KESEIMBANGAN EKOLOGI PEMERINTAHAN Pada bab Pendahuluan telah dibahas berbagai pendefenisian tentang ilmu pemerintahan, kemudian setelah itu dikaji faktor-faktor yang mempengaruhi pemerintahan, baik faktor alamiah maupun faktor sosio-kemasyarakatan, sehingga dengan demikian terlihat begitu luasnya ruang lingkup yang diurus dan diatur pemerintah. Tetapi walaupun multidimensi kompleksnya permasalahan pemerintahan, sesungguhnya dapat disederhanakan, hingga berbagai sistem pemerintahan akan mengetengahkan model-model yang dirasakan tepat bagi keberdaan pemerintahan, berikut akan saya sampaikan suatu model keseimbangan dalam ekologi pemerintahan. Pada sebagian besar negara-negara berkembang menghendaki agar pemerintahan tetap mengambil prakarsa untuk melakukan tugas dalam berbagai kehidupan kenegaraan dan kedaerahan, bahkan mulai dari mereka yang belum lahir ke dunia (melalui keluarga berencana) sampai pada mereka yang sudah meninggal dunia (melalui dinas pemakaman). Karena pada garis besarnya tugas pemerintah hanya menghindari keburukan dan menganjurkan kebaikan. Sebagai contoh untuk hal yang baik diciptakan departemen sosial bagi fakir miskin dan anak terlantar, dibentuk departemen transmigrasi untuk mengurus perpindahan penduduk, sedangkan bagi penghindaran keburukan dibentuk kepolisian untuk ketertiban, jaksa untuk penuntutan, tentara untuk pengamanan. Sejauh mana batas bak-buruk serta batas benar-salah dalam suatu negara ditetapkan peraturan yang berangkat dari ideologi dan konstitusi berbagai negara. Perhatikan berbagai kutub ekstrim di bawah ini yang mesti diseimbangkan dengan memperhatikan ekologi pemerintahan. 1. Apabila kita menanggapi (responsiveness) seluruh kepentingan masyarakat, maka cenderung lama pencapaian hasil karena multidimensional kebutuhan masyarakat sulit disatukan. Misalnya antara jalur hijau dengan keberadaan rumah penduduk. Sebaliknya bila kita mengutamakan pencapaian hasil (effectiveness) maka banyak pihak yang cenderung terintimidasi dengan terpaksa, misalnya antara penggusuran tukang becak dengan keindahan suatu kota. 2. Apabila kita mengutamakan ketertiban, berbagai peraturan harus ditegakkan namun resikonya berbagai pihak tidak tenteram. Misalnya penertiban pedagang kaki lima dan asongan. Sebaliknya bila kita mengutamakan ketentraman seluruh lapisan masyarakat, sulit ketertiban terwujud. Misalnya masyarakat merasa senang hatinya dengan warna, bentuk dan dasar bangunan, kendatipun keberagaman memperlihatkan ketidakseragaman, tetapi bukankah ini ketidaktertiban pengaturan perkotaan. 3. Apabila kita mendahulukan pembangunan politik dengan membesarkan peran legislatif maka akan sering dilontarkan emosi tidak percaya, sehingga kabinet mudah jatuh dan pembangunan ekonomi terabaikan. Sebaliknya bila kita mendahulukan pembangunan ekonomi, kita cenderung membiarkan peran eksekutif membesar (dengan kontrol harga, pengusaha, uang) sehingga legislatif yang mewakili suara rakyat terabaikan, inilah kemunduran pembangunan politik.
4. Apabila kita memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dalam rangka pendemokrasian daerah, maka dikhawatirkan akan terjadi separatism atau golongan atau gerakan untuk memisahkan diri. Sebaliknya bila kita sentralistis dalam rangka persatuan dan kesatuan bangsa, tampak kekuatan birokrasi, urusan yang bertele-tele ditentukan serba pusat. 5. Apabila kita memprioritaskan perimbangan kasih, kebijaksanaan dan hak asasi manusia, pada satu posisi sampai pada pembiaran perilaku keliru. Misalnya karena anak pejabat yang melakukan perbuatan tertentu. Sebaliknya bila kita menomorsatukan hukum dan peraturan, cenderung terjadi kekakuan. Misalnya tidak ditoleransinya mereka yang tidak memiliki dana dan biaya serta ketidaktahuannya. 6. Apabila kita meningkatkan pelayanan kepada pihak swasta, perlu diantisipasi pemenang tender urusan adalah yang mampu bernegosiasi, kolusi bukan keahlian. Sebaliknya bila kita melulu hanya mengatasnamakan banyak pihak yang bekerja karena terpaksa, bukan kesadaran sama sekali. Berikut Gambar Keseimbangan Mungkin Ini Dapat Membantu Memperjelas Keterangan: EFECTIVENESS INTEGRALISTIK SENTRALISTIS KONSENSUS PERSATUAN NASIONALISME PEMBANGUNAN EKONOMI SOSIALISME KETAATAN PERATURAN HUKUM KETERTIBAN KEBENDAAN KONSERVATIFME KEKUASAAN FUNDAMENTALISME SILA III PANCASILA
RESPONSIVENESS DEMOKRASI DESENTRALISASI KONFLIK KEBEBASAN PROPINSIALISME PEMBANGUNAN POLITIK LIBERALISME HAK ASASI PERTIMBANGAN MORAL KETENTRAMAN KEAKHLAKAN MODERNISME PELAYANAN KEMANUSIAN SILA IV PANCASILA
Sumber: Inu Kencana, Ilmu Pemerintahan dan Al Quran. PT Bumi Aksara Jakarta 1995, hlm. 314.
Sebagian negara begitu dikontrol dengan dalih bahwa kekuasaan di tangan satu partai rakyat proletar, yang kemudian partai itu sendiri bukan menyuarakan kepentingan rakyat tetapi kepentingan partai sehingga semakin lama semakin terikat. Jadi jangan harapkan rakyat dapat mengkritik pemerintah seperti di Rusia, tetapi akibatnya pemerintah menjadi dominan di bawah partai, segala sesuatu serba rahasia dan tanpa tanggung jawab, karena tanggung jawab pemerintah kepada rakyat hanya dalam hati nurani saja (moral responsibility). Di negara Indonesia, pendemokrasian berusaha untuk berada di tengah karena Parlemen Indonesia yaitu DPR RI dapat bertanya kepada pemerintah (Presiden dan Menteri-Menteri) tetapi tidak bisa menjatuhkan pemerintah. Sepanjang mereka dapat menghindari kecaman yang selama ini banyak dilontarkan kepada mereka yaitu 4D (datang, duduk, diam, dan duit) di Parlemen. Dan bahkan sekarang ditambah lagi 3D yaitu (dengar, dengkur, dosa). Bukti lain bahwa Indonesia berusaha menyeimbangkan antara sentralisasi dan desentralisasi, adalah ideologi Pancasila itu sendiri, karena sila ketiganya (persatuan Indonesia) menegaskan sentralisasi sedangkan sila keempatnya yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, menegaskan desentralisasi. Jadi seluruh perbincangan pendemokrasian ini dapat pula kita bawa pada perbincangan hubungan pusat dengan daerah, karena bagaimanapun kecilnya suatu negara, akan tetap dapat terbagi dalam daerah-daerah besar dan kecil untuk memisahkan urusan pemerintahan terutama dalam pelayanan masyarakat. Penguasaan pusat terhadap daerah disebut sentralisasi, sedangkan lawannya penyerahan urusan kepada daerah disebut desentralistis, memang seutas tali yang pada ujungnya tali tersebut di gantung sesuatu, bila tali itu diayun, maka ia akan berayun ke kiri dan ke kanan, masing-masing arah menunjukkan dominasi kutub-kutub pilihan desentralisasi berada di satu arah dan sentralisasi berada di arah lainnya. Kemana satu negara akan berpijak dan akan condong, baik secara ekstrim ataupun mengharapkan perimbangan, tergantung situasi dan kondisi negara masing-masing. Daftar pustaka: Inu Kencana Syafiie. 1998. Ekologi Pemerintahan. Jakarta: PT Perca.