KESANTUNAN BERBAHASA INDONESIA SEBAGAI UPAYA PENGGUNAAN

Download 1 Feb 2015 ... panggilan Pak dan adanya campur kode berupa penggunaan bentuk krama. Kata kunci: kesantunan berbahasa, bahasa Indonesia, mah...

0 downloads 524 Views 738KB Size
KESANTUNAN BERBAHASA INDONESIA SEBAGAI UPAYA PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA YANG BAIK Miftah Nugroho

Prodi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret [email protected]

Abstrak

Penelitian ini memaparkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik yang dilakukan mahasiswa. Salah satu tanda bahwa mahasiswa menggunakan bahasa Indonesia yang baik adalah mahasiswa dapat bertutur secara santun. Dalam penelitian ini, ditemukan mahasiswa dapat bertutur santun di dalam media SMS kepada dosen. Kesantunan ini ditandai dengan mengucapkan salam atau penggunaan maaf di awal pesan, penggunaan bentuk hormat seperti panggilan Pak dan adanya campur kode berupa penggunaan bentuk krama. Kata kunci: kesantunan berbahasa, bahasa Indonesia, mahasiswa

1. Pendahuluan Selama ini kita telah mendengar slogan perihal penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Moeliono, 1997), dinyatakan bahwa penggunaan bahasa Indonesia yang benar adalah penggunaan bahasa yang mengikuti kaidah yang dibakukan. Definisi tersebut menuntut masyarakat Indonesia agar memakai bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah yang telah dibakukan atau distandarkan. Sementara itu, disebut penggunaan bahasa Indonesia yang baik adalah penggunaan bahasa yang sesuai dengan ragam bahasa yang sedang digunakan dan serasi dengan golongan penutur dan jenis penggunaan bahasa. Dengan demikian, bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah penggunaan bahasa yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang telah dibakukan dan sesuai dengan situasi penggunaan bahasa yang sedang berlangsung. Berkenaan dengan istilah tersebut, istilah penggunaan bahasa Indonesia yang benar selama ini sering ditekankan, terutama dalam dunia pendidikan. Hal ini dibuktikan dengan materi ajar bahasa Indonesia dari tingkat dasar

sampai menengah yang didominasi pengajaran bahasa Indonesia yang benar. Implikasinya adalah anak sekolah dari tingkat dasar sampai mahasiswa hanya mengetahui apakah bahasa Indonesia yang digunakan itu benar atau salah. Implikasi lain yang muncul adalah anak-anak belum memiliki kemampuan yang memadai ihwal bagaimana menggunakan bahasa Indonesia yang baik. Maksudnya penggunaan bahasa Indonesia yang tepat dengan situasi penggunaan bahasa. Kekhawatiran akan penggunaan bahasa Indonesia yang tidak baik yang diujarkan oleh anak sekolah dan mahasiswa memang perlu diperhatikan secara serius. Ada beberapa keluhan perihal penggunaan bahasa Indonesia oleh anak sekolah dan mahasiswa yang tidak tepat. Keluhan tersebut berkenaan dengan penggunaan bahasa Indonesia yang tidak memperhatikan situasi yang berlangsung (apakah situasi formal atau informal ketika berbicara). Keluhan lainnya berkenaan dengan apakah bahasa yang digunakan tepat dengan mitra tutur yang sedang diajak bicara. Dengan kata lain, apakah bahasa yang digunakan oleh anak sekolah dan mahasiswa juga

Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015

17

memperhatikan mitra tutur. Jika mitra tutur tidak diperhitungkan, bahasa atau tuturan yang diujarkan akan berakibat mengancam muka mitra tutur. Oleh karena itu, mereka perlu memperhatikan apakah ujaran yang hendak disampaikan itu patut atau tidak diujarkan kepada mitra tutur, terutama mitra tutur berusia tua. Patut atau tidaknya sebuah ujaran ini dapat disebut kesantunan. Pendek kata, bahasa Indonesia yang diujarkan oleh anak sekolah dan mahasiswa selain dituntut sesuai dengan situasi penggunaan bahasa, juga dituntut santun. Kesantunan bahasa tersebut dilakukan, terutama kepada mitra tutur yang berusia tua. Tujuan penelitian ini adalah membentangkan kesantunan berbahasa yang merupakan salah satu penanda penggunaan bahasa Indonesia yang baik. Ihwal kesantunan yang dipilih karena kesantunan dapat menentukan faktor apakah komunikasi dengan mitra tutur lancar, sukses, dan nyaman. Seseorang yang tidak dapat berbicara secara santun, artinya ia tidak memiliki kemampuan komunikatif dalam menggunakan bahasa yang ia kuasai. Dengan demikian, kemampuan komunikatif tidak hanya meliputi kemampuan dalam memilih bahasa sesuai dengan situasi penggunaan (kemampuan memilih ragam bahasa), namun meliputi kemampuan menggunakan tutur kata yang santun kepada mitra tuturnya. Agar lebih fokus, kesantunan berbahasa yang dibentangkan adalah kesantunan berbahasa yang dituturkan oleh kalangan mahasiswa. Ihwal mahasiswa yang dipilih dikarenakan dua alasan. Pertama, demi kemudahan dalam penelitian ini. Kedua, kalangan mahasiswa telah memiliki kemampuan komunikatif. Artinya, jika mereka tidak dapat bertutur santun, implikasinya adalah perlu dipertanyakan kemampuan komunikatif

18

mereka dalam menggunakan bahasa Indonesia. Data penelitian ini berupa SMS yang berasal dari mahasiswa jurusan Sastra Indonesia angkatan 2006 - 2009. Tuturan yang terdapat dalam SMS tersebut diperoleh dari ponsel penulis. Setelah data diperoleh, langkah berikutnya adalah menganalisis data. Aspek yang dianalisis adalah kesantunan tuturan yang terdapat dalam SMS mahasiswa yang disampaikan kepada penulis. 2. Kemampuan Komunikatif Istilah kemampuan (competence) pada awalnya disampaikan Chomsky dalam teori tata bahasa transformasi gramatikal. Dengan teori tersebut, Chomsky membedakan dua istilah, yaitu performance dan competence. Istilah pertama berkenaan dengan pelaksanaan kemampuan bahasa secara konkret berupa ujaran yang benar-benar dihasilkan bahasawan, seperti berbicara, mendengar, membaca, menulis, dan sebagainya (Kridalaksana, 2008: 179). Adapun Richard & Schimdt (2010: 428) menyatakan bahwa performance adalah “a person’s actual use of language”. Sementara itu, istilah kedua berkenaan dengan pengetahuan perihal bahasa yang bersifat abstrak dan bersifat tidak sadar (Kridalaksana, 2008: 117). Dalam pada itu, Richard & Schimdt (2010: 103) mengemukakan bahwa competence adalah “the implicit system of rules that constitutes a person’s knowledge of a language”. Berpijak dari istilah competence ‘kemampuan’ yang dilontarkan oleh Chomsky, Hymes kemudian mempertahankan dan memodifikasi istilah tersebut sehingga berubah menjadi kemampuan komunikatif. Menurut Hymes, kompetensi komunikatif adalah kemampuan yang meliputi kemampuan perihal bahasa dan menggunakan bahasa (Oetomo,

Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015

1987: 171). Senada dengan pendapat tersebut, Richard & Schimdt (2010: 99) menyatakan bahwa “communicative competence is knowledge not of only if something is possible in language, but also whetner it is feasible, appropriate, or done in a particular speech community”. Berdasarkan definisi di atas, Hymes menyatakan bahwa kemampuan komunikatif meliputi empat hal. Pertama, apakah sebuah tuturan mungkin (possible) dinyatakan. Kedua, apakah sebuah tuturan layak diterapkan atau diterapkan (feasible). Ketiga, apakah sebuah tuturan sesuai (appropriate) dengan konteks penggunaan dan dapat dimengerti. Keempat, apakah sebuah tuturan itu benar-benar terjadi (actually performed) dan ada pengaruhnya (Jumanto, 2011: 285). Sementara itu, Richard & Schimdt (2010: 99) mengemukakan bahwa kemampuan komunikatif terdiri atas empat kemampuan. Pertama, kemampuan gramatikal atau kemampuan formal, yaitu pengetahuan ihwal tata bahasa, kosakata, fonologi, dan semantik pada sebuah bahasa, Kedua, kemampuan sosiolinguistik atau kemampuan sosiokultural, yaitu pengetahuan ihwal hubungan antara bahasa dengan konteks nonlinguistik, mengetahui bagaimana memakai dan menanggapi secara tepat terhadap tipe-tipe tindak tutur yang berbeda-beda, mengetahui penggunaan bentuk panggilan yang digunakan untuk mitra bicara dan situasi tertentu. Ketiga, kemampuan wacana, yaitu mengetahui bagaimana memulai dan mengakhiri percakapan. Keempat, kemampuan strategis, yaitu mengetahui strategi komunikasi yang dapat menutupi kelemahan pada wilayah lain. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan linguistik adalah syarat penting agar kita dapat berkomunikasi

dalam bahasa itu dengan baik. Namun, pengetahuan linguistik saja tidaklah cukup dijadikan modal untuk berkomunikasi dengan lancar. Diperlukan juga kemampuan selain linguistik agar komunikasi yang kita jalankan tidak dianggap gagal, yaitu kemampuan sosiolinguistik, kemampuan wacana, dan kemampuan strategis. Misalnya, kita dapat mengetahui bagaimana orang Jawa cenderung banyak menggunakan tindak tutur tidak langsung dengan melibatkan kemampuan linguistik dan kemampuan sosiolinguistik. 3. Kesantunan Berbahasa Dalam komunikasi sehari-hari, kita setidak-tidaknya menjalankan dua fungsi bahasa, yaitu fungsi referensial (transaksional) dan fungsi afektif (interaksional). Ihwal yang pertama, fungsi referensial (transaksional) berkenaan dengan isi dari sebuah pesan. Berdasarkan fungsi tersebut, kita dituntut agar bertutur secara jelas, benar, dan tidak menimbulkan ambigu. Tujuannya adalah agar isi dari pesan yang hendak kita sampaikan dapat dipahami secara mudah oleh mitra tutur. Sementara itu, fungsi afektif (interaksional) berkaitan dengan bagaimana kita menjaga hubungan sosial dengan mitra tutur. Implikasi dari fungsi tersebut adalah bahasa digunakan agar keharmonisan dalam komunikasi dapat terjaga. Implikasi yang lain adalah kejelasan informasi terkadang diabaikan (lihat Brown & Yule, 1996; Holmes , 2009). Berkenaan dengan dua fungsi di atas, Gunarwan (2005) menyatakan bahwa terdapat dua prinsip pragmatik yang dapat digunakan seorang penutur bahasa Indonesia agar dua fungsi di atas berjalan. Prinsip yang pertama adalah Prinsip Kerja Sama (PKS) dan prinsip yang kedua adalah Prinsip Kesantunan (PK). PKS dicetuskan oleh Grice dengan tujuan agar

Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015

19

percakapan antara penutur dan mitra tutur dapat berjalan secara efektif dan koheren. Berdasarkan tujuan tersebut, PKS dijabarkan Grice menjadi empat maksim, antara lain maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relasi, dan maksim cara. Pertama, maksim kuantitas berisi tuntutan agar penutur berkata seinformatif sesuai yang dibutuhkan mitra tutur. Kedua, maksim kualitas menuntut penutur agar bertutur dengan benar disertai bukti. Ketiga, maksim relasi berisi keharusan bagi penutur agar bertutur sesuai dengan tema yang sedang dibicarakan. Keempat, maksim cara berisi kewajiban bagi penutur agar bertutur secara runtut, jelas (tidak ambigu), dan langsung. Bertumpu dari maksim-maksim tersebut, Gunarwan (2005) menyatakan bahwa fungsi referensial dapat dipenuhi dengan menjalankan PKS. Ihwal Prinsip Kesantunan (PK) muncul akibat reaksi terhadap pandangan Grice ihwal PKS. Jika PKS lebih menekankan pada keefektifan dan kekoherensian berkomunikasi, PK menekankan pada keharmonisan komunikasi. Agar komunikasi yang berlangsung harmonis, Leech (1983) menuntut penutur agar mematuhi enam maksim yang terdapat dalam PK. Keenam maksim tersebut, antara lain maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim pujian, maksim kerendahhatian, maksim kesetujuan, dan maksim simpati. Lebih lanjut, Leech menambahkan tiga prinsip lain yang berkaitan dengan kesantunan, yaitu prinsip ironi, prinsip seloroh, dan prinsip pollyana. Dengan menjalankan prinsip ironi seorang penutur bertutur santun, namun yang dituturkan tidak benar. Prinsip seloroh dijalankan penutur dengan cara bertutur tidak santun, namun daya ilokusinya santun. Dalam

20

pada itu, prinsip pollyana adalah prinsip yang menyatakan bahwa kecenderungan orang yang lebih senang melihat sisi yang cerah daripada dari sisi gelap. Berdasarkan uraian PK, PI, PS, dan PP tersebut, Gunarwan (2005) menyatakan bahwa fungsi bahasa yang kedua, yaitu afektif atau interaksional dapat dijalankan dengan melaksanakan keempat prinsip tersebut. Selain kesantunan model Leech, Holmes (2009) menyatakan bahwa kesantunan model Lakoff serta Brown & Levinson merupakan teori yang banyak dibicarakan dan digunakan untuk menganalisis sebuah peristiwa kebahasaan. Kesantunan menurut Lakoff adalah usaha untuk menghindari perbuatan yang menyinggung perasaan. Usaha tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan ungkapan yang kurang jelas alih-alih menggunakan ungkapan yang jelas. Selanjutnya, Lakoff memformulasikan kesantunan dengan tiga nosi, yaitu don’t impose, give option, dan make (the addressee) feel good be friendly (Fraser, 1990). Sementara itu, Brown & Levinson (1987) membentangkan kesantunan berdasarkan pengaturan muka. Menurut Brown & Levinson, muka sebagai citra diri seseorang dalam komunikasi sehari-hari mengalami keterancaman. Muka dibagi menjadi dua, yaitu muka positif dan muka negatif. Muka positif berkenaan berkenaan dengan kebutuhan untuk diterima oleh orang lain, diperlakukan sebagai anggota masyarakat yang sama dan diketahui bahwa ia ingin berbagi dengan orang lain. Sementara itu, muka negatif adalah kebutuhan untuk merdeka, kebutuhan untuk memiliki kebebasan dalam beraktivitas, dan tidak dipaksa oleh orang lain. Dalam praktik komunikasi, ada beberapa tindak tutur yang mengancam muka mitra tutur, baik muka positif maupun muka negatif. Untuk melindungi keterancaman muka positif

Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015

dan muka negatif, seseorang membutuhkan kesantunan positif dan kesantunan negatif. Seseorang yang menggunakan kesantunan positif cenderung untuk memilih strategi bertutur yang menekankan kesetiakawanan (solidaritas) dengan petutur. Sementara itu, saat seseorang menggunakan kesantunan negatif, ia cenderung memilih strategi tuturan yang menekankan rasa hormat petutur. Dalam bertutur, seorang penutur menghitung derajat keterancaman sebuah tindak tutur dengan mempertimbangkan jarak sosial penutur-petutur, besarnya perbedaan kekuasaan di antara keduanya, serta status relatif jenis tindak tutur yang dituturkan oleh penutur di dalam kebudayaan yang bersangkutan. Berdasarkan perhitungan tersebut Brown & Levinson mengajukan lima strategi agar tuturan seseorang menjadi tindak tutur penyelamatan muka. Pertama, bertutur secara terus terang tanpa basa-basi (bald on record). Kedua, bertutur menggunakan kesantunan positif. Ketiga, bertutur menggunakan kesantunan negatif. Keempat, bertutur dengan cara samarsamar (off record). Kelima, bertutur di dalam hati. Dari kelima strategi tersebut, penutur akan memilih sesuai dengan derajat keterancaman muka. Selama ini belum ada pembahasan secara khusus perihal kesantunan berbahasa Indonesia. Yang ada, penjelasan tentang kesantunan berbahasa adalah kesantunan bahasa Jawa yang telah dipaparkan oleh Gunarwan. Hanya saja menurut Pranowo (2009), kesantunan berbahasa Indonesia dapat dinilai dari pilihan kata (diksi) yang digunakan penutur kepada mitra tuturnya. Kata-kata tertentu yang dapat mencerminkan kesantunan antara lain sebagai berikut.

Pertama, penggunaan kata “tolong” yang digunakan untuk meminta bantuan mitra tutur. Kedua, penggunaan frase “terima kasih’ yang diujarkan sebagai bentuk penghormatan atas kebaikan mitra tutur. Ketiga, penggunaan kata “maaf” yang dituturkan untuk ujaran yang diperkirakan dapat menyinggung perasaan mitra tutur. Keempat, penggunaan kata “berkenan” yang disampaikan untuk meminta kesediaan mitra tutur agar mau melakukan sesuatu. Kelima, penggunaan kata “beliau” yang disebutkan untuk orang ketiga yang dinilai lebih dihormati. Keenam, penggunaan kata “Bapak/Ibu” yang disebutkan untuk memanggil orang kedua dewasa atau orang tua. Selain faktor diksi, kesantunan juga dapat ditandai dengan ragam bahasa yang digunakan oleh seorang penutur. Ragam bahasa yang akan digunakan tentu saja akan dipengaruhi oleh mitra tutur. Ketika mitra tutur yang diajak bicara adalah orang yang berkuasa, atau orang yang memiliki status sosial tinggi, atau berpendidikan, atau jarak sosial antara penutur dan mitra tutur terlalu jauh (low intimate), penutur akan menggunakan ragam bahasa baku. Kebakuan bahasa tersebut juga ditandai dengan pilihan kata dan kegramatikalan kalimat yang digunakan. Sebaliknya, apabila mitra tutur yang dihadapi adalah orang yang tidak memiliki kekuasaan, status sosial rendah atau menengah, tidak berpendidikan, atau akrab (high intimate), penutur akan menggunakan ragam bahasa tidak baku. Ketidakbakuan bahasa yang digunakan juga ditandai dengan pilihan kata yang tidak baku atau kata populer. Selain itu, kaidah bahasa juga dihiraukan dalam penggunakan ragam bahasa tidak baku. 4. Hasil Pada dasarnya mahasiswa telah mempunyai kemampuan komunikatif secara

Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015

21

sempurna. Indikasinya adalah mereka telah mahir menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar. Ihwal baik, mahasiswa telah dapat menggunakan berbagai ragam bahasa Indonesia, baik dalam situasi formal maupun situasi informal. Ini artinya kemampuan sosiolinguistik, kemampuan wacana, dan kemampuan strategis telah dikuasai mahasiswa dengan baik. Ihwal benar, mahasiswa juga telah dapat menggunakan kaidah bahasa Indonesia dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan adanya kemampuan menulis di dalam makalah atau berbicara di depan umum dalam situasi formal. Namun demikian, berkaitan dengan bahasa Indonesia yang baik, perlu juga diamati apakah tuturan mahasiswa dapat dikategorikan santun terhadap orang yang lebih tua (misalnya tuturan kepada dosen). Paparan di bawah ini adalah uraian perihal kesantunan berbahasa Indonesia oleh mahasiswa kepada dosen. Ihwal pertama yang disorot adalah bagaimana mahasiswa memulai SMS yang hendak dikirim kepada dosen. Konteks, terutama dari unsur petutur, menentukan seseorang, khususnya mahasiswa untuk memulai sebuah tuturan atau SMS. Ihwal kedua yang disorot adalah pilihan kata yang digunakan dalam SMS mahasiswa. Pilihan kata juga dapat digunakan sebagai indikator apakah kata tersebut tergolong santun atau tidak santun. SMS nomor (1) – (4) berikut memperlihatkan penggunaan salam yang digunakan untuk memulai sebuah SMS. 1. Mlm pak. Pak ini sy arief d3 upw. Pak khan bsuk jumat tgl 14 klas sy ada quis bpak. Mislxa sy minta quiz su2lan bs tdak pak, krna sy dpat job jd guide dr nusantara tour dr tgl 11-16. 2. Selamat pagi Pak Miftah. Apakah benar tugas sosiolinguistik dikumpulkan pukul

22

9..td pagi kok saya disms begitu oleh mas Rahmad. 3. Pagi pak. Saya mau ke ruangan nya bapak, apakah sudah di sana? Trimakasih 4. Slamat siang pak.. Mau tanya,setelah jam 13.00 bapak masih di kampus mboten nggih? Nuwun. SMS nomor (1) – (4) di atas diawali dengan ucapan salam malam pak, selamat pagi, pagi pak, dan selamat siang pak. Ucapan salam tersebut menandakan waktu pengiriman SMS oleh mahasiswa, yaitu malam, pagi, dan siang. Fungsi ucapan tersebut selain untuk menyapa juga untuk menunjukkan kesantunan. Dalam hal ini, mahasiswa menyadari bahwa sebelum menyampaikan maksud tuturan kepada dosennya ia terlebih dahulu mengucapkan salam. Mahasiswa melakukan hal tersebut karena ia menyadari bahwa mitra tuturnya adalah seseorang yang memiliki kedudukan berada di atas. Dengan menyampaikan salam terlebih dahulu, mahasiswa telah melakukan kesantunan dan juga penghormatan kepada dosen sebagai mitra tuturnya. Selain ucapan salam, penanda kesantunan yang terdapat pada SMS nomor (1) – (4) adalah digunakannya kata panggilan pak atau bapak sebagai bentuk hormat dan kata saya alih-alih aku yang digunakan untuk mewakili penulis SMS selaku mahasiswa. Bentuk hormat lain yang ditemukan adalah adanya campur kode dengan bahasa Jawa krama mboten nggih? Nuwun (4). Penggunaan salam dalam bentuk lain juga digunakan mahasiswa pada saat menyampaikan tuturan SMS kepada dosen, yaitu assalamu’alaikum. Berikut ini contoh penggunaan sapaan assalamu’alaikum yang digunakan mahasiswa. 1. Ass pak. Saya hesti sasindo 09. Kalau pengajian buat sosling ambil d wonogiri bs pak? Pragmatik saya sudah ambil di solo.

Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015

2. Assalammualaikum, Pripun pak? Saya boleh ujian remidi 3. Assalamualaikum pak miftah. Ini sinta dari sastra indo 09, mau bertanya kalo pengajian yg qta rekam tentang tafsir Al qur’an boleh tidak pak??

konsultasi penelaahan proposal saya bisanya kapan pak? 3. Pak, pengumpulan tugas pragmatik mangke jam pinten nggih? 4. Pak cth analisisnya udah sy kirim ke email bpk.

Seperti halnya SMS sebelumnya, SMS nomor (5) – (7) diawali dengan ucapan salam, yaitu Ass atau Assalamualaikum. Ucapan salam ini lazimnya diucapkan kepada petutur yang beragama Islam. Selain berfungsi untuk menyapa kepada mitra tuturnya, sapaan tersebut digunakan mahasiswa sebagai penanda kesantunan. Dimungkinkan mahasiswa merasa tidak santun jika tidak menggunakan ucapan salam tersebut dan langsung mengutarakan maksud tuturannya. Apalagi mitra tuturnya adalah dosen, seseorang yang menjadi pengajar di kelas. Penanda kesantunan lainnya yang tampak pada SMS nomor (5) – (7) adalah digunakannya bentuk hormat berupa kata panggilan Pak. Penggunaan kata Pak selain berfungsi sebagai kesantunan juga berfungsi sebagai bentuk hormat mahasiswa kepada dosennya. Selain penggunaan bentuk panggilan Pak, penanda kesantunan lain yang ditemukan adalah penggunaan pronomina saya untuk mewakili penulis SMS selaku mahasiswa.

Contoh (8) dan (9) memperlihatkan penggunaan panggilan Pak dan gabungan antara panggilan pak dan nama dosen yaitu Pak miftah untuk memulai SMS. Sementara itu, pada (10) dan (11) SMS dimulai dengan panggilan saja, yaitu Pak. Penggunaan bentuk panggilan tersebut menandakan bahwa mahasiswa hendak melakukan kesantunan berbahasa dan hendak menghormati dosennya. Penggunaan pronomina saya yang mewakili penulis SMS juga menjadi tanda bahwa tuturan tersebut dikategorikan santun.

Selain penggunaan salam seperti selamat pagi, selamat siang, selamat malam, dan assalamu’alaikum, mahasiswa menggunakan bentuk panggilan Pak atau Pak dan nama dosen untuk memulai sebuah SMS. Di bawah ini contoh penggunaan bentuk tersebut. 1. Pak miftah, maaf mengganggu, ini sya kevin cahya v, sasindo angkatan 09, nim c 0209018, meminta izin tidak bs mengikuti perkuliahan pragmatik hari ini, dikarenakan sakit, atas pemberian izinnya sya ucapkan terima kasih. 2. Pak miftah,.ini saya ikhsan kira-kira untuk

SMS nomor (12) dan (13) dimulai dengan kata maaf dan ditambah dengan bentuk panggilan pak. Kata maaf dan pak yang berada di awal SMS menandakan bahwa tuturan tersebut santun. Ditambahkan pula penggunaan kata saya dan penggunaan unsur krama inggil bahasa Jawa menunjukkan bahwa tuturan tersebut adalah santun.

Selain penggunaan salam, bentuk panggilan Pak, mahasiswa juga menggunakan bentuk maaf untuk memulai sebuah SMS. Di bawah ini contoh penggunaan bentuk maaf untuk memulai SMS. 1. Maaf pak, besok bpk ke kmps jm brp? 2. Maaf pak, misalnya tugas saya kumpulkan di meja dulu pripun pak? Presentasinya nyusul mggu dpan.. Jm 1 saya ada jadwal ke SMA Yosef

5. Pembahasan Jika diamati secara sepintas, tuturan yang disampaikan mahasiswa kepada dosennya melalui media SMS tampak santun. Hal ini

Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015

23

ditandai dengan digunakannya salam (selamat pagi, selamat siang, selamat malam, dan assalamu’alaikum), bentuk panggilan Pak, dan penggunaan maaf sebelum menuliskan inti pesan. Selain itu, dengan adanya penggunaan kata saya untuk mewakili diri penulis dan bentuk krama inggil juga menjadi tanda bahwa tuturan di dalam SMS mahasiswa telah santun. Jika dikaitkan dengan teori kesantunan yang ada, misalnya teori kesantunan Brown & Levinson, kesantunan yang dilakukan mahasiswa cenderung menggunakan kesantunan negatif. Hal ini dapat dipahami karena kesantunan negatif adalah kesantunan yang cenderung digunakan kepada orang yang memiliki jarak sosial yang jauh. Dengan kata lain, petutur yang dihadapi adalah petutur yang kedudukannya di atas penutur. Adapun strategi kesantunan negatif yang digunakan banyak didominasi penggunaan strategi bentuk hormat. Bentuk hormat yang cenderung banyak dipakai adalah penggunaan bentuk panggilan Pak. Selain itu, bentuk hormat lain yang ditemukan adalah penggunaan maaf sebelum memulai tuturan dan penggunaan krama inggil. Meskipun tuturan mahasiswa yang terdapat di dalam SMS dapat dikatakan santun, ada beberapa leksikon informal yang disisipkan ke dalam tuturan tersebut. Leksikon informal yang digunakan seperti malam dan pagi alih-alih leksikon formal selamat malam dan selamat pagi. Selain itu, ditemukan juga penggunaan leksikon informal lain, seperti nyusul, kalo, udah, dan tanya alihalih leksikon formal menyusul, kalau, sudah, dan bertanya. Penggunaan leksikon informal tersebut tidak banyak. Dimungkinkan leksikon tersebut digunakan karena mahasiswa ingin mendekatkan jarak sosial dengan petutur (dalam hal ini dosen). Penanda keinformalan yang lain adalah

24

penggunaan bentuk singkat. Kata-kata yang seharusnya ditulis lengkap kemudian disingkat menjadi rentetan huruf. Hal ini tampak pada mlm ‘malam’, sy ‘saya’, bs ‘bisa’, cth ‘contoh’, d ‘di’, bpk ‘bapak’, yg ‘yang’. Penggunaan bentuk tersebut juga tidak banyak ditemukan. Bentuk-bentuk tersebut digunakan oleh mahasiswa dimungkinkan karena media yang digunakan adalah SMS yang bercirikan keterbatasan ruang untuk menulis secara lengkap. Walaupun ditemukan bentuk informal dalam SMS mahasiswa yang disampaikan kepada dosennya, penggunaan bahasa dalam SMS tersebut tetap tidak menghilangkan nilai kesantunan yang ada. Rupa-rupanya mahasiswa menyadari bahwa bertutur harus memperhatikan siapa petuturnya. Oleh karena itu, ia tidak dapat berbicara asal-asalan kepada siapa pun. Implikasinya adalah mahasiswa memang telah memiliki kemampuan komunikatif yang baik sebagai penutur jati bahasa Indonesia. Implikasi lainnya adalah mahasiswa dapat dinilai sebagai pengguna bahasa Indonesia yang baik. 6. Penutup Berdasarkan uraian pembahasan di atas, dapat diambil simpulan sebagai berikut. Mahasiswa dapat menggunakan bahasa Indonesia yang baik. Hal ini dibuktikan dengan bahasa yang digunakan di dalam SMS kepada dosennya adalah bahasa yang santun. Kesantunan tersebut ditandai dengan dua hal. Pertama, mahasiswa memulai SMS dengan ucapan salam (seperti selamat pagi, selamat siang, atau selamat sore) dan maaf. Kedua, mahasiswa memilih kata yang dikategorikan santun jika berbicara dengan orang yang di atasnya. Kata-kata yang dipilih adalah saya yang mewakili diri penulis. Kesantunan lain

Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015

yang tampak adalah penggunaan bentuk hormat (panggilan Pak) dan penggunaan krama inggil. Semua kesantunan ini menunjukkan bahwa mahasiswa berusaha menghormati petutur yang merupakan dosennya. Berdasarkan simpulan di atas, penulis menyampaikan saran sebagai berikut. Pada dasarnya penggunaan bahasa Indonesia yang

baik tidak kalah penting alih-alih penggunaan bahasa Indonesia yang benar. Dapat dikatakan bahwa orang yang tidak dapat berbahasa Indonesia dengan baik adalah orang yang kurang atau tidak santun bahasanya. Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika materi bahasa Indonesia yang baik juga diajarkan kepada siswa dan mahasiswa.

Daftar Pustaka Brown, Gillian & Yule, Goerge. 1996. Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge University Press. Brown, Penelope & Levinson, Stephen. 1987. Politeness Some Universal in Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press. Fraser, Bruce. 1990. “Perspectives on Politeness” dalam Shoshana Blum-Kulka dan Gabriele Kasper. Jurnal of Pragmatics 14, hlm 219 - 236. Gunarwan, Asim. 2005. “Beberapa Prinsip dalam Komunikasi Verbal: Tinjauan Sosiolinguistik dan Pragmatik” dalam Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Holmes, Janet. 2009. “Politeness Strategies as Lilnguistic Variables” dalam Jacob L Mey (Ed), Concise Encyclopedia of Pragmatics (Second Edition). Oxford: Elsevier. Jumanto. 2011. Pragmatik Dunia Linguistik tak Selebar Daun Kelor. Semarang: World Pro. Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus LInguistik (Edisi Keempat). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Leech, Geoffrey. 1983. The Principles of Pragmatics. New York: Longman Group Limited. Moeliono, Anton M. (Ed). 1997. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Balai Pustaka. Oetomo, Dede. 1987. “Linguistik dan Sosiolinguistik: Dua Ancangan terhadap Pengkajian Bahasa Manusia” dalam Soejono Dardjowidjojo (Ed), Linguistik: Teori dan Terapan. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya. Pranowo. 2009. Berbahasa secara Santun. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Richards, Jack C. & Richard Schmidt. 2010. Longman Dictionary of Language Teaching and Applied Linguistics (Fourth Edition). Edinburgh Gate.

Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015

25