Makanan

penduduk miskin indonesia

10 0-

10,12%

Maret 2017

26,58

20 -

10,64%

27,77

Juta Jiwa 30 -

bangunan/Ketua Bappenas Bambang Brojonegoro, pihaknya juga masuk dalam penanganan Stunting agar semua program bisa diakomodir dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Sebab Indonesia ingin mengejar standar WHO (Badan Kesehatan Dunia) dengan Stunting minimal 20 persen. Bambang mengingatkan, yang ter­ penting dalam penanggulangan Stunting adalah penanganan kemiskinan. Untuk itu pemerintah harus memberikan perhatian khusus terhadap penurunan angka kemiskinan. Penting menjadi perhatian karena menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), saat ini jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 26,58 juta orang (10,12 persen) Seperti diketahui, pada 2017 anggaran penanganan Stunting sekitar Rp 7 triliun. Dana ini dialokasikan untuk sejumlah kabupaten dan kota percontohan. Di 2018, program ini diperluas dan menyentuh 1.000 desa di 100 kabupaten dan kota. Menurut Dewan Pembina Perhimpunan Dokter Gizi Medik Indonesia (PDGMI) Prof. dr Fasli Jalal, Stunting harus dapat ditekan maksimal 20 persen seusai parameter dunia. Di atas itu, sebuah negara akan tergolong sebagai negara yang memiliki persoalan Stunting. (heru/sara)

Berkurang sebesar 1,19 juta jiwa

Peranan komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan p e ra n a n k o m o d i t i b u k a n m a k a n a n (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Sumbangan Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis Kemiskinan pada September 2017 tercatat sebesar 73,35 persen. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan kondisi Maret 2017 yaitu sebesar 73,31 persen.

September 2017

penduduk miskin perkotaan 10,67 juta / 7,72% Maret 2017

10,67 juta / 7,26%

Berkurang sebesar

401,28 ribu jiwa

September 2017 Penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan

penduduk miskin pedesaan 17,10 juta / 13,93% Maret 2017

16,31 juta / 13,47%

Berkurang sebesar

768,95 ribu jiwa

September 2017 Sumber: BPS 2017

Jenis komoditi mak anan yang berpengaruh besar terhadap nilai Garis Kemiskinan di perkotaan maupun di pedesaan: Beras, rokok kretek filter, daging sapi, telur ayam ras, daging ayam ras, mie instan, dan gula pasir. Sementara komoditi nonmakanan yang berpengaruh besar terhadap nilai Garis kemiskinan di perkotaan maupun pedesaan: Pe r u m a h a n , b e n s i n , l i s t r i k , pendidikan, dan perlengkapan mandi.

Jurnal Keluarga l

EDISI KESATU 2018

l

9

LAPORAN UTAMA

Menteri Kesehatan Nila A Moeloek

Menekan Stunting Melalui Program 1.000 Hpk

K

unci menghindarkan anak dari kasus Stunting adalah melalui Program 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Bila berjalan optimal dengan gizi tepat, ditambah dengan pencegahan penyakit; anak akan mengalami tumbuh kembang secara optimal. Program 1000 HPK meliputi intervensi sensitif berupa penyediaan akses dan ketersediaan air bersih serta sarana sanitasi (jamban sehat) di keluarga, pelaksanaan fortifikasi bahan pangan, pendidikan dan KIE Gizi Masyarakat. Juga pemberian pendidikan dan pola asuh dalam keluarga, pemantapan akses dan layanan KB, penyediaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan jaminan persalinan serta pemberian edukasi Kespro. Intervensi spesifik meliputi suplementasi tablet Besi Folat pada ibu hamil (Bumil), Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Bumil, promosi dan konseling IMD dan ASI eksklusif, pemberian Makanan Bayi dan Anak (PMBA), pemantauan pertumbuhan di Posyandu, pemberian imunisasi, pemberian Makanan Tambahan Balita Gizi Kurang, pemberian Vitamin A dan pemberian obat cacing pada Bumil. Ketika tampil berbicara pada Rapat Koordinasi Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) tahun 2018, Menteri Kesehatan Nila A Moeloek menjelaskan bahwa Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan intervensi paling menentukan pada 1000 HPK. Praktik pengasuhan yang tidak baik, kurang pengetahuan tentang kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan, 60% dari anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan ASI eksklusif, 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima MP-ASI,” ujar Menkes. Juga terbatasnya layanan kesehatan, termasuk layanan ANCAnte Natal Care, Post Natal dan pembelajaran dini yang berkualitas. Kenyataannya 1 dari 3 anak usia 3-6 tahun tidak terdaftar di PAUD, 2 dari 3 ibu hamil belum mengonsumsi suplemen zat besi yang memadai. Menurunnya tingkat kehadiran anak di Posyandu (dari 79% di 2007 menjadi 64% di 2013), tidak mendapat akses yang memadai pelayanan imunisasi. Faktor lain, kurangnya akses ke makanan bergizi, 1 dari 3 ibu hamil anemia, makanan bergizi mahal, kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi dan data menyebutkan 1 dari 5 rumah tangga masih BAB di ruang terbuka, 1 dari 3 rumah tangga belum memiliki akses ke air minum bersih.

Situasi dan Status Menkes menjelaskan masalah gizi masyarakat (kurang gizi, Stunting, obesitas) terjadi pada semua strata ekonomi masyarakat di pedesaan maupun perkotaan. Implikasi persoalan ini berkaitan dengan bonus demografi maupun produktivitas serta daya saing bangsa pada masa yang akan datang. Hal yang mendasari bukan hanya kemiskinan masyarakat, tetapi juga tentang makanan sehat dan zat gizi yang diperlukan pada semua kelompok usia.

10

l Jurnal Keluarga l EDISI KESATU 2018

Menteri Kesehatan Nila A Moeloek. (repro)

Kepada Jurnal Keluarga, Menkes mengatakan pada 2011 Indonesia bergabung dengan SUN Global Movement, yakni inisiatif Global di bawah koordinasi Sekjen PBB untuk menurunkan proporsi penduduk yang menderita masalah gizi. Menyinggung mengenai target pada 2025, Menkes mengatakan pemerintah antara lain menargetkan menurunkan balita Stunting sebesar 40%, menurunkan balita kurus (wasting) sekitar 5%, menurunkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) 30%, tidak ada kenaikan persentase anak gizi lebih, menurunkan wanita usia subur (WUS) anemia 50%, dan meningkatkan ASI eksklusif paling kurang 50%. Menkes juga mengharapkan peran stakeholder, antara lain mitra pembangunan untuk mendukung gizi sebagai isu prioritas nasional dan daerah, mendorong kerja sama antar negara, serta kerja sama dan bantuan teknis. “Dari lembaga sosial kemasyarakatan (LSK) integrasikan Program 1000 HPK ke dalam program LSK, perkuat keterkaitan LSK dengan pemerintah dan advokasi untuk mendukung program tersebut,” ujar Menkes, seraya meminta agar semua elemen masyarakat mendukung program 1.000 HPK melalui gerakan. Menkes juga minta dunia usaha ikut memfasilitasi dalam Program 1000 HPK, misalnya melalui program corporate social responsibility (CSR) untuk perbaikan gizi, dan tukar menukar pengalaman, termasuk penggunaan teknologi inovasi. Sementara organisasi profesi dan akademisi bisa meng­ implementasikan Tri Darma Perguruan Tinggi dalam perbaikan gizi, meningkatkan mutu pelayanan gizi yang profesional dan memberikan masukan berdasarkan hasil penelitian. (her)

LAPORAN UTAMA

Plt Kepala BKKBN tentang Penanggulangan Stunting:

Lakukan Secara Simultan

P

enanggulangan Stunting hanya akan berhasil jika dilakukan secara simultan di berbagai sektor. Kepada Jurnal Keluarga Plt Kepala BKKBN Sigit Priohutomo menegaskan hal itu di sela-sela acara program Kepen­ duduk an, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) di Jakarta, beberapa waktu lalu. Apa saja itu? Menurut Sigit, sebelumnya ada delapan kabupaten yang mendapat intervensi khusus dalam upaya menurunkan angka Stunting di 2017. Pada 2018, sesuai program nasional, jumlahnya bertambah menjadi 100 kabupaten dan kota yang mendapat intervensi khusus dengan fokus 1000 desa tertinggal. Sigit mengatakan, sinergi telah diakukan pemerintah dalam penang­ gulangan Stunting. Setidaknya telah dibangun sinergi 13 kementerian. Misalnya, dengan Kementerian Desa yang mengurus Dana Desa. Penggunaan Dana Desa bisa diarahkan juga untuk memberi intervensi menangani Stunting di desa tertinggal. “Nantinya akan terukur bahwa Stunting berkurang dan manfaat Dana Desa terasa. Ekonomi masyarakat lebih maju dan masyarakat sejahtera. Dengan demikian Stunting juga bisa ditekan,” ujarnya. Stunting bukan semata-mata soal gizi anak, tapi terkait kualitas SDM dan sarana kebutuhan sosial masyarakat. Karenanya, ada pembagian penanggulangan Stunting. Pertama, intervensi spesifik yang dikoordinasikan melalui Kemenkes. Ini terkait misalnya ibu hamil, ibu menyusui, masalah asupan makanan bergizi dan makanan tambahan dan sebagainya. Intervensi kedua, terkait gizi sensitif yang dikoordinasi oleh 11 kementerian. Di sini lebih pada penanggulangan yang di dalamnya juga terkait pemenuhan sarana sosial dasar bagi masyarakat. Pemerintah berhasil menurunkan angka balita yang menderita Stunting. Penurunan ini merupakan hasil kontribusi

Sigit juga mengemukakan bahwa dua program intervensi yang dilakukan BKKBN ikut mengambil bagian dalam oleh pemerintah. penanggulangan Stunting melalui Menurut catatan Jurnal Keluarga, sejumlah program. Di antaranya 1000 program pertama adalah pemberian beras Hari Pertama Kelahiran terkait program sejahtera (rastra). Program ini ditujukan Bina Keluarga Balita (BKB). Termasuk untuk memenuhi kecukupan kalori. Setiap juga melalui program keluarga penerima manfaat diberikan jatah Pendewasaan Usia 15 kg beras. Perkawinan dan Selanjutnya Program Keluarga Harapan pengendalian (PKH). Di dalam program ini, setiap pertumbuhan penerima manfaat akan memperoleh penduduk bantuan sebesar Rp 1,89 juta per tahun. melalui pro­ Melalui kedua program inter vensi gram KB. pemerintah ini, angka balita Stunting (heru/sara) diharapkan dapat diturunkan kembali. “Stunting tidak hanya berdampak pada kesehatan anak. Lebih jauh, Stunting berdampak pada perilaku, kecerdasan, hingga nantinya pada jangka panjang adalah pendapatan seseorang,” kata Sigit. Menurut Sigit, berda­ sarkan data yang dimilikinya, seseorang yang memiliki Stunting pada jangk a pan­jang akan memiliki pendapatan 20 persen lebih rendah diban ­ dingkan dengan me ­ rek a yang normal. Sigit berharap kepa­ da masyarakat agar memperhatikan dua hal penting untuk men­ cegah Stunting. Per­t a­m a, fokus pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), sejak janin dalam kandungan sehingga anak berusia dua tahun. Hal kedua adalah peme­nuhan faktor gizi ibu. Terutama anemia. Walaupun mengonsumsi makanan bergizi, jika ibu mengalami anemia maka oksigen di dalam tubuh tidak mencukupi dan akan berdampak buruk kepada anak yang ada di Plt Kepala BKKBN Sigit Priohutomo. (MPC BKKBN) dalam kandungan.

Jurnal Keluarga l

EDISI KESATU 2018

l

11

LAPORAN UTAMA

Upaya Mencegah dan Menanggulangi Stunting:

Dari Istana Sampai Rumah Tangga

adalah para pemimpin agama. Lembaga seperti Nasyi’atul Aisyiyah, Fatayat, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, PELKESI (Persekutuan Pelayanan Kristen untuk Kesehatan di Indonesia), PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia), MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia), PERDHAKI (Persatuan Karya Dharma Kesehatan Indonesia) dan WALUBI (Perwakilan Umat Buddha Indonesia) telah melakukan langkah-langkah dengan memasukkan Stunting sebagai isu dalam kegiatan organisasi. Dengan menggan­ deng Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI), Forum Lintas Agama Untuk Mencegah Stunting, berupaya mendorong pencapaian tujuan pembangunan di bidang kualitas sumber daya manusia di semua level: negara, provinsi, kabupaten/ kota, kecamatan sampai desa dan rumah tangga. Forum juga telah melakukan diskusi dengan berbagai Komisi di DPR-RI serta

Bagian dari tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah membangun kehidupan yang sehat sejahtera dan mengembangkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Tujuan mulia tersebut saat ini tengah menghadapi tantangan besar, sebab 9 juta anak Indonesia mengalami Stunting. BKKBN siap menggerakkan pokja-pokja advokasi KKBPK di tingkat provinsi dan kabupaten, baik yang sudah terbentuk dan akan dibentuk, untuk mengusung isu Stunting sebagai isu advokasi. 

P

ada tingkat individu Stunting berdampak pada terhambatnya perkembangan otak dan fisik, rentan terhadap penyakit, ketika dewasa mudah menderita kegemukan sehingga rentan terhadap berbagai penyakit termasuk penyakit tidak menular (hipertensi, diabetes, jantung, dll.), serta sulit berprestasi sehingga daya saing

individu rendah. Di tingkat masyarakat dan negara, Stunting kemudian menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan angka kemiskinan dan kesakitan sehingga beban negara meningkat, ketimpangan sosial dan menurunkan daya saing dengan negara lain. Salah satu pihak yang memiliki keprihatinan tinggi terhadap isu Stunting

Tingkat Stunting di Seluruh Wilayah Indonesia Sumatera

2.296.000

Papua

Sulawesi

173.200

769.300 Kalimantan

583.400

Maluku

135.100 NTB

229.900 Jawa

4.353.000

Bali

108.100

NTT

319.100

Sumber: Estimasi dari RISKESDAS (tingkat Stunting) dan proyeksi populasi BPS

12

l Jurnal Keluarga l EDISI KESATU 2018

LAPORAN UTAMA PENDEK LINTAS GENERASI

kementerian untuk mendorong upaya yang sistematis, segera dan koordinatif diantara berbagai lembaga negara yang memiliki program yang terkait pencegahan penyebab dan penanggulangan langsung Stunting. Namun penga­ l a m a n Fo r u m m e ­ penyebab nunjukkan masih tak langsung a d a ny a k e b u t u h a n mendesak untuk m e­­m a s t i k a n a g a r penyebab upaya ter­sebut dapat dasar terorkestrasi secara harmo­n is dan efektif, mulai dari pusat, pro­v insi, kabupaten/ kota, kecamatan, de­sa, dusun, lingkungan sampai ke rumah tangga. Forum me­minta Kantor Staf Pre­siden dapat meng­­kaji dan mempertimbangkan pe­n gembangan lembaga ad hoc yang bekerja dalam jangka waktu yang ditentukan sampai terjadi penurunan kasus Stunting yang signifikan. Lembaga ini dapat dibentuk atau memfungsikan lembaga yang sudah ada hingga tingkat kabupaten/kota dengan melibatkan juga unsur masyarakat madani. Analisis Situasi Forum Lintas Agama Salah satu tujuan terbesar dan esensial dari suatu negara adalah mengembangkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas di negara tersebut. Dalam dokumen Visi dan Arah Pembangunan Jangka Panjang (PJP) 2005 – 2025, prioritas tersebut diartikulasikan secara tegas dengan menyebutkan bahwa salah satu kebijakan terpenting negara adalah memberikan keleluasaan dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia. Visi tersebut menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pembangunan SDM adalah pembangunan manusia I ndonesia sebagai subyek (human capital), obyek (human resources), dan penikmat pembangunan, yang mencakup seluruh siklus hidup manusia sejak dalam kandungan sampai dengan akhir hidupnya. Isu kualitas sumber daya manusia ini juga semakin kritikal jika dikaitkan dengan bonus demografi, yaitu situasi di mana pertumbuhan kemakmuran bisa maksimal ketika struktur penduduk didominasi oleh angkatan kerja usia produktif dan hanya ada sedikit angka ketergantungan. Tentu

DAMPAK JANGKA PANJANG: Pendek usia dewasa, kesehatan reproduksi, kemampuan terbatas, penyakit tidak menular

DAMPAK JANGKA PENDEK: Morbiditas, Disabilitas

PENDEK/Stunting penyakit terutama penyakit infeksi

kurang asupan gizi

ketahanan pangan keluarga

pola asuh & pola makan keluarga

kesehatan lingkungan & kesehatan keluarga

pendidikan, kemiskinan, disparitas, sosial budaya, kebijakan pemerintah, politik dll



Indikator

Termiskin Terkaya Nasional

Sumber Data

STATUS GIZI BAYI DAN BALITA Prevalensi Stunting

48,4

29,0

372

Riskesdas, 2013

Berat Badan Lahir Rendah (<2500 g)

13,4

8,2

10,2

Riskesdas, 2013

Bayi Lahir Pendek (<48 cm)

24,1

17,8

20,2

Riskesdas, 2013

Prevalensi Gizi Kurang dan Gizi Buruk

11,0

10,6

12,1

Riskesdas, 2013

Prevalensi Gizi Lebih

10,3

13,9

11,8

Riskesdas, 2013

Sumber: Data Olahan PERSAGI

ini mensyaratkan kondisi angkatan kerja tersebut adalah angkatan kerja yang berkualitas dan berdaya saing tinggi. Berdasarkan proyeksi penduduk 2010-2035, bonus demografi diprediksi sejak tahun 2012 dan titik terendah rasio ketergantungan terjadi pada tahun 20282031. Potensi bonus demografi akan mening­ katkan jumlah angkatan kerja usia poduktif (15-64 tahun). Jumlah anak Indonesia tahun 2015 adalah 47 juta anak laki-laki dan 44,9 juta anak perempuan, pada tahun 2035 mereka akan memasuki usia produktif dan bersaing dalam dunia kerja di era pasar bebas. Visi membangun SDM berkualitas ini masih harus diterjemahkan secara tajam dan maksimal ke dalam program dan aktivitas, karena jika dibandingkan dengan negara-negara lain, kualitas SDM Indonesia masih jauh tertinggal. Hal ini terlihat antara lain dari rendahnya bahkan menurunnya peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI). Laporan Human Development Report 2016 mencatat, IPM Indonesia pada 2015 berada di peringkat 113, turun dari posisi 110 di 2014 dari 188 negara. Tingkat Kecerdasan anak Indonesia

dalam bidang membaca, matematika, dan sains berada di posisi 64 dari 65 negara yang diteliti pada pada tahun 2012 oleh OECD PISA (Organization for Economic Cooperation and Development - Programme for International Student Assessment). Anak Indonesia tertinggal jauh dari anak Singapura (posisi 2), Vietnam (posisi 17), Thailand (posisi 50) dan Malaysia (posisi 52). Salah satu faktor yang menyebabkan penurunan ini adalah kondisi gizi kronis. Situasi gizi kronis ini menghasilkan kondisi gagal tumbuh dari Balita (Stunting). Stunting terjadi baik di kalangan berpendapatan rendah maupun tinggi dan disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor, di mana faktor dasar terpenting dari sisi manusianya adalah pendidikan yang kemudian berakibat pada pernikahan usia anak dan selanjutnya mempengaruhi kualitas pola asuh dan pola makan terkait gizi. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 menunjukkan bahwa terdapat 23,2 persen kehamilan di usia 10-19 tahun. Perkawinan dan kehamilan di usia tersebut terbukti memiliki risiko sangat besar melahirkan bayi Stunting. Ibu yang menikah di usia 15-19 tahun saja, 42,2 persen diantaranya melahirkan balita pendek. Semakin muda usia perkawinan semakin

Jurnal Keluarga l

EDISI KESATU 2018

l

13

LAPORAN UTAMA Lebih dari 31 Juta penduduk usia 0-18 tahun mengalami masalah gizi Umur Jumlah penduduk Bermasalah Gizi menurut Klasifikasi (tahun) Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota

<200 Ribu (185 kab/kota)

200-500 ribu (167 kab/kota)

500 ribu-1 juta (75 kab/kota)

TOTAL

>1 juta (70 kab/kota)

0-4 1.333.083 2.989.496 2.656.572 5.454.544 12.433.695 5-18 2.954.639 6.660.340 5.732.723 12.018.040 27.365.743 10-90 8.459.111 19.749.334 22.388.162 50.118.575 100.715.182 TOTAL 12.746.833 29.399.170 30.777.457 67.591.160 140.514.620

PERSENTASE BALITA Stunting DI INDONESIA

besar risiko melahirkan bayi Stunting. Kelahiran anak Stunting seper ti disebutkan di atas terjadi pada kasus kehamilan muda (baik di dalam perkawinan maupun tidak). Hubungan seks di usia anak yang berisiko kehamilan ini sangat tinggi, seperti nampak pada data berikut. Kondisi ini juga melahirkan situasi

14

–– – –– – –– –– –– – –– – –– – –– – –– –– –– – –– –

2007 Persentase status gizi balita pendek di Indonesia tahun 2007 36,8%

2010 Persentase sempat mengalami penurunan yang tidak signifikan sebesar

35,6%

2013 Tahun 2013 persentase status gizi balita pendek di Indonesia kembali naik sebesar

37,2%

2015 Menurut hasil PSG

2015 29% balita Indonesia termasuk kategori pendek

unwanted pregnancy atau kelahiran bayi dari pasangan yang tidak siap. Kondisi ini memperburuk kejadian Stunting pada anak yang dilahirkan. Akibat Stunting dan problem gizi ini mempengaruhi status kesehatan dan kecerdasan di setiap tahap kehidupan se­ seorang: sejak dikandung, saat dilahirkan, masa balita dan sekolah, masa remaja dan muda serta saat seorang perempuan hamil. Berbagai persoalan yang diakibatkan Stunting di tahap kehidupan ini berdampak pada keberlangsungan pendidikan mereka. Data di bawah ini menunjukkan kondisi yang memprihatinkan di mana anak Indonesia banyak yang tidak mampu menyelesaikan pendidikan dengan baik. Pendidikan ibu juga merupakan faktor yang mempengaruhi prevalensi Stunting. Seperti nampak dalam data berikut, prevalensi Stunting pada ibu dengan pendidikan rendah itu lebih tinggi. Program PAUD Holistik Terintegrasi yang kebijakannya dicanangkan sejak tahun 2007 dengan maksud untuk menjangkau semua anak 0-6 tahun dalam rangka mencegah Stunting, nampaknya belum berjalan seperti yang diharapkan. Masih 34 persen anak balita yang tidak datang ke Posyandu untuk memantau pertumbuhan, dan hanya 34 persen anak usia 3-6 tahun yang berpartisipasi di PAUD pada tahun 2017. Demikian halnya dengan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) yang dulu pernah berjalan dengan baik, saat ini tidak terdengar programnya. Anemia sebagai salah satu penyebab kurangnya potensi kecerdasan selain penyebab kesehatan lain, sangat banyak terjadi di Indonesia, seperti nampak pada data di bawah ini, terdapat 22,7 persen remaja putri yang anemia. Salah satu intervensi untuk mengurangi kejadian anemia adalah dengan mem­ berikan Tablet Tambah Darah ( TTD).

l Jurnal Keluarga l EDISI KESATU 2018

Sayangnya, akses pada TTD juga sangat memprihatinkan. Pada tahun 2016 upaya mendistribusikan tablet tambah darah hanya menjangkau 7,6 persen atau terdapat 92,4% yang tidak mendapatkan. Dampak Stunting Bersifat Multisektor Stunting tidak saja berdampak pada anak yang mengalaminya saja. Namun dampaknya sangat luas. • Pada tingk at individu Stunting berdampak pada terhambatnya perkembangan otak dan fisik, rentan terhadap penyakit, ketika dewasa mudah menderita kegemukan sehingga rentan terhadap berbagai penyakit termasuk penyakit tidak menular (hipertensi, diabetes, jantung, dll.), serta sulit berprestasi sehingga daya saing individu rendah. • Di tingkat masyarakat dan negara, Stunting kemudian menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan angka kemiskinan dan kesakitan sehingga beban negara meningkat, ketimpangan sosial dan menurunkan daya saing dengan negara lain. • Melihat kondisi Indonesia dengan jumlah penduduk yang bermasalah gizi sangat besar, kemungkinan besar potensi dari bonus demografi untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga tidak bisa tercapai dan sebaliknya ini akan menjadi malapetaka. Upaya yang Tengah Dilakukan untuk Mengurangi Stunting Seperti disampaikan di atas, dampak Stunting bersifat tidak bisa diperbaiki (irreversible) karenanya pencegahan menjadi sangat penting sebagai pereda dampak sekaligus investasi yang paling masuk akal. Beberapa upaya sudah dilakukan untuk mencegah Stunting. Di tingkat negara beberapa Landasan atau Dasar Hukum mengatasi masalah gizi sudah tersedia, namun masih diperlukan penerjemahan ke tingkat kegiatan dan pembiayaan yang memadai untuk mencegah Stunting, sehingga ia bergerak dari komitmen menjadi langkah nyata. Landasan itu diantaranya adalah: • UU No 36/2009 tentang Kesehatan • UU No 18/2012 tentang Pangan • PP No 33/2012 tentang ASI Eksklusif • RPJPN (2005-2025) • RPJMN (2015-2019) • Peraturan Presiden RI No 42 tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan

LAPORAN UTAMA Potensi Terjadinya Masalah Gizi dalam Siklus Kehidupan

Anemia

Kekurangan Micronutrien PEM

ibu hamil

Berat Badan Lahir Rendah

Potensi Stunting Kurang Berat

bayi baru lahir

Stunting

balita remaja putri & perempuan muda

anak usia sekolah Anemia

Stunting

Anemia

Tingkat Pertumbuhan Rendah

Sumber: PERSAGI, Dampak pernikahan Anak terhadap kualitas SDM Indonesia

• •

- Menurunnya Obesitas dan penyakit tidak menular (PTM) - Meningkatnya kapasitas kerja dan produktivitas serta daya saing.

Anemia

Kekurangan Vitamin A Sub Klinis

Pada gilirannya, ini akan mengurangi angka kemiskinan, mengurangi beban negara untuk mengeluark an biaya kesehatan, menghilangkan kesenjangan dan menyiapk an I ndonesia dalam menghadapi persaingan di era pasar bebas dan dapat memaksimalkan manfaat bonus demografi yang sebentar lagi akan dialami. *

Dampak Stunting di Tingkat Negara Menghambat Pertumbuhan dan Ekonomi Produktivitas Pasat Kerja

Stunting Hilangnya

11% GDP

Masalah Kecerdasan

Perbaikan Gizi Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2017 tentang Gerakan Masyarakat Hidup Sehat Perpres no. 83 tahun 2017 tentang Kebijakan Strategis Pangan dan Gizi.

Apa Manfaat Melakukan Pencegahan Stunting? Jika seluruh lapisan masyarakat dan pelaku pembangunan multi sektor melakukan upaya yang memfasilitasi

kondisi di atas maka salah satu amanat terbesar dalam pembangunan dapat tercapai yaitu terbentuknya generasi SDM yang sehat, tangguh dan berprestasi: - Menurunnya tingk at kesak itan/ kematian bayi dan anak - Meningkatnya perkembangan kognitif, motorik dan sosio-emosional - Meningkatnya prestasi dan kapasitas belajar - Meningkatnya kualitas orang dewasa

Mengurangi pendapatan pekerja dewasa hingga 20%

Rp

Sumber: Diolah oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dari laporan World Bank Investing inEarly Years brief, 2016

Proporsi Anak Stunting menurut Umur dan Jenis Kelamin, 2013

Jurnal Keluarga l

EDISI KESATU 2018

l

15

LAPORAN UTAMA

Umi Wahyuni, Sekretaris I PP Fatayat NU

Atmarita, Ketua Bidang Penelitian dan Publikasi DPP Persagi 2014-2019

“Program yang dikem­ bangkan PP Fatayat NU bersama forum lintas Agama adalah melakukan advokasi “Persatuan Ahli Gizi Indonesia kepada pemerintah baik (Persagi) tidak punya program eksekutif maupun legislatif Stunting secara khusus. Kita hanya untuk memprioritaskan mendukung secara profesional program cegah Stunting program-program yang ada di untuk menuju generasi emas pemerintah. Indonesia. Selain itu kami Setahun terakhir ber­ juga memperkuat organisasi sama dengan Inter-Church dengan pelatihan Ulama dan Medical Assitant, (IMA) dan Daiyah Cegah Stunting agar MCAI, kami melakukan mereka mampu melakukan kajian-kajian dari regulasi sosialisasi pentingnya gizi terutama pada masa 1000 HPK (Hari - fakta - dan memberikan Pertama Kehidupan) melalui Forum Daiyah Fatayat NU, majlis usulan dalam bentuk taklim dan forum forum pengajian lainnya di lingkungan NU. m a p p i n g s t r a t e g i penurunan Stunting. Itu Sebagai pilot project di Kabupaten Pulang Pisau, sudah kami presentasikan waktu itu tgl 21 kami juga mendorong pemerintah daerah melalui Februari 2018 pada pertemuan dengan Bappeda Kabupaten untuk menyusun RADPG Bappenas dan sektor terkait.” (Rancangan Aksi Daerah Percepatan Pangan dan Gizi) sebagai dokumen resmi yg memuat komitmen pemerintah daerah dalam pencegahan Stunting. Sementara di tingkat grassroot, para tokoh agama sudah dilatih menyo­ sialisasikan penanggulangan Stunting di komunitasnya masing-masing. Kami Keterlibatan lembaga keagamaan mendukung aktivasi posyandu dan kelas dan non keagamaan dalam program ibu dengan metode IPC (Inter Personal penanggulangan Stunting tak perlu Communication). Sehingga posyandu dan diragukan lagi. Berikut beberapa kelas lebih kreatif dan inovatif. Kegiatan pernyataan dari mereka. menjadi lebih berkualitas dan menarik serta menyenangkan para ibu untuk hadir di posyandu dan klas ibu secara rutin.”

Program Mereka

Meda Lala, Koordinator Program Perdhaki “Kita sejauh ini memang tidak memiliki program penuh. Kita melalui program Keuskupan. Pada Hari Pangan Sedunia kita memberi informasi tentang Stunting ke umat melalui Surat Gembala oleh Bapa Uskup.”

16

l Jurnal Keluarga l EDISI KESATU 2018

Verdina Puspita Rani, Program Manager PHC & Advocacy Pelkesi “Dalam 10 tahun terakhir program kerja Persatuan Pelayanan Kristen untuk Kesehatan di Indonesia (Pelkesi) dalam cegah Stunting adalah Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) melalui program Revitalisasi Posyandu, Desa Sehat (air bersih & sanitasi). Secara khusus program kerja kami dimaksudkan dalam upaya menurunkan Mother Mortality Rate.”

LAPORAN UTAMA

Angka Sdki di Acara Diseminasi Hasil Penelitian

P

ertambahan penduduk terus terjadi dalam jumlah besar karena upaya penurunan Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) dan Angka Fertilitas Total (total fertility rate/ TFR) belum mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan. “LPP Indonesia diproyeksikan dari 1,49% per tahun pada periode 2000-2010 menurun menjadi 1,38% per tahun pada kurun 2010-2015, lalu menjadi 1,19% per tahun pada periode tahun 2015-2020.” Hal itu dikemukakan Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi (KBKR) BKKBN, Dwi Listya­ wardani mewakili Plt Kepala BKKBN saat membuka kegiatan Diseminasi Hasil Penelitian dan Pengembangan Kependudukan di Hotel Santika TMII pada akhir Januari lalu. “Begitu juga TFR turun dari angka 2,6 anak per wanita sesuai hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menjadi angka 2,4 anak per wanita sesuai hasil SDKI tahun 2017, meskipun belum mencapai sasaran Renstra

2015-2019 yakni 2,3 namun ada tren kecenderungan penurunan yang memberi harapan. “ “Semoga dengan revitalisasi program Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) yang telah kita lakukan, pada akhir 2019 TFR akan turun kembali,” jelas Dwi. Angka penurunan TFR paling rendah, berdasarkan SDKI 2017, dicapai provinsi Jawa Timur dengan angka 2,1, sedangkan untuk DKI Jakarta juga sudah berada di bawah sasaran yang ditentukan yakni di angka 2,2. Sementara untuk provinsi di Jawa lainnya seperti Jawa Barat masih menduduki angka 2,3. Untuk pencapaian yang cukup baik ini, menurut Dwi, program yang harus menjadi perhatian besar adalah program pemberdayaan wanita. Pendekatan ini terbukti berhasil dilakukan Jawa Timur. “Wanita yang secara ekonomi man­ diri atau punya pekerjaan, otomatis paradigmanya juga lain dibandingkan yang tidak terlibat dalam kegiatan ekonomi meskipun level-nya di rumah tangga.

Suasana Diseminasi Hasil Penelitian dan Pengembangan Kependudukan BKKBN 2017. (MPC BKKBN)

Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi (KBKR) BKKBN , Dwi Listyawardani. (MPC BKKBN)

Pendekatan ini yang diterapkan Provinsi Jatim. Itulah kenapa angka fertilitas di Jatim turun dan kecil sebagai provinsi besar dibanding Jabar dan Jateng,” tuturnya. Ditegask an oleh Dwi, KB hanya merupakan sebuah alat saja, sedangkan yang seharusnya disasar adalah pem­ bangunan paradigma. Karena itu, pen­ dekatan melalui pemberdayaan menjadi sangat dibutuhkan. Penduduk semestinya menjadi sumber daya pembangunan agar mempunyai peran sentral dalam upaya pembangunan bangsa. “Karena itu, pembangunan SDM merupakan investasi jangka panjang yang harus diprioritaskan dalam perencanaan pembangunan,” tambahnya. Menurut Dwi, pelayanan keluarga berencana diberikan sepanjang siklus usia reproduksi sementara Program Pembangunan Keluarga menggunakan pendekatan siklus kehidupan. (her)

Jurnal Keluarga l

EDISI KESATU 2018

l

17

LAPORAN UTAMA

Hantu Itu Bernama

S

“Stunting”

tunting atau masalah kurang gizi kronis masih menjadi ancaman bagi generasi mendatang. Jumlah penderitanya di Indonesia mencapai 9 juta saat ini, dan secara persentase di atas batas toleransi WHO (Badan Kesehatan Dunia). Kondisi ini jelas membuat gundah Prof dr Fasli Jalal. Sebagai Dewan Pembina Perhimpunan Dokter Gizi Medik Indonesia (PDGMI), Prof Fasli Jalal pantas gundah. Meski tren penurunan angka Stunting di Indonesia sudah menurun sejak pemer intah melakukan intervensi serius dua tahun lalu, namun itu belum cukup memuaskan Fasli Jalal. Alasannya, “Stunting masih berpotensi mengancam generasi mendatang.” Dan juga Stunting (tinggi badan berada di bawah minus dua standar deviasi: ≤ 2 SD dari tabel status gizi WHO child growth standard) yang disebabkan kekurangan gizi pada usia dini dapat meningkatkan kematian bayi dan anak, kerja otak tidak maksimal, dan menurunkan kemampuan kognitif. Empat tahun lalu, tepatnya pada 2013, prevalensi Stunting di Indonesia mencapai 37 persen, turun menjadi 29 persen di 2017, dan sesuai Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2015-2019 ditargetkan menjadi 28 persen pada 2019. Saat ini terdapat sekitar sembilan juta anak Indonesia Stunting. Ironisnya, dari jumlah tersebut, 29 persen kasus Stunting justru terjadi pada keluarga berekonomi baik. Data Global Nutrition Report 2017 memuat tentang biaya yang disiapkan pemerintah Indonesia untuk menangani gizi ini baru 2,5 persen dari pengeluaran. Padahal kebutuhannya sekitar 14 persen. Bila negara maju mulai mengeluarkan dana untuk menangani kelebihan gizi, justru negara berkembang masih memerlukan 20-30 milyar dolar Amerika tiap tahun untuk penanganan malnutrisi. Akibat Stunting, setidaknya 10 hingga 15 poin kecerdasan intelektual dari 9 juta anak Indonesia terancam hilang. Fasli pun berpendapat program 1000 Hari Pertama Kelahiran (HPK) dapat mencegah Stunting. Namun, Fasli melihat, keterlibatan

18

masyarakat dan pengetahuan yang benar terhadap pola asuh anak memegang kunci utama dalam pencegahan Stunting. Termasuk juga menurunkan penderita anemia pada remaja dan ibu hamil. Perkembangan otak Ahli gizi yang sempat berkarir di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sepanjang 13 tahun hingga menduduki posisi Wakil Mendikbud dan Kepala BKKBN ini mengatakan bahwa tumbuh kembang anak sangat didukung di antaranya oleh gizi yang memadai. “Yang menjadi jembatan untuk membangun kecerdasan anak secara holistik adalah perkembangan otaknya,” tuturnya. Fasli pun mengajak setiap orang tua dan keluarganya untuk lebih memperhatikan masa ketika otak anak sedang tumbuh dan berkembang dengan pesat. Itu terjadi pada usia kehamilan hingga kurang lebih 2 tahun, yang kerap disebut sebagai masa golden age. Secara spesifik Fasli mengatakan, perkembangan otak anak dimulai pada usia 19 hari dalam kandungan. Otak tersusun dari banyak sel syaraf. Kecukupan gizi akan berpengaruh terhadap proses pembelahan sel syaraf, sehingga sel syaraf dapat bertambah banyak dan lengkap. Terdapat tiga tahapan tumbuh kembang sel syaraf, yakni tahap lahir hingga 3 tahun, di mana sel syaraf akan tumbuh secara cepat dan banyak, tahap 3 8 tahun, di mana kepadatan sel syaraf otak mencapai 2 x lipat orang dewasa, dan tahap 8-18 tahun, di mana sel syaraf yang tidak terpakai akan terdegradasi. “Dalam tiap tahapan tersebut, zat gizi dan stimulus (rangsangan)

l Jurnal Keluarga l EDISI KESATU 2018

memegang peranan penting -termasuk dalam meminimalkan sel syaraf otak yang terdegradasi,” jelasnya. Te r n y a t a j u g a p e r k e m b a n g a n tinggi anak dapat menjadi indikator kemampuan anak. Semakin tinggi anak, otaknya pun dapat berkembang dengan baik. Bagaimana jika tinggi anak tak sesuai usianya? Fasli me­­negaskan, meski kemudian diberikan ma­kanan berlimpah, tetap tidak akan terkejar, karena ini adalah refleksi dari kurang gizi yang kronik. “Sebaliknya, makanan berlimpah akan berpotensi anak tersebut mengalami obesitas dan memicu penyakit degeneratif nantinya,” jelas Fasli dalam wawancara khusus dengan tim Jurnal Keluarga di Jakarta, beberapa waktu lalu. Kendati demikian, Fasli mengatakan bahwa hal tersebut takkan menjadi kendala besar sepanjang semua pihak dapat mengoptimalkan usaha untuk mengembangkan anak. “Tidak apa-apa kalau tingginya tidak terkejar. Berapapun sel otak yang tinggal, mari kita pastikan agar sel otak te r s e b u t k i t a fungsikan semaksimal m u n g k i n ,” tuturnya.

Prof dr Fasli Jalal. (Icha BKKBN)

LAPORAN UTAMA PENANGGULANGAN STUNTING & PERAN BKKBN PENANGGULANGAN l Program 1000 Hari Pertama Kelahiran (HPK) cegah stunting. l Meningkatkan pengetahuan yang benar terhadap pola asuh anak. l Pemberian ASI eksklusif. l Imunisasi untuk menghindari infeksi pada anak. l Hindari serangan cacing pada pencernaan anak. l Pencegahan anemia pada remaja dan ibu hamil. l Pelihara ekologi lingkungan sekitar dengan baik. l Kendalikan pertumbuhan penduduk.

PERAN BKKBN l Pengendalian pertumbuhan penduduk melalui program KB. l Menggiatkan kelompok Bina Keluarga Balita (BKB). l Menggiatkan program Generasi Berencana (GenRe). l Mewujudkan program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP). Sumber: Prof dr. Fasli Jalal/Diolah

Berat badan juga menjadi salah satu indikasi kesuksesan perkembangan otak anak. Setidaknya, berat badan bayi lahir yang baik adalah tidak kurang dari 2,5 kg. “Jika di bawah 2,5 kg, kita perlu memberi dorongan yang lebih kuat. Saat ini, 1 dari 9 anak di Indonesia lahir dengan berat badan di bawah 2,5 kg. Ini satu hal yang cukup mencemaskan. WHO sudah meminta jangan ada anak yang tidak mendapat haknya untuk ASI eksklusif selama 6 bulan pertama,” kata Fasli. Sayangnya, menurut Fasli, saat ini jum­ lah ibu menyusui ASI eksklusif menurun dengan cepat, tinggal 30 % saja. Padahal ASI eksklusif sangat bermanfaat membentuk jaringan yang akan melindungi syaraf dari berbagai korsleting akibat menyalurkan impuls elektrik. Fasli juga mewanti-wanti orang tua bila anaknya terkena infeksi. Pasalnya, infeksi akan menaikkan suhu badan anak. Kenaikan suhu badan menyebabkan tambahan kalori 10 persen, padahal selera makan anak menurun. Hal ini dapat menyebabkan anak kekuranngan asupan gizi. Karena itu imunisasi penting, selain juga pengetahuan orang tua. Orang tua juga harus mewaspadai serangan cacing pada pencernaan anak. Cacing juga akan mengakibatkan anak kekurangan gizi, meski asupan makanan yang diberikan memadai. “Jadi, penyebab Stunting buk an genetik , 90 persen disebabkan faktor lingkungan,” tutur Fasli. Dalam proses pertumbuhan dan perkembangan otak anak, pendidikan adalah salah satu sarana penting yang harus dipenuhi oleh anak. Kendati demikian, pendidikan yang dimaksud tak hanya

sekedar proses pembelajaran formal di sekolah, namun juga melibatkan unsurunsur potensi dalam diri. “Dulu kita beranggapan bahwa sekolah itu dimulai dari SD. Tapi ternyata itu ter­ lambat. Sebenarnya, kualitas terpenting itu harus dibangun pada 1000 hari pertama kehidupan anak,” kata Fasli Jalal. Fasli menekankan bahwa peran orang tua dan keluarga adalah yang pertama dan utama. Selain itu juga faktor ekologi lingkungan sekitar. “Jika hal-hal tersebut tidak terpenuhi, maka kita harus mencari kompensasi untuk memenuhi hal tersebut,” tuturnya. Peran BKKBN Hal yang juga ikut mempengaruhi kesuksesan program pertumbuhan dan perkembangan anak adalah jumlah pen­ duduk. Semakin besar penduduk, semakin kecil kesempatan yang didapat oleh anak untuk lebih mengembangkan dirinya. Negara dengan jumlah penduduk yang teramat besar akan rentan mengalami krisis perkembangan sumber daya manusianya. Maka, pengendalian pertumbuhan penduduk melalui program KB menjadi penting. Namun tidak sebatas itu. Peran BKKBN termasuk juga melalui kelompok kegiatan Bina Keluarga Balita (BKB). Pengembangan anak usia dini holistik integratif dilakukan di kelompok BKB. Kelompok BKB diarahk an untuk meningkatkan pengetahuan orang tua dan keluarga yang memiliki anak balita mengenai pola asuh yang benar. BKKBN juga bisa ikut turut menyiapkan kader dalam bidang pengasuhan. Melalui program Generasi Berencana

(GenRe), BKKBN bisa berperan. Sebab di dalam program GenRe terdapat program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) yang bisa menjadi ‘pintu masuk’ dalam pencegahan kasus-kasus Stunting. “Perlu kerjasama dengan tokoh agama dalam penyiapan calon pengantin,” ujarnya. Menunda usia perkawinan ternyata bisa menjadi langkah tercepat untuk menekan angka Stunting. Jika angka usia pernikahan dimundurkan dari 16 tahun menjadi 20 tahun, banyak hal baik yang ber­pengaruh positif pada angka Stunting. “Bisa dibayangkan, dengan menunda usia perkawinan menjadi 20 tahun saja, bisa mengurangi Stunting sekitar sepertiga. Tentu UU Perkawinan perlu direvisi, ” kata Fasli Jalal. Menunda usia perkawinan artinya mem­­berikan kesempatan yang lebih baik pada calon ibu untuk menyiapkan diri­ nya secara fisik dan psikologis. Misalnya, de­­ngan penyiapan pemberian tablet tam­ bah darah bagi anak perempuan remaja. Juga mengingatkan tentang pentingnya penyuluhan kesehatan pada anak remaja dan orangtua. Penyuluhan diberikan dengan materi gizi seimbang dan perilaku hidup sehat. Fasli mengatakan, untuk menangani Stunting diperlukan kontribusi gizi yang harus dilakukan dengan serius. Kontribusi gizi terdiri dari dua faktor. Yakni, intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif. Intervensi gizi spesifik adalah upayaupaya untuk mencegah dan mengurangi gangguan secara langsung. Kegiatan ini pada umumnya dilakukan oleh sektor kesehatan. Kegiatannya antara lain imunisasi, pemberian makanan tambahan ibu hamil dan balita, monitoring pertumbuhan balita di Posyandu. Sasaran­ nya secara khusus kelompok 1000 hari pertama kehidupan baik pada ibu hamil, ibu menyusui, dan anak 0 – 23 bulan. Intervensi gizi sensitif adalah upayaupaya untuk mencegah dan mengurangi gangguan secara tidak langsung. Berbagai kegiatan pembangunan pada umumnya non-kesehatan, yang secara tidak langsung dapat menunjung kesehatan masyarakat. Kegiatannya antara lain penyediaan air bersih, kegiatan penanggulangan kemiskinan, dan kesetaraan gender. “Sayangnya, selama ini kita salah memahami. Kita bersusah payah di intervensi gizi spesifik, padahal ini hanya berkontribusi sebesar 30%. Sedangkan yang 70%, intervensi gizi sensitif sepertinya kita lupa,” kata Fasli. Dengan mengetahui apa itu Stunting, tren yang terjadi, penanggulangan hingga solusinya, semoga momok menakutkan Stunting segera berlalu dari bumi Indonesia.

Jurnal Keluarga l

(sara)

EDISI KESATU 2018

l

19

LAPORAN UTAMA

Inilah Pendapat Mereka Isu Stunting sudah menasional. Tentunya ini bukan kabar baik. Maka, komitmen bersama harus dibangun guna mengatasinya. Berikut beberapa pendapat para pelaksana penanganan kasus Stunting di lini terdepan.

Kaum perempuan di pedesaan masih kurang pengetahuannya dalam memberikan makanan yang sehat dan bergizi. (repro)

Dinkes KP2KB Kabupaten Natuna, Kepri Kepala Dinas Kesehatan, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (Kadis KP2KB) Kabupaten Natuna (Provinsi Kepulauan Riau–Kepri), Rizal Rinaldy Mkes, mengatakan program perbaikan gizi masyarakat sudah berjalan sejak lama di daerahnya. Namun masih terkendala bagaimana mengubah pola pikir masyarakat untuk menghayati pola hidup sehat. “Juga kondisi alam ikut mempengaruhi. Umpamanya, Dinas KP2KB gembargembor mengajak masyarakat makan sayur dan buah, tapi Natuna merupakan kabupaten kepulauan. Jarang sekali ada lahan yang dimanfaatkan tanam sayur dan buah,” katanya di sela Rakornas Program Kependudukan, Keluarga Berencana dan

20

Pembangunan Keluarga (KKBPK) di Jakarta pertengahan Februari lalu. Fak tor penghambat berikutnya adalah menyusui. “Soal IMD (Inisiasi Menyusu Dini-Red) saja, enggak bisa dilakukan dengan baik. Masih belum waktunya, ada bayi dikasih tajin, karena air susu ibu belum bisa keluar. Bagi ibu-ibu masih banyak yang berpendapat langsing itu sehat, tapi tak bisa membedakan antara langsing dengan kurus. Kurus itu kurang gizi,” tuturnya menjawab Jurnal Keluarga seraya membenahi posisi duduknya. Ketika Jurnal Keluarga, memberi ilustrasi tahun 60-an bahkan ada ibu yang memberikan pisang ambon ‘diuleg’ sebagai pengganti air susu ibu, dia membenarkan. “Betul itu, sekarang mungkin juga masih

l Jurnal Keluarga l EDISI KESATU 2018

ada,” sahutnya seraya ketawa. IMD juga sangat bermanfaat bagi ibu karena membantu mempercepat proses pemulihan setelah persalinan. “Tapi banyak yang tidak sempat. Bahkan ada yang memberi si bayi yang belum sepekan itu tidak ‘dipaksa’ netek, karena air susu tidak segera keluar,” katanya. Rizal pun mengakui tak bosan-bo­ sannya mengajak masyarakat untuk meng­ hayati apa itu Program Seribu Hari Pertama Kelahiran (1000 HPK). Tidak hanya bagi bayi, IMD juga sangat bermanfaat bagi ibu karena membantu mempercepat proses pemulihan pasca persalinan. Meskipun manfaatnya begitu besar, banyak ibu yang tidak berhasil mendapatkan kesempatan IMD, karena kurangnya pengetahuan dan dukungan dari lingkungan keluarga, maupun masyarakat. Mengutip Menkes, dia mengemukakan di kota besar pada perempuan menengah ke atas, ada pola salah asuh yang diterapkan pada anak-anaknya, sementara kaum perempuan di pedesaan masih kurang pengetahuannya dalam memberikan makanan yang sehat dan bergizi. Di 1000 hari kehidupan bayi, asupan gizi bagi bayi maupun ibunya harus benarbenar diperhatikan karena berpengaruh pada perkembangan fisik dan otak anak ke depan.

Dinkes P3A P2 & KB Kabupaten Belitung Timur Dalam kesempatan sama Dra Rosmidar, Kadis Pemberdayaan Perempuan, Per­ lindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (P3A P2 dan KB) Kabupaten Belitung Timur (Provinsi Kepulauan Bangka Belitung –BaBel), setuju dengan pendapat Rizal. “Tapi pada kenyataannya IMD dan ASI eksklusif belum berjalan sesuai harapan. Pengasuhan juga berjalan tidak baik, kurangnya pengetahuan tentang kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan. Sekitar 60% anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan ASI ekslusif, 2

LAPORAN UTAMA

Pengukuran tinggi balita. (repro)

dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima makanan pengganti ASI,” katanya. IMD adalah proses meletakkan bayi baru lahir pada dada atau perut sang ibu agar bayi secara alami dapat mencari sendiri sumber air susu ibu (ASI) dan menyusu. Sangat bermanfaat karena bayi akan mendapatkan kolostrum yang terdapat pada tetes ASI pertama ibu yang kaya akan zat kekebalan tubuh. Dia setuju dengan seorang peserta dari daerah yang mengutip data Kementerian Kesehatan (di acara Rakornas--Red ), bahwa masih terbatasnya layanan kesehatan, termasuk layanan ANC-Ante Natal Care; Post Natal dan pembelajaran dini yang berkualitas. Data juga menyebutkan kenyataan 1 dari 3 anak usia 3-6 tahun tidak terdaftar di PAUD, 2 dari 3 ibu hamil belum mengonsumsi suplemen zat besi yang memadai. Menurunnya tingkat kehadiran anak di Posyandu (dari 79% di 2007 menjadi 64% di 2013), tidak mendapat akses yang memadai dalam hal kelayanan imunisasi. Juga kurangnya akses ke makanan yang bergizi, 1 dari 3 ibu hamil terkena anemia, makanan bergizi harganya mahal, kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi dan data menyebutkan 1 dari 5 rumah tangga masih buang air besar di alam ter­ buka, 1 dari 3 rumah tangga belum memiliki akses ke air minum bersih. Air minum bersih memang masih langka bagi sebagian

masyarakat Indonesia. “Harga mahal jelas kurang mendukung program,” tuturnya.

Dinkes KP2KB Kabupaten Buru Selatan Rabea Lestaluhu dari Dinas Kesehatan, Pemberdayanan Perempuan dan Keluarga Berencana (KP2KB) Kabupaten Buru Selatan (Provinsi Maluku), berpendapat senada dengan rekannya dari Belitung Timur maupun Natuna. Bagi Rabea, setiap ibu hamil pasti membutuhkan gizi. “Sampai

bayi lahir, mutlak membutuhkan asupan gizi yang memadai,” tuturnya. Selanjutnya, bayi hendaknya diberikan ASI saja sejak lahir hingga berusia 6 bulan. Namun, hal ini tidak mudah bagi seorang ibu bila tidak didukung oleh pasangan, keluarga dan seluruh warga masyarakat dan instansi di sekitarnya. Bila ibu hamil selalu menjaga kondisi gizi dirinya, masalah Stunting pasti bisa dihilangkan, paling tidak dapat serendah mungkin. Dia setuju seorang ibu menyusui harus dijaga, semua harus mendukung dan menjaga. Peraturan Pemerinah (PP) no 33/2012 sudah sangat keras melarang pemberian susu formula bagi bayi 0-6 bulan, apalagi bayi baru lahir. Meskipun telah berhasil sampai pada akhir fase ASI Eksklusif, menyusui ASI sampai anak berusia 2 tahun harus dilanjutkan. Pada usia 6 bulan kehi­ dupannya, anak memasuki fase makan untuk pertama kali. Dalam fase ini, anak akan mengenal makanan pendamping air susu ibu. Hal yang perlu diperhatikan adalah praktik pemberian makan bayi dan anak. “Kalau ibu hamil berhasil IMD dan ASI Eksklusif selama 6 bulan, selamat bayinya. Tapi jika dalam pemberian makanan cair dan lunak dalam fase pemberian makanan, bayi dan anak tidak diberikan makanan yang baik, sia-sialah kerja keras kita,” tuturnya. Seperti pernah dikemukakan pejabat Kemkes, optimalisasi per tumbuhan bayi di periode emas 0-24 bulan masih bisa diperbaiki. Tetapi bila gangguan pertumbuhan berlanjut, tidak dikoreksi sampai anak berusia 2 tahun, kondisi ini tidak bisa dikoreksi lagi. (her/sara)

Bayi kurang gizi: Tumbuhkan gerakan bersama dalam penanggulangan. (repro)

Jurnal Keluarga l

EDISI KESATU 2018

l

21

LAPORAN KHUSUS

Kedeputian Latbang BKKBN

Kembangkan Kolaborasi dengan Lembaga Peneliti Internasional Kedeputian Bidang Pelatihan, Penelitian dan Pengembangan (Latbang) BKKBN di masa mendatang akan lebih menekankan pada pengembangan penelitian dan kualitas peneliti. Berbagai hasil penelitian diarahkan untuk dipublikasikan di jurnal ilmiah nasional maupun internasional.

T

erkait dengan itu, Kedeputian Latbang BKKBN akan melakukan kolaborasi dengan lembagalembaga internasional untuk melakukan kajian. “Ini harus diaktifkan kembali. Ada 27 lembaga penelitian internasional yang ingin bekerjasama

dengan BKKBN, dan diharapkan lembaga-lembaga tersebut juga akan mempublikasikan di jurnal ilmiah di ranah intenasional.” Hal itu dikemukakan Deputi Latbang BKKBN Prof drh M Rizal Martua Damanik MrepSc PhD kepada Jurnal Keluarga di

Suasana Diseminasi Hasil-Hasil Penelitian BKKBN Tahun 2017. (MPC BKKBN)

22

l Jurnal Keluarga l EDISI KESATU 2018

sela-sela kegiatan Diseminasi Hasil-Hasil Penelitian BKKBN Tahun 2017 di Hotel Santika TMII, akhir Januari 2018 lalu. Kegiatan ini dihadiri oleh wakil dari Kemenko PMK, Kemensos, Kemenaker, Kemenkes, BPS, LIPI, para mitra kerja dari IPADI, Koalisi Kependudukan, Fapsedu, PKBI, Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB), IpeKB, IAKMI, UNFPA Representatif, para pejabat tinggi Pratama dan Adminis­ trator BKKBN. Diseminasi hasil penelitian ini merupakan presentasi hasil temuantemuan di lapangan yang dilakukan oleh para peneliti Puslitbang BKKBN. Topiktopik penelitian yang dipilih untuk diteliti

LAPORAN KHUSUS dalam setiap tahunnya merupakan hasil identifikasi kebutuhan yang didiskusikan bersama dengan para pengguna Pus­ litbang. Pada Diseminasi hasil penelitian ini selain dipaparkan hasil-hasil penelitian dari para peneliti Puslitbang, dipaparkan juga beberapa hasil penelitian dari mitra kerja BKKBN, yakni Dr Nandang M MSos MSi dari Pusat Studi Kependudukan Kesejahteraan Keluarga dan Anak ( FISIP Universitas Padjajaran, Bandung) dan Harrys Pratama Teguh SHi, MH dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Banten. Rizal Damanik lebih jauh mengatakan, prioritas lainnya dari kedeputian yang dipimpinnya adalah mendorong peningkatan kualitas tenaga-tenaga fungsional (ASN), menuju jenjang pen­ didikan yang lebih tinggi. “Sudah ada kesepakatan antara Plt Kepala BKKBN dengan Rektor IPB. Agar tidak mengganggu, tempatnya akan memanfaatkan Balai Diklat BKKBN Halim. Nanti dosen-dosen IPB yang akan ke BKKBN. Sementara di daerah juga akan bekerjasama dengan perguruan tinggi setempat. Ini juga berkaitan dengan peningk atan jenjang kepegawaian mereka,” katanya. Sementara Kepala PULAP BKKBN Ipin Z Husni menjawab Jurnal Keluarga me­ ngemukakan pihaknya akan menindak­ lanjuti kerja sama tersebut. “Dalam waktu dekat saya akan menemui Rektor IPB,” katanya di sela kegiatan Rakornas Program KKBPK di Hotel Sahid, Jakarta, pertengahan Februari lalu. Peran penting Sementara itu Plt Kepala BKKBN dr Sigit Priohutomo, dalam sambutan tertulis yang dibacakan Kepala PULAP, mengemukakan penelitian dan pengembangan kepen­du­ dukan memegang peranan penting. Hal ini karena hasilnya seharusnya dapat dimanfaatkan oleh para pembuat kebijakan dan pengelola program sebagai rujukan dan bahan pengambilan kebijakan. Hasil penelitian menjadi basis data dalam penyusunan perencanaan dan strategi agar dapat mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Sigit berharap unit pelaksana di BKKBN

maupun para pemangku kepentingan dan mitra kerja memanfaatkan hasil Litbang BKKBN untuk menyukseskan Program Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK). “Mari kita dorong pemanfaatan hasil Litbang kependudukan yang meru­ pakan temuan di lapangan, baik oleh unit pelaksana di BKKBN maupun para pemangku kepentingan dan mitra kerja; demi kepentingan suksesnya Program KKBPK,” ujar Sigit.

Ada 27 lembaga penelitian internasional yang ingin bekerjasama dengan BKKBN, dan diharapkan lembagalembaga tersebut juga akan mempublikasikan di jurnal ilmiah di ranah intenasional

“Dimanfaatkan dan ditindaklanjutinya hasil Litbang kependudukan akan men­ dukung perencanaan dan perumusan kebijaksanaan kependudukan menjadi lebih terarah, tajam, dan tepat sasaran,” tambah Sigit. Sigit mengatakan, keberhasilan pembangunan manusia melalui Program KKBPK sangat tergantung kepada proses perencanaan dan penyusunan strategi yang matang. Tentunya, proses tersebut harus berdasarkan bukti yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah agar menuai hasil optimal dan tepat sasaran. Hasil Litbang kependudukan yang didiseminasi kali ini menekankan pada pentingnya proses perencanaan berbasis bukti (evidence-based planning). Hal ini karena perencanaan program dan rencana kerja yang dilakukan tanpa mengguna­ kan bukti ilmiah dari hasil Litbang dapat berdampak berupa kegagalan dalam pencapaian target-target yang telah ditentukan. Untuk itu, sinergitas khusus antara unit pendukung (service center) dan unit pelaksana (mission center) menjadi sangat penting dalam rangka m e ny u k s e s k a n Program KKBPK. (heru/san)

Deputi Latbang BKKBN Prof drh M Rizal Martua Damanik , MrepSc PhD. (MPC BKKBN)

Jurnal Keluarga l

EDISI KESATU 2018

l

23

KEPENDUDUKAN & KB

Berkaca pada Data Badan Pusat Statistik Dalam melakukan perencanaan kebijakan pembangunan di berbagai bidang khususnya dalam rangka pembangunan berkelanjutan, suatu negara harus memiliki proyeksi penduduk ke depan. Pemerintah dalam hal ini Badan Pusat Statistik telah melakukan beberapa simulasi/ skenario pertumbuhan penduduk 2015-2100.

P

ada simulasi terpilih dengan menggunakan sumber data dari Sensus Penduduk dan Supas dari tahun 1971 sampai dengan 2015 dan dengan memperhatikan faktor migrasi, diperoleh gambaran bahwa pada tahun 2100 penduduk Indonesia akan berjumlah 329,974,989 jiwa dari tahun 2015 sebesar 255,587,921 jiwa. Angka yang cukup besar namun se­ jatinya telah menunjukkan pertumbuhan penduduk negatif pada tahun 2073 (-0.01). Skenario ini dibangun dengan beberapa asumsi yaitu Total Fertility Rate (TFR) sejak tahun 2020 konstan 2,1, Infant Mortality Rate pada 2030 menyesuaikan target Sustainable Development Goals (turun 3 % setiap tahun sejak 2015). Perdebatan mengenai hasil proyeksi ini mencuat ketika hasil laporan sementara Survei Demogafi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 telah mengeluarkan angka TFR di Indonesia berada pada angka 2.4.

24

Tren Angka Fertilitas Total, Indonesia 1991 - 2017

3,0

2,9

2,8 2,6

2,6

2,6 2,4

SDKI 1991

SDKI 1994

SDKI 1997

SDKI 2002-2003

Angka yang dikawatirkan tidak sesuai dengan asumsi proyeksi penduduk yang dibangun ketika TFR pada tahun 2020 telah mencapai 2.1. Bukan pesimis untuk dapat mencapai angka TFR sesuai asumsi proyeksi tetapi sejarah menunjukkan di 15 tahun terakhir SDKI yang ada menunjukkan secara konsisten posisi TFR yang stagnan di kisaran 2.6. Total fertility rate selama ini merupakan indikator demografi yang harus dicapai oleh Pemerintah untuk menyeimbangkan jumlah penduduk dan daya dukung serta daya tampung lingkungan. Pemahaman ini sangat diapresiasi oleh para akademisi dengan konsep ecological footprint-nya. Apakah Indonesia akan mengalami ecological deficit atau ecological reserve? Untuk pembangunan yang berkelanjutan ukuran ini memang seharusnya ada dan ditetapkan sebagai target. Pertanyaannya, apakah TFR di Indonesia akan terus mengalami penurunan sampai titik ekspetasi atau cenderung datar? Jika TFR masih belum dapat diturunkan sesuai dengan ekspetasi, kebijakan apa yang perlu dipertimbangkan oleh Pemerintah? Berkaca pada Bangladesh Salah satu yang menjadi rujukan dalam

l Jurnal Keluarga l EDISI KESATU 2018

SDKI 2007

SDKI 2012

SDKI 2017

konteks ini adalah Negara Bangladesh. Dengan TFR yang cukup tinggi sebesar 6.3 di tahun 1971-1975, TFR terus mengalami penurunan sampai mencapai 3.3 di tahun 1994-1996. Namun sejak itu sampai dengan tahun 2000-an, TFR tidak mengalami penurunan walaupun Contraceptive Prevalence Rate (CPR), sebagai salah satu dari empat faktor penentu angka TFR, meningkat dari 44.6 % di tahun 1993-1994 menjadi 53.8 di tahun 1999-2000. Ternyata diketahui lebih lanjut bahwa stagnasi TFR di Bangladesh terjadi lebih cepat dan tidak berkorelasi dengan peningkatan CPR. Lalu apa yang menjadi faktor penentu TFR dan alasan tidak menurunnya TFR di Bangladesh pada periode tersebut? Kegagalan akibat penggunaan kontrasepsi yang kurang efektif, angka putus pakai yang tinggi dan jumlah anak yang diharapkan ternyata masih sekitar 2.5 anak di tahun 2000-an. Jumlah anak yang diharapkan masih terbilang tinggi merupakan tipikal kondisi negara berkembang yang minim dengan perlindungan sosial. Bahk an WHO mengatakan bahwa pada saat TFR di Bangladesh turun dengan kecepatan yang tinggi, kondisinya masih tergolong negara yang terlalu miskin.

KEPENDUDUKAN & KB

Angka Fertilitas Total Menurut Kelompok Umur, Indonesia 2017

138 113

111

TFR yang terkelola dengan baik maka Investasi pembangunan akan lebih fokus pada pembangunan manusia dan menciptakan kondisi hubungan sosial yang lebih produktif

63 36 20 4 15-19

20-24

25-29

30-34

Gambaran ini seyogyanya dapat menjadi pembelajaran bagi Indonesia untuk mencapai TFR sesuai yang diharapkan. TFR dapat ditempatkan sebagai indikator capaian pengendalian jumlah penduduk, tetapi juga dapat dibingkai dalam men­ ciptakan pembangunan manusia. Tentu diperlukan indikator yang sensitif untuk menilai suatu kebijakan dan dampak yang mungkin ditimbulkan di bidang kependudukan. Untuk itu Pembangunan Kependudukan harus memberikan arahan dan masukan terkait kebijakan-kebijakan yang sensitif dan insensitif terhadap isu kependudukan. Dengan TFR yang terkelola dengan baik mak a investasi pembangunan tidak melulu fokus pada pembangunan infrastuktur dan menuntut alih fungsi lahan menjadi pertanian, perumahan atau industri. Investasi pembangunan akan lebih fokus pada pembangunan manusia dan menciptakan kondisi hubungan sosial yang lebih produktif. Upaya ini diterjemahkan ke dalam bentuk Program Ketahanan Keluarga yang paradigmanya harus sudah bergeser. Program pembangunan ketahanan keluarga tidak lagi dilakukan dalam rangka pembi­ naan kesertaan ber-KB tetapi jauh daripada itu. Bagaimana menciptakan keluarga yang berketahanan sehingga melahirkan generasi emas untuk Indonesia di masa depan, adalah tantangan program ini.

35-39

40-44

126

45-49

138 138 116

98

109 63 63

51

24

19 20 2 6

15-19

20-24

Perkotaan

25-29

30-34

35-39

40-44

45-49

Pedesaan

Seiring dengan pembangunan sosial dan ekonomi, tersedianya perlindungan sosial bagi penduduk Indonesia termasuk bagi Lansia, maka perlahan jumlah anak yang diharapkan pun akan turun. Pen­ dekatan pelayanan keluarga berencana harus dilakukan melalui pendekatan pemenuhan hak-hak reproduksi.

Masyarakat akan mengganggap bahwa ber-KB bukan hanya karena ‘program pemerintah’ tetapi karena gaya hidup dan kebutuhan. Tantangan ke depan adalah bagaimana negara hadir untuk mereka yang masih sangat sulit dijangkau baik secara fisik ataupun alasan sosial.

Jurnal Keluarga l

(irma/BKKBN)

EDISI KESATU 2018

l

25

KEPENDUDUKAN & KB

Program Kkbpk dalam Sdki 2017 Hasil Survei Demografi dan Kesehatan (SDKI) 2017 (dilakukan lima tahunan) baru saja diluncurkan. Bagaimana potret Program Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) kekinian? Berikut kami sajikan hasilnya dalam bentuk infografis.

angka fertilitas total (TFR) MENURUT PROVINSI, indonesia 2017 2,1 2,1 2,2 2,2 2,2 2,2 2,3 2,3 2,3 2,3 2,3 2,3 2,4 2,4 2,4 2,4 2,5 2,5 2,5 2,5 2,6 2,7 2,7 2,7 2,7 2,7 2,8 2,8 2,9 2,9 2,9 3,2 3,3 3,3

Jawa Timur Bali Yogyakarta Kepulauan Riau Sulawesi Utara DKI Jakarta Lampung Jambi Jawa Tengah Bengkulu Banten Bengka Belitung INDONESIA Jawa Barat Sulawesi Selatan Kalimantan Selatan Sumatera Barat NTB Gorontalo Kalimantan Tengah Sumatera Selatan Sulawesi Barat Kalimantan Barat Kalimantan Timur Sulawesi Tengah Aceh Sulawesi Tenggara Kalimanta Utara Riau Sumatera Utara Maluku Utara Papua Barat Papua Maluku NTT

Tren Pemakaian Kontrasepsi pada Wanita Kawin 15-49 Tahun, Indonesia 2017

49,7

54,7

57,4

60,3

61,4

61,9

SDKI 1991

SDKI 1994

SDKI 1997

SDKI 2002-03

SDKI 2007

SDKI 2012

Tren angka kematian neonatal, bayi, anak dan balita, indonesia 1991- 2017

Yogyakarta Kalimantan Tengah Bangka Belitung Bengkulu Jawa Timur Lambi Lampung Kelimantan Selatan Sumatera Selatan Sulawesi Utara Bali Kalimantan Barat Kalimantan Timur Jawa Tengah Sulawesi Tengah INDONESIA Jawa Barat Gorontalo Banten Riau Sumatera Barat Kepulauan Riau Sumatera Utara DKI Jakarta Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Kalimantan Utara NTB Maluku Utara Aceh NTT Maluku 97 Papua Barat 81 Papua

68 57 32 30

58 35 34 32

22 20 19 19

26

24

46 26

15

Kematian Neonatum SDKI 1991

32

SDKI 1994

44

40

32

13 11 10 9 8 Kematian Bayi SDKI 1997

Kematian Anak SDKI 2002-03

l Jurnal Keluarga l EDISI KESATU 2018

SDKI/IDHS 2017

Pemakaian kontrasepsi berdasarkan provinsi, indonesia 2017

3,4

46

63,6

SDKI 2007

Kematian Balita SDKI 2012

SDKI 2017



76 73,2 71,1 70,5 69,8 69,7 69,6 68,1 67,8 67,4 67,3 66,9 66,5 65,7 65,4 63,6 63,3 61,6 61,6 60,3 60,1 59 58,9 56,9 56,8 54,2 53,8 52,8 52,3 51,9 51,6 50,2 46,9 40,5 38,4

KEPENDUDUKAN & KB Persentase pemeriksaan kehamilan menurut tempat tinggal, indonesia 2017

Persentase pemeriksaan kehamilan oleh tenaga kesehatan pada wanita melahirkan, Indonesia 2017 100,0 -

76

92

89

82

93

97,5

94

98% 96%

80,0 60,0 40,0 20,0 0,0 -

SDKI 1991

SDKI 1994

SDKI 1997

SDKI 2002-03

SDKI 2007

SDKI 2012

SDKI 2017

status pemakaian kontrasepsi dan jenis kontrasepsi yang dipakai wanita kawin 15-49 tahun, Indonesia 2017

Tidak Pakai Alat/ Cara KB

Pakai Alat/ Cara KB

36,4

63,6

29,0

Suntik KB 12,2

Pil 4,7

Implan

4,7

IUD

4,2

Senggama Terputus

3,7

MOW Kondom Pantang Berkala

2,5 1,9

MDP

0,2

MAL

0,1

Perkotaan

Pedesaan

Persentase pemeriksaan kehamilan oleh tenaga kesehatan pada wanita melahirkan menurut provinsi, Indonesia 2017 Kalimantan Selatan Jawa Tengah Nusa Tenggara Barat Bali Jakarta Sumatera Barat Lampung Bengkulu Jawa Timur Bangka Belitung Yogyakarta Jawa Barat Sulawesi Utara Sulawesi Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Tengah Sulawesi Barat Banten Jambi Aceh Gorontalo Sumatera Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Utara Kalimantan Utara Nusa Tenggara Timur Kepulauan Riau Kalimantan Barat Riau Kalimantan Tengah Sumatera Utara Papua Barat Maluku Papua

Jurnal Keluarga l

100 99,7 99,6 99,6 99,1 99 98,9 98,9 98,8 98,8 98,5 98,5 98,4 98,3 97,9 97,7 97,6 97,6 97 96,5 96,1 96 95,8 95,5 95,4 95,1 95,1 94,8 94,3 93,9 92,7 91,2 89,9 80,7

EDISI KESATU 2018

l

27

KEPENDUDUKAN & KB

Sejumlah pakar dan praktisi foto bersama saat acara forum pakar di Double Tree By Hilton Hotel Cikini, Senin (26/2/2018). (MPC BKKBN)

Dari Forum Pakar dan Pemangku Kepentingan

Bonus Demografi di Ajang Pilkada 2018

B

adan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menghadirkan sejumlah pakar dan praktisi dalam sebuah acara bertajuk “Penguatan Advokasi Program KKBPK Melalui Forum Pakar dan Pemangku K e p e n t i n g a n d a l a m Pe r e n c a n a a n Pembangunan Daerah”. Sesungguhnya apa yang disasar? Senin (26/2/2018), sejumlah pakar dan praktisi tampak berdatangan satu demi satu memasuki sebuah ruang pertemuan di Double Tree By Hilton Hotel Cikini, Jakarta. BKKBN merasa perlu menghadirkan mereka untuk mendapatkan masukan terkait pemilihan kepala daerah (pilkada) dan program Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK). Intinya, BKKBN mencoba mencari tahu bagaimana strategi memasukkan isu-isu

28

strategis program KKBPK ke dalam visi dan misi calon kepala daerah, baik gubernur maupun bupati-walikota pada ajang pilkada di 171 daerah yang akan berlangsung tiga bulan mendatang. Selanjutnya, bagaimana pula mensinergikan isu-isu tersebut ke dalam perencanaan pembangunan dan program kerja strategis pemerintah daerah seusai pilkada. “BKKBN sangat membutuhkan gagasan dan sumbang saran dari para pakar, praktisi, dan pemerhati masalah pembangunan serta pihak lain yang terkait,” ujar Plt. Kepala BKKBN Sigit Priohutomo pada pembukaan acara tersebut. Melalui pertemuan ini, Sigit berharap akan terpetakan isu strategis dan area pembangunan program KKBPK. Forum ini sepenuhnya dipandu oleh Dr. Imam Prasodjo, sosiolog dan staf pengajar UI, dibawakan begitu santai namun serius dan tajam. “Semestinya saat ini BKKBN bisa

l Jurnal Keluarga l EDISI KESATU 2018

bergerak lebih leluasa karena anggarannya sudah meningkat mencapai Rp 5,5 triliun, meski Rp 2,1 triliun untuk alokasi gaji pegawai dan pengeluaran rutin lainnya,” ujar Imam di awal. Imam mengapresiasi forum ini karena dia melihat sejumlah kepala daerah kurang memberikan perhatian terhadap perkembangan kependudukan. “Rentan segregasi. Harusnya pilkada angkat isu isu seperti itu (kependudukan, red),” ujarnya. Menurut Imam, persoalan kantongkantong kemiskinan dan isu Stunting bisa menjadi isu sentral dalam ajang pemilihan presiden (pilpres) 2019 dan pilkada 2018, di tengah pembangunan infrastruktur yang digencarkan Presiden. “Untuk itu, penanganan program kependudukan harus menjadi perhatian serius pemerintah karena bermuara pada masalah kemiskinan dan Stunting,” ujar Imam Prasodjo.

KEPENDUDUKAN & KB Ferry Kurnia Rizkiyansyah, mantan Komisioner Komisi Pemilhan Umum (KPU) mengatakan sudah seharusnya BKKBN mempunyai rancangan isu yang bisa ditonjolkan dalam pilkada dan pilpres mendatang. “Penting memasukkan isu kependudukan ke dalam visi dan misi program kandidat dan dalam debat kandidat untuk diketahui masyarakat,” ujar Ferry. Ferry mencontohkan isu hangat saat ini adalah money politic. Bagaimana BKKBN mengemasnya karena dalam isu ini ada muatan soal kemiskinan, pengangguran di mana sisi kependudukannya kental. “Ini poin penting dan strategis. Bila ma­ syarakat tersadarkan dengan visi misi (yang ditawarkan BKKBN, red), saya yakin politik uang tidak akan ada,” tandasnya. Isu seksi lainnya yang layak ditawarkan dalam pilk ada dan pilpres, dalam pandangan Ferry adalah bonus demografi. “Semestinya BKKBN bisa memberikan pemahaman kepada para kandidat tentang hal ini, sehingga bisa diangkat dalam visi dan misi kandidat,” jelasnya. Masih terbuka celah Dalam pandangan Sonny Harry B Harmadi, Staf Ahli Bidang Kependudukan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, mengangkat isu KKBPK dalam pilkada dan pilpres tidaklah mudah. Namun begitu masih terbuka celah. “Kita perlu bangun infrastruktur fisik, tapi kita perlu juga bangun infrastruktur sosial. Strategi kependudukan masuk sebagai infrastruktur sosial yang harus juga diperhitungkan dan itu penting. Bonus demografi tentu menjadi bagian dalam infrastruktur sosial,” tandasnya. Sebagai Ketua Umum Koalisi Kependudukan, Sonny berjanji Koalisi Kependudukan akan melakukan advokasi ke sejumlah kepala daerah tentang bonus demografi dan kependudukan dengan lebih masif lagi. Dede Yusuf, Ketua Komisi IX DPR RI yang diundang dalam pertemuan itu menilai isu KKBPK tidak begitu seksi bagi kepala daerah. “Pada saat pemilihan (pilkada), yang dijual adalah programprogram penurunan angka kemiskinan, pengangguran, kesehatan, pendidikan dan infrastruktur,” ujarnya. Mantan Wakil Gubernur Jawa Barat ini mengatakan, semenjak ditarik ke daerah, kepala daerah menganggap program KB hanya penting di Pulau Jawa. KB men­

jadi tidak penting di luar Jawa, seperti Kalimantan, karena jumlah penduduk masih sedikit sementara daerahnya luas. “Kepala daerah tidak tertarik dengan program pembatasan kelahiran dan alat kontrasepsi. Padahal ketika jumlah penduduk banyak, lahan pertanian semakin sedikit, lapangan kerja semakin ketat, kesehatan menjadi sulit, maka timbul angka kemiskinan. Di sinilah BKKBN masuk. Sebab kepala daerah tak berpikir tentang KB tapi kemiskinan, lapangan kerja,” tutur Dede Yusuf. Menurut Dede Yusuf, keluarga miskin ak an menurunk an anak-anak yang nantinya juga miskin. Demikian halnya, sedikitnya 60 juta orang hilang peluang pekerjaan karena direbut oleh teknologi digital. “Itu juga sebuah isu penting. Karenanya, seorang kepala daerah (calon kepala daerah) harus diajarkan mengenai bonus demografi. Tapi jangan jadikan bonus demografi sebagai output tapi

kependudukan sebagai masalah nasional strategis. Agar informasi ini bisa diserap anak muda juga dan juga menjadi isu keluarga-keluarga muda,” terang Paulus. Isu Seksi Benarkah bonus demografi bisa menjadi isu seksi di pilkada 2018? Ter­nyata pakar demografi kenamaan Prof. Murtiningsih Adioetomo sependapat dengan pembicara lainnya. Salah satu terobosannya adalah bagaimana BKKBN bisa memanusiakan angka, menjabarkan Penduduk Tumbuh Seimbang (PTS) agar mudah dimengerti kandidat pilkada dan penduduk. “Bagaimana pula cara mengemas bonus demografi supaya menarik . Bagaimana kita melakukannya? Mengapa kita melaksanakannya? Bagaimana total fertility rate (TFR) 2,1 berdampak pada fiskal, pendidikan. Itulah isu-isu nasional yang tentu berbeda di tingkat regional. Di level daerah isu-isu itu harus dikemas

Imam Prasodjo berdialog dengan Dede Yusuf pada acara forum pakar. (MPC BKKBN)

input,” ujar Dede menyorongkan solusi. Permbicara lain Prof Dr Paulus Wirutomo, sosiolog dan Guru Besar FISIP UI, menganjurkan agar dibuka ruang dialog antara ketua partai politik dengan tokohtokoh demografi terkait soal kemiskinan dan kependudukan. “Kalau ke daerah, kita bisa sekaligus memberikan bahan-bahan presentasi ke mereka. Bahan harus menarik dan informatif,” ujarnya. Paulus juga menyodorkan beberapa solusi. “Harus ada sinkronisasi dengan aspek struktural. Sistem insentif dan disinsentif harus. Lakukan pendekatan kultural. Dan juga kembangkan komunikasi virtual. Bisa tidak kita pengaruhi tokoh tokoh netizen supaya menjadikan masalah

secara khusus,” ujarnya. Isu yang juga menarik diangkat adalah Stunting yang dikaitkan dengan kependudukan. “Struktur umur penduduk harus diketahui dalam penanganan Stunting. Jangan terjadi, misal Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat membangun fasilitas air bersih di daerah yang justru banyak penduduk lanjut usia,” ujar Tuning, sapaan akrab Guru Besar UI itu. Solusi lainnya disodorkan Prof Dr Haryono Suyono. “Datangi berbondong bondong ketua partai. Sodorkan isu Kependudukan, KB dan Pembangunan Keluarga. Ajak agar mereka jangan ngomong tentang alat kontrasepsi tapi pada masalah kemiskinan dan

Jurnal Keluarga l

EDISI KESATU 2018

l

29

KEPENDUDUKAN & KB pengangguran,” ujar sosok yang pernah menduduki sejumlah jabatan menteri di era Orde Baru ini. Haryono yang saat ini menjabat Ketua Dewan Pakar Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi itu juga menganjurkan agar dibentuk tim pusat dan daerah dalam upaya mengadvokasi calon kepala daerah dalam pilkada. Tim ini bertugas menyusun bahan bahan kampanye calon kepala daerah. Isinya disesuaikan dengan kondisi lokal. Muatannya bukan hanya isu kependudukan tapi juga kemiskinan dan pengangguran. “Saat k ampanye di 171 daerah, BKKBN hendaknya membuat banner at a u s p a n d u k ya n g b e r i s i p e s a n pesan bernuansa kependudukan dan pembangunan keluarga, tapi jangan gunakan atribut BKKBN. Misalnya pesan tentang “kemiskinan dapat dientaskan kalau kualitas penduduk tinggi”. Banner

Sejumlah pakar dan praktisi saat mengikuti acara forum pakar. (MPC BKKBN)

ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Karena itu BKKBN harus mengawalnya sedari awal. Sukamdi, pakar dari UGM meng­

Plt Kepala BKKBN Sigit Priohutomo bersama sejumlah kepala direktorat di acara forum pakar. (MPC BKKBN)

atau spanduk-spanduk tersebut untuk mendukung isi pidato Bupati dan tempatkan di sekitar spanduk atau baliho kampanye,” ujar Haryono. Pola berbeda Sementara Lutfi dari UNAIR meng­ usulkan pola berbeda. “Yang sama, lakukan mapping isu kependudukan melalui tim daerah. Tapi jualannya jangan keberhasilan program, namun problem kependudukan. Kita mulai dari ancaman atau ketakutan akibat dampak kependudukan. Maka, kepala daerah perlu mengantisipasi sejak dini,” terangnya. M e n u r u t Lu t f i , p e n t i n g u n t u k memasukkan visi, misi dan program KKBPK

30

ingatk an agar penyusunan nask ah akademik program KKBPK yang disodorkan untuk menjadi bagian dalam RPJMD dituangkan dalam bahasa sederhana sehingga mudah diterjemahkan. “Untuk mengejar peluang tersisa tiga bulan ini, BKKBN harus segera mengemas visi dan misinya untuk dijadikan bahan kampanye para calon kepala daerah. Setelahnya dipakai untuk menyusun RPJMD. Tidak berhenti di situ, tapi juga hingga Rencana Strategis (Renstra) pembangunan daerah dan mengawal Rencana Kerja Pemerintah Daerah. Sehingga program KKBPK selama lima tahun terjamin,” ujar Prof dr Fasli Jalal, mantan Wakil Menteri Pendidikan dan

l Jurnal Keluarga l EDISI KESATU 2018

Kebudayan dan mantan Kepala BKKBN yang ikut tampil memberikan sumbang saran pada forum tersebut. Bahkan Fasli menyarankan agar dibentuk satu tim khusus yang melakukan tugas merevisi visi misi calon. Tim ini juga bertugas mengamati semua website calon dan membedahnya dari sisi kemiskinan, pengangguran, pendidikan, kemudian dikaitkan dengan upaya mewujudkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). “Ka­ rena pemilihan bersifat lokal, kita harus ber­main di keunikan daerah,” tandas Fasli Jalal. Hal senada juga dikemukakan Sugiri Syarief, mantan Kepala BKKBN. “Perlu pembentukan komite, harus yakinkan presiden, lakukan pendekatan ke kepala daerah, garap legal aspeknya, tim hukum BKKBN harus diperkuat; angkat isu seksi bonus demografi dari sisi tenaga kerja. Sowan juga ke partai.” Hal terpenting yang juga dikemukakan Sugiri adalah pemilihan slogan yang gampang diingat dan penciptaan iklim melalui media sosial (medsos). “Bentuk tim medsos. Ajaklah mitra,” tuturnya. S e m e n t a r a i t u, p r a k t i s i m e d i a Suryopratomo alias Tommy mengatakan bahwa media massa memainkan peran penting dalam pembangunan sebuah bangsa. BKKBN dapat memanfaatkannya dalam upaya membangun komitmen bersama guna menekan angka kelahiran dan pernikahan dini. “Harus ada tindakan radikal, bukan himbauan. Karena yang dipertaruhkan bangsa ini adalah ke depan. Di depan (persoalan kependudukan) menakutkan. Untuk itu harus menjadi perhatian kepala daerah,” tandas Tommy. (sara)

TANYA JAWAB KELUARGA gangguan psikis lansia Nurzainun, S.Psi, M.Si, Psi, Psikolog BKKBN Menjawab

Kecemasan dan Ketakutan Terkait perubahan fisiknya, tersingkir dari kehidupan sosial, penyakit, mati dan kekurangan uang

Kesepian Adanya kesangsian akan nilai dirinya dan manfaat bagi masyarakat

Mudah Tersinggung dan Banyak Menuntut

mencegah gangguan psikis lansia

Ketahui Kondisi Lansia dengan Benar

Makanan Sehat

Yth. Ibu Pengasuh, Saya ibu 2 anak usia 6 tahun dan 3 tahun. Kedua balita saya sedang butuh perhatian penuh. Sementara, ibu saya yang usianya 67 tahun saat ini tinggal bersama saya. Awalnya kami baik2 saja, ibu saya juga sayang kepada cucu-cucunya. Namun, sebulan lalu, pendengaran ibu saya mulai bermasalah, ibu saya juga mulai sensitif dan beberapa penyakit yang masih dalam pengecekan dokter sepertinya sudah mulai menyerang. Saya mulai kewalahan dalam membagi waktu antara ibu dan anak2 saya. Apa yang harus saya lakukan? Terimakasih, Ibu Ratih Jakarta Yth Ibu Ratih Mengasuh orangtua yang sudah lanjut usia (lansia) bersamaan dengan melakukan pengasuhan untuk dua anak memang bukanlah sesuatu yang mudah. Namun apabila kita menyikapinya dengan bijak, hal ini bisa menjadi lebih mudah. Yang pertama kali harus dipahami adalah kondisi fisik, psikis dan sosial seputar lansia agar kita paham bagaimana melakukan pengasuhan dan penanganan yang tepat kepada orang tua kita. Problem yang kerap dialami lansia, kami tampilkan dalam bentuk infografis. Untuk itu, beberapa kiat yang bisa dilakukan, adalah: 1. Melibatkan Seluruh Keluarga. Lansia sering merasa terasing. Maka cegahlah dengan selalu mengajak mereka melakukan aktivitas yang masih sanggup mereka lakukan. Libatkan anggota keluarga yang ada seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara bahkan kerabat umumnya dalam membantu merawat dan memberi perhatian dengan penuh kesabaran dan pengorbanan. 2. Membantu menjaga lansia untuk mengatur cara hidupnya dengan baik, misalnya makan, tidur, istirahat, dan bekerja secara seimbang. Perhatikannya makanannya, konsumsi lemak harus disesuaikan dengan kemampuan tubuh, perbanyak makan buah dan sayur. 3. Memahami dinamika psikologis lansiayang kerap muncul, seperti perasaan tidak berdaya, rendah diri, rasa tidak berguna, lemah, rasa tergantung pada yang lebih muda, mudah

Makanan yang mengandung minyak ikan omega 3 memiliki faktor proteksi terjadinya depresi

Sosialisasi

Olahraga

Sosilisasi yang baik dan berkualitas menjadi faktor utama pencegah stres

Jalan kaki, berlari santai, sepeda, berenang, melatih otot dengan bola basket

Stop Merokok & Minum Alkohol Pola hidup tidak sehat seperti merokok dan minum alkohol sebenarnya mudah dihindari sejak muda

tersinggung, sensitif dan suka merajukdan lain-lain. Dengan memahaminya maka akan menimbulkan rasa sabar dan empati pada diri kita dalam merawatnya. Jadi, jangan masukkan ke hati jika perkataan dan prilakunya menyinggung perasaan kita. 4. Jagalah perasaannya dengan tutur kata dan sikap yang baik serta tidak mengatur dan memaksakan diri. Jangan sampai lansia merasa dirinya tidak mampu lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Tetap perhatikan hak orang tua sebagai pembuat keputusan dan sebagai seorang manusia yang memiliki keinginan, kebutuhan dan opini, hargai mereka. 5. Ajak lansia untuk beraktifitas positif atau bernilai ibadah semisal pengajian, olah raga, berkebun, dan sebagainya agar tidak bosan, sesuaikan kondisinya. 6. Biasakan berbincang dari hati ke hati dengan penyampaian yang baik, sehingga apa yang jadi beban perasaan lansia terkomunikasikan. Jangan lupa beri tanggapan positif. 7. Kembangkan dalam diri kita bahwa berbuat baik pada lansia, akan berdampak positif bagi kelangsungan hidup kita karena merawat lansia merupakan bagian dari ibadah, maka lakukanlah dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Semoga bisa membantu Bu Ratih dalam merawat ibu tercinta. Selamat mencoba dan Bangun terus keluarga yang berketahanan. Terima Kasih, Salam

Nurzainun, S.Psi, M.Si, Psi, Psikolog BKKBN menerima konsultasi pembaca melalui [email protected]

@bkkbnofficial

@bkkbnofficial Jurnal Keluarga l

EDISI KESATU 2018

l

31

SOSOK

Apa Kata Mereka

M

emasuki tahun 2018, BKKBN menghadapi sejumlah tan­ tangan baru. Ada dua kegiatan akbar, yakni pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun ini dan pemilihan presiden (pilpres) di 2019. Juga muncul gerakan penanggulangan Stunting yang

menyentuh 100 kabupaten-kota dan 1000 desa. Belum lagi hasil SDKI 2017 yang menunjukan indikator yang semakin membaik dalam program Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK), yang tentu harus dipertahankan.

Untuk memanfaatkan momentum yang ada dan menggerakkan program lebih masif, tentu saja BKKBN membutuhkan sebuah program inovasi, percepatan dan terobosan. Apa dan bagaimana seharusnya BKKBN ke depan, berikut kutipan pendapat sejumlah mantan Kepala BKKBN dan anggota DPR-RI.

Dede Yusuf, Ketua Komisi IX DPR-RI “Selama ini kepala daerah dan calon kepala daerah tidak tertarik mengangkat isu-isu kependudukan karena mereka berpikir Keluarga Berencana (KB) ini urusannya masih soal pembatasan kelahiran dan alat kontrasepsi. Karena itu, BKKBN perlu melakukan rebranding dan terobosan untuk dapat menarik pembuat kebijakan atau para kepala daerah mengangkat isu-isu kependudukan di dalam pemerintahannya. Ini penting, karena makin besar jumlah penduduk akan semakin sedikit lahan pertanian yang tersedia, persaingan tenaga kerja makin berat, menyekolahkan anak semakin sulit, untuk mendapatkan pelayanan kesehatan juga makin sulit, bahkan cenderung nanti akan timbul kemiskinan. Rebranding dimaksud adalah dari Keluarga Berencana menjadi Ketahanan Keluarga yang menjadi basic dari pembangunan. Basic untuk memberikan pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan sebagainya. Kepala daerah akan berpikir pentingnya family planning ketika

32

l Jurnal Keluarga l EDISI KESATU 2018

dihadapkan pada ancaman, seperti kemiskinan dan pengangguran. Di jaman now ini kita jangan berbicara soal cukup dua anak saja. Kita harus berbicara ancaman. Apa sih ancaman kita ke depan.” (san)

SOSOK

Prof Haryono Suyono, Kepala BKKBN (1985 – 1998) “Ke depan BKKBN jangan melulu berkutat pada aspek reproduksi dan alat kontrasepsi. Masih ada delapan fungsi keluarga yang harus dijalankan sebuah keluarga sesuai misi BKKBN. Yakni fungsi agama, sosial budaya, cinta kasih, perlindungan, sosialisasi pendidikan, ekonomi, dan lingkungan, selain juga fungsi kesehatan reproduksi. Demikian juga BKKBN harus mampu merevitalisasi program KB. Revitalisasi ini jangan malah mundur ke era tahun 1970-an. Jadikan

Dr Sugiri Syarief, Kepala BKKBN (2011 – 2013) “BKKBN jangan melakukan business as usual. Sekarang media sosial (medsos) menjadi primadona, seharusnya BKKBN memperkuat tim medsosnya untuk mendorong agar isu-isu kependudukan tetap mewarnai medsos. Kepekaan semacam ini jangan sampai terlupakan oleh jajaran BKKBN. BKKBN juga harus memperluas kemitraan, karena ke depan mereka akan menjadi ke­ kuatan BKKBN. Tanpa mere­ ka tidak mungkin BKKBN menjalankan programnya sendiri. Mereka harus diajak bermitra. BKKBN harus berubah karena nilai-nilai keluarga juga mulai berubah. Cucu saya yang usia tiga tahun saja sudah main gadget. Jadi, mari kita mendidik anak-anak kita melalui gadget. Buatlah tayangan seperti Upin-Ipin atau baby shark di YouTube.” (sara)

juga perdesaan sebagai ladang garapan, meski jumlah Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) berkurang drastis karena sebagian mereka pensiun maupun mutasi. J a j a r a n B K K B N h e n d a k ny a j u g a mengambil momentum pilkada dalam menyebarluaskan dan lebih mempertajam program. Diantaranya membawa visi misi program KKBPK sebagai materi kampanye calon kepala daerah dan memasukkannya ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Strategis (Renstra) Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).” (sara)

Fasli Jalal, Kepala BKKBN (2013 – 2015) “BKKBN harus sebisa mungkin memanfaatkan media sosial sebagai sarana untuk menyosialisasikan program. Sebab komunikasi digital ini akan lebih mudah menyentuh generasi muda dan keluarga-keluarga muda Indonesia. BKKBN juga harus ambil bagian dalam gerakan penanggulangan Stunting melalui program yang dijalankan. Itulah beberapa peluang BKKBN dalam memperkenalkan lebih luas lagi pentingnya program KKBPK ke tengah masyarakat luas. Pendekatan yang dila­ kukan BKKBN bukan lagi soal pengendalian kelahiran dan alat kontrasepsi semata. Tapi hendaknya program itu dikemas dan ber­ muara pada isuisu kemiskinan, pengangguran dan lapangan kerja,” (sara)

Jurnal Keluarga l

EDISI KESATU 2018

l

33

Plesiran

Wisata Religi di Kampung Kb Batu Merah Negeri Batu Merah di Kota Ambon, Maluku, menjadi mengemuka karena prestasinya dalam menggerakkan seluruh potensi yang ada, sehingga berbuah menjadi sebuah Kampung KB unggulan. Hadirnya Masjid An Nur Batu Merah – yang sekaligus bisa menjadi potensi wisata religi di desa itu – ikut memacu percepatan perubahan yang terjadi di Batu Merah.

S

aya termasuk beruntung sudah ‘menjelajah’ ke 34 provinsi di Indonesia. Pada Juli 2010 saya mengikuti kegiatan Sail Banda 2010. Hampir satu bulan penuh saya hidup di kapal perang milik TNI AL, yakni Kapal Perang Repulik Indonesia (KRI) Dr Soeharso. KRI ini berfungsi sebagai rumah sakit terapung (RST). Meski RST tetap saja dipersenjatai meriam, dan sejumlah personil Marinir maupun Pasukan Katak TNI AL. dengan kendaraan lautnya yang khas itu. RST terbesar, yakni Mercy, milik Amerika Serikat (kalau tidak salah terdiri sembilan lantai). Saya juga sempat menjadi tamu di Mercy ini. KRI Dr Soeharso nomor 2 terbesar di dunia dan hanya beberapa negara yang memiliki RST, antara lain Jepang, Singapura dan Australia. Kita patut bangga. Singkat kisah, dalam pelayarannya mengikuti Sail Banda 2010, KRI Dr Soharso bersandar di pangkalan TNI AL, yakni Markas Komando Pangkalan Utama TNI AL (Lantamal) Komando Armada Timur, di Halong, Ambon. Kebetulan saya mendapat kesempatan untuk tidur di darat selama tiga hari. Itupun kebetulan pemilik rumah dinasnya (perwira menengah TNI AL), sedang menempuh pendidikan di Jakarta. Agak lega, karena terhindar dari suasana kehiduan di kapal perang yang menerapkan disiplin amat ketat ala TNI AL. Ingat, saya bukan tentara. Dalam tugas sehari-hari saya hilir mudik dari Halong ke Pelabuhan Samudera Yos Sudarso maupun Kantor Gubernur. Nah, pasti melewati Batu Merah. Waktu itu belum ada Kampung KB. Kampung KB di Negeri (Desa) Batu Merah, Kecamatan Sirimau,

34

l Jurnal Keluarga l EDISI KESATU 2018

Suasana Kampung KB Batu Merah, Ambon, Maluku menyimpan pesona wisata. (repro)

Kota Ambon baru dicanangkan oleh Kepala BKKBN pada 9 Februari 2016. Potret realitas kehidupan masyarakat Batu Merah beragam. Dari sisi program Kependudukan, KB dan Pembangunan Keluarga ada kegiatan pembinaan Kelompok Bina Keluarga Balita Holistik Integratif (BKB, PAUD, dan Posyandu), Bina Keluarga Remaja (BKR), Bina Keluarga Lansia (BKL), dan Kelompok PIK Remaja serta Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS). Program-program tersebut diarahkan untuk menciptakan ketahanan keluarga. Sudah tentu dijalankan bermitra dengan sejumlah instansi dan elemen masyarakat. Alhasil, Kampung KB di Negeri Batu Merah menjadi Kampung KB terbaik di Provinsi Maluku Tahun 2016. Berdasarkan pengamatan dan evaluasi pelaksanaan kegiatan selama ini, keberhasilan Kampung KB di Batu Merah berkat adanya intervensi lintas sektor. “Berbagai kegiatan di Kampung KB akan memberikan dampak positif bagi masyarakat di Desa Batu Merah dan sekitarnya,” kata Kepala Perwakilan BKKBN Maluku Drs Djufry Assegaff. Kampung KB Batu Merah Secara administratif, Negeri Batu Merah merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Sirimau, Kota Ambon, Maluku. Sementara secara geografis, Negeri Batu Merah berada sangat dekat dengan pusat pemerintahan, baik Kota Ambon maupun Provinsi Maluku. Kondisi ini menyebabkan Desa Batu Merah memiliki kerakteristik dinamika sosial berikut problem tersendiri. Data BKKBN pada 2014 memperlihatkan bahwa Kecamatan Sirimau menempati posisi teratas dalam hal jumlah penduduk. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa problem kepadatan penduduk, sebarannya dan pengelolaan kependudukan menjadi

Plesiran

persoalan teramat sangat serius, terutama di desa/kelurahan yang memiliki akses mudah atau berbatasan langsung dengan pusatpusat pelayanan publik, seperti Negeri Batu Merah. Ketiga problem kependudukan tersebut jika tidak tertangani dengan baik dan benar, akan sangat potensial memicu terjadinya problem-problem ikutan (rentetan dampak) lainnya seperti kemiskinan, kesehatan, pendidikan, lingkungan sosial, kriminalitas dan lain sebagainya. Dengan luas wilayah yang tetap dan pertumbuhan penduduk yang terus bertambah, jelas menjadi persoalan serius yang dihadapi pemerintah Negeri Batu Merah. Tidak saja hari ini, tetapi terlebih lagi pada tahun-tahun mendatang. Pemberdayaan memang harus dilakukan. Penduduk Batu Merah perlu mendapatkan sentuhan melalui intensifikasi program yang lebih cerdas. Maklum, angka pendidikan yang masih jeblok dan tingkat kesejahteraan yang tidak begitu bagus seharusnya menginspirasi banyak pihak untuk berbuat sesuatu di Batu Merah. Simak saja, masih ada 272 keluarga tergolong pra-sejahtera dan sejahtera 1 dari total 13.422 KK. Cakupan pemenuhan air bersih pun miris. Hanya 8.201 keluarga dari 14.422 keluarga yang punya akses itu. Hal ini terjadi lantaran belum seluruh mitra kerja melaksanakan kegiatan secara terpadu di Kampung KB Batu Merah. Kondisi ini diperparah lagi dengan tak ada lagi biaya operasional para Kader Tribina.

Masjid An Nur Batu Merah menjadi pusat wisata religi di Ambon, Maluku. (repro)

Kelompok UPPKS juga tidak lagi mendapat bantuan modal. Untunglah Program Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga mendapat respon sangat baik dari masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat pengetahuan, pemahaman dan kesadaran masyarakat dari waktu ke waktu membaik. Tingkat partisipasi masyarakat sebagai akseptor KB adalah kenyataan yang harus direspon secara benar dan berkelanjutan. Itulah potret Batu Merah sebelum hadirnya Kampung KB. Memang tidak begitu menggembirakan, meski intervensi terus dilakukan. Kehadiran Kampung KB ternyata mampu mempercepat

gerakan pembangunan fisik dan mental warga kampung. Kondisi Pasca Pelaksanaan Respon yang baik itu menjadi modal awal keberhasilan Kampung KB Batu Merah meraih predikat bergengsi sebagai Kampung KB Terbaik tingkat Provinsi Maluku di 2016. Semua itu berkat kerja bareng mitra Kerja BKKBN. Sebut saja Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kota Ambon, Dinkes Maluku, Dinas PU Kota Ambon, Dinas Pendidikan Kota Ambon, Dinas Sosial Maluku, Dinas Perikanan dan PKK Kota Ambon. Program yang telah dilaksanakan berupa pembangunan fisik, sanitasi air bersih, pembangunan jalan setapak masuk Kampung KB di RW 01 Batu Merah. Pembentukan kelompok BKB Holistik Integratif, (BKB, PAUD dan Posyandu), PIK Remaja, dan pemberdayaan ekonomi keluarga dengan kelompok UPPKS. Dan sederet pembangunan dan pemberdayaan masyarakat menuju keluarga yang memiliki ketahanan. Wisata religi Kehadiran Masjid An Nur Batu Merah di Desa Batu Merah, ikut memberikan warna tersendiri atas prestasi yang sudah dicapai Batu Merah sebagai Kampung KB. Sungguh masjid ini sangat bersejarah dan memiliki daya tarik tersendiri. Didirikan pada 1575 Masehi oleh Ibrahim Safari Hatala, masjid awalnya memiliki luas 10 x 15 Meter dengan arsitektur yang sederhana dan kubah yang berbentuk kerucut dengan atap terbuat dari daun rumbai dengan lantai pasir putih. Tahun 1605 Masehi bangunan masjid di pugar menjadi bangunan permanen oleh Hasan Hatala dengan gelar Hatti Raja Hatala. Pemugaran kedua dilakukan tahun 1805 M oleh raja Abdurrahman Hatala. Tahun 1924 bangunan masjid dipugar kembali di bawah pemerintahan Raja Abdul Wahid Nurlette (ulama terkenal pada zamannya) dengan tidak menghilangkan bentuk aslinya. Pada masa itu Buya Hamka yang menjadi Ketua MUI pertama di Indonesia dan Bey Arifin, ulama kondang dari Jawa Timur, pernah belajar bersama-sama dengan ulama-ulama di Masjid Batu Merah pada masa kebangkitan nasional. Mengutip Direktori masjid Bersejarah terbitan Departemen Agama RI, tahun 1973-1974 dilakukan pemugaran kembali oleh raja Ahmad Nurlette. Tahun 1988 pemugaran dilakukan dengan mengganti dan memperindah tembok yang mengelilingi masjid dengan pilar-pilar semen kecil. Kehadiran masjid yang agung itu menunjukkan bahwa Batu Merah merupakan pusat pemukiman penduduk Muslim di kecamatan Sirimau, Ambon. Dan program KKBPK tetap ‘berselancar’ dengan indahnya di bumi Batu Merah. Saling mengikatkan diri menuju penciptaan keluarga-keluarga yang sakinah, mawaddah, warrohmah. Kehadiran masjid dengan sejarah panjang atas keberadaannya itu bisa dikembangkan menjadi wisata religi yang cukup menarik. Dan sekaligus ikut mendorong percepatan program pemberdayaan masyarakat melalui berbagai sektor. Dalam hubungan keseharian dengan masyarakat lain, negeri Batu Merah diikat oleh sumpah sebagai saudara Pela (saudara pela adalah kerabat adat) Minum Darah negeri Passo dan diikat tali sedarah/kandung sebagai saudara gandong (saudara gandong adalah kerabat kandung) negeri Ema. (heru/sara)

Jurnal Keluarga l

EDISI KESATU 2018

l

35

OPINI

Kampung KB Oleh : Teteng Jumara

A

lkisah sebuah desa di pesisir utara kabupaten Tangerang dikenal dengan nama desa Kohod termasuk wilayah Kecamatan Pakuhaji Kabupaten Tangerang. Desa dengan kultur pesisir dimana warganya k e b a ny a k a n a d a l a h n e l ay a n y a n g mengandalkan penghasilannya dari menangkap ikan dari laut. Laut adalah harapan dan masa depan mereka yang diwariskannya secara turun temurun hingga ke anak cucunya. Daerah pesisir dikenal dengan keadaan yang kumuh, kotor dan tidak higienis, sehingga mereka identik dengan daerah tertinggal serta tidak tersentuh pembangunan. Namun kemudian perubahan terjadi tatkala desa Kohod yang berpenduduk sekitar 8000 jiwa dijadikan desa percontohan; Bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar menyampaikan dalam suatu acara, bahwa gerakan masyarakat pesisir dimulai dari Desa Kohod dan akan dilanjutkan ke desa lainnya di seluruh K abupaten Tangerang. Pemerintah Kabupaten Tangerang akan menjadikan Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji sebagai desa sejahtera dalam program gerakan pembangunan masyarak at melalui pembangunan infrastruktur, layanan air bersih, juga membangun perekonomian masyarakat dengan melatih bertanam dan beternak. Secara nasional, hal ini sejalan pula dengan amanat yang tertuang dalam agenda prioritas pembangunan, terutama agenda prioritas ketiga, yaitu memulai pembangunan dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Mengapa Kampung KB Mendengar istilah kampung terkesan dalam pikiran setiap orang adalah sebuah tempat nun jauh di pedalaman atau

36

pesisir pantai, yang keadaannya terpencil, tertinggal, kumuh kurang tersentuh oleh pembangunan serta masyarakatnya tidak berpendidikan, mata pencaharian penduduk nya sebagian besar dari bertani dan nelayan. Segalanya dalam serba keterbatasan; kurangnya sarana prasarana jalan, jembatan, listrik, air bersih, pendidikan. Namun terakhir ini, istilah kampung KB menjadi icon yang cukup populer dan banyak diperbincangkan tidak hanya di lingkungan pengelola program kependudukan, keluarga berencana dan pembangunan keluarga (KKBPK) dalam hal ini BKKBN, akan tetapi juga di kalangan lembaga-lembaga departemen ataupun non departemen mulai tingkat pusat hingga daerah. Hal ini, terutama sejak kampung KB dicanangkan oleh Presiden RI pada bulan Januari 2016. Kemudian pertanyaan yang muncul, mengapa kampung KB harus dibentuk. Ada beberapa hal yang melatar­ belakanginya; per tama, program

Kunjungan BKKBN ke Desa Kohod. (dok)

l Jurnal Keluarga l EDISI KESATU 2018

KB tidak lagi bergema dan terdengar gaungnya seperti pada era orde baru; kedua, untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat di tingkat kampung atau yang setara melalui program KKBPK serta pembangunan sektor terkait dalam rangkan mewujudkan keluarga kecil berkualitas; ketiga, penguatan program KKBPK yang dikelola dan diselenggarakan dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat; keempat, mewujudkan cita-cita pembangunan Indonesia yang tertuang dalam Nawacita, terutama agenda memulai pembangunan dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa dalam kerangka kesatuan serta agenda meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia; kelima, mengangkat dan menggairahkan kembali program KB guna menyongsong tercapainya bonus demografi yang diprediksi akan terjadi pada tahun 2010-2030. Secara umum, tujuan dibentuknya kampung KB adalah untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat di tingkat kampung atau yang setara melalui program

OPini Suatu Sore di Kampung Kohod langit senja memerah di kampung kohod cahayanya menjilati rumahrumah bambu yang hampir roboh mata nanar menatap kosong tanah sawah terlantar banjir itu telah menenggelamkan semuanya

Pelayanan penggunaan kontrasepsi di Kampung KB Desa Kohod. (dok)

KKBPK serta pembangunan sektor terkait lainnya dalam rangka mewujudkan keluarga kecil berkualitas. Secara khusus, kampung KB dibentuk selain untuk meningkatkan peran serta pemerintah, lembaga non pemerintah dan swasta dalam memfasilitasi, mendampingi dan membina masyarakat untuk menyelenggarakan program KKBPK dan pembangunan sektor terkait, juga untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pembangunan berwawasan kependudukan. Pemberdayaan Masyarakat Pembangunan seyogyanya adalah membangun masyarakat, karena masyarakat adalah subyek pembangunan bukan sebagai obyek pembangunan. Masyarakatlah yang pertama dan utama harus dibangun, sebagaiman diamanatkan oleh Undang Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga sebagai Dasar Pelaksanaan Program Kependudukan dan Keluarga Berencana. Walaupun pembentukan kampung KB diamanatkan kepada BKKBN, akan tetapi pada prinsipnya kampung KB merupakan perwujudan dari sinergi antara beberapa instansi terakit dari pusat hingga ke daerah. Kampung KB diharapkan menjadi miniatur atau gambaran dari sebuah desa yang didalamnya terdapat keterpaduan program pembangunan kependudukan, KB dan pembangunan keluarga yang disinergikan dengan program pembangunan sektor terkait yang dilaksanakan secara sistemik dan sistematis. Kampung KB dirancang sebagai upaya membumikan, mengangkat kembali, merevi­t alisasi program KKBPK guna mendekatkan akses pelayanan kepada keluarga dan masyarakat dalam upaya mengaktualisasikan dan mengaplikasikan delapan fungsi keluarga secara utuh dalam

masyarakat. Kegiatan di Kampung KB tidak hanya identik dengan penggunaan dan pemasangan kontrasepsi, akan tetapi meru­pakan sebuah program pembangunan terpadu dan terintegrasi dengan berbagai program pembangunan lainnya, dengan demikian kampung KB ini dapat dijadikan sebagai wahana pemberdayaan masyarakat melalui berbagai macam program yang mengarah pada upaya perubahan

menenggelamkan sawah ladang menghanyutkan harapan dan impian juga suaminya tercinta adakah ada sayapsayap malaikat melintas di langit kohod membawa setitik harapan yang lama lenyap tergerus arus cisadane yang kadang murkanya meluapluap digulung amarah zaman yang bergelombang liar meluluhlantakan mereka yang terpinggirkan di tepian kali cisadane di kampung kohod yang sunyi.

Kegiatan penyuluhan di Kampung KB Desa Kohod. (dok)

sikap, perilaku dan cara berfikir masyarakat ke arah yang lebih baik. Kampung yang mulanya tertinggal, terbelakang, kumuh dan warganya kurang berpendidikan, melalui kampung KB menjadi kampung yang maju dan ber­ kembang sejajar dengan daerah-daerah lain yang ada di perkotaan. Kembali ke kisah awal, tatkala per­ jumpaan saya yang pertama mengenal kampung KB di desa Kohod yang saat itu sedang dilanda banjir besar karena meluapnya sungai Cisadane dan berjumpa

dengan sebuah keluarga dengan seorang ibu dan anak yang menderita karena terjangan banjir ke rumahnya, lahirlah sebuah puisi dengan judul, suatu sore di kampung Kohod, puisi ini dimuat dalam buku puisi “ Surau Kecil Berdinding Bilik “ yang saya tulis pada tahun 2012. Drs. H. Teteng Jumara, MM adalah Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kabupaten Tangerang. Penulis buku Apa Kabar BOS ( 2016 ), “ Be A Leader “ ( 2013 ), Surau Kecil Berdinding Bilik ( Buku Puisi, 2012 ).

Jurnal Keluarga l

EDISI KESATU 2018

l

37

OPINI

Prevalensi Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia dan Ancaman Bencana Demografi Dindin Supratman*)

A

da yang selalu mengganggu dalam pik iran saya bahwa ternyata yang namanya globalisasi itu mak in lama semakin memperjauh range antara si kaya dan si miskin dan juga turut andil dalam mengubah struktur demografi. Terjadi peningkatan penduduk yang tak tak terbendung bisa menjadi boomerang bagi bangsa ini. Bukan tidak mungkin peningkatan jumlah penduduk yang berlebih justru malah menjadi sebuah pisau bermata dua, mungkin bisa mendatangkan keuntungan atau bahkan kerugian bagi eksistensi sebuah negara. Dampak dari dua sisi ini harus disikapi dengan bijak agar pemanfaatan sisi sumber daya manusia benar -benar mampu menjadi Modal Pembangunan, bukan justru sebagai beban ekonomi negara. Data terbaru yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan, pada tahun 2017 bahwa telah terjadi kenaikan jumlah pengangguran di Indonesia sebesar 10.000 orang menjadi 7,04 juta orang pada Agustus 2017 dari Agustus 2016 sebesar 7,03 juta orang. Ini jelas mempersulit negara dan dapat menghambat pembangunan di segala bidang kehidupan. Peningkatan jumlah penduduk yang tidak diimbangi dengan tersedianya lapangan pekerjaan, jelas memperbesar angk a permasalahan pertumbuhan perekonomian negara. I ro n i s nya , p e n i n g k at a n j u m l a h penduduk ak ibat tingk at kelahiran yang tinggi, juga dibarengi dengan tingkat kematian yang tinggi. Dilihat dari jumlahnya, penduduk usia produktif Indonesia mencapai sekitar 180 juta, sementara nonproduktif hanya 60 juta. Indonesia akan mendapatkan bonus

38

demografi, yaitu jumlah usia angkatan kerja (15-64 tahun) mencapai sekitar 70 persen, sedang 30 persen penduduk yang tidak produktif (usia 14 tahun ke bawah dan usia di atas 65 tahun) yang akan terjadi pada tahun 2020-2030. Di satu sisi, bonus demografi memberi keuntungan karena melimpahnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang produktif. Namun di sisi lain, bencana siap mengintai apabila angkatan kerja yang melimpah itu tidak berkualitas baik. Penduduk usia produktif yang tidak berada dalam performa terbaiknya tentu akan tersisih. Ketidaksiapan baik secara fisik dan mental akan membuat angkatan kerja kesulitan bersaing. Ujung-ujungnya akan muncul permasalahan serius yaitu terjadinya pengangguran besar besaran yang

l Jurnal Keluarga l EDISI KESATU 2018

membebani. Narkoba menjadi salah satu faktor yang membuat performa usia produktif menjadi tidak prima. Penyalahgunaan narkoba di Indonesia sudah mencapai tahap yang sangat mengkhawatirkan. Tidak hanya kalangan remaja di perkotaan, bahkan sudah menjalar ke kalangan anak-anak di pedesaan. Dalam sebuah kesempatan Presiden Joko Widodo mengatakan “Indonesia saat ini tengah berada dalam situasi darurat narkoba, hampir 50 orang meninggal setiap hari karena narkoba, artinya dalam setahun sekitar 18 ribu orang meninggal.” Laporan tahunan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) 2013 menyebutkan bahwa pada tahun 2011, antara 167 sampai dengan 315 juta orang (3,6 - 6,9% dari populasi penduduk

OPini

dunia yang berumur 15 – 64 tahun) menggunakan narkotika minimal sekali dalam setahun. Berdasarkan hasil penelitian BNN bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kesehatan UI Tahun 2011 tentang Survei Nasional Perkembangan Penyalahgunaan Narkotika di Indonesia, diketahui bahwa angka prevalensi penyalahguna narkotika di Indonesia telah mencapai 2,23% atau sekitar 4,2 juta orang dari total populasi penduduk (berusia 10 - 59 tahun). Tahun 2015 jumlah penyalah guna narkotika ± 2,8% atau setara dengan ± 5,1 - 5,6 juta jiwa dari populasi penduduk Indonesia. Seseorang yang kecanduan narkoba akan kehilangan kendali atas dirinya sendiri

Ancaman terbesar penyalahgunaan narkoba terhadap generasi bangsa secara massif adalah terjadinya fenomena lost generation atau generasi yang hilang di masa yang akan datang

dan tak lagi berpikir soal masa depan. Efek adiksi memaksa dirinya hanya berkutat dalam memuaskan dahaga mengonsumsi

KUIS KKBPK

narkoba. Ancaman terbesar penyalahgunaan narkoba terhadap generasi bangsa secara massif adalah terjadinya fenomena lost generation atau generasi yang hilang di masa yang akan datang. Padahal generasi muda yang ada saat ini seharusnya menjadi tulang punggung yang memberikan kontribusi penting pada era bonus demografi nanti. Prevalensi penyalahguna narkoba dan ancaman bencana demografi Kondisi yang labil serta mudahnya terpengaruh peer group menjadikan kelompok muda kerap menjadi sasaran sindikat narkoba untuk dimanfaatkan. Hal tersebut menyebabkan ancaman yang cukup serius bagi ketahanan nasional. Menurut Rizk i Sari (2015) masalah penyalahgunaan dan perdagangan serta peredaran narkoba dan obat-obatan terlarang telah menjadi permasalahan global yang terjadi hampir di seluruh negara di dunia termasuk Indonesia. Bencana siap mengintai apabila angk atan kerja yang melimpah itu tidak berkualitas baik. Penduduk usia produktif yang tidak berada dalam performa terbaiknya tentu akan tersisih. Ketidaksiapan baik secara fisik dan mental akan membuat angkatan kerja kesulitan bersaing. Ujung-ujungnya akan muncul permasalahan serius yaitu terjadinya pengangguran besar-besaran yang membebani negara. Menghadapi kondisi seperti ini maka upaya untuk senantiasa mengembangkan kemampuan bangsa mempertahankan hidupnya (ketahanan bangsa) adalah sebuah keharusan, tanpa kemampuan tersebut sebuah bangsa akan kalah dan

bahkan mati sehingga lambat laun akan dapat membahayakan integritas, identitas serta kelangsungan hidup bangsa dan negara. Agar Indonesia terhindar dari bencana demografi karena sebaran narkoba yang sedemikian massif kepada kalangan usia produktif, tentunya perlu dilakukan berbagai upaya nyata yang dilakukan secara massif juga. Keluarga merupakan lingkungan terkecil dalam masyarakat. Keluarga juga merupakan garda terdepan dalam melindungi anak dari pengaruh negatif. Dalam keluarga lah pertama kali pembentukan karakter seorang anak dimulai. Oleh karena itu upaya pencegahan Narkoba yang paling penting berawal dari keluarga. Ketika sudah ditanamkan fondasi yang kuat kepada anak (baik berupa nilai agama, sosial dan ilmu pengetahuan) m a k a k e ce n d e r u n g a n a n a k u nt u k menyalahgunakan Narkotika akan kecil. Lingkungan masyarakat menjadi lingkungan selanjutnya yang menentukan perilaku seorang anak. Dalam lingkungan masyarakat, anak akan bersosialisasi dengan berbagai pihak, baik yang seumur maupun yang lebih dewasa ataupun yang lebih kecil usianya. Ketika anak menemukan lingkungan yang kurang kondusif (misalnya banyak terjadi penyalahgunaan Narkotika) maka dikhawatirkan anak tersebut akan terpengaruh oleh lingkungan tersebut, begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, disamping lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat juga perlu diberikan pemahaman akan bahaya dan dampak dari penyalahgunaan Narkotika serta upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan Narkotika. *) Penulis adalah Widyaiswara di Badan Narkotika Nasional

UJI PENGETAHUAN PROGRAM KEPENDUDUKAN, KB DAN PEMBANGUNAN KELUARGA

1. Apa judul Cover majalah Jurnal Keluarga edisi pertama 2018? 2. Jelaskan secara ringkas pengertian dari Stunting? 3. Sebutkan salah satu program BKKBN dalam penanggulangan Stunting?

- Jawaban dapat dikirimkan melalui email [email protected], twitter @bkkbnofficial, instagram @bkkbnofficial - 3 Pemenang terpilih akan mendapatkan hadiah menarik dari BKKBN - Majalah Jurnal Keluarga dapat diakses di website www.bkkbn.go.id

Jurnal Keluarga l

EDISI KESATU 2018

l

39

KONSULTASI KESEHATAN REPRODUKSI

dr. Irma Ardiana MAPS Menjawab

Suntik Progestin Yth Dr. Irma Saya telah memiliki anak pertama dan bermaksud untuk menunda kehamilan berikutnya. Untuk itu saya menggunakan suntik KB. Namun saya punya kekhawatiran kalau nanti saya terlambat datang ke puskesmas untuk mendapatkan suntikan ulang, apa yang harus saya lakukan dan apa saja efek samping dari penggunaan suntik KB? Atas penjelasan dr. Irma diucapkan terima kasih. Ny. N, 25 th

Yth Ny. N Saya sangat senang Ny. N memiliki perencanaan yang matang untuk mengatur jarak kelahiran anak pertama dan kedua. Semoga anak pertama tumbuh sehat dan berkembang sesuai dengan tahapan perkembangan usianya. Kontrasepsi suntik yang disediakan

oleh Pemerintah dan tersedia di fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan seperti puskesmas, klinik pratama atau praktik dokter adalah kontrasepsi 3 bulanan yang berisi hormon progestin. Jika ada keterlambatan untuk memperoleh suntikan ulang maka perlu diperhatikan lama waktu keterlambat suntikan ulang tersebut. 1. Jika Ny. N terlambat kurang dari 2 minggu maka Ny. N dapat memperoleh suntikan ulang segera di fasilitas kesehatan. 2. Jika Ny. N terlambat lebih dari 4 minggu, Ny N dapat menerima suntikan ulang jika: a) Tidak melakukan hubungan seksual sejak 2 minggu setelah jadual suntik terakhir yang seharusnya; b) Ny. N menggunakan metode cadangan atau menggunakan pil kontrasepsi darurat setelah melakukan hubungan seksual tanpa perlindungan sejak 2 minggu

setelah jadual suntik terakhir yang seharusnya; c) Ny. N memberikan ASI eksklusif atau mendekati ASI ekslusif dan melahirkan kurang dari 6 bulan yang lalu; 3. Jika Ny. N terlambat lebih dari 4 minggu dan tidak memenuhi kriteria sebagaimana tersebut pada angka 2 di atas maka sebelum memperoleh suntikan ulang, Ny. N perlu dipastikan tidak sedang hamil. Harus dapat dipastikan Ny. N kembali ke fasilitas kesehatan setiap 3 bulan untuk menerima suntikan ulang. Efek samping yang paling sering dikeluhkan oleh pengguna suntik KB ini adalah perubahan pola menstruasi, yaitu tidak teratur, menjadi lebih lama atau bahkan tidak mengalami menstruasi. Perubahan pola menstruasi ini tidak berbahaya dan biasanya terjadi pada beberapa bulan pertama. Pada sebagian kasus dapat terjadi peningkatan berat badan. Demikian Ny. N. Semoga bermanfaat dan Salam 2 Anak Cukup.

Dr. Irma Ardiana menerima pertanyaan pembaca melalui surat ke alamat redaksi atau email [email protected] 40

l Jurnal Keluarga l EDISI KESATU 2018

POTRET

Langsung Bergerak

Dokter Sigit Priohutomo ditetapkan menjabat Plt Kepala BKKBN beberapa waktu lalu. Tak menanti lama, ia pun langsung bergerak. Berbagai acara di sejumlah daerah dihadiri. Meski masih menjabat Deputi Koordinator Bidang Peningkatan Kesehatan, Kemenko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan, komitmennya cukup kuat dalam menggerakkan, membangkitkan dan memajukan program Kependudukan, Keluarga Bderencana dan Pembangunan Keluarga. Ini terbukti dari kinerjanya yang tinggi walau hanya berbilang bulan dari saat ditetapkan Januari lalu. (san)

Pejabat Pimpinan Tinggi Madya menandatangani Perjanjian Kinerja disaksikan Plt. Kepala BKKBN Sigit Priohutomo.

Penandatanganan Nota Kesepahaman dengan Dharma Pertiwi.

Kepala BKKBN Sigit Priohutomo menyerahkan DIPA BKKBN Tahun Anggaran 2018.

Saat berkunjung ke BKKBN Sumatera Utara.

Saat mengunjungi Pusat Pelayanan Keluarga Sejahtera PPK di salah satu daerah.

Hadiri Sosialisasi Dana Alokasi Khusus KB di Jambi.

Jurnal Keluarga l

EDISI KESATU 2018

l

41

Update Terus Berita Program KKBPK

Dengan Mendownload

Radio Streaming BKKBN Google Play atau APP Store

Buka aplikasi

Ketik

Radio Streaming BKKBN

Aktifkan dan dapatkan informasi seputar Program KKBPK

Pilih ikon logo Unduh aplikasi Radio Streaming BKBN

Request lagu, hubungi 0822-1009-8011

www.bkkbn.go.id

@bkkbnofficial

@bkkbnofficial

BKKBN