KETAHANAN PANAS CEMARAN ESCHERICHIA COLI

Download aureus, Bacillus cereus dan Bakteri pembentuk spora pada proses pembuatan tahu dan ... 1. BAB I. PENDAHULUAN. 1. Latar belakang. Tahu terma...

0 downloads 579 Views 1MB Size
KETAHANAN PANAS CEMARAN Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Bacillus cereus dan BAKTERI PEMBENTUK SPORA yang DIISOLASI DARI PROSES PEMBUATAN TAHU DI SUDAGARAN YOGYAKARTA Heat Resistance of Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Bacillus cereus and Spore Forming Bacteria Contamination Iisolated from Tofu Production at Sudagaran Yogyakarta Reny Mailia 12 / 337675 / PTP / 01188 ABSTRAK Karakteristik tahu dengan a w 0,89-0,90 dan kadar protein 8% atau lebih, menjadikan tahu sebagai media yang cocok bagi pertumbuhan bakteri. Hal ini menyebabkan tahu menjadi sangat mudah rusak karena cemaran bakteri. Cemaran bakteri yang ditemukan dalam tahu dikarenakan pada proses pembuatan tahu terjadi kontaminasi. Sumber pencemaran tahu berasal dari bahan baku, selama proses pembuatan tahu dan tingkat higinis sanitasi selama proses pengolahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat cemaran Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Bacillus cereus dan Bakteri pembentuk spora pada proses pembuatan tahu dan mempelajari sifat ketahanan panas dari masing -masing cemaran. Tahapan penelitian dimulai dari pengamatan proses pembuatan tahu, isolasi dan identifikasi dan analisa kuantitatif cemaran Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Bacillus cereus dan bakteri pembentuk spora pada proses pembuatan tahu mulai dari bahan baku yaitu air dan kedelai, bubur kedelai, sari kedelai masak, gumpalan tahu, kecutan dan tahu. Isolat yang berasal dari proses pemasakan dan proses penggumpalan digunakan untuk pengujian ketahanan pan as (nilai D dan Z). Penghitungan nilai D dan Z menggunakan regresi linier. Escherichia coli ditemukan pada air, kedelai, bubur kedelai, gumpalan tahu dan tahu, dengan jumlah 10 1 -102 CFU/g. Isolat Escherichia coli GMP, nilai D60C =4,83 menit dan nilai Z=22,73C. Staphylococcus aureus ditemukan pada kedelai, gumpalan tahu dan tahu, dengan jumlah 10 1 CFU/g. Isolat Staphylococcus aureus GMP 4, memiliki nilai D 60C =2,72 menit dan nilai Z =18,87C. Untuk isolat Staphylococcus aureus GMP 6, nilai D60C =2,54 menit dan nilai Z =18,18C. Bacillus cereus ditemukan pada air, kedelai, bubur kedelai, sari kedelai masak, gumpalan tahu dan tahu, dengan jumlah 10 2 -103 CFU/g. Sel vegetatif Bacillus cereus SK 2, memiliki nilai D 60C =5,43 menit dan nilai Z =22,72C. Untuk sel vegetatif Bacillus cereus SK 4, memiliki nilai D 60C =5,95 menit dan nilai Z =22,22C. Bakteri pembentuk spora ditemukan pada air, kedelai, bubur kedelai pada proses penggilingan, sari kedelai masak, gumpalan tahu, kecutan dan tahu, dengan jumlah 102 CFU/g. Kata kunci : tahu, Escherichia coli, Staphylococcue aureus, Bacillus cereus, bakteri pembentuk spora, ketahanan panas

ABSTRACT Characteristics of tofu with higher aw (0.89 to 0.90) and protein levels of 8% or more, made tofu to be a suitable medium for bacterial growth. This leads to out to be very easy to damage due to bacterial contamination. Contamination of bacteria commonly found in the tofu because of contamination in the process making of tofu. Source contamination can come out from the raw material, during the process of making tofu and hygienic sanitation level during processing. Generally, this study aims to determine the level of contamination of Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Bacillus cereus and spore-forming bacteria in the process of making tofu and study the properties of heat resistance of each isolate. Phases of of the study started with the isolation and identification and then quantitative analysis of Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Bacillus cereus and spore-forming bacteria in the tofu process from raw materials to end product, tofu, is water and soybean, slurry, soymilk cooking, curd, whey and tofu. Isolates originating from the cooking process and the coagulation process for testing the heat resistance (D value and Z value). D and Z values calculated using linear regression. Escherichia coli found in the water, soybeans, soybean slurry, curd and tofu, the number 10 1 -102 CFU/g. Escherichia coli GMP isolate have D60C =4,83 min and the value of Z = 22.73 C. Staphylococcus aureus found in soybeans and curd, the number of 10 1 CFU/g . The Staphylococcus aureus GMP 4 isolate, have D60C =2.72 min and the value of Z = 18.87C. The Staphylococcus aureus GMP 6 isolate, have D60C =2.54 min and the value of Z = 18.18C. Bacillus cereus found in the water, soybean, soybean slurry, soymilk cooking, curd and tofu , the number 10 2 -103 CFU/g. Bacillus cereus vegetative cells SK 2 have D60C =5.43 min and the value of Z = 22.72C. Bacillus cereus vegetative cells SK 4 have D60C =5.95 min and the value of Z = 22.22C. Spore-forming bacteria found in water , soybean, soybean slurry from the grinding process, the process cooking of soymilk, the process of clotting, whey and tofu, with a number of 10 2 CFU/g . Keywords: tofu, Escherichia coli, Staphylococcue aureus, Bacillus cereus, a spore forming bacteria, heat resistance

BAB I PENDAHULUAN 1.

Latar belakang Tahu termasuk ke dalam golongan pangan yang sangat mudah rusak karena

komposisi tahu yang banyak mengandung protein berkisar antara hingga 8% atau lebih dan Aw hingga 0,89-0,99, hal ini menyebabkan tahu menjadi media yang cocok untuk tumbuhnya mikroba sehingga tahu mudah mengalami pembusukan oleh bakteri pembusuk. Tingkat populasi bakteri yang tinggi berdampak negatif terhadap kualitas tahu karena bakteri yang tumbuh dan berkembang biak akan menghasilkan produk samping yang akan merubah mutu tahu. Sumber pencemaran yang berpotensi untuk mencemari tahu dapat melalui bahan baku yaitu kedelai atau air yang digunakan selama proses pembuatan tahu. Lingkungan produksi dan pekerja juga dapat menjadi sumber kontaminasi bakteri selama proses pembuatan tahu. Tanah dan air merupakan habitat dari banyak bakteri diantaranya Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus dan bakteri pembentuk spora. Staphylococcus aureus juga ditemukan di dalam saluran pernapasan, permukaan ku lit dan rambut (Baird-Parker, 2000). Cemaran bakteri yang dipersyaratkan pada tahu, b erdasarkan Standar Nasional Indonesia tahun 2008 adalah Escherichia coli dan Salmonella. Guidelines for The Assessment of Microbiological Quality of Processed Foods yang dikeluarkan oleh Food and Drug Administration Philippines tahun 2013, bakteri yang dipersyaratkan untuk kualitas tahu selama proses pembuatan tahu

1

adalah Bacillus cereus, Staphylococcus aureus koagulase positif dan Escherichia coli. Untuk mengetahui sumbe r cemaran bakteri pada tahu perlu dilakukan identifikasi cemaran pada setiap tahapan dalam alur proses pembuatan tahu sehingga dapat dilakukan pencegahan. Umumnya penelitian yang ada saat ini, melihat total cemaran bakteri pada tahu belum kepada sumber cem arannya pada alur proses pembuatan tahu . Untuk menekan jumlah cemaran bakteri yang berhasil diisolasi dilakukan dengan proses pemanasan dengan suhu dan waktu tertentu yang mampu membunuh bakteri. Penelitian ini melakukan deteksi cemaran Escherichia coli, Staphylococus aureus, Bacillus cereus dan bakteri pembentuk spora lain pada proses pembuatan tahu, mulai dari bahan baku yang digunakan hingga produk akhir. Penelitian ini juga mempelajari karakteristik ketahanan terhadap panas dari bakteri yang diisolasi dari proses pembuatan tahu yaitu pada proses pemasakan dan proses penggumpalan untuk mengetahui ketahanan panas dari cemaran bakteri Escherichia coli, Staphylococus aureus, Bacillus cereus yang diisolasi dari alur proses pembuatan tahu. 2.

Permasalahan Permasalahan pada produksi tahu adalah kerusakan tahu yang disebabkan

oleh cemaran bakteri mulai dari bahan baku hingga produk akhir. 3.

Tujuan

3.1. Tujuan Umum

2

Mengetahui tingkat cemaran Escherichia coli, Staphylococus aureus, Bacilus cereus dan bakteri pembentuk spora dari proses pembuatan tahu.

3.2. Tujuan Khusus 1. Mengetahui total bakteri dan total Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Bacillus cereus dan bakteri pembentuk spora lain dari proses pembuatan tahu 2. Mempelajari sifat ketahanan terhadap panas dari Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Bacillus cereus dan bakteri pembentuk spora lain yang di isolasi dari proses pembuatan tahu 4.

Manfaat penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran tentang cemaran

dan sifat ketahanan terhadap panas dari Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Bacillus cereus dan bakteri pembentuk spora dari proses pembuatan tahu. Dengan mengetahui sumber cemaran bakteri dan sifat ketahanan terhadap panas dari cemaran bakteri pada tahu diharapkan dapat dilakukan perbaikan proses sehingga bisa menghasilkan tahu yang memenuhi kualitas mutu sebagaimana yang telah dipersyaratkan oleh pemerintah.

3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.

Tahu Kandungan nilai gizi yang baik dan cara pengolahan yang sederhana

membuat hasil olahan dari kedelai menja di salah satu alternatif untuk dapat memenuhi kebutuhan terutama gizi dengan harga yang lebih terjangkau. Salah satu hasil olahan kedelai yang cukup dikenal di masyarakat adalah tahu. Pada tahu terdapat berbagai macam kandungan gizi, seperti protein, lemak , karbohidrat, kalori dan mineral, fosfor, vitamin B -kompleks seperti thiamin, riboflavin, vitamin E, vitamin B12, kalium dan kalsium . Pada makanan hasil olahan kedelai juga membawa manfaat untuk kesehatan jantung karena kedelai mengandung isoflavon, asam amino esensial, anti hipertensi, antioksidan dan tokoferol (Serrazanetti dkk, 2013). Tahu mempunyai mutu protein nabati terbaik karena mempunyai komp osisi asam amino paling lengkap, disamping itu tahu mengandung 50% protein dan 27% lemak, juga mengandung karbohidrat dan mineral. Sehingga t ahu dapat digunakan sebagai alternatif sumber protein dengan harga yang lebih murah. Walaupun kandungan gizi dalam tahu memang masih kalah dibandingkan protein hewani seperti telur, daging dan ikan (Rekha dan Vijayalakshm i, 2013). Berdasarkan pengertian dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) tahun 1998, tahu merupakan produk makanan berupa padatan lunak yang dibuat melalui proses pengolahan kedelai ( Glycine max) dengan prinsip pengendapan protein, dengan atau tidak ditamba h bahan lain yang diizinkan. Dasar pembuatan tahu

4

adalah melarutkan protein yang terkandung dalam kedelai dengan menggunakan air sebagai pelarutnya. Setelah protein tersebut larut, kemudian diendapkan kembali dengan penambahan bahan pengendap sampai terben tuk gumpalan protein yang akan menjadi tahu. Kualitas tahu yang baik memiliki kualitas sensoris dan mikrobiologi sesuai dengan standar SNI 01 -3142-1998 (tabel 2.1). Tabel 2.1. Syarat mutu tahu Jenis Uji Keadaan : Bau Rasa Warna Penampakan Abu Protein Lemak Serat kasar Bahan tambahan makanan Cemaran logam : Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Timah (Sn) Raksa (Hg) Cemaran arsen (As) Cemaran mikroorganisme : E.coli Salmonella

Satuan

Persyaratan Normal Normal Putih normal atau kuning normal Normal, tidak berlendir, dan tidak berjamur Maksimal 1,0 Minimal 9,0 Minimal 0,5 Maksimal 0,1 Sesuai SNI 0222-M dan Peraturan Menteri Kesehatan No.711/Men/Kes/Per/IX/1988

% (b/b) % (b/b) % (b/b) % (b/b) % (b/b)

mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg

Maksimal 2,0 Maksimal 30,0 Maksimal 40,0 Maksimal 40,0 atau 250,0 (dalam kaleng) Maksimal 0,03 Maksimal 1,0

APM/g /25 g

Maksimal 10 Negatif

Sumber : SNI 01-3142-1998 Tentang Tahu Kandungan gizi dalam tahu dengan kadar protein, lemak dan karbohidrat yang baik sehingga tahu sering digunakan sebagai alternatif sumber protein pengganti protein hewani dengan harga yang lebih terjangkau. Nilai gizi dalam 100 g tahu dapat dilihat pada tabel 2.2.

5

Tabel 2.2 . Nilai gizi Tahu per 100 g ((3.5 oz) Komposisi Energi Karbohidrat Lemak Protein Kalsium Besi Magnesium Sodium

Satuan kcal gram gram Gram Mg Mg Mg Mg

Jumlah 76 1,9 0,7 8,1 350 (35%) 5,4 (43%) 30 (8%) 7 (0%)

Sumber: USDA National Nutrient Database for Standard Reference SR18

Disamping kadar protein yang dikandung mutu protein juga dilihat dari dari kandungan asam amino penyusunnya. Diantara semua produk olahan kedelai, kandungan asam amino tahu adalah yang paling lengkap (Mustafa, 2010). Disamping itu jumlah asam amino pada tahu dapat memenuhi a njuran kebutuhan tubuh manusia terhadap asam amino yang dipersyaratkan oleh FAO/WHO (tabel 2.3). Tabel 2.3. Komposisi asam mino tahu dibandingkan dengan komposisi asam Amino yang dianjurkan FAO/WHO Tahun 2002 Jenis Asam Amino Metionin & sistin Threonin Valin Lisin Leusin Isoleusin Fenilalanin & Tirosin Triptofan

Anjuran FAO/WHO (mg/g)* 220 250 310 340 440 250 380 220

Komposisi Asam Amino Tahu (mg/gN) 156 178 264 333 448 261 490 96

Sumber : WHO Technical Report Series Protein and Amino Acid Requir ements in Human Nutrition *) tahun 2002

Karakteristik tahu dengan kandungan protein berkisar antara 8% atau lebih dan aw 0,89-0,99; menyebabkan tahu mudah mengalami pembusukan oleh bakteri 6

pembusuk. Pencemaran bakteri ini akan mempengaruhi mutu tahu karena bahan pangan ini cepat mengalami kerusakan. Tahu hanya dapat tahan selama kurang lebih tiga hari tanpa menggunakan bahan pengawet . Penyimpanan dengan pendinginan (suhu 4 C), akan menekan jumlah bakteri awal, jumlah bakteri awal yang rendah maka waktu yang dibutuhkan untuk mencapai level pembusukan akan semakin lama . Tahu yang tidak disimpan dingin, dengan total bakteri awal 10 6 CFU/g dalam waktu kurang dari tiga hari total bakteri akan mencapai 10 7 CFU/g, sedangkan untuk tahu yang disimpan dalam kondisi dingin, terjadi kenaikan 2 log cycle pada hari ke -7 dari bakteri awal (Rahayu dkk, 2012). Kategori pangan yang dikelua rkan oleh pemerintah, dalam hal ini adalah Badan Pengawas Obat dan Makanan, tahu termasuk dalam jenis makanan segar yang akan melewati proses pengolahan seperti penggorengan sebelum konsumsi, dengan pengolahan yang baik maka akan mengurangi jumlah cemaran bakteri pada tahu. Jumlah bakteri awal pada suatu jenis pangan tetap harus dikendalikan agar memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

1.1. Kedelai Kedelai (Glycine max) adalah salah satu tanaman polong -polongan yang menjadi bahan dasar banyak makanan dari Asia timur seperti kecap, tahu, dan tempe. Kedelai merupakan sumber utama protein nabati dan minyak nabati dunia. Pusat Data dan Informasi Perta nian tahun 2013, menyebutkan konsumsi kedelai di

7

Indonesia mencapai 2,2 juta ton per tahun, dari jumlah itu sekitar 1,6 juta ton (75%) harus diimpor. Lonjakan importasi kedelai disebabkan peningkatan konsumsi produk industri rumahan (tahu, tempe), yang jenis makanan ini semakin banyak atau populer digunakan sebagai substitusi untuk produk hewani pada beberapa kondisi. Tahu dan tempe adalah pangan utama dengan bahan baku dari kedelai. Besarnya rata-rata konsumsi tahu dan tempe t ahun 2002-2012 rata-rata konsumsi tahu sebesar 7,28 kg/kapita/th (Anonim 1, 2013). Produk fermentasi dari kedelai yang melibatkan khamir, bakteri atau kapang baik yang dilakukan secara tunggal atau campuran dari ketiga mikroba tersebut akan menghasilkan produk hasil fermentasi dengan f lavor, tekstur dan aroma yang spesifik. Pangan olahan yang berasal dari k edelai yang banyak dikenal di Indonesia diantaranya adalah tempe, tahu dan tauco. Kedelai termasuk salah satu sumber protein yang harganya relatif murah jika dibandingkan dengan sumbe r protein hewani. Kedelai mengandung 40% protein dan 20% lemak, disamping itu kedelai diketahui juga mengandung phospolipid, vitamin, mineral dan Isoflavon yang sangat bermanfaat bagi kesehatan (Nishinari dkk, 2014). Protein kedelai mengandung asam amino paling lengkap dibandingkan kacang-kacangan yang lain karena memiliki asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh. Kedelai juga mengandung komponen anti gizi dan penyebab bau langu yang tidak disukai. Kedelai yang baik untuk diolah menjadi tahu adalah kedelai yang sudah cukup tua, tidak tercampur dengan benda asing, utuh, tidak berjamur serta berwarna normal (Rahayu dkk, 2012).

8

1.2. Proses pembuatan Tahu Proses pembuatan tahu biasanya diawali dengan perendaman dan pencucian kedelai. Kedelai sebagai bahan uta ma dalam pembuatan tahu, sebelumnya harus di rendam dan dicuci. Pencucian kedelai dimaksudkan agar kedelai bersih dari kotoran seperti batu, kayu ataupun batang kedelai sehingga akan diperoleh tahu dengan cita rasa yang khas, putih dan tahan lama . Proses selanjutnya dilakukan perendaman yang bertujuan untuk melunakkan struktur selulernya karena air yang masuk ke dalam sel-sel biji kedelai akan mengalami pengembangan sehingga akan mempermudah pada proses penggilingan. Lamanya perendaman tergantung pada suhu air perendaman, umur dan varietas kedelai. Lama perendaman kedelai akan berpengaruh terhadap kadar protein dan pH. Semakin lama perendaman maka kadar protein dan pH semakin menurun sedangkan kadar air semakin meningkat. Perendaman yang terlalu lama akan menurunkan kadar protein, hal ini disebabkan karena lepasnya ikatan struktur protein sehingga komponen protein terlarut dalam air. Penurunan pH selama perendaman disebabkan karena aktifitas mikrobiologi. Rasa-aroma dan tekstur tahu juga akan dipengaruhi ole h lamanya waktu perendaman (Suhaidi, 2003). Perendaman juga bertujuan menghilangkan oligosakarida , oligosakarida adalah jenis karbohidrat yang merupakan polimer dari dua sampai sepuluh monosakarida, yang dapat menyebabkan timbulnya gas . Oligosakarida yang mengandung ikatan alfa-galaktosida berhubungan dengan timbulnya flaktulensi, yaitu menumpuknya gas-gas dalam perut. Jenis oligosakarida penyebab flatulensi

9

tersebut banyak terdapat dalam kacang -kacangan, biji-bijian dan hasil tanaman lain. Banyak usaha yang telah dikerjakan untuk menghilangkan oligosakarida dalam kacang-kacangan yang bisa dikomsumsi, d iantara adalah dengan perendaman yang diikuti proses perkecambahan, dan fermentasi misalnya pembuatan tempe, kecap dan tauco (Santoso, 2005) . Kedelai yang telah bersih dan ditiriskan lalu digiling dengan disertai penambahan air. Tujuan penggilingan adalah untuk memperkecil ukuran partikel sehingga dapat mengurangi waktu pemasakan dan dapat memudahkan pada saat melakukan ekstraksi susu kedelai. Saat penggilingan selalu dilakukan penyiraman dengan memakai air sedikit demi sedikit (sebaiknya digunakan air mendidih untuk mempertinggi rendeman dan sekaligus menghilangkan bau langu kedelai). Perbandingan berat kedelai kering dan air yang baik adalah sebesar 1:10. Kedelai yang telah digiling kemudian dimasak, pemasakan ini dimaksudkan untuk menginaktifasi trypsin inhibitor, meningkatkan nilai gizi dan kualitas kedelai, mengurangi rasa mentah dan bau langu susu kedelai, menambah keawetan produk akhir, dan merubah sifat p rotein kacang kedelai sehingga mudah dikoagulasikan. Pemasakan dilakukan pada api besar, p ada pendidihan pertama ditandai dengan terbentuk busa pada permukaan bubur kedelai maka segera disiram air bersih dingin secukupnya secara merata di seluruh permukaan . Pendidihan kedua, berarti perebusan bubur kedelai sudah dianggap cukup. Pemasakan pada suhu 100°C selama 7-14 menit akan memberikan hasil tahu yang baik.

10

Bubur kedelai kemudian disaring dengan saringan yang terbuat dari kain. Hasil saringan ditampung da lam bak penggumpalan. Sari kedelai kemudian dicampur pelan-pelan dan sedikit demi sedikit dengan bahan penggumpal yang telah disiapkan. Senyawa penggumpal yang biasa digunakan adalah kalsium sulfat (CaSO4, dikenal sebagai batu tahu atau sioko), asam cuka, dan biang tahu (cairan bekas perasan tahu yang diinapkan). Faktor yang mempengaruhi proses penggumpalan yang akan mempengaruhi hasil dan tekstur tahu yang dihasilkan, jenis dan jumlah penggumpal yang digunakan , cara penambahan dan pencampuran bahan penggum pal dan lamanya proses penggumpalan akan mempengaruhi tahu yang dihasilkan. Proses ini juga dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya varietas dan komposisi kimia kedelai, suhu pemasakan sari kedelai, volume sari ke delai, padatan terlarut dan pH (Andik a dkk,2009). Suhu dari sari kedelai saat ditambahkan koagulan juga sangat

mempengaruhi hasil dan tekstur tahu. Semakin tinggi suhu saat penggumpalan, hasil dan kadar air tahu akan lebih rendah (Wang dkk,1984). Umumnya suhu awal pada saat proses penggumpala n di industri rumah tangga berkisar antara 70 -80C. Bahan penggumpal yang u mum digunakan oleh industri rumah tangga adalah kecutan atau biang tahu sebagai bahan penggumpalan , kecutan merupakan cairan bening yang berwarna kekuningan yang berasal dari air be ningan (whey) dari proses pembuatan tahu sebelumnya . Kecutan yang disimpan selama semalam, memiliki keasaman yang tinggi biasanya memiliki kisaran pH antara 3 -4, hal ini dikarenakan terbentuk asam-asam organik oleh aktivitas mikroba yang ada dalam kecutan (Rahayu, 2012).

11

Kecutan memiliki suhu sekitar 60-70C. Suhu ini akan turun perlahan -lahan hingga mencapai 30C setelah 14-15 jam. Dengan whey yang bersuhu tinggi maka diperkirakan bakteri-bakteri yang mampu bertahan adalah genera Bacillus, Lactobacillus dan Streptocooccus (Hikam, 2009). Cairan whey kemudian dipisahkan dari endapan agar proses pencetakan dapat dilakukan dengan mudah dan tahu yang dihasilkan mempunyai konsistensi yang lebih baik. Setelah penggumpalan terjadi didiamkan beberapa saat kemudian dilakukan pemisahan antara cairan ( whey) dengan protein yang tergumpal ( curd). Cairan kedelai yang semula berwarna putih susu akan “pecah” dan di dalamnya terbentuk butiran-butiran protein yang akhirnya akan membentuk gumpalan dan mengendap ke dasar bak (ba kal tahu). Setelah itu, cairan akan menjadi bening. Bila demikian berarti seluruh protein sudah menggumpal dan mengendap. Cairan bening diambil dan disimpan semalam untuk digunakan sebagai bahan penggumpalan pada pembuatan tahu berikutnya. Gumpalan yang terbentuk selanjutnya dicetak dengan memasukkannya ke dalam cetakan yang telah dialasi kain blacu berwarna putih, lalu bagian atas juga ditutup dengan kain serupa dan papan. Diatas papan selanjutnya diletakkan pemberat hingga air tahu menetes habis dan ter bentuklah tahu yang sudah tercetak. Setelah itu tahu siap dipotong dan dipasarkan.

2.

Sumber Pencemaran Bakteri Pada Tahu Bakteri yang ditemukan dalam tahu biasanya dikarenakan pada proses

pengolahannya terjadi kontaminasi . Sumber utama pencemaran bakteri pada tahu

12

biasanya berasal dari bahan mentah , tanah dan air yang menjadi sumber utama dari bakteri yang dapat menyebabkan keracunan dan bakteri pembentuk spora seperti Bacillus sp. Lingkungan proses produksi dan karyawan atau pengolah makanan juga menjadi sumber dari kontaminasi bakteri. Kedelai sebagai bahan baku untuk pembuatan tahu, merupakan sumber pencemaran bakteri Bacillus dan bakteri pembentuk spora yang berasal dari tanah. Bacillus cereus dapat ditemukan pada berbagai jenis pangan, seperti beras, kentang dan pasta, daging dan hasil lahannya, susu dan hasil olahan susu, biji bijian, bumbu, sayuran dan juga pada kacang -kacangan kering (Rajkovic dkk, 2013). Kontaminasi kedelai dapat terjadi melalui tanah, dimana tanah merupakan habitat dari banyak mikroba diantaranya Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Bacillus sp (Willshaw dkk, Baird-Parker, dkk, Granum, dkk, 2000). Bacillus cereus atau bakteri pembentuk spora lainnya merupakan bakteri yang tahan terhadap pemanasan sehingga pada proses pemasakan ha nya mematikan sel vegetatifnya sedangkan sporanya dapat tetap bertahan. Air sebagai bahan yang selalu terlibat pada setiap tahap proses pembuatan tahu, maka air berpeluang sebagai sumber kontaminasi oleh bakteri patogen yang berbahaya bagi konsumen apabila sanitasinya kurang baik. Air yang digunakan untuk proses pangan harus memiliki kualitas sebagai air bersih. Beberapa spesies bakteri

yang

umumnya

terdapat

di

dalam

air

adalah

Pseudomonas,

Chromobacterium, Proteus, Micrococcus, Bacillus, Streptococcus, dan jenis enterokokus diantaranya Enterobakter dan Escherichia (Frazier dan Westhoff, 1978 dalam Budi, 2010).

13

Kondisi lingkungan produksi yang tidak bersih dapat menjadi sumber pencemaran bakteri, oleh karena itu lingkungan tempat produksi harus diperhatikan kebersihannya. Lingkungan tempat produksi harus jauh dari sumber pencemaran seperti tempat sampah, hewan ternak dan saluran pembuangan. Tingkat higinis dan sanitasi pekerja menjadi sumber kontaminasi Staphylococcus aureus. Bakteri ini banyak dijumpai pada permukaan kulit, hidung dan tenggorokan manusia, sehingga pada saat mengolah makanan pekerja harus dalam kondisi yang sehat. Standar kualitas tahu selain Standar Nasional Indonesia , ada juga beberapa standar yang menetapkan kualitas mutu tahu terutama dari mutu secara mikrobiologis, seperti standar yang dikeluarkan oleh Soyfoods Association of America yang mensyaratkan kualitas tahu yang baik adalah total bakteri  2000 CFU/g, bakteri patogen Staphylococcus aureus, Salmonella, Entheropatogenic Escherichia coli, Vibrio parahaemolyticus , dan Yersinia enterocolitica negatif. Food and Drug Administration tahun 2013 juga mengeluarkan Guidelines for The Assessment of Microbiological Quality of Processed Foods , untuk kualitas tahu yang dipersyaratkan adalah bak teri

Bacillus cereus

102 CFU/g,

Staphylococcus aureus koagulase positif 10 2 CFU/g dan Escherichia coli < 10 CFU/g.

3.

Cemaran Bakteri Pada Tahu Komposisi suatu bahan pangan sangat menentukan jenis mikroorganisme

yang dapat tumbuh dengan baik pada bahan terse but. Mikroorganisme penyebab

14

kerusakan pada bahan pangan berkadar air tinggi dengan pH netral terutama berasal dari golongan bakteri . Bakteri pembusuk yang menyebabkan kerusakan pada tahu seperti Pseudomonas spp, Coliform, Bacillus spp, Klebsiella spp, Leuconostoc spp dan Staphylococcus spp telah banyak diutarakan dalam berbagai hasil penelitian (Serrazanetti dkk, 2013) Bahan pangan disebut busuk atau rusak jika sifat -sifatnya telah berubah sehingga tidak dapat diterima lagi oleh panca indera. Perubahan yang dapat terlihat dari luar apabila telah mengalami kerusakan, yaitu mengeluarkan bau asam sampai busuk, permukaan tahu berlendir, tekstur menjadi lunak, kekompakan berkurang, warna dan penampakan tidak cerah, kadang -kadang berjamur pada permukaan. Untuk mencegah timbulnya bahaya dalam makanan, maka proses harus dikendalikan sebaik -baiknya agar bahan-bahan berbahaya tersebut tidak mencemari makanan. Jenis -jenis kerusakan tahu, bila ditinjau dari penyebabnya jenis kerusakan, dapat dibedakan menjadi dua yaitu:

3.1. Kerusakan Fisik Kerusakan fisik pada tahu ditandai dengan perubahan sensoris antara lain warna tahu menjadi keruh atau berwarna lain yang berbeda dengan warna awalnya misal

adanya

mikroorganisme

bercak-bercak yang

kuning.

menghasilkan

Perubahan

warna

koloni-koloni

yang

terjadi

karena

berwarna

atau

mempunyai pigmen yang dapat memberi warna baik di dalam maupun di permukaan bahan pangan yang tercemar. Ciri kerusakan fisik juga dapat dilihat dari perubahan tekstur tahu menjadi lunak, permukaan berlendir, hal ini dapat

15

dikaitkan dengan kemampuan beberapa bakteri untuk membentuk bahan kapsul , kadang-kadang berjamur, serta rasa dan aromanya menjadi asam. Kerusakan tahu disebabkan oleh aktivitas bakteri yang tumbuh dan berkembang biak dan hasil metabolit dari bakteri akan dikeluarkan pada bahan makanan sehingga terjadi perubahan secara fisik.

3.2. Kerusakan Mikrobiologis Kerusakan mikrobiologis pada tahu tergantung dari beberapa faktor, antara lain adanya bakteri yang tahan panas seperti golongan bakteri pembentukan spora dan termodurik, adanya bakteri kontaminan yang mengkontaminasi tahu selama proses pembuatan sampai tahu siap untuk dikonsumsi, suhu penyimpanan, dan adanya enzim tahan panas yang dihasilkan oleh golongan bakteri tert entu. Penyebab kerusakan mikrob iologis adalah bermacam -macam mikroba seperti kapang, khamir dan bakteri. Keberadaan bakteri pada makanan umumnya didukung oleh kandungan nu trisi pada makanan tersebut yang merupakan kondisi yang menguntungkan untuk pertumbuhan bakteri. Cemaran bakteri ini menyebabkan penurunan kualitas pada makanan dan dapat menyebabkan keracunan. Penyimpanan pada suhu ruang meningkatkan jumlah bakteri, terutama pada makanan yang disajikan di tempat terbuka dan dapat tercemar bakteri patogen. Pada tabel 2.4 kita dapat meli hat publikasi hasil penelitian yang berhasil mengisolasi beberapa jenis bakteri yang terdapat pada tahu dan susu kedelai .

16

Tabel 2.4. Publikasi hasil penelitian yang mengisolasi bakteri patogen pada tahu dan susu kedelai Peneliti Agboke, dkk

Tahun

Hasil Penelitian

2012

melaporkan hasil penelitian pada 10 sampel susu kedelai di Nigeria ditemukan bakteri patogen seperti Staphylococcus aureus, Escherichia coli dan beberapa jenis jamur seperti Candida sp.

Matsunawa, 2012 dkk, 1998 dalam Rahayu dkk

berhasil mengisolasi dan mengidentifikasikan bakteri penyebab timbulnya warna kuning pada tahu yang dikemas dan dipanaskan. (Rahayu,dkk 2012).

Nadrajah, dkk

2006

berhasil mengisolasi tujuh jenis bakteri pada tahu busuk antara lain : Bacillus sp (S08), Bacillus megaterium (S10), Bacillus cereus (S17,S27, S28, dan S32) dan Enterobacter sakazakii (S35) tetapi tidak dijelaskan karakteristik tahu yang diuji.

Ashraf, dkk 2004 dalam Han

berhasil mengisolasi Enterobacteriaceae, Bacillus cereus dan Staphylococcus aureus dalam tofu.

Prestamo, dkk

2000

menyebutkan beberapa jenis bakteri yang berhasil ditemukan pada tahu di Spanyol antara lain Enterobacteriaceae, bakteri gram negatif (selain Enterobacteriaceae) dan bakteri gram positif.

Ashenafi

1992

Pengujian terhadap tahu yang dijual di supermarket di Munich Jerman, menemukan bahwa tahu segar mengandung bakteri di atas 10 5 CFU/g, sedangkan tahu goreng dibawah 10 3 CFU/g. Tahu segar yang disimpan selama seminggu pada suhu 4 0C mengalami kenaikan jumlah bakteri menjadi 10 6 CFU/g.

Sardjono dan 1992 Kasmidjo, Rahayu

Bakteri yang sering mengkontaminasi tahu adalah genera Bacillus, bakteri asam laktat seperti Streptococcus dan Leuconostoc serta coliform yang tahan terhadap suhu refrigerasi

Van Kooij 1985 dan De Boer

melaporkan hasil penelitian terhadap 154 sampel tahu di Netherlans bahwa pada 95% sampel terdapat jumlah total bakteri >10 6CFU/g, 86% sampel terdapat Enterobacteriaceae >103 CFU/g, 94% sampel terdapat bakteri asam laktat lebih dari 10 4 CFU/g. Tidak terdeteksi adanya Salmonella pada sampel. Namun 36% sampel terdapat >10 2CFU/g Escherichia coli dan Yersinia enterolitica terdeteksi pada 11% sampel.

17

3.3. Escherichia coli Escherichia coli merupakan flora normal yang terdapat dalam saluran pencernaan hewan dan manusia karena secara alamiah Escherichia coli merupakan salah satu penghuni tubuh, seringkali menyebabkan infeksi. Escherichia coli dapat ditemukan tersebar di alam sekitar kita, pencemarannya tidak selalu melalui air, melainkan secara pasif dapat terjadi melalui makan an atau minuman. Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang pendek yang memiliki panjang sekitar 2 μm, diameter 0,7 μm, lebar 0,4 -0,7μm dan bersifat anaerob fakultatif. Escherichia coli membentuk koloni yang bundar, cembung,dan halus dengan tepi yang nyata (Jawetz dkk, 1995). Escherichia coli menjadi patogen jika jumlah bakteri ini dalam saluran pencernaan meningkat atau berada di luar usus. Escherichia coli menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan beberapa kasus diare.

Escherichia coli

berasosiasi dengan enteropatogenik menghasilkan enterotoksin pada sel epitel. Manifestasi klinik infeksi oleh Escherichia coli bergantung pada tempat infeksi dan tidak dapat dibedakan dengan gejala infeksi yang disebabkan oleh bakteri lain (jawetz dkk, 1995). Bila pertahanan inang normal tidak mencukupi, E. coli dapat memasuki aliran darah dan menyebabkan sepsis. Suhu optimum untuk pertumbuhan Escherichia coli 37C tetapi Escherichia coli juga mampu tumbuh pada kisaran suhu yang lebar yaitu antara 15 C-45C. Strain Escherichia coli juga dapat bertahan pada pemanasan pada suhu 55 C

18

selama 60 menit dan bahkan pada suhu 60 C selama 15 menit (Willshaw dkk, 2000). 3.4. Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram-positif, bakteri ini bersifat anaerobik fakultatif. Staphylococcus aureus tidak membentuk spora sehingga pertumbuhan Staphylococcus aureus di dalam makanan dapat segera dihambat dengan perlakuan panas. Kisaran suhu untuk pertumbuhan Staphylococcus aureus berkisar pada suhu 7- 48C, sedangkan untuk suhu optimumnya berada pada kisaran 35-40C. Waktu pembelahan Staphylococcus aureus dalam bahan makanan yang disimpan pada suhu 35 -40C dapat berlangsung singkat yaitu dalam waktu sekitar 20 menit (Baird -Parker, 2000). Kontaminasi Staphylococcus aureus menjadi salah satu penyebab utama foodborne disease (FBD) karena Staphylococcus aureus dapat mengkontaminasi produk makanan selama persiapan dan pengolahan. Bakteri ini sendiri ditemukan di dalam saluran pernapasan, permukaan kulit dan rambut ju ga umum ditemukan pada lingkungan sekitar kita seperti tanah, air dan udara (Baird-Parker dkk, 2000). Keberadaan Staphylococcus aureus dalam bahan pangan erat kaitannya dengan sanitasi pekerja serta kebersihan lingkungan dan peralatan pengolahan. Apabila Staphylococcus aureus terkontaminasi ke dalam bahan pangan yang mengandung

nutrisi

yang

menunjang

bagi

pertumbuhannya,

jumlah

Staphylococcus aureus akan bertambah dengan laju pertumbuhan yang cepat. Bahan pangan yang menyediakan nutrisi yang menunjang pert umbuhan Staphylococcus aureus adalah bahan pangan dengan kadar protein yang tinggi.

19

Pangan yang dilaporkan dalam berbagai kejadian luar biasa Staphylococcus aureus umumnya diolah dengan proses pemotongan, pemarutan, dan pengilingan yang melibatkan pekerja yang terkontaminasi. Staphylococcus aureus terdapat luas di alam dan pada bahan baku pangan sehingga penanganan yang kurang tepat dapat meningkatkan risiko keracunan pangan akibat Staphylococcus aureus (Anonim 2, 2013). Ketahanan panas Staphylococcus aureus lebih tinggi terutama pada pangan dengan aktivitas air tinggi ( Stewart, 2003 dalam Anonim 2, 2013). Jika dibandingkan dengan bakteri lainnya Staphylococcus aureus memiliki ketahanan panas yang cukup tinggi pada suhu 62.8°C. Staphylococcus aureus lebih tahan terhadap pemanasan pada heating menstruum susu dengan suhu 62.8°C jika dibandingkan dengan bakteri nonspora lainnya seperti, Campylobacter jejuni, Streptococcus. faecalis, dan

Escherichia coli,

Lactobacillus lactis.

Staphylococcus aureus tidak lebih tahan panas dibandingkan dengan spora bakteri seperti spora Bacillus cereus, dan Clostridium botulinum (Hermayani, dkk, 1996). Kontaminasi Staphylococcus aureus pada makanan dapat menyebabkan keracunan (intoksikasi). Hal ini disebabkan karena bakteri tersebut mampu menghasilkan toksin yang berupa enterotoksin di dalam saluran pencernaan. Enterotoksin dapat diproduksi apabila kondisi lingkungan mendukung untuk pertumbuhan dan perkembangan bakteri tersebut, seperti pH dan suhu ( Steward 2003 dalam Anonim 2, 2013). Staphylococcus aureus menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan gastroenteritis. Jumlah sel yang diperlukan oleh Staphylococcus aureus untuk

20

menghasilkan racun yang cukup sehingga bersifat meracuni adalah 105 – 108 CFU/g (Seo dan Bohach, 2007; Montville dan Matthews, 2008 dalam anonim 2, 2013). Namun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Harmayani dkk (1996), enterotoksin belum dapat terdeteksi pada total populasi Staphylococcus aureus mencapai >10 6 CFU/g. Pada kasus-kasus keracunan makanan, bia sanya jumlah Staphylococcus aureus mencapai 10 8 CFU/g atau lebih. Populasi Staphylococcus aureus yang diperlukan untuk menghasilkan toksin adalah 5 x 10 6 CFU/g, dimana toksin yang dihasilkan bersifat tahan panas. Oleh karena itu, walaupun bakterinya sudah mati karena pemanasan kemungkinan toksinnya masih tetap dapat bertahan (Han dkk, 2005). 3.5. Bacillus cereus Pencemaran Bacillus cereus pada makanan sering terjadi terutama kontaminasi pada sebelum dan sesudah proses dan kemampuan bakteri ini yang menyebabkan dua jenis foodborne illnesses pada manusia yaitu diare dan emesis. Bakteri ini menyebabkan diare tipe sedang yaitu diare yang dapat sembuh dengan sendirinya dalam waktu 12 -24 jam. Diare tipe sedang jika terjadi pada bayi dapat mengganggu pertambahan berat b adannya dan apabila terkonsumsi dalam jumlah 5

7

yang tinggi akan menyebabkan kematian pada bayi. Dosis infeksi sebesar 10 -10 3

CFU/ml, tetapi untuk anak -anak dosisnya lebih rendah yaitu 10 -105 CFU/ml ( Gianella dan Brasile, 1997; Mc.Clane, 2001) Bacillus cereus merupakan salah satu bakteri patogen penyebab penyakit karena makanan (foodborne diseases). Bakteri ini berbentuk batang, gram positif, membentuk spora, aerobik fakultatif, motil dan non motil, umumnya ditemukan

21

didalam tanah, material tanaman, jerami kering, makanan mentah dan matang, serta mampu membentuk enterotoksin dalam makanan. Keracunan makanan yang menyebabkan diare umumnya dikaitkan dengan makanan yang banyak kandungan protein., dimana gejala mual yang ditimbulkan biasanya berhubungan dengan makanan yang mengandung pati. Hal ini dikarenakan enterotoksin yang dihasilkan oleh Bacillus cereus. Enterotoksin diproduksi selama fase pertumbuhan logaritmik (Rajkovic dkk, 2013). Pangan yang mengandung lebih dari 10 4-105 CFU/g atau spora per gram tida k aman untuk dikonsumsi karena dosis infeksi diperkirakan berkisar antara 10 5-108 CFU atau spora per gram. Toksin Bacillus cereus pada umumnya diproduksi sebelum 3

5

Bacillus cereus dalam bahan pangan mencapai jumlah sebanyak 10 -10 CFU/ml (Rajkovic dkk, 2013) Habitat utama Bacillus cereus adalah lingkungan dan saluran pencernaan. Terutama tanah dan air yang menyebabkan bakteri ini mempunyai peluang yang besar untuk mencemari bahan ma kanan asal hewan maupun tanaman. Bacillus cereus dapat ditemukan pada berbaga i jenis pangan, seperti beras, kentang dan pasta, daging dan hasil lahannya, susu dan hasil olahan susu, biji -bijian, bumbu, sayuran (Rajkovic dkk, 2013). Bacillus cereus termasuk kedalam bakteri mesophilic dan mampu tumbuh pada pangan dengan kadar asam ya ng rendah. Bakteri ini juga mampu tumbuh pada kisaran suhu antara 15 C – 55 C (optimum pada suhu 30 C-40C). Spora sangat tahan terhadap panas hingga dapat mencapai suhu 121 C (Granum dkk, 2000).

22

3.6. Bakteri Pembentuk Spora Spora merupakan salah satu adaptasi bakteri untuk bertahan terhadap panas . Bakteri pembentuk spora yang paling penting adalah ge nus Bacillus dan Clostridium.

Bacillus

cereus,

C.botulinum

dan

C.perfringnes

mampu

menyebabkan keracunan. Bakteri pembentuk spora dalam makanan menjadi permasala han dalam keamanan pangan karena spora yang dibentuk tahan terhadap pemanasan, pembekuan, zat kimia, walau sel vegetatifnya mampu dimatikan dengan kondisi diatas. Spora yang terbentuk mampu bertahan dan membutuhkan kondisi yang ekstrim untuk menginaktifkan spora. Spora biasanya ditemukan pada tanah, air dan saluran pencernaan dari manusia dan hewan, juga mampu mengkontaminasi makanan. Metode seperti pemanasan dan iradiasi dapat digunakan untuk menginaktifkan spora bakteri tergantung besarnya konsentrasi yan g digunakan. Beberapa hanya mampu melukai spora tetapi tidak menginaktifkan spora, setelah injury tersebut pulih maka spora akan aktif kembali. Bakteri penghasil endospora dibagi menjadi dua kelompok, yaitu termasuk genus Bacillus jika merupakan gram positif, dan termasuk genus Clostridium jika merupakan gram negatif. Menurut Doi dan McGloughlin (1992) dalam Hatmanti, (2000), dua sifat utama yang membedakan Bacillus dari bakteri pembentuk endospora lainnya adalah kemampuan Bacillus untuk hidup aerob (walau pun beberapa bersifat fakultatif anaerob) . Endospora yang dihasilkan oleh Bacillus mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap faktor kimia dan fisika, seperti suhu ekstrim, alkohol, dan sebagainya .

23

Resistensi ini selalu akan terbentuk jika bakteri dalam kon disi yang ekstrim maka akan membentuk suatu metabolik inaktif antara inti sel dan calcium dipiconilic acid DPA. Spora tersebut membawa siklus perkembangan dimana sel vegetatif dapat membentuk spora dan spora kemudian dapat tumbuh berkecambah menjadi sel vegetatif (Baweja dkk, 2008 dalam Desai dan Varadaraj, 2010). Bacillus spp merupakan bakteri yang berbentuk batang dapat dijumpai di tanah dan air. Beberapa jenis menghasil enzim ekstraseluler yang dapat menghidrolisis protein dan polisakarida kompleks. Bacillus spp membentuk endospora, merupakan gram positif, bergerak dengan adanya flagel peritrikus, dapat bersifat aerobik atau fakultatif anaerobik ( Granum dkk, 2000). Bentuk koloni dan ukurannya sangat bervariasi tergantung dari jenisnya. Selain itu setiap jenis juga menunjukkan kemampuan dan ketahanan yang berbeda -beda dalam menghadapi kondisi lingkungannya, misalnya ketahanan terhadap panas, asam, kadar garam, dan sebagainya. Reaksi dari tiap mikroorganisma dalam menghadapi kondisi lingkungannya akan berbeda satu dengan yang lain, hal ini karena mikroorganisma mempunyai sifat dan karakter yang berbeda. Tidak semua mikroorganisma dapat menguasai faktor faktor luar sepenuhnya, untuk bertahan hidup mikroorganisma harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana mikroorganisma tersebut berada. Penyesuaian diri ada yang bersifat sementara waktu saja ada juga yang bersifat permanen sehingga mempengaruhi bentuk morfologi dan sifat sifat fisiologi dan keturunannya.

24

4.

Proses termal Proses termal merupakan salah satu proses penting dalam pengawetan yang

menggunakan energi panas. Tujuan proses termal adalah mematikan bakteri yang dapat menyebabkan penyakit dan menimbulkan kebusukan pada pangan sehingga dihasilkan produk pangan yang aman dan awet . Proses termal dapat diartikan sebagai suatu proses yang mendayagunakan energi panas untuk menghasilkan perubahan pada suatu bahan. Proses termal juga ditujukan untuk mengurangi bakteri penyebab keracunan pangan, kemudian untuk memenuhi keingian konsumen dimana konsumen menginginkan bahan pangan dengan kualitas yang baik dan aman untuk dikonsumsi, dan diharapkan juga

agar proses termal ini masih dapat

mempertahankan zat nutrisi serta mutu bahan pangan semaksimal mungkin . Proses termal pada bahan pangan bertujuan untuk meningkatkan daya cerna, memperbaiki flavor, tekstur yang lebih baik juga memusnahkan bakteri pembusuk dan patogen atau menginaktifkan enzim.

Sifatnya yang mampu untuk

memusnahkan bakteri, maka dengan menggunakan proses ini ada jaminan bahwa bakteri yang telah mati tidak akan pernah aktif kembali. Walaupun ada bakteri yang ditemukan pada produk pangan yang diproses dengan cara ini, maka kemungkinan besar hal ini terjadi karena rekontaminasi (Fardiaz, 1996). Proses termal dalam pengol ahan pangan dan pengawetan bahan p angan juga dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi aktivitas biologis yang tidak diinginkan yang terjadi di dalam bahan pangan, seperti aktivitas mikroorganisme

25

untuk tumbuh dan berkembang biak, yang menguraikan komponen-komponen nutrisi produk pangan. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan atau resistensi mikro ba terhadap pemanasan, merupakan reaksi komplek dimana sifat ini sangat tergantung pada kondisi fisiologi yang spesifik dari jenis mikro ba itu sendiri. Hal ini juga tergantung pada faktor instriksik seperti pH, kandungan antimikroba dan faktor ekstrinsik seperti suhu, komposisi pangan seperti air, lemak, garam, karbohidrat, protein dan senyawa lainnya. pH mikroorganisme yang ditumbuhkan pada pH optimum lebih tahan terhadap panas (Bryne dkk,2006; Desai dan Varadaraj, 2010). Proses pembuatan tahu juga melibatkan proses termal didalamnya dengan suhu yang tinggi yaitu pada proses pemasakan sari kedelai dan proses penggumpalan protein. Adanya sumber -sumber pencemaran bakteri pada tahu dimungkinkan ada bakteri yang dapat bertahan selama proses tersebut. Hal ini dikarenakan ketahanan panas bakteri dipengaruhi oleh komposisi pangan seperti jumlah karbohidrat, protein dan lemak. Komposisi pangan ini mampu melindungi bakteri terhadap panas sehingga meningkatkan ketahanan panas. Spesies bakteri akan menunjukkan respon yang berbeda terhadap panas, hal ini dipengaruhi oleh perbedaan strain karena adanya perbedaan faktor lingkungan seperti suhu pertumbuhan, media pertumbuhan, paparan terhadap panas (Bryne dkk, 2006). Jumlah mikroba pada bahan juga mempengaruhi ketahanan mikroba terhadap panas, karena semakin tinggi jumlah mikro ba pada bahan pangan maka pemanasan yang dibutuhkan untuk mengurangi jumlah mikroba membutuhkan

26

suhu pemansanan yang tinggi dengan waktu yang semakin lama. Semakin lama pemanasan, semakin besar pengaruhnya terhadap kematian mikroba . Mikroorganisme mempunyai mekanisme untuk melindungi dirinya dari kondisi lingkungan yang kurang mendukung pertumbuhan bakteri. Bakteri akan memproduksi Heat shock protein atau stress protein (HPs). Beberapa shock protein bersifat spesifik dan yang lainnya bersifat nonspesifik. Shock protein yang bersifat spesifik diekspresikan ketika mendapatkan satu faktor tekanan dari luar sedangkan shock protein nonspesifik dilepaskan ketika melawan lebih dari satu faktor gangguan. Shock protein ini memberikan perlindungan pada struktur bakteri seperti DNA, dan beberapa enzim penting. Sintesis shock protein dalam jumlah besar diinduksi oleh kondisi lingkungan yang kuran g mendukung untuk pertumbuhan. Namun, bila bakteri berada pada lingkungan yang mendukung untuk tumbuh, protein tersebut dihasilkan dalam jumlah sedikit (Schumann, 2003 dalam Cebrian, dkk, 2009). Ekspresi gen yaitu gen heat shock, dimana gen ini yang mengk ode protein heat shock (HPs) menyebabkan timbulnya termo toleran pada mikroba. Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang telah di publis, termo toleran dapat diperoleh pada sel bakteri tanpa diinduksi oleh protein heat shock (HPs) dan juga HPs tidak selalu ditimbulkan oleh termo toleran yang diterima oleh bakteri. Meningkatknya termo toleran pada sel bakteri setelah heat shock akan meningkatkan kemampuan untuk memperbaiki kerusakan protein terutama sebagai akibat dari kerusakan protease dan chaperones (Sch umann, 2003 dalam Cebrian, dkk, 2009).

27

Ekspresi gen yang berhubungan dengan stress dari luar diinisiasi oleh polipeptida spesifik atau faktor sigma (σ) yang disintesin oleh gen spesifik. Gen tersebut antara lain σB atau σ37 (dikode oleh gen B) yang memban tu ketika bakteri gram positif mengalami tekanan yang bersifat general (nonspesifik), σ32 (disandi oleh gen rpoH) dan σ24 (disandi oleh gen rpoE) yang berperan ketika bakteri gram positif mendapatkan gangguan pemanasan. Gen σ38 (disandi oleh gen rpoS) berperan ketika bakteri negatif mengalami tekanan yang bersifat general

(nonspesifik).

Mekanisme

adaptasinya

dimulai

ketika

bakteri

mendapatkan tekanan dari luar. Gen sigma () pada Escherichia coli merupakan gen utama yang mengendalikan ketahanan panas pada bakteri ini (Hengge-Aronis, 2002 dalam Ouazzou dkk, 2012; Corradini dan Peleg, 2009) Karakteristik ketahanan panas spora yang relatif tinggi menjadi masalah dalam pengolahan pangan karena spora yang bertahan terhadap perlakuan pengolahan pada suatu saat aka n kembali aktif dan memperbanyak diri menjadi sel vegetatif. Spesies Bacillus, ketahanan spora terhadap panas berkorelasi dengan suhu maksimum pertumbuhannya, dimana pada waktu yang sama spora mempunyai ketahanan panas lebih tinggi daripada sel vegetatifny a. Spora pada umumnya lebih tahan terhadap pemanasan kering daripada pemanasan basah, dan spora akan lebih tahan panas jika dipanaskan di dalam medium dengan tekanan osmotik tinggi ( Gombas, 1983) Sel vegetatif ini yang dapat menyebabkan kerusakan dan kebu sukan pada produk pangan. Untuk bakteri pembentuk spora, pemanasan merupakan hal yang perlu mendapat perhatian. Pemanasan harus dilakukan pada suhu dan waktu yang

28

cukup sehingga mampu membunuh spora. Bacillus cereus merupakan salah satu bakteri pembentuk spora dan bahnkteri ini sering menyebabkan kebusukan pada pangan begitu juga pada tahu. Nilai D dan Z yang menggambarkan ketahanan panas dari bakteri akan berbeda untuk masing-masing bakteri. Semakin besar nilai D menunjukkan bahwa bakteri tersebut tahan terhadap panas pada suhu tertentu. Perbedaan ketahanan panas pada masing-masing bakteri akan berbeda -beda. Setiap bakteri akan mempunyai penyesuaian terhadap kondisi lingkungan dengan cara yang berbeda beda, seperti pada saat nutrisi berkurang, penurunan pH atau pada kondisi dimana suhu menurun atau meningkat (Hengge-Aronis, 2002 dalam Ouazzou dkk, 2012). Variasi nilai D dan Z dari hasil penelitian yang pernah dipublikasikan berikut media pertumbuhannya untuk masing -masing strain Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus (tabel 2.5). Tabel 2.5. Variasi nilai D dan Z Strain bakteri Escherichia coli 0157 H:7 ATCC 43895 Escherichia coli 0157 H:7 933, A9218-C1, 45753-35 Escherichia coli ATCC 25922

Escherichia coli 0157 H:7 EDL931, A9218-C1, 45753-35, 933 EDL-931

Nilai D

Nilai Z

D 50-60C=120 menit D 65-70C=120 detik

-

D55C=7,03 menit, D60C=0,93 menit D65C= 4,2 detik

4-6C

D63C=3,9 menit; D65C=3,5 menit; D67C=2,8 menit dan D75C=1,5 menit D55C=11,51 menit, D57,5C=3,59 menit D60C=1,89 menit D62,5C=0,81 menit, D65C=0,29 menit

29

Media

Referensi

Sosis daging babi di Afrika Produk ikan

Rajkowski dkk, 2012

23,1C

Susu kambing

Pereira dkk, 2006

4,94-6,79C

pada daging unta, babi dan domba

Juneja dkk, 1998

Rajkowski dkk, 2012

Tabel 2.5. lanjutan Strain bakteri Staphylococcus aureus AS2 Staphylococcus aureus NU3 Staphylococcus aureus 161-C S-1 B-120 S-18. Staphylococcus aureus sel vegetatif Bacillus cereus CFR 1521 dan CFR 1532 sel vegetatif Bacillus cereus DSM 4313 dan DSM626

Nilai D

Nilai Z

Media

Referensi

Suhu 53, 54, 55 and 56C berkisar 5,1719,47 menit Suhu 53, 54, 55 and 56C berkisar 5,1719,47 menit Suhu berkisar antara 5262°C. D= 0.20-3.50 menit D= 0.15-3.0 menit, D= 0.40-1.50 menit, D= 0.50-2.55 menit. -

4,74-5,10C

pada ayam suwir

Hariyadi dkk, 2011

3.37-3.7°C.

Nasi uduk

Hariyadi dkk, 2011

-

susu murni, susu skim, whey keju ceddar, dan fosfat buffer. Berbagai produk

Walker dan Harmon 1966

Suhu 56C =10,6 menit Suhu 60C =3,45 menit

12,1-14,1 12,5-24,0

Suhu 50C =33,2 menit Suhu 55C =6,4 menit Suhu 60C =1,0 menit

6,6°C

8,8-20,4C

Saline, BHI broth, susu skim dan susu Daging babi gulung

Asselt dan Zwietering, 2005 Desai dan Varadaraj, 2010 Byrne dkk,2006

Pengujian ketahanan panas (ni lai D dan Z) bakeri memerlukan beberapa data dan pengukuran melalui percobaan. Nilai D adalah waktu dalam menit dimana populasi mikroba tertentu (spora/sel) pada pemanasan dengan suhu tertentu diredukasi 90% atau sebesar satu log10. Semakin besar nilai D pada suhu tertentu maka semakin tinggi pula ketahanan pada panas mikroba tersebut pada suhu tertentu. Nilai D dipengaruhi oleh suhu. Semakin tinggi suhu maka nilai D semakin kecil. Artinya, semakin tinggi suhu pemanasan, maka waktu yang diperlukan untuk menginaktifkan mikroba akan semakin pendek. Nilai D hanya berlaku untuk suhu tertentu .

30

Besarnya perubahan nilai D akibat perubahan suhu sangat tergantung pada kepekaan maikroba tersebut terhadap perubahan suhu. Semakin peka mikroba tersebut terhadap perubaha n suhu, maka perubahan suhu akan sangat berpengaruh pada tingkat kematiannya atau nilai D. Nilai D ditentukan dengan menempatkan titik -titk setiap penurunan 1 log 10 dari mikroba yang mampu bertahan pada suhu dan waktu tertentu. Nilai D ditetapkan dengan rumus regresi liner :

y = a + bx Keterangan : y= variabel terikat a= intersep/konstanta b= koefesien regresi/slop x= variabel bebas

Nilai D dari setiap mikroba memiliki sensitifitas yang berbeda terhadap perubahan suhu. Kepekaan mikroba terhadap perubahan suhu di atas ditunjukkan dengan besaran nilai Z. Nilai Z adalah suhu yang diperlukan .untuk menurunkan atau meningkatkan 1 siklus log nilai D. Semakin besar nilai Z berarti mikroba tersebut daya tahannya aki bat perubahan suhu sangat besar dan sebaliknya jika nilai Z kecil maka mikroba sangat peka terhadap perubahan panas. Nilai Z diperoleh dengan memploting nilai D yang diperoleh pada waktu tertentu, ditetapkan dengan rumus : Nilai Z = 1/ slope

31

Kurva TDT (Thermal Death Time) tercermin pada ketahanan relatif pada suhu yang berbeda-beda untuk setiap jenis mikroba. yang berbeda. yaitu waktu yang diperlukan untuk membunuh sejumlah mikroba pada suhu tertentu.

32

BAB III METODE PENELITIAN

A.

Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2013 – Maret 2014 di

laboratorium mikrobiologi Pusat Antar Universitas (PAU) - PSPG Universitas Gadjah Mada (UGM). B.

Bahan dan Alat Penelitian

1.

Bahan

1.1. Bahan penelitian Bahan yang digunakan adalah sampel pada alur proses pembuatan tahu pada industri rumah tangga tahu Bapak Budiyono Jalan Sugaran TR 3/1027 RT 38 RW 10 Tegalrejo. Sampel berupa air, kedelai, bubur kedelai hasil dari proses penggilingan, sari kedelai pada proses pemasakan, gumpalan tahu, kecutan dan tahu. 1.2. Bahan analisa mikrobiologi terdiri dari : 1.2.1. Media yang digunakan adalah media Brain heart infusion broth (BHIB), Plate Count Agar (PCA), Brilliance E.coli/Coliform Selective medium , Baird Pepton Agar Base (BPA) , Bacillus Cereus Agar Base (BCA) dari Oxoid dan Natrium Chlorida dari Merck. 1.2.2. Media supplemen yang digunakan adalah Egg yolk - Tellurite emulsion, Polymixin B supplement dari oxoid dan kuning telur.

33

1.2.3. Media uji biokimia yang digunakan adalah Plasma darah, SIM, Nitrat Broth, MR-VP, Glukosa, Manitol, yeast ekstrak dari oxoid 1.2.4. Pereaksi yang digunakan adalah p ewarnaan Gram, pewarnaan spora, Indol, Kovaks, Nitrat A dan B, Brom cresol purple, Metyl red. 1.3. Baku bakteri yang digunakan adalah Escherichia coli ATCC 25922, Staphylococus aureus ATCC 25923 dan Bacillus cereus mycoides ATCC 9632 dalam bentuk agar miring. Baku bakteri ini diperoleh dari Balai Laboratorium Kesehatan Yogyakarta.

2.

Peralatan Penelitian Peralatan yang digunakan adalah oven, auto klaf, penangas air suhu 100 C,

pH meter, timbangan, hot plate+stirrer, laminair air flow (LAF) cabinet, stomacher, vorteks, mikropipet dan tip biru, inkubator suhu 30 dan 37 C. Peralatan gelas yang dibutuhkan diantaranya labu erlenmeyer 250 ml, batang kaca bengkok, cawan petri, pipet 1,5,10 dan 25 ml, labu ukur 250 ml.

C.

Tahapan Penelitian Tahapan penelitian yang dilakukan pada penelitian ini meliputi beberapa

tahapan yaitu : 1.

Mempelajari alur proses pembuatan tahu di pabrik tahu Budiyono dimulai

dari bahan baku hingga proses akhir. Pengamatan dilakukan dengan dokumentasi dan deskripsi dari setiap tahapan dan titik kritis selama proses pembuatan tahu yang akan menentukan kualitas produk akhir.

34

2.

Penetapan titik pengambilan sampel pada alur proses pembuatan tahu di

pabrik tahu Budiyono untuk mendapatkan variasi populasi bakteri. Titik pengambilan sampel dilakukan pada bahan baku (kedelai), air, hasil proses penggilingan berupa bubur kedelai, proses pemasakan sari kedelai, proses penggumpalan, kecutan dan produk akhir tahu. 3.

Enumerasi dan isolasi Sampel dilakukan enumerasi total cemaran bakteri, total coliform dan

Escherichia coli, total Staphylococcus sp dan total Staphylococcus aureus, total Bacillus sp dan total Bacillus cereus serta total bakteri pembentuk spora. Selanjutnya dilakukan isolasi kedalam media pertumbuhan koloni yang diduga bakteri Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus. Media yang digunakan untuk uji enumerasi menggunakan media selektif sehingga akan memudahkan untuk memilih koloni yang diinginkan. 4.

Identifikasi Koloni dengan ciri - ciri spesifik diinokulasikan pada media agar miring,

selanjutnya media agar miring diinkubasikan pada suhu 37C selama 24 jam. Selanjutnya lakukanlah identifikasi dengan uji biokimia dan pengecetan gram atau pengecetan spora untuk pengamatan sifat-sifat biokimia dan morfologi. Pada tahapan ini digunakan baku bakteri sebagai pembanding, bakteri referensi yang digunakan adalah Escherichia coli ATCC 25922, Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Bacillus cereus mycoides ATCC 9632. 5.

Uji ketahanan panas masing-masing isolat dengan pengukuran n ilai D dan Z

35

D.

Prosedur Penelitian

1.

Enumerasi dan Isolasi

1.1. Total plate count Media yang digunakan adalah Plate Count Agar (PCA) dengan metode tuang. Sebanyak 25 g sampel dimasukkan kedalam plastik steril yang kemudian ditambahkan 225 ml larutan NaCl 0,89% steril. Dari hasil homogenisasi ini diperoleh pengenceran 10 -1. Buatlah satu seri pengenceran dengan 9 ml NaCl 0,89% steril, dan dari setiap pengenceran dipipet sebanyak 1 ml yang kemudian dimasukkan kedalam cawan petri. Tuangkanlah 15 -20 ml media PCA dengan suhu ±45C diatasnya. Homogenkan perlahan-lahan, setelah media memadat, semua cawan petri kemudian di inkubasi dengan posisi terbalik pada suhu 37 C selama 24-48 jam dan hitunglah semua koloni yang tumbuh. 1.2. Total coliform dan Escherichia coli Media yang digunakan adalah Brilliance E.c oli/Coliform Selective dengan metode sebar. Cawan petri disiapkan terlebih dahulu dengan menuangkan 15 -20 ml media Brilliance E.coli/Coliform Selective kedalam cawan petri steril dan biarkan memadat. Sebanyak 25 g sampel dimasukkan kedalam plastik steril y ang kemudian ditambahkan 225 ml larutan NaCl 0,89% steril , dari hasil homogenisasi ini diperoleh pengenceran 10 -1. Buatlah satu seri pengenceran dengan 9 ml Natrium Chlorida 0,89%, dan dari setiap pengenceran dipipet sebanyak 0,5 ml yang kemudian teteskan keatas cawan petri yang telah berisi media Brilliance E.coli/Coliform Selective.

Larutan disebar hingga rata keseluruh permukaan

media menggunakan batang kaca bengkok. Semua cawan petri kemudian

36

diinkubasi pada suhu 37C selama 24 jam dan semua koloni ya ng tumbuh dihitung, untuk koloni coliform yang dihitung adalah koloni yang berwarna pink sedangkan untuk koloni Escherichia coli yang dihitung adalah koloni yang berwarna ungu. 1.3. Total Staphylococcus sp dan Staphylococcus aureus Media yang digunakan adalah media Baird Pepton Agar Base (BPA) dengan penambahan supplemen egg yolk tellurite. Metode yang digunakan adalah metode sebar. Cawan petri disiapkan terlebih dahulu dengan menuangkan 15 -20 ml media BPA+ egg yolk tellurite kedalam cawan petri steril dan biar kan memadat. Sebanyak 25 g sampel dimasukkan kedalam plastik steril yang kemudian ditambahkan 225 ml larutan NaCl 0,89% steril, d ari hasil homogenisasi ini diperoleh pengenceran 10 -1. Buatlah satu seri pengenceran dengan 9 ml Natrium Chlorida 0,89%, dan dari setiap pengenceran dipipet sebanyak 0, 3; 0,3 dan 0,4 ml yang kemudian teteskan masing-masing keatas tiga cawan petri yang telah berisi media BPA.

Larutan disebar hingga rata keseluruh permukaan media

menggunakan batang kaca bengkok. Semua cawan petri k emudian diinkubasi pada suhu 37C selama 24-48 jam dan semua koloni yang tumbuh dihitung, dengan ciri-ciri koloni yang berwarna abu -abu kehitaman, bulat dengan diameter 2-3mm, dan apabila dicuplik tampak seperti karet. Pada koloni Staphylococcus aureus terdapat zona jernih disekeliling koloni. 1.4. Total Bacillus sp dan Bacillus cereus Media yang digunakan adalah Bacillus Cereus Agar Base (BCA) dengan penambahan supplement Polymixin B dan kuning telur dengan metode sebar.

37

Cawan petri disiapkan terlebih dahulu de ngan menuangkan 15-20 ml media BCA+ Polymixin dan Kuning telur kedalam cawan petri steril dan biarkan memadat. Sebanyak 10 g sampel dimasukkan kedalam plastik steril yang kemudian ditambahkan 90 ml larutan NaCl 0,89% steril, d ari hasil homogenisasi sampe tersebutdiperoleh pengenceran 10 -1. Buatlah satu seri pengenceran dengan 9 ml Natrium Chlorida 0,89% , dan dari setiap pengenceran dipipet sebanyak 0,1 ml yang kemudian teteskan keatas cawan petri yang telah berisi media BCA. Larutan disebar hingga rata kes eluruh permukaan media menggunakan batang kaca bengkok. Semua cawan petri kemudian diinkubasi pada suhu 37 C selama 24 jam dan semua koloni yang tumbuh dihitung, dengan ciri -ciri koloni yang berwarna biru tourquoise dan dikeliling daerah keruh. 1.5. Enumerasi bakteri pembentuk spora Media yang digunakan adalah Plate Count Agar (PCA) dengan metode tuang. Sebanyak 25 g sampel dimasukkan kedalam plastik steril yang kemudian ditambahkan 225 ml larutan NaCl 0,89% steril , dari hasil homogenisasi ini diperoleh pengenceran 10-1. Siapkanlah labu erlenmeyer yang telah diisi dengan 100 ml media PCA cair bersuhu ± 45 C. Sebanyak 10 ml dari homogenisasi sampel yang merupakan pengenceran 10 -1 dipipet dan dimasukkan kedalam labu erlenmeyer. Seluruh labu erlenmeyer dimasukkan kedalam tangas air dengan suhu 80C selama 10 menit sambil digoyang untuk membantu penyebaran panas dan untuk membunuh sel vegetatif bakteri. Selanjutnya Labu erlenmeyer didinginkan sebentar, kemudian segera dimasukkan ke dalam tangas air suhu 45 C selama tidak lebih dari 10 menit. Dari setiap labu erlenmeyer berisi 100 ml media PCA

38

cair bersuhu ± 45C masing-masing dituang ke dalam 5 buah cawan petri, dan dibiarkan memadat. Seluruh cawan diinkubasi pada suhu 35 -35C selama 48 jam. Diamati dan dihitung yang tumbuh di permukaan maupun dibawah permukaan media. 2.

Identifikasi Pilihlan koloni yang spesifik dan diinokulasikan pada media agar miring

dan diinkubasi pada suhu 37 C selama 24 jam, kemudian koloni diambil dengan ose untuk dilakukan uji konfirmasi . sebagai berikut: 2.1. Identifikasi Escherichia coli dilakukan dengan uji fermentasi glukosa, manitol, reduksi nitrat, uji motiliti, uji indol, uji merah metil, uji Voges proskauer dan pengecetan gram . 2.2. Identifikasi Staphylococcus aureus dilakukan dengan uji biokimia dan uji koagulase. 2.3. Identifikasi Bacillus cereus dilakukan dengan uji fermentasi glukosa, manitol, reduksi nitrat, uji motiliti, uji indol, uji merah metil, uji Voges proskauer dan pengecetan spora. 3.

Ketahanan Panas

3.1. Persiapan suspensi inokulum Isolat yang digunakan adalah isolat dari bakteri yang masih dapat bertahan pada proses pemasakan dengan kondisi pemasakan pada suhu 9 3-98C selama 1530 menit dan pada proses penggumpalan dengan suhu 63-65C selama 30 menit. Bakteri hasil identifikasi di inokulasikan pada medium agar miring dengan menggoreskan langsung 1 ose kultur bakteri di atas permukaan agar miring,

39

diinkubasi pada suhu 37C selama 24 jam. Isolat ini diinokulasikan pada media agar miring untuk digunakan pada persiapan suspensi inokulum untuk menguji ketahanan panas (nilai D dan Z) dari masing-masing isolat bakteri Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan sel vegetatif Bacillus cereus. Isolat Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus pada media agar miring diambil satu ose dan diin okulasikan kedalam 30 ml media BHI broth, media diinkubasi pada suhu 37 C selama 24 jam. Lakukankan penghitungan total masing -masing bakteri dengan cara total plate count. Hitunglah total bakteri sebagai jumlah bakteri awal yang digunakan untuk mencemari sampel sari kedelai sebagai media pemanasan yang digunakan pada penelitian ini. Jumlah yang digunakan sebanyak 10 -6-10-7 CFU/ml dalam 100 ml sampel sari kedelai. 3.2. Uji ketahanan panas Sejumlah labu erlenmeyer diisi dengan 100 ml medium pemanasan, kemudian disterilisasi di dalam autoklaf pada suhu 115 C selama 10 menit. Labu erlenmeyer yang telah disterilkan tersebut siap digunakan untuk pengujian ketahananan panas bakteri. Sari kedelai kemudian dicemari bakteri Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan sel vegetatif Bacillus cereus dengan jumlah cemaran 1,0 x 10 7 CFU/ml sebanyak 1 ml dalam 100 ml sari kedelai atau media pemanasan (Walker,1966; Charimba dkk, 2010; Rajkowski, 2012). Masukkan labu erlenmeyer kontrol kedalam penangas air dengan suhu tertentu. Pengukuran suhu bagian dalam sari kedelai dilakukan dengan memakai termometer yang dicelupkan kedalam tabung kontrol sehingga tercapai suhu

40

bagian dalam sari kedelai yang konstan sesuai dengan suhu percobaan. Selanjutnya labu erlenmeyer yang berisi sari kede lai dan yang telah dicemari oleh bakteri dimasukkan kedalam penangas air dengan suhu percobaan sampai waktu yang ditentukan. Setelah waktu pemanasan tercapai, labu segera diangkat dan didinginkan dengan air dingin hingga tercapai suhu kamar. Selanjutnya lakukan penghitungan total plate count dengan seri pengenceran 10 -1 sampai 10 -6 dalam 9 ml NaCl 0,89% steril, dan dari setiap pengenceran dipipet sebanyak 1 ml yang kemudian dimasukkan kedalam cawan petri. Tuangkanlah media PCA dengan suhu ±45 C diatasnya. Semua cawan petri kemudian di inkubasi pada suhu 37C selama 24-48 jam dan hitunglah semua koloni yang tumbuh. Suhu dan waktu pemanasan yang digunakan untuk menguji ketahanan panas masing-masing bakteri seperti yang disajikan pada tabel 3.1; 3.2 dan 3.3. Tabel 3.1. Suhu dan waktu untuk pengujian nilai D Escherichia coli Suhu (C) 55 60 65 70 75

Waktu (menit) 0; 5; 10; 15; 20; 25; 30 0; 3; 5; 10; 15; 20; 25 0; 1; 3; 5; 10; 12; 15 0; 1; 3; 4; 5; 6; 7 0; 10’; 1; 2; 3; 4; 5

Tabel 3.2. Suhu dan waktu untuk pengujian nilai D Staphylococcus aureus Suhu (C) 58 60 62 66 68

Waktu (menit) 0; 5; 7; 9; 12; 15; 20 0; 3; 6; 8; 12; 15; 19 0; 1; 2; 4; 6; 8; 12 0; 15’; 30’; 1; 3; 8; 10 0; 10’; 30’; 1; 3; 7; 9

41

Tabel 3.3. Suhu dan waktu untuk pengujian nilai D Sel Vegetatif Bacillus cereus Suhu (C)

Waktu (menit)

55

0; 5; 10; 15; 20; 25; 30

60

0; 3; 5; 10; 15; 20; 25

65

0; 1; 3; 5; 10; 12; 15

70

0; 1; 3; 4; 5; 6; 7

75

0; 10’; 1; 2; 3; 4; 5

3.3. Kurva kecepatan kematian Kurva kecepatan kematian dapat dibuat dengan memplotkan data -data nilai D pada skala logaritmik dengan menggunakan regresi linier.

42

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

1.

Proses Pembuatan Tahu di Pabrik tahu Budiyono Pada penelitian ini pengambilan sampel dilakukan di p abrik tahu tradisional

skala rumah tangga, di Pabrik tahu Budiyono yang berlokasi di Sudagaran TR 3/1027, RT 38/RW 10, Tegalrejo, Kota Yogyakarta, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pabrik ini dimi liki oleh Bapak Budiyono dan Ibu Dewanti dibantu oleh satu orang pekerja. Pabrik ini menghasilkan tahu putih kompak yang dijual di Pasar Demangan yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Bahan mentah yang digunakan pada produksi tahu di pabrik tahu Budiyono adalah kedelai impor, karena jumlah ketersediaan kedelai impor yang konstan dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan kedelai lokal. Kriteria kedelai yang digunakan adalah kedelai yang sudah cukup tua dengan ukuran seragam dan berwarna normal atau kekuningan. Proses pembuatan tahu di pabrik tahu Budiyono : 1. Perendaman Proses perendaman biji kedelai di pabrik tahu Budiyono dilakukan dengan menggunakan air sumur. Tujuan perendaman biji kedelai adalah

untuk

memperlunak tekstur kedelai sehingga dapat me ngurangi energi yang diperlukan selama penggilingan.

Perendaman juga

bertujuan untuk menghilangkan

oligosakarida pembentuk gas yang banyak terdapat dalam kacang -kacangan. Perendaman yang optimal pada suhu 20 – 22C adalah selama 16 – 18 jam (Wang

43

dkk, 1984). Di pabrik tahu Budiyono suhu air untuk perendaman sekitar 28-30C, karena suhu perendaman lebih tinggi maka waktu perendaman biji kedelai lebih singkat yaitu dengan lama perendaman sekitar 6-8 jam. Perendaman dianggap cukup apabila berat kedelai mencapa i 2x berat keringnya. Perendaman yang terlalu lama akan berpengaruh terhadap kadar protein dan pH. Perendaman yang terlalu lama akan menurunkan kadar protein, hal ini disebabkan karena lepasnya ikatan struktur protein sehingga komponen protein terlarut dal am air. Penurunan pH selama perendaman disebabkan karena proses perendaman memberikan kesempatan pertumbuhan bakteri asam laktat sehingga proses pengasaman berlangsung sebagai akibat aktivitas bakteri asam laktat (Suha idi, 2003). Menurut Wang (1984) perendaman dapat membuat protein dan padatan lain keluar dari biji kedelai. Sehingga pengendalian waktu dan suhu saat perendaman berpengaruh terhadap kualitas produk selanjutnya. Apabila terlalu lama melebihi 16 jam pada suhu 20-22C, biji kedelai dapat terfermentasi dan biji kedelai menjadi berbau dan berbusa. Proses perendaman di Pabrik Tahu Budiyono dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1. Perendaman kedelai pada pabrik tahu Budiyono

44

2. Pencucian Pencucian kedelai dilakukan hingga kedelai tersebut bers ih dari kotoran – kotoran yang mengambang saat direndam. Pencucian dilakukan ± 3 kali dengan menggunakan air bersih yang berasal dari sumur yang ada di pabrik. Pembersihan penting untuk menghasilkan tahu dengan flavor yang disukai, warna yang lebih terang dan umur simpan lebih panjang. 3. Penggilingan Kedelai yang telah bersih dan ditiriskan kemudian kedelai digiling dengan alat penggiling. Selama penggilingan ditambahkan air secara kontinu hingga menjadi bubur kedelai. Tujuan proses penggilingan adalah untuk memperkecil ukuran partikel, sehingga dapat mengurangi waktu pemasakan dan mempermudah ekstraksi. Penambahan air untuk mempermudah untuk proses penggiling an dan membawa hancuran kedelai. Jumlah air yang ditambahkan sangat tergantung kepada jenis dan kecepatan penggilingan. Pengendalian proses penggilingan yaitu dengan perbandingan air yang ditambahkan dengan berat kering kedelai, umumnya perbandingan yang digunakan adalah 10:1. Semakin banyak air yang ditambahkan, protein dan padatan total yang terekstrak juga semakin besar. Jika air yang ditambahkan terlalu banyak, maka bubur kedelai yang dihasilkan akan terlalu kecil dan mempengaruhi yield tahu yang dihasilkan. T etapi apabila air yang ditambahkan terlalu sedikit maka konsentrasi protein dalam sari kedelai akan sangat rendah dan bubur kedelai yang dihasilkan akan berbentuk pasta dan mempengaruhi tahu yang

45

dihasilkan tidak begitu baik. Pada pabrik tahu Budiyono perbandingan antara air : kedelai yang digunakan adalah dengan perbandingan 10:1. Bubur kedelai kemudian segera dimasak karena adanya penundaan waktu pemasakan akan menyebabkan bubur kedelai menjadi asam dan berbusa dan mutu tahu yang dihasilkan menurun. Gambar proses penggilingan di Pabrik Tahu Budiyono dapat dilihat pada Gambar 4.2.

Gambar 4.2. Penggilingan dan bubur kedelai pada pabrik tahu Budiyono 4. Pemasakan sari kedelai Bubur kedelai ditampung dalam t ungku pemasakan dengan ditambahkan air berulang kali. Penambahan air ini ditujukan untuk menghasilkan ekstrak protein yang optimum, mencegah kegosongan dan mencegah meluapnya buih selama pemasakan juga untuk mempermudah ekstraksi protein. P emasakan juga berfungsi untuk menginaktifkan tripsin inhibitor yang dapat mengganggu daya cerna protein oleh tubuh, serta memperbaiki rasa dan aroma. Proses pemasakan bubur kedelai di Pabrik tahu Budiyono berlangsung selama 15-30 menit dengan suhu sekitar 93-98C. Gambar proses permasakan di Pabrik Tahu Budiyono dapat dilihat pada Gambar 4.3

46

Gambar 4.3.Proses pemasakan pada pabrik tahu Budiyono

5. Pemisahan sari kedelai dari padatan (Penyaringan) Tujuan penyaringan adalah untuk memisahkan sari kedelai dari ampasnya. Di Pabrik Tahu Budiyono saat penyaringan diberi penambahan air . Penambahan air ditujukan untuk menghilangkan partikel -partikel kedelai yang menyumbat kain saring sehingga proses penyaringan berjalan lancar serta untuk mengekstraksi protein dan padatan lain yang masih tertinggal pada ampas tahu. Dari hasil penyaringan yang dilakukan didapatkan filtrat berupa sari kedelai yang dimana di dalam nya terdapat protein dan pada tan larut air. Sedangkan bagian–bagian yang tidak larut air berada dalam ampasnya. Proses penyaringan di pabrik tahu Budiyono dapat dilihat di Gambar 4.4.

Gambar 4.4. Proses penyaringan pada pabrik tahu Budiyono

47

6. Penggumpalan Pada pabrik tahu Budiyono, setelah proses pemasakan, sari kedelai kemudian dialirkan melalui selang untuk dilakukan penyaringan lewat kain saring yang telah disediakan diatas bak penggumpalan. Untuk memudahkan proses penyaringan sari kedelai dialirkan air, sehingga suhu sari kedelai menjadi turun. Suhu pada proses penggumpalan berkisar antara 63C – 65C dan lama waktu penggumpalan adalah sekitar 30 menit . Tujuan penggumpalan adalah untuk denaturasi protein sehingga terbentuk gumpalan (curd) yang nantinya dicetak menjadi tahu. Penggumpalan dilakukan dengan cara memasukkan larutan penggumpal ke dalam sari kedelai sambil diaduk pelan-pelan sampai terjadi penggumpalan. Menurut Wang dkk, (1984) suhu dari sari kedelai s aat ditambahkan penggumpal dan cara saat pencampurannya sangat mempengaruhi hasil dan tekstur tahu. Semakin tinggi suhu saat penggumpalan, hasil dan kadar air tahu akan lebih rendah. Di Pabrik Tahu Budiyono, suhu saat penggumpalan adalah 6365C dengan lama waktu penggumpalan adalah 30 menit. Proses penggumpalan berlangsung hingga whey dengan curd benar – benar telah memisah. Setelah protein tergumpal, whey dari tahu dipisahkan dari bagian curd yang telah menggumpal. Whey tersebut dipindahkan ke tempat khusus untuk kemudian dibiarkan fermentasi semalam untuk menghasilkan whey yang dapat digunakan pada produksi keesokannya. Penggumpal yang digunakan di pabrik tahu Budiyono adalah kecutan, yang merupakan whey tahu yang difermentasi selama satu malam . Fermentasi ini dapat

48

membuat pH whey menjadi turun karena adanya asam organik yang terbentuk sebagai hasil metabolisme bakteri yang ada dalam whey tersebut. Saat digunakan, pH kecutan yang digunakan berkisar pada rentang 3,6 – 3,8 dengan suhu kecutan berkisar antara 28-38C.

Gambar 4.5 Kecutan dan Proses penggumpalan pada pabrik tahu Budiyono

7. Pencetakan Gumpalan, atau curd yang terbentuk dimasukkan ke dalam pencetak kayu yang telah dilapisi kain kemudian bagian atas cetakan ditutup oleh papan yang besarnya sesuai dengan bingkai, kemudian di press sampai terbentuk tahu cetak. Pencetakan dilakukan dengan pemberat batu (15 -20 kg) selama 15-20 menit. Proses pencetakan dianggap selesai apabila whey yang keluar dari cetakan sudah sedikit dan tekstur tahu yang didapatkan sesuai dengan yang diharapkan Tujuan dari pencetakan adalah membentuk tahu dengan tekstur yang sesuai dengan keinginan konsumen dan mengurangi kadar air tahu. Sebelum dilakukan pencetakan, whey yang terdapat di dalam gumpalan sari kedelai diambil terlebih dahulu sehingga akan m empermudah dan mempercepat pemindahan gumpalan ke dalam cetakan. Hal ini juga akan mempermudah

49

keluarnya air pada tahap pengepresan sehingga kadar air tahu berkurang. Gambar proses pencetakan dan pengepresan di pabrik tahu Budiyono dapat dilihat pada Gambar 4.6.

Gambar 4.6. Proses pencetakan pada pabrik tahu Budiyono

8. Pemotongan dan Penyimpanan Setelah tahu dicetak dan didiamkan sampai suhunya turun, tahu dipotongpotong dengan ukuran tertentu. Semua tahu yang telah diproduksi lang sung disimpan pada tempat yang telah disediakan kemudian tahu akan direndam hingga waktunya untuk dijual. Proses penyimpanan tahu dengan menggunakan air bersuhu kamar hingga tahu kemudian di jual ke pasar rentan terhadap kontaminasi bakteri karena pada suhu ini pertumbuhan bakteri secara cepat. Pengendalian selama proses perendaman ini diperlukan supaya kondisi mikrobiologis tahu terkendali sehingga tidak berpengaruh terhadap kualitas tahu secara sensoris. Populasi bakteri yang tinggi dapat menyebabkan terbentuknya rasa dan bau yang asam dan terbentuknya gas. Gambar tahu yang sedang disimpan sebelum dipasark an dapat dilihat pada Gambar 4.7

50

Gambar 4.7. Tahu yang direndam pada pabrik tahu Budiyono

2.

Analisa Kuantitatif cemaran bakteri Titik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah pada bahan mentah

yang digunakan yaitu kedelai, air, pada alur proses yaitu penggilingan berupa bubur kedelai, pemasakan sari kedelai, kecutan, gumpalan tahu pada proses penggumpalan dan tahu. Hasil perhitungan rata-rata total populasi bakteri pada 7 titik pengambilan sampel selama proses pembuatan tahu disajikan pada tabel 4.1. Tabel 4.1. Populasi rata-rata bakteri pada alur proses pembuatan tahu Sampel

TPC

Total Coliform

Total E.coli

Total Staph

(CFU/g)

(CFU/g)

(CFU/g)

(CFU/g)

5

1,5x10

3

3,6x10

2

1,8x10

2

Total S.aureus

Total Bacillus

Total B.cereus

Bakteri pembntk spora

(CFU/g)

(CFU/g)

(CFU/g)

(CFU/g)

1,8x10

3

1,5x10

2

3,2x10

2

Air

1,0x10

Kedelai

1,4x10

4

1,1x10

3

1,1x10

2

2,6x10

2

1,2x10

1

1,2x10

3

6,3x10

2

8,7x10

2

Bubur kedelai

9,2x10

3

8,1x10

3

2,1x10

2

5,2x10

2

1,9x10

1

3,1x10

3

8,8x10

2

9,0x10

2

Sari kedelai yang dimasak

1,4x10

3

8,7x10

1

1,2x10

3

4,7x10

2

8,7x10

2

Gumpalan tahu

2,8x10

3

2,0x10

2

2,8x10

2

1,7x10

3

2,9x10

2

9,0x10

2

Kecutan

1,4x10

5

1,2x10

3

1,1x10

3

3,1x10

2

Tahu

1,3x10

4

1,2x10

2

1,3x10

3

5,3x10

2

< 20

< 20

1,9x10

1

< 20 3,0x10

< 10 1

2,3x10

51

< 10

< 10

2,1x10

1

< 10 2

1,0x10

1

< 100 1,6x10

2

Tabel 4.1. terlihat pada air, kedelai dan bubur kedelai terdapat pertumbuhan pada semua bakteri yang dianalisa. Pada tiga titik pengambilan sampel ini diperoleh total coliform dan total Bacillus sp lebih tinggi dibanding bakteri yang lain dilihat dari total populasi bakteri yang dihitung . Suhu pada kondisi ini berkisar antara 2 8-30C

atau suhu kamar sehingga berbagai jenis bakteri dapat ditemukan. Untuk bakteri patogen yang diuji, ditemukan adanya Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus. Pada sampel air, populasi Staphylococcus aureus di bawah 10 CFU/g. Tanah dan air merupakan habitat yang umum untuk berbagai jenis bakteri. Escherichia coli, Staphylococcus sp dan Bacillus cereus dan bakteri pembentuk spora lainnya dapat ditemukan di lingkungan seperti air dan tanah. Keberadaan bakteri ini dilingkungan sekitar manusia sehingga menyebabkan bakteri ini mempunyai

peluang

besar

untuk

mencemari

makanan

selama

proses

pembuatannya. Bacillus cereus dan bakteri pembentuk spora juga sering mengkontaminasi tanaman melalui tanah termasuk kedelai. Bakteri pembentuk spora yang terdalam dalam tanah s eperti Bacillus subtilis, Bacillus licheniformis . Cemaran Staphylococcus aureus dalam bahan pangan erat kaitannya dengan sanitasi pekerja serta kebersihan lingkungan dan peralatan pengolahan. Bakteri ini dapat ditemukan di dalam saluran pernapa san, permukaan kulit dan rambut (Baird-Parker dkk, 2000). Berdasarkan cara produksi pangan yang baik yang dikeluarkan oleh pemerintah bahwa air yang digunakan untuk produksi pangan harus memenuhi persyaratan sebagai air bersih sesuai persyaratan yang dikeluarkan oleh

52

kementrian kesehatan dimana persyaratan untuk air bersih adalah untuk coliform dan Escherichia coli 0/100 ml air. Air yang digunakan pada pabrik tahu Budiyono adalah air sumur yang terdapat di dekat pabrik dengan populasi rata-rata total coliform dan Escherichia coli seperti pada tabel 4.1. Air yang digunakan j uga hendaknya dilakukan pengujian kualitas mutu air secara berkala, pemeriksaan ini dapat dilakukan pada sarana kesehatan setempat seperti Puskesmas. Kedelai merupakan bahan baku utama dalam pembuatan tahu. Pemilihan kedelai sebagai bahan baku pembuatan ta hu memiliki peranan penting karena kedelai yang secara fisik kondisinya tidak baik seperti terlalu lembab akan menyebabkan kedelai mudah ditumbuhi oleh jamur. Biji kedelai yang berlubang akibat serangan hama atau pecah karena kerusakan mekanis, biologis at aupun fisik bisa menyebabkan terjadinya kontaminas i bakteri kedalam biji kedelai. Adanya benda asing seperti pasir, tanah, potongan sisa batang, kulit, daun, biji bijian lain yang bukan kedelai juga dapat menyebabkan kontaminasi bakteri terutama bakteri atau mikroorganisme yang terdapat didalam tanah diantaranya coliform, Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Bacillus cereus atau bakteri pembentuk spora. Menurut SNI 01-3922-1995 syarat mutu kedelai secara umum adalah bebas hama penyakit; bebas bau busuk , bau asam, bau apek dan bau asing lainnya; bebas dari bahan kimia seperti insektisida dan fungisida; memiliki suhu normal. Kedelai yang baik untuk diolah menjadi tahu adalah kedelai yang sudah cukup tua, tidak bercampur dengan benda asing, berukuran serag am, utuh, tidak berjamur, dan tidak berbau, serta berwarna normal (Rahayu dkk,2012).

53

Pada pemasakan sari kedelai diperoleh total populasi bakteri hingga 1,4 x 103 CFU/g. Pada proses pemasakan terjadi penurunan total populasi bakteri dibandingkan proses sebelumnya, penurunan yang terjadi sekitar 2 log cycle. Pada pabrik tahu Budiyono, suhu proses pemasakan berkisar antara 93-98C selama 1530 menit. Pada proses pemasakan ini, bakteri yang tidak tahan terhadap panas akan mati, bakteri yang tahan terhadap pana s dan bakteri yang dapat pembentuk spora tetap dapat bertahan. Umumnya bakteri patogen seperti Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan sel vegetatif Bacillus cereus akan mati pada suhu diatas 90C, sehingga populasi Escherichia coli

kurang dari 20 CFU/g dan

Staphylococcus aureus populasinya kurang dari 10 CFU/g. Pada proses pemasakan dengan suhu 93 -98C walau terjadi penurunan sebanyak 2 log cycle namun tidak mematikan bakteri seperti Staphylococcus sp dan Bacillus sp. Staphylococcus sp memiliki beberapa galur yang tahan terhadap panas dan ketahanan panas Staphylococcus aureus lebih tinggi terutama pada pangan dengan aktivitas air yang tinggi. Bacillus cereus merupakan bakteri yang dapat membentuk spora . Pada kondisi lingkungan yang tidak optimum untu k pertumbuhannya maka Bacillus cereus membentuk spora untuk melindungi dirinya seperti pada lingkungan dengan suhu yang tinggi. Spora Bacillus cereus akan bergerminasi membentuk sel vegetatif jika kondisi lingkungannya optimum untuk pertumbuhan. (Granum dkk, 2000). Selama proses pemasakan ditambahkan air untuk mencegah meluapnya buih sari kedelai dari tungku pemasakan. Air yang ditambahkan pada proses ini adalah

54

air sumur yang ada di pabrik, dengan total populasi bakteri hingga 10 5 CFU/g. Air dengan kondisi seperti ini dapat mencemari sari kedelai yang telah dimasak sehingga bakteri yang mampu bertahan pada suhu pemasakan ini dapat tumbuh kembali. Pada saat penambahan air juga terjadi penurunan suhu, kondisi ini memberikan kesempatan pada bakteri untuk berke mbang biak dan membelah diri. Hal ini memungkinkan untuk tercemarnya kembali sari kedelai walau telah dimasak. Pengendalian pada proses ini, air yang ditambahkan dapat menggunakan air panas atau air yang memenuhi persyaratan air bersih sehingga jumlah cem aran dapat diminimalkan dan suhu yang turun juga tidak terlalu rendah sehingga sel vegetatif bakteri tidak dapat tumbuh. Pada proses penggumpalan, jumlah total bakteri 2,8 x 10 3 CFU/g, mengalami sedikit kenaikan dibanding pada proses pemasakan sari kedelai . Suhu pada proses penggumpalan berkisar antara 63C – 65C dan lama waktu penggumpalan adalah sekitar 30 menit , sehingga beberapa bakteri masih dapat bertahan hidup seperti Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan sel vegetatif Bacillus cereus. Pengendalian pada proses ini, air yang ditambahkan dapat menggunakan air panas atau air yang memenuhi persyaratan air bersih sehingga jumlah cemaran dapat diminimalkan dan suhu yang turun juga tidak terlalu rendah sehingga sel vegetatif bakteri tidak dapat tumbuh . Kecutan merupakan whey tahu yang difermentasi selama satu malam. Jumlah populasi bakteri pada kecutan hingga 1,4 x 105 CFU/g. Total bakteri yang pernah dilaporkan pada whey dengan volume 40 liter sekitar 10 6 CFU/g

55

(Rahayu,2012). Saat digunakan, pH kecuta n berkisar pada rentang 3,6 – 3,8 dengan suhu berkisar antara 28 -38C. Saat disimpan selama semalam, akan terbentuk asam-asam organik oleh aktivitas mikroorganisme yang ada di dalam kecutan. Hal ini menyebabkan kecutan memiliki keasama n yang tinggi (Rahayu dkk,2012). Whey memiliki suhu sekitar 60-70C. Suhu ini akan turun perlahan -lahan hingga mencapai 30C setelah 14-15 jam. Dengan whey yang bersuhu tinggi maka diperkirakan bakteri-bakteri yang mampu bertahan adalah genera Bacillus, Lactobacillus dan Streptocooccus (Rahayu dkk, 2012). Pada penelitian ini, pada kecutan juga ditemukan genera Bacillus, coliform dan bakteri pembentuk spora dengan jumlah hingga mencapai 10 3 CFU/g. Sementara untuk bakteri patogen, p ada kecutan tidak ditemukan Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus karena untuk Escherichia coli pH optimum 7,0-7,5; Staphylococcus aureus dapat tumbuh pada pH 4,0 -9,8, dengan pH optimum 7,0-7,5; Bacillus cereus pH optimum antara 4,3-9,3 (FDA,2012 ). Tahu yang diuji adalah tahu yang segera setelah selesai diproduksi dan belum mengalami penyimpanan dengan perendaman air panas. Tahu sebagai produk akhir di pabrik tahu Budiyono , memiliki total bakteri hingga 1,3 x 104 CFU/g. Berdasarkan Tofu Standards yang direkomendasikan oleh Soyfood Association of America tahun 1986, jumlah total bakteri di pabrik pada hari produksi dengan suhu 4,4C kurang dari 2,0 x 10 3 CFU/g. Sementara kondisi di masyarakat kita, proses pembuatan tahu dilakukan secara tradisional, tahu yang telah dicetak dan d ipotong-dipotong dan direndam

56

dalam air panas pada suhu ruang. Tahu yang diproduksi pada hari itu akan dijual kepasar keesokan harinya. Pada tahu, untuk jumlah coliform hingga 1,2 x 102 CFU/g dan Escherichia coli 3,0 x 101 CFU/g. Berdasarkan Tofu Standards yang direkomendasikan oleh Soyfood Association of America tahun 1986, untuk jumlah coliform di pabrik pada hari produksi dengan suhu 4,4 C kurang dari 10 CFU/g dan Escherichia coli berdasarkan Guidelines for The Assessment of Microbiological Quality of Processed Foods yang dikeluarkan oleh Food and Drug Administration tahun 2013, persyaratan untuk Escherichia coli adalah < 10 CFU/g. Pada tahu, untuk jumlah Staphylococcus sp hingga 2,3 x 102 CFU/g dan Staphylococcus aureus 1,0 x 101 CFU/g. Berdasarkan Guidelines for The Assessment of Microbiological Quality of Processed Foods yang dikeluarkan oleh Food and Drug Administration tahun 2013, persyaratan untuk Staphylococcus aureus koagulase positif adalah 10 2 CFU/g. Pada tahu, untuk jumlah Bacillus sp hingga 1,3 x 103 CFU/g dan Bacillus cereus 1,6 x 102 CFU/g. Berdasarkan Guidelines for The Assessment of Microbiological Quality of Processed Foods yang dikeluarkan oleh Food and Drug Administration tahun 2013, persyaratan untuk kualitas tahu yang dipersyaratkan adalah bakteri Bacillus cereus 102 CFU/g. Untuk bakteri pembentuk spora ditemukan pada semua titik pengambilan sampel yaitu pada air, kedelai, hasil penggilingan berupa bubur kedelai, proses pemasakan sari kedelai, gumpalan tahu, kecutan dan tahu; dengan jumlah hingga 9,0 x 102 CFU/g. Dalam penelitian ini, Bacillus sp merupakan salah satu bakteri

57

penghasil endospora yang terbentuk di dalam sel vegetatif. Dengan kondisi yang ada pada pabrik tahu Budiyono, pada proses pemasakan dengan suhu 93 -98C tidak mampu membunuh spora dari Bacillus sp. Karakteristik spora yang mampu dan dapat bertahan dalam menghadapi kondisi lingkungannya, misalnya ketahanan terhadap panas, asam, kadar garam, dan sebagainya membuat spora ini sulit untuk membunuh spora bakteri . Dibutuhkan suhu yang lebih tinggi untuk membunuh spora bakteri biasanya diatas 100 C. Spora tersebut membawa siklus perkembangan dimana sel vegetatif dapat membentuk spora dan spora kemudian dapat tumbuh berkecambah menjadi sel vegetatif. Terdapatnya mikroba pada tahu yang baru saja keluar dari proses produksi tidak dapat dihindari. Air sebagai bahan yang selalu digunakan sepanjang proses pembuatan tahu harus memiliki standar air bersih seperti yang dipersyaratkan oleh pemerintah. Hal ini untuk mencegah terjadinya kontaminasi bakteri ke dalam tahu. Kedelai yang digunakan juga harus dalam kondisi yang baik. Lingkungan produksi dan pekerja juga harus diperhatikan higine dan sanitasinya. Beberapa prinsip pengawetan bahan pangan sehubungan dengan aktifitas mikroba

antara

lain:

mencegah

masuknya

mikroba,

mengurangi

atau

menghilangkan sebagian dari mikroba, mengurangi atau menghilangkan sebagian dari mikroba yang ada, menghambat pertumbuhan dan atau aktifitas mikroba , dan membunuh sebagian atau seluruh mikroba melalui pr oses pasteurisasi. 3.

Isolasi dan Identifikasi Terhadap isolat hasil pengujian kuantitatif dilakukan identifikasi dengan

pengamatan morfologi dan sifat -sifat biokimia. Pada tahapan ini digunakan

58

bakteri referensi sebagai pembanding, bakteri referensi yang di gunakan adalah Escherichia coli ATCC 25922, Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Bacillus cereus mycoides ATCC 9632. Juga berdasarkan referensi Bacteriological Analitical Manual. a.

Escherichia coli

Empat isolat Escherichia coli yang diisolasi dari proses pe nggumpalan dilakukan uji biokimia dan peroleh hasil fermentasi glukosa positif, fermentasi manitol positif, Nitrat broth positif , Sulfur negatif, indol positif, motil positif, merah metil positif, voges prokuer negatif. Pengamatan mikroskop dengan pewarnaan gram menunjukkan isolat berbentuk batang pendek, gram negatif. Hanya dua isolat yang h asilnya sesuai dengan bakteri referensi dan Bacteriological Analitical Manual. Isolat ini diidentifikasikan sebagai Escherichia coli dengan kode Escherichia coli GMP. Gambar hasil uji biokimia Escherichia coli dan hasil pengamatan mikroskopis dengan pewarnaan gram dapat dilihat pada gambar 4.8.

1 2 3

4 5

6

1.Glukosa 2.Manitol 3.Nitrat 4.SIM 5.MR 6.VP (+) (+) Broth (+) (-/+/+) (+) (-)

Pewarnaan Gram : Gram (-), batang pendek Gambar 4.8. Hasil Identifkasi isolat Escherichia coli GMP

59

b.

Staphylococcus aureus

Enam

isolat

Staphylococcus

aureus

yang

diisolasi

dari

proses

penggumpalan dilakukan uji biokimia dan peroleh hasil fermentasi glukosa positif, fermentasi manitol positif, Sulfur negatif, indol negatif, motil negatif, uji koagulase plasma darah positif. Hanya 4 isolat yang hasil ini sesuai dengan bakteri

referensi

dan

Bacteriological

Analitical

Manual.

Isolat

ini

diidentifikasikan sebagai Staphylococcus aureus dengan kode Staphylococcus aureus GMP. Gambar hasil uji biokimia Staphylococcus aureus dan dan uji koagulase dapat dilihat pada gambar 4.9.

Glukosa (+) Manitol (+) SIM (-/-/-)

Uji koagulase: (+)

Gambar 4.9. Hasil Identifkasi isolat Staphylococcus aureus GMP c.

Sel vegetatif Bacillus cereus

Enam isolat Bacillus cereus yang diisolasi dari proses pemasakan sari kedelai dilakukan uji biokimia dan peroleh hasil fermentasi glukosa positif, fermentasi manitol negatif, Sulfur negatif, indol positif, motil negatif, Nitrat broth negatif, voges prokuer positif. Pengamatan mikroskop dengan pewarnaan spora menunjukkan isolat berbentuk batang berwarna merah dengan letak spora ditengah-tengah atau subterminal dan berwarna hijau . Hanya empat isolat yang

60

hasil ini sesuai dengan bakteri referensi dan Bacteriological Analitical Manual. Isolat ini diidentifikasikan sebagai Bacillus cereus dengan kode Bacillus cereus SK. Gambar hasil uji biokimia Bacillus cereus dan hasil pengamatan mikroskopis dengan pewarnaan s pora dapat dilihat pada gambar 4.10.

Glukosa (+)

Manitol SIM (-) (-/+/-)

VP Nitrat (+) Broth (-)

Pewarnaan spora : Sel vegetatif batang merah, spora transparan

Gambar 4.10. Hasil Identifkasi isolat sel vegetatif Bacillus cereus SK

4.

Kurva kecepatan kematian Kurva kecepatan kematian untuk masing -masing cemaran adalah sebagai

berikut: a. Isolat Escherichia coli GMP Ketahanan panas dari isolat

Escherichia coli

GMP

dari proses

penggumpalan pada suhu 55, 60, 65, 70, 75 C berkisar antara 5,95 hingga 0,96 menit. Untuk isolat Escherichia coli GMP, diperoleh nilai D60C =4,83 menit dan nilai Z=22,72C. Nilai D dan Z yang diperoleh disajikan pada tabel 4.2.

61

Tabel 4.2. Nilai D dan Z Escherichia coli GMP Isolat E.coli GMP

Nilai D (menit)

Sumber Proses penggumpalan

55C

60C 65C 70C

75C

5,95

4,83

0,96

2,87

1,14

Nilai Z (C) 22,72 (r2 =0,95)

Pada gambar 4.11 dan 4.12 dapat dilihat kurva nilai D dan kurva kecepatan kematian isolat Escherichia coli.

Gambar 4.11. Kurva Nilai D E.coli GMP pada sari kedelai

62

Gambar 4.12. Kurva kecepatan kematian E.coli GMP pada sari kedelai Nilai z Escherichia coli pada penelitian ini, dimana nilai Z 22,72C sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pereira dkk, (2006) yang mengukur profil termal inaktivasi Escherichia coli pada susu kambing, hasil penelitian diperoleh nilai D63C=3,9 menit; D 65C=3,5 menit; D 67C=2,8 menit dan D 75C=1,5 menit dengan nilai z=23,1C. Pada penelitian yang pernah dilaporkan oleh Asselt dan Zwietering, 2005, dimana ni lai Z untuk Escherichia coli dalam berbagai jenis produk 10,6C. Rajkowski dkk, 2012 melaporkan untuk Escherichia coli 0157 H:7 ATCC 43895 pada sosis daging babi di Afrika, nilai D

50-60C=120

menit dan D 65-

70C=120 detik, untuk nilai Z tidak melaporkan. Untuk jenis Escherichia coli 0157 H:7 933, A9218-C1, 45753-35 pada produk ikan, nilai D 55C=7,03 menit, D60C=0,93 menit dan D 65C= 4,2 detik dengan Nilai Z=4-6C. Juneja dkk, 1998 melaporkan untuk Escherichia coli 0157 H:7 EDL-931, A9218-C1, 45753-35, 933 EDL-931, pada daging unta, babi dan domba, nilai D55C=11,51 menit, D 57,5C=3,59 menit dan D 60C=1,89 menit, D 62,5C=0,81 menit, D65C=0,29 menit dengan Nilai Z=4,94 -6,79C. Nilai D dan Z untuk Escherichia coli yang pernah dilaporkan berbeda -beda, karena nilai D dan Z dipengaruhi oleh sensitifitas bakteri terhadap perubahan suhu. Sensitifitas ini akan berbeda untuk setiap bakteri. b. Isolat Staphylococcus aureus Ketahanan panas dari isolat Staphylococcus aureus GMP dari proses penggumpalan pada alur proses pembuatan tahu pada suhu 58, 60, 62, 66, 68 C,

63

data nilai D dan Z dapat dilihat pada tabel 4. 3. Isolat Staphylococcus aureus GMP4 memiliki nilai D60C =2,72 menit dan nilai Z=18,87C ; sedangkan untuk Isolat Staphylococcus aureus GMP 6, nilai D60C =2,54 menit dan nilai Z=18,18C. Tabel 4.3. Nilai D dan Z Staphylococcus aureus GMP Isolat

Nilai D (menit)

Sumber

Nilai Z (C)

58C

60C 62C 66C

68C

S.aureus Proses GMP 4 penggumpalan

3,23

2,72

2,17

1,18

1,01

18,87 (r2 =0,99)

S.aureus Proses GMP 6 penggumpalan

3,12

2,54

1,66

0,99

0,95

18,18 (r2 =0,97)

Perbedaan strain merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi respon bakteri terhadap panas. Pada penelitian ini untuk dua jenis isolat Stapylococcus aureus yang berasal dari sumber yang sama juga me miliki respon terhadap panas yang berbeda yang ditunjukkan dengan nilai Z yang diperoleh. Nilai Z Stapylococcus aureus untuk isolat dengan kode GMP 4 dan GMP 6 , 18,87C dan 18,18C secara berurutan. Pada gambar 4.13- gambar 4.16 dapat dilihat kurva nilai D dan kurva kecepatan kematian untuk masing -masing isolat.

64

Gambar 4.13.Kurva nilai D S.aureus GMP 4 pada sari kedelai

Gambar 4.14. Kurva kecepatan kematian S.aureus GMP 4 pada sari kedelai

65

Gambar 4.15.Kurva nilai D S.aureus GMP 6 pada sari kedelai

Gambar 4.16. Kurva kecepatan kematian S.aureus GMP 6 pada sari kedelai Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang pernah dilaporkan oleh Asselt dan Zwietering, 2005, dimana nilai Z untuk Staphylococcus aureus dalam berbagai jenis produk berkisar antara 8,8 -20,4C. Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Sukasih dkk,, 2005, nilai Z bakteri gram positif pada puree mangga adalah 21,23C. Penelitian yang dilakukan oleh Hariyadi dkk, 2011, pada makanan lokal di Indonesia. Isolat Staphylococcus aureus AS2 pada ayam suwir, nilai D pada suhu 53, 54, 55 and 56C berkisar 5,17-19,47 menit dengan nilai Z =4,74 -5,10C . Untuk isolat Staphylococcus aureus NU3 pada suhu 53, 54, 55 and 56C berkisar 5,17-19,47 menit dengan nilai Z=3.37 -3.7°C. Walker dan Harmon (1966) juga menyelidiki ketahanan panas strain Staphylococcus aureus pada susu murni, susu skim, whey keju ceddar, dan fosfat buffer. Strain yang diujikan dalam penelitian ini meliputi isolat 161 -C, S-1, B120, dan S-18. Isolat B-120, dan S-18 hanya diujikan pada heating menstruum fosfat dan susu murni. Suhu perlakuan dalam percobaan berkisar antara 52 -62°C.

66

Nilai D hasil percobaan Walker dan Harmon berkisar antara 0.20 -3.50 menit untuk isolat 161-C. Kisaran D-value untuk isolat S-1, B-120, dan S-18 berturutturut sebesar 0.15-3.0 menit, 0.40-1.50 menit, dan 0.50-2.55 menit. Eden dkk, (1977) mempelajari ketahanan panas strain Staphylococcus aureus yang diisolasi dari susu mentah dengan metode tabung kapiler. Heating menstruum yang digunakan adalah susu skim dengan jumlah mikroba awal 1,0x109 CFU/ml. Pemanasan dilakukan pada kisaran suhu 50-75C, dengan nilai D berkisar antara 0,02-9,96 menit. Nilai Z Staphylococcus aureus sebesar 9.4C. c. Isolat sel vegetatif Bacillus cereus SK Ketahanan panas dari isolat Bacillus cereus SK dari proses pemasakan sari kedelai pada alur proses pembuatan tahu pada suhu 55, 60, 65, 70, 75 C; data data nilai D dan Z dapat dilihat pada tabel 4. 4. Isolat Bacillus cereus SK 2, nilai D60C =5,43 menit dan nilai Z=22,72C. Isolat Bacillus cereus SK 4, nilai D60C =5,95 menit dan nilai Z=22,22C. Tabel 4.4. Nilai D dan Z Bacillus cereus SK Isolat

Nilai D (menit)

Sumber

Nilai Z (C)

55C

60C 65C

70C

75C

B.cereus Proses SK 2 pemasakan sari kedelai

7,19

5,43

2,93

1,22

1,19

22,72 (r2 =0,94)

B.cereus Proses SK 4 pemasakan sari kedelai

6,76

5,95

3,52

1,29

1,05

22,22 (r =0,93) 2

Sama halnya dengan isolat Staphylococcus aureus, perbedaan strain pada isolat Bacillus cereus juga menunjukkan respon yang berbeda terha dap ketahanan

67

panas. Nilai Z sel vegetatif Bacillus cereus untuk isolat dengan kode SK 2 dan SK 4, adalah 22,72 dan 22,22 C secara berurutan. Nilai z sel vegetatif Bacillus cereus pada penelitian ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Desai dan Varadaraj, 2010, pada penelitian tersebut untuk nilai D untuk sel vegetatif Bacillus cereus CFR 1521 dan CFR 1532 pada susu berkisar antara 3,45 menit pada suhu 60C dan 10,6 menit pada suhu 56 C dalam larutan salin. Nilai Z yang diperoleh 9,3C dalam larutan kultur dan nilai z=24C dalam susu. Byrne dkk, 2005 melaporkan sel vegetatif Bacillus cereus DSM 4313 yang diisolasi dari sampel keracunan makanan dan DSM 626 yang merupakan sampel penelitian, nilai D dan Z pada daging babi gulung diperolah, D 50C= 33,2 menit, D55C=6,4 menit dan D 60C=1,0 menit dengan nilai z sel vegetatif Bacillus cereus adalah 6,6C. Pada gambar 4.17- gambar 4.20 dapat dilihat kurva nilai D dan kurva kecepatan kematian untuk masing-masing isolat Bacillus cereus.

Gambar 4.17. Kurva nilai D Bacillus cereus SK 2 pada sari kedelai

68

Gambar 4.18. Kurva Kecepatan Kematian Bacillus cereus SK 2 pada sari kedelai

Gambar 4.19. Kurva nilai D Bacillus cereus SK 4 pada sari kedelai

69

Gambar 4.20. Kurva Kecepatan Kematian Bacillus cereus SK 4 pada sari kedelai

Rangkuman dari ketahanan panas (nilai D dan Z) dari masing -masing isolat yang diisolasi pada alur proses pembuatan tahu dan kondisi proses (tabel 4.5). Tabel 4.5. Ketahanan panas isolat dan kondisi proses Isolat

Sumber

Nilai D (menit)

Nilai Z (C)

Kondisi Proses

Escherichia coli GMP

Gumpalan tahu

D60C =4,83.

22,72

63-65C selama 30 menit

Staphylococcus aureus GMP 4

Gumpalan tahu

D60C =2,72 18,87

63-65C selama 30 menit

Staphylococcus aureus GMP 6

Gumpalan tahu

D60C =2,54 18,18

63-65C selama 30 menit

Bacillus cereus Sari SK 2 masak

kedelai D60C =5,43 22,72

93-98C selama 15-30 menit

Bacillus cereus Sari SK 4 masak

kedelai D60C =5,95 22,22

93-98C selama 15-30 menit

Melihat ketahanan panas dari masing -masing isolat dan kondisi proses yang terdapat pada pabrik tahu Budiyono. Pada proses pemasakan dengan suhu 9398C selama 15-30 menit, untuk menginaktifkan

70

Bacillus cereus

SK

membutuhkan suhu 82,22 C selama 0,595 menit. Dengan kondisi proses seperti ini seharusnya Bacillus cereus SK dapat diinaktifkan. Analisa kuantitatif pada proses pemasakan sari kedelai, masih ditemukan total rata -rata populasi Bacillus cereus 4,7x102 CFU/g. Bacillus cereus merupakan bakteri yang dapat membentuk spora yang tahan terhadap suhu tinggi seperti suhu pada proses pemasakan. Spora ini berisi sel vegetatif, spora Bacillus cereus akan bergerminasi membentuk sel vegetatif jika sudah berada dalam kondisi yang optimum untuk pertumbuhannya. Hal ini menyebabkan masih ditemukannya Bacillus cereus pada proses ini. Hal lain yang juga menjadi penyebab masih ditemukannya Bacillus cereus pada proses pemasakan adalah air yang ditambahkan selama proses ini untuk mencegah meluapnya buih dari tungku pemasakan. Air sumur yang digunakan memiliki total rata-rata populasi Bacillus cereus hingga 1,5x10 2 CFU/g. Air menjadi sumber pencemaran Bacillus cereus pada sari kedelai yang telah dimasak. Pada proses penggumpalan dengan suhu 63-65C selama 30 menit, untuk menginaktifkan Escherichia coli GMP hanya membutuhkan waktu selama 2,72

menit pada suhu 60C. Pada analisa kuantitatif terhadap total rata-rata populasi Escherichia coli pada proses ini masih terdapat 1,9x10 1 CFU/g. Sementara itu untuk menginaktifkan Staphylococcus aureus GMP hanya membutuhkan waktu antara 2,54 hingga 2,72 menit pada suhu 60C. Pada analisa kuantitatif terhadap total rata-rata populasi Staphylococcus aureus pada proses ini masih terdapat 2,1x101 CFU/g.

71

Pada pabrik tahu Budiyono, s ebelum proses penggumpalan, untuk mempermudah penyaringan sa ri kedelai yang telah dimasak, ditambahkan air sumur yang terdapat pada pabrik. Air sumur yang digunakan mengandung total rata-rata populasi 1,0x10 5 CFU/g dengan total rata-rata populasi Escherichia coli 3,6x102 CFU/g dan total rata-rata Staphylococcus sp 1,8x102 CFU/g. Kondisi ini mengakibatkan jumlah bakteri bertambah, jumlah bakteri juga mempengaruhi ketahanan panas dari bakteri tersebut, semakin banyak jumlahnya maka waktu yang dibutuhkan untuk menginaktifkan bakteri tersebut akan semakin lama dan juga dibutuhkan suhu yang lebih tinggi. Oleh karena itu, diduga air yang menyebabkan Escherichia coli dan Staphylococcus aureus masih dapat ditemukan pada proses penggumpalan dengan suhu 60 -65C. Tahu sebagai poduk akhir juga menunjukkan total rata -rata populasi dari bakteri Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus yang hampir sama dengan jumlah total rata -rata populasi pada proses sebelumnya . Melihat ketahanan panas dari masing -masing isolat yang diisolasi pada alur proses pembuatan tahu, isolat sel vegetatif Bacillus cereus SK 2 memiliki ketahanan panas yang lebih tinggi dibandingkan dengan isolat Escherichia coli GMP, Staphylococcus aureus GMP dan Bacillus cereus SK 4. Dengan nilai D60C =5,43 menit dan nilai Z=22,72C dari isolat Bacillus cereus SK 2, maka dibutuhkan waktu yang lebih lama dan suhu yang lebih tinggi unuk menginaktifkan Bacillus cereus SK 2. Nilai D dan Z menunjukkan ketahanan dari bakteri yang sangat tergantung kepada respon bakteri tersebut terhadap panas. Ini menyebabkan

72

adanya

perbedaan ketahanan panas yang ditunjukkan dengan nilai D dan Z pada masing masing isolat bakteri yang diperoleh pada penelitian ini walau diisolasi dari sumber yang sama dan juga berbeda dengan beberapa hasil penelitian yang telah dipublikasikan. Semakin besar nilai D menunjukkan bahwa bakteri tersebut tahan terhadap panas pada suhu tertentu. Perbedaan ketahanan panas pada masing masing bakteri akan berbeda -beda. Setiap bakteri akan mempunyai penyesuaian terhadap kondisi lingkungan dengan cara yang berbeda-beda, seperti pada saat nutrisi berkurang, penurunan pH atau pada kondisi dimana suhu menurun atau meningkat (Hengge-Aronis, 2002 dalam Ouazzou dkk, 2012). Ketahanan panas pada spesies bakteri akan menunjukkan respon yang berbeda hal ini dipengaruhi oleh perbedaan strain, faktor lingkungan seperti suhu pertumbuhan, media pertumbuhan . Komposisi dari media cair yang digunakan untuk pemanasan seperti jumlah karbohidra t, protein, lemak dan lain -lain. Komposisi pangan dan medium pemanas yang digunakan dalam penelitian ini adalah sari kedelai dari pabrik tahu Budiyono. Kandungan sari kedelai berdasarkan uji proksimat yang d ilakukan memiliki kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat yang tinggi (data tidak dipublikasikan). Adanya lemak dalam media pemanasan akan meningkatkan ketahanan panas bakteri karena lemak dapat melindungi sel dari panas disamping itu lemak juga dapat melindungi spora dari kerusakan karena panas (Desai dan Varadaraj, 2010) Perbedaan strain juga mempengaruhi ketahanan terhadap pan as, hal ini dikarenakan strain menunjukkan asal isolat tersebut di isolasi. Masing -masing akan

memiliki

kondisi

lingkungan

73

yang

berbeda -beda

seperti

suhu

pertumbuhannya, media pertumbuhannya, penerimaan panas sebelumnya seperti heat stress. Pada penelitian ini isolat berasal dari kondisi lingkungan dengan suhu diatas suhu pertumbuhan bakteri tersebut, yaitu proses penggumpalan dengan suhu lingkungan antara 63 -65C dan proses pemasakan dengan suhu 9 3-98C, sehingga isolat yang masih dapat bertahan pada kondi si tersebut memiliki ketahanan panas lebih tinggi ditunjukkan dengan nilai D dan Z yang besar. Ketahanan panas Staphylococus aureus tergantung pada perlakukan yang diterima oleh bakteri sebelumnya seperti heat shock, seperti meningkatnya suhu pada lingkungan pertumbuhan bakteri. Kenaikan suhu seperti ini menyebabkan bakteri dapat meningkatkan toleransi terhadap panas pada bakteri yang menyebabkan kebusukan pada pangan dan bakteri patogen (Cebrian, dkk, 2009). Isolat Escherichia coli dan Staphylococcus aureus yang digunakan adalah isolat bakteri yang diperoleh pada proses penggumpalan dengan kisaran suhu 6 365C. Berdasarkan penjelasan diatas dengan kondisi lingkungan yang memiliki suhu diatas suhu optimum pertumbuhan bakteri tersebut, maka ada mekanisme adaptasi dari bakteri untuk menghadapi heat stress dari lingkungan. maka bakteri masih mampu tumbuh pada kondisi tersebut. Pada proses pembuatan tahu ada proses pemasakan berkisar antara 90 -95C yang berfungsi untuk menurunkan jumlah bakteri yang ditemukan p ada proses sebelumnya. Proses pemasakan hanya mampu membunuh sel vegetatif dari bakteri sedangkan untuk bakteri yang mampu membentuk spora, spora akan berada dalam posisi tidur dan jika spora berada dalam kondisi lingkungan yang

74

optimum baik suhu ataupun k etersediaan nutrisi maka spora akan bergerminasi dan membentuk sel vegetatif. Untuk sel vegetatif Bacillus cereus diisolasi dari pemasakan sari kedelai di pabrik tahu Budiyono, dengan suhu pemasakan berkisar anatara suhu 9 3-98C. Bacillus cereus merupakan bakteri pembentuk spora. Ketika kondisi lingkungan dengan kondisi seperti diatas, maka Bacillus cereus akan membentuk spora. Spora ini merupakan salah satu bentuk mekanisme adaptasi yang umum dilakukan oleh bakteri yang mampu membentuk spora. Karena spora yang terbentuk umumnya tahan terhadap suhu tinggi. Spora dapat diinaktifkan atau dimusnahkan jika dipanaskan dengan suhu . Nilii D dan Z spora Bacillus cereus yang diisolasi pada proses pemasakan sari kedelai dari alur proses pembuatan tahu memiliki nilai D dan Z lebih tinggi (data tidak dipublikasikan) karena spora lebih tahan terhadap panas dibanding sel vegetatif. Spora ini berisi berisi sel vegetatif, ketika berada dalam suhu yang optimum untuk pertumbuhan bakteri maka spora akan bergerminasi dan membentu sel vegetatif yang kemudian akan terus bertambahan. Bacillus cereus mampu menyebabkan kebusukan dan kerusakan pada pangan. Jumlah mikroba pada bahan, semakin banyak jumlah mikroba maka suhu yang dibutuhkan lebih tinggi dengan waktu yang lebih lama. P ada penelitian ini menggunakan jumlah cemaran 1,0 x 10 7 CFU/ml, jumlah ini cukup tinggi sehingga suhu dan waktu yang dibutuhkan lebih tinggi dan lama maka nilai D dan z yang didapat juga lebih tinggi. Begitunya juga dengan bakteri yang digunakan

75

mempunyai termo toleran karena terbiasa tumbuh pada lingkungan dengan suhu yang tinggi. Setiap proses pengolahan bahan makanan, suhu pemanasan merupakan faktor yang penting untuk diperhatikan, sebab panas yang digunakan dapat mengakibatkan kerusakan banyaknya komponen nutrisi dalam pangan tersebut, dengan pengendalian yang tepat kerusakan ini dapat diminimalkan dan tetap dapat menghasilkan produk akhir yang diinginkan oleh konsumen serta menghasilkan mutu produk yang aman untuk dikonsumsi. Salah satu tahapan proses pembuatan tahu yang memerlukan pemanasan adalah pross pemasakan. Pemasakan yang dilakukan pada suhu dan waktu yang sesuai akan menghasilkan produk dengan nilai dan kualitas gizi yang baik, memperbaiki flavor sari kedelai dengan menurunkan bau langu, mena mbah masa simpan tahu dengan mematikan bakteri yang dapat menyebabkan kerusakan tahu, disamping itu pemasakan juga akan mempermudah ekstraksi protein dan padatan lain serta mengubah bentuk protein alami sehingga pada waktu penggumpalan akan memberikan tahu dengan kualitas baik. Mengetahui sumber-sumber kontaminasi bakteri sehingga dapat dilakukan pencegahan

kontaminasi

silang

sehingga

diharapkan

dapat

mengurangi

kontaminasi bakteri pada proses pembuatan tahu. Serta mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan ketahanannya masing-masing sel vegetatif bakteri dan spora dapat merancang kombinasi suhu dan w aktu pada proses pengolahan pangan yang tepat sehingga menghasilkan produk pangan yang

76

memenuhi standar mikrobiologi dan aman untuk dikonsumsi serta menghasilkan produk dengan cita rasa yang disukai oleh konsumen .

77

BAB. V PENUTUP A.

Kesimpulan

1.

Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus ditemukan pada air, kedelai, bubur kedelai, sari kedelai yang dimasak, gumpalan tahu dan tahu, dengan jumlah 10 1 -103 CFU/g. Bakteri pembentuk spora ditemukan pada air, kedelai, bubur kedelai pada proses penggilingan, sari kedelai masak, gumpalan tahu, kecutan dan tahu, dengan jumlah 10 2 CFU/g.

2.

Isolat Escherichia coli GMP, nilai D60C =4,83 menit dan nilai Z=22,73C. Isolat Staphylococcus aureus GMP 4, memiliki nilai D 60C =2,72 menit dan nilai Z =18,87C. Untuk isolat Staphylococcus aureus GMP 6, nilai D60C =2,54 menit dan nilai Z =18,18C. Sel vegetatif Bacillus cereus SK 2, memiliki nilai D60C =5,43 menit dan nilai Z =22,72C. Untuk sel vegetatif Bacillus cereus SK 4, memiliki nilai D 60C =5,95 menit dan nilai Z =22,22C.

3.

Isolat sel vegetatif Bacillus cereus SK 2 memiliki ketahanan panas yang lebih

tinggi

dibandingkan

dengan

isolat

Escherichia

coli

GMP,

Staphylococcus aureus GMP dan Bacillus cereus SK 4. Dengan nilai D60C =5,43 menit dan nilai Z=22,72C. B.

Saran Air yang digunakan pada proses pembuatan tahu menggunakan air dengan

kualitas air bersih dengan standar yang telah ditetapkan oleh pemer intah atau dapat menggunakan air panas untuk pada proses pemasakan dan proses penggumpalan untuk mencegah kontaminasi bakteri.

78

DAFTAR PUSTAKA Agboke, A.A., Osonwa, U.E, Opurum, C.C. dan Ibezim, E.C. (2012). Evaluation of microbiology quality of some soybean milk products consumed in Nigeria, Pharmacologia 3(10): 513-518. Anonim 1 (2013). Kedelai. Buletin Konsumsi Pangan . 4 (3):8-16. Anonim 2

(2013). Staphylococcus aureus. Food Standards Australia. . www.foodstandardsau/..../Staphylococcus aureus.pdf . (23 November 2013).

Anonim 3 (2013). Guidelines for The Assessment of Microbiological Quality of Processed Foods. Food and Drug Administration Philippines. Anonim (1995). SNI 01-3922-1995 Syarat mutu kedelai secara fisik, Badan Standarisasi Nasional Indonesia. Anonim (1998). SNI 01-3142-1998 Tahu, Badan Standarisasi Nasional Indonesia. Anonim (1986). Tofu Standards, Recommended by Standards Commitee and Approved by members of The Soyfoods Asso ciation of America. Hal 13. Ashenafi, M. (1992). Microbiological evaluation of tofu and tempeh during processing and storage. Journal Plant Foods for Human Nutrition 45: 183-189. Asselt, E.D. dan Zwietering, M.H. (2005). A systematic approach to determine global thermal inactivation parameters for various food pathogens. International Journal of Food Microbiology 107:73-82. Atlas, R.M. dan Taylor, F. (2006), Handbook of Microbiolocal Me dia for The Examination of Food. Second Edition. Baird-Parker, T.C. (2000). Staphylococcus aureus. Dalam : Lund, B.M., BairdParker, T.C. and Gould, G.W (ed). The Microbiological Safety and Quality of Food. Volume II, hal 1317-1331. Aspen Publishers, Inc. Gaithersburg, Maryland. Byrne, B., Dunne, G. dan Bolton, D.J. (2006). Thermal inactivation of Bacillus cereus and Clostridium perfringens vegetative cells and spores in pork luncheon roll, International Journal of Food Microbiology 23: 803808. Cebrian,G., Condon.S. dan Manas, P. (2009). Heat adaptation induced thermotolerance in Staphylococcus aureus influence of the alternative factor OB. International Journal of Food Microbiology 135:274-280.

79

Charimba, G., Hugo, CJ. dan Hugo, A. (2010). The growth, survival and thermal inactivation of Escherichia coli O157:H7 in a traditiona l south African sausage. Meat Science, 85: 89-95. Corradini, M.G. dan Peleg, M. (2009). Dynamic model of heat inactivation kinetic for bacterial adaptation. Applied and Environmental Microbiology. Journal ASM.org. 75(8):2590-2597. Desai, S.V. dan Varadaraj, M.C. (2010). Behavioural pattern of vegetative cells and spores of Bacillus cereus as affected by time-temperature combinations used in processing of India traditional foods . Journal Food Science Technol. 47(5):549-556. Fardiaz, D. (1996). Proses termal dalam pengendalian tahap pengolahan kritis untuk menjamin keamanan pangan , Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Gayan, E., Gonzalo, D. Garcia, A.L. dan Condon, S. (2013). Resistance of Staphylococcus aureus to uv-c ligh and combined uv-heat treatment at mild temperatures, International Journal of Food Microbiology. 172: 30-39. Granum, P.E. dan Baird-Parker, T.C. (2000). Bacillus species. Dalam : Lund, B.M., Baird-Parker, T.C. and Gould, G.W (ed). The Microbiological Safety and Quality of Food , Volume II, hal 1029-1039. Aspen Publishers, Inc. Gaithersburg, Maryland . Han, B.Z., Sesenna, B.,Rijkelt, R.B. dan Nout, R.M. J. (2005). Behaviour of Staphylococcus aureus during sufu production at laboratory scale . Food Control 16: 243-247. Hariyadi, R.D., Hadiyanto, J. , dan Purnomo, E.H. (2011). Thermal resistance of local isolates of Staphylococcus aureus. Asian Journal Food AgroIndustry 4(04):213-221. Hatmanti, A. (2000). Pengenalan Bacillus spp. Jurnal Oseana. XXV(1): 31-41. Jutono., S. dan Joedoro., H.S. (1973). Pedoman Pratikum Mikrobiologi Umum (untukperguruan tinggi). UGM. Kooij, J.A. dan Boer, E. D. (1985). A survey of the microbiological quality of commercial tofu in the Netherlands . International Journal of Food Microbiology 2: 349-354. Martins. P.R, Mateus, C., Teixeira, J.A. dan Vicente, A.A. (2006). Death kinetics of Escherichia coli in goat milk and Bacillus licheniformis in cloudberry jam treated by ohmic heating . 33rd International Conferences of SSCHE. May 22-26: 112.1-112.7.

80

Nishinari, K., Fang, Y. dan Phillips, G.O. (2014). Soy protein : A review on composition, aggregation and emulsification. Journal Food Hydrocolloids 39:301-318. Ouazzou, A.A., Manas, P., Condon. S., Pagan, R. d an Gonzalo, G.D. (2012). Role of general stress-response alternative sigma factors S (RpoS) and B bacterial heat resistance as a fuction of treatment medium pH . International Journal of Food Microbiology 153: 358-364. Prestamo, G., Lesmes, M., Otero , L. dan Arroyo, G. (2000). Soybean vegetable protein (tofu) preserve with high pressure. Journal Agriculture Food Chemical 48: 2943-2947. Rahayu, E.S. Rahayu, S. Sidar, A., Purwadi, Tri dan Rochdyanto, S. (2012). Teknologi Proses Produksi Tahu . Penerbit Kanisius. Rajkovic, A., Kljajic, M., Smigic, N. , Devlieghere, F. dan Uyttendale, M. (2013). Toxin producing Bacillus cereus persist in ready-to-reheat spaghetti bolognese mainly in vegetative state . International Journal of Food Microbiology 167: 236-243. Rajkowski, K. T. (2012). Thermal inactivation of Escherichia coli O157:H7 and Salmonella on Catfish and Tilapia, Food Microbiology 30: 427-431. Rekha, C.R. dan Vijayalakshmi, G. (2013). Influence of processing parameters on the quality of soycurd (tofu) , Journal Food Science Technol. 50(1):176-180. Santoso, S.P. (2005). Teknologi Pengolahan Kedelai, Fakultas Pertanian Universitas Widyagama, Malang . Sarastuti, (2008). Aplikasi Pasteurisasi dan Penyimpanan Dingin untuk Memperpanjang Masa Simpan Tahu . Skripsi jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian UGM, Yogyakarta Serrazanetti, D.I., Ndagijimana, M., Miserocchi, C. d an Guezoni, M.E. (2013). Fermented tofu: Enhancement of keeping quality and sensorial properties. Food Control 34:336-346. Shurleft, W. and Aoyagi, A. (1979). Tofu and Soymilk. The Book of Tofu. Volume II. New Age Foods Study Center. Sukasih, E., Setyadjit, H. dan Hariyadi, R.D. 2005. Analisis kecukupan panas pada proses pasteurisasi Puree Mangga, Jurnal Pascapanen 2(2):8-17. Valentas, K.J., Rotstan, E. dan Singh, R.P. (1997). Handbook of Food Engineering Practice, United State America

81

Walker G.C. dan Harmon, L.G. (1966). Thermal resistance of Staphylococcus aureus in milk, whey, and phosphate buffer. Applied and Envionmental Microbiology. Journal ASM.org 14(4):584-590. Willshaw, G.A., Cheasty, T. d an Smith, H.R. (2000). Escherichia coli. Dalam : Lund, B.M., Baird-Parker, T.C and Gould, G.W (ed). The Microbiological Safety and Quality of Food . Volume II, hal 11361164. Aspen Publishers, Inc. Gaithersburg, Maryland . Wirakartakusuma, M.A., Hermanianto, D. dan Andarwulan, N. 1989. Prinsip Teknik Pangan. Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan . IPB. Bogor.

82

LAMPIRAN - LAMPIRAN

83

Lampiran 1. Hasil Enumerasi total Bakteri Sampel Air

Kedelai

Bubur kedelai

Susu kedelai yang dimasak

Gumpalan

Kecutan

Tahu

Batch

I

II

Pengenceran

Total

-3

1,1 x 10 5

1

119

96 10

2

99

89 10-3

9,4 x 10 4

3

103

98 10-3

1,0 x 10 5

1

143

139 10-2

1,4 x 10 4

2

144

140 10-2

1,4 x 10 4

3

142

137 10-2

1,4 x 10 4

1

90

94 10-2

9,2 x 10 3

2

93

90 10-2

9,2 x 10 3

3

93

89 10-2

9,1 x 10 3

1

137

136 10-1

1,4 x 10 3

2

138

137 10-1

1,4 x 10 3

3

135

138 10-1

1,4 x 10 3

1

25

31 10-2

2,8 x 10 3

2

31

22 10-2

2,7 x 10 3

3

26

31 10-2

2,8 x 10 3

1

119

221 10-3

1,7 x 10 5

2

117

122 10-3

1,2 x 105

3

123

119 10-3

1,2 x 10 5

1

25

27 10-2

2,6 x 10 3

2

27

32 10-2

3,0 x 10 3

3

31

27 10-2

2,9 x 10 3

84

Lampiran 2. Hasil Analisa Kuantitatif Escherichia coli Sampel

Total

Batch

Pengen ceran

Total coliform

Terduga E.coli I II

Total

Peng encer an

Angka E.coli

I

II

1

79

84 10-1

1,6 x 10 3

9

11

20 10-1

3,2 x 10 2

2

82

65 10-1

1,5 x 10 3

9

10

19 10-1

3,8 x 10 2

3

79

75 10-1

1,5 x 10 3

11

12

21 10-1

3,8 x 10 2

1

58

62 10-1

1,2 x 10 3

3

6

9

10

1,1 x 10 2

2

54

47 10-1

1,0 x 10 3

7

4

11

10

1,1 x 10 2

3

50

56 10-1

1,1 x 10 3

7

5

12

10

1,2 x 10 2

1

37

43 10-2

8,0 x 10 3

9

7

16

10

2,2 x 10 2

2

40

42 10-2

8,2 x 10 3

8

9

17

10

1,7 x 10 2

3

39

43 10-2

8,2 x 103

8

9

17

10

2,4 x 10 2

Susu kedelai yang dimasak

1

0

0 10-1

<20

0

0

0

10

< 20

2

0

0 10

-1

<20

0

0

0

10

< 20

3

0

0 10-1

<20

0

0

0

10

< 20

Gumpalan

1

11

9 10-1

2,0 x 10 2

0

0

0

10

< 20

2

9

11 10

-1

2

1

0

1

10

2,0 x 10 1

3

11

10 10-1

2,1 x 10 2

1

1

2

10

4,0 x 10 1

1

4

7 10-1

2,0 x 10 2

0

0

0

10

< 20

2

6

7 10-1

1,3 x 10 2

0

0

0

10

< 20

3

4

7 10

-1

2

0

0

0

10

< 20

1

7

9 10-1

1,6 x 102

0

0

0

10

< 20

2

5

6 10

-1

2

1

0

1

10

2,0 x 10 1

3

6

5 10-1

1,1 x 10 2

1

1

2

10

4,0 x 10 1

Air

Kedelai

Bubur kedelai

Kecutan

Tahu

2,0 x 10

1,1 x 10

1,1 x 10

85

Lampiran 3. Hasil Analisa Kuantitatif Staphylococcus aureus Total I

Sampel Air

1 2

Kedelai

Bubur kedelai

Susu kedelai yang dimasak

Gumpala n

Kecutan

Tahu

II 8 5

Pngenc eran

III 5 6

Total Staphyloco ccus sp

9 10

-1

10 10

-1 -1

3

4

5

2 10

1

10

8

9 10-1

2

7

9

2,2 x 10

2

2,1 x 10

2

1,1 x 10

2

Terduga S.aureus I

II

0 0

Pengenc eran

Total S.aureus

III

0

0 10-1

<10

0

0 10

-1

<10

-1

<10

0

0

0 10

2,7 x 10 2

3

3

7 10-1

1,3 x 10 1

11 10-1

2,7 x 10 2

4

4

7 10-1

<10

-1

2

3

3

4 10

-1

1,0 x 10 1

2,3 x 10

3

9

6

8 10

1

14

17

22 10-1

5,3 x 10 2

3

5

6 10-1

1,4 x 10 1

2

21

18

19 10-1

5,8 x 10 2

7

8

8 10-1

2,3 x 10 1

3

19

15

12 10-1

4,6 x 10 2

5

7

9 10-1

2,1 x 10 1

1

5

5

2 10-1

1,2 x 10 2

0

0

0 10-1

<10

-1

1

0

0

0 10

-1

<10

6,0 x 10

2

1

3

2 10

3

2

4

2 10-1

8,0 x 10 1

0

0

0 10-1

<10

1

9

10

9 10-1

2,8 x 10 2

5

6

5 10-1

1,6 x 101

2

11

9

9 10-1

2,9 x 10 2

6

2

6 10-1

2,8 x 10 1

3

8

11

9 10-1

2,8 x 10 2

2

5

3 10-1

2,0 x 10 1

1 2

0 0

0 0

0 10-1 0 10-1

< 10 < 10

0 0

0 0

0 10-1 0 10-1

<10 <10

3

0

0

0 10-1

< 10

0

0

0 10-1

<10

1 2

6 6

9 8

8 7

10 10

2,3 x 10 2 2,1 x 10 2

2 3

3 2

5 5

10 10

1,0 x 10 1 1,0 x 10 1

10

10

2,5 x 10 2

3

10

< 10

3

8

7

86

2

1

Lampiran 4. Hasil Analisa Kuantitatif Bacillus cereus

1 2 3

Total II 15 20 21 15 17 19

1 2 3

12 10 11

13 10-1 13 10-1 12 10-1

1,3 x 10 3 1,2 x 10 3 1,2 x 10 3

2 3 4

4 10-1 4 10-1 2 10-1

5,6 x 10 2 5,6 x 10 2 7,8 x 10 2

1 2 3

37 31 27

30 10-1 31 10-1 33 10-1

3,4 x 10 3 3,1 x 10 3 3,0 x 10 3

5 5 3

4 10-1 5 10-1 5 10-1

8,8 x 10 2 8,4 x 10 2 9,2 x 10 2

Susu kedelai yang dimasak

1 2 3

14 13 11

12 10-1 11 10-1 13 10-1

1,3 x 10 3 1,2 x 10 3 1,2 x 10 3

3 3 2

2 10-1 3 10-1 3 10-1

4,8 x 10 2 4,4 x 10 2 4,8 x 10 2

Gumpalan

1 2 3

16 15 18

18 10-1 18 10-1 17 10-1

1,7 x 10 3 1,7 x 103 1,8 x 10 3

1 2 1

2 10-1 1 10-1 2 10-1

3,2 x 10 2 2,8 x 10 2 2,8 x 10 2

Kecutan

1 2 3

11 11 13

12 10-1 10 10-1 10 10-1

1,2 x 10 3 1,1 x 10 3 1,2 x 10 3

0 0 0

0 10-1 0 10-1 0 10-1

<100 <100 <100

Tahu

1 2 3

14 13 15

11 10-1 11 10-1 11 10-1

1,3 x 10 3 1,2 x 10 3 1,3 x 10 3

0 1 1

0 10-1 0 10-1 1 10-1

< 100 1,2 x 10 2 2,0 x 10 2

Sampel Air

Kedelai

Bubur kedelai

I

Penc 10-1 10-1 10-1

Total Bacillus 1,8 x 10 3 1,8 x 10 3 1,8 x 10 3

Total B.cereus I II 1 1 0 0 0 1

87

Pengc 10-1 10-1 10-1

Angka Bcereus 2,0 x 10 2 < 100 1,0 x 10 2

Lampiran 5. Hasil Enumerasi Bakteri Pembentuk Spora Sampel

I

II

III IV V Total Pengc 5 8 8 32 10-1 7 7 8 34 10-1 6 9 8 32 10-1

Total bakteri pembtk spora

3,2 x 10 2 3,4 x 10 2 3,2 x 10 2

Air

1 2 3

5 5 3

6 7 6

Kedelai

1 2 3

22 18 16

17 17 17

19 19 17

17 15 18

11 19 20

86 10-1 88 10-1 88 10-1

8,6 x 10 2 8,8 x 10 2 8,8 x 10 2

1 2 3

18 19 18

19 21 19

18 13 18

17 16 18

18 22 16

90 10-1 91 10-1 89 10-1

9,0 x 10 2 9,1 x 10 2 8,9 x 10 2

Susu kedelai yang dimasak

1 2 3

15 17 13

11 18 17

12 18 19

33 19 16

18 18 18

89 10-1 90 10-1 83 10-1

8,9 x 10 2 9,0 x 10 2 8,3 x 10 2

Gumpalan

1 2 3

11 17 18

31 17 20

16 19 18

18 17 21

10 24 14

86 10-1 94 10-1 91 10-1

8,6 x 10 2 9,4 x 10 2 9,1 x 10 2

Kecutan

1 2 3

6 7 6

7 6 7

4 7 5

6 7 4

7 9 5

30 10-1 36 10-1 27 10-1

3,0 x 10 2 3,6 x 10 2 2,7 x 10 2

Tahu

1 2 3

13 7 13

7 9 9

6 12 13

9 13 13

17 9 9

52 10-1 50 10-1 57 10-1

5,2 x 10 2 5,0 x 10 2 5,7 x 10 2

Bubur kedelai

88

Lampiran 6. Data Nilai D Isolat Escherichia coli GMP Suhu (C) 55

Waktu log  (Menit) sel 8,11 0 7,98 5 6,66 10 5,83 15 4,98 20 4,42 25 3,18 30

Suhu (C) 65

Waktu log  (Menit) sel 0 8,11 1 7,60 3 6,60 5 5,44 10 4,32 12 3,23 15 2,98

Suhu (C) 75

Waktu log  (Menit) sel 0 8,11 10' 7,48 1 6,41 2 5,31 3 4,32 4 3,20 5 1,90

D value 5,952381

D value 2,873563

D value 0,956938

89

Suhu (C) 60

Waktu (Menit)

Suhu (C) 70

Waktu log  D value (Menit) sel 0 8,11 1,140251 1 7,38 3 6,42 4 5,33 5 4,19 6 3,02 7 1,93

0 3 5 10 15 20 25

log  D value sel 8,11 4,830918 7,55 6,81 5,62 4,68 3,50 3,19

Lampiran7. Data Nilai D Isolat Staphylococcus aureus GMP 4 Suhu Waktu log  (Menit) sel (C) 8,15 58 0 7,69 5 6,48 7 5,46 9 4,65 12 4,36 15 2,08 20 Suhu Waktu log  (C) (Menit) sel 62 0 8,15 1 7,98 2 6,43 4 5,82 6 4,50 8 4,11 12 2,74 Suhu Waktu log  (C) (Menit) sel 68 0 8,15 10' 7,57 30' 6,67 1 5,50 3 5,49 7 3,55 9 2,02

Suhu Waktu log  D value (Menit) sel (C) 60 0 8,15 2,717391 3 7,86 6 6,76 8 5,70 12 4,88 15 2,69 19 1,54

D value 3,225806

Suhu Waktu log  D value (C) (Menit) sel 66 0 8,15 1,184834 15" 7,94 30' 6,74 1 5,57 3 4,45 8 4,51 10 3,31

D value 2,173913

D value 1,015228

90

Lampiran 8. Data Nilai D Isolat Staphylococcus aureus GMP 6 Suhu Waktu log  (Menit) sel (C) 8,08 58 0 7,74 5 7,01 7 6,29 9 5,68 12 4,28 15 1,78 20 Suhu Waktu log  (C) (Menit) sel 62 0 8,08 1 8,03 2 6,81 4 5,10 6 5,20 8 3,11 12 1,00 Suhu Waktu log  (C) (Menit) sel 68 0 8,08 10' 7,32 30' 6,30 1 5,10 3 5,18 7 3,04 9 1,48

Suhu Waktu log  D value (Menit) sel (C) 60 0 8,08 2,538071 3 7,87 6 7,00 8 6,83 12 5,06 15 2,56 19 1,00

D value 3,115265

Suhu Waktu log  D value (C) (Menit) sel 66 0 8,08 0,994036 15" 7,73 30' 6,59 1 6,15 3 4,51 8 3,34 10 2,30

D value 1,663894

D value 0,949668

91

Lampiran 9. Nilai D Isolat sel vegetatif Bacillus cereus SK 2 Suhu Waktu log  (Menit) sel (C) 7,72 55 0 7,12 5 6,59 10 5,79 15 5,58 20 4,23 25 3,49 30 Suhu Waktu log  (C) (Menit) sel 65 0 7,72 1 7,48 3 6,83 5 5,78 10 4,62 12 3,33 15 2,74 Suhu Waktu log  (C) (Menit) sel 75 0 7,72 10' 6,65 1 6,40 2 5,59 3 4,51 4 3,33 5 2,74

Suhu Waktu log  D value (Menit) sel (C) 60 0 7,72 5,434783 3 7,67 5 6,79 10 6,23 15 5,44 20 4,41 25 3,06

D value 7,194245

Suhu Waktu log  D value (C) (Menit) sel 70 0 7,72 1,221001 1 7,23 3 6,36 4 5,44 5 4,31 6 3,11 7 1,93

D value 2,932551

D value 1,193317

92

Lampiran 10. Nilai D Isolat sel vegetatif Bacillus cereus SK 4 Suhu Waktu log  (Menit) sel (C) 7,04 55 0 6,75 5 5,66 10 4,57 15 4,30 20 3,23 25 2,90 30 Suhu Waktu log  (C) (Menit) sel 65 0 7,04 1 6,62 3 5,58 5 4,44 10 3,37 12 3,04 15 2,93 Suhu Waktu log  (C) (Menit) sel 75 0 7,04 10' 6,51 1 5,59 2 4,36 3 3,27 4 2,06 5 1,93

Suhu Waktu log  D value (Menit) sel (C) 60 0 7,04 5,952381 3 6,76 5 5,72 10 4,59 15 4,33 20 3,29 25 2,98

D value 6,756757

Suhu Waktu log  D value (C) (Menit) sel 70 0 7,04 1,287001 1 6,43 3 5,39 4 4,38 5 3,30 6 2,22 7 1,90

D value 3,521127

D value 1,054852

93

Lampiran 11. Uji Total Plate Count (MA. PPOM

Prosedur 1.

Homogenisasi sampel Dengan cara aseptik dipipet 25 ml atau ditimbang 25 g cuplikan,

dimasukkan kedalam kantung sampel dan

ditambahkan 225 ml NaCl,

dihomogenkan menggunakan stomacher selama 30 detik hingga diperoleh suspensi homogen dengan pengenceran 10 -1. 2.

Pengenceran 1. Disiapkan 4 tabung atau lebih masing-masing berisi 9 ml NaCl 2. Dari suspensi pengenceran 10 -1 dipipet 1 ml ke dalam tabung tabung pertama, hingga diperoleh suspensi pengenceran 10 -2 dan dikocok homogen, buat pengenceran berikutnya hingga 10 -5 . 3. Pipet 1 ml dari setiap pengenceran ke dalam cawan petri dibuat duplo, tuangkan 15-20 ml media PCA cair suhu ( 45° + 1 0) ke dalam cawan petri 4. Buat blanko pengenceran dengan volume yang sama dengan sampel dan tuangkan media PCA, dan buat juga blanko media agar. 5. Inkubasi pada suhu 35 - 37° selama 24 - 48 jam dengan posisi dibalik. 6. Amati dan hitung jumlah koloni yang tumbuh.

94

Lampiran 12. Uji Angka Escherichia coli dengan Brilliance

TM

E.coli/coliform selective

medium ( Manual media Brilliance Oxoid) 1.

Homogenisasi sampel Dengan cara aseptik dipipet 25 ml atau ditimbang 25 g cuplikan,

dimasukkan kedalam kantung sampel dan

ditambahkan 225 ml NaCl,

dihomogenkan menggunakan stomacher selama 30 detik hingga diperoleh suspensi homogen dengan pengenceran 10 -1. 2.

Pengenceran Disiapkan 2 tabung atau lebih yang masing -masing telah diisi dengan 9 ml

NaCl. Dipipet 1 ml dari suspensi pengenceran 10 -1 ke dalam tabung berisi NaCl pertama hingga diperoleh suspensi pngenceran 10 -2. Dikocok sampai homogen. Dibuat pengenceran berikutnya hingga 10 -5. 3.

Inokulasi dan inkubasi Disiapkan cawan berisi Brilliance E.coli/ Coliform selektif media (duplo)

untuk setiap pengenceran dan dari setiap pengenceran dipipet 0,5 ml ke atas lempeng media Brilliance E.coli/ Coliform selektif media, segera disebarratakan menggunakan batang gelas bengko k. Inkubasi cawan dengan posisi dibalik pada suhu 370C selama 24 jam. Pilih dan hitung koloni yang berwarna ungu. 4.

Konfirmasi dan Identifikasi Pilihlah koloni yang spesifik yang terduga Escherichia coli kemudian

diinokulasikan ke agar miring TSA/PCA, diiku basikan pada suhu 37 0C selama 18-24 jam, kemudian diambil untuk dilakukan uji konfirmasi sebagai berikut :

95

a.

Fermentasi Karbohidrat (Glukosa dan Manitol) Inokulasikan masing-masing 1 ose biakan pada 3 mL media glukosa dan

manitol, inkubasikan pada suhu 37 C selama 18-24 jam. Hasil positif jika terjadi perubahan warna dari ungu menjadi kuning. b.

Reduksi Nitrat Inokulasikan 1 ose biakan pada 3 mL media Nitrat broth, inkubasikan pada

suhu suhu 37C selama 24 jam. Untuk uji nitrit tambahkan 2 tetes masing masing pereaksi Nitrat A (Alfa naftilamin) dan Nitrat B (Asam sulfanilat). Terjadi perubahan warna merah muda atau merah dalam waktu sekitar 10 menit. c.

Uji motiliti Inokulasikan 1 ose biakan pada 3 mL media semi solid SIM, inkubasikan

pada suhu suhu 37C selama 24 jam. Amati pertumbuhan disekitar tusukan ose. Escehrichia coli bersifat motil. d.

Uji Indol Inokulasikan 1 ose biakan pada 3 mL media semi solid SIM atau trypton

broth, inkubasikan pada suhu suhu 37 C selama 24 jam. Tambahkan beberapa tetes reagen Kovac’s kedalam medium. Jika terbentuk cincin merah yang terbentuk memberikan hasil positif dalam tes . e.

Uji Merah metil Inokulasikan 1 ose biakan pada 3 mL media MR -VP, inkubasikan pada suhu

suhu 37C selama 24-48 jam. Untuk mengetahui pH dalam medium maka ditambahakan 5 tetes reagen MR. Jika berubah warna menjadi merah maka hasil menunjukkan positif.

96

f.

Uji Voges proskauer Inokulasikan 1 ose biakan pada 3 mL media MR -VP, inkubasikan pada suhu

suhu 37C selama 24-48 jam. Teteskanlah 0,6 ml aplha-naphthol kedalam medium tersebut dan dikocok. 0,2 ml KOH 40% ditambahkan selanjutnya. Warna merah yang terjadi menunjukkan hasil tes yang positif. g.

Pengecetan gram Bersihkan gelas benda dengan alkohol, buatlah p reparat bakteri dan

dikeringanginkan kemudian difiksasi. Tambahkan gram A (Kristal violet) diamkan selama 1 menit, kemudian dicuci dengan air mengalir. Teteskan pewarna gram B (Iodin) selama 1 menit, kemudian dicuci dengan air mengalir. Setelah itu tambahkan gram C (Lugol) selama 30 detik, kemudian dicuci dengan air mengalir. Beri larutan gram D (Safranin) selama 30 detik, kemudian dicuci dengan air mengalir. Kemudian dikeringkan dan diamati denga n mikroskop pada perbesaran 100x menggunakan minyak imersi. Hitung koloni Escherichia coli yang berwarna ungu, dan yang berwarna merah untuk koloni coliform. Kemudian koloni yang terduga Escherichia coli/coliform diinokulasikan ke agar miring PCA, diikubasikan pada suhu 37 0C selama 24 jam, kemudian dilakukan uji biokimia. Setelah dinyatakan positif sebagai Escherichia coli/coliform, hitung total Escherichia coli/coliform dengan mengalikan jumlah koloni dengan faktor pengenceran.

97

Uji biokimia isolat Escherichia coli GMP Uji Biokimia

Escherichia coli ATCC 25922 (kontrol +)

Isolat Escherichia coli GMP

Glukosa

Positif

Positif

Manitol

Positif

Positif

Nitrat Broth

Positif

Positif

SIM

-/+/+

-/+/+

MR

Positif

Positif

VP

Negatif

Negatif

P.Gram

Gram negatif, batang pendek

98

Gram negatif, batang pendek

Lampiran 13. Uji Angka Staphylococcus aureus dalam Makanan dan Minuman (Metoda Analisa PPOMN 66/MIK/2006)

1.

Homogenisasi sampel Dengan cara aseptik dipipet 25 ml atau ditimbang 25 g cuplikan,

dimasukkan kedalam kantung sampel dan ditambahkan 225 ml BPW/NaCl, dihomogenkan menggunakan stomacher selama 30 detik hingga diperoleh suspensi homogen dengan pengenceran 10 -1. 2.

Pengenceran Disiapkan 2 tabung atau lebih yang masing -masing telah diisi dengan 9 ml

BPW/NaCl. Dipipet 1 ml dari suspensi pengenceran 10 -1 ke dalam tabung berisi BPW/NaCl pertama hingga diperoleh suspensi pngenceran 10-2. Dikocok sampai homogen. Dibuat pengenceran berikutnya hingga 10 -3. 3.

Inokulasi dan inkubasi Disipakan 3 cawan berisi BPA -EY (triplo) untuk setiap pengenceran dan

dari setiap pengenceran dipipet 0,3 ml; 0,3 ml; 0,4 ml ke lempeng media BPA EY, segera disebarratakan menggunakan batang gelas bengkok. Apabila inokulum belum terserap semua oleh agar, biarkan cawan dengan posisi ke atas di dalam inkubator selama 10-60 menit, kemudian inkubasi cawan dengan posisi dibalik pada suhu 37 0C selama 45-48 jam. Koloni Staphylococcus aureus adalah bulat, halus, konveks, lembab, diameter 2 -3 mm, berwarna abu-abu kehitaman ditepi koloni, dan apabila dicuplik dengan jarum ose koloni tampak seperti mentega sampai lengket.

99

4.

Konfirmasi dan Identifikasi Pilihlah koloni yang s pesifik yang terduga Escherichia coli kemudian

diinokulasikan ke agar miring TSA/PCA, diikubasikan pada suhu 37 0C selama 18-24 jam, kemudian diambil untuk dilakukan uji konfirmasi sebagai berikut : a.

Fermentasi Karbohidrat (Glukosa dan Manitol) Inokulasikan masing-masing 1 ose biakan pada 3 mL media glukosa dan

manitol, inkubasikan pada suhu 37 C selama 18-24 jam. Hasil positif jika terjadi perubahan warna dari ungu menjadi kuning. b.

Uji motiliti Inokulasikan 1 ose biakan pada 3 mL media semi solid SIM, inku basikan

pada suhu suhu 37C selama 24 jam. Amati pertumbuhan disekitar tusukan ose. c.

Uji Indol Inokulasikan 1 ose biakan pada 3 mL media semi solid SIM atau trypton

broth, inkubasikan pada suhu suhu 37 C selama 24 jam. Tambahkan beberapa tetes reagen Kovac’s kedalam medium. Jika terbentuk cincin merah yang terbentuk memberikan hasil positif dalam tes . d.

Uji koagulase Diinokulasikan 1 sengkelit ke dalam tabung reaksi kecil berisi 0,2 -0,3 ml

BHIB, inkubasikan pada suhu 37 0C selama 18-24 jam. Ditambahkan 0,5 m l plasma kelinci/plsma darah dan diaduk merata, diinkubasi 37 0C selama 6 jam. Diamati terjadinya koagulasi plasma kelinci/plasma darah dalam setiap tabung dengan membalikkan tabung, apabila media tetap ditempatnya berarti positif Staphylococcus aureus

100