JURNAL PSIKOLOGI VOLUME 7 No. 2, AGUSTUS 2012: 544 – 561 RELIGIUSITAS, KECERDASAN EMOSI DAN PERILAKU PROSOSIAL GURU Muryadi1 Universitas PGRI Nusantara Kediri Andik Matulessy2 Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya Abstract The purpose of this research is to know whether there is a relationship between religiousity, emotional intelegence and prosocial behaviour. This research is conducted to 80 Islamic teachers of State Junior High School all around District Semen. The data is obtained by using the scala measurement of religiousity, emotional intelegence and prosocial behaviour. The result of regresi analysis shows that : (1) there is a relationship between religiousity, emotional intelegence and prosocial behaviour (F = 36,349) and p = 0,000) partially (2) there is a relationship between religiousity and prosocial behaviour (t = 2,789 dan p = 0,007) and (3) there is a relationship between emotional intelegence and prosocial behaviour (t = 5,631 pada p = 0,000). The two predictors influence 48,6% to the prosocial behaviour. Key word : religiousity, emotional intelegence and teachers prosocial behaviour Menurut Adler (dalam Sugiono, 2011), guru merupakan
unsur
manusiawi
yang
menentukan keberhasilan pendidikan, dituntut
mempunyai
kompetensi
sangat sehingga
profesional
Selain ketiga kompetensi tersebut di atas, sebagai
anggota
masyarakat,
seorang
guru
seyogyanya juga memiliki kompetensi sosial yang menggambarkan
bahwa
guru
harus
mampu
sebagai seperangkat pengetahuan, ketrampilan dan
berkomunikasi secara lisan dan tulisan, bergaul
perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai
secara efektif dengan peserta didik, sesama
oleh guru dalam melaksanakan tugasnya. Hal
pendidik, orang tua atau wali murid serta bergaul
tersebut diatur dalam pasal 10 ayat 1 Undang-
secara santun dengan masyarakat sekitar. Hal ini
undang No 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen
penting karena peranan guru terhadap murid-
yang di dalamnya dijelaskan bahwa lingkup
muridnya merupakan peran vital dari sekian
kompetensi profesional guru meliputi kompetensi
banyak peran
pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi
komunitas utama yang menjadi wilayah
profesional dan kompetensi sosial.
guru adalah di dalam kelas untuk memberikan
yang harus ia jalani sebab tugas
keteladanan, pengalaman serta ilmu pengetahuan 1
Korespondensi mengenai artikel ini dapat dilakukan dengan menghubungi:
[email protected] 2 Korespondensi mengenai artikel ini dapat dilakukan dengan menghubungi:
[email protected]
JURNAL PSIKOLOGI
kepada mereka. Sehingga, keteladanan sikap guru terhadap muridnya sangatlah penting, karena seringkali orang mempelajari sikap dan perilaku sosial dengan meniru sikap dan perilaku orang
544
RELIGIUSITAS, KECERDASAN EMOSI DAN PERILAKU PROSOSIAL yang menjadi model. Bahkan dalam banyak hal
kepentingan
anak-anak cenderung meniru perilaku orang
keuntungan orang atau kelompok merupakan
dewasa, selain orang tua si anak, guru di sekolah
tujuan
merupakan orang dewasa terdekat kedua bagi
Eisenberg
mereka, bahkan sekarang ini banyak terjadi kasus
mengemukakan bahwa tingkah laku prososisal
anak lebih mempercayai guru dibanding pada
meliputi tiga aspek yaitu, (a) tindakan yang
orang tua mereka sendiri,
maka dari itulah
dilakukan secara suka rela, (b) tindakan yang
seorang guru harus bisa menunjukkan sikap dan
ditujukan demi kepentingan orang lain atau
keteladanan yang baik di hadapan murid-murid
sekelompok orang lain, dan
dan
merupakan tujuan bukan sebagai alat untuk
lingkungannya
khususnya
dalam
hal
dari
pribadi.
Kesejahhteraan
perilaku
prososial ini.
(dalam
Pulungan,
dan
Bahkan 1998)
(c) tindakan itu
memuaskan motif pribadi.
membantu sesamanya. Sebagian anggota sekolah
Guru pun seyogyanya mampu menjadi
membutuhkan
partisipasi
dan uluran tangan untuk memenuhi
tauladan berperilaku
kebutuhan
hidupnya,
mengatasi permasalahan yang dihadapi siswanya
siswa
mengerjakan tugasnya atau
yang
kesulitan
nilainya rendah
atau
kesulitan
yang
prososial terjadi
membantu
di
masyarakat
membutuhkan partisipasi dan uluran tangan untuk
sekitarnya. Untuk itu guru seyogyanya memiliki
mengatasi kesulitan tersebut agar prestasinya
dan
dapat meningkat. Siswa yang kesulitan ekonomi
yang tinggi dan sikap peduli untuk
membutuhkan
secara efektif permasalahan yang muncul baik di
partisipasi
berupa
bantuan
keuangan untuk mencukupi kebutuhan belajarnya.
mengembangkan sensitivitas interpersonal merespon
lingkungan sekolah atau di masyarakat. Salah satu faktor yang berpengaruh dalam
Demikian juga dengan sebagian teman sejawat saudara-saudara kita di
membentuk perilaku prososial disampaikan oleh
masyarakat mengalami permasalahan beraneka
Myer (1999) adalah religi. Ia mengatakan religi
ragam mulai permasalahan sederhana sampai
selain sebagai faktor yang berpengaruh dalam
pelik dan rumit yang kesemuanya membutuhkan
membentuk prilaku menolong, juga menjanjikan
partisipasi dan uluran tangan untuk mengatasi
perlindungan dan rasa aman bagi seseorang untuk
permasalahan
menemukan
kita di sekolah dan
masing-masing. Partisipasi dan
eksistensi
dirinya.
Religius
uluran tangan yang diharapkan ini dalam istilah
membentuk pribadi-pribadi guru yang kokoh
Psikologi disebut dengan perilaku prososial, yaitu
dalam
perilaku yang menurut Baron & Byrne (dalam
jujur, disiplin, setiakawan, menghargai hak dan
Farid 2011) adalah perilaku suka rela menolong
kesejahteraan orang lain, optimis dan tolong
orang lain tanpa ingin memperoleh imbalan dan si
menolong, karena pada dasarnya agama memang
penolong merasa puas setelah menolong.
mengajarkan mengenai moral.
Perilaku prososial memiliki ciri khusus yang meletakkan kepentingan orang lain di atas
545
berperilaku untuk toleran, bekerjasama,
Sementara Staub (dalam Dayakisni dan Hudaniah,
2003)
mengatakan
faktor
yang
JURNAL PSIKOLOGI
MURYADI & MATULESSY mendasari seseorang untuk bertindak prososial,
tingkat religiusitas yang rendah tidak menghayati
salah satunya adalah
dan
agamanya dengan baik sehingga dapat saja
norma yang diinternalisasi oleh individu selama
perilakunya tidak sesuai dengan ajaran agamanya.
mengalami sosialisasi. Nilai dan norma tersebut
Guru yang seperti ini memiliki religiusitas yang
diperoleh individu melalui ajaran agama dan juga
rapuh sehingga dengan mudah dapat ditembus
lingkungan sosial. Oleh karena itu menurut
oleh daya atau kekuatan untuk berbuat sesuka
Mangunwijaya (1984) agama dan religiusitas itu
hatinya dan akan dengan mudah melanggar ajaran
merupakan kesatuan yang saling mendukung dan
agamanya.
adanya
nilai-nilai
merupakan
Faktor lain yang juga dapat membentuk
konsekuensi logis dari kehidupan manusia yang
perilaku prososial adalah kecerdasan emosi yang
diibaratkan selalu mempunyai dua kutub yaitu
oleh
kutub
kutub
kemampuan untuk mengenali dan mengelola
jauh
emosi diri dalam hubungannya dengan orang lain.
berbeda dengan pendapat Mangunwijaya adalah
Seseorang yang memiliki kecerdasan emosi tinggi
pendapat Glock dan Strak (1965) yang memahami
berkemampuan sosial tinggi dalam bentuk empati,
religiusitas sebagai rasa percaya tentang ajaran
kesediaan bekerjasama dan memiliki kepribadian
agama tertentu dan dampak dari ajaran itu dalam
altruistik.
melengkapi,
karena
keduanya
kehidupan
kebersamaannya
pribadi
di
dan
masyarakat.
Tidak
Empati dalam hal ini dapat dijelaskan
kehidupan sehari-hari di masyarakat. Dijelaskan lebih
lanjut,
bahwa
religiusitas
seseorang
Goleman (1995) dinyatakan sebagai
sebagai kemampuan memahami dan merasakan
lima
apa yang terjadi pada orang lain dan merupakan
dimensi, yaitu dimensi kepercayaan, dimensi
potensi dasar yang penting bagi tumbuhnya sikap
ritual atau praktek, dimensi pengalaman, dimensi
menolong. Sehingga dapat dikatakan bahwa
pengetahuan dan dimensi konsekueansi. Maka,
kecerdasan emosi
adanya religiusitas yang tinggi pada guru akan
dalam
membantu mengarahkan guru untuk menghayati
mendorong
perannya dalam mendidik siswa, sebagai wujud
mengembangkan empati.
tercermin
dalam
keterlibatannya
pada
ibadah untuk memaknai hidup di hadapan
memberi arah perilaku guru
berinteraksi diri
dengan
orang
guru
lebih
lain
dan
mampu
Kecerdasan emosi merupakan dasar untuk membangun relasi sosial yang baik, sehingga
Tuhannya. Guru yang memiliki tingkat religiusitas
seseorang yang memiliki kecerdasan
emosi
yang tinggi akan memandang agamanya sebagai
tinggi, secara sosial memiliki lebih banyak relasi
tujuan utama hidupnya, sehingga ia berusaha
dengan orang lain dan kualitas relasinya lebih baik
menginternalisasikan ajaran agamanya dalam
(Schutte
perilakunya sehari-hari, sehingga semakin religius
menjalin relasi sosial memungkinkan seseorang
seseorangan akan
merasa dekat, bersahabat, toleran, bekerjasama,
semakin tinggi perilaku
dalam
Farid,
2011).
Kemampuan
prososialnya. Sebaliknya guru yang memiliki
JURNAL PSIKOLOGI
546
RELIGIUSITAS, KECERDASAN EMOSI DAN PERILAKU PROSOSIAL berempati,
berbagi,
dan
perilakunya
positif
bangsa terabaikan, yang ada di benak guru bagaimana menghabiskan waktu
terhadap orang lain.
kehadiran di
Ada fenomena yang berkembang di tengah-
sekolah untuk sekedar menggugurkan kewajiban
tengah masyarakat saat ini, satu sisi aktivitas
mengajarnya. Sungguh ironis ketika sebagian
keagamaan seperti menjamurnya pengajian dan
anak-anak bangsa ini terpuruk dan keterpurukan
ceramah agama, pembinaan keagamaan, ritual
itu hanya bisa diangkat dengan peningkatan
dzikir, dan lain sejenisnya yang diikuti oleh para
kemampuan dan kompetensi yang dimilikinya,
guru, sebagaimana temuan
penelitian yang
guru sebagai pihak yang seharusnya berada di
dilakukan oleh Ahmadi (dalam Musaheri, 2009)
barisan terdepan justru kadang berada di barisan
tentang fenomena keberagaman di kalangan
belakang dengan tidak peduli lagi terhadap
profesional
adanya
tanggung jawabnya. (http://edukasi.kompasiana.
peningkatan kegairahan intensitas kegiatan di
com/2010/04/15/dicari-guru-profesional/, diakses,
kalangan masyarakat. Kegiatan keagamaan tidak
15 September 2011)
muda,
menemukan
hanya dilakukan di masjid-masjid tetapi telah
Berdasarkan pengamatan peneliti terdapat
berpindah ke hotel-hotel berbintang dengan nara
perilaku pada guru yang kurang mencerminkan
sumber tidak hanya datang dari para kyai
perilaku prososial, seperti misalnya ada sebagian
tradisional melainkan dari kalangan intelektual,
guru di Kecamatan Semen yang saling melempar
dan guru juga mengikuti pelatihan-pelatihan,
tanggung jawab atau kewajiban untuk menolong
seminar-seminar untuk meningkatkan kecerdasan
siswa ketika mengalami kesulitan atau masalah
emosi. Namun pada kenyataannya seiring dengan
karena tidak mau repot. Ada sebagian siswa fakir
perkembangan dan perubahan peradaban dewasa
miskin yang kesulitan biaya, kurang mendapatkan
ini guru sebagai orang yang patut digugu dan
uluran tangan dan kepedulian untuk membantu.
ditiru dalam perilaku prososial mengalamai
Bahkan ada sebagian guru yang merasa keberatan
degradasi untuk digugu dan ditiru. Guru sebagai
ketika menggantikan mengajar di kelas saat teman
pihak
dan
sejawat berhalangan hadir karena sesuatu hal.
mempertanggungjawabkan tugasnya sebagai suri
Terkadang ketika teman sejawat mengalami
tauladan dalam perilaku prososial justru terkadang
masalah atau kesulitan ada kesan tidak berinisiatif
menjadi pihak yang sering kali mengabaikan
untuk
tanggungjawabnya, hal ini bisa dilihat dari rasa
fenomena ini, peneliti merasa bahwa penelitian ini
memiliki, dan kewajiban untuk menjadikan anak
penting dilakukan dan dikaji lebih lanjut.
yang
bertanggung
jawab
menguasai kompetensinya hilang, bahwa
guru
hanya
sekedar
yang ada
menggugurkan
yang
tanggungjawabterhadap
547
Perilaku menolong
pertolongan.
prososial
orang
lain
adalah secara
Melihat
tindakan
ikhlas,
dan
menimbulkan keuntungan baik fisik maupun
kewajiban. Hal-hal
memberikan
terkait upaya
dengan
psikologis bagi objek yang ditolong tersebut.
mencerdaskan
JURNAL PSIKOLOGI
MURYADI & MATULESSY Menurut Staub (1979) aspek-aspek yang
untuk
memperoleh
penghargaan
dan
adalah
menghindari kritik. (2) Personal value dan norm
perasaan
yaitu nilai-nilai dan norma-norma sosial yang
(sharing), menyumbang (donating), peduli atau
diinternalisasi oleh individu selama mengalami
mempertimbangkan kesejahteraan orang
sosialisasi. Perilaku ini merupakan refleksi dari
terkandung menolong
dalam
perilaku prososial berbagi
(helping),
lain
(caring) dan kerjasama (cooperating).
perkembangan moral dan sosial yang paling
Cholidah, 1996)
banyak dipengaruhi oleh nilai budaya. Dan (3)
menyatakan bahwa perilaku prososial mencakup
Empati yaitu kemampuan seseorang untuk ikut
tindakan-tindakan: (1) Kerjasama, yaitu dapat
merasakan
melakukan kegiatan bersama orang lain termasuk
lain. Kemampuan empati erat hubungannya
diskusi dan mempertimbangkan pendapat orang
dengan pengambilan
lain guna mencapai tujuan bersama. (2) Membagi
empati
perasaan,
maupun non verbal.
Mussen, dkk (dalam
yaitu memberi kesempatan dan
perhatian kepada orang lain untuk mencurahkan
perasaan
ini
dapat
Sedangkan
atau pengalaman
orang
peran.
Pengungkapan
dilakukan
secara verbal
faktor
situasional,
adalah
isi hatinya. (3) Menolong, yaitu membantu
meliputi : (1) Hubungan
meringankan beban orang lain dengan melakukan
semakin
kegiatan fisik bagi orang yang ditolong. (4)
penolong dengan yang ditolong semakin cepat
Kejujuran,
yaitu
dan
mengakui
perasaan.
tidak berlaku curang dan (5)
Mempertimbangkan
jelas
dan
semakin
interpersonal. Bahwa
dekat
hubungan
antara
mendalam seseorang akan
melakukan pertolongan. (2) Pengalaman dalam
kesejahteraan orang lain, yaitu memberi sarana
pemberian
bagi orang lain untuk mendapatkan kemudahan
Pengalaman positif akan menyebabkan orang
dalam
kembali
segala
urusan,
punya kepedulian
pertolongan dan melakukan
suasana hati.
perilaku
prososial
terhadap orang lain dengan mengindahkan dan
(reinforcement). Sebaliknya
menghiraukan masalah orang lain. (6) Berderma,
pahit orang akan menghindari perilaku prososial.
yaitu memberi sesuatu kepada orang lain.
Orang yang dalam suasana hati gembira, akan
Keenam aspek perilaku prososial inilah
pengalaman
yang
lebih suka menolong. Sebaliknya orang dalam
yang kemudian digunakan sebagai indikator skala
suasana
perilaku prososial.
menghindari memberikan pertolongan. (3) Sifat
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku
stimulus.
Prososial
meningkatkan
Menurut Staub (dalam Dayakisni dan
hati
yang
Semakin
sedih akan jelas
kesiapan
cenderung
stimulus untuk
akan
bereaksi.
Sebaliknya semakin tidak jelas stimulus akan
Hudaniah, 2003) faktor yang mendasari seseorang
sedikit
untuk bertindak prososial adalah faktor personal
kebutuhan
dan faktor situasional. Faktor personal, antara lain
kebutuhan yang ditolong semakin besar pula
adalah meliputi : (1) Self-gain yaitu keinginan
kemungkinan untuk mendapatkan pertolongan. (5)
JURNAL PSIKOLOGI
terjadi perilaku prososial. (4) Derajat yang
ditolong.
Semakin
besar
548
RELIGIUSITAS, KECERDASAN EMOSI DAN PERILAKU PROSOSIAL Tanggung jawab, kekaburan tanggung jawab
Dimensi-dimensi itu dijelaskan sebagai berikut:
akan
menyebabkan
(1)
suatu
pertolongan
masing-masing
involvement, adalah tingkatan sejauh mana orang
pribadi
itu mempunyai tanggung jawab untuk
menerima hal-hal yang theologis atau dogmatis di
orang tidak karena
memberikan
Dimensi
kepercayaan
atau
idiological
mengambil tindakan. (6) Biaya
yang
harus
dalam agama mereka. Misalnya apakah orang
dikeluarkan.
biaya
yang
beragama tersebut mempercayai adanya Alloh,
dikeluarkan untuk menolong, maka semakin kecil
surga, neraka dan lain sebaginya. (2) Dimensi
kemungkinan orang akan melakukan perilaku
praktek atau ritual atau ritual involvement adalah
prososial, apabila dengan penguatan yang rendah.
tingkat sejauh mana orang mengerjakan ritual
Sebaliknya bila biaya rendah penguatan kuat,
agamanya.
orang akan lebih siap menolong. (7) Norma
penyembahan dan ketaatan. Misalnya pergi ke
timbal balik. Seseorang akan berusaha untuk
masjid bagi pemeluk agama Islam, ke gereja bagi
memberikan pertolongan kembali kepada orang
pemeluk agama Kristen dan Protestan, mengikuti
yang pernah memberinya pertolongan. Di sini
komuni, dibabtis dan sebaginya. (3) Dimensi
muncul dorongan untuk membalas jasa atau
pengalaman atau experience involvement, adalah
hubungan timbal balik sebagai wujud tanggung
dimensi yang berkaitan dengan pengalaman
jawab moral. (8) Karakter kepribadian. Seseorang
pribadi yang unik dan khas yang dipandang
yang
sebagai
Semakin
mempunyai
besar
kecenderungan
untuk
Yang
suatu
dimaksud
keajaiban
adalah
yang
perilaku
datang
dari
melakukan perilaku prososial biasanya memiliki
Tuhannya. Misalnya apakah seseorang pernah
karakteristik kepribadian, yaitu: harga diri yang
merasakan
tinggi, rendahnya kebutuhan akan persetujuan
dikabulkan oleh Tuhan, merasakan bimbingan
orang lain,
atau pertolongan Tuhan secara pribadi. (4)
tanggung
jawab
yang
tinggi,
bahwa
permohonan
do’anya
memiliki kontrol diri yang baik dan tingkat
Dimensi
moral yang seimbang.
involvement, adalah dimensi yang melihat sejauh
pengetahuan
atau
intelectual
Religiusitas mencakup seluruh hubungan
mana orang mengetahui dan memperdalam ajaran
dan konsekuensi hubungan antara manusia dengan
agamanya. Apakah ia rajin membaca buku-buku
penciptanya dan sesamanya di dalam kehidupan
tentang agamanya dan sebagainya. Pengetahuan
sehari-hari. Jadi religiusitas adalah perilaku
agama menjadi sangat penting sejak diketahui
ketaatan beragama.
bahwa
hal
itu
menjadi
prekondisi
dari
Menurut Glock & Stark (1965) religiusitas
kepercayaan (belief) meski ada orang yang
seseorang tercermin dalam keterlibatannya pada
percaya begitu saja tanpa memahami ajaran agama
lima dimensi, yaitu dimensi kepercayaan, dimensi
yang dianutnya. (5) Dimensi konsekuensi atau
ritual atau praktek, dimensi pengalaman, dimensi
consequential involvement, adalah dimensi yang
pengetahuan dan dimensi konsekuensi.
mengukur
549
sejauh
mana
perilaku
seseorang
JURNAL PSIKOLOGI
MURYADI & MATULESSY dimotivasi oleh ajaran agamanya, merupakan efek
sebagian timbul dari kebutuhan-kebutuhan yang
dari belief, practice, experience dan knowledge.
tidak terpenuhi terutama terhadap kebutuhan
Kelima dimensi religiusitas inilah yang
terhadap keagamaan, cinta kasih, harga diri,
kemudian digunakan sebagai indikator skala
dan ancaman kematian. (4) Berbagai proses
religiusitas.
pemikiran verbal atau proses intelektual dimana
Fungsi religiusitas erat kaitannya dengan
faktor ini juga dapat mempengaruhi religiusitas
fungsi agama. Agama merupakan kebutuhan
individu. Manusia adalah makhluk yang dapat
emosional manusia dan merupakan kebutuhan
berpikir, sehingga manusia akan memikirkan
alamiah. Fungsi agama meliputi : agama sebagai
tentang keyakinan-keyakinan dan agama yang
sumber ilmu dan sumber etika ilmu,
agama
dianutnya.
sebagai alat justifikasi dan hipotesis,
agama
Emosi berasal dari bahasa latin yaitu
serta fungsi pengawasan
movere, yang berarti menggerakkan, bergerak.
sebagai motivator sosial..
Kecerdasan emosional merupakan
akar
dari
Thouless membedakan faktor-faktor yang
konsep kecerdasan sosial (social intelegence)
mempengaruhi sikap keagamaan menjadi empat
yang pertama kali diidentifikasi oleh Thorndike
macam, yaitu: (1) Pengaruh pendidikan atau
pada tahun 1920. Thorndike (dalam Wong dan
pengajaran dan berbagai tekanan sosial (faktor
Law,
sosial) ini mencakup semua pengaruh sosial
kemampuan untuk
dalam perkembangan
laki-laki
sikap
keagamaan
itu,
2002)
kecerdasan
mengerti dan
gadis,
tradisi sosial, tekanan-tekanan lingkungan sosial
hubungan sesama manusia.
menyesuaikan
pendapat
dan
diri
sikap
yang
dengan
berbagai
mengelola
untuk melakukan secara bijak dalam Goleman (dalam Marina & Sarwono, 2007)
oleh
membagi model kecerdasan emosional ke dalam
lingkungan itu. (2) Berbagai pengalaman yang
dua bagian besar yaitu, personal competence dan
dialami oleh seseorang dalam membentuk sikap
social competence yang masing-masing memiliki
keagamaan
komponennya masing-masing.
terutama
disepakati
adalah
dan perempuan, anak laki-laki atau
termasuk pendidikan dari orang tua, tradisiuntuk
sosial
pengalaman-pengalaman
seperti: keindahan, keselarasan dan kebaikan di dunia
lain
(faktor alamiah) seperti menjalin
Menurut Sarwono,
Goleman
2007)
(dalam
kemampuan
Marina
kunci
&
dalam
hubungan yang baik pada sesama dengan saling
kecerdasan emosional adalah self-awareness. Self-
tolong menolong, adanya konflik moral (faktor
awareness
moral) seperti
perkembangan
dari
mendapatkan
lingkungan,
keagamaan (faktor
tekanan-tekanan
dan pengalaman emosional afektif)
seperti
perasaan
mempengaruhi self
secara
control
langsung (personal
competence) dan empati (social competence). memiliki
kemampuan
mendapat peringatan atau pertolongan dari Tuhan.
mengidentifikasi- kan emosi atau
perasaannya,
(3)
tidak mungkin orang tersebut dapat mengatur
Faktor-faktor
yang
JURNAL PSIKOLOGI
seluruhnya
atau
Sebelum
seseorang
550
RELIGIUSITAS, KECERDASAN EMOSI DAN PERILAKU PROSOSIAL emosi atau perasaannya. Tanpa adanya self-
sebagai bentuk keselarasan dan keseimbangan
control kemampuan self-motivation tidak dapat
antara Allah, alam, dan aku.
berkembang. Self-control akan berperan dalam
Menurut Goleman (2000) aspek-aspek yang
menghambat pemuasan segera (delaying gratifi
terkandung dalam kecerdasan emosi adalah: (1)
cation)
Mengenali
dan
menghambat
tindakan
impulsif
emosi
diri,
yaitu
(stifling impulsiveness) yang merupakan faktor
individu
penting dalam perkembangan kemampuan
self
dengan apa yang terjadi, mampu memantau
empati,
perasaan dari waktu ke waktu dan merasa selaras
kemampuan ini tidak dapat berkembang tanpa
terhadap apa yang dirasakan. (2) Mengelola
didahului oleh perkembangan self-awareness.
emosi,
motivation.
Begitu
Goleman kemampuan
juga
(1995)
memahami
dengan
untuk mengenali
kemampuan
yaitu
kemampuan
perasaan
untuk
menangani
menjelaskan
tanpa
perasaan sehingga
diri
tidak
dengan tepat, kemampuan untuk menenangkan
sendiri,
perasaan
sesuai
diri
diri,
lain. Selanjutnya social skill akan melibatkan
kemurungan dan kemarahan yang menjadi-jadi.
kemampuan memahami perasaan orang lain
(3) Memotivasi diri sendiri, yaitu kemampuan
(empathy)
untuk
mengatur emosi
kecemasan,
sebagai
untuk
mencapai
perkembangan social skill juga ditentukan oleh
merenggangkan dorongan hati, mampu berada
perkembangan
dalam tahap flow. (4) Mengenali emosi orang
dan
lain,
individu
kemampuan
orang lain (kesadaran empatik), menyesuaikan diri
tersebut mampu menjalankan kehidupan yang
terhadap apa yang diinginkan orang lain. (5)
lebih baik dan sukses (Gottman, 1997).
Membina hubungan, yaitu kemampuan mengelola
mengembangkan
Sementara menurut hasil penelitian Casmini (2011) menunjukkan bahwa istilah kecerdasan emosi
kurang
dikenal
oleh
kemampuan
kepuasan
pakar kecerdasan emosional percaya bahwa yang
yaitu
menunda
alat
untuk lebih membentuk perasaan tersebut. Jadi self awareness. Oleh karenanya
tujuan,
dari
ditangkap
mungkin seseorang dapat mengenali emosi orang
dan kemampuan bertingkah laku
melepaskan
dapat
mengetahui perasaan
emosi orang lain dan berinteraksi secara mulus dengan orang lain.
masyarakat
Menurut Goleman (2000),
faktor-faktor
Yogyakarta, mereka lebih memahaminya sebagai
yang mempengaruhi kecerdasan emosi adalah: (1)
waskito ing nepsu, yang diekspresikan melalui
Lingkungan keluarga. Peran serta orang tua sangat
bentuk simbol dalam kehidupannya. Kesadaran
dibutuhkan karena orang tua adalah
diri dimaknai sebagai kemampuan mawas diri,
pertama
pengaturan diri sebagai tata (tata rasa dan basa),
diinternalisasi yang pada akhirnya akan menjadi
motivasi sebagai kehendak niat dan tekat sejati,
bagian dari kepribadian anak. Kecerdasan emosi
empati
terhadap
ini dapat diajarkan pada saat anak masih bayi
lingkungan dan dirinya, serta keterampilan sosial
dengan contoh-contoh ekspresi, melatih kebiasaan
sebagai
bentuk
kepedulian
hidup
551
yang
disiplin
perilakunya
dan
subyek
diidentifikasi,
bertanggung
jawab,
JURNAL PSIKOLOGI
MURYADI & MATULESSY dan
Kediri yang beragama Islam sejumlah 80 guru,
sebagainya. (2) Lingkungan non keluarga. yaitu
terdiri 55 (27 laki-laki, 28 perempuan) guru
lingkungan
SMPN 1 Semen dan 25 guru (9 laki-laki, 16
kemampuan
berempati, masyarakat
kepedulian, dan
lingkungan
penduduk, ditunjukkan dalam aktivitas bermain
perempuan) guru SMPN 2 Semen.
anak seperti bermain peran. Anak berperan
Alat pengukuran yang digunakan dalam
sebagai seseorang diluar dirinya dengan emosi
penelitian ini adalah skala perilaku prososial,
yang menyertainya sehingga anak akan mulai
skala religiusitas, dan skala kecerdasan emosi.
belajar mengerti keadaan orang lain.
Skala dibuat dalam bentuk skala likert. Skala religiusitas
Religiusitas
prososial
menggunakan mengacu
Perilaku Prososial
sejumlah
31
item
aspek-aspek prososial
pada
teori Mussen, dkk
yang (dalam
Cholidah, 1996), skala religiusitas sejumlah 38
Kecerdasan Emosi
item menggunakan pendapat Glock & Stark (1965) dan sakala kecerdasan emosi sejumlah 29 item disusun
Gambar 1.Kerangka Penelitian
berdasarkan
dikemukakan
oleh
aspek-aspek
yang
Goleman(2000).Untuk
memperoleh validitas dan reliabilitas ketiga skala
Metode Penelitian Variabel yang akan diteliti dalam penelitian
tersebut diujicobakan pada 63 guru.
ini terdiri dari tiga jenis, yaitu perilaku prososial
Metode analisa data yang digunakan adalah
sebagai variabel tergantung (Y) dan Religiusitas
: (1) Analisis Regresi ganda untuk menguji
(X1), Kecerdasan Emosi (X2) sebagai variabel
signifikansi hubungan antara variabel bebas X1
bebas (X)
(religiusitas), X2 (kecerdasan emosi) terhadap
Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah
(1) apakah terdapat
variabel tergantung Y (perilaku prososial),
(2)
Korelasi Parsial (korelasi sendiri-sendiri) antara
antara
X1 (religiusitas) dengan Y (perilaku prososial),
religiusitas dan kecerdasan emosi dengan perilaku
X2 (kecerdasan emosi) dengan Y (perilaku
prososial pada Guru pada SMP Negeri Semen. (2)
prososial) dengan menggunakan SPSS 19.
hubungan
yang
sangat
signifikan
apakah terdapat hubungan yang sangat signifikan antara religiusitas dengan perilaku pro-sosial pada Guru pada SMP Negeri
Semen.(3) apakah
terdapat
sangat
hubungan
yang
signifikan
kecerdasan emosi dengan perilaku prososial pada Guru pada SMP Negeri Semen. Subyek dalam penelitian ini adalah guru di SMP Negeri se-Kecamatan
JURNAL PSIKOLOGI
Semen, Kabupaten
Hasil Penelitian Hasil analisis regresi diperoleh data F = 36,349 dan p=0,000 korelasi ini signifikan pada p<0,01 menunjukkan ada hubungan yang sangat signifikan secara bersama-sama antara religiusitas, kecerdasan emosi dengan perilaku prososial. Hasil analisis korelasi parsial antara variabel relgiusitas (X1) dengan
perilaku prososial (Y)
552
RELIGIUSITAS, KECERDASAN EMOSI DAN PERILAKU PROSOSIAL diperoleh harga t = 2,789 pada p = 0,007 ; (p <
religi selain sebagai faktor yang berpengaruh
0,05) berarti ada hubungan yang positif antara
dalam
religiusitas dengan perilaku prososial artinya
menjanjikan perlindungan dan rasa aman bagi
semakin
seseorang untuk menemukan eksistensi dirinya.
tinggi
religiusitas,
semakin
tinggi
perilaku prososial, demikian pula sebaliknya. Hasil analisis korelasi parsial antara variabel
membentuk
prilaku
menolong,
juga
Religi membentuk
pribadi-pribadi
kokoh
berperilaku untuk toleran,
dalam
kecerdasan emosi (X2) dengan perilaku prososial
bekerjasama,
(Y) diperoleh harga t = 5,631 pada p = 0,000 (p <
menghargai hak dan kesejahteraan orang lain,
0,05) berarti ada hubungan yang positif antara
optimis dan tolong menolong, karena
kecerdasan emosi
dasarnya agama memang mengajarkan mengenai
dengan perilaku prososial
artinya semakin tinggi kecerdasan emosi, semakin tinggi
perilaku
prososial,
demikian
pula
jujur,
disiplin,
guru yang setiakawan, pada
moral. Guru yang memiliki tingkat religiusitas yang tinggi akan memandang agamanya sebagai
sebaliknya. bahwa
tujuan utama hidupnya, sehingga guru tersebut
religiusitas dan kecerdasan emosi memberikan
berusaha menginternalisasikan ajaran agamanya
sumbangan efektif sebesar 0,486 atau 48,6%
dalam perilakunya sehari-hari. Sehingga semakin
terhadap perilaku prososial, artinya ada variabel
religius seseorang akan semakin tinggi perilaku
lain sebesar 51,4% yang juga mempengaruhi.
prososialnya. Sebaliknya guru yang memiliki
Hasil
penelitian
menunjukkan
tingkat religiusitas yang rendah tidak menghayati
Pembahasan Hasil uji hipotesis pertama menunjukkan religiusitas dan kecerdasan emosi secara bersamasama memberikan peran terhadap prososial pada guru, artinya
perilaku
religiusitas
dan
kecerdasan emosi secara bersama-sama dapat digunakan sebagai prediktor untuk memprediksi perilaku prososial pada guru. Hal ini sesuai dengan pendapat Staub (dalam Dayakisni dan Hudaniah, 2003) bahwa faktor yang mendasari seseorang untuk bertindak prososial adanya
nilai-nilai
dan
norma
adalah yang
diinternalisasi oleh individu selama mengalami sosialisasi. individu
Nilai dan norma tersebut diperoleh melalui
lingkungan
sosial.
ajaran Hal
agama
dan
juga
yang
sama
juga
disampaikan oleh Myer (1999) yang mengatakan
553
agamanya dengan baik sehingga dapat saja perilakunya tidak sesuai dengan ajaran agamanya. Guru yang seperti ini memiliki religiusitas yang rapuh sehingga dengan mudah dapat ditembus oleh daya atau kekuatan untuk berbuat sesuka hatinya dan akan dengan mudah melanggar ajaran agamanya. Diterimanya hipotesis pertama ini juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Farid (2011) yang menemukan bahwa ada hubungan penalaran moral, kecerdasan emosional, religiusitas dan pola asuh orang tua otoritatif dengan perilaku prososial pada remaja. Diterimanya
hipotesis
yang
kedua,
menunjukkan ada hubungan yang positif antara religiusitas dengan perilaku prososial artinya
JURNAL PSIKOLOGI
MURYADI & MATULESSY semakin
tinggi
religiusitas,
semakin
tinggi
telah memasuki usia dewasa biasanya telah
perilaku prososial, demikian pula sebaliknya, hal
mengembangkan
ini
rendahnya
terhadap sistem nilai yang dipilihnya, salah
religiusitas mampu menjadi salah satu prediktor
satunya adalah norma agama. (Jalaludin dalam
bagi tinggi rendahnya perilaku prososial. Perilaku
Astri, 2009). Hasil mengenai tingginya tingkat
prososial kepada orang lain didasari pemikiran
religiusitas pada individu yang beragama Islam di
membantu orang lain merupakan kewajiban sosial
Indonsesia
tanpa mengharapkan memperoleh balasan atau
terdahulu dari Hasan (dalam Astri, 2009)
menunjukkan
keuntungan.
Guru
bahwa
yang
tinggi
religius
menyadari
tanggungjawab
ditemukan
pada
diri
penelitian
Pendapat Crack (dalam Hastuti 1998) bahwa
keberadaan dirinya bagian komunitas sosial.
juga
rasa
religiusitas
tidak
tumbuh
dengan
Hasil penelitian menunjukkan kategorisasi
sendirinya, hal ini sesuai dengan pendapat
religiusitas tinggi (98,75%) dan sisanya kategori
Bandura (dalam Rice, 1990) dan ahli teori belajar
sedang (1,25%), dimana artinya religiusitas
sosial yang lain, menyatakan bahwa internalisasi
mempunyai peran dalam meningkatkan perilaku
nilai-nilai dan peraturan-peraturan didapatkan
prososial guru. Faktor yang diduga memberikan
melalui modeling dan indentifikasi. Teori belajar
pengaruh terhadap tingginya perilaku religiusitas
sosial menekankan perolehan nilai-nilai melalui
adalah adanya berbagai suasana keagamaan yang
proses
disosialisasikan
dan
reinforcement. Reinforcement yang dimaksud
masyarakat seperti di langgar maupun di masjid
adalah pengaruh sosial (lingkungan) yang sama
dan media elektronik maupun media cetak, juga
sejalan dengan pengaruh orang lain sehingga akan
karena
mengikuti
mendorong keinginan untuk belajar dan menerima
kegiatan-kegiatan kerohanian yang menanamkan
nilai-nilai yang telah ada. Bila lingkungan
nilai-nilai atau norma-norma agama. Selain itu,
masyarakat
subjek penelitian senang membaca ayat-ayat kitab
menekankan nilai-nilai yang sama dengan yang
suci, sehingga mereka mengetahui larangan-
diajarkan agama, maka keinginan mengadopsi
larangan
Tuhan,
nilai-nilai tersebut diperkuat, namun bila tidak
kecenderungan religiusitas yang tinggi mendorong
sama yang diajarkan agama akan timbul konflik
guru berpikir, bersikap, bertingkah laku, dan
(Rice dalam Hastuti 1998).
subjek
dan
kepada
penelitian
lingkungan
sering
perintah-perintah
bertindak sesuai dengan ajaran agamanya.
indentifikasi,
Hasil
dan
internalisasi
semua
penelitian
sarana
ini
juga
dan
komunikasi
menguatkan
Hal ini dapat memberi dukungan pada
penelitian King dan Furrow, (2004), Myers,
anggapan bahwa agama merupakan suatu hal yang
(1999), serta Nawangsih (dalam Farid 2011) yang
penting di Indonesia (Sarwono dalam Astri, 2009),
mengatakan
yang digunakan sebagai panduan hidup dan
kompetensi
diekspresikan dengan menjalani aturan agama
membentuk perilaku prososial, dan meningkatkan
dalam kehiduan sehari-hari mereka. Individu yang
perilaku
JURNAL PSIKOLOGI
religiusitas sosial,
prososial.
membangkitkan
perilaku Aktualisasi
menolong, guru
dalam
554
RELIGIUSITAS, KECERDASAN EMOSI DAN PERILAKU PROSOSIAL Hasil
kegiatan sosial keagamaan membimbing dan
penelitian
mendukung
pendapat
menumbuhkah sikap peduli pada sesama. Hasil
Goleman (1995) yang menyatakan seseorang yang
penelitian ini juga sejalan dengan pendapat
memiliki kecerdasan emosi tinggi berkemampuan
Allport
yang
sosial tinggi dalam bentuk empati, kesediaan
penghayatan
bekerjasama dan memiliki kepribadian altruistik.
religius seseorang maka strategi pemikiran dan
Dalam hal ini faktor empati merupakan faktor
pertimbangan seseorang akan semakin matang
penting yang mempengaruhi perilaku prososial.
dengan melibatkan nilai-nilai yang berkaitan
Empati merupakan kemampuan memahami dan
dengan nilai agama.
merasakan apa yang terjadi pada orang lain serta
(dalam
mengatakan
Kolopaking,
semakin
Diterimanya
2002)
intrinsik
hipotesis
menyatakan terdapat
hubungan
antara
emosi
kecerdasan
ketiga
yang
yang
positif
dengan perilaku
merupakan potensi dasar yang penting bagi tumbuhnya
sikap
menolong.
Empati
dan
keselarasan sosial merupakan variabel pembentuk
prososial pada guru pada SMP Negeri di
kecerdasan
Kecamatan Semen, ini berarti bahwa semakin
kepedulian terhadap lingkungan dan dirinya, serta
tinggi kecerdasan emosi guru, semakin tinggi
keterampilan sosial sebagai bentuk keselarasan
perilaku prososialnya, demikian pula sebaliknya,
dan keseimbangan antara Allah, alam, dan aku
hal ini menunjukkan
bahwa tinggi rendahnya
(Casmini, 2011). Artinya kecerdasan emosi
kecerdasan emosi mampu menjadi salah satu
memberi arah perilaku guru dalam berinteraksi
prediktor bagi tinggi rendahya perilaku prososial.
dengan orang lain dan menghindarkan seseorang
Hasil kategorisasi menunjukkan kecerdasan emosi
secara umum termasuk kategori tinggi
emosi.
Empati
sebagai
bentuk
berperilaku negatif dan menyimpang. Orang yang cerdas
emosinya
akan
mampu
melakukan
(98,75%) dan sedang (1,25%), artinya kecerdasan
penyesuaian diri dengan tepat baik terhadap diri
emosi mempunyai peran dalam meningkatkan
maupun lingkungannya. Sejalan dengan kajian Carson dan Carson
perilaku prososial guru. Tingginya kecerdasan emosi guru ini disebabkan faktor usia guru yang
(dalam Iskandar, 2008)
kebanyakkan diatas 30 tahun dan telah memasuki
emosinya dapat memotivasi diri, memotivasi
periode yang matang dalam menentukan sikap dan
orang
dalam kehidupan bermasyarakat. Semakin tua
berwawasan apabila membuat suatu keputusan,
usianya
empati dengan memahami psikologi orang lain
emosinya
maka
semakin
(Casmini,
tinggi
2011),
kecerdasan juga
faktor
pendidikan yang semakin baik, sehingga proses
mereka yang cerdas
lain dan mengendalikan
emosi diri,
serta membangun dan menjalin hubungan sosial yang baik.
mempelajari agama lebih rasional dan dogmatis,
Hal senada disampaikan Casmini (2011)
serta perasaan senasib dan seperjuangan antar
bahwa Cerdas dalam bahasa Jawa identik dengan
sesama guru.
waskita, landhep, lanthip yang berarti wasis (lincah), dan prigel (cakap). serta emosi adalah
555
JURNAL PSIKOLOGI
MURYADI & MATULESSY panggraito. Kecerdasan emosi dalam bahasa Jawa
Secara umum perilaku prososial guru
disebutkan dengan waskita ing nepsu atau
tergolong kategori tinggi dimana hasil kategori
landeping atau lanthiping panggraito. Waskita ing
menunjukkan 80% sangat tinggi dan sisanya 20%
dalam
kategori tinggi, artinya guru telah memahami arti
mengelola nafsu (emosi) sebagai sumber energi
penting perilaku prososial bagi kesiapan seseorang
dan informasi dalam mencapai keseimbangan
dalam mengarungi kehidupan sosialnya. Dengan
hidup.
panggraito/lanthiping
kemampuan prososial ini seseorang akan lebih
panggraito yaitu ketajaman dalam menggunakan
diterima dalam pergaulan dan akan dirasakan
perasaan dalam mencapai keselarasan kehidupan.
berarti kehadirannya bagi orang lain (Cholidah,
Rasa
1996). Tingginya perilaku prososial guru ini juga
adalah
nepsu
kemampuan
Landheping
pangrasa
seseorang
adalah
kemampuan
mengedepankan rasa untuk diri dan orang lain
disebabkan
mayoritas
tempat
tinggal
dan
untuk mewujudkan keselarasan sosial.
lingkungan sekolah di wilayah desa yang masih
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori
leluasa jauh dari suasana sesak dan padat. Dalam
bahwa kecerdasan emosi yang memadai, akan
suasana padat dan sesak, kondisi psikologis yang
membantu guru untuk mengelola emosi diri
negatif mudah timbul dan merupakan faktor
sendiri hingga mengenali dan memahami emosi
penunjang yang kuat untuk munculnya stress dan
orang lain dan mampu mengambil perspektif dan
bermacam aktifitas sosial negatif
empati orang lain, kemampuan mengelola suasan
dan Deaux, dalam Hasnida 2002).
hati dan empati terhadap penderitaan orang lain
aktivitas sosial negatif yang dapat diakibatkan
mendorong guru untuk menolong (Goleman,1995;
oleh suasana padat dan sesak, antara lain : 1)
Kartono & Gulo, 1987 dalam Farid 2011)
munculnya bermacam-macam penyakit baik fisik
sehingga
reaksi-
maupun psikis, seperti stres, tekanan darah
reaksi yang tepat dan sesuai untuk membantu
meningkat, psikosomatis, dan gangguan jiwa; 2)
orang lain dalam lingkup sosial dan lingkup
munculnya patologi sosial, seperti kejahatan dan
kerjanya serta mampu mengembangkan sikap
kenakalan remaja; 3) munculnya tingkah laku
prososial kepada siswa atau anak didiknya.
sosial yang negatif, seperti agresi, menarik diri,
guru
mampu
memberikan
(Wrightsman Bentuk
Perilaku prososial adalah perilaku seseorang
berkurangnya tingkah laku menolong (prososial),
yang ditujukan pada orang lain dan memberikan
dan kecenderungan berprasangka; 4) menurunnya
keuntungan fisik maupun psikologis bagi yang
prestasi kerja dan suasana hati yang cenderung
dikenakan tindakan tersebut. Perilaku prososial
murung (Holahan, dalam hasnida 2002). Kawasan
mencakup
sama,
padat dan sesak juga menyebabkan individu lebih
membagi, menolong, kejujuran, dermawan serta
selektif dalam berhubungan dengan orang lain,
mempertimbangkan
terutama
tindakan-tindakan
kerja
kesejahteraan
(Mussen et al., dalam Hasnida 2002).
orang
lain
dengan
orang
yang
tidak
begitu
dikenalnya. Tindakan ini dilakukan individu untuk mengurangi stimuli yang tidak diinginkan yang
JURNAL PSIKOLOGI
556
RELIGIUSITAS, KECERDASAN EMOSI DAN PERILAKU PROSOSIAL dapat mengurangi kebebasan individu. Tindakan
mendorong orang untuk memberikan pertolongan
selektif ini memungkinkan menurunnya keinginan
dalam beberapa jenis situasi dan tidak dalam
seseorang untuk membantu orang lain (intensi
situasi yang lain, suasana hati seseorang lebih
prososial).
terdorong untuk memberikan bantuan bila mereka
Hasil penelitian ini juga menghasilkan
berada dalam situasi hati yang baik, dan distres
angka koefisien determinasi (R²) sebesar 0,486
dan rasa simpatik, distress diri adalah reaksi
atau
bersama-sama
pribadi kita terhadap penderitaan orang lain
religiusitas dan kecerdasan emosi memberikan
seperti perasaan terkejut, takut, cemas dan
kontribusi 48,6% terhadap perilaku prososial pada
lain-lain yang dialami, sedangkan karakteristik
guru, sisanya 51,4% perilaku prososial guru
orang yang membutuhkan pertolongan yaitu
dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor lain tersebut
menolong orang yang disukai, rasa suka awal
diantaranya
seperti daya tarik fisik dan kesamaan dan
48,6%,
artinya
menurut
secara
Sears
(1991)
yaitu
karakteristik situasi dan karakteristik penolong yang meliputi faktor kepribadian, suasana hati seseorang
dan distres dan rasa simpatik serta
karakteristik
orang
yang
membutuhkan
menolong orang yang pantas ditolong. Walaupun hasil penelitian yang didapatkan mendukung hipotesis penelitian dan juga sejalan dengan penelitian sebelumnya, peneliti menyadari bahwa penelitian ini terdapat beberapa kelamahan
pertolongan. sekalipun
: pertama religiusitas merupakan suatu hal yang
bantuan dalam
sulit di ukur secara tepat karena individu
situasi tertentu. Penelitian yang telah dilakukan
cenderung malu untuk mengakui bahwa dirinya
membuktikan
makna penting beberapa faktor
tergolong kurang religius. Ada kecenderugan
situasional, yang meliputi kehadiran orang lain,
sosial desirability bias yaitu kecenderungan
penonton yang begitu banyak menjadi alasan
individu untuk memberi jawaban yang bersifat
untuk tidak menolong karena menduga sudah
positif, yang sesuai dengan norma sosial.
Orang cenderung
yang
tidak
paling
altruis
memberikan
ada orang lain yang pasti akan menolong. Keadaan
fisik
atau
efek
cuaca
juga
mempengaruhi kesediaan untuk membantu atau menolong. Faktor kebisingan dapat menurunkan daya
tanggap
kejadian
di
seseorang
terhadap
lingkungannya
dan
semua tekanan
keterbatasan waktu. Kadang-kadang kita berada dalam situasi atau keadaan tergesa-gesa untuk memutuskan menolong atau tidak. Karakteristik penolong sendiri diantaranya adalah faktor kepribadian, ciri kepribadian tertentu
557
Simpulan dan Saran Hasil analisis regresi menunjukkan ada hubungan yang sangat signifikan secara bersamasama antara religiusitas, kecerdasan emosi dengan perilaku prososial (F=36,349 dan p=0,000). Kedua prediktor memberikan sumbangan 48,6% terhadap perilaku prososial guru, Maka hipotesis yang pertama yang menyatakan terdapat hubungan antara religiusitas dan kecerdasan emosi dengan perilaku prososial pada guru SMP Negeri di Kecamatan Semen diterima.
JURNAL PSIKOLOGI
MURYADI & MATULESSY Berdasarkan hasil analisis korelasi parsial
warga miskin, menggalang dana untuk membantu
diperoleh data bahwa (1) ada hubungan yang
bencana gempa, banjir dll.
positif
2) Kepala sekolah hendaknya dapat memberikan
antara
religiusitas
dengan
perilaku
prososial (harga t=2,789 pada p=0,007), artinya
teladan
semakin tinggi religiusitas akan semakin tinggi
memberikan
pula perilaku prososial pada guru. Maka hipotesis
menunjukkan perilaku prososial secara konsisten,
yang kedua yang berbunyi terdapat
juga perlu diadakan pembinaan bagi guru dalam
hubungan
dalam
berperilaku
reward
prososial
dan
guru
yang
kepada
yang positif antara religiusitas dengan perilaku
kegiatan-kegiatan
prososial pada guru pada SMP Negeri di
latihan kecerdasan emosi yang kesemuanya
Kecamatan Semen
diterima. (2) ada hubungan
bertujuan untuk meningkatkan religiusitas dan
yang positif antara kecerdasan emosi dengan
kecerdasan emosi guru. Selain melalui jalur
perilaku prososial (harga t=5,631 pada p =0,000),
pendidikan formal kiranya perlu ditempuh melalui
artinya semakin tinggi kecerdasan emosi akan
jalur organisasi.
semakin tinggi pula perilaku prososial pada guru.
(3)
Maka hipotesis yang ketiga yang berbunyi
memperhatikan
terdapat hubungan yang positif antara kecerdasan
serta perilaku prososial karena juga sangat
emosi dengan perilaku prososial pada guru SMP
mempengaruhi mutu pelayanan instansi-instansi
Negeri di Kecamatan Semen diterima.
terkait. Instansi yang berwenang hendaknya perlu
Instansi
keagamaan
terkait
dan
pelatihan-
diharapkan
juga
religiusitas, kecerdasan
emosi
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari
mendorong terbentuknya forum komunikasi antar
penelitian ini, peneliti memberikan sumbangan
guru untuk memudahkan dan mengefektifkan
saran sebagai berikut :
peningkatan perilaku prososial guru
1)
Guru
sebaiknya
dapat
mempertahankan
guna
menggalang kesetiakawanan sosial dan pelestarian
berperilaku prososial yang sudah dimiliki dan
nilai-nilai luhur bangsa di masyarakat.
memberikan informasi pada masyarakat luas guna
(4) Bagi peneliti selanjutnya yang berminat untuk
menumbuhkan kesadaran mengenai pentingnya
mengangkat
meningkatkan
menggunakan alat ukur yang memiliki reliabilitas
perilaku
prososial
dengan
tema
yang
sama
disarankan
meningkatkan religiusitas dan kecerdasan emosi,
yang lebih tinggi, juga diharapkan
misalnya
memperluas
dengan
mengikuti
training
atau
pelatihan yang diadakan oleh pihak sekolah
menambah
atau instansi terkait
yang
untuk
meningkatkan
ruang
lingkup
variabel-variabel
didapat
dapat
misalnya dengan lain
lebih bervariasi,
agar
hasil
membedakan
pengetahuan serta kemampuan pribadinya dalam
berdasarkan jenis kelamin serta memperhatikan
memberikan pelayanan kepada siswa. Di sekolah
faktor-faktor lain
dan di masyarakat guru dapat mengajak siswa dan
perilaku prososial misalnya karakteristik situasi,
warga masyarakat untuk mengadakan kegiatan
biaya menolong dan lain-lain. Selain itu peneliti
bakti sosial ke daerah yang banyak terdapat
selanjutnya
JURNAL PSIKOLOGI
yang turut mempengaruhi
diharapkan
dapat
memperluas
558
RELIGIUSITAS, KECERDASAN EMOSI DAN PERILAKU PROSOSIAL populasi dan memperbanyak sampel, agar ruang lingkup
dan
generalisasi
penelitian menjadi
lebih luas sehingga kesimpulan yang diperoleh lebih menyeluruh dan komprehensif. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah menggunakan data tambahan seperti observasi dan wawancara agar hasil yang didapat lebih mendalam dan sempurna, karena tidak semua hal dapat diungkap dengan skala. Kepustakaan Ancok,(1993), Validitas Reliabilitas Alat Tes Psikologi, Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Psikologi Indonesia, Jakarta Alwani, 2007, Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Kinerja Auditor Pada Kantor Akuntan Publik di Kota Semarang, Skripsi, Universitas Negeri Semarang Azwar, Saifuddin,(2005). Reliabilitas dan Validitas (eds 3). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Arbadiati, Catur & Kurniati, Taganing, (2007). Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan Kecenderungan Problem Focused Coping pada Sales. Pesat,Vol. 2 No. 2. Arikunto S, (1985), Prosedur Penelitian Praktek, Bina Aksara: Jakarta Bagus L. 1996. Kamus Populer Filsafat. Jakarta: Gramedia. Baron, R. A & Byrne, D. (2005). Psikologi Sosial. Edisi kesepuluh. Jilid 2. (Alih bahasa oleh Ratna Djuwita, et al.). Jakarta: Penerbit Erlangga. Baron dan Byrne. (1991). Social Psychology Understanding Human Interaction. Boston: Allyn and Bacon, Inc. Baron, R.A dan Byrne, D. (1979). Social Psychology Understanding Human
559
Behaviour. Newyork Winston, Inc.
:
Rinehart
dan
Casmini. (2011). Kecerdasan Emosi dan Kepribadian Sehat Dalam Konteks Budaya Jawa di Yogyakarta. Ringkasan Desertasi, Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. Cholidah, L., Ancok, D. dan haryanto. (1996). Hubungan Kepadatan dan Kesesakan dengan Stres dan Intensi Prososial Pada Remaja di Pemukiman Padat. Jurnal Psikologika. No. 1, 56-64. Danny, O.P., Gusrini R.P. (2006). Perbedaan Perilaku Prososial Berdasarkan Orientasi Peran Jenis. Jurnal Psikologika, Vol XI, No. 22, 128-135. Dahriani A, 2007, Perilaku Prososial Terhadap Pengguna Jalan Raya (Studi Fenomenologis Pada Polisi Lalu Lintas, Skripsi, Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang Dayakisni, T dan Hudaniah. (2003). Sosial. Malang : UMM Press.
Psikologi
Dedy I, 2010, Dicari Guru Profesional, Opini,http://edukasi.kompasiana.com /2010/04/15/dicari-guru-profesional/ diakses 15 September 2011 Drijarkara, SJ. N., 1989. Filsafat Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
Manusia,
Farid, M. (2011). Hubungan Penalaran Moral, Kecerdasan Emosi, Religiusitas dan Pola Asuh Orang Tua Otoritatif dengan Perilaku Ringkasan Desertasi, Prososial. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM Fauzan, 2005, Pengaruh Religiusitas Terhadap Prestasi Kerja Pegawai NegeriSipil (PNS) Alumni dan Bukan Alumni Pesantren di Majalah Kantor Depag Kota Malang, SINERGI Edisi Khusus on Human Resources Goleman, D. (1995). Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ. London: Bloomsbury Publishing Plc.
JURNAL PSIKOLOGI
MURYADI & MATULESSY Goleman, D. (1999). Working with Emotional Intelligence: Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Goleman, D. (2000). Kecerdasan Emosional untuk Mencapai Puncak Prestasi (Terjemahan: Widodo). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hadi, S. 1995. Statistik Jilid 2. Yogyakarta: Andi Offset. Hadi, S. 2000. Metodelogi Research. Yogyakarta: Andi Offset Hartanti, 2009, Perbedaan Perilaku Prososial Remaja Ditinjau Dari Persepsi Pola Komunikasi Keluarga, Abstrak Skripsi, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya
Mangunwidjoyo, Y.b. (1986). Menumbuhkan Sikap Religius Pada Anak. Jakarta: Gramedia. Maria U. 2007, Peran Persepsi Keharmonisan Keluarga dan Konsep Diri Terhadap Kecenderungan Kenakalan Remaja, Tesis, Universitas Gajah Mada Marina, Sarwono, 2007. Kecerdasan Emosional pada Orang Tua yang Mendongeng dan Tidak Mendongeng, JPS VoL. 13 No. 02 Mei 2007, hal 97-98 Musaheri, 2009, Hubungan Religiusitas, Keharmonisan Keluarga dengan Perilaku Delinkuen Pada Siswa SMPN 1 Kalianget, Tesis, Surabaya : Universitas 17 Agustus 1945
Hartati N, 1997, Perilaku dan Motif Prososial Anak Berbakat Intektual Umum di Kelas Reguler, Tesis, Universitas Indonesia.
Pulungan, W. (1993). Kecenderungan Tingkah laku Prososial Remaja Dihubungkan dengan Golongan Pekerjaan Ayah dan Pola Asuh dalam Keluarga. Desertasi ( tidak diterbitkan) Jakarta: Fakultas Psikologi UI
Hastuti K. 1998, Hubungan Antara Relgiusitas, Regulasi Diri dan Aktivitas Seksual Dalam Berpacaran Pada Remaja Kristen, Tesis, Universitas Indosesia.
Rudyanto E. 2010. Hubungan antara Kecerdasan Emosi dan Kecerdasan Spiritual dengan Perilaku Prososial pada Perawat, Skripsi, Universitas Sebelas Maret
Glock,C, & Stark,R (1965). Religion and Society in Transition, Chicago : Rand Mc. Nally
Rufaida, (2009). Hubungan Antara Tingkat Kematangan Emosi dengan Tingkat Perilaku Skripsi. Fakultas Psikologi Prososial. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
Hendropuspito,O.C.(1985).SosiologiAgama.Yogy akarta: Penerbit Kanisius Jannah, Miftakhul. (2008). Hubungan antara Kecerdasan Ruhani dan Tipe Kepribadian Ekstrovert terhadap Perilaku Prososial pada (tidak diterbitkan). Santri. Skripsi Surakarta: Fakultas Psikologi UMS.
Sarwono, W.S . (1992). Psikologi Lingkungan. Jakarta: CV. Remaja Karya. Sears, D. O., dkk. (1991). Psikologi Sosial/Edisi kelima/Jilid 2 (Alih bahasa oleh Michael Adriyanto). Jakarta: Penerbit Erlangga.
Kolopaking R. 2002, Konsep Sekualitas Diri: Pengaruh Status Menarche dan Religiusitas (Studi pada ramaja muslim SLTPN di Jakarta) Tesis, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
Shapiro,L.A.(1997).Mengajarkan Emotional Intelligence pada Anak(Terjemahan: Kantjono, A.T.). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Koentjaraningrat. (1992). Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta :Gramedia Pustaka Utama.
Situmeang R, 2004, Pengaruh Tempat Tinggal Anak Terhadap Prilaku Prososial Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (Studi Kasus SMU Negeri Plus Soposurung Balige), e-USU Repository Universitas Sumatera Utara
JURNAL PSIKOLOGI
560
RELIGIUSITAS, KECERDASAN EMOSI DAN PERILAKU PROSOSIAL Stange, P. 1998. Politik Perhatian, Rasa dalam Kebudayaan Jawa.Yogyakarta: LKiS. Staub, E.(1979). Positive Social Behaviour and Morality: Socialization and Development, New York : Academic Press.
Syafiq A. 2008, Hubungan Religiusitas dengan Etos Kerja Islami pada dosen Di Universits Indonesia Yogyakarta, Abstrak skripsi, Universitas Islam Indonesia.
Sugiono (2011), Modul Pengembangan Profesionalitas Guru, Panitia Sertifikasi Guru (PSG) rayon 143, Kediri
Wrightsman, L. S. &Deaux, K. (1993). Social Psychology in The 90’s. California: Brooks/Cole Publishing Company.
Supriadi Dedi (1998), Mengangkat Citra dan Martabat Guru, Adicita Karya Nusa, Yogyakarta.
Zainuddin, Hidayat, 2008, Hubungan Intensi ProSosial Pustakawan dengan Kepuasan Pengguna pada Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (Baperasda) Provinsi Sumatera Utara, Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008.
Pembimbing ke Suryabrata, S.(1984). Psikodiagnostik. Yogyakarta : Andi Offset. Suryabrata S. 2000, Pengembangan Alat Ukur Psikologis, Yogyakarta : Andi Offset,
561
JURNAL PSIKOLOGI