KAJIAN PALEOKLIMAT BERDASARKAN KARAKTERISTIK MINERAL DAN

MINERAL DAN FORAMINIFERA DI PESISIR CIREBON, JAWA BARAT oleh ... organisme dalam bentuk endapan gampingan, sebagai contoh adalah kerang-kerangan,...

25 downloads 498 Views 1MB Size
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (2011) 37(1): 19 – 28

ISSN 0125-9830

KAJIAN PALEOKLIMAT BERDASARKAN KARAKTERISTIK MINERAL DAN FORAMINIFERA DI PESISIR CIREBON, JAWA BARAT oleh

RICKY ROSITASARI dan YUNIA WITASARI Pusat Penelitian Oseanografi - LIPI Accepted 18 October 2010, Received 5 January 2011

ABSTRAK Perubahan iklim merupakan proses yang telah berlangsung berulang dalam sejarah geologi. Untuk memahami gejala perubahan iklim selama sepuluh dekade dilakukan kajian paleoklimat berdasarkan karakteristik mineral lempung dan foraminifera di pesisir Cirebon. Kegiatan penelitian dilaksanakan pada tahun 2009. Stasiun pengamatan di perairan pesisir Cirebon, secara garis besar dibagi menjadi perairan pesisir dan perairan laut. Pada setiap stasiun diambil sampel dengan menggunakan Phleger corer berdiameter dua inci dan panjang empat meter. Pengamatan mineral lempung dilakukan pada tiga sayatan yang berasal dari lapisan permukaan, tengah dan dasar, Analisis sampel dilakukan dengan metode X-ray diffraction dilakukan di Laboratorium Geologi, Direktorat Geologi Bandung. Pengamatan foraminifera dan pengukuran umur dilakukan pada dua lapisan yaitu dasar dan permukaan. Pengamatan foraminífera dengan menggunakan mikroskop polarisasi dan penentuan umur dengan menggunakan isotop Pb dilakukan di Laboratorium Material, Badan Tenaga Atom Nasional. Hasil pengamatan menunjukkan terjadi peningkatan kandungan mineral montmorilonite dan halite yang mengindikasikan telah terjadinya perubahan suhu dan tingkat evaporasi selama periode 100 tahun. Komunitas foraminifera selama perioda satu abad mengalami perubahan, dimana jenis yang lebih toleran terhadap kondisi yang kurang menguntungkan yaitu taksa bercangkang pasiran telah berkembang dengan lebih baik selama 10 tahun terakhir. Kata kunci: paleoklimat, mineral lempung, foraminifera.

ROSITASARI & WITASARI

ABSTRACT PALEOCLIMATE STUDY BASED ON CLAY MINERAL AND FORAMINIFERAL CHARACTERSITICS IN CIREBON COASTAL WATERS, WEST JAVA. Climate change was periodic phenomenon in geological history. The aim of this paleo-climate study based on clay mineral and foraminifera in Cirebon waters was to understand climate change evidences within last decade. The research was conducted on 2009. Research stations in coastal waters of Cirebon, were divided into coastal stations and sea stations. Core samples were taken from 13 stations, using Phleger corer two inch diameter and four meters length. Clay mineral analysis and observation was employed to three layers of core sample; upper, middle and bottom by X-ray diffraction. Foraminiferal observation and dating was conducted to upper and bottom layer. Dating conducted using Pb isotope. The results showed that there was an increase of montmorilonite and halite in upper layer that indicated that there was temperature and evaporation alteration within last decades. Community structure on foraminifera was changed within last decades where tolerant species that is Agglutinated taxa developed on last 10 years periods. Keywords: paleoclimate, clay mineral, foraminifera.

PENDAHULUAN Informasi tentang perubahan lingkungan dan iklim dapat diperoleh dari interpretasi struktur dan tekstur dalam sedimen, meliputi mineral lempung dan foraminifera. Pendapat ini didasarkan pada prinsip geologi, bahwa proses fisika dan kimia yang terjadi di bumi di masa lalu sama dengan yang terjadi sekarang (Gingle & Decker, 2001). Karakter sedimen dan batuan yang tersingkap di bawah permukaan bumi maupun bawah permukaan dapat digunakan untuk membaca fluktuasi maupun tren perubahan kondisi lingkungan (Martin & Meybeck, 2006). Sedimen dan mineral lempung merupakan elemen utama dari kerak bumi baik di daratan maupun dasar laut sebagai fraksi sedimen berukuran kurang dari 0,063 mm. Mineral terbentuk oleh proses erosi dan pelapukan suatu batuan, yang dikontrol oleh faktor-faktor iklim seperti suhu, presipitasi, evaporasi, kadar air, curah hujan, angin, dan intensitas sinar matahari. Kelimpahan mineral lempung seperti illite, nacrite, smectite, montmorilonite dan kaolinite digunakan sebagai indikator iklim bersuhu dingin, hangat, tropis basah, panas dan kering (Gingle & Decker, 2001); (Martin & Maybeck, 2006). Demikian pula halnya dengan foraminifera yang merupakan organisme mikroskopis (berukuran 0,063 mm–1 mm), cangkangnya yang keras, sebaran geografis dan sebaran geologisnya yang luas membuat taksa ini sangat potensial digunakan sebagai petunjuk kondisi suatu lingkungan, baik pada masa kini maupun masa lalu. Hingga saat ini kalangan ahli 20

PALEOKLIMAT PESISIR CIREBON

geologi masih menggunakan foraminifera sebagai petunjuk lingkungan purba. Foraminifera bentik yang hidup di lapisan permukaan sedimen dasar perairan sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan mikro maupun lingkungan makronya. Oleh karena itu jenis-jenis ini digunakan oleh para ahli geologi sebagai penciri lingkungan pengendapan. Hallock & Larsen (1979) menemukan perubahan arah perputaran kamar pada foraminifera dari jenis Amphistegina lessonii yang terdapat di perairan IndoPasifik bagian barat yang terhampar dari daerah tropis hingga subtropis. Semakin ke arah timur perputaran cangkang cenderung berarah ke sebelah kanan (dekstral), dugaan kuat perubahan arah tersebut dipengaruhi oleh perubahan suhu perairan di daerah tersebut. Foraminifera bentik memperlihatkan respon baik terhadap perubahan yang bersifat alamiah (perubahan iklim) maupun perubahan yang disebabkan oleh aktivitas manusia (Alve, 1991) Studi sedimen dan mineral ini dilakukan untuk mengetahui kandungan dan tekstur mineralogi, mekanisme transport sedimen, asal usul endapan sedimen, tingkat pelapukan batuan, tingkat erosi dan jenis batuan sumbernya, sehingga dapat menginterpretasi kondisi lingkungan dan iklim di masa lalu. Kajian tentang pola sebaran foraminifera bentik bertujuan untuk mengetahui sejauh mana dampak perubahan iklim dan lingkungan terhadap biota yang hidup dalam sedimen.

BAHAN DAN METODE Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah daerah delta dan perairan Cisanggarung, Cirebon Jawa Barat (Gambar 1). Sedimen di delta Cisanggarung ini memiliki lapisan-lapisan lempung yang cukup baik, tebal dan variatif, mewakili proses transport dan pengendapan sedimen yang cukup spesifik. Sedimen di tubuh delta diasumsikan berasal dari hasil akumulasi material dari daratan dalam kurun waktu yang cukup panjang, relatif stabil dari erosi. Fosil foraminifera terawetkan dengan baik sehingga mampu merekam dengan baik sejarah geologi, sumber material, kondisi iklim di masa lalu dan perubahan lingkungan. Pengambilan contoh sedimen dilakukan, pada bulan Agustus 2009, dengan Phleger corer berdiameter 2 inci di 13 Stasiun dari 15 Stasiun yang direncanakan tanpa pengulangan, tiga Stasiun terletak pantai dan 10 Stasiun di laut lepas. Sampel berupa subsurface sedimen dengan panjang bervariasi, rata-rata mencapai 100 cm. Sedimen yang didapatkan dari core langsung disimpan dalam tabung polietilen tertutup rapat dan dimasukkan dalam kotak pendingin. Di laboratorium sampel dikeluarkan dari dalam tabung, dibelah menjadi 2 bagian. Satu bagian disimpan sebagai arsip dan bagian lain disayat untuk mendapatkan inti core pada lapisan yang dianggap mewakili informasi yakni pada lapisan permukaan, tengah dan bawah core. Analisis mineral lempung dengan metode X-ray diffraction dilakukan di Laboratorium Geologi, Pusat Survey Geologi Bandung. Penyinaran dengan sinar X dilakukan terhadap sedimen lempung yang telah dijenuhkan dengan ion K+ dan 21

ROSITASARI & WITASARI

Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel, pesisir Utara Cirebon, tahun 2009. Figure 1. Location of sampling stasion in Cirebon coastal waters, 2009. Mg2+, dan dipanaskan pada suhu 250°C selama dua jam. Perbedaan panjang gelombang dan sudut pantul yang dihasilkan dari penyinaran tersebut mencerminkan tiap komposisi kimia mineral yang berbeda. Penentuan umur sedimen dilakukan di Laboratorium Material, Badan Atom dan Tenaga Nuklir Jakarta mengggunakan metode isotop Pb210 dan C14. Pemeriksaan foraminifera dilakukan pada sampel sedimen hasil core pada lapisan permukaan dan dasar. Sampel dicuci dengan menggunakan saringan 0,063 mm. Foraminifera bentik diidentifikasi pada tingkat jenis. Identifikasi jenis foraminifera menggunakan referensi dari Baker (1960) dan Graham & Militante (1959).

HASIL DAN PEMBAHASAN Mineral lempung Dari hasil pengukuran umur rata-rata pada lapisan permukaan sampel core adalah 22,5 tahun dan pada lapisan dasar adalah 126 tahun. Mineral yang didapatkan terdiri dari mineral-mineral yang umum ditemukan di dalam formasi batuan berkomposisi asam, yaitu montmorilonite, albite, illite dan nacrite. Mineral lempung yang ditemukan pada lapisan permukaan di daerah laut adalah kuarsa, illite dan nacrite dalam jumlah yang melimpah dalam kisaran 7 - 40%, sedangkan di daerah pantai hanya ditemukan kwarsa dan nacrite.

22

PALEOKLIMAT PESISIR CIREBON

Gambar 2. Peningkatan kandungan mineral halite (%) selama kurun waktu 100 Tahun. Figure 2. The increase of halite (%) in 100 years periods. Mineral kuarsa, albite dan nacrite yang menyusun lapisan permukaan sedimen di laut berasal dari formasi batuan pegunungan Cirebon yang umumnya terdiri dari batuan dan batuan sedimen vulkanik seperti andesit, breksi dan konglomerat. Komposisi kimia batuan umumnya memiliki kandungan silika yang tinggi yang kemudian berubah karena reaksi kimia menjadi illite dan nacrite. Adanya kandungan halite, mengindikasikan terjadi proses evaporasi, yang menandakan tingkat penguapan tinggi (Gambar 2). Halite adalah evaporate mineral yang terbentuk dari proses pengeringan suatu badan air seperti danau atau laut, unsur utama pembentuk mineral ini adalah NaCl (Gilluly et al., 1968). Di lapisan dasar, mineral lempung yang dominan adalah nacrite dan kuarsa (daerah laut) masing-masing dengan rata-rata persentase sebesar 19,6 dan 29,5%. Di daerah pantai mineral lempung yang paling banyak dijumpai adalah montmorilonit dan kuarsa, masing-masing 34,6 dan 8 %. Kandungan kaolinite meningkat di lapisan tengah sedimen core yang diperkirakan berumur 50 – 60 tahun dan mengalami penurunan pada lapisan yang lebih muda (Gambar 3). Hal ini menunjukkan adanya hasil pelapukan yang lebih intensif pada masa tersebut karena mineral kaolinite umumnya terbentuk dari hasil pelapukan kimia dari mineralmineral silika dan felspar. Kedua mineral tersebut umumnya terdapat pada batuan beku vulkanik di daratan yang terombak dan terbawa melalui aliran sungai dan terendapkan di mulut sungai (Gilluly et al., 1968). Calcareous biogenik adalah sisa organisme dalam bentuk endapan gampingan, sebagai contoh adalah kerangkerangan, hewan karang dan foraminifera. Kandungan montmorilonit sebagai salah satu penciri iklim hangat (tropis), memperlihatkan kecenderungan peningkatan secara bergradasi pada lapisan sedimen yang berumur lebih muda (Gambar 3). Montmorilonite merupakan mineral yang terbentuk dari proses pelapukan sejumlah besar unsur biogenik yang mengandung silikat di lingkungan sungai (endapan aluvial) (Hein et al., 1979; Ferris, 2006). Keadaan ini secara jelas menunjukkan bahwa proses penghangatan muka bumi telah terindikasi berlangsung secara simultan sejak 126 tahun yang lalu. 23

ROSITASARI & WITASARI

Gambar 3. Mineral lempung indikator (dalam %) iklim tropis yang ditemukan di pesisir Cirebon, tahun 2009. Figure 3. Clay mineral indicator (%) in tropical climate, found on Cirebon coastal waters in 2009. Foraminifera Jumlah seluruh jenis yang ditemukan adalah 39 jenis yang terdiri dari 31 jenis bentik bercangkang gampingan (calcareous), lima jenis bercangkang pasiran (arenaceous), tiga jenis planktonic. 14 jenis ditemukan di lapisan sedimen dasar yang berumur 100 tahun. Secara garis besar spesimen foraminifera bentik bercangkang gampingan mendominasi komunitas baik pada lapisan dasar maupun lapisan teratas, baik di daerah pantai tergenang maupun perairan yang lebih dalam (Gambar 4 dan 5) kecuali di Stasiun L2T yang memiliki spesimen pasiran yang sangat tinggi. Tingginya spesimen pasiran di Stasiun L2T yang terletak di perairan dengan kedalaman lebih dari 10 meter merupakan petunjuk adanya perubahan salinitas dan kandungan senyawa organik di lingkungan tersebut. Foraminifera pasiran beradaptasi terhadap variasi salinitas dan eutrofikasi (Luan & Debenay, 2005; Tsujimoto et al., 2006). Stasiun L2T terletak di laut terbuka, perairan pesisir yang berdekatan adalah Stasiun L1, P2 dan P1, namun tidak ada satupun Stasiun tersebut yang memiliki jumlah jenis pasiran yang setara dengan Stasiun L2 dan L3 (Gambar 1). Perubahan komunitas antara lapisan dasar dan lapisan permukaan di stasiun pengamatan terlihat sangat tegas, sebagai contoh kandungan foraminifera pasiran di Stasiun L2B yang berada di lapisan dasar L2T memperlihatkan perkembangan dominasi yang sangat kuat oleh jenis-jenis pasiran seperti Haplophragmoides, Trochammina inflata dan T. nitida. Demikian pula dengan sampel yang berasal dari stasiun pantai seperti Stasiun P1, yang memperlihatkan perubahan struktur komunitas antara lapisan sedimen dasar dan permukaan. Di lapisan P1T, Ammonia beccarii merupakan jenis dominan, tidak demikian di lapisan dasar P1B yang memiliki jenis Rotalia ozawai, Discorbis rugosa dan Miliolinella sp sebagai jenis dominan. Kecenderungan perubahan jenis

24

PALEOKLIMAT PESISIR CIREBON

Gambar 4. Fluktuasi jumlah spesimen foraminifera bercangkang pasiran pada lapisan dasar dan lapisan teratas sedimen pesisir Cirebon, 2009. Figure 4. Abundance fluctuation of arenaceous foraminifera on bottom and top sediment layer from Cirebon coastal waters, 2009. dominan antara lapisan dasar dengan lapisan permukaan mengindikasikan kondisi perairan saat ini berbeda dengan kondisi 126 tahun yang lalu. Perubahan dominasi jenisnya menunjukkan bahwa kondisi perairan saat ini tidak cukup baik untuk perkembangan jenis-jenis yang rentan terhadap perubahan suhu (Samir & El-Din, 2001) dan keasaman air (Samir, 2000). Terdapat perbedaan kecenderungan pada sebaran foraminifera pasiran di lokasi pengamatan. Spesimen pasiran di daerah pantai lebih rendah daripada di sedimen perairan yang lebih dalam, baik pada sedimen berumur tua maupun sedimen yang lebih muda (permukaan). Sedimen lapisan atas di laut mengandung spesimen pasiran lebih tinggi pada lapisan sedimen atas di perairan pantai. Namun secara spesifik kandungan taksa pasiran di dalam sedimen pantai mengalami penurunan dibandingkan 100 tahun lalu. Ini menunjukkan telah terjadi perubahan lingkungan di lingkungan pesisir Cirebon. Umumnya jenis pasiran hanya ditemukan di daerah muara yang memiliki fluktuasi salinitas dan suhu air laut yang tinggi. Semakin jauh dari aliran darat taksa ini akan berkurang kecuali di daerah karang atau di laut dalam (lebih dari 1000 meter). Pesisir Cirebon tidak memiliki terumbu karang dan merupakan perairan dangkal (kedalaman maksimal 20 meter). Adanya kumpulan (assemblage) taksa pasiran di perairan dengan kedalaman 12 meter padahal tidak ditemukan kumpulan taksa tersebut di perairan yang lebih dangkal merupakan indikasi telah terjadi proses yang menyimpang di perairan tersebut. Dominasi kuat jenis-jenis pasiran (agglutinated) baik pada kumpulan hidup maupun mati dibanding jenis-jenis gampingan menandakan adanya kondisi oseanografi yang tidak biasa. Kondisi ini dapat merupakan kombinasi dari terbatasnya sirkulasi air dari laut lepas dan input aliran air tawar dalam jumlah besar. Kombinasi kedua faktor tersebut menghasilkan kondisi perairan yang tenang di lapisan dasar sehingga biasanya menyebabkan kandungan oksigen sangat rendah, perairan menjadi payau (salinitas berkisar pada 28 0/00 pada lapisan dasar) dan kaya akan bahan organik yang sebagian besar berasal dari darat (Murray et al., 2003).

25

ROSITASARI & WITASARI

Gambar 5. Fluktuasi jumlah specimen foraminifera bercangkang gampingan (calcareous) pada lapisan dasar dan lapisan teratas sedimen pesisir Cirebon, 2009. Figure 5. Abundance fluctuation of calcareous foraminifera on bottom and top sediment layer in Cirebon coastal waters, 2009. Sebaran foraminifera di perairan Cirebon sangat tidak merata baik pada lapisan sedimen yang berumur muda maupun yang berumur lebih dari 100 tahun. Ukuran spesimen di perairan Cirebon termasuk kecil (< 0,125 mm) dibandingkan spesimen yang biasa ditemukan di perairan terumbu karang atau perairan dalam (> 0,125 mm). Diduga ukuran cangkang yang kecil ini berhubungan dengan ketersediaan kalsium karbonat di perairan. Gambar 5 memperlihatkan bahwa secara umum jumlah spesimen foraminifera gampingan di lokasi pengamatan mengalami kenaikan dibandingkan dengan masa 100 yang lalu. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sedimen lapisan dasar (bottom) yang terdapat di daerah pantai, mengandung spesimen foraminifera gampingan lebih tinggi daripada yang berasal dari perairan yang lebih dalam. Hal serupa terlihat pada sedimen lapisan atas (top) yang berumur lebih muda, yang memperlihatkan kandungan spesimen bercangkang gampingan di perairan pantai lebih tinggi daripada yang terdapat di perairan lebih dalam. Ini menunjukkan kecenderungan pola sebaran foraminifera gampingan di perairan Cirebon tidak berubah dalam kurun waktu 100 tahun. Sebaran foraminifera bentik di stasiun pesisir memperlihatkan variasi yang belum pernah ditemukan di perairan lain, yakni sebaran Ammonia beccarii yang tidak merata karena ada pergantian oleh jenis lain yakni Rotalia ozawai. Secara sistematika Genus Ammonia dan Rotalia dianggap identik. Autor pertama dari Ammonia adalah Linnaeus 1767, selanjutnya Heron-Allen & Earland pada tahun 1913 menggunakan nama Rotalia untuk Ammonia. Di stasiun pantai, Ammonia beccarii membentuk kumpulan utama dan Rotalia ozawai dan Discorbis rugosa membentuk kumpulan subsider (subsidiary assemblage). Di stasiun laut Rotalia cf japonica membentuk kumpulan bersama jenis-jenis laut terbuka lainnya seperti Asterorotalia trispinosa. Jenis pasiran yang

26

PALEOKLIMAT PESISIR CIREBON

membentuk assemblage kuat di stasiun laut adalah jenis Trochammina inflata, T. nana dan T nitida.

KESIMPULAN Kajian paleoklimat berdasarkan karakteristik mineral lempung dan foraminifera di pesisir Cirebon menunjukkan beberapa fakta yaitu; (1) telah terjadi peningkatan kandungan mineral montmorilonite dan halite dibandingkan dengan 126 tahun yang lalu. Peningkatan kedua mineral tersebut mengindikasikan telah terjadi peningkatan suhu dan penguapan pada 100 tahun terakhir; (2) telah terjadi perubahan struktur komunitas foraminifera yaitu beberapa jenis foraminifera hilang dan digantikan oleh jenis lain yang memiliki karakteristik lebih toleran terhadap tekanan lingkungan seperti Ammonia beccarii dan beberapa jenis foraminifera bercangkang pasiran.

DAFTAR PUSTAKA Alve, E. 1991. Foraminifera, climatic change and pollution: a study of a late Holocene sediments in Drammensfyord, SE Norway. The Holocene, 1 (3): 243-261. Baker, R.W. 1960. Taxonomic Notes. S.E.P.M. Special Pub. 9. 154 pp. Ferris, J. P. 2006. Montmorilonite-catalysed formation of RNA oligomers: the possible role of catalysis in the origins of life. Phil. Trans. R. Soc., B 361: 1777–1786. Gilluly, J., A.C. Waters & A.O. Woodford. 1968. Principles of geology. W.H. Freeman & Co. 684 pp. Gingle, F.X. & P.D. Decker. 2001. Fingerprinting Australia’s river clays and the application for the marine record of a rapid climate change. Advances in Regolith. 140-143. Graham, J.G. & P.J. Militante. 1959. Recent foraminifera from the puorto Galera area, Northern Mindoro, Philippines. Stanford Univ. Pub. 170 pp. Hallock, P. & A.R. Larsen. 1979. Coiling direction in Amphistegina. Mar. Micropal., 4: 33-44. 27

ROSITASARI & WITASARI

Hein, J. R. , H-W. Yeh & E. Alexander 1979. Origin of iron-rich montmorilonite manganese nodule belt of the North equatorial Pacific. Clays and Clay Minerals, 27( 3): 185-194. Luan, B.T. & J.P. Debenay 2005. Foraminifera, environmental bioindicators in the highly impacted environments of the Mekong Delta. Hydrobiologia 549: 75 -83. Martin & Maybeck. 2006. Formation and alteration of clay materials. Geological Society, London, Engineering Geology Special Publications, 21: 29-71. Murray, J. W., E. Alve & A. Cundy. 2003. The origin of modern agglutinated foraminiferal assemblages: evidence from a stratified fjord. Estuarine, Coastal and Shelf Science, 58 (3): 677-697. Samir, A.M. & A.B.El-Din 2001. Benthic foraminiferal assemblages and morphological abnormalities as pollution proxies in two Egyptian bays. Mar. Micropal., 41(3-4): 193-227. Samir, A. M. 2000. The response of benthic foraminifera and ostracods to various pollution sources: A study from two lagoons in Egypt. J. of Foraminiferal Research, 30(2): 83-98. Tsujimoto, A., R. Nomura, M. Yasuhara & S. Yoshikawa. 2006. Benthic foraminiferal assemblages in Osaka Bay, SW Japan: faunal change over the last 50 years. Paleon. Resc., 10 (2): 141 – 161.

28