k3 penerbangan - Repository | UNHAS

K3 PENERBANGAN: SEBUAH KAJIAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PADA. KARYAWAN AIR TRAFFIC CONTROLLER (ATC). Lalu Muhammad .... risiko K3 pada karyawan ...

105 downloads 806 Views 2MB Size
K3 PENERBANGAN SEBUAH KAJIAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PADA KARYAWAN AIR TRAFFIC CONTROLLER (ATC)

UU No 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Fungsi dan Sifat hak Cipta Pasal 2 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak Terkait Pasal 49 1. Pelaku memiliki hak eksklusif untuk memberikan izin atau melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya membuat, memperbanyak, atau menyiarkan rekaman suara dan/atau gambar pertunjukannya.

Sanksi Pelanggaran Pasal 72 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

K3 PENERBANGAN SEBUAH KAJIAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PADA KARYAWAN AIR TRAFFIC CONTROLLER (ATC)

Dr. Lalu Muhammad Saleh, S.Km., M.Kes.

K3 PENERBANGAN: SEBUAH KAJIAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PADA KARYAWAN AIR TRAFFIC CONTROLLER (ATC) Lalu Muhammad Saleh Desain Cover : Nama Tata Letak Isi : Nurul Fatma Subekti Sumber Gambar : Sumber Cetakan Pertama: Februari 2017 Hak Cipta 2017, Pada Penulis Isi diluar tanggung jawab percetakan Copyright © 2017 by Deepublish Publisher All Right Reserved Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit. PENERBIT DEEPUBLISH (Grup Penerbitan CV BUDI UTAMA) Anggota IKAPI (076/DIY/2012) Jl.Rajawali, G. Elang 6, No 3, Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman Jl.Kaliurang Km.9,3 – Yogyakarta 55581 Telp/Faks: (0274) 4533427 Website: www.deepublish.co.id www.penerbitdeepublish.com E-mail: [email protected]

Katalog Dalam Terbitan (KDT) SALEH, Lalu Muhammad K3 Penerbangan: Sebuah Kajian Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Karyawan Air Traffic Controller (ATC)/oleh Lalu Muhammad Saleh.--Ed.1, Cet. 1-Yogyakarta: Deepublish, Februari 2017. viii, 148 hlm.; Uk:17.5x25 cm ISBN 978-Nomor ISBN 1. Kedokteran

I. Judul 613.6

KATA PENGANTAR

v

vi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................ v DAFTAR ISI ................................................................................... vii BAB 1

PENDAHULUAN ............................................................... 1

BAB 2

MENGENAL PROFESI AIR TRAFFIC CONTROLLER (ATC)........................................................ 3

BAB 3

KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3) PENERBANGAN ............................................................... 8

BAB 4

PERFORMANCE KERJA BERDASARKAN KAJIAN PSIKOLOGI........................................................ 12

BAB 5

PERFORMANCE KERJA BERDASARKAN KAJIAN SAFETY ............................................................. 16

BAB 6

FAKTOR PERFORMANCE BERDASARKAN KONSEP PSIKOLOGI DAN SAFETY. ............................. 19

BAB 7

FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA ABSENTEEISM ATC ....................................................... 34

BAB 8

FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA TINGKAT VIGILANCE ATC ............................................. 43

BAB 9

HASIL KAJIAN KASUS ATC DI INDONESIA (PENELITIAN PADA AIR NAV INDONESIA CABANG MAKASSAR, SURABAYA,DAN LOMBOK) ........................................................................ 53

BAB 10 MODEL SAFETY PERFORMANCE PADA ATC DI INDONESIA ................................................................ 83 GLOSARIUM................................................................................. 85 INDEKS......................................................................................... 87 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 89

vii

viii

BAB 1 PENDAHULUAN Keselamatan dan kesehatan kerja penerbangan (K3 Penerbangan) merupakan kajian ilmu K3 pada bidang kedirgantaraan yang mengkhusus pada identifikasi hazard dan risiko K3 pada karyawan yang bekerja di sektor penerbangan. Permasalahan pada sektor penerbangan tidak hanya kecelakaan pesawat namun juga masalah lain terkait dengan penyebab kecelakaan itu sendiri baik itu unsafe act maupun unsafe condition. Unsafe act adalah perilaku yang tidak aman atau selamat pada pekerja. Unsafe act terjadi karena kesadaran dan pemahaman tentang safety yang rendah pada karyawan yang menyebabkan perilaku karyawan menjadi berisiko, hal lain juga karena kondisi kesehatan yang tidak baik pada karyawan baik itu kondisi kesehatan secara fisik maupun mental yang dapat menyebabkan kelelahan fisik maupun mental seperti boring, stress, burnout. Unsafe condition adalah kondisi yang tidak sehat atau selamat di tempat kerja. Unsafe condition disebabkan oleh keadaan tempat kerja yang tidak mendukung untuk bekerja secara selamat dan sehat, seperti lingkungan kerja yang tidak sehat seperti pencahayaan yang buruk, suhu yang dingin atau panas, ventilasi yang tidak sehat. Kecelakaan pesawat semestinya tidak boleh terjadi karena kecelakaan satu kali pesawat dapat menyebabkan puluhan bahkan ratusan orang meninggal. Kematian ini berdampak pada tingginya angka kematian pada penduduk Indonesia yang berpotensi pada menurunnya lama hidup masyarakat Indonesia. Langkah-langkah pencegahan dan pengendalian kecelakaan diperlukan agar dapat mengurangi risiko kecelakaan pada pesawat dan karyawan di tempat kerja. Upaya keselamatan dan kesehatan kerja pada sektor penerbangan menjadi wajib untuk dapat memperbaiki perencanaan dan pengelolaan pada aspek kedirgantaraan Indonesia. 1

Kajian pada buku ini fokus pada kajian K3 penerbangan terkait dengan permasalahan keselamatan dan kesehatan kerja pada karyawan air traffic controller (ATC) yang terjadi di Indonesia. Permasalahan dikaji berdasarkan job ability, motivasi, beban kerja, lingkungan kerja, identitas individu, burnout, keluhan musculoskeletal, dan safety performance karyawan ATC.

2

BAB 2 MENGENAL PROFESI

AIR TRAFFIC CONTROLLER (ATC) Definisi dan Batasan tentang Air Traffic Controller (ATC) Air traffic controller (pemandu lalu lintas udara) adalah profesi yang memberikan layanan pengaturan lalu lintas di udara terutama pesawat udara untuk mencegah antarpesawat terlalu dekat satu sama lain, mencegah tabrakan antarpesawat udara dan pesawat udara dengan rintangan yang ada di sekitarnya selama beroperasi. ATC atau yang disebut dengan air traffic controller juga berperan dalam pengaturan kelancaran arus lalu lintas, membantu pilot dalam mengendalikan keadaan darurat, memberikan informasi yang dibutuhkan pilot (seperti informasi cuaca, informasi navigasi penerbangan, dan informasi lalu lintas udara). ATC adalah rekan terdekat pilot selama di udara, peran ATC sangat besar dalam tercapainya tujuan penerbangan. Semua aktivitas pesawat di dalam manoeuvering area diharuskan mendapat mandat terlebih dahulu dari ATC, yang kemudian ATC akan memberikan informasi, instruksi, mandat kepada pilot sehingga tercapai tujuan keselamatan penerbangan, semua komunikasi itu dilakukan dengan peralatan yang sesuai dan memenuhi aturan. ATC merupakan salah satu media strategis untuk menjaga kedaulatan suatu wilayah/suatu Negara (UndangUndang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan). Controller atau ATC (Turhan and Usanmaz, 2004) adalah pekerjaan yang bertanggung jawab pada penerbangan pesawat mulai dari start terbang sampai selesai sampai tujuan, titik poin yang spesifik mereka harus selamat tanpa adanya masalah dengan pesawat, baik secara vertikal maupun horizontal jarak terbang minimal tetap diperhatikan agar tetap selamat (Turhan, 2009). Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa ATC adalah pekerjaan yang sangat bertanggung jawab pada keselamatan penerbangan agar pesawat dapat terbang dalam

3

keadaan selamat tanpa adanya kecelakaan pesawat mulai dari berangkat sampai tujuan. Tujuan Pelayanan Lalu Lintas Udara oleh ATC Berikut ini adalah tujuan pelayanan lalu lintas udara yang diberikan oleh ATC berdasarkan Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil (PKPS) bagian 170: 1. Mencegah tabrakan antarpesawat. 2. Mencegah tabrakan antarpesawat di area pergerakan rintangan di area tersebut. 3. Mempercepat dan mempertahankan pergerakan lalu lintas udara. 4. Memberikan saran dan informasi yang berguna untuk keselamatan dan efisiensi pengaturan lalu lintas udara. 5. Memberitahukan kepada organisasi yang berwenang dalam pencarian pesawat yang memerlukan pencarian dan pertolongan sesuai dengan organisasi yang dipersyaratkan. Internasional Civil Aviation Organization (ICAO) menyebut dengan istilah 5 objective of ATS dalam ICAO dokumen ANNEX 11 tentang air traffic service. 1. Prevent collisions between aircraft. 2. Prevent collisions between aircraft on the manoeuvring area and obstructions on that area. 3. Expedite and maintain an orderly flow of air traffic. 4. Provide advice and information useful for the safe and efficient conduct of flights. 5. Notify appropriate organizations regarding aircraft in need of search and rescue aid, and assist such organizations as required. Pelayanan lalu lintas udara oleh seorang ATC adalah pelayanan yang bertujuan agar pesawat berada pada titik yang aman tanpa adanya tabrakan antarpesawat dan memandu pilot terbang dalam keadaan efisien dan selamat.

4

Pembagian Unit Kerja untuk Layanan ATC Sesuai dengan tujuan pemberian air traffic services, Annex 11, International Civil Aviation Organization (ICAO) tahun 1998, pelayanan lalu lintas udara terdiri dari 3 (tiga) layanan: 1. Pelayanan Pengendalian Lalu Lintas Udara (Air Traffic Control Service). Pada ruang udara terkontrol/controlled airspace terbagi menjadi 3 (tiga) bagian yaitu: a. Aerodrome Control Service Memberikan layanan air traffic control service, flight information service, dan alerting service yang diperuntukkan bagi pesawat terbang yang beroperasi atau berada di bandar udara dan sekitarnya (vicinity of aerodrome) seperti take off, landing, taxiing, dan yang berada di kawasan manoeuvring area, yang dilakukan di menara pengawas (control tower). Unit yang bertanggung jawab memberikan pelayanan ini disebut aerodrome control tower (ADC). b. Approach Control Service Memberikan layanan air traffic control service, flight information service, dan alerting service, yang diberikan kepada pesawat yang berada di ruang udara sekitar bandar udara, baik yang sedang melakukan pendekatan maupun yang baru berangkat, terutama bagi penerbangan yang beroperasi terbang instrumen yaitu suatu penerbangan yang mengikuti aturan penerbangan instrumen atau dikenal dengan Instrument Flight Rule (IFR). Unit yang bertanggung jawab memberikan pelayanan ini disebut approach control office (APP). c. Area Control Service Memberikan layanan air traffic control service, flight information service, dan alerting service, yang diberikan kepada penerbang yang sedang menjelajah (en-route flight) terutama yang termasuk penerbangan terkontrol (controlled flights). Unit yang bertanggung jawab memberikan pelayanan ini disebut area control centre (ACC). 2. Pelayanan Informasi Penerbangan (Flight Information Service) Flight information service adalah pelayanan yang dilakukan dengan memberikan berita dan informasi yang berguna dan bermanfaat untuk keselamatan, keamanan, dan efisiensi bagi penerbangan. 5

3.

Pelayanan Keadaan Darurat (Alerting Service) Pelayanan keadaan darurat adalah pelayanan yang dilakukan dengan memberitahukan instansi terkait yang tepat, mengenai pesawat udara yang membutuhkan pertolongan search and rescue unit dan membantu instansi tersebut, apabila diperlukan.

Berdasarkan pembagian unit kerja untuk layanan ATC dapat disimpulkan bahwa unit kerja ATC sangat kompleks dan sistematis yang semuanya untuk keselamatan sebuah penerbangan. Sehingga setiap unit diharapkan dapat berperan terhadap tanggung jawab yang telah diamanahkan. Beban Kerja Air Traffic Controller (ATC) Peran ATC dalam penerbangan sangat penting, oleh sebab itu disiplin dan tanggung jawab yang tinggi, jam kerja di ATC diatur secara bergiliran berdasarkan "possition log" atau “shift”. Aerodrome control tower, bidang pekerjaannya yang dibagi dalam beberapa unit, di antaranya clearance delivery, unit yang memberi informasi semua rute pelayanan lalu lintas udara, ketinggian pesawat yang diminta atau diizinkan untuk terbang ke tujuan. Ground control, mengatur semua pergerakan mulai pesawat itu pusk back, sampai pesawat ke taxiway, menanti di ujung runway untuk take off. Assistant tower controller, tugasnya membantu aktivitas tower controller. Tower controller sendiri mengatur take off dan landing pesawat. Sekali pun jam kerja sudah diatur, setiap rutinitas pasti ada kejenuhannya, karena pekerjaan yang mempertaruhkan nyawa penumpang pesawat, dengan fokus dan tanggung jawab profesi, ATC diharuskan untuk tidak merasakan kejenuhan ketika bekerja. Penyedia layanan pemanduan lalu lintas udara wajib menerapkan pola manajemen stress pada beban kerja ATC dan manajemen keselamatan. Menurut Dokumen 9426 Air Trafic Planning Manual, pemimpin unit pemandu lalu lintas udara (unit chief controllers) dan para petugas evaluasi (evaluation officers) perlu selalu waspada atas tanda–tanda stres pada anggota stafnya dan mestinya tidak ragu–ragu untuk membantu meringankannya. Pada langkah ini, suatu diskusi informal supervisor dengan pegawai pelaksana sering

6

dapat menghindari hilangnya kecakapan secara progresif. Ini dapat juga meningkatkan keselamatan operasi unit yang terkait. Costa (1995) sumber stressor pada ATC adalah: “Main Sources of stress for ATCs are 1) demand: number of aircraft under control, peak traffic hours, extraneous traffic, unforeseeable events). 2)operating procedures: time pressure, having to bend the rules, feeling of loss of control, fear of consequences of errors. 3)working times: unbroken duty periods, shift and nigh work. 4)working tools: limitations and reliability of equipment, VDT RT and telephone quality, equipment layout. 5)work environment: lighting, optical reflections, noise, microclimate, bad posture, rest and canteen facilities. 6)work organization: role ambiguity, relations with supervisors and colleagues, lack of control over work process, salary, public opinion (p.3).”

Melihat tanggung jawab yang sangat besar pada seorang ATC akan berdampak pada beban mental yang sangat tinggi. Sehingga dibutuhkan teknik dan strategi dan mekanisme coping untuk stress dalam setiap individu karyawan ATC agar terhindar dari bahaya tekanan pekerjaan terutama terkait tekanan mental agar terhindar dari depresi, stress, bahkan burnout. Kondisi ini akan mampu mengendalikan tekanan mental yang dihadapi ATC di dalam bekerja sebagai controller, dan berdampak pada performa kerja yang optimal.

7

BAB 3 KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3) PENERBANGAN Kesehatan kerja mutlak harus dilaksanakan di dunia kerja dan dunia usaha, oleh semua orang yang berada di tempat kerja baik pekerja maupun pemberi kerja, jajaran pelaksana, penyelia (supervisor) maupun manajemen, serta pekerja yang bekerja untuk diri sendiri (self employed). Alasannya jelas, karena pekerja adalah bagian dari kehidupan, dan setiap orang yang memerlukan pekerjaan untuk mencukupi kehidupan dan atau untuk aktualisasi diri, namun dalam melaksanakan pekerjaannya, berbagai potensi bahaya (hazard atau risiko) di tempat kerja mengancam diri pekerja sehingga dapat menimbulkan cedera, atau gangguan kesehatan (Kurniawidjaja, 2010). Batasan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Kesehatan kerja (occupational health) adalah tools yang komprehensif untuk memecahkan masalah PAK. Kesehatan kerja adalah bagian dari keselamatan kerja dan kesehatan kerja (occupational safety and health). Keselamatan kerja dan kesehatan kerja bertujuan agar pekerja selamat, sehat, produktif, sejahtera dan berdaya saing kuat sehingga produksi dapat berjalan dan berkembang lancar secara berkesinambungan, tidak terganggu oleh kejadian kecelakaan maupun pekerja yang sakit atau tidak sehat yang menjadikannya tidak produktif. Kecelakaan kerja diminimalisasi kejadiannya oleh upaya keselamatan kerja atau safety, sedangkan kesehatan kerja dijaga, dipelihara dan ditingkatkan oleh upaya kesehatan kerja sehingga pekerja diharapkan akan tetap produktif dan terjaga kesehatannya selama mereka bekerja (Kurniawidjaja, 2010).

8

Potensi Bahaya dan Risiko Di Tempat Kerja Potensi bahaya dan risiko di tempat kerja antara lain akibat sistem kerja atau proses kerja, penggunaan mesin, alat dan bahan, yang bersumber dari keterbatasan pekerjanya sendiri, perilaku hidup yang tidak sehat dan perilaku kerja yang tidak selamat/aman, buruknya lingkungan kerja, kondisi kerja yang tidak ergonomis, pengorganisasian pekerjaan dan budaya kerja yang tidak kondusif bagi keselamatan dan kesehatan kerja (Kurniawidjaja, 2010). Pekerja yang terganggu kesehatannya baik karena kecelakaan, cedera, cacat atau terserang penyakit dapat menggangu kelancaran pekerjaan, dengan demikian dapat menurunkan produktivitas, lebih lanjut dapat melemahkan daya saingnya. Selain itu, pekerja yang terganggu kesehatannya dapat membahayakan teman sekerja atau lingkungan kerjanya. Penyakit akibat kerja (PAK) harus dapat dikendalikan atas alasan hak asasi manusia, kewajiban melaksanakan peraturan perundang-undangan, dan atas pertimbangan kepentingan bisnis. PAK dapat dikendalikan dengan serangkaian upaya kesehatan kerja yang komprehensif mulai dari promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, yang mencakup upaya medis, teknis, administratif dan melibatkan profesional dari disiplin yang lainnya. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) pada Penerbangan Keselamatan dan kesehatan kerja pada penerbangan merupakan upaya strategis dalam mengoperasikan pesawat agar tetap dalam keadaan selamat mulai dari persiapan take off sampai tiba pada bandara tujuan. Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) Penerbangan memberi andil dalam kenyamanan terbang dan peningkatan mutu penerbangan secara global. Upaya meningkatkan kualitas dunia penerbangan harus mencakup aspek kesehatan dan keselamatan kerja dalam setiap aspek perencanaannya. Definisi K3 Penerbangan Berdasarkan UU No. 1 tentang Penerbangan Tahun 2009, penerbangan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan 9

keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya. Keselamatan diartikan kepada hal-hal yang mencakup keselamatan penerbangan yang selalu berhubungan dengan aspek keamanan penerbangan (UU Penerbangan, 2009). Masalah Utama pada K3 Penerbangan Biro Statistik Buruh Amerika Serikat menyebutkan bahwa penerbangan, perikanan, industri kayu, pertambangan, pengerjaan logam dan transportasi adalah sektor industri yang paling berbahaya (Bureu of Labor Statistics, 2010). Penerbangan merupakan salah satu sektor industri spesifik yang berbahaya karena menyangkut nyawa penumpang dan awak pesawat. Masalah utama dari penerbangan sipil pada dekade terakhir adalah masalah keamanan, dipicu dengan terjadinya peristiwa serangan 11 September 2001 dan beberapa peristiwa lainnya yang menjadikan faktor keamanan menjadi sangat penting. Masalah lainnya adalah banyaknya pesawat yang mengalami kecelakaan, dan yang terbaru adalah hilangnya pesawat MH 370 milik maskapai Malaysia Airlines yang sampai sekarang menjadi misteri. Selain itu, faktor teknis kelaikan pesawat udara, faktor keamanan kargo dan pos yang pada umumnya juga diangkut oleh pesawat sipil ternyata juga memiliki pengaruh besar terhadap keamanan pesawat udara. Begitu pula hal-hal yang berkenaan dengan barang-barang berbahaya yang terkandung di dalam kargo dan pos juga dapat menyebabkan kecelakaan fatal apabila tidak ditangani dan dikemas sesuai dengan aturan "Dangerous Goods Regulation" yang dikeluarkan oleh ICAO, Annex 18 mengenai "The Safe Transport of Dangerous Goods by Air" dengan rincian ICAO dokumen 9284AN/905 mengenai "Technical Instruction for The Safe Transport of Dangerous Goods by Air" dan Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) mengenai Peraturan Penanganan Pengangkutan Barang-Barang Berbahaya Melalui Pesawat Udara. Masalah keselamatan kerja di bandara adalah menyangkut masalah tenaga kerja dan orang lain yang berada di tempat kerja. Adapun potensi bahaya yang menyangkut tenaga kerja dan orang lain di bandara, gawat darurat yang melibatkan pesawat dan gawat darurat yang tidak melibatkan pesawat.

10

Gawat darurat yang melibatkan pesawat adalah sebagai berikut: kecelakaan pesawat udara di bandar udara, kecelakaan pesawat udara di sekitar bandar udara, insiden pesawat udara dalam penerbangan, insiden pesawat udara di darat, sabotase termasuk ancaman bom, dan pembajakan. Gawat darurat yang tidak melibatkan pesawat dapat terjadi di area bandara, seperti berikut ini: kebakaran bangunan, sabotase dan ancaman bom, bencana alam, bahaya petir, bahaya listrik. UU Terkait Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) Penerbangan Penerbangan merupakan salah satu sektor industri yang membutuhkan perhatian serius. Perhatian yang diperlukan adalah perlunya aturan main dan pengelolaan penerbangan yang selamat dan bermutu. Penerbangan harus memiliki peraturan yang diatur oleh negara berdasarkan standar internasional. Peraturan yang sudah ada di antaranya adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Penerbangan UU No. 1/2009. 2. Peraturan Menteri No. 31 Tahun 2013 tentang Program Keamanan Penerbangan Nasional. 3. Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor KP. 152 Tahun 2012 tentang Pengamanan Kargo dan Pos yang Diangkut dengan Pesawat Udara. 4. Annex 17 dari Organisasi Penerbangan Sipil (ICAO) mengenai Security, Safeguarding International Civil Aviation Against Acts of Unlawful Interference, di mana diatur ketentuan-ketentuan tentang kewajiban pengamanan kargo dan pos sebelum diangkut oleh pesawat udara sipil.

11

BAB 4 PERFORMANCE KERJA BERDASARKAN KAJIAN PSIKOLOGI Performance kerja merupakan tampilan seseorang dalam bekerja. Tampilan yang baik akan mempengaruhi efek yang baik pada organisasi atau perusahaan, namun jika tampilannya tidak baik akan mempengaruhi efek buruk pada perusahaan. Teori-teori performance yang telah ada dapat menjadi acuan dalam mengkaji performance. Teori-teori tersebut di antaranya adalah model formula matematis Maier yang akan dijabarkan sebagai berikut: Teori Performance Formula Maier, 1955. Maier (1955) menjelaskan teori performance sebagai berikut: “What a man is capable of doing and what the actually does are not necessarily the same. The term ability refers to a person’s potential performance, whereas the term performance refers to what a actually does under given conditions. How a man performs on a job depends both on his ability and his willingness or motivation. We may express the relationship between these factors by the following formula: Performance = Ability x Motivation (Maier, 1995, p.203).

Interpretasi dan implikasi dari teori Maier formula sangat penting dalam pengelolaan sumber daya manusia dalam suatu organisasi terutama ketika salah satu faktor dalam pemilihan, penempatan, dan kompensasi adalah kemampuan karyawan (Hong-Chee, 1968). Rumus Maier dapat diartikan secara kuantitatif sebagai batas atau nonlimit fungsi aljabar, itu lebih realistis untuk pengalaman sehari-hari untuk menganggap bahwa ada batas dalam kemampuan dan motivasi seseorang, dan karenanya tingkat kinerja juga dibatasi oleh batas-batas tersebut. P (performance) merupakan fungsi dan A (ability) dan M (motivation) yang dapat ditulis sebagai rumus: P = f (A x M) (Maier, 1955). Semakin tinggi ability dan motivation karyawan maka level of 12

performance akan semakin tinggi namun apabila ability rendah dan motivation rendah maka performance akan rendah. Hal yang sama juga akan tejadi apabila salah satu dari ability atau motivation yang rendah dapat menurunkan level of performance pada karyawan. Teori Ability Hong-Chee (1968) mendefinisikan ability sebagai berikut: “Ability is defined as a person's performance potential. this implies that ability marks the upper limit of a person's performance capability. over a short period of time, ability is a relatively stable or constant individual charactreristic and relatively independent of situational factors. it is considered a scalar quantity because it has only magnitude. Ability can be divided arbitrarily into two principal kinds: mental ability and non mental ability (p.23)”

Ability didefinisikan sebagai potensi kinerja seseorang. ini berarti bahwa kemampuan menandai batas atas kemampuan kinerja seseorang. Selama periode waktu yang singkat, ability atau kemampuan adalah karakateristik individu yang relatif stabil atau konstan dan relatif independen dari faktor situasional. Itu dianggap sebagai kuantitas skalar karena hanya memiliki magnitude. Ability dapat dibagi menjadi dua jenis utama: kemampuan mental (mental ability) dan kemampuan nonmental (non mental ability). Mental ability or intelligence refers to the degree or extent to which an individual is able to learn new things rapidly and solve problem correctly. Kemampuan mental atau kecerdasan mengacu pada derajat atau sejauh mana seorang individu dapat belajar halhal baru dengan cepat dan memecahkan masalah dengan benar. Tiga faktor utama yang berpengaruh pada mental ability seseorang: native potential for learning, motivation to learn and environmental stimulus potential. 1. Native Potential for Learning Native potential for learning atau potensi dasar untuk belajar adalah sebuah hypothesized characteristic dari struktur otak yang berfungsi untuk memfasilitasi dan membatasi pengembangan apa yang sebenarnya diwujudkan dalam kecerdasan. 2. Motivation to Learn Motivation to learn atau motivasi belajar mengacu pada niat seseorang dalam belajar (arah) dan tingkat aspirasi seseorang dalam belajar (magnitude). 13

3.

Environmental Stimulus Potential Environmental stimulus potential atau potensi stimulus lingkungan mengacu pada kesempatan seseorang dalam pendidikan, pengalaman, dan terhadap lingkungan sosial. Nonmental abilities atau kemampuan nonmental yang meliputi kemampuan psikomotor, kemampuan atletik, kemampuan musik, kemampuan artistik. Kemampuan dalam konteks ini mengacu pada tugas yang relevan dengan kemampuan mental dan nonmental seseorang. Teori Motivasi Teori tentang motivasi sangat banyak dan melibatkan banyak pakar, secara umum motivasi didefinisikan sebagai kombinasi dari kekuatan-kekuatan yang memulai, langsung dan mempertahankan perilaku ke arah tujuan. Berdasarkan teori-teori motivasi yang sudah ada, yang akan dibahas pada teori ini adalah teori dari Viktor room (Vroom, 1964) yang dikenal dengan teori harapan atau expectancy theory, yang akan dijelaskan sebagai berikut: Vroom proposed that: the force on a person to perform an act is a monotonically increasing function of the algebraic sum of the products of the valences of all outcomes and the strength of his expectancies that the act will be followed by the attainment of these outcomes.

The expectancy theory, which is Vroom’s formula, states that: Motivation = Expectancy x Valence (Vroom, 1964, p.18).

Teori motivasi Vroom lebih menekankan pada hasil, ketimbang kebutuhan seperti yang dikemukakan oleh Maslow dan Hezberg. Teori ini menyatakan bahwa intensitas kecenderungan untuk melakukan dengan cara tertentu tergantung pada intensitas harapan bahwa kinerja akan diikuti dengan hasil yang pasti dan pada daya tarik dari hasil kepada individu. Vroom dalam Koontz (1990), berpendapat bahwa orang-orang akan termotivasi untuk melakukan hal-hal tertentu guna mencapai tujuan, apabila mereka yakin bahwa tindakan mereka akan mengarah pada pencapaian tujuan tersebut. Craig (1948) dalam bukunya Work Motivation berpendapat bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat harapan atau ekspektasi seseorang yaitu: harga diri, keberhasilan waktu melaksanakan tugas, bantuan

14

yang dicapai dari seorang supervisor dan pihak bawahan, informasi yang diperlukan untuk melaksanakan suatu tugas, dan bahanbahan baik dan peralatan baik untuk bekerja (Roen, 2012). Teori harapan juga menyatakan bahwa motivasi karyawan adalah hasil dari seberapa jauh seseorang menginginkan imbalan (valence), yaitu penilaian bahwa kemungkinan sebuah upaya akan menyebabkan kinerja yang diharapkan (expentancy), dan keyakinan bahwa kinerja akan mengakibatkan penghargaan (instrumentality) (Roen, 2012). Keterbatasan persamaan motivasi Vroom adalah konsep vektor dan skalar kuantitas yang digunakan untuk menafsirkan persamaan Vroom, penggunaan operator perkalian aljabar untuk interaksi antara harapan dan valensi untuk menentukan kekuatan komponen motivasi dianggap sah secara operasional karena harapan dianggap sebagai kuantitas skalar dan valensi dianggap sebagai besaran vektor. Asumsi Vroom bahwa jumlah aljabar dari kekuatan komponen (EV) adalah sama dengan resultan gaya (F) dianggap valid secara operasional. Karena gaya adalah besaran vektor, secara teoritis, seseorang harus menggunakan operator penjumlahan vektor daripada operator penambahan aljabar dalam penjumlahan dari kekuatan komponen untuk menyelesaikan gaya resultan. Anggapan bahwa valensi seseorang beroperasi baik tegak lurus (ketidakpedulian) atau arah diagonal berlawanan, maka, secara operasional, tidak ada perbedaan antara aljabar dan penjumlahan vektor meskipun secara teoritis itu salah. Asumsi tersebut adalah model lebih sederhana dari hubungan interaktif antara variabel pribadi dan variabel lingkungan. Berdasarkan teori motivasi Vroom di atas dapat dilihat bahwa motivasi sangat tergantung pada tiga faktor yaitu expectancy, instrumentality, dan valence yang ketiganya saling terkait untuk dapat mengukur motivasi seseorang terhadap pekerjaannya sehingga harapan akan pekerjaan yang nyaman dan produktif dapat terealisasikan.

15

BAB 5 PERFORMANCE KERJA BERDASARKAN KAJIAN SAFETY Pengertian Ergonomi Istilah ergonomi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu ergon berarti kerja dan nomos berarti aturan atau hukum. Jadi secara ringkas ergonomi adalah suatu aturan atau norma dalam sistem kerja. Negara Indonesia memakai istilah ergonomi, tetapi di beberapa negara seperti di Skandinavia menggunakan istilah “bioteknologi” sedangkan di negara Amerika menggunakan istilah “human enggineering” atau “human factors enggineering”, kesemuanya membahas hal yang sama yaitu tentang optimalisasi fungsi manusia terhadap aktivitas yang dilakukan (Tarwaka, 2004). Definisi ergonomi menurut Tarwaka (2004) dari beberapa ahli atau pakar yang berhubungan dengan tugas, pekerjaan, dan desain. Ergonomics is the application of scientific information about human being (and scientific methods of acquiring such information) to the problems of design (Pheasant, 1988). Ergonomics is the study of human abilities and characteristics which affect the design of equipment, systems and job (Corlett & Clark, 1995). Ergonomics is the ability to apply information regarding human characters, capacities, and limitation ti the design of human tasks, machine system, living spaces, and environment so that people can live, work and play safety, comportably and efficienctly (Annis & Mc. Conville, 1996). Ergonomic design is the application of human factors, information to the design of tools, machines, systems, tasks, jobs, and environments for productive, safe, comportable and effective human functioning (p.6).

Berdasarkan beberapa definisi di atas maka secara umum ergonomi dapat diartikan sebagai berikut: ergonomi adalah ilmu, seni dan penerapan teknologi untuk menyerasikan atau menyeimbangkan antara segala fasilitas yang digunakan baik

16

dalam beraktivitas maupun istirahat dengan kemampuan dan keterbatasan manusia baik fisik maupun mental sehingga kualitas hidup secara keseluruhan menjadi lebih baik (Tarwaka, 2004). Tujuan Ergonomi Secara umum tujuan dari penerapan ergonomi menurut Tarwaka (2004) adalah: 1. Meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental melalui upaya pencegahan cedera dan penyakit akibat kerja, menurunkan beban kerja fisik dan mental, mengupayakan promosi dan kepuasan kerja. 2. Meningkatkan kesejahteraan sosial melalui peningkatan kualitas kontak sosial, mengelola dan mengkoordinir kerja secara tepat guna dan meningkatkan jaminan sosial baik selama kurun waktu usia produktif maupun setelah tidak produktif. 3. Menciptakan keseimbangan rasional antara berbagai aspek yaitu aspek teknis, ekonomis, antropologis dan budaya dari setiap sistem kerja yang dilakukan sehingga tercipta kualitas kerja dan kualitas hidup yang tinggi. Konsep Keseimbangan dalam Ergonomi Ergonomi merupakan suatu ilmu, seni, dan teknologi yang berupaya untuk menyerasikan alat, cara dan lingkungan kerja terhadap kemampuan, kebolehan dan segala keterbatasan manusia, sehingga manusia dapat berkarya secara optimal tanpa pengaruh buruk dari pekerjaannya. Berdasarkan sudut pandang ergonomi, antara tuntutan tugas dengan kapasitas kerja harus selalu dalam garis keseimbangan sehingga dicapai performansi kerja yang tinggi, agar tuntutan tugas pekerjaan tidak boleh terlalu rendah (underload) dan juga tidak boleh terlalu berlebihan (overload), karena overload dan underload keduanya berdampak pada stress kerja (Tarwaka, 2004). Kemampuan kerja seseorang sangat ditentukan oleh: (1) personal capacity (karakteristik pribadi), meliputi faktor usia, jenis kelamin, antropometri, pendidikan, pengalaman, status sosial, agama dan kepercayaan, status kesehatan, kesegaran tubuh dan lain-lain; (2) psysiological capacity (kemampuan fisiologis), meliputi 17

kemampuan dan daya tahan cardio-vaskuler, syaraf otot, pancaindera dll.; (3) psycological capacity (kemampuan psikologis) berhubungan dengan kemampuan mental, waktu reaksi, kemampuan adaptasi, stabilitas emosi, dsb.; (4) biomechanical capacity (kemampuan bio-mekanik) berkaitan dengan kemampuan dan daya tahan sendi dan persendian, tendon, dan jalinan tulang. Tuntutan tugas pekerjaan/aktivitas tergantung pada :(1) task and material characteristics (karakateristik tugas dan material) yang ditentukan oleh karakteristik peralatan dan mesin, tipe, kecepatan dan irama kerja dsb. (2) Organization characteristics; berhubungan dengan jam kerja dan jam istirahat, kerja malam dan bergilir, cuti dan libur, manajemen, dsb. Dan yang ketiga (3) environmental characteristics berkaitan dengan manusia teman setugas, suhu dan kelembaban, bising dan getaran, penerangan, sosio-budaya, tabu, norma, adat istiadat dan kebiasaan, bahan-bahan pencemar dsb. Performance Kerja atau Performansi Performansi atau tampilan seseorang sangat tergantung kepada rasio dari besarnya tuntutan tugas dengan besarnya kemampuan yang bersangkutan. Apabila rasio tuntutan tugas lebih besar daripada kemampuan seseorang atau kapasitas kerjanya maka akan menimbulkan ketidaknyamanan, overstress, kelelahan, kecelakaan, cedera, rasa sakit, penyakit, dan tidak produktif, sebaliknya apabila tuntutan tugas lebih rendah daripada kemampuan seseorang atau kapasitas kerjanya, maka akan terjadi penampilan akhir berupa understress, kebosanan, kejemuan, kelesuan, sakit, dan tidak produktif. Penampilan menjadi optimal yakni dengan keseimbangan dinamis antara tuntutan tugas dengan kemampuan yang dimiliki sehingga tercapai kondisi dan lingkungan kerja yang sehat, aman, nyaman, dan produktif (Tarwaka, 2004).

18

BAB 6 FAKTOR PERFORMANCE BERDASARKAN KONSEP PSIKOLOGI DAN SAFETY. Faktor yang mempengaruhi performance dari sudut psikologi dan safety merupakan gabungan konsep performance yang dikaji dan ditelaah dari sudut ilmu psikologi dan ilmu keselamatan kerja dan kesehatan kerja. Kajian psikologi dan safety diharapkan akan melahirkan suatu konsep performance yang baru. Gabungan kedua konsep inilah yang digunakan untuk melakukan pengembangan satu konsep baru tentang safety performance. Safety performance merupakan tampilan kerja yang selamat dan aman dengan mengikuti kaidah-kaidah keselamatan dan kesehatan dalam bekerja sehingga melahirkan hasil kerja yang optimal. Safety performance memperhatikan seluruh unsur-unsur yang ada di perusahaan agar tercapai pengendalian menyeluruh sesuai kaidah doktrin dalam K3. Adapun penilaian performance dapat diukur melalui elemenelemen berikut menurut (Jackson, 2002), terdiri dari lima elemen yaitu: 1. kualitas hasil, 2. kuantitas hasil, 3. ketepatan waktu, 4. kehadiran, 5. kemampuan bekerja sama. Indikator performance dapat dilihat dari output-nya seperti angka absenteeism, ketangkasan/kecepatan dalam pengambilan keputusan dan kemampuan dalam bekerja sama dalam suatu tim kerja (team work) dan derajat kesehatan dari petugas ATC seperti kelelahan, kebosanan dan stress. Indikator dampaknya adalah terjadinya zero accident pada kecelakaan pesawat terbang. Safety performance dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya adalah job ability, motivasi kerja, lingkungan kerja, 19

peralatan kerja, burnout, keluhan muskuloskeletal, status kesehatan berkala, organisasi K3, identitas individu. Safety performance yang baik akan menyebabkan kerja yang optimal dan meningkatkan produktivitas. Berikut akan dibahas faktor-faktor yang yang dapat mempengaruhi safety performance baik secara langsung maupun melalui perantara (intervening). Identitas Individu dan Safety Performance Identitas individu merupakan karakteristik individu yang terdapat dalam diri karyawan dan yang berkaitan dengan pekerjaan karyawan. Identitas individu yang berpengaruh terhadap safety performance seorang karyawan ATC adalah umur, jenis kelamin, pendidikan, masa kerja, dan unit kerja. Umur dapat mempengaruhi performance karyawan ATC terjadi apabila umur muda atau terlalu tua. Hal ini dapat berdampak akibat dari tingkat kematangan dan kondisi fisik dan mental. Misalkan pada umur terlalu muda maka tingkat kematangan masih rentan akibat pengalaman yang sedikit, begitu juga sebaliknya umur yang terlalu tua dapat mempengaruhi performance dari faktor fisik, di mana semua sel-sel dan jaringan sudah mulai menua dan menurun kualitasnya sehingga ini akan berdampak pada tingkat performance karyawan. Menurur Grandjean (1993) setiap aktivitas mental akan selalu melibatkan unsur persepsi, interpretasi, dan proses mental dari suatu informasi yang diterima oleh organ sensoris untuk diambil suatu keputusan atau proses mengingat informasi yang lampau. Persoalan pada manusia adalah kemampuan untuk memanggil kembali atau mengingat informasi yang disimpan. Proses mengingat kembali ini sebagian besar menjadi masalah bagi orang tua. Seperti kita ketahui bahwa orang tua kebanyakan mengalami penurunan daya ingat. Jenis kelamin dapat mempengaruhi safety performance karyawan karena jenis kelamin tertentu akan memiliki kelebihan dan kekuatan fisik yang berbeda. Misalkan jenis kelamin laki-laki secara fitrah kelahirannya memiliki fisik dan organ yang lebih kuat dari wanita sehingga laki-laki secara fisik lebih kuat. Pekerjaan yang

20

membutuhkan kekuatan fisik maka performance laki-laki secara umum akan lebih baik daripada wanita. Pendidikan akan dapat mempengaruhi tingkat safety performance karyawan di mana pendidikan tinggi pada karyawan dapat meningkatkan level of knowledge dari karyawan sehingga performance akan meningkat, namun sebaliknya dapat terjadi penurunan performance apabila tingkat pendidikan rendah, maka performance kerja akan rendah. Masa kerja seorang karyawan ATC dapat mempengaruhi safety performance. Semakin lama masa kerja akan semakin tinggi level of performance. Pengalaman dan adaptasi terhadap tugas dan tanggung jawab sudah dimiliki sehingga performance akan lebih baik. Unit kerja dapat mempengaruhi safety performance dalam bekerja. Unit kerja yang baik adalah unit kerja yang dilengkapi dengan peralatan dan fasilitas yang safety dan mengutamakan keselamatan dan kesehatan dalam bekerja. Unit kerja yang dibebankan diberikan mudah dan tidak terlalu tinggi beban kerjanya akan meningkatkan level of performance karyawan. Unit kerja yang baik adalah unit kerja yang memiliki beban kerja yang seimbang dengan kapasitas kerja dari karyawan. Berdasarkan literature evaluasi kinerja atau performa kerja, banyak studi sistematis telah dibuka untuk dampak potensial dari beberapa variabel seperti usia, jenis kelamin (Lee dan Alvares, 1977), pengalaman (Schmidt et al., 1986), waktu pengamatan (Moser et al., 1999), pengaruh interpersonal (Antonioni dan Park, 2001), format rating (Yun et al., 2005), perilaku kerja menyimpang (Dunlop dan Lee, 2004), politik organisasi (Witt et al., 2002; Miron et al., 2004. ) terhadap prestasi kerja dan hasil penelitian menunjukkan bahwa performa tugas memiliki korelasi yang kuat dengan tingkatan kerja dan performa, kondisi lingkungan berkorelasi secara signifikan dengan performa tugas (Kahya, 2007). Job Ability dan Safety Performance Job ability adalah kemampuan mental dan nonmental dari karyawan ATC, kemampuan mental merupakan kemampuan kognitif yang terdiri dari kemampuan intelektual, dan kemampuan nonmental terdiri dari kemampuan psikomotorik yang dapat diukur 21

melalui tes work sample. Kemampuan atau ability dapat mempengaruhi tingkat performance kerja seorang karyawan ATC. Semakin tinggi tingkat job abilty maka akan semakin tinggi level of performance namun sebaliknya jika job ability rendah maka performance kerja akan rendah. Performa kerja adalah sebuah konsep yang rumit yang dapat diukur dengan berbagai teknik. Sejumlah peneliti (e.g.,Ghiselli & Brown, 1948; Guion, 1979; Robertson & Kandola, 1982) telah menganjurkan penggunaan tes sampel pekerjaan (work sample) karena langsung, relevan dan untuk menilai kemampuan kerja (Bruskiewicz, 2000). Performa terhadap tugas dan konteks merupakan 2 dimensi dalam perilaku di tempat kerja yang dapat berkontribusi terhadap dampak dari efektivitas suatu organisasi (Griffin, 2000). Motivasi dan Safety Performance Motivasi merupakan dorongan dari individu untuk melakukan sesuatu. Motivasi seorang karyawan ATC yang baik dan penuh tanggung jawab terhadap tugas dapat meningkatkan level of performance dari seorang karyawan. Apabila motivasi rendah dan tidak memiliki dorongan positif untuk bekerja secara maksimal sangat berdampak pada performance kerja seorang karyawan. Motivasi yang baik adalah motivasi yang mampu memberikan semangat dalam bekerja sehingga tugas dan tanggung jawab dilaksanakan dengan sepenuh hati. Menurut Rubin dan McNeil (1983), motif adalah jenis penyebab khusus yang memberi energi, mengarahkan, dan mempertahankan perilaku seseorang termasuk lapar, haus, seks, dan rasa ingin tahu (Gross, 2010). Motivasi, dalam pengertian umum, mengacu pada proses-proses yang terlibat dalam inisiasi, pengarahan, dan energisasi perilaku individu (Geen, 1995). Kata motif berasal dari bahasa latin untuk move (movere), dan ini ditangkap dalam definisi Miller. Studi tentang motivasi adalah studi tentang semua hal yang mendorong dan membangkitkan: biologis, sosial, dan psikologis yang mengalahkan kemalasan, dan menggerakkan kita, dengan bersemangat atau malas untuk bertindak (Gross, 2010). Perbedaan dalam aliran psikologi menunjukkan bahwa motif bisa bervariasi dalam kaitannya dengan sejumlah fitur atau dimensi, 22

termasuk: internal atau eksternal, bawaan atau dipelajari, mekanistik atau kognitif, sadar atau tidak sadar. Beberapa upaya telah dilakukan untuk mengklasifikasikan berbagai macam motif, sebagai contoh, Rubin dan Mc Neil (1983) mengidentifikasikan bahwa (i) motif menjaga kelangsungan hidup atau motif fisiologis, dan (ii) motif kompetensi atau motif kognitif. Motif sosial merepresentasikan kategori ketiga. Manusia memiliki motif menjaga kelangsungan hidup yang sama dengan binatang lain, selain motifmotif kompetensi tertentu. Motif-motif lain secara khusus dan unik bagi manusia, khususnya aktualisasi diri, yang terletak di puncak hierarki kebutuhan Maslow (1954) (Gross, 2010). Hasil penelitian Jankingthong (2012) menunjukkan bahwa kebijakan organisasi, keterlibatan kerja, dan PSM (public service motivation) memiliki efek langsung terhadap performansi kerja (Jankingthong, 2012). Motivasi dan kemampuan kognitif merupakan dua faktor penentu dasar dalam pembelajaran dan performansi kerja. Sejumlah penelitian (Dunnette 1976; Ghiselli, 1966; Hunter, 1986) telah meneliti peran kemampuan kognitif-intelektual dalam memprediksi perbedaan individu dalam prestasi kerja (Ackerman, 1989). Kesimpulan yang dapat dilihat berdasarkan beberapa hasil penelitian di atas bahwa motivasi sangat terkait dengan performa seseorang karyawan yang aman dan sehat (safety performance). Motivasi yang tinggi dalam bekerja akan meningkatkan performa baik terhadap tugas maupun organisasi sehingga motivasi harus terus diasah, diasuh dan dipelihara agar tetap dalam kondisi yang baik agar performa dapat optimal terus optimal. Beban Kerja dan Safety Performance Beban kerja merupakan beban kerja yang diberikan perusahaan kepada karyawan berupa shift kerja dan lama kerja. Beban kerja yang baik adalah beban kerja yang diberikan kepada karyawan melebihi kapasitas kerja mereka. Apabila beban kerja yang diberikan seimbang dengan kapasitas kerja karyawan maka akan terjadi kondisi performance yang optimal. Namun, sebaliknya akan terjadi penurunan performance kerja apabila beban terlalu rendah atau terlalu tinggi. Misalkan shift kerja yang diberikan terlalu sering pada shift malam, lama kerja melebihi waktu atau jam kerja 23

yang diperkenankan (>8 jam perhari, atau 40 jam perminggu) sehingga menyebabkan performance kerja menjadi menurun. Setiap tubuh manusia dirancang untuk dapat melakukan aktivitas pekerjaan sehari-hari. Adanya massa otot yang bobotnya hampir lebih dari separuh berat tubuh, memungkinkan kita untuk dapat menggerakkan tubuh dan melakukan pekerjaan. Pekerjaan di satu pihak mempunyai arti penting bagi kemajuan dan peningkatan prestasi, sehingga mencapai kehidupan yang produktif sebagai salah satu tujuan hidup. Bekerja berarti tubuh akan menerima beban dari luar tubuhnya denga kata lain, bahwa setiap pekerja merupakan beban bagi yang bersangkutan. Beban tersebut dapat berupa beban fisik maupun mental. Berdasarkan sudut pandang ergonomi, setiap beban kerja yang diterima oleh seseorang harus sesuai atau seimbang baik terhadap kemampuan fisik, kemampuan kognitif maupun keterbatasan manusia yang menerima beban tersebut. Menurut Suma’mur (1984) bahwa kemampuan kerja seorang tenaga kerja berbeda dari satu kepada yang lainnya dan sangat tergantung dari tingkat keterampilan, kesegaran jasmani, keadaan gizi, jenis kelamin, usia, ukuran tubuh dari pekerja yang bersangkutan (Tarwaka, 2004). Selain beban kerja fisik, beban kerja mental harus dilakukan penilaian. Penilaian beban kerja mental tidaklah semudah melakukan penilaian terhadap beban kerja fisik. Pekerjaan yang bersifat mental sulit diukur melalui perubahan fungsi faal tubuh. Secara fisiologis, aktivitas mental terlihat sebagai suatu jenis pekerjaan yang ringan sehingga kebutuhan kalori untuk aktivitas mental juga lebih rendah. Padahal secara moral dan tanggung jawab, aktivitas mental jelas lebih berat dibandingkan dengan aktivitas fisik karena lebih melibatkan kerja otak (white-collar) dari pada kerja otot (blue-collar). Saat ini, aktivitas mental lebih banyak didominasi oleh pekerjapekerja kantor, supervisor, dan pimpinan sebagai pengambil keputusan dengan tanggung jawab yang lebih besar, pekerja di bidang teknik informasi, pekerja dengan menggunakan teknologi tinggi, pekerjaan dengan kesiapsiagaan tinggi, pekerjaan yang bersifat monotoni dan lain-lain. Menurur Grandjean (1993) setiap aktivitas mental akan selalu melibatkan unsur persepsi, interpretasi, dan proses mental dari suatu informasi yang diterima oleh organ 24

sensoris untuk diambil suatu keputusan atau proses mengingat informasi yang lampau. Persoalan pada manusia adalah kemampuan untuk memanggil kembali atau mengingat informasi yang disimpan. Proses mengingat kembali ini sebagian besar menjadi masalah bagi orang tua. Seperti kita ketahui bahwa orang tua kebanyakan mengalami penurunan daya ingat. Penilaian beban kerja mental lebih tepat menggunakan penilaian terhadap tingkat ketelitian, kecepatan maupun konstansi kerja seperti tes ‘Bourdon Wiersma’. Sedangkan jenis pekerjaan yang lebih memerlukan kesiapsiagaan tinggi (vigilance) seperti petugas air traffic controller di bandar udara adalah sangat berhubungan dengan pekerjaan mental yang memerlukan konsentrasi tinggi. Semakin lama orang berkonsentrasi maka akan semakin berkurang tingkat kesiapsiagaannya. Maka uji yang lebih tepat untuk menilai vigilance adalah tes waktu reaksi. Waktu reaksi sering dapat digunakan sebagai cara untuk menilai kemampuan dalam melakukan tugas-tugas yang berhubungan dengan mental (Tarwaka, 2004). Beban kerja mental (Neill, 2011) adalah membangun kompleks (complex construct) dengan beberapa dimensi. Persepsi beban mental ditentukan oleh kapasitas pengolahan individu dan persyaratan tugas. Kapasitas pengolahan dipengaruhi oleh karakteristik individu (misalnya tingkat keterampilan, energi, perilaku pribadi dan persepsi), kondisi kinerja (misalnya pekerjaan lingkungan dan waktu tuntutan), kompleksitas kegiatan (misalnya kegiatan rutin vs prosedur khusus atau keadaan darurat), dan pengaruh tidak langsung (misalnya pola staf, dukungan administrasi). Kapasitas pengolahan, memori kerja merupakan faktor pembatas dalam pengolahan rangsangan dan memenuhi tuntutan beban kerja yang aman. Memori kerja dan keakraban dengan tuntutan yang dibuat oleh persyaratan tugas merupakan dampak yang dirasakan dari tuntutan beban kerja mental. Kompleksitas beban kerja mental yang ditingkatkan dari perbedaan individu yang dapat membuat pengukuran yang memadai dengan menggunakan satu instrumen yang sulit. Beban kerja mental digunakan untuk mengacu pada jumlah aktivitas kognitif yang diperlukan untuk melakukan tugas-tugas seperti evaluasi, perencanaan, dan pemantauan yang diperlukan 25

untuk pengendalian lalu lintas udara yang efektif. Sebuah metode untuk meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja atau performansi kerja dari jenis tugas (tugas mental yang membutuhkan aktivitas kognitif yang signifikan) dan pemahaman yang lebih besar dapat dimasukkan ke dalam pengukuran kompleksitas (Pawlak, 1996). Teknik beban kerja mental dapat dikelompokkan menjadi tiga ukuran luas: psikofisik, performa/kinerja, dan subjektif (Owen, 1992, Veltman, 2002). Masing-masing ukuran memiliki aplikasi spesifik dan keterbatasan dalam menentukan beban kerja mental yang terkait dengan tuntutan kerja dan lingkungan (Neill, 2011). Beban mental subjektif adalah jumlah pekerjaan yang dipersepsikan pekerja untuk memenuhi kebutuhan akan permintaan. Beban kerja yang dirasakan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berkaitan dengan pekerja, lingkungan, dan tugas. Ada anggapan, berdasarkan pengalaman subjektif dan ketidakmampuan sering manusia untuk melakukan dua tugas secara bersamaan, bahwa manusia memiliki kapasitas sistem pengolahan pusat yang terbatas (Kerr, 1973). Manusia harus sering memilih tempat untuk memusatkan perhatian mereka ketika dihadapkan dengan pilihan bersaing. Perhatian dalam konteks mental beban kerja adalah proses pemilihan dari berbagai rangsangan untuk memproses informasi (Navon, 1985) dalam (Neill, 2011). Berdasarkan hasil beberapa penelitian di atas menujukkan bahwa beban kerja sangat berpengaruh terhadap performance kerja yang aman dan selamat (safety performance). Apabila beban kerja pada level yang tepat sesuai dengan kapasitas kerja maka akan terjadi kondisi kerja yang sehat, aman dan selamat sehingga performa menjadi optimal. Lingkungan Kerja dan Safety Performance Lingkungan kerja adalah beban kerja tambahan yang diberikan kepada karyawan dalam bekerja. Lingkungan kerja yang dikaji dalam riset ini adalah lingkungan kerja fisik pada tempat kerja karyawan. Lingkungan kerja yang baik dan sehat akan menyebabkan rasa nyaman dalam bekerja sehingga dapat memicu tingkat performance kerja yang aman dan sehat pada seorang

26

karyawan menjadi meningkat dan level of performance menjadi tinggi. Kondisi lingkungan yang baik adalah kondisi lingkungan kerja yang nyaman seperti suhu dan kelembaban yang sehat dan optimal dalam bekerja, pencahayaan yang cukup tidak silau atau kurang. Pencahayaan yang terlalu terang akan menyebabkan gangguan kesehatan mata yang disebabkan karena intensitas cahaya yang teralu ekstrem sehingga menjadi silau. Pencahayaan yang kurang akan dapat menyebabkan eyestrain. Dension (1990) proposed that there are two components of work environment: culture and climate. Hasil penelitian menunjukkan bahwa work environment has a positive relationship with both transformational leadership and employee performance respectively dengan nilai work environment terhadap employee performance (r =.51, p <0.01). Ini menujukkan bahwa lingkungan kerja secara signifikan berpengaruh positif terhadap performance karyawan (Imran, 2012). Kondisi suhu yang ekstrem seperti dingin di bawah 50 derajat Fahrenheit atau panas di atas 80 derajat Fahrenheit, sangat mempengaruhi produktivitas dan kesehatan karyawan. Suhu dan kelembaban yang tidak sehat dan optimal dapat menyebabkan bersin-bersin, sakit kepala sehingga kondisi ini akan menyebabkan performance kerja menjadi menurun, sebaliknya jika suhu dan kelembabannya baik dan sehat maka performance kerja menjadi tinggi. Pencahayaan merupakan salah satu komponen agar pekerja dapat bekerja atau mengamati benda yang sedang dikerjakan secara jelas, cepat, nyaman, dan aman. Penerangan atau pencahayaan yang memadai akan memberikan kesan pemandangan yang lebih baik dan keadaan lingkungan yang menyegarkan. Benda akan terlihat bila benda tersebut memantulkan cahaya, baik yang berasal dari benda itu sendiri maupun berupa pantulan yang datang dari sumber cahaya lain. Cahaya dalam lingkungan kerja dimaksudkan agar benda terlihat jelas. Pencahayaan tersebut dapat diatur sedemikian rupa yang disesuaikan dengan kecermatan atau jenis pekerjaan sehingga memelihara kesehatan mata dan kegairahan kerja (Subaris, 2008). Berdasarkan kajian di atas dapat disimpulkan bahwa lingkungan kerja sangat berpengaruh terhadap performa kerja 27

seorang karyawan. Lingkungan kerja yang sehat akan meningkatkan performa seorang karyawan sehingga safety performance dapat tercapai sesuai dengan yang diinginkan. Peralatan Kerja dan Safety Performance Berdasarkan sudut pandang ergonomi, setiap beban kerja yang diterima baik dari peralatan atau lingkungan kerja oleh seseorang harus sesuai atau seimbang baik terhadap kemampuan fisik, kemampuan kognitif maupun keterbatasan manusia yang menerima beban tersebut. Menurut Suma’mur (1984) bahwa kemampuan kerja seorang tenaga kerja berbeda dari satu kepada yang lainnya dan sangat tergantung dari tingkat keterampilan, kesegaran jasmani, keadaan gizi, jenis kelamin, usia, ukuran tubuh dari pekerja yang bersangkutan (Tarwaka, 2004). Peralatan dan perlengkapan yang efektif atau tepat guna sangat diperlukan dalam perencanaan. Seleksi peralatan, harus mengetahui keluwesan dan kesesuaian alat. Penetapan mesin harus sesuai dengan jenis yang akan diadakan seperti mesin serba guna atau tunggal guna. Perbedaan antara mesin serba guna dan tunggal guna adalah pada operatornya. Operator mesin serba guna akan lebih aman mengendalikan mesin untuk berbagai macam produksi, sedangkan yang tunggal guna akan lebih kaku jika diharuskan mengendalikan mesin-mesin baru. Desain dan seleksi mesin apapun harus memperhatikan: (1) mesin tersebut atau peralatan tersebut harus mudah dipasang, dirawat, dan diperbaiki, (2) mesin atau peralatan tersebut harus dilengkapi dengan sarana keselamatan untuk mencegah kerugian dalam perbaikan. Desain peralatan atau lokasi kerja dapat menimbulkan atau mencegah kecelakaan. Perencana yang sadar akan keselamatan kerja selalu memberi ruang gerak yang cukup guna mencegah kecelakaan sewaktu mengangkat barang, menyediakan tangga untuk alat pengendali di atas kepala, mengisolasi saluran di atas 200 derajat Fahrenheit. Peralatan atau mesin yang selamat senantiasa lengkap dengan kontak pengaman, seperti alat menghentikan beban berlebih dan lain-lain. Peningkatan performance alat dan karyawan, pertimbangan safety harus diperhatikan oleh pimpinan agar tercapai produktivitas yang tinggi baik pada alat maupun karyawan. Peralatan yang baik 28

dan dapat dioperasionalkan dengan baik oleh karyawan akan meningkatkan level of performance dari karyawan sehingga performance kerja menjadi meningkat. Berdasarkan dari beberapa studi di atas maka dapat disimpulkan bahwa peralatan kerja sangat berpengaruh terhadap performance kerja yang aman dan selamat (safety performance). Apabila peralatan kerja pada level yang tepat sesuai dengan kapasitas kerja maka akan terjadi kondisi kerja yang sehat, aman dan selamat sehingga performa menjadi optimal. Burnout dan Safety Performance Schaufeli et al., (2005) menyatakan bahwa burnout dan prolonged fatigue merupakan dua gejala fatigue yang sangat penting. Perbedaan antara burnout dan prolonged fatigue adalah pada konsepnya di mana burnout pada kondisi yang disebabkan oleh sebuah pekerjaan sedangkan prolonged fatigue disebabkan kondisi yang umum atau general. Lewis (1992) perbedaan juga dari latar belakangnya di mana prolonged fatigue disebabkan medical background (Leone, 2007). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahwa kelelahan adalah perihal (keadaan) kelelahan, kepenatan, kepayahan. Kelelahan emosional adalah kelelahan yang diekspresikan dalam bentuk perasaan frustasi, putus asa, merasa terjebak, tidak berdaya, tertekan dan merasa sedih atau apatis terhadap pekerjaan; kelelahan fisik adalah kelelahan yang ditandai oleh adanya keletihan, kejenuhan, ketegangan otot, perubahan dari kebiasaan makan dan tidur, serta secara umum tingkat energinya rendah, sedangkan kelelahan mental adalah kelelahan karena ketidakpuasan terhadap diri sendiri, ketidakpuasan terhadap pekerjaan dan hidup secara keseluruhan, serta merasa tidak kompeten atau merasa rendah diri, sedangkan psikologi adalah sesuatu yang berkenaan dengan psikologi yang bersifat kejiwaan. Kelelahan mental atau burnout adalah kondisi letih secara emosi dan jenuh dengan keadaan yang ada sehingga memicu timbulnya masalah berupa tidak ada gairah kerja, semangat menjadi hilang, depersonalisasi. Burnout dapat mempengaruhi tingkat performance kerja seorang karyawan. Apabila keadaan ini tidak ditindaklanjuti akan menyebabkan performance kerja akan 29

sangat rendah karena burnout mampu menyebabkan orang lain tidak peduli akan sekitarnya. Menurut Lee (1996) components of job burnout: emotional exhaustion, depersonalization, feelings of failure in individual achievement and efficiency are three components of job burnout (Ashtari, 2009). Hasil penelitian pada pegawai yang menangani masalah mental di Iran menunjukkan bahwa 45,6 % dari sampel memiliki job burnout pada tingkat tinggi, 42,5 % subjek memiliki kelelahan emosional pada tingkat tinggi dan 65,5 % mengalami depersonalisasi pada tingkat tinggi, namun hanya 21 % mengalami perasaan kegagalan dalam prestasi individu pada tingkat tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara job burnout dan inability for job performance (Ashtari, 2009). Berdasarkan beberapa hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa kelelahan dalam hal ini burnout sangat mempengaruhi performa seseorang. Apabila pekerja mengalami burnout maka pekerjaan tidak akan dapat diselesaikan secara optimal karena performa menjadi sangat rendah akibat dari rasa kelelahan akibat kondisi kerja. Performa menjadi optimal apabila burnout dapat diminimalisir dengan mekanisme coping terhadap stress yang harus dimiliki oleh setiap karyawan ATC. Keluhan Muskuloskeletal dan Safety Performance Keluhan muskuloskeletal adalah kondisi nyeri di bagian punggung belakang akibat posisi kerja yang salah dalam bekerja. Keluhan muskuloskeletal akan menurunkan performance kerja. Keluhan muskuloskeletal akan sangat berbahaya pada karyawan jika tidak segera diatasi. Penanganan yang serius terhadap masalah ini harus segera dilakukan. Keluhan muskuloskeletal dapat diukur melalui nordic body map untuk mengetahui titik-titik nyeri pada tulang bagian belakang karyawan. Nordic body map merupakan titik-titik nyeri pada tulang bagian belakang yang terdiri dari 28 titik nyeri yang dirasakan oleh seseorang. Titik nyeri mulai dari leher sampai kaki pada bagian belakang tubuh, keluhan yang dirasakan mulai dari tidak ada keluhan, agak sakit, sakit, dan sakit sekali. Berikut dapat digambarkan titik nyeri yang ada pada gambar 2.1 sebagai berikut:

30

Gambar 2.1 Nordic Body Map

Performance yang safety sangat terpengaruh oleh kondisi tulang punggung belakang, lebih-lebih jika terjadi gangguan tulang belakang seperti nyeri dan keluhan lainnya. Upaya untuk mempertahankan agar terjadi kondisi punggung belakang yang sehat harus bekerja pada posisi yang ergonomis, di mana alat kerja harus disesuaikan dengan ukuran antropometri tubuh karyawan di dalam bekerja. Performance kerja yang safety akan didapatkan apabila masalah tulang punggung bagian belakang tidak terdapat nyeri ataupun gangguan lain, sehingga performance akan meningkat, sehingga produktivitas kerja akan meningkat.

31

Berdasarkan fakta di atas maka dapat disimpulkan bahwa keluhan muskuloskeletal memiliki pengaruh terhadap performa kerja seorang karyawan. Apabila tidak ada keluhan maka akan berdampak pada performa kerja yang optimal namun sebaliknya akan turun level performa apabila terjadi keluhan muskuloskeletal pada karyawan. Status Kesehatan Berkala dan Safety Performance Status kesehatan dalam hal ini status kesehatan berkala sangat mempengaruhi safety performance seorang karyawan, di mana jika kondisi sehat akan sangat baik tingkat performance kerjanya. Namun sebaliknya jika terjadi sakit maka performance akan menurun. Status kesehatan seorang karyawan ATC harus optimal agar didapatkan performance yang optimal sehingga diperlukan kontrol terhadap kesehatan karyawan baik secara berkala maupun tahunan dan pemeriksaan sebelum kerja. Status kesehatan berkala yang akan dilihat antara lain: jenis penyakit, tekanan darah, status gizi, visus, dan kebugaran karyawan. Status kesehatan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap safety performance seorang karyawan. Status kesehatan yang baik dan sehat akan berdampak positif bagi peningkatan safety performance karyawan ATC. Status kesehatan yang buruk akan berdampak negatif bagi safety performance karyawan, karena ini akan menurunkan performance pada karyawan. Organisasi K3 dan Safety Performance Organisasi K3 merupakan organisasi yang menangani masalah kebijakan mengenai K3 di perusahaan. Organisasi K3 di perusahaan harus dapat mencegah kecelakaan atau pemeliharaan keselamatan dan kesehatan kerja yang bertitik tolak dari konsep pengendalian menyeluruh sesuai doktrin K3. Organisasi K3 di perusahaan idealnya harus mempunyai seorang pejabat keselamatan kerja atau direktur keselamatan kerja. Tim yang dapat membantu adalah Panitia Pembinaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) yang harus diorganisir. Setiap anggota panitia wajib mengikuti pelatihan kesehatan dan keselamatan kerja dan memperoleh pengesahan dari pemerintah.

32

Tugas pokok P2K3 pada dasarnya adalah: (1) menjamin bahwa kebiasaan K3 selalu dipatuhi seluruh karyawan (2) mempelajari setiap kecelakaan dan membuat saran-saran perbaikan (3) membina kesadaran bekerja yang aman dan selamat (4) bertindak sebagai pengaman bilamana terjadi kebakaran di perusahaan (5) menjadi contoh dalam hal keselamatan dan kesehatan kerja bagi seluruh karyawan. Organisasi K3 sangat berpengaruh terhadap peningkatan safety performance karyawan karena organisasi K3 akan memberikan wawasan dan informasi terkait kaidah-kaidah bekerja yang baik dan safety. Kerja yang buruk dengan penampilan kerja yang tidak aman dan sehat akan mungkin terjadi apabila tidak adanya informasi dari organisasi K3 tentang cara kerja yang aman dan sehat. Berdasarkan penjelasan di atas memberikan kesimpulan bahwa keberadaan organisasi K3 memiliki pengaruh yang besar terhadap peningkatan safety performance karyawan. Keberadaan Organisasi K3 akan memberikan arahan dan bimbingan serta kontrol dalam bekerja agar selamat dan sehat pada karyawan ATC sehingga safety performance menjadi lebih baik. Organisasi K3 berfungsi dan menjalankan perannya dalam menjaga keselamatan karyawan. Keselamatan karyawan dan kesehatan kerja karyawan adalah kunci kesuksesan suatu perusahaan dalam menjalankan usahanya.

33

BAB 7 FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA ABSENTEEISM ATC Performance kerja merupakan tampilan kerja pada tenaga kerja atau karyawan yang dapat dilihat dari angka absenteeism. Absenteeism pada karyawan dapat menjadi salah satu indikator dari performance kerja. Absenteeism dapat dipengaruhi oleh banyak faktor di antaranya motivasi, job ability, lingkungan kerja, beban kerja, kelelahan (burnout), keluhan muskuloskeletal. Berikut akan diurai secara rinci tentang faktor-faktor yang mempengaruhi absenteeism di tempat kerja dalam hal ini pada karyawan air traffic controller (ATC). Definisi dan Batasan Absenteeism Pengertian absenteeism dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti ketidakhadiran yang terus-menerus baik di perusahaan ataupun di sekolah, sedangkan dalam Dictionary oleh Farlex adalah ‘habitual failure to appear, especially for work or other regular duty’. Pengertian lainnya menurut Rhodes and Steers (1990: 11-12) adalah a person either is or is not at work. Brooke and Price (1989: 2) defined absence as the non-attendence of employees for scheduled work (Clenney, 1992). Jenis-jenis Absenteeism Beberapa studi menunjukkan bahwa dua jenis absenteeism yaitu voluntary (sukarela) dan involuntary (terpaksa). Voluntray while voluntary absence implies a conscious decision by the worker about whether to attend work on any given day; ketika ketidakhadiran secara sukarela menunjukkan keputusan secara sadar oleh pekerja untuk tidak menghadiri bekerja pada hari yang ditentukan, involuntary absence implies that it is beyond the immediate control of the worker, e.g. transportation problem,

34

sickness or family funeral; ketidakhadiran terpaksa menyiratkan bahwa itu adalah di luar kendali langsung dari pekerja, misalnya masalah transportasi, sakit atau pemakaman keluarga (Hackett & Gulon, 1985: 341-342; Steers & Rhodes, 1978: 392-393). Studi lain menunjukkan absenteeism menjadi empat jenis yaitu: unexcused, excused personal, excused sick family and tardiness (Blau, 1985: 448). Landy dan Farr (1983) telah mengidentifikasi lebih 40 definisi operasional yang berbeda tentang ketidakhadiran. Pengaruh Absenteeism terhadap Performance Performa kerja atau kinerja dapat diukur secara objektif dengan menggunakan informasi dari file personel karyawan. Hal yang dapat dilihat adalah kualitas dan kuantitas pelatihan, kehadiran, pendidikan, adanya saran, jumlah pengaduan, jumlah kecelakaan kerja terkait. Indeks personil yang paling umum digunakan adalah absensi karyawan. Asumsinya adalah bahwa karyawan yang bekerja delapan jam sehari, hari demi hari, akan lebih produktif (dan biaya perusahaan kurang dalam asuransi kesehatan), dari seorang karyawan yang sering absen. Meskipun tampaknya cukup sederhana, bagaimana absensi didefinisikan akan berdampak besar pada peringkat karyawan. Ketidakhadiran sebagai ukuran performa kerja/kinerja (absenteeism as a measure of job performance) merupakan jumlah total kehilangan hari, rata-rata lama absen, frekuensi ketidakhadiran, dan membagi menjadi sukarela dan tidak sukarela, adalah beberapa hal untuk menentukan jumlah absensi. Ketidakhadiran yang dimaksud dalam penelitian ini adalah absenteeism. Absenteeism yang dinilai atau diukur adalah pola durasi (duration) dan frekuensi (frequency). Durasi dilihat dari rata-rata jumlah hari tidak hadir (absenteeism) per tahun. Frekuensi dinilai dari banyaknya kejadian sakit dalam setahun. Durasi dan frekuensi dapat dibagi menjadi short-term absenteeism (1-7 hari), mid-term absenteeism (8-42 hari), long term absenteeism (43-365 hari) (Hoonakker, 1998).

35

Pengaruh Motivasi terhadap Absenteeism ATC Motivasi merupakan kekuatan yang mendorong seseorang karyawan yang menimbulkan dan mengarahkan perilaku (Kreitner dan Kinicki, 2005: 248). Perkembangan pembentukan motivasi kerja mengacu kepada beberapa indikator menurut Kreitner dan Kinicki (2005: 248) yaitu: (1) fokus arahan, dengan subsubindikatornya menetapkan tujuan, memperhatikan keberhasilan, menyelesaikan tugas tepat waktu. (2) Intensitas usaha, dengan sub-subindikatornya mau bekerja lembur, kedisiplinan terhadap waktu, pemanfaatan waktu yang maksimal dan peran serta dalam perusahaan. (3) Kualitas strategi usaha, dengan subsubindikatornya belajar dari kegagalan, melakukan evaluasi dan inovasi terus menerus dan mencoba dengan keras dan gigih. Penelitian lain menunjukkan bahwa motivasi kerja dan kemampuan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan. Hasil penelitian di PT. Indonesia Power UBP Semarang, menunjukkan variabel kemampuan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan sebesar 41,9 persen. Variabel motivasi kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan sebesar 50,2 persen. Variabel kemampuan kerja dan motivasi kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan sebesar 53,5 persen (Kristiani, 2013). Semua organisasi kerja atau perusahaan harus mempertahankan motivasi kerja dari tenaga kerjanya karena motivasi kerja yang buruk dan kurang dapat berpengaruh pada tingkat absenteeism tenaga kerja sehingga catatan prestasi kerja menjadi buruk yang akhirnya akan berdampak negatif pada produktivitas kerja dan efisiensi tenaga kerja. Berdasarkan hasil penelitian pada tenaga operator di Departemen Sanding Asembly PT. Maitland Smith Indonesia, menunjukkan ada hubungan negatif antara motivasi kerja dan absenteeism (Sulistiowati, 2001). Hasil penelitian terkait motivasi, kemampuan, dengan absenteeism menunjukkan bahwa motivasi dan kemampuan untuk hadir memiliki perbedaan dalam hal perilaku absen atau perilaku ketidakhadiran. Absenteeism tidak berhubungan signifikan dengan motivasi untuk hadir tetapi berhubungan secara signifikan dengan kemampuan (ability) untuk hadir (Burton, 2002). 36

Berdasarkan hasil beberapa penelitian di atas menunjukkan bahwa motivasi sangat berpengaruh terhadap angka absensi karyawan. Semakin tinggi motivasi kerja seorang karyawan akan meningkatkan semangat kerja dan akan berusaha untuk tidak absenteeism. Motivasi yang tinggi memicu rasa bersalah apabila tidak masuk dalam bekerja. Pengaruh Job Ability terhadap Absenteeism ATC Kemampuan kerja merupakan suatu keadaan yang ada pada diri pekerja yang secara sungguh-sungguh berdaya guna dan berhasil guna dalam bekerja sesuai bidang pekerjaannya (Blanchard dan Hersey, 1995: 5-6). Kemampuan kerja mengacu kepada beberapa indikator menurut Blanchard dan Hersey (1995: 5-6), antara lain sebagai berikut: (1) kemampuan teknis, dengan sub-subindikator penguasaan terhadap peralatan kerja dan sistem komputer, penguasaan terhadap prosedur dan metode kerja, memahami peraturan tugas atau pekerjaan. (2) Kemampuan konseptual dengan sub-subindikator memahami kebijakan perusahaan, memahami tujuan perusahaan, memahami target perusahaan. (3) Kemampuan sosial dengan sub-subindikator mampu bekerjasama dengan teman tanpa konflik, kemampuan untuk bekerja dalam tim, kemampuan untuk berempati. Hasil penelitian terkait motivasi, kemampuan, dengan absenteeism menunjukkan bahwa motivasi dan kemampuan untuk hadir memiliki perbedaan dalam hal perilaku absen atau perilaku ketidakhadiran. Absenteeism tidak berhubungan signifikan dengan motivasi untuk hadir (p>0,05) tetapi berhubungan secara signifikan dengan kemampuan (ability) untuk hadir (p<0,01) (Burton, 2002). Berdasarkan beberapa penelitian ini menunjukkan bahwa ability sangat berpengaruh terhadap absenteeism. Absenteeism akan meningkat apabila kemampuan karyawan rendah, karena akibat dari sakit dan masalah lainnya, sehingga kemampuan harus ditingkatkan sampai level yang optimal untuk bekerja agar produktivitas karyawan dapat meningkat tanpa mengalami absenteeism. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin baik tingkat kemampuan (ability) akan semakin rendah tingkat absensinya.

37

Pengaruh Beban Kerja terhadap Absenteeism ATC Beban kerja adalah tuntutan tugas yang diberikan perusahaan kepada karyawan. Beban kerja bisa bersifat mental maupun fisik. Beban kerja yang bersifat mental cenderung menggunakan otak untuk berpikir. Beban kerja fisik menggunakan otot untuk bekerja. Beban kerja sangat besar pengaruhnya terhadap absensi seorang karyawan baik itu karena sakit, izin maupun karena hal lain seperti cuti. Beban kerja yang berat akan memberikan dampak terhadap pekerja berupa keletihan yang memungkinkan tenaga kerja mengalami sakit. Kondisi ini akan menyebabkan mereka tidak akan bisa hadir di tempat kerja karena sakit. Absensi yang terjadi pada karyawan tersebut akan menambah beban kerja karyawan lain. Karyawan yang masuk akan mendapat tambahan beban dari tugas-tugas karyawan yang tidak masuk sehingga memungkinkan bertambahnya jumlah karyawan yang akan mengalami sakit atau kelelahan. Keadaan ini memperlihatkan bahwa kerja yang optimal sangat membutuhkan kehadiran dari rekan-rekan kerja agar beban berlebih tidak terjadi. Penataan tanggung jawab dan tugas agar pekerja tidak mengalami beban berlebih sangat diperlukan supaya suasana kerja menjadi nyaman dan sehat. Suasana ini akan memperbaiki performa dari seorang karyawan ATC menjadi lebih optimal. Kesimpulannya bahwa beban kerja sangat berhubungan dengan absenteeism seorang karyawan di tempat kerja. Pengaruh Lingkungan Kerja terhadap Absenteeism ATC Lingkungan kerja yang baik dan sehat akan mempengaruhi angka absenteeism. Kondisi lingkungan kerja yang dapat mempengaruhi absenteeism adalah kondisi lingkungan yang nyaman dan sehat yang berdampak pada rasa nyaman dalam bekerja buat karyawan sehingga kemangkiran kerja dapat dihindari. Misalkan adalah dengan kondisi suhu dan pencahayaan yang baik dan sehat maka kemungkinan karyawan akan mengalami sakit dapat terhindarkan sehingga tidak terjadi absenteeism akibat sakit. Sebaliknya jika suhu dan kelembaban serta pencahayaan yang buruk dan tidak memenuhi syarat kesehatan akan memicu timbulnya penyakit pada karyawan yang dapat menimbukan angka kesakitan akan tinggi dan berdampak pada ketidakhadiran pada karyawan 38

dalam bekerja. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa lingkungan kerja sangat memiliki pengaruh terhadap tingkat absenteeism. Apabila lingkungan kerja nyaman dan sehat maka akan meningkatkan gairah kerja sehingga beban tambahan berkurang sehingga keinginan untuk mangkir kerja dapat dihindari karena rasa nyaman di tempat kerja. Pengaruh Peralatan Kerja terhadap Absenteeism ATC Peralatan kerja yang digunakan oleh seseorang harus sesuai atau seimbang baik terhadap kemampuan fisik, kemampuan kognitif maupun keterbatasan manusia yang menerima beban alat tersebut. Menurut Suma’mur (1984) bahwa kemampuan kerja seorang tenaga kerja berbeda dari satu kepada yang lainnya dan sangat tergantung dari tingkat keterampilan, kesegaran jasmani, keadaan gizi, jenis kelamin, usia, ukuran tubuh dari pekerja yang bersangkutan (Tarwaka, 2004). Peralatan kerja memiliki pengaruh terhadap absenteeism, peralatan yang tidak sesuai dengan karyawan dapat memicu karyawan menjadi tidak berguna karena alat terlalu canggih sehingga skill manual yang dimiliki tidak dapat berfungsi lagi. Kondisi ini dapat mempengaruhi mental karyawan dalam bekerja yang berujung pada kemangkiran kerja. Peralatan kerja sangat berpengaruh terhadap tingkat absenteeism. Semakin tinggi kualitas peralatan kerja yang digunakan maka akan semakin menyebabkan karyawan merasa tidak berguna lagi karena semua telah dikerjakan melalui teknologi sehingga memicu absenteeisme. Peralatan yang kuno atau ketinggalan zaman, dapat mempengaruhi kebosanan kerja karena skill yang dimiliki karyawan tidak berharga, karena tidak diperuntukkan sebaik-baiknya untuk bekerja, hal ini dapat memicu kemalasan dalam bekerja sehingga timbul absenteeism. Kesimpulan dari bahasan ini adalah bahwa peralatan harus sesuai dengan kemampuan, skill, dan kompetensi dari karyawan. Karyawan akan merasa berguna dan peralatan dapat difungsikan untuk pekerjaan sehingga menghasilkan kerja yang optimal dan dapat menghindari kemangkiran kerja pada karyawan.

39

Pengaruh Burnout tehadap Absenteeism ATC Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahwa kelelahan adalah perihal (keadaan) kelelahan, kepenatan, kepayahan. Kelelahan emosional adalah kelelahan yg diekspresikan dalam bentuk perasaan frustasi, putus asa, merasa terjebak, tidak berdaya, tertekan dan merasa sedih atau apatis terhadap pekerjaan. Kelelahan fisik adalah kelelahan yg ditandai oleh adanya keletihan, kejenuhan, ketegangan otot, perubahan dari kebiasaan makan dan tidur, serta secara umum tingkat energinya rendah; sedangkan kelelahan mental adalah kelelahan karena ketidakpuasan terhadap diri sendiri, ketidakpuasan terhadap pekerjaan dan hidup secara keseluruhan, serta merasa tidak kompeten atau merasa rendah diri. Kelelahan terdiri dari kelelahan fisik dan psikologis, kelelahan fisik dapat menyebabkan sakit sehingga dapat menjadi sebab pekerja mangkir kerja (absenteeism). Kelelahan psikologis juga bisa menjadi sebab terjadinya absenteeism misalkan terjadinya depresi, sakit jiwa, stress, sehingga izin untuk tidak hadir dalam bekerja (absenteeism) dapat terjadi. Berdasakan laporan Carrick (2013) Absenteeism pada tahun 2009-2010 di Irlandia Utara menunjukkan rata-rata 12,39 hari pada tenaga kerja. Stress, depresi, kesehatan mental, dan kelelahan menjadi sebab yang paling tinggi dari absenteeism sekitar (22%) sekitar 28 hari per tahun dan menyebabkan penurunan produktivitas. Berdasarkan hasil di atas dapat disimpulkan bahwa kelelahan sangat signifikan pengaruhnya terhadap tingkat absenteeism karyawan. Apabila karyawan mengalami kelelahan akan meningkatkan angka mangkir kerja karena perasaan tidak mampu dalam bekerja akibat rasa letih baik fisik maupun mental. Pengaruh Keluhan Muskuloskeletal terhadap Absenteeism ATC Kesesuaian antara ukuran antropometri tubuh dengan peralatan kerja akan dapat menurunkan keluhan muskuloskeletal. Keluhan muskuloskeletal dapat mempengaruhi tingkat absenteeism. Hal ini dapat terjadi akibat adanya absenteeism dari pekerja yang mengalami sakit dengan akibat nyeri pada tulang belakang dan terasa cepat kelelahan dalam bekerja sehingga 40

kemangkiran dalam bekerja dapat terjadi. Bekerja dalam keadaan sehat dan tidak ada gangguan dalam tulang belakang maka absenteeism akan dapat diturunkan karena alasan sakit tulang belakang atau mengeluh akibat kesakitan pada tulang belakang. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa keluhan muskuloskeletal sangat mempengaruhi terjadi angka absensi terutama terkait dengan absensi karena sakit. Angka absensi banyak terjadi pada umur atau usia yang tua karena akibat keluhan muskuloskeletal daripada pada karyawan yang berumur muda. Berdasarkan fakta ini dapat disimpulkan bahwa keluhan muskuloskeletal sangat mempengaruhi tingkat absenteeism pada karyawan. Pengaruh Status Kesehatan Berkala dengan Absenteeism ATC Kesehatan mutlak diperlukan dalam bekerja baik fisik maupun mental. Kesehatan fisik seperti kebugaran, visus mata, status gizi, tekanan darah adalah kondisi yang harus dijaga agar terhindar dari penyakit. Seorang ATC harus segar dan sehat dalam bekerja sehingga tercapai kerja yang optimal. Absenteeism adalah kondisi kemangkiran kerja pada karyawan yang harus dihindari oleh karyawan dalam melaksanakan tugas sehari-hari. Kondisi kesehatan yang prima akan mampu menurunkan angka absenteeism terutama akibat sakit. Sakit adalah kondisi yang menyebabkan seorang karyawan ATC dapat melakukan absenteeism. Absenteeism akan tinggi pada karyawan apabila kondisi kesehatan karyawan terganggu. Keadaan karyawan yang sakit atau terganggu kesehatannya harus dicegah dengan sebaik-baiknya karena karyawan ATC sangat penting peranannya di perusahaan. Tindakan preventif dan promotif berupa pemeriksaan kesehatan berkala menjadi salah satu cara yang digunakan perusahaan untuk mengontrol kondisi kesehatan karyawan selain pemeriksaan kesehatan sebelum kerja. Pengaruh Organisasi K3 terhadap Absenteeism ATC Organisasi K3 adalah organisasi yang sangat penting peranannya di perusahaan untuk meningkatkan mutu perusahaan. Perusahaan yang baik adalah perusahaan yang memiliki organisasi 41

K3 yang baik dan berfungsi dengan baik seperti Panitia Pembinaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) di perusahaan. Organisasi K3 yang berjalan dengan baik di perusahaan akan mengurangi timbulnya absenteeism pada karyawan ATC. Absenteeism dapat timbul karena aturan dan pengelolaan pada perusaahaan terhadap karyawan tidak mengacu pada prinsipprinsip K3 yakni untuk keselamatan dan kesehatan kerja pada karyawan. Pengaruhnya dapat menyebabkan karyawan sakit, menurunnya gairah kerja, tidak memiliki komitmen sehingga angka absenteeism karyawan dapat meningkat. Kesimpulannya bahwa keberadaan organisasi K3 memiliki pengaruh positif terhadap penurunan absenteeism pada karyawan. Organisasi K3 yang berjalan dengan baik akan menurunkan angka absenteeism. Perusahaan yang bermutu diharuskan memiliki organisasi K3 agar mutu dan kualitas perusahaan menjadi lebih baik. Mutu yang baik pada perusahaan akan berdampak pada peningkatan kualitas dan daya saing secara global untuk perusahaan langsung maupun tidak langsung.

42

BAB 8 FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA TINGKAT VIGILANCE ATC Tingkat performance kerja pada seorang air traffic controller dapat diukur melalui beberapa indikator seperti angka absenteeism, tingkat vigilance dan ukuran dari diameter pupil mata, dan lain-lain. Tingkat vigilance dari seorang karyawan ATC sangat menentukan performance kerja dari controller, sehingga mampu meningkatkan produktivitas individu maupun lembaga. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat vigilance di antaranya adalah identitas individu, motivasi, ability, lingkungan kerja, beban kerja, tingkat kelelahan dan keluhan muskuloskeletal. Definisi dan Batasan Vigilance Teori psikologi modern, vigilance disebut juga sebagai konsentrasi berkelanjutan, yang didefinisikan sebagai kemampuan untuk mempertahankan perhatian agar berkonsentrasi pada periode waktu yang lama. Vigilance is defined as the ability to maintain concentrated attention over prolonged periods of time (Warm, 2008). Vigilance sering diartikan juga sebagai alertness, yaitu keadaan waspada. Alertness is the state of active attention by high sensory awareness such as being watchful and prompt to meet danger or emergency, or being quick to perceive and act. Kewaspadaan adalah keadaan perhatian aktif dengan kesadaran sensori yang tinggi seperti waspada dan cepat terhadap bahaya atau keadaan darurat, atau menjadi cepat untuk memahami dan bertindak terhadap respon yang datang. Kamus Besar Bahasa Indonesia, kewaspadaan adalah keadaan waspada atau kesiapsiagaan. Kesiagaan adalah keadaan siaga atau kesiapan, atau siap sedia. Sedangkan kesiagaan mental adalah kesiapan mental untuk memberi respons segera terhadap rangsangan yang datang.

43

Studi tentang vigilance telah berkembang sejak tahun 1940 terutama disebabkan oleh peningkatan interaksi orang dengan mesin untuk aplikasi, yang melibatkan pemantauan dan deteksi peristiwa langka dan sinyal lemah. Aplikasi tersebut termasuk kontrol lalu lintas udara, inspeksi dan kontrol kualitas, navigasi otomatis, perbatasan pengawasan, dan militer. Nurmianto (1996) vigilance merupakan proses kesiapsiagaan yang dilengkapi dengan berbagai macam informasi dan adanya respon cepat untuk mengatasi masalah yang terjadi. Parasuraman dan Matthews (2008) mendefinisikan vigilance adalah kemampuan organ dalam mempertahankan fokus perhatian dan kewaspadaan selama jangka waktu yang lama (Daulay, 2012). Vigilance merupakan derajat kesiapan seseorang dalam memberikan tanggapan terhadap suatu hal, menurunnya tingkat kewaspadaan juga dipengaruhi oleh karena faktor kelelahan dan konsumsi alkohol (Dorrian et al., 2005). Grandjean (1986) vigilance adalah kemampuan seseorang untuk menjaga tingkat kesiagaannya dalam waktu yang lama. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Mackworth dalam Grandjean (1986) menunjukkan tingkat kewaspadaan atau kesiapsiagaan akan menurun seiring bertambahnya lama waktu kerja (Harnadini, 2012). Berdasarkan definisi yang ada maka dapat disimpulkan secara umum bahwa vigilance adalah kondisi yang kewaspadaan atau kesiapsiagaan terhadap pekerjaan yang menuntut mental berpikir terhadap informasi yang datang kepada karyawan selama bekerja dalam periode waktu tertentu. Vigilance yang baik dipengaruhi oleh banyak faktor pendukung agar tetap dalam keadaan yang optimal. Pengaruh Vigilance terhadap Performance ATC Vigilance menurut Matthews et al., (2004) dalam Hubal (2009) menjelaskan vigilance sebagai berikut: “Vigilance is sustained attention as it is influenced by the nature of a given task, that is, the performance required of the individual. The term “attention” describes (1) the cognitive processing involved in orienting to and selecting among specific items or responding to possibly infrequent changes in what is presented, (2) the mental effort dedicated to this processing, and (3) the state of alertness or readiness to process additional items. Studies have considered a number of approaches to overcoming deficits in the performance of

44

vigilance tasks, including automated aids. Specific to DHS-relevant training, used a cognitive training exercise to sharpen pilots’ awareness during simulated flight, thereby providing them with a means to overcome boredom, sleepiness, and fatigue. ( p. 23)”

Berdasarkan analisis di atas menunjukkan bahwa performance seorang karyawan dapat dilihat dari tingkat kesiapsigaan (vigilance) mereka. Hasil penelitian dari Uenking (2000) menunjukkan bahwa untuk menjaga agar pilot dapat terjaga dan fokus selama penerbangan dapat dilakukan dengan pemberian pelatihan kognitif sehingga mereka dapat terhindar dari perasaan bosan, kelelahan dan mengantuk. Hal ini juga bisa menjadi alternatif untuk seorang (air traffic controller) ATC, agar tetap dalam kewaspadaan atau kesiapsiagaan tinggi mereka dapat diberikan pelatihan kognitif sehingga memicu performance yang baik selama bekerja. Menurut Matthews et al., (2000) dalam (Daulay, 2012) menurunnya performa kerja karena vigilance task disebabkan karena menurunnya sumber pemrosesan informasi dan bukan karena melemahnya kekuatan atau tenaga. Sehingga dari teori ini dapat disimpulkan bahwa kondisi mental berpikir sangat memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap tingkat vigilance daripada kekuatan otot atau fisik pada karyawan ATC. Pengaruh Motivasi terhadap Vigilance ATC Motivasi merupakan dorongan atau motif seseorang dalam melakukan sesuatu. Motivasi yang tinggi dan baik di tempat kerja akan dapat mempertahankan komitmen dalam melakukan pekerjaan. Motivasi yang baik akan melahirkan performa kerja yang baik pula, namun jika motivasi rendah maka akan dapat menurunkan produktivitas yang diakibatkan oleh penurunan performance. Sehingga dibutuhkan dorongan yang kuat agar dapat mempertahankan performa yang tinggi dalam bekerja. Beberapa penelitian menunjukkan hasil bahwa sesorang individu akan tetap termotivasi dalam tugas ketika ada perintah dan insentif sehingga mereka akan kuat dalam tugas namun yang baik adalah yang resisten dan tetap penuh perhatian fokus pada tugas tanpa adanya perintah ataupun insentif (Smith et al., 2005). Perbedaan pada setiap individu terkait fungsi kognitif (Fishbein et al., 2006) menunjukkan bahwa motivasi di awal sangat menentukan

45

seberapa lama mereka akan tetap bertahan tanpa kontrol. Pemberian motivasi dapat meningkatkan kesiapsiagaan/kewaspadaan (vigilance) (Hubal, 2009). Vigilance seorang air traffic controller akan sangat ditentukan oleh motivasi yang kuat dari seorang controller. Kesiapsiagaan (vigilance) controller ini sangat menentukan dalam performa terhadap tugas sehingga mereka tetap dalam keadaan terjaga dan waspada dalam bekerja. Pekerjaan seorang ATC merupakan salah satu pekerjaan yang membutuhkan tingkat kewaspadaan tinggi (vigilance) dalam bekerja maka diperlukan motivasi yang kuat dan baik dari seorang ATC sehingga informasi dan komunikasi dengan pilot tetap bagus. Apabila motivasi rendah dapat mengganggu tingkat vigilance seorang ATC, hal ini dapat menyebabkan informasi yang sampai ke pilot menjadi terganggu. Sehingga tingkat vigilance seorang ATC sangat ditentukan oleh dorongan atau motivasi dari seorang ATC sehingga tingkat vigilance tetap dalam kondisi yang optimal dan kecelakaan pesawat dapat terhindarkan akibat motivasi yang baik dalam bekerja. Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi sangat mempengaruhi tingkat vigilance. Motivasi yang baik akan melahirkan kesiapsiagaan yang tinggi dalam bekerja karena rasa tanggung jawab dan komitmen terhadap pekerjaan dan organisasi. Pengaruh Job Ability terhadap Vigilance ATC Job ability merupakan kemampuan seorang ATC dalam melakukan tugas pekerjaannya sehingga dapat mencapai level performance yang tinggi. Job ability atau kemampuan yang dibutuhkan oleh seorang ATC adalah kemampuan fisik, kemampuan kognisi dan kemampuan lainnya yang mendukung performance kerja. Salah satu kemampuan yang diperlukan oleh seorang ATC adalah kemampuan untuk mempertahankan diri dalam keadaan sehat, terjaga, waspada, tidak tertidur, dan tetap mampu berkomunikasi dengan baik dengan pilot dalam memandu penerbangan mulai dari awal sampai pesawat mendarat di runway yang benar. Salah satu indikator yang dapat diukur dalam ATC adalah kemampuan kognisi dalam hal ini kemampuan radar aktif dan kemampuan kontrol manual yang dibuktikan dengan adanya rating dan lisensi karyawan. 46

Job ability dan vigilance merupakan dua hal yang terkait untuk mencapai level performance yang tinggi. Apabila job ability baik maka vigilance akan baik, namun jika job ability rendah maka dapat memicu penurunan vigilance. Apabila seorang ATC mengalami gangguan kesehatan maka kemampuan mereka dalam mengontrol pilot untuk terbang menurun, atau misalkan seorang ATC mengalami masalah dalam kemampuan kognisi akibat baru atau belum berpengalaman maka dapat menggangu performa mereka akibat kesiapsiagaan yang terganggu akibat adanya rasa rendah diri atau belum kompeten dalam tugas. Berdasarkan kenyataan ini maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan akan memiliki pengaruh terhadap tingkat vigilance karyawan karena job ability yang rendah berdampak pada menurunnya tingkat vigilance yang disebabkan oleh kemampuan yang rendah pada aspek kognisi. Job ability yang baik, baik itu secara kognisi maupun psikomotorik akan memiliki dampak yang positif untuk peningkatan vigilance atau tingkat kewaspadaan karyawan ATC dalam bekerja sehingga mampu bekerja secara optimal. Pengaruh Beban Kerja terhadap Vigilance ATC Beban kerja memiliki pengaruh yang besar terhadap tingkat kesiapsiagaan tenaga kerja. Kesiagaan semakin optimal apabila antara beban kerja dan kemampuan individu memiliki keseimbangan yang dinamis. Beban yang cukup sesuai kapasitas karyawan akan menambah kualitas kerja menjadi lebih baik daripada beban kerja berlebih ataupun kurang (Tarwaka, 2004). Vigilance atau kesiapsiagaan seorang karyawan ATC menuntut mereka karena kerja seorang ATC harus tetap siaga apapun yang sedang terjadi. Kerja yang siaga tersebut diharuskan karena pilot mendapatkan informasi situasi penerbangan baik itu masalah cuaca, tingkat kepadatan pesawat, maupun kondisi separasi di udara berasal dari ATC. Apabila informasi ini tidak di dapat seorang pilot maka bisa fatal akibatnya. Beban kerja memiliki pengaruh yang jelas terhadap kesiapsiagaan seorang ATC. Beban kerja yang terlalu tinggi akan berdampak pada keletihan pada karyawan. Sebaliknya bisa terjadi kebosanan apabila kerja terlalu ringan, atau beban terlalu ringan 47

jika dibandingkan dengan kemampuan yang dimiliki. Kesimpulannya bahwa beban kerja sangat berpengaruh terhadap tingkat vigilance seorang controller. Pengaruh Lingkungan Kerja terhadap Vigilance ATC Pengaruh lingkungan kerja terhadap tingkat vigilance sangat positif. Lingkungan kerja yang nyaman dapat berdampak baik bagi kesiapsiagaan para karyawan ATC dalam bekerja. Seperti suhu nyaman dapat menyebabkan karyawan bisa bekerja secara optimal dengan fokus pada kerja tidak diganggu dengan suhu yang panas atau terlalu dingin. Lingkungan kerja sangat erat kaitannya dengan tingkat vigilance seorang karyawan ATC karena lingkungan kerja yang sehat dan nyaman menyebabkan konsentrasi yang tinggi. Performa yang menurun dapat terjadi akibat lingkungan kerja seperti suhu, kelembaban dan pencahayaan yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Tingkat vigilance dari karyawan akan terjadi berupa penurunan daya respons terhadap stimulus yang ada yang menyebabkan tingkat vigilance menurun. Kesimpulannya bahwa lingkungan kerja memiliki pengaruh terhadap tingkat vigilance karyawan ATC. Lingkungan kerja yang sehat akan meningkatkan tingkat kewaspadaan pada karyawan ATC, sebaliknya lingkungan kerja yang yang tidak sehat akan menurunkan tingkat kewaspadaan karyawan ATC dalam bekerja. Pengaruh Peralatan Kerja dan Vigilance ATC Peralatan kerja seorang air traffic controller (ATC) merupakan alat untuk melaksanakan tugas dan fungsi dari organisasi atau perusahaan kepada seorang ATC untuk mencapai produktivitas individu dan lembaga yang optimal. Peralatan yang baik dan sesuai dengan peruntukannya akan menyebabkan ATC akan bekerja secara maksimal dan efisien. Peralatan yang digunakan harus memenuhi standar yang ada dan harus dapat dimanfaatkan sesuai dengan peruntukannya. Peralatan kerja seperti peralatan teknologi, baik itu radar maupun peralatan manual akan sangat berpengaruh pada tingkat kewaspadaan (vigilance). Peralatan yang baik adalah peralatan yang dapat digunakan dengan tepat guna dan sesuai fungsi dan kegunaannya serta dapat dioperasionalkan oleh karyawan dan 48

mengikuti perkembangan zaman. Peralatan yang canggih harus diimbangi dengan kemampuan karyawan yang canggih, apabila tidak akan memicu tingkat kewaspadaan menjadi menurun karena terkonsentrasi untuk memperhatikan peralatan daripada tugas atau fungsi alat tersebut. Peralatan yang tidak canggih namun karyawan dengan kapasitas yang tinggi akan menyebabkan karyawan menjadi tidak berguna, sehingga peralatan diremehkan sehingga dapat memicu konsentrasi terhadap alat rendah. Keadaan ini dapat menimbulkan tingkat kewaspadaan rendah dan sangat berbahaya untuk dunia penerbangan. Kesimpulan bahwa peralatan yang digunakan harus sesuai dengan kapasitas karyawan sehingga dapat meningkatkan kewaspadaan atau kesiapsiagaan karyawan dalam bekerja. Kondisi ini akan menyebabkan kerja karyawan menjadi optimal yang dapat meningkatkan kewaspadaan (vigilance) pada karyawan ATC dalam melaksanakan tugas setiap hari. Pengaruh Burnout terhadap Vigilance ATC Burnout merupakan hal yang dapat terjadi pada setiap karyawan di tempat kerja. Burnout merupakan reaksi tubuh terhadap tuntutan tugas baik fisik maupun mental terhadap karyawan yang berujung pada keletihan secara emosi, depersonalisasi, dan personal achievement. Burnout karyawan ATC akan menyebabkan tingkat kewaspadaan menjadi sangat rendah. Kondisi ini akan sangat berbahaya dari sudut keselamatan, karena dapat menyebabkan miss-komunikasi dengan pilot dan jarak antarpesawat tidak terkendali dengan baik sehingga memicu kecelakaan pesawat. Burnout dengan tingkat vigilance sangat berkaitan karena apabila reaksi tubuh sudah merasakan kelelahan bahkan sampai keletihan (burnout) maka harus dilakukan istirahat. Tingkat vigilance yang optimal diperlukan fisik dan mental yang kuat dan sehat. Burnout yang dibiarkan secara terus-menerus akan sangat mengganggu aktivitas ATC dalam bekerja sehingga dapat menjadi beban baik individu maupun beban organisasi. Burnout yang dirasakan pada karyawan ATC akibat pekerjaan akan sangat mempengaruhi level of vigilance, di mana semakin 49

lelah seseorang maka level of vigilance akan menurun, namun sebaliknya apabila tidak mengalami kelelahan mental maka akan menyebabkan tingkat vigilance menjadi optimal. Berdasarkan kenyataan ini maka dapat disimpulkan bahwa burnout atau kelelahan mental sangat berdampak pada konsentrasi dan fokus karyawan dalam bekerja. Tingkat vigilance akan menurun akibat rasa letih dalam waktu yang lama karena proses informasi yang terganggu. Pengaruh Keluhan Muskuloskeletal terhadap Vigilance ATC Keluhan muskuloskeletal dapat mempengaruhi tingkat vigilance pada karyawan ATC. Gangguan pada tulang belakang dapat mempengaruhi konsentrasi karyawan yang menyebabkan kesiapsiagaan menjadi menurun akibat dari adanya rasa nyeri dan sakit pada tulang bagian belakang. Perasaan nyeri pada tulang belakang pada karyawan ATC dapat terjadi secara berulang dan sering ataupun hanya sifatnya sesaat. Berdasarkan survei yang dilakukan terhadap tiga lokasi bandara menunjukkan peralatan kerja dari seorang ATC baik itu di ruang aerodrome control (ADC), ruang APP maupun ACC terdapat peralatan yang sudah terstandardisasi. Namun ukuran dari seorang ATC secara antrophometri tubuh terjadi perbedaan, sehingga kemungkinan adanya gangguan kesehatan akibat kerja yang tidak ergonomis akan tetap ada sehingga akan berdampak pada level of vigilance akibat gangguan tulang belakang. Berdasarkan fakta di atas maka dapat disimpulkan bahwa keluhan muskuloskeletal memiliki pengaruh terhadap vigilance. Apabila terjadi keluhan pada tulang punggung bagian belakang maka akan menyebabkan karyawan terasa cepat letih dan konsentrasi terganggu akibat rasa nyeri di bagian punggung belakang yang secara langsung akan berdampak pada kesiapsiagaan karyawan ATC. Pengaruh Status Kesehatan Berkala terhadap Vigilance ATC Status kesehatan berkala meliputi pemeriksaan kesehatan pada karyawan ATC mulai dari pemeriksaan fisik, mata, auditory, rontgen, laboratorium dan lain-lain. Tindakan preventif dan promotif berupa pemeriksaan kesehatan berkala pada karyawan menjadi 50

salah satu cara yang digunakan perusahaan untuk mengontrol kondisi kesehatan karyawan. Pemeriksaan dilakukan seyogianya 6 bulan sekali agar kesehatan karyawan ATC dapat terjamin. Status kesehatan memiliki pengaruh terhadap tingkat kewaspadaan atau kesiapsigaan (vigilance) karyawan ATC dalam bekerja. Karyawan yang kondisi kesehatan tidak baik akan sangat mempengaruhi tingkat vigilance dalam bekerja berupa penurunan tingkat kewaspadaan, sebaliknya apabila keadaan fisik bugar dan sehat akan berdampak pada tampilan kerja yang optimal berupa vigilance yang meningkat. Kesimpulannya bahwa status kesehatan akan mempengaruhi tingkat vigilance karyawan ATC. Kondisi kesehatan baik akan berdampak positif pada tingkat vigilance namun apabila kondisi kesehatan buruk maka tingkat vigilance menjadi menurun. Pengaruh Organisasi K3 terhadap Vigilance ATC Karyawan ATC adalah seseorang yang memiliki pekerjaan yang membutuhkan konsentrasi yang tinggi sehingga dibutuhkan tingkat kewaspadaan yang optimal dalam bekerja. Tingkat vigilance yang tinggi dapat diperoleh dari organisasi yang baik dalam menangani karyawan dalam bekerja terutama berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerjanya. Organisasi K3 yang ada di perusahaan harus memberikan kontribusi yang tinggi dalam peningkatan vigilance karyawan. Organisasi K3 akan berdampak positif pada peningkatan vigilance karyawan karena ada lembaga yang mengontrol keselamatan dan kesehatan kerja karyawan. Tingkat vigilance dipengaruhi oleh keberadaan lembaga K3 seperti P2K3 agar penanganan K3 di tempat kerja dapat terjamin. P2K3 yang berjalan dengan baik akan memfasilitasi karyawan dalam bekerja sehingga mereka merasa nyaman dalam bekerja, baik dalam hal kesehatan, motivasi, komitmen, dan kebutuhan lainnya untuk dapat tampil bekerja secara optimal agar produktivitas kerja dapat tercapai. Kesimpulannya bahwa keberadaan organisasi K3 akan mampu meningkatkan tingkat vigilance karyawan ATC dalam bekerja. Tindakan yang harus dilakukan adalah mengupayakan organisasi P2K3 mampu melaksanakan tugasnya menjaga karyawan tetap 51

selamat, sehat dan sejahtera dalam bekerja sehingga tingkat kewaspadaan dapat terjamin.

52

BAB 9 HASIL KAJIAN KASUS ATC DI INDONESIA (PENELITIAN PADA AIR NAV INDONESIA CABANG MAKASSAR, SURABAYA,DAN LOMBOK) Air traffic controller (ATC) adalah karyawan yang bekerja sebagai petugas lalu lintas udara yang berada di bawah perusahaan Air Nav Indonesia di bawah Departemen Perhubungan. ATC bekerja mengedepankan kerja otak sehingga dapat memicu kelelahan mental pada ATC. ATC bekerja melakukan kontrol pesawat dari mulai berangkat dari bandara keberangkatan sampai tiba di tempat bandara tujuan dengan selamat. Masalah pada ATC pada dasarnya lebih pada masalah pengambilan keputusan yang harus diberikan kepada pilot agar terbang dalam keadaan yang selamat dan aman. Pengambilan keputusan membutuhkan ketelitian, kecerdasan emosi, konsentrasi, dan pemikiran yang sehat agar informasi yang sampai ke pilot menjadi jelas dan terang. Tantangan inilah yang mengharuskan seorang petugas ATC harus tetap sehat secara fisik dan mental agar kewaspadaan tetap optimal. Kapasitas dan beban kerja seorang petugas ATC harus memenuhi standar kesehatan dan keselamatan seorang petugas ATC agar mereka dapat bekerja secara sehat dan aman serta selamat. Upaya untuk mencapai ini dapat dilakukan dengan memberikan beban kerja yang cukup kepada petugas ATC sesuai dengan kapasitas kerja seorang petugas ATC. Apabila petugas ATC diberikan beban yang berlebih dapat memicu timbulnya kelelahan kerja yang berefek pada kinerja menjadi menurun sehingga produktivitas menjadi rendah. Beban kerja yang terlalu ringan juga dapat memicu terjadinya kejenuhan pada saat bekerja pada karyawan ATC, sehingga diperlukan adanya keseimbangan

53

antara kapasitas seorang ATC dengan beban kerja yang diberikan perusahaan kepada karyawan ATC. Kesimpulannya bahwa karyawan air traffic controller (ATC) adalah karyawan yang memiliki tingkat pekerjaan yang membutuhkan kewaspadaan atau kesiapsiagaan yang tinggi untuk tetap dalam konsentrasi yang baik dalam melakukan kontrol pesawat. Kewaspadaan karyawan ATC sangat menentukan keselamatan penerbangan. Tingkat vigilance yang rendah akan memicu kecelakaan pada pesawat karena komunikasi yang salah antara karyawan ATC dan pilot dapat terjadi. Safety Performance pada Karyawan ATC Safety performance adalah penampilan atau tampilan kerja yang selamat, aman, dan sehat dari seorang karyawan dalam melakukan aktivitas pekerjaannya yang berdampak pada kenyamanan kerja dan keselamatan kerja bagi karyawan dan orang-orang yang terkait dengan pekerjaannya terutama kualitas produk yang dihasilkan. Safety performance pada air traffic controller adalah penampilan atau tampilan kerja yang selamat, aman, dan sehat dari karyawan ATC yang dilihat dari tingkat kesiapsiagaan yang tinggi dalam melakukan controlling pada saat bekerja. Dampak yang dihasilkan dari kesiapsiagaan yang tinggi adalah konsentrasi yang tinggi dari seorang ATC dan informasi yang valid yang diberikan ATC kepada pilot tentang kondisi pesawat di udara, cuaca, dan keadaan di bandara, baik keberangkatan dan kedatangan sehingga keselamatan penerbangan dapat terjamin secara optimal. Burlington dan Hutchison (2000) dalam Sholihah (2013) berpendapat bahwa kesehatan dan keselamatan kerja (K3) harus dipadukan ke dalam sistem kerja berperforma tinggi agar sistem tersebut dapat memotivasi orang-orang untuk menghasilkan produk dan layanan yang berkualitas dan berkuantitas, menjadi kreatif, inovatif, dan sangat aman. Performa yang tinggi pada kesehatan dan keselamatan kerja berkaitan erat dengan sikap dan komitmen manajemen terhadap keselamatan dan kesehatan kerja, perhatian individual terhadap keselamatan dan kesehatan kerja sendiri, dan tempat kerja yang terorganisir serta terencana dengan rapi. Pengukuran terhadap performa bertujuan untuk memperbaiki 54

dan meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja di dalam organisasi. Upaya untuk pengusutan terhadap kejadian nyaris celaka (near miss occurences) sangat bermanfaat untuk mengukur performa keselamatan dan kesehatan kerja, dan organisasi dapat belajar melalui umpan balik dari kesalahan (error) yang terjadi. Upaya ini berupa analisis terhadap kejadian yang dianggap akan menimbulkan kecelakaan sehingga dapat diketahui langkah antisipasi yang harus diambil dan bermanfaat bagi pembelajaran organisasi dalam meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja (Sholihah, 2013). Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa safety performance karyawan ATC adalah tampilan kerja yang selamat dan sehat dan dapat meningkatkan produktivitas kerja karyawan. Karyawan ATC yang memiliki safety performance yang baik akan memiliki dampak positif pada peningkatan kualitas kerja karyawan yang berdampak pada peningkatan produktivitas karyawan ATC. Job Ability terhadap Safety Performance ATC Job ability adalah kompetensi karyawan ATC dalam melaksanakan tugas yang diberikan kepada mereka. Job ability ATC terdiri dari rating, IQ, dan status gizi pada karyawan. Pada penelitian ini indikator yang valid dan reliabel terhadap job ability adalah rating, karena untuk menilai rating seorang ATC dilakukan penilaian secara teori dan praktik tentang kemampuan melakukan controlling di tempat kerja baik itu di ruang radar maupun di ruang tower. Penilaian rating dilakukan minimal 6 bulan sekali pada tiap karyawan ATC. IQ dan status gizi tidak valid dan reliabel sebagai indikator job ability karena pengambilan data IQ dengan menanyakan tentang IQ karyawan pada tes IQ terakhir yang memungkinkan bias data terjadi seperti lupa jumlah IQ yang sebenarnya karena sudah lama tesnya dan kemungkinan data yang disampaikan bisa tidak benar. Status gizi tidak bisa menjadi indikator job ability juga karena rata-rata kondisi karyawan ATC relatif hidupnya makmur sehingga masalah gizi relatif mereka stabil dalam status gizi yang normal. Job ability berhubungan dengan safety performance karena semakin bagus nilai job ability maka penampilan kerja yang selamat 55

akan semakin baik, karena job ability yang tinggi menyebabkan kinerja dari seorang karyawan ATC menjadi meningkat dan selamat. Kerja yang optimal dan selamat diakibatkan karena mereka selalu memperbaiki skill setiap minimal 6 bulan sekali baik secara teori maupun praktik langsung yang diawasi langsung oleh checker yang ada di perusahaan Air Nav. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa job ability tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap safety performance maupun burnout dan keluhan muskuloskeletal. Pengaruh job ability dan safety performance menunjukkan nilai P value adalah 0,558, ini berarti masih di atas 0,05 yang berarti tidak ada pengaruh. Kondisi ini menjelaskan bahwa kemampuan atau kompetensi seseorang karyawan ATC tidak berkaitan dengan safety performance saat bekerja. Penelitian ini menghasilkan data seperti ini karena adanya kemungkinan bahwa penilaian job ability yang hanya didasarkan pada rating menjadi sebabnya, di mana rating seorang ATC harus terstandardisasi, di mana nilai rating harus mencapai standar minimal yang ditetapkan oleh perusahaan. Apabila standar nilai yang didapatkan tidak mencapai level itu maka seoarang ATC tidak akan mendapatkan tugas sebagai controller. Pengumpulan data yang dilakukan hanya mendapatkan data nilai rating yang lulus karena kalau rating tidak lulus akan dilakukan pembinaan sampai mencapai level yang ditetapkan, jadi job abilty seorang ATC telah terstandardisasi sehingga kemungkinan untuk nilai yang homogen bisa terjadi. Menjadi seorang ATC adalah seseorang yang telah memiliki kapasitas dan kompetensi khusus untuk melakukannya karena telah dididik secara khusus untuk melakukan pekerjaannya, mulai setingkat DII sampai DIII. Pekerjaan controller merupakan pekerjaan yang mengedepankan otak untuk berpikir, mengambil keputusan yang cepat dan tanggap terhadap setiap kejadian yang terjadi. Fenomena ini mewajibkan seorang ATC harus memiliki kemampuan di atas rata-rata orang normal, sehingga seleksi dan rekrutmen dilakukan secara sungguh-sungguh dan melalui tahapan seleksi yang ketat. Penelitian ini dapat menjelaskan pekerjaan dengan profesionalisme yang tinggi akan menyebabkan seseorang akan 56

lebih bertanggung jawab pada tugasnya daripada orang yang bekerja dengan kemampuan rendah. Profesionalisme menuntut untuk bekerja di atas kemampuan rata-rata, dengan skill yang sudah bagus dan terlatih sehingga tantangan apapun yang ada di lapangan atau kasus apapun siap untuk dihadapi. Hasil ini tidak selaras dengan teori performance Maier (1965), yang mengatakan bahwa performa seseorang ditentukan salah satunya oleh ability. Menurut Maier (1965), performance ditentukan oleh motivasi dan ability, di mana semakin besar kemampuan seseorang maka performanya akan semakin tinggi, namun kalau dilihat secara seksama teori Maier lebih melihat pada aspek kemampuan secara general bahwa ada yang kemampuan yang rendah, sedang, dan tinggi. Variasi ability terlihat dengan jelas dengan skor yang relatif beragam sedangkan pada penelitian dengan subjek seorang ATC memiliki kompetensi yang sudah distandardisasi sehingga nilai tidak terlalu beragam. Perbedaan mendasar yang menjadi sebab tidak selarasnya antara teori Maier dengan hasil penelitian ini adalah pada subjeknya. Pekerjaan-pekerjaan yang kemungkingan memiliki kemampuan yang relatif bervariasi lebih cocok untuk teori Maier, namun untuk sektor pekerjaan yang membutuhkan kemampuan telah terstandardisasi akan kesulitan untuk mengaplikasikan teori ini. Kesimpulannya bahwa job ability dalam hal ini rating tidak memiliki pengaruh terhadap safety performance. Rating yang standar atau tinggi sekali tidak mempengaruhi safety performance karyawan ATC. Profesionalisme yang baik dari seorang ATC sangat menentukan tingginya semangat kerja dan disiplin pada karyawan ATC. Motivasi terhadap Safety Performance ATC Motivasi dalam penelitian ini adalah dorongan yang ada dalam diri ATC berupa harapan dari diri dan lingkungan karyawan dalam memperbaiki performa kerja. Motivasi berhubungan dengan safety performance karena semakin baik motivasi seseorang maka akan semakin baik pula performa kerja yang ditunjukkan pada organisasi sehingga berdampak pada performa yang optimal sehingga safety performance jadi semakin baik (Maier, 1955). 57

Berdasarkan hasil uji model antara motivasi dan safety performance didapatkan hasil (P= 0,563) yang berarti berada di atas nilai 0,05. Hasil ini memperlihatkan bahwa motivasi pada penelitian ini tidak memiliki pengaruh secara signifikan terhadap safety performance, akan tetapi dalam penelitian ini ditemukan pengaruh yang signifikan antara motivasi terhadap burnout dengan nilai P=0,031. Penelitian ini membuktikan bahwa motivasi memiliki pengaruh terhadap burnout yang dapat mempengaruhi perasaan karyawan dalam bekerja meskipun belum membuktikan pengaruh motivasi terhadap safety performance. Hasil ini dimungkinkan karena jawaban responden terhadap motivasi bersifat homogen yang mana semua responden menginginkan sesuatu yang baik terjadi pada mereka, seperti adanya tunjangan hari raya, kondisi lingkungan kerja yang nyaman dan sehat, pengurusan pangkat yang mudah, pemimpin yang baik dan lain-lain. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan teori performance yang dikemukakan oleh Maier (1955) yang mengatakan bahwa performance merupakan fungsi dari motivasi dan ability, di mana besarnya motivasi akan sangat menentukan besarnya performa kerja seseorang. Motivasi semakin besar maka kemungkinan performa juga akan makin besar. Teori yang mendukung juga dijelaskan oleh Robbins (2006) dalam Sholihah (2012) yang menjelaskan bahwa unjuk kerja atau performance adalah hasil dari interaksi antara motivasi kerja, kemampuan (abilities), dan peluang (opportunities), dengan perkataan lain unjuk kerja adalah fungsi dari motivasi kerja kali peluang (Sholihah, 2012). Penelitian ini lebih sejalan dengan teori kebutuhan David McClelland yang menyatakan bahwa seseorang karyawan akan melakukan sesuatu sesuai dengan kebutuhan untuk berprestasi atau sesuai dengan keinginan untuk berhasil mencapai sesuatu. Karyawan yang memiliki motivasi yang tinggi untuk berhasil maka dia akan fokus pada tugas dan tanggung jawabnya sehingga bisa berhasil mencapai apa yang diinginkan seperti performa yang tinggi, mereka tidak akan terpengaruh oleh faktor lain seperti akan memiliki hubungan yang baik dengan atasan, rekan kerja, atau karena ingin kekuasaan atau jabatan dan harta benda. Menurut Campbell et al. (1996) bahwa hanya ada tiga 58

determinan perbedaan individu dalam performa, yaitu pengetahuan, keterampilan, dan motivasi (knowledge, skill, and motivation). Calon pekerja tidak akan dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan atau peraturan pendukung keselamatan dan kesehatan kerja jika tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan relevan yang mencukupi, sebab ia tidak akan mampu berperilaku apalagi memiliki performa yang baik dalam keselamatan dan kesehatan kerja sehari-hari. Motivasi diri yang tidak memadai untuk melaksanakan atau berpartisipasi dalam kegiatan dan peraturan keselamatan dan kesehatan kerja, maka mereka tidak dapat memilih atau mengambil keputusan tentang mana perilaku yang sehat dan aman dalam bekerja serta cenderung untuk tidak berpartisipasi atau bahkan menghindari kegiatan yang terkait dengan keselamatan dan kesehatan kerja (Sholihah, Q., 2013). Teori perilaku keselamatan dan kesehatan kerja meliputi iklim keselamatan dan kesehatan kerja dengan subdimensinya sebagai anteseden performa, pemahaman dan motivasi, serta komponen performa keselamatan dan kesehatan kerja berupa perilaku berperforma yang didasarkan pada tugas yang berorientasi pada keselamatan dan kesehatan kerja dan performa yang terkait dengan konteks keselamatan dan kesehatan kerja (Sholihah, Q., 2013). Kesimpulan dari pembahasan mengenai motivasi kerja dengan safety performance adalah bahwa motivasi kerja karyawan ATC tidak berpengaruh terhadap safety performance karyawan air traffic controller (ATC). Tinggi rendahnya motivasi kerja karyawan ATC tidak ada pengaruhnya terhadap peningkatan atau penurunan safety performance karyawan ATC. Karyawan ATC bekerja lebih mengedepankan prestasi ketimbang hubungan sosial maupun kekuasaan atau jabatan. Karyawan ATC tetap bekerja dengan optimal dengan semangat kerja yang tinggi dan tetap termotivasi dengan baik melaksanakan tugasnya. Beban Kerja terhadap Safety Performance ATC Beban kerja dalam penelitian ini adalah jumlah traffic dan lama mengontrol yang dibebankan perusahaan Air Nav pada karyawan ATC. Indikator beban kerja yang valid dan reliabel adalah jumlah traffic sedangkan lama mengontrol tidak valid dan reliabel. 59

Kepadatan traffic memiliki pengaruh terhadap penampilan kerja yang selamat atau safety performance pada karyawan ATC. Semakin padat traffic maka akan menguras tenaga dan pikiran karyawan dalam memantau dan mengontrol pesawat di udara sehingga kewaspadaan yang tinggi sangat dibutuhkan. Kepadatan yang rendah dapat menimbulkan boring atau kejenuhan bagi karyawan ATC yang sedang bekerja sehingga kondisi ini juga tidak selamanya baik untuk karyawan. Beban kerja yang terlalu tinggi (overload) dapat menimbulkan terjadinya kelelahan yang berlebih dan beban kerja yang kecil dapat menimbulkan kejenuhan. Lama mengontrol tidak valid dan reliabel karena relatif jumlah kontrol yang dilakukan karyawan berkisar antara 1,5 jam sampai 4 jam, rata-rata 3 jam baik sebagai controller maupun asisten controller. Berdasarkan penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara beban kerja dengan safety performance dengan nilai P=0,000 yang berarti berada di bawah 0,05. Hasil ini membuktikan bahwa adanya pengaruh yang signifikan antara beban kerja dengan performa seseorang. Kondisi ini menjelaskan bahwa performa yang safety sangat ditentukan oleh beban kerja. Beban kerja seorang karyawan ATC sangat berat sehingga diperlukan waktu yang cukup untuk memulihkan kebugarannya seperti pernyataan seorang ATC berikut ini. “Ritme kerja yang seperti sekarang sangat melelahkan, belum cukup rasanya kita recovery udah harus kerja lagi, harusnya minimal 2 hari lah” (responden 5, laki-laki). Hasil ini sejalan dengan konsep dasar dalam ergonomi menurut Manuaba (2000), yang menjelaskan bahwa performansi atau tampilan seseorang sangat tergantung kepada rasio dari besarnya tuntutan tugas dengan besarnya kemampuan yang bersangkutan, di mana bila rasio tuntutan tugas lebih besar daripada kemampuan seseorang atau kapasitas kerjanya, maka akan terjadi penampilan akhir berupa ketidaknyamanan, overstrees, kelelahan, kecelakaan, cedera, rasa sakit, penyakit, dan tidak produktif, sebaliknya bila tuntutan tugas lebih rendah daripada kemampuan seseorang atau kapasitas kerjanya, maka akan terjadi penampilan akhir berupa understress, kebosanan, kejemuan, kelesuan, sakit, dan tidak produktif. Penampilan yang optimal terjadi apabila adanya keseimbangan dinamis antara tuntutan tugas 60

dengan kemampuan yang dimiliki. Menurut Dyer (2000), dalam Sholihah (2013) beban kerja yang berlebihan dari atasan akan mempengaruhi kemampuan calon pekerja dalam memonitor keselamatan dan kesehatan kerja. Efeknya tugas manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang seharusnya dianggap penting menjadi tidak sesuai. Beban kerja mental secara moral dan tanggung jawab jauh lebih berat daripada kerja fisik karena lebih melibatkan kerja otak daripada kerja otot. Aktivitas mental saat ini lebih banyak didominasi oleh pekerja-pekerja kantor, supervisor, dan pimpinan sebagai pengambil keputusan dengan tanggung jawab besar, pekerja di bidang teknik informasi, pekerja dengan menggunakan teknologi tinggi, pekerja dengan kesiapsiagaan tinggi seperti pekerja air traffic controller (ATC) (Tarwaka, 2004). Penelitian di Amsterdam menunjukkan bahwa beban kerja mental seorang ATC secara signifikan lebih tinggi pada kondisi traffic yang tinggi (Hilburn, 1997). Hasil di Washington juga menunjukkan bahwa beban mental controller secara signifikan lebih tinggi di bawah traffic tinggi daripada traffic sedang (Metzger, 2005). Berdasarkan penelitian di London menemukan bahwa beban kerja secara signifikan lebih tinggi pada traffic tinggi (Hilburn, 1997). Hasil ini membuktikan bahwa beban mental sangat tinggi pada saat traffic yang padat daripada traffic yang sedang. Tekanan kerja yang berat dan menuntut memiliki bahaya apabila tidak dikelola dengan baik. Flin et al. (2000) menyatakan bahwa beban kerja (work load) dianggap sebagai salah satu tekanan kerja (work pressure). Tekanan tinggi ini dapat menimbulkan kerugian baik bagi individu yang mengalaminya maupun organisasi yang memberikan tanggung jawab tersebut. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa adanya pengaruh yang positif antara beban kerja dan safety performance yang berarti semakin tinggi beban kerja akan menyebabkan semakin tingginya safety performance karyawan ATC. Hasil ini sangat bertentangan dengan teori dari Flin et al. (2000) yang menyatakan beban kerja merupakan tekanan yang tinggi yang dapat menimbulkan kerugian bagi perusahaan ataupun individu. Beban kerja yang semakin tinggi akan meningkatkan safety performance karyawan ATC. Hasil ini sejalan dengan teori 61

kecemasan yang mengatakan bahwa semakin cemas seseorang akan dapat meningkatkan kewaspadaan seseorang. Safety performance yang valid dan reliabel sebagai indikator dari safety performance pada karyawan ATC adalah vigilance. Kondisi ini membuktikan bahwa tingkat kewaspadaan atau kesiapsiagaan seorang karyawan ATC akan lebih baik pada saat jumlah traffic-nya lebih padat. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa apabila beban kerja mengalami kenaikan per satu satuan beban kerja akan menaikkan safety performance sebesar 0,43, yang berarti setiap kenaikan jumlah traffic 10 kali akan dapat menaikkan safety performance menjadi 4 kali. Keadaan ini membuktikan bahwa jumlah traffic yang tinggi akan meningkatkan safety performance karyawan. Beban kerja dalam hal ini jumlah traffic dapat mempengaruhi terjadi safety performance pada karyawan air traffic controller (ATC). Jumlah traffic yang tinggi atau rendah akan mempengaruhi terjadinya safety performance karyawan ATC. Safety performance karyawan ATC dapat mengalami peningkatan atau penurunan tergantung pada jumlah traffic yang ada. Kesimpulannya bahwa beban kerja yang semakin tinggi dapat meningkatkan safety performance karyawan ATC. Semakin tinggi traffic pesawat di udara akan meningkatkan safety performance karyawan ATC. Jumlah traffic yang optimal adalah jumlah traffic yang dibutuhkan sesuai dengan kapasitas karyawan ATC agar safety performance dapat menjadi optimal. Lingkungan Kerja terhadap Safety Performance ATC Lingkungan kerja yang diukur di sini adalah lingkungan fisik yang terdiri dari suhu, kelembaban, dan intensitas pencahayaan pada ruang kerja karyawan ATC baik itu di ruang radar maupun di ruang tower. Lingkungan kerja fisik dapat mempengaruhi performa kerja karyawan. Lingkungan kerja yang nyaman dan sehat akan memberikan suasana yang enak dalam bekerja sehingga akan dapat menimbulkan kualitas kerja yang maksimal, sebaliknya lingkungan kerja yang panas, lembab dan gelap akan dapat memicu kelelahan pada karyawan dan berdampak pada pusing dan bersin-bersin yang dapat menurunkan performa kerja. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lingkungan kerja yakni 62

lingkungan kerja fisik memiliki pengaruh paling besar terhadap safety performance dengan nilai P=0,000 dan nilai loading factor tertinggi berdasarkan uji standardize estimate dengan nilai 0,91 tertinggi di antara variabel yang signifikan mempengaruhi safety performance seperti beban kerja. Hasil ini memiliki pengaruh yang besar untuk terwujudnya kerja optimal dari seorang ATC dengan memiliki kondisi lingkungan yang kondusif dan nyaman agar produktif dalam bekerja. Kerja optimal akan sangat susah dihasilkan apabila kondisi lingkungan fisik tempat kerja tidak mendukung untuk kita bekerja, hal ini terjadi bisa karena terlalu dingin, terlalu panas, gelap ataupun lembab. Kerja seorang ATC dituntut bekerja pada lingkungan dengan suhu dingin untuk keamanan peralatan, namun di sisi lain suhu yang terlalu dingin tidak cocok untuk tubuh seorang manusia, sehingga kondisi ini harus ada jalan keluarnya dengan modifikasi stasiun kerja, pemakaian jaket, dan perlindungan lain yang membuat tidak sakit dan nyaman dalam bekerja. Kondisi tersebut dapat menyebabkan karyawan ATC mengalami pusing-pusing dengan kondisi lingkungan kerja yang kurang nyaman seperti komentar salah seorang karyawan yang menyatakan: “Yang sering menjadi masalah untuk lingkungan kerja fisik ini adalah suhu yang terlalu dingin, dan kadang lembab sehingga menyebabkan kadang pusing-pusing, bersin-bersin” (responden 3, laki-laki).

Menurut Manuaba (1992) bahwa lingkungan kerja yang nyaman sangat dibutuhkan oleh pekerja untuk dapat bekerja secara optimal dan produktif, sehingga lingkungan kerja harus ditangani atau didesain sedemikian rupa sehingga kondusif terhadap pekerja untuk melaksanakan kegiatan dalam suasana yang aman dan nyaman (Tarwaka, 2004). Pencahayaan yang baik adalah penerangan yang memungkinkan seseorang karyawan melihat pekerjaannya dengan teliti, cepat, jelas, serta membantu menciptakan lingkungan kerja yang nikmat dan menyenangkan. Pengaruh pencahayaan dapat berakibat pada peningkatan performa kerja pada karyawan atau malah dapat berakibat pada kelelahan mata, kelelahan mental, sakit dan pegal sekitar mata, kerusakan indera mata, dan 63

meningkatnya kecelakaan kerja. Kelelahan mental memiliki gejala seperti sakit kepala, penurunan kemampuan intelektual, penurunan daya konsentrasi, dan penurunan kecepatan berpikir (Subaris, H., 2008). Suhu terlalu dingin atau terlalu panas memiliki pengaruh yang tidak baik bagi kesehatan. Respon tubuh bila suhu lingkungan turun metabolisme meningkat, sehingga produksi panas naik sehingga menyebabkan kehilangan panas. Suhu terlalu dingin dapat berakibat chilblain (suhu dingin dan lama: menyebabkan kulit merah, bengkak, panas), trencfoot (kerusakan anggota badan terutama kaki, rasa kesemutan), froshbite (terjadi pada suhu 0 derajat, terjadi gangrene), kadang sebagai pencetus trigger asma, rhinitis alergi, sakit gigi, dermatitis alergi, nyeri tulang dll. Upaya pencegahan yang dilakukan antara lain pakaian tebal, fasilitas istirahat hangat, makanan/minuman hangat, fisik fit (Subaris, H., 2008). Kelembaban yang tinggi dapat memicu terjadi alergi, pusingpusing dan sakit kepala dan memicu timbulnya berbagai macam penyakit. Kelembaban yang tinggi dapat menjadi pemicu munculnya berbagai macam kuman penyakit yang ada di tempat kerja. Kondisi ini dapat membahayakan kesehatan karyawan saat melakukan tugas sehari-hari (Subaris, H., 2008). Penelitian ini membuktikan bahwa lingkungan kerja dan safety performance berpengaruh secara positif, yang berarti semakin baik lingkungan kerja akan meningkatkan safety performance. Penelitian ini menemukan setiap kenaikan satu satuan lingkungan kerja akan menaikkan safety performance sebesar 0,91. Hasil ini menjelaskan bahwa setiap kenaikan 10 kali lebih baik lingkungan kerja akan menaikkan 9 kali safety performance dari karyawan ATC. Lingkungan kerja yang nyaman dan memenuhi syarat kesehatan mutlak diperlukan oleh karyawan ATC, agar dapat bekerja dengan baik dan sehat. Kondisi lingkungan yang sehat dan nikmat akan memberikan pengaruh yang positif terhadap kualitas kerja yang ditunjukkan karyawan. Lingkungan kerja seperti suhu, kelembaban, dan pencahayaan yang memenuhi syarat kesehatan akan meningkatkan safety performance karyawan ATC. Kesimpulannya bahwa lingkungan kerja seperti suhu, kelembaban, dan pencahayaan memiliki pengaruh terhadap safety 64

performance karyawan air traffic controller (ATC) di Indonesia. Pengaruh lingkungan kerja berdampak pada peningkatan atau penurunan safety performance karyawan ATC, di mana apabila lingkungan sehat akan dapat meningkatkan safety performance karyawan. Lingkungan yang tidak sehat atau memenuhi syarat akan berdampak pada penurunan tingkat safety performance karyawan air traffic controller (ATC). Identitas Individu terhadap Safety Performance ATC Identitas karyawan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah umur dan masa kerja yang dimiliki oleh karyawan ATC yang menjadi responden. Umur dapat memiliki pengaruh terhadap performa kerja yang selamat dari seorang karyawan karena semakin tua seseorang dapat menyebabkan ingatan mulai terganggu sehingga bisa menimbulkan pengaruh pada saat bekerja. Umur muda juga memiliki pengaruh jika di usia muda kematangan berpikir masih belum maksimal sehingga hal-hal sepele bisa berakibat buruk pada saat bekerja sehingga ini dapat memicu performa kerja menjadi menurun. Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa identitas individu tidak memiliki pengaruh terhadap safety performance dengan nilai P=0,435 yang berarti hasil ini menjelaskan tidak ada pengaruh secara signifikan antara identitas individu terhadap safety performance. Hasil ini menjelaskan bahwa umur dan masa kerja tidak ada pengaruhnya terhadap safety performance pada karyawan air traffic controller (ATC). Hasil ini memperlihatkan bahwa umur muda atau tua seseorang tidak akan berdampak pada performa kerja dari seorang karyawan, begitu juga dengan masa kerja, masa kerja baru atau lama tidak ada pengaruhnya terhadap performa kerja dari karyawan air traffic controller (ATC). Keadaan ini terjadi karena sistem pemeriksaan kesehatan yang rutin dilaksanakan dan dilakukan dengan melakukan kontrol kesehatan karyawan oleh perusahaan minimal 6 bulan sekali. Adanya standar kesehatan yang diberlakukan oleh perusahaan juga dapat menjadi sebab umur tidak memiliki pengaruh terhadap performa karyawan. Hasil ini bertentangan dengan teori Astrand & Rodahl (1997) Grandjean (1993) Genaidy (1996) dan Konz (1996), yang 65

mengatakan bahwa umur seseorang berbanding langsung dengan kapasitas fisik sampai batas tertentu dan mencapai puncaknya pada umur 25 tahun. Umur 50-60 tahun kekuatan otot menurun sebesar 25%, kemampuan sensoris-motoris menurun sebanyak 60%, selanjutnya kemampuan kerja fisik seseorang yang berumur >60 tahun tinggal mencapai 50% dari yang berumur 25 tahun. Bertambahnya umur akan diikuti dengan penurunan pada ketajaman penglihatan, pendengaran, kecepatan membedakan sesuatu, membuat keputusan dan kemampuan mengingat jangka pendek. Pengaruh umur harus selalu jadi pertimbangan dalam memberikan pekerjaan dan tanggung jawab pada seseorang (Tarwaka, 2004). Hasil ini juga tidak sejalan dengan Suma’mur (1984) bahwa kemampuan kerja seorang tenaga kerja berbeda dari satu kepada yang lainnya dan sangat tergantung dari tingkat keterampilan, kesegaran jasmani, keadaan gizi, jenis kelamin, usia, dan ukuran tubuh dari pekerja yang bersangkutan. Masa kerja juga tidak memiliki pengaruh terhadap performa kerja (safety performance), baik sebagai karyawan baru atau sudah bekerja lama tidak ada kaitannya dengan safety performance karyawan ATC. Hasil ini menggambarkan bahwa perusahaan telah tepat menerapkan sistem penilaian rating untuk kemampuan karyawan ATC setiap 6 bulan sekali. Kondisi ini juga disebabkan karena karyawan ATC yang baru sebelum lulus sudah memenuhi syarat-syarat minimal untuk melakukan controller, melalui pendidikan setingkat DII dan DIII yang dibekali dengan job training sehingga sudah memiliki kemahiran yang baik dan layak untuk bekerja sebagai ATC. Penerapan lisensi yang mengharuskan ATC memenuhi kesehatan minimal untuk mendapatkan lisensi juga berperan penting sehingga identitas individu tidak memiliki pengaruh terhadap safety performance. Kesehatan yang diwajibkan seorang karyawan ATC harus minimal level 3 dengan kondisi kesehatan yang baik dan tetap sehat. Kesimpulannya bahwa identitas individu seperti umur dan masa kerja tidak memiliki pengaruh terhadap safety performance karyawan air traffic controller (ATC). Umur tua ataupun muda pada karyawan ATC tidak akan mempengaruhi safety performance karyawan dan masa kerja baru ataupun lama tidak akan 66

mempengaruhi penurunan atau peningkatan safety performance karyawan karena sudah melalui tahapan kontrol kesehatan yang ketat dan dilakukannya penyegaran kemampuan melalui ujian rating setiap minimal 6 bulan sekali. Burnout terhadap Safety Performance ATC Burnout merupakan keletihan yang sangat, atau kelelahan mental pada karyawan ATC yang berdampak pada sikap dan perilaku apatis pada tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Burnout juga dapat dilihat sebagai akhir dari stress di mana diawali dengan stress dan dapat berlanjut menjadi burnout tergantung coping stress yang dilakukan oleh setiap individu. Coping yang tidak baik akan memicu burnout dan kalau tidak ditangani dengan baik dapat berdampak buruk pada karyawan ATC. Pengukuran burnout dalam penelitian ini mengadopsi instrumen yang sudah ada yaitu Maslach Burnout Inventory (MBI) yang sudah dilakukan uji validitas dan reliabilitas instrumen untuk karyawan ATC. Hasil uji validitas dan reliabilitas menunjukkan ada beberapa item pertanyaan yang tidak valid untuk karyawan ATC sehingga dilakukan beberapa perubahan sehingga instrumen ini hanya digunakan untuk ATC. Performa kerja yang selamat pada seorang karyawan ATC harus tercipta. Kejadian burnout dapat memicu kualitas kerja pada karyawan ATC, bisa bersifat negatif tapi juga dapat berdampak positif. Efek negatif terjadinya pada performa kerja adalah jika burnout menyebabkan seseorang karyawan menjadi apatis pada keselamatan seseorang sehingga dapat memberikan informasi kepada pilot secara sembrono dan tidak tepat tentang kondisi separasi (jarak antarpesawat) di udara. Informasi yang salah dapat menyebabkan kecelakaan pesawat yang dapat memakan korban ratusan jiwa manusia. Burnout juga dapat memilki efek positif, hal ini dapat tercapai apabila cara pandang terhadap tekanan yang dihadapi dan ketangguhan terhadap tekanan. Tekanan yang ada dijadikan motivasi untuk berbuat yang terbaik dan menunjukkan bahwa mereka memiliki kualitas kerja yang mesti dihargai atau tekanan dijadikan alat untuk membuktikan bahwa mereka adalah seorang 67

makhluk yang harus bekerja keras tanpa pamrih. Performa kerja yang optimal dapat tercapai dari sikap yang optimis tersebut. Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa burnout tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap safety performance seorang ATC dengan nilai P=0,341 berarti melebihi nilai 0,05. Hasil ini menjelaskan bahwa burnout tidak mempengaruhi safety performance karyawan ATC secara langsung maupun secara tidak langsung, karena dari hasil analis model yang dilakukan menunjukkan bahwa burnout hanya dipengaruhi oleh motivasi secara signifikan akan tapi jalur yang menuju ke safety performance dari burnout tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Hasil ini berlawanan dengan hasil yang ditemukan oleh Poon (2013) yang melakukan penelitian pada pekerja konstruksi di Hongkong dengan melihat pengaruh burnout terhadap safety performance yang menunjukkan hasil bahwa burnout memiliki pengaruh langsung terhadap safety performance. Hasil tersebut juga menemukan bahwa kemampuan individu untuk mencairkan dan menerima efek kelelahan memainkan peran kunci dalam reaksi akhir. Kondisi ini menjelaskan ada kemungkinan bahwa jika seseorang melakukan coping secara baik terhadap tekanan yang dihadapi akan dapat memunculkan performa yang stabil bukan sebaliknya menyebabkan performa menjadi menurun. Hasil ini terjadi karena pekerjaan seorang ATC yang menuntut dan melelahkan telah melatih mereka untuk tetap dalam kesiapsiagaan yang tinggi untuk tetap melakukan kerja yang optimal. Sejak mereka sekolah sudah dilatih dan ditekankan untuk tetap dalam keadaan siaga apapun yang terjadi bahkan nyawa pun taruhannya seperti yang diutarakan salah seorang ATC waktu wawancara bahwa: “Walaupun ada bencana angin kencang yang menyebabkan tower ini tergoyang bahkan roboh, selagi kami melakukan kontrol kami tidak boleh meninggalkan tower ini” (responden 1, laki-laki).

Aspek respek diri terhadap pekerjaan yang tertanam pada diri seorang ATC memperlihatkan betapa mereka sangat bertanggung jawab terhadap beban tugas yang diamanahkan pada mereka. Kondisi ini kemungkinan yang menjadikan hasil burnout tidak signifikan secara statistik terhadap safety performance. Hasil ini juga membuktikan bahwa motivasi memiliki pengaruh yang sangat 68

signifikan terhadap burnout yang memiliki arti jika seseorang memiliki motivasi yang positif terhadap pekerjaannya maka mereka tidak akan memiliki risiko terjadinya kelelahan mental atau burnout. Sesungguhnya pekerjaan seorang ATC sangat menuntut dan melelahkan secara mental, namun kondisi ini tidak menjadi sebab seorang controller harus stress secara berlebihan, hal ini terjadi karena adanya rasa tanggung jawab yang besar untuk menyelamatkan ratusan nyawa bahkan jutaan jiwa terpatri pada mereka. Kenyataan ini menjadi bukti bahwa seorang ATC harus diperhatikan kesehatannya baik fisik maupun mental secara terusmenerus terutama oleh perusahaan karena adanya tanggung jawab yang tinggi untuk membantu menyelamatkan jutaan jiwa manusia yang selalu bepergian menggunakan pesawat setiap hari. Kecerobohan atau human error dapat terjadi pada saat seorang ATC bekerja melebihi kapasitas fisik dan mentalnya. Setiap manusia diciptakan secara sempurna dan memiliki tanggung jawab yang tinggi tapi kesemuanya itu ada batasnya. Apabila itu terjadi secara terus-menerus maka ada suatu waktu kecerobohan terjadi akibat melampui batas kemampuan fisik manusia normal secara umum. Menurut Flin et al. (2000) menyatakan bahwa tempat kerja (work place), kecepatan kerja (work pace), dan beban kerja (work load) dianggap sebagai tekanan kerja (work pressure). Termasuk di dalamnya adalah persepsi adanya konflik antara kepentingan keselamatan dan kesehatan kerja dan produktivitas kerja (Sholihah, Q., 2013). Tekanan kerja (work pressure) yang hadapi oleh karyawan ATC harus senantiasa diatur ritmenya, walaupun hasil penelitian ini belum menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap safety performance, namun jika ini terus-menerus terjadi maka akan menjadi masalah besar pada masa yang akan datang terutama pada kesehatan seorang ATC. Penelitian yang dilakukan Saleh (2015) menemukan bahwa 92,7 % karyawan ATC Juanda yang mengalami perasaan kelelahan mulai dari kadang-kadang lelah sampai sering mengalami kelelahan. Hasil tersebut membuktikan bahwa karyawan ATC sesungguhnya mengalami kelelahan saat bekerja namun tidak sampai mengganggu kualitas kerjanya karena adanya integritas dan komitmen yang tinggi mengabdikan diri 69

terhadap tugas dan tanggung jawabnya untuk menjaga pesawat tetap selamat sampai tujuan. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa burnout tidak memiliki pengaruh terhadap safety performance, karena kemampuan yang dimiliki karyawan dalam melakukan coping terhadap tekanan yang ada sangat baik. Burnout atau tidaknya seorang karyawan ATC tidak akan berdampak pada tingkat safety performance mereka. ATC akan tetap bekerja maksimal dalam melaksanakan tanggung jawabnya karena semangat kerja dan komitmen serta integritas mereka sangat baik. Keluhan Muskuloskeletal terhadap Safety Performance ATC Keluhan muskuloskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot skeletal yang dirasakan seseorang karyawan mulai dari keluhan sangat ringan sampai sangat sakit. Pemberian beban kerja secara statis secara berulang-ulang akan dapat menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen, dan tendon. Keluhan dan kerusakan inilah yang biasa diistilahkan dengan keluhan musculoskeletal disorders (MSDs) atau cedera pada sistem muskuloskeletal (Grandjean, 1993). Pengukuran keluhan menggunakan Nordic Body Map (NBM) (Corlett, 1992). Pengukuran di sini dilakukan modifikasi khusus untuk ATC sehingga dilakukan pengukuran hanya untuk dibagian leher, upper (tulang belakang bagian atas), low (tulang belakang bagian bawah) dan foot (bagian kaki) pada karyawan ATC. Modifikasi dilakukan setelah dilakukan uji validitas dan reliabilitas instrumen tersebut. Keluhan muskuloskeletal dapat berdampak pada performa kerja karena dengan adanya keluhan sakit pada bagian tulang belakang akan menurunkan konsentrasi pada saat bekerja sehingga hal ini dapat menurunkan kesiapsiagaan karyawan dalam bekerja. Kesiapsiagaan yang menurun dapat menurunkan performa kerja yang selamat pada karyawan karena dapat memicu masalah miss-komunikasi dengan pilot yang memungkinkan menjadi penyebab terjadinya kecelakaan pesawat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa karyawan yang memiliki keluhan terbanyak pada bagian leher (neck) yaitu sebanyak 63 orang (51,2 %) dan terendah terdapat pada bagian 70

kaki yakni sebanyak 19 orang (15,4 %). Bagian upper sebanyak 61 orang (49,6 %) sedangkan bagian low sebanyak 50 orang responden (40,7 %). Hasil di sini menunjukkan bahwa ATC memiliki tingkat keluhan yang tinggi pada saat bekerja yang dapat membahayakan keselamatan penerbangan. Kejadian ini dapat terjadi apabila tingkat keluhan semakin parah akan dapat menggangu konsentrasi dalam mengontrol pesawat karena kesiapsiagaan atau vigilance menjadi menurun yang berdampak pada performa kerja menurun. Berdasarkan uji model yang dilakukan antara keluhan muskuloskeletal dengan safety performance pada penelitian ini yaitu nilai P=0,450 yang berarti tidak signifikan secara statistik mempengaruhi kerja seorang ATC. Artinya bahwa keluhan yang dirasakan karyawan ATC dalam bekerja terutama keluhan terhadap tulang belakang pada otot skeletal belum berdampak pada performa kerja mereka. Karyawan ATC akan tetap bekerja seoptimal mungkin walaupun keluhan pada bagian otot skeletal terjadi pada mereka. Kejadian ini terjadi karena karyawan ATC diharuskan untuk tetap menjaga kebugarannya. Kontrol kesehatan minimal 1 tahun sekali dan adanya fasilitas untuk olahraga menjadi pendukung mereka dalam memperbaiki otot-otot yang terganggu. Ruang istirahat yang disediakan oleh perusahaan juga memungkinkan keluhan itu dapat berhenti dengan sendirinya. Pernyataan dari seorang karyawan ATC berikut ini membuktikannya: “Alhamdulillah sekarang sudah ada fasilitas begini yang enak untuk istirahat dan duduk-duduk begini, ada juga tempat untuk baringbaring kalau lelah” (responden 4, laki-laki).

Studi tentang keluhan muskuloskeletal pada berbagai industri telah banyak dilakukan dan hasil studi menunjukkan bahwa bagian otot yang sering dikeluhkan adalah otot rangka (skeletal) yang meliputi otot leher, bahu, lengan, tangan, jari, punggung, pinggang dan otot-otot bagian bawah. Berdasarkan laporan dari The Bureau of Labor Statistic (LBS) Depertemen Tenaga Kerja Amerika Serikat yang dipublikasikan pada tahun 1982 menunjukkan bahwa hampir 20% dari semua kasus sakit akibat kerja dan 25% biaya kompensasi yang dikeluarkan sehubungan dengan adanya keluhan sakit pinggang. 71

Besarnya biaya kompensasi hasil estimasi NIOSH menunjukkan bahwa biaya kompensasi untuk keluhan otot skeletal sudah mencapai 13 miliar US Dolar setiap tahun. Biaya tersebut merupakan yang terbesar bila dibandingkan dengan biaya kompensasi untuk keluhan sakit akibat kerja lainnya (NIOSH, 1996). Sementara itu National Safety Council melaporkan bahwa sakit akibat kerja yang frekuensi kejadian paling tinggi adalah sakit punggung, yaitu 22 % dari 1.700.000 kasus (Water, et al., 1996). Keluhan otot skeletal pada umumnya terjadi karena konstruksi otot yang berlebihan akibat pemberian beban kerja yang terlalu berat dengan durasi pembebanan yang panjang. Kemungkinan sebaliknya terjadi apabila kontraksi otot hanya berkisar 15-20 % dari kekuatan otot maksimum. Kontraksi otot yang melebihi 20 % maka peredaran darah ke otot berkurang menurut tingkat kontraksi yang dipengaruhi oleh besarnya tenaga yang diperlukan. Suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme karbohidrat terhambat dan sebagai akibatnya terjadi penimbunan asam laktat yang menyebabkan timbulnya rasa nyeri otot (Suma’mur, 1982; Grandjean, 1993). Di Indonesia, keluhan muskuloskeletal banyak terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara dimensi alat dan stasiun kerja dengan ukuran tubuh pekerja. Indonesia sebagai negara berkembang masih bergantung pada perkembangan teknologi negara-negara maju, khususnya dalam pengadaan peralatan. Mengingat bahwa dimensi peralatan tersebut didesain tidak berdasarkan ukuran tubuh orang Indonesia, maka pada saat pekerja Indonesia harus mengoperasikan peralatan tersebut, terjadilah sikap kerja yang tidak alamiah. Kejadian ini akan menyebabkan adanya sikap paksa pada waktu pengoperasian peralatan atau mesin. Apabila hal ini terjadi dalam kurun waktu yang lama akan berakibat pada terjadinya cedera otot (Tarwaka, 2004). Kesimpulannya bahwa keluhan muskuloskeletal tidak berpengaruh terhadap safety performance karyawan air traffic controller (ATC). Keluhan muskuloskeletal ada atau tidak ada pada karyawan ATC tidak memiliki pengaruh terhadap kualitas kerja mereka, ATC akan tetap bekerja secara optimal dan bertanggung jawab menjalankan tugas sebagai controller. 72

Job Ability terhadap Burnout ATC Job ability yang dimaksud dalam penelitian ini adalah rating dari seorang ATC (air traffic controller). Rating yang baik adalah rating yang di dapat setelah melakukan tes teori maupun praktik, nilai yang didapatkan adalah nilai di atas standar yang ditetapkan oleh perusahaan Air Nav. Rating akan dapat dipakai apabila karyawan telah melewati serangkaian tes rating dan telah melulusinya. Job ability secara teori memiliki pengaruh terhadap ketahanan mental (burnout) seseorang, apabila job ability baik maka ketahanan mentalnya akan baik pula, namun sebaliknya terjadi apabila kemampuan rendah maka kemungkinan ketahanan mental juga rendah, seperti dengan beban mental berlebih maka dapat menimbulkan kelelahan, overstress (Tarwaka, 2004). Berdasarkan hasil penelitian ini pengaruh antara job ability dengan burnout tidak signifikan secara statistik di mana nilai P=0,266 artinya melebihi 0,05 yang berarti tidak ada pengaruh antara job ability dengan burnout. Hasil ini membuktikan bahwa seseorang dengan job ability rendah tidak selamanya akan memiliki burnout yang tinggi. Kenyataan ini memperlihatkan kepada kita bahwa burnout banyak faktor yang mempengaruhinya sehingga itu terjadi. Burnout dalam penelitian ini tidak terbukti karena kemungkinan adanya nilai skor rating dari masing-masing responden yang relatif melewati nilai standar sehingga kemungkinan homogenitas pada data terjadi. Kesimpulannya bahwa job ability dalam hal ini rating tidak berpengaruh terhadap kejadian burnout. Rating yang standar ataupun sangat tinggi sekali tidak akan mempengaruhi terjadinya burnout. Burnout pada karyawan ATC tidak ada pengaruhnya dengan besarnya rating yang dimiliki oleh karyawan ATC karena adanya tes rating yang mengharuskan ATC harus memiliki nilai standar sesuai dengan standar yang ada. Motivasi terhadap Burnout ATC Menurut Rubin dan McNeil (1983) motif adalah jenis penyebab khusus yang memberi energi, mengarahkan, dan mempertahankan perilaku seseorang (termasuk lapar, haus, seks, dan rasa ingin tahu). Miller mengatakan bahwa studi tentang motivasi adalah studi tentang semua hal yang mendorong dan membangkitkan, biologi, 73

sosial, dan psikologis yang mengalahkan kemalasan, dan menggerakkan kita, dengan bersemangat atau malas untuk bertindak (Gross, 2012). Motivasi adalah dorongan dan dukungan dari dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu. Motivasi ini dapat berasal dari dalam diri seseorang ataupun dari luar diri seseorang. Motivasi internal akan lebih besar pengaruhnya terhadap perilaku seorang individu daripada motivasi yang berasal dari luar diri seseorang. Perbedaan ini menunjukkan bahwa motif bervariasi dalam kaitannya dengan sejumlah fitur atau dimensi, termasuk: internal atau eksternal, bawaan atau dipelajari, mekanistik atau kognitif, sadar atau tidak sadar (Gross, 2012). Berdasarkan hasil penelitian ini pengaruh motivasi terhadap burnout signifikan secara statistik dengan nilai P=0,032 yang berarti di bawah nilai 0,05. Hasil ini membuktikan bahwa motivasi seseorang sangat berdampak pada kejadian burnout pada seorang karyawan ATC. Apabila motivasinya baik dan positif akan mendorong seseorang untuk tidak akan mengeluh bahkan tidak akan mengalami burnout. Kondisi ini memperlihatkan seseorang yang senantiasa bermotivasi positif akan mengalami ketahanan mental yang jauh lebih baik ketimbang seseorang dengan motivasi lemah dan cenderung mengeluh akan memiliki tingkat ketahanan mental yang rendah. Karyawan ATC yang direkrut oleh perusahaan kecenderungan adalah karyawan pilihan dengan berbagai seleksi dan potensi sehingga kemungkinan hal ini menambah catatan baik pada seorang ATC. Kemungkinan mereka memiliki potensi yang tinggi pada motivasinya adalah cerminan seorang ATC. ATC bekerja sangat mengedepankan tugas dan tanggung jawab daripada keselamatan dirinya. Kondisi berbeda akan terjadi apabila ATC mengalami masalah dalam motivasinya maka kemungkinan terjadinya burnout akan tinggi pada ATC. Motivasi yang cenderung turun dan negatif akan memperbesar kemungkinan ATC mengalami keletihan secara mental yang berdampak pada tingginya angka burnout pada ATC. Langkah-langkah antisipasi harus senantiasa diupayakan agar burnout pada karyawan tidak memiliki dampak yang lebih besar pada kesehatan dan pekerjaan karyawan ATC. 74

Kesimpulannya bahwa motivasi kerja karyawan ATC memiliki pengaruh terhadap kejadian burnout pada karyawan ATC. Motivasi yang baik akan berdampak positif yang menyebabkan karyawan tidak mengalami burnout, namun motivasi yang rendah terhadap pekerjaan akan berdampak buruk pada karyawan ATC dengan meningkatkan terjadinya burnout pada karyawan ATC. Kejadian burnout pada karyawan ATC tidak sampai menyebabkan terjadinya gangguan safety performance karyawan ATC. Beban Kerja terhadap Burnout ATC Beban kerja seorang ATC yang dilihat dalam penelitian ini adalah lama kontrol dan jumlah traffic. Lama kontrol tidak valid dan reliabel sehingga menyisakan jumlah traffic dalam analisis modelnya. Permasalahan beban kerja adalah hal yang selalu ada dalam setiap diri tenaga kerja, beban kerja bisa tinggi namun bisa juga rendah tergantung pada seseorang mempersepsikannya. Hasil penelitian ini menemukan bahwa pengaruh antara beban kerja dengan burnout tidak terbukti secara statistik di mana nilai P=0,599 yang berarti melebihi 0,05. Berdasarkan hasil ini menjelaskan tidak ada pengaruh antara beban kerja dengan terjadinya burnout. Kemungkinan ini terjadi disebabkan karena mental seorang karyawan ATC yang sangat baik dalam mempersepsikan tugas dan tanggung jawab yang diamanahkan kepada mereka. Mereka kemungkinan mengalami keletihan secara fisik maupun mental namun bagaimana mereka menyikapi dan melakukan coping terhadap beban yang dihadapi sangat positif. Hasil ini tidak membuktikan hubungan antara beban kerja dengan burnout, walaupun sebenarnya pernyataan dari beberapa orang karyawan ATC membuktikan bahwa terjadi kelelahan pada karyawan ATC yang diakibatkan traffic yang padat seperti pernyataan karyawan berikut ini: “Pusing nih, padat sekali trafficnya, soalnya malam-malam begini lagi padat nih” (responden 2, laki-laki).

Bahkan menurut penuturan karyawan ATC tentang tingkat kepadatan di Indonesia jika dibandingkan dengan di luar negeri terjadi perbedaan yang sangat tinggi seperti diutarakan salah seorang ATC setelah dikomentari oleh ATC Australia berikut ini:

75

“You are crazy, kamu sudah gila menangani traffic sepadat ini” (responden 2, laki-laki).

Hasil ini sangat bertentangan dengan konsep yang dikemukakan Manuaba (2000) dalam Tarwaka (2004) yang menyatakan seseorang akan mengalami kelelahan yang sangat apabila diberikan beban yang tinggi ataupun akan mengalami boring apabila tekanan yang dihadapi kecil bila dilihat dari kapasitas yang dimiliki. Tempat kerja dan sistem kerja menjadi pembeda dan penentu untuk menjadikan seseorang berlaku positif ataupun negatif terhadap beban yang diterimanya. Menurut Rodahl (1989), Adiputra (1998), dan Manuaba (2000) bahwa secara umum hubungan antara beban kerja dan kapasitas kerja dipengaruhi oleh berbagai faktor yang sangat kompleks, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal di antaranya faktor somatis dan faktor psikis, sedangkan faktor ekternal yaitu tuntutan tugas, organisasi kerja, dan lingkungan kerja. Kesimpulannya bahwa beban kerja seperti jumlah traffic tidak memiliki pengaruh terhadap kejadian burnout. Jumlah traffic yang padat atau tidak, tidak akan mempengaruhi terjadinya burnout pada karyawan air traffic controller (ATC). Kejadian ini menyimpulkan bahwa seorang karyawan ATC telah memiliki integritas yang tinggi sehingga beban kerja yang ada tidak akan berdampak pada kejadian burnout pada mereka. Lingkungan Kerja terhadap Burnout ATC Lingkungan kerja yang dilihat dalam penelitian ini adalah lingkungan fisik yang terdiri dari suhu, kelembaban, pencahayaan yang terdapat di ruang kerja karyawan ATC baik itu di tower ataupun di ruang radar. Kondisi lingkungan fisik yang dilihat berdasarkan waktu kerja mereka dan lokasi kerja, apakah saat di tower ataukah di radar, apakah malam hari atau siang hari. Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lingkungan kerja tidak memiliki pengaruh secara signifikan terhadap kejadian burnout pada karyawan ATC. Hasil uji model yang dilakukan menunjukan bahwa nilai P=0,269 yang berarti melebihi nilai 0,05, sehingga ini menjelaskan tidak ada pengaruh antara lingkungan kerja dengan kejadian burnout pada ATC.

76

Lingkungan kerja tidak memiliki efek pada karyawan ATC terhadap gangguan mental secara umum. Karyawan ATC tetap semangat dan menunjukkan kerja yang optimal walaupun kondisi lingkungan yang cenderung dingin ataupun gelap. Pekerjaan mereka tetap dijalankan dengan sebaik-baiknya tanpa mengeluh kedinginan ataupun terkadang kegelapan. Hasil ini tidak sejalan dengan pernyatan Subaris (2008) yang menyatakan bahwa pengaruh pencahayaan yang buruk akan berdampak pada kelelahan mata dan berkurangnya daya dan efisien kerja, kelelahan mental atau burnout, keluhan pegal di sekitar mata, kerusakan pada indera mata, dan meningkatnya kecelakaan kerja. Gejala-gejala pada kelelahan mental dapat terjadi seperti sakit kepala, penurunan kemampuan intelektual, penurunan daya konsentrasi, dan penurunan kecepatan berpikir. Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa lingkungan kerja seperti suhu, kelembaban, dan pencahayaan tidak mempengaruhi terjadinya burnout pada karyawan ATC. Suhu yang panas atau dingin tidak ada pengaruhnya terhadap kejadian burnout pada ATC. Kelembaban yang tinggi atau rendah tidak akan berdampak pada kejadian burnout pada karyawan ATC. Pencahayaan yang gelap atau terang tidak akan mempengaruhi terjadinya kejadian burnout pada karyawan ATC. Lingkungan kerja hanya akan berdampak pada peningkatan safety performance karyawan ATC, namun tidak mempengaruhi terjadinya burnout pada karyawan ATC. Identitias Individu terhadap Burnout ATC Identitas individu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah umur karyawan ATC dan masa kerja karyawan ATC. Umur adalah jumlah tahun sejak dilahirkan sampai dilakukan penelitian dan masa kerja adalah jumlah tahun karyawan bekerja sebagi controller yang merupakan karakteristik yang melekat pada individu yang sedang bekerja. Umur karyawan ATC berada sekitar 20-50 tahun, sedangkan masa kerja di antara masa kerja 1-27 tahun. Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa identitas individu tidak memiliki pengaruh terhadap kejadian burnout pada karyawan ATC. Hasil uji model memperlihatkan bahwa identitas dan burnout memiliki nilai P=0,288 lebih besar daripada 0,05. Hasil 77

ini menjelaskan bahwa tidak ada pengaruh yang ditimbulkan identitas individu terhadap kejadian burnout pada karyawan ATC. Umur dan masa kerja yang menjadi indikator identitas individu atau biasa disebut karakteristik individu tidak ada pengaruh terhadap burnout pada ATC. Hasil ini memperlihatkan bahwa umur muda atau tua, dan masa kerja lama ataupun baru tidak akan menjadi sebab terjadinya burnout pada karyawan ATC. Kesimpulannya bahwa identitas individu seperti umur, dan masa kerja tidak memiliki pengaruh terhadap kejadian burnout pada karyawan air traffic controller (ATC). Umur tua ataupun umur muda tidak akan berdampak pada kejadian burnout pada ATC, dan masa kerja baru maupun lama tidak akan menyebabkan terjadinya burnout pada karyawan ATC. Job Ability terhadap Keluhan Muskuloskeletal ATC Pengaruh job ability terhadap kejadian muskuloskeletal tidak ada. Berdasarkan hasil uji dengan AMOS memperlihatkan bahwa job ability tidak ada kaitannya dengan keluhan muskuloskeletal. Rating tidak mempengaruhi terjadi gangguan pada otot-otot skeletal seorang karyawan. Hasil uji menjelaskan bahwa nilai P antara job ability dengan keluhan muskuloskeletal adalah 0,666 lebih besar dari 0,05 yang berarti tidak ada pengaruh antara job ability dengan kejadian keluhan muskuloskeletal pada ATC. Kejadian muskuloskeletal pada ATC terjadi bukan karena job ability tapi kemungkinan karena stasiun kerja yang tidak ergonomis. Peralatan yang digunakan adalah peralatan yang didatangkan dari luar negeri dan memiliki peruntukan untuk tubuh orang-orang Barat, bukan orang Indonesia. Kebanyakan peralatan yang ada di Indonesia adalah peralatan yang diimpor dari luar dan menyesuaikan dengan tubuh orang barat bukan tubuh orang Indonesia (Tarwaka, 2004). Sikap duduk yang keliru akibat kursi yang tidak sesuai dengan antropometri tubuh dapat menambah tekanan yang terjadi dan merupakan penyebab utama adanya masalah-masalah punggung (Suma’mur, 1982; Grandjean, 1993; Nurmianto, 1996). Kemampuan secara kognitif tidak memiliki pengaruh terhadap gangguan keluhan muskuloskeletal tetapi lebih pada antropometri tubuh atau ukuran tubuh. 78

Kesimpulannya bahwa job ability seperti rating tidak memiliki pengaruh terhadap keluhan muskuloskeletal pada karyawan air traffic controller (ATC). Rating pada karyawan ATC baik itu standar ataupun sangat tinggi sekali tidak ada pengaruhnya terhadap keluhan muskuloskeletal yang dirasakan karyawan ATC. Motivasi terhadap Keluhan Muskuloskeletal ATC Motivasi kerja tidak ada pengaruh terhadap keluhan muskuloskeletal. Pernyataan ini didasarkan pada hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa keluhan muskuloskeletal tidak ada pengaruh dengan motivasi karyawan dengan hasil uji sebesar P=0,248 yang berada di atas nilai 0,05. Hasil menjelaskan antara motivasi dengan keluhan muskuloskeletal tidak memiliki kaitan sama sekali. Motivasi tinggi maupun rendah tidak akan mempengaruhi timbulnya kejadian keluhan muskuloskeletal. Keluhan muskuloskeletal tidak terkait dengan jiwa atau perasaan seorang individu melainkan lebih pada cara kerja dan sistem kerja yang ada di perusahaan secara teknis. Faktor psikis tenaga kerja seperti motivasi merupakan faktor internal yang berkaitan dengan beban kerja sedangkan faktor penyebab terjadinya keluhan muskuloskeletal menurut Peter Vi (2000) adalah peregangan otot yang berlebihan, aktivitas berulang, sikap kerja tidak alamiah, dan faktor sekunder seperti tekanan langsung pada jaringan lunak, getaran, mikroklimat dan penyebab kombinasi seperti umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok, kesegaran jasmani, kekuatan fisik dan ukuran tubuh/antropometri (Tarwaka, 2004). Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa motivasi kerja tidak memiliki pengaruh terhadap keluhan muskuloskeletal pada karyawan air traffic controller (ATC). Motivasi rendah ataupun motivasi sangat tinggi tidak ada pengaruhnya terhadap gangguan keluhan muskuloskeletal pada karyawan ATC. Beban Kerja terhadap Keluhan Muskuloskeletal ATC Beban kerja dengan keluhan muskuloskeletal tidak ada pengaruh. Beban kerja yang tinggi dengan beban kerja yang rendah tidak akan berdampak pada kejadian muskuloskeletal. Pernyataan ini didasari oleh hasil penelitian ini yang menunjukkan 79

bahwa hasil uji dengan model menemukan nilai P di atas nilai 0,05 yakni sebesar P=0,288. Artinya beban kerja tidak mempengaruhi terjadinya keluhan muskuloskeletal. Kejadian ini memperlihatkan jumlah traffic yang dibebankan pada seorang ATC tidak akan menimbulkan gangguan pada tulang belakang mereka, akan tetapi lebih pada gangguan pada tampilan akhir berupa penurunan kualitas kerja seorang karyawan ATC dengan menurunkan atau akan menaikkan tingkat kesiapsiagaan mereka dalam mengontrol pesawat di udara. Kepadatan traffic tidak akan menjadi sebab munculnya keluhan pada otot-otot skeletal. Hasil ini juga selaras dengan pernyataan Peter Vi (2000) yang menyatakan bahwa terjadinya keluhan muskuloskeletal karena peregangan otot yang berlebihan, aktivitas berulang, sikap kerja tidak alamiah, dan faktor sekunder seperti tekanan langsung pada jaringan lunak, getaran, mikroklimat dan penyebab kombinasi seperti umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok, kesegaran jasmani, kekuatan fisik dan ukuran tubuh/antropometri, bukan karena faktor kepadatan traffic atau beban kerja. Kesimpulannya bahwa beban kerja tidak ada pengaruhnya terhadap kejadian keluhan muskuloskeletal pada karyawan air traffic controller (ATC). Beban kerja dalam hal ini jumlah traffic tidak ada pengaruhnya terhadap keluhan muskuloskeletal. Jumlah traffic padat ataupun jumlah traffic rendah tidak akan mempengaruhi terjadinya keluhan muskuloskeletal pada karyawan ATC. Lingkungan Kerja terhadap Keluhan Muskuloskeletal ATC Lingkungan kerja dalam hal ini lingkungan fisik seperti suhu, kelembaban, dan pencahayaan tidak terbukti mempengaruhi kejadian muskuloskeletal. Pernyataan ini didukung dengan hasil temuan dari penelitian ini yang menunjukkan nilai P masih di atas 0,05 yaitu 0,660. Keadaan ini menerangkan bahwa lingkungan kerja fisik tidak akan mempengaruhi timbulnya gangguan pada otot pada bagian skeletal. Hasil ini membuktikan bahwa penyebab kombinasi yang dikemukakan oleh Peter Vi (2000) yang di antaranya adalah masalah mikroklimat yang merupakan salah satu hal yang menyebabkan terjadinya masalah pada otot pada tulang bagian belakang tidak terbukti mempengaruhi terjadinya gangguan pada 80

otot tulang belakang pada karyawan ATC. Kenyataan ini menjelaskan bahwa tidak semua tempat kerja dan jenis pekerjaan memiliki pengaruh yang sama terhadap suatu keadaan yang dihadapi di tempat kerja. Hasil ini tidak sejalan dengan Astrand dan Rodahl (1977) yang menyatakan bahwa paparan suhu dingin secara berlebihan dapat menurunkan kelincahan, kepekaan dan kekuatan pekerja sehingga gerakan pekerja menjadi lamban, sulit bergerak yang disertai dengan menurunnya kekuatan otot (Tarwaka, 2004). Demikian juga dengan paparan udara yang panas, perbedaan suhu lingkungan dengan suhu tubuh yang terlampau besar menyebabkan sebagian energi yang ada dalam tubuh akan termanfaatkan oleh tubuh untuk beradaptasi dengan lingkungan tersebut. Apabila hal ini tidak diimbangi dengan pasokan energi yang cukup, maka akan terjadi kekurangan suplai energi ke otot. Akibatnya, peredaran darah kurang lancar, suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme karbohidrat terhambat dan terjadi penimbunan asam laktat yang dapat menimbulkan rasa nyeri pada otot (Suma’mur, 1982: Grandjean, 1993). Kesimpulannya bahwa lingkungan kerja tidak memiliki pengaruh terhadap kejadian keluhan muskuloskeletal. Lingkungan kerja dalam hal ini lingkungan kerja fisik seperti suhu, kelembaban, dan pencahayaan tidak ada pengaruhnya terhadap kejadian keluhan muskuloskeletal. Suhu panas atau dingin tidak ada pengaruhnya terhadap keluhan muskuloskeletal karyawan ATC. Kelembaban tinggi ataupun rendah tidak ada pengaruhnya terhadap keluhan muskuloskeletal karyawan ATC. Pencahayaan yang gelap atau terang tidak ada pengaruhnya terhadap kejadian keluhan muskuloskeletal pada karyawan air traffic controller (ATC). Identitas Individu terhadap Keluhan Muskuloskeletal ATC Identitas individu memiliki pengaruh terhadap keluhan muskuloskeletal dengan nilai P=0,02 yang berada di bawah nilai 0,05. Hasil ini membuktikan bahwa umur dan masa kerja memiliki pengaruh terhadap kejadian muskuloskeletal. Semakin tua dan lama masa kerja seorang ATC akan dapat memicu timbulnya gangguan pada otot tulang belakang mereka. Kemungkinan ini

81

terjadi karena semakin tua seseorang dan makin lama bekerja akan memungkinkan terjadinya gangguan pada otot tulang belakang. Hasil ini sejalan dengan Choffin (1997) dan Guo et al., (1995) yang menyatakan bahwa pada umumnya keluhan otot skeletal mulai dirasakan pada usia kerja, yaitu 25-65 tahun. Keluhan pertama biasanya dirasakan pada umur 35 tahun dan tingkat keluhan akan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya umur. Kejadian ini karena pada umur setengah baya, kekuatan dan ketahanan otot mulai menurun sehingga risiko terjadinya keluhan otot meningkat. Penelitian lain yang sejalan adalah penelitian yang dilakukan oleh Betti’e, et al., (1989) yang melakukan studi tentang kekuatan statik otot untuk pria dan wanita dengan usia antara 20-60 tahun. Penelitian ini difokuskan pada otot lengan, punggung dan kaki. Hasilnya menunjukkan bahwa kekuatan otot maksimal terjadi pada saat umur antara 20-29 tahun, selanjutnya terus terjadi penurunan sejalan dengan bertambahnya umur. Umur mencapai 60 tahun, rerata kekuatan otot menurun sampai 20%, saat kekuatan otot mulai menurun maka risiko terjadinya keluhan otot akan meningkat. Riihimaki et al., (1989) menjelaskan bahwa umur mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan keluhan otot, terutama untuk otot leher dan bahu, bahkan ada beberapa ahli lainnya menyatakan bahwa umur merupakan penyebab utama terjadinya keluhan otot (Tarwaka, 2004). Hasil ini menyimpulkan bahwa identitas individu dalam hal ini umur dan masa kerja berpengaruh secara signifikan terhadap keluhan muskuloskeletal karyawan ATC di Indonesia. Umur dan masa kerja harus diperhatikan dalam menjaga otot-otot tulang belakang dengan melakukan penyesuaian tempat kerja, dan penyediaan peralatan yang ergonomis dalam bekerja bagi karyawan ATC.

82

BAB 10 MODEL SAFETY PERFORMANCE PADA ATC DI INDONESIA Model ini menggambarkan hubungan antarvariabel safety performance yang dipengaruhi oleh beban kerja dan lingkungan kerja, sedangkan motivasi, identitas individu, burnout, dan keluhan muskuloskeletal tidak berpengaruh, seperti terlihat pada gambar berikut ini yaitu: Motivasi Kerja

Burnout

Beban Kerja

Safety Performance

Lingkungan Kerja Identitas Individu

Keluhan Muskuloskeletal

Gambar 10.1. Hubungan Antarvariabel

1.

Model ini memperlihatkan secara empiris bahwa safety performance sangat dipengaruhi oleh beban kerja dan lingkungan kerja terutama di tempat kerja seperti perusahaan Air Nav. Teori performance pada umumnya masih melihat pada aspek secara umum pada tenaga kerja seperti ability dan motivasi namun tidak melihat secara seksama untuk jenis pekerjaan tertentu terkadang ada hal lain yang lebih spesifik mempengaruhi performance kerja seorang tenaga kerja.

83

2.

3.

4.

Model ini menggambarkan motivasi berpengaruh secara signifikan terhadap burnout, namun burnout tidak berpengaruh terhadap safety performance, demikian halnya dengan identitas individu berpengaruh secara signifikan terhadap keluhan muskuloskeletal, namun keluhan muskuloskeletal tidak berpengaruh terhadap safety performance. Model ini menemukan ada empat lintasan jalur, dua lintasan jalur yang mempengaruhi safety performance, satu jalur yang mempengaruhi burnout dan satu jalur yang mempengaruhi keluhan muskuloskeletal yaitu: a. Jalur 1: beban kerja ke safety performance, yang berarti bahwa beban kerja berpengaruh terhadap safety performance. Temuan ini memberikan bukti bahwa beban kerja sangat penting untuk terjadinya safety performance yang tinggi, dan merupakan salah satu penentu untuk tercapainya level of performance yang tinggi. b. Jalur 2: lingkungan kerja ke safety performance, yang berarti bahwa lingkungan kerja berpengaruh terhadap safety performance. Hasil ini membuktikan bahwa lingkungan kerja terutama lingkungan fisik sangat menentukan terjadinya safety performance yang tinggi dan merupakan faktor paling besar pengaruhnya terhadap tingkat safety performance. c. Jalur 3: motivasi ke burnout, yang berarti bahwa motivasi karyawan mempengaruhi terjadinya burnout. d. Jalur 4: identitas ke keluhan muskuloskeletal, berarti bahwa umur dan masa kerja mempengaruhi terjadinya keluhan muskuloskeletal. Indikator prediktif safety performance pada karyawan air traffic controller (ATC) yang ditemukan adalah beban kerja dan lingkungan kerja dengan persamaan yang dihasilkan safety performance = 0,43 beban kerja dan 0,91 lingkungan kerja. Artinya setiap kenaikan 1 satuan beban kerja akan menaikkan safety performance sebesar 0,43, semakin padat beban kerja, semakin baik safety performance. Setiap kenaikan 1 satuan lingkungan kerja akan menaikkan safety performance sebesar 0,91, semakin baik lingkungan kerja akan menaikkan tingkat safety performance. 84

GLOSARIUM ACC ADC APP ATC CFA ICAO K3 MATSC MBI NBM PAK SEM SMS Burnout

Neck Upper Low Foot

: Area Control Unit : Aerodrome Control Unit : Approach Control Unit : Air Traffic Controller : Confirmatory Factors Analysis : International Civil Aviation Organization : Kesehatan dan Keselamatan Kerja : Makassar Air Traffic Service Center : Maslach Burnout Inventory : Nordic Body Map : Penyakit Akibat Kerja : Structural Equation Modeling : Safety Management System : Kelelahan, kepenatan, kepayahan yang sangat yang menyebabkan ketidakpuasan terhadap diri sendiri, ketidakpuasan terhadap pekerjaan dan hidup secara keseluruhan, serta merasa tidak kompeten atau merasa rendah diri. : Keluhan pada tulang punggung bagian leher : Keluhan pada tulang punggung bagian atas : Keluhan pada tulang punggung bagian bawah : Keluhan pada tulang punggung bagian kaki

85

86

INDEKS Ergonomi · 16, 17, 89, 90 A Ability · 12, 13, 21, 37, 46, 47, 55, 73, 78, 89 Absenteeism · 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 90 Air Traffic Controller (ATC) · iv, v, 2, 3, 6, 34, 48, 53, 54, 59, 61, 62, 64, 65, 66, 72, 76, 78, 79, 80, 81, 84 ATC · i, iii, iv, v, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 19, 20, 21, 22, 30, 32, 33, 34, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 53, 54, 55, 56, 57, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 85

F Factor · 91 G Gangguan · 50 H harapan · 14, 15, 57, 89 I ICAO · 4, 5, 10, 11, 85 Identitas · 20, 65, 77, 81, 84 Interpretasi · 12 K K3 · i, iii, iv, v, 1, 2, 8, 9, 10, 11, 19, 20, 32, 33, 41, 42, 51, 54, 85 Kecerobohan · 69 Kemampuan · 13, 14, 17, 22, 37, 78, 90 Kematian · 1 Kerja · iv, v, 5, 6, 8, 9, 11, 18, 23, 26, 28, 32, 33, 37, 38, 39, 42, 47, 48, 56, 59, 62, 63, 75, 76, 79, 80, 84, 85, 89, 90 Kesehatan · iv, v, 8, 9, 11, 32, 41, 42, 50, 66, 85, 89, 139 Keselamatan · iv, v, 1, 4, 8, 9, 10, 11, 32, 33, 42, 85, 89, 94, 123, 134

B Bahaya · 9 Burnout · 29, 40, 49, 50, 67, 70, 73, 75, 76, 77, 84, 85, 92 C Capacity · 17 Characteristics · 18, 89, 90 Control · 5, 6, 50, 85, 91, 92 Costa · 7, 92 D Darurat · 118 E Effective · 91

87

L Lalu Lintas Udara · 3, 4, 5, 6, 131, 133

S Social · 89, 91 Stress · 40, 92 Suhu · 27, 64, 77, 81

M Maier · 12, 57, 58 Masalah · 10, 53 Model · 83, 84 Motivasi · 14, 22, 23, 36, 37, 45, 46, 57, 58, 59, 73, 74, 75, 79, 84

T Tarwaka · 16, 17, 47, 61, 63, 66, 72, 73, 76, 78, 79, 81, 82, 89 Tenaga Kerja · 71 Traffic · 3, 4, 5, 43, 45, 46, 54, 65, 73, 85, 89, 91, 92

N NIOSH · 72

U Unit kerja · 21 Unsafe act · 1

O Operator · 28, 96 Organisasi · 11, 32, 33, 41, 42, 51, 89, 144

V Vigilance · 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 92 Vroom · 14, 15

P Pelayanan · 4, 5, 6, 100, 101, 119, 131, 132, 133, 134, 139, 141 Penerbangan · iv, v, 1, 3, 4, 5, 9, 10, 11, 93, 99, 100, 117, 129, 134, 135, 137, 139, 141, 144 Pengaruh · 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 56, 63, 65, 66, 78, 90 Performance. · 89 PSM · 23 R Risiko · 9 Responden · 63, 68, 71, 75, 76

88

DAFTAR PUSTAKA Ackerman, R. K. 1989. Motivation and Cognitive Abilities :An Integrative/Aptitude-Treatment Interaction Approach to Skill Acquisition. Journal of Applied Psychology Monograph Vol.74 No.4 , 657-690. As'ad. 2003. Psikologi Industri. Yogyakarta: Liberty. Ashtari, F. M. 2009. Relationship between job burnout and work performance in a sample of Iranian mental health staff. African Journal of Psychiatry, 71-74. Basuki, H. 2013. Pemodelan. Surabaya. Bernstein, L. 2008. Mental Fatigue and what you can do about it. Toronto: University Health Network. Brian G. Hilburn, M. W. 1997. The Effect of Free Flight on Air Traffic Controller Mental Workload, Monitoring and System Performance . Brian G. Hilburn, Marcel W. P. Bakker, Wouter D. Pekela Raja Parasuraman; The Effect of Free Amsterdam: National Aerospace Laboratory (NLR). Bruskiewicz, K. T. 2000. Measuring the performance of Air Traffic Controllers Using A High-Fidelity Work Sample Approach. U.S. Department of Transportation Federal Aviation Administration, 1-13. Burton, J. P. 2002. The influence of motivation to attend, ability to attend, and organizational commitment on different types of absence behaviors. Journal of Managerial Issues Publisher: Pittsburg State University - Department of Economics. Clenney, M. A. 1992. A Study of The Relationship Between Absenteeism and Job Satisfaction, Certain Personal Characteristics, And Situational Factors For Employees in A Public Agency. Texas State University: Spring. Costa, G. 1995. Occupational Stress and Stress Prevention in Air Traffic Control. Geneva: International Labor Office. Daulay, R. M. 2012. Ergonomi Teknik Disektor Industri. Jakarta: Universitas Mercu Buana. Diah Ayu Kristiani, A. P. 2013. Pengaruh Kemampuan Kerja dan Motivasi Kerja terhadap Kinerja Karyawan. Diponegoro Journal of Social and Politic, 1-7. 89

Dimitri van der Linden, M. F. 2002. Mental fatigue and the control of cognitive processes: effects on perseveration and planning. Acta Psychologica 113 (2003) Amsterdam, 45-65. Geen, R. 1995. Social Motivation dalam Parkinson, B.& Colman, A.M.(ed.)Emotion and Motivation. London: Longman. Gregory M. Hurtz, J. J. 2000. Personality and Job Performance: The Big Five Revisited. Journal of Applied Psychology, Vol 85 No 6, 869-879. Griffin, M. A. 2000. The Contribution of Task Performance and Contextual Performance to Effectiveness: Investigating the Role of Situational Constraints. Applied Psychology 49(3), 517-533. Gross, R. 2010. Psychology: The Science Of Mind and Behaviour. United Kingdom: Hodder Education An Hachete UK Company. Hilburn, B. G. 1997. Free Flight and Air Traffic Controller Mental Workload. International Symposium on Aviation Psychology. Columbus, Ohio, USA: The Ninth International Symposium on Aviation Psychology. Hong-Chee, S. 1968. Performance as a Function of Ability, Motivation and Emotion. Singapore: University of Singapore. Jackson, R. L. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Edisi Pertama Salemba Empat. Kahya, E. 2007. The Effects of Job Characteristics and Working Conditions on Job Performance. International Journal of Industrial Ergonomics 37, 515-523. Korkaew Jankingthong, S. R. 2012. Factor Affecting Job Peformance : A Review of Literature. Silpakorn University Journal Of Social Sciences, Humanities and Arts Vol.12 (2), 115-127. Kurniawidjaja, L. M. 2010. Teori dan Aplikasi Kesehatan Kerja. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press). L.Ackerman, R. K. 1989. Motivation and Cognitive Abilities : An Integrative/Aptitude-Treatment Interaction Approach to Skill Acquisition. Journal of Applied Psychology Monograph Vol.74 No.4, 657-690.

90

Lussier. 2008. Part Three, Leadership Skills: Influencing Others, Motivating Performance Chapter 9. Mc Graw-Hill Companies. Lynn McFarlane Sboel, H. J. 1989. Job Saisfaction and Organizaional Commitment in Relaion to Work Performance and Turnover Intentions. Human Relations Vol. 42 Number 7, 625-638. M Nyathi, K. J. 2008. Working conditions that contribute to absenteeism among nurses in a provincial hospital in the Limpopo Province. University of Johannesburg. Manuaba. 1998. Bunga Rampai Ergonomi. Denpasar: Udayana. Neill, D. 2011. Nursing Workload And The Changing Health Care Environment: A Review Of The Literature. Administrative Issue Journal Vol.1 Issue 2, 132-143. P.L.T. Hoonakker, D. V. 1998. The Relation between experienced workload, working condition, health and absenteeism in construction industry. Human Factors in Organizational Design and Management-VI, 683. Pheasant. 1988. Body Space, Anthropometry, Ergonomics and Design. London: Taylor & Francis. Rabia Imran, A. F. 2012. How to Boost Employee Performance: Investigating the Influence of Transformational Leadership and Work Environment in a Pakistani Perspective. MiddleEast Journal of Scientific Research 11 (10), 1455-1462. Robert Hubal, D. N. 2009. Individual Difference in Vigilance Tasks. Washington: Institute for Homeland Security Solution. Rotundo, M. 2002. Defining and Measuring Individual Level Job Performance : A Review and Integration. Toronto: University of Toronto. S.S. Leone, M. H. 2007. Similarities, Overlap And Differences Between Burnout and Prolonged Fatigue In The Working Population. The Netherlands Q J Med : 100, 617-627. Scott M.Galster, J. A. 2001. Air Traffic Controller Performance and Workload Under Mature Free Flight : Conflict Detection and Resolution of Aircraft Self-Separation. The International Journal of Aviation, 71-93. Subaris, H. 2008. Hygiene Lingkungan Kerja. Yogyakarta: Mitra Cendikia Press. 91

Sulistiowati, Z. D. 2001. Hubungan Motivasi Kerja dengan Absenteeism pada Tenaga Operator. Semarang: FKM UNDIP. Tarwaka, S. H. 2004. Ergonomi, untuk Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Produktivitas. Surakarta: UNIBA Press. Turhan, U. 2009. Performance Perception of Turkish Air Traffic Controller. International Journal of Civil Aviation ISSN 19433433 2009, Vol.1 No.1: E6, Halaman 74-89. Ulla Metzger, R. P. 2005. Automation in Future Air Traffic Management: Effects of Decision Aid Reliability on Controller Performance and Mental Workload. SpringHuman Factors Vol.47 No.1, 1-15. Vichita Vathanophas, J. T.-n. 2007. Competency Requirements for Effective Job Performance in Thai Public Sector. Contemporary Management Research Vol.3 No. 1, 45-70. William S. Pawlak, C. R. 1996. A Framework For The Evaluation Of Air Traffic Control Complexity. Amerika: American Institute of Aeronautics and Astronautic. Yusdi, M. 2011 йил 21-Juli. Pengertian Kemampuan. Z Ashtari, Y. F. 2009. Relationship between job burnout and work performance in a sample of Iranian mental health staff. African Journal of Psychiatry, 71-74. Website Roen, F. 2012. Teori dan Perilaku Organisasi: Teori Harapan. diakses 21 Mei 2014: http;//perilakuorganisasi.com/teoriharapan.html. Harnadini, S. 2012. Pengaruh beban kerja, kelelahan kerja, dan tingkat kewaspadaan terhadap tingkat kesalahan dalam upaya meminimasi human error. Semarang: Program Studi Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas Diponegoro (http://www.sharepdf.com/2013/12/18/12a7bdcc03c44023a318230839bd0999 /TA%20L2H008074.htm .diakses tgl 27 Mei 2014.

92

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2001 TENTANG KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, telah diatur ketentuan-ketentuan mengenai keamanan dan keselamatan penerbangan; b. bahwa untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dipandang perlu mengatur ketentuan mengenai keamanan dan keselamatan penerbangan dengan Peraturan Pemerintah. Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Pokok-pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3234); 3. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3481); 4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839). MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN

93

BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Keamanan dan keselamatan penerbangan adalah suatu kondisi untuk mewujudkan penerbangan dilaksanakan secara aman dan selamat sesuai dengan rencana penerbangan. 2. Keamanan penerbangan adalah keadaan yang terwujud dari penyelenggaraan penerbangan yang bebas dari gangguan dan/atau tindakan yang melawan hukum. 3. Keselamatan penerbangan adalah keadaan yang terwujud dari penyelenggaraan penerbangan yang lancar sesuai dengan prosedur operasi dan persyaratan kelaikan teknis terhadap sarana dan prasarana penerbangan beserta penunjangnya. 4. Pesawat udara adalah setiap alat yang dapat terbang di atmosfer karena daya angkat dari reaksi udara. 5. Helikopter adalah pesawat udara yang lebih berat dari udara, dapat terbang dengan sayap berputar, dan bergerak dengan tenaganya sendiri. 6. Pesawat terbang adalah pesawat udara yang lebih berat dari udara, bersayap tetap, dan dapat terbang dengan tenaganya sendiri. 7. Pesawat udara negara adalah pesawat udara yang dipergunakan oleh Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia dan pesawat udara instansi Pemerintah tertentu yang diberi fungsi dan kewenangan untuk menegakkan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 8. Pesawat udara sipil adalah pesawat udara selain pesawat udara negara. 9. Bandar udara adalah lapangan terbang yang dipergunakan untuk mendarat dan lepas landas pesawat udara, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat kargo dan/atau pos, serta dilengkapi dengan fasilitas keselamatan penerbangan dan sebagai tempat perpindahan antar moda transportasi. 10. Kawasan udara terlarang (prohibited area) adalah ruang udara tertentu di atas daratan dan/atau perairan, di mana pesawat 94

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

udara dilarang terbang melalui ruang udara tersebut karena pertimbangan pertahanan dan keamanan negara serta keselamatan penerbangan. Kawasan udara terbatas (restricted area) adalah ruang udara tertentu di atas daratan dan/atau perairan, karena pertimbangan pertahanan dan keamanan atau keselamatan penerbangan atau kepentingan umum, berlaku pembatasan penerbangan bagi pesawat udara yang terbang melalui ruang udara tersebut. Kawasan udara berbahaya (danger area) adalah ruang udara tertentu di atas daratan dan/atau perairan, yang sewaktu-waktu terjadi aktivitas yang membahayakan penerbangan pesawat udara. Personil penerbangan adalah personil pesawat udara dan personil pelayanan keamanan dan keselamatan penerbangan yang tugasnya secara langsung mempengaruhi keamanan dan keselamatan pesawat udara. Personil pesawat udara adalah personil penerbangan yang memiliki sertifikat kecakapan untuk bertugas sebagai personil operasi pesawat udara dan personil penunjang operasi pesawat udara. Personil pelayanan keamanan dan keselamatan penerbangan adalah personil penerbangan yang memiliki sertifikat kecakapan tertentu yang tugasnya secara langsung mempengaruhi kegiatan pelayanan keamanan dan keselamatan penerbangan. Kapten Penerbang adalah awak pesawat udara yang ditunjuk dan ditugasi untuk memimpin suatu misi penerbangan serta bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan penerbangan selama pengoperasian pesawat terbang dan/atau helikopter yang dari segi teknis berfungsi normal. Pengoperasian pesawat terbang dan helikopter adalah kegiatan mulai mesin pesawat terbang dan helikopter dihidupkan untuk suatu misi penerbangan sampai dengan saat mesin dimatikan. Kelaikan udara adalah terpenuhinya persyaratan minimum kondisi pesawat udara dan/atau komponen-komponennya untuk menjamin keselamatan penerbangan dan mencegah 95

19. 20. 21. 22.

23.

24.

25.

26. 27.

28.

29.

terjadinya pencemaran lingkungan. Sertifikat kecakapan personil penerbangan adalah tanda bukti terpenuhinya persyaratan kecakapan personil penerbangan. Sertifikat kesehatan personil penerbangan adalah tanda bukti terpenuhinya persyaratan kesehatan personil penerbangan. Sertifikat pendaftaran pesawat udara adalah tanda bukti terpenuhinya persyaratan pendaftaran pesawat udara. Sertifikat tipe adalah tanda bukti terpenuhinya standar kelaikan udara dalam rancang bangun/prototipe pesawat udara, mesin pesawat udara dan/atau baling-baling pesawat terbang. Sertifikat tipe validasi adalah tanda bukti terpenuhinya standar kelaikan udara Republik Indonesia dalam rancang bangun pesawat udara, mesin pesawat udara dan baling-baling pesawat terbang produk negara lain. Sertifikat tipe tambahan adalah tanda bukti terpenuhinya standar kelaikan udara dalam modifikasi atau perubahan rancang bangun terhadap pesawat udara atau mesin pesawat udara, atau baling- baling pesawat terbang yang telah memiliki sertifikat tipe. Sertifikat mutu produksi adalah tanda bukti terpenuhinya persyaratan standar, dan prosedur dalam pembuatan dan/atau perakitan pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-baling pesawat terbang dan komponennya. Sertifikat kelaikan udara adalah tanda bukti terpenuhinya persyaratan kelaikan udara. Sertifikat operator pesawat udara/Air Operator Certificate (AOC) adalah tanda bukti terpenuhinya standar dan prosedur dalam pengoperasian pesawat udara oleh perusahaan angkutan udara niaga. Sertifikat pengoperasian pesawat udara/Operating Certificate (OC) adalah tanda bukti terpenuhinya standar dan prosedur dalam pengoperasian pesawat udara untuk kegiatan angkutan udara bukan niaga. Sertifikat perusahaan perawatan pesawat udara adalah tanda bukti terpenuhinya standar dan prosedur dalam perawatan pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-baling pesawat terbang serta komponen- komponennya oleh suatu perusahaan perawatan. 96

30. Sertifikat penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan adalah sertifikat yang dikeluarkan oleh Menteri yang berisi pengakuan bahwa institusi pendidikan dan pelatihan atau lembaga pendidikan dan pelatihan telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dan dinyatakan mampu menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan. 31. Surat persetujuan rancang bangun komponen adalah surat tanda bukti terpenuhinya standar kelaikan udara dalam rancang bangun komponen pesawat udara, komponen mesin pesawat udara dan komponen baling-baling pesawat terbang. 32. Surat persetujuan rancang bangun perubahan adalah surat tanda bukti terpenuhinya standar kelaikan udara dalam perubahan rancang bangun dari pesawat udara, mesin pesawat udara, baling- baling pesawat terbang dan komponennya. 33. Pendaftaran adalah pendaftaran pesawat terbang, helikopter dan balon berpenumpang untuk memperoleh tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia untuk memperoleh hak beroperasi di Indonesia. 34. Gawat darurat di bandar udara adalah suatu kejadian tidak terduga berkaitan atau berakibat terganggunya pengoperasian pesawat udara atau kelangsungan pelayanannya yang perlu dilakukan tindakan cepat. 35. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang penerbangan. BAB II PEMBINAAN KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN Bagian Pertama Pembinaan Pasal 2 (1) Menteri melakukan pembinaan terhadap keamanan dan keselamatan penerbangan. (2) Pembinaan terhadap keamanan dan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi 97

aspek pengaturan, pengendalian dan pengawasan dalam kegiatan rancang bangun, pembuatan, pengoperasian dan perawatan pesawat udara, pelayanan navigasi penerbangan, pengoperasian bandar udara serta personil penerbangan. (3) Kegiatan pengaturan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), meliputi kegiatan penetapan kebijaksanaan di bidang rancang bangun, pembuatan, pengoperasian dan perawatan pesawat udara, pelayanan navigasi penerbangan, pengoperasian bandar udara serta personil penerbangan. (4) Kegiatan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi: a. pemberian arahan dan petunjuk dalam pelaksanaan kebijaksanaan di bidang rancang bangun, pembuatan, pengoperasian dan perawatan pesawat udara, pelayanan navigasi penerbangan, pengoperasian bandar udara serta personil penerbangan; b. pemberian bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat mengenai hak dan kewajiban masyarakat dalam pelaksanaan kebijaksanaan di bidang rancang bangun, pembuatan, pengoperasian dan perawatan pesawat udara, pelayanan navigasi penerbangan, pengoperasian bandar udara serta personil penerbangan. (5) Kegiatan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), meliputi: a. pemantauan dan penilaian terhadap pelaksanaan kebijaksanaan di bidang rancang bangun, pembuatan, pengoperasian dan perawatan pesawat udara, pelayanan navigasi penerbangan, pengoperasian bandar udara serta personil penerbangan; b. tindakan korektif terhadap pelaksanaan kebijaksanaan di bidang rancang bangun, pembuatan, pengoperasian dan perawatan pesawat udara, pelayanan navigasi penerbangan, pengoperasian bandar udara serta personil penerbangan. Bagian Kedua Program Pengamanan Penerbangan Sipil

98

Pasal 3 (1) Menteri menetapkan program pengamanan penerbangan sipil. (2) Program pengamanan penerbangan sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. program pengamanan bandar udara; dan b. program pengamanan perusahaan angkutan udara. (3) Program pengamanan penerbangan sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), meliputi petunjuk pelaksanaan dan prosedur dalam rangka keamanan dan keselamatan penerbangan, keteraturan dan efisiensi penerbangan sipil dari tindak gangguan melawan hukum. Bagian Ketiga Keandalan Operasional Pesawat Udara Pasal 4 (1) Menteri menetapkan persyaratan keandalan operasional pesawat udara sebagai pedoman dalam proses kegiatan rancang bangun, pembuatan, pengoperasian dan perawatan pesawat udara. (2) Persyaratan keandalan operasional pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi persyaratan yang berkaitan dengan: a. standar kelaikan udara; b. rancang bangun pesawat udara; c. pembuatan pesawat udara; d. perawatan pesawat udara; e. pengoperasian pesawat udara; f. standar kebisingan pesawat udara; g. ambang batas gas buang pesawat udara; h. personil pesawat udara. (3) Penetapan persyaratan keandalan operasional pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dengan memperhatikan: a. keamanan dan keselamatan penerbangan; b. perkembangan teknologi; c. sumber daya manusia yang profesional; d. ketentuan-ketentuan internasional; 99

e. f.

efektivitas dan efisiensi; pencegahan pencemaran lingkungan.

Bagian Keempat Pelayanan Navigasi Penerbangan dan Pengoperasian Bandar Udara Pasal 5 (1) Menteri menetapkan persyaratan teknis dan operasional pelayanan navigasi penerbangan. (2) Pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi kegiatan: a. pelayanan navigasi penerbangan terhadap pesawat udara selama dalam pengoperasian; b. pengendalian ruang udara; c. membantu pencarian dan pertolongan kecelakaan pesawat udara dan/atau membantu penelitian penyebab kecelakaan pesawat udara; d. penyediaan dan/atau pembinaan personil; e. penyediaan dan melakukan pemeriksaan sarana dan prasarana navigasi penerbangan. (3) Penetapan persyaratan teknis dan operasional pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dengan memperhatikan: a. keamanan dan keselamatan penerbangan; b. perkembangan teknologi; c. sumber daya manusia yang profesional; d. ketentuan-ketentuan internasional; e. efektivitas dan efisiensi; f. kawasan udara terlarang, terbatas dan berbahaya; g. keandalan sarana dan prasarana pelayanan navigasi penerbangan; h. keteraturan, kesinambungan dan kelancaran arus lalu lintas udara. Pasal 6 (1) Menteri menetapkan persyaratan teknis dan operasional pengoperasian bandar udara. 100

(2) Pengoperasian bandar udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi kegiatan: a. pemeriksaan terhadap orang dan/atau barang; b. pengamanan penerbangan; c. pelayanan terhadap pesawat udara selama dalam pengoperasian; d. pelayanan penunjang pesawat udara di darat; e. membantu dan/atau melakukan pencarian dan pertolongan kecelakaan pesawat udara serta pemindahan pesawat udara yang mengalami kecelakaan di kawasan bandar udara; f. membantu penelitian penyebab kecelakaan pesawat udara; g. penyediaan dan/atau pembinaan personil pelayanan pengoperasian bandar udara; h. penyediaan dan melakukan pemeriksaan sarana dan prasarana bandar udara. (3) Penetapan persyaratan teknis dan operasional pengoperasian bandar udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dengan memperhatikan : a. keamanan dan keselamatan penerbangan; b. perkembangan teknologi; c. sumber daya manusia yang profesional; d. ketentuan-ketentuan internasional; e. efektivitas dan efisiensi; f. keandalan sarana dan prasarana pengoperasian bandar udara; g. keteraturan, kesinambungan dan kelancaran arus penumpang barang, kargo dan pos. Pasal 7 (1) Pelayanan navigasi penerbangan dan pengoperasian bandar udara diselenggarakan oleh Pemerintah dan pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada Badan Usaha Milik Negara yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Badan hukum Indonesia dapat diikutsertakan dalam pengoperasian bandar udara untuk umum atas dasar kerja 101

sama dengan Badan Usaha Milik Negara yang melaksanakan penyelenggaraan bandar udara untuk umum. BAB III KEAMANAN DAN KESELAMATAN PESAWAT UDARA Bagian Pertama Standar Kelaikan Udara

(1)

(2)

(3)

(4)

Pasal 8 Penetapan standar kelaikan udara untuk pesawat udara, dan/atau mesin pesawat udara, dan/atau baling-baling pesawat terbang yang didaftarkan di Indonesia, dilakukan dengan memperhatikan sekurang-kurangnya: a. rancang bangun dan konstruksi; b. komponen utama; c. instalasi tenaga penggerak; d. stabilitas dan kemampuan; e. kelelahan struktur; f. perlengkapan; g. batasan pengoperasian; h. sistem perawatan; i. pencegahan pencemaran lingkungan. Standar kelaikan udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), adalah untuk: a. pesawat terbang kategori transpor, normal, utility, akrobatik dan komuter; b. helikopter kategori normal; c. helikopter kategori transpor; d. mesin pesawat udara; e. baling-baling pesawat terbang; f. balon berpenumpang. Ketentuan lebih lanjut mengenai standar kelaikan udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri. Menteri dapat menetapkan persyaratan-persyaratan di luar standar kelaikan udara selain yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berkenaan dengan 102

perkembangan teknologi dan ketentuan internasional. Bagian Kedua Rancang Bangun Pesawat Udara, Mesin Pesawat Udara, Baling-baling Pesawat Terbang dan Komponen-komponennya

(1)

(2) (3)

(4)

Pasal 9 Setiap badan hukum Indonesia yang akan membuat pesawat udara dan/atau mesin pesawat udara dan/atau baling-baling pesawat terbang yang akan dimintakan sertifikat tipe, wajib membuat rancang bangun. Pembuatan rancang bangun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib memenuhi standar kelaikan udara. Pelaksanaan pembuatan rancang bangun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan sesuai dengan tahapantahapan mulai dari rancang bangun sampai menjadi prototipe serta pengujian dan/atau uji terbang. Ketentuan lebih lanjut mengenai rancang bangun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 10 (1) Dalam hal rancang bangun pesawat udara, dan/atau mesin pesawat udara, dan/atau baling-baling pesawat terbang yang telah dibuat sesuai prosedur dan telah dilaksanakan pemeriksaan dan pengujian yang memenuhi standar kelaikan udara, Menteri dapat memberikan sertifikat tipe. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sertifikat tipe sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 11 (1) Setiap badan hukum Indonesia yang akan membuat komponen untuk dipasang pada pesawat udara atau mesin pesawat udara atau baling-baling pesawat terbang yang akan dimintakan surat persetujuan rancang bangun komponen, wajib membuat rancang bangun komponen. (2) Pembuatan rancang bangun komponen sebagaimana 103

dimaksud dalam ayat (1), harus memenuhi standar kelaikan udara. (3) Pelaksanaan pembuatan rancang bangun komponen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan sesuai dengan tahapan-tahapan mulai dari rancang bangun sampai menjadi prototipe serta pengujian dan/atau uji terbang sesuai prosedur dan memenuhi spesifikasi komponen. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai rancang bangun komponen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 12 (1) Dalam hal rancang bangun komponen pesawat udara, dan/atau mesin pesawat udara, dan/atau baling-baling pesawat terbang yang telah dibuat sesuai prosedur dan telah dilaksanakan pemeriksaan dan pengujian yang memenuhi standar kelaikan udara, Menteri dapat memberikan surat persetujuan rancang bangun komponen. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian surat persetujuan rancang bangun komponen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 13 (1) Setiap perubahan terhadap rancang bangun pesawat udara dan/atau rancang bangun mesin pesawat udara dan/atau rancang bangun baling-baling pesawat terbang yang telah mendapatkan sertifikat tipe wajib memenuhi standar kelaikan udara. (2) Pelaksanaan perubahan rancang bangun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan sesuai dengan tahapantahapan mulai dari rancang bangun perubahan sampai menjadi prototipe serta pemeriksaan dan pengujian dan/atau uji terbang. (3) Apabila rancang bangun perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), telah memenuhi standar kelaikan udara, Menteri dapat memberikan: a. surat persetujuan rancang bangun perubahan; atau b. sertifikat tipe tambahan; atau 104

c. revisi sertifikat tipe untuk pemegang sertifikat tipe. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian surat persetujuan rancang bangun perubahan atau sertifikat tipe tambahan dan/atau revisi sertifikat tipe sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 14 (1) Setiap perubahan terhadap rancang bangun komponen yang akan dipasang pada pesawat udara, dan/atau mesin pesawat udara, dan/atau baling-baling pesawat terbang harus melalui tahap pemeriksaan dan pengujian yang memenuhi standar kelaikan udara sebelum mendapatkan surat persetujuan rancang bangun perubahan komponen dari Menteri. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian surat persetujuan rancang bangun perubahan komponen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 15 (1) Setiap pesawat udara, dan/atau mesin pesawat udara dan/atau baling-baling pesawat terbang yang akan diimpor ke Indonesia, wajib memenuhi standar kelaikan udara Republik Indonesia. (2) Untuk menentukan terpenuhinya standar kelaikan udara Republik Indonesia terhadap pesawat udara, dan/atau mesin pesawat udara dan/atau baling-baling pesawat terbang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib dilaksanakan validasi terhadap sertifikat tipe. (3) Dalam hal pesawat udara, dan/atau mesin pesawat udara, dan/atau baling-baling pesawat terbang yang telah dilaksanakan validasi dan memenuhi standar kelaikan udara Republik Indonesia, Menteri memberikan sertifikat tipe validasi. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sertifikat tipe validasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), diatur dengan Keputusan Menteri. Bagian Ketiga Pembuatan Pesawat Udara, Mesin Pesawat Udara, Balingbaling Pesawat Terbang dan Komponen-komponennya 105

Pasal 16 (1) Pembuatan dan/atau perakitan pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-baling pesawat terbang dan komponenkomponennya hanya dapat dilakukan oleh badan hukum Indonesia yang memiliki sertifikat mutu produksi. (2) Setiap badan hukum Indonesia yang mengajukan sertifikat mutu produksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi : a. rancang bangun/prototipe yang telah memenuhi standar atau lisensi pembuatan berdasarkan perjanjian dengan pihak lain; b. fasilitas dan rencana produksi; c. personil yang berkualifikasi; d. sistem kendali mutu; e. memiliki struktur organisasi perusahaan khususnya bidang kualitas dan produksi. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh sertifikat mutu produksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri. Bagian Keempat Perawatan Pesawat Udara, Mesin Pesawat Udara, Baling-baling Pesawat Terbang dan Komponen-komponennya Pasal 17 (1) Setiap orang atau badan hukum yang mengoperasikan pesawat udara, wajib merawat pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-baling pesawat terbang dan komponenkomponennya untuk mempertahankan keadaan laik udara secara berkesinambungan. (2) Pelaksanaan perawatan pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-baling pesawat terbang dan komponen-komponennya, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hanya dapat dilakukan oleh : a. perusahaan angkutan udara yang bersangkutan; b. badan hukum perusahaan perawatan pesawat udara yang memiliki bidang usaha perawatan; 106

c. (3)

(4)

(5)

(6)

(7)

perorangan pemegang ijazah ahli perawatan pesawat udara. Badan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b, untuk melakukan perawatan pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-baling pesawat terbang dan komponenkomponennya, wajib memiliki sertifikat perusahaan perawatan pesawat udara. Sertifikat perusahaan perawatan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), diberikan oleh Menteri kepada perusahaan perawatan pesawat udara nasional dan/atau perusahaan perawatan pesawat udara asing. Perusahaan angkutan udara yang melaksanakan perawatan pesawat udara dan badan hukum perusahaan perawatan pesawat udara harus memenuhi persyaratan minimal: a. memiliki atau menguasai fasilitas perawatan; b. memiliki personil yang mempunyai kualifikasi sesuai dengan bidang pekerjaannya; c. memiliki buku pedoman sistem prosedur pemeriksaan dan proses pengendalian mutu; d. memiliki studi AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) bagi yang diwajibkan. Perorangan pemegang ijazah ahli perawatan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c, hanya terbatas untuk melakukan perawatan pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-baling pesawat terbang dan komponenkomponennya untuk perusahaan angkutan udara bukan niaga. Ketentuan lebih lanjut mengenai perawatan pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-baling pesawat terbang dan komponen- komponennya, serta sertifikat perusahaan perawatan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (5) dan ayat (6) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 18 (1) Sertifikat perusahaan perawatan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4), dapat diberikan kepada perusahaan perawatan pesawat udara di luar negeri yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (5) dan memiliki sertifikat perusahaan perawatan 107

pesawat udara dari negara yang bersangkutan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian sertifikat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri. Bagian Kelima Sertifikat Kelaikan Udara

(1) (2)

(3)

(4)

(5) (6)

Pasal 19 Setiap pesawat udara yang dipergunakan untuk terbang wajib memiliki sertifikat kelaikan udara. Sertifikat kelaikan udara dibedakan dalam 2 (dua) jenis: a. sertifikat kelaikan udara standar; b. sertifikat kelaikan udara khusus. Sertifikat kelaikan udara standar meliputi sertifikat kelaikan udara standar pertama dan sertifikat kelaikan udara standar lanjutan yang dapat diberikan untuk pesawat terbang kategori transpor, normal, utility, akrobatik, komuter, helikopter kategori normal dan transpor serta balon berpenumpang. Sertifikat kelaikan udara khusus dapat diberikan kepada pesawat udara untuk penggunaan secara terbatas (restricted), sementara (provisional), percobaan (experimental) dan untuk kegiatan penerbangan yang bersifat khusus. Sertifikat kelaikan udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikeluarkan oleh Menteri. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh sertifikat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 20 (1) Persyaratan untuk memperoleh sertifikat kelaikan udara standar pertama adalah: a. telah terdaftar sebagai pesawat udara sipil Indonesia; b. pesawat diproduksi dan telah dilakukan uji terbang produksi dan sesuai dengan kategori sertifikat tipe pesawat udara tersebut; c. telah diperiksa dan dinyatakan sesuai dengan sertifikat tipe dan aman untuk dioperasikan; 108

d. (2)

(3)

(4)

(5)

(6)

memenuhi persyaratan kebisingan dan emisi gas buang yang berlaku. Persyaratan untuk memperoleh sertifikat kelaikan udara standar pertama bagi pesawat udara baru impor harus telah diperiksa dan sesuai dengan sertifikat tipe validasi Indonesia. Persyaratan untuk memperoleh sertifikat kelaikan udara standar pertama bagi pesawat udara bekas impor harus sesuai dengan sertifikat tipe validasi dan/atau sertifikat tipe tambahan validasi dan telah dirawat sesuai dengan program perawatan pabrik pembuat atau dengan program perawatan yang setara. Persyaratan untuk memperoleh sertifikat kelaikan udara standar lanjutan adalah: a. memiliki sertifikat pendaftaran pesawat udara yang masih berlaku; b. pesawat udara telah dirawat sesuai dengan sistem perawatan yang telah disetujui; c. telah diperiksa dan diuji; d. telah memenuhi persyaratan kelaikan udara yang berlaku. Persyaratan untuk memperoleh sertifikat kelaikan udara standar lanjutan bagi pesawat udara yang telah mengalami perubahan/ kerusakan yang dapat mempengaruhi performansi, kekuatan struktur, keandalan dan karakteristik terbang harus diuji dan dikembalikan ke standar sertifikat tipe pesawat udara tersebut. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan memperoleh sertifikat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 21 (1) Untuk keperluan ekspor pesawat udara dapat dikeluarkan sertifikat kelaikan udara untuk ekspor. (2) Sertifikat kelaikan udara untuk ekspor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diberikan kepada suatu produk yang akan diekspor ke negara lain apabila produk yang diekspor telah memenuhi sertifikat tipe atau desain standar yang ditentukan oleh negara pengimpor dan telah memenuhi persyaratan pengoperasian dari negara pengimpor tersebut.

109

BAB IV PENGGUNAAN DAN PENGOPERASIAN PESAWAT UDARA Bagian Pertama Penggunaan Pesawat Udara Pasal 22 (1) Pesawat udara sipil dapat digunakan untuk kegiatan angkutan penumpang, barang dan/atau pos, pengangkutan orang sakit, penyemprotan hama, kebakaran hutan dan hujan buatan, survey dan/atau pemetaan, penanggulangan pencemaran lingkungan, peneraan, olah raga dan/atau rekreasi, akrobatik dan demonstrasi, terjun payung, promosi/publikasi dan menarik glider, pencarian dan pertolongan, pendidikan, penelitian dan pengembangan, dan untuk kegiatan lainnya. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara penggunaan pesawat udara sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 23 Penggunaan dan pengoperasian pesawat udara negara diatur oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang masing-masing. Bagian Kedua Pengoperasian Pesawat Udara Pasal 24 Pengoperasian pesawat udara untuk angkutan udara niaga hanya dapat dilakukan oleh operator pesawat udara yang memiliki sertifikat operator pesawat udara dari Menteri. Pasal 25 (1) Untuk mendapatkan sertifikat operator pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki izin usaha angkutan udara niaga; b. memiliki dan/atau menguasai pesawat udara sesuai dengan studi kelayakan atau rencana pengoperasian; 110

c.

memiliki dan/atau menguasai fasilitas untuk kepentingan operasi dan perawatan pesawat udara; d. memiliki dan/atau menguasai personil pesawat udara yang memenuhi persyaratan; e. memiliki organisasi yang mengatur pengoperasian pesawat udara; f. memiliki buku petunjuk spesifikasi perawatan dan pengoperasian pesawat udara; g. memiliki program pendidikan dan pelatihan personil pesawat udara. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara mendapatkan sertifikat operator pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 26 (1) Pemegang sertifikat operator pesawat udara wajib: a. melaksanakan pengoperasian pesawat udara sesuai dengan spesifikasi operasi yang telah disetujui; b. melaksanakan perawatan pesawat udara sesuai dengan spesifikasi perawatan yang telah disetujui; c. memiliki fasilitas dan melaksanakan persiapan serta pemantauan penerbangan; d. mempertahankan keandalan operasional pesawat udara; e. melaporkan setiap perubahan atau rencana perubahan yang berpengaruh terhadap ketentuan dan/atau batasan yang telah ditetapkan dalam sertifikat operator pesawat udara; f. mempertahankan kecakapan dan kemampuan personil pesawat udara; g. melaporkan setiap kejadian kerusakan atau tidak berfungsinya salah satu sistem atau komponen pesawat udara yang dapat mengganggu keselamatan terbang. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan kewajiban pemegang sertifikat operator pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 27 111

(1) Setiap operator pesawat udara untuk tujuan angkutan udara bukan niaga wajib memiliki sertifikat pengoperasian pesawat udara. (2) Persyaratan untuk mendapatkan sertifikat pengoperasian pesawat udara meliputi: a. memiliki izin kegiatan angkutan udara bukan niaga; b. memiliki dan/atau menguasai pesawat udara sesuai dengan rencana operasi; c. memiliki dan/atau menguasai personil pesawat udara; d. memiliki spesifikasi pengoperasian dan perawatan pesawat udara. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara mendapatkan sertifikat pengoperasian pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 28 (1) Pemegang sertifikat pengoperasian pesawat udara wajib: a. melaksanakan pengoperasian pesawat udara sesuai dengan spesifikasi operasi yang telah disetujui; b. melaksanakan perawatan pesawat udara sesuai dengan program perawatan yang telah disetujui; c. mempertahankan kelaikan udara dari pesawat udara yang dioperasikan; d. mempertahankan kecakapan dan kemampuan personil pesawat udara. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan kewajiban pemegang sertifikat pengoperasian pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri. Bagian Ketiga Pemeriksaan Keandalan Operasional Pesawat Udara Pasal 29 pemeriksaan

(1) Menteri melakukan keandalan operasional pesawat udara. (2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan 112

terhadap dipenuhinya persyaratan keandalan operasional pesawat udara. (3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), meliputi: a. rancang bangun pesawat udara, mesin pesawat udara dan baling-baling pesawat terbang dan komponennya; b. pembuatan pesawat udara, mesin pesawat udara dan baling-baling pesawat terbang dan komponennya; c. perawatan pesawat udara, mesin pesawat udara dan baling-baling pesawat terbang dan komponennya; d. kelaikan pesawat udara; e. operator pesawat udara; f. pencegahan pencemaran lingkungan; g. personil pesawat udara; h. personil lain yang diberikan wewenang; i. fasilitas perawatan pesawat udara. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), diatur dengan Keputusan Menteri. Bagian Keempat Tanda Pendaftaran dan Kebangsaan Pesawat Udara

(1)

(2)

(3)

(4)

Pasal 30 Setiap warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia yang memiliki dan/atau menguasai pesawat udara yang akan dioperasikan di Indonesia wajib mendaftarkan pesawat udaranya. Setiap warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia yang menguasai pesawat udara milik warga negara asing atau badan hukum asing yang akan dioperasikan di Indonesia wajib mendaftarkan pesawat udaranya berdasarkan suatu perjanjian sewa beli, sewa guna usaha atau bentuk perjanjian lainnya untuk jangka waktu pemakaian minimal 2 (dua) tahun secara terus menerus. Menteri dapat memberikan sertifikat pendaftaran bagi pesawat udara yang didaftarkan dan memenuhi persyaratan pendaftaran. Sertifikat pendaftaran pesawat udara sebagaimana dimaksud 113

dalam ayat (3), berisi tanda kebangsaan dan tanda pendaftaran untuk pesawat terbang, helikopter dan balon berpenumpang. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), diatur dengan Keputusan Menteri.

(1) (2) (3)

(4)

Pasal 31 Tanda kebangsaan pesawat udara Indonesia terdiri dari dua huruf yang menunjukkan identitas Indonesia. Tanda pendaftaran pesawat udara Indonesia terdiri dari tiga huruf atau tiga angka. Pesawat udara Indonesia yang telah memiliki tanda kebangsaan wajib dilengkapi dengan bendera negara Republik Indonesia. Ukuran, warna, penempatan tanda kebangsaan, tanda pendaftaran dan bendera sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 32 Pendaftaran dan tanda kebangsaan untuk pesawat udara negara, diatur oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang masing-masing. Pasal 33 (1) Penghapusan tanda kebangsaan dan tanda pendaftaran pesawat udara dapat dilakukan oleh Menteri: a. atas permintaan pemilik; b. apabila pesawat udara sengaja dirusak; c. apabila pesawat udara rusak total akibat kecelakaan; d. apabila pesawat udara tidak akan digunakan lagi; e. apabila masa kontrak sewa menyewa berakhir; f. pesawat udara tidak sedang dibebani hipotek. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan tanda kebangsaan dan tanda pendaftaran pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri. BAB V 114

KEAMANAN DAN KESELAMATAN BANDAR UDARA Bagian Pertama Sertifikasi Operasi Bandar Udara Pasal 34 (1) Setiap penyelenggara bandar udara wajib memiliki sertifikat operasi bandar udara yang diberikan oleh Menteri. (2) Persyaratan untuk memperoleh sertifikat operasi bandar udara, adalah sekurang-kurangnya: a. tersedianya fasilitas dan/atau peralatan penunjang penerbangan yang memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan penerbangan yang disesuaikan dengan kelasnya; b. memiliki prosedur pelayanan jasa bandar udara; c. memiliki buku petunjuk pengoperasian, penanggulangan keadaan gawat darurat, perawatan, program pengamanan bandar udara dan higiene dan sanitasi; d. tersedia personil yang memiliki kualifikasi untuk pengoperasian, perawatan dan pelayanan jasa bandar udara; e. memiliki daerah lingkungan kerja bandar udara, peta kontur lingkungan bandar udara, peta situasi pembagian sisi darat dan sisi udara; f. memiliki kawasan keselamatan operasi penerbangan di sekitar bandar udara yang meliputi : 1) kawasan pendekatan dan lepas landas; 2) kawasan kemungkinan bahaya kecelakaan; 3) kawasan di bawah permukaan horizontal dalam; 4) kawasan di bawah permukaan horizontal luar; 5) kawasan di bawah permukaan kerucut; 6) kawasan di bawah permukaan transisi; 7) kawasan di sekitar penempatan alat bantu navigasi penerbangan; g. memiliki peta yang menunjukkan lokasi/ koordinat penghalang dan ketinggiannya yang dapat membahayakan keselamatan penerbangan; h. memiliki fasilitas pertolongan kecelakaan penerbangan dan 115

pemadam kebakaran sesuai dengan kategorinya; i. memiliki berita acara evaluasi/uji coba yang menyatakan laik untuk dioperasikan; dan j. struktur organisasi penyelenggara bandar udara. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan keamanan dan keselamatan penerbangan dan sertifikasi operasi bandar udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri. Bagian Kedua Sisi Darat dan Sisi Udara dalam Wilayah Bandar Udara Pasal 35 Untuk kepentingan keamanan dan keselamatan bandar udara, penyelenggara bandar udara menetapkan batas sisi darat dan sisi udara serta mengatur penggunaannya. Pasal 36 (1) Penetapan serta penggunaan sisi darat dan sisi udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dilakukan dengan memperhatikan: a. keamanan dan keselamatan penerbangan; b. kelancaran operasi penerbangan; dan c. kelancaran pelayanan jasa kebandarudaraan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan dan penggunaan sisi darat dan sisi udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri.

116

Bagian Ketiga Peralatan Penunjang Fasilitas Penerbangan dan Operasi Bandar Udara Pasal 37 (1) Peralatan penunjang fasilitas penerbangan yang dipergunakan dalam pemberian pelayanan keamanan dan keselamatan penerbangan meliputi: a. peralatan pendeteksi bahan organik dan non organik; b. peralatan pemantau lalu lintas orang, barang, kendaraan dan pesawat udara di bandar udara. (2) Penyediaan peralatan penunjang fasilitas penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dengan memperhatikan: a. kebutuhan operasional dan keamanan bandar udara; b. perkembangan teknologi; dan c. keandalan peralatan penunjang fasilitas penerbangan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peralatan penunjang fasilitas penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 38 (1) Untuk menunjang kelancaran operasi bandar udara disediakan peralatan penunjang operasi bandar udara. (2) Peralatan penunjang operasi bandar udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus memenuhi persyaratan keandalan. (3) Menteri melakukan pemeriksaan terhadap keandalan peralatan penunjang operasi bandar udara. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai peralatan penunjang operasi bandar udara dan persyaratan serta pemeriksaan keandalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), diatur dengan Keputusan Menteri.

117

Bagian Keempat Penanggulangan Gawat Darurat

(1) (2)

(3) (4)

(5)

Pasal 39 Penyelenggara bandar udara wajib memiliki kemampuan dalam melaksanakan penanggulangan gawat darurat di bandar udara. Penanggulangan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan secara terpadu dengan melibatkan instansi terkait di luar dan di dalam bandar udara. Penyelenggara bandar udara wajib melaksanakan latihan penanggulangan gawat darurat. Pelaksanaan penanggulangan gawat darurat dan pelaksanaan latihan penanggulangan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3), dilaporkan kepada Menteri. Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggulangan gawat darurat dan latihan penanggulangan gawat darurat serta pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri. Bagian Kelima Rambu, Marka dan Isyarat

Pasal 40 (1) Penyelenggara bandar udara wajib memasang rambu dan marka pada sisi udara dan sisi darat bandar udara. (2) Rambu dan marka sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berfungsi untuk memberikan larangan, perintah, peringatan dan petunjuk. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rambu dan marka serta pemasangannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 41 (1) Penyelenggara bandar udara wajib memberikan isyarat kepada pesawat udara sesuai dengan kebutuhan. (2) Isyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat berupa isyarat lampu, isyarat elektronika, isyarat bendera dan isyarat fisik. 118

(3) Isyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berfungsi untuk memberikan larangan, perintah, peringatan dan petunjuk. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai isyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), diatur dengan Keputusan Menteri. Bagian Keenam Pelayanan Pergerakan Pesawat Udara di Bandar Udara Pasal 42 (1) Penyelenggara bandar udara wajib memberikan pelayanan terhadap pesawat udara yang akan melakukan parkir di bandar udara. (2) Pelayanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat berupa: a. pemanduan terhadap pesawat udara yang akan melakukan pergerakan di pelataran parkir pesawat udara; b. penyediaan peralatan penunjang parkir pesawat udara. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 43 (1) Penyelenggara bandar udara wajib memberitahukan kepada Menteri apabila terdapat perubahan kondisi bandar udara yang dapat mengganggu atau membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan maupun untuk kepentingan khusus. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 44 (1) Menteri menerbitkan buku publikasi informasi aeronautika Indonesia. (2) Buku publikasi informasi aeronautika Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang-kurangnya memuat informasi mengenai: a. informasi umum penerbangan; b. pelayanan navigasi penerbangan; dan c. bandar udara. 119

(3) Buku publikasi informasi aeronautika Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), didistribusikan kepada komunitas penerbangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerbitan dan pendistribusian buku publikasi informasi aeronautika Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 45 (1) Penyelenggara bandar udara wajib menyediakan informasi aeronautika dan informasi cuaca bandar udara setempat, bandar udara tujuan, jalur penerbangan dan bandar udara alternatif untuk penerbang. (2) Informasi aeronautika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya berupa: a. buku publikasi informasi aeronautika Indonesia; b. berita bagi komunitas penerbangan; c. peta-peta navigasi penerbangan; dan d. buku informasi aeronautika negara lain yang mempunyai hubungan penerbangan dengan bandar udara tersebut. (3) Informasi cuaca sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dibuat atau disiapkan oleh Badan Meteorologi dan Geofisika. Pasal 46 (1) Untuk keamanan dan keselamatan penerbangan, penyelenggara bandar udara dalam keadaan tertentu dapat menutup untuk sementara sebagian atau keseluruhan landasan pacu, penghubung landasan pacu atau pelataran parkir pesawat udara. (2) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat berupa: a. bencana alam; b. huru hara; c. kecelakaan pesawat udara di landasan pacu, penghubung landasan pacu atau pelataran parkir pesawat udara; d. pembangunan, perbaikan, pemeliharaan dan perawatan landasan pacu, jalan penghubung atau pelataran parkir pesawat udara; dan 120

e.

keadaan tertentu lainnya yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan. (3) Penyelenggara bandar udara wajib memberitahukan kepada Kapten Penerbang, operator dan bandar udara lainnya mengenai penutupan landasan pacu, penghubung landasan pacu atau pelataran parkir pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (4) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib dilaporkan kepada Menteri. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penutupan landasan pacu, penghubung landasan pacu atau pelataran parkir pesawat udara, serta pemberitahuan dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 47 (1) Penyelenggara bandar udara wajib menyediakan atau menunjuk bagian dari wilayah bandar udara sebagai tempat terisolasi untuk penempatan pesawat udara yang mengalami gangguan atau ancaman keamanan. (2) Penyediaan atau penunjukan tempat terisolasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan dengan memperhatikan: a. keselamatan penumpang, awak pesawat udara, petugas di bandar udara, masyarakat pengguna jasa angkutan udara lainnya dan masyarakat di sekitar bandar udara; b. keselamatan pesawat udara; dan c. keselamatan fasilitas penunjang penerbangan dan fasilitas penunjang bandar udara. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyediaan atau penunjukan tempat terisolasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 48 (1) Jam operasi bandar udara guna pelayanan penerbangan ditetapkan oleh Menteri. (2) Penetapan jam operasi bandar udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan: 121

a. keamanan dan keselamatan penerbangan; b. kemampuan bandar udara melayani pesawat udara; c. permintaan pasar; dan d. pertumbuhan ekonomi. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan jam operasi bandar udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 49 (1) Dalam keadaan tertentu penyelenggara bandar udara dapat menambah jam operasi bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan dengan memperhatikan: a. keamanan dan keselamatan penerbangan; b. kemampuan bandar udara dalam melayani pesawat udara; dan c. kelancaran operasi bandar udara. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penambahan jam operasi bandar udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 50 (1) Penyelenggara bandar udara wajib menjaga lingkungan bandar udara guna menghindari terjadinya: a. populasi burung di lingkungan kerja bandar udara; b. populasi binatang lain yang berkeliaran di sisi udara; c. gangguan terhadap higiene dan sanitasi; d. gangguan kebisingan; dan e. gangguan lainnya yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban menjaga lingkungan bandar udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 51 (1) Penyelenggara bandar udara dapat segera melaksanakan 122

pemindahan pesawat udara yang mengalami kecelakaan di wilayah sisi udara, setelah mendapat persetujuan dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi. (2) Biaya pelaksanaan pemindahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menjadi beban perusahaan angkutan udara, badan hukum atau perorangan yang mengoperasikan pesawat udara dimaksud. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemindahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri. Bagian Ketujuh Pemeriksaan Keamanan di Bandar Udara Pasal 52 Setiap orang, barang, kendaraan yang memasuki sisi udara, wajib melalui pemeriksaan keamanan. Pasal 53 (1) Personil pesawat udara, penumpang, bagasi, kargo dan pos yang akan diangkut dengan pesawat udara wajib melalui pemeriksaan keamanan. (2) Pemeriksaan keamanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat dilakukan dengan atau tanpa menggunakan alat bantu. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan keamanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 54 (1) Terhadap penyandang cacat dan orang sakit, penumpang VIP dan penumpang khusus lainnya, dilakukan pemeriksaan keamanan secara khusus. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeriksaan keamanan secara khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 55 Terhadap bagasi dari penumpang yang batal berangkat 123

dan/atau bagasi yang tidak bersama pemiliknya, wajib dilakukan pemeriksaan keamanan ulang untuk dapat diangkut dengan pesawat udara. Pasal 56 (1) Kargo dan pos yang belum dapat diangkut oleh pesawat udara disimpan di tempat khusus yang disediakan di bandar udara. (2) Tempat penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus aman dari gangguan yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tempat penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 57 (1) Kantong diplomatik yang bersegel diplomatik, tidak boleh dibuka. (2) Dalam hal terdapat dugaan yang kuat kantong diplomatik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan, perusahaan angkutan udara dapat menolak untuk mengangkut kantong diplomatik. (3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(1)

(2)

(3)

(4)

Pasal 58 Bahan dan/atau barang berbahaya yang akan diangkut dengan pesawat udara wajib memenuhi ketentuan pengangkutan bahan dan/atau barang berbahaya. Perusahaan angkutan udara wajib memberitahukan kepada Kapten Penerbang bilamana terdapat bahan dan/atau barang berbahaya yang diangkut dengan pesawat udara. Bahan dan/atau barang berbahaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang belum dapat diangkut, disimpan pada tempat penyimpanan yang disediakan khusus untuk penyimpanan barang berbahaya. Apabila pada waktu penempatan di pesawat udara terjadi 124

kerusakan pada kemasan, label atau marka, maka bahan dan/atau barang berbahaya dimaksud harus diturunkan dari pesawat udara. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkutan dan penyimpanan bahan dan/atau barang berbahaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), diatur dengan Keputusan Menteri dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 59 (1) Agen pengangkut yang menangani bahan dan/atau barang berbahaya yang akan diangkut dengan pesawat udara harus mendapatkan pengesahan dari perusahaan angkutan udara. (2) Agen pengangkut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus melakukan pemeriksaan, pengemasan, pelabelan dan penyimpanan bahan dan/atau barang berbahaya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai agen pengangkut dan ketentuan tentang penanganan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 60 (1) Penumpang pesawat udara yang membawa senjata wajib melaporkan dan menyerahkannya kepada perusahaan angkutan udara. (2) Senjata yang diterima oleh perusahaan angkutan udara untuk diangkut, disimpan pada tempat tertentu di pesawat udara yang tidak dapat dijangkau oleh penumpang pesawat udara. (3) Pemilik senjata diberi tanda terima sebagai tanda bukti penerimaan senjata oleh perusahaan angkutan udara. (4) Perusahaan angkutan udara bertanggung jawab atas keamanan senjata yang diterima sampai dengan diserahkan kembali kepada pemiliknya di bandar udara tujuan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerimaan, penyimpanan dan penyerahan senjata sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), diatur dengan Keputusan Menteri.

125

Pasal 61 (1) Penyelenggara bandar udara atau perusahaan angkutan udara wajib melaporkan kepada Kepolisian dalam hal mengetahui adanya barang tidak dikenal yang patut diduga dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan dan penanganan terhadap barang yang tidak dikenal yang patut diduga dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri. Bagian Kedelapan Perawatan, Pemeriksaan dan Pelaporan

(1)

(2)

(3)

(4)

Pasal 62 Penyelenggara bandar udara wajib melakukan perawatan dan pemeriksaan secara berkala terhadap peralatan penunjang penerbangan. Dalam hal terjadi perubahan kemampuan dan/atau dilakukan pengembangan terhadap peralatan penunjang penerbangan, penyelenggara bandar udara wajib melaporkan kepada Menteri. Menteri melakukan pemeriksaan terhadap keandalan peralatan penunjang penerbangan serta pelaksanaan pengoperasian dan pelayanan jasa bandar udara. Ketentuan lebih lanjut mengenai perawatan, pemeriksaan dan pelaporan terhadap peralatan penunjang penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), diatur dengan Keputusan Menteri. BAB VI RUANG UDARA DAN LALU LINTAS UDARA Bagian Pertama Tatanan Ruang Udara

Pasal 63 (1) Menteri menetapkan batas-batas penggunaan ruang udara 126

untuk kepentingan pelayanan navigasi penerbangan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Indonesia. (2) Batas-batas penggunaan ruang udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), didasarkan pada perjanjian antarnegara dalam hal: a. negara lain diberikan tanggung jawab atas pelayanan navigasi penerbangan di dalam wilayah udara Indonesia; atau b. Indonesia memperoleh tanggung jawab atas pelayanan navigasi penerbangan di luar wilayah udara Indonesia. (3) Pelaksanaan perjanjian antarnegara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilakukan oleh Menteri setelah mendengar pertimbangan dari instansi terkait. Pasal 64 (1) Ruang udara dalam wilayah udara Indonesia terdiri dari ruang udara yang dikendalikan dan ruang udara yang tidak dikendalikan. (2) Ruang udara yang dikendalikan dan ruang udara yang tidak dikendalikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diklasifikasikan dengan mempertimbangkan sekurangkurangnya: a. keselamatan operasional penerbangan; b. kepadatan lalu lintas udara; c. kemampuan fasilitas komunikasi penerbangan; d. kemampuan fasilitas bantu navigasi penerbangan; e. kemampuan pengamatan lalu lintas udara; f. kemampuan navigasi pesawat udara; dan g. efektivitas dan efisiensi operasi penerbangan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai ruang udara yang dikendalikan dan ruang udara yang tidak dikendalikan serta penetapan kelas ruang udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 65 Menteri menetapkan jalur lalu lintas udara dalam ruang udara dengan mempertimbangkan sekurang-kurangnya: a. keselamatan operasi penerbangan; 127

b. c. d. e. f. g. h.

kemampuan navigasi pesawat udara; kemampuan fasilitas komunikasi penerbangan; kemampuan fasilitas bantu navigasi penerbangan; kepadatan lalu lintas udara; efektivitas dan efisiensi operasi penerbangan; bandar udara keberangkatan dan bandar udara tujuan; dan daerah latihan militer atau peluncuran roket/satelit.

Pasal 66 (1) Untuk menjamin keselamatan operasi penerbangan, ditetapkan kawasan udara terlarang, kawasan udara terbatas dan kawasan udara berbahaya. (2) Kawasan udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memiliki batas-batas vertikal dan horizontal. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kawasan udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri setelah mendengar pertimbangan Menteri yang bertanggung jawab di bidang Pertahanan Negara dan/atau Menteri terkait lainnya. Pasal 67 (1) Terhadap pelanggaran wilayah udara Republik Indonesia dan/atau kawasan udara terlarang oleh pesawat udara sipil, dilaksanakan penegakan hukum yang harus menjamin keselamatan dan keamanan awak pesawat, penumpang dan pesawat udara. (2) Penegakan hukum terhadap pelanggaran wilayah udara dan/atau kawasan udara terlarang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penegakan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang pertahanan setelah mendengar pendapat Menteri dan menteri terkait lainnya.

128

Bagian Kedua Fasilitas Penerbangan

(1)

(2)

(3) (4)

Pasal 68 Fasilitas penerbangan yang dipergunakan dalam pemberian pelayanan lalu lintas udara meliputi: a. komunikasi penerbangan; b. navigasi penerbangan; c. pengamatan penerbangan; d. peralatan bantu pendaratan. Penyediaan fasilitas penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dengan memperhatikan: a. kebutuhan operasional lalu lintas udara; b. perkembangan teknologi; dan c. keandalan fasilitas penerbangan. Setiap fasilitas penerbangan yang dioperasikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus dikalibrasi secara berkala. Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitas penerbangan dan kalibrasi fasilitas penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri. Bagian Ketiga Tata Cara Berlalu Lintas Udara

Pasal 69 (1) Kapten Penerbang dalam pengoperasian pesawat udara wajib memenuhi ketentuan tata cara berlalu lintas udara yang sekurang- kurangnya meliputi: a. pergerakan pesawat udara di udara dan urutan prioritas pelayanan lalu lintas udara; b. batas ketinggian; c. kawasan udara terlarang, terbatas dan berbahaya; d. jarak vertikal dan horizontal; e. aturan ambang batas kebisingan; f. penarikan benda di udara termasuk pesawat layang; g. uji coba penerbangan, akrobatik dan demonstrasi; h. isyarat darurat apabila mengetahui pesawat udaranya berada di kawasan udara terlarang, terbatas dan 129

berbahaya; i. lepas landas, pendaratan dan pergerakan di darat atau air; j. penggunaan lampu navigasi pesawat udara; k. isyarat-isyarat untuk penyampaian informasi atau memberikan perhatian kepada pesawat udara lainnya; dan l. jam kerja operasi bandar udara. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara berlalu lintas udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 70 (1) Kapten Penerbang wajib mematuhi rencana penerbangan yang telah ditetapkan. (2) Penyimpangan terhadap rencana penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat dilakukan untuk alasan keselamatan penerbangan dengan ketentuan : a. melaporkan kepada pemandu lalu lintas udara yang berwenang dalam hal pesawat udara berada di ruang udara yang dikendalikan; dan b. menyampaikan informasi penyimpangan rencana penerbangan kepada pusat informasi penerbangan terdekat dalam hal pesawat udara berada di ruang udara yang tidak dikendalikan. (3) Kapten Penerbang atau awak pesawat lainnya atau operator pesawat udara wajib melaporkan kepada pejabat yang berwenang mengenai pendaratan darurat yang dilakukan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana penerbangan dan penyimpangan terhadap rencana penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 71 (1) Setiap orang dilarang membuang benda apapun dari pesawat udara selama dalam penerbangan. (2) Pembuangan benda apapun dari pesawat udara hanya dapat dilakukan dalam keadaan darurat penerbangan oleh dan/atau atas izin Kapten Penerbang. (3) Dalam melaksanakan pembuangan sebagaimana dimaksud 130

dalam ayat (2), Kapten Penerbang harus melaporkan daerah pembuangan kepada pemandu lalu lintas udara. (4) Pembuangan benda apapun dari pesawat udara dan daerah pembuangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3), dilakukan dengan memperhatikan: a. keselamatan pesawat udara dan penumpang; b. keselamatan penduduk dan harta bendanya di wilayah pembuangan; c. kelestarian lingkungan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembuangan benda dari pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 72 (1) Pesawat udara dalam keadaan darurat penerbangan berhak mendapatkan prioritas pelayanan lalu lintas udara. (2) Pemberian prioritas pelayanan lalu lintas udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), didasarkan atas laporan keadaan darurat penerbangan dari Kapten Penerbang atau personil pesawat udara lainnya. (3) Pemandu lalu lintas udara wajib mengambil tindakan dalam batas wewenangnya yang diperlukan untuk menjamin keselamatan pesawat udara yang mengalami keadaan darurat dari pengguna jasa pelayanan lalu lintas udara lainnya. Bagian Keempat Pelayanan Lalu Lintas Udara Pasal 73 (1) Pelayanan lalu lintas udara diselenggarakan oleh Pemerintah dan pelaksanaannya dapat dilimpahkan sebagian atau seluruhnya kepada Badan Usaha Milik Negara yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. (2) Setiap pesawat udara yang beroperasi di ruang udara Indonesia diberikan pelayanan lalu lintas udara. (3) Pelayanan lalu lintas udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), dilakukan dengan memperhatikan: 131

a. status penerbangan; b. manajemen lalu lintas udara; c. fasilitas komunikasi penerbangan; d. fasilitas bantu navigasi penerbangan; e. fasilitas pengamatan penerbangan; f. fasilitas bantu pendaratan; g. fasilitas meteorologi; h. informasi aeronautika; i. kemampuan personil; dan j. hal-hal khusus. (4) Pelayanan lalu lintas udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi: a. pelayanan pengendalian ruang udara jelajah; b. pelayanan pengendalian ruang udara pendekatan; c. pelayanan pengendalian ruang udara di bandar udara termasuk pelayanan pendaratan dan lepas landas pesawat udara; d. pelayanan pengamatan; e. pelayanan pengendalian arus penerbangan; f. pelayanan informasi penerbangan; g. koordinasi antar pengendali lalu lintas udara atau dengan instansi terkait lainnya; dan h. pelayanan berita lalu lintas udara. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan lalu lintas udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 74 (1) Pelayanan lalu lintas udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 dilaksanakan oleh unit pelayanan lalu lintas udara yang terdiri dari: a. pusat pengendalian ruang udara jelajah; b. pusat pengendalian ruang udara pendekatan; c. pusat pengendalian ruang udara di bandar udara; d. pusat informasi penerbangan; e. pusat informasi penerbangan bandar udara; dan f. unit pelayanan lalu lintas udara lainnya sesuai dengan kebutuhan. 132

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai unit pelayanan lalu lintas udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 75 Penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan yang memberikan pelayanan lalu lintas udara wajib melakukan peningkatan kualitas sumber daya manusia, fasilitas penerbangan dan pelayanan lalu lintas udara sesuai dengan kebutuhan dan dengan memperhatikan perkembangan teknologi penerbangan. Bagian Kelima Pelayanan Lalu Lintas Udara di Bandar Udara Khusus

(1)

(2)

(3)

(4)

Pasal 76 Pelayanan lalu lintas udara di bandar udara khusus diselenggarakan oleh Pemerintah yang pelaksanaannya dapat dilimpahkan sebagian atau seluruhnya kepada Badan Usaha Milik Negara yang didirikan untuk maksud tersebut. Biaya yang timbul sebagai akibat pelayanan lalu lintas udara yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibebankan kepada pengelola bandar udara khusus. Pengelola bandar udara khusus wajib menyediakan, memelihara dan merawat fasilitas komunikasi penerbangan, fasilitas bantu navigasi udara, pengamatan, fasilitas bantu pendaratan, meteorologi, informasi aeronautika, untuk pelayanan lalu lintas udara. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan lalu lintas udara di bandar udara khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), diatur dengan Keputusan Menteri.

133

BAB VII PERSONIL DAN KESEHATAN PENERBANGAN Bagian Pertama Personil Penerbangan

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

Pasal 77 Personil Penerbangan meliputi: a. Personil Pesawat Udara; b. Personil Pelayanan Keamanan dan Keselamatan Penerbangan. Personil Pesawat Udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a meliputi: a. Personil Operasi Pesawat Udara; b. Personil Penunjang Operasi Pesawat Udara. Personil Operasi Pesawat Udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a meliputi: a. Penerbang; b. Juru Mesin Pesawat Udara; c. Juru Navigasi Pesawat Udara. Personil Penunjang Operasi Pesawat Udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b meliputi: a. Personil Ahli Perawatan Pesawat Udara; b. Personil Penunjang Operasi Penerbangan; c. Personil Kabin. Personil Pelayanan Keamanan dan Keselamatan Penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b meliputi: a. personil pelayanan navigasi penerbangan; b. personil pelayanan pengoperasian bandar udara; dan c. personil pelayanan keamanan dan keselamatan perusahaan angkutan udara.

Pasal 78 (1) Personil Penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1), wajib memiliki sertifikat kecakapan yang sah dan masih berlaku. (2) Sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diberikan oleh Menteri dengan memperhatikan: 134

a. usia; b. sehat jasmani dan rohani; c. lulus ujian kecakapan dan keterampilan. (3) Sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diperoleh setelah terlebih dahulu mengikuti pendidikan dan pelatihan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri. Bagian Kedua Kewajiban Personil Penerbangan Pasal 79 (1) Personil penerbangan yang telah memiliki sertifikat kecakapan diwajibkan: a. mematuhi ketentuan sesuai dengan sertifikat kecakapan yang dimiliki; b. mempertahankan kecakapan dan kemampuan yang dimiliki; c. mematuhi ketentuan pemeriksaan kesehatan secara berkala. (2) Personil penerbangan yang akan melaksanakan tugas diwajibkan: a. memiliki sertifikat sesuai dengan tugas yang akan dilaksanakan; b. dalam keadaan kondisi sehat jasmani dan rohani; c. cakap dan mampu untuk melaksanakan tugas. (3) Personil penerbangan selama melaksanakan tugas diwajibkan mematuhi seluruh ketentuan peraturan keamanan dan keselamatan penerbangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban personil penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri.

135

Bagian Ketiga Wewenang Kapten Penerbang

(1)

(2)

(3)

(4)

Pasal 80 Dalam melaksanakan tugas selama terbang, Kapten Penerbang Pesawat Udara bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan penerbangan. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Kapten Penerbang mempunyai wewenang untuk melakukan tindakan-tindakan pencegahan terjadinya gangguan keamanan dan keselamatan penerbangan. Tindakan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), meliputi: a. mengambil tindakan pengamanan terhadap penumpang atau kondisi darurat lainnya yang dapat mengganggu atau membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan; b. menurunkan dan/atau menyerahkan pelaku yang diduga mengganggu atau membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, kepada pejabat yang berwenang pada bandar udara terdekat. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dalam melaksanakan tindakan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), diatur dengan Keputusan Menteri. Bagian Keempat Wewenang Personil Operasi Pesawat Udara dan Personil Kabin

Pasal 81 (1) Selama melaksanakan tugas, personil operasi pesawat udara dan/atau personil kabin wajib membantu Kapten Penerbang atas keamanan dan keselamatan penerbangan. (2) Dalam keadaan darurat selama penerbangan, personil operasi pesawat udara dan/atau personil kabin dapat berbuat atau bertindak di luar peraturan yang berlaku, atas perintah Kapten Penerbang. 136

Bagian Kelima Wewenang Personil Penunjang Operasi Pesawat Udara Pasal 82 (1) Dalam melaksanakan tugas personil penunjang operasi pesawat udara bertanggung jawab atas kesiapan pesawat udara untuk melakukan penerbangan. (2) Dalam melaksanakan tugas personil penunjang operasi pesawat udara dapat menunda penerbangan karena alasan tertentu dengan berkoordinasi dengan Kapten Penerbang. Bagian Keenam Pendidikan dan Pelatihan Personil Penerbangan

(1) (2)

(3)

(4)

Pasal 83 Pendidikan dan pelatihan personil penerbangan terdiri dari jenis dan jenjang. Pendidikan dan pelatihan personil penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau badan hukum Indonesia. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan personil penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib mendapat izin dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendidikan nasional setelah mendengar pertimbangan dari Menteri. Untuk menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan personil penerbangan wajib dipenuhi persyaratan : a. memiliki izin penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan dari instansi yang berwenang; b. memiliki organisasi yang mengatur penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan personil penerbangan; c. memiliki jumlah tenaga pendidik yang cukup dan berkualifikasi sesuai jenis dan jenjang pendidikan dan pelatihan; d. memiliki buku petunjuk tata cara tentang penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan; e. memiliki silabus pendidikan dan pelatihan yang sesuai jenis dan jenjang serta mengacu kepada sistem pendidikan 137

(5)

(6)

(7)

(8)

di Indonesia; f. memiliki fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan sesuai dengan jenis dan jenjang dari pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan. Penyelenggara pendidikan dan pelatihan personil penerbangan yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), diberikan sertifikat oleh Menteri. Sertifikat penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan personil penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), berlaku sepanjang masih melakukan kegiatan pendidikan dan pelatihan personil penerbangan serta memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4). Menteri berkewajiban melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan personil penerbangan untuk menjamin pemenuhan terhadap persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4). Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan jenjang pendidikan dan pelatihan serta persyaratan dan tata cara untuk mendapatkan sertifikat penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan personil penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 84 (1) Pemegang sertifikat penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan personil penerbangan berkewajiban untuk: a. melaksanakan jenis pendidikan dan pelatihan sesuai dengan sertifikat yang diberikan; b. mempertahankan mutu pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan; c. membuat perencanaan dan pelaporan untuk setiap penyelenggaraan paket pendidikan dan pelatihan; d. melaporkan setiap perubahan yang terjadi dalam penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam sertifikat yang diberikan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pemegang sertifikat penyelenggara pendidikan dan pelatihan personil penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan 138

Keputusan Menteri. Pasal 85 (1) Sertifikat penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan personil penerbangan dapat dibekukan, direvisi atau dicabut. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembekuan, revisi dan pencabutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 86 (1) Sertifikat penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan personil penerbangan dapat diberikan kepada penyelenggara di luar negeri dengan cara memvalidasi sertifikat yang dikeluarkan oleh negara setempat. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh sertifikat penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan personil penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri. Bagian Kedelapan Kesehatan Penerbangan Pasal 87 (1) Pelayanan kesehatan penerbangan diselenggarakan oleh Pemerintah dan pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada badan hukum Indonesia atau perorangan yang mempunyai kualifikasi kesehatan penerbangan. (2) Pelayanan kesehatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kegiatan: a. pengujian dan/atau pemeliharaan kesehatan terhadap: 1) personil operasi pesawat udara; 2) personil penunjang operasi pesawat udara; 3) personil pelayanan navigasi penerbangan; 4) personil pelayanan pengoperasian bandar udara; 5) personil pelayanan keamanan dan keselamatan perusahaan angkutan udara. b. pemeriksaan higiene dan sanitasi bandar udara, fasilitas penunjang bandar udara, kesehatan dan keselamatan 139

kerja fasilitas penunjang penerbangan; c. pemeriksaan higiene dan sanitasi pesawat udara. (3) Terhadap hasil pemeriksaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan huruf b, diberikan sertifikat kesehatan oleh Menteri. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan kesehatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB VIII TARIF JASA PELAYANAN NAVIGASI PENERBANGAN Pasal 88 (1) Pemberian jasa pelayanan navigasi penerbangan dikenakan biaya berupa tarif jasa pelayanan navigasi penerbangan. (2) Tarif jasa pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan berdasarkan struktur dan golongan. Pasal 89 (1) Struktur tarif jasa pelayanan navigasi penerbangan merupakan kerangka tarif yang dikaitkan dengan faktor jarak terbang dan faktor berat pesawat udara sesuai pelayanan yang diberikan oleh penyelenggara jasa pelayanan navigasi penerbangan. (2) Golongan tarif jasa pelayanan navigasi penerbangan meliputi: a. tarif penerbangan domestik; dan b. tarif penerbangan internasional. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur dan golongan tarif jasa pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 90 Tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 tidak dikenakan terhadap: a. pesawat udara negara Republik Indonesia; b. pesawat udara yang dipergunakan untuk keperluan pencarian dan pertolongan (search and rescue) atau kegiatan 140

c.

d.

e. f.

kemanusiaan; pesawat udara yang khusus dipergunakan oleh tamu negara, kepala negara atau kepala pemerintahan beserta rombongan dalam kunjungan kenegaraan di Indonesia; pesawat udara milik Departemen Perhubungan yang dipergunakan untuk pendidikan awak kokpit pesawat udara, kalibrasi alat bantu navigasi udara, atau kegiatan lainnya yang berkaitan dengan pembinaan keselamatan penerbangan; pesawat udara milik perkumpulan olah raga penerbangan yang diberikan pembebasan oleh Direktur Jenderal; pesawat udara militer asing yang dapat menunjukkan rekomendasi pembebasan dari Departemen Pertahanan atau Markas Besar Tentara Nasional Indonesia.

Pasal 91 (1) Tarif jasa pelayanan navigasi penerbangan pada bandar udara yang diselenggarakan oleh Pemerintah, ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah tersendiri. (2) Tarif jasa pelayanan navigasi penerbangan yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara yang didirikan untuk menyelenggarakan pelayanan navigasi penerbangan, ditetapkan oleh Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan setelah dikonsultasikan dengan Menteri. BAB IX PENCARIAN DAN PERTOLONGAN KECELAKAAN PESAWAT UDARA Pasal 92 (1) Setiap penerbang yang sedang dalam tugas penerbangan mengalami keadaan bahaya atau mengetahui adanya pesawat udara lain yang dikhawatirkan sedang menghadapi bahaya dalam penerbangan, wajib segera memberitahukan kepada petugas lalu lintas udara. (2) Setiap petugas lalu lintas udara yang sedang bertugas, segera setelah menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau mengetahui adanya pesawat udara yang berada dalam keadaan bahaya atau dikhawatirkan mengalami 141

keadaan bahaya atau hilang dalam penerbangan, wajib segera memberitahukan kepada Badan SAR Nasional. Pasal 93 (1) Badan SAR Nasional wajib mengerahkan potensi SAR terhadap kegiatan pencarian dan pemberian pertolongan serta penyelamatan terhadap setiap kecelakaan pesawat udara atau pesawat udara dalam keadaan bahaya atau hilang dalam penerbangan. (2) Setiap orang atau badan hukum yang mengoperasikan pesawat udara wajib membantu usaha pencarian dan pertolongan terhadap kecelakaan pesawat udara. (3) Ketentuan mengenai pencarian dan pertolongan terhadap kecelakaan pesawat udara disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB X PENELITIAN PENYEBAB KECELAKAAN PESAWAT UDARA

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

Pasal 94 Setiap terjadi kecelakaan pesawat udara di wilayah Republik Indonesia, dilakukan penelitian untuk mengetahui penyebab terjadinya kecelakaan. Penelitian terhadap kecelakaan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan oleh Sub Komite Penelitian Kecelakaan Transportasi Udara yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Menteri dapat menunjuk seseorang yang memiliki keahlian tertentu menjadi anggota Sub Komite Penelitian Kecelakaan Transportasi Udara. Sub Komite Penelitian Kecelakaan Transportasi Udara dalam melaksanakan tugas dapat melibatkan: a. wakil dari pemerintah tempat pesawat udara didaftarkan; b. wakil dari pabrik pembuat pesawat udara dan mesin pesawat udara; dan/atau c. wakil dari perusahaan angkutan udara. Sub Komite Penelitian Kecelakaan Transportasi Udara berwenang meminta keterangan dan/atau bantuan jasa 142

keahlian dari perusahaan penerbangan, badan hukum Indonesia atau perorangan, untuk kelancaran penelitian penyebab terjadinya kecelakaan pesawat udara. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penelitian terhadap kecelakaan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 95 (1) Perusahaan angkutan udara dan/atau operator yang pesawat udaranya mengalami kecelakaan wajib segera melaporkan kepada Menteri dan Sub Komite Penelitian Kecelakaan Transportasi Udara. (2) Penyelenggara bandar udara dan/atau penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan yang mengetahui dan/atau menerima laporan terjadinya kecelakaan pesawat udara wajib segera melaporkan kepada Menteri dan Sub Komite Penelitian Kecelakaan Transportasi Udara. (3) Setelah menerima laporan terjadinya kecelakaan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), Sub Komite Penelitian Kecelakaan Transportasi Udara segera melakukan penelitian. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 96 (1) Pejabat yang berwenang pada lokasi kecelakaan pesawat udara wajib melakukan tindakan pengamanan terhadap pesawat udara yang mengalami kecelakaan di luar daerah lingkungan kerja bandar udara, untuk: a. melindungi awak pesawat udara dan penumpangnya; b. mencegah terjadinya tindakan yang dapat mengubah letak pesawat udara, merusak dan/atau mengambil barangbarang dari pesawat udara yang mengalami kecelakaan. (2) Tindakan pengamanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat berlangsung sampai dengan berakhirnya pelaksanaan penelitian di lapangan oleh Sub Komite Penelitian Kecelakaan Transportasi Udara. 143

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan pengamanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 97 (1) Sub Komite Penelitian Kecelakaan Transportasi Udara wajib melaporkan hasil penelitian kepada Menteri. (2) Menteri menyampaikan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Organisasi Penerbangan Sipil Internasional. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan dan penyampaian hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri. BAB XI PENCEMARAN LINGKUNGAN

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Pasal 98 Setiap orang dan/atau badan hukum yang memproduksi dan/atau mengoperasikan pesawat udara, wajib mencegah terjadinya pencemaran lingkungan. Pencemaran lingkungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi hal-hal yang berkaitan dengan: a. emisi gas buang; b. tingkat kebisingan. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), berlaku bagi pesawat udara yang akan didaftarkan dan/atau dioperasikan di wilayah Republik Indonesia. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), hanya berlaku untuk pesawat udara yang digerakkan oleh mesin penggerak jenis gas turbin. Pesawat udara yang telah didaftarkan dan/atau dioperasikan di wilayah Republik Indonesia harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), selambat-lambatnya 10 (sepuluh) tahun sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini. Ketentuan lebih lanjut mengenai hal-hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri.

144

BAB XII SANKSI

(1)

(2)

(3)

(4)

Pasal 99 Pelanggaran terhadap tidak terpenuhinya persyaratan keandalan operasional pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 17, Pasal 26, Pasal 28, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 50, Pasal 61, dan Pasal 62 dikenakan sanksi administratif. Pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui proses peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu masingmasing 1 (satu) bulan. Apabila peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak diindahkan, dilanjutkan dengan pembekuan sertifikat untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan. Apabila pembekuan sertifikat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) habis jangka waktunya dan tidak ada usaha perbaikan, maka sertifikat dicabut.

Pasal 100 Pemegang sertifikat keandalan operasional pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 dapat langsung dikenai sanksi pencabutan sertifikat tanpa melalui proses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 dalam hal pemegang sertifikat terbukti: a. melakukan kegiatan yang membahayakan keamanan negara; b. memperoleh sertifikat dan/atau surat izin dengan cara tidak sah; atau c. secara nyata melakukan tindakan yang membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan. Pasal 101 (1) Sertifikat kecakapan personil penerbangan dapat dicabut, apabila pemegang sertifikat kecakapan tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71 ayat (3), Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81, dan Pasal 82. (2) Pencabutan sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan melalui proses peringatan tertulis. 145

(3) Apabila peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), tidak diindahkan dilanjutkan dengan pembekuan sertifikat kecakapan untuk jangka waktu tertentu. (4) Apabila selama masa pembekuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), tidak ada upaya perbaikan oleh pemegang sertifikat, maka sertifikat kecakapan dicabut. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai jangka waktu pembekuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 102 Sertifikat kecakapan dicabut tanpa melalui proses peringatan dan/atau pembekuan, dalam hal pemegang sertifikat terbukti: a. memperoleh sertifikat kecakapan dengan cara tidak sah; atau b. melakukan kegiatan yang membahayakan keamanan negara. BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 103 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai keamanan dan keselamatan penerbangan dinyatakan tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 104 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku 1 (satu) tahun sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

146

Ditetapkan Di Jakarta, Pada Tanggal 5 Februari 2001 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd. ABDURRAHMAN WAHID Diundangkan Di Jakarta, Pada Tanggal 5 Februari 2001 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. DJOHAN EFFENDI LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 9

147

148