kinerja reproduksi sapi potong pada peternakan ... - Puslitbangnak

KINERJA REPRODUKSI SAPI POTONG. PADA PETERNAKAN RAKYAT DI DAERAH. KANTONG TERNAK DI JAWA TENGAH. (Beef Cattle Reproduction Performance at Farmer Level...

5 downloads 549 Views 52KB Size
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011

KINERJA REPRODUKSI SAPI POTONG PADA PETERNAKAN RAKYAT DI DAERAH KANTONG TERNAK DI JAWA TENGAH (Beef Cattle Reproduction Performance at Farmer Level in Central Java Production Center) SUBIHARTA, B. UTOMO, Y. ERMAWATI dan MURYANTO Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah, PO Box 101, Ungaran

ABSTRACT A research to study beef cattle reproduction performance at farmer level was carried out from August to December 2010 in five regencies of Central Java, i.e. Kebumen, Klaten, Grobogan, Pati and Semarang. This study was done based on formal survey using structural questionair to beef cattle farmer. More over in depth study was also done by: getting information from key persons, doing direct observation, as well as monitoring. Collected data covering: number of beef cattle ownership, farmer knowledge on sign of oestrus, mating, service per conception, and calving interval. Data were descriptively analyzed. Results showed that cattle ownership was 1.9 – 4 head and 54.2% out of which were cow (adult female beef cattle). Most farmers (92.996%) knew the sign of cow oestrus and 97.1% out of which showed real sign. Furthermore, as much as 60.9% farmers used artificial insemination while the remaining were naturally mated (39.1%) to a bull as mating system. Average of service per conception was around 1.934. Reproduction status could be improved due to long calving interval (around 17.07 months). It is concluded that farmers know well about beef cattle reproduction techniques, and service per conception, however calving interval should be impoved by mating the cow as soon as they show oestrus sign. Key Words: Reproduction, Beef Cattle ABSTRAK Penelitian dengan tujuan untuk mengetahui kinerja reproduksi sapi potong di tingkat peternak, telah dilakukan di 5 Kabupaten kantong ternak di Jawa Tengah. Penelitian dilakukan selama 5 bulan dari bulan Agustus sampai Desember 2010, di Kabupaten Kebumen, Klaten, Grobogan, Pati dan Semarang. Penelitian dengan metode survei menggunakan alat bantu kuisioner yang dilengkapi dengan daftar pertanyaan terstruktur ditujukan kepada peternak. Disamping itu dilakukan pendalaman ( indepth study) kepada informan kunci dan pengamatan langsung serta monitoring. Data yang dikumpulkan meliputi: jumlah pemilikan ternak, pemahaman tanda-tanda berahi, sistem perkawinan, jumlah perkawinan sampai terjadi kebuntingan (service per conception) dan jarak kelahiran. Data yang telah dikumpulkan dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan, dari 5 Kabupaten yang telah dilakukan survei, kepemilikan ternak antara 1,9 – 4 ekor, dan dari pemilikan tersebut 54,2% merupakan induk. Sebagian besar (92,996%) peternak memahami tanda-tanda berahi dan 97,1% induk sapi menunjukkan tanda-tanda berahi yang nyata. Sistem perkawinan menunjukkan 60,9% peternak mengawinkan induk sapi potongnya dengan Inseminasi Buatan (IB) dan sisanya (39,1%) mengawinkan dengan pejantan (alami). Jumlah perkawinan sampai bunting rata-rata 1,934, namun belum diikuti dengan perkawinan yang tepat sehingga jarak kelahiran masih lama yaitu 17,07 bulan. Kesimpulan dari penelitian menunjukkan, pemahaman reproduksi telah dikuasi oleh peternak, service per conception sudah baik, namun perkawinan masih perlu perbaikan terutama untuk memperpendek jarak kelahiran dengan melakukan perkawinan yang tepat setelah induk sapi potong menunjukkan tanda-tanda berahi. Kata Kunci: Reproduksi, Ternak Sapi Potong

38

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011

PENDAHULUAN Permintaan daging sapi akhir-akhir ini terus meningkat pesat yang dipengaruhi oleh pertambahan penduduk, pergeseran pola konsumsi dan peningkatan pendapatan (PUSLITBANGNAK, 2000). Permintaan daging sapi nasional rata-rata selama 5 tahun (2005 – 2010) sebesar 13,7%, sedangkan kenaikan populasi sapi potong lokal jauh dari permintaan daging yaitu hanya 4,4% (DITJENNAK, 2009). Hal yang sama terjadi di Jawa Tengah, dimana selama 5 tahun populasi sapi potong naik 1,3% akan tetapi pemotongan meningkat jauh lebih cepat rata-rata 4,56%. Tingginya pemotongan ditunjukkan dengan meningkatnya produksi daging sapi rata-rata 6,94% (DISNAK KESWAN PROVINSI JAWA TENGAH, 2008). Populasi sapi potong nasional pada 2008 sebesar 10,73 juta ekor yang diusahakan oleh 2,86 juta Rumah Tangga Peternak, dengan pemilikan berkisar antara 3 – 4 ekor (DARMAWAN, 2009). Sebanyak 1,416 juta ekor dari populasi tersebut berada di Jawa Tengah yang menempati urutan kedua nasional dan mampu mensuplai kebutuhan daging nasional sebesar 37% (DISNAK KESWAN PROVINSI JAWA TENGAH, 2008). Target yang dicanangkan oleh DIRJEN PETERNAKAN (2009) bahwa untuk dapat mencapai swasembada daging pada tahun 2014, maka jumlah perkawinan sampai terjadi bunting atau service per conception (S/C) ratarata 1,55 dan jarak beranak kurang dari 14 bulan serta kebuntingan mencapai 70%. Namun demikian pada usahatani perbibitan sapi potong di lapangan ditemui kendala terkait dengan upaya peningkatan populasi dengan sistem perkawinan Inseminasi Buatan (IB) antara lain jumlah perkawinan sampai terjadi kebuntingan (S/C) masih tinggi (> 3). Tingginya jumlah perkawinan sampai bunting berakibat pada jarak beranak antara 18 – 24 bulan dan kelahiran dicapai hanya 21% (NUSCHATI et al., 1999; DIREKTUR BUDIDAYA TERNAK RUMINANSIA, 2009; DITJENNAK, 2009), pada hal jarak beranak yang seharusnya 12 bulan, yaitu 9 bulan bunting dan 3 bulan menyusui (TOILEHERE, 1985). PUSLITBANGNAK (1992) melaporkan reproduksi sapi potong

yang masih rendah disebabkan oleh pengaruh kualitas pakan yang masih rendah, serangan parasit dan manajemen perkawinan yang belum memadai. Menurut HERDIS et al. (1999), peningkatan efisiensi reproduksi dapat dilakukan dengan manajemen keseluruhan, termasuk pencatatan perkawinan, deteksi berahi yang tepat, perbaikan kualitas dan kuantitas pakan, menjaga kesehatan dan kebersihan kandang. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui kinerja reproduksi sapi potong yang meliputi deteksi berahi, sistem perkawinan, jumlah perkawinan sampai terjadi kebuntingan dan jarak beranak pada sapi potong yang dipelihara rakyat di daerah kantong produksi di Jawa Tengah. MATERI DAN METODE Waktu, lokasi dan responden Penelitian dilakukan selama 5 bulan mulai bulan Agustus sampai Desember 2010 Penelitian dilakukan di Kabupaten Kebumen, Grobogan dan Pati, masing-masing Kabupaten diambil 1 desa, kecuali Kabupaten Klaten diambil 2 desa atas saran petugas Dinas Peternakan setempat. Pemilihan kabupaten berdasarkan populasi sapi potong yang tinggi dengan tujuan untuk pembibitan (menghasilkan anak). Pemilihan peternak dilakukan secara acak berdasarkan pemilikan induk sapi potong yang telah melahirkan. Pengumpulan dan analisis data Penelitian dilakukan dengan metode survei, pengamatan langsung dan monitoring. Pengumpulan data dilakukan dengan alat bantu kuisioner yang dilengkapi dengan daftar pertanyaan terstruktur yang ditujukan pada peternak. Untuk menggali informasi lebih jauh dilakukan wawancara secara mendalam (indepth study) kepada beberapa informan kunci. Data yang dikumpulkan meliputi jumlah pemilikan ternak, pengetahuan tanda-tanda berahi, sistem perkawinan, jumlah perkawinan dan jarak beranak. Data yang sudah terkumpul dianalisis secara deskriptif.

39

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011

Tabel 1. Kepemilikan sapi potong Kepemilikan sapi (ekor)

Rataan skala pemilikan (ekor)

Jumlah responden (orang)

Induk

Jantan

Muda

Anak

Kebumen

17

21 (51,2)

4 (9,8)

9 (22,0)

7 (17,2)

41 (100)

2.4

Grobogan

21

52 (61,9)

4 (4,8)

17 (20,2)

11 (13,2)

84 (100)

4,0

Pati

20

18 (47,4)

1 (2,6)

16 (42,1)

3 (8,0)

38 (100)

1,9

Klaten

50

93 (47,2)

5 (2,5)

37 (18,8)

62 (31,5)

197 (100)

3,9

Semarang

27

46 (51,1)

3,5 (3,9)

19,75 (21,9)

20,75 (23,1)

90 (100)

3,3

135

230

17,5

98,75

103,75

450

15,6

28

46 (51,1)

3,5 (3,9)

19,75 (21,9)

20,75 (23,1)

90 (100)

3,3

Kabupaten

Jumlah Rata-rata

Total (ekor)

Angka dalam kurung menunjukkan persen (%)

HASIL DAN PEMBAHASAN Pemilikan ternak sapi potong Jumlah kepemilikan ternak sapi potong dari 5 kabupaten yang dilakukan pengamatan disajikan pada Tabel 1. Jumlah terbanyak di kabupaten Grobogan, dari 21 responden total ternak yang dimiliki sebanyak 84 ekor atau rata-rata pemilikan 4 ekor dan paling sedikit di Kabupaten Pati dengan total pemilikan 38 ekor dari 20 responden atau rata-ratanya 1,9 ekor. Berdasarkan status fisiologinya kepemilikan induk sapi jumlahnya paling banyak (51,1%) di antara pejantan, sapi muda dan anak (Tabel 1). Hal ini mengindikasikan bahwa tujuan petani memelihara sapi potong untuk menghasilkan anak (pembibitan). Jumlah pemilikan sapi jantan hanya 3,9%, hal ini disebabkan karena perkawinan lebih banyak menggunakan Inseminasi Buatan (IB). Perkawinan dengan pejantan (alami) dilakukan kalau perkawinan dengan IB mengalami kegagalan. Namun demikian hasil wawancara lebih mendalam dengan beberapa peternak di kabupaten Kebumen, ternyata untuk perkawinan lebih banyak menggunakan pejantan (kawin alami), karena peternak lebih suka sapi dari bangsa Peranakan Ongole (PO). Pemahaman tanda-tanda berahi Pemahaman tanda-tanda berahi bagi peternak sapi sangat penting, karena awal dari keberhasilan kebuntingan dimulai dari

40

pemahaman tanda-tanda berahi, yang diikuti dengan tanda-tanda berahi yang nyata pada induk sapi yang dimilikinya. Menurut HERDIS et al. (1999), peningkatan efisiensi reproduksi dapat dilakukan dengan manajemen keseluruhan, termasuk pencatatan perkawinan, deteksi berahi yang tepat, perbaikan kualitas dan kuantitas pakan, menjaga kesehatan dan kebersihan kandang. Hasil wawancara dengan beberapa peternak menujukkan tanda-tanda berahi pada ternak sapi potong umumnya terlihat nyata, kecuali pada sapi Brahman Cross banyak ditemui berahi semu (informasi dari peternak Brahman Cross di kabupaten Klaten dan Kebumen). Tabel 2 menunjukkan bahwa 92,996% peternak memahami tandatanda berahi dan 97,1% induk sapi potong yang dimiliki peternak menunjukkan tanda-tanda berahi yang nyata. Peternak memahami tandatanda berahi pada ternak sapi potong ditandai dengan vulva membengkak, selaput lendir berwarna merah, dan apabila diraba dengan punggung tangan akan terasa hangat serta keluar lendir transparan. Tanda-tanda tersebut diikuti nafsu makan akan berkurang, dan mengeluarkan suara gaduh. Namun demikian yang penting dilakukan oleh peternak, setelah induk menunjukkan tanda-tanda berahi segera dikawinkan. Untuk itu diperlukan sosialisasi kepada peternak untuk mengetahui hal-hal berikut: berahi sapi berlangsung kira-kira 18 jam dengan siklus berahi rata-rata 21 hari. Adapun ovulasi (saat keluarnya sel telur dari sarangnya) terjadi lebih kurang 12 jam sesudah proses berahi akhir. Sperma sapi jantan

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011

Tabel 2. Persentase pemahaman terhadap tanda berahi (%) Kabupaten

Pemahaman terhadap berahi

Tanda-tanda berahi

Paham

Ragu-ragu

Tidak tahu

Nyata

Tidak nyata

Kebumen

88,24

11,76

-

100,00

-

Grobogan

95,24

4,76

-

100,00

-

Pati

100,00

-

-

100,00

-

Klaten

94,00

4,00

Semarang

87,50

Rata-rata

92,996

4,10

diperkirakan dapat hidup dalam alat reproduksi betina lebih kurang 30 jam. Oleh karena itu, sperma sapi jantan harus sudah siap 6 jam sebelum terjadi pembuahan. Waktu yang paling tepat untuk mengawinkan ternak adalah 10 jam sesudah berahi berlangsung dan 6 jam sebelun berahi berakhir. Faktor yang paling penting adalah pengamatan berahi. Jika gejala berahi telah terlihat, maka saat perkawinan atau inseminasi segera dilakukan. Sapi berahi pada pagi hari, maka perkawinan atau inseminasi dilakukan pada sore hari. Namun kalau sapi berahi pada sore hari, perkawinan dilakukan esok harinya sebelum jam 15.00 WIB sore. Sistem perkawinan Sistem perkawinan pada ternak sapi potong banyak dilakukan dengan IB, sebagai akibat dari keberhasilan program IB. Namun demikian perkawinan dengan pejantan (alam) masih sering ditemui dengan alasan kegagalan perkawinan IB atau peternak ingin tetap mempertahankan sapi lokal. Peta sistem perkawinan dari 5 kabupaten yang telah dilakukan identifikasi menunjukkan, rata-rata perkawinan dengan IB lebih banyak (60,9%) dan sisanya (45,58%) dengan pejantan. Perkawinan dengan pejantan dilakukan oleh peternak di Kabupaten Kebumen dan Klaten. Hal ini terkait dengan tingkat keberhasilan kawin alam yang cukup tinggi dan kesenangan peternak terhadap jenis/bangsa sapi lokal. Sebagai contoh peternak Kabupaten Kebumen lebih senang dengan sapi lokal (PO), sehingga perkawinan dilakukan dengan kawin alam. Peternak di Kabupaten Kebumen memilih sapi lokal karena harga sapi lokal (PO) lebih mahal

2,00

98,00

2,00

12,50

87,50

12,50

2,90

97,10

2,9

dibandingkan dengan harga sapi keturunan Sub Tropis (Simmental maupun Limousine). Informasi disampaikan oleh Kepala Bidang Peternakan Dinas Peternakan dan Kelautan kabupaten Kebumen maupun peternak sapi potong dari kelompok ”Tanggul Angin” tahun 2010. Hasil pengamatan di lapangan bahwa sapi PO di kabupaten Kebumen masih mendekati aslinya, dengan penampilan sapi yang lebih besar dibandingkan dengan sapi PO dari kabupaten yang lain. Pejantan yang digunakan untuk perkawinan, kebanyakan milik orang lain dengan cara sewa, karena jarang peternak yang memiliki pejantan sebagai pemacek. Hasil penelitian menunjukkan, 61,38% peternak mengawinkan menggunakan pejantan dengan cara sewa. Alasan peternak tidak memiliki pejantan karena tidak ingin repot dan pengeluaran biaya untuk pakan pejantan banyak. Namun demikian ada beberapa peternak yang mencari untung dengan memiliki pejantan untuk dapat disewakan sebagai pemacek dan mendapatkan pendapatan harian dari menyewakan pejantan tersebut. Kondisi ini dilakukan oleh beberapa peternak di kabupaten Kebumen yang masyarakatnya masih senang dengan kawin alam. Biaya perkawinan alami lebih murah dibandingkan dengan biaya perkawinan IB (Rp. 25.000 vs Rp. 40.000). Alasan lain, pengalaman peternak memilih perkawinan dengan alami karena lebih mudah terjadi kebuntingan dibandingkan dengan kawin IB. Hal ini dapat dimengerti mengingat pejantan punya naluri alam untuk mendeteksi induk sapi yang sedang berahi. Perkawinan dengan IB didominasi oleh Kabupaten Grobogan, Pati dan Semarang. Permintaan semen dari bangsa pejantan

41

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011

Tabel 3. Sistem perkawinan pada sapi potong di tingkat peternak (%) Kabupaten

Sistem perkawinan

Asal pejantan

Pejantan

IB

Milik sendiri

Sewa

Kebumen

94,10

5,90

18,75

75,00

6,25

Grobogan

23,80

76,20

0

80,00

20,00

Pati

20,00

80,00

33,30

66,70

0

Klaten

54,00

46,00

14,80

85,20

0

Semarang

3,60

96,40

100,00

0

0

Rata-rata

45,58

60,90

33,37

61,38

5,25

terkait dengan harga jual keturunannya, makin mahal keturunannya makin banyak permintaan. Pada ketiga kabupaten tersebut permintaan semen dari bangsa sapi keturunan sub tropis cukup tinggi, mengingat harga sapi tersebut harganya lebih mahal dibandingkan dengan sapi lokal. Untuk Kabupaten Grobogan yang merupakan salah satu daerah dengan kelembagaan inseminator paling baik, peternak memilih kawin dengan IB, dengan alasan yang sama. Jumlah perkawinan sampai terjadi kebuntingan (S/C) Responden yang diwawancarai tidak semuanya memiliki ternak induk yang telah kawin, sehingga jumlah induk tidak sesuai dengan jumlah responden. Jumlah perkawinan induk sapi potong dari 5 kabupaten yang dilakukan survei, S/C rata-rata 1,934 dan jumlah S/C terkecil (1,67) dari peternak di Kabupaten Klaten dan terbanyak (2,21) dari Kabupaten Pati dengan tidak membedakan sistem perkawinannya. Jumlah perkawinan sampai bunting dari hasil penelitian ini sudah termasuk bagus, sudah mendekati target Ditjen Peternakan yaitu jumlah perkawinan sampai terjadi kebuntingan 1,55. Hasil pendamping program swasembada daging sapi (PSDS) di kabupaten Pati, dengan perbaikan pakan dan manajemen reproduksi dapat menurunkan service per conception dari 2,21 menjadi 1,75 (PRAMONO, et al., 2010). Hanya perlu diperhatikan adalah tindak lanjut untuk melakukan perkawinan yang tepat setelah sapi

42

Sapi pemerintah

menunjukkan tanda-tanda berahi. Hasil wawancara dengan peternak, mereka sering menunda perkawinan, walaupun ternak sudah menunjukkan tanda-tanda berahi. Perkawinan dilakukan setelah melahirkan paling cepat 145 hari, walaupun sudah menunjukkan tanda-tanda berahi sebelumnya, dengan alasan induk masih menyusui anaknya. Hal lain yang masih perlu mendapat perhatian adalah peternak terlambat mengawinkan kembali induk sapinya setelah tidak bunting (Days Open panjang). Jarak kawin setelah tidak bunting antara 37 – 98 hari. Alasan peternak tidak segera mengawinkan ternaknya, karena kurang cermat mengawasi tanda-tanda berahi atau saat induk menunjukkan tanda berahi, peternak tidak memiliki uang untuk biaya mengawinkan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan pembinaan pada peternak tentang siklus berahi dan kelembagaan kelompok untuk pemupukan modal. Pada saat peternak tidak punya uang, dapat dipinjami dengan modal kelompok untuk biaya mengawinkan. Tabel 4. Rata-rata jumlah perkawinan terjadi kebuntingan (S/C)

sampai

Kabupaten

Jumlah induk

Rata-rata S/C

Kebumen

10,00

1,90

Grobogan

23,00

2,09

Pati

14,00

2,21

Klaten

9,00

1,67

Semarang

15,00

1,80

Rata-rata

14,20

1,92

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011

Tabel 5. Jarak beranak (bulan) Kabupaten

Jumlah induk (ekor)

Rata-rata (bulan)

Kebumen

12

16,08

Grobogan

22

15,64

Pati

13

16,15

Klaten

35

20,43

-

-

Semarang* Rata-rata

20,5

17,07

*Kabupaten Semarang, sapi yang disurvei baru beranak sekali

Jarak beranak Jarak beranak merupakan salah satu parameter untuk menentukan produktivitas induk sapi potong. Dari 5 kabupaten yang dilakukan survei, ternyata ternak di kabupaten Semarang baru beranak satu kali sehingga belum didapatkan data jarak beranak. Jarak beranak dari 4 kabupaten yang dilakukan survei rata-rata 17,07 bulan. Jarak beranak dari kelahiran sebelumnya sampai beranak kembali di Kabupaten Pati paling pendek, yaitu selama 15,19 bulan dan paling panjang terjadi di kabupaten Klaten yaitu 20,13 bulan. Walaupun jumlah perkawinan sampai bunting sudah mendekati target dari DITJEN PETERNAKAN (Tabel 4), namun jarak beranak masih jauh dari yang ditargetkan DITJEN PETERNAKAN (kurang dari 14 bulan). Hal ini menunjukkan adanya masalah terkait dengan ketepatan perkawinan, karena dengan jumlah perkawinan sampai bunting 1,934 yang berarti jarak beranak seharusnya berkisar 14 bulan, namun jarak kelahiran yang terjadi 17,07 bulan atau ada selisih 4 bulan lebih lama. KESIMPULAN Kesimpulan dari penelitian tentang kinerja reproduksi pada induk sapi potong di daerah kantong-kantong ternak di Jawa tengah, menunjukkan peternak sudah memahami dengan baik tentang tanda-tanda berahi, terbukti jumlah perkawinan sampai terjadi kebuntingan sudah cukup baik. Namun

demikian masih perlu perbaikan terutama untuk memperpendek jarak kelahiran dengan melakukan perkawinan yang tepat setelah induk menunjukkan tanda-tanda berahi. Untuk mendapatkan jarak kawin yang ideal disarankan agar dilakukan pelatihan atau penambahan pengetahuan peternak tentang perkawinan yang tepat, siklus oestrus, jarak kawin setelah melahirkan dan jarak kelahiran. Disamping itu disarankan agar peternak membentuk kelompok yang diikuti dengan pemupukan modal, agar pada saat peternak tidak ada biaya untuk mengawinkan sapinya dapat dipinjami dari modal kelompok DAFTAR PUSTAKA DARMAWAN, T. 2009. Peran sektor peternakan dalam rangka ketahanan pangan nasional berbasis ternak lokal. Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang. DISNAK dan KESWAN PROVINSI JAWA TENGAH. 2008. Buku Statistik Peternakan Dinas Peternakan Provinsi Jawa Tengah. Ungaran. DITJENNAK. 2009. Blue Print. Kegiatan Prioritas Program Swasembada Daging Sapi 2014. Direktorat Jendral Peternakan, Jakarta. DIREKTUR BUDIDAYA TERNAK RUMINANSIA. 2009. Kebijakan Swasembada Daging Sapi 2014. Disampaikan pada acara Pemantapan dukungan Program Percepatan Swasembada Daging Sapi. Loka Penelitian Sapi Potong, Grati. HERDIS, M. SURACHMAN, I. KUSUMA dan E.R. SUHANA. 1999. Peningkatan efisiensi reproduksi sapi melalui penerapan teknologi penyerentakan berahi. Wartazoa 9(1): 1 – 6. MARIYONO dan M.A. YUSRAN. 1997. Analisis ekstra marjinal satu tingkat pemberian pakan konsentrat pada sapi PO laktasi dalam sistem usahatani rakyat di daerah lahan kering Jawa Timur. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, jilid II. Bogor, 18 – 19 November 1997. Puslitbangnak, Bogor. hlm. 723 – 727. NUSCHATI, U., SUBIHARTA, D. WILOETO, B. UTOMO, D. PRAMONO, ERNAWATI. SUNARSO, Y. SURYONDONO, S. HARDIYATI, RIYANTO dan SUHARNO. 2000. Pengkajian SUT Sapi Potong di Lahan Keing Jawa Tengah. Laporan Hasil Pengkajian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah.

43

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011

PRAMONO, D., SUBIHARTA, B. UTOMO, S. PRAWIRODIGDO, I. HERIYANTI dan MUJIYONO. 2010. Pendampingan program Swasembada Daging Sapi di kabupaten Kebumen. Laporan Pengkajian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah. PUSLITBANGNAK. 2000. Proposal Inti Program Pengkajian Sistem Usahatani TanamanHewan (Crop-Animal Production System). Puslitbangnak, Bogor.

44

PUSLITBANGNAK. 1992. Penelitian Pengembangan Teknologi Petenakan di Daerah Padat Penduduk (Jawa). Laporan Hasil Penelitian. P4N Puslitbangnak, Bogor. TOELIHERE, M.R. 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Penerbit Angkasa, Bandung.