KOMPETENSI KEWIRAUSAHAAN PETERNAK SAPI PERAH

Download kan, manajemen usaha ternak, kesehatan ternak, perbaikan mutu genetik sapi, dan ...... Kepemimpinan a) Bertingkah laku pemimpin b) Dapat be...

0 downloads 648 Views 1MB Size
KOMPETENSI KEWIRAUSAHAAN PETERNAK SAPI PERAH: KASUS PETERNAK SAPI PERAH RAKYAT DI KABUPATEN PASURUAN JAWA TIMUR DAN KABUPATEN BANDUNG JAWA BARAT

Krismiwati Muatip

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: KOMPETENSI KEWIRAUSAHAAN PETERNAK SAPI PERAH: KASUS PETERNAK SAPI PERAH RAKYAT DI KABUPATEN PASURUAN JAWA TIMUR DAN KABUPATEN BANDUNG JAWA BARAT adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dengan arahan dari pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Data yang diambil sebagian langsung dari data lapangan dan sebagian dari data sekunder dengan sumber-sumber yang jelas dicantumkan dalam daftar pustaka. Naskah disertasi menjadi tanggung jawab penulis dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Agustus 2008 Yang Membuat Pernyataan

Krismiwati Muatip P.061040011

ABSTRACT Krismiwati Muatip, 2008: Entrepreneurship Competence of the Dairy Farmers: Case Studies of Dairy Farmers at Pasuruan District - East Java and Bandung District-West Java. (Under a Team of Advisors Basita Ginting Sugihen as chairman; Djoko Susanto, and Pang S. Asngari as members). The objectives of the study are as follows: (1) to analyze the entrepreneurship competence as well as their productivity level of the dairy farmers; (2) to find out factors that influence the productivity and the entrepreneurship competence level, as well (3) to formulize model of extension services for the dairy farmers to improve their entrepreneurship competence as well as their productivity level. The respondents were 250 dairy farmers selected randomly; and the data collected through questionnaires and observation. The number of sample was determined based on Slovin’s formula, consist of 125 dairy farmers froms a population at 4.730 dairy farmers at Pasuruan and 125 dairy farmers from a population at 4.701 dairy farmers at Bandung. Statistical analyses used were correlation, regression, and path analysis. The major findings of the study are that entrepreneurship competence level of the dairy farmers at Pasuruan and Bandung District are at the medium category and the productivity as well. Factors that influenced the entrepreneurship competence of farmers at Pasuruan District are their ability to access informations and the motivation, support from institution extension, whereas at Bandung District are their ability to access informations, and their motivation supported by institustional extension and the government policy. However, dairy farmer’s productivity ar Pasuruan, East Java by their ability to access informations, and their motivation, lacking of facilities, information, institution dairy farmers and institution extension, whereas in Bandung, West Java were influenced by their ability to access informations, and their motivation, lacking of facilities, information, and institution extension. Finally, the study has revealed that entrepreneurship competence has significantly influence the productivity level of the dairy farmers. Dairy farmers productivity can be improved by enhancing motivation by mean of give them access to information source, supported by facilities, information, institution dairy farmers, institution extension, and the government policy.

Key words: entrepreneurship competence, dairy farmers productivity, information, motivation, facilities, information, institution extension, and government policy.

RINGKASAN KRISMIWATI MUATIP. 2008. Kompetensi Kewirausahaan Peternak Sapi Perah: Kasus Peternak Sapi Perah Rakyat di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur dan Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Komisi Pembimbing: Basita Ginting Sugihen (Ketua), Djoko Susanto dan Pang S.Asngari (Anggota). Membangun sumberdaya manusia yang produktif perlu asupan pangan bergizi. Susu merupakan salah satu produk peternakan sebagai sumber protein hewani. Saat ini, produksi susu dalam negeri belum mampu mencukupi kebutuhan masyarakat Indonesia dan hal ini merupakan peluang dan tantangan bagi usaha peternakan sapi perah rakyat yang ada di Indonesia untuk meningkatkan produktivitasnya. Peluang dan tantangan usaha peternakan sapi perah rakyat ini berhasil dimanfaatkan apabila usaha peternakan sapi perah dikelola secara profesional dengan wadah industri peternakan. Usaha peternakan tidak lagi diusahakan secara sambilan tetapi harus ditangani secara sungguh-sungguh oleh peternak sapi perah yang memiliki kompetensi kewirausahaan. Penelitian ini ingin menjawab pertanyaan tentang faktor-faktor apa yang berhubungan dengan perilaku peternak berkaitan dengan perilaku kewirausahaan peternak sapi perah seperti: (1) kompetensi kewirausahaan apa yang perlu dan telah dimiliki oleh peternak sapi perah?; (2) bagaimana tingkat produktivitas peternak sapi perah dalam menjalankan usaha peternakannya?; (3) apakah sarana, prasarana, dan informasi produksi yang dibutuhkan oleh peternak sapi perah dalam menjalankan dan mengembangkan usaha, telah tersedia secara tepat dan mudah diakses oleh peternak?; (4) bagaimana tingkat dukungan kelembagaan sosial, kelembagaan peternak, kelembagaan penyuluhan, dan kebijakan pemerintah terhadap tumbuhkembangnya kompetensi kewirausahaan dan produktivitas peternak sapi perah?; (5) faktor-faktor apakah yang berperan dalam meningkatkan produktivitas peternak sapi perah?; dan (6) bagaimana strategi penyuluhan yang tepat dan efektif dalam menumbuhkembangkan kompetensi kewirausahaan peternak dalam upaya meningkatkan produktivitas peternak sapi perah yang berbasis penyuluhan pembangunan? Penelitian bertujuan untuk: (1) mengkaji kompetensi kewirausahaan dan tingkat produktivitas peternak sapi perah dalam menjalankan usahanya, (2) menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kompetensi kewirausahaan dan produktivitas peternak sapi perah, (3) merumuskan model pengembangan kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah, dan (4) merumuskan strategi yang tepat untuk mengatasi kesenjangan kompetensi kewirausahaan peternak sebagai upaya peningkatan produktivitas peternak sapi perah berbasis penyuluhan pembangunan. Penelitian dilakukan di Kabupaten Pasuruan dan Bandung, dengan metode survei dan pengamatan langsung. Sampel penelitian adalah peternak sapi perah rakyat yang dipilih berdasarkan teknik acak berstrata. Jumlah sampel masing-masing sebanyak 125 orang di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung dari populasi sebanyak 4.701 dan 4.730 orang peternak sapi perah. Analisis data yang

dipergunakan adalah analisis statistik deskriptif dan analisis statistik inferensial (analisis korelasi, analisis regresi dan analisis jalur). Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) karakteristik peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung dicirikan dengan pendidikan rendah, jumlah keluarga antara 2-4 orang, jumlah ternak yang dipelihara antara 1–10 satuan ternak, rata-rata lama beternak 13–14 tahun, kemampuan mengakses informasi dan motivasi peternak dalam keadaan sedang; (2) rata-rata tingkat kompetensi kewirausahaan di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung pada tingkat sedang, produktivitas peternak di Kabupaten Pasuruan pada tingkat sedang dan Kabupaten Bandung pada tingkat tinggi; (3) faktor karakteristik peternak di Kabupaten Pasuruan yang berpengaruh nyata terhadap kompetensi kewirausahaan peternak adalah kemampuan peternak mengakses informasi, sedangkan di Kabupaten Bandung adalah kemampuan peternak mengakses informasi dan motivasi peternak dalam mengembangkan usaha sapi perah; (4) lingkungan usaha peternak yang berpengaruh nyata terhadap kompetensi kewirausahaan peternak di Kabupaten Pasuruan adalah kelembagaan penyuluhan, sedangkan di Kabupaten Bandung adalah kelembagaan penyuluhan dan kebijakan pemerintah; (5) karakteristik peternak di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung yang berpengaruh nyata terhadap produktivitas peternak adalah kemampuan peternak mengakses informasi dan motivasi peternak dalam mengembangkan usaha sapi perah; (6) lingkungan usaha yang berpengaruh nyata terhadap produktivitas peternak di Kabupaten Pasuruan adalah ketersediaan sarana, prasarana, informasi; kelembagaan peternak; dan kelembagaan penyuluhan, sedangkan di Kabupaten Bandung adalah ketersediaan sarana, prasarana, informasi dan kelembagaan penyuluhan. Kompetensi kewirausahaan peternak di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung berpengaruh sangat nyata terhadap produktivitas peternak. Menumbuhkan kompetensi kewirausahaan peternak di Kabupaten Pasuruan dengan cara memberi akses kepada peternak untuk berinteraksi dengan sumbersumber informasi, difasilitasi oleh penyuluh dan dukungan kelembagaan peternak yang dinamis. Menumbuhkan kompetensi kewirausahaan peternak di Kabupaten Bandung melalui peningkatan motivasi peternak dan memberi kesempatan peternak untuk mengakses informasi kepada sumber-sumber informasi yang didukung oleh sarana, prasarana, informasi sesuai kebutuhan peternak, kelembagaan peternak, kelembagaan penyuluhan, dan kebijakan pemerintah yang mendukung usaha peternakan sapi perah. Strategi untuk memperbaiki produktivitas peternak di Kabupaten Pasuruan yang paling efektif adalah melalui penyediaan sarana, prasarana, dan informasi yang sesuai dengan kebutuhan dan mudah diakses peternak, serta mendorong peternak meningkatkan kemampuan dalam mengakses informasi untuk mengembangkan kompetensi kewirausahaan. Strategi untuk memperbaiki produktivitas peternak di Kabupaten Bandung yang paling efektif adalah melalui upaya meningkatkan motivasi peternak melalui peningkatan kompetensi kewirausahaan peternak. Mengembangkan kompetensi kewirausahaan peternak memerlukan dukungan sarana, prasarana, dan informasi yang sesuai dengan kebutuhan peternak.

Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang (1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber: (a) Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. (b) Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB (2) Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB

KOMPETENSI KEWIRAUSAHAAN PETERNAK SAPI PERAH: KASUS PETERNAK SAPI PERAH RAKYAT DI KABUPATEN PASURUAN JAWA TIMUR DAN KABUPATEN BANDUNG JAWA BARAT

Krismiwati Muatip

Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Judul Disertasi

: Kompetensi Kewirausahaan Peternak Sapi Perah: Kasus Peternak Sapi Perah Rakyat di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur dan Kabupaten Bandung, Jawa Barat

Nama

: Krismiwati Muatip

NRP

: P 061040011

Program Studi

: Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Basita Ginting Sugihen,MA. Ketua

Prof (Ris) Dr.Ign. Djoko Susanto,SKM. Anggota

Prof. Dr. Pang S.Asngari. Anggota

Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Siti Amanah, MSc.

Prof.Dr.Ir.Khairil A. Notodiputro, MS.

Tanggal Ujian: 31 Juli 2008

Tanggal Lulus:

Penguji Luar Komisi Penguji Ujian Tertutup: Dr. Amiruddin Saleh, MS. Penguji Ujian Terbuka: (1) Prof. Dr. Ir. H. Tjeppy D. Soedjana, MSc. (2) Dr. Ir. Bagus Priyo Purwanto, M.Agr

PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT, Tuhan seru sekalian alam, karena hanya dengan ijin-Nya penelitian dan penulisan disertasi ini telah terselesaikan dengan baik. Penulis menyampaikan terima kasih yang tulus kepada yang terhormat: (1) Dr.Ir. Basita Ginting Sugihen,MA, (2) Prof (Ris). Dr.Ign. Djoko Susanto,SKM dan (3) Prof. Dr. Pang S.Asngari, yang telah dengan sabar dan teliti telah membimbing dan mengarahkan penulis. Kepada Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan IPB, seluruh dosen di Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan IPB, dan rekan-rekan seperjuangan di Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan IPB, Rektor Unsoed Purwokerto, Dekan FAPET Unsoed Purwokerto, Pemda Kabupaten Bandung, Pemda Kabupaten Pasuruan serta segenap pihak yang telah membantu terselenggaranya penelitian ini, dengan tulus, penulis menyampaikan terima kasih. Kepada Bapak H. Muatip Abdul Rozak dan Ibu Hj. Taenah, suami tercinta Hari Prasetyo, dan ananda Yuwono Dimas Prasmiwardana, seluruh keluarga dan sahabat, penulis menghaturkan terima kasih atas dukungan, dorongan dan doanya. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada saudara-saudara peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung yang telah sudi menjadi sampel, tanpa bantuan dan penerimaan serta kerja sama yang baik, penelitian ini tidak pernah ada. Tulisan ini merupakan hasil penelitian dalam rangka menyelesaikan Studi Program Doktor Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari, hal-hal yang dilakukan melalui penelitian ini barulah langkah awal dari perjuangan mewujudkan peternak sapi perah yang memiliki kompetensi kewirausahaan sehingga mampu mencapai produktivitas kerja yang optimal. Harapan penulis, semoga Allah SWT memberi kemudahan untuk mencapainya. Saran dan masukan sangat diharapkan guna perbaikan, dan untuk semua saran yang diberikan, penulis sampaikan terima kasih.

Bogor, Agustus 2008

Krismiwati Muatip

RIWAYAT HIDUP Penulis adalah putri pertama dari enam bersaudara keluarga bapak H. Muatip Abdul Rozak dan ibu Hj. Taenah, lahir di Pemalang 19 Februari 1964. Penulis menempuh dan menyelesaikan S1 pada Fakultas Peternakan Jurusan Produksi Ternak pada Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, lulus tahun 1988. S2 diselesaikan pada tahun 1997 di Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan pada Institut Pertanian Bogor, diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada September 2004. Saat ini penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman. Penelitian yang pernah penulis lakukan adalah: (1) Studi Tanggapan Peternak Terhadap Program Inseminasi Buatan (IB) di Kabupaten Banyumas (tahun 2002). (2) Peneliti Evaluasi Usaha Sapi Perah Dalam Aspek Finansial Pada Peternak Sapi Perah Peserta Proyek di Kabupaten Banyumas (tahun 2003). (3) Identifikasi dan Pengembangan Ternak Unggulan di Kabupaten Pemalang (tahun 2003). (4) Hubungan Motivasi Berprestasi dan Komunikasi Antarpribadi Dengan Efektivitas Kepemimpinan Ketua Kelompok Peternak Sapi Perah di Kabupaten Banyumas (tahun 2004). (5) Persepsi Masyarakat Kota Purwokerto Tentang Daging Asal Ternak Akibat Pemberitaan Media Massa Tentang Penyakit Zoonosis (tahun 20040). (6) Efektivitas Penggunaan Buku Komik Dalam Meningkatkan Pengetahuan dan Minat Peternak Kambing Tentang Pemanfaatan Lahan Marginal Bagi Tanaman Pakan Ternak (tahun 2004).

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL …………………………………………………….. DAFTAR GAMBAR ………………………………………………….. DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................

xiii xv xvii

PENDAHULUAN …………………………………………………….. Latar Belakang ………………………………………………......... Masalah Penelitian…………………………………………............ Tujuan Penelitian …………………………………………….......... Kegunaan Penelitian …………………………………………......... Definisi Istilah …………………………………………….............

1 1 5 6 7 8

TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………............... Usaha Sapi Perah di Indonesia ……………………………………. Karakteristik Peternak …………………………………………...... Pendidikan ……………………………………………………... Jumlah Ternak yang Dipelihara …………………………….... Tipe Usaha …………………………………………………..... Kemampuan Mengakses Informasi ………………………….... Motivasi …………………………………………………......... Kompetensi Kewirausahaan ……………………………………..... Kompetensi …………………………………………................ Kewirausahaan …………………………………….................. Kompetensi Kewirausahaan yang Perlu Dimiliki Peternak Sapi Perah ……………........................................................................ Kompetensi Teknis ………………………………………… Kompetensi Manajerial ……………………………………. Lingkungan Usaha ……………………………………………….. Sarana, Prasarana, dan Informasi ............………………… Sarana dan Prasarana .......................................................... Informasi Usaha Peternakan Sapi Perah ............................. Kelembagaan Peternak …………………………………… Kelembagaan Sosial ……..………………………………… Kelembagaan Penyuluhan .………………………………… Kebijakan Pemerintah …………………………………..... Produktivitas …….………………………………………………...

11 11 13 14 16 18 19 21 22 22 25 29 32 34 39 39 40 41 44 49 55 61 67

Halaman KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS ..............……….……….. Kerangka Berpikir ............................................................................. Dukungan Eksternal dalam Peningkatan Produktivitas Peternak Sapi Perah ................................................................................... Paradigma Pola Perilaku Peternak Sapi Perah yang Memiliki Kompetensi Kewirausahaan ....................................................... Hipotesis Penelitian .........................................................................

72 72

METODE PENELITIAN .......................................................................... Lokasi, Populasi dan Sampel ............................................................ Lokasi …………................................…………………............. Populasi dan Sampel ……………………….......................... Desain Penelitian ………………………………………………...... Data dan Instrumentasi ..................................................................... Data ........................................................................................... Instrumentasi ............................................................................... Validitas Instrumen ........................................................................... Reliabilitas Instrumen ...................................................................... Definisi Operasional dan Pengukuran Peubah .................................. Teknik Pengumpulan Data ............................................................... Analisis Data ...................................................................................... Prosedur Pengujian Hipotesis ...........................................................

84 84 84 84 86 87 87 88 88 90 91 107 107 109

HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ Deskripsi Lokasi Penelitian ............................................................. Sejarah Peternakan Sapi Perah di Lokasi Penelitian.......................... Peternakan Sapi Perah di Kecamatan Nongkojajar ................... Peternakan Sapi Perah di Kecamatan Pangalengan ……............ Karakteristik Peternak Sapi Perah .................................................... Pendidikan .................................................................................. Jumlah Tanggungan Keluarga ................................................... Jumlah Ternak Sapi Perah yang Dipelihara ............................... Lama Beternak ........................................................................... Pemilikan Media ........................................................................ Lama Terdedah Media Massa ................................................... Fungsi Media Massa .................................................................. Kemampuan Mengakses Informasi ............................................

111 111 112 112 114 115 116 117 118 119 120 121 121 122 124 126 126 130

Motivasi Peternak Mengembangkan Usaha Peternakan Sapi Perah Kondisi Lingkungan Usaha Peternakan Sapi Perah di Lokasi Penelitian

Informasi, Sarana, dan Prasarana .............................................. Kelembagaan Peternak ..............................................................

78 79 82

Halaman Kelembagaan Sosial Kelembagaan Penyuluhan Kebijakan Pemerintah dalam Persusuan Nasional ....................... Kebijakan Pemerintah dalam Mencukupi Kebutuhan Susu ........ Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Pengembangan Sapi Perah Kompetensi Kewirausahaan .............................................................. Kompetensi Teknis ........... ........................................................ Kompetensi Peternak tentang Bibit Sapi Perah ………... Kompetensi Peternak tentang Perkandangan .................. Kompetensi Peternak tentang Pakan ............................... Kompetensi Peternak tentang Pemeliharaan Sapi ........... Kompetensi Peternak tentang Penyakit Sapi Perah ......... Kompetensi Peternak tentang Pemerahan ....................... Kompetensi Peternak tentang Reproduksi ....................... Kompetensi Peternak tentang Produktivitas ...................... Kompetensi Peternak tentang Recording (Pencatatan Produksi Ternak) .............................................................. Kompetensi Manajerial Peternak Sapi Perah ............................ Kompetensi Peternak dalam Perencanaan Usaha ............. Kompetensi Peternak dalam Koordinasi Usaha ................. Kompetensi Peternak dalam Pengawasan ........................ Kompetensi Peternak dalam Evaluasi .............................. Kompetensi Peternak dalam Komunikasi ......................... Kompetensi Peternak dalam Bermitra Usaha ................... Kompetensi Peternak dalam Mengatasi Kendala Usaha ........... Kompetensi Peternak dalam Memanfaatkan Peluang Usaha ....

Produktivitas Peternak Sapi Perah ................................................... Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kompetensi Kewirausahaan Peternak Sapi Perah ......................................................................... Pengaruh Karakteristik terhadap Kompetensi Kewirausahaan Peternak Sapi Perah ................................................................... Pengaruh Lingkungan Usaha terhadap Kompetensi Kewirausahaan Peternak Sapi Perah ......................................... Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Peternak Sapi Perah ........................................................................................ Pengaruh Karakteristik terhadap Produktivitas Peternak Sapi Perah .................................................................................. Pengaruh Lingkungan Usaha terhadap Produktivitas Peternak Sapi Perah .................................................................................. Pengaruh Kompetensi Kewirausahaan terhadap Produktivitas Peternak Sapi Perah ...................................................................

132 133 134 137 141 141 143 143 145 146 150 151 152 155 156 157 157 157 158 159 160 161 162 163 164 166 172 172 187 211 211 223 242

Halaman Pengaruh Karakteristik, Lingkungan Usaha, dan Kompetensi Kewirausahaan terhadap Produktivitas Peternak Sapi Perah .......... Menumbuhkan Kompetensi Kewirausahaan dan Produktivitas Peternak Sapi Perah ....................................................................... Kasus di Kabupaten Pasuruan ..................................................... Kasus di Kabupaten Bandung ...................................................... Strategi Meningkatkan Kompetensi Kewirausahaan dan Produktivitas Peternak Sapi Perah .................................................... Kasus di Kabupaten Pasuruan ..................................................... Kasus di Kabupaten Bandung ......................................................

244 246 246 247 248 249 257

KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. Kesimpulan .................................................................................... Saran ................................................................................................

263 263 264

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. LAMPIRAN ............................................................................................

266 276

DAFTAR TABEL Halaman 1. Ciri dan Watak Entrepreneur …………………….…..…………….

28

2. Paradigma Arah Pergeseran Peternak yang Memiliki Kompetensi Kewirausahaan …………….......………..…………….

80

3. Sebaran Sampel Penelitian di Kabupaten Pasuruan .........................

85

4. Sebaran Sampel Penelitian di Kabupaten Bandung ...........................

86

5. Hasil Validitas Instrumentasi Penelitian ...........................................

90

6. Koefisien Alpha Cronbach .................................................................

91

7. Peubah, Indikator, dan Parameter Karakteristik Peternak Sapi perah

94

8. Sub Peubah, Indikator, dan Parameter Kompetensi Kewirausahaan

96

9. Sub Peubah, Indikator, dan Parameter Produktivitas Peternak Sapi Perah

99

10. Sub Peubah, Indikator, dan Parameter Lingkungan Usaha Peternak

105

11. Karakteristik Subjek Penelitian .......................................................

115

12. Tingkat Dukungan Lingkungan Usaha Peternakan Sapi Perah ......

126

13. Tingkat Kompetensi Kewirausahaan Peternak Sapi Perah ..............

142

14. Tingkat Produktivitas Peternak Sapi Perah ....................................

167

15. Tingkat Produktivitas dalam Komponen-komponennya .................

168

16. Koefisien Korelasi Faktor Karakteristik yang Berhubungan dengan Kompetensi Peternakan Sapi Perah ...................................................

173

17. Koefisien Regresi Berganda Faktor Karakteristik yang Berpengaruh terhadap Kompetensi Kewirausahaan Peternak Sapi Perah di Kabupaten Pasuruan …………………..........…………………… 180

Halaman 18. Koefisien Regresi Berganda Faktor Karakteristik yang Berpengaruh terhadap Kompetensi Kewirausahaan Peternak Sapi Perah di Kabupaten Bandung .....................................................................

183

19. Koefisien Korelasi Faktor Lingkungan Usaha yang Berhubungan dengan Kompetensi Kewirausahaan Peternakan Sapi Perah ............

187

20. Koefisien Regresi Berganda Faktor Lingkungan Usaha yang Berpengaruh terhadap Kompetensi Kewirausahaan Peternak Sapi Perah di Kabupaten Pasuruan ....................................................

195

21. Koefisien Regresi Berganda Faktor Lingkungan Usaha yang Berpengaruh terhadap Kompetensi Kewirausahaan Peternak Sapi Perah di Kabupaten Bandung ....................................................

203

22. Koefisien Korelasi Faktor Karakteristik yang Berhubungan dengan Produktivitas Peternakan Sapi Perah ....................................

212

23. Koefisien Regresi Berganda Faktor Karakteristik yang Berpengaruh terhadap Produktivitas Peternak Sapi Perah di Kabupaten Pasuruan

218

24. Koefisien Regresi Berganda Faktor Karakteristik yang Berpengaruh terhadap Produktivitas Peternak Sapi Perah di Kabupaten Bandung

221

25. Koefisien Korelasi Faktor Lingkungan Usaha yang Berhubungan dengan Produktivitas Peternakan Sapi Perah ....................................

223

26. Koefisien Regresi Berganda Faktor Lingkungan Usaha yang Berpengaruh terhadap Produktivitas Peternak Sapi Perah di Kabupaten Pasuruan ......................................................................

229

27. Kegiatan Pelatihan, Penyuluhan, Pendidikan, dan Seminar, Tahun 2006

232

28. Koefisien Regresi Berganda Faktor Lingkungan Usaha yang Berpengaruh terhadap Produktivitas Peternak Sapi Perah di Kabupaten Bandung ......................................................................

236

29. Hubungan Langsung dan Tidak Langsung Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Produktivitas Peternak Sapi Perah ................

249

DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Pusat dan Permukaan Kompetensi

……………………………......... 24

2. Peubah yang Mempengaruhi Produktivitas ......................................... 70 3. Peubah-peubah yang Mempengaruhi Kompetensi Kewirausahaan serta Dampaknya pada Produktivitas Peternak Sapi Perah ................. 82 4. Model Motivasi .................................................................................. 179 5. Karakteristik yang Mempengaruhi Kompetensi Kewirausahaan Peternak Sapi Perah di Kabupaten Pasuruan ....................................... 183 6. Karakteristik yang Mempengaruhi Kompetensi Kewirausahaan Peternak Sapi Perah di Kabupaten Bandung ...................................... 186 7. Lingkungan Usaha yang Mempengaruhi Kompetensi Kewirausahaan Peternak di Kabupaten Pasuruan ............................... 202 8. Lingkungan Usaha yang Mempengaruhi Kompetensi Kewirausahaan Peternak Sapi Perah di Kabupaten Bandung ...........

210

9. Karakteristik yang Mempengaruhi Produktivitas Peternak Sapi Perah di Kabupaten Pasuruan ...................................................

220

10. Karakteristik yang Mempengaruhi Produktivitas Peternak Sapi Perah di Kabupaten Bandung ...................................................

223

11. Lingkungan Usaha yang Mempengaruhi Produktivitas Peternak Sapi Perah di Kabupaten Pasuruan ...................................................

234

12. Lingkungan Usaha yang Mempengaruhi Produktivitas Peternak Sapi Perah di Kabupaten Bandung ..................................................

241

13. Pengaruh Kompetensi Kewirausahaan terhadap Produktivitas Peternak Sapi Perah di Kabupaten Pasuruan ....................................

243

14. Pengaruh Kompetensi Kewirausahaan terhadap Produktivitas Peternak Sapi Perah di Kabupaten Bandung ....................................

243

Halaman 15. Pengaruh Antar Peubah yang Mempengaruhi Produktivitas Peternak Sapi Perah di Kabupaten Pasuruan ..................................................

245

16. Pengaruh Antar Peubah yang Mempengaruhi Produktivitas Peternak Sapi Perah di Kabupaten Bandung .................................................... 246

DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Populasi Ternak Sapi Perah di Lokasi Penelitian, tahun 2006 ……..

277

2. Uji Validitas Instrumentasi Penelitian .............................................

278

3. Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian ..................................................

282

4. Uji Regresi Korelasi .........................................................................

286

PENDAHULUAN

Latar Belakang Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk membentuk sumberdaya manusia berkualitas yang dicirikan oleh keragaan antara lain: produktif, inovatif dan kompetitif adalah tercukupinya asupan makanan yang bergizi. Salah satu sumber protein hewani asal ternak adalah susu. Susu merupakan makanan yang bergizi yang dibutuhkan manusia sejak dini. Pada tahun 2007 konsumsi susu masyarakat Indonesia adalah 2.455 ribu ton (Setiawati:2008:3). Dibandingkan dengan jumlah penduduk sebanyak 230 juta orang maka diperkirakan rata-rata konsumsi susu penduduk Indonesia adalah 10,38 liter/tahun atau 0,03 liter/hari. Konsumsi susu penduduk Indonesia masih rendah bila dibandingkan dengan negara lain seperti Belanda yang mencapai 122,9 liter/tahun atau Malaysia yang mencapai 27 liter/tahun (Damardjati, 2008: 3). Meskipun konsumsi susu masyarakat Indonesia masih rendah, pemerintah Indonesia belum mampu mencukupi kebutuhan susu penduduk Indonesia. Pemerintah melakukan kebijakan dengan mengimpor susu dari New Zealand dan Australia untuk mencukupi kebutuhan susu penduduk Indonesia. Pertambahan penduduk Indonesia diperkirakan sebesar 1,49 persen/tahun sehingga pada tahun 2010 penduduk Indonesia mencapai 240 juta orang. Adanya peningkatan populasi penduduk Indonesia, perkembangan ekonomi nasional, serta kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi makanan bergizi, di samping adanya perubahan gaya hidup masyarakat menyebabkan konsumsi susu pada tahun 2010 diperkirakan meningkat menjadi dua kali lipat dari konsumsi sekarang, sehingga kebutuhan susu pada tahun 2010 mencapai 5,1 juta ton/tahun. Untuk mencukupi kebutuhan susu masyarakat Indonesia pada tahun 2010 dibutuhkan sapi perah yang memiliki produktivitas tinggi. Rata-rata produksi susu sapi perah saat ini adalah 10,5 liter/ hari (Damardjati, 2008:2) dengan populasi sapi perah pada tahun 2007 sebanyak 377.772 ekor (Direktorat Jenderal Peternakan, 2007:74). Apabila produksi susu sapi perah dapat ditingkatkan menjadi 12 liter/

2

hari dan dengan asumsi pertumbuhan populasi sapi perah sebesar 2,4 persen/tahun maka populasi sapi perah pada tahun 2010 diperkirakan 400.438 ekor, dan diperkirakan produksi susu pada tahun 2010 adalah 1,4 juta ton/tahun. Produksi tersebut mencukupi kebutuhan sebesar 28 persen dari kebutuhan susu pada tahun 2010. Untuk mencukupi kebutuhan konsumsi susu pada tahun 2010 masih diperlukan sapi perah sebanyak 1.085.094 ekor atau hampir tiga kali lipat dari populasi sekarang. Diperlukan upaya-upaya untuk mengatasi kekurangan populasi terak sapi perah dan pasokan susu. Selama ini, pemerintah Indonesia mengatasi kekurangan pasokan susu dalam negeri dengan melakukan inpor susu dari Australia dan New Zealand. Pada tahun 2005-2007 berturut-turut pemerintah mengimpor susu sebanyak 172.084,4 ton; 187.685,3 ton; dan 164.265,3 ton (Januari-September). Impor ini belum termasuk makanan hasil olahan susu seperti mentega, keju dan yoghurt. Menurut data Biro Pusat Statistik jumlah yang harus dibayarkan untuk impor susu dan makanan olahan sebesar 560,8 juta US$ (Direktorat Jenderal Peternakan, 2007: 27). Impor susu mengakibatkan devisa Indonesia terkuras keluar negeri. Kekurangan pasokan susu merupakan suatu peluang yang perlu disikapi dengan upaya mengembangkan industri persusuan di dalam negeri. Untuk meningkatkan produktivitas sapi perah dapat dilakukan melalui perbaikan mutu pakan, manajemen usaha ternak, kesehatan ternak, perbaikan mutu genetik sapi, dan perbaikan mutu sumberdaya peternak. Upaya perbaikan manajemen budidaya maupun genetik tidak akan berhasil bila peternakan sapi perah masih dikelola oleh peternak yang tidak memiliki kompetensi kewirausahaan. Orientasi pemeliharaan sapi perah selama ini adalah untuk menghasilkan susu. Sapi perah selain menghasilkan susu (”emas putih”) juga menghasilkan kotoran (”emas hitam”), dan pedet (”emas merah”) yang semua itu dapat memberi manfaat bagi peternak. Mengoptimalkan sapi perah sebagai sumberdaya yang mampu menghasilkan produk-produk yang memiliki nilai ekonomis dan memberikan pendapatan maksimal bagi peternak dan keluarganya memerlukan peternak-peternak yang memiliki kompetensi kewirausahaan yaitu peternak yang selain menguasai

3

pengetahuan dan wawasan tentang budidaya ternak, juga memiliki pengetahuan manajemen, dan perilaku yang positif. Kompetensi kewirausahaan peternak menjadikannya sebagai orang yang kreatif dan inovatif sehingga mencapai produktivitas kerja yang tinggi. Sikap ”nrimo”, cepat puas, tidak disiplin, meremehkan mutu, dan pandangan hidup bahwa usaha sapi perah merupakan mata pencaharian sambilan, merupakan sikap yang banyak dijumpai pada peternak sapi perah. Sikap ini sangat bertentangan dengan sikap wirausaha yang senantiasa memiliki etos kerja tinggi, disiplin, telaten, ulet, tangguh, mandiri, tidak mudah menyerah dan selalu melihat peluang usaha sebagai sebuah tantangan. Mengubah sikap yang telah terbentuk selama bertahun-tahun sangatlah sulit. Oleh karena itu, untuk membentuk peternak yang memiliki sikap sebagai wirausahawan memerlukan dukungan lingkungan usaha yang kondusif. Menumbuhkembangkan kompetensi kewirausahaan pada peternak sapi perah dapat dilakukan dengan memberikan dukungan berupa ketersediaan sarana, prasarana dan informasi yang tepat, mudah diakses, dan sesuai dengan kebutuhan peternak. Selain itu, lembaga peternak yang solid dan padu, nilai-nilai masyarakat sekitar usaha peternakan yang menghargai prestasi kinerja peternak, lembaga penyuluhan yang mampu bertindak sebagai teman, guru, motivator, dan negosiator sehingga mampu menumbuhkan kemandirian dalam berusaha ternak serta kebijakan pemerintah yang mendukung berkembangnya usaha peternakan sapi perah merupakan lingkungan usaha yang sangat dibutuhkan oleh peternak sapi perah. Upaya lain yang harus segera dilakukan adalah mereorientasikan tujuan pemeliharaan sapi perah. Selama ini tujuan pemeliharaan sapi perah sebagai matapencaharian belum berorientasi untuk mencari keuntungan. Oleh karena itu, perlu diubah pola pemeliharaan dari usaha tradisional yang mengandalkan pengetahuan dari orang tuanya menjadi industri peternakan berbasis teknologi. Berkembangnya jiwa wirausaha peternak diharapkan mampu memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki maupun yang ada disekitarnya untuk menghasilkan produk-produk yang bernilai ekonomis.

Sapi perah tidak lagi dibudidayakan

untuk menghasilkan susu tetapi dimanfaatkan juga untuk menghasilkan kotoran

4

yang dapat dibuat bio gas atau bio arang untuk mencukupi kebutuhan energi, dibuat kompos untuk memupuk tanaman pertanian, atau untuk beternak cacing yang mampu memberi tambahan pendapatan keluarga, serta menghasilkan pedet setiap tahun sehingga populasi ternak sapi perah semakin berkembang. Lembaga penyuluhan merupakan lembaga yang diharapkan mampu mengubah pandangan peternak tentang usaha peternakan sapi perah untuk dijadikan sebagai usaha yang menguntungkan. Lembaga penyuluhan perlu memiliki strategi pendekatan yang tepat, karena strategi yang tepat menyebabkan terjadinya partisipasi aktif dari kelayannya (sasaran penyuluhan). Penyuluhan bukan lagi menjadi kegiatan yang membosankan tetapi sebagai ajang mengembangkan kompetensi diri. Penyuluh tidak lagi memberikan materi-materi tentang budidaya sapi perah tetapi bertindak sebagai organisator, negosiator, mediator, dan motivator bagi peternak. Keberhasilan peternak sapi perah rakyat dalam mengusahakan peternakan sapi perah dapat menghemat devisa negara, karena kebutuhan susu nasional tercukupi dari produksi lokal. Selain itu, berkembangnya peternakan sapi perah di Indonesia mampu memberikan sumbangan energi dan populasi sapi yang semakin banyak, serta pendapatan dan kesejahteraan peternak semakin meningkat. Meningkatnya pendapatan peternak sapi perah menyebabkan masyarakat memberikan penghargaan yang tinggi kepada usaha peternakan yang selama ini dianggap sebagai usaha yang kurang terhormat karena bersinggungan dengan ternak. Mengingat kompetensi kewirausahaan dan produktivitas peternak sapi perah merupakan suatu hal yang perlu segera ditumbuhkembangkan dalam diri peternak sapi perah maka perlu dilakukan penelitian yang mengkaji faktor-faktor yang berhubungan dengan kompetensi kewirausahaan dan produktivitas peternak sapi perah. Hasil kajian ini selanjutnya digunakan untuk merumuskan strategi penyuluhan peternakan untuk membentuk peternak yang mandiri.

5

Masalah Penelitian Dilihat dari segi bisnis kurangnya pasokan susu pada masyarakat Indonesia merupakan peluang dan tantangan bagi usaha peternakan sapi perah rakyat untuk berkembang meningkatkan produktivitasnya. Peluang dan tantangan usaha peternakan sapi perah rakyat ini berhasil apabila usaha peternakan sapi perah ini dikelola secara profesional dengan wadah industri peternakan. Usaha peternakan tidak lagi diusahakan secara sambilan tetapi ditangani secara sungguh-sungguh oleh peternak yang kompeten. Peluang yang ada pada saat ini memerlukan generasi baru peternak-peternak mandiri, memiliki mental yang ulet, tangguh, mampu bermitra dan selalu mampu membaca peluang untuk mengembangkan usahanya. Sifat-sifat ini terdapat pada seorang yang memiliki kompetensi kewirausahaan. Peternak yang memiliki kompetensi kewirausahaan senantiasa mencari peluang usaha dan memberi nilai tambah pada produk yang dihasilkan. Sapi perah dibudidayakan selain untuk menghasilkan susu, juga dimanfaatkan untuk menghasilkan pedet dan kotoran. Selama ini peternak membudidayakan peternakan sapi perah berdasarkan pengetahuan yang diperoleh dari orang tuanya dan apa yang dilihat dari sesama peternak, sehingga dari aspek teknis telah menguasai. Usaha sapi perah merupakan bisnis yang selain perlu menguasai aspek teknis, juga memerlukan penanganan manajemen yang serius dari pengelolanya. Aspek manajemen bagi peternak sapi perah kurang mendapatkan perhatian karena usaha sapi perah yang bersifat subsisten. Bagi wirausahawan, selain menguasai aspek teknis juga sangat perlu menguasai teknik manajemen yang baik. Oleh karena itu, diperlukan upaya menumbuhkembangkan kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah. Mengembangkan perilaku peternak agar mau dan mampu mengoptimalkan kompetensi kewirausahaan selain memerlukan faktor-faktor yang ada dalam diri peternak seperti pendidikan, motivasi untuk mengembangkan usaha, dan kemampuan mengakses informasi, juga memerlukan dukungan lingkungan usaha yang kondusif. Dukungan dari luar berupa ketersediaan sarana, prasarana dan informasi yang baik dan tepat, kelembagaan peternak yang dinamis, kelembagaan sosial

6

yang menjunjung tinggi disiplin, kerja keras, dan kualitas pekerjaaan, maupun strategi penyuluhan yang berpihak pada peternak serta kebijakan pemerintah yang menumbuhkan keberdayaan peternak mampu menumbuhkan kreativitas dan keinovatifan peternak. Secara spesifik penelitian ini ingin menjawab faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku peternak berkaitan dengan perilaku kewirausahaan peternak sapi perah seperti : (1) Bagaimana tingkat kompetensi kewirausahaan dan produktivitas peternak sapi perah dalam menjalankan usaha peternakannya? (2) Bagaimana tingkat dukungan lingkungan usaha seperti sarana, prasarana, informasi; kelembagaan sosial; kelembagaan peternak; kelembagaan penyuluhan; dan kebijakan pemerintah terhadap tumbuhkembangnya kompetensi kewirausahaan dan produktivitas peternak sapi perah? (3) Faktor-faktor apakah yang berperan dalam meningkatkan kompetensi kewirausahaan dan produktivitas peternak sapi perah? (4) Bagaimana strategi penyuluhan yang tepat dan efektif dalam menumbuhkembangkan kompetensi kewirausahaan peternak dalam upaya meningkatkan produktivitas peternak sapi perah yang berbasis penyuluhan pembangunan?

Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan: (1) Mendeskripsikan kompetensi kewirausahaan dan tingkat produktivitas

peter-

nak sapi perah dalam menjalankan usahanya. (2) Menganalisis karakteristik dan lingkungan usaha yang berpengaruh terhadap kompetensi kewirausahaan dan produktivitas peternak sapi perah. (3) Merumuskan pengembangan kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah. (4) Merumuskan strategi yang tepat untuk mengatasi kesenjangan kompetensi kewirausahaan peternak sebagai upaya peningkatan produktivitas peternak sapi perah berbasis penyuluhan pembangunan.

7

Kegunaan Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa kegunaan, yaitu: (1) Dalam tataran teoritis (a) Memperkaya khasanah keilmuan tentang kompetensi kewirausahaan dan produktivitas peternak sapi perah. (b) Memberi informasi yang dapat dijadikan acuan bagi penelitian selanjutnya tentang pengembangan sumberdaya manusia peternak sapi perah yang mandiri, maju dan memiliki produktivitas tinggi berbasis kompetensi kewirausahaan dan mampu bersaing di era globalisasi. (2) Dalam tataran praktis (a) Bagi peternak sapi perah Dalam upaya penyadaran kepada peternak sapi perah tentang perlunya memiliki kemampuan cerdas (kompetensi) untuk menjalankan bisnis dan selanjutnya memotivasi peternak untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas sumberdaya yang dimiliki dengan mengeksplorasi kompetensi yang dipunyai sehingga mampu menampilkan produktivitas peternak yang berkualitas. (b) Bagi pemerintah Sebagai rekomendasi bagi instansi terkait dengan usaha sapi perah (Pemerintah Daerah dan Dinas Peternakan) di Jawa Timur dan Jawa Barat dalam menginventarisir sarana, prasarana, informasi yang dibutuhkan peternak sapi perah berkaitan dengan pengembangan usaha serta sebagai panduan dalam menetapkan kebijakan, strategi dan program untuk menumbuhkan kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah. (c) Bagi pengantar perubahan atau pembaharuan, khususnya lembaga penyuluhan peternakan. Hasil penelitian ini dapat dijadikan inovasi dalam proses pendidikan yang bertujuan untuk membelajarkan kompetensi diri pada masing-masing individu dan memotivasi peternak sapi perah untuk memiliki jiwa kewirausa-

8

haan sehingga mampu mengoptimalkan sumberdaya yang dimiliki dan yang ada di sekitarnya.

Definisi Istilah Definisi istilah merupakan terjemahan dari konsep-konsep yang telah dirujuk oleh peneliti sehingga konsep-konsep tersebut dapat diukur secara tepat. Untuk keperluan penelitian ini, digunakan beberapa istilah yang perlu diketahui maknanya. Dengan adanya definisi istilah yang jelas, diharapkan dapat memperoleh data dan informasi yang tepat, sesuai dengan kebutuhan penelitian. Berikut ini adalah istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini: (1) Peternak sapi perah menunjuk pada individu peternak pemilik peternakan rakyat yang melakukan usaha peternakan sapi perah. (2) Peternakan rakyat adalah usaha peternakan sapi perah milik perorangan yang tidak memerlukan ijin usaha dari instansi dan pejabat berwenang untuk pendiriannya.. (3) Kompetensi adalah pengetahuan, sikap, dan kemampuan melakukan tindakan cerdas menjalankan suatu tugas pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya dan merupakan karakter individu yang mempengaruhi cara berpikir dan bertindak, membuat generalisasi terhadap situasi yang dihadapi, serta bertahan cukup lama dalam diri manusia. (4) Wirausaha adalah orang yang memiliki kemampuan untuk merencanakan usaha, mengaplikasikan apa yang direncanakan, kreatif dan inovatif serta senantiasa berpikir untuk mengembangkan usahanya dengan memanfaatkan segala sumberdaya secara optimal untuk mencapai tingkat komersial yang tinggi. (5) Kewirausahaan adalah proses penciptaan sesuatu yang berbeda nilainya atau memberi nilai tambah pada produk dengan konsekuensi memikul risiko finansial, psikologi, dan sosial serta menerima balas jasa finansial dan kepuasan pribadi. Selain itu kewirausahaan dimaknai sebagai sikap dan perilaku mandiri yang mampu menggabungkan unsur kreativitas, tantangan, kerja keras, dan kepuasan untuk mencapai prestasi maksimal sehingga dapat memberikan

9

nilai tambah maksimal terhadap produk yang dihasilkan dengan tetap mengindahkan sendi-sendi kehidupan masyarakat. (6) Kompetensi kewirausahaan adalah pengetahuan, sikap, dan kecakapan cerdas atau keterampilan yang memadai untuk melakukan suatu tugas pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya untuk menghasilkan produk yang mampu menghasilkan keuntungan finansial dan kepuasan bagi pengguna produk maupun yang menghasilkannya tanpa melupakan norma-norma di lingkungannya. (7) Peternak yang memiliki kompetensi kewirausahaan adalah peternak yang memiliki pengetahuan, sikap, dan kecakapan atau keterampilan yang memadai untuk melakukan budidaya ternak dan manajemen usaha untuk menghasilkan produk-produk yang berkualitas sehingga mampu mengahasilkan keuntungan finansial dan kepuasan bagi konsumen maupun peternak itu sendiri tanpa melupakan norma-norma yang ada dalam lingkungannya. (8) Produktivitas adalah hasil kerja yang dihasilkan karena menggunaan faktorfaktor produksi yang efisien dan proses produksi yang efektif. (9) Produktivitas peternak merupakan hasil kerja yang dihasilkan peternak dalam mengusahakan peternakannya sesuai dengan kompetensi yang dimiliki untuk menghasilkan produk-produk yang berkualitas sehingga mampu diterima konsumen dan mampu memberikan input yang maksimal kepada peternak. (10) Lingkungan usaha adalah sarana, prasarana dan kelembagaan yang ada di lingkungan peternak yang mendukung usaha peternakan sapi perah. (11) Sarana dan prasarana usaha adalah unsur-unsur yang diperlukan untuk kelancaran usaha beternak sapi perah. (12) Informasi adalah pesan-pesan yang berkaitan dengan budidaya dan pengembangan usaha sapi perah yang tersedia dan dapat diakses oleh peternak. (13) Kelembagaan peternak adalah lembaga tempat berkumpulnya peternak untuk menyampaikan aspirasinya dan memudahkan koordinasi dalam membentuk harapan masing-masing yang mungkin dapat dicapai dengan saling bekerjasama.

Dalam penelitian ini kelembagaan peternak terdiri dari

kelompok dan koperasi peternak sapi perah.

10

(14) Kelembagaan sosial adalah lembaga yang ada di sekitar tempat tinggal maupun lingkungan usaha peternak dimana peternak melakukan interaksi setiap harinya. (15) Kelembagaan penyuluhan adalah lembaga pemerintah dan atau masyarakat yang mempunyai tugas dan fungsi menyelenggarakan penyuluhan. (16) Kebijakan Pemerintah adalah peraturan perundangan atau keputusan yang dikeluarkan pemerintah yang berkaitan dengan usaha peternakan sapi perah. (17) Karakteristik petani adalah sifat-sifat atau ciri yang dimiliki seseorang yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dan lingkungannya

TINJAUAN PUSTAKA

Usaha Sapi Perah di Indonesia Peternakan sapi perah di Indonesia telah dimulai sejak abad ke-19, yaitu sejak pengimporan sapi-sapi perah Milking Shorthorn, Ayrshire, dan Yersey dari Australia yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada masa itu sapi perah umumnya dikelola dalam bentuk perusahaan, yaitu pemeliharaan sapi perah yang bertujuan untuk menghasilkan susu yang selanjutnya dijual kepada konsumen. Konsumen susu pada saat itu umumnya orang-orang Eropa atau orang asing lainnya, karena orang-orang Indonesia belum suka minum susu (Sudono, 2002:1). Pada periode pemerintahan Indonesia mulailah timbul peternakan sapi perah rakyat yang memelihara sapi perah dewasa antara 2-3 ekor per peternak. Jenis sapi perah yang dipelihara adalah Peranakan Fries Hollands (PFH) yang berasal dari perusahaan-perusahaan susu yang telah mengalami kehancuran pada masa Penjajahan Jepang dan Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Peternak umumnya para petani di daerah dataran tinggi seperti di daerah Pangalengan dan Lembang (Jawa Barat), Boyolali (Jawa Tengah), serta Pujon dan Nongkojajar (Jawa Timur), yang memelihara sapi perah dengan tujuan utama untuk mendapatkan pupuk kandang, susu merupakan tujuan kedua (Sudono, 2002:4). Pada sekitar tahun limapuluhan, Jawatan Kehewanan di Grati membangun Pusat Penampungan Susu, karena sejak pemerintahan Indonesia berdaulat, rakyat dianjurkan untuk memerah sapi perahnya guna menghasilkan susu. Sebagaimana di Grati, maka Boyolali pun akhirnya berkembang menjadi daerah penghasil sapi perah rakyat dan didirikan pula Pusat Penampungan Susu yang disponsori oleh Jawatan Kehewanan. Menurut Sudono (2002:19-20), keuntungan-keuntungan mengelola usaha peternakan sapi perah adalah: (1) peternakan sapi perah adalah suatu usaha yang tetap, produksi susu tidak banyak bervariasi dari tahun ke tahun, konsumsi susu tidak berubah dan tidak

12

musiman, serta harga susu dari tahun ke tahun tidak berubah bahkan senantiasa meningkat. (2) sapi perah sangat efisien mengubah pakan ternak menjadi protein hewani dan kalori. (3) jaminan pendapatan yang tetap. Pendapatan peternak sapi perah diperoleh setiap hari berdasarkan jumlah susu yang diproduksi oleh ternaknya, sepanjang tahun. (4) penggunaan tenaga buruh yang tetap. Usaha ternak sapi perah menggunakan tenaga kerja secara terus menerus sepanjang tahun, tidak ada waktu menganggur, sehingga mengurangi pengangguran. (5) sapi perah dapat menggunakan berbagai jenis hijauan yang tersedia atau sisasisa hasil pertanian, seperti jerami jagung, dedak, bungkil kelapa, bungkil kacang tanah, ampas tahu, ampas bir, ampas kecap dan lain-lainnya. (6) kesuburan tanah dapat dipertahankan. Dengan memanfaatkan kotoran sapi sebagai pupuk kandang, maka fertilitas dan kondisi fisik tanah dapat dipertahankan. Keuntungan-keuntungan di atas menyebabkan banyak orang tertarik untuk mengusahakan sapi perah. Namun, 90 persen sapi perah diusahakan sebagai usaha rakyat dengan kepemilikan ternak 1-3 ekor (Yusdja, 2005:257). Menurut Wardojo dan Djarsanto (Saragih, 1998:10), pada masa yang akan datang cara pandang usaha peternakan sapi perah sebagai budidaya ternak perlu diperluas menjadi industri biologis peternakan yang mencakup empat aspek, yaitu: (1) peternak sebagai subyek yang harus ditingkatkan pendapatan dan kesejahteraannya, (2) ternak sebagai obyek yang harus ditingkatkan produksi dan produktivitasnya, (3) lahan sebagai basis ekologi budidaya yang harus dilestarikan, (4) teknologi dan pengetahuan sebagai alat untuk meningkatkan efisiensi yang perlu selalu diperbaharui serta disesuaikan dengan kebutuhan. Peternakan sapi perah di Indonesia mayoritas diusahakan oleh peternakan rakyat. Menurut SK Menteri Pertanian Nomor 404 Tahun 2002, usaha peternakan rakyat adalah usaha peternakan sapi perah yang diselenggarakan sebagai usaha

13

sampingan yang tidak memerlukan ijin usaha dari instansi dan pejabat berwenang, Batasan peternakan rakyat untuk usaha sapi perah adalah pemilikan kurang dari 10 ekor sapi laktasi/dewasa atau memiliki jumlah keseluruhan kurang dari 20 ekor sapi perah campuran. Perusahaan peternakan sapi perah adalah usaha peternakan sapi perah untuk tujuan komersial dengan produksi utama susu sapi, yang memiliki 10 ekor laktasi/dewasa atau lebih atau memiliki jumlah keseluruhan 20 ekor sapi perah campuran atau lebih (Sudono,2002:13).

Karakteristik Peternak Setiap pembangunan pada dasarnya harus mampu membangun manusianya. Pembangunan fisik yang tanpa membangun perilaku manusia, seringkali berakibat tidak termanfaatkannya hasil-hasil pembangunan secara maksimal. Sebaliknya, pembangunan yang diawali dengan upaya mengubah perilaku manusia menghasilkan orang-orang yang penuh inisiatif, kreatif, dinamis, bekerja keras, efisien, mampu memanfaatkan sumberdaya lokal (alam, modal, kelembagaan, dan kemudahan-kemudahan yang ada secara efektif) dan memiliki keterampilan yang handal untuk melaksanakan pembangunan secara mandiri. Anggota-anggota suatu segmen khalayak memiliki sejumlah karakteristik yang sama, sedangkan masyarakat umum mempunyai anggota yang heterogen. Anggota-anggota suatu segmen lebih homogen dalam hal-hal tertentu. Dengan kata lain, anngota suatu segmen memiliki banyak persamaan pada beberapa atribut atau karakteristik (Jahi, 1988:21). Menurut Kotler (Jahi, 1988:21), kesamaan atribud yang dapat dimiliki khalayak dikelompokkan menjadi: (1) geografik, seperti: desa, kecamatan, kabupaten, atau seluruh negeri, (2) demografik, seperti: umur, jenis kelamin, status perkawinan, penghasilan dan pekerjaan, (3) perilaku, misalnya: petani disegmentasikan atas dasar luas sawahnya, atau intensitas petani mendengarkan siaran radio, dan (4) psikografik yang dikembangkan atas dasar gaya hidup atau bagaimana orang hidup, bekerja dan menggunakan waktu luang.

14

Pendidikan Pendidikan adalah kegiatan manusia untuk membangun pengertian, wawasan, keyakinan dan kapasitas kognitif, konatif, dan motorik dari dirinya agar perilaku manusia tersebut tampil sebagai ”khalifah di atas bumi,” dan karena itu, pendidikan merupakan kegiatan yang dilakukan secara teratur sejak lahir sampai mati, dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pendidikan dianggap sebagai kewajiban generasi untuk menjadikan angkatan selanjutnya lebih sempurna. Tilaar (2000: 14) menyatakan bahwa pendidikan merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Pendidikan yang berkualitas bukan mengembangkan intelijensi akademik saja tetapi juga mengembangkan seluruh spektrum intelijensi manusia yang meliputi berbagai aspek kebudayaan (seni, teknologi, ilmu pengetahuan, moral dan agama). Sejalan dengan Tillar, Raharto (1998:34) juga mengemukakan bahwa pendidikan merupakan suatu proses pemberdayaan untuk mengungkapkan potensi manusia sebagai individu, yang selanjutnya dapat memberikan sumbangan kepada kebudayaan masyarakat lokal, bangsa dan masyarakat global. Dengan demikian fungsi pendidikan bukan hanya menggali potensi yang ada dalam diri manusia tetapi juga bagaimana manusia bersangkutan mengontrol potensi yang telah dikembangkan agar bermanfaat bagi pengembangan kualitas hidup (Raharto, 1998:40). Pendidikan merupakan investasi dalam modal manusia dan merupakan hal yang sangat krusial bagi pertumbuhan ekonomi, pengurangan kemiskinan dan perlindungan lingkungan (Pekerti, 1998:95). Penelitian yang dilakukan Inkeles dan Smith (Budiman, 1996:35) menunjukkan bahwa pendidikan merupakan faktor yang paling efektif untuk mengubah manusia. Oleh karena itu, pendidikan harus memperhatikan kedua dimensi hakiki manusia, individualitas dan sosialitas. Masing-masing individu memiliki keunikan, bakat, dan karakter masing-masing harus mendapat perhatian, tetapi di sisi lain pendidikan juga berfungsi untuk membangun sosialitas manusia sejak dini. Pendidikan harus memupuk ”modal sosial,” yaitu serangkaian nilai dan norma sosial yang harus dihayati oleh setiap anggota kelompok, seperti keadilan sosial, teng-

15

gang rasa, saling percaya, dan sebagainya (Sastrapratedja, 2004:16). Hasil pendidikan seharusnya adalah pemberdayaan (empowerment) yaitu membantu pertumbuhan tiga macam daya kekuatan yakni: (1) power to, yaitu daya kekuatan kreatif yang membuat seseorang mampu melakukan sesuatu, membantu seseorang agar memiliki kemampuan berpikir, menguasai IPTEK, mengambil keputusan, memecahkan masalah dan membangun berbagai keterampilan, (2) power-with, yaitu daya untuk membangun kekuatan bersama, solidaritas atas dasar komitmen pada tujuan dan pengertian yang sama, dan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi guna menciptakan kesejahteraan bersama, (3) power-within, yaitu daya kekuatan batin pada peserta didik, khususnya harga diri, kepercayaan diri, dan harapan akan masa depan (Sastrapratedja, 2004:19-20). Becker seorang ahli ekonomi pemegang hadiah Nobel membahas hubungan antara pelatihan, umur, dan pendapatan. Seseorang yang tidak meningkat kemampuan dirinya dengan bertambahnya umur, cenderung mempunyai pendapatan tetap, tetapi seseorang yang melaksanakan pelatihan (pendidikan non formal) untuk dirinya akan menerima pendapatan rendah pada awalnya karena pelatihan harus dibayar, tetapi pada akhirnya akan menerima pendapatan yang tinggi dan meningkat (Hasibuan, 2001:45). Pelatihan merupakan salah satu bentuk pendidikan non formal selain magang, kegiatan penyuluhan, ataupun lainnya. Tuntutan pendidikan lanjutan bagi peternak sebagai manajer sangatlah mungkin muncul, ini terjadi karena peternak menyadari kebutuhan dan mempertanyakan cara memenuhinya. Kebutuhan tersebut tidak untuk memperbaiki kelemahannya saja, tetapi juga untuk aktualisasi diri dan pemanfaatan potensi (McGregor, 1988:151). Pendidikan bagi orang-orang yang telah memiliki pekerjaan merupakan kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan umum termasuk di dalamnya peningkatan penguasaan teori dan keterampilan memutuskan persoalanpersoalan yang menyangkut kegiatan mencapai tujuan. Pendidikan berhubungan dengan menjawab how (bagaimana) dan why (mengapa) dan biasanya lebih banyak menekankan pada teori. Pendidikan bagi karyawan berfungsi membantu dalam mengembangkan pengetahuan dan kemampuan ke tingkat yang lebih tinggi (Ranupandojo dan Husnan dalam Suwatno dan Rasto, 2003:141).

16

Penyuluhan pertanian adalah suatu sistem pendidikan di luar sekolah untuk keluarga petani, di mana petani belajar sambil bekerja untuk menjadi tahu, mau, dan mampu melaksanakan kegiatan dan menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya secara baik, menguntungkan dan memuaskan. Namun, menurut Verner dan Davison (Lunadi, 1993: 6-7), ada enam faktor yang secara fisiologis menghambat keikutsertaan orang dewasa dalam program pendidikan : (1) bertambahnya usia, menyebabkan titik dekat penglihatan atau titik terdekat yang dapat dilihat secara jelas, mulai bergerak menjauh, (2) bertambahnya usia, menyebabkan titik jauh penglihatan, atau titik terjauh yang dapat dilihat secara jelas mulai berkurang, makin pendek, (3) bertambahnya usia, makin besar pula jumlah penerangan yang diperlukan dalam suatu situasi belajar, (4) bertambahnya usia, menyebabkan kontras warna cenderung ke arah merah dari pada spektrum. Hal ini disebabkan oleh menguningnya kornea atau lensa mata, sehingga cahaya yang masuk agak tersaring, akibatnya lensa mata kurang dapat membedakan warna-warna lembut, (5) pendengaran atau kemampuan menerima suara berkurang dengan bertambahnya usia. Pria cenderung lebih cepat mundur dalam hal ini dari pada wanita, (6) kemampuan membedakan bunyi makin mengurang dengan melanjutnya usia.

Jumlah Ternak yang Dipelihara Atas dasar tingkat produksi, macam teknologi yang dipakai, banyaknya hasil produksi yang dipasarkan, maka macam usaha peternakan di Indonesia oleh Prawirokusumo (1990: 1-4) digolongkan ke dalam tiga bentuk, yaitu: (a) Usaha yang bersifat tradisional. Usaha ini diwakili oleh petani peternak dengan lahan sempit yang memiliki 12 ekor ternak, baik ternak ruminansia besar, kecil ataupun ayam kampung. Tipe usaha ini tidak mengalami kemajuan pesat, karena perkembangannya sangat dipengaruhi oleh daya dukung wilayah dan terbatasnya modal dan pema-

17

kaian teknologi. Usaha ini merupakan usaha sambilan, memanfaatkan limbah pertanian dan sangat berguna untuk tabungan keluarga. (b) Usaha skala rumah tangga. Usaha ini banyak diwakili oleh peternak-peternak ayam ras dan sapi perah. Peternak ini banyak memakai input teknologi, seperti kandang, manajemen, pakan rasional, bibit unggul dan lain-lainnya. Tujuan usaha ini di samping untuk kebutuhan keluarga, juga untuk dijual. Meskipun usaha jenis ini kurang berkembang, namun adanya kredit dari bank, penyuluhan yang intensif serta tersedianya prasarana produksi dan tempat pemasaran yang dikerjakan oleh swasta, menjadikan usaha ini berkembang. Pada usaha sapi perah, dikembangkan proyek PIR dimana plasma adalah peternak yang diproyeksikan untuk mempunyai sapi sampai dengan ukuran efisien yakni 7-10 ekor. (c) Usaha komersial. Merupakan usaha yang benar-benar telah menerapkan prinsip-prinsip ekonomi antara usaha dengan tujuan mencari keuntungan. Dalam usaha ini, keuntungan merupakan motivasinya yang diproyeksikan kepada pasar-pasar yang ada. Usaha komersial dalam bidang peternakan dapat bermacam-macam, misalnya: usaha pembibitan, usaha pakan ternak, usaha penggemukan (feed lot), usaha ranch, dan lain-lainnya. Pada usaha sapi perah, jumlah ternak yang dipelihara diukur dalam Satuan Ternak (ST). Menurut Direktorat Jenderal Bina Usaha Petani Ternak dan Pengolahan Hasil Peternakan (Tanpa tahun:29), Satuan Ternak memiliki arti ganda yaitu ternak itu sendiri dan ukuran yang digunakan untuk menghubungkan berat badan ternak dengan jumlah pakan yang dikonsumsi. Satuan ternak yang berhubungan dengan ternak itu sendiri dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu : -

Sapi dewasa (umur > 2 tahun) dinyatakan dalam 1 ST

-

Sapi muda (umur 1-2 tahun) dinyatakan dalam 0,5 ST

-

Anak sapi (umur < 1 tahun) dinyatakan dalam 0,25 ST Menurut Soekartawi dkk (1988:93), ukuran usahatani selalu berhubungan

positif dengan adopsi inovasi. Banyak teknologi maju yang memerlukan skala operasi yang besar dan sumberdaya ekonomi yang tinggi untuk keperluan adopsi

18

inovasi tersebut. Penggunaan teknologi yang baik selanjutnya menghasilkan produktivitas yang tinggi dan manfaat ekonomi yang memungkinkan perluasan/ pengembangan usahatani selanjutnya.

Tipe Usaha Menurut Soehadji (Saragih, 1998:7), tipologi usaha peternakan dibagi berdasarkan skala usaha dan tingkat pendapatan peternak, dan diklasifikasikan ke dalam empat kelompok, yaitu: (1) Peternakan sebagai usaha sambilan. Petani yang mengusahakan berbagai macam komoditi pertanian terutama tanaman pangan, dan ternak sebagai usaha sambilan untuk mencukupi kebutuhan sendiri (subsistence), dengan tingkat pendapatan berasal dari ternak kurang dari 30%. (2) Peternakan sebagai cabang usaha. Petani peternak yang mengusahakan pertanian campuran (mixed farming) dengan tingkat pendapatan dari budidaya peternakan 30-70% (semi komersial atau usaha terpadu). (3) Peternakan sebagai usaha pokok. Peternak mengusahakan ternak sebagai usaha pokok dan komoditi pertanian lainnya sebagai usaha sambilan (single comodity) dengan tingkat pendapatan dari ternak sekitar 70-100%. (4) Peternakan sebagai usaha industri. Peternak sebagai usaha industri, mengusahakan komoditas ternak secara khusus (specialized farming) dengan tingkat pendapatan 100% dari usaha peternakan (komoditi pilihan) Peternakan di Indonesia didominasi oleh peternakan rakyat, namun ada banyak alasan untuk optimis tentang kemampuannya untuk menumbuhkan produktivitas produksi di sub sektor pertanian ini. Hal ini menurut Schultz (Tambunan, 2003:43), disebabkan oleh petani peternak rakyat dan pengusaha kecil lainnya terbukti menggunakan teknologi yang tersedia secara sangat efisien.

19

Kemampuan Mengakses Informasi Informasi adalah hasil proses intelektual seseorang. Proses intelektual adalah mengolah atau memproses stimulus yang masuk ke dalam diri individu melalui panca indera, kemudian diteruskan ke otak atau pusat syaraf untuk diolah atau diproses dengan pengetahuan, pengalaman, dan selera yang dimiliki seseorang (Wiryanto, 2004:29). Informasi yang berkualitas ditandai dengan adanya kecermatan, tepat waktu, akurat, efisien dalam biaya, reliabel, dapat digunakan, lengkap, relevan, dan satu kesatuan (Babu dkk, 1997:162). Setiap perusahaan tidak lepas dari kebutuhan informasi dan data. Tersedianya informasi dan data yang lengkap membantu manajemen perusahaan mempertimbangkan strategi pencapaian tujuan perusahaan dengan tepat. The Liang Gie mengungkapkan bahwa informasi merupakan salah satu sumber kekuatan atau faktor hidup organisasi. Oleh karena itu, perusahaan perlu penangan infor-masi dan data secara baik dan memberi tempat yang strategis dalam urutan unsur manajemen dan produksi (Suwatno dan Rasto, 2003:10). Pencarian dan perolehan pengetahuan atau informasi membutuhkan motivasi karena pengetahuan tidak dapat dipompakan ke dalam diri manusia. Pendidikan yang efektif merupakan proses mempengaruhi menggunakan integrasi dan pengendalian diri (McGregor, 1988:150-151). Manajer dituntut menambah wawasan sosial, politik maupun ekonomi yang sedang berkembang, karena wawasan menstimulus lahirnya inovasi serta menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi sehingga dapat meningkatkan produktivitas kerja. Surat kabar, majalah, radio, dan televisi merupakan media massa yang paling murah untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat. Media massa penting untuk menyadarkan adanya inovasi di samping untuk mendorong minat. Namun, media massa memiliki sedikit pengaruh langsung ketika tiba waktunya mengambil keputusan. Pada tahap pengambilan keputusan, penilaian ditentukan oleh orang-orang yang dipercayai dan yang dapat diajak diskusi. Penelitian menunjukkan bahwa media massa kelihatannya dapat mempercepat proses perubahan, tetapi jarang dapat mewujudkan perubahan dalam perilaku (van den Ban dan

20

Hawkins, 2003:112). Hal ini senada dengan yang dikemukakan Harmoko (1994 :59) bahwa pesan-pesan tentang ide atau gagasan yang disampaikan oleh komunikator kepada masyarakat melalui media massa tidak selalu mudah dipahami dan diterima untuk kemudian mempengaruhi dan mengubah perilaku masyarakat, justru hubungan sosial antar pribadi lebih mampu mempengaruhi perilaku seseorang. Menurut Hubeis dkk (1994:15), alir informasi pembangunan menghasilkan perubahan tatanan sosial masyarakat. Mengingat kemajemukan masyarakat Indonesia, maka rekayasa strategi inovasi pembangunan untuk setiap masyarakatpun tidak sama, namun demikian strategi diseminasi inovasi pembangunan ke masyarakat, tujuannya tetap sama yaitu: (a) menyadarkan masyarakat memahami manfaat inovasi, (b) mewujudkan tindakan konkret masyarakat dengan mengadopsi inovasi yang bersangkutan, dan (c) menumbuhkan sumberdaya manusia berkualitas sebagai akibat pemahaman dan praktek inovasi pembangunan yang diajarkan kepada masyarakat. Saat mengakses informasi yang dibutuhkan, diperlukan kemampuan berkomunikasi. Komunikasi didefinisikan sebagai proses dengan mana orang berusaha untuk memperoleh pengertian yang sama melalui pengiriman pesan simbolik. Berdasarkan pengertian tersebut, terdapat tiga hal penting yaitu: (1) komunikasi, melibatkan orang, pemahaman komunikasi mencakup upaya memahami bagaimana orang berhubungan satu sama lain, (2) komunikasi melibatkan pengertian yang sama, artinya, agar orang dapat berkomunikasi, harus sepakat mengenai definisi dari istilah yang digunakan, dan (3) komunikasi bersifat simbolik, gerak, isyarat, bunyi, huruf, angka, dan kata-kata hanya dapat mewakili atau mengirangirakan gagasan yang hendak dikomunikasikan (Stoner dan Freeman, 1992:139). Ditambahkan oleh Purwanto (2003:24) bahwa secara umum, komunikasi mempunyai dua fungsi penting dalam organisasi: (1) komunikasi memungkinkan orangorang saling bertukar informasi, dan (2) komunikasi membantu menghubungkan sekelompok anggota yang terpisah dari anggota lain.

21

Motivasi Motivasi merupakan suatu proses psikologis yang mencerminkan interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi, dan keputusan yang terjadi pada diri seseorang (Wahjosumidjo, 1984:174). Menurut Asnawi (2002:21), motivasi adalah suatu konsep yang digunakan ketika dalam diri seseorang muncul keinginan (initiate) dan menggerakkan atau mengarahkan tingkah laku. Semakin tinggi motivasi semakin tinggi intensitas perilaku. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa pola motivasi seseorang mencerminkan lingkungan budaya tempat tinggal seperti keluarga, sekolah, agama, dan buku yang dibaca (Davis dan Newstrom, 1995:87). Menurut Ganguli (Zainun, 2004:32), motivasi tidak mengubah kemampuan kerja, tetapi menentukan meninggi dan merendahkan usaha. Salah satu bentuk proses motivasi yang amat terkenal adalah teori keadilan (equity theory). Teori ini mendasarkan kepada anggapan bahwa kebanyakan manusia terpengaruh dengan situasi seperti penghasilan yang berimbang dibanding dengan penghasilan kelompok yang sederajat, sehingga seorang pekerja dapat saja membatasi produktivitas kerjanya setelah melihat bagaimana teman sebelahnya menghasilkan produk itu. Menurut teori ini, yang paling menentukan kinerja pekerja adalah rasa adil atau tidaknya keadaan di lingkungannya. Menurut Ravianto (1985:23-24), motivasi dapat dibedakan antara motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik. Motivasi ekstrinsik adalah rangsangan yang datang dari luar dirinya. Orang bekerja keras jika diberi hadiah atau insentif untuk bekerja baik. Di sini motivasi kerja tinggi karena mengharap suatu imbalan dari luar dirinya. Motivasi intrinsik adalah motivasi yang datang dari dalam diri sendiri, seseorang bekerja keras karena senang melakukan pekerjaan itu dan mengalami kepuasan kerja. Dalam hal ini insentif terletak pada kepuasan melaksanakan pekerjaan itu sendiri. Orang mengalami kepuasan kerja bila mempunyai kebebasan dalam menentukan pekerjaan yang ingin dilakukan dan dengan cara yang diinginkannya. Demikian pula, peran serta dan pelibatan diri tanpa paksaan, meningkatkan motivasi kerja.

22

Motivasi intrinsik sulit dicapai jika: (a) teknologi tidak memungkinkan individu menentukan sendiri pekerjaannya, seperti pada produksi massa, (b) individu tidak mempunyai dorongan kuat akan perwujudan diri. Selanjutnya motivasi intrinsik tampak pada orang-orang yang berpengetahuan luas dan senang bekerja mandiri serta senang dengan masalah-masalah menantang. Atkinson dkk (Stoner dan Freeman, 1992: 15), berpendapat bahwa semua orang dewasa yang sehat mempunyai cadangan energi potensial. Bagaimana energi ini dilepas dan digunakan tergantung pada: (1) kekuatan kebutuhan atau motif dasar yang bersangkutan, (2) harapan keberhasilan, dan (3) nilai rangsangan yang melekat pada tujuan tersebut. Model Atkinson ini sejalan dengan pendapat Mc Clelland (2005:1) yang menghubungkan perilaku dan kinerja dengan tiga dorongan dasar yang sangat berbeda di antara individu yaitu: motif berprestasi (n-ach), motif kekuasaan (n-pow), dan motif berafiliasi, atau hubungan yang akrab dengan orang lain (n-affil). Keseimbangan antara dorongan-dorongan ini berbeda pada setiap orang. Seorang pemimpin perlu menumbuhkan motivasi intrinsik dalam diri pekerja sehingga mendorong pertumbuhan dan perwujudan diri pekerja. Dengan cara ini pekerja maupun masyarakat pengikut berprestasi lebih baik, produktivitas kerja yang tinggi, kepuasan kerja lebih besar dan lebih berkesempatan mewujudkan diri, yang selanjutnya dapat berprestasi dalam semua peran kehidupan secara lebih efektif (Davis dan Newstrom, 1992:56).

Kompetensi Kewirausahaan Kompetensi Menurut Suparno (2001:27), kata kompetensi diartikan sebagai kecakapan yang memadai untuk melakukan suatu tugas atau sebagai “memiliki keterampilan dan kecakapan yang disyaratkan.” Kompetensi, menurut Davis dan Newstrom (1995:89), merupakan salah satu motivasi yang dimiliki individu dan merupakan dorongan untuk mencapai keunggulan kerja, meningkatkan keterampilan peme-

23

cahan masalah, dan inovatif. Orang-orang yang memiliki kompetensi cenderung melakukan pekerjaan dengan baik karena kepuasan batin dirasakan dari melakukan pekerjaan itu dan penghargaan yang diperoleh dari orang lain. Susilo (2002:6) mendefinisikan kompetensi sebagai kombinasi antara pengetahuan, kemampuan /keterampilan dan sikap yang dimiliki seorang sehingga mampu melakukan pekerjaan yang telah dirancang bagi dirinya baik untuk saat ini, maupun masa mendatang. Menurut Spencer dan Spencer (1993:9), kompetensi merupakan karakter individu yang mempengaruhi cara berfikir dan bertindak, membuat generalisasi terhadap situasi yang dihadapi, serta bertahan cukup lama dalam diri manusia. Sejalan dengan definisi di atas, komponen-komponen atau elemen yang membentuk kompetensi (Spencer dan Spencer, 1993:9-10) adalah: (1) motif (motive) yaitu sesuatu yang secara konsisten dipikirkan atau dikehendaki oleh seseorang, yang selanjutnya mengerahkan, membimbing, dan memilih suatu perilaku tertentu terhadap sejumlah aksi atau tujuan, (2) karakter pribadi (traits) yaitu karakteristik fisik dan reaksi atau respon yang dilakukan secara konsisten terhadap suatu situasi atau informasi, (3) konsep diri (self concept) yaitu perangkat sikap, sistem nilai atau citra diri yang dimiliki seseorang, (4) pengetahuan (knowledge) yaitu informasi yang dimiliki seseorang terhadap suatu area spesifik tertentu, (5) keterampilan (skill) yaitu kemampuan untuk mengerjakan serangkaian tugas fisik atau mental tertentu. Tingkat kompetensi berguna untuk merencanakan penempatan sumberdaya manusia pada suatu posisi kerja tertentu. Pengetahuan dan keterampilan seseorang mudah terlihat dan mudah diamati karena relatif berada di permukaaan karakteristik manusia. Konsep diri, karakter pribadi, dan motif merupakan area yang tersembunyi, di dalam diri seseorang dan merupakan kunci kepribadian. Spenser dan Spencer, (1993:11) menggambarkan Pusat dan Permukaan Kompetensi seperti pada Gambar 1. Pengetahuan dan keterampilan relatif mudah untuk diubah dan dikembangkan melalui pelatihan. Motif dan karakter pribadi merupakan dasar dari gunung es kepribadian, sulit untuk dinilai dan diubah.

24

Model Gunung Es

Keterampilan Terlihat

Konsep diri

Keterampilan Pengetahuan

Tersembunyi

Karakter pribadi, motif

Konsep diri Karakter pribadi Motif

Sikap, Nilai

Pengetahuan

Permukaan Sangat mudah diubah

Kunci kepribadian: Sangat sulit diubah

Gambar 1. Pusat dan Permukaan Kompetensi (Spencer dan Spencer, 1993:11) Johnson (Suparno, 2001:27), memandang kompetensi sebagai perbuatan (performance) rasional yang memuaskan seseorang sesuai tujuan yang diinginkan. Dinyatakan performance rasional, karena orang yang melakukannya harus mempunyai tujuan/arah dan orang tersebut tahu apa dan mengapa berbuat demikian. Menurut White (Hersey dan Blanchard, 1990:223), kompetensi merupakan kemampuan mengendalikan faktor-faktor lingkungan, baik fisik maupun sosial. Orang-orang yang memiliki motif ini tidak ingin menunggu terjadinya hal-hal secara pasif tetapi ingin mengubah lingkungan dan berusaha mewujudkannya. Kompetensi bergantung pada keberhasilan dan kegagalan yang dialami pada waktu-waktu yang lalu. Seseorang yang mengalami keberhasilan lebih besar dari kegagalan, memiliki perasaan kompetensi yang cenderung tinggi, memiliki pandangan positif tentang kehidupan, hampir setiap situasi baru dipandang sebagai tantangan menarik yang perlu ditanggulangi, tetapi bila kegagalan lebih besar dari keberhasilan, maka pandangan lebih negatif dan harapan untuk memenuhi berbagai kebutuhan menjadi rendah, hal ini disebabkan harapan mempengaruhi

25

motif. Orang-orang yang berkompetensi rendah sering tidak termotivasi untuk mencari tantangan baru atau menempuh resiko (Hersey dan Blanchard, 1990:43). Kompetensi terbentuk pada awal kehidupan manusia, yang salah satu unsurnya adalah bakat (Lucia dan Richard, 1999:5), tetapi tidak selalu permanen, sehingga kompetensi perlu diperbaharui. Peternak kompeten tidak selamanya tetap kompeten. Pengetahuan dan keterampilan relatif lebih mudah dikembangkan dan diperbaiki yaitu dengan cara pelatihan untuk meningkatkan kemampuan. Pengetahuan dan keterampilan dapat memburuk dan menjadi usang, untuk itu diperlukan pelatihan guna memperbaharui pengetahuan dan keterampilan. Menurut Robbins (1996:57), keterampilan dibagi dalam tiga kategori yaitu: keterampilan teknik, antarpribadi (sosial), dan pemecahan masalah yang berkaitan dengan usahanya (manajerial). Keterampilan teknis diperlukan mengingat teknologi baru senantiasa berkembang. Keterampilan antarpribadi, berupaya untuk memperbaiki interaksi, komunikasi, dan menghargai keanekaragaman budaya. Keterampilan pemecahan masalah bertujuan mempertajam logika, penalaran, dan keterampilan mendifinisikan masalah, maupun menilai sebab akibat, mengembangkan alternatif, menganalisis alternatif, dan memilih pemecahan.

Kewirausahaan Salah satu kelemahan pembangunan sumberdaya manusia oleh pemerintah Indonesia pada waktu yang lalu adalah tidak dikembangkan para entrepreneur yang baik, kuat dan banyak jumlahnya. Wirausahawan adalah pencipta kekayaan melalui inovasi, wirausahawan adalah pusat pertumbuhan pekerjaan dan ekonomi, wirausahawan memberikan mekanisme pembagian kekayaan yang bergantung pada inovasi, kerja keras, dan pengambilan resiko (Pambudy dkk, 2000:235). Wirausahawan sering diartikan sebagai seseorang yang mengerti dan dapat membedakan antara tantangan dan peluang lalu memanfaatkannya untuk mencari keuntungan. Kewirausahaan (entrepreneurship) berasal dari bahasa Perancis yang diterjemahkan secara harfiah artinya perantara. Istilah ini pertama dikemukakan oleh Jean Baptista Say (1767–1832). Secara lebih luas kewirausahaan didefinisi-

26

kan sebagai proses penciptaan sesuatu yang berbeda nilainya menggunakan usaha dan waktu yang diperlukan, memikul risiko finansial, psikologi, dan sosial yang menyertainya serta menerima balas jasa moneter dan kepuasan pribadi. Istilah kewirausahaan dapat pula diartikan sebagai sikap dan perilaku mandiri yang mampu memadukan unsur cipta, rasa, dan karsa serta karya atau mampu menggabungkan unsur kreativitas, tantangan, kerja keras, dan kepuasan untuk mencapai prestasi maksimal sehingga memberikan nilai tambah maksimal terhadap produk yang dihasilkan dengan mengindahkan sendi-sendi kehidupan masyarakat.

Entrepre-

neurship merupakan suatu kualitas sikap seseorang bukan sekedar keahlian. Seorang entrepreneur memiliki kepribadian yang tahan banting, selalu mencari peluang dan memiliki visi dan entrepreneur yang berhasil selalu berangkat dari pandangan untuk berhasil, tidak sekedar berbuat (Sutanto, 2002:11-12). Inti kewirausahaan adalah kemandirian dan kemandirian seseorang ditentukan oleh tingkat kepercayaan diri atas hal-hal yang harus dihadapi. Kemandirian untuk mampu bekerja mandiri sulit dilakukan jika tidak terbiasa belajar, berlatih, dan kerja mandiri yang memberikan pengalaman sukses (Soesarsono dan Sarma, 2004: 31). Secara khusus seorang wirausahawan adalah orang yang mempunyai tenaga, keinginan untuk terlibat dalam petualangan inovatif, kemauan menerima tanggungjawab pribadi dalam mewujudkan suatu peristiwa dengan cara yang dipilih dan keinginan berprestasi yang sangat tinggi, bersikap optimis dan kepercayaan terhadap masa depan (orientasi ke masa depan). Kamus Umum Bahasa Indonesia (2001:130) mengartikan wirausaha sebagai orang yang pandai atau berbakat mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi pengadaan produk baru, memasarkannya serta mengatur permodalan operasinya. Meng dan Liang (Riyanti, 2003:22-23), merangkum pandangan beberapa ahli, dan mendefinisikan wirausaha sebagai: (1)

seorang inovator (Shumpeter),

(2)

seorang pengambil resiko (a risk-taker) (Yee),

(3)

orang yang punya visi dan misi (Silver),

(4)

hasil dari pengalaman masa kanak-kanak (Kets De Vreis),

27

(5)

orang yang memiliki kebutuhan berprestasi tinggi (Mc Clelland dan Brockhaus),

(6)

orang yang memiliki locus of control internal (Rotter),

(7)

seorang inkubator gagasan baru yang berusaha menggunakan sumberdaya secara optimal mencapai tingkat komersial yang tinggi (Richard Cantillon),

(8)

orang yang memiliki pandangan yang tidak lazim yang dapat mengenali tuntutan potensial atas barang dan jasa (Adam Smith),

(9)

orang yang memiliki seni dan keterampilan tertentu dalam menciptakan usaha ekonomi yang baru (Jean Baptise),

(10) orang yang dapat melihat cara-cara ekstrem dan tersusun untuk mengubah sesuatu yang tidak bernilai atau bernilai rendah menjadi sesuatu yang bernilai tinggi, dengan cara memberikan nilai baru ke barang tersebut untuk memenuhi kebutuhan manusia (Menger). Menurut Widodo (2005:83), inovasi merupakan alat spesifik kewirausahaan. Secara harfiah inovasi berasal dari kata to innovate, yaitu melakukan sesuatu yang baru atau mengubah sesuatu yang telah ada. Perubahan tidak harus total atau bukan harus berupa penemuan baru. Inovasi dapat dilakukan terhadap produk, sistem, proses, dan metode yang secara ringkas berorientasi kepada nilai tambah. Inovasi dalam kaitan dengan kewirausahaan, adalah tindakan yang memberikan kekuatan dan kemampuan baru untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat atau inovasi adalah menciptakan “sumberdaya” ekonomi. Inovasi memberikan perubahan dengan konsekwensi ketidakpastian, namun memberikan kemajuan sebagai dampak positifnya (Soesarsono dan Sarma, 2004: 30). Holt (Riyanti, 2003:9) menggarisbawahi bahwa sifat kepribadian wirausaha yang perlu dipunyai adalah kreatif dan inovatif. Kreativitas berarti ”menghasilkan sesuatu yang baru.” Kreativitas lebih menekankan kemampuan, bukan kegiatan. Orang disebut kreatif jika memiliki ide/gagasan baru tanpa harus merealisasikan gagasan itu. Inovasi adalah proses melakukan/penerapan sesuatu yang baru itu. Kreativitas merupakan prasarat inovasi. Meredith et al (Soesarsono dan Sarma, 2004:33-34) mengemukakan ciri dan watak entrepreneur seperti tertera pada Tabel 1.

28

Tabel 1. Ciri dan Watak Entrepreneur No Ciri 1. Kepercayaan diri

Watak a) Percaya diri b) Ketidaktergantungan c) Optimis

2.

Orientasi tugas dan hasil

a) b) c) d) e) f)

Haus prestasi Berorientasi laba Tekun dan tabah Tekad kerja keras Dorongan (karsa) kuat Energik dan penuh inisiatif

3.

Pengambilan resiko

a) Berani mengambil resiko b) Suka pada tantangan

4.

Originalitas

a) b) c) d) e)

5.

Kepemimpinan

a) Bertingkah laku pemimpin b) Dapat bergaul dengan orang lain c) Menanggapi saran/kritik

6.

Orientasi ke depan

a) Pandangan ke masa depan b) Perpektif

Kreatif dan inovatif Luwes Punya banyak sumber Banyak tahu dan banyak akal Serba bisa

Sumber: Soesarsono dan Sarma, 2004:33-34 Ditambahkan oleh Casson (Soesarsono dan Sarma, 2004:34) bahwa beberapa “kriteria mutu” atau kemampuan yang diperlukan untuk memenuhi fungsi sebagai seorang wirausahawan, yaitu: (1) pengetahuan diri, (2) imajinasi, (3) pengetahuan praktis, (4) kemampuan analitis, (5) keterampilan mencari, (6) peramalan, (7) keterampilan menghitung, dan (8) keterampilan komunikasi. Meng dan Liang, serta Hofstede (Riyanti, 2003:63-64) menyatakan bahwa segi-segi yang menghambat pembentukan perilaku wirausaha inovatif adalah: (1) budaya power distance yang tinggi di Indonesia menyebabkan distribuasi kekuasaan tidak seimbang dalam institusi-institusi dan organisasi-organisasi. Kondisi ini menciptakan hubungan kerja atasan bawahan yang birokratis, di mana terdapat jarak dalam interaksi atasan bawahan. Jarak ini menghambat penyampaian ide kreatif dari atasan ke bawahan atau sebaliknya,

29

(2) budaya uncertainty avoidance mengakibatkan orang tidak berani mengambil resiko, padahal salah satu ciri penting wirausaha yang berhasil adalah berani mengambil resiko, (3) budaya collectivism-individualism, masyarakat Indonesia cenderung bersifat kolektivitas dan kompromis sehingga munculnya gagasan-gagasan baru terhambat, (4) budaya masculinity-feminity, yaitu budaya yang berorientasi feminity di Indonesia. Disini hal terpenting dalam interaksi sosial adalah harmoni dan menghambat tumbuhnya orientasi materi dengan memaksimalkan kesempatan.

Kompetensi Kewirausahaan yang Perlu Dimiliki Peternak Sapi Perah

Dalam menjalankan usaha ternak, peternak memegang dua peranan, yaitu sebagai juru tani ternak (cultivator) dan sekaligus sebagai pengelola (manager) (Mosher,1981:37). Sebagai manajer, perlu memiliki kompetensi kewirausahaan meliputi kompetensi teknis dan manajerial. Kompetensi-kompetensi ini diperlukan agar peternak mampu menjalankan perannya sebagai juru tani ternak yang handal dan manajer yang mampu memimpin perusahaannya secara baik, mampu bernegosiasi dengan mitra juga berinteraksi dengan semua pihak dalam posisi yang sejajar (egaliter) sehingga citra peternakan yang dipimpinnya baik dimata masyarakat maupun mitra usaha. Seorang peternak yang memiliki kompetensi kewirausahaan selain menguasai wawasan tentang usaha peternakan, juga memiliki perilaku dasar yang diperlukan untuk menjadi peternak yang baik dan tangguh. Perilaku ini mencakup pengetahuan, sikap dan keterampilan yang memadai untuk menjalankan usahanya. Pengetahuan dasar yang diperlukan seorang peternak adalah pengetahuan teknis dan aplikatif tentang ternak yang diusahakannya (Pambudy dkk, 2000:99-100). Pengetahuan dasar itu mencakup pengetahuan tentang ternak secara umum, kemudian pengetahuan tentang bibit, pakan dan manajemen pemeliharaan, seperti: pengendalian penyakit, pemberian pakan, kesehatan dan sanitasi, serta penataan

30

perkandangan dan lainnya. Sikap yang diperlukan oleh peternak adalah penghayatan tentang ternak. Ternak adalah mahkluk hidup yang memerlukan perhatian ekstra seperti makan, minum, dan penanganan kesehatan. Sudono (2002:20-21) mensyaratkan sifat yang perlu dimiliki peternak sapi perah agar berhasil dalam menjalankan usahanya, yaitu: (1) mempunyai rasa sayang pada hewan. Hewan yang disayangi menjadi jinak dan mudah dipemelihara, demikian pula bila ternaknya sakit, cepat diobati. (2) mempunyai ketekunan bekerja. Ketekunan bekerja adalah syarat yang sangat perlu dalam beternak sapi perah. (3) mempunyai pengetahuan dasar-dasar pemuliaan sapi perah (sistem-sistem perkawinan dan seleksi), pemberian pakan dan tatalaksana sapi perah. (4) memiliki pengetahuan tentang rumput atau hijauan pakan ternak lainnya, sehingga dapat memilih ransum pakan ternak yang ekonomis tetapi memiliki nilai gizi yang cukup tinggi. (5) mempunyai jiwa, semangat kerjasama atau hubungan yang baik dengan peternak sapi perah lainnya. Adanya interaksi peternak sapi perah memudahkan saling bertukar informasi, pengalaman, dan pengetahuan dalam beternak sapi perah, serta memudahkan pemasaran susu dan pembelian pakan ternak. (6) dapat mengatasi kekecewaan. Interaksi para peternak sapi perah dapat memberikan dukungan/semangat kepada peternak yang mengalami keterpurukan usaha. (7) dapat mengambil keputusan-keputusan yang baik. Peternak merupakan seorang manajer sehingga memerlukan kemampuan manajerial yang handal. Menurut Ruky (2003:114-115), profil kandidat untuk jabatan manajerial adalah sebagai berikut: (1) memiliki kompetensi teknis, untuk itu kandidat manajer perlu ditetapkan tingkat pendidikan dasar terrendah yang harus dimiliki, (2) mengikuti latihan-latihan, karena latihan dianggap sebagai sumber pengetahuan/keterampilan bagi kandidat, (3) memiliki pengalaman baik pada pekerjaan yang sama ataupun dalam pekerjaan dengan bobot tanggungjawab yang lebih rendah,

31

(4) memiliki dorongan (motive), (5) memiliki sistem nilai dan sikap. Sistem nilai adalah intisari budaya perusahaan, (6) memiliki kepribadian yang baik, (7) memiliki pengetahuan yang relevan dengan jabatan yang harus diisi. Pengetahuan membentuk pengetahuan teknis, umum, bisnis, manajemen, dan sebagainya, (8) memiliki keterampilan, meliputi keterampilan analitis, keterampilan verbal, keterampilan mekanik, dan sebagainya. (9) memiliki usia yang tepat untuk menduduki sebuah jabatan manajer. (10) memiliki kesehatan dan kondisi fisik yang prima. Hersey dan Blanchard (1990:5-6) menyatakan bahwa paling tidak terdapat tiga bidang kemampuan yang diperlukan untuk melaksanakan proses manajemen yaitu: kemampuan teknis, kemampuan sosial, dan kemampuan konseptual. Kemampuan teknis meliputi kemampuan menggunakan pengetahuan, metode, teknik, dan peralatan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas tertentu yang diperoleh dari pengalaman, pendidikan, dan training. Kemampuan konseptual meliputi kemampuan untuk memahami kompleksitas organisasi dan penyesuaian bidang gerak unit kerja masing-masing ke dalam bidang operasi organisasi secara menyeluruh. Kemampuan ini memungkinkan seseorang bertindak selaras dengan tujuan organisasi secara menyeluruh. Kemampuan sosial adalah kemampuan dan kata putus (judgment) dalam bekerja dengan dan melalui orang lain, yang mencakup pemahaman tentang motivasi dan penerapan kepemimpinan yang efektif. Pada saat seseorang meningkat kedudukannya dalam kepemimpinan organisasi maka makin sedikit kemampuan teknis yang diperlukan, dan pada saat yang sama makin banyak kemampuan konseptual yang diperlukan. Kemampuan teknis dan konseptual yang diperlukan pada berbagai level manajemen berbeda-beda, kemampuan yang paling penting pada semua level adalah kemampuan sosial. Menurut laporan Perhimpunan Manajemen Amerika (American Management Association), dari 200 manajer yang ikut dalam suatu survei menyetujui bahwa satusatunya kemampuan yang paling penting bagi seorang eksekutif adalah kemam-

32

puan bergaul baik dengan orang lain. Kemampuan ini lebih vital dari kecerdasan, kemampuan memutuskan, pengetahuan, dan kemampuan tentang pekerjaan (Hersey dan Blanchard, 1990:7). Menurut banyak ahli disebutkan bahwa adanya perbedaan hasil atau performance gap dalam usaha ternak adalah akibat perbedaan kecakapan peternak sebagai manajer dalam mengelola informasi sampai terjadinya keputusan yang dilanjutkan oleh tindakan-tindakan yang menguntungkan. Prawirokusumo (1990 :11) menyatakan bahwa untuk meningkatkan produksi usaha peternakan maka diperlukan seorang manajer yang mampu meramu program-program berikut: nutrisi, sanitasi dan kesehatan, kandang dan peralatan, kontrol lingkungan (temperatur, ventilasi dan sinar), penambahan berat badan, dan recording (catatan data).

Kompetensi Teknis Sesungguhnya peternak dapat belajar jauh lebih banyak daripada sebelumnya, asal diberi kesempatan dan dorongan. Hasil belajar ini menjadikan peternak lebih percaya diri dalam mengelola usahanya. Sebagai seorang pengelola/manajer, peternak dituntut untuk dapat melakukan seleksi terhadap ternak sapi perahnya untuk dijadikan bibit. Seleksi yang tepat menghasilkan ternak-ternak yang memiliki produktivitas tinggi. Menurut Sudono (1999:55), sebelum melakukan seleksi untuk memilih bibit ternak perlu dilakukan recording. Seleksi adalah memilih ternak-ternak yang mempunyai sifatsifat produksi yang tinggi untuk dijadikan bibit bagi generasi yang akan datang. Seleksi yang umum dipakai mengikuti empat cara yaitu: (1) seleksi berdasarkan atas tampak luar (exterior). Seleksi ini sebenarnya kurang tepat, karena ternak yang mempunyai bentuk badan yang baik, belum tentu menghasilkan produksi tinggi. Penelitian menghasilkan data bahwa korelasi genetik antara tipe sapi perah dengan produksi susu adalah rendah yaitu 0,10. (2) seleksi berdasarkan atas pemenang lomba ternak. Cara seleksi ini sama dengan seleksi tampak luar tiap-tiap individu tetapi seleksi ini dilakukan oleh juri. Ternak-ternak yang menjadi juara dipilih sebagai bibit.

33

(3) seleksi berdasarkan atas silsilah. Cara yang dilakukan adalah dengan mempelajari data tetua ternak mengenai produksi rata-rata induk dan uji keunggulan bapak. Ternak yang mempunyai silsilah baik, dapat dipilih sebagi bibit. Cara seleksi ini dilakukan untuk sapi-sapi yang masih muda, belum menghasilkan susu atau belum ada data yang menunjukkan kinerja sapi-sapi tersebut. (4) seleksi berdasarkan uji produksi. Cara seleksi ini merupakan seleksi yang paling tepat untuk memilih bibit ternak. Uji produksi ini terdapat dua cara yaitu uji produksi individu ternak (individual merit testing) yaitu uji produksi susu tiap-tiap sapi yang ada di peternakan, ternak-ternak yang memiliki produksi tinggi dijadikan bibit dan uji zuriat (progeny test) yaitu pemilihan ternak berdasarkan penilaian prestasi anak-anaknya, cara ini umumnya dilakukan untuk ternak jantan karena ternak jantan mempunyai lebih banyak keturunan daripada ternak betina. Setelah pemilihan bibit dilakukan, maka tugas selanjutnya adalah pemeliharaan ternak. Pemeliharaan sapi perah sangat menentukan keberhasilan usaha sapi perah karena disini dituntut kemampuan peternak untuk mengaplikasikan pengetahuan, keterampilan dan kompetensi yang dimilikinya. Pemeliharaan sapi perah dikelompokkan menjadi tiga periode yaitu: pemeliharaan pedet, sapi dara, dan sapi dewasa. Selanjutnya peternak juga perlu menguasai pengetahuan tentang nilai gizi pakan karena pakan yang diberikan menentukan kualitas dan kuantitas susu. Selain itu, proses pemerahan yang teratur dan bersih ikut juga memberi kontribusi terhadap kualitas dan kuantitas susu sapi yang dihasilkan. Pengetahuan tentang reproduksi ternak diperlukan untuk mendeteksi bihari dan melakukan perkawinan yang tepat bagi ternak sapi perahnya. Pemeliharaan yang baik dan pakan yang cukup baik dalam jumlah maupun nilai gizi, kebersihan yang terjamin, serta pemerahan yang teratur dapat mencegah sapi perah terkena penyakit seperti: mastitis, TBC, Brucellosis, dan lain sebagainya. Penyakit-penyakit tersebut dapat menular kepada sapi yang sehat, untuk itu peternak juga perlu membangun kandang secara terpisah sesuai umur sapi. Selain menguasai cara pemeliharaan sapi perah, peternakpun perlu menguasai pemasaran susu. American Marketing Association (AMA) mendefinisikan

34

pemasaran sebagai proses perencanaan dan pelaksanaan rencana penetapan harga, promosi, dan distribusi dari ide-ide, barang-barang, dan jasa-jasa untuk menciptakan pertukaran yang memuaskan tujuan-tujuan individual dan organisasional (Anoraga, 1997:215). Dalam kenyataan, kelemahan sistem pertanian di Indonesia termasuk sub sektor peternakan adalah kurangnya perhatian dalam bidang pemasaran. Fungsi-fungsi pemasaran seperti pembelian, sorting (atau grading), penyimpanan, pengangkutan, dan pengolahan, sering tidak berjalan seperti yang diharapkan, sehingga efisiensi pemasaran menjadi lemah. Keterampilan untuk melaksanakan efisiensi pemasaran dan mempraktekkan unsur-unsur maupun penguasaan informasi pasar yang dimiliki petani, terbatas, ini menyebabkan peluangpeluang bisnis sulit untuk dicapai dan dampaknya terhadap produktivitas kerja kurang maksimal (Soekartawi, 1993:1-2). Mayoritas pemasaran susu dilakukan melalui koperasi susu atau KUD unit susu. Dahulu, tahap awalnya koperasi dan KUD unit susu secara nasional disatukan dalam wadah Badan Koordinasi Susu Indonesia (BKSI) kemudian dengan pengarahan menteri Muda Urusan Koperasi, sepakat membentuk wadah Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI).

Kompetensi Manajerial Setiap petani pada hakekatnya menjalankan sebuah perusahaan pertanian di atas usahataninya. Usahatani itu merupakan perusahaan, karena tujuan tiap petani bersifat ekonomis. Oleh karena itu, manajemen usaha perlu diterapkan. Manajemen adalah tugas. Manajemen merupakan suatu disiplin, tetapi manajemen juga manusia (Drucker, 1982:5). Manajemen sangat penting bagi semua organisasi, baik organisasi besar atau kecil, organisasi formal maupun informal. Keberhasilan organisasi mencapai tujuannya tergantung pada proses manajemen yang dijalankan. Manajemen (pengelolaan) usahatani adalah kemampuan petani menentukan, mengorganisir, dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi yang dikuasainya dan memberikan produksi pertanian sebagaimana yang diharapkan (Hernanto, 1996:88).

35

Fungsi manajerial yang perlu mendapatkan perhatian adalah: perencanaan, pengorganisasian, penumbuhan dan pemeliharaan motivasi pada karyawan, pengawasan dan penilaian (Siagian, 2004:44-45). Perencanaan merupakan dasar mengambil langkah-langkah dalam menjalankan roda perusahaan. Perencanaan juga merupakan salah satu bentuk pengambilan keputusan untuk menentukan masa depan yang dilakukan oleh manajemen serta dapat memprediksi kondisi masa depan yang akan dihadapi, sehingga perencanaan perlu dibuat secara cermat. Beberapa ahli manajemen organisasi banyak mendefinisikan perencanaan, namun dapat disimpulkan empat langkah kunci dalam definisi perencanaan (Said dan Intan, 2001:35), yakni: (a) pemikiran ke masa depan, yakni memandang masa depan yang gemilang dan bukan merupakan ramalan belaka, tetapi pernyataan berorientasi tindakan, (b) serangkaian tindakan, yakni mengembangkan alternatif-alternatif atau metodemetode untuk terus maju, (c) pemahaman penuh terhadap semua faktor yang terlibat, yaitu memahami dan mempertimbangkan fakta-fakta dan konsekwensi faktor-faktor tersebut yang menjadi penghambat, sehingga dapat diantisipasi sebelumnya, (d) pengarahan kepada sasaran khusus, yakni semua rangkaian kegiatan diarahkan pada sasaran yang ingin dicapai pada masa depan. Perencanaan dapat meliputi perencanaan kegiatan dan keuangan. Dalam kegiatan on-farm, studi kelayakan usaha perlu dilakukan karena adanya keterlibatan modal. Dalam perencanaan analisis finansial, estimasi kemampuan pasar dilakukan dengan mempelajari: perkembangan permintaan, perkembangan penawaran, perkembangan harga, perkiraan pangsa pasar, dan perencanaan strategis pemasaran. Selain itu, pengadaan input juga harus selalu diperhitungkan dan dimasukkan ke dalam perencanaan finansial, meliputi: bibit, pakan, obat-obatan, bahan-bahan lain, peralatan, dan tenaga kerja dari luar keluarga petani. Konsep atau ide yang telah dirumuskan dalam perencanaan dapat digunakan sebagai guideline dalam proses produksi. Perencanaan yang telah dibuat digunakan sebagai informasi bagi mitra strategis apabila produsen mengharapkan adanya keterlibatan mitra bisnis dalam

36

menjalankan usahanya. Selain itu, untuk menjaga kelangsungan usaha, kontinuitas produksi dan pengembangan usaha, produsen perlu membangun kerja sama dengan pemasok, distributor dan lembaga penunjang seperti bank. Ditetapkannya suatu rencana mempunyai konsekwensi pekerjaan dan aktivitas yang harus dilaksanakan, juga departementalisasi yang timbul karena tuntutan spesialisasi dalam pelaksanaan pekerjaan, pembagian kerja, serta pemeliharaan keseimbangan antara wewenang dan tanggung jawab para pelaksana kegiatan teknis dan operasional, semua itu memerlukan koordinasi dibawah komando manajer. Menurut Downey dan Erickson (Said dan Intan, 2001:39), fungsi pengorganisasian meliputi kegiatan-kegiatan: (a) menyusun struktur organisasi, (b)menentukan pekerjaan yang dikerjakan, (c) memilih, menentukan, dan mengembangkan karyawan, (d) merumuskan kegiatan perusahaan, dan (e) membentuk sejumlah hubungan dalam organisasi kemudian menunjuk stafnya. Pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen. Teori pengawasan diketengahkan bahwa titik tolak berpikir yang tepat dijadikan dasar dalam melakukan pengawasan ialah bahwa pengawasan tidak ditujukan untuk menemukan siapa yang salah dalam hal terjadinya penyimpangan realisasi rencana kerja, melainkan untuk mencari fakta tentang apa yang tidak beres dalam sistem sehingga terjadi penyimpangan. Oleh karena itu, manajer harus mampu memahami dengan pikirannya yang jernih mengapa terdapat diskrepansi antara hasil pekerjaan yang ditetapkan dalam rencana dengan kinerja yang ditampilkan pelaksana. Faktor-faktor penyebab dapat beragam, seperti: (a) tuntutan rencana yang tidak realistis, (b) kekurangan dukungan sarana dan prasarana, (c) terdapat masalahmasalah organisasional seperti koordinasi, (d) cara penyeliaan yang tidak tepat, dan (e) kedaluwarsanya keterampilan para pelaksana (Siagian, 2004:50-51). Fungsi evaluasi menekankan pada upaya untuk menilai proses pelaksanaan rencana, mengenal ada tidaknya penyimpangan, dan tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan berdasarkan rencana yang telah dibuat. Fungsi evaluasi ditujukan pada suatu objek tertentu dan dalam periode tertentu. Fungsi pengendalian merupakan suatu upaya manajerial mengembalikan semua kegiatan pada rel yang telah ditentukan, sehingga jika diperoleh penyim-

37

pangan dari prosedur kerja dapat dilakukan pengendalian. Pengendalian dapat dilakukan dengan penyesuaian-penyesuaian dari rencana awal karena adanya faktorfaktor yang berubah sehingga pencapaian tujuan organisasi dapat dilakukan. Kepemimpinan manajerial adalah proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan tugas anggota kelompok. Kepemimpinan merupakan bagian sentral dari peran manajer, yang menyangkut kerja sama dengan dan melalui orang lain untuk mencapai tujuan organisasi. Efektivitas manajer ditentukan oleh kemampuannya dalam memotivasi, mempengaruhi, mengarahkan, dan berkomunikasi dengan bawahan (Stoner dan Freeman, 1992:3). Produktivitas tinggi datang dari staf yang mempunyai motivasi, tetapi masing-masing orang termotivasi oleh alasan yang berbeda. Sebagai juru tani ternak, peternak perlu memotivasi diri dan pekerjanya dengan cara memahami tentang kebutuhan yang dirasakan. Siagian (2004:49) menyatakan bahwa teori motivasi menekankan bahwa terdapat tiga elemen yang harus diperhatikan dalam pemberian motivasi, yaitu: (1) upaya yang maksimal dari para pekerja, (2) pencapaian tujuan dan berbagai sasaran perusahaan, dan (3) pencapaian tujuan pribadi para anggota organisasi yang bersangkutan. Bermitra usaha merupakan kemampuan lain yang perlu dimiliki usahawan. Dewasa ini paling tidak terdapat tiga pola kemitraan yang berkembang pada kegiatan agribisnis, yaitu: kemitraan tradisional, kemitraan ”pemerintah,” dan kemitraan pasar (Pranadji, 1999:485)

Kemitraan tradisional mengikuti pola hu-

bungan patron-client. Pelaku ekonomi yang berperan sebagai patron adalah pemilik modal atau peralatan produksi strategis, dan yang berperan sebagai client adalah petani penggarap, peternak, atau nelayan pekerja. Pada pola patron-client seperti ini kemitraan agribisnis yang berkembang lebih bersifat horisontal, yaitu agribisnis yang bergerak di bidang produksi atau usaha tani. Kemitraan yang bersifat vertikal umumnya diwarnai oleh hubungan hutang (panjar atau ijon) antara pedagang (pemberi hutang) dan petani produsen (penerima hutang). Pola kemitraan tradisional ini interdependensi antara patron dan client bersifat sangat asimetris, dan secara terselubung terjadi eksploitasi berkelanjutan dari ”sang kuat” (patron) terhadap ”si lemah” (client). Pada pola ini hampir tidak

38

dijumpai adanya kompetisi ekonomi yang bersifat terbuka, sehingga kreativitas usaha pelaku-pelaku agribisnisnya menjadi sukar ditumbuhkan secara sehat. Di samping itu, pola ini juga sangat kurang kondusif untuk pengadopsian hasil inovasi di bidang iptek, permodalan, dan kelembagaan ekonomi mutakhir. Pola ini condong pada ciri usaha yang padat tenaga kerja, mungkin akibat perkembangan struktur ekonomi yang dualistik dan sangat mudah disusupi oleh budaya feodal. Di samping sangat nyaman untuk pelaku-pelaku ekonomi yang mementingkan rasa aman, pola ini kurang merangsang tumbuhnya semangat mandiri, dan dapat dinilai sebagai salah satu ”biang keladi” berkembangnya kemiskinan massal pedesaan, (Pranadji, 1999:485). Pola kemitraaan program pemerintah condong pada pengembangan kemitraan secara vertikal, dimana model umum yang dianut adalah hubungan ”bapakanak angkat”, yang pada agribisnis perkembangan dikenal sebagai pola Peternakan Inti Rakyat (PIR). Pola kemitraan ini masih kuat diwarnai adanya interdependensi yang bersifat asimetris antara ”sang kuat” atau pemilik modal (bapak angkat) dengan ”si lemah” atau petani pekerja (anak angkat). Dilihat dari kemampuannya mengadopsi inovasi di bidang iptek, permodalan dan kelembagaan ekonomi mutakhir, pola kemitraan ini dapat dinilai sedikit lebih maju dibanding pola patron-client. Mengingat begitu kuatnya posisi tukar ”sang bapak angkat”, pola ini memberi peluang terjadinya ”eksploitasi legal” dari ”sang bapak” terhadap terhadap ”anak angkat”nya. Pola kemitraan pasar berkembang sebagai akibat dari masuknya peradaban ekonomi pasar dalam usaha pertanian rakyat di pedesaan. Jenis usaha pertanian yang dibidik oleh pola ini adalah usaha yang menghasilkan komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi dan mempunyai permintaan kuat di pasar dunia. Pola ini berkembang dengan melibatkan petani, sebagai pemilik aset tenaga kerja, peralatan produksi, dan pemilik modal besar yang bergerak di bidang industri pengolah dan pemasaran hasil. Dua pelaku ekonomi, petani dan pemilik modal, menggalang kerja sama (kemitraan) karena adanya kepentingan untuk berbagai manfaat ekonomi. Dari segi pengadopsian atas hasil inovasi di bidang iptek, permodalan,

39

dan kelembagaan ekonomi modern, pola ini mempunyai keandalan yang lebih tinggi dibanding dengan dua pola terdahulu, (Pranadji, 1999:486). Bentuk akhir dari kemitraan agribisnis masa depan dicirikan oleh beberapa hal berikut, pertama, petani (produsen) haruslah menjadi pemilik saham keseluruhan jaringan agribisnis, sehingga petani secara kolektif adalah ”pengusaha” tubuh agribisnis. Dengan kata lain, petani adalah penguasa modal. Kedua, keorganisasian petani haruslah tidak dibatasi hanya pada kegiatan produksi bahan baku, namun pada keseluruhan jaringan tubuh organisasi agribisnis. Pada situasi demikian, petanilah yang secara kolektif membangun (organisasi) pasar bersama, termasuk unit-unit prosesingnya. Jaringan kemitraan yang dicapai bukan hanya secara horisontal, namun (yang lebih penting) pada jaringan kemitraan secara vertikal. Ketiga, output usaha pertanian bukanlah bahan mentah yang tidak stabil, melainkan komoditas olahan (akhir) yang telah memperoleh sentuhan iptek dan bernilai tambah tinggi, berciri spesifik, serta berstandar mutu tinggi. Target pasar relatif bervariasi meliputi jaringan pasar lokal, regional, dan global. Keempat, hubungan kemitraan antar pelaku agribisnis harus dimuati rasionalitas ekonomi dan spesialisasi pembagian kerja secara organik. Azas keterbukaan dan demokrasi diterapkan dalam sistem pengambilan keputusan, melalui musyawarah.

Lingkungan Usaha Sarana, Prasarana, dan Informasi Menurut Mosher (1974:10-11), untuk menciptakan Struktur Pedesaan Progresif dalam pertanian yang modern memerlukan unsur-unsur seperti: (a) tersedianya kota-kota pasar di mana petani dapat membeli sarana produksi dan menjual hasil pertanian, (b) jalan-jalan desa untuk memperlancar dan menekan biaya pengangkutan hasil, serta untuk penyaluran informasi dan jasa-jasa ke pedesaan, (c) percobaan-percobaan yang lokal spesifik, (d) penyuluh sebagai orang yang memberikan informasi tentang teknologi baru dan bagaimana mempergunakan teknologi baru, (e) fasilitas kredit untuk membiayai penggunaan input produksi. Supaya dapat efektif maka masing-masing unsur tersebut bergantung satu sama

40

lain, sehingga unsur-unsur tersebut harus dilaksanakan secara bersama sebagai satu ”kegiatan” tunggal. Sarana dan Prasarana Teknologi baru yang dapat meningkatkan produksi peternakan, memerlukan bahan-bahan dan alat-alat produksi khusus seperti bibit, pakan berkualitas, obat-obatan, vitamin, dan mineral, serta alat-alat untuk kegiatan peternakannya. Menurut Mosher (1981:112), banyak pakan ternak berasal dari tanaman hijauan pakan ternak yang ditanam di atas tanah usahatani, di mana ternak dipelihara. Di samping itu ada pula pakan yang untuk pemeliharaan ternak yang intensif, yang dibuat secara khususPpetani peternak dapat mencampur sendiri bahan-bahan pakan ini, tetapi seringkali lebih efisien membeli pakan yang telah dibuat oleh pabrik. Banyak pakan ternak yang sebagian besar dibuat dari bahan-bahan seperti bekatul, bungkil, dedak, tetes (molasses), dan hancuran gandum yang telah difermentasikan, yang merupakan hasil sampingan dari industri pengolahan makanan manusia. Kebutuhan sarana dan peralatan produksi harus dibuat dalam pabrikpabrik, bagi perkembangan pertanian, memberikan petunjuk bahwa pembuatan pabrik semacam ini harus diberi prioritas tinggi dalam rencana industrialisasi pada tiap-tiap negara. Kadang-kadang lebih ekonomis untuk mengimpor suatu barang input tertentu daripada membuatnya sendiri, tetapi tiap-tiap persoalan harus dipelajari secara seksama (Mosher, 1981:112). Sarana perbankkan sebagai penyedia modal sangat dibutuhkan bagi usaha peternakan, namun sifat bisnis sektor pertanian termasuk sub sektor peternakan di Indonesia yang menurut kacamata perbankkan masih sangat memprihatinkan menyebabkan sektor ini mendapat hambatan untuk mendapatkan fasilitas kredit dari perbankkan. Sektor pertanian seringkali tidak memberikan return, seperti yang diharapkan bank, baik dalam waktu pengembalian, maupun dalam jumlah jaminan kredit. Selain itu, sifat bisnis sektor pertanian yang tidak seragam, mudah rusak, dan tidak berkesinambungan, sangat sulit diperhitungkan resiko bisnis yang menjadi pertimbangan utama bank dalam menyalurkan kredit (Pambudy

41

dkk, 2000:129). Hal ini berimplikasi pada pertumbuhan ekonomi pada sektor pertanian yang cenderung lambat dibandingkan dengan sektor industri.

Informasi Usaha Peternakan Sapi Perah Informasi adalah data yang telah diproses ke dalam suatu bentuk yang mempunyai arti bagi penerima dan memiliki nilai nyata yang dibutuhkan untuk proses prngambilan keputusan saat ini maupun saat mendatang (Davis dalam Rochaety, dkk 2005:4). Informasi merupakan peubah yang sangat penting dalam melakukan usaha. Keputusan atau kebijakan usaha ditentukan oleh kualitas dan kuantitas informasi yang dimiliki. Informasi yang harus diperhatikan terutama tentang harga (input maupun output), tingkat kompetisi atau persaingan pelaku, keinginan konsumen (kualitas maupun kuantitas produk), perkembangan teknologi, distribusi, dan informasi lainnya (Krisnamurthi dan Fausia, 2002:33). Berbagai informasi lain yang harus senantiasa diikuti perkembangannya adalah teknologi dalam distribusi produk juga teknologi yang berhubungan dengan kegiatan pascapanen. Demikian juga, informasi yang berhubungan dengan daya beli dan preferensi konsumen, seperti faktor harga, rasa, bentuk/atribut, serta berbagai tuntutan lain yang mungkin saja diajukan oleh berbagai segmen masyarakat. Selain informasi eksternal, sebaiknya seorang pengelola usaha tidak mengabaikan berbagai informasi internal. Informasi internal yang perlu diperhatikan umumnya menyangkut sistem pembukuan, kondisi tenaga kerja, kualitas tenaga kerja dalam bekerja melayani konsumen dan berbagai program kerja yang perlu dipantau proses pencapaiannya (Krisnamurthi dan Fausia, 2002:34-35). Ditambahkan oleh Purwanto (2003:24-25) bahwa kegiatan-kegiatan organisasi atau perusahaan yang membutuhkan informasi adalah: (1) menetapkan tujuan organisasi atau perusahaan, (2) membuat dan melaksanakan keputusan, (3) mengukur prestasi kerja, (4) merekrut dan mengembangkan staf, (5) pelayanan pelanggan, (6) negosiasi dengan pemasok, (7) membuat produk, dan (8) berinteraksi dengan peraturan yang ada.

42

Dalam pendidikan non formal, media audiovisual merupakan sumber informasi yang dapat menyampaikan pelajaran dalam frekwensi yang lebih banyak dan lebih baik kepada lebih banyak orang, daripada yang dapat dicapai oleh guru. Media siaran telah terbukti sangat efektif untuk menarik orang dewasa pada pendidikan. Menurut Jenkins (Jahi, 1988:131), dengan bantuan media cetak atau media audiovisual dapat melatih orang dewasa yang tidak memiliki kesempatan untuk datang ke kelas Selanjutnya dinyatakan pula bahwa dalam beberapa kasus, lembaga-lembaga penyuluhan mengintegrasikan aktivitas penyuluhannya dengan dukungan media. Misalnya di Malawi, lembaga penyuluhan menyelenggarakan siaran pedesaan, memutar film dengan mobil van, dan menyediakan buku petunjuk ringkas, untuk mendukung aktivitas demonstrator pertanian. Setiap jenis media memiliki kelebihan dan kekurangan. Menurut Nasution (2002:213), media penyiaran (broadcast media) lebih baik dalam menjangkau khalayak dalam jumlah besar, dalam waktu cepat dengan ide-ide yang sederhana. Media cetak paling baik dalam memberikan informasi peringatan yang tepat waktu (timely) yang tidak dapat diharapkan untuk diingat sendiri oleh khalayak. Selain dari media massa dan penyuluh, petani dapat mendapatkan informasi secara tidak sengaja saat melakukan interaksi sosial, pada saat itu terjadi proses belajar. Menurut Soekartawi dkk (1988:88), belajar dari tetangga biasanya lebih berhasil baik daripada belajar pada orang lain (sumber informasi) yang tempat tinggalnya berjauhan. Tetangga biasanya terdiri dari beberapa famili yang mengenal secara pribadi dan mempunyai perasaan saling berhubungan sesamanya serta menuntut pentingnya lokalitas yang sama sebagai tempat tinggal mereka. Ditambahkan oleh Granovetter (Jahi, 1988:33) bahwa orang-orang yang lebih banyak berhubungan dengan kelompok-kelompok yang berbeda, cenderung mempelajari topik-topik tertentu lebih dulu daripada yang lain. Soekartawi (1988:68) menyatakan bahwa sumber informasi lain yang dapat diakses oleh petani adalah agen pertanian (toko sarana pertanian). Pranadji (2003:52) berpendapat bahwa penelitian dan pengembangan pertanian merupakan salah satu komponen strategis dari sistem pendukung pembangunan pertanian. Output suatu kegiatan penelitian dan pengembangan baru

43

dapat digunakan sebagai sumber informasi yang mempunyai kegunaan tinggi jika output penelitian dan pengembangan tersebut benar-benar menunjang pencapaian tujuan modernisasi dan pembangunan pertanian Oleh sebab itu, kegiatan penelitian dan pengembangan harus diturunkan dari kebutuhan pengguna hasil penelitian yaitu petani. Gagalnya transfer informasi yang dilakukan oleh penyuluh mungkin sebagian disebabkan karena ide yang disampaikan bertentangan dengan adat kebiasaan atau kepercayaan petani setempat, mungkin juga karena ide yang disampaikan tidak sesuai dengan tingkat kemampuan dan jenis kegiatan usahatani yang biasa dilaksanakan oleh masyarakat yang diberi informasi (Samsudin, 1994:48). Pada umumnya petani lebih cepat menerima ide yang berpengaruh langsung pada produksi pertaniannya atau sesuatu yang sedang populer di kalangan petani. Pada saat ini berkembang teknologi informasi dan komunikasi yang berperan penting dalam memasarkan produk pangan dan pertanian di Asia, khususmya dalam mewujudkan sistem pemasaran yang efisien. Namun, teknologi informasi ini di Indonesia belum berkembang baik ditandai dengan masih lemahnya infrastruktur telekomunikasi, kurangnya tenaga ahli di bidang teknologi informasi, kurangnya kesadaran arti pentingnya teknologi informasi bagi pertanian akibat sifat konservatif petani, cara bertani yang masih tradisional, serta kekhawatiran penggunaan teknologi baru. Pemerintahpun kurang memberi dukungan, baik melalui kampanye pentingnya sistem ini bagi pertanian maupun alokasi finansial. Padahal pertanian merupakan sektor yang amat vital dan strategis khususnya dalam menjamin ketahanan pangan, pembangunan sosial ekonomi, dan sebagai pelindung pada saat kritis. Di negara lain seperti Srilanka, Bangladesh, Myanmar, dan Nepal, pemanfaatan teknologi informasi di bidang pertanian memegang peranan penting. Penggunaan internet dalam bidang pangan dan pertanian berangsur-angsur menggantikan pola konvensional, terutama dalam memperoleh informasi tentang harga pasar. Teknologi informasi juga dimanfaatkan oleh pengambil keputusan dalam mengambil kebijakan pertanian yang tepat di bidang pemasaran, produksi maupun perdagangan produk pertanian.

44

Pengembangan teknologi pertanian untuk pemasaran produk pangan dan pertanian di Malaysia dilakukan oleh Federal Agricultural Marketing Authority (FAMA), suatu badan yang dibentuk tahun 1965 di bawah Departemen Pertanian dengan tujuan untuk supervisi, koordinasi, regulasi, dan meningkatkan pemasaran produk pertanian di Malaysia. Teknologi informasi di India antara lain dikembangkan di Maharashtra, salah satu propinsi di India. Institusi yang terlibat dalam proyek ini antara lain kementerian terkait, perguruan tinggi pertanian, lembaga riset dan penelitian, Lembaga Swadaya Masyarakat, asosiasi petani, perusahaan swasta, pedagang penyedia jasa internet, dan komunitas lain yang bergerak di sektor pertanian. Sasaran yang ingin dicapai adalah: (1) mengembangkan jaringan virtual antara komunitas petani, pemerintah, penyedia jasa internet, pengambil keputusan, peneliti dan pendidik, yang bekerja demi kemakmuran daerah, (2) mendidik dan melatih stakeholders dalam pengetahuan di bidang jasa pangan dan pertanian, (3) membangun jaringan komunikasi petani, penduduk desa dan kelompokkelompok masyarakat lain (Ismet dan Indiarto, 2006:13-15).

Kelembagaan Peternak Kelembagaan peternak yang diamati dalam penelitian ini adalah kelompok dan koperasi yang menangani persusuan. Individu sebagai makhluk hidup, mempunyai kebutuhan yang menurut Teori Maslow dapat dikelompokkan menjadi: kebutuhan fisik, kebutuhan rasa aman, kebutuhan kasih sayang, kebutuhan prestasi dan prestise, serta kebutuhan pengembangan kemampuan diri. Setiap individu memiliki potensi untuk memenuhi kebutuhan tersebut, namun potensi yang ada pada individu yang bersangkutan terbatas sehingga individu harus meminta bantuan kepada individu lain yang sama-sama hidup satu kelompok. Kelompok terbentuk karena kesamaan kebutuhan dan tujuan yang hendak dicapai, sehingga membutuhkan kerja sama. Kelompok tani ialah kumpulan petani yang bersifat nonformal, berada dalam lingkungan pengaruh seorang kontak tani, memiliki pandangan dan kepentingan yang sama untuk mencapai tujuan bersama di mana hubungan satu sama lain bersifat luwes, wajar, dan kekeluargaan (Samsudin, 1994:74).

45

Kelompok tani merupakan sistem sosial, yaitu kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat oleh kerja sama untuk memecahkan masalah dalam mencapai tujuan bersama. Dalam suatu kelompok sosial, seperti halnya kelompok tani, selalu mempunyai external structure atau socio group dan internal structure atau psycho group. External structure dalam kelompok tani ialah dinamika kelompok, yaitu aktivitas untuk menanggapi tugas yang timbul karena adanya tantangan lingkungan dan tantangan kebutuhan, antara lain termasuk tuntutan meningkatkan produktivitas usaha tani. Internal structure ialah norma atau pranata yang mengatur hubungan antara anggota kelompok sehingga dapat menunjukkan kedudukan, peranan, dan kewajibannya dalam mencapai prestasi kelompok. Internal structure merupakan dasar solidaritas kelompok yang timbul dari adanya kesadaran setiap anggota kelompok tani yang bersangkutan, (Samsudin, 1994:74). Pada masa lalu, banyak kelompok tani terbentuk dari inisiatif seorang pemuka masyarakat atau seorang yang memiliki daya pengaruh kuat dalam mengajak anggota masyarakat lainnya untuk bergabung membentuk wadah kelompok, namun banyak pula yang dibentuk oleh pemerintah berkaitan dengan adanya program yang dibuat oleh pemerintah. Tujuan pembentukkan kelompok tersebut adalah untuk memudahkan administrasi penyaluran bantuan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sumardjo (2003:169) menghasilkan data bahwa ada kecenderungan perilaku kelompok tani menjadi kurang efektif apabila keberadaannya cenderung artifisial dan formalitas, kurang efektif mengembangkan kualitas sumberdaya manusia (SDM) sehingga kualitas SDM anggota cenderung lokalit, kurang memiliki kompetensi berorganisasi. Pada kelompok tersebut, kepemimpinan lokal biasanya kurang berfungsi secara efektif membawa kelompok bertahan secara produktif, karena adanya intervensi yang terlalu intensif dari pihak luar, sehingga cenderung menghasilkan ketergantungan pada arahan atau intensitas pembinaan oleh petugas lapang atau pembina lainnya. Menurut Sumardjo (2003:169), berdasarkan berbagai fakta di lapangan dan pemikiran, maka preposisi tentang figur kepemimpinan yang dapat dikaji

46

lebih lanjut atau dicoba diimplementasikan dalam pengembangan kelembagaan kelompok petani: (1) Seorang pemimpin kelompok petani yang efektif apabila mempunyai prasyarat berikut: (a) memiliki pemahaman yang baik tentang potensi, kebutuhan dan minat masyarakat; (b) memiliki keberpihakan pada masyarakat dan berorientasi pada keadilan; (c) memiliki energi yang cukup untuk mewujudkan upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat. (2) Ciri kepemimpinan utama dalam kelembagaan petani yang efektif: (a) memiliki kejujuran, berhasil meraih kepercayaan masyarakat, (b) memiliki keteladanan yang nyata, (c) menerapkan gaya kepemimpinan sesuai situasi masyarakat, (d) memiliki visi tentang kondisi lingkungan sosialnya, yang sangat diyakininya dan didukung dengan karakter perilaku nyata yang bermanfaat bagi upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat, (e) memiliki kemampuan berkomunikasi secara efektif dengan masyarakat dan lingkungan sosialnya. (3) Ciri penunjang kepemimpinan dalam kelembagaan petani diera perubahan sosial: (a) memiliki keterbukaan terhadap perubahan sosial sejalan dengan tuntutan perubahan lingkungan sosialnya, (b) memiliki sifat dan perilaku kosmopolit, (c) memiliki keberanian mengambil resiko untuk berinovasi. Figur kepemimpinan seperti tersebut di atas cenderung diterima oleh masyarakat, serta cenderung efektif membawa masyarakat untuk berkembang ke arah kemajuan kelembagaan kolompok petani yang didukung masyarakat. Pada masyarakat terbuka, figur seperti itu cenderung dimiliki oleh pemimpin yang dipilih oleh masyarakat, pada masyarakat sederhana figur pemimpin yang secara tradisional memiliki hubungan erat dengan kepemimpinan yang diterima oleh masyarakat adat. Pada saat ini kelompok peternak sebagai salah satu kelembagaan peternak, dibentuk bukan berdasarkan inisiatif sendiri tetapi berdasarkan pembentukan koperasi. Pembentukan seperti ini menyebabkan kelompok tidak dinamis. Upaya yang perlu segera ditangani untuk meningkatkan dinamika kelompok adalah melalui penguatan kelembagaan peternak. Menurut Ditjen Bina Produksi Hortikultura (2003:3), penguatan kelembagaan adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh

47

peternak/kelompok dalam meningkatkan penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya baik sumberdaya dari dalam maupun dari luar untuk pencapaian tujuan. Penguatan kelompok peternak merupakan hal yang penting dalam mencapai tujuan pembangunan pertanian termasuk di dalamnya sub sektor peternakan sebab kelompok peternak merupakan kelembagaan terdepan di tingkat pedesaan dan berperan sebagai pelaku utama dalam pengembangan usahaternak. Usahatani yang terus berkembang di masa depan, memerlukan kompetensi yang memadai. Penguatan peternak dilakukan dengan cara memperkenalkan peternak tentang bagaimana cara berorganisasi melalui pembentukan kelompok. Interaksi yang sinergis antar peternak dapat dilakukan dengan wadah kelompokkelompok peternak yang merupakan wahana untuk saling berinteraksi, bersosialisasi, bertukar informasi antar anggotanya dan melakukan kegiatan agribisnis. Melalui forum-forum tersebut peternak berlatih untuk mengambil keputusan menentukan masa depan, mengatasi masalah, tidak menggantungkan nasib pada orang lain sehingga timbul sikap mandiri dalam diri peternak. Dengan melibatkan peternak dalam ikatan-ikatan kelompok, maka peternak lebih mampu bekerjasama dan lebih terjamin apabila terjadi musibah, sakit atau bahkan bargaining position serta self-esteem peternak lebih kuat, dan perasaan aman lebih terjamin. Menurut Pranadji (2003:138), asosiasi petani di tingkat desa, seperti kelompok tani, umumnya mempunyai pengaruh ke dalam. Kemampuan asosiasi petani untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan atau peraturan daerah masih sangat kecil, atau nyaris tidak ada. Asosiasi petani yang umum dikenal secara terbuka adalah seperti kelompok tani dan Koperasi Unit Desa (KUD). Koperasi merupakan kelembagaan lain yang dimiliki peternak yang diamati dalam penelitian ini. Menurut UU No. 25/1992 tentang Perkoperasian, koperasi didefinisikan sebagai badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi, dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat, yang berdasar atas azas kekeluargaan (Sitio dan Tamba, 2001:18). Prinsip-prinsip koperasi yang berlaku saat ini di Indonesia adalah: (1) keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka, (2) pengelolaan dilakukan secara demokrasi, (3) pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) dila-

48

kukan secara adil sesuai dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota, (4) pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal, (5) kemandirian, (6) pendidikan perkoperasian, dan (7) kerjasama antar koperasi. Fungsi koperasi yang tertuang dalam pasal 4 UU No. 25/1992 tentang Perkoperasian adalah: (1) membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya, (2) berperan serta secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat, (3) memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional dengan koperasi sebagai sokogurunya, dan (4) berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian yang merupakan usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi. Selanjutnya untuk menjalankan fungsinya maka koperasi memiliki perangkat organisasi, yaitu: rapat anggota, pengurus, pengawas, dan pengelola (Sitio dan Tamba, 2001:18). Koperasi sapi perah merupakan lembaga peternak yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan anggota melalui penyediaan lapangan usaha yakni beternak sapi perah. Untuk itu, koperasi (pembentukannya bersifat kebijakan top-down) mendapatkan dana dalam bentuk pengadaan bibit sapi perah impor yang dibagikan kepada anggota sebagai pinjaman. Peternak mengembalikan pinjaman melalui hasil susu dan harus mengikuti semua aturan-aturan koperasi. Peternak yang mendapat bantuan sapi perah wajib menjual seluruh produk susu segar kepada koperasi dengan harga yang ditetapkan Industri Pengolahan Susu (IPS) dan koperasi (Yusdja, 2005:257-258). Konsep ini melahirkan pertanyaan apa yang akan dikembangkan, koperasi atau usaha peternakan sapi perah? Hal ini dilihat dari keberhasilan koperasi yang dilihat dari kemampuan koperasi memupuk modal, jumlah anggota yang banyak, dan keberhasilan usaha. Semakin banyak anggota berarti semakin tinggi produksi susu dan semakin banyak pendapatan kope-rasi baik melalui simpanan, iuran anggota, dan penjualan susu.

49

Kelembagaan Sosial Kelembagaan dapat diartikan sebagai suatu norma/kaidah peraturan atau organisasi yang memudahkan koordinasi dalam membentuk harapan masingmasing yang mungkin dapat dicapai dengan saling bekerjasama. Secara sederhana kelembagaan diartikan sebagai ”aturan main” (rule of the game). Kelembagaan tidak identik dengan organisasi tetapi keduanya berkaitan secara erat. Dianalogikan dengan sebuah komputer yang memiliki dua komponen utama yaitu ”piranti keras” (hardware) dan ”piranti lunak” (software) maka organisasi merupakan hardware-nya dan kelembagaan sebagai software-nya. Selanjutnya, berdasarkan sifatnya, kelembagaan dibagi menjadi dua yaitu formal dan informal. Kelembagaan formal diatur oleh Undang-undang Dasar, undang-undang, peraturan pemerintah, dan lainnya yang sejenis. Kelembagaan informal merujuk kepada aturan main seperti adat-istiadat dan kebiasaan (Susanto, 2006:115) Lembaga menunjuk pada sesuatu bentuk dan sekaligus juga mengandung pengertian-pengertian yang abstrak perihal adanya norma-norma dan peraturanperaturan tertentu yang menjadi ciri dari lembaga tersebut. Di dalam perkembangan selanjutnya, norma-norma tersebut berkelompok-kelompok pada berbagai keperluan pokok kehidupan manusia. Kebutuhan hidup kekerabatan menimbulkan lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti keluarga batih, perkawinan, perceraian, dan lain sebagainya. Kebutuhan matapencaharian menimbulkan lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti pertanian, peternakan, koperasi, industri, dan lain-lain. Kebutuhan pendidikan menimbulkan lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti, pesantren, taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah, perguruanperguruan tinggi, dan lain sebagainya. Lembaga adalah alat masyarakat, dan keberadaannya untuk menyumbangkan hasil yang dibutuhkan masyarakat. Alat ini tidak pernah ditentukan oleh apa yang dikerjakan, juga bukan oleh bagaimana mengerjakannya, alat ini ditentukan oleh sumbangannya (Drucker, 1982:5). Menurut Pranadji (2003:3), krisis ekonomi yang melanda masyarakat Indonesia merupakan resultan dari interaksi banyak aspek internal yang ada dalam

50

masyarakat Indonesia sendiri. Dari sudut pandang sosiologi, krisis ekonomi ini akibat lemahnya kelembagaan yang menopang sendi-sendi kehidupan masyarakat desa. Secara teoritis beberapa elemen kelembagaan yang diperkiraan berpengaruh terhadap kemajuan masyarakat pedesaan adalah tata nilai masyarakat, kompetensi manusia (individual maupun kolektif), manajemen dan keorganisasian masyarakat, hukum, kepemimpinan dan sistem penyelenggaraan pemerintah setempat. Menurut Bunch (Rintuh dan Miar, 2003;3) pentingnya kelembagaan bagi masyarakat di pedesaan, karena: (a) banyak masalah yang hanya dapat dipecahkan oleh suatu lembaga, (b) dapat memberi kelanggengan pada masyarakat desa untuk terus menerus mengembangkan usahanya seperti untuk mengembangkan teknologi dan penyebarannya, (c) dapat mengorganisasi masyarakat desa untuk dapat bersaing dengan pihak luar. Lembaga sosial memiliki beberapa karakteristik yang melekat padanya (Rahardjo, 1999:160), yakni: (1) memiliki tujuan utama, (2) relatif permanen, (3) memiliki nilai-nilai pokok yang bersumber dari anggotanya, dan (4) pelbagai lembaga dalam suatu masyarakat memiliki keterkaitan satu sama lain. Lembaga sosial bukan fenomena yang statis tetapi berubah seiring dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Mengingat fungsinya yang berkaitan dengan kebutuhan tertentu anggota masyarakat, maka dinamikanya juga ditentukan oleh proses dan pola perubahan yang terjadi. Penyebab perubahan atau perkembangan lembaga sosial cenderung berakibat munculnya kebutuhan-kebutuhan baru, dan tuntutan terhadap kebutuhan baru tersebut belum tentu dapat dipenuhi oleh lembagalembaga lama. Menurut Horton dan Hunt (Rahardjo, 1999:62), masyarakat adalah suatu organisasi manusia yang saling berhubungan satu sama lain, sedangkan kebudayaan adalah sistem norma dan nilai yang terorganisasi yang menjadi pegangan masyarakat tersebut. Kebudayaan adalah way of life suatu masyarakat. Way of life tidak sekedar berkaitan dengan bagaimana cara orang hidup secara biologis, melainkan dijabarkan secara lebih rinci. Way of life mencakup way of thinking (cara berpikir, bercipta), way of feeling (cara berasa, mengekspresikan rasa), dan way of doing (cara berbuat, berkarya).

51

Menurut ilmu antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang diciptakan manusia melalui proses belajar (Koentjaraningrat, 1986:180). Ada tiga wujud kebudayaan, yaitu: (1) kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, normanorma, peraturan dan sebagainya, (2) kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, ini disebut sebagai sistem sosial, (3) kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Struktur dan kebudayaan merupakan konsep yang abstrak dan memerlukan proses panjang untuk dapat mempengaruhi perilaku manusia. Proses panjang ini disebut inkulturasi (untuk kebudayaan) dan proses instrukturasi (untuk struktur). Lembaga sosial yang secara ringkas diartikan sebagai kompleks norma-norma atau kebiasaan-kebiasaan untuk mempertahankan nilai-nilai yang dipandang penting dalam masyarakat, merupakan wadah dan perwujudan yang lebih konkrit dari struktur dan kebudayaan. Dalam suatu lembaga, setiap orang yang termasuk di dalamnya pasti memiliki status dan peran tertentu. Status merupakan refleksi struktur, sedangkan peran merupakan refleksi kultur. Mata pencaharian sebuah masyarakat erat kaitannya dengan kebudayaan yang dimiliki. Budaya menurut Davis dan Newstrom (1995:46) adalah perilaku konvensional masyarakat yang mempengaruhi semua tindakan anggotanya meskipun sebagian besar tidak menyadarinya. Budaya mayoritas negara di dunia Barat menekankan pekerjaan sebagai aktivitas yang diinginkan dan memenuhi hasrat. Sikap ini juga menonjol di beberapa bagian Asia, seperti Jepang dan hasilnya adalah etika kerja bagi banyak orang, pekerjaan sebagai pusat kepentingan dan tujuan yang diinginkan dalam kehidupan. Menurut Hoselit (Budiman, 1996:33), upaya menumbuhkan wirausahawan dalam sebuah negara memerlukan sebuah masyarakat dengan kebudayaan tertentu. Kebudayaan yang dimaksudkan adalah kebudayaan yang beranggapan bahwa mencari kekayaan bukan merupakan hal yang buruk. Apabila nilai-nilai budaya semacam ini tidak ada, akan sulit muncul jiwa kewirausahaan. Pendapat Hoselitz

52

disempurnakan dengan pendapat Inkeles dan Smith yang menekankan pentingnya faktor manusia sebagai komponen terpenting penopang pembangunan. Pembangunan bukan sekedar pemasokan modal dan teknologi saja, tetapi dibutuhkan manusia yang dapat mengembangkan sarana material tersebut menjadi produktif. Untuk itu, dibutuhkan manusia modern. Ciri-ciri manusia modern menurut Inkeles (Asngari, 2003:183) adalah: (1) terbuka dan siap menerima perubahan (pembaharuan), (2) orientasi realistik/demokratis (cenderung membentuk/menerima pendapat lingkungannya), (3) berorientasi masa depan dan masa kini, bukan masa silam, (4) hidup perlu direncanakan dan diorganisasikan, (5) belajar menguasai lingkungannya (tidak pasrah), (6) rasa percaya diri tinggi/optimis (dunia di bawah kontrolnya), (7) menghargai pendapat orang lain, (8) memberi nilai tinggi kepada pendidikan formal (juga informal dan non formal), (9) percaya pada IPTEK (dan perkembangannya), dan percaya bahwa imbalan harus seimbang dengan prestasi. Nilai budaya masyarakat Indonesia masih menekankan kehidupan yang berorientasi “kepentingan kekinian.” Hal ini ditunjukkan dengan hasil karya seseorang yang lebih diarahkan pada upaya memperoleh kedudukan atau status sosial dalam masyarakat dari pada untuk mengembangkan karya itu sendiri. Kecenderungan ini mendorong pada orientasi nilai budaya yang bersifat materialistis (Anoraga, 1997:71). Dalam kehidupan masyarakat selalu berkiblat pada kebudayaan dan diatur oleh adat-istiadat juga aturan-aturan lingkungan di mana seseorang hidup dan bergaul. Adat istiadat secara khusus terdiri dari nilai-nilai budaya, pandangan hidup, dan cita-cita, norma-norma dan hukum, pengetahuan dan keyakinan. Mayoritas masyarakat Indonesia bermatapencaharian sebagai petani kecil atau sering disebut dengan istilah peasant. Menurut Rogers (Purba, 2002:54), masyarakat peasant mempunyai beberapa ciri-ciri kultural yang dominan seperti: (1) kurang punya kegairahan untuk capital cummulative, karena anggapan bahwa segala sesuatu yang ada di atas dunia sudah pasti dan terbatas jumlahnya. Segala sesuatu didistribusikan secara merata, apabila seseorang mengumpulkan sesuatu terlalu banyak, berarti dia telah mengambil bagian orang lain,

53

(2) kurang punya kemampuan untuk bekerjasama dalam sebuah organisasi yang besar, dengan pembagian kerja yang kompleks, karena hidup terlalu terpusat pada kehidupan individual dan keluarga sendiri. Akibatnya di desa jarang ditemukan organisasi-organisasi kerjasama yang mapan dan kuat, kecuali di Bali, karena itu di desa hampir tidak mungkin untuk membangun koperasi, karena koperasi adalah sebuah organisasi modern yang membutuhkan kerjasama dan saling percaya, (3) kurang bersahabat, kurang tunduk, dan kurang menghargai penguasa/pejabat pemerintah, karena pengalaman hidup mereka selalu diperlakukan tidak adil dan dijadikan objek pemerasan. Meskipun orang desa nampak seolah-olah tunduk dan takut kepada pemerintah/pejabat, tetapi dalam hati selalu curiga pada sesuatu yang berasal dari luar desa, termasuk pejabat, (4) kurang inovatif dan kreatif, cenderung hidup rutin sebagaimana pola kehidupan yang telah diwarisi dari nenek moyangnya. Menyimpang dari pola yang sudah lazim dianggap sebagai perbuatan yang beresiko tinggi, bisa mengganggu keselamatan hidup keluarga, (5) kurang aspirasi dan kurang punya cita-cita tinggi sehingga tidak begitu bergairah untuk menyekolahkan anaknya ke pendidikan yang lebih tinggi, (6) kurang dapat menahan diri dalam memenuhi nafsu, khususnya nafsu konsumtif, sehingga ketika memperoleh penghasilan yang agak besar, segera dibelikan keperluan-keperluan konsumtif. Menabung tidak menjadi bagian peasant kecuali menyimpan dalam bentuk perhiasan, yang lebih berfungsi sebagai lambang prestise daripada untuk menabung. Pandangan Rogers tentang peasant lebih menyoroti tentang kekurangan dari sifat-sifat petani kecil. Tidak semua sifat petani kecil di pedesaan berkonotasi negatif, terdapat sifat-sifat positif yang dimiliki petani di pedesaan, misalnya rasa solidaritas yang tinggi. Solidaritas merupakan bagian esensial dari nilai-nilai budaya yang tidak dapat diabaikan pada kehidupan di desa. Perwujudan nyata solidaritas antara lain, adanya selamatan dan kesripahan dan beberapa peringatan yang berkaitan dengan kematian, adanya upacara atau tradisi dalam acara pernikahan. Solidaritas juga mendasari kegiatan pertanian. Solidaritas ketetanggaan ini

54

terkandung norma hukum, walaupun tidak tertulis, yang jika dilanggar ada sangsinya. Sifat lainnya adalah gotong royong yang merupakan kekayaan kehidupan ketetanggaan yang dalam praktek semacam kewajiban sosial atau norma (hukum) yang tidak tertulis, (Pranadji, 2003:86). Solidaritas tinggi yang dimiliki petani menyebabkan langkah-langkah yang diambil sangat dipengaruhi oleh sikap dan hubungan dalam masyarakat disekitarnya. Masyarakat sekitar sangat mempunyai arti bagi kehidupan petani. Petani bersandar kepada teman dan tetangga untuk menolongnya dalam keadaan kritis, atau untuk membantu keluarganya jika terjadi sesuatu terhadap dirinya. Disebabkan saling membutuhkan inilah maka petani dituntut mampu berinteraksi sehingga struktur masyarakat yang telah ada tidak terganggu dengan usahanya. Menurut Mosher (1981:47), nilai-nilai sosial dan tradisi masyarakat pedesaan sangat bervariasi. Di setiap tempat dan pada setiap saat nilai-nilai sosial dan tradisi dimaksudkan untuk melindungi kelompok dari bencana ataupun malapetaka lain daripada untuk mendorong diselenggarakan percobaan dengan gagasan dan teknik produksi baru, namun bila teknologi pertanian telah mulai berubah dan masyarakat telah mulai dapat merasakan hasil dari teknologi tersebut, maka tradisi dan nilai sosial berubah ke arah yang lebih menghargai percobaan-percobaan pemakaian metode baru. Nilai-nilai sosial yang dimiliki menyebabkan petani perlu mendapatkan restu dari sistem sosialnya sebelum memilih dan menjalankan usahataninya. Menurut Scott (1981:35), banyaknya jumlah petani dengan lahan sempit dan penyewa yang ada di Indonesia menjadikan prinsip “dahulukan selamat” berlaku bagi petani-petani kecil dan penyewa karena petani dalam keadaan “terendam sampai ke leher,” salah mengambil keputusan/kebijakan maka matilah seluruh keluarga petani itu. Prinsip “dahulukan selamat” menyebabkan petani enggan berusaha mencari keuntungan, apabila hal itu mengacaukan kegiatan-kegiatan subsisten yang rutin yang sudah terbukti memadai di waktu yang lampau. Keterbatasan modal, pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki keluarga petani membuat tidak ada keberanian untuk mencoba hal-hal yang baru ini (inovatif).

55

Berkaitan dengan tradisi, kebudayaan, dan fisik dalam suatu masyarakat menyebabkan terdapat perbedaan tingkat partisipasi angkatan kerja antara perempuan dan laki-laki. Laki-laki ditempatkan pada posisi kepala rumah tangga dengan tanggung jawab yang menyertainya. Perempuan dipandang tidak pantas untuk bekerja, kebudayaan mengharuskan mereka untuk memeras tenaganya tidak di arena pasar tenaga kerja melainkan di rumah tangga (Arfida, 2003:75). Dalam rangka memperbaiki kehidupan, kesejahteraan dan martabat masyarakat serta menunjang/mengisi pembangunan otonomi daerah dan desentralisasi maka sudah saatnya dibicarakan tentang nilai sebuah masyarakat madani (civil society) untuk dapat diwujudkan. Salah satu komponen penting pencapaian kondisi masyarakat madani adalah tumbuh dan berkembangnya modal sosial (social capital) yang kental, di mana faktor-faktor terpentingnya adalah keterpercayaan (trust) di dalam struktur masyarakat, juga kebersamaan antar individu dalam masyarakat dalam memenuhi berbagai kebutuhan (Susanto, 2003:205). Indikator encer/kentalnya modal sosial masyarakat adalah sejauh mana anggotaanggota masyarakat tahu, mau dan mampu memanfaatkan waktu-waktu senggang (leisure time) menjadi waktu yang “berharga,” produktif dan bahkan dapat menghasilkan uang. Semboyan masyarakat yang bermodal sosial kental adalah: time is money, time is productive asset.

Kelembagaan Penyuluhan Kegiatan perubahan ataupun pembangunan, senantiasa mensyaratkan partisipasi masyarakat, namun masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan, seringkali berada dalam kedudukan yang lemah. Masyarakat pada umumnya mempunyai posisi tawar lemah dalam pengambilan keputusan, lemah dalam pengetahuan, keterampilan, dan sikap serta persepsinya terhadap setiap upaya pembangunan atau perubahan yang ditawarkan (Mardikanto, 2003:188). Oleh karenanya, Lippitt dkk (1958:5) mensyaratkan pentingnya keberadaan “agen-agen perubahan” yang kemudian lebih dikenal sebagai “penyuluh” untuk melaksanakan fungsi penyuluhan pembangunan.

56

Organisasi penyuluhan pertanian di Indonesia sebagai bidang fungsional merupakan satu unit kerja di dalam Departemen Pertanian bersama-sama dengan unit struktural. Pengkajian tentang keberadaan penyuluhan pertanian tidak dapat dilepaskan dari kebijaksanaan pembangunan masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah secara umum. Dengan demikian pengkajian hubungan antara pemerintah dengan tenaga penyuluh pertanian yang semata-mata dianggap sebagai ”perpanjangan tangan pemerintah,” berada dalam kontek hubungan antara negara dengan petani dan masyarakat dari masa ke masa. Pilihan pendekatan kelembagaan yang menjadikan lembaga penyuluhan pertanian pada posisi subordinasi menyebabkan lemahnya tingkat kemandirian lembaga tersebut. Pengertian penyuluhan menurut Slamet (2003:18), adalah suatu sistem pendidikan luar sekolah (pendidikan non formal) untuk petani dan keluarganya dengan tujuan agar petani mampu dan sanggup memerankan dirinya sebagai warga negara yang baik sesuai dengan bidang profesinya, serta mampu, sanggup dan berswadaya memperbaiki/meningkatkan kesejahteraan sendiri dan masyarakatnya. Menurut Asngari (2003:183), penyuluhan adalah kegiatan mendidik orang (kegiatan pendidikan) dengan tujuan mengubah perilaku kelayan sesuai dengan yang direncanakan/dikehendaki yakni orang makin modern. Penyuluhan merupakan usaha mengembangkan (memberdayakan) potensi individu kelayan agar lebih berdaya secara mandiri. Mardikanto (2003:197) menyatakan bahwa fungsi penyuluhan adalah: edukasi, diseminasi, inovasi, fasilitasi, konsultasi, supervisi, pemantauan, dan evaluasi. Mardikanto menawarkan penggunaan istilah edfikasi sebagai pengganti istilah penyuluhan. Melihat kompleknya fungsi penyuluh maka perlu ditumbuhkan sikap profesionalisme di kalangan penyuluh. Apakah profesionalisme berkaitan dengan persyaratan ilmiah?

Bila penyuluh dikaitkan dengan persyaratan

ilmiah implikasinya adalah penyuluh disyaratkan harus kaum intelektual. Padahal kaum intelektual belum tentu seorang penyuluh yang baik. Implikasi lain adalah bahwa penyuluh menjadi fungsi dan kompetensi yang bersifai elitis-intelektualitas, sedangkan kondisi masyarakat begitu pluralitis, baik dalam tingkat kecerdasan, taraf hidup, maupun latar belakang sosial budaya. Melihat kenyataan de-

57

mikian, maka profesionalisme dan kualitas penyuluhan merupakan dua substansi yang saling mendukung (Rudini, 1994:33). Profesionalisme penyuluh ditandai oleh tiga hal pokok yaitu: keahlian, tanggung jawab, dan pengejawantahan. Seorang penyuluh harus tahu benar tentang hal-hal yang akan disuluhkan kepada masyarakat. Penyuluh harus memiliki etos kerja positif (motivasi untuk maju, bekerja dengan baik, penuh pengabdian), dan menyadari bahwa dirinya adalah penentu keberhasilan program yang sedang dikerjakan saat itu, penuh disiplin serta berdedikasi tinggi (Levis,1996:59). Selanjutnya dinyatakan juga bahwa penyuluh yang profesional memenuhi enam kriteria pokok, yaitu: (1) mengikuti perkembangan hasil penelitian terbaru serta kecenderungan pembangunan yang dilaksanakan; (2) memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang sasaran dan sistem sosial sasaran penyuluhan; (3) memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang proses produksi pertanian; (4) mengakui aspek bio-fisik dan lingkungan alam dalam kegiatan produksi pertanian; (5) memiliki pengetahuan tentang manajemen dan ekonomi pertanian; (6) memiliki pengetahuan serta memahami hubungan atau jaringan produksi pertanian dan pendapatan usaha tani sebagai ukuran (Levis,1996:158-159). Selaras dengan strategi penyuluhan yang diarahkan bersifat partisipatif, maka perencanaan dan evaluasi penyuluhan harus dilaksanakan secara partisipatif. Berkaitan dengan itu, Mardikanto (2003:197) menyatakan bahwa penyuluhan perlu didesain sebagai kegiatan kaji-tindak yang partisipatif dalam upaya pengembangan masyarakat secara berkelanjutan, melalui proses sebagai berikut: pengumpulan data yang dilakukan oleh pihak luar melalui teknik penilaian cepat (rapid rural appraisal/RRA) dan survei mandiri oleh masyarakat (community self survei /CSS) dengan difasilitasi oleh penyuluh: (1) penilaian keadaan secara partisipatif melalui teknik participatory rural appraisal/PRA, (2) perencanaan dilakukan secara partisipatif melalui analisis SWOT terhadap hasil penilaian keadaan yang berhasil dirumuskan, (3) pelaksanaan kegiatan yang dirancang sebagai proses belajar (pelatihan) yang partisipatif,

58

(4) pemantauan dan evaluasi partisipatif, sejak perumusan tujuan, indikator, kriteria, dan penarikan kesimpulan dan rekomendasi, serta pelaporannya. Mengingat banyaknya perubahan yang telah dan sedang terjadi di lingkungan pertanian, baik pada tingkat individu petani, lokal, daerah, nasional, regional maupun internasional maka diperlukan paradigma baru prinsip-prinsip penyuluhan (Slamet, 2003:60-67) yaitu: (1) Jasa Informasi Dalam kaitan profesinya sebagai petani, mereka memerlukan informasi baru yang berkaitan dengan usahataninya seperti teknologi budidaya pertanian, sarana prasarana produksi, permintaan pasar, harga pasar, cuaca, serangan dan ancaman hama penyakit, alternatif usahatani lainnya dan lain sebagainya. Konsekuensinya: penyuluhan harus mampu menyiapkan, menyediakan dan menyajikan segala informasi yang diperlukan oleh petani. (2) Lokalitas Adanya desentralisasi dan otonomi daerah, menyebabkan penyuluhan pertanian harus lebih memusatkan perhatian pada kebutuhan pertanian dan petani di daerah kerja masing-masing. Informasi-informasi yang disediakan harus sesuai dengan kondisi daerah, teknologi yang dianjurkan sudah dicoba dan berhasil baik di daerah yang bersangkutan. Konsekuensinya: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) dan lembaga sejenisnya lebih difungsi-aktifkan dan dikembangkan kegiatannya, tidak hanya berkaitan dengan teknologi tetapi juga aspek sosial ekonominya. (3) Berorientasi Agribisnis Usahatani adalah kegiatan bisnis, karenanya petani melakukan usahatani dengan motif mendapatkan keuntungan.

Untuk mendapatkan keuntungan

maka petani perlu mengadopsi prinsip-prinsip agribisnis. Konsekuensinya: penyuluh harus mereorientasi dirinya ke arah agribisnis. Prinsip-prinsip dan teknologi-teknologi yang berkaitan dengan agribisnis harus dikembangkan dan dipelajari, meliputi aspek ekonomi, teknologi pasca panen, teknologi pengolahan, pengemasan, pengawetan, pengangkutan, dan pemasaran.

59

(4) Pendekatan Kelompok Materi-materi penyuluhan disajikan melalalui pendekatan kelompok tidak dengan pendekatan individual kecuali pada kasus-kasus tertentu yang memang memerlukan pendekatan individual. Terjadinya interaksi dalam kelompok merupakan forum komunikasi yang demokratis di tingkat akar rumput. Melalui forum-forum itulah pemberdayaan ditumbuhkan yang berlanjut pada tumbuh dan berkembangnya kemandirian petani, tidak menggantungkan nasibnya pada orang lain yakni penyuluh sebagai aparat pemerintah. Konsekuensinya: penyuluh perlu membina dan mengembangkan kepemimpinan kelompok agar kelompok tumbuh menjadi kelompok tani dinamis. (5) Fokus Pada Kepentingan Petani Kepentingan petani harus selalu menjadi titik pusat perhatian penyuluhan pertanian. Kepentingan petani sebenarnya sederhana yaitu mendapatkan imbalan yang wajar dan adil dari jerih payah dan pengorbanan lainnya dalam berusahatani, dan mendapatkan kesempatan untuk memberdayakan dirinya sehingga mampu mensejajarkan dirinya dengan unsur masyarakat lainnya. Konsekuensinya: penyuluh lebih mendekatkan dirinya dengan petani dan lebih menghayati kepentingan-kepentingannya. Prinsip ini dapat dilaksanakan bila penyuluhan pertanian di tingkat lapangan diberi otonomi untuk menentukan sendiri bersama kelompok tani program-program yang dilaksanakan. (6) Pendekatan Humanistik-Egaliter Penyuluhan pertanian harus disajikan kepada petani dengan menempatkan petani dalam kedudukan yang sejajar dengan penyuluhnya, dan diperlakukan secara humanistik. Pendekatan humanistik-egaliter menumbuhkan sikap saling menghargai antara penyuluh dengan petani, kepentingan petani mendapatkan perhatian utama dari penyuluh, sebaliknya petani menghargai usahausaha penyuluh. Konsekuensinya: penyuluh pertanian perlu dibekali pengetahuan dan keterampilam yang berkaitan dengan komunikasi sosial, psikologi sosial, dan lainlain, agar mampu memerankan penyuluhan humanistik-egaliter.

60

(7) Profesionalisme Penyuluhan pertanian di masa depan harus dapat dilaksanakan secara profesionalisme artinya penyuluhan harus tepat dan benar secara teknis, sosial, budaya, dan politik serta efektif karena direncanakan, dilaksanakan dan didukung oleh tenaga-tenaga ahli dan terampil yang telah disiapkan secara baik dalam suatu sistem penyuluhan pertanian yang baik pula. Konsekuensinya: perlu dipersiapkan generasi penyuluh yang profesional. Penyuluh yang ada dan belum profesional perlu ditatar agar meningkat menjadi profesional/sub profesional. Kerjasama dengan perguruan tinggi perlu ditingkatkan agar dapat memanfaatkan potensi-potensi SDM yang ada di dalamnya. (8) Akuntabilitas Akuntabilitas atau pertanggungjawaban adalah pelaksanaan kegiatan penyuluhan pertanian harus dipikirkan, direncanakan, dan dilaksanakan sebaik-baiknya. Sistem pertanggungjawaban harus ada dan mengandung konsekuensikonsekuensi tertentu bagi penyuluh yang bersangkutan, berupa konsekuensi positif (penghargaan) ataupun negatif (hukuman). Prinsip akuntabilitas diperlukan sebagai penyeimbang prinsip otonomi penyuluhan yang sudah disarankan sebelumnya. Konsekuensinya: harus diciptakan sistem evaluasi dan akuntabilitas yang dapat dioperasikan secara tepat dan akurat. Setiap kegiatan penyuluhan harus jelas dan terukur tujuannya, biaya harus dipertimbangkan dengan hasil dan dampak penyuluhan. Indikator keberhasilan penyuluhan jangka pendek yang digunakan sebagai pertanggungjawaban kegiatan penyuluhan yang dilakukan. (9) Memuaskan Petani Petani merasa puas bila kegiatan penyuluhan memenuhi sebagian atau seluruh kebutuhan dan harapan petani, sehingga kegiatan penyuluhan harus direncanakan untuk memenuhi sebagian atau seluruh kebutuhan petani. Kepuasan petani terpenuhi apabila materi penyuluhan sesuai dengan kebutuhan, juga cara penyampaiannya mempengaruhi kepuasan petani. Konsekuensinya: pendidikan, pelatihan dan keteladanan yang tepat, dapat menghasilkan tenaga-tenaga penyuluh yang mampu menyuluh dengan sepe-

61

nuh hati. Fasilitas yang memadai di lembaga-lembaga penyuluhan pertanian seperti perpustakaan, internet dan jaringan kerjasama dengan instansi-instansi terkait membantu penyuluh untuk dapat memberi pelayanan penyuluhan yang sepenuh hati. Selain hal-hal tersebut di atas maka pada masa depan tugas penyuluh semakin penuh tantangan karena penyuluh pertanian tidak lagi berorientasi pada peningkatan produksi tetapi juga harus berorientasi untuk mencari komoditi yang menguntungkan petani di pasaran, dan menggalakkan teknologi yang terpilih. Seperti yang diamatkan Undang-undang nomer 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan pasal 4 menyebutkan bahwa fungsi sistem penyuluhan meliputi: (1) (2)

(3) (4)

(5)

(6) (7)

memfasilitasi proses pembelajaran pelaku utama dan pelaku usaha, mengupayakan kemudahan akses pelaku utama dan pelaku usaha ke sumber informasi, teknologi, teknologi, dan sumber daya lainnya agar mereka dapat mengembangkan usaha, meningkatkan kemampuan kepemimpinan, manajerial, dan kewirausahaan pelaku utama dan pelaku usaha, membantu pelaku utama dan pelaku usaha dalam menumbuhkankembangkan organisasinya menjadi organisasi ekonomi yang berdaya saing tinggi, produktif, menerapkan tata kelola berusaha yang baik, dan berkelanjutan, membantu menganalisis dan memecahkan masalah serta merespon peluang dan tantangan yang dihadapi pelaku utama dan pelaku usaha dalam mengelola usaha, menumbuhkan kesadaran pelaku utama dan pelaku usaha terhadap kelestarian fungsi lingkungan, dan melembagakan nilai-nilai budaya pembanguan pertanian, perikanan, dan kehutanan yang maju dan modern bagi pelaku utama secara berkelanjutan. Kebijakan Pemerintah Pertumbuhan produktivitas masyarakat Indonesia sebagai sumber pertum-

buhan ekonomi nasional masih kecil, tidak lebih dari 0,5 persen, bahkan dalam periode 1984-1990 mencapai angka nol atau negatif. Menurut Hasibuan (2001 :52-54), rendahnya produktivitas masyarakat Indonesia dalam pertumbuhan sosial ekonomi disebabkan pengutamaan modal sebagai sumber pertumbuhan ekonomi dan mengabaikan kompetensi manusia. Pengabaian manusia dalam pertumbuhan sosial ekonomi dapat dilihat dari sasaran operasional yang diupayakan dan cara-

62

cara pokok yang ditempuh selama ini. Sasaran operasional pokok yang dituju adalah pertumbuhan ekonomi, yaitu materi. Ada anggapan dan sekaligus harapan bahwa dengan pertumbuhan ekonomi, maka sasaran-sasaran yang menyangkut kemanusiaan dapat tercapai, namun kenyataannya belum seluruhnya harapan tersebut tercapai, masih banyak masyarakat Indonesia yang belum merasakan dampak pertumbuhan ekonomi, khususnya petani kecil dan masyarakat pinggiran. Sejak jaman penjajahan Belanda, yakni sekitar abad 19 sudah mulai diperkenalkan usaha peternakan sapi perah dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Pemerintah Belanda mendatangkan bibit sapi perah untuk diternakkan daerah perkebunan teh Pangalengan, dan daerah lainnya yang iklimnya ideal untuk budidaya ternak sapi perah. Saat pendudukan Jepang dan Perang Dunia II banyak perusahaan peternakan sapi perah yang berantakan, akibatnya mereka menutup usahanya, namun banyak sapi yang dipelihara atau berpindah tangan dan dimiliki oleh rakyat. Mulai saat itu usaha peternakan sapi perah dilakukan oleh rakyat. Berkat pembinaan terus menerus dari pemerintah pada saat itu maka budidaya sapi perah pada saat itu cukup berkembang dan selanjutnya peternak bergabung dalam wadah koperasi. Di beberapa daerah jalur persusuan mulai berdiri koperasi, di antaranya di Jawa Barat terdapat di Pangalengan dan Lembang, di Jawa Timur terdapat di Pujon, Tutur Nongkojajar, dan Grati, serta di Jawa Tengah terdapat di Boyolali. Kebijakan pemerintah yang mengundang investor asing untuk menanam modal dalam industri persusuan dalam bentuk Industri Pengolahan Susu (IPS) membuat masalah bagi usaha peternakan lokal. Hal ini disebabkan IPS lebih senang mengimpor bahan baku olahan dari pada membeli dari peternakan rakyat dengan alasan selain harganya lebih murah juga IPS mempunyai kewajiban menyerap bahan baku dari masing-masing negara investor bersangkutan. Pada saat itu IPS merupakan kerjasama dari berbagai negara yang tergabung dalam MNC (Multi National Corporation). Kondisi yang sangat memprihatinkan tersebut menarik perhatian Menteri Muda Urusan Koperasi dengan membentuk Tim Teknik Penelitian dan Pengem-

63

bangan Koperasi Susu. Tim tersebut mengadakan pertemuan dan negosiasi dan hasilnya pada tahun 1978 diputuskan bahwa koperasi dapat menjual susu ke PT. Food Spesialis Indonesia. Dengan adanya kesediaan dari IPS untuk membeli susu dari koperasi merupakan ”angin segar” bagi pengembangan pemasaran susu. Perhatian Menteri Muda Urusan Koperasi ini sekaligus juga merupakan awal kebangkitan koperasi persusuan di Indonesia, yang selanjutnya terbentuklah Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) di Jakarta. Undang-undang yang berkaitan dengan persusuan di Indonesia pertama kali dikeluarkan pada awal Orde Baru menjelang dilaksanakan Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I adalah Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 yang menggariskan Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembar Negara Tahun 1967 No.10) sebagai perubahan terhadap Veterinaire Politie yang dibuat pada jaman sebelum kemerdekaan. Memasuki PJP II dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam Undang-undang terdahulu. Terdapat beberapa kelemahan dalam Peraturan Perundang-Undangan Nomor 6, antara lain: (1) Wacana serta ruang lingkup Undang-undang No.6/1967 tidak atau belum mengatur tentang keterkaitan antara ketentuan sarana produksi (bibit, pakan, peralatan, dan lahan), teknik budidaya, pengolahan, pemasaran, kesehatan hewan, kesehatan masyarakat veteriner, perlindungan hewan, serta kerjasama usaha antara pengusaha besar, menengah dan kecil. (2) Undang-undang No 6/1967, belum merumuskan suatu suatu substansi yang mencerminkan azas pemandu seperti azas keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan YME, azas manfaat, azas keseimbangan-keserasian-keselarasan dalam kehidupan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan itu. (3) Undang-undang No.6/1967, belum menjelaskan dengan gamblang bagaimana pengaturan pembangunan berkesinambungan dan berwawasan lingkungan, pengembangan sumberdaya manusia yang bergerak di bidang peternakan. Selain hal-hal tersebut di atas, terdapat suatu wacana penting di dalam dunia global yang perlu dipertimbangkan, seperti: (a) perlunya mengantisipasi berbagai ketentuan impor dan ekpor komoditi peternakan dalam menghadapi

64

pengaruh globalisasi ekonomi, kebijakan deregulasi, pajak, dan peraturan lain yang berlaku di jaman liberalisasi ekonomi, serta (b) pengelolaan sektor pertanian (termasuk peternakan) mengalami pergeseran dari perencanaan terpusat ke peningkatan otonomi daerah, skala subsisten ke skala komersial, teknologi padat karya ke teknologi tepatguna dan ramah lingkungan, produksi komoditas primer ke produk yang mempunyai nilai tambah, perubahan orientasi pengembangan produksi komoditas dari substitusi impor ke promosi ekspor. Sangat lama Undang -undang No.6/1967 diberlakukan yaitu sekitar 25 tahun. Mengingat rentang waktu yang sangat lama ini maka sangat logis bila telah berubah keadaan peternakan di Indonesia serta struktur masyarakat peternaknya. Langkah perbaikan yang ditempuh pemerintah adalah pada tanggal 21 Juli 1982 menerbitkan SKB tiga menteri, dengan tujuan untuk menjamin dan terpeliharanya penyerapan Susu Segar Dalam Negeri (SSDN) oleh IPS. Ketiga menteri tersebut adalah Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian, serta Menteri Perdagangan dan Koperasi, dengan Nomer sebagai berikut: No.236/Kpd/VII/82, No.341/M/SK/7/ 1982, dan No.521/Kpts/Um/7/1982. Kebijakan tersebut berisi tentang pengembangan usaha peningkatan produksi, pengolahan, dan pemasaran susu di dalam negeri (SSDN). SKB ini terutama mengatur ketentuan impor susu sebagai bahan baku industri pengolahan susu dengan kewajiban menyerap SSDN melalui mekanisme bukti serap (BUSEP) dengan perhitungan rasio susu impor terhadap SSDN yang diserap IPS. SKB tersebut kemudian dimantapkan oleh Inpres RI No.2/1985 tentang Koordinasi Pembinaan dan Pengembangan Persusuan Nasional. Kebijakan tersebut menginstruksikan agar Industri Pengolahan Susu yang telah ada dapat menampung dan menyerap produksi susu segar dalam negeri. SKB ini sangat menolong peternak sapi perah dalam memasarkan produksinya. Dari tahun ke tahun perbandingan pemakaian SSDN dengan bahan susu impor terus membaik, meski cenderung fluktuatif. Pada tahun 1982 rasio pengguaan SSDN dengan susu impor 1:7, kemudian terus meningkat dan puncak rasio tertinggi dicapai pada tahun 1990, yaitu sekitar 1:53. Tujuh tahun kemudian yakni pada tahun setelah terjadi fluktuasi terus menerus, rasio menurun menjadi 1:1,6.

65

Usaha pemerintah dalam rangka meningkatkan produksi, populasi, dan mutu ternak serta pendapatan peternak maka dipandang perlu untuk memasukkan bibit ternak unggul dari luar negeri. Berkaitan dengan hal tersebut pemerintah mengeluarkan surat keputusan (SK) Menteri Pertanian No.750/Kpts/Um/10/1982 tanggal 12 oktober 1982. SK ini mengatur tentang persyaratan masuknya bibit ternak dari luar negeri seperti Australia, New Zealand, dan Amerika Serikat. Masalah kualitas dan kuantitas susu dan gizi masyarakatpun tidak luput dari perhatian pemerintah. Kebijakan yang mengatur tentang itu diatur melalui SK Menteri Pertanian No.751/Kpts/Um/10/1982, tentang pembinaan dan pengembangan usaha peningkatan produksi dalam negeri. Kebijakan pemerintah mengenai pembatasan investasi Industri Pengolahan Susu (IPS) tertuang dalam KEPPRES No.54 Tahun 1983. Dalam Keppres tersebut disebutkan bahwa investasi untuk industri susu bubuk dan susu kental manis sama sekali telah tertutup perijinannya kecuali apabila dilakukan terpadu dengan peternakan baik industri Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), dan tertutup bagi investor non PMA atau PMDN. Peluang yang masih terbuka adalah investasi baru bagi industri mentega, keju, dan yoghurt, selain pengembangan atau perluasan investasi dalam IPS yang telah ada, masih terbuka untuk industri untuk industri susu cair (dengan jenis produk susu segar tidak manis dan susu cair manis). Industri cream susu untuk PMDN dan Non PMA/PMDN, dan jenis industri susu lainnya (susu pasteurisasi) untuk investor Non PMA/PMDN. Penerapan kebijakan tersebut memberikan dampak positif bagi perkembangan industri persusuan nasional, namun juga menimbulkan dampak negatif bagi konsumen produk susu, sebab konsumen harus membayar harga produk susu jauh lebih tinggi dibandingkan harga tanpa adanya proteksi harga yang sesungguhnya harus dibayar. Mengingat kebijakan SKB tiga menteri pada tahun 1982 tentang penyerapan SSDN dipandang sebagai kebijakan non-tarif yang bertentangan dengan semangat perdagangan pasar bebas, maka melalui Inpres No. 4/1998, kebijakan tentang Koordinasi Pembinaan dan Pengembangan Persusuan Nasional, tidak berlaku lagi. Konsekwensi dari pencabutan keputusan tersebut maka penyerapan

66

SSDN oleh IPS ditentukan sepenuhnya oleh mekanisme pasar yang berlaku dan oleh tingkat kemampuan bersaing produk SSDN dengan bahan baku produk susu negara lain di pasar dunia. Pada tahun 1998, pemerintah juga membuat kebijakan dengan menerbitkan SKB tiga menteri yaitu Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Pertanian, serta Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil yang mulai diberlakukan pada tanggal 2 Februari 1998, yaitu Surat Keputusan No.24/MPP/Kep/1998; No.30/Kpts/TN.320/1998, dan No.01/SKB/M/1/ 1998 tanggal 22 Januari tentang pencabutan SKB tiga menteri yang telah diberlakukan pada tahun-tahun sebelumnya, yaitu Surat Keputusan No.236/Kpb/VII/82; No.341/M/SK/7/1982 dan No.521/Kpts /Um/7/1982. Pencabutan SKB sebelumnya dilakukan dalam rangka reformasi nasional yang bertujuan mendorong peningkatan efisiensi industri dalam negeri dan kelancaran arus barang. Sejalan dengan SKB tanggal 22 Januari 1998, pemerintah membuat kesepakatan dengan IMF antara lain dalam rangka penyehatan kerangka makro ekonomi dan restrukturisasi struktural. Kesepakatan ini antara lain memuat: (1) perdagangan domestik produk peranian sepenuhnya dideregulasi, (2) aturan pemasaran dihapus, sehingga perusahaan bebas memproduksi serta mengekspor sesuai permintaan pasar per 1 Februari 1998, dan (3) terhitung 1 Februari 1998, pajak bahan makanan akan dipotong menjadi maksimum lima persen poin, dan pajak produk pertanian bukan makanan dikurangi menjadi maksimum lima persen poin. Langkah pemerintah mempersiapkan industri persusuan dalam menghadapi pasar bebas tahun 2005, dengan cara mengadakan kesepakatan dengan pemerintah Selandia Baru sebagai pemegang INR (Initial Negotiating Right) yang dituangkan dalam Agreed Minute yang ditanda tangani pada tahun 1994. Isi kesepakan tersebut adalah: (1) kebijakan rasio masih dapat dilaksanakan sampai dengan tahun 2005 dengan ketentuan rasio susu tidak lebih rendah dari rasio susu bulan januari 1994, (2) harga Bukti Serap (Busep) tidak lebih rendah dari tingkat harga yang telah disepakati pada bulan Januari 1994, dan (3) Indonesia telah menetapkan suatu tarif kuota global untuk produk-produk yang tertuang dalam Agreed Minute sebesar 414.700 ton (setara susu segar) dengan tarif maksimum yang berlaku sebesar 40 persen.

67

Kebijakan pemerintah selanjutnya adalah penerapan bea masuk yang tinggi bagi produk bahan baku susu maupun bahan susu olahan hingga 30-40 persen. Hal ini merupakan bentuk perlindungan pemerintah terhadap industri persusuan dalam negeri. Saat ini pemerintah mengenakan tarif impor sebesar lima persen untuk bahan baku susu impor seperti anhydrous milk fat, bubuk susu skim dan laktase. Produk susu yang tidak dipekatkan dan tidak mengandung gula serta diawetkan, dihomogenisasi, dipeptonase dikenakan bea masuk sebesar 30 persen. Produk susu yang dipekatkan atau mengandung tambahan gula atau pemanis lainnya dikenakan bea masuk sebesar 40 persen.

Produktivitas Konsep produktivitas berkembang pertama kali dalam bidang niaga (bisnis) dan ekonomi klasik. Produksi dan produktivitas merupakan dua pengertian berbeda. Peningkatan “produksi” menunjukkan pertambahan hasil yang dicapai, sedangkan peningkatan “produktivitas” mengandung pengertian pertambahan hasil dan perbaikan cara pencapaian produksi. Peningkatan produksi tidak selalu disebabkan peningkatan produktivitas karena produksi dapat meningkat walau produktivitas tetap maupun menurun. Produktivitas memiliki dua dimensi, pertama, efektivitas yang mengarah kepada pencapaian unjuk kerja yang maksimal yaitu pencapaian target yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas, dan waktu. Kedua, efisiensi yang berkaitan dengan upaya membandingkan input dengan realisasi penggunaannya atau bagaimana pekerjaan tersebut dilaksanakan. Oleh karena itu, untuk melihat produktivitas bukan hanya dilihat dari kuantitas, tetapi juga kualitas produk yang dihasilkan, yang harus juga dipakai sebagai pertimbangan mengukur tingkat produktivitas. Bagi sektor publik produktivitas dimaknai sebagai memberi kepuasan kepada pelanggan terhadap pelayanan tanpa melakukan pemborosan. Produktivitas di sini diukur dari tingkat kepuasan pelanggan dan biaya yang dikeluarkan untuk mencapai kepuasan pelanggan. Balk (Kasim, 1993:18) menyatakan bahwa produktivitas organisasi pemerintah juga harus diukur dari segi kualitas hasil yang dipersem-

68

bahkan kepada masyarakat, yaitu sampai seberapa jauh hasil tersebut sesuai dengan standar yang diinginkan. Unsur standar kualitas tidak tercermin dari rasio output terhadap input organisasi pemerintah karena tidak ada harga pasarnya. Produktivitas menurut Dewan Produktivitas Nasional mempunyai pengertian sebagai sikap mental yang selalu berpandangan bahwa mutu kehidupan hari ini harus lebih baik dari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini, sedangkan menurut buku-buku teks tentang produktivitas, produktivitas mengandung arti sebagai perbandingan antara hasil yang dicapai (output) dengan keseluruhan sumber daya yang digunakan (input) (Umar, 2004:9). Produktivitas dapat diartikan sebagai keefektifan keseluruhan organisasi dan setiap hal yang memberikan kontribusi kepada hal itu mendapat penghargaan. Kontribusi yang amat potensial dari manusia bersumber pada kemampuan berfikir, merencanakan, melakukan penilaian, menjadi kreatif, dan mengendalikan perilaku (McGregor, 1988:83). Drucker (1982:56) menyatakan bahwa produktivitas adalah keseimbangan antar semua faktor produksi yang memberikan keluaran terbesar dengan usaha terkecil. Definisi lain dikemukakan oleh Mali (1978:6) bahwa produktivitas adalah suatu kegiatan dalam organisasi yang memanfaatkan sumber yang tersedia dan memanfaatkannya untuk menghasilkan produk atau menyempurnakan produk. Produktivitas adalah meningkatkan performan hasil dengan sedikit pengeluaran biaya. Schermerhorn (1984:17) menyatakan bahwa produktivitas merupakan hasil tindakan yang menghasilkan kualitas dan kuantitas kinerja tenaga kerja dengan betul-betul memanfaatkan sumberdaya yang ada. Produktivitas merupakan representasi kombinasi semua faktor produksi (Darwin, 2001:82) dan ini dipengaruhi oleh tingkat kompetensi dan motivasi.

Esensi dari peningkatan produktivitas

adalah bekerja dengan lebih cerdik bukan bekerja lebih keras. Hasil penilitian menunjukkan peningkatan produktivitas kerja dibatasi oleh kemampuan kerja seseorang sehingga perlu melakukan kerja dengan cerdik (Prokopenko,1987:4). Produktivitas berkaitan dengan input dan output. Input adalah semua sumberdaya (resources) meliputi sarana dan prasarana yang digunakan dalam proses produksi. Sumberdaya yang digunakan dalam perusahaan meliputi tenaga kerja (man), bahan-bahan baku (material), mesin (machine), metode kerja (method),

69

dan pemasaran (market). Output ialah hasil produksi. Hubungan input-output dapat mengukur produktivitas (Prawirosentono, 2002:109). Output lebih besar dari input menandakan proses produksi produktif dan efisien. Produktivitas tenaga kerja adalah perbandingan antara hasil yang dicapai dengan peran serta tenaga kerja per satuan waktu. Tenaga kerja produktif jika mampu menghasilkan keluaran lebih banyak dari tenaga kerja lain, untuk waktu yang sama. Produktivitas tenaga kerja= jumlah hasil produksi/satuan waktu. Produktivitas tenaga kerja dipengaruhi oleh faktor yang berhubungan dengan tenaga kerja maupun faktor-faktor lain, seperti: pendidikan, keterampilan, disiplin, sikap dan etika kerja, motivasi, gizi dan kesehatan, tingkat penghasilan, jaminan sosial, lingkungan dan iklim kerja, teknologi, sarana produksi, manajemen, kesempatan kerja, dan kesempatan berprestasi (Ravianto, 1985:4). Menurut Suwatno dan Rasto (2003:144), produktivitas seseorang dipengaruhi oleh besarnya pendapatan, jaminan sosial, pendidikan dan pelatihan, sikap, disiplin, kinerja, motivasi, kesehatan, lingkungan dan iklim kerja, hubungan insani, kepuasan, teknologi, dan kebijakan pemerintah. Pengukuran produktivitas dilakukan untuk mengukur hasil guna atau efisiensi kerja, misalnya dengan membandingkan suatu norma yang dipakai sebagai patokan. Produktivitas tenaga kerja berpengaruh besar terhadap total biaya perusahaan. Salah satu pendekatan mengukur hasil guna tenaga kerja adalah parameter indeks produktivitas (Soeharto, 1997:162-163), dirumuskan sebagai berikut: Jumlah jam-orang yang sesungguhnya digunakan untuk menyelesaikan Indeks pekerjaan tertentu Produktivitas = _______________________________________________ Jumlah jam-orang yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan identik pada kondisi standar Dari Gambar 2 terlihat ada tiga kekuatan internal yang berpengaruh terhadap produktivitas, yaitu: managerial processes, managerial leadership, dan motivation. Managerial processes, menyangkut merencanakan organisasi, mengintegrasikan, dan mengawasi segala kegiatan. Managerial leadership, berhubungan dengan tujuan perusahaan, penyediaan kondisi kerja, ruangan, peralatan yang mendorong pekerja bekerja giat dan semangat, serta motivation yaitu faktor-faktor

70

yang memotivasi karyawan bekerja lebih produktif, meningkatkan prestasi, mengurangi kesalahan, dan meningkatkan efisiensi. Beberapa peubah yang mempengaruhi produktivitas suatu usaha atau organisasi, terlihat pada Gambar 2. Government regulation

Motivation

Unions

PRODUCTIVITY Manajerial Processes

Innovation, technology, and capital investment

Managerial leadership

Gambar 2. Peubah yang Mempengaruhi Produktivitas (Alma, 2003:63) Tiga kekuatan eksternal yang mempengaruhi produktivitas, yaitu: Government regulation, Unions, dan Innovation. Government regulation, yaitu peraturanperaturan yang dibuat oleh pemerintah. Unions, yaitu organisasi karyawan, serikat pekerja. Upaya meningkatkan produktivitas perlu dijaga melalui hubungan harmonis antara manajemen dengan karyawan melalui serikat pekerja. Innovation, menyangkut penemuan baru dalam bidang teknologi. Menurut Drucker (1982: 56), peningkatan produktivitas dalam ekonomi modern tidak pernah dicapai dengan usaha otot, melainkan menggantinya dengan peralatan modern yakni tenaga mekanis sehingga membutuhkan kerja pengetahuan dan karyawan pengetahuan. Karyawan pengetahuan adalah karyawan dengan biaya tinggi. Balum optimalnya produktivitas peternak bukan disebabkan masalah insentif ekonomi saja tetapi juga karena kurangnya insentif politik yaitu tersumbatnya partisipasi peternak dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut pembangunan nasional pada umumnya, khususnya pembanguan pertanian, (Soetrisno, 1999:75).

Hal ini terjadi karena petani peternak belum memiliki

71

organisasi mandiri yang memiliki kekuatan politik untuk memperjuangkan kepentingan petani di forum nasional.

Selain itu rendahnya produktivitas juga

disebabkan karena adanya ketimpangan dalam pemilikan lahan. Untuk membuat paradigma itu dapat mencapai tujuannya maka dibutuhkan perubahan visi dan kebijaksanaan dari pemerintah dan aparat pelaksana dalam memahami proses-proses yang hakiki dari suatu pembangunan pertanian. Selama ini pemerintah dan aparat perencana, serta pelaksana pembangunan pertanian melihat bahwa petani Indonesia bukan merupakan informasi pembangunan. Oleh karena itu maka pembangunan pertanian peternakan di Indonesia selalu diartikan dengan sempit yakni suatu proses introduksi dan adopsi teknologi baru pada petani. Maka petani peternakpun dibanjiri dengan teknologi-teknologi baru yang pada akhirnya justru sering menambah beban finansial dan menambah resiko kegagalan. Padahal justru pengetahuan petani yang sederhana mampu menghasilkan panen yang lebih banyak tanpa biaya yang memberatkan petani. Alat-alat mekanis dan karyawan pengetahuan merupakan sumberdaya paling produktif jika ditempatkan dan diterapkan secara benar, tetapi juga paling mahal dan sama sekali tidak produktif jika salah penggunaannya. Menjadi manajer bagi karyawan dan kerja pengetahuan membutuhkan imajinasi dan keberanian luar biasa, serta kepemimpinan yang memiliki kemampuan tinggi. Hal ini karena karyawan pengetahuan, tidak mungkin produktif dalam suasana tertekan, serta hanya motivasi diri. Bagi karyawan tersebut bimbingan sendirilah yang membuatnya produktif. Secara kualitatif dapat dibuktikan bahwa terdapat hubungan yang erat antara lingkungan kerja yang sehat dan nyaman dengan ketenteraman kerja para karyawan. Lingkungan kerja yang baik meliputi keserasian antara manusia dengan mesin (peralatan), keseimbangan beban kerja, sikap kerja yang memadai, udara segar, dan imbalan jasa langsung maupun tidak langsung yang lebih baik (Prawirosentono, 2002:110).

METODE PENELITIAN Lokasi, Populasi, dan Sampel Lokasi Penelitian ini dilaksanakan bulan Juni sampai dengan Agustus 2007 berlokasi di Kecamatan Tutur Nongkojajar, Kabupaten Pasuruan, Propinsi Jawa Timur dan Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Lokasi dipilih dengan alasan: (1) Kecamatan Tutur Nongkojajar merupakan kecamatan yang paling banyak memiliki populasi sapi perah dan produksi susu yang tertinggi di Kabupaten Pasuruan dan Kecamatan Pangalengan merupakan kecamatan kedua yang memiliki populasi dan produksi susu setelah Lembang, di Kabupaten Bandung. (2) Kecamatan Tutur Nongkojajar, Kabupaten Pasuruan dan Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung memiliki syarat-syarat iklim yang sesuai untuk hidup dan berkembangnya sapi perah. (3) Secara umum, Kabupaten Pasuruan dengan Kabupaten Bandung merupakan dua daerah yang memiliki lingkungan sosial budaya yang berbeda.

Populasi dan Sampel Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2000: 55). Populasi penelitian adalah peternakan sapi perah rakyat, baik yang usaha tersebut menjadi mata pencaharian pokok maupun sampingan, yang menjadi anggota koperasi secara aktif, dan ada di Kecamatan Tutur Nongkojajar, Kabupaten Pasuruan, Propinsi Jawa Timur, serta Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat. Unit analisis penelitian adalah peternak sapi perah di Kecamatan Tutur Nongkojajar, Kabupaten Pasuruan dan Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Sampel adalah kelompok kecil yang diamati atau bagian kecil atau cuplikan dari populasi. Kesimpulan yang diperoleh dari sampel akan diberlakukan

85

untuk populasi, sehingga sampel yang diambil harus betul-betul representatif (Sugiyono, 2000: 56). Survei dilakukan dengan mengambil sampel dari populasi yang ada.

Penentuan sampel tiap grup dilakukan dengan sampling acak berstrata

(stratified random sampling). Pertama, menentukan jumlah Tempat Pelayanan Koperasi (TPK)/Tempat Penyetoran Susu (TPS) secara proporsional sebanyak 30 persen dari total TPK/TPS yang ada. Kedua, berdasarkan data yang ada di TPK/ TPS terpilih dilakukan pengacakan untuk pengambilan responden secara proporsional. KPSP ”Setia Kawan” memiliki Tempat Penyetoran Susu (TPS) sebanyak 13 buah yaitu Wonosari, Gendro, Tlogosari, Blarang, Kayukebek, Andonosari, Pungging, Tutur, Kalipucang, Sumberpitu, Ngembal, ngadirejo, dan Tempuran. Penentuan TPS terpilih sebanyak 30 persen dari TPS yang ada, terpilih secara acak empat TPS yaitu Tlogosari, Tutur, Wonosari, dan Blarang. Tahun 2006, jumlah anggota KPSP ”Setia Kawan” sebanyak 6.503 orang tetapi yang aktif mendapatkan pelayanan koperasi sebanyak 4.730 orang (75 persen). Berdasarkan data peternak yang aktif mendapatkan pelayanan koperasi, responden diambil sebanyak 125 orang secara acak proporsional yang tersebar di empat TPS. Sebaran sampel penelitian terlihat pada Tabel 3. Tabel 3. Sebaran Sampel Penelitian di Kecamatan Tutur Nongkojajar, Kabupaten Pasuruan No 1 2 3 4

Tempat Penampungan Susu Tlogosari Tutur Wonosari Blarang Jumlah

Jumlah Peternak (orang) 914 703 358 659

Jumlah Responden (orang) 43 34 17 31 125

KPBS Pangalengan memiliki 22 Tempat Pelayanan Koperasi (TPK) yaitu Pangkalan, Kebon Jambu, Lembangsari, Cipanas, Wates, Babakan Kiara, Pulosari, Wanasuka, Sukamenak, Los Cimaung, Goha, Citere, Lebak Saat, Bojong Waru, Norogtog, Ciawi, Pangalengan, Warnasari, Cipangisikan, Gunung Cupu, Cisangkuy, Cisabuk, Kertasari, Lodaya, Cihawuk, Cikembang, Citawa, Cibeureum,

86

Pintu dan Sukapura. Selanjutnya TPK dipilih secara acak sebanyak 30 persen, yaitu sembilan TPK yaitu: Wates, Cipanas, Lebak Saat, Wanasuka, Pangalengan, Gunung Cupu, Warnasari, Norogtog, dan Los Cimaung. Pada 31 Desember Tahun 2006, jumlah anggota KPBS Pangalengan sebanyak 7.100 orang tetapi yang aktif sebanyak 4.701 orang. Berdasarkan data peternak yang aktif mendapatkan pelayanan koperasi, sampel penelitian diambil sebanyak 125 orang secara acak proporsional yang tersebar di sembilan TPS. Sebaran sampel penelitian terlihat pada Tabel 4. Tabel 4. Sebaran Sampel penelitian di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung No 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Tempat Penampungan Susu

Jumlah Peternak (orang)

Wates Cipanas Lebak Saat Wanasuka, Pangalengan Gunung Cupu Norogtog Los Cimaung Warnasari

254 214 167 191 49 300 14 207 235 Jumlah

Jumlah Responden (orang)

19 16 13 15 4 23 1 16 18 125

Desain Penelitian Penelitian ini didesain sebagai penelitian survei bersifat deskriptif kualitatif dan kuantitatif berdasarkan fakta, data, dan informasi yang diperoleh selama penelitian terhadap rumah tangga peternak sapi perah, individu, dan kelompok maupun instansi yang terkait dengan usaha sapi perah. Penelitian ini berupaya untuk menjelaskan dan menguraikan fenomena yang diamati, sehingga mensyaratkan adanya hipotesis penelitian yang selanjutnya dibuktikan melalui penelitian. Gambaran fenomena kompetensi kewirausahaan dan produktivitas peternak sapi perah ini berusaha dijelaskan dengan melihat keterkaitan-keterkaitan karakteristik dan lingkungan usaha yang diduga memiliki hubungan dengan kompetensi kewirausahaan dan produktivitas.

87

Data dan Instrumentasi

Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sampel penelitian, meliputi: (1) Karakteristik peternak yang unsur-unsurnya adalah pendidikan formal peternak (th), jumlah ternak yang dipelihara (ST), jumlah tanggungan keluarga (orang), lama beternak (th), kemampuan mengakses informasi, dan motivasi peternak. (2) Lingkungan usaha yang meliputi: persepsi peternak tentang dukungan lingkungan usaha yaitu: ketersediaan sarana, prasarana, informasi, kelembagaan peternak (kelompok dan koperasi), kelembagaan sosial, kelembagaan penyuluhan, dan kebijakan pemerintah. (3) Kompetensi kewirausahaan peternak meliputi kompetensi teknis, dan manajerial. (4) Produktivitas peternak yang meliputi: produktivitas ternak (kualitas dan kuantitas susu yang dihasilkan, keadaan kesehatan ternak sapi perah yang dipelihara peternak, dan selang beranak) dan kreativitas dan keinovatifan peternak dalam menghasilkan produk olahan susu, pemanfaatan limbah ternak, juga pemanfaatan sumberdaya yang tersedia disekitar peternakan untuk mengatasi keterbatasan pakan hijauan Setelah data primer terkumpul, dilanjutkan dengan wawancara mendalam dengan beberapa tokoh kunci untuk mengetahui lebih dalam aspek-aspek yang berkaitan dengan usaha sapi perah meliputi kebijakan pemerintah, dukungan dan kerja sama dalam kelompok, kondisi sosial budaya masyarakat serta norma-norma yang disepakati masyarakat. Data sekunder diperoleh dari catatan-catatan yang ada pada dinas-dinas terkait, mitra kerja peternak, koperasi-koperasi yang melakukan kerjasama dengan

88

peternak sapi perah, maupun catatan pada kelompok peternak sapi perah, serta perpustakaan, internet dan sumber-sumber lain yang terkait dengan penelitian ini. Data sekunder yang diperlukan meliputi: (1) Keadaan umum daerah penelitian, seperti geografis, iklim, demografi, sosial ekonomi, budaya, politik, iptek, sarana dan prasarana yang tersedia. (2) Perundang-undangan dan kebijakan yang terkait dengan peternakan sapi perah dan persusuan.

Instrumentasi Validitas Instrumen Menurut Umar (2004:99), validitas menunjukkan tingkat mana suatu alat pengukur mengukur hal-hal yang diukur. Validitas alat pengukur data dapat dikelompokkan kedalam beberapa jenis, yakni: validitas konstruksi, validitas isi, validitas prediksi, dan validitas eksternal. Pada penelitian ini validitas diuji berdasarkan validitas konstruksi. (a) Validitas Konstruksi Suatu konsep yang diteliti hendaknya dapat diurai dengan jelas konstruksi/ kerangkanya. Kerangka suatu konsep hendaknya valid. Dengan mengetahui kerangka tersebut, peneliti dapat menyusun tolak ukur operasional konsep tersebut. Upaya mencari kerangka konsep ditempuh berbagai cara, yaitu: ™ Mencari definisi-definisi konsep yang dikemukakan para ahli dalam literatur. Sekiranya sudah ada definisi yang jelas dan dapat operasional dijadikan dasar penyusunan alat pengukur, maka definisi tersebut dapat langsung dipakai untuk menyusun pertanyaan dalam kuisioner. Bila definisi yang dikemukakan belum operasional, maka perlu dijabarkan lebih lanjut agar lebih operasional dan dapat dijadikan dasar penyusunan kuesioner. ™ Seandainya definisi konsep yang ingin diukur tidak diperoleh dari literatur, peneliti harus mendefinisikan sendiri konsep tersebut. Penyusunan dan mewujudkan definisi tersebut ke dalam bentuk yang operasional,

89

peneliti disarankan untuk mendiskusikan konsep tersebut dengan para ahli yang kompeten di bidang tersebut. ™ Jika para ahlipun tidak ditemukan, maka peneliti menanyakan definisi konsep yang akan diukur kepada calon responden, atau orang-orang yang memiliki karakteristik yang sama dengan responden. (b) Validitas Isi Validitas isi adalah suatu alat pengukur yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana isi alat ukur mewakili semua aspek yang dianggap sebagai aspek kerangka konsep. (c) Validitas Prediktif Alat ukur yang dibuat peneliti sering kali dimaksudkan memprediksi yang akan terjadi di masa yang datang. Suatu instrumen dikatakan valid jika hasil pengukuran sesuai dengan tingkah laku atau gejala yang diramalkan. (d) Validitas eksternal Sebuah instrumen dikatakan memiliki validitas eksternal apabila hasil penelitian tersebut dapat digeneralisasikan, atau dapat diterapkan pada kelompok atau lingkungan lain. Gay (Sevilla dkk, 1993:100), menyatakan bahwa instrumen yang memiliki validitas eksternal yang baik apabila hasil studi yang menegaskan hubungan sebab-akibat diharapkan dapat ditegaskan kembali pada kelompok, kondisi dan waktu yang lain, sepanjang kondisi-kondisinya sama dengan studi yang telah dilakukan sebelumnya. Menghasilkan instrumentasi valid dan dapat diterapkan di berbagai tempat dan waktu maka peneliti dapat mengadopsi alat ukur yang diciptakan ahlinya dan telah terbukti validitasnya. Langkah-langkah menguji validitas kuesioner : (a) Mendefinisikan secara operasional konsep yang diukur. (b) Melakukan uji coba kuesioner pada 30 responden yang memiliki karakteristik relatif sama dengan calon responden penelitian. (c) Menghitung nilai korelasi antara data pada masing-masing pernyataan dan skor total dengan memakai rumus korelasi product moment :

90

r=

n(∑ XY ) − (∑ X ∑ Y )

[n∑ X

2

][

− (∑ X ) n∑ Y 2 − (∑ Y ) 2

2

]

(d) Membandingkan r-hitung dengan r-tabel. Jika r-hitung lebih besar dari r-tabel pada taraf nyata 0,05, berarti instrumen yang dibuat memenuhi kriteria validitas. Tabel 5. Hasil Validitas Instrumentasi Penelitian Variabel Kompetensi Teknis Kompetensi Manajerial Informasi, Sarana dan Prasarana Dukungan Lembaga Peternak Dukungan Lembaga Sosial Dukungan Lembaga Penyuluhan Dukungan Pemerintah Produktivitas Peternak

Kisaran P-Value 0,39 – 0,86 0,37 – 0,73 0,65 – 0,87 0,75 – 0,92 0,80 – 0,90 0,77 – 0,90 0,83 – 0,94 0,90 – 0,99

Uji validitas instrumen yang dilakukan dalam penelitian ini adalah validitas konstruk yaitu dengan cara menyusun indikator pengukuran operasional berdasarkan kerangka teori konsep yang diukur yang dikemukakan oleh para pakar. Validitas konstruk dari sebuah instrumen ditentukan dengan jalan mengkorelasikan antara skor masing-masing item dengan total skor masing-masing item. Taraf kepercayaan yang digunakan dalam uji validitas item penelitian ini adalah 95 % dengan jumlah responden 30 (N=30) (Tabel 5).

Reliabilitas Instrumen Pengujian suatu hipotesis penelitian memerlukan data yang memiliki validitas dan reliabilitas tinggi. Pengujian reliabilitas instrumen diperlukan untuk mendapatkan data sesuai dengan tujuan pengukuran. Menurut Umar (2004: 108) reliabilitas adalah suatu nilai yang menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur dalam mengukur gejala yang sama. Reliabilitas kuesioner yang digunakan telah diuji dan dianalisis dengan metode Teknik dari Alpha Cronbach, dengan rumus :

91

r11 =

2 ⎛ k ⎞⎛⎜ ∑ σ b ⎟ 1− 2 ⎜ σt ⎝ k − 1 ⎠⎜⎝

⎞ ⎟ ⎟ ⎠

Keterangan : r11 = koefisien reliabilitas Alpha Cronbach k = banyaknya butir pertanyaan σ t2 = varian total

∑ σ b2 = jumlah varian butir Tabel 6. Koefisien Alpha Cronbach

Variabel Kompetensi Teknis Kompetensi Manajerial Informasi, Sarana dan Prasarana Dukungan Lembaga Peternak Dukungan Lembaga Sosial Dukungan Lembaga Penyuluhan Dukungan Pemerintah Produktivitas Peternak

Koefisien Alpha Cronbach 0,82 0,71 0,72 0,72 0,73 0,72 0,74 0,97

Skala alpha cronbach berkisar antara 0 sampai 1, dengan kriteria ukuran kemantapan dikelompokkan ke dalam lima kelompok, yaitu: (1) Nilai alpha cronbach 0,00 sampai dengan 0,20, berarti kurang reliabel, (2) Nilai alpha cronbach 0,21 sampai dengan 0,40, berarti agak reliabel, (3) Nilai alpha cronbach 0,41 sampai dengan 0,60, berarti cukup reliabel, (4) Nilai alpha cronbach 0,61 sampai dengan 0,80, berarti reliabel, (5) Nilai alpha cronbach 0,81 sampai dengan 1,00, berarti sangat reliabel. Hasil uji reliabilitas yang dilakukan, terlihat pada Tabel 6.

Definisi Operasional dan Pengukuran Peubah Menurut Umar (2003:149) dan Singarimbun dan Effendi (1982:23), definisi operasional adalah penentuan suatu konstruk sehingga menjadi peubah dan dapat diukur. Definisi operasional menjelaskan cara tertentu yang dapat digunakan oleh peneliti dalam mengoperasionalisasikan konstruk, sehingga memungkin-

92

kan bagi peneliti yang lain untuk melakukan replikasi pengukuran dengan cara yang sama, atau mencoba untuk mengembangkan cara pengukuran konstruk yang lebih baik. Berpedoman pada definisi operasional dalam suatu penelitian, seorang peneliti akan melakukan pengukuran suatu peubah. Definisi operasional dari peubah-peubah yang diteliti adalah sebagai berikut: (1) Karakteristik peternak adalah ciri-ciri yang melekat dalam diri seorang peternak yang tidak dipunyai orang lain dan yang membedakan seseorang dengan orang lain. Dalam penelitian ini karakteristik dilihat dari: (a) Pendidikan adalah jumlah tahun dalam proses belajar formal terakhir yang pernah ditempuh peternak sampai saat penelitian ini dilakukan, dalam stuan tahun. (b) Jumlah tanggungan keluarga adalah banyaknya orang yang kebutuhan hidupnya dipenuhi oleh responden secara tetap pada saat penelitian berlangsung, dalam satuan orang. (c) Jumlah ternak yang dipelihara adalah banyaknya sapi perah yang dipelihara oleh peternak diukur dalam satuan ternak (ST). - sapi betina umur 2 tahun atau lebih sama dengan 1 ST, - sapi jantan umur 2 tahun atau lebih sama dengan 1,3 ST, - sapi muda umur 1-2 tahun sama dengan 0,5 ST, - pedet sapihan sampai umur 1 tahun sama dengan 0,25 ST. (d) Lama beternak (th) adalah jumlah tahun peternak telah mengusahakan peternakannya sampai penelitian ini dilaksanakan. (e) Kemampuan mengakses informasi adalah keterampilan peternak mencari dan mendapatkan informasi terkait dengan usaha yang dijalani, diukur dari: (1) frekuensi peternak mengakses media masa (radio, televisi, koran, majalah, buku) untuk mencari informasi berkaitan dengan usaha ternak, dalam satu bulan, (2) frekuensi peternak mendatangi Dinas Peternakan setempat atau dinas terkait, dalam satu bulan, (3) frekuensi peternak mendatangi penyuluh, dalam satu bulan, (4) frekuensi peternak berdiskusi dengan peternak yang lebih maju membahas tentang usaha ternaknya, dalam

93

satu bulan, (5) frekuensi peternak mengikuti seminar hasil penelitian atau membaca jurnal hasil penelitian, dalam satu bulan, dan (6) frekuensi peternak mengakses internet untuk mencari informasi tentang usahanya, dalam satu bulan. (f) Motivasi peternak adalah dorongan untuk mengembangkan usaha peternakan baik yang berasal dari dalam (motivasi intrinsik) maupun yang dari luar (motivasi ekstrinsik). Motivasi intrinsik diukur melalui: (1) tingkat keinginan peternak belajar mandiri dari radio, televisi, koran, majalah, buku untuk mengembangkan kompetensi kewirausahaan dan produktivitas kerja peternak, (2) tingkat keinginan peternak mengetahui program atau informasi yang terkait dengan usaha meningkatkan produktivitas ternaknya, dan (3) tingkat keinginan peternak melakukan uji coba inovasi secara individu maupun berkelompok, (4) tingkat kepuasan peternak terhadap insentif yang diterima peternak dari koperasi, (5) tingkat kepuasan peternak terhadap pelayanan koperasi. Motivasi ekstrinsik diukur melalui tingkat perhatian kelembagaan peternak, kelembagaan sosial, kelembagaan penyuluhan dan pemerintah terhadap pengembangan motivasi peternak mengembangkan usaha peternakan sapi perah. Pengukuran indikator motivasi dengan skala ordinal yang mengacu pada prinsip skala Likert jenjang 5 (sangat tinggi=5, tinggi=4, sedang=3, rendah=2, dan sangat rendah=1) (Oppenheim, 1992:195). Untuk kepentingan pengujian secara statistik, data yang diperoleh ditransformasikan sehingga memiliki kisaran nilai 0–100. Rumus umum transformasi dalam penelitian ini mengacu pada pendapat Sumardjo (1999:113), sebagai berikut: Transformasi Indeks Indikator Jumlah skor yang dicapai – jumlah skor terkecil Indek transformasi = -------------------------------------------------------------X 100 Jumlah skor maksimum tiap indikator – jumlal skor terkecil

Transformasi Indeks Peubah Jumlah indek indikator tiap peubah Nilai Indek Peubah = ---------------------------------------------------- X 100 Jumlah total indek maksimum tiap peubah

94

Menurut Soemardjo (1999:113) transformasi digunakan untuk menghitung nilai keragaman yang terjadi dalam setiap peubah penelitian terutama peubah yang berskala ordinal. Setelah melalui proses transformasi maka skala yang semula ordinal diubah menjadi skala interval atau bahkan skala rasio sehingga layak diuji dengan menggunakan statistik parametrik. Peubah dan indikator karakteristik peternak sapi perah tersaji di Tabel 7. Tabel 7. Peubah, Indikator, dan Parameter Karakteristik Peternak Sapi Perah

Sub Peubah

Indikator

Parameter

(1) Pendidikan

Tingkat pendidikan formal yang telah diikuti peternak

Diukur berdasarkan jumlah tahun pendidikan formal

(2) Jumlah tanggungan keluarga

banyaknya orang yang kebutuhan hidupnya dipenuhi oleh responden

Diukur dari banyaknya orang yang kebutuhan hidupnya dipenuhi oleh responden

(3) Jumlah ternak yang dipelihara

banyaknya sapi perah yang dipelihara oleh peternak

Diukur dalam satuan ternak (ST)

(4) Lama beternak

(5) Kemampuan mengakses informasi

Jumlah tahun peternak mengusahakan peternakannya keterampilan peternak mencari dan mendapatkan informasi terkait dengan usaha yang dijalani

Diukur dari jumlah tahun mengusahakan peternakannya • • • • • •

(6) Motivasi peternak dalam mengembangkan usaha peternakan

frekwensi peternak mengakses media masa Frekuensi peternak mendatangi Dinas Peternakan, dinas terkait frekwensi peternak mendatangi penyuluh frekwensi peternak berdiskusi dengan peternak yang lebih maju frekwensi peternak ikut seminar atau membaca jurnal penelitian frekwensi peternak mengakses internet

Dorongan untuk mengem• tingkat keinginan peternak bangkan usaha peternakan baik belajar mandiri dari media massa yang berasal dari dalam • tingkat keinginan peternak me(motivasi intrinsik) maupun yang ngetahui program atau informasi berasal dari luar (motivasi meningkatkan produktivitas ekstrinsik) • tingkat keinginan peternak melakukan uji coba inovasi secara individu maupun berkelompok • tingkat kepuasan peternak terhadap insentif yang diterima • tingkat kepuasan peternak terhadap pelayanan koperasi. • tingkat perhatian kelompok, koperasi dan pemerintah terhadap pengembangan kompetensi kewi-

95

rausahaan, produktivitas peternak

(2) Kompetensi kewirausahaan adalah kemampuan cerdas untuk bersikap dan berproses menghasilkan produk yang berkualitas dan atau memberikan nilai tambah kepada produk sehingga memiliki nilai komersial tinggi tetapi tetap mengindahkan norma-norma kehidupan dalam masyarakat, yang meliputi: (a) Kompetensi teknis adalah kemampuan cerdas untuk melakukan budidaya sapi perah secara profesional, dengan menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki, serta bersikap percaya diri, sehingga menghasilkan produk susu yang berkualitas. Dalam penelitian ini kompetensi teknis dinilai dari aspek: bibit sapi perah, perkandangan, pakan, reproduksi, pemeliharaan, pemerahan, produktivitas ternak, penyakit, dan recording. (b) Kompetensi manajerial adalah kemampuan cerdas untuk bertindak menjalankan manajemen usaha sesuai dengan kaidah-kaidah manajemen profesional. Kompetensi manajerial dinilai dari aspek: (1) kemampuan melakukan perencanaan usaha, (2) kemampuan mengkoordinasi bidang-bidang yang menjadi tanggungjawabnya, (3) kemampuan melakukan pengawasan, (4) kemampuan melakukan evaluasi, (5) kemampuan berkomunikasi, (6) kemampuan bermitra, (7) kemampuan mengatasi kendala usaha, dan (8) memanfaatkan peluang usaha. Pengukuran indikator kompetensi kewirausahaan peternak dilakukan dengan skala ordinal yang mengacu pada prinsip skala Likert jenjang 5 (sangat tinggi=5, tinggi=4, sedang=3, rendah=2, dan sangat rendah=1) (Oppenheim, 1992:195). Selanjutnya untuk kepentingan pengujian secara statistik, data yang diperoleh ditransformasikan sehingga memiliki kisaran nilai 0–100. Rumus umum transformasi yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada pendapat Sumardjo (1999:113), sebagai berikut. Transformasi Indeks Indikator Jumlah skor yang dicapai – jumlah skor terkecil Indek transformasi = -------------------------------------------------------------X 100 Jumlah skor maksimum tiap indikator – jumlal skor terkecil

Keterangan : Selang nilai Indeks Transformasi Indikator 0 – 100

96

Transformasi Indeks Peubah Jumlah indek indikator tiap peubah Nilai Indek Peubah = ---------------------------------------------------- X 100 Jumlah total indek maksimum tiap peubah Peubah dan indikator kompetensi kewirausahaan tersaji pada Tabel 8. Tabel 8. Sub peubah, Indikator, dan Paratemer Kompetensi Kewirausahaan Sub peubah

Kompetensi Teknis

Indikator • Pengetahuan bibit sapi perah

Parameter - Pengetahuan tentang bibit sapi perah

- Pengetahuan dan keterampilan memilih bibit baik - Sikap peternak terhadap pemilihan bibit

• Perkandangan

• Pakan

- Pengetahuan fungsi kandang - Pengetahuan dan keterampilan tentang syarat kandang sehat - Pengetahuan dan keterampilan tentang jenis kandang - Pengetahuan jenis pakan hijauan - Pengetahuan dan keterampilan pemberian pakan hijauan - Sikap peternak mengatasi keterbatasan pakan hijauan - Pengetahuan dan keterampilan tentang pakan konsentrat - Pengetahuan dan keterampilan tentang gizi pakan - Sikap peternak untuk membuat konsentrat sendiri

• Reproduksi

- Pengetahuan dan keterampilan tentang reproduksi - Pengetahuan dan keterampilan mengawinkan ternak - Sikap peternak tentang meminimalkan selang beranak

• Pemeliharaan

-

• Pemerahan

-

Pengetahuan tentang fase pemeliharaan Pengetahuan dan keterampilan pemeliharaan tiap fase - Sikap peternak terhadap sapi perah yang dipeliharanya Pengetahuan dan keterampilan persiapan pemerahan - Pengetahuan, keterampilan memerah

97

• Produktivitas ternak

Sub peubah

- Pengetahuan dan keterampilan tentang deteksi birahi - Pengetahuan dan keterampilan tentang kebuntingan - Pengetahuan dan keterampilan proses kelaharian - Pengetahuan dan keterampilan untuk meng-culling sapi yang tidak produktif - Sikap peternak terhadap pemilihan ternak-ternak yang produktif

Tabel 8 (lanjutan) Indikator Parameter - Pengetahuan penyakit ternak • Penyakit

- Pengetahuan dan keterampilan tentang pencegahan penyakit - Pengetahuan dan keterampilan penanganan ternak sakit - Sikap peternak terhadap pengetahuan lokal untuk menyembuhkan penyakit ternak

Kompetensi Manajerial

• Recording.

- Pengetahuan tentang data yg perlu dimiliki peternak - Pengetahuan dan keterampilan melakukan recording - Sikap peternak terhadap pencatatan prestasi ternak

• Kemampuan melakukan perencanaan usaha

- Perencanaan produksi - Perencanaan modal - Perencanaan sarana produksi

• Kemampuan mengkoordinasi

- Pengaturan pemeliharaan - Pengaturan proses produksi - Pengaturan pemasaran

- Perencanaan pengembangan usaha - Sikap peternak terhadap usaha peternakan sapi perah

- Pengaturan penempatan tenaga kerja

• Kemampuan melakukan pengawasan

-

• Kemampuan melakukan evaluasi

-

Proses pemeliharaan Proses pemerahan Kualitas susu Sikap untuk menghasilkan produksi yang berkualitas (sehat, aman, halal)

Produktivitas ternak Permodalan Penilaian prestasi kerja peternak Penilaian terhadap kerjasama dengan mitra kerja - Sikap peternak terhadap hasil evaluasi

98

• Kemampuan berkomunikasi

• Kemampuan bermitra usaha

Sub peubah

- Di dalam komunitas peternak - Di luar komunitas peternak - Komunikasi dengan bawahan - Sikap peternak terhadap pentingnya berinteraksi dan komunikasi - Kerjasama dengan pemerintah - Kerjasama dengan sesama peternak

- Kerjasama dengan pemilik modal - Kerjasama dengan toko saprodi - Sikap peternak untuk bermitra usaha

Tabel 8 (lanjutan) Indikator Parameter Kemampuan dan sikap untuk mengatasi ken• Kemampuan dala modal mengatasi kendala - Kemampuan dan sikap untuk mengatasi usaha kendala sumber daya - Kemampuan dan sikap untuk mengatasi kendala sosial

- Kemampuan dan sikap untuk mengatasi kebijakan pemerintah

• Kemampuan memanfaatkan peluang usaha

- Kemampuan memasarkan susu secara mandiri - Kemampuan dan sikap memberi nilai tambah kepada susu yang dihasilkan

- Kemampuan dan sikap memanfaatkan

limbah

(3) Produktivitas peternak merupakan hasil kerja peternak dalam mengusahakan peternakannya sesuai dengan kompetensi yang dimiliki untuk menghasilkan produk-produk yang berkualitas sehingga diterima konsumen dan mampu memberikan input yang maksimal kepada peternak, dilihat dari: (a) produktivitas ternak dilihat dari aspek kuantitas dan kualitas susu yang dihasilkan, kesehatan sapi yang dipelihara, selang beranak, dan (b) kreativitas dan keinovatifan peternak memberi nilai tambah susu ataupun limbah sapi perah dan pembuatan pakan hijauan awetan. Pengukuran indikator produktivitas peternak dilakukan dengan skala ordinal yang mengacu pada prinsip skala Likert jenjang 5 (sangat tinggi=5, tinggi=4, sedang=3, rendah=2, dan sangat rendah=1) (Oppenheim, 1992:195). Selanjutnya untuk kepentingan pengujian statistik, data yang diperoleh ditransformasikan sehingga memiliki kisaran nilai 0– 100. Rumus umum transformasi yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada pendapat Sumardjo (1999:113).

99

Transformasi Indeks Indikator Jumlah skor yang dicapai – jumlah skor terkecil Indek transformasi = -------------------------------------------------------------X 100 Jumlah skor maksimum tiap indikator – jumlal skor terkecil

Transformasi Indeks Peubah Jumlah indek indikator tiap peubah Nilai Indek Peubah = ---------------------------------------------------- X 100 Jumlah total indek maksimum tiap peubah Tabel 9. Sub Peubah, Indikator dan Parameter Produktivitas Peternak Sub Peubah

Indikator Kualitas dan kuantitas susu yang dihasilkan

Produktivitas Ternak

Kreativitas dan Keinovatifan peternak

Parameter - Produksi susu tiap ekor/hari - Harga susu

Kesehatan ternak

- Jumlah ternak yang sakit dalam satu tahun terakhir - Usaha pencegahan dan pengobatan penyakit

Selang beranak

- Jarak kelahiran anak - Produk olahan susu yang dihasilkan

- Penanganan dan pemanfaatan limbah sapi - Pembuatan pakan hijauan awetan

Penilaian produktivitas pada masing-masing indikator adalah sebagai berikut: (a) Penilaian produktivitas yang berkaitan dengan kualitas dan kuantitas susu, - nilai 5: bila sapi perah mampu menghasilkan susu diatas 15 liter/hari dengan harga susu minimal Rp 2.400,00, - nilai 4: bila sapi perah menghasilkan susu 13-15 liter/hari dengan harga susu minimal Rp 2.400,00, - nilai 3: bila sapi perah menghasilkan susu 10-12,5 liter/hari dengan harga susu minimal Rp 2.100,00, - nilai 2: bila sapi perah menghasilkan susu 7,5 – 9,5 liter/hari dengan harga susu minimal Rp 2.100,00, - nilai 1: bila sapi perah menghasilkan susu kurang dari 7,5 liter/hari dengan harga susu minimal Rp 2.100,00. (b) Penilaian produktivitas yang berkaitan dengan kesehatan ternak,

100

(1) Rata-rata jumlah ternak yang sakit dalam setiap satu tahun. - nilai 5: bila rata-rata jumlah ternak yang sakit sebanyak 20 persen dan penyakit dapat disembuhkan, - nilai 4: bila rata-rata jumlah ternak yang sakit sebanyak 40 persen dan penyakit dapat disembuhkan, - nilai 3: bila rata-rata jumlah ternak yang sakit sebanyak 60 persen dan penyakit dapat disembuhkan, - nilai 2: bila rata-rata jumlah ternak yang sakit sebanyak 80 persen dan penyakit dapat disembuhkan, - nilai 1: bila rata-rata semua ternak yang dipelihara sakit semua tetapi penyakit dapat disembuhkan. (2) Usaha pencegahan terhadap penyakit, - nilai 5: bila peternak melakukan vaksinasi terhadap ternaknya secara teratur, sapi dimandikan sebelum diperah, peralatan kandang maupun pemerahan dalam keadaan bersih dan kandang selalu dalam keadaan bersih, - nilai 4: bila peternak melakukan vaksinasi terhadap ternaknya secara teratur, sapi dimandikan sebelum diperah, peralatan kandang maupun pemerahan dalam keadaan bersih tetapi kandang kurang bersih, - nilai 3: bila peternak melakukan vaksinasi terhadap ternaknya secara teratur, sapi dimandikan sebelum diperah, peralatan kandang dan pemerahan serta kandang kurang bersih, - nilai 2: bila peternak melakukan vaksinasi terhadap ternaknya secara teratur, sapi dibersihkan ambingnya sebelum diperah, peralatan kandang dan pemerahan serta kandang kurang bersih. - nilai 1: bila peternak tidak pernah melakukan vaksinasi terhadap ternaknya, sapi dibersihkan ambingnya bila akan diperah, peralatan kandang dan pemerahan serta kandang kurang bersih. (c) Penilaian produktivitas yang berkaitan dengan selang beranak, - nilai 5: bila selang beranak sapi perah ≤13 bulan,

101

- nilai 4: selang beranak sapi perah >13-15 bulan, - nilai 3: selang beranak sapi perah >15-17 bulan, - nilai 2: selang beranak sapi perah >17-19 bulan, - nilai 1: selang beranak sapi perah >19 bulan. (d) Penilaian produktivitas yang berkaitan dengan keinovatifan peternak, (1) Produk olahan susu - nilai 5: bila peternak membuat produk makanan berbahan dasar susu untuk dijual, - nilai 4: bila peternak dapat membuat produk makanan berbahan dasar susu untuk dikonsumsi sendiri, - nilai 3: bila peternak mengetahui cara-cara membuat produk makanan berbahan dasar susu, - nilai 2: bila peternak pernah mendengar cara-cara membuat produk makanan berbahan dasar susu, - nilai 1: bila peternak tidak mengetahui cara-cara membuat produk makanan berbahan dasar susu. (2) Pemanfaatan limbah sapi, -

nilai 5: bila peternak telah memanfaatkan limbah kotoran ternak untuk dapat menghasilkan uang, - nilai 4: bila peternak telah memanfaatkan limbah kotoran ternak untuk menghemat pengeluaran rumah tangga, misal: kotoran dibuat untuk pupuk tanaman pertaniannya, - nilai 3: bila peternak mengetahui tentang manfaat limbah kotoran untuk pupuk, bio gas, bio arang budidaya cacing, dan lainlain, - nilai 2: bila peternak pernah mendengar tentang memanfaatkan limbah kotoran ternak untuk pupuk, bio gas, bio arang, budidaya cacing, dan lain-lain,

102

- nilai 1: bila peternak tidak pernah mendengar tentang memanfaatkan limbah kotoran ternak untuk pupuk, bio gas, bio arang, budidaya cacing, dan lain-lain. (3) Pembuatan pakan hijauan awetan, - nilai 5: bila peternak selalu membuat dan memanfaatkan pakan hijauan awetan pada saat musim kemarau, - nilai 4: bila peternak kadang-kadang (tidak selalu) membuat dan memanfaatkan pakan hijauan awetan pada saat musim kemarau, - nilai 3: bila peternak pernah membuat dan memanfaatkan pakan hijauan awetan pada saat musim kemarau, - nilai 2: bila peternak mengetahui cara membuat pakan hijauan awetan, - nilai 1: bila peternak tidak mengetahui cara membuat dan pakan hijauan awetan. (4) Lingkungan usaha adalah faktor-faktor di sekitar peternak yang tidak dapat dikendalikan peternak yang mendukung kelancaran usaha peternakan sapi perah, dilihat dari: ketersediaan informasi, sarana, prasarana usaha, kelembagaan peternak, kelembagaan sosial, kelembagaan penyuluh, dan kebijakan pemerintah. (a) Sarana dan prasarana usaha adalah dukungan unsur-unsur yang diperlukan untuk kelancaran usaha beternak sapi perah, dilihat dari: (a) ketersediaan sarana produksi, (b) ketersediaan prasarana, (c) tersedianya Pusat Kesehatan Hewan, (d) ketersediaan pusat Inseminasi Buatan, (e) ketersediaan lembaga keuangan, (f) ketersediaan lembaga pemasaran. (1) Ketersediaan sarana produksi adalah banyaknya unsur-unsur yang dibutuhkan peternak dalam budidaya sapi perah, dilihat dari: (a) luas lahan untuk menanam hijauan pakan, (b) ketersediaan hijauan pakan disekitar usaha ternak, (c) jumlah toko/penyalur pakan dan obat-obatan, (d) ketersediaan pakan konsentrat, dan (e) keterjangkauan harga. (2) Ketersediaan prasarana produksi adalah keadaan unsur-unsur yang mendukung peternak menjalankan usahanya, yaitu: (a) kondisi jalan,

103

(b) jenis, kondisi, dan kecukupan alat transportasi yang dipunyai individu/kelompok /koperasi, dan (c) jenis dan kondisi peralatan yang digunakan individu /kelompok/koperasi untuk memasarkan produknya, (d) ketersediaan Bahan Bakar Minyak(BBM). (3) Ketersediaan informasi adalah banyaknya pesan-pesan yang berkaitan dengan budidaya dan pengembangan usaha sapi perah yang tersedia dan dapat diakses peternak untuk meningkatkan kompetensi kewirausahaan dan produktivitas peternak, yaitu: (a) tingkat kemudahan memperoleh informasi, (b) kesesuaian materi pesan dengan usaha peternakan, dan (c) kedekatan sumber informasi dengan peternak. (4) Tersedianya Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan) adalah ketersediaan sarana kesehatan dan besarnya dukungan tenaga medis peternakan untuk mendukung usaha peternakan sapi perah di lingkungan kerjanya, dilihat dari: (a) jarak peternakan dengan Puskeswan, (b) jumlah tenaga medis, (c) ketersediaan obat, vaksinasi dan alat medis, dan (d) kecepatan merespon keluhan peternak. (5) Ketersediaan pusat Inseminasi Buatan adalah ketersediaan sarana IB dan besarnya dukungan tenaga inseminator untuk mendukung usaha peternakan sapi perah di lingkungan kerjanya, dilihat dari: (a) jarak peternakan dengan pusat IB, (b) jumlah inseminator, (c) ketersediaan semen, (d) keterampilan inseminator, dan (e) kecepatan inseminator merespon laporan peternak. (6) Ketersediaan lembaga keuangan adalah besarnya dukungan Bank dan lembaga ekonomi lainnya dalam mendukung permodalan usaha peternakan sapi perah di lingkungan kerjanya, dilihat dari: (a) kemudahan memperoleh kredit, (b) kemudahan birokrasi, (c) keringanan dalam pengembalian pinjaman. (7) Ketersediaan lembaga pemasaran adalah upaya pemerintah dalam menyediakan sarana, prasarana dan informasi pasar yang dapat dipergunakan oleh peternak sapi perah dalam memperkenalkan dan memasarkan produk peternakan sapi perah kepada masyarakat, dilihat dari:

104

(a) banyaknya saluran pemasaran yang digunakan peternak untuk memasarkan produk, (b) upaya promosi yang dilakukan peternak dan pemerintah, dan (c) informasi pasar tentang jumlah kebutuhan susu. (b) Kelembagaan peternak adalah besarnya dukungan/peran koperasi dan kelompok peternak kepada usaha peternakan sapi perah, diukur dari: (a) suasana atau hubungan kerja di koperasi dan kelompok peternak, (b) keaktifan individu peternak dalam kegiatan berkoperasi dan berkelompok, (c) kesesuaian tujuan individu peternak dengan tujuan koperasi dan kelompok, (d) kejelasan struktur organisasi, (e) kejelasan tugas masing-masing anggota, (f) frekuensi pembinaan dan pengembangan koperasi dan kelompok kepada anggota, (g) kesesuaian program yang telah, sedang dan akan dijalankan oleh koperasi dan kelompok terhadap tujuan yang disepakati, (h) kemampuan komunikasi antar anggota koperasi dan kelompok, dan (i) kepatuhan individu terhadap peraturan koperasi dan kelompok. (c) Kelembagaan sosial adalah besarnya dukungan masyarakat dan normanorma terhadap usaha peternakan sapi perah, dilihat dari: (a) tingkat pengetahuan masyarakat setempat yang dapat digunakan untuk mendukung usaha peternakan, (b) tingkat dukungan tradisi/kebiasaan setempat yang memberikan kebebasan warganya dalam menambah pengetahuan berkaitan dengan usahanya, dan (c) tingkat dukungan pemimpin informal dalam mengembangkan produktivitas kerja dan kreativitas warganya. (d) Kelembagaan penyuluhan adalah besarnya dukungan lembaga penyuluhan kepada usaha peternakan sapi perah, dilihat dari: (a) proses pemberian penyuluhan, (b) tingkat dukungan dalam mencarikan mitra usaha, (c) tingkat dukungan dalam meningkatkan pendapatan keluarga peternak, (d) tingkat dukungan terhadap pengembangan pengetahuan masyarakat setempat, dan (e) tingkat dukungan berkaitan dengan advokasi terhadap kebijakan pemerintah tentang Persusuan di Indonesia. (e) Kebijakan Pemerintah adalah besarnya dukungan peraturan dan ketentuan yang ditetapkan oleh dinas-dinas terkait di daerah dan pusat kepada usaha peternakan sapi perah, diukur dari: (a) tingkat dukungan pemerintah pusat

105

dan daerah pada penyediaan informasi dan mudah diakses, (b) tingkat dukungan pemerintah pusat dan daerah pada pengadaan sarana dan prasarana produksi, (c) tingkat dukungan pemerintah pusat dan daerah terhadap pemasaran susu dan hasil olahannya, (d) tingkat transparasi penentuan harga jual dan kebijakan impor susu, dan (e) tingkat realisasi program. Pengukuran indikator lingkungan usaha dilakukan dengan skala ordinal yang mengacu pada prinsip skala Likert jenjang 5 (sangat tinggi=5, tinggi=4, sedang=3, rendah=2, dan sangat rendah=1) (Oppenheim, 1992:195). Untuk kepentingan pengujian statistik, data yang diperoleh ditransformasikan sehingga memiliki kisaran nilai 0 – 100. Rumus umum transformasi yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pendapat Sumardjo (1999:113), sebagai berikut: Transformasi Indeks Indikator Jumlah skor yang dicapai – jumlah skor terkecil Indek transformasi = -------------------------------------------------------------X 100 Jumlah skor maksimum tiap indikator – jumlal skor terkecil

Transformasi Indeks Peubah Jumlah indek indikator tiap peubah Nilai Indek Peubah = ---------------------------------------------------- X 100 Jumlah total indek maksimum tiap peubah Peubah, indikator, dan parameter lingkungan usaha sapi perah tersaji pada Tabel 10. Tabel 10. Sub Peubah, Indikator dan Parameter Lingkungan Usaha Peternak Sub Peubah

Indikator Sarana dan prasarana • ketersediaan usaha sarana produksi

• ketersediaan prasarana

Parameter - luas lahan untuk menanam hijauan pakan - ketersediaan hijauan pakan disekitar usaha - jumlah toko/penyalur pakan dan obat-obatan - ketersediaan pakan konsentrat - keterjangkauan harga - kondisi jalan - jenis, kondisi, dan kecukupan transportasi - jenis dan kondisi peralatan yang digunakan untuk memasarkan produk - ketersediaan Bahan Bakar Minyak (BBM)

• tersedianya Pusat - jarak peternakan dengan Puskeswan Kesehatan Hewan - jumlah tenaga medis

- ketersediaan obat, vaksinasi, alat medis - kecepatan merespon keluhan peternak.

106

• ketersediaan pusat Inseminasi Buatan

Sub Peubah

-

jarak peternakan dengan pusat IB jumlah inseminator ketersediaan semen keterampilan inseminator kecepatan inseminator merespon laporan peternak.

Tabel 10 (lanjutan) Indikator Parameter - kemudahan memperoleh kredit • ketersediaan lem- kemudahan birokrasi baga keuangan

- keringanan pengembalian pinjaman.

• ketersediaan lembaga pemasaran

- banyaknya saluran pemasaran yang digunakan peternak - upaya promosi - informasi pasar.

Kelembagaan peternak

Dukungan koperasi dan kelompok peternak kepada usaha peternakan sapi perah

- hubungan kerja di koperasi dan kelompok peternak - keaktifan peternak dalam kegiatan - kesesuaian tujuan peternak dengan tujuan koperasi dan kelompok - kejelasan struktur organisasi - kejelasan tugas anggota - frekuwensi pembinaan dan pengembangan anggota - kesesuaian program yang telah, sedang dan akan dijalankan dengan - tujuan yang telah disepakati - kemampuan komunikasi antar anggota - kepatuhan individu terhadap peraturan

Kelembagaan sosial

Dukungan masyarakat dan normanorma terhadap usaha sapi perah

- tingkat pengetahuan masyarakat setempat mendukung usaha peternakan - tingkat dukungan tradisi yang memberi-

Dukungan lembaga penyuluhan kepada usaha peternakan sapi perah

- proses pemberian penyuluhan - tingkat dukungan mencarikan mitra usaha - tingkat dukungan dalam meningkatkan pendapatan peternak dan keluarganya

Dukungan peraturan dan ketentuan yang ditetapkan dinas-dinas terkait baik di daerah maupun pusat kepada usaha sapi perah

- tingkat dukungan berkaitan dengan advokasi terhadap kebijakan pemerintah - penyediaan informasi, sarana, dan prasarana produksi - pemasaran produk susu dan olahannya - tingkat transparasi penentuan harga jual dan kebijakan impor susu - tingkat realisasi program-program pemerintah pusat dan daerah.

Kelembagaan penyuluhan

Kebijakan Pemerintah

kan kebebasan warga menambah pengetahuan

- tingkat dukungan pemimpin informal

- tingkat dukungan pengembangan pengetahuan

107

Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2007. Data yang dihimpun dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder yang diperoleh dengan menggunakan beberapa teknik, yaitu: (1) Wawancara, yaitu menggunakan kuesioner yang telah disediakan sebelumnya terhadap responden terpilih. (2) Observasi/pengamatan langsung terhadap kegiatan peternak khususnya yang berkaitan dengan kegiatan budidaya ternak dan manajemen usaha peternak dan dampaknya pada produktivitas kerja (3) Dokumentasi, yaitu mengumpulkan data-data sekunder yang tersedia pada instansi-instansi yang terkait dengan penelitian, perpustakaan, buku, media massa ataupun internet dan media lainnya. (4) Wawancara mendalam terhadap tokoh-tokoh masyarakat atau responden terpilih yang dianggap mampu memberikan penjelasan secara mendalam.

Analisis Data Dalam konteks penelitian, analisis merupakan suatu proses kerja dari rentetan tahapan pekerjaan sebelum penelitian didokumentasikan melalui tahapan penulisan laporan. Menurut Purnawan (Umar, 2004:140-141), analisis dapat dilihat dari perspektif mekanis dan substansif , sebagai berikut: (1) Secara Mekanis, dalam tahapan analisis akan terjadi :

¾ Perubahan angka dan catatan hasil pengumpulan data menjadi informasi yang lebih mudah dipahami,

¾ Penggunaan alat analisis bermanfaat untuk membuktikan hipotesis ataupun pendiskripsian peubah penelitian secara benar, bukan kebetulan,

108

¾ Interpretasi atas berbagai informasi yang diperoleh, dalam kerangka yang lebih luas, atau inferensi ke populasi, untuk menjawab pertanyaanpertanyaan yang muncul.

(2) Secara substansif, dalam tahapan analisis dilakukan proses:

¾ Membandingkan dan mentes teori atau konsep dengan informasi yang ditemukan,

¾ Mencari dan menemukan adanya konsep baru dari data yang dikumpulkan, ¾ Mencari penjelasan apakah konsep baru ini berlaku umum atau baru terjadi bila ada prakondisi tertentu. Jenis analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Untuk mengkaji kompetensi kewirausahaan dan produkstivitas peternak dalam menjalankan usahanya digunakan analisis deskriptif kualitatif. (2) Untuk menganalisis hubungan antara kompetensi kewirausahaan dengan produktivitas peternak digunakan analisis korelasi Product Moment (rxy) dengan rumus: rxy =

N ∑ XY − ∑ X ∑ Y

[(N ∑ X ) − (∑ Y )][N ∑ Y − (∑ Y ) ] 2

2

2

2

(3) Untuk menganalisis pengaruh kompetensi kewirausahaan terhadap produktivitas peternak sapi perah digunakan metode regresi linier berganda, dengan rumus : Y = b0 + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + ...... + bnXn + e Keterangan : Y = peubah terikat b0 = intersep b1 – bn = koefisien regresi X1 – Xn = peubah bebas e = error

109

(4) Untuk menganalisis besarnya pengaruh langsung, tidak langsung, bersamasama dan pengaruh di luar model digunakan metode Analisis Jalur (Path

Analysis) dengan rumus : rij = pij + ∑k pij rjk Keterangan : r = koefisien korelasi p = koefisien jalur ijk = variabel i, j, dan k

Selanjutnya menghitung besarnya koefisien jalur digunakan matriks berikut : r1j

1

r2j

r12

r13

r14 ........ r1j

pi1

r21 1

r23

r24 ........ r2j

pi2

r3j

r31 r32

1

r34 ........ r3j

pi3

.

...........................................

.

.

............................................

.

rij

ri1 ri2

pij

ri3

ri4

...........

rij

Besarnya persentase pengaruh langsung masing-masing peubah bebas (X) terhadap peubah terikat (Y) dapat dihitung dengan mengkuadratkan nilai koefisien jalur lalu dikalikan 100 % untuk masing-masing peubah. Selanjutnya untuk menghitung besarnya pengaruh bersama-sama peubah bebas (X) terhadap peubah terikat (Y) dihitung dengan rumus : R2j123 ...i = pj.1 r1.j + pi.2 r2.j + ..... + pi.j ri.j Untuk menghitung besarnya pengaruh dari luar model, digunakan rumus : Pie = 1 − R 2j123.....i Hasil perhitungan Pie dikuadratkan dan dikalikan 100%, maka diperoleh besarnya persentase pengaruh di luar model.

Prosedur Pengujian Hipotesis Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap pertanyaan penelitian (research questions) atau pernyataan tujuan penelitian. Dikatakan sebagai jawaban sementara disebabkan jawaban yang diberikan didasarkan pada teori

110

yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empirik yang diperoleh melalui pengumpulan data di lapangan. Data yang telah diperoleh selanjutnya dianalisis untuk mengetahui hubungan peubah bebas dengan peubah terikat. Analisis ini menggunakan Analisis Korelasi Product Moment (rxy), dengan langkah-langkah sebagai berikut :

(1) Hipotesis H0 : Tidak ada hubungan nyata dan positif antara peubah bebas (X) dengan peubah tidak bebas (Y), (ρ = 0) Ha : Ada hubungan yang nyata dan positif antara peubah bebas (X) dengan peubah tidak bebas (Y), (ρ ≠ 0) (2) Taraf signifikansi, 0,05 (ά = 0,05) dan 0,01 (ά = 0,01) (3) Kriteria pengujian Jika nilai probabilitas ≥ nilai ά 0,05 atau jika r hitung ≥ r tabel maka H0 ditolak, dan Jika nilai probabilitas < nilai ά 0,05 atau jika r hitung < r tabel maka H0 diterima. (4) Mencari nilai koefisien korelasi Product Moment (rxy) dengan rumus : rxy =

N ∑ XY − ∑ X ∑ Y

[(N ∑ X ) − (∑ Y )][N ∑ Y − (∑ Y ) ] 2

2

2

2

Keterangan : X = peubah bebas Y = peubah terikat N = banyaknya sampel (5) Pengambilan keputusan apakah H0 diterima atau ditolak dengan berdasarkan pada kriteria pengujian sebelumnya (langkah ke 3). Peubah bebas yang memiliki hubungan nyata dengan peubah tidak bebas selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis regresi berganda. Untuk menganalisis besarnya pengaruh langsung, tidak langsung, bersama-sama dan pengaruh di luar model digunakan metode Analisis Jalur (Path Analysis)

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

Kerangka Berpikir Upaya menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas dan kompetitif demi kemajuan sebuah bangsa memerlukan pendidikan yang memadai dan asupan makanan bergizi, khususnya kecukupan protein hewani. Susu sebagai salah satu pangan bergizi lengkap sangat dibutuhkan oleh Bangsa Indonesia yang sedang membangun, namun hingga saat ini pemerintah belum mampu mencukupi kebutuhan susu yang dibutuhkan oleh penduduk Indonesia. Upaya pemerintah mencukupinya dengan melakukan impor susu dari beberapa negara seperti Australia dan New Zealand. Impor ini menyebabkan devisa negara berkurang karena harga susu impor lebih mahal dibandingkan dengan harga susu lokal. Selain itu, impor susu dapat mematikan usaha sapi perah di Indonesia yang mayoritas diusahakan oleh peternak rakyat dengan modal terbatas. Selama ini kebijakan pemerintah lebih menekankan pada bagaimana mencukupi kebutuhan susu secara cepat dan kurang memperhatikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekurangan susu tetapi kurang menyentuh akar permasalahan sebenarnya. Permasalahan mendasar yang menyebabkan kekurangan pasokan susu bagi kebutuhan masyarakat Indonesia karena populasi ternak sapi perah masih kurang dan produktivitas ternak sapi perah di Indonesia belum optimal karena sapi perah belum diusahakan berdasarkan falsafah agribisnis. Selama ini usaha sapi perah diusahakan sebagai mix farming dengan usaha tani lainnya dan bersifat subsisten.

Keadaan ini menyebabkan sapi perah belum

diusahakan secara profesional yang bertujuan menghasilkan produk-produk berkualitas untuk mendapatkan keuntungan. Usaha semacam ini menyebabkan peternakan sapi perah dari tahun ke tahun tidak mengalami perubahan baik dalam jumlah kepemilikan maupun produktivitas ternak karena peternak telah merasa puas apabila kebutuhan hidupnya telah tercukupi dari penjualan susu sapi. Pemanfaatan kotoran sebagai produk yang memiliki nilai ekonomis dan upaya menghasilkan pedet setiap tahun belum menjadi tujuan pemeliharaan sapi perah.

73

Upaya untuk mengatasi hal tersebut adalah menyadarkan peternak sapi perah bahwa kekurangan pasokan susu bagi penduduk Indonesia merupakan peluang untuk mengembangkan usahanya. Berkembangnya peternakan sapi perah di Indonesia menyebabkan produk susu yang dibutuhkan penduduk Indonesia dapat tercukupi. Dampak lainnya adalah tersedianya energi bio gas dan bio arang yang terbuat dari kotoran sapi, serta kelahiran pedet secara tertaur yang mampu menambah populasi sapi perah di Indonesia. Selama ini usaha peternakan sapi perah dilakukan sebagai matapencaharian dengan cara pengelolaan usaha sesuai dengan apa yang dilihat dan didapat dari orang tua dan tetangga atau teman sesama peternak sapi perah. Kurang disiplin, kurang percaya diri, dan cepat puas terhadap hasil kerjanya merupakan penyebab belum berkembangnya usaha peternakan sapi perah di Indonesia. Sikap ini juga menyebabkan peternakan sapi perah belum dikelola secara profesional yang membutuhkan kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah. Mengelola usaha sapi perah tidak cukup memiliki kemampuan dalam budidaya sapi perah tetapi juga kemampuan memanaj usaha tersebut. Kemampuan merencanakan usaha, kemampuan evaluasi, kemampuan berkomunikasi, kemampuan bermitra usaha, kemampuan mengatasi kendala usaha, dan kemampuan memanfaatkan peluang usaha merupakan hal-hal yang sangat diperlukan untuk mengelola usaha peternakan sapi perah.

Kemampuan-kemampuan tersebut merupakan kompetensi

kewirausahaan yang perlu dimiliki peternak sapi perah. Hasil pendidikan adalah pemberdayaan (empowerment) yaitu membantu menumbuhkan daya-daya kekuatan yang salah satunya adalah power to, yaitu daya kekuatan kreatif yang membuat seseorang mampu melakukan sesuatu, membantu seseorang memiliki kemampuan berpikir, menguasai IPTEK, mengambil keputusan, memecahkan masalah dan membangun berbagai keterampilan. Pendidikan memberi bekal pengetahuan terutama saat mengalami masalah. Pendidikan juga menyebabkan seseorang memiliki literasi yang tinggi sehingga mudah memahami informasi-informasi lisan ataupun tertulis.

Informasi yang diperoleh

menyebabkan seseorang memiliki banyak pengetahuan dan wawasan dan menjadi bekal dalam berusaha tani ternak. Pendidikan yang sesuai dengan usaha yang

74

dijalani saat ini merupakan dasar bagi pengembangan kompetensi kewirausahaan yang dimiliki peternak. Peternakan sapi perah merupakan usaha yang memerlukan tenaga kerja cukup banyak. Anggota keluarga peternak merupakan sumberdaya keluarga yang cukup potensial sebagai tenaga kerja. Jumlah anggota keluarga yang besar merupakan potensi untuk mampu menghasilkan produktivitas ternak yang optimal. Jumlah anggota keluarga yang besar menyebabkan pekerjaan cepat terselesaikan sehingga peternak mempunyai waktu untuk mengembangkan kompetensi kewirausahaannya melalui diskusi dengan tetangga ataupun ketua kelompok. Semakin banyak jumlah ternak sapi yang dipelihara, maka semakin banyak pekerjaan ditangani peternak, mulai dari penyediaan pakan, membersihkan kandang dan ternak, pemerahan, hingga penyetoran susu. Namun, semakin banyak ternak yang dipelihara menghasilkan produk susu yang semakin banyak pula. Kebersihan dan kesehatan ternak sapi yang terjaga dengan baik mampu menghasilkan susu yang banyak dan berkualitas. Jumlah ternak yang banyak juga menuntut kreativitas melahirkan ide-ide untuk efisiensi sumberdaya yang ada. Selain pendidikan formal, faktor pengalaman beternak merupakan proses pendidikan informal yang dapat meningkatkan kompetensi kewirausahaan dan produktivitas peternak. Pengalaman beternak diperoleh dari lama beternak yang telah dijalani peternak. Pengalaman beternak dapat dijadikan acuan untuk memperbaiki sikap dan perilaku yang kurang menguntungkan. Mengusahakan sapi perah sangat memerlukan informasi. Oleh karena itu, peternak dituntut untuk mampu mengakses informasi dari sumber-sumber informasi yang ada di sekitarnya. Informasi dijadikan dasar untuk melakukan perencanaan usaha. Informasi yang sesuai dengan kebutuhan peternak perlu diaplikasikan untuk menghasilkan produktivitas yang tinggi. Motivasi untuk mengembangkan usaha peternakan merupakan faktor pendorong yang mampu membangkitkan semangat belajar peternak guna meningkatkan kompetensi kewirausahaan. Motivasi yang tinggi menyebabkan peternak merasa puas apabila mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Keberhasilan peternak menyelesaikan permasalahan yang dihadapi menumbuhkan

75

kepercayaan diri. Kepercayaan diri atas apa yang harus dihadapi dan dikerjakan menentukan kemandirian peternak. Inti kewirausahaan adalah kemandirian. Kemandirian dan motivasi berprestasi yang dimiliki peternak menghasilkan sikap yang menyukai tantangan, kreatif, suka bekerja keras, disiplin, tidak mudah putus asa, dan memiliki misi ke depan. Sikap-sikap tersebut merupakan sikap yang dimiliki wirausahawan. Pengetahuan luas didukung dengan keterampilan yang memadai, dan sikap optimis terhadap usaha peternakan merupakan penjabaran kompetensi kewirausahaan yang harus dimiliki peternak. Kompetensi kewirausahaan diperoleh melalui proses belajar dan memerlukan dukungan lingkungan usaha yang kondisif. Keberadaan sarana, prasarana, informasi yang dibutuhkan peternak sangat mendukung berkembangnya kompetensi kewirausahaan peternak. Oleh karena itu, peternak perlu memiliki kemampuan mengakses informasi. Media massa tidak dijadikan sarana mencari hiburan tetapi dijadikan mitra dalam mencari informasi. Sumber informasi lain yang dapat diakses peternak adalah tetangga, ketua kelompok, tamu yang berkunjung ke daerah, dan penyuluh. Kelembagaan peternak yaitu koperasi dan kelompok merupakan kelembagaan yang dapat dijadikan tempat untuk mengembangkan kompetensi kewirausahaan. Melalui kelembagaan ini, peternak dapat belajar berorganisasi, bersosialisasi, dan berkreasi mengembangkan kompetensi yang dimiliki. Perasaan senasib, tujuan dan kebutuhan yang sama dapat ”mengentalkan” modal sosial yang telah ada berupa semakin percaya terhadap sesama peternak, gotong royong, ada semangat bersama untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi ataupun ikut merasakan kesusahan temannya. Modal sosial ini dapat menciptakan kelembagaan yang padu dan solid untuk meningkatkan produktivitas peternak. Belum tertanganinya upaya untuk meningkatkan kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah saat ini, merupakan salah satu penyebab produktivitas ternak sapi perah belum mencapai optimal. Usaha yang perlu dilakukan adalah mengubah perilaku peternak untuk lebih bertanggungjawab terhadap ternak yang dibudidayakan. Dukungan kelembagaan sosial yang menghargai pekerjaan sebagai peternak mampu memotivasi peternak untuk belajar mengembangkan kompe-

76

tensi yang dimiliki sehingga menghasilkan kinerja yang lebih baik dan produktivitas peternak meningkat. Wirausahawan muncul dalam sebuah masyarakat dengan kebudayaan tertentu, yaitu kebudayaan dalam sistem sosial yang beranggapan bahwa mencari kekayaan bukan merupakan hal yang buruk. Mengubah sikap yang telah terbentuk selama bertahun-tahun tidaklah mudah, diperlukan usaha yang sungguh-sungguh, terkoordinir, dan strategi yang tepat. Oleh karena itu, peran agen-agen perubahan seperti penyuluh sangat diharapkan dalam hal ini. Lembaga penyuluhan tidak cukup sekedar mengintroduksikan masalah-masalah teknis tetapi juga pendekatan persuasif untuk mampu mengubah perilaku yang kurang menguntungkan pada diri peternak. Secara alamiah, semangat wirausaha dapat berkembang sendiri, namun semangat ini jauh lebih berkembang jika didukung oleh lingkungan usaha yang kondusif. Sistem penyelenggaraan pemerintah yang menjunjung tinggi ciri clean government, disiplin kerja yang tinggi, penguasaan keterampilan teknik dan manajerial yang tinggi, mampu menumbuhkan semangat wirausaha bagi rakyatnya. Peran pemerintah dalam hal kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan penyediaan modal untuk pengembangan usaha, informasi pasar yang akurat, penetapan harga yang menguntungkan peternak sapi perah, serta ketersediaan sarana dan prasarana produksi yang dibutuhkan peternak sapi perah dengan harga yang terjangkau dapat menumbuhkan kompetensi kewirausahaan peternak yang selanjutnya dapat meningkatkan produktivitas peternak. Berkembangnya kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah diharapkan mampu meningkatkan produktivitas peternak sapi perah yang merupakan representasi kombinasi semua faktor produksi. Di masa yang akan datang, sapi perah diusahakan sebagai industri peternakan yang mampu mencukupi susu dan produk-produk makanan berbahan dasar susu yang sehat, aman, dan halal bagi masyarakat Indonesia. Selain itu, peternakan sapi perah mampu menambah populasi sapi perah dari pedet-pedet yang dihasilkan setiap tahunnya, serta memberi sumbangan energi terbaharui dan pupuk organik yang dapat menambah penghasilan bagi keluarga peternak sapi perah.

77

Menjadi peternak dengan kompetensi kewirausahaan yang memiliki visi ke depan menyebabkan peternak mempunyai pola perilaku yang produktif dan kompetitif karena proses berlajar yang dilakukan baik secara individual maupun berkelompok, yaitu: (1) dari perilaku dalam pemeliharaan yang memanfaatkan waktu luang menjadi perilaku yang serius /mempunyai komitmen dalam pemeliharaan ternaknya, (2) dari usaha sapi perah yang dijalankan sebagai usaha sambilan menjadi usaha pokok yang senantiasa berorientasi ke pasar dan keuntungan, (3) dari perilaku yang menunggu informasi menjadi aktif mencari informasi yang berkaitan dengan usaha yang dijalaninya, (4) dari menerapkan ilmu pengetahuan yang diperoleh dari orang tuanya menjadi mengembangkan ilmu pengetahuan searah dengan perkembangan inovasi, (5) dari sikap mudah menyerah menjadi manusia kuat yang memiliki motivasi tinggi untuk melakukan perbaikan secara terus menerus sehingga mampu mengatasi kendala usaha, (6) dari manusia yang berpikir sederhana menjadi manusia yang kreatif dan inovatif dalam mengembangkan usaha dan hasil produksinya, (7) dari manusia yang selalu tergantung menjadi manusia yang senantiasa dapat menempatkan diri sejajar dengan mitra usaha dan mandiri, (8) dari manusia yang pasrah menjadi manusia yang dapat mengekplorasi kompetensi yang dimilikinya dan mengembangkan aspirasinya, (9) dari sikap kerja yang tidak positif dan tidak profesional menjadi kerja yang positif dan profesional, (10) dari penggunaan tenaga kerja yang berasal dari rumah tangga menjadi penggunaan tenaga kerja berdasarkan skill (division of labor), (11) dari orientasi hasil produksi minimal menjadi hasil produksi yang optimal, berkualitas dan memiliki kelangsungan produk, (12) dari peternak yang belum mempunyai visi menjadi peternak yang memiliki visi yang jelas.

78

Dukungan Eksternal dalam Peningkatan Produktivitas Peternak Sapi Perah Produktivitas peternak merupakan refleksi dari kompetensi kewirausahaan yang dimilikinya meliputi kompetensi teknis dan manajerial. Namun, kompetensi yang dimiliki peternak tidak menghasilkan produktivitas yang optimal apabila tidak ada dukungan dari luar yang dapat berupa : (1) ketersediaan sarana, prasarana dan informasi yang sesuai kebutuhan peternak, tepat waktu, senantiasa tersedia dan mudah diperoleh/diakses, (2) keberadaan kelembagaan peternak yang solid dengan kepemimpinan yang mampu menggerakkan anggotanya untuk mencapai tujuan bersama serta kerjasama yang sinergik sehingga produktivitas ternak, kontinuitas dan kualitas produk dapat tercapai, (3) keberadaan kelompok sebagai media belajar mengajar, bekerjasama, unit produksi dan melakukan kegiatan agribisnis, (4) keberadaan kelembagaan sosial yang mendukung seperti kebiasaan ataupun tradisi yang menempatkan istri dan suami untuk dapat bersama-sama mengembangkan potensi yang dimiliki, adanya pemimpin (formal dan informal) yang mempunyai misi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dengan memanfaatkan pengetahuan lokal yang telah dikenal dan kuasai, (5) kelembagaan penyuluhan yang kuat dengan sumberdaya manusia yang mempunyai kompetensi di bidang penyuluhan serta mau belajar berbagai hal sehingga dapat dijadikan sumber informasi, mitra kerja, dan motivator bagi peternak untuk senantiasa mengembangkan usaha ternaknya juga mampu menghasilkan materi-materi penyuluhan yang inovatif sehingga menumbuhkan kreativitas peternak mengoptimalkan sumberdaya ternaknya, (6) dukungan kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah yang komprehensif dan searah untuk mengembangkan sub sektor peternakan.

79

Paradigma Pola Perilaku Peternak Sapi Perah yang Memiliki Kompetensi Kewirausahaan Menjawab kebutuhan susu yang semakin meningkat sejalan dengan kesadaran gizi masyarakat maka sumberdaya manusia peternak perlu dibangun dan diperbaiki seiring dengan tuntutan industri peternakan yang harus diwujudkan secara bertahap. Perlu digali dan dikembangkan kompetensi yang dimiliki peternak khususnya yang berkaitan dengan kewirausahaan sehingga peternak memiliki sifat-sifat seperti: profesional, memiliki komitmen dan motivasi tinggi, mandiri, jujur, mengembangkan kreativitas produk yang dihasilkan melalui diversifikasi usaha, disiplin, dan bertanggungjawab. SDM peternak sapi perah yang memiliki kompetensi kewirausahaan mampu membaca peluang usaha melalui analisis berdasarkan data-data yang diperoleh dan selanjutnya merencanakan langkah-langkah untuk meraih peluang tersebut. Kekurangan susu saat ini merupakan peluang yang harus ditanggapi peternak secara cepat dengan mengeksplorasi sumberdaya dan kompetensi yang dimiliki untuk menghasilkan produk-produk yang dibutuhkan pasar. Masalah yang dihadapi peternak sapi perah saat ini adalah belum optimalnya susu yang dihasilkan sapi perahnya, sehingga perlu dicari solusinya. Hasil-hasil penelitian, penyuluh, toko-toko penjual pakan ternak, ataupun teman sesama peternak merupakan sumber-sumber informasi yang dapat diakses peternak. Melalui komunikasi dan diskusi yang intensif antar sesama peternak akan ditemukan faktor penyebab dan cara mengatasi masalah yang dihadapi peternak. Langkah selanjutnya adalah melakukan uji coba atau penelitian secara sederhana untuk menghasilkan teknologi baru. Teknologi baru yang sederhana ini selanjutnya didesiminasikan ke peternak untuk diaplikasikan dalam budidaya ternak sapi perahnya sehingga mampu menghasilkan produktivitas yang optimal. Produksi susu sapi yang optimal mampu mencukupi kebutuhan pasar. Tercukupinya kebutuhan susu dalam negeri menyebabkan pemerintah tidak perlu lagi mengimpor susu dari luar negeri sehingga devisa negara dapat dihemat. Tercukupinya kebutuhan susu dalam negeri oleh peternak-peternak Indonesia mewujudkan kedau-

80

latan pangan khususnya susu di dalam negeri. Selain itu, akan dihasilkan energi dari kotoran ternak, pupuk organik, dan pedet-pedet yang menambah populasi sapi perah di Indonesia. Berikut ini disampaikan perbandingan paradigma antara perilaku peternak saat ini dengan peternak yang memiliki produktivitas tinggi dan kompetensi kewirausahaan yang diharapkan (Tabel 2). Tabel 2. Paradigma Arah Pergeseran Peternak yang Memiliki Kompetensi Kewirausahaan Aspekaspek

Peternak Pada Saat Ini (Faktual)

1. Sikap ter1. Produk tidak berkualitas hadap mutu 2. Kurang peduli mutu produk yang produk yang dihasilkan dihasilkan 3. Kurang mengetahui kebutuhan pelanggan/pasar 4. Kontinuitas produk tidak terjamin 5. Tidak tepat waktu penyetoran susu

Peternak Wirausahawan (yang diharapkan) 1. Produk berkualitas tinggi 2. Peduli dan mempertahankan mutu produk yang dihasilkan 3. Mengetahui kebutuhan pelanggan /pasar 4. Kontinuitas produk sangat diperhatikan 5. Tepat waktu dalam penyetoran susu 6. Terjamin kebersihan proses kerja

6. Kurang menjaga kebersihan proses kerja

2. Wawasan usaha

1. Pengetahuan peternakan sapi perah diperoleh dari orang tua 2. Tidak mau atau sukar berubah 3. Puas dengan usaha sekarang 4. Kurang mengetahui peraturan-peraturan yang terkait dengan usahanya 5. Tidak peduli terhadap peraturanperaturan terkait dengan usahanya 6. Memiliki modal kecil 7. Pasrah pada perubahan lingkungan alam 8. Pasrah terhadap perubahan kebijakan pemerintah 9. Tidak melakukan analisis usaha 10.Hanya melakukan satu usaha 11.Tidak atau kurang berorientasi ke masa depan 12.Puas dengan usaha sekarang

3.Kemampuan 1. Kelompok/organisasi hanya jaringan berorientasi jangka pendek usaha 2. Kelompok/organisasi lemah dan tidak mampu memberikan advokasi kepada pemerintah berkaitan dengan usaha peternakan 3. Pemasaran dilakukan ke koperasi 4. Tujuan usaha

1. Kualitas produk tidak atau kurang memenuhi standar kesehatan 2. Usaha sapi perah sebagai usaha sambilan

1. Memiliki pengetahuan baru tentang usaha peternakan sapi perah 2. Memiliki sikap terbuka terhadap perubahan inovasi 3. Menangkap peluang usaha 4. Mengetahui peraturan-peraturan yang terkait dengan usahanya 5. Memiliki sikap positif terhadap peraturan-peraturan terkait dengan usahanya 6. Memiliki modal cukup 7. Mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan alam 8. Mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan kebijakan pemerintah 9. Melakukan analisis usaha 10.Melakukan diversifikasi usaha berkaitan dengan produk yang dihasilkan 11.Berorientasi ke masa depan 12.Melakukan pengembangan usaha 1. Tersedianya kelompok/organisasi yang berorientasi jangka panjang 2. Ada kelompok/organisasi yang kuat dan mampu memberikan advokasi kepada pemerintah berkaitan dengan usaha peternakan 3. Ada jaringan kerjasama antar peternak dalam bidang pemasaran 1. Produk memenuhi standar kesehatan 2. Usaha sapi perah sebagai usaha pokok

81

Tabel 2 (lanjutan) Aspekaspek

Peternak Pada Saat Ini (Faktual)

Peternak Wirausahawan (yang diharapkan)

5. Komitmen terhadap lingkungan

1. Tidak peduli perundang-undangan tentang pendirian usaha sapi perah 2. Tidak memperhatikan dampak lingkungan 1. Manipulasi produk yang dihasilkan 2. Kurang kompetensi yang dibutuhkan 1. Usaha dilakukan secara tetap dari tahun ke tahun 2. Kemampuan usaha, terbatas 3. Takut melakukan pemasaran yang lebih luas 1. Rendah diri 2. Pasrah pada kondisi yang ada 3. Capat putus asa 4. Bergantung dengan pihak lain 5. Pesimis 6. Takut mencoba, berpikir negatif 7. Pengetahuan tidak berkembang 8. Emosional dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah 9. Bekerja sesuai kebiasaan 10.Tidak mampu berkomunikasi dengan baik 11.Bekerja dengan petunjuk orang lain

1. Mematuhi perundang-undangan tentang pendirian usaha sapi perah 2. Memperhatikan dampak lingkungan

6.Komitmen pada etika usaha

7.Pengembang an usaha

8.Kepribadian

1. 2. 1. 2.

Jujur tentang produk yang dihasilkan Memiliki kompetensi yang dibutuhkan Melihat peluang usaha Memiliki kemampuan usaha hulu sampai hilir 3. Pro aktif mencari dan mendapatkan peluang pasar 1. Percaya diri atas kemampuannya 2. Kemauan keras, mempunyai dorongan kuat untuk berhasil 3. Ulet 4. Mandiri 5. Optimis, memiliki komitmen usaha 6. Berpikir positif 7. Kreatif dan inovatif 8. Rasional menyelesaikan masalah 9. Mampu bekerjasama dengan pihak lain dalam posisi saling menguntungkan 10.Mampu berkomunikasi dengan baik 11.Aspiratif dan kreatif

Hubungan antar peubah penelitian Kompetensi Kewirausahan Peternak Sapi Perah divisualisasikan pada Gambar 3.

82

Karakteristik Peternak (X1) Pendidikan Formal (th) (X11) Jumlah ternak yang dipelihara (X1.2) Jumlah anggota keluarga (X13) Lama beternak (th) (X1.4) Kemampuan mengakses informasi (X15) Motivasi (X1.6)

Lingkungan Usaha (X2) Informasi,Sarana dan prasarana (X2.1) (1) (2) (3) (4) (5) (6)

Ketersediaan sarana produksi Ketersediaan transportasi Ketersediaan Pusat Kesehatan Ternak Ketersediaan Pusat Inseminasi Buatan Ketersediaan kelembagaan keuangan Ketersediaan kelembagaan pemasaran

Kompetensi Kewirausahaan (Y1) Kompetensi Teknis (Y11) (1) Kemampuan budidaya ternak berkualitas (2) Kemampuan penanganan pasca panen Kompetensi Manajerial (Y12) (1) Perencanaan usaha (2) Pengkoordinasian (3) Pengawasan (4) Evaluasi (5) Komunikasi (6) Mengatasi Kendala Usaha (7) Bermitra Usaha (8) Memanfaatkan Peluang Usaha

Kelembagaan Peternak (X2.2) Kelembagaan Penyuluhan (X23) Kelembagaan Sosial (X24) Kebijakan Pemerintah (X2.5)

Produktivitas Peternak (Y2) (1) Produktivitas Ternak (Kualitas susu, Kesehatan ternak, dan Selang beranak) (2) Kreativitas dan keinovatifan menghasilkan produk olahan susu dan penanganan limbah ternak

Gambar 3. Peubah-peubah yang Mempengaruhi Kompetensi Kewirausahaan serta Dampaknya pada Produktivitas Peternak Sapi Perah

Hipotesis Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan, tujuan penelitian, dan kerangka berpikir, penelitian ini ingin menjawab pertanyaan sebagai berikut:

bagaimana

hubungan antara karakteristik peternak, kompetensi kewirausahaan, dan faktorfaktor lingkungan usaha dengan produktivitas peternak sapi perah. Selanjutnya berdasarkan pertanyaan penelitian, diajukan hipotesis kerja sebagai berikut: (1) Karakteristik peternak sapi perah berpengaruh nyata terhadap tingkat kompetensi kewirausahaannya dalam menjalankan usahanya. (2) Lingkungan usaha berpengaruh nyata terhadap tingkat kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah dalam menjalankan usahanya.

83

(3) Karakteristik peternak sapi perah berpengaruh nyata terhadap tingkat produktivitas peternak sapi perah. (4) Lingkungan usaha berpengaruh nyata terhadap produktivitas peternak sapi perah. (5) Kompetensi kewirausahaan berpengaruh nyata terhadap produktivitas peternak sapi perah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Lokasi Penelitian Kecamatan Tutur Nongkojajar yang selanjutnya lebih dikenal sebagai Kecamatan Nongkojajar, termasuk salah satu kecamatan di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Kecamatan Nongkojajar terletak di dataran tinggi sebelah barat Pegunungan Tengger dengan ketinggian antara 400-1.600 meter di atas permukaan laut. Disebabkan letak geografis di pegunungan, maka daerah ini beriklim sejuk dengan suhu udara rata-rata 16–25 derajat Celcius dan curah hujan 3.650 milimeter per tahun (Monografi Kecamatan Tutur, Nongkojajar, 2006). Kecamatan Nongkojajar memiliki luas wilayah 94 Km2 dan terbagi menjadi dua kelompok, yaitu: (1) desa berkembang yang terdiri dari Desa Wonosari, Gendro, Tlogosari, Blarang, Kayukebek, Andonosari, Pungging, Tutur, Kalipucang, dan Sumberpitu; dan (2) desa pengembangan, terdiri dari: Desa Ngembal, dan Ngadirejo. Kedua desa terakhir ini letaknya paling jauh dari pusat pemerintahan Kecamatan Nongkojajar dan kualitas jalannya masih sederhana. Kecamatan Pangalengan memiliki 13 desa, 29 dusun, 189 RW, dan 895 RT. Luas wilayah ini adalah sebesar 25.552.305 Ha. Luas lahan kering adalah 7.710.660 Ha. Tanah perkebunan adalah seluas 6.992.908 Ha, yang terdiri atas tanah perkebunan negara seluas 5.016.060 Ha dan perkebunan swasta seluas 1.976.698 Ha. Kecamatan Pangalengan mempunyai kondisi fisik yang sangat menguntungkan bagi peternakan sapi perah, karena memiliki ketinggian 1.000–1.420 meter di atas permukaan air laut, suhu udara antara 12-18 derajat Celcius, kelembaban udara antara 60-70 persen dan pH tanah berkisar antara 5,4 sampai 6,2, serta curah hujan rata-rata 2.442,8 milimeter per tahun dari hari hujan rata-rata 260 hari per tahun (Monografi Kecamatan Pangalengan, 2006). Struktur fisik tanah adalah campuran pasir dan andosol. Kondisi alam tersebut merupakan persyaratan yang baik tumbuhnya rumput yang berkualitas seperti rumput gajah dan setaria, juga cocok untuk usaha perkebunan serta tanaman sayuran.

112

Sejarah Peternakan Sapi Perah di Lokasi Penelitian Peternakan Sapi Perah di Kecamatan Nongkojajar Peternakan sapi perah di Kecamatan Nongkojajar sudah ada sejak tahun 1911, dilakukan oleh orang-orang Belanda yang berdomisili di daerah tersebut. Tujuan semula pemeliharaan sapi perah adalah untuk mencukupi kebutuhan susu segar bagi orang-orang Eropa yang banyak mempunyai villa di Nongkojajar. Pada masa-masa selanjutnya di Nongkojajar berkembang perusahaanperusahaan sapi perah milik orang-orang Belanda, seperti J. Kloppenberg, Van Rice, Van Maanen, Drent, Kooche, dan De Kley. Peternak menjual susu kepada penduduk Belanda di Nongkojajar, juga ke Surabaya dan kota-kota di sekitarnya. Pada tahun 1942 perusahaan-perusahaan sapi perah tersebut mengalami kerusakan total. Sebagian ternak habis dirampas Jepang untuk konsumsi perang, sedangkan sisanya berhasil diselamatkan penduduk ke hutan-hutan di daerah pedalaman. Sapi-sapi yang ada di tangan penduduk selanjutnya dipelihara dan dikembangkan hingga sekarang. Sapi perah inilah yang sekarang dikenal sebagai sapi perah lokal yang merupakan keturunan jenis FH yang mempunyai sifat-sifat sapi perah yang sangat baik. Pada tahun 1950-an pemerintah Indonesia mendatangkan sapi pejantan unggul dari Eropa untuk memperbaiki genetik sapi perah. Tujuan awal pemeliharaan sapi perah yang dilakukan oleh masyarakat Kecamatan Nongkojajar adalah: (1) sebagai tenaga kerja dalam pengolahan lahan perta-nian, (2) sebagai penghasil pupuk organik bagi lahan pertanian, (3) sebagai simpanan yang memiliki nilai tambah yang cukup baik, dan (4) untuk memperoleh keturunan. Pemanfaatan produksi susu secara komersial baru dirintis sejak tahun 1959, dengan memasarkannya ke Lawang, Tretes dan Malang. Mengingat sifat susu yang mudah rusak, peternak mengalami keterbatasan waktu dalam memasarkan hasil produksinya, dan peternakan sapi perah di Nongkojajar umumnya merupakan usaha mix farming, sehingga tidak memungkinkan peternak untuk memasarkan susu secara sendiri-sendiri. Oleh karena itu, peternak membentuk wadah bersama untuk memasarkan susu segar ke konsumen.

113

Pada tahun 1962 terbentuk Koperasi Karya di Desa Wonosari yang bertujuan melayani kebutuhan peternak sapi perah. Dua tahun kemudian yaitu tahun 1964 di Desa Nongkojajar berdiri Koperasi Berdikari. Dengan berdirinya kedua koperasi tersebut maka peternak menjual susu ke koperasi tersebut dengan pembayaran tunai. Pengurus kedua koperasi tersebut belum memikirkan cara memasarkan susu yang baik. Kegiatan koperasi tidak lebih sebagai penampung susu sehingga banyak kekacauan terjadi termasuk dalam hal pembayaran. Bersamaan dengan meletusnya peristiwa PKI tahun 1965, kedua koperasi ini tidak beroparasi sama sekali. Setelah keadaan cukup aman, pada tahun 1967 Koperasi Karya menyatu dengan Koperasi Berdikari. Koperasi-koperasi lain yang ada saat itu kemudian menginduk pada koperasi baru tersebut. Koperasi induk tersebut diberi nama Pusat Koperasi Lembu Perah Setia Kawan (PKLP Setia Kawan) yang berkedudukan di Desa Wonosari, dengan anggota-anggota koperasi primer: (1) Koperasi primer Trisnojoyo di Desa Wonosari, (2) Koperasi primer Tirtorahayu di Desa Pungging, (3) Koperasi primer Mardisantoso di Desa Andonosari, (4) Koperasi primer Karunia di Desa Tutur, (5) Koperasi primer Ngudiharjo di Desa Kayubebek, (6) Koperasi primer Mardi Rukun di Desa Gendro, (7) Koperasi primer Sido Rukun di Desa Tlogosari, dan (8) Koperasi primer Mardi Tresno di Desa Blarang. Pada tanggal 31 Desember 1977 terjadi penyederhanaan struktur organisasi yaitu pengurus pusat dan primer dari desa-desa sepakat mengadakan penggabungan antara delapan primer menjadi satu dengan nama “Koperasi Peternakan Lembu Perah Setia Kawan.” Bertitik tolak dari pengalaman sulitnya melakukan pemasaran susu segar, koperasi dengan semua perangkatnya selalu berupaya mencari dan meningkatkan pemasaran susu segar, dan pada tanggal 16 Mei 1979 Koperasi ”Setia Kawan” dapat bekerja sama dengan P.T Nestle. Pada tanggal 21 Februari 1990, “Koperasi Setia Kawan” mengubah status menjadi “KUD Setia Kawan” dengan akte perubahan disahkan oleh Depatemen

114

Koperasi dengan Badan Hukum Nomor: 4077A/BH/II/1978 dengan tujuan untuk meningkatkan pelayanan dan memperluas usaha. Seiring dengan bergulirnya era reformasi, tepatnya pada tanggal 18 Juli 1998, “KUD Setia Kawan” mengadakan perubahan mendasar sesuai dasar Usaha Anggota yaitu usaha sapi perah, maka menjadilah Koperasi Peternakan Sapi Perah (KPSP) Setia Kawan oleh Departemen Koperasi dengan Nomor: 4077B/BH/II/1978 pada tanggal 24 Maret 2003.

Peternakan Sapi Perah di Kecamatan Pangalengan Usaha peternakan sapi perah di Pangalengan telah dimulai sejak jaman penjajahan Belanda. Pada saat itu di Pangalengan telah berdiri empat peternakan sapi perah milik bangsa Belanda. Ke empat peternakan sapi perah itu adalah: De Friesche Terp, Almanak, van Der Els, dan Bigman. Hasil dari usaha peternakan sapi perah di atas semuanya dipasarkan oleh Bandungche Melk Centre (BMC). Keempat peternakan di Pangalengan mengalami kemajuan pesat berkat pemasaran susu oleh BMC. Pada saat pendudukan Jepang peternakan tersebut mengalami kehancuran dan sebagian sapinya dipelihara oleh penduduk yang bertempat tinggal di sekitar peternakan. Berawal dari peristiwa inilah dimulainya peternakan sapi perah rakyat di Pangalengan. Seiring dengan perkembangan waktu dan jaman maka peternakan rakyat yang berada di Pangalengan mengalami peningkatan, baik populasi maupun produksi. Bersamaan dengan hal itu para peternak bersepakat untuk mendirikan sebuah koperasi yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas usaha dan pendapatan peternak. Pada bulan Nopember 1949 berdirilah sebuah koperasi yaitu Gabungan Peternak Sapi Perah Indonesia Pangalengan (GAPSPIP). Keberadaan GAPSPIP sangat dirasakan manfaatnya oleh peternak sapi perah pada saat itu. Tahun 1961 keadaan GAPSPIP mulai goyah bersamaan dengan keadaan ekonomi Indonesia yang labil. GAPSPIP tidak mampu berperan sebagai mitra usaha bagi peternak sapi perah, sehingga tata niaga susu di Pangalengan sepenuhnya dikuasai oleh kolektor (tengkulak). Hal ini menyebabkan peternak mengalami kerugian karena susu dibeli tengkulak dengan harga sangat rendah.

115

Kesulitan yang dialami peternak sapi perah menyebabkan beberapa peternak berinisiatif mengubah keadaan tersebut. Pada saat itu bersamaan pula dengan dimulainya Rencana Pembangunan Lima Tahun I (Repelita I), maka dengan pembinaan dari pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung, bantuan dari gubernur Jawa Barat, Direktur Jenderal Peternakan dan UNICEF, pada tanggal 1 April 1969 berdirilah Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan. Peternakan sapi perah rakyat di Kecamatan Pangalengan termasuk dalam wilayah kerja KPBS. Selain Pangalengan, wilayah kerja KPBS adalah Kecamatan Kertasari dan Pacet.

Karakteristik Peternak Sapi Perah Karakteristik yang diamati dalam penelitian ini adalah: pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, jumlah ternak sapi perah yang dipelihara, lama beternak, kemampuan mengakses informasi, dan motivasi peternak mengembangkan usaha sapi perah (Tabel 11). Tabel 11. Karakteristik Sampel Penelitian Karakteristik Umur : • 15-30 tahun • 31-60 tahun • > 60 tahun Pendidikan: • •

SD SLTP • SLTA Jumlah Tanggungan Keluarga (orang): • 1- 3 • >3 Jumlah Ternak Sapi yang Dipelihara (ST): • <4 • 4 – 10 • >10 Lama Beternak : • 1 – 5 tahun • 6 – 10 tahun • > 10 tahun Status Usaha Pemeliharaan Sapi Perah •



Pokok Sambilan

Kabupaten Pasuruan Jumlah Prosentase (%)

Kabupaten Bandung Jumlah Prosentase (%)

12 102 11

9,6 81,6 8,8

20 101 4

16 80,8 3,2

111 8 6

88,8 6,4 4,8

44 81 10

35,2 64,8 8

71 54

56,8 43,2

47 78

37,6 62,4

76 46 3

60,8 36,8 2,4

78 45 2

62,4 36,0 1,6

31 22 72

24,8 17,6 57,6

23 25 77

18,4 20,0 61,6

97 28

77.6 22,4

121 4

96,8 3,2

116

Tabel 11 (lanjutan) Karakteristik Asal Ternak : • Warisan • Beli • Gaduh/maro • Kredit Tenaga kerja dari luar keluarga: • Ada • Tidak ada Pemilikan Media : • Televisi dan radio • Televisi dan koran • Televisi

Kabupaten Pasuruan Jumlah Prosentase (%)

Kabupaten Bandung Jumlah Prosentase (%)

12 59 28 26

9,6 47,2 22,4 20,8

9 83 24 9

7,2 66,4 19,2 7,2

18 107

14,4 85,6

7 118

5,6 94,4

40 1 125

32,0 0,8 100.00

42 2 125

33,6 1,6 100.00

2 2 6 2 113

1,6 1,6 4,8 1,6 90,4

1 3 4 1 116

0,8 2,4 3,2 0,8 92,8

67 39 16

53,6 31,2 12,8

41 59 24

32,8 47,2 19,2

3

2,4

1

0.8

22 85 18

17,6 68,0 14,4

1 72 52

0,8 57,6 41,6

0 92 33

0 73,6 26,4

0 16 109

0 12,8 87,2

Lama Mendedahkan Diri Pada Media Massa

• < 1 jam per hari • 1 – 2 jam per hari • 3 – 4 jam per hari • 4 jam per hari • Tidak tentu Fungsi Media Massa • Mengisi waktu luang • Mencari pengetahuan umum • Mencari pengetahuan peternak/pertanian • Hiburan Kemampuan mengakses informasi • Rendah • Sedang • Tinggi Motivasi mengembangkan usaha ternak: • Rendah • Sedang • Tinggi

Berdasarkan Tabel 11, berikut ini diuraikan satu persatu tentang karakteristik peternak sapi perah pada kedua lokasi penelitian. Pendidikan Seluruh peternak sapi perah yang terpilih sebagai sampel penelitian di Nongkojajar, Kabupaten Pasuruan maupun di Pangalengan, Kabupaten Bandung telah mengenyam pendidikan formal, meskipun mayoritas (89 persen) di Kabu-

117

paten Pasuruan dan 35 persen di Kabupaten Bandung berpendidikan rendah (Sekolah Dasar). Alasan peternak tidak melanjutkan sekolah adalah keterbatasan biaya yang dipunyai. Alasan lain yang dikemukakan peternak adalah anak-anak yang telah lulus SD merupakan tenaga kerja potensial untuk membantu usaha orang tuanya karena peternakan sapi perah merupakan usaha yang membutuhkan banyak tenaga kerja yaitu: men-cari rumput, membersihkan kandang, memerah sapi, dan menyetorkan susu ke tempat penampungan susu. Pada saat anak-anak membantu pekerjaan orang tuanya sebenarnya telah terjadi proses belajar tentang budidaya sapi perah. Pendidikan formal yang dimiliki peternak memang rendah tetapi proses belajar terus dilakukan oleh peternak melalui pendidikan informal menyebabkan anak-anak sebagai calon peternak memiliki banyak pengalaman di bidang usaha sapi perah. Tabel 11 memperlihatkan rata-rata pendidikan peternak di Kabupaten Bandung relatif sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan pendidikan peternak di Kabupaten Pasuruan. Sebanyak 65 persen peternak sapi perah di Kabupaten Bandung berpendidikan SLTP. Pendidikan formal peternak merupakan dasar untuk mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan berdasarkan informasi yang diperoleh.

Jumlah Tanggungan Keluarga Sebanyak 57 persen peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan memiliki tanggungan keluarga antara 1-3 orang, sedangkan peternak sapi perah di Kabupaten Bandung 63 persen memiliki tanggungan keluarga lebih dari tiga orang. Alasan peternak memiliki keluarga kecil karena tanggungan keluarga yang banyak menyebabkan beban hidup semakin berat. Peternak yang memiliki tanggungan keluarga besar karena ada saudara yang ikut dalam keluarga tersebut. Anggota keluarga yang besar bagi masyarakat desa dapat dijadikan sumber tenaga kerja bagi usaha ternak. Peternak yang telah berhasil dalam menjalankan usahanya, berusaha mengembangkan usaha tersebut. Mengingat usaha peternakan sapi perah membutuhkan banyak tenaga kerja maka peternak meminta tolong kepada

118

saudaranya untuk menjadi tenaga kerja.

Pada kesempatan itu terjadi tranfer

pengetahuan dari peternak kepada pegawai secara tidak disadari.

Jumlah Ternak Sapi Perah yang Dipelihara Modal, lahan, dan tenaga kerja terbatas yang dimiliki peternak menyebabkan kepemilikan ternak sapi perah dari tahun ke tahun tidak berubah yaitu berkisar 1- 4 ekor, meskipun sebanyak 78 persen peternak di Kabupaten Pasuruan dan 97 persen di Kabupaten Bandung mengaku bahwa usaha peternakan sapi perah merupakan usaha pokok. Usaha sapi perah dan usaha pertanian sebenarnya merupakan mix farming yang dilakukan peternak sapi perah yang saling mendukung. Pada saat harga produk pertanian tinggi dan hijauan pakan ternak sulit diperoleh maka peternak menjual sapi perahnya untuk modal bertani, sebaliknya bila hijauan pakan ternak mudah diperoleh dan harga produk pertanian menurun maka peternak menyewakan tanah pertaniannya untuk membeli sapi perah. Keterbatasan modal dan pemilikan lahan menyebabkan kapasitas kandang yang dipunyai peternak relatif terbatas (maksimal kapasitas kandang sebanyak 7– 10 ekor), sehingga apabila kepemilikan ternak melampaui kapasitas kandang, maka peternak menggaduhkan ternak sapi perah ke saudara atau tetangga yang dipercayainya. Peternak memilih menggaduhkan ternaknya dari pada mempekerjakan tenaga kerja dari luar keluarga ataupun menambah kapasitas kandangnya karena alasan untuk membagi pekerjaan dan pendapatan dengan tetangga ataupun keluarga juga lebih menguntungkan karena penggaduh merasa memiliki ternak yang bersangkutan sehingga memelihara sapi perah secara baik. Kesulitan penyediaan pakan hijauan bagi sapi perah pada musim kemarau juga menjadi pertimbangan peternak sebelum menambah atau mempertahankan jumlah ternaknya. Penelitian yang dilakukan oleh Yusdja pada tahun 2003 di Jawa Barat ditemukan hasil semakin tinggi skala usaha semakin tidak efisien pemeliharaan sapi perah. Hal ini disebabkan oleh manajemen yang dilakukan peternak masih buruk, sehingga semakin besar skala usaha maka semakin buruk pemeliharaan sapi perahnya. Kondisi ini kurang disadari oleh peternak karena peternak lebih

119

membutuhkan produksi susu. Skala usaha 1-2 ekor mempunyai efisiensi teknik terbaik sedangkan berdasarkan analisis B/C rasio yang terbaik adalah skala usaha 10–11 ekor. Menurut pergerakan biaya dan pendapatan jangka panjang maka skala usaha 27 ekor adalah yang terbaik. Berdasarkan penelitian tersebut dapat diketahui penyebab lain tentang alasan peternak enggan untuk menambah jumlah ternaknya, yaitu karena kompetensi yang dimiliki peternak terbatas dalam aspek teknis dan belum menguasai aspek manajerial sehingga belum mampu mengatur/ menangani usaha ternak dalam skala besar (Yusdja, 2003:6).

Lama Beternak Peternak sapi perah telah mengenal budidaya sapi perah sejak anak-anak. Budidaya sapi perah dilakukan di pedesaan ataupun di pinggiran kota, dengan tujuan untuk memperkecil tingkat stres pada sapi perah. Selain itu, kotoran sapi merupakan limbah yang dapat mengganggu lingkungan sekitarnya. Masyarakat pedesaan mempunyai hubungan yang erat dan mendalam sehingga melahirkan sifat gotong royong dan kebersamaan yang tiggi. Interaksi sosial di pedesaan bersifat terbuka pada semua lapisan masyarakat dan proses imitasi (peniruan) pada masyarakat dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan sering terjadi. Peternakan sapi perah pada awalnya diusahakan oleh beberapa orang peternak. Melihat keuntungan yang diperoleh dari usaha tersebut maka masyarakat sekitar peternakanpun tertarik mencoba mengikuti jejak tetangganya yang telah terlebih dahulu memelihara sapi perah. Dengan demikian berkembanglah usaha sapi perah dalam sebuah masyarakat. Di Kabupaten Pasuruan, sebanyak 58 persen peternak telah membudidayakan sapi perah lebih dari sepuluh tahun, bahkan beberapa peternak ikut merintis terbentuknya koperasi. Peternak di Kabupaten Bandung sebanyak 62 persen telah membudidayakan sapi perah lebih dari sepuluh tahun. Usaha yang telah lama ditekuni menyebabkan peternak memiliki pengalaman dalam budidaya sapi perah. Mayoritas peternak (47 persen di Kabupaten Pasuruan dan 66 persen di Kabupaten Bandung) membeli ternak sapi perah pada awal usahanya. Jumlah

120

peternak yang mendapatkan kredit dari koperasi pada awal usahanya sebesar 21 persen di Kabupaten Pasuruan dan tujuh persen di Kabupaten Bandung.

Pemilikan Media Televisi merupakan media massa yang dipunyai oleh seluruh peternak, sedangkan media massa lainnya seperti radio, koran, dan majalah dipunyai oleh sedikit peternak. Menurut Chan dan Sam (2006:160-161), televisi mempunyai keunggulan dibandingkan dengan media lain, yaitu: (1) mudah diterima oleh pemirsa, sehingga mudah mempengaruhi perilakunya, (2) lebih menarik dari segi hiburan karena menggunakan teknologi canggih, (3) memiliki daya jangkau yang luas, (4) dapat memberikan informasi yang aktual dalam tempo bersamaan dan cepat, (5) memiliki dunia bisnis, (6) lebih murah dalam pembiayaan, dan lain-lain. Pendidikan rendah dan kemampuan baca yang terbatas menyebabkan peternak sapi perah lebih memilih televisi sebagai media informasi karena tidak perlu membaca untuk mendapatkan informasi. Menurut van den Ban dan Hawkins (2003:161-162), pada masyarakat kelas menengah di negara berkembang telah menggunakan banyak waktu untuk menonton televisi, tetapi televisi belum merupakan media yang tepat bagi masyarakat pedesaan. Pendapat ini sesuai dengan keadaan di lokasi penelitian, televisi merupakan media yang paling diminati peternak sapi perah karena televisi merupakan sarana hiburan yang murah dan mudah diperoleh. Namun,

bagi

peternak sapi perah, televisi belum dapat dipergunakan sebagai media pendidikan untuk menambah pengetahuan berkaitan dengan usaha ternaknya.

Informasi

tentang agribisnis sapi perah dirasakan oleh peternak masih sangat sedikit diperoleh dari media televisi.

121

Lama Terdedah Media Massa Sebanyak 86 persen peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan dan 94 persen di Kabupaten Bandung, mengelola usaha ternaknya tanpa bantuan tenaga kerja dari luar keluarga. Pada pagi hari peternak telah disibukkan dengan pekerjaan membersihkan kandang, memandikan, memberi pakan, dan memerah sapi serta menyetorkan susu di tempat penampungan, tepat waktu. Setelah itu peternak mengambil atau mencari rumput hingga menjelang tengah hari. Sekitar pukul 14.00 peternak kembali bersiap-siap melakukan pemerahan yang kedua kalinya. Kesibukan mengurus ternak sapi perah dan usahatani lainnya menyebabkan peternak memiliki sedikit waktu untuk mendedahkan diri pada media. Acaraacara televisi yang didominasi acara hiburan menyebabkan peternak kurang tertarik untuk melihatnya. Peternak enggan membaca media cetak seperti koran, buku atau majalah karena memerlukan tingkat literasi yang tinggi yang tidak dipunyai peternak. Sebanyak 90 persen peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan dan 93 persen peternak di Kabupaten Bandung tidak tetap dalam mendedahkan diri pada media massa.

Fungsi Media Massa Media massa khususnya televisi yang dimiliki peternak lebih banyak digunakan untuk memanfaatkan waktu luang. Informasi yang diperoleh peternak dari media massa, khususnya televisi, merupakan informasi tentang pengetahuan umum. Peternak jarang memperoleh informasi yang berhubungan dengan usaha peternakan. Di negara industri maju orang-orang terpelajar lebih memberi perhatian pada media cetak, khususnya majalah daripada televisi yang lebih diminati oleh orang-orang yang berpendidikan cukup dan kurang.

Orang-orang menonton

televisi, lebih banyak perhatiannya pada acara berita dan informasi dari pada acara hiburan. Dari media cetak audien mendapatkan informasi yang dicarinya. Media massa di negara Timur laut Asia seperti Jepang, Korea, dan Hongkong berfungsi sebagi mitra bagi audiennya, media massa dapat menambah pengetahuan dan

122

wawasan sehingga membentuk kemampuan dan keterampilan audiennya. Di negara Asia Tenggara, media massa digunakan sebagai sarana hiburan (Prokopento, 1987:203). Bagi peternak di Kabupaten Pasuruan media massa lebih berfungsi untuk mengisi waktu luang (54 persen peternak), sedangkan bagi peternak di Kabupaten Bandung, fungsi media massa mayoritas untuk menambah pengetahuan umum (47 persen peternak).

Kemampuan Mengakses Informasi Informasi, sarana, dan prasarana merupakan faktor pelancar usaha peternakan sapi perah. Keputusan yang sehat salah satunya didasari dengan tersedianya informasi yang cukup, akurat, dan berkualitas. Oleh karena itu, perolehan dan pencarian informasi sebanyak-banyaknya sangat diperlukan untuk mencapai harapan-harapan yang direncanakan sejak awal. Informasi tentang manajemen usaha, kepemimpinan, kemampuan bermitra usaha, memberi nilai tambah bagi produk yang dihasilkan serta teknologi pembuatan pakan konsentrat dengan memanfaatkan sumberdaya di sekitar peternak, memanfaatkan kotoran ternak sebagai komoditi yang memiliki manfaat dan nilai jual merupakan bentuk-bentuk pesan yang diperlukan untuk meningkatkan produktivitas peternak, namun pada kenyataannya informasi tersebut belum banyak diterima peternak. Pakar pertanian mempertanyakan masalah seputar melambatnya perkembangan teknologi pertanian. Ada pihak yang menilai bahwa melambatnya perkembangan teknologi pertanian karena lembaga penelitian tidak menghasilkan terobosan teknologi yang nyata dalam peningkatan produksi, di pihak lain mengklaim bahwa lembaga penelitian sesungguhnya telah banyak menghasilkan teknologi, tetapi teknologi tersebut, walaupun telah sesuai dengan kebutuhan petani, belum juga diadopsi petani secara progresif, karena faktor internal petani seperti sikap kurang berani menanggung resiko terhadap perubahan, dan faktor eksternal seperti kurangnya dukungan infrastruktur dalam adopsi teknologi baru, bahkan yang lebih ironis adalah teknologi tersebut tidak tersedia di pasar (Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, 2003:III-17).

123

Pendidikan rendah dan media massa yang terbatas dimiliki serta sempitnya waktu yang dipunyai peternak sapi perah merupakan penyebab peternak sapi perah terbatas dalam mengakses informasi. Pada umumnya peternak mendapatkan informasi dari penyuluhan yang diadakan oleh pihak koperasi, dari tetangga sesama peternak sapi perah, dari ketua kelompok, ataupun dari tamu yang melakukan kunjungan ke daerah tersebut, seperti kunjungan mahasiswa yang sedang mela-kukan penelitian, Praktek Kerja Lapangan ataupun Kuliah Kerja Nyata. Di

Kabupaten Pasuruan, sebanyak 44 persen peternak memanfaatkan

ketua kelompok sebagai sumber informasi, 28 persen memanfaatkan penyuluh sebagai sumber informasi, 19 persen menganggap tetangga atau teman sesama peternak sapi perah sebagai sumber informasi, enam persen merujuk pada jurnal seminar/penelitian ataupun bertanya pada tamu yang berkunjung ke daerahnya untuk mendapatkan informasi, dan tiga persen menganggap media massa sebagai sumber informasi. Di Kabupaten Bandung sebanyak 31 persen peternak sapi perah memanfaatkan penyuluh sebagai sumber informasi, 28 persen memanfaatkan ketua kelompok sebagai sumber informasi, 20 persen memanfaatkan tetangga atau teman sesama peternak sapi perah sebagai sumber informasi, 7 persen memanfaatkan media massa sebagai sumber informasi, dan 15 persen memanfaatkan jurnal hasil penelitian seminar, atau tamu yang berkunjung di daerahnya sebagai sumber informasi. Bedasarkan data tersebut terdapat kecenderungan bahwa di Kabupaten Pasuruan, ketua kelompok merupakan sumber informasi yang banyak dirujuk oleh peternak sedangkan di Kabupaten Bandung, sumber informasi tidak merujuk pada salah satu kelompok. Peternak berkonsultasi dengan sumber informasi yang dipercaya bukan saja dalam menyelesaikan kendala usaha yang sedang dihadapi tetapi juga apabila peternak mengambil keputusan dalam usahanya. Sebagai contoh di Kabupaten Pasuruan, pada saat peternak melakukan tukar tambah ternak sapi maka peternak melibatkan tetangga

yang lebih berpengalaman atau ketua kelompok untuk

memberikan pendapat tentang pemilihan bibit ternak yang sehat dan baik. Di Kabupaten Bandung, apabila peternak akan mengadopsi sebuah inovasi, misalnya tentang penggunaan karpet plastik untuk lantai kandang sapinya, maka peternak

124

meminta pertimbangan penyuluh atau orang-orang yang dipercaya (tetangga ataupun ketua kelompok). Informasi yang beredar di kalangan peternak sapi perah cenderung tentang aspek teknik budidaya sapi perah. Sebenarnya peternak membutuhkan banyak informasi untuk menguatkan motif berprestasi. Informasi tentang teknologi pembuatan bio gas ataupun bio arang menyebabkan peternak menyadari manfaat kotoran sapi perah yang selama ini kurang termanfaatkan. Informasi kebutuhan susu penduduk Indonesia yang semakin meningkat mendorong peternak berfikir ulang untuk menjadikan usaha sapi perah menjadi usaha subsisten karena peluang pasar begitu besar. Informasi tentang manfaat recording sebagai upaya untuk menghasilkan bibit sapi perah yang baik menyebabkan peternak rajin mencatat kinerja ternak sapi perahnya. Perilaku-perilaku positif tersebut menyebabkan produktivitas peternak meningkat karena kompetensi kewirausahaan yang dimilikinya. Berinteraksi dengan orang lain memerlukan kemampuan berkomunikasi. Interaksi dengan orang-orang di luar komunitas peternak sapi perah yang terbatas menyebabkan 18 persen peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan memiliki kemampuan mengakses informasi rendah, 68 persen memiliki kemampuan sedang, dan 14 persen memiliki kemampuan tinggi. Di Kabupaten Bandung, satu persen peternak memiliki kemampuan mengakses informasi rendah, 58 persen memiliki kemampuan sedang, dan 42 persen memiliki kemampuan tinggi. Motivasi Peternak Mengembangkan Usaha Peternakan Sapi Perah Pendekatan sumberdaya manusia menganggap bahwa pekerjaan merupakan sumber utama kepuasan hati dan motivasi bagi seseorang.

Kebutuhan-

kebutuhan pribadi sangat mempengaruhi motivasi dan sikap seseorang terhadap pekerjaan (Kossen, 1993:11-12). Menjadi peternak maju dan dapat menjalankan usaha dengan baik memerlukan motivasi tinggi agar dapat mengembangkan kemampuan dasar yang dimilikinya. Di Kabupaten Pasuruan sebanyak 74 persen memiliki motivasi pada tingkat sedang dan 26 persen memiliki motivasi pada tingkat tinggi. Peternak sapi perah di Kabupaten Bandung, 13 persen memiliki

125

motivasi pada tingkat sedang dan 87 persen memiliki motivasi pada tingkat tinggi. Hal ini disebabkan beternak sapi perah dapat menghasilkan uang setiap hari meskipun uang tersebut dibayarkan setiap 10–15 hari, tetapi disisi lain usaha sapi perah menuntut kerja keras, disiplin, dan ketelatenan. Beternak sapi perah bagi peternak di Kabupaten Pasuruan merupakan usaha yang bertujuan untuk menghasilkan uang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari (sebagai matapencaharian), selain bertani. Adanya pendapatan lain dari usaha tani seperti bertanam kopi, jeruk, dan apel menyebabkan peternak kurang termotivasi untuk mengembangkan usaha ternak sapi perah. Biaya hidup yang cukup tinggi di Kabupaten Bandung dan usaha sapi perah merupakan usaha pokok bagi peternak menyebabkan peternak bekerja keras mengembangkan usaha sapi perah untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Di sisi lain, jenis tanaman pertanian yang ditanam petani di Kabupaten Bandung selain memiliki masa panen yang relatif singkat (2-4 bulan) juga menghasilkan limbah pertanian yang dapat digunakan sebagai pakan ternak sapi perah. Kemudahan memperoleh hijauan pakan ternak menyebabkan peternak termotivasi memelihara sapi perah disesuaikan dengan modal dan kemampuan tenaga kerja keluarga. Penetapan harga susu oleh KPBS berdasarkan kualitas susu menyebabkan peternak termotivasi untuk menghasilkan susu berkualitas. Susu yang berkualitas dapat dilihat dari kandungan berat jenis (BJ), total solid (TS), solid non fat (SNF), fat, dan total plate count (TPC) yaitu jumlah bakteri dalam susu. Peternak yang menghasilkan susu berkualitas mendapat bonus, sedangkan yang menghasilkan produk tidak berkualitas mendapat hukuman. Pemberian imbalan berupa bonus harga susu per liter dan hukuman yaitu berupa penolakan susu oleh pihak koperasi menumbuhkan motivasi peternak untuk menghasilkan susu yang berkualitas sehingga harga susupun semakin tinggi. Ini sesuai dengan teori kepuasan yaitu tentang sesuatu yang terdapat dalam diri seseorang atau lingkungan orang itu yang menggiatkan dan mempertahankan perilaku orang itu. Teori tentang kepuasan atau kebutuhan menemukan bahwa kebutuhan dan motif dalam diri seseorang dapat menggerakkan, mengarahkan, melanjutkan dan memperhentikan perilaku orang itu. Teori-teori proses juga menunjukkan cara-cara untuk mengerahkan

126

orang lebih giat mencapai tujuan yang diinginkan. Skinner dan Pavlov merupakan pakar teori ini yang menyatakan bahwa perilaku yang tidak memperoleh imbalan penghargaan, tidak terjadi lagi, sebaliknya yang memperoleh imbalan menyenangkan menyebabkan terjadinya perulangan perilaku (Hukum Dampak/ Law of Effect) (Zainun, 2004:51-52).

Kondisi Lingkungan Usaha Peternakan Sapi Perah di Lokasi Penelitian Informasi, Sarana, dan Prasarana Syarat-syarat pertanian modern menurut Mosher (1974:17-18) ialah: (a) teknologi dan efisiensi usahatani yang terus menerus diperbaiki, (b) hasil bumi yang diproduksi terus menerus berubah sesuai dengan perubahan permintaan konsumen dan perubahan biaya produksi yang disebabkan oleh adanya perubahan teknologi, dan (c) perbandingan antara penggunaan tanah, tenaga kerja, dan modal pada usahatani terus berubah sesuai dengan adanya penduduk, perubahan dalam alternatif kesempatan kerja dan perubahan teknologi usahatani. Dengan kata lain, pertanian modern adalah pertanian yang sangat dinamis dan sangat fleksibel serta terus meningkat produktivitasnya. Oleh karena itu, penelitian tentang inovasi dan teknologi pertanian, ketersediaan sarana, prasarana dan informasi menjadi sangat penting keberadaannya. Tabel 12. Tingkat Dukungan Lingkungan Usaha Peternakan Sapi Perah Lingkungan Usaha - Sarana, prasarana, dan informasi

-

Kelembagaan peternakan Kelembagaan sosial Kelembagaan Penyuluhan Kebijakan pemerintah

Rata-rata dukungan

Tingkat dukungan Bandung Pasuruan 1,49 2,05 1,65 2,24 1,79 1,64 1,59 1,93 1,53 1,74 1,61 = kurang mendukung

Keterangan: - > 2,34 – 3 = sangat mendukung; - > 1,67 - 2,34 = mendukung - 1 - 1,67 = kurang mendukung

1,92 = mendukung

127

Ketersediaan sarana, prasarana, dan informasi di Kabupaten Pasuruan kurang mendukung usaha peternakan sapi perah, sedangkan ketersediaan sarana, prasarana, dan informasi di Kabupaten Bandung, mendukung usaha peternakan sapi perah (Tabel 12). Di kedua lokasi penelitian, sarana produksi seperti pakan konsentrat dan peralatan pemerahan ataupun peralatan perkandangan telah disediakan oleh koperasi secara memadai. Prasarana produksi seperti jalan-jalan, penjual bensin, dan transportasi yang cukup memadai memudahkan peternak menyetorkan susu ke TPK/TPS, demikian juga dengan ketersediaan kendaraan pengangkut susu yang dimiliki koperasi cukup untuk mengangkut susu dari TPK/TPS ke koperasi. Namun, di Kecamatan Nongkojajar, Kabupaten Pasuruan, belum ada Stasiun Pengisian Bahan Bakar. Bensin dijual oleh perseorangan dengan harga di atas harga di Stasiun Pengisian Bahan Bakar. Koperasi juga menyediakan informasi tentang budidaya sapi perah dan usaha simpan pinjam untuk mengembangkan usaha yang disampaikan dalam kegiatan penyuluhan. Dalam hal pengadaan pakan konsentrat, peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan tidak mengalami kesulitan tetapi dalam penyediaan pakan hijauan, peternak mengalami kesulitan, khususnya pada musim kemarau. Untuk mengatasi kekurangan pakan hijauan pada musim kemarau, peternak membeli pakan hijauan dari tetangga desa. Peternak sapi perah di Kabupaten Bandung tidak mengalami kesulitan dalam penyediaan pakan hijauan, karena banyak limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan hijauan ternak. KPSP ”Setia Kawan” mempunyai beberapa unit penunjang seperti unit simpan pinjam, asuransi bagi peternak dan ternaknya, serta unit kendaraan sebagai sarana transportasi mengambil susu dari peternak sampai ke IPS. KPSP ”Setia Kawan” memiliki delapan unit tangki pengangkut susu dengan kapasitas empat ton, satu buah berkapasitas delapan ton, dan dua buah berkapasitas sepuluh ton. Guna melayani kebutuhan anggotanya, KPSP ”Setia Kawan” memiliki sembilan orang inseminator, empat orang paramedis, dan tujuh orang petugas potong kuku. Masing-masing petugas dilengkapi fasilitas motor dan bensin dari koperasi. KPSP ”Setia Kawan” memiliki jumlah karyawan sebanyak 205 orang yang ditempatkan pada bagian organisasi sebanyak dua orang, divisi susu segar

128

sebanyak 150 orang, divisi perdagangan dan jasa sebanyak sepuluh orang, simpan pinjam sebanyak sepuluh orang, dan karyawan harian sebanyak 33 orang. Bila dikaitkan dengan jumlah peternak yang mendapat pelayanan koperasi sebanyak 4.730 orang maka satu karyawan koperasi melayani 23 orang peternak. Bagi peternak sapi perah, jumlah inseminator, paramedis, dan petugas potong kuku dirasakan kurang mencukupi untuk melayani seluruh wilayah kerja koperasi. Selain memberikan pelayanan kepada anggota, petugas-petugas tersebut juga bertugas sebagai tenaga penyuluh. Koperasi berusaha memberi pelayanan yang cepat kepada anggotanya khususnya dalam hal pemasaran susu melalui cara membangun TPS di dekat lokasi peternakan sapi perah, hal ini mengingat sifat susu yang cepat rusak. Setiap TPS ditempatkan dua orang karyawan dibantu oleh ketua kelompok yang bertanggungjawab terhadap proses pengujian susu, pencatatan jumlah susu yang disetor peternak, pembayaran susu kepada peternak, pembagian konsentrat, dan masalah simpan pinjam peternak. Penanggungjawab TPS bertanggungjawab pada kualitas susu anggotanya, bila ada peternak yang menghasilkan susu dengan kualitas jelek maka tugas penanggungjawab TPS untuk memberikan bimbingan teknis kepada peternak yang bersangkutan. Di Kabupaten Pasuruan, petugas TPS difungsikan juga sebagai penyuluh dan pendamping peternak dalam mengusahakan sapi perah. Keterbatasan tenaga pendamping menyebabkan belum seluruh peternak memiliki informasi yang sama. Informasi banyak dimiliki oleh peternak yang memiliki akses dengan penyuluh tetapi bagi peternak dengan kepemilikan ternak sedikit dan berdomisili jauh dengan ketua kelompok, memiliki informasi yang sangat terbatas. Padahal informasi sangat dibutuhkan peternak untuk memperbaiki kompetensi kewirausahaan. KPBS mempunyai beberapa unit penunjang seperti unit simpan pinjam, asuransi bagi peternak dan ternaknya, serta unit kendaraan sebagai sarana transportasi mengambil susu dari peternak sampai ke IPS. KPBS memiliki kendaraan angkutan susu sebanyak 22 unit, terbagi dalam 13 unit sebagai kendaraan susu daerah dan sembilan unit kendaraan tangki susu ke pemasaran. KPBS memiliki karyawan yang menangani keperluan peternak meliputi:

129

-

Unit pelayanan susu/MT

: 133 orang

-

Unit pelayanan barang dan pakan ternak :

-

Unit pelayanan kesehatan Hewan

: 34 orang

-

Unit pelayanan penyuluhan

:

3 orang

3 orang

Selain karyawan tersebut di atas, koperasi memiliki karyawan pada cabangcabang usaha lain. Jumlah karyawan koperasi pada akhir tahun 2006 sebanyak 305 orang. Bila dikaitkan dengan jumlah peternak yang mendapat pelayanan koperasi sebanyak 4.701 orang maka satu karyawan koperasi melayani 15 orang peternak. Jumlah karyawan koperasi yang sangat banyak menyebabkan pemborosan untuk upah karyawan. Menurut Yusdja (2005:262), karyawan koperasi cukup 4-5 orang. Koperasi berusaha memberi pelayanan yang cepat kepada anggotanya khususnya dalam hal pemasaran susu melalui cara membangun TPK di dekat lokasi peternakan sapi perah, hal ini mengingat sifat susu yang cepat rusak. Setiap TPK ditempatkan dua orang karyawan dibantu oleh ketua kelompok yang bertanggungjawab terhadap proses pengujian susu, pencatatan jumlah susu yang disetor peternak, pembayaran susu kepada peternak, pembagian konsentrat, dan masalah simpan pinjam peternak. Penanggungjawab TPK juga bertanggungjawab pada kualitas susu anggotanya, bila ada peternak yang menghasilkan susu dengan kualitas jelek maka tugas penanggungjawab TPK untuk memberikan bimbingan teknis kepada peternak yang bersangkutan. Sebaliknya, bila anggota memiliki kualitas susu baik maka penanggungjawab mendapatkan insentif dari koperasi yang diakumulasikan dengan gaji. Oleh karena itu, penanggungjawab TPK difungsikan juga sebagai penyuluh bagi anggota TPK. Kedua penanggungjawab TPK di Kabupaten Bandung, selain bertanggungjawab terhadap proses penyetoran susu juga sebagai petugas IB dan pelayanan kesehatan ternak. Petugas pelayanan kesehatan ternak bertugas sebagai penguji kualitas susu, dan petugas IB bertugas sebagai pencatat jumlah susu yang disetor peternak serta melakukan pembayaran. Setelah proses penyetoran susu selesai, penanggungjawab TPK bertugas melayani kebutuhan anggota sebagai insemi-

130

nator dan pemantau kesehatan ternak pada masing-masing TPK yang menjadi tanggung jawabnya. Koperasi merupakan badan usaha yang salah satu kegiatannya adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya. Oleh karena itu, informasi yang disediakan koperasi sesuai dengan kepentingan koperasi dan kurang berpihak pada kebutuhan peternak. Informasi yang diberikan kepada peternak lebih menekankan pada aspek menjaga kualitas dan kuantitas susu. Informasi tentang manajemen usaha, meningkatkan kemampuan bermitra usaha ataupun diversifikasi usaha yang dapat dilakukan peternak sapi perah kurang mendapat perhatian dari pihak koperasi.

Kelembagaan Peternak Kelembagaan peternak di Kabupaten Pasuruan kurang mendukung usaha sapi perah, sedangkan di Kabupaten Bandung, kelembagaan peternak mendukung usaha peternakan sapi perah. Kelembagaan Peternak dalam penelitian ini adalah koperasi dan kelompok peternak sapi perah. Kelompok peternak dan koperasi di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung dibentuk secara top down. Kelompok yang dibentuk dari atas menyebabkan anggota kurang merasa memiliki kelompok yang bersangkutan. Kelompok sapi perah di Kabupaten Pasuruan tidak pernah mengadakan pertemuan, sedangkan kelompok sapi perah di Kabupaten Bandung ada yang aktif mengadakan pertemuan tetapi ada juga yang tidak pernah mengadakan pertemuan. Kegiatan yang dilaksanakan oleh kelompok peternak sapi perah di Kabupaten Bandung adalah arisan. Di Indonesia, koperasi merupakan lembaga yang berperan sebagai mediator antara peternak dengan IPS, terutama dalam pemasaran susu. Peran koperasi meliputi pengembangan subsistem budidaya (on farm), subsistem hulu (input factor supplies), subsistem hilir (processing and marketing), dan pengembangan sumberdaya manusia, transfer teknologi, dan ketersediaan akses modal. Peran kelompok dan koperasi bagi peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan dan Bandung, lebih bersifat memudahkan koordinasi dalam hal penyediaan sarana produksi dan pemasaran susu. Peran lembaga peternakan kurang memper-

131

hatikan peningkatan kompetensi peternak sebagai pelaku usaha. Kelompok dan koperasi belum dimanfaatkan sebagai wahana untuk mengembangkan kompetensi diri petani peternak, sebagai ajang tukar informasi, dan belajar berorganisasi. Penyuluhan yang dilaksanakan koperasi disebabkan oleh salah satu peran koperasi yaitu pengembangan sumberdaya manusia. Ada kewajiban pihak koperasi untuk mengembangkan SDM anggotanya, karena dengan berkembangnya SDM anggota koperasi maka kualitas produk yang dihasilkan peternak sapi perah anggota koperasi, meningkat pula. Dalam hal ini, koperasi juga mendapat keuntungan. Materi penyuluhan yang dilaksanakan koperasi lebih menitikberatkan kepada masalah teknik untuk menghasilkan susu dengan kualitas dan kuantitas tinggi. Hal ini bertujuan agar koperasi dapat memenuhi kuota kesepakatan dengan IPS dan mendapatkan keuntungan yang tinggi. Materi tentang upaya menghasilkan pedet secara teratur, memberi nilai tambah kepada produk susu, dan memanfaatkan kotoran atau limbah ternak kurang mendapat perhatian koperasi. Hal ini karena pedet, hasil olahan susu, maupun pemanfaatan limbah atau kotoran sapi perah tidak berkaitan dengan koperasi. Pada awal pendiriannya KUD ”Setia Kawan” dan KPBS adalah koperasi tunggal usaha, yakni usaha di bidang persusuan. Kegiatan usaha ini diterapkan dengan pola usaha agribisnis yang meliputi tiga unit kegiatan yaitu: pra produksi, produksi, dan pasca produksi.

Unit pra produksi meliputi kegiatan-kegiatan:

pengadaan dan penyebaran bibit, penyediaan sarana produksi seperti pakan, obatobatan dan vaksinasi, serta penyediaan peralatan kandang seperti karpet, dan slang plastik, juga perlengkapan pemerahan seperti vaseline, milk can, dan saringan. Unit produksi meliputi kegiatan-kegiatan: manajemen koperasi, penyuluhan untuk mengembangkan usaha sapi perah dan penerimaan susu dari peternak. Unit pasca produksi meliputi kegiatan-kegiatan: pemasaran susu ke Industri Pengolahan Susu (IPS) dan pemasaran susu langsung ke konsumen. Namun, pada saat ini usaha koperasi telah berkembang ke usaha lain seperti minimarket, jasa keuangan (BPR) dan wartel. Bagi peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan, usaha minimarket dan wartel dirasakan kurang mendukung usaha sapi perah. Bagi peternak sapi pe-

132

rah di Kabupaten Bandung, wartel dirasakan cukup mendukung usaha sapi perah yaitu untuk berkomunikasi dan mencari informasi dengan sumber informasi.

Kelembagaan Sosial Banyak budaya dan pengetahuan lokal dapat dimanfaatkan oleh petani peternak untuk menghasilkan produksi yang tinggi tanpa merusak struktur ekologi. Aspek lain yang menarik dari pengetahuan lokal dalam sektor pertanian adalah bahwa sistem pertanian lokal mampu mengembangkan dirinya tanpa dukungan input pertanian modern. Ketergantungan pada teknologi modern meskipun dapat menaikkan produksi namun diikuti dengan naiknya biaya produksi. Kelembagaan sosial di Kabupaten Pasuruan mendukung usaha peternakan sapi perah, sedangkan kelembagaan sosial di Kabupaten Bandung kurang mendukung usaha peternakan sapi perah.

Setiap upaya pembangunan pertanian harus

sensitif terhadap budaya masyarakat pertanian dengan menjadikan pengetahuan dan budaya lokal sebagai peubah utama dalam proses pembangunan pertanian. Kebudayaan Jawa termasuk di Pasuruan cenderung bersifat agraris dan feodalistis, mobilitas penduduk cenderung rendah, kurang memiliki jiwa entrepreneurship, rendah tingkat disiplin, rendah semangat kerja keras, kurang suka menabung (investasi), kurangnya pandangan ke depan dan cenderung bersifat ”nrimo.” Ciriciri tersebut sangat bertentangan dengan ciri wirausaha yang berani mengambil resiko, tetapi kegiatannya didorong oleh motif mendapatkan keuntungan. Namun, kebudayaan Jawa memiliki rasa solidaritas yang tinggi. Dalam mengatasi kendala usaha, seperti bila ada ternak yang sakit maka peternak di Kabupaten Pasuruan bertanya kepada tetangga atau ketua kelompok, kemudian melaksanakan nasihat tersebut. Banyak pengetahuan lokal yang digunakan untuk mengobati ternak yang sakit, misalnya untuk mengatasi ternak yang terkena penyakit mastitis, selain peternak menambah frekuensi pemerahan juga memberi buah pepaya masak kepada sapi yang sakit. Peternak di Kabupaten Bandung lebih memiliki sikap terbuka dan memiliki tingkat kosmopolit yang cukup tinggi. Peternak lebih berani mencoba hal-hal

133

yang baru yang ditawarkan penyuluh, seperti penggunaan karpet plastik untuk alas kandang, dan pemanfaatan berbagai limbah pertanian untuk pakan sapi. Peternak sapi perah juga memberikan taoge (kecambah) sebanyak 3-5 kg/ekor/hari selama 5-7 hari sebagai upaya untuk mempercepat bihari pada sapi perah. Namun, ada kecenderungan pandangan masyarakat di Kabupaten Bandung yang masih menganggap bahwa usaha peternakan sapi perah merupakan usaha yang tidak terhormat karena berhubungan dengan ternak. Dalam hal menambah pengetahuan melalui kegiatan penyuluhan, di kedua lokasi penelitian memperlihatkan tidak adanya batasan warga untuk memperolehnya, tetapi karena kegiatan penyuluhan dilaksanakan pada malam hari maka peserta yang datang lebih banyak adalah kaum lelaki. Penyuluhan yang diadakan di koperasi menyebabkan perempuan kurang berminat mendatanginya karena jarak yang jauh. Tanggapan masyarakat maupun pemimpin informal terhadap pemeliharaan sapi perah yang dilakukan oleh masyarakatnya, merasa tidak keberatan malah sangat mendukung. Hal ini disebabkan dengan adanya budidaya sapi perah di daerahnya menjadikan sarana jalan raya menjadi baik. Koperasi memberi insentif kepada desa-desa yang membudidayakan ternak sapi perah sebesar Rp 5,00 untuk tiap liter susu yang dihasilkan warganya.

Kelembagaan Penyuluhan Kelembagaan yang menangani penyuluhan untuk usaha sapi perah adalah koperasi. Hal ini karena salah satu fungsi koperasi adalah berperan secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat. Tenaga penyuluh yang melaksanakan penyuluhan dibagi dalam dua kelompok, bila materi penyuluhan berkaitan dengan teknis budidaya sapi perah maka penyuluhan disampaikan oleh penanggungjawab pada masing-masing TPK/ TPS tetapi bila materi yang disampaikan berkaitan dengan kebijakan koperasi maka materi penyuluhan disampaikan oleh karyawan atau pengurus koperasi. KPBS memiliki tiga orang karyawan yang mengatur pelaksanaan penyuluhan di seluruh

134

wilayah kerja koperasi, sedangkan KPSP ”Setia Kawan” Pasuruan belum memiliki karyawan khusus yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan penyuluhan. Pelaksanaan penyuluhan diatur oleh pengurus koperasi yaitu sekretaris koperasi. Metode penyuluhan yang digunakan adalah ceramah dan diskusi dengan cara tatap muka. Kemampuan komunikasi dengan orang-orang di luar komunitas peternak yang terbatas dan sikap kurang percaya diri menyebabkan belum semua peserta penyuluhan terlibat aktif dalam diskusi maupun dalam proses pengambilan keputusan. Media yang digunakan untuk membantu peternak memahami materi penyuluhan adalah media cetak seperti buku, majalah, leaflet, dan brosur. Keterbatasan dana bagi program penyuluhan menyebabkan buku, majalah, dan leaflet dibagikan kepada ketua dan beberapa peternak saja. Pelaksanaan demonstrasi sebagai tindak lanjut dari ceramah, jarang dilakukan.

Demikian juga halnya

dengan pelaksanaan magang, karyawisata ataupun anjangkarya ke peternak sapi perah yang berprestasi untuk meningkatkan motivasi peternak dan membuka akses informasi ataupun membuka jaringan kerja antar peternak, sangat jarang dilakukan. Oleh karena itu, dari tahun ke tahun mayoritas peternak membudidayakan sapi dengan teknik dan manajemen yang sama. Orang-orang yang mengalami kemajuan dalam teknik dan manajemen pada umumnya adalah ketua kelompok dan orang-orang yang dekat (secara emosional maupun tempat tinggal) dengan ketua kelompok. Hal ini terjadi karena intensitas komunikasi yang tinggi dengan sumber-sumber informasi.

Kebijakan Pemerintah dalam Persusuan Nasional Campur tangan pada perkembangan peningkatan produksi sapi perah hingga tahun 1999 sangat besar baik dalam pengaturan pemasaran, tata niaga impor sapi perah, memaksa IPS membeli susu segar koperasi dengan cara mengkaitkan ijin impor susu dengan penyerapan susu segar dari koperasi. Kebijakan tersebut selama hampir 30 tahun ternyata tidak menghasilkan peternakan yang tangguh malah sebaliknya membuat ketergantungan dalam diri pengelola usaha.

135

Kebijakan-kebijakan pemerintah pusat terhadap usaha persusuan di Indonesia lebih bersifat melindungi peternak sapi perah dibandingkan menumbuhkan kompetensi peternak. Secara normatif adanya kebijakan pemerintah tersebut bertujuan meningkatkan pendapatan peternak, meningkatkan produksi susu dalam negeri, dan meningkatan kesempatan berusaha. Namun, rendahnya kompetensi kewirausahaan peternak menyebabkan kebijakan pemerintah tersebut ditanggapi dengan cara berupaya untuk menghasilkan susu sapi dalam jumlah banyak tetapi bukan dari ternak-ternak produktif melainkan dari populasi ternak yang banyak. Untuk menghasilkan susu yang tinggi, peternak memberi pakan sapi perah dengan pakan berkualitas yang dibeli dari koperasi. Uang yang diperoleh peternak dari penjualan susu sapi habis untuk membeli pakan konsentrat dan hijauan, sehingga dari tahun ke tahun belum ada perbaikan kesejahteraan peternak sapi perah. Rendahnya tingkat keterlibatan masyarakat pelaku usaha persusuan dalam menentukan kebijakan pemerintah menyebabkan sempitnya ruang gerak dan kreativitas masyarakat tani ternak. Peternak bagaikan robot yang bertugas sesuai instruksi yang diterima. Kebijakan pemerintah maupun koperasi yang mengatur penyediaan sarana, prasarana, informasi serta pemasaran susu menyebabkan peternak memiliki ketergantungan kepada koperasi dan pemerintah. Sikap tidak mandiri pada peternak kurang menumbuhkan kompetensi kewirausahaan peternak. Menyadari sisi negatif yang ditimbulkan oleh kebijakan sebelumnya maka pemerintah berusaha memperbaikinya. Berikut ini adalah rencana kerja dari Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian dalam upaya mendorong pemasaran produk susu pada peternakan rakyat, (Damardjati, 2008:7-9), yaitu: (1) Memberikan dukungan nyata kepada peternak untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil ternak sapi perah melalui pemberian bantuan fasilitas peralatan penanganan susu segar kepada Kelompok/Gapoknak. (2) Meningkatkan kemampuan pengolahan susu pada tingkat peternak yang berbasis pada Kelompok/Gapoknak. Upaya ini dapat dilakukan melalui penye-

136

diaan bantuan teknik dan peralatan pengolahan susu di sentra produksi susu sapi perah. (3) Meningkatkan kemampuan peternak/pelaku usaha penanganan, pengolahan dan pemasaran susu dalam mengembangkan usaha. Upaya yang dilakukan yakni

melakukan

kegiatan

pendampingan

usaha

peternak/Kelompok/

Gapoknak dengan merekrut tenaga yang berkompeten baik dari Perguruan Tinggi maupun dari lembaga-lembaga lain yang relevan dengan hal tersebut. (4) Meningkatkan kemampuan penjualan langsung ke konsumen. Ini merupakan tantangan yang dihadapi pemerintah karena minum susu belum merupakan budaya masyarakat, sehingga diperlukan suatu rencana aksi dengan membuat suatu kebiasaan minum susu yang kemudian kebiasaan itulah yang membentuk budaya minum susu. Upaya ini dapat dilakukan melalui promosi minum susu segar atau susu murni bagi anak sekolah dan kelompok masyarakat gizi buruk. (5) Program diversifikasi pengolahan produk susu dilakukan melalui pengolahan susu tablet yang akan dilakukan di Kabupaten Sleman dan Kulon Progo pada tahun 2008. (6) Model prototipe yang telah dilakukan dalam pengolahan susu pasteurisasi Golpara di Sukabumi ternyata dapat meningkatkan pengolahan susu dari 60 liter per hari menjadi 520 liter per hari yang berarti kesadaran untuk meraih nilai tambah melalui usaha pengolahan semakin baik di tingkat peternak. Hal ini telah direplikasikan pada daerah sentra produksi yang potensial seperti di Sinjai, Enrekang, Blitar dan sebagainya. Untuk mewujudkan program aksi tersebut, kegiatan utama yang dilakukan antara lain: fasilitasi peralatan penanganan, pengolahan dan pemasaran susu segar, pendampingan pengembangan usaha, Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK) serta kegiatan pemasaran susu dimasyarakat. Pada tahun 2007 telah dilakukan penyebaran bantuan alat pengolahan susu pasteurisasi yang diberikan di lima provinsi yaitu Provinsi Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Bantuan alat tersebut diberikan melalui kelompok peternak sapi perah yang dalam operasionalnya bekerjasama dengan koperasi susu setempat.

137

Tujuan dari bantuan alat adalah apabila susu sapi perah peternak ditolak oleh koperasi (IPS) maka dapat diolah menjadi susu pasteurisasi yang dikemas dalam cup dan diberi label. Dalam proses pengolahan dan pengemasan disesuaikan dengan standar higienis yang berlaku agar konsumen yang meminum susu tidak sakit (bio safety). Untuk program bantuan peralatan tahun 2008 sedang dilakukan mapping pada daerah sentra produksi agar dapat diketahui secara pasti kebutuhan peralatan yang dibutuhkan karena masing-masing daerah peralatan yang diinginkan tidak sama seperti milk can, pasteurisasi, mobil tank, dan lain-lain. Program pemasaran yang dicanangkan untuk memasyarakatkan minum susu adalah melalui : (1) Gerakan Minum Susu Bagi Anak Usia Sekolah (GERIMIS BAGUS) yang dilakukan di Kabupaten Sukabumi yaitu dengan membagikan susu kepada anak Sekolah Dasar secara rutin untuk membantu meningkatkan gizi anakanak dengan target sebesar 5.000 anak. (2) Program Menu Tambahan Anak Sekolah (PMTAS) melalui Dinas Pendidikan di Kabupaten Sinjai pada tahun 2007 telah menyalurkan susu anak sekolah sebanyak 14.000 liter dalam bentuk susu dalam gelas (cup), untuk tahun 2008 akan ditingkatkan menjadi 19.000 liter yang dibiayai melalui APBD. (3) Program Desa Mandiri Pangan (PDMP) yaitu memberikan bantuan susu kepada ibu-ibu hamil melalui Puskesmas di Kabupaten Sinjai. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan upaya pemerintah untuk mempromosikan minum susu. Kegiatan-kegiatan tersebut sekaligus memberi harapan kepada peternak untuk mengembangkan produktivitas kerja sehingga mampu menghasilkan produk susu dan produk olahannya sesuai dengan permintaan pasar. Kebijakan Pemerintah dalam Mencukupi Kebutuhan Susu Hingga tahun 2007, peternakan sapi perah lokal mampu mencukupi kebutuhan susu penduduk Indonesia sebesar 26 persen, sisanya dipenuhi dari impor. Semakin bertambah jumlah penduduk dan kesadaran pentingnya gizi bagi pertumbuhan generasi muda menyebabkan kebutuhan susu semakin meningkat.

138

Bila solusi pemerintah selalu dengan mengimpor susu dari luar negeri maka harga susu pada tingkat konsumen semakin mahal sehingga tidak semua mayarakat mampu untuk membelinya. Kurangnya asupan pangan bergizi bagi generasi muda dapat menyebabkan terjadinya loss generation dan dapat memperburuk kualitas SDM generasi yang akan datang. Oleh karena itu, perlu upaya untuk mengatasi keadaan ini. Pemerintah Indonesia melakukan impor susu dengan persyaratan yang cukup ketat. Hal ini mengingat sifat susu yang mudah tercemar bakteri dan mudah rusak. Selain itu, upaya ini bertujuan untuk melindungi konsumen dari penyakit zoonosis, menjamin kelayakan pangan, dan memberi keamanan dan ketenteraman batin konsumen. Syarat-syarat susu atau produk susu yang di ekspor ke Indonesia harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Direktur Kesmavet Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, sebagai berikut: (a) bahan baku susu harus berasal dari peternakan yang bebas ”brucellosis” dan ”tuberculosis” serta telah dibuktikan dengan sertifikat, (b) telah dilakukan pengujian terhadap cemaran mikroba dan residu sekurangkurangnya sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) dan telah dibuktikan dengan sertifikat, (c) telah melalui proses inaktivasi selain menggunakan metode radiasi terhadap mikroorganisme patogen dan telah dibuktikan dengan sertifikat, (d) tidak mengandung bahan pengawet, bahan tambahan dan bahan lain yang membahayakan kesehatan manusia yang dibuktikan dengan sertifikat, dan (e) setiap proses pembuatan susu dan produk susu harus telah menerapkan Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP) dan jaminan kehalalan. Peraturan pemerintah Nomor 7 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 Tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, membebaskan pajak bagi perdagangan susu oleh peternak sapi perah. Susu yang dimaksud adalah diperah, didinginkan, dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lain, dikemas bahan lainnya, dikemas atau tidak dikemas. Hal ini dilakukan sebagai upaya agar tidak

139

membebani peternak sapi perah dalam pemasaran susu dan mendorong peternak sapi perah memproduksi susu dari sapi perahnya secara maksimal dan dijual langsung ke konsumen atau melalui koperasi dan selanjutnya koperasi menjualnya ke konsumen atau IPS. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi kekurangan susu bagi penduduk Indonesia, selain mengimpor susu juga mengimpor bibit sapi perah. Pada periode 1979–1995 pemerintah mengimpor bibit sapi perah sebanyak 87.885 ekor dan bibit tersebut diberikan kepada peternak melalui koperasi dengan sistem kredit Pengembangan Usaha Sapi Perah (PUSP). Setelah program PUSP dijalankan maka secara drastis produksi susu meningkat secara tajam. Dengan meningkatnya produksi susu dalam negeri maka pada tahun 1983 Pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri yaitu Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan dan Koperasi yang isinya adalah Industri Pengolah Susu (IPS) diwajibkan menyerap susu segar dalam negeri sebagai pendamping dari susu impor untuk bahan baku industrinya. Namun, pada tahun 1998 dengan dikeluarkan Letter of Intents (LoI) dari IMF kebijakan tersebut sudah tidak berlaku lagi sehingga IPS dengan bebas dapat mengimpor susu dari luar negeri sampai sekarang. Terjadinya krisis moneter pada tahun 1997 menyebabkan impor bibit sapi perah mengalami penurunan karena harga bibit sapi perah sangat mahal. Harga bibit sapi perah sebelum krisis sekitar Rp 2,2 juta (1000 US$), setelah krisis harga bibit sapi perah mencapai Rp 9-10 juta. Kondisi tersebut menyebabkan pemerintah melakukan upaya-upaya seperti mengimpor sapi-sapi induk yang berkualitas, kemudian sapi-sapi tersebut diternakkan oleh koperasi. Turunan dari sapi-sapi tersebut kemudian dikreditkan ke peternak. Selain itu, koperasi juga membeli bibit sapi perah dari lain daerah (dari Lembang, Baturraden, dan Boyolali) dengan tujuan menghindari terjadinya inbreeding ataupun meningkatkan kualitas sapi perah. Upaya lain adalah menghasilkan bibit sapi perah dengan memanfaatkan teknologi dari ahli pemuliabiakan ternak. Salah satunya adalah hasil penelitian aplikasi IB dengan teknologi sexing sperma yang dikembangkan oleh Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Singosari sejak tahun 2004. Dengan teknik ini dapat

140

dihasilkan semen beku sexing dalam jumlah sangat besar dalam waktu singkat dengan jenis sex yang sesuai dengan keinginan peternak. Selain itu juga pemerintah melalui Direktorat Jenderal Peternakan bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor telah mengupayakan uji zuriat untuk menghasilkan pejantan-pejantan berkualitas. Diharapkan melalui upaya tersebut pemerintah dapat mengganti dan mencukupi kebutuhan bibit sapi perah yang mampu menghasilkan produk susu yang tinggi dan berkualitas dengan harga lebih murah dibandingkan dengan impor bibit sapi perah. Salah satu penyebab tidak optimumnya produksi susu sapi perah karena bibit sapi perah sudah tua. Instansi pemerintah yang langsung terkait dalam mendukung kebijakan pengembangan sapi perah adalah: (a) Balai Inseminasi Buatan (BIB) Lembang di Jawa Barat dan BBIB Singosari di Jawa Timur; (b) Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Baturraden di Jawa Tengah; dan (c) Balai Embrio Ternak (BET) di Cipelang Jawa Barat. Fungsi BIB adalah memproduksi dan mendistribusikan semen beku ke daerah-daerah yang memerlukan. Semen beku diperoleh dari pejantan unggul yang diperoleh dari impor dan Balai Embrio Ternak Cipelang. Sebagai penghasil bibit yang juga berperan dalam upaya peningkatan mutu genetik, BPTU Baturraden menggunakan sistem Breeding Centre yang dikombinasikan dengan sistem Village Breeding Centre. Dengan kegiatan seleksi dari sistem pembibitan yang ada diharapkan diperoleh pejantan-pejantan unggul untuk keperluan BIB guna produksi semen, dan betina-betina unggul untuk donor di Balai Embrio Ternak.

Fungsi BET antara lain memproduksi dan mendistribusikan

embrio ternak, terutama untuk mendukung kegiatan produksi semen di BIB dan penangkaran bibit. Musim panas yang berkepanjangan di Australia dan New Zealand saat ini berpengaruh terhadap penyediaan pakan hijauan dan butiran. Hal ini menyebabkan meningkatnya harga pakan ternak yang berdampak pada meningkatnya harga susu. Disisi lain, dengan meningkatnya harga minyak dunia yang mencapai US$ 118/barrel secara otomatis meningkatkan biaya transportasi. Dengan demikian kemungkinan IPS banyak menyerap susu lokal karena meningkatnya biaya

141

produksi di negara eksportir dan ini merupakan peluang yang harus dimanfaatkan oleh peternak sapi perah di Indonesia. Peluang ini perlu ditanggapi secara serius oleh pemerintah dan pelaku usaha sapi perah. Pemerintah melakukan upaya promosi minum susu segar kepada masyarakat sehingga merangsang penjualan susu segar kepada konsumen langsung dan secara bertahap dapat mengurangi ketergantungan peternak dan koperasi terhadap IPS, serta mengurangi bahan baku susu impor. Konsumsi susu segar juga lebih meringankan konsumen karena harga susu lebih murah. Peternak perlu didorong untuk mengoptimalkan skala usaha yang menghasilkan keuntungan maksimal. Selain itu, koperasi perlu melengkapi peralatan untuk pengawetan dan pengemasan dalam bentuk susu dalam botol, dalam kaleng atau dalam kotak untuk dijual langsung ke konsumen.

Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Pengembangan Sapi Perah Salah satu dukungan pemerintah daerah Kabupaten Pasuruan dan Bandung adalah dengan membangun prasarana produksi berupa pembangunan jalan raya sampai ke lorong-lorong tempat tinggal peternak. Namun, karena warga tidak dapat merawatnya maka banyak jalan raya yang rusak. Perbaikan jalan dilakukan oleh pemerintah daerah dan koperasi secara bertahap. Bentuk dukungan lain dari pemerintah daerah di Kabupaten Bandung adalah dengan akan ditandatanginya kerjasama antara Pemda dengan P.T. Teh Sosro pada tahun 2008, untuk penanaman rumput di lahan P.T Teh Sosro seluas 800 Hektar di Perkebunan Cukul dengan sistem sewa.

Kompetensi Kewirausahaan Peternakan sapi perah merupakan usaha yang memerlukan kompetensi kewirausahaan yang meliputi kompetensi teknis dan manajerial, sehingga merupakan hal yang kurang tepat apabila usaha peternakan sapi perah masih dikelola

142

sebagai usaha sambilan. Tingkat kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah rakyat di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 13. Secara umum, peternak telah menguasai kompetensi teknis dengan tingkat tinggi, sedangkan kompetensi manajerial peternak sapi perah adalah sedang (Tabel 13), khususnya dalam hal memanfaatkan peluang usaha dan mengatasi kendala usaha. Bargaining position yang lemah, kemampuan berinteraksi dengan komunitas di luar komunitas masyarakat sekitar, yang lemah, serta keterbatasan modal yang dimiliki menyebabkan peternak kurang berani mengambil keputusan yang memiliki resiko tinggi terhadap berkurang atau hilangnya aset yang dimiliki. Sikap ”nrimo” peternak juga turut memberi kontribusi terhadap rendahnya kompetensi.

Tabel 13. Tingkat Kompetensi Kewirausahaan Peterak Sapi Perah Indikator

Kompetensi Teknis Bibit Sapi Perah Perkandangan Pakan Reproduksi Pemeliharaan Pemerahan Produktivitas Ternak Recording Penyakit Rata-rata Kompetensi Teknis Kompetensi Manajerial Perencanaan Usaha Pengkoordinasian Pengawasan Evaluasi Komunikasi Bermitra Usaha Mengatasi kendala usaha Memanfaatkan peluang usaha Rata-rata Kompetensi Manajerial Rata-rata Tertimbang Kompetensi Kewirausahaan

Kec. Nongkojajar Kabupaten Pasuruan Rataan Tingkat Kompetensi

Kec. Pangalengan Kabupaten Bandung Rataan Tingkat Kompetensi

Kec. Nongkojajar dan Kec Pangalengan Rataan Tingkat Kompetensi

58,64 71,23 73,65 69,60 73,74 69,89 73,18 30,64 30,01 61,18

sedang tinggi tinggi sedang tinggi sedang tinggi rendah rendah sedang

72,24 84,32 85,69 82,56 90,88 84,99 86,88 44,96 38,62 74,57

tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang sedang tinggi

65,44 77,66 79,67 76,08 82,31 72,44 80,03 38,30 34,31 67,33

sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang sedang

30,93 30,64 30,08 30,72 36,84 30,63 29,10 30,68

rendah rendah rendah rendah sedang rendah rendah rendah

37,71 37,08 37,57 37,60 46,37 41,85 36,48 34,72

sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang

34,32 33,86 31,95 34,16 41,61 36,24 32,79 32,70

sedan g rendah rendah sedang sedang sedang rendah rendah

31,20

rendah

38,67

sedang

34,94

sedang

47,07

sedang

57,68

sedang

52,38

sedang

Keterangan: - 1-34 = rendah, >34-67 = sedang , >67–100 = tinggi - Kabupaten Pasuruan, lokasi di Kecamatan Nongkojajar, Kabupaten Bandung, lokasi di Kecamatan Pangalengan.

143

Kompetensi Teknis Kompetensi teknis yang diamati dalam penelitian ini adalah kompetensi peternak dalam hal bibit sapi perah, perkandangan, pakan, pemeliharaan, reproduksi, produktivitas ternak, pemerahan, recording, dan penyakit sapi perah. Rata-rata kompetensi teknis peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan adalah dalam tingkat sedang (61 persen), sedangkan di Kabupaten Bandung, kompetensi teknis peternak sapi perah adalah dalam tingkat tinggi (75 persen). Masalah teknis yang masih kurang dikuasai peternak sapi perah adalah recording dan deteksi penyakit serta pengobatannya. Pengalaman beternak yang telah cukup lama dan materi penyuluhan yang lebih menitikberatkan masalah teknis yang dilakukan pihak koperasi menyebabkan peternak menguasai teknik budidaya sapi perah secara baik. Namun, meskipun beternak sapi perah telah cukup lama ditekuni peternak, tetapi karena sifat kurang telaten dan tidak percaya diri menyebabkan peternak belum melakukan recording secara teratur dan kurang dapat mendeteksi penyakit secara baik. Kompetensi Peternak tentang Bibit Sapi Perah Sapi perah yang banyak dijumpai di lokasi penelitian adalah bangsa sapi Fries Holland (FH) dan Peranakan Fries Holland (PFH) yaitu hasil perkawinan sapi FH dengan sapi lokal. Peternak di Kabupaten Pasuruan maupun Bandung kurang mengetahui bangsa sapi perah yang dimilikinya. Peternak lebih mengenal negara asal ternak sapi perahnya, misalnya sapi perah dari Australia, dari Amerika, dan sebagainya. Kompetensi peternak dalam masalah bibit sapi perah di Kabupaten Pasuruan pada tingkat sedang (59 persen), sedangkan di Kabupaten Bandung pada tingkat tinggi (72 persen). Pengalaman beternak yang dimiliki peternak sapi di Kabupaten Pasuruan dan Bandung telah cukup lama (lebih dari 10 tahun) sehingga peternak tidak kesulitan dalam hal memilih bibit. Bibit sapi diperoleh peternak dengan cara membesarkan sendiri, membeli, mendapat gaduhan (maro)

144

dari peternak lain, ataupun mendapat kredit dari koperasi. Secara umum, menurut peternak, sapi perah yang baik memiliki ciri-ciri: (a) perawakan atau bangun badan seimbang, dan memiliki berat badan sedang, (b) mata jernih dan bercahaya, (c) tanduk bagus, (d) ambing lembut, pada pangkalnya besar dan berkelok, (e) jumlah puting susu empat buah dan posisinya simetris, (f) bulu bersih dan mengkilap, (g) hidung basah, dan (h) alat kelamin bersih. Seleksi sapi yang dijadikan bibit berdasarkan tampilan fisik ternak tanpa didukung recording ternak yang bersangkutan. Bibit sapi yang berasal dari peternakan sendiri dipilih berdasarkan penampilan fisiknya.

Sapi yang memiliki

penampilan fisik bagus sesuai dengan ciri-ciri ternak sehat dan berasal dari tetua produktif dipilih peternak sebagai bibit. Meskipun peternak tidak melakukan recording (pencatatan data) tetapi peternak cukup mengetahui prestasi sapi-sapi yang dimiliki. Selain membesarkan sendiri, bibit sapi dapat diperoleh peternak dengan cara membeli dari teman, tetangga, di pasar hewan ataupun dari tengkulak yang mendatangi peternak. Pembelian bibit sapi oleh peternak pada umumnya dilakukan dengan cara tukar tambah. Sapi yang telah tua (berumur lebih dari sepuluh tahun) dan atau yang produksinya mulai berkurang dijual peternak kemudian diganti dengan ternak yang berumur lebih muda. Tukar tambah juga dilakukan dengan cara menukar pedet dengan sapi dara siap dikawinkan. Jual beli ternak sapi perah tidak dilengkapi dengan recording sapi yang bersangkutan. Pemilihan sapi berdasarkan tampilan fisik ternak dan wawancara dengan penjual. Keadaan demikian menyebabkan sering terjadi inbreeding pada sistem perkawinan menggunakan IB karena baik peternak maupun inseminator tidak mengetahui tetua sapi yang bersangkutan. Dampak inbreeding adalah menurunnya produktivitas ternak sapi perah. Menurut Sudono (1999:55), seleksi berdasarkan atas tampak luar (exterior) sebenarnya kurang tepat, karena ternak yang mempunyai bentuk badan yang baik, belum tentu menghasilkan produksi tinggi. Penelitian menghasilkan data bahwa korelasi genetik antara tipe sapi perah dengan produksi susu adalah rendah yaitu 0,10. Seleksi berdasarkan atas silsilah dilakukan untuk sapi-sapi yang masih muda, belum menghasilkan susu atau belum ada data yang menunjukkan

145

kinerja sapi-sapi tersebut. Seleksi yang paling tepat untuk memilih bibit yaitu dengan uji produksi individu ternak (individual merit testing) yaitu uji produksi susu tiap-tiap sapi, ternak-ternak yang memiliki produksi tinggi dijadikan bibit dan uji zuriat (progeny test) yaitu pemilihan ternak berdasarkan penilaian prestasi anak-anaknya, cara ini umumnya dilakukan untuk ternak jantan karena ternak jantan mempunyai lebih banyak keturunan daripada ternak betina. Kompetensi Peternak tentang Perkandangan Fungsi kandang adalah melindungi ternak dari cuaca maupun dari gangguan manusia atau ternak lainnya. Syarat kandang yang baik adalah sebaiknya dibuat berjauhan dengan rumah tempat tinggal peternak dan diusahakan menghadap ke arah matahari terbit; di dalam kandang dibuat aliran pembuangan agar kotoran mudah dibersihkan dan air buangan mengalir lancar; kandang tidak perlu memiliki dinding luar agar ventilasi udara lancar; di daerah yang berangin kencang, dinding dapat diganti dengan menanam pepohonan di dekat kandang; lantai diusahakan dibuat dari semen dengan kondisi kedap air dan tidak licin; atap sebaiknya dibuat dari genting, dan kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan minum, serta alat pembersih kandang seperti sapu lidi, sikat, dan ember. Pada umumnya peternak telah menguasai tentang masalah perkandangan sapi perah. Hal ini terbukti dari kompetensi yang dimiliki peternak yaitu pada tingkat tinggi baik di Kabupaten Pasuruan (71 persen) maupun di Bandung (84 persen). Peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan membangun kandang di samping rumahnya dibatasi oleh dinding.

Kandang dibangun secara tertutup

dengan tinggi dinding sekitar 2,0–2,5 meter, dengan alasan untuk keamanan ternak dari pencurian dan melindungi ternak dari udara luar sehingga ternak lebih hangat. Kapasitas kandang bervariasi antara 2–10 ekor. Peternak sapi perah di Kabupaten Bandung membangun kandang dekat rumahnya. Hal ini dilakukan dengan alasan menghindari pencurian. Alasan lainnya adalah karena lahan yang dipunyai peternak sempit sehingga tidak memungkinkan membangun kandang sapi berjauhan dari rumah peternak. Keterbatasan lahan

146

yang dimiliki menyebabkan ada beberapa peternak yang membuat kandang sapi perah secara berkelompok (2-10 peternak). Kandang dibangun di lahan milik salah satu anggota atau memanfaatkan lahan kosong milik perkebunan teh, sebagai imbalannya, peternak membuat kompos dari kotoran sapi untuk dijadikan pupuk bagi tanaman teh. Di Kabupaten Bandung, peternak membangun kandang secara terbuka tanpa dinding. Lantai kandang terbuat dari tanah yang dikeraskan, atau semen, atau papan kayu, atau semen yang dialasi karpet plastik. Penggunaan karpet plastik sebagai alas kandang merupakan inovasi baru yang dilakukan beberapa peternak di Desa Loscimaung, Pangalengan. Penggunaan karpet plastik ini menurut peternak ada beberapa keuntungan, yaitu: (1) sapi mudah berdiri dari posisi tidur, (2) sapi tidak mudah terpeleset sehingga tidak terluka, (3) hangat, dan (4) kotoran mudah dibersihkan sehingga sapi lebih bersih dan sehat dampak selanjutnya adalah produksi susupun meningkat. Harga karpet plastik dengan ukuran 110 cm X 200 cm adalah Rp 400.000,00 dengan pembayaran dicicil 10 kali. Harga yang cukup mahal menyebabkan peternak tidak serta merta membelinya. Peternak menunggu dan melihat dampak penggunaan karpet tersebut pada produksi susu yang dihasilkan sapi perah milik teman atau tetangga yang mempergunakan karpet. Peternak di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung kurang memperhatikan pembuatan saluran air saat membangun kandang bagi sapi perahnya, sehingga banyak saluran air yang tersumbat dan menimbulkan bau tidak sedap karena menumpuknya kotoran bercampur sisa pakan hijauan pada saluran air tersebut. Air yang tercampur sisa pakan hijauan dan kotoran sapi disalurkan ke perkebunan teh, sungai atau danau. Kotoran yang disalurkan ke sungai dan danau menyebabkan pendangkalan pada sungai dan danau.

Kompetensi Peternak tentang Pakan Sapi memerlukan pakan bergizi untuk berproduksi optimum. Pakan ternak sapi perah terbagi dalam dua kelompok, yaitu pakan hijauan dan pakan konsentrat.

147

Pakan hijauan dapat berupa rumput-rumputan, seperti rumput gajah (Pennisetum purpureum), rumput benggala (Panicum maximum), atau rumput Setaria sp, serta hijauan lain seperti daun turi, lamtoro, daun pisang, atau daun nangka. Sebagai pakan penguat, diberikan pakan ternak buatan pabrik atau hancuran kacangkacangan/umbi-umbian. Pakan penguat diberikan sebelum pemerahan, dengan tujuan agar sapi tenang saat diperah, sedangkan pakan hijauan diberikan di luar waktu pemerahan sekitar sepuluh persen dari bobot badan sapi. Pakan menempati urutan pertama dalam menghabiskan biaya produksi. Menurut Yusdja (2003), pakan konsentrat menghabiskan biaya 60,8 persen, sedangkan biaya pakan hijauan dua persen dari total biaya produksi. Kompetensi peternak sapi perah dalam hal pakan ternak adalah pada tingkat tinggi yaitu 74 persen untuk peternak di Kabupaten Pasuruan dan 86 persen untuk peternak di Kabupaten Bandung. Di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung, peternak memberikan pakan hijauan kepada sapinya berupa rumput gajah yang berasal dari budidaya di lahan sendiri atau disewa peternak. Bila dari pemotongan rumput hasil budidaya sendiri tidak mencukupi kebutuhan pakan bagi sapi perahnya maka peternak mengambil rumput alam yang dicari di hutanhutan di sekitar lokasi peternakan atau daun lamtoro, daun pisang, daun dadap, juga limbah pertanian seperti jerami padi, batang jagung, kelopak kol yang rusak, serta batang dan daun labu siam. Pada musim kemarau, peternak di Kabupaten Pasuruan memberi pakan hijauan pada sapi perahnya berupa rumput gajah maupun rumput alam yang dibeli dari tetangga desa. Satu ekor sapi diberi dua pikul rumput atau sekitar 20 kg/hari, seharga Rp 5.000,00-Rp 10.000,00.

Rumput sebanyak dua pikul tidak mencu-

kupi kebutuhan sapi karena seekor sapi membutuhkan pakan hijauan sekitar 50 kg/hari. Dampak pemberian rumput yang tidak mencukupi kebutuhan menyebabkan pertumbuhan, perkembangan dan produktivitas menjadi terganggu yaitu terjadi keterlambatan dewasa kelamin pada sapi-sapi dara, angka service per conception cukup tinggi (mencapai 3,6), dan terjadi penurunan produksi susu. Di Kabupaten Bandung, pada musim kemarau, peternak memberikan pakan hijauan kepada sapi perah berupa rumput alam dan limbah pertanian yang ada di sekitar lokasi

148

peternakan.

Apabila pakan yang diberikan kepada sapi belum cukup, maka

peternak mengatasinya dengan cara memberi air minum sebanyak-banyaknya. Dampaknya adalah kualitas susu menurun karena susu yang dihasilkan menjadi encer (berat jenisnya berkurang). Menurut milk Codex (Direktorat Bina Usaha Petani Ternak dan Pengolahan Hasil Peternakan, tanpa tahun:102), berat jenis susu, minimal adalah 1,028. Pada musim kemarau, peternak sapi perah mengalami masa-masa yang sangat sulit. Pemberian pakan hijauan yang berkurang menyebabkan produksi susu menurun sehingga pendapatan peternakpun berkurang, padahal untuk pengadaan pakan hijauan harus membeli akibatnya tidak jarang pada musim kemarau peternak menjual salah satu sapinya untuk membeli pakan hijauan sehingga ada istilah ”teman makan teman” atau ”induk makan anaknya.” Usaha ternak sapi perah yang dilakukan oleh masyarakat pedesaan di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung tidak dapat dipisahkan dari usaha pertanian. Pemeliharaan sapi perah dan bertanam sayuran merupakan dua kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat desa. Pertambahan jumlah penduduk dan sistem pewarisan yang ada membuat pemilikan tanah semakin sempit sehingga produktivitas kedua bidang usaha tersebut tidak dapat optimal. Petani peternak menjual sapinya untuk membiayai kegiatan pertaniannya, dan bila mendapatkan keuntungan dari hasil pertaniannya maka petani kembali membeli ternak sapi. Pemilikan lahan peternak di Kabupaten Pasuruan relatif lebih luas (0,6 Ha) dibandingkan lahan yang peternak di Kabupaten Bandung (0,25 Ha). Hal ini menyebabkan peternak di Pasuruan mampu menanam rumput gajah di sekitar lokasi peternakan. Peternak di Bandung pada umumnya menanam rumput pada tanah yang disewa dari Perhutani ataupun dari tetangga. Namun, adanya program Kredit Usaha Tani (KUT) sayuran di daerah Bandung menyebabkan terdapat banyak limbah sayuran dan limbah ini dimanfaatkan untuk pakan sapi perah. Pemberian limbah sayuran berupa kelopak kol yang rusak menyebabkan kandungan air dalam susu meningkat.

149

Pakan konsentrat diperoleh peternak dari koperasi. Ada dua jenis konsentrat yang disediakan oleh koperasi yaitu konsentrat yang dibuat sendiri oleh koperasi dengan harga Rp 1.000,00/kg dan konsentrat yang dibuat oleh Gabungan Koperasi Seluruh Indonesia (GKSI) dengan harga Rp 900,00/kg. Peternak di Kabupaten Bandung mendapat pakan konsentrat setiap bulan sekali bersamaan dengan pembayaran susu, namun bila belum saatnya pembagian pakan dan peternak mengalami kekurangan konsentrat maka peternak dapat mengambil lagi dan dianggap sebagai hutang. Peternak di Kabupaten Pasuruan mendapatkan pakan konsentrat setiap sepuluh hari. Peternak mendapat konsentrat sebanyak sepertiga dari jumlah total susu yang disetor. Jumlah tersebut tidak mencukupi kebutuhan konsentrat bagi sapi perah sehingga peternak menambahkan bahan pakan lainnya kedalam pakan konsentrat. Sebagai contoh seorang peternak yang menyetor susu sebanyak 10 liter maka mendapatkan konsentrat sebanyak 3,3 kg. Padahal menurut peternak, kebutuhan konsentrat untuk menghasilkan 10 liter susu adalah 5 kg, sehingga peternak menambahkan 1,7 kg bahan pakan lain kedalam konsentrat. Bahan pakan lain yang biasa dipergunakan peternak adalah: dedak, gamblong (ampas ubi kayu), dan limbah roti. Peternak yang memiliki modal mencampur konsentrat dengan polar (bekatul gandum) dan ampas tahu. Kedua bahan ini mampu menaikkan produksi susu lebih tinggi dibandingkan dengan dedak, gamblong, dan limbah roti tetapi harganya lebih mahal. Air minum merupakan komponen yang harus selalu tersedia dalam jumlah yang cukup bagi peternakan sapi perah. Hal ini disebabkan oleh komponen susu sebesar 86,8 persen adalah air (Davis, 1962:16). Air minum harus bersih, segar, dan jernih. Sapi laktasi membutuhkan air minum lebih banyak dibanding sapi yang tidak laktasi. Kebutuhan air untuk sapi perah dewasa berkisar antara 12-15 galon (Davis, 1962:55). Air bagi peternakan sapi perah, selain untuk minum, air juga digunakan untuk memandikan sapi dan membersihkan kotoran dan kandang. Kebutuhan air bagi peternakan dicukupi dengan cara peternak membuat sumur ataupun memanfaatkan air dari mata air yang dialirkan ke peternakan.

150

Kompetensi Peternak tentang Pemeliharaan Sapi Pemeliharaan sapi perah dikelompokkan dalam tiga periode, yaitu pemelihaan anak sapi (pedet ), dara, dan dewasa (laktasi). Program pemeliharaan pedet dan sapi dara merupakan hal yang penting dan dapat menentukan produktivitas ternak di masa yang akan datang. Pengalaman yang telah cukup lama dalam budidaya ternak sapi perah menjadikan kompetensi peternak dalam hal pemeliharaan dalam tingkat tinggi yaitu 74 persen untuk peternak di Kabupaten Pasuruan dan 91 persen untuk peternak di Kabupaten Bandung. Setelah sapi melahirkan, peternak di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung memisahkan pedet dari induknya dan diletakkan di luar kandang, hal ini dimaksudkan agar pedet tidak menyusu secara langsung pada induknya, karena ini dapat merusak sistem reproduksi induk. Selanjutnya pedet dibersihkan badannya, dipotong tali pusarnya dan diberi yodium tingture agar tidak infeksi. Sapi diberi ear tag oleh petugas koperasi setelah peternak melapor. Peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan dan Bandung memberikan kolostrum (susu pertama yang diproduksi setelah sapi melahirkan) selama 5–7 hari kepada pedet. Kolostrum mengandung gizi yang sangat baik, antibodi, vitamin A dan D yang dibutuhkan pedet. Komposisi kolostrum pada saat pertama kali dihasilkan sapi perah adalah total solid (total bahan kering) 27 persen, lemak 5,1 persen, protein 17,6 persen, gula 2,2 persen, dan abu 1 persen. Komposisi tersebut semakin berkurang pada jam-jam berikutnya hingga hari ke 5 (Davis, 1962:32). Pemberian susu dilakukan dengan cara menempatkan susu di dalam ember sebanyak 2-3 liter/hari dan membiarkan pedet meminumnya dari ember. Penambahan jumlah pemberian susu pada pedet dilakukan secara bertahap sesuai dengan umur pedet. Peternak di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung menyapih pedet setelah berumur sekitar tiga bulan. Selanjutnya bila tampilan pedet kurang baik untuk dijadikan bibit atau peternak membutuhkan uang, maka pedet dijual. Pada prinsipnya pemeliharaan sapi dara dibagi menjadi dua tahap, yakni pemeliharaan pedet sampai dengan perkawinan pertama dan pemeliharaan dari perkawinan pertama sampai melahirkan. Tahap pertama pemeliharaan ditujukan

151

untuk memperoleh pertumbuhan yang maksimal sehingga pemberian ransum perlu diperhatikan agar tidak terjadi kelambatan dewasa kelamin. Tahap kedua, pemberian ransum perlu ditambah kuantitas dan kualitasnya sebab sapi membutuhkan nutrisi untuk pertumbuhan janin juga untuk pertumbuhannya sendiri, namun peternak di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung tidak membedakan dalam pemberian pakan untuk dua tahapan ini. Peternak membagi rumput yang diambil dari ladangnya untuk sapi yang dipeliharanya secara merata. Pekerjaan rutin yang dilakukan peternak dalam pemeliharaan sapi laktasi, adalah, pemberian pakan, pembersihan kandang dan sapi, pemerahan, dan penyetoran susu. Dalam keluarga peternak, tidak ada pembagian tugas secara tegas dalam pemeliharaan ternak, pekerjaan dilakukan secara bersama dan gotong royong, namun ada kecenderungan, perempuan mengerjakan pekerjaan di dalam rumah seperti: memerah, membersihkan kandang, dan memandikan sapi, sedangkan laki-laki bekerja diluar rumah seperti mencari rumput maupun menyetor susu bila jarak tempat penyetoran susu, jauh, tetapi bila jaraknya dekat, penyetoran susu dilakukan oleh perempuan. Pada keadaan darurat seperti pada musim kemarau, perempuan terlibat dalam mencari rumput. Kuku sapi perah mudah tumbuh panjang dan tidak simetris, jika kuku tidak dipotong, menyebabkan ternak menjadi picang. Koperasi menyediakan petugas untuk potong kuku secara rutin setiap tiga bulan sekali tanpa dikenakan biaya. Kompetensi Peternak tentang Penyakit Sapi Perah Ternak serta kandang dan lingkungan yang bersih dapat mencegah penyakit pada sapi perah. Oleh karena itu, penting bagi peternak untuk selalu menjaga kebersihan kandang dan ternaknya serta memberikan pakan bergizi dalam jumlah cukup. Ternak yang sakit sebaiknya dipisahkan dan diobati hingga sembuh. Namun, pada kenyataannya peternak tidak memisahkan sapi yang sakit pada kandang tersendiri karena keterbatasan kandang yang dipunyai peternak Keadaan ini menyebabkan terjadinya penularan penyakit apabila penyakit yang diderita ternak sapi adalah penyakit menular.

152

Kompetensi peternak di Kabupaten Pasuruan adalah pada tingkat rendah (30 persen), sedangkan di Kabupaten Bandung adalah pada tingkat sedang (39 persen) untuk masalah deteksi dan penangan penyakit. Peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung yang memiliki sapi perah yang menderita sakit ringan seperti kembung perut, berusaha mengobati ternaknya secara tradisional, maupun bertanya kepada tetangga atau ketua kelompok untuk penyembuhannya, namun bila penyakit yang diderita ternak belum juga membaik setelah diobati secara tradisional, peternak melaporkan ke petugas kesehatan hewan yang disediakan koperasi. Penyakit yang sering diderita sapi perah adalah mastitis, dan luka pada persendian kaki. Penyakit mastitis disebabkan oleh ambing yang terlalu rendah sehingga menyentuh lantai, lingkungan yang tidak bersih, tergores kuku peternak saat pemerahan, atau karena terinfeksi mikroba. Dampak dari penyakit mastitis adalah produksi menurun 25-30 persen, kualitas susu menurun, ternak diafkir lebih awal, dan biaya perawatan meningkat. Penyakit mastitis sulit disembuhkan secara tuntas. Semakin tua umur sapi perah semakin peka terkena mastitis. Luka pada persendian kaki terjadi karena sapi terpeleset pada saat bangun dari posisi berbaring. Pendidikan rendah peternak, menyebabkan keterampilan peternak terbatas dalam mendeteksi gejala penyakit. Berdasarkan pengamatan di lapangan terlihat bahwa dalam melakukan deteksi penyakit, peternak menggunakan cara-cara yang sederhana. Sebagai contoh cara peternak mendeteksi penyakit mastitis yaitu apabila susu yang dihasilkan seekor sapi dalam keadaan pecah maka sapi tersebut menderita penyakit mastitis sub akut. Cara penyembuhannya adalah dengan meningkatkan frekuensi pemerahan. Susu yang dihasilkan dari sapi yang terkena mastitis, dibuang. Peternak telah mengetahui apabila susu dari sapi yang terkena mastitis dicampur dengan susu dari sapi sehat, sangat merugikan peternak karena susu tidak lolos uji alkohol. Kompetensi Peternak tentang Pemerahan Kompetensi peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung adalah pada tingkat tinggi yaitu masing-masing 70 persen dan 85 persen.

153

Sapi perah betina laktasi perlu dirawat secara teratur.

Pemberian pakan dan

pemerahan dijadwal secara tetap. Hal ini penting dilakukan karena perawatan yang tidak teratur dapat mengurangi produksi susu. Sapi perlu dibersihkan dan disikat tiap hari saat dimandikan agar senantiasa sehat dan susu yang dihasilkan tidak tercemar bakteri maupun bau-bauan yang berasal dari kotoran. Selain itu, sapi perlu exercise agar peredaran darah menjadi lancar. Tidak semua peternak di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung memandikan sapi sebelum dilakukan pemerahan, ada yang memandikan sehari sekali, tiga hari sekali, dan ada pula yang memandikan sapi satu minggu sekali. Sebelum sapi diperah, peternak cukup membersihkan lantai kandang dan membersihkan ambing sapi. Alasan peternak tidak memandikan sapi secara rutin adalah karena keterbatasan tenaga kerja dan air. Sapi perah sehat dengan ambing sehat mampu memproduksi susu yang mengandung bakteri relatif sedikit. Pada waktu pemerahan susu, dua atau tiga aliran susu pertama dari puting susu mengandung lebih banyak bakteri daripada aliran susu selanjutnya dan karena alasan ini maka aliran-aliran susu yang pertama ini dibuang oleh peternak. Pada umumnya peternak membutuhkan waktu sekitar 15–20 menit untuk memerah seekor sapi dengan produksi sekitar delapan liter. Selanjutnya susu disaring dan dimasukkan ke milk can untuk disetor ke Tempat Pelayanan Koperasi (TPK)/Tempat Penyetoran Susu (TPS). Susu merupakan produk yang cepat mengalami kerusakan karena merupakan media yang baik untuk perkembangbiakan bakteri, meskipun peternak telah mengetahui hal itu tetapi masih ditemukan peternak yang melakukan pemerahan jauh sebelum waktu penyetoran dengan alasan agar pekerjaan rutin segera diselesaikan. Keadaan ini menyebabkan kualitas susu menjadi rendah karena bakteri telah berkembang di dalam susu sehingga harga susupun rendah. Kualitas ransum yang baik, kandang, sapi perah, alat-alat pemerahan yang bersih, ternak yang sehat, serta pekerja yang sehat dan bersih menentukan kualitas susu. Kualitas susu yang dihasilkan peternak sebenarnya cukup baik ketika baru diperah, tetapi penggunaan ember plastik sebagai tempat susu yang tidak steril

154

serta proses pengangkutan susu yang tidak cepat menyebabkan bakteri cepat berkembang biak. Kualitas susu peternak di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung tidak berbeda jauh dengan kualitas susu di negara beriklim sedang.

Menurut

Judkins dan Keener (1966:8), kandungan lemak pada susu yang dihasilkan sapi perah di negara beriklim sedang adalah komponen susu yaitu air 86,8 persen, total solid 13,2 persen, lemak 3,6 persen, protein 3,2 persen, solid non fat 8,7 persen, gula 4,6 persen. Kandungan bahan-bahan tersebut tidak jauh berbeda dengan kandungan bahan-bahan yang dihasilkan sapi perah di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung yaitu kandungan lemak berkisar 3,58–3,90 persen dan solid non fat berkisar 7,57–8,00 persen, total solid 11,22-11,90, dan TPC 1,99-4,70 juta. Tidak semua susu yang disetor peternak diterima oleh koperasi. Koperasi melakukan serangkaian pengujian untuk menerima susu, yaitu uji alkohol, uji berat jenis, dan uji kualitas susu. Uji alkohol dan uji berat jenis dilakukan di TPK/TPS, sedangkan uji kualitas susu dilakukan di laboratorium koperasi. Susu yang ditolak adalah susu yang dihasilkan oleh sapi yang terkena penyakit mastitis, sapi yang baru melahirkan atau sedang birahi, dan susu yang memiliki jumlah bakteri diatas ambang batas yang ditetapkan koperasi. Susu yang ditolak koperasi oleh peternak diberikan pada pedet miliknya, diberikan atau dibeli tetangga yang memiliki pedet, atau dibuang. Susu yang ditolak koperasi tidak dikosumsi peternak karena sudah diberi sumba oleh petugas TPK/TPS. Tempat susu yang bersih sangat penting untuk menampung susu sehingga tidak tercemar bau-bauan, kotoran dan bakteri. Alat-alat pemerahan diketahui menjadi sumber utama kontaminasi bakteri pada susu mentah. Untuk itu, TPS di Kabupaten Pasuruan dilengkapi dengan tempat pencucian tempat susu (milk can) sehingga segera setelah susu disetor, tempat susupun dicuci untuk menghindari berkembangnya bakteri di tempat susu. Susu merupakan produk pangan yang mudah mengabsorbsi bau-bauan dari udara dan alat-alat yang digunakan. Meskipun mengetahui hal tersebut tetapi tetap saja ada peternak yang merokok saat melakukan penyetoran susu ke TPK/TPS.

155

Kompetensi Peternak tentang Reproduksi Secara umum peternak sapi perah telah sangat paham tentang masalah reproduksi. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat kompetensi yang tinggi pada peternak di Kabupaten Pasuruan (70 persen) dan Bandung (83 persen). Periode birahi sapi perah rata-rata selama 21 hari sekali, dengan tanda-tanda birahi sebagai berikut: (1) sapi naik-naik pada sapi lainnya, (2) gelisah, (3) suatu cairan kental, jernih, dan berkaca-kaca keluar dari kelaminnya, (4) kelamin sapi berwarna merah, bengkak, dan hangat, serta (5) sapi sering melenguh. Peternak di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung telah mengetahui tentang tandatanda birahi sapi. Setelah sapi menunjukkan tanda-tanda birahi, maka peternak melaporkan ke pos pengaduan (di TPK/TPS) dengan cara memasukkan kartu permohonan IB ke kotak yang telah disediakan disetiap TPK/TPS untuk minta dilaksanakan IB bagi sapinya. Sapi-sapi milik peternak yang mempunyai ear tag tidak dikenakan biaya, tetapi untuk sapi-sapi yang tidak mempunyai ear tag dikenakan biaya IB. Sapi-sapi yang memiliki ear tag adalah sapi-sapi yang telah tercatat di koperasi sehingga berhak mendapatkan pelayanan, sedangkan sapi-sapi yang tidak memiliki ear tag menunjukkan bahwa sapi tersebut berasal dari luar daerah dan belum tercatat di koperasi. Keberhasilan IB selain dipengaruhi oleh kualitas semen, keterampilan inseminator, ketepatan waktu IB, juga dipengaruhi oleh kualitas pakan sapi. Peternak sering menyalahkan pihak inseminator apabila ternak yang di IB tidak menunjukkan tanda-tanda kebuntingan pada bulan berikutnya. Padahal faktor yang menghambat terjadinya kebuntingan sapi adalah karena pakan yang diberikan kurang memenuhi kualitas maupun kuantitasnya. Kebuntingan terjadi pada sapi biasanya setelah dilakukan IB antara 2–3 kali, tetapi ada juga yang sampai sepuluh kali IB belum bunting. Sapi perah setelah beranak dikawinkan kembali 50 hari setelah melahirkan. Hal ini dimaksudkan agar pada hari ke-85 setelah melahirkan sapi sudah bunting. Dengan perkiraan masa bunting sekitar 280 hari, maka dalam waktu 365 tercapai jarak beranak satu tahun (Sudono, 1999:23). Kegiatan ini dimaksudkan

156

untuk memperoleh produktivitas ternak yang tinggi.

Kenyataannya, peternak

mengawinkan ternaknya 69 hari setelah melahirkan. Alasan peternak adalah agar kesehatan ternak dapat pulih kembali.

Kompetensi Peternak tentang Produktivitas Kompetensi peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan dalam masalah produktivitas sapi perah adalah pada tingkat tinggi yaitu 73 persen, demikian juga dengan peternak di Kabupaten Bandung yaitu 87 persen. Pengalaman bertahuntahun membudidayakan sapi perah dan penyuluhan yang menitikberatkan pada masalah teknis menyebabkan peternak sangat menguasai masalah produktivitas. Peternak telah mengetahui bahwa ternak sapi perah mencapai puncak produksi pada minggu ke empat sampai minggu ke delapan pada sapi laktasi, setelah itu mulai menurun. Sapi-sapi yang beranak pada umur kurang lebih tiga tahun menghasilkan susu yang lebih banyak daripada sapi-sapi yang beranak pada umur muda (dua tahun). Produksi susu meningkat terus seiring dengan bertambahnya umur sapi hingga sapi berumur tujuh atau delapan tahun, setelah itu produksi susu menurun. Pengetahuan tentang selang beranak yang optimal telah diketahui peternak yaitu 12-13 bulan. Oleh karena itu, setelah tiga bulan sapi perah melahirkan, segera dikawinkan kembali setelah menunjukkan tanda-tanda birahi untuk diperoleh produktivitas ternak yang tinggi.

Namun, kualitas pakan yang kurang baik,

pelaksanaan IB yang terlambat, atau umur ternak yang sudah tua menyebabkan sapi perah yang di IB tidak langsung bunting pada bulan berikutnya. Mempertahankan produktivitas ternak sapi perah juga dilakukan oleh peternak dengan cara melakukan peremajaan pada sapi-sapinya. Culling (pengeluaran sapi-sapi dari usaha peternakan) dilakukan berdasarkan umur sapi yang tua atau tidak produktif lagi.

Peremajaan sapi berasal dari pembesaran sendiri,

membeli, mendapat gaduhan ataupun mendapat kredit dari koperasi.

157

Kompetensi Peternak tentang Recording (Pencatatan Produksi Ternak) Di Kabupaten Pasuruan, kompetensi peternak dalam hal recording pada tingkat rendah (31 persen), sedangkan di Kabupaten Bandung pada tingkat sedang (41 persen). Pencatatan produksi sangat diperlukan untuk mengevaluasi prestasi setiap sapi perah dan untuk melakukan seleksi ternak, namun kegiatan ini kurang mendapat perhatian peternak. Recording dilakukan oleh petugas koperasi meliputi cacatan penyetoran susu ke TPK/TPS, catatan inseminasi buatan, dan riwayat sakit ternak. Peternak belum melakukan pencatatan produksi pada sapi yang dimilikinya dengan alasan tidak telaten. Kartu inseminasi buatan, kartu permohonan potong kuku, dan kartu pelayanan kesehatan ternak disimpan oleh masing-masing ketua kelompok peternak di Kabupaten Pasuruan, apabila sapi birahi atau sakit maka peternak melaporkan ke ketua kelompok untuk dibuatkan permohonan dilaksanakan IB atau pelayanan kesehatan bagi sapinya. Permohonan tersebut kemudian dimasukkan ke kotak pengaduan yang ada di setiap TPS.

Kartu

permohonan IB, pemotongan kuku, dan pelayanan kesehatan di Kabupaten Bandung disimpan oleh peternak, apabila ada ternak yang perlu di IB maupun mendapatkan pelayanan kesehatan, peternak langsung mengisi kartu permohonan selanjutnya kartu dimasukkan ke kotak pengaduan yang ada di setiap TPK.

Kompetensi Manajerial Peternak Sapi Perah

Kompetensi Peternak dalam Perencanaan Usaha Perencanaan merupakan dasar mengambil langkah-langkah dalam menjalankan roda perusahaan juga merupakan salah satu bentuk pengambilan keputusan untuk masa depan yang dilakukan pihak manajemen. Perencanaan yang dibuat meliputi perencanaan kegiatan dan keuangan. Dalam kegiatan on-farm, studi kelayakan usaha perlu dilakukan karena adanya keterlibatan modal yang berarti minimumkan kerugian harus diantisipasi dengan perencanaan keuangan yang matang. Dalam perencanaan analisis finansial, estimasi kemampuan pasar perlu

158

dilakukan dengan mempelajari: perkembangan permintaan, penawaran, perkembangan harga, perkiraan pangsa pasar, dan strategis pemasaran. Selain itu, pengadaan input juga diperhitungkan dan dimasukkan ke dalam perencanaan finansial, meliputi: bibit, pakan, obat-obatan, bahan-bahan lain, peralatan, dan tenaga kerja dari luar keluarga peternak. Usaha sapi perah rakyat yang dilakukan oleh peternak di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung belum melakukan perencanaan usaha. Tingkat kompetensi peternak dalam perencanaan usaha sapi perah di Kabupaten Pasuruan adalah pada tingkat rendah (31 persen) dan di Bandung adalah pada tingkat sedang (38 persen). Hal ini disebabkan oleh koperasi telah mendukung keperluan pakan konsentrat, dan sarana produksi lainnya yang diperlukan peternak sapi perah. Kebutuhan pakan hijauan dicukupi dari hijauan yang ditanam di lahan milik sendiri, lahan yang disewa, mengambil rumput liar di sekitar hutan, membeli dari tetangga desa, maupun memanfaatkan limbah pertanian. Peternak tidak melakukan perencanaan pemasaran karena koperasi telah mengatur proses pemasaran susu yang dihasilkan peternak. Usaha peternakan sapi perah di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung pada umumnya dilakukan bersamaan dengan usaha pertanian, keadaan ini menyebabkan peternak tidak mungkin melakukan pemasaran sendiri-sendiri karena keterbatasan tenaga yang ada. Selain itu, sifat susu yang cepat rusak mengharuskan peternak menjual produk secara cepat. Kemudahan memperoleh pinjaman uang kepada koperasi menyebabkan peternak tidak menyisihkan sebagian pendapatannya sebagai upaya untuk melakukan penyusutan usaha. Penyusutan usaha dilakukan agar usaha berjalan secara berkesinambungan.

Kompetensi Peternak dalam Koordinasi Usaha Kompetensi peternak dalam hal pengkoordinasian dalam usaha sapi perah yang dilakukan oleh peternak di Kabupaten Pasuruan adalah pada tingkat rendah (30 persen) dan di Bandung adalah pada tingkat sedang (37 persen). Tenaga kerja

159

yang terlibat dalam kegiatan pemeliharaan ternak sapi perah adalah tenaga kerja keluarga sehingga pengkoordinasian pekerjaan berdasarkan kesepakatan. Pekerjaan yang memerlukan ketelatenan seperti memerah dan membersihkan kandang ataupun menyetor susu ke TPK/TPS biasanya dilakukan oleh kaum perempuan, bila mempunyai jarak yang dekat dengan rumah tetapi bila TPK/TPS berjarak jauh maka kaum laki-laki yang menyetorkan susu. Pekerjaan memandikan sapi dilakukan oleh perempuan dan atau laki-laki. Pekerjaan mencari rumput lebih didominasi oleh tenaga kerja pria, tetapi pada saat musim kemarau, kaum perempuan dilibatkan untuk mencari hijauan. Kompetensi Peternak dalam Pengawasan Pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen. Dalam teori pengawasan diketengahkan bahwa pengawasan tidak ditujukan untuk menemukan orang yang salah dalam hal terjadinya penyimpangan dalam realisasi rencana kerja, melainkan untuk mencari fakta tentang hal-hal yang tidak beres dalam sistem sehingga terjadi penyimpangan. Oleh karena itu, manajer harus mampu memahami dengan pikirannya yang jernih mengapa terdapat diskrepansi antara hasil pekerjaan yang ditetapkan dalam rencana dengan kinerja. Kompetensi peternak dalam masalah pengawasan dalam proses budidaya sapi perah di Kabupaten pasuruan adalah pada tingkat rendah (30 persen), sedangkan di Kabupaten Bandung adalah pada tingkat sedang (38 persen). Peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung tidak melakukan pengawasan secara ketat dalam budidaya ternak, tetapi untuk proses pemerahan, peternak melakukannya secara cermat karena susu hasil pemerahan menentukan pendapatan peternak. Keadaan ini menunjukkan bahwa peternak lebih memperhatikan hasil akhir dan berkaitan dengan finansial tetapi kurang memperhatikan proses untuk menghasilkan produk. Susu yang berkualitas merupakan hasil dari serangkaian proses yang dilakukan sebelumnya.

160

Kompetensi Peternak dalam Evaluasi Fungsi evaluasi menekankan pada upaya untuk menilai proses pelaksanaan rencana, mengenal ada tidaknya penyimpangan, dan tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan berdasarkan rencana yang telah dibuat. Fungsi evaluasi ditujukan pada suatu objek tertentu dan dalam periode tertentu. Tingkat evaluasi usaha sapi perah di Kabupaten Pasuruan adalah pada tingkat rendah (38 persen), sedangkan di Kabupaten Bandung adalah pada tingkat sedang (31 persen). Peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung melakukan evaluasi secara terbatas yaitu terhadap produksi susu yang dihasilkan sapi perahnya. Evaluasi terhadap pengembalian modal maupun pendapatan tidak pernah dilakukan. Hal ini terjadi karena usaha peternakan sapi perah dilakukan bersamaan dengan usaha pertanian, seperti menanam sayuran ataupun kopi. Modal usaha yang ditanamkan serta penggunaan tenaga kerja pada kedua usaha tersebut belum dipisahkan, sehingga untuk melakukan evaluasi usaha sapi perah sangat sulit dilakukan. Peternak sapi perah khususnya yang telah berumur tua di Kabupaten Pasuruan, memandang bahwa usaha pemeliharaan sapi perah maupun berusahatani lainnya merupakan suatu matapencaharian dan suatu cara kehidupan, belum merupakan kegiatan usaha untuk mencari keuntungan.

Pandangan ini terjadi

karena sikap ”nrimo” yang dimiliki peternak juga sikap untuk selalu menjaga keselarasan dengan alam. Sikap ini menjadikan peternak bersikap hati-hati dalam memanfaatkan sumberdaya alam agar tetap terjadi keseimbangan. Peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung menyadari pentingnya peremajaan ternak untuk meningkatkan pendapatan, tetapi keterbatasan modal menyebabkan peternak masih mempertahankan sapinya meskipun memiliki produksi rendah. Pada peternak yang memiliki modal cukup telah melakukan evaluasi sebagai dasar untuk melakukan peremajaan ternak. Tujuan evaluasi dilakukan adalah untuk mempertahankan produktivitas ternak. Penggantian ternak sapi perah pada peternak di Kabupaten Bandung dilakukan apabila sapi memiliki produksi kurang dari 10 liter/ hari. Pada sapi-sapi yang sudah tua tetapi

161

masih berproduksi diatas 10 liter/hari, masih dipertahankan oleh peternak. Peternak di Kabupaten Pasuruan mengganti ternak sapinya apabila sapi menghasilkan susu 5 liter/hari.

Kompetensi Peternak dalam Komunikasi Pengertian komunikasi dalam istilah manajemen menurut Cuming (Moenir, 1991:27) adalah proses pemindahan pesan/berita, termasuk di dalamnya fakta, ide, sikap, pendapat, dari seseorang kepada orang lain sehingga terdapat pengertian. Tujuan komunikasi adalah pengertian dan tindakan. Keduanya tidak dapat dipisahkan dalam kontek komunikasi, namun yang paling sulit dan menghendaki teknik tertentu ialah menumbuhkan pengertian. Oleh karena itu, dalam manajemen diciptakan berbagai cara berkomunikasi, baik menggunakan peralatan modern maupun metoda-metoda baru untuk menciptakan pengertian. Kemampuan berkomunikasi peternak di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung pada tingkat sedang, masing-masing 37 persen dan 46 persen. Pada saat peternak berkomunikasi dengan orang-orang di lingkungannya dan dalam status sosial ekonomi yang sama maka komunikasi berlangsung lancar, tetapi pada saat berkomunikasi dengan orang-orang di luar komunitasnya atau status sosial ekonomi yang berbeda maka komunikasi menjadi terhambat. Hambatan yang terjadi dalam komunikasi yang tidak lancar ini disebabkan persepsi peternak terhadap seseorang atau sekelompok orang yaitu antara terjadinya stimulus sampai dengan pemaknaan terhadap stimulasi tersebut. Persepsi dipengaruhi oleh berbagai proses psikologi, diantaranya adalah: ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya (self-fulfilling prophecy) dan stereotipe. Menurut Insel, Jacobson, dan Merton (Devito, 1997: 78), ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya terjadi bila seseorang membuat perkiraan atau perumusan keyakinan yang menjadi kenyataan karena orang tersebut meramalkannya dan bertindak seakan-akan itu benar. Sebagai contoh: seseorang peternak yang tidak mau bertanya atau berdiskusi dengan penyuluh karena peternak tersebut meramalkan bahwa penyuluh sangat sibuk dan tidak ada waktu untuk berdiskusi dengan peternak kecil.

Ramalan ini dapat

162

terbukti benar, barangkali karena peternak tersebut berperilaku sedemikian hingga merangsang penyuluh kurang bereaksi positif terhadap pertanyaan peternak. Peternak tersebut memenuhi sendiri ramalannya. Stereotipe adalah citra yang melekat atas sekelompok orang (Devito, 1997: 83). Peternak dengan status sosial ekonomi rendah tidak berani bertanya kepada peternak yang berhasil karena beranggapan bahwa peternak yang berhasil adalah sombong. Hambatan-hambatan ini menjadikan komunikasi yang terjadi tidak lancar. Mengatasi hambatan komunikasi dapat dilakukan dengan teori atribusi atau teori penyebab yang dikembangkan oleh Jones, Davis, dan Kelly (Devito, 1997: 85-86). Atribusi adalah proses mencoba memahami perilaku orang lain juga perilaku sendiri.

Kompetensi Peternak dalam Bermitra Usaha Kemampuan bermitra usaha pada peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan pada tingkat rendah (31 persen) dan di Kabupaten Bandung pada tingkat sedang (42 persen). Peternak kurang berani melakukan kemitraan dengan pihak lain selain koperasi, kalaupun melakukan kemitraan dengan bank untuk peminjaman modal di fasilitasi oleh koperasi. Peternak enggan melakukan kemitraan dengan pihak bank secara individual karena birokrasi yang berbelit. Peternak lebih menyukai pinjam uang di koperasi karena kemudahan birokrasi maupun membayar angsuran. Bermitra dengan pemasok pakan konsentrat atau dengan pihak lain yang sanggup memasarkan susu, belum pernah dicoba oleh peternak. Peternak enggan melakukan kemitraan dengan pihak lain dalam hal pemasaran susu karena kebijakan koperasi untuk memberikan pinjaman konsentrat kepada peternak sebanyak sepertiga dari jumlah susu yang disetor peternak. Kebijakan ini menyebabkan peternak tidak berani menjual susu kepada pihak lain karena akan mempersulit peternak mendapatkan konsentrat. Sebanyak tujuh orang peternak di Kabupaten Bandung telah bermitra usaha dengan petani sayuran dalam hal pemasaran kompos dan kotoran bekas budidaya cacing. Pendapatan dari penjualan kompos dan bekas budidaya cacing menambah pendapatan bagi keluarga peternak sapi perah.

163

Kelompok peternak sapi perah di Desa Wanasuka telah melakukan kemitraan dengan perkebunan teh PTP VIII. Bentuk kemitraaan tersebut dalam hal penggunaan lahan oleh peternak yang selanjutnya perkebunan mendapatkan kompos untuk pupuk tanaman tehnya dari peternak. Kompetensi Peternak dalam Mengatasi Kendala Usaha Kendala usaha yang dihadapi peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan dan Bandung adalah: (1) Wabah Penyakit Merebaknya penyakit menular seperti ”brucellosis” merupakan masalah utama yang terus menghambat sektor peternakan sapi perah rakyat. Kemampuan untuk mendeksi secara dini untuk mencegah merebaknya penyakit hewan menular yang masih rendah menjadikan peternak sering mengalami kerugian karena kematian ternak yang dimilikinya. (2) Kendala Keterbatasan Padang Penggembalaan dan Sumber Pakan Hijauan Saat ini ketersediaan lahan budidaya untuk pakan hijauan dan padang pengembalaan cenderung menurun karena lahan di konversi menjadi usaha pertanian atau peruntukan lainnya. (3) Bertambahnya peminat yang ingin memanfaatkan air mendorong terjadinya persaingan antar pemanfaat air. Di tengah-tengah persaingan itu, kedudukan sektor pertanian dan petani dalam keadaan lemah. Pemerintah dan aparatnya yang melihat bahwa sektor industri lebih maju dari pada pertanian, sehingga pemerintah lebih mengedepankan kepentingan industri dalam pemanfaatan air. Pemerintah daerahpun lebih tertarik dengan perkembangan sektor industri karena lebih mampu menambah pendapatan asli daerah. Selain itu, para pemakai air non-pertanian memiliki organisasi yang kuat yang mampu secara politis mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah, termasuk kebijaksanaan pemanfaatan air. Kondisi tersebut sangat tidak adil, karena sektor industri atau sektor non-pertanian lain yang mengurangi hak atas air, tidak mampu menyediakan pekerjaan baru bagi petani.

164

Peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan dalam mengatasi kendala usaha adalah pada tingkat rendah (29 persen) dan di Kabupaten Bandung adalah pada tingkat sedang (37 persen). Keadaan ini dipicu oleh pengetahuan yang terbatas khususnya masalah tanda-tanda atau gejala-gejala penyakit serta posisi tawar yang lemah yang dimiliki peternak khususnya dalam bidang politik. Sebagai contoh, meningkatnya industrialisasi di Kabupaten Bandung menyebabkan kandungan air dalam tanah berkurang sehingga lahan menjadi berkurang kesuburannya serta air tanah sulit didapat, padahal usaha sapi perah sangat membutuhkan air. Kendala usaha ini diatasi dengan cara memindahkan kandang ternak ke tempat yang lebih rendah atau mendekati sumber air. Peternak tidak berani melakukan pembelaan terhadap haknya untuk mendapatkan air karena peternak dalam posisi lemah.

Kompetensi Peternak dalam Memanfaatkan Peluang Usaha Seiring dengan peningkatan pendidikan, khususnya peningkatan pengetahuan masyarakat tentang kesehatan, preferensi terhadap komoditas pertanian mengalami perubahan besar. Dulu, atribut utama yang mencirikan preferensi konsumen adalah: jenis, kenyamanan, stabilitas harga dan nilai komoditas; sekarang, terdapat kecenderungan bahwa konsumen menuntut tambahan atribut produk yang lebih rinci, seperti: kualitas, kandungan nutrisi (lemak, kalori, kolesterol, dan sebagainya), keselamatan (kandungan adaptif, pestisida, dan sebagainya), dan aspek lingkungan (apakah produk tersebut dihasilkan dengan usahatani dan proses pengolahan produk yang tidak mengganggu kualitas dan kelestarian lingkungan hidup).

Konsumen pada umumnya tidak lagi sekedar membeli

komoditas, tetapi membeli produk. Keadaan ini merupakan peluang sekaligus tantangan bagi usaha peternakan sapi perah saat ini, untuk mampu menghasilkan produk-produk yang memiliki kualitas tinggi yang dapat diterima pasar atau dengan memberikan nilai tambah pada susu untuk menjadi produk-produk olahan tanpa merusak lingkungan. Keterbatasan pengetahuan, wawasan, dan modal serta kurangnya bimbingan pihak-pihak yang berkompeten menyebabkan peternak belum mampu meman-

165

faatkan peluang tersebut. Dalam keadaan seperti ini peternak perlu didampingi agar berani mengambil keputusan untuk memanfaatkan peluang yang ada. Kompetensi peternak dalam memanfaatkan peluang usaha adalah masih rendah yaitu untuk peternak di Kabupaten Pasuruan sebesar 31 persen dan peternak di Bandung sebesar 35 persen. Di sekitar Nongkojajar, Kabupaten Pasuruan dan Pangalengan, Kabupaten Bandung banyak objek wisata yang banyak dikunjungi wisata, ini merupakan peluang usaha untuk memasarkan produk-produk susu yang dihasilkan peternak, namun peluang ini belum dimanfaatkan oleh peternak. Di Kabupaten Bandung sudah ada home industri yang membuat produk makanan berbahan dasar susu, seperti kerupuk susu, dodol, dan karamel tetapi di Pasuruan belum terlihat adanya kegiatan ini. Di sisi lain, kurangnya pasokan susu untuk memenuhi permintaan pasar adalah karena kurangnya populasi sapi perah di Indonesia, dan kemampuan ternak berproduksi tinggi, serta umur sapi yang telah tua. Upaya yang dapat dilakukan peternak adalah dengan melaksanakan recording secara teratur terhadap setiap ternak sapi yang dimiliki. Melalui cara ini, peternak memperoleh data tentang ternak yang dipelihara dan ini dapat dijadikan dasar untuk melakukan seleksi ternak. Ternak-ternak dengan prestasi tinggi dipilih untuk dijadikan bibit. Bibit yang baik ditunjang dengan pakan berkualitas, dan saat perkawinan yang tepat maka dapat diperoleh pedet setiap tahunnya. Pedet betina dapat digunakan sebagai calon bibit (peremajaan ternak) dan pedet jantan digunakan sebagai ternak potong. Upaya lainnya adalah dengan melakukan culling terhadap sapi-sapi yang memiliki produksi sedikit. Tindakan ini dilakukan agar efisiensi usaha dapat tercapai. Di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung banyak dikembangkan usaha budidaya tanaman hortikultura maupun bunga krisan (di Pasuruan), ini merupakan peluang usaha bagi peternak sapi perah untuk memanfaatkan limbah ternaknya sebagai pupuk bagi tanaman pertanian. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti, satu kelompok kecil peternak (tujuh orang) telah mampu memanfaatkan peluang ini. Peternak mengolah limbah ternak menjadi pupuk, mengemas dan

166

memasarkannya ke pengguna.

Selain itu, limbah ternak juga dimanfaatkan

sebagai media pertumbuhan cacing. Kotoran dan limbah peternakan sapi perah, selain dapat dibuat pupuk organik, dapat juga dibuat sebagai sumber energi yaitu sebagai bio gas dan bio arang.

Penggunaan sumber energi tersebut mampu menghemat pengeluaran

keluarga peternak untuk pengadaan bahan bakar.

Produktivitas Peternak Sapi Perah Orang yang menyenangi sebuah pekerjaan adalah apabila mengetahui tujuan, garis-garis besar kebijaksanaan pimpinan, dan bidang usaha serta kegiatan tempat dia berada memiliki produktivitas yang tinggi. Bilamana orang menyadari peranan yang menjadi bagiannya dalam rangka pencapaian tujuan kelompok/ organisasi, besar kemungkinan orang itu akan lebih berhasrat dan bersemangat untuk meningkatkan kegiatan dan hasil pekerjaannya mendekati tingkat yang diharapkan dari padanya. Produktivitas peternak dalam penelitian ini dilihat dari aspek produktivitas ternak sapi perah yang dipelihara (kualitas dan kuantitas susu sapi yang dihasilkan, kesehatan ternak sapi perah, dan selang beranak), dan tingkat kreativitas dan keinovatifan peternak. Produktivitas peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan adalah pada tingkat sedang, sedangkan di Kabupaten Bandung adalah pada tingkat tinggi (Tabel 14). Produktivitas peternak dalam penelitian ini diukur dari kemampuan peternak dalam merekflesikan kompetensi kewirausahaan yang ada dalam dirinya berupa prestasi kerja yang dilihat dari produktivitas ternak sapi perah yang dipelihara meliputi kualitas dan kuantitas susu yang dihasilkan dari masing-masing sapi perah yang dipelihara, kesehatan ternak, selang beranak sapi perah, serta tingkat kreativitas dan keinovatifan peternak dalam memberikan nilai tambah pada produk-produk yang dihasilkan juga memanfaatkan limbah dan sumberdaya di lingkungan peternak untuk mencapai efisiensi usaha. Tingkat produktivitas peternak sapi perah disajikan Tabel 14.

167

Peternak memiliki prestasi yang tinggi dalam menghasilkan produk susu yang berkulitas sesuai disyaratkan koperasi, namun prestasi dalam menghasilkan ternak-ternak yang memiliki kesehatan prima, selang beranak yang optimal, serta kreativitas dan keinovatifan dalam meningkatkan nilai jual produk, limbah, dan membuat pakan hijauan awetan, masih perlu ditingkatkan. Produksi rata-rata sapi perah di Kabupaten Pasuruan adalah 10 liter/hari dengan rata-rata harga jual Rp 2.200,00/liter. Produksi rata-rata sapi perah di Kabupaten Bandung adalah 14 liter/hari dengan rata-rata harga jual Rp 2.400,00/liter. Penelitian Komar, dkk pada tahun 1995 menghasilkan data bahwa produksi rata-rata susu sapi perah anggota KPBS sebesar 12,42 liter (Sudono, 1999:68). Berdasarkan data tersebut maka ada kenaikan produksi susu sapi perah anggota KPBS sebesar 1,58 liter (13 persen) selama 12 tahun. Tabel 14. Tingkat produktivitas peternak sapi perah Indikator

Kabupaten Pasuruan Tingkat Rataan

Kabupaten Bandung Rataan

Tingkat Produktivitas

79,92 68,80 68,80 66,60 71,03

Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Tinggi

Produktivitas

Kab. Pasuruan dan Kab. Bandung Rataan Tingkat Produktivitas

Produktivitas Ternak: - Kualitas dan kuantitas susu

- Kesehatan ternak - Selang beranak Kreativitas dan keinovatifan

Rata-rata

56,99 53,76 50,08 53,70 53,63

Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang

68,46 61,28 59,44 60,15 62,33

Tinggi Sedang Sedang Sedang Sedang

Keterangan: 1 - 34 = rendah, >34 - 67 = sedang , >67 – 100 = tinggi Selang beranak sapi perah pada peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan adalah 17 bulan, sedangkan di Kabupaten Bandung adalah 15 bulan. Peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung belum mampu menghasilkan pedet dalam jangka waktu satu tahun. Peternak telah berupaya mengawinkan sapi perah tiga bulan setelah sapi melahirkan, tetapi menurut peternak kebuntingan ternak sapi perah pada umumnya terjadi setelah 2-4 kali IB. Faktor kualitas pakan yang kurang baik dan saat IB yang kurang tepat merupakan faktor penyebab keterlambatan kebuntingan pada sapi perah. Tidak jarang peternak mengeluhkan pelayanan IB dari petugas koperasi yang lamban sehingga perkawinan ternak tidak tepat dan kebuntingan tidak terjadi.

168

Peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung dapat dikelompokkan sebagai peasant yaitu peternak dengan pemilikan tanah yang sempit, ternak sedikit, modal terbatas, dan mengusahakan peternakan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Rendahnya tingkat inovasi peasant menurut Rogers (Rahardjo, 1999:73-74) setidak-tidaknya berkaitan dengan tiga hal. Pertama, pola hidup peasant cenderung menggunakan cara-cara yang dipastikan menghasilkan. Peasant enggan menggunakan cara-cara baru yang mungkin menyebabkan kegagalan. Kedua, rendahnya tingkat inovasi peasant juga merupakan akibat dari sumber-sumber ekonomi yang terbatas atau penerapan teknologi yang kurang tepat guna. Penerapan ide-ide baru memerlukan biaya sedangkan peasant umumnya miskin. Ketiga, rendahnya pengetahuan peasant mengenai masalah-masalah teknis dan sumberdaya, merupakan penyebab rendahnya tingkat adopsi inovasi. Pengetahuan yang rendah serta kesempatan yang terbatas menyebabkan rendahnya aspirasi yang selanjutnya menyebabkan rendahnya motivasi untuk meraih prestasi (Rahardjo, 1999:75). Hasil penelitian tentang produktivitas bila dipisahkan berdasarkan komponennya terlihat pada Tabel 15. Tabel 15. Tingkat Produktivitas dalam komponen-komponennya Indikator

Kualitas dan kuantitas susu - Tinggi - Sedang - Rendah Kesehatan Ternak - Tinggi - Sedang - Rendah Selang beranak - Panjang - Sedang - Pendek Kreativitas dan keinovatifan - Tinggi - Sedang - Rendah

Kabupaten Pasuruan Jumlah Prosentase (Orang) (%)

Kabupaten Bandung Jumlah Prosentase (Orang) (%)

11 79 35

8,8 63,2 28,0

121 3 1

96,8 2,4 0,8

0 74 51

0 59,2 40,8

0 57 68

0 45,6 54,4

63 52 10

54,4 41,6 8,0

3 71 51

2,4 56,8 40,8

0 114 11

91,20 8,80

0 74 51

0 59,2 40,8

Keterangan: 1 - 34 = rendah, >34 - 67 = sedang , >67 – 100 = tinggi

169

Berdasarkan Tabel 15 terlihat bahwa peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan mayoritas (63 persen) pada tingkat sedang dalam menghasilkan kuantitas dan kualitas susu yang baik, pada tingkat sedang dalam menghasilkan kesehatan ternak (59 persen), memiliki selang beranak yang panjang (54 persen), dan pada tingkat sedang dalam kreativitas keinovatifan (91 persen). Peternak sapi perah di Kabupaten Bandung mayoritas (97 persen) pada tingkat tinggi dalam menghasilkan kuantitas dan kualitas susu yang baik, pada tingkat tinggi dalam menghasilkan ternak-ternak yang sehat (54 persen), memiliki selang beranak yang sedang (57 persen), dan pada tingkat sedang dalam kreativitas dan keinovatifan (59 persen). Kualitas dan kuantitas produk susu yang dihasilkan peternak merupakan aspek yang mendapat perhatian besar dari peternak. Hal ini karena susu yang dihasilkan dapat langsung menghasilkan uang, sedangkan kesehatan ternak tidak mempunyai keterkaitan langsung dengan pendapatan peternak meskipun kesehatan ternak sangat menentukan kualitas maupun kuantitas susu. Selang beranak sapi perah yang dimiliki peternak di Kabupeten Pasuruan pada tingkat sedang. Hal ini dimungkinkan karena kualitas pakan yang kurang baik, umur ternak yang sudah tua, atau waktu perkawinan yang sering tidak tepat. Sapi perah sering menunjukkan birahi pada malam hari tetapi diketahui oleh peternak pada pagi harinya sehingga perkawinan kurang tepat waktu. Rendahnya tingkat kreativitas dan keinovatifan peternak dalam menghasilkan produk-produk olahan yang berbahan dasar susu ataupun pemanfaatan kotoran ternak, serta membuat pakan hijauan awetan, disebabkan peternak kurang memiliki semangat kerja keras dan kurangnya bimbingan dan pendampingan dari pihak-pihak yang berkompeten dalam hal ini. Tingkat produktivitas peternak di Kabupaten Bandung sedikit lebih tinggi dibandingkan peternak di Kabupaten Pasuruan. Di Kabupaten Bandung telah ada home industry yang membuat karamel susu, kerupuk susu, dan dodol susu. Pada awalnya, produk-produk ini dibuat dari susu yang rusak, tetapi sekarang dibuat dari susu segar yang masih baik karena sangat sulit mendapatkan susu yang rusak. Pemanfaatan kotoran ternak sebagai sumber energi untuk memasak juga telah dimanfaatkan oleh tiga orang peternak di Desa Warnasari, Kabupaten Bandung.

170

Peternak di Kabupaten Bandung memiliki tingkat produktivitas lebih tinggi dibandingkan dengan peternak di Kabupaten Pasuruan. Hal ini disebabkan penetapan harga berdasarkan kualitas susu yang terdiri dari kandungan fat, solid non fat (SNF), total solid (TS), dan total plate count (TPC). Peternak yang mampu menghasilkan susu berkualitas mendapatkan bonus harga. Istilah bonus (penghargaan) yang diterapkan oleh pihak KPBS ternyata mampu menumbuhkan motivasi peternak untuk menghasilkan susu sapi yang berkualitas.

Peternak

mendapatkan bonus sebesar Rp 250,00/liter bagi susu yang disetorkan dengan TPC kurang dari satu juta. Bonus sebesar Rp 125,00/liter bagi susu yang disetor dengan TPC 1–5 juta/ml. Peternak yang menghasilkan susu dengan kandungan TPC lebih dari 6 juta/ml mendapat penalti berupa penolakan susu oleh koperasi. Menurut Zainun (2004: 228), faktor upah, gaji atau imbalan berpengaruh terhadap mutu dan produktivitas kerja. Namun demikian moril jauh lebih besar peranannya terhadap tingkat produktivitas pekerja. Moril yang rendah merupakan indikator yang menunjukkan bahwa human relations dalam organisasi itu tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Moril tidak cukup diartikan sebagai semangat atau kemauan kerja seseorang. Moril adalah suatu keadaan yang berhubungan erat dengan kondisi mental seseorang. Seseorang yang mempunyai moril tinggi berarti bahwa orang tersebut berada dalam kondisi mental memenuhi syarat yang dikehendaki dari orang tersebut. Seseorang yang bekerja pada suatu organisasi, maka daripadanya diharapkan untuk menggemari dan menyukai pekerjaan yang ditugaskan kepadanya. Bila seseorang menerima pekerjaan itu padahal sebenarnya tidak menyukainya, maka dapat dipastikan orang itu tidak akan menjalankan pekerjaan dengan sepenuh hati. Dilihat dari pendapat tersebut maka dimungkinkan peternak di Kabupaten Bandung memiliki human relations dalam organisasi yang lebih baik sehingga memiliki mental kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan peternak di Kabupaten Pasuruan. Selain itu, biaya hidup di Kabupaten Bandung relatif lebih tinggi dibandingkan dengan biaya hidup di Kabupaten Pasuruan sehingga peternak dituntut bekerja lebih keras untuk membiayai hidup. Penetapan harga susu oleh koperasi ”Setia Kawan” di Tutur Nongkojajar, berdasarkan Grade. Grade I dihargai Rp 2.400,00/liter, grade II dihargai

171

Rp 2.100,00 /liter, Grade III dihargai Rp 1.900,00/liter, dan Grade IV dihargai Rp 1.700,00/liter. Grade ditentukan berdasarkan uji laboratorium di koperasi. Peternak yang menghasilkan susu dengan Grade IV mendapatkan pengarahan secara khusus dari koperasi, dengan cara petugas koperasi mendatangi rumah peternak untuk melakukan kajian terhadap cara budidaya dan proses pemerahan dan penanganan pasca panen. Sebagai perbandingan, harga susu internasional saat ini sudah mencapai Rp 6.200,00/liter (Anonimous b, 2008:1). Sedangkan pemerintah menetapkan harga susu sebesar Rp 2.950,00/liter. PT. Nestle yang membeli susu dari peternak di Kabupaten Pasuruan menetapkan harga sebesar Rp 3.300,00/liter (Anonimous a, 2008:1). Berdasarkan data-data di atas maka diperoleh fakta bahwa peternak belum mendapatkan harga sesuai dengan harga yang ditetapkan pemerintah maupun harga dari IPS dan jauh di bawah harga internasional. Keadaan tersebut menyebabkan pendapatan peternak dari usaha sapi perah masih rendah dan tingkat kesejahteraan peternak sapi perah belum tercapai. Standar kualitas susu yang diterima KPSP ”Setia Kawan” adalah temperatur pagi hari 27,5oC dan berat jenis 1,024 dan siang hari dengan temperatur 2931oC dan berat jenis 1,0235, serta susu tidak mengandung bahan asing. Susu yang baik adalah asli, bersih, dan cepat disetor. Sosialisasi tentang kualitas susu dilakukan koperasi dengan cara penempelan standar kualitas susu di papan pengumuman di TPS. Mekanisme pengiriman susu dari peternak sampai ke IPS adalah sebagai berikut: peternak menyetorkan susu ke TPK atau TPS dengan frekwensi dua kali sehari yaitu pagi dan sore hari. Di masing-masing TPK atau TPS dilakukan pengujian kualitas susu meliputi, uji alkohol dan uji berat jenis. Dari masingmasing penampungan, dengan menggunakan mobil tangki yang dilengkapi alat pendingin, susu dibawa ke koperasi untuk diberikan treatment agar susu dapat tahan lebih lama karena bakteri tidak berkembang sehingga saat sampai ke IPS susu masih dalam keadaan baik. Sebelum diberikan treatment, sampel susu diuji untuk menentukan kualitas susu. Selanjutnya susu langsung dibawa ke IPS.

172

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kompetensi Kewirausahaan Peternak Sapi Perah Kompetensi kewirausahaan adalah kemampuan cerdas untuk bersikap dan berproses menghasilkan produk yang berkualitas dan atau memberikan nilai tambah kepada produk sehingga memiliki nilai komersial tinggi tetapi tetap mengindahkan norma-norma kehidupan dalam masyarakat, yang meliputi: kompetensi teknis dan manajerial. Dalam penelitian ini kompetensi teknis dinilai dari aspek: penguasaan peternak tentang bibit sapi perah, perkandangan, pakan, reproduksi, pemeliharaan, pemerahan, produktivitas ternak, penyakit, dan recording dari segi pengetahuan, sikap, maupun keterampilan. Kompetensi manajerial dinilai dari aspek: pengetahuan, sikap dan keterampilan peternak sapi perah dalam hal melakukan perencanaan usaha, mengkoordinasi bidang-bidang yang menjadi tanggungjawabnya, melakukan pengawasan, melakukan evaluasi, berkomunikasi, bermitra, mengatasi kendala usaha, dan memanfaatkan peluang usaha.

Pengaruh Karakteristik terhadap Kompetensi Kewirausahaan Peternak Sapi Perah Faktor-faktor karakteristik yang diduga berhubungan secara nyata dengan kompetensi kewirausahaan yang dimiliki peternak sapi perah adalah: pendidikan, jumlah keluarga, jumlah ternak yang dipelihara, lama beternak, kemampuan mengakses informasi, dan motivasi peternak dalam mengembangkan usaha ternaknya. Berdasarkan analisis korelasi Product Moment yang dilakukan menghasilkan data sebagaimana tertera pada Tabel 16. Berdasarkan Tabel 16 terlihat bahwa karakteristik peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung yang berhubungan nyata dengan kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah adalah kemampuan mengakses informasi, dan motivasi peternak dalam mengembangkan usaha peternakan sapi perah. Pendidikan, jumlah keluarga, jumlah ternak yang dipelihara dan lama beternak tidak berhubungan nyata dengan kompetensi kewirausahaan peternak di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung. Ada kecenderungan bahwa di

173 Kabupaten Pasuruan, pendidikan, jumlah keluarga, dan jumlah ternak yang dipelihara berhubungan negatif dengan kompetensi kewirausahaan peternak. Di Kabupaten Bandung, ada kecenderungan pendidikan peternak, jumlah ternak yang dipelihara, dan lama beternak, berhubungan negatif dengan kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah. Tabel 16. Koefisien Korelasi Faktor Karakteristik yang Berhubungan dengan Kompetensi Kewirausahaan Peternak Sapi Perah Karakteristik Peternak Pendidikan Jumlah keluarga Jumlah ternak yang dipelihara Lama beternak Kemampuan mengakses informasi Motivasi Keterangan: ** sangat nyata pada ά 0,01

Kompetensi Kewirausahaan Pasuruan Bandung -0,046 -0,030 -0,029 -0,118 -0,056 0,007 0,044 -0,048 0,665** 0,674** 0,467** 0,573**

Pendidikan merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Pendidikan selain mengembangkan intelejensi akademik juga mengembangkan seluruh spektrum intelejensi manusia yang meliputi berbagai aspek kebudayaan (seni, teknologi, ilmu pengetahuan, moral dan agama). Fungsi pendidikan selain menggali potensi yang ada dalam diri manusia juga mengajarkan bagaimana manusia mengontrol potensi yang telah dikembangkan agar bermanfaat bagi pengembangan kualitas hidup. Pendidikan peternak di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung tidak berhubungan nyata dengan tingkat kompetensi kewirausahaan peternak. Ada kecenderungan hubungan negatif antara pendidikan dengan kompetensi kewirausahaan peternak. Sebanyak 89 persen peternak di Kabupaten Pasuruan berpendidikan Sekolah Dasar (SD), sedangkan peternak sapi perah di Kabupaten Bandung, sebanyak 35 persen berpendidikan Sekolah Dasar dan 65 persen berpendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Struktur tenaga kerja pada usaha peternakan di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung yang didominasi tenaga kerja berpendidikan rendah menyebabkan tidak adanya hubungan pendidikan dengan kompetensi kewirausahaan peternak. Ketidaksesuaian pendidikan dengan usaha

174 yang saat ini dijalankan menyebabkan ada kecenderungan semakin tinggi pendidikan peternak semakin berkurang kompetensi kewirausahaan yang dimiliki. Peternak di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung yang memiliki peluang untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi memilih bersekolah di sekolah yang bersifat umum yaitu SMP ataupun SMA, bukan kejuruan yang sesuai dengan bidang usaha saat ini. Pada sekolah-sekolah umum tidak diajarkan tentang budidaya sapi perah dan kemampuan manajerial. Sekolah tersebut lebih memfokuskan anak didiknya untuk dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Oleh karena itu, ada kecenderungan semakin tinggi pendidikan

peternak semakin rendah kompetensi kewirausahaan yang dimiliki. Penelitian yang dilakukan Kim (dalam Riyanti, 2003:9) menemukan fakta bahwa pendidikan yang sesuai dengan bidang usaha yang digeluti memberi kontribusi nyata terhadap keberhasilan usaha karena pendidikan berperan penting memberi bekal pengetahuan yang dibutuhkan, terutama saat mengalami masalah yang timbul. Faktor lain yang menyebabkan ada kecenderungan semakin tinggi pendidikan peternak semakin rendah kompetensi kewirausahaan adalah peternak yang memiliki pendidikan lebih tinggi, menjadikan usaha sapi perah sebagai usaha sampingan dan pada umumnya mempekerjakan pekerja dari luar keluarga sehingga kompetensi teknis yang dimiliki tidak berkembang. Keterbatasan pergaulan dengan pengusaha-pengusaha sukses dan materi penyuluhan yang kurang memperhatikan aspek manajerial juga menyebabkan kompetensi manajerial peternak belum berkembang. Implikasi dari temuan ini adalah bahwa untuk meningkatkan kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah adalah melalui pendidikan non formal berupa penyuluhan, pelatihan, anjang karya ataupun magang. Kegiatan tersebut diharapkan memberikan pengetahuan dan pengalaman kerja kepada peternak sapi perah yang selanjutnya dapat diterapkan di usaha peternakannya sendiri.

Materi

penyuluhan tidak sebatas aspek teknis budidaya sapi perah tetapi lebih kepada aspek-aspek yang belum dikuasai peternak seperti manajerial, upaya meningkatkan produktivitas ternak, dan aspek-aspek yang meningkatkan motivasi beternak sapi perah.

175 Faktor jumlah keluarga peternak di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung tidak berhubungan nyata dengan kompetensi kewirausahaan peternak. Ada kecenderungan hubungan negatif antara jumlah anggota keluarga dengan kompetensi kewirausahaan peternak di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung. Kecenderungan berhubungan negatif antara jumlah keluarga peternak dengan kompetensi peternak menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggung jawab peternak maka semakin rendah kompetensi kewirausahaan peternak. Semakin banyak tanggungan keluarga maka semakin tinggi pula kebutuhan hidup yang ditanggung peternak, sehingga waktu peternak habis untuk mencari nafkah, tidak ada kesempatan untuk belajar, mengevaluasi hasil kerja ataupun berinteraksi dan berdiskusi dengan sesama peternak, tetangga, ataupun penyuluh, untuk mengembangkan kompetensi diri, akibatnya kompetensi peternak tidak bertambah, sedangkan pengetahuan senantiasa berkembang. Semakin banyak beban yang ditanggung peternak tetapi belum memotivasi peternak untuk belajar dan bekerja lebih giat untuk memperbaiki kompetensi yang dimiliki dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada di sekitarnya sehingga mampu meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan keluarga. Kecenderungan hubungan negatif antara jumlah keluarga dengan kompetensi kewirausahaan disebabkan pula oleh belum dimanfaatkannya anggota sebagai tenaga kerja bagi usaha sapi perah, sehingga semakin banyak jumlah anggota keluarga masih menjadi beban bagi peternak sapi perah. Anggota keluarga dalam jumlah besar, merupakan potensi tenaga kerja (khususnya anak-anak remaja) yang dapat dimanfaatkan peternak untuk membantu mengelola usaha sapi perah. Melibatkan anak-anak remaja (calon peternak) dalam mengelola usaha peternakan sapi perah, disamping meringankan tugas peternak juga dapat dijadikan ajang belajar mengelola usaha bagi calon peternak. Di kedua kabupaten lokasi penelitian ditemukan bahwa jumlah ternak sapi perah yang dipelihara peternak tidak berhubungan nyata dengan kompetensi kewirausahaan peternak. Ada kecenderungan hubungan negatif antara jumlah ternak yang dipelihara dengan kompetensi peternak di Kabupaten Pasuruan. Semakin banyak sapi perah yang dipelihara maka semakin banyak pekerjaan yang

176 harus ditangani. Tenaga kerja keluarga yang terbatas menyebabkan waktu peternak habis untuk mengurus sapi perahnya. Tidak ada kesempatan untuk mengembangkan kompetensi yang dimiliki. Semakin banyak ternak yang dipelihara belum mampu mendorong peternak untuk belajar memperbaiki kompetensi kewirausahaan yang dimiliki. Dengan kepemilikan ternak yang berkisar antara 1–10 ekor, peternak merasa tidak perlu mengubah bentuk manajemen yang diterapkan selama ini. Sulitnya mendapatkan rumput yang berkualitas pada musim kemarau diatasi dengan membeli pakan hijauan kepada tetangga desa di Kabupaten Pasuruan atau dengan memanfaatkan limbah-limbah pertanian yang banyak tersedia di lingkungan peternakan di Kabupaten Bandung. Peternak belum mau belajar tentang pembuatan pakan hijauan awetan (hay, silase, jerami fermentasi, dan lain-lain). Ketersediaan sarana produksi seperti pakan konsentrat, peralatan kandang, pelayanan IB, pelayanan kesehatan ternak, dan potong kuku, serta usaha simpan pinjam yang disediakan koperasi menyebabkan peternak belum mencoba membuat pakan konsentrat sendiri atau pengembangkan pengetahuan setempat untuk mengobati ternak yang sakit. Menurut peternak, pemilikan ternak sapi perah sebanyak 6 ekor, dengan rincian 4 ekor sapi laktasi (67 persen), 1 ekor sapi dara, dan 1 ekor pedet, merupakan jumlah pemilikan yang ideal. Bagi peternak dengan komposisi kepemilikan tersebut, peternak merasa tidak terlalu repot dalam mengurus ternak sapinya, sehingga peternak memiliki waktu untuk melakukan kegiatan sosial seperti berinteraksi dengan saudara, tetangga dan melihat televisi bersama keluarga. Kerepotan peternak dirasakan apabila memiliki lebih dari enam ekor sapi, khususnya dalam mencari hijauan pakan ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat Sudono (1999 :31) yang menyatakan bahwa untuk menjamin pendapatan peternak sebaiknya peternak memiliki sapi perah laktasi sebesar lebih dari 60 persen dari jumlah sapi yang dipelihara. Ditinjau dari segi tenaga kerja, kepemilikan enam ekor sapi perah menyebabkan peternak tidak perlu menambah tenaga kerja dari luar keluarga, karena tenaga kerja dapat tercukupi dari tenaga kerja keluarga. Tenaga kerja yang terlibat dalam budidaya ternak adalah suami dan istri, anak-anak diarahkan untuk

177 sekolah. Peternak yang memiliki sapi perah lebih dari enam ekor cenderung menggaduhkan ternak sapinya kepada tetangga dekat atau saudaranya. Alasan peternak menggaduhkan ternak sapinya adalah lebih menguntungkan. Ternak sapi yang digaduhkan kepada tetangga atau saudara dirawat secara baik karena merasa memiliki ternak tersebut sehingga produksi susupun cukup baik Namun, bila peternak memelihara sapi tersebut dengan dibantu oleh tenaga kerja dari luar keluarga, maka pekerja kurang merasa memiliki ternak tersebut. Pekerja bekerja sesuai dengan tugasnya. Dari 250 orang sampel penelitian, terdapat 14 persen sampel penelitian di Kabupaten Pasuruan dan enam persen sampel penelitian di Kabupaten Bandung yang memiliki tenaga kerja dari luar keluarga, selebihnya tenaga kerja berasal dari dalam keluarga. Lama beternak bagi peternak di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung tidak berhubungan nyata dengan kompetensi kewirausahaan peternak. Ada kecenderungan berhubungan secara negatif antara lama beternak dengan kompetensi kewirausahaan peternak di Kabupaten Bandung. Di Kabupaten Pasuruan budidaya usaha sapi perah oleh peternak dari tahun ke tahun tidak menunjukkan perubahan karena pandangan hidup yang dianut peternak yaitu beternak ataupun berusaha tani merupakan matapencahariaan (subsisten) yaitu kegiatan usaha yang bertujuan untuk mencukupi kebutuhan hidup, belum berorientasi untuk tujuan ekonomi yaitu mencari keuntungan sebesar-besarnya. Di Kabupaten Bandung, semakin lama peternak beternak sapi perah maka semakin menurun kompetensi kewirausahaan. Pengetahuan budidaya sapi perah yang ditawarkan penyuluh, belum banyak diterapkan peternak pada usaha sapi perah yang dikelolanya. Robbins (1996:57) menyatakan bahwa keterampilan harus senantiasa diperbaharui. Upaya memperbaharui atau meningkatkan kompetensi adalah melalui pendidikan, pelatihan dan pengalaman kerja (Atmosoeprapto, 2001:65). Faktor lain yang menyebabkan adanya hubungan negatif antara lama beternak dengan kompetensi kewirausahaan adalah keterbatasan modal peternak. Semakin lama beternak maka semakin banyak pengalaman dan pengetahuan yang dikuasai peternak tetapi keterbatasan modal yang dimiliki menyebabkan peternak kurang inovatif dan kurang berani mencoba terhadap hal-hal baru yang ditawar-

178 kan penyuluh, sehingga cara berusaha ternak sapi perah yang dilakukan peternak tidak berubah dari tahun ke tahun. Selain itu, ada kemungkinan inovasi yang ditawarkan penyuluh tidak ada di lingkungan peternak sehingga peternak tidak dapat mengadopsi. Sebagai contoh informasi yang ditawarkan oleh Fakultas Peternakan Universitas Pajajaran tentang penggunaan daun kaliandra untuk pakan hijauan ternak, belum dapat diimplementasikan oleh peternak karena daun tersebut tidak ada di sekitar peternak. Sebenarnya pohon ini dapat ditanam peternak, tetapi ketersediaan limbah pertanian di sekitar peternakan serta kesibukan peternak mengurus ternak menyebabkan peternak belum tertarik untuk menanam pohon tersebut. Keterbatasan tenaga penyuluh juga menyebabkan tidak dilakukan pendampingan setelah dilakukan penyuluhan sehingga informasi yang disampaikan dalam penyuluhan tidak dipraktekkan oleh peternak. Terdapat hubungan nyata antara kemampuan mengakses informasi dengan kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung. Kemampuan mengakses informasi peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung adalah pada kategori sedang. Syarat untuk dapat mengakses informasi adalah kemampuan berkomunikasi dan komunikasi termasuk salah satu kebutuhan psikologis manusia. Kecakapan untuk berkomunikasi merupakan enabling skill atau kemampuan dasar yang memungkinkan seseorang belajar (Suparno,2001:55).

Menurut Soekartawi

(1988:88), belajar dari tetangga biasanya lebih berhasil daripada belajar dengan orang lain (sumber informasi) yang tempat tinggalnya berjauhan. Kedekatan tempat tinggal menyebabkan terjadinya kedekatan emosional sehingga melancarkan proses komunikasi. Tetangga biasanya terdiri dari beberapa famili yang mengenal secara pribadi satu sama lain dan mempunyai perasaan saling berhubungan sesamanya serta menuntut pentingnya lokalitas yang sama sebagai tempat tinggal. Soekartawi (1988:68) juga menyatakan bahwa sumber informasi lain yang diakses petani adalah agen pertanian (toko sarana pertanian). Motivasi peternak dalam mengembangkan usaha peternakan di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung berhubungan nyata dengan kompetensi kewirausahaan. Hal ini dikarenakan usaha sapi perah merupakan usaha pokok bagi 78

179 persen peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan dan 97 persen peternak di Kabupaten Bandung. Selain itu, usaha sapi perah memberikan pendapatan tetap setiap hari meskipun pembayarannya diakumulasikan setiap 10 hari atau 15 hari sekali. Peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan, menerima pembayaran hasil penjualan susu ke koperasi, setiap sepuluh hari sekali, yaitu tanggal 1, 11, dan 21. Peternak sapi perah di Kabupaten Bandung menerima pembayaran penjualan susu ke koperasi sebanyak dua kali dalam sebulan yaitu setiap tanggal 25 dan tanggal satu. Uang yang diterima peternak adalah hasil penjualan susu yang telah dikurangi oleh pinjaman peternak kepada koperasi. Alasan tersebut menyebabkan peternak memiliki motivasi untuk mengembangkan usaha ternaknya dengan bekerja keras dan mengembangkan keterampilan mengelola usaha sapi perah sehingga pendapatan meningkat. Peternak yang memiliki motivasi tinggi cenderung mengembangkan kompetensi diri dengan cara belajar dari pengalaman-pengalaman selama beternak ataupun berdiskusi dengan sumber-sumber informasi. Motivasi seseorang tergantung pada kekuatan motif. Motif dimengerti sebagai ungkapan kebutuhan seseorang, karenanya motif bersifat pribadi dan internal. Di pihak lain, insentif berasal dari luar, insentif dijadikan bagian lingkungan kerja untuk mendorong seseorang melakukan tugasnya dengan baik. Penghasilan yang diperoleh peternak sapi perah merupakan insentif yang mendorong peternak membudidayakan sapi perah secara baik. Hubungan antara kebutuhan dan prestasi dapat diikhtisarkan dalam model motivasi pada Gambar 4. Kebutuhan menimbulkan tensi yang dimodifikasi oleh lingkungan dan praktek sosial (pengalaman) kemudian menimbulkan keinginan. Kebutuhan Individu

Persepsi lingkungan

Keinginan (tensi)

Motivasi

Tindakan (pengurangan tensi)

Gambar 4. Model Motivasi (Davis dan Newstrom, 1995:67) Karakteristik peternak yang berhubungan dengan kompetensi kewirausahaan peternak selanjutnya dianalisis dengan regresi berganda untuk mengetahui

180 apakah faktor-faktor tersebut memiliki pengaruh nyata terhadap kompetensi kewirausahaan peternak. Faktor karakteristik peternak di Kabupaten Pasuruan yang memiliki hubungan nyata dengan kompetensi kewirausahaan selanjutnya dianalisis dengan regresi berganda, terlihat pada Tabel 17. Tabel 17. Koefisien Regresi Berganda Karakteristik yang Berpengaruh terhadap Kompetensi Kewirausahaan Peternak Sapi Perah di Kabupaten Pasuruan Karakteristik Peternak Kemampuan mengakses informasi Motivasi Konstanta = 0,665 R2 = 0,442 Keterangan: ** sangat nyata pada ά 0,01

Kompetensi Kewirausahaan 0,354** 0,014

Kemampuan mengakses informasi merupakan faktor yang berpengaruh nyata terhadap kompetensi kewirausahaan peternak. Kemampuan mengakses informasi peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan berpengaruh sangat nyata terhadap kompetensi kewirausahaan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin pandai peternak mengakses informasi semakin banyak informasi yang diperoleh peternak, sehingga makin berkembang kemampuan peternak dalam menganalisis masalah. Berkembangnya kemampuan analisis menjadikan peternak lebih berani mengambil resiko mengaplikasikan inovasi terhadap usaha ternak sapi perah dengan terlebih dahulu membuat perencanaan usaha dan senantiasa melakukan evaluasi. Faktor-faktor tersebut merupakan komponen dari kompetensi kewirausahaan. Sumber informasi yang dirujuk peternak saat mengalami masalah atau sebelum mengambil keputusan, berturut-turut adalah ketua kelompok, penyuluh, tetangga, tamu yang berkunjung ke daerahnya, media massa dan hasil penelitian. Ketua kelompok merupakan orang yang sering menjadi rujukan pada saat peternak menghadapi masalah. Sumber informasi bagi peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan lebih banyak merujuk kepada individu, bukan media massa. Pemanfaatan media massa yang dimiliki peternak digunakan sebagai pengisi waktu luang (54 persen) atau mencari pengetahuan umum (31 persen), peternak yang

181 memanfaatkan media massa sebagai sumber informasi tentang pertanian atau peternakan sebesar 13 persen. Pendidikan rendah dan ketidaksesuaian jenis pendidikan dengan usaha yang saat ini dijalankan menyebabkan peternak di Kabupaten Pasuruan aktif mencari informasi dan belajar tentang peternakan sapi perah. Kunjungan tamu dari luar daerah yang sering terjadi dimanfaatkan sebagai salah satu rujukan untuk mendapat informasi. Di tahun 2006 tercatat 41 kali kunjungan eksekutif dan legislatif, 72 kali kunjungan mitra kerja, 12 kali kunjungan pers, 14 kali kunjungan tamu luar negeri dan lain-lain, serta 36 kali digunakan sebagai tempat PKL dan KKN di Kabupaten Pasuruan (Laporan Pertanggungjawaban Pengurus KPSP ”Setia Kawan” Tahun Buku, 2006). Informasi yang banyak diterima peternak adalah masalah teknis, padalah selain informasi tersebut peternak sapi perah membutuhkan informasi lain untuk lebih mengembangkan kompetensi diri sebagai usahawan. Informasi tentang manajemen usaha, kepemimpinan, kemampuan bermitra usaha, memberi nilai tambah bagi produk yang dihasilkan, produk yang diinginkan pasar, serta teknologi pembuatan pakan konsentrat dengan memanfaatkan sumberdaya di sekitar peternak, memanfaatkan kotoran ternak sebagai komoditi yang memiliki manfaat dan nilai jual merupakan bentuk-bentuk pesan yang diperlukan untuk meningkatkan produktivitas peternak, namun pada kenyataannya informasi tersebut belum banyak diterima peternak. Informasi tentang keuntungan-keuntungan berusaha sapi perah dibandingkan dengan usaha tani lainnya juga diperlukan peternak sebagai upaya untuk memantapkan peternak dalam mengusahakan peternakan sapi perah. Motivasi peternak mengembangkan usaha sapi perah di Kabupaten Pasuruan tidak berpengaruh nyata terhadap kompetensi kewirausahaan. Meskipun sapi perah mampu menghasilkan susu sapi setiap hari dan selanjutnya susu sapi tersebut dijual untuk menghasilkan uang, tetapi adanya pandangan hidup yang memandang berusaha ternak merupakan matapencaharian, pendidikan rendah, dan masih terbatasnya informasi tentang keuntungan-keuntungan memelihara sapi perah, serta terbatasnya penyuluh melakukan pendampingan kepada peternak menyebab-

182 kan peternak belum termotivasi belajar tentang manajemen usaha atau mengembangkan kemampuan budidaya ternak sapi secara profesional sebagai upaya untuk meningkatkan kompetensi kewirausahaan peternak. Pengaruh karakteristik terhadap kompetensi kewirausahan peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan dirumuskan dalam Hipotesis 1 penelitian ini, yaitu: “Karakteristik berpengaruh nyata terhadap tingkat kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah dalam menjalankan usahanya.” Hipotesis 1 ini diuji dengan model statistik Analisis Jalur (Path analysis). Hipotesis tersebut ternyata tidak terbukti karena dari enam karakteristik peternak (pendidikan, jumlah keluarga, jumlah ternak yang dipelihara, lama beternak, kemampuan mengakses informasi, dan motivasi) yang diajukan, kemampuan mengakses informasi yang berpengaruh nyata terhadap kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan. Gambaran selengkapnya pengaruh antar peubah yang diteliti terlihat pada Gambar 5. Kompetensi kewirausahaan peternak di Kabupaten Pasuruan secara langsung dan positif dipengaruhi oleh kemampuan mengakses informasi peternak. Kompetensi kewirausahaan peternak di Kabupaten Pasuruan terbangun apabila peternak memiliki kemampuan mengakses informasi. Pendidikan rendah dan ketidaksesuaian antara pendidikan dengan dunia usaha menyebabkan kompetensi peternak sangat ditentukan oleh kemampuan peternak dalam mengakses informasi. Semakin banyak informasi yang diperoleh menjadikan peternak memiliki banyak pengetahuan dan wawasan sebagai bekal mengelola usaha peternakan sapi perah. Upaya yang perlu dilakukan adalah memberi akses seluas-luasnya kepada peternak untuk berinteraksi dengan peternak-peternak yang telah berhasil melalui kegiatan anjang karya ataupun magang sehingga mampu memotivasi untuk belajar lebih giat memperbaiki kompetensi yang dimiliki. Tabel 17 memperlihatkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,442; artinya, kompetensi kewirausahaan peternak di Kabupaten Pasuruan sebesar 44 persen dipengaruhi oleh kemampuan mengakses informasi. Konstanta sebesar 0,665 menunjukkan bahwa tanpa pengaruh kemampuan mengakses informasi maka kompetensi kewirausahaan peternak telah menunjukkan kecenderungan positif.

183 Selanjutnya dituliskan persamaan model regresi pengaruh karakteristik terhadap kompetensi kewirausahaan peternak, yaitu: Y1 = 0,665 + 0,354 X15

Kemampuan akses info

0,649**

Kompetensi kewirausahaan (Y1)

0,024

Motivasi 0.276**

ε = 0,558 Gambar 5. Karakteristik yang Mempengaruhi Kompetensi Kewirausahaan Peternak Sapi Perah di Kabupaten Pasuruan Faktor karakteristik peternak di Kabupaten Bandung yang berhubungan nyata dengan kompetensi kewirausahaan selanjutnya dianalisis dengan regresi berganda (Tabel 18). Kemampuan mengakses informasi, dan motivasi peternak berpengaruh nyata terhadap kompetensi kewirausahaan peternak. Tabel 18. Koefisien Regresi Berganda Karakteristik yang Berpengaruh terhadap Kompetensi Kewirausahaan Peternak Sapi Perah di Kabupaten Bandung Karakteristik Peternak Kemampuan mengakses informasi Motivasi Konstanta = 0,210 R2 = 0,543 Keterangan: ** sangat nyata pada ά 0,01

Kompetensi Kewirausahaan 0,447** 0,340**

Kecamatan Pangalengan merupakan salah satu pusat pemeliharaan sapi perah rakyat yang ada di Jawa Barat yang sering mendapat kunjungan tamu dari luar daerah. Hal ini menyebabkan peternak memiliki sikap yang terbuka karena sering berinteraksi dan berkomunikasi dengan komunitas di luar komunitasnya. Di tahun 2006 jumlah kunjungan yang terjadi adalah 18 kali kunjungan dari instansi Pusat dan Daerah, 7 kali kunjungan dari Gerakan Koperasi, dan kunjungan Perguruan Tinggi/mahasiswa/pelajar/TK (kunjungan PKL, penelitian, dll) sebanyak 342 kali dengan jumlah peserta sebanyak 6.201 orang. Kunjungan ini belum termasuk kunjungan pers yang sering dilakukan untuk peliputan berita (Laporan Pertanggungjawaban Pengurus KPBS Pangalengan Tahun Buku, 2006).

184 Interaksi antar individu merupakan salah satu bentuk peristiwa komunikasi dalam masyarakat. Menurut Schramm (Liliweri, 1997:11), pada saat individu berinteraksi, ada saling berbagi informasi, membagi gagasan, dan sikap. Ditambahkan oleh Theodorson (Liliweri, 1997:11), bahwa komunikasi adalah proses pengalihan informasi dari satu orang atau sekelompok orang dengan menggunakan simbol-simbol tertentu kepada satu orang atau satu kelompok lain. Proses pengalihan informasi tersebut selalu mengandung pengaruh tertentu. Intensitas tinggi dalam berinteraksi dengan orang-orang di luar komunitasnya menyebabkan peternak bertambah wawasan dan pengetahuannya. Kemampuan mengakses informasi peternak berpengaruh sangat nyata terhadap kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah di Kabupaten Bandung. Interaksi dengan orang-orang diluar komunitas peternak, serta kemampuan berkomunikasi yang baik ternyata mampu meningkatnya kompetensi kewirausahaan peternak. Sifat terbuka yang dimiliki peternak sapi perah di Kabupaten Bandung menyebabkan peternak memiliki kemampuan untuk mengakses informasi dari sumber-sumber informasi. Kemampuan mengakses informasi yang cukup baik ditambah dengan mayoritas (81 persen) umur peternak yang dalam masa produktif (31-60 tahun) menyebabkan peternak berani menerapkan ide-ide baru yang ditawarkan sumber informasi. Namun, selama ini informasi yang banyak diperoleh peternak lebih banyak bersifat teknis yang telah dikuasai peternak. Informasi tentang dampak pemberian pakan terhadap kualitas susu, pemanfaatan obat tradisional untuk mengobati ternak yang sakit, keterampilan recording,

kebutuhan susu di

Indonesia, spesifikasi produk yang disukai pasar, teknologi sederhana pembuatan susu kental manis, yoghurt, serta diversifikasi usaha yang berkaitan dengan susu, juga upaya memanfaatkan kotoran sebagai sumber energi merupakan bentuk pesan yang sangat diperlukan peternak untuk meningkatkan usahanya, namun dalam kenyataannya informasi tersebut sangat sukar bahkan tidak diperoleh peternak.

Penelitian yang dilakukan Mundy tahun 2000 yang dikutip Pusat

Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (2003:III-20) diketahui bahwa diperlukan sekitar dua tahun sebelum teknologi baru dari Badan Litbang

185 Pertanian diketahui oleh 50 persen dari Penyuluh Pertanian Spesialis (PPS), dan enam tahun sebelum 80 persen dari PPS mendengar teknologi tersebut. Jangka waktu lebih lama lagi bagi teknologi itu sampai ke tangan petani. Motivasi peternak dalam mengembangkan usaha peternakan berpengaruh sangat nyata terhadap kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah di Kabupaten Bandung. Di Kabupaten Bandung, terdapat banyak petani yang menanam kobis, wortel, kentang, jagung dan tanaman lain yang memiliki masa panen relatif singkat dan tanaman-tanaman tersebut menghasilkan limbah yang dimanfaatkan peternak sebagai hijauan pakan ternak. Ketersediaan limbah yang dapat dimanfaatkan peternak sebagai pakan sapi perah, memotivasi peternak untuk mengembangkan usaha sapi perah. Namun, kompetensi teknis yang dimiliki peternak masih dalam tingkat memanfaatkan sumberdaya yang ada di sekitarnya, belum mau menerapkan cara pembuatan pakan hijauan awetan.

Dampak dari pemberian

pakan dari limbah pertanian juga kurang dipikirkan peternak. Bagi peternak yang terpenting adalah mencukupi kebutuhan hijauan pakan ternak bagi sapi perahnya. Implementasi teknologi pemanfaatan limbah pertanian telah dilakukan oleh peternak sapi perah di Bandung, tetapi dalam pelaksanaannya masih terkendala oleh kurangnya pengetahuan peternak tentang teknologi penanganan dan batasan pemberian limbah pertanian yang benar. Menurut Muller (Widodo, 1986: 16) pemberian limbah kentang sebaiknya maksimal 15 kg/ekor/hari, limbah kobis dan wortel 20 kg/ekor/hari. Upaya yang perlu dilakukan oleh penyuluh adalah memberikan informasi tentang batasan pemberian limbah pertanian bagi pakan sapi perah dan cara pemberiannya sehingga tidak berdampak pada menurunnya kualitas susu sapi perah. Pengaruh karakteristik terhadap kompetensi kewirausahan peternak sapi perah di Kabupaten Bandung dirumuskan dalam Hipotesis 1 penelitian ini, yaitu: “Karakteristik berpengaruh nyata terhadap tingkat kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah dalam menjalankan usahanya.” Hipotesis 1 ini diuji dengan model statistik Analisis Jalur (Path analysis). Hipotesis tersebut ternyata tidak terbukti karena dari enam karakteristik peternak (pendidikan, jumlah keluarga, jumlah ternak yang dipelihara, lama beternak, kemampuan mengakses informasi,

186 dan motivasi), faktor kemampuan mengakses informasi dan motivasi peternak dalam mengembangkan usaha sapi perah yang mempunyai pengaruh nyata terhadap kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah di Kabupaten Bandung. Gambaran selengkapnya pengaruh antar peubah yang diteliti terlihat pada Gambar 6. Kompetensi kewirausahaan peternak di Kabupaten Bandung secara langsung dan positif dipengaruhi oleh kemampuan peternak dalam mengakses informasi dan motivasi mengembangkan usaha sapi perah. Kompetensi kewirausahaan peternak di Kabupaten Bandung terbangun apabila peternak memiliki motivasi untuk mengembangkan usaha sapi perah dan kemampuan mengakses informasi. Motivasi yang semakin tinggi untuk mengembangkan usaha sapi perah mendorong peternak belajar dengan penyuluh, ketua kelompok, sesama peternak ataupun sumber informasi lainnya untuk meningkatkan kompetensi kewirausahaan. Sifat terbuka peternak membuatnya mampu berinteraksi dengan sumbersumber informasi untuk menambah wawasan pengetahuan peternak.

Kemampuan akses info

0,524**

Kompetensi kewirausahaan (Y1)

Motivasi 0,344**

ε = 0,457 Gambar 6. Karakteristik yang Mempengaruhi Kompetensi Kewirausahaan Peternak Sapi Perah di Kabupaten Bandung Pada Tabel 18 memperlihatkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,543; artinya, kompetensi kewirausahaan peternak di Kabupaten Bandung sebesar 54 persen dipengaruhi oleh kemampuan mengakses informasi, dan motivasi peternak. Konstanta sebesar 0,210 menunjukkan bahwa tanpa pengaruh kemampuan mengakses informasi, dan motivasi peternak maka kompetensi kewirausahaan peternak telah menunjukkan kecenderungan positif. Selanjutnya dituliskan persamaan model regresi pengaruh karakteristik terhadap kompetensi kewirausahaan peternak, yaitu: Y1=0,210 + 0,447 X15 + 0,340 X16

187

Pengaruh Lingkungan Usaha terhadap Kompetensi Kewirausahaan Peternak Sapi Perah Faktor lain yang diduga mempengaruhi kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah adalah faktor lingkungan usaha yang terdiri atas ketersediaan sarana, prasarana dan informasi, (ketersediaan sarana produksi, ketersediaan transportasi, ketersediaan pusat kesehatan ternak, ketersediaan pusat inseminasi buatan, ketersediaan kelembagaan keuangan, ketersediaan kelembagaan pemasaran), kelembagaan peternak, kelembagaan penyuluh, kelembagaan sosial, dan kebijakan pemerintah. Berdasarkan analisis korelasi Product Moment menunjukkan bahwa, sarana, prasarana, informasi, kelembagaan peternak, kelembagaan sosial, kelembagaan penyuluhan, dan kebijakan pemerintah berhubungan sangat nyata dengan kompetensi kewirausahaan peternak di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung. Tabel 19. Koefisien Korelasi Lingkungan Usaha yang Berhubungan dengan Kompetensi Kewirausahaan Peternak Sapi Perah Lingkungan Usaha Sarana, prasarana, informasi Kelembagaan peternak Kelembagaan sosial Kelembagaan penyuluhan Kebijakan pemerintah Keterangan: ** sangat nyata pada ά 0,01

Koefisien Korelasi Pasuruan Bandung 0,603** 0,763** 0,209** 0,701** 0,461** 0,637** 0,590** 0,774** 0,450** 0,583**

Sarana, prasarana, dan informasi berhubungan sangat nyata dengan kompetensi kewirausahaan peternak di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung. Tersedianya sarana produksi, kepastian pasar, pelayanan IB, pelayanan kesehatan ternak, dan penyuluhan oleh koperasi, menyebabkan peternak tidak mengalami kesulitan dalam proses budidaya sapi perah. Kemudahan peternak berhubungan dengan penyuluh sebagai salah satu sumber informasi menyebabkan peternak mampu meningkatkan keterampilan budidaya sapi perah. Tersedianya prasarana jalan raya dan jaringan telekomunikasi mempermudah peternak bertukar informasi dengan ketua kelompok atau sesama peternak. Pertukaran informasi meru-

188 pakan proses belajar bagi peternak untuk meningkatkan kemampuan dalam mengusahakan peternakan sapi perah. Informasi yang sesuai dengan kebutuhan peternak menyebabkan peternak belajar mengevaluasi cara kerja yang dilakukan selama ini dan membandingkan dengan informasi yang diperoleh untuk melahirkan perilaku baru yang lebih baik. Ketersediaan prasarana transportasi yang baik digunakan petugas koperasi untuk mengunjungi peternak memberikan pelayanan yang dibutuhkan peternak seperti permohonan IB, pelayanan kesehatan ataupun potong kuku. Pada saat petugas mendatangi peternak digunakan oleh petugas kesehatan untuk memberikan informasi seputar masalah yang dihadapi peternak dan cara mengatasinya. Prasarana usaha yang ada berhubungan dengan kelancaran peternak dalam berusaha ternak sapi perah Dalam penelitian ini, yang dimaksud kelembagaan peternak adalah kelompok peternak dan koperasi yang melayani keperluan peternak sapi perah. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa kelembagaan peternak berhubungan sangat nyata dengan kompetensi kewirausahaan di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung. Di Kabupaten Pasuruan, kelompok peternak dibentuk berdasarkan lokasi Tempat Penampungan Susu (TPS). Dalam satu TPS terdapat 1-2 kelompok peternak. Kondisi seperti ini memudahkan komunikasi dan interaksi anggota kelompok sehingga kelompok semakin padu dan solid. Teman dan tetangga dalam satu kelompok sangat mempunyai arti bagi kehidupan peternak. Peternak bersandar kepada kelompok untuk menolongnya dalam mengatasi kendala usaha, atau untuk membantu membuat keputusan. Disebabkan saling membutuhkan inilah maka peternak dituntut untuk mampu bekerjasama dengan sesama peternak. Sikap masyarakat di Pasuruan sangat menjunjung tinggi kebersamaan. Penetapan harga yang berdasarkan kualitas susu dalam satu kelompok menumbuhkan kekompakan peternak menghasilkan susu yang berkualitas. Hal ini disebabkan apabila ada seorang peternak yang menghasilkan susu dengan kualitas jelek maka harga susu seluruh anggota kelompok menjadi rendah. Rasa kebersamaan

189 melahirkan komitmen anggota kelompok untuk menghasilkan susu yang baik untuk kepentingan individu peternak maupun kepentingan kelompok. Ada pendapat yang menyatakan bahwa semakin sedikit jumlah anggota kelompok maka semakin solid dan padu kelompok tersebut, tetapi hal ini tidak berlaku pada kelompok peternak di Kabupaten Pasuruan. Meskipun dalam satu kelompok jumlah anggota berkisar antara 50-125 orang, tetapi penetapan harga susu yang ditentukan berdasarkan kualitas susu dalam satu kelompok dan perasan in group yang tinggi menyebabkan kelompok senantiasa belajar dan bekerjasama untuk menghasilkan produk yang berkualitas. Selain itu, karakteristik penduduk Pasuruan yang taat kepada pemimpinnya menyebabkan peternak mengikuti petunjuk ketua kelompok. Di Kabupaten Pasuruan, orang yang dipilih sebagai ketua kelompok adalah orang yang memiliki status sosial cukup tinggi. Penentuan status sosial dapat berdasarkan, umur, lama beternak, ataupun menduduki jabatan sosial tertentu (misal: ketua RT, ketua RW). Penelitian yang dilakukan oleh Hamid (2003: 116) menemukan fakta bahwa masyarakat di Pasuruan umumnya penganut agama Islam yang taat, juga taat kepada pemimpin. Sikap hidup orang Pasuruan dipengaruhi oleh pengalaman dan konsep-konsep keagamaan. Pengalaman dan pandangan hidup orang Pasuruan bersifat keseluruhan, tidak memisahkan individu dari lingkungannya. Dikaitkan dengan sikap peternak yang patuh terhadap pemimpin dan penetapan harga susu berdasarkan penilaian kualitas susu dalam satu kelompok

menumbuhkan

kekompakan

dalam

kelompok

dan

menumbuhkan

”groupthink” yaitu keengganan anggota untuk berbeda pendapat dengan pendapat yang dominan dalam kelompok. Koperasi merupakan lembaga peternak. Dalam menjalankan perannya sebagai sebuah badan usaha maka koperasi memiliki beberapa fungsi yang salah satunya adalah meningkatkan kualitas SDM anggota dan masyarakat sekitarnya. Fungsi ini yang menyebabkan koperasi melaksanakan kegiatan penyuluhan. Jenis materi yang disampaikan dalam penyuluhan sesuai dengan kepentingan koperasi. Meskipun materi penyuluhan lebih menitikberatkan kepentingan koperasi, tetapi karena jenis pendidikan yang tidak sesuai dengan usaha yang dijalani sekarang

190 menyebabkan peternak bergantung kepada sumber informasi yang dapat dipercaya, salah satunya adalah petugas-petugas penyuluhan dari koperasi. Sikap patuh terhadap pimpinan juga menyebabkan peternak menjalankan saran-saran penyuluh Peternak sapi perah di Kabupaten Bandung dikelompokkan dalam wadah kelompok peternak yang dibentuk oleh koperasi berdasarkan lokasi tempat tinggal dan urutan menjadi anggota. Setiap tahun jumlah anggota koperasi tidak tetap, karena ada peternak yang keluar dan masuk menjadi anggota. Kondisi ini menyebabkan terkadang ada satu kelompok yang memiliki anggota yang terpisah-pisah lokasi rumah maupun kandang sapi perahnya, meskipun masih dalam satu desa. Keadaan ini menyebabkan interaksi atau proses diseminasi informasi/inovasi antar anggota kurang efektif. Jumlah anggota kelompok antara 25 hingga 75 orang, menjadikan kebersamaan sesama anggota kelompok dan perasaan in group kurang terbangun dengan baik. Namun, kebijakan koperasi yang menetapkan harga susu secara berkelompok menyebabkan anggota kelompok memiliki komitmen yang sama yaitu menghasilkan susu yang berkualitas. Kesepakatan antara koperasi dengan Industri Pengolahan Susu (IPS) dalam pemasaran susu menyebabkan koperasi memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kesepakatan tersebut. Tanggung jawab koperasi terhadap kesepakatan dengan IPS melahirkan kebijakan yang berorientasi kepada produksi, sehingga program penyuluhan lebih ditekankan kepada masalah teknis budidaya sapi perah. Kompetensi teknis yang dimiliki peternak di Kabupaten Bandung sudah cukup tinggi, tetapi kompetensi manajerial masih dalam tingkat sedang dan memerlukan pembinaan. Kelembagaan sosial berhubungan sangat nyata dengan kompetensi kewirausahaan peternak di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung. Kelembagaan sosial merupakan kumpulan norma-norma, kebiasaan, dan adat istiadat yang dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat yang dijadikan acuan atau rujukan dalam memecahkan masalah-masalah sosial yang dihadapi warganya. Mata pencaharian masyarakat erat kaitannya dengan kebudayaan yang dimilikinya. Upaya menumbuhkan wirausahawan dalam sebuah masyarakat memerlukan kebudayaan tertentu. Kebudayaan yang dimaksudkan adalah kebudayaan

191 yang beranggapan bahwa mencari kekayaan bukan merupakan hal yang buruk. Apabila nilai-nilai budaya semacam ini tidak ada, sangat sulit muncul jiwa kewirausahaan. Sikap ”nrimo” dan adanya anggapan bahwa segala sesuatu yang ada diatas dunia sudah pasti dan terbatas jumlahnya, segala sesuatu didistribusikan secara merata, apabila seseorang mengumpulkan sesuatu terlalu banyak, berarti dia telah mengambil bagian orang lain, menyebabkan munculnya kompetensi kewirausahaan peternak terhambat. Budaya dan pengetahuan lokal dapat dimanfaatkan oleh peternak untuk menghasilkan produksi yang optimal tanpa merusak struktur ekologi. Dalam nilai-nilai budaya Jawa, termasuk di Pasuruan, ada pandangan hidup yang menilai tinggi keselarasan dengan alam yang diwujudkan dalam tiga konsep, yaitu konsep ”nrimo” (menerima, pasrah), ikhlas, dan sabar (Hamid, 2003:124). Mentalitas ini kurang mendorong motivasi dalam kegiatan ekonomi, karena tidak berusaha menguasai alam. Mentalitas seperti ini menghambat berkembangnya kompetensi kewirausahaan yang berorientasi mendapatkan keuntungan. Dikaitkan dengan pendapat Roucek dan Warren (Rahardjo, 1999:40) yang menyatakan bahwa karakteristik masyarakat desa adalah: besarnya peranan kelompok primer, faktor geografik yang menentukan dasar pembentukan kelompok, hubungan bersifat intim dan awet, homogen, mobilitas sosial rendah, keluarga lebih ditekankan fungsinya sebagai unit ekonomi, dan populasi anak dalam proporsi lebih besar, maka berdasarkan ciri-ciri masyarakat di Pasuruan yang lokalit, sederhana, dan sangat dekat dengan alam, di kelompokkan sebagai masyarakat desa. Pada masyarakat desa/tradisional banyak bertumpu kepada hal-hal yang irasional meskipun keputusan-keputusan di dalam masyarakat tersebut adalah rasional sesuai dengan kondisi sosial budayanya.

Knowledge society berarti manusia

menggunakan kemampuan rasionya untuk menganalisis situasi dan kondisi sehingga lahir sesuatu yang disebut modal intelektual. Modal intelektual merupakan modal yang menggerakkan seluruh upaya menuju ke arah modernisasi. Modal intelektual menyebabkan masyarakat mampu mengatasi perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem sosial, juga mampu mengelola resiko-resiko yang diakibatkan oleh keputusan-keputusan yang diambil. Knowledge society membutuhkan

192 informasi. Knowledge society selanjutnya melahirkan indigenous science pada sebuah masyarakat, namun kurangnya bimbingan dari pihak-pihak yang berkompeten dan sikap lokalit peternak di Kabupaten Pasuruan menyebabkan pengetahuan yang ada dalam masyarakat tersebut kurang berkembang. Sebagai contoh pengetahuan yang ada di masyarakat dan diterapkan oleh peternak di Desa Gunung Sari yaitu pemanfaatan daun waru yang dicampur dengan kunyit dengan perbandingan 2:1 digunakan untuk membersihkan alat reproduksi sapi setelah melahirkan. Ramuan ini digunakan oleh beberapa orang peternak tetapi peternak tidak mengetahui kajian ilmiahnya sehingga pengetahuan tersebut tidak berkembang.

Pengetahuan yang ada dalam sebuah masyarakat dapat dikembangkan

untuk meningkatkan kompetensi teknis bagi peternak. Temuan ini sesuai dengan pendapat Reijntjes, dkk (2006:122) yang menyatakan bahwa pengetahuan yang diterapkan petani berasal dari pengalaman petani sendiri dalam bidang pekerjaannya dan juga dari nenek moyang serta sesama petani. Dikaitkan dengan pendapat Roucek dan Warren (Rahardjo, 1999:40) yang menyatakan bahwa karakteristik masyarakat kota adalah: besarnya peranan kelompok sekunder, anonimitas merupakan ciri kehidupan masyarakatnya, heterogen, mobilitas tinggi, tergantung pada spesialisasi, hubungan dengan orang lain berdasarkan kepentingan bukan kedaerahan, lebih banyak tersedia lembaga atau fasilitas untuk mendapatkan barang atau pelayanan, dan lebih banyak mengubah lingkungan, maka masyarakat di Kabupaten Bandung cenderung dikategorikan sebagai masyarakat kota, karena memiliki ciri-ciri: (a) heterogen, baik dalam suku, agama, pekerjaan maupun status sosial ekonomi, (b) mobilitas sosial tinggi, (c) hubungan antara orang satu dengan lainnya lebih didasarkan atas kepentingan daripada kedaerahan, (d) lebih banyak tersedia lembaga atau fasilitas untuk mendapatkan barang atau pelayanan, dan (e) lebih banyak mengubah lingkungan. Pada masyarakat kota sifat individualismenya cukup menonjol, interaksi sosial berdasarkan kepentingan bukan kekerabatan. Sifat individualisme muncul karena tuntutan kebutuhan hidup yang tinggi. Keadaan ini menyebabkan ”encernya” modal sosial dalam masyarakat perkotaan, masing-masing individu sibuk untuk mencukupi kebutuhannya. Kelembagaan sosial sebagai acuan berperilaku untuk

193 menjaga kebersamaan kurang berkembang digantikan oleh kelembagaan ekonomi yang berorientasi finansial. Kelembagaan penyuluhan di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung berhubungan sangat nyata dengan kompetensi kewirausahaan peternak. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan dan program penyuluhan sangat berhubungan dengan kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah. Materi-materi yang ditawarkan penyuluh menitikberatkan pada masalah teknik budidaya dan upaya-upaya menghasilkan susu dengan kualitas baik. Oleh karena itu, kompetensi teknis peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung telah cukup tinggi. Materi lain yang disampaikan penyuluh adalah masalah kebijakan koperasi ataupun simpan pinjam. Program penyuluhan di lokasi penelitian direncanakan dan dilaksanakan oleh koperasi. Kegiatan penyuluhan untuk peternak sapi perah dilakukan setiap dua sampai tiga bulan sekali tergantung situasi dan kondisi serta kebutuhan peternak. Penyuluhan di Kabupaten Pasuruan, dilakukan di aula koperasi, sedangkan di Kabupaten Bandung dilaksanakan di rumah ketua kelompok. Pada kelompok peternak di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung tidak semua anggota mendapatkan kesempatan untuk mengikuti penyuluhan, hal ini disebabkan jumlah anggota kelompok sangat banyak, sedangkan daya tampung rumah ketua kelompok, ataupun daya tampung aula koperasi, terbatas. Penyuluhan diikuti oleh orang-orang yang dekat dengan ketua kelompok ataupun anggota yang memiliki ternak sapi perah cukup banyak. Faktor keterbatasan waktu yang dimiliki ketua kelompok maupun anggota menyebabkan kemandegan informasi pada orang-orang tertentu saja. Dampak kemandegan informasi menyebabkan tidak semua peternak mendapatkan informasi yang disampaikan oleh sumber informasi (petugas koperasi). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mahbub ul Haq dan Sen menunjukkan bahwa salah satu penyebab terjadinya kemiskinan adalah tertutupnya akses informasi oleh elite terhadap kaum tidak berdaya (Susanto, 2006:xxv). Bila hasil penelitian tersebut diterapkan pada kondisi peternakan di Indonesia, sangat tepat. Kurang berkembangnya kompetensi kewirausahaan peternakan sapi perah disebabkan peternak-

194 peternak kecil tidak dapat mengakses informasi yang berkembang cukup pesat. Penyuluh yang diharapkan menjadi mediator, tidak banyak membantu karena keterbatasan waktu, tenaga, dan dana yang ada, akhirnya pengetahuan dan keterampilan peternak tidak berkembang dari tahun ke tahun. Hasil wawancara dengan penyuluh di Kabupaten Pasuruan diperoleh data bahwa berdasarkan kebijakan Dinas Pertanian Kabupaten Pasuruan, program penyuluhan untuk ternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan di laksanakan oleh koperasi. Jumlah penyuluh yang terbatas menyebabkan kebijakan ini diambil. Kebijakan ini juga bertujuan agar terjadi kesesuaian materi antara yang disampaikan dengan yang diharapkan peternak sehingga terbangun kerjasama yang baik antara peternak dengan koperasi. Berdasarkan wawancara dengan penyuluh di Kabupaten Bandung diperoleh fakta bahwa pihak penyuluh tidak pernah memberikan materi tentang analisis usaha disebabkan kepemilikan sapi perah saat ini yaitu berkisar antara 1–6 ekor peternak tidak mungkin mencapai efisiensi usaha. Penyuluh lebih menekankan pada aspek budidaya, dengan harapan semakin baik proses budidaya sapi perah maka diharapkan mampu mencapai produktivitas ternak yang optimal. Menurut penyuluh, kompetensi peternak sapi perah telah cukup baik dalam melaksanakan budidaya sapi perah. Hal yang perlu ditingkatkan adalah pendampingan terhadap peternak saat akan mengadopsi inovasi dan saat mengalami kendala usaha. Keterbatasan tenaga penyuluh menyebabkan program pendampingan belum terlaksana. Kebijakan pemerintah di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung berhubungan sangat nyata dengan kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah. Kebijakan pemerintah tentang meningkatkan harga susu pada tahun 2006 mampu menumbuhkan motivasi peternak untuk mengkaji pengalaman-pengalaman selama beternak sapi perah untuk meningkatkan kompetensi kewirausahaan. Kenaikan harga susu cukup mempengaruhi penghasilan peternak. Selain itu, dibangunnya prasarana jalan raya dan jaringan komunikasi memudahkan peternak berhubungan dan berkomunikasi dengan sumber-sumber informasi secara cepat. Faktor lingkungan usaha yang memiliki hubungan nyata dengan kompetensi kewirausahaan peternak di Kabupaten Pasuruan selanjutnya dianalisis de-

195 ngan regresi berganda (Tabel 20). Pada Tabel 20 menunjukkan bahwa kelembagaan penyuluhan menunjukkan pengaruh nyata terhadap kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan. Tabel 20. Koefisien Regresi Berganda Lingkungan Usaha yang Berpengaruh terhadap Kompetensi Kewirausahaan Peternak Sapi Perah di Kabupaten Pasuruan Lingkungan Usaha Sarana, prasarana, dan informasi Kelembagan peternak Kelembagaan sosial Kelembagaan penyuluhan Kebijakan pemerintah Konstanta = 0,569 R2 = 0,385 Keterangan: * nyata pada ά 0,05

Kompetensi Kewirausahaan 0,096 0,012 0,077 0,208* 0,052

Faktor sarana, prasarana, informasi tidak berpengaruh nyata terhadap kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan. Sarana dan prasarana yang disediakan oleh pihak koperasi maupun pemerintah menyebabkan interaksi antar peternak semakin sering terjadi juga kunjungan petugas koperasi dalam melakukan pelayanan kepada peternak semakin intensif sehingga transfer informasi sering terjadi dan proses belajar antar peternak semakin baik. Namun, belum semua peternak memanfaatkan sarana, prasarana, dan mengaplikasikan informasi yang diperoleh. Keterbatasan pakan hijauan pada musim kemarau tidak diatasi dengan membuat pakan hijaun awetan (hey, silage, jerami fermentasi, dan lain-lain) atau dengan menanam hijauan dengan sistem tiga strata, pertanaman lorong, pertanaman pagar, tumpang sari, dan tanaman penguat teras, tetapi diatasi dengan menjual salah satu sapinya untuk membeli pakan hijauan. Pembelian pakan hijauan di tetangga desa dilakukan oleh 2-4 orang peternak secara bersamasama dengan cara menyewa kendaraan untuk mengangkut rumput. Informasi yang disampaikan saat penyuluhan dari petugas koperasi telah dikuasai peternak yaitu tentang cara budidaya sapi perah yang baik. Informasi lain yang disampaikan pada saat penyuluhan adalah deteksi penyakit mulut dan kuku atau penyakit ”brucellosis.” Pendidikan rendah peternak menyebabkan in-

196 formasi tersebut tidak mampu dicerna peternak. Penyuluhan tentang penyakit tersebut tidak diikuti dengan demonstrasi sehingga informasi tersebut mudah dilupakan peternak. Penyebab lainnya adalah materi yang disampaikan lebih banyak berorientasi dengan kepentingan koperasi yaitu usaha menjaga kualitas dan kuantitas produksi susu serta penerangan tentang usaha simpan pinjam yang ada di koperasi yang menumbuhkan sifat konsumtif. Materi tentang manajerial seperti bagaimana memotivasi diri maupun keluarga agar lebih berprestasi, bagaimana cara bermitra atau bernegosiasi dengan pihak lain yang saling menguntungkan, bagaimana membuat perencanaan usaha atau tentang kepemimpinan, juga materi tentang keterampilan melakukan recording dan manfaatnya, upaya mendapatkan pedet setiap tahun, dan memberi nilai tambah susu sapi, kurang mendapat perhatian pihak koperasi. Kelembagaan peternak tidak berpengaruh nyata terhadap kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan. Kelompok peternak merupakan salah satu lembaga peternak. Namun, selama ini peran kelompok sebatas untuk mempermudah koordinasi antara peternak dengan koperasi dalam pemasaran susu dan distribusi pinjaman sarana produksi. Keberadaan kelompok belum dimanfaatkan sebagai wahana untuk belajar mengembangkan kompetensi peternak. Kerjasama dalam kelompok dapat diperluas misalnya untuk pemupukan modal bersama melalui arisan bibit sapi perah atau arisan perbaikan kandang, praktek cara melakukan recording sebagai upaya menghasilkan bibit ternak yang baik dan menghasilkan pedet setiap tahun, serta upaya memberikan nilai tambah pada susu dan kotoran sapi untuk mendapatkan tambahan pendapatan. Kerjasama dapat pula dilakukan dalam bentuk penelitian sederhana untuk pembuatan konsentrat yang efisien atau kajian tentang masalah-masalah atau kendala usaha yang dilakukan secara mandiri didampingi penyuluh. Kegiatan penelitian atau kajian ini dapat menumbuhkan kreativitas, meningkatkan percaya diri dan kompetensi peternak. Selain kelompok, koperasi merupakan lembaga lain yang dimiliki peternak. Koperasi merupakan kelembagaan peternak yang menjamin ketersediaan sarana produksi dan pemasaran susu. Susu yang dihasilkan sapi perah peternak,

197 seluruhnya dijual ke koperasi. Kepastian pasar yang diberikan koperasi menyebabkan peternak tidak mau belajar bermitra dengan pihak lain untuk membuat jalur pemasaran baru yang lebih mendatangkan keuntungan tetapi memerlukan kemampuan bernegoisasi ataupun mencoba membuat makanan berbahan dasar susu sehingga mampu meningkatkan nilai jual susu. Peternak menjual seluruh produksi susu yang dihasilkan kepada koperasi merupakan kebijakan koperasi yang diterapkan kepada anggotanya. Selain itu, koperasi mempunyai fungsi dalam struktur hierarki yang lebih tinggi sehingga mudah memaksa peternak menerima harga input dan harga output yang ditetapkan koperasi. Kebijakan-kebijakan ini menyebabkan tidak berkembangnya kemampuan bermitra dan memanfaatkan peluang usaha pada peternak sapi perah. Kebijakan koperasi yang menekan kreativitas peternak ditambah dengan sikap cepat puas diri, ”nrimo”, dan patuh kepada pemimpin, menyebabkan informasi yang diterima peternak belum diterapkan/ dimanfaatkan. Tidak semua lokasi peternakan sapi perah memiliki jalan yang baik tetapi koperasi mengatasinya dengan membangun TPK dekat lokasi peternakan sapi perah. Peternak tidak mengalami kesulitan dalam hal pelayanan IB maupun kesehatan ternak, karena ada kotak pengaduan di setiap TPK. Pelayanan penyuluhan juga disediakan oleh pihak koperasi dan dilaksanakan secara berkala. Kemudahan-kemudahan ini menciptakan ketergantungan dalam diri peternak dan kurang memiliki kemauan belajar untuk mengatasi kendala usaha. Selain menciptakan ketergantungan anggota, koperasi atau KUD yang menangani peternak sapi perah masih terkesan sebagai perpanjangan tangan birokrasi pusat.

Campur tangan pemerintah sangat mempengaruhi cara kerja

koperasi yang seharusnya bersemangat swadaya dan wirausaha. Perkembangan koperasi selama ini lebih banyak berdasarkan instruksi dari atas daripada berdasarkan prakarsa masyarakat atau anggota koperasi. Pemilihan pimpinan koperasi sangat dipengaruhi oleh orang-orang dalam koperasi yang bekerjasama dengan elite desa sehingga pemilihan yang bebas kerapkali tidak jalan, karena yang berlaku adalah ”menjalankan skenario” yang sudah disusun, rapat anggota sekedar untuk mendapatkan aspek legalitas dan prakarsa rakyat tidak berjalan. Koperasi

198 belum dapat digunakan sebagai tempat untuk belajar berorganisasi bagi anggota kelompok/koperasi. Dampak strategi pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan adalah melihat atau menilai segala sesuatu berdasarkan pertumbuhan/ perkembangan, demikian juga penilaian terhadap koperasi yang baik atau berhasil adalah koperasi yang memiliki populasi ternak, anggota kelompok dan produksi yang selalu meningkat dari tahun ke tahun, juga memiliki Sisa Hasil Usaha (SHU) dan unit usaha yang semakin berkembang, tidak berdasarkan penilaian terhadap sumberdaya manusia (SDM) peternak anggotanya. Oleh karena itu, koperasi yang dianggap baik belum tentu memiliki SDM peternak yang berkualitas, karena produksi susu yang tinggi dihasilkan oleh satuan ternak yang banyak. Kelompok yang dianggap baik adalah kelompok yang mampu menghasilkan susu dalam jumlah banyak, padahal belum tentu susu yang banyak dihasilkan oleh peternak yang berkompeten tetapi karena kondisi ternak sapi dalam tingkat produktivitas tinggi (umur 3–4 tahun atau laktasi kedua atau ketiga) atau dihasilkan oleh satuan ternak yang banyak. Faktor kelembagaan sosial peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan tidak berpengaruh nyata terhadap kompetensi kewirausahaan peternak. Meskipun interaksi sosial antar peternak di Kabupaten Pasuruan sangat baik, norma-norma, adat kebiasaan, dan aturan-aturan mendukung usaha sapi perah yang dilakukan oleh warganya dengan cara membebaskan setiap warganya untuk menambah pengetahuan yang berkaitan dengan usahanya, serta masyarakat di sekitar peternakanpun tidak terganggu dengan kegiatan pemeliharaan sapi perah, tetapi sikap ”nrimo,” kurang disiplin, kurang motivasi, dan pandangan hidup yang menganggap usaha peternakan sebagai mata pencaharian menjadikan peternak kurang mengembangkan kompetensi kewirausahaan. Kelembagaan penyuluhan berpengaruh nyata terhadap kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan. Meskipun materi penyuluhan yang disampaikan lebih menitikberatkan masalah teknis tetapi karena penyuluh merupakan sumber informasi yang banyak dirujuk oleh peternak ataupun oleh ketua kelompok menyebabkan semakin membaik proses penyuluhan yang dilaksa-

199 nakan maka semakin membaik kompetensi yang dimiliki peternak sapi perah. Sebagai contoh ketersediaan informasi tentang pemanfaatan kulit biji kopi untuk campuran pakan konsentrat yang diperkenalkan penyuluh kepada peternak di Desa Gunung Sari telah dicoba beberapa peternak dan hasilnya peternak dapat menekan biaya konsentrat sebesar Rp 200,00/ kg. Koperasi susu memiliki tiga peran yaitu peran pertama sebagai salah satu lembaga peternak yang berperan sebagai wahana belajar, berinteraksi dengan sesama peternak untuk membangun kerjasama dan mengembangkan kompetensi diri peternak. Peran kedua koperasi adalah sebagai kelembagaan penyuluhan yang berfungsi menyusun program untuk membantu peternak mencapai kemandirian dalam berusaha ternak sehingga tingkat kesejahteraan meningkat. Peran ketiga, sebagai badan usaha yang berorientasi mendapatkan keuntungan. Peran pertama dan kedua dapat sejalan dilaksanakan oleh koperasi karena sama-sama bertujuan membuat peternak lebih mandiri dan sejahtera. Fungsi penyuluh adalah sebagai guru pertanian, penasehat, penganalisis dan sebagai organisatoris, serta sebagai kawan yang memberi dorongan bekerja (Mosher, 1974:30), tidak bertentangan dengan peran kelembagaan peternak yang berfungsi sebagai wadah tempat belajar peternak untuk mengembangkan potensi diri. Peran ketiga koperasi sebagai badan usaha menyebabkan program-program koperasi berorientasi untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan menekan biaya sekecilkecilnya dan ini bertentangan dengan peran pertama dan kedua. Giatnya koperasi melaksanakan penyuluhan tentang masalah teknis karena koperasi mempunyai kepentingan yaitu agar peternak mampu menghasilkan susu sapi dalam jumlah banyak dengan kualitas yang baik sehingga keuntungan yang besar juga diperoleh koperasi. Jumlah susu sapi yang banyak bukan dihasilkan oleh ternak-ternak yang memiliki produktivitas tinggi tetapi dari jumlah satuan ternak yang banyak. Koperasi sebagai kelembagaan penyuluhan yang diharapkan sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah maka mengacu pada Undang-undang tentang sistem penyuluhan yang berlaku. Selama ini pemberian materi lebih berkiblat pada kepentingan koperasi, menyebabkan penyuluhan yang dilakukan koperasi

200 belum mampu mengubah perilaku peternak menjadi wirausahawan, tetapi sebatas penghasil produk susu sapi perah. Peran ketiga koperasi sebagai kelembagaan ekonomi yang berorientasi untuk mendapatkan keuntungan menyebabkan kegiatan koperasi diarahkan untuk memenuhi kesepakatan dengan pihak IPS untuk mendapatkan keuntungan. Upaya lain dari koperasi untuk mendapatkan keuntungan adalah dengan menyediakan berbagai macam bidang usaha. Di Koperasi ”Setia Kawan” bidang usaha yang dipunyai adalah: (1) divisi susu segar meliputi sub divisi: pabrik pengolahan pakan ternak, jasa kendaraan, peternakan sapi, dan produk olahan, (2) divisi simpan pinjam yang meliputi: pinjaman kredit uang tunai, pinjaman kredit barang, dan kredit plesterisasi kandang, (3) divisi perdagangan dan jasa, meliputi: mini market, sapronak, jasa fotocopy, dan jasa wartel. Di KPBS memiliki unit pelayanan dan usaha yaitu: unit pelayanan susu, pelayanan barang dan pakan ternak, pelayanan Pabrik Makanan Ternak Cirebon, dan usaha BPR Bandung Kidul. Pengembangan usaha koperasi diusahakan untuk mendukung berkembangnya usaha peternakan sapi perah, misalnya mendorong peternak untuk membuat makanan olahan berbahan dasar susu dan koperasi membantu memasarkannya atau melakukan promosi minum susu segar kepada masyarakat. Upaya ini mampu mendorong peternak untuk lebih mengembangkan usahanya karena harga susu yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan harga yang diberikan oleh IPS. Pelaksanaan penyuluhan oleh koperasi tidak dikuti dengan pelaksanaan demonstrasi, program magang, dan anjang karya ke usaha peternakan yang telah berhasil sebagai upaya untuk lebih mengingatkan peternak pada materi penyuluhan, mendorong peternak untuk lebih luas berinteraksi, serta menumbuhkan motivasi peternak. Kondisi ini menyebabkan masih ada sikap dan perilaku peternak yang tidak mau berubah dalam mengusahakan ternaknya, meskipun peternak telah mengetahui dampak dari sikap dan perilaku yang dilakukan. Inkeles dan Smith (Budiman, 1996:35-36), menekankan bahwa pengalaman kerja khususnya di pabrik besar/modern dapat mengubah manusia tradisional menjadi modern. Seorang tenaga kerja tradisional yang ”dipaksa” bekerja di pabrik besar yang menjunjung tinggi kedisiplinan, tepat waktu, bekerja sesuai dengan rencana yang telah

201 disepakati, bekerjasama dengan orang lain, dan sebagainya, ternyata bukan saja bisa melakukan adaptasi yang cepat, tetapi juga dapat menyerap nilai-nilai kerja tersebut ke dalam kepribadiannya dan mengekspresikannya kembali ke dalam sikap, nilai, dan tingkah lakunya. Kebijakan pemerintah tidak berpengaruh nyata terhadap kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan. Kebijakan pemerintah tentang kenaikan harga susu dan kepastian pemasaran susu belum mampu menumbuhkan kompetensi kewirausahaan peternak di Kabupaten Pasuruan. Hal ini terjadi karena kebijakan menaikkan harga susu bukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan peternak tetapi karena meningkatnya harga susu dunia. Selain itu, koperasi belum memberikan harga susu sesuai dengan harga yang ditetapkan pemerintah.

Harga susu yang ditetapkan oleh pemerintah adalah Rp

2.950,00/liter, sedangkan harga yang ditetapkan oleh PT. Nestle adalah sebesar Rp 3.300,00/liter (anonimous, 2008:1). Kenaikan harga susu juga diikuti dengan kenaikan harga sarana produksi dan

kebutuhan pokok, juga menyebabkan

penghasilan peternak habis untuk membeli pakan konsentrat sehingga peternak sapi perah belum merasakan dampak kenaikan harga susu. Upaya pemerintah membangun prasarana usaha seperti jalan raya untuk memudahkan pelayanan pihak koperasi tidak diikuti dengan meningkatnya kegiatan peternak untuk mencari informasi secara mandiri ke pusat-pusat informasi di luar daerah untuk meningkatkan kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah.

Dibangunnya

jaringan komunikasi di Kabupaten Pasuruan belum banyak dimanfaatkan peternak untuk mencari informasi maupun untuk kepentingan lainnya. Masih berkutatnya peternak untuk mencukupi kebutuhan dasar menyebabkan peternak belum dapat meningkatkan prestasi diri dengan meningkatkan kompetensi kewirausahaan. Menurut Teori Maslow motivasi seseorang merupakan urutan kebutuhan yang dipredeterminasi. Urutan kebutuhan manusia adalah kebutuhan fisiologikal, kebutuhan akan keamanan, kebutuhan sosial, kebutuhan akan penghargaan, dan kebutuhan untuk merealisasikan diri. Kebutuhan-kebutuhan fisiologikal yang belum terpenuhi menyebabkan individu tidak meningkat kebutuhannya ke jenjang yang

202 lebih tinggi. Seorang individu yang tidak memiliki apa-apa dalam kehidupannya, mungkin termotivasi oleh kebutuhan fisiologikal (Winardi, 2001:13-14). Pengaruh lingkungan usaha terhadap kompetensi kewirausahan peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan dirumuskan dalam Hipotesis 2 penelitian ini, yaitu: “Tingkat kompetensi kewirausahaan dalam menjalankan usahanya berpengaruh nyata terhadap lingkungan usaha peternak sapi perah.” Hipotesis diuji dengan model statistik Analisis Jalur (Path analysis). Hipotesis 2 tersebut tidak terbukti karena dari lima lingkungan usaha (sarana, prasarana, informasi; kelembagaan peternak; kelembagaan sosial; kelembagaan penyuluhan; dan kebijakan pemerintah) yang diajukan, kelembagaan penyuluhan yang berpengaruh nyata terhadap kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan.. ε = 0,615 Sarana, prasarana, informasi

0,132

Kompetensi kewirausahaan (Y1)

0,018

Kebijakan pemerintah

0,354* 0,112

Kelembagan peternak

0,093

Kelembagaan sosial

Kelembagaan penyuluhan

Gambar 7. Lingkungan Usaha yang Mempengaruhi Kompetensi Kewirausahaan Peternak Sapi Perah di Kabupaten Pasuruan Gambaran selengkapnya pengaruh antar peubah yang diteliti terlihat pada Gambar 7. Kompetensi kewirausahaan peternak di Kabupaten Pasuruan secara langsung dan positif dipengaruhi oleh kelembagaan penyuluhan. Kompetensi kewirausahaan peternak di Kabupaten Pasuruan terbangun apabila kelembagaan penyuluhan memiliki komitmen sesuai dengan tujuan penyuluhan yaitu mengembangkan sumberdaya manusia dan meningkatkan modal sosial. Program penyuluhan lebih berorientasi kepada kepentingan peternak. Penyuluhan tidak sebatas untuk menghasilkan susu yang berkualitas tetapi menumbuhkan sikap wirausaha peternak. Kegiatan penyuluhan disertai dengan pendampingan terutama pada saat peternak sapi perah menhadopsi inovasi.

203 Pada Tabel 20 memperlihatkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,385; artinya, kompetensi kewirausahaan peternak di Kabupaten Pasuruan sebesar 39 persen dipengaruhi oleh kelembagaan penyuluhan. Konstanta sebesar 0,569 menunjukkan bahwa tanpa pengaruh kelembagaan penyuluhan, kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan cenderung positif. Selanjutnya dituliskan model regresi faktor-faktor lingkungan usaha yang mempengaruhi kompetensi kewirausahaan peternak, yaitu: Y1 = 0,569 + 0,208 X24 Faktor lingkungan usaha yang memiliki hubungan nyata dengan kompetensi kewirausahaan peternak di Kabupaten Bandung selanjutnya dianalisis dengan regresi berganda (Tabel 21). Kelembagaan penyuluhan dan kebijakan pemerintah selain hubungan sangat nyata dengan kompetensi kewirausahaan juga berpengaruh sangat nyata terhadap kompetensi kewirausahaan peternak. Tabel 21. Koefisien Regresi Berganda Lingkungan Usaha yang Berpengaruh terhadap Kompetensi Kewirausahaan Peternak Sapi Perah di Kabupaten Bandung Lingkungan Usaha Sarana, prasarana, informasi Kelembagaan peternak Kelembagaan sosial Kelembagaan penyuluhan Kebijakan pemerintah Konstanta = -0,058 R2 = 0,708 Keterangan: ** sangat nyata pada ά 0,01

Kompetensi Kewirausahaan 0,187 0,151 0,021 0,411** 0,283**

Sarana, prasarana, informasi di Kabupaten Bandung tidak berpengaruh nyata terhadap kompetensi peternak sapi perah. Hal ini disebabkan informasi yang diperoleh peternak lebih banyak bersifat teknis yang telah dikuasai peternak. Informasi baru yang diperoleh peternak juga belum diaplikasikan karena keterbatasan modal, ketidakberanian dalam mengambil resiko, kurangnya pendampingan oleh penyuluh dalam menjalankan usaha, atau informasi yang diperoleh tidak sesuai dengan kebutuhan peternak sapi perah. Sebagai contoh informasi tentang penggunaan karpet plastik sebagai alas lantai kandang, belum banyak diterapkan

204 oleh peternak karena harga karpet plastik cukup mahal sedangkan keuntungan yang diperoleh belum pasti. Tersedianya sarana produksi di koperasi dan keharusan menyetor seluruh produksi susunya menyebabkan peternak tidak berusaha untuk menjalin kemitraan dengan pihak lain dalam hal pengadaan sarana produksi ataupun pemasaran. Kemampuan memanfaatkan peluang usaha juga belum tergali karena tidak adanya pendampingan dalam berusaha ternak. Kelembagaan peternak di Kabupaten Bandung tidak berpengaruh nyata terhadap kompetensi peternak sapi perah. Hal ini terjadi karena kelompok ataupun koperasi sebagai lembaga yang menaungi peternak sapi perah memiliki fungsi sebatas mempermudah koordinasi pemasaran, distribusi sarana produksi, dan pengawasan proses produksi. Kelembagaan peternak belum difungsikan sebagai wadah menumbuhkan kreativitas melalui proses belajar bersama, ataupun

me-

ngembangkan kreativitas peternak sehingga membentuk peternak yang memiliki kompetensi tinggi di bidang usahanya. Tidak adanya pengaruh kelembagaan peternak terhadap kompetensi peternak sapi perah juga disebabkan kurang terbangunnya kebersamaan dalam lembaga. Kelompok dibentuk oleh koperasi bukan berdasarkan keinginan anggota. Jarak rumah dan lokasi kandang yang berjauhan serta jumlah anggota kelompok yang cukup banyak menyebabkan berkurangnya kedekatan emasional antar anggota kelompok, demikian juga dengan proses belajar dalam satu kelompok menjadi terhambat. Hal-hal tersebut menyebabkan kelompok kurang efisisen dalam menumbuhkan kompetensi kewirausahaan peternak. Keeratan hubungan terbangun apabila ada kedekatan, intensitas interaksi yang tinggi, dan kepercayaan. Kedekatan dan interaksi yang tinggi terjadi apabila ada kedekatan jarak tempat tinggal ataupun kedekatan emosional. Keeratan hubungan melahirkan solidaritas tinggi sehingga setiap anggota merasakan kebersamaan, merasa senasib sepenanggungan dan melahirkan sikap gotong royong untuk mengatasi masalah atau mencapai tujuan bersama. Koperasi yang diharapkan mampu menjadi wadah untuk mengembangkan diri dan usaha peternakan pada kenyataannya lebih berperan sebagai lembaga

205 ekonomi. Hal ini menyebabkan hubungan antara peternak dengan koperasi tidak seimbang sebagai mitra tetapi hubungan antara penjual dan pembeli. Kelembagaan sosial tidak berpengaruh nyata terhadap kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah di Kabupaten Bandung. Tuntutan hidup yang tinggi menyebabkan masyarakat di Kota Bandung memiliki semangat kerja yang baik. Interaksi sosial berdasarkan kepentingan ekonomi bukan kepentingan sosial. Kurang dukungan masyarakat sekitar dalam hal penghargaan terhadap pekerjaan ataupun prestasi kerja yang mampu mendorong peternak untuk giat belajar mengembangkan kompetensi diri menyebabkan kelembagaan sosial di Kabupaten Bandung tidak berpengaruh terhadap kopetensi kewirausahaan peternak. Kelembagaan penyuluhan berpengaruh sangat nyata terhadap kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah di Kabupaten Bandung. Semakin baik kelembagaan penyuluhan yang ada sangat berpengaruh terhadap berkembangnya kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah. Bagi ketua kelompok atau orangorang yang memiliki ternak dalam jumlah banyak, penyuluhan merupakan sumber informasi yang mampu mengembangkan kompetensi peternak. Kelembagaan penyuluhan yang dikelola oleh koperasi belum berperan sesuai dengan fungsinya. Menurut Undang-undang nomer 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Pasal 4 menyebutkan bahwa fungsi sistem penyuluhan meliputi: (1) memfasilitasi proses pembelajaran; (2) mengupayakan kemudahan akses ke sumber informasi, teknologi, dan sumberdaya lainnya; (3) meningkatkan kemampuan kepemimpinan, manajerial, dan kewirausahaan; (4) membantu menumbuhkankembangkan organisasi menjadi organisasi ekonomi yang berdaya saing tinggi, produktif, menerapkan tata kelola berusaha yang baik, dan berkelanjutan; (5) membantu menganalisis dan memecahkan masalah serta merespon peluang dan tantangan yang dihadapi pelaku utama dan pelaku usaha dalam mengelola usaha; (6) menumbuhkan kesadaran terhadap kelestarian fungsi lingkungan; dan (7) melembagakan nilai-nilai budaya pembanguan pertanian, perikanan, dan kehutanan yang maju dan modern. Ayat-ayat pada Pasal 4 Undang-undang nomer 16 tahun 2006 telah jelas memberi arah fungsi dari penyuluhan, namun peran lain dari koperasi yaitu

206 sebagai badan usaha menyebabkan koperasi lebih menekankan kepentingan untuk mencari keuntungan, karena koperasi juga memiliki karyawan. Menurut Levis (1996:153-160), profil seorang penyuluh yang diperlukan saat ini adalah sebagai berikut: (1) memiliki keterampilan yang terdiri dari intelectual skill, social skill, and managerial skill. Intelectual skill, yaitu suatu kemampuan rasio dan penguasaan pengetahuan yang luas sehingga dapat bertindak secara efektif dan efisien. Social skill, yaitu kemampuan untuk melaksanakan tugas baik secara perorangan maupun secara berkelompok. Keterampilan ini biasanya diperoleh dari pengalaman bekerja. Managerial skill, yaitu kemampuan mengorganisir kegiatan, mengarahkan, mengawasi untuk menghindari penyimpangan-penyimpangan yang tidak perlu, (2) memiliki kemampuan berempati. Kemampuan ini berguna agar penyuluh dapat mengerti dan menerima perilaku yang ditunjukkan petani, tidak menggurui, tidak memaksakan kehendak, dan tidak menuduh petani sebagai orang yang apatis, biang kegagalan program, (3) memahami psikologi sosial, yaitu kemampuan untuk memahami sikap dan pengetahaun terhadap nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang bersangkutan maupun nilai-nilai yang datang dari luar, (4) memahami sistem dan teknik berkomunikasi secara baik, (5) memiliki kepribadian mandiri, (6) memiliki rasa setia kawan, dengan cara menghilangkan ”jarak sosial” antara penyuluh dengan kelompok sasaran, melalui seperasaan, solidaritas, merasa senasib, mengerti keadaan, perasaan dan kelebihan masyarakat, (7) memahami konsep dan strategi pengembangan peran serta aktif masyarakat. Keberhasilan suatu paket pembangunan yang diberikan kepada masyarakat desa ditentukan oleh tingkat partisipasi masyarakat dalam kehidupan seharihari, kemudian mengalami internalisasi ke dalam perilaku kehidupan dalam masyarakat yang bersangkutan, (8) menguasai secara mandiri metode penyusunan program dan rencana kerja wilayah kerjanya. Kemampuan menyusun program ini meliputi kemampuan

207 mengumpulkan data, menganalisis masalah sesuai dengan kebutuhan dan urgensitasnya pada waktu itu (penentuan skala prioritas dan impact point= faktor penentu), menetapkan tujuan yang ingin dicapai, menentukan alternatif-alternatif yang dapat ditempuh/dikerjakan, memilih metode, mempersiapkan bahan-bahan atau alat-alat yang dibutuhkan suatu kegiatan, waktu pelaksanaan, tempat pelaksanaan, kelompok sasaran, dan rencana melakukan evaluasi, sehingga dibutuhkan ketajaman intelektual seorang penyuluh, (9) sikap profesional penyuluh yang ditandai oleh tiga hal pokok yaitu: keahlian, tanggung jawab, dan pengejawantahan. Seorang penyuluh harus tahu benar tentang hal-hal yang akan disuluhkan kepada masyarakat. Penyuluh harus memiliki etos kerja positif (motivasi untuk maju, bekerja dengan baik, penuh pengabdian), dan menyadari bahwa dirinya adalah penentu keberhasilan program yang sedang dikerjakan saat itu, penuh disiplin serta berdedikasi tinggi. Penyuluh yang profesional memenuhi enam kriteria pokok, yaitu: (a) mengikuti perkembangan hasil penelitian terbaru serta kecenderungan pembangunan yang dilaksanakan; (b) memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang sasaran dan sistem sosial sasaran penyuluhan; (c) memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang proses produksi pertanian; (d) mengakui aspek bio-fisik dan lingkungan alam dalam kegiatan produksi pertanian; (e) memiliki pengetahuan manajemen dan ekonomi pertanian; (f) memiliki pengetahuan serta memahami hubungan atau jaringan produksi pertanian dan pendapatan usaha tani sebagai ukuran, (10) memiliki sikap kasih. Kenyataan yang ada di lapangan terlihat bahwa setiap pengurus koperasi dapat melakukan penyuluhan. Penyuluh kurang mempersiapkan secara matang pelaksanaan penyuluhan. Penyuluh mempersiapkan materi sebelum melaksanakan penyuluhan tetapi keterbatasan dana menyebabkan metode pendekatan kelompok lebih sering dipergunakan. Metode penyuluhan secara perorangan dilakukan oleh penyuluh bersamaan dengan pelayanan kepada anggota berupa IB, pelayanan kesehatan, ataupun potong kuku.

Pemilihan metoda dikaitkan dengan

tujuan yang hendak dicapai. Media leaflet lebih banyak dipilih penyuluh karena

208 biaya produksi yang murah. Itupun dibagikan secara terbatas, tidak kepada semua peserta penyuluhan. Penyuluhan dilaksanakan di rumah ketua kelompok. Tempat yang terbatas menyebabkan tidak seluruh anggota mendapatkan undangan penyuluhan. Hal ini menyebabkan kesenjangan informasi antara anggota yang sering mendatangi penyuluhan dan anggota yang tidak pernah mengikuti penyuluhan. Pendidikan penyuluh di KPBS Kabupaten Bandung adalah SLTA, Diploma 1, 2, dan 3, dan Sarjana. Dikaitkan dengan salah satu paradigma baru prinsip-prinsip penyuluhan yang disampaikan Slamet (2003) maka profesionalisme penyuluhan perlu diperbaiki; artinya, penyuluhan itu harus tepat dan benar secara teknis, sosial, budaya, dan politik serta efektif karena direncanakan, dilaksanakan dan didukung oleh tenaga-tenaga ahli dan terampil yang telah disiapkan secara baik dalam sistem penyuluhan pertanian yang baik pula. Penyuluh yang ada dan belum profesional perlu dilatih agar meningkat menjadi profesional/sub profesional. Kerjasama dengan perguruan tinggi perlu ditingkatkan agar dapat memanfaatkan potensi-potensi SDM yang ada di dalamnya. Kurangnya kemampuan yang dimiliki petugas koperasi dalam menjalankan tugasnya sebagai penyuluh serta beban kerja yang harus berpihak pada kepentingan koperasi menyebabkan transfer pengetahuan yang diharapkan tidak terjadi dengan baik.

Koperasi

(KBPS) sebagai lembaga yang melaksanakan penyuluhan belum mempunyai program mengadakan Diklat, pelatihan, atau menyekolahkan tenaga penyuluh ke jenjang yang lebih tinggi secara terjadual dan berkelanjutan. Diklat dan pelatihan pada umumnya dilaksanakan GKSI, Dinas Koperasi, ataupun Dinas Peternakan. Berdasarkan wawancara dengan penyuluh diperoleh fakta bahwa pengembangan karir dan peningkatan gaji yang memadai sebagai bentuk-bentuk insentif dan penghargaan terhadap prestasi kerja yang dapat meningkatkan motivasi kerja penyuluh juga kurang mendapat perhatian koperasi. Hal ini mengakibatkan pelayanan penyuluh kepada anggota belum optimal. Program pengembangan tenaga penyuluh secara berkelanjutan serta pemberian insentif dan pengembangan karir yang sesuai dengan prestasi kerja mampu memberikan kepuasan kerja dan memotivasi untuk bekerja lebih baik.

209 Kebijakan pemerintah di Kabupaten Bandung berpengaruh sangat nyata terhadap kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah. Kebijakan pemerintah daerah yang berusaha memperbaiki dan senantiasa memelihara prasarana jalan telah dimanfaatkan oleh peternak di Kabupaten Bandung untuk mencari informasi dan bertukar informasi dengan peternak di luar daerah tentang budidaya sapi perah untuk memperbaiki kompetensi kewirausahaan yang dimilikinya. Pembangunan prasarana jalan raya dan jaringan komunikasi memperlancar petugas koperasi dalam melakukan penyuluhan dan pelayanan kepada peternak. Kebijakan koperasi dan pemerintah daerah yang membuka seluas-luasnya kunjungan tamu dari luar daerah untuk melihat peternakan sapi perah rakyat di Kecamatan Pangalengan menjadikan kemampuan komunikasi peternak meningkat. Lancarnya komunikasi dengan orang-orang di luar komunitasnya menjadikan proses tukar informasi tidak terhambat. Tamu dari luar daerah merupakan salah satu sumber informasi yang banyak dirujuk peternak sapi perah. Pengaruh lingkungan usaha terhadap kompetensi kewirausahan peternak sapi perah di Kabupaten Bandung dirumuskan dalam Hipotesis 2 penelitian ini, yaitu: “Lingkungan usaha berpengaruh nyata terhadap tingkat kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah dalam menjalankan usahanya.” Hipotesis 2 ini diuji dengan model statistik Analisis Jalur (Path analysis). Hipotesis tersebut ternyata tidak terbukti karena dari lima lingkungan usaha (sarana, prasarana, informasi; kelembagaan peternak; kelembagaan sosial; kelembagaan penyuluhan; dan kebijakan pemerintah) yang diajukan, faktor kelembagaan penyuluhan dan kebijakan pemerintah yang mempunyai pengaruh nyata terhadap kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah di Kabupaten Bandung. Gambaran selengkapnya pengaruh antar peubah yang diteliti terlihat pada Gambar 8. Kompetensi kewirausahaan peternak di Kabupaten Bandung secara langsung dan positif dipengaruhi kelembagaan penyuluhan dan kebijakan pemerintah. Kompetensi kewirausahaan peternak di Kabupaten Bandung terbangun apabila proses belajar peternak untuk meningkatkan kompetensi kewirausahaan semakin intensif bila didukung kelembagaan penyuluhan yang profesional. Menumbuhkan penyuluh yang profesional memerlukan sarana prasarana penunjang

210 seperti, informasi baru yang sesuai dengan kebutuhan dan tingkat kompetensi peternak, balai latihan untuk melakukan uji coba dari informasi yang diperoleh, dan prasarana transportasi yang memadai. Selain itu pemerintah yang berpihak kepada pengembangan sumberdaya peternak sapi perah melalui penyediaan informasi yang akurat dan mudah diakses peternak dan upaya agar peternak mendapatkan harga sesuai dengan harga yang ditetapkan pemerintah merupakan kebijakan yang mampu menumbuhkan motivasi peternak untuk mengembangkan usaha ternak sapi perah melalui peningkatan kompetensi kewirausahaan peternak. ε = 0,292 Sarana prasarana, informasi

0,190

Kompetensi kewirausahaan (Y1)

0,292**

Kebijakan pemerintah

0,114 0,022 Kelembagaan peternak

Kelembagaan sosial

0,356** Kelembagaan penyuluhan

Gambar 8. Lingkungan Usaha yang Mempengaruhi Kompetensi Kewirausahaan Peternak Sapi Perah di Kabupaten Bandung Pada Tabel 21 disajikan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,708; artinya, kompetensi kewirausahaan peternak di Kabupaten Bandung sebe-sar 71 persen dipengaruhi oleh ketersediaan sarana, prasaran, informasi, kelembagaan penyuluhan dan kebijakan pemerintah. Konstanta sebesar -0,058 menunjukkan tanpa kelembagaan penyuluhan dan kebijakan pemerintah maka kompetensi kewirausahaan peternak menunjukkan kecenderungan negatif.

Selanjutnya

dituliskan model regresi faktor-faktor lingkungan usaha yang mempengaruhi kompetensi ke-wirausahaan peternak di Kabupaten Bandung, yaitu: Y1 = -0,058 + 0,411 X24 + 0,283 X25

211

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Peternak Sapi Perah Produktivitas merupakan hasil tindakan yang menghasilkan kualitas dan kuantitas kinerja tenaga kerja dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada. Produktivitas juga merupakan representasi kombinasi semua faktor produksi. Terdapat kecenderungan hubungan langsung antara produktivitas yang tinggi dengan semangat yang tinggi. Semangat (morale) adalah hal yang sukar ditangkap, tidak mudah didefinisikan, dikendalikan, atau diukur, namun memancarkan pengaruh yang kuat atas iklim hubungan manusiawi setiap organisasi.

Semangat oleh

Kossen (1993:227) didefinisikan sebagai suasana yang ditimbulkan oleh sikap anggota suatu organisasi. Produktivitas tinggi dan menguntungkan dapat dicapai apabila disertai bimbingan, pendampingan dan pengawasan. Dalam penelitian ini produktivitas peternak didefinisikan sebagai hasil kerja peternak dalam mengusahakan peternakannya sesuai dengan kompetensi yang dimiliki untuk menghasilkan produk-produk yang berkualitas sehingga mampu diterima konsumen dan mampu memberikan input yang maksimal kepada peternak, dilihat dari: (a) kesehatan sapi yang dipelihara, (b) kuantitas dan kualitas susu yang dihasilkan, dan (c) keinovatifan peternak.

Pengaruh Karakteristik terhadap Produktivitas Peternak Sapi Perah Karakteristik peternak sapi perah yang diduga mempengaruhi produktivitas peternak adalah: pendidikan, jumlah keluarga peternak, jumlah ternak yang dipelihara, lama beternak, kemampuan mengakses informasi, dan motivasi peternak. Nilai koefisien korelasi karakteristik peternak yang berhubungan dengan produktivitas peternak sapi perah terlihat pada Tabel 22. Pada peternak di Kabupaten Pasuruan, pendidikan, jumlah keluarga peternak, dan lama beternak tidak berhubungan dengan produktivitas peternak. Terdapat kecenderungan pendidikan berhubungan negatif dengan produktivitas peternak. Jumlah ternak yang dipelihara berhubungan nyata dengan kompetensi

212 kewirausahaan peternak sapi perah, sedangkan kemampuan mengakses informasi dan motivasi peternak untuk mengembangkan usaha sapi perah berhubungan sangat nyata dengan produktivitas peternak. Tabel 22. Koefisien Korelasi Karakteristik yang Berhubungan dengan Produktivitas Peternak Sapi Perah Karakteristik Peternak

Produktivitas Pasuruan Pendidikan -0,102 Jumlah Keluarga 0,069 Jumlah Ternak yang dipelihara 0,168* Lama Beternak 0,088 Kemampuan Mengakses Informasi 0,672** Motivasi mengembangkan usaha 0,760** Keterangan: ** sangat nyata pada ά 0,01 * nyata pada ά 0,05

Bandung 0,000 - 0,032 -0,052 -0,007 0,620** 0,827**

Di Kabupaten Bandung, pendidikan, jumlah ternak yang dipelihara, jumlah keluarga, dan lama beternak tidak berhubungan dengan produktivitas peternak. Ada kecenderungan jumlah ternak yang dipelihara, jumlah keluarga, dan lama beternak berhubungan negatif dengan produktivitas peternak sapi perah. Kemampuan mengakses informasi dan motivasi peternak berhubungan sangat nyata dengan produktivitas peternak di Kabupaten Bandung. Arfida (2003:37), menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas pekerja yaitu kualitas dan kemampuan fisik pekerja. Kualitas dan kemampuan pekerja dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, latihan, motivasi, etos kerja, mental, dan kemampuan fisik karyawan yang bersangkutan. Pendidikan memberikan pengetahuan bukan saja yang langsung dengan pelaksanaan tugas, tetapi juga landasan untuk mengembangkan diri serta kemampuan memanfaatkan semua sarana yang ada di sekitarnya untuk kelancaran pelaksanaan tugas. Semakin tinggi pendidikan semakin tinggi produktivitas kerja. Mayoritas (89 persen) pendidikan peternak di Kabupaten Pasuruan adalah Sekolah Dasar. Peternak yang memiliki kesempatan melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi memilih bersekolah pada sekolah umum seperti SMP dan SMA. Kurikulum pada sekolah umum tidak mengajarkan tentang hal-hal yang berkaitan dengan usaha sapi perah. Selain itu, peternak yang memiliki pendidikan

213 tinggi sedikit terlambat mengenal budidaya sapi perah dibandingkan dengan peternak lulusan Sekolah Dasar. Alasan lain adalah peternak yang berpendidikan lebih tinggi menjadikan usaha sapi perah sebagai usaha sampingan dan dikerjakan oleh tenaga kerja dari luar keluarga. Pengelolaan dengan memanfaatkan tenaga kerja dari luar keluarga berbeda dengan pengelolaan oleh tenaga kerja keluarga yang lebih telaten karena merasa memiliki. Hal-hal tersebut yang menyebabkan ada kecenderungan hubungan negatif antara pendidikan dengan produktivitas peternak sapi perah. Menurut Schultz dan Schultz (1994:279), pendidikan menyebabkan seseorang memiliki harapan yang tinggi terhadap tanggung jawab dalam pekerjaannya. Oleh karena itu, orang-orang yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi cenderung memiliki tingkat kepuasan kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang-orang yang memiliki pendidikan lebih rendah. Harga susu yang ditetapkan koperasi dirasakan kurang sesuai dengan korbanan yang dilakukan peternak, sehingga peternak yang memiliki pendidikan lebih tinggi kurang memiliki kepuasan kerja dan kurang termotivasi meningkatkan produktivitas kerjanya. Pendidikan peternak di Kabupaten Bandung tidak berhubungan dengan produktivitas peternak. Mayoritas (65 persen) pendidikan peternak di Kabupaten Bandung adalah SLTP. Ketidaksesuaian jenis pendidikan dengan usaha yang saat ini dijalankan menyebabkan pendidikan tidak berhubungan dengan produktivitas peternak sapi perah. Jumlah keluarga peternak di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung tidak berhubungan dengan produktivitas peternak. Ada kecenderungan jumlah keluarga peternak di Kabupaten Bandung berkorelasi negatif dengan produktivitas peternak. Hal ini disebabkan meskipun jumlah anggota keluarga cukup besar tetapi yang terlibat dalam pemeliharaan ternak adalah suami dan istri dibantu oleh sudara yang ikut dalam keluarga tersebut, sedangkan anak-anak diarahkan untuk sekolah. Pekerjaan pada usaha ternak sapi perah sangat banyak sehingga curahan jam kerja peternak cukup tinggi. Keterbatasan tenaga kerja keluarga yang terlibat dalam usaha ternak sapi perah menyebabkan produktivitas ternak yang diperoleh belum optimum. Korelasi negatif antara jumlah keluarga dengan produktivitas peternak di Kabupaten Bandung disebabkan semakin banyak tanggungan keluarga

214 menyebabkan curahan jam kerja ke usaha peternak sapi perah berkurang karena mengurusi kebutuhan anggota keluarga. Jumlah sapi perah yang dipelihara oleh peternak di Kabupaten Pasuruan, berhubungan nyata dengan produktivitas peternak. Hal ini terjadi karena semakin banyak ternak yang dipelihara maka semakin banyak susu yang dihasilkan. Kepatuhan kepada pemimpin, rasa solidaritas yang tinggi, dan perasaan in group yang baik menyebabkan setiap peternak memiliki komitmen untuk menghasilkan susu yang berkualitas sehingga tidak merugikan anggota lainnya. Semakin banyak sapi perah yang dipelihara maka limbah ternak (kotoran yang tercampur sisa pakan hijauan) yang dihasilkan juga banyak. Peternak memanfaatkan limbah sapi perah untuk memupuk tanaman pertaniannya (kopi, apel, dan jeruk). Semakin banyak sapi yang dipelihara memungkinkan semakin banyak pula pedet yang dihasilkan. Jumlah sapi perah yang dipelihara oleh peternak di Kabupaten Bandung, tidak berhubungan nyata dengan produktivitas peternak. Ada kecenderungan jumlah sapi perah yang dipelihara peternak berhubungan negatif dengan produktivitas peternak. Jumlah ternak yang banyak memerlukan tenaga kerja yang banyak pula untuk menanganinya, padahal tenaga kerja yang terlibat dalam budidaya sapi perah sangat terbatas yaitu suami dan istri. Tenaga kerja yang terbatas menyebabkan kesehatan ternak kurang tertangani secara maksimal sehingga kualitas susu tidak optimal. Keterbatasan tenaga kerja juga menyebabkan peternak tidak mampu mencukupi kebutuhan pakan hijauan sehingga produksi susu sapi perah memiliki kandungan total solid yang tidak optimal dan ini menyebabkan harga susu tidak optimal pula. Semakin banyak ternak sapi yang dipelihara maka membutuhkan perhatian yang semakin tinggi dari peternak, diantaranya perhatian terhadap prestasi ternak, masalah reproduksi dan produktivitas ternak, maupun kesehatan ternak. Ketidakcermatan peternak dalam mengamati setiap ternak sapinya dapat mengakibatkan produktivitas ternak tidak optimal. Tingginya curahan jam kerja peternak bagi usaha ternaknya menyebabkan peternak kurang memiliki aspirasi melahirkan ide-ide yang dapat menambah nilai jual susu ataupun kotoran ternak. Suatu pikiran yang kreatif dapat menjadi sangat efektif dalam membantu membuat alternatif-alternatif yang baik bagi masalah-

215 masalah sulit. Kreativitas ialah setiap pemikiran proses untuk memecahkan suatu masalah atau mencapai tujuan dengan cara yang asli dan berguna. Kreativitas juga berarti kemampuan melihat hubungan-hubungan yang berguna di antara halhal yang berbeda. Kreativitas timbul karena imajinasi (Kossen, 1993:42). Lama beternak sapi perah pada peternak di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung tidak berhubungan dengan produktivitas peternak. Ada kecenderungan lama beternak di Kabupaten Bandung, berhubungan negatif dengan produktivitas peternak. Pengalaman berusaha sapi perah membuat peternak memiliki banyak pengetahuan tentang pengelolaan ternak sapi perah. Pengalaman yang banyak bila tidak diaplikasikan dalam budidaya sehari-hari maka tidak mengubah produktivitas peternak sapi perah. Bagi peternak di Kabupaten Pasuruan, usaha sapi perah merupakan usaha yang bersifat subsisten sehingga meskipun beternak sapi perah sudah lama dijalani kepemilikan modal dan jumlah ternak yang dipelihara tidak berubah dari tahun ke tahun Hubungan negatif antara lama beternak dengan produktivitas peternak dimungkinkan karena meskipun peternak semakin memiliki banyak pengetahuan seiring dengan bertambahnya waktu mengelola usaha sapi perah, tetapi karena pengetahuan ataupun pengalaman yang diperoleh tidak dijadikan pijakan bagi tindakan selanjutnya maka produktivitaspun tidak berubah, bahkan cenderung berkurang karena berkembangnya inovasi untuk meningkatkan produktivitas. Kemampuan mengakses informasi berhubungan sangat nyata dengan produktivitas peternak di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung. Informasi sangat dibutuhkan oleh pengusaha untuk melakukan perencanaan dan mengembangkan usaha yang dijalankannya. Kemampuan dalam mengakses informasi memerlukan kemampuan berinteraksi dan berkomunikasi. Kemampuan mengakses informasi yang dimiliki peternak di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung pada tingkat sedang. Belum berkembangnya sistem inovasi teknologi merupakan penyebab utama usaha ternak rakyat cenderung stagnan. Oleh karena itu, pengembangan sistem inovasi pendukung usaha peternakan rakyat menjadi prioritas kebijakan pemerintah. Inovasi dapat terdiseminasi dengan baik dan lancar apabila ada keterbu-

216 kaan arus informasi dari sumber ke penerima informasi. Selama ini terkesan ada penguasaan informasi oleh pemilik modal sehingga usaha peternakan rakyat tidak dapat mengaksesnya, dampaknya adalah usaha tidak berkembang. Motivasi peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung berhubungan sangat nyata dengan produktivitas peternak. Motivasi peternak sapi perah mengembangkan usaha melahirkan ide-ide kreatif untuk mengembangkan usaha yang berujung pada peningkatan produktivitas peternak. Sebanyak 78 persen peternak di Kabupaten Pasuruan menjadikan usaha peternakan sebagai usaha pokok, sisanya (22 persen) menjadikan usaha sapi perah sebagai usaha sampingan, selain bertani. Sebenarnya usaha peternakan sapi perah dan usaha tani merupakan mix farming yang dijalankan petani peternak sapi perah dan saling mendukung. Keuntungan di usaha tani digunakan untuk mendukung usaha peternakan dan sebaliknya, keuntungan yang diperoleh dari usaha sapi perah digunakan untuk mendukung usaha pertanian. Usaha tani yang dikerjakan petani peternak di Kabupaten Pasuruan adalah bertanam kopi, jeruk, dan apel. Masa panen tanaman tersebut cukup lama, menyebabkan usaha sapi perah menjadi tumpuan penghasilan bagi petani peternak. Namun, adanya pandangan masyarakat yang menganggap bahwa usaha tani termasuk peternakan merupakan mata pencaharian menyebabkan motivasi mengembangkan usaha sapi perah untuk menghasilkan produktivitas peternak, kurang berkembang. Penentuan harga susu oleh KPBS di Pangalengan, Kabupaten Bandung, berdasarkan pada kualitas susu yang terdiri dari kandungan fat, solid non fat (SNF), total solid (TS), dan total plate count (TPC). Menurut Standar Mutu Susu Segar yang dikeluarkan oleh Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan, Direktorat Jenderal Pengolahan Hasil dan Pemasaran Hasil Pertanian tahun 2005, syarat mutu susu segar adalah berat jenis (pada suhu 27,5oC) minimum 1,028; kadar lemak minimum 3,0 persen; kadar SNF minimum 8,0 persen; kadar protein minimum 2,7 persen; dan TPC maksimum 1 X 106 CFU/ml. Sedangkan standar minimum yang ditetapkan Koperasi adalah BJ sebesar 1,028; total bahan kering (total solid)

11-12 persen; bahan kering tanpa lemak (solid non fat)

217 minimum 7,8 persen; kandungan lemak 3-3,5; dan TPC di bawah 6 X 106/ml. Peternak yang mampu menghasilkan susu sapi dengan kualitas diatas standar KPBS menerima bonus harga, sedangkan bila susu yang dihasilkan dibawah standar KPBS, mendapat hukuman berupa penolakan susu. Istilah bonus yang diterapkan oleh KPBS merupakan bentuk penghargaan koperasi terhadap prestasi peternak. Pekerja yang mempunyai kebutuhan prestasi tinggi cenderung sangat dimotivasi oleh situasi kerja yang bersaing dan penuh tantangan (Stoner dan Wankel, 1986:5-6). Kebijakan ini menyebabkan peternak termotivasi untuk meningkatkan atau mempertahankan kualitas susu sapi yang dihasilkan agar bonus yang diperoleh peternakpun semakin tinggi.

Hal ini sesuai dengan

pendapat Arfida (2003:5) yang menyatakan bahwa tenaga kerja yang mempunyai taraf pendidikan tinggi, kesehatan dan gizi yang baik ternyata belum menjamin adanya produktivitas yang tinggi dan baik pula.

Penelitian PEP (2000)

mengindikasikan bahwa terdapat hal lain seperti insentif, hubungan kerja, kebijakan, dan lain-lain yang turut serta mempengaruhi produktivitas seseorang. Insentif berupa bonus yang diberikan KPBS ternyata sangat mempengaruhi produktivitas peternak di Kabupaten Bandung. Sembilan puluh tujuh persen responden di Kabupaten Bandung menyatakan bahwa usaha peternakan sapi perah merupakan usaha pokok. Dengan semakin banyak bonus yang diterima peternak menyebabkan peningkatan pendapatan peternak dan ini memotivasi peternak bekerja secara serius untuk mengembangkan usaha ternaknya. Harga susu yang diberikan oleh koperasi ”Setia Kawan” di Kabupaten Pasuruan dan KPBS di Kabupaten Bandung adalah sama. Pada saat penelitian dilaksanakan harga maksimal susu yang diberikan oleh koperasi adalah Rp 2.400,00. Harga tersebut tidak sesuai dengan harga yang ditetapkan pemerintah maupun IPS dan jauh dibawah harga susu internasional (Rp 6.200,00/liter) Karakteristik peternak di Kabupaten Pasuruan yang memiliki hubungan nyata dengan produktivitas peternak selanjutnya dianalisis dengan analisis regresi berganda (Tabel 23). Setelah dilakukan analisis ternyata kemampuan mengakses informasi dan motivasi peternak untuk mengembangkan usaha sapi perah selain

218 berhubungan juga berpengaruh nyata terhadap produktivitas peternak. Jumlah ternak yang dipelihara tidak berpengaruh nyata terhadap produktivitas peternak. Tabel 23. Koefisien Regresi Berganda Faktor Karakteristik yang Berpengaruh terhadap Produktivitas Peternak Sapi Perah di Kabupaten Pasuruan Karakteristik Peternakan Jumlah ternak yang dipelihara Kemampuan mengakses informasi Motivasi mengembangkan usaha Konstanta = 0,197 R2 = 0,623 Keterangan: ** sangat nyata pada ά 0,01

Produktivitas Peternak 0,039 0,237** 0,528**

Semakin banyak sapi perah yang dipelihara maka tingkat produktivitas peternak sapi perah semakin meningkat, tetapi pada kenyataannya tidak demikian. Cara budidaya yang masih sederhana dan keterbatasan pakan hijauan pada musim kemarau menyebabkan ternak belum mampu berproduksi secara optimal. Tenaga kerja yang terbatas terlibat dalam proses budidaya dan pemerahan menyebabkan kebersihan dan kesehatan ternak kurang tertangani secara baik. Hasilnya adalah kualitas susu tidak optimal. Banyaknya susu dari satuan ternak yang banyak tidak diimbangi dengan kualitas susu yang baik menyebabkan harga yang diterima peternak tidak maksimal. Selama ini, tujuan usaha ternak sapi perah lebih berorientasi untuk menghasilkan susu. Padahal selain susu, sapi perah dapat menghasilkan pedet dan kotoran yang memiliki nilai ekonomis bagi peternak. Kedua komoditi terakhir masih kurang mendapat perhatian peternak sapi perah. Hasil penelitian yang dilakukan Yusdja pada tahun 2003 di Jawa Barat menyimpulkan bahwa pada skala usaha 1-2 ekor memiliki efisiensi teknis yang sangat baik tetapi berdasarkan perhitungan B/C rasio maka skala usaha 10–11 ekor adalah yang terbaik. Kesimpulan ini menunjukkan bahwa manajemen budidaya ternak sapi perah lebih difokuskan pada produksi total bukan pada produktivitas ternak. Tingkat pendidikan rendah serta ketidaksesuaian jenis pendidikan dengan usaha yang dijalani saat ini menyebabkan peternak sapi perah di Kabupaten Pa-

219 suruan memanfaatkan sumber-sumber informasi yang ada disekitarnya untuk mencapai produktivitas kerja yang tinggi. Bila dikaitkan dengan umur, maka terlihat bahwa 82 persen peternak di Kabupaten Pasuruan termasuk dalam umur produktif (31-60 tahun). Ericson (Hurlock, 1992:13) menyatakan bahwa umur 40-60 merupakan umur pertengahan dan dari beberapa studi menunjukkan bahwa difusi inovasi paling tinggi adalah petani yang mempunyai umur setengah tua. Petani-petani muda yang ingin membuat perubahan dalam pertaniannya tidak selalu dalam posisi untuk melaksanakannya, hal ini disebabkan retriksi yang petani miliki, misalnya: terbatasnya modal yang dimiliki (Soekartawi, 1988:90). Menurut teori perkembangan dari Havighurst pada usia pertengahan individu memiliki tugas perkembangan untuk mencapai dan

mempertahankan prestasi

dalam karir pekerjaan, oleh karena itu tingkat difusi inovasi pada petani-petani berumur setengah tua cukup tinggi (Hurlock, 1992:10). Usaha sapi perah merupakan salah satu usaha bagi petani peternak di Kabupaten Pasuruan. Selain menghasilkan susu, sapi perah juga menghasilkan limbah yang dapat digunakan petani peternak untuk memupuk tanaman pertaniannya (kopi, jeruk, dan apel). Semakin berkembang jumlah sapi perah yang dimiliki peternak maka semakin banyak susu yang dihasilkan, limbah ternakpun banyak dihasilkan. Bila peternak melaksanakan perkawinan ternak secara tepat maka setiap tahun peternak mampu mendapatkan pedet. Semakin banyak ternak yang dipelihara mampu menghasilkan pedet yang semakin banyak pula. Oleh karena itu, petani peternak termotivasi untuk mengembangkan usaha ternaknya untuk mencapai produktivitas yang tinggi. Menurut Balai Pengembangan Produktivitas Daerah, salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja, adalah sikap mental meliputi motivasi, disiplin kerja, dan etos kerja (Sedarmayanti, 2001:72). Pengaruh karakteristik terhadap produktivitas peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan dirumuskan dalam Hipotesis 3 penelitian ini, yaitu: “Karakteristik berpengaruh nyata terhadap produktivitas peternak sapi perah.” Hipotesis 3 ini diuji dengan model statistik Analisis Jalur (Path analysis). Hipotesis tersebut ternyata tidak terbukti karena dari enam karakteristik peternak (pendidikan, jumlah keluarga, jumlah ternak yang dipelihara, lama beternak, kemampuan

220 mengakses informasi, dan motivasi) yang diajukan, ternyata kemampuan mengakses informasi dan motivasi yang mempunyai pengaruh nyata terhadap produktivitas peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan. Gambaran selengkapnya pengaruh antar peubah yang diteliti terlihat pada Gambar 9. Produktivitas peternak di Kabupaten Pasuruan secara langsung dan positif dipengaruhi oleh kemampuan mengakses informasi dan motivasi peternak mengembangkan usaha sapi perah. Produktivitas peternak di Kabupaten Pasuruan terbangun apabila peternak memiliki kemampuan mengakses informasi dan memiliki motivasi yang tinggi.

Pendidikan rendah dan ketidaksesuaian antara

pendidikan dengan dunia usaha menjadikan kemampuan peternak ditentukan oleh informasi tentang usaha sapi perah yang diperoleh dari sumber-sumber informasi. Semakin banyak informasi yang diperoleh menjadikan peternak memiliki banyak pengetahuan dan wawasan sebagai bekal dalam mengelola usaha peternakan sapi perah. Motivasi mengembangkan usaha sapi perah mendorong peternak menerapkan hal-hal yang telah dipelajari untuk menghasilkan produktivitas yang tinggi.

Kemampuan akses info

0,279**

Produktivitas peternak (Y2) 0,044

0,564**

Motivasi

ε = 0,377

Jumlah sapi yang dipelihara Gambar 9. Karakteristik yang Mempengaruhi Produktivitas Peternak Sapi Perah di Kabupaten Pasuruan Pada Tabel 23 memperlihatkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,623; artinya, produktivitas peternak di Kabupaten Pasuruan sebesar 62 persen dipengaruhi oleh kemampuan mengakses informasi dan motivasi peternak dalam mengembangkan usaha ternak sapi perahnya. Konstanta sebesar 0,197 menunjukkan bahwa tanpa pengaruh dari kemampuan mengakses informasi dan motivasi peternak maka produktivitas peternak menunjukkan kecenderungan positif. Ke-

221 mampuan mengakses informasi yang dimiliki peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan menyebabkan semakin berkembangnya pengetahuan dan kemampuan peternak dalam mengelola usaha sapi perah yang produktif. Adanya motivasi untuk mengembangkan usaha yang semakin baik menyebabkan peternak mampu melahirkan ide-ide kreatif yang mampu meningkatkan produktivitas peternak. Selanjutnya dituliskan persamaan model regresi pengaruh karakteristik terhadap produktivitas peternak, yaitu: Y2 = 0,197 + 0,237 X15 + 0,528 X16 Karakteristik peternak di Kabupaten Bandung yang memiliki hubungan nyata dengan produktivitas peternak selanjutnya dianalisis dengan analisis regresi berganda (Tabel 24). Setelah dilakukan analisis ternyata kemampuan mengakses informasi dan motivasi peternak untuk mengembangkan usaha sapi perah selain berhubungan juga berpengaruh nyata terhadap produktivitas peternak. Jumlah ternak yang dipelihara tidak berpengaruh nyata terhadap produktivitas peternak. Tabel 24. Koefisien Regresi Berganda Faktor Karakteristik yang Berpengaruh terhadap Produktivitas Peternak Sapi Perah di Kabupaten Bandung Karakteristik Peternak Kemampuan mengakses informasi Motivasi mengembangkan usaha Konstanta = 0,031 R2 = 0,767 Keterangan: ** sangat nyata pada ά 0,01

Produktivitas Peternak 0,280** 0,698**

Tingkat interaksi yang tinggi dengan komunitas lain yang dimiliki peternak sapi perah di Kabupaten Bandung menyebabkan peternak memiliki sikap terbuka dan komunikatif. Kunjungan tamu dan pejabat ke daerahnya dijadikan ajang untuk bertanya dan berdiskusi. Hal ini menyebabkan semakin berkembang pengetahuan peternak tentang usaha sapi perah, karena tamu yang datang dijadikan salah satu sumber informasi. Faktor Motivasi peternak dalam mengembangkan usaha ternaknya berpengaruh nyata terhadap produktivitas peternak di Kabupaten Bandung. Pendekatan modern pada manajemen motivasional lebih banyak menggunakan faktor-faktor lingkungan yang positif, seperti penghargaan, status, dan tanggung jawab, diban-

222 dingkan dengan faktor-faktor negatif yang lebih disukai oleh manajer tradisional. Manajer modern mengakui bahwa semua orang mempunyai kebutuhan dan setiap orang menempatkan nilai atau prioritas yang sama pada tujuan atau keadaankeadaan yang memenuhi kebutuhan. Kebutuhan menciptakan ketegangan. Ketegangan memotivasi tindakan. Tindakan dapat menghasilkan pencapaian cita-cita atau melegakan tegangan. Kebutuhan dipengaruhi budaya atau pendidikan masa kanak-kanak (Kossen, 1993;123-124). Pengurus koperasi KPBS Pangalengan, Kabupaten Bandung menerapkan teori ini pada penetapan harga susu. Bonus yang diberikan koperasi mampu memotivasi peternak mengembangkan usaha ternak sapi perah sehingga mampu meningkatkan produktivitas. Pengaruh karakteristik terhadap produktivitas peternak sapi perah di Kabupaten Bandung dirumuskan dalam Hipotesis 3 penelitian ini, yaitu: “Karakteristik berpengaruh nyata terhadap tingkat produktivitas peternak sapi perah.” Hipotesis 3 ini diuji dengan model statistik Analisis Jalur (Path analysis). Hipotesis tersebut ternyata tidak terbukti karena dari enam karakteristik peternak (pendidikan, jumlah keluarga, jumlah ternak yang dipelihara, lama beternak, kemampuan mengakses informasi, dan motivasi) yang diajukan, ternyata kemampuan mengakses informasi dan motivasi peternak mengembangkan usaha sapi perah yang mempunyai pengaruh nyata terhadap produktivitas peternak sapi perah di Kabupaten Bandung. Gambaran selengkapnya pengaruh antar peubah yang diteliti terlihat pada Gambar 10. Produktivitas peternak di Kabupaten Bandung secara langsung dan positif dipengaruhi oleh kemampuan peternak mengakses informasi dan motivasi peternak dalam mengembangkan usaha sapi perah. Produktivitas peternak di Kabupaten Bandung terbangun apabila peternak memiliki kemampuan mengakses informasi dan memiliki motivasi tinggi untuk mengembangkan usaha ternaknya. Oleh karena itu memberi kesempatan kepada peternak berhubungan dengan sumbersumber informasi merupakan langkah tepat untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan peternak sehingga meningkatkan produktivitas peternak. Hubungan dengan sumber-sumber informasi juga menambah wawasan dan pengalaman yang menumbuhkan motivasi peternak untuk mengembangkan usaha ternaknya.

223 ε = 0,233 Kemampuan akses info

0,319**

Produktivitas peternak (Y2)

0,688**

Motivasi

Gambar 10. Karakteristik yang Mempengaruhi Produktivitas Peternak Sapi Perah di Kabupaten Bandung Pada Tabel 24 memperlihatkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,767; artinya, produktivitas peternak di Kabupaten Bandung sebesar 77 persen dipengaruhi oleh kemampuan mengakses informasi, dan motivasi peternak. Konstanta sebesar 0,031 menunjukkan bahwa tanpa pengaruh kemampuan mengakses informasi, dan motivasi peternak maka kompetensi kewirausahaan peternak telah menunjukkan kecenderungan positif. Selanjutnya dituliskan persamaan regresi pengaruh karakteristik terhadap produktivitas peternak: Y2 = 0,006+0,195 X15 + 0,804 X16

Pengaruh Lingkungan Usaha terhadap Produktivitas Peternak Sapi Perah Faktor-faktor lingkungan usaha merupakan faktor yang diduga berhubungan dan mempengaruhi produktivitas peternak sapi perah. Berdasarkan analisis korelasi Product Moment diperoleh hasil bahwa sarana, prasarana, informasi; kelembagaan peternak; kelembagaan sosial; kelembagaan penyuluhan; dan kebijakan pemerintah berhubungan sangat nyata dengan produktivitas peternak di Kabupaten Pasuruan dan Bandung (Tabel 25). Tabel 25. Koefisien Korelasi Lingkungan Usaha yang Berhubungan dengan Produktivitas Peternak Sapi Perah Lingkungan Usaha Sarana, prasarana, informasi Kelembagaan peternak Kelembagaan sosial Kelembagaan penyuluh Kebijakan pemerintah Keterangan: ** sangat nyata pada ά 0,01

Produktivitas Peternak Pasuruan Bandung 0,930** 0,958** 0,403** 0,807** 0,685** 0,701** 0,844** 0,919** 0,693** 0,458**

224 Peningkatan produktivitas kerja dan sumberdaya manusia menurut Susanto (2006:116) dapat dilakukan melalui: (1) pemberian akses yang lebih tinggi terhadap sumberdaya produksi dan paket teknologi yang tepat, (2) merangsang terciptanya kegiatan yang menghasilkan pendapatan di lokasi setempat, dan (3) meningkatkan efektivitas dan keterjangkauan kredit pedesaan dan lembaga keuangan pedesaan bagi masyarakat miskin. Memahami pentingnya informasi bagi petani di pedesaan maka pemerintah Thailand memberi insentif kepada petani dalam bentuk informasi, teknik produksi, pasar, dan bibit. Informasi tentang pertanian dan agribisnis sampai ke desa-desa dalam waktu cepat, mengakibatkan petani menyesuaikan dan segera membuat rencana produksi sesuai dengan permintaan pasar (Arintadisastra, 2001:183). Faktor sarana, prasarana, informasi berhubungan sangat nyata dengan produktivitas peternakan di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung. Sarana produksi yang disediakan koperasi berupa penyediaan pakan konsentrat dan peralatan kandang, dimanfaatkan oleh peternak dalam proses pemeliharaan untuk memperoleh produktivitas ternak yang tinggi. Prasarana jalan raya dan transportasi, serta jaringan telekomunikasi di Kabupaten Bandung dimanfaatkan oleh peternak sapi perah untuk mendapatkan informasi guna menambah wawasan dan pengetahuan yang bermanfaat untuk melahirkan ide-ide dalam memanfaatkan sumberdaya peternak maupun yang ada di sekitar peternakan. Informasi tentang bagaimana memperoleh atau menjaga kualitas susu telah diterapkan peternak tetapi dalam hal menjaga kesehatan ternak, kemampuan menghasilkan pedet setiap tahun, dan pemanfaatan kotoran dan limbah ternak sebagai produk yang bermanfaat belum banyak yang mempraktekkan. Hal ini disebabkan kurangnya tenaga-tenaga yang berkompeten yang mendampingi peternak dalam mengembangkan kreativitas. Menurut Cernea (1988:380), strategi pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan seringkali dikritik karena menciptakan ketergantungan yang luar biasa pada investasi prasarana. Pemerintah membangun jalan dengan tujuan agar pemasaran hasil pertanian, termasuk sub sektor peternakan, dapat berjalan lancar dan efisien, dan informasi juga mudah diakses. Pendapat tersebut tidak salah, tetapi bagi usaha peternakan, tersedianya prasarana jalan

225 yang baik sangat diperlukan. Hal ini mengingat sifat susu yang mudah rusak sehingga memerlukan kelancaran transportasi. Usaha yang dapat dilakukan untuk memperkecil ketergantungan terhadap investasi pemerintah adalah dengan menumbuhkan partisipasi warga khususnya peternak untuk menjaga dan merawat fasilitas yang dibangun pemerintah. Sumbangan sebesar Rp 5,00 bagi setiap liter susu yang dihasilkan peternak dapat dikelola untuk menjaga dan merawat fasilitas jalan raya. Kelembagaan peternak berhubungan sangat nyata dengan produktivitas peternak di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung. Peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan, memiliki lokasi rumah dan kandang yang berdekatan dalam satu kelompok peternak sehingga komunikasi dan interaksi anggota kelompok cukup intensif. Selain itu, sifat menjunjung tinggi kebersamaan, membuat anggota kelompok memiliki komitmen mempertahankan kualitas susu untuk memperoleh harga yang tinggi. Penentuan kualitas susu berdasarkan produksi satu kelompok menyebabkan setiap anggota kelompok berkomitmen menghasilkan susu berkualitas karena bila ada seorang anggota kelompok yang menghasilkan susu dengan kualitas jelek maka seluruh anggota kelompok menanggung bersama akibatnya. Nilai-nilai dalam kelompok tidak semua positif, ditemukan fakta bahwa dalam satu kelompok peternak juga terdapat nilai-nilai negatif yaitu rasa curiga, tidak percaya pada teman. Harga susu ditentukan oleh kualitas susu dalam satu kelompok mestinya disikapi oleh peternak dengan bekerjasama untuk bersamasama menghasilkan susu yang berkualitas, namun kenyataannya tidak semua anggota kelompok melakukan hal tersebut. Memandikan sapi sebelum pemerahan merupakan salah satu upaya untuk memperoleh kualitas susu yang baik, tetapi rasa tidak percaya terhadap teman menyebabkan peternak tidak melakukan hal tersebut. Alasan peternak tidak memandikan sapi sebelum dilakukan pemerahan karena rasa tidak percaya apakah teman dalam satu kelompok melakukan hal yang sama. Perasaan tersebut mestinya tidak dibiarkan berlarut-larut, perlu dilakukan pendekatan oleh ketua ataupun pengurus agar peternak mau mengubah perilaku menjadi positif. Kualitas susu rendah yang dihasilkan salah satu anggota kelompok menjadikan harga susu satu kelompok juga rendah. Akibatnya anggota

226 yang lainpun berperilaku tidak selalu memandikan sapi saat sebelum diperah, akibatnya harga susu yang diperoleh tidak pernah maksimal. Jarak rumah atau kandang yang cukup berjauhan antar peternak dalam satu kelompok peternak di Kabupaten Bandung menyebabkan komunikasi dan interaksi antar anggota menjadi kurang intensif. Selain itu, sifat individual yang dimiliki masyarakat di Kabupaten Bandung menyebabkan peternak memilih bekerja secara sendiri-sendiri. Meskipun demikian, adanya penentuan harga susu ditentukan oleh kualitas susu dalam satu kelompok mengharuskan setiap anggota kelompok tetap berkomitmen untuk menghasilkan susu agar tidak mengecewakan anggota lainnya. Kelompok peternak telah mampu menumbuhkan komitmen bersama antar anggotanya untuk menghasilkan susu yang berkualitas tetapi belum mampu menumbuhkan kemampuan peternak untuk menghasilkan pedet secara teratur setiap tahunnya dan memanfaatkan kotoran maupun limbah ternak menjadi produk yang memiliki nilai ekonomis. Hal ini terjadi karena pedet yang dihasilkan peternak maupun pemanfaatan limbah tidak berhubungan dengan kelompok. Koperasi merupakan kelembagaan peternak yang diamati dalam penelitian ini, selain kelompok. Di Kabupaten Pasuruan, peran koperasi sangat berhubungan dengan produktivitas peternak sapi perah. Keterbatasan modal dan ketidakberanian peternak bermitra selain dengan koperasi menyebabkan peternak sangat bergantung kepada koperasi dalam hal penambahan modal usaha. Peternak meminjam uang kepada koperasi bila membeli sapi atau melakukan tukar tambah sapi untuk peremajaan sapi ataupun mendapatkan kredit bibit sapi dari koperasi. Penambahan jumlah ternak maupun peremajaan sapi bertujuan untuk meningkatkan produktivitas peternak. Peran koperasi sebagai badan usaha yang berorientasi menghasilkan keuntungan menyebabkan koperasi lebih memfokuskan pada total produksi susu yang dapat disetor peternak dan kurang memperhatikan segi skala usaha yang menguntungkan bagi peternak. Dalam hal ini, kenaikan kualitas dan kuantitas susu yang dihasilkan peternak sapi perah lebih banyak dinikmati oleh koperasi dibandingkan peternaknya sendiri. Semakin banyak dan berkualitas susu yang

227 disetor peternak artinya koperasi mampu memenuhi kesepakatan antara koperasi dengan IPS, selain itu semakin besar pula keuntungan yang diperoleh, karena keuntungan koperasi minimum sebesar Rp 525,00 dari setiap liter yang disetor peternak. Sedangkan bagi peternak, untuk mampu menghasilkan susu dalam jumlah tinggi dan berkualitas maka sapi perah membutuhkan pakan konsentrat yang banyak dan berkualitas.

Peternak membeli konsentrat kepada koperasi.

Semakin banyak peternak mengambil konsentrat kepada koperasi maka semakin banyak pula keuntungan yang diperoleh koperasi. Akhirnya, semakin banyak peternak yang memiliki sapi dengan produktivitas tinggi maka semakin banyak pula keuntungan yang didapatkan koperasi yaitu dari keuntungan penjualan susu ke IPS maupun penjualan konsentrat, sedangkan pendapatan peternak tidak berubah karena uang yang diperoleh dari penjualan susu, dibelikan konsentrat. Meskipun demikian, disebabkan keterbatasan modal dan kompetensi manajerial yang rendah menyebabkan peternak tidak dapat berbuat lain selain menerima kebijakan dari koperasi. Koperasi sebagai payung kelompok peternak mestinya mengayomi peternak khususnya pada saat peternak mengalami masalah dalam menjalankan usaha, kemudian membantu mencarikan solusinya, namun tidak demikian keadaannya. Koperasi lebih banyak mengeksploitasi peternak. Eksploitasi antara patron (koperasi) terhadap client-nya (peternak) merupakan penyebab eksternal atau pemicu terjadinya kondisi kemiskinan pada peternak (Susanto, 2006:57). Usaha peternakan sapi perah membutuhkan curahan jam kerja yang tinggi sehingga peternak memiliki keterbatasan waktu berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya di luar komunitasnya. Padahal berinteraksi dalam masyarakat menyebabkan meningkatnya kemampuan komunikasi dan menggalang jaringan sosial. Menurut Susanto (2006:91), kemiskinan selain disebabkan oleh rendahnya pendidikan juga diakibatkan lemahnya jaringan sosial, sehingga perlu strategi untuk mendorong warga miskin tidak bertindak sendirian dalam menyelesaikan masalahnya. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal ini adalah mendorong peternak untuk aktif berinteraksi baik dalam komunitas peternak maupun di lingkungan masyarakat sekitarnya melalui pertemuan-pertemuan kelompok pe-

228 ternak maupun pertemuan RT, RW, ataupun desa. Diskusi dalam pertemuan untuk memecahkan masalah merupakan latihan bagi peternak untuk mengatasi kendala usaha, untuk selanjutnya mencari solusi dengan memanfaatkan jaringan sosial yang dimilikinya. Kelembagaan sosial berhubungan sangat nyata dengan produktivitas peternak di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung. Beternak sapi perah merupakan salah satu mata pencaharian bagi masyarakat di Kecamatan Nongkojajar dan Kecamatan Pangalengan. Adanya peternakan di daerahnya menyebabkan masyarakat ikut merasakan dampaknya yaitu dengan dibangunnya prasarana jalan yang baik, kunjungan tamu dari luar daerah, serta ketersediaan limbah yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk bagi tanaman pertanian. Oleh karena itu, masyarakat di lingkungan peternakan sapi perah tidak merasa keberatan dengan adanya usaha peternakan sapi perah di lingkungannya. Selain itu, dari hasil beternak sapi perah, banyak peternak yang telah mampu menyekolahkan anaknya ke Perguruan Tinggi dan memiliki materi yang cukup, sehingga peternak mendapatkan status sosial yang cukup tinggi. Keadaan ini dapat memacu semangat peternak untuk meningkatkan produktivitasnya. Faktor kelembagaan penyuluhan berhubungan sangat nyata dengan produktivitas peternak di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung. Pada saat petugas koperasi melakukan pelayanan kepada peternak berupa IB, pelayanan kesehatan, ataupun potong kuku, petugas juga bertindak sebagai penyuluh. Pada saat itu, penyuluh menawarkan inovasi-inovasi atau mengulang materi yang pernah disampaikan. Oleh karena itu, penyuluh merupakan sumber informasi yang sangat dibutuhkan peternak. Pendidikan yang rendah dan tidak sesuai dengan usaha yang saat ini dijalani menyebabkan peternak bergantung kepada sumbersumber informasi untuk mengembangkan usahanya. Kebijakan pemerintah mempunyai hubungan sangat nyata dengan produktivitas peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung. Kebijakan pemerintah pusat menaikkan harga susu dan menjamin pemasaran susu melalui koperasi telah menumbuhkan semangat peternak untuk menghasilkan susu yang berkualitas pada peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan dan

229 Kabupaten Bandung.

Dibangunnya prasarana jalan dan telekomunikasi telah

banyak dimanfaatkan peternak untuk mencari inovasi baru. Promosi minum susu segar yang akhir-akhir ini digalakkan pemerintah memberi semangat bagi peternak untuk mampu mengoptimalkan produktivitas ternak dalam menghasilkan susu karena ada kepastian pasar. Faktor lingkungan usaha yang memiliki hubungan nyata dengan produktivitas peternak di Kabupaten Pasuruan selanjutnya dianalisis dengan regresi berganda (Tabel 26). Berdasarkan analisis regresi berganda dihasilkan bahwa sarana, prasarana, informasi berpengaruh sangat nyata terhadap produktivitas peternak, sedangkan kelembagaan peternak dan kelembagaan penyuluhan berpengaruh nyata terhadap produktivitas peternak. Kelembagaan sosial dan kebijakan pemerintah tidak berpengaruh nyata terhadap produktivitas peternak. Tabel 26. Koefisien Regresi Berganda Lingkungan Usaha yang Berpengaruh terhadap Produktivitas Peternak Sapi Perah di Kabupaten Pasuruan Lingkungan Usaha Produktivitas Peternak Sarana, prasarana, informasi 0,777** Kelembagaan peternak 0,091* Kelembagaan sosial 0,034 Kelembagaan penyuluhan 0,152* Kebijakan pemerintah 0,049 Konstanta = -0,109 R2 = 0,875 Keterangan: ** sangat nyata pada ά 0,01 *nyata pada ά 0,05 Pendidikan yang rendah dan jenis pendidikan yang tidak sesuai dengan usaha yang saat ini ditekuni menyebabkan peternak sangat membutuhkan informasi dari sumber-sumber informasi seperti orang-orang yang berpengalaman dan mengerti tentang usaha sapi perah. Untuk kegiatan tersebut peternak memerlukan prasarana jalan raya dan telekomunikasi. Aplikasi informasi yang telah diperoleh peternak memerlukan dukungan sarana produksi.

Ketepatan penyaluran sarana

produksi yang disediakan koperasi berupa penyediaan pakan konsentrat, peralatan perkandangan, dan simpan pinjam uang, sangat mendukung kegiatan peternak dalam mengaplikasikan informasi-informasi yang telah diperoleh.

Kemudahan

230 memperoleh pakan hijauan di sekitar lingkungan peternakan ikut pula mendukung aplikasi informasi yang diperoleh peternak. Ketersediaan sarana. prasarana, informasi yang disediakan oleh koperasi maupun pemerintah menyebabkan peternak memiliki rasa ketergantungan kepada koperasi dan pemerintah. Jasa penyuluhan dan penanganan kesehatan ternak yang disediakan koperasi menyebabkan peternak tidak belajar mengembangkan dan memanfaatkan pengetahuan-pengetahuan setempat dalam menjalankan usahanya. Tingkat produktivitas peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan dalam tingkat sedang. Sikap ”nrimo” dan etos kerja yang kurang maksimal menyebabkan peternak telah cukup puas bila susu yang dihasilkan sapinya memiliki kualitas dan kuantitas baik. Kelembagaan peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan berpengaruh nyata terhadap produktivitas peternak. Hal ini terjadi karena ada komitmen untuk menghasilkan susu yang berkualitas pada setiap anggota kelompok. Kebijakan koperasi yang menetapkan pinjaman konsentrat diberikan sebesar sepertiga dari susu yang disetor peternak, mendorong peternak berupaya untuk menyetor susu dalam jumlah maksimal. Sebagai badan usaha, koperasi memiliki Sisa Hasil Usaha (SHU). Komposisi pembagian SHU KPSP ”Setia Kawan” Kabupaten Pasuruan adalah: untuk dana cadangan sebesar 35 persen, jasa anggota sebesar 40 persen, dana pengurus sebesar 10 persen, dana karyawan sebesar 5 persen, dana pendidikan sebesar 5 persen, dana sosial sebesar 2,5 persen, dan dana pembangunan daerah kerja sebesar 2,5 persen. Kelembagaan sosial tidak berpengaruh nyata terhadap produktivitas peternak di Kabupaten Pasuruan. Meskipun tidak ada keberatan dari masyarakat sekitar berkaitan dengan usaha peternakan sapi perah di lingkungannya, namun nilai-nilai budaya tradisional yang masih hidup dan berkembang di dalam masyarakat Indonesia seperti: (1) sikap mental yang meremehkan mutu, (2) sikap mental yang suka menerabas, (3) sikap tidak percaya pada diri sendiri, (4) tidak disiplin, dan (5) suka mengabaikan tanggung jawab (Rahardjo, 1999:66), menyebabkan peternak belum mampu menghasilkan produk-produk sapi perah secara optimal.

231 Sikap yang telah diaktualisasikan dalam bentuk kegiatan merupakan perilaku. Di Kabupaten Pasuruan, ditemukan masih banyak peternak yang tidak memandikan sapi sebelum pemerahan, masih banyak peternak yang tidak menjaga kebersihan alat-alat penampung susu. Pengetahuan tentang menjaga kebersihan dan kesehatan ternak telah diketahui peternak tetapi masih ada peternak yang mengabaikan masalah tersebut dan tidak melakukan hal-hal yang telah diketahui. Perilaku di atas merupakan contoh perilaku yang meremehkan mutu. Bagi masyarakat Pasuruan, perilaku meremehkan mutu belum dianggap sebagai perilaku menyimpang sehingga tidak ada sangsi atas perilaku tersebut. Sebaliknya bila ada peternak yang menghasilkan kinerja yang baik, tidak mendapatkan penghargaan dari masyarakat sekitar. Usaha sapi perah di Kabupaten Pasuruan telah mampu memberikan materi yang cukup bagi peternak, tetapi masyarakat tetap memiliki anggapan bahwa usaha peternakan sapi perah merupakan pekerjaan kurang terhormat karena berhubungan dengan ternak. Anggapan ini menyebabkan anak-anak peternak enggan meneruskan usaha orang tuanya sehingga tenaga kerja yang terlibat dalam pemeliharaan sapi perah tetap saja yaitu suami dan istri. Tenaga kerja yang terbatas menyebabkan produktivitas ternak belum optimal. Sikap solidaritas peternak di pedesaan yang tinggi menyebabkan limbah ternak tidak dapat dijadikan komoditas yang bernilai ekonomi. Limbah ternak dikumpulkan di dekat kandang dan dapat diambil oleh siapapun yang membutuhkan. Hal-hal tersebut menyebabkan produktivitas peternak tidak optimal. Kelembagaan penyuluhan di Kabupaten Pasuruan berpengaruh nyata terhadap produktivitas peternak. Pendidikan rendah yang dimiliki peternak menyebabkan lembaga penyuluhan sebagai tempat menggali informasi yang dibutuhkan peternak. Materi yang menitikberatkan aspek teknis menyebabkan peternak menguasai masalah tersebut tetapi kurang memahami aspek manajerial yang juga sangat dibutuhkan peternak untuk menjalankan usaha dan meningkatkan produktivitas kerja. Berikut ini disajikan kegiatan pelatihan, penyuluhan, pendidikan dan seminar yang diselenggarakan KPSP ”Setia Kawan” pada tahun 2006 (Tabel 27).

232 Berdasarkan Tabel 27 terlihat bahwa materi penyuluhan yang diselenggarakan oleh KPSP ”Setia Kawan” kurang bervariasi, lebih terfokus pada manajemen peternakan. Berdasarkan wawancara dengan sekretaris koperasi diperoleh keterangan bahwa yang dimaksud manajemen peternakan adalah tentang cara-cara beternak sapi perah yang baik. Dikaitkan dengan jumlah peternak yang aktif menjadi anggota koperasi yaitu sebanyak 4.730 orang, maka maksimal empat persen anggota yang dilibatkan secara langsung dalam pelaksanaan pelatihan, penyuluhan, pendidikan atau seminar. Selebihnya mendapatkan informasi dari pengurus kelompok, teman atau tetangga yang ditunjuk mengikuti penyuluhan. Tabel 27. Kegiatan Pelatihan, Penyuluhan, Pendidikan dan Seminar, Tahun 2006 Jenis kegiatan (1) Penyuluhan

Pelaksana KPSP Setia Kawan

Peserta - Anggota - perwakilan anggota

(2) Pendidikan dan seminar

Jenis Pelatihan - Manajemen peternakan - Kelembagaan

Peserta (orang) 110 179

- KPSP Setia Kawan, BLPP Songgoriti

Anak anggota, karyawan, pengawas

Teknologi persusuan dan manajemen peternakan

67

-

KPSP Setia Kawan, Bina Mitra Polres

Satpam, Pengurus, manajemen

Prestasi, dedikasi dan psikologi

30

-

KPSP Setia Kawan dan Unibraw

Anggota

Biogas, penanganan mastitis

90

-

KPSP Setia Kawan, BLPP Songgoriti

Karyawan

Potong kuku

7

-

KPSP Setia Kawan dan JPC

Kary, pengurus

Kepribadian,Etika

30

- KPSP Setia Kawan, P.T Sanbe Farma

Perwak.anggota pengurus, pengawas

Mastitis, manajemen peternakan

142

Sumber: Laporan Pertanggung Jawaban Pengurus KPSP ”Setia Kawan” tahun 2006 Berdasarkan Tabel 27 terlihat bahwa koperasi sebagai kelembagaan penyuluhan bagi peternak sapi perah belum membedakan administrasi antara pelaporan pelaksanaan penyuluhan bagi anggota koperasi (peternak) dan Diklat bagi pengurus, karyawan, ataupun penyuluh. Hal ini dimungkinkan karena pembagian

233 tugas yang kurang tegas antara pelaksana penyuluhan di lapangan dengan pengurus koperasi. Pengurus koperasi juga memberikan penyuluhan tentang simpan pinjam atau masalah yang berkaitan dengan kebijakan koperasi. Bila merujuk kepada definisi penyuluhan yang berupaya mengubah berilaku kelayan agar mampu menolong diri dan keluarganya sehingga mampu mandiri dalam berusahatani dan mampu meningkatkan kesejahteraan, maka koperasi belum melaksanakan tugasnya sebagai lembaga penyuluhan. Hal ini karena program-program penyuluhan yang dilakukan oleh koperasi lebih berpihak kepada kepentingan pihak koperasi. Penyuluhan belum mampu menumbuhan kemandirian peternak. Kebijakan pemerintah tidak berpengaruh nyata terhadap produktivitas peternak di Kabupaten Pasuruan. Hal ini disebabkan kebijakan pemerintah menaikkan harga susu dan kepastian pemasaran susu belum mampu meningkatkan produktivitas peternak sapi perah karena kebijakan pemerintah menaikkan harga susu bukan upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan peternak tetapi karena naiknya harga susu dunia.

Kenaikan harga susu juga diikuti dengan

meningkatnya harga konsentrat menyebabkan peternak belum merasakan dampak kenaikan harga susu.

Keadaan ini menyebabkan peternak belum termotivasi

mengembangkan peternakan sapi perah untuk memperoleh produktivitas peternak yang tinggi. Kebijakan pemerintah yang memberlakukan Inpres No. 4/1998 dengan tujuan mendorong peningkatan efisiensi industri dalam negeri dan kelancaran arus barang, menyebabkan penyerapan SSDN oleh IPS ditentukan sepenuhnya oleh mekanisme pasar yang berlaku dan oleh tingkat kemampuan bersaing produk SSDN dengan bahan baku produk susu negara lain di pasar dunia. Tidak adanya proteksi pemerintah terhadap produk SSDN menyebabkan peternak sapi perah rakyat dengan teknologi sederhana harus bersaing dengan peternak luar negeri yang telah menerapkan teknologi modern dalam menghasilkan produk susu yang berkualitas dan efisien dalam menggunakan biaya produksi. Kebijakan tersebut juga menyebabkan tidak ada Bukti Serap (Buser) sehingga tidak ada data pasti tentang berapa susu yang diserap IPS dan berapa kekurangannya. Dihapusnya

234 kebijakan tentang Buser juga menyebabkan tidak ada perlindungan harga dasar susu dari IPS. Krisis moneter dan meningkatnya harga minyak dunia menyebabkan naiknya harga sapi perah impor, sehingga terjadi penurunan impor. Usaha meningkatkan produktivitas ternak sapi perah yang dilakukan oleh pemerintah melalui koperasi adalah dengan mengimpor sapi-sapi induk yang berkualitas, kemudian sapi-sapi tersebut diternakkan oleh koperasi. Turunan dari sapi-sapi tersebut kemudian dikreditkan kepada peternak. Produktivitas sapi-sapi turunan tidak sama dengan prestasi tetuanya. Kualitas pakan yang rendah dan sistem manajemen usaha yang masih sederhana, ikut memberi kontribusi belum optimumnya bibit sapi dalam menampilkan prestasi. Pengaruh lingkungan usaha terhadap produktivitas peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan dirumuskan dalam Hipotesis 4 penelitian ini, yaitu: “Lingkungan usaha berpengaruh nyata terhadap produktivitas peternak sapi perah.” Hipotesis 4 ini diuji dengan model statistik Analisis Jalur (Path analysis). Hipotesis tersebut ternyata tidak terbukti karena dari lima lingkungan usaha (sarana, prasarana, informasi; kelembagaan peternak; kelembagaan sosial; kelembagaan penyuluhan; dan kebijakan pemerintah) yang diajukan, faktor sarana, prasarana, informasi, kelembagaan peternak, dan kelembagaan penyuluh yang berpengaruh nyata terhadap produktivitas peternak di Kabupaten Pasuruan. Sarana prasarana, informasi

0,686** 0,088*

Kelembagaan peternak

Produktivitas peternak (Y2) ε = 0,125 0,032 Kelembagaan sosial

0,056

Kebijakan pemerintah

0,166* Kelembagaan penyuluhan

Gambar 11. Lingkungan Usaha yang Mempengaruhi Produktivitas Peternak Sapi Perah di Kabupaten Pasuruan

235 Pengaruh peubah yang diteliti terlihat pada Gambar 11. Produktivitas peternak di Kabupaten Pasuruan secara langsung dan positif dipengaruhi oleh ketersediaan sarana, prasaran, informasi, kelembagaan peternak, dan kelembagaan penyuluhan. Produktivitas peternak di Kabupaten Pasuruan terbangun apabila tersedia sarana dan prasarana yang mudah diperoleh dan sesuai dengan kebutuhan peternak untuk dapat mengaplikasikan informasi/inovasi yang diperoleh, didukung kelembagaan peternak yang memiliki tingkat solidaritas tinggi, solid dan padu, serta kelembagaan penyuluhan yang memperhatikan kepentingan peternak. Pada Tabel 26 memperlihatkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,875; artinya, produktivitas peternak di Kabupaten Pasuruan, sebesar 88 persen dipengaruhi oleh sarana, prasarana, informasi, kelembagaan peternak, dan kelembagaan penyuluhan. Konstanta sebesar -0,109 menunjukkan bahwa tanpa pengaruh dari sarana, prasarana, informasi, kelembagaan peternak, dan kelembagaan penyuluhan maka produktivitas peternak menunjukkan kecenderungan negatif. Selanjutnya dituliskan model regresi faktor-faktor lingkungan usaha yang mempengaruhi produktivitas peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan, yaitu: Y2 = - 0,109 + 0,777 X21 + 0,091 X22 + 0,152 X24 Faktor lingkungan usaha yang memiliki hubungan nyata dengan produktivitas peternak di Kabupaten Bandung selanjutnya dianalisis dengan regresi berganda (Tabel 28). Sarana, prasarana, informasi dan kelembagaan penyuluhan selain berhubungan juga berpengaruh sangat nyata terhadap produktivitas peternak. Kelembagaan peternak, kelembagaan sosil, dan kebijakan pemerintah tidak berpengaruh terhadap produktivitas peternak sapi perah. Ketepatan penyaluran sarana produksi dari koperasi dan kemudahan memperoleh pinjaman uang untuk menambah modal usaha maupun keperluan lainnya, serta pakan hijauan yang mudah diperoleh di sekitar peternakan menyebabkan kinerja peternak semakin baik. Ketersediaan prasarana jalan raya, transportasi, serta jaringan telekomunikasi yang baik menyebabkan peternak semakin intensif berinteraksi dengan sumber-sumber informasi. Informasi yang diperoleh dari sumber informasi tentang cara memperoleh dan menjaga kualitas susu telah diterapkan peternak tetapi dalam hal kesehatan ternak, keteraturan menghasilkan

236 pedet setiap tahun, dan pemanfaatan limbah ternak belum banyak dipraktekkan. Selain budidaya ternak sapi perah telah cukup menyita waktu peternak, etos kerja yang tidak maksimal menyebabkan peternak kurang berinisiatif menghasilkan halhal baru yang menguntungkan. Etos kerja adalah suatu pandangan dan sikap suatu bangsa atau suatu umat terhadap kerja. Pandangan dan sikap yang melihat kerja sebagai hal luhur untuk eksistensi manusia, maka etos kerja menjadi tinggi, sebaliknya, kalau melihat kerja sebagai suatu hal yang tidak berarti untuk kehidupan manusia maka etos kerja menjadi rendah. Orang-orang yang mempunyai etos kerja tinggi, cenderung menyukai pekerjaan dan memperoleh kepuasan diri (Anoraga, 1992:11). Tabel 28. Koefisien Regresi Berganda Lingkungan Usaha yang Berpengaruh terhadap Produktivitas Peternak Sapi Perah di Kabupaten Bandung Indikator Sarana, prasarana, informasi Kelembagaan peternak Kelembagaan sosial Kelembagaan Penyuluhan Kebijakan pemerintah Konstanta = -0,100 R2 = 0,943 Keterangan: ** sangat nyata pada ά 0,01

Produktivitas 0,636** 0,063 0,003 0,343** 0,049

Kelembagaan peternak sapi perah di Kabupaten Bandung tidak berpengaruh nyata terhadap produktivitas peternak. Hal ini terjadi karena meskipun ada komitmen untuk menghasilkan susu yang berkualitas pada setiap anggota kelompok, tetapi dalam hal kreativitas, masing-masing individu peternak berbeda-beda. Padatnya kegiatan pemeliharaan sapi perah menyebabkan kelompok tidak mengadakan pertemuan secara rutin. Pertemuan diadakan apabila ada penyuluhan dari koperasi yang dilaksanakan 2-3 bulan sekali. Tidak intensifnya pertemuan dan kurangnya pembinaan pada anggota kelompok menyebabkan produktivitas peternak ditentukan oleh keaktifan individu dalam mencari informasi dan menerapkan informasi tersebut. Peran ganda yang dijalankan koperasi menyebabkan koperasi tidak fokus sebagai lembaga peternak yang diharapkan sebagai wadah untuk mengembangkan

237 kemampuan anggotanya. Koperasi lebih berorientasi kepada perannya sebagai lembaga ekonomi yang mengutamakan mendapat keuntungan yang sebesarbesarnya. Hal ini dapat dipahami karena koperasi memiliki karyawan yang sangat banyak. Berdasarkan data dari GKSI tahun 2000, jumlah karyawan koperasi tidak rasional yaitu sebesar 20 persen dari jumlah peternak. Jumlah pegawai meningkat dengan semakin meningkatnya jumlah peternak dan ini merupakan suatu pemborosan karena upah pengurus dan karyawan mencapai 4-8 persen dari struktur biaya koperasi (Yusdja, 2005:260-262). Sebagai badan usaha, koperasi memiliki Sisa Hasil Usaha (SHU). Komposisi pembagian SHU di KPBS Pangalengan adalah: untuk dana anggota sebesar 70 persen, dana cadangan sebesar 10 persen, dana pengurus sebesar 5 persen, dana pegawai sebesar 5 persen, dana pendidikan sebesar 5 persen, dana sosial sebesar 2,5 persen, dan dana pembangunan sebesar 2,5 persen. Alokasi dana pendidikan di KPSP ”Setia Kawan” dan KPBS cukup kecil yaitu 5 persen. Dana pendidikan tersebut dipergunakan untuk melaksanakan pengembangan SDM koperasi yaitu pengurus, karyawan, dan anggota koperasi. Kelembagaan sosial di Kabupaten Bandung tidak berpengaruh nyata terhadap produktivitas peternak. Usaha sapi perah di Kabupaten Bandung telah mampu memberikan materi yang cukup bagi peternak, tetapi masyarakat tetap memiliki anggapan bahwa usaha peternakan sapi perah merupakan pekerjaan kurang terhormat karena berhubungan dengan ternak. Selain itu, pandangan masyarakat yang menilai limbah atau kotoran ternak merupakan benda yang menjijikkan menyebabkan belum banyak peternak yang memanfaatkannya. Padahal apabila limbah atau kotoran sapi dimanfaatkan secara baik maka dapat menghasilkan uang yang tidak sedikit atau dapat menghemat pengeluaran rumah tangga. Sebagai contoh limbah yang dibuat bio arang yaitu arang yang diperoleh dengan membakar bio massa kering tanpa udara (pirolisis). Bio massa adalah bahan organik yang berasal dari jasad hidup berupa tumbuh-tumbuhan atau hewan (Widarto dan Suryanta, 1995:11). Menurut Dyer dan O’Marry (Widarto dan Suryanta, 1995: 11), seekor sapi dewasa menghasilkan kotoran sebanyak 20 kg/ hari. Apabila peternak memiliki 3 ekor sapi dewasa, maka menghasilkan limbah sebanyak 60 kg/

238 hari atau 21.600 kg/tahun. Untuk membuat bio arang maka bahan baku kotoran ditambah dengan 10 persen jerami jagung (untuk membantu proses pembakaran tanpa udara) yaitu 2.160 maka total bahan baku 23.760 Kg. Dengan rendemen sekitar 14 persen maka dapat dihasilkan 3.326,4 kg bio arang. Nilai bakar bio arang adalah sebesar 5.000 kkal/kg. Bio arang tersebut dapat digunakan sebagai sumber energi untuk memasak. Selain dijadikan bio arang, kotoran sapi perah dapat juga dijadikan bio gas dan untuk budidaya cacing. Pemanfaatan limbah dan kotoran sapi secara optimal dapat meningkatkan produktivitas peternak. Pada umumnya peternak belum melakukan pencatatan yang berkaitan dengan ternak sapi perahnya, hal ini menyebabkan peternak belum dapat menerapkan kalender reproduksi secara tepat. Catatan lengkap tentang aktivitas yang berkaitan dengan ternak sapi perah seperti tanggal dikawinkan, tanggal beranak, dan lain

sebagainya

memudahkan

peternak

dalam

melakukan

seleksi

dan

melaksanakan IB secara tepat. Hal ini menyebabkan peternak sapi perah belum mampu menghasilkan pedet setiap tahunnya. Kelembagaan penyuluhan berpengaruh sangat nyata terhadap produktivitas peternak sapi perah di Kabupaten Bandung. Ketidaksesuaian jenis pendidikan dengan bidang usaha yang saat ini ditekuni menyebabkan peternak sangat membutuhkan lembaga penyuluhan sebagai sumber informasi. Aspek teknis yang sering disampaikan penyuluh menyebabkan peternak sangat menguasai hal itu, sedangkan aspek manajerial yang juga sangat dibutuhkan peternak untuk mengatur usaha menjadi profesional, belum banyak diberikan pada saat penyuluhan. Di KPBS Pangalengan, penyuluhan diatur oleh Bidang Penyuluhan. Setiap pengurus/pegawai koperasi dapat memberikan penyuluhan sesuai dengan bidang kerjanya. Materi penyuluhan tentang teknik budidaya disampaikan oleh pengurus TPK. Untuk masalah kebijakan koperasi disampaikan oleh pengurus koperasi. Dalam hal pendidikan, terlihat bahwa koperasi memiliki SDM yang kurang memadai. Sebagai contoh pada akhir tahun 2006, KPBS Pangalengan, Kabupaten Bandung memiliki 305 orang karyawan, dengan latar belakang pendidikan: 14 orang berpendidikan sarjana, 5 orang berpendidikan Diploma, 140 orang berpendidikan SLTA, dan 32 orang berpendidikan SLTP dan SD. Koperasi belum me-

239 lakukan kualifikasi kompetensi seorang yang dapat diberi tugas sebagai penyuluh. Kelembagaan penyuluhan berhasil apabila memiliki tenaga-tenaga yang profesional dalam bidangnya. Upaya mengatasi hal ini melalui kerjasama secara terprogram dengan instansi-instansi yang berkompeten untuk mengembangkan SDM yang dimiliki melalui pengadaan Diklat dan pelatihan atau pengiriman pegawai yang berprestasi untuk melanjutkan pendidikan. Kebijakan pemerintah tidak berpengaruh nyata terhadap produktivitas peternak di Kabupaten Bandung. Hal ini disebabkan kebijakan pemerintah menaikkan harga susu dan kepastian pemasaran susu belum mampu meningkatkan produktivitas peternak sapi perah karena kebijakan pemerintah menaikkan harga susu bukan upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan peternak tetapi karena naiknya harga susu dunia. Kenaikan harga susu diikuti dengan meningkatnya harga konsentrat menyebabkan peternak belum merasakan dampak kenaikan harga susu. Keadaan ini menyebabkan peternak belum termotivasi mengembangkan peternakan sapi perah untuk memperoleh produktivitas peternak yang tinggi. Kebijakan pemerintah daerah yang membangun kerja sama dengan Perum Perhutani dan P.T. Teh Sosro dalam bentuk penyewaan lahan untuk menanam rumput menjadikan peternak mendapat tambahan lahan untuk menanam rumput. Semakin banyak lahan yang tersedia untuk menanam rumput maka memudahkan peternak untuk mendapatkan pakan hijauan. Namun, membaiknya sarana dan prasarana yang diberikan oleh pemerintah dibarengi dengan meningkatnya harga pakan konsentrat, sehingga kebijakan tersebut belum mampu meningkatkan produktivitas peternak. Peternak masih enggan menambah jumlah sapi perahnya karena biaya pakan konsentrat yang sangat memberatkan peternak. Penyuluhan yang dilaksanakan oleh koperasi yang menitikberatkan pada aspek teknik menyebabkan kemampuan bermitra dan memanfaatkan peluang usaha belum terbangun. Limbah atau kotoran ternak sapi sebenarnya dapat diolah menjadi produk yang memiliki nilai jual, seperti dibuat kompos, bio gas, dan bio arang, tetapi karena peternak tidak mengetahui pasar yang harus dituju menyebabkan peternak enggan untuk membuat kompos untuk dijual.

Pemanfaatan

kotoran atau limbah sapi sebatas untuk memupuk tanaman pertanian milik sendiri.

240 Pemanfaatan limbah untuk bio gas mengalami kendala yaitu karena mahalnya harga alat-alat yang dibutuhkan untuk membuat bio gas. Produktivitas peternak sapi perah di Kabupaten Bandung dalam hal menghasilkan susu yang cukup baik ini, sejak enam tahun terakhir mengalami kemunduran dengan berdirinya proyek Pembangkit Tenaga Listrik dengan memanfaatkan panas bumi (geothermal) di Cipanas (Tahun 2002). Keberadaan proyek tersebut banyak dikeluhkan masyarakat peternak karena menyebabkan keringnya sumber mata air di beberapa desa di sekitar proyek seperti daerah Cipanas, Gunung Cupu dan Wates, padahal usaha peternakan sapi perah sangat memerlukan air. Berdasarkan catatan di KPBS terdapat penurunan produksi susu sebesar 5,75 persen pada tahun 2006 dibandingkan produksi susu tahun 2005. Penurunan ini dimungkinkan juga karena kemarau yang lebih lama pada tahun 2006. Geothermal terbentuk karena panas bumi. Panas yang berasal dari dalam bumi dihasilkan dari reaksi peluruhan unsur-unsur radioaktif seperti uranium dan potassium. Reaksi ini menghasilkan panas hingga jutaan derajat celcius. Pada kedalaman 10.000 meter atau 33.000 feet, energi panas yang dihasilkan dapat mencapai 50.000 kali dari jumlah energi seluruh cadangan minyak bumi dan gas alam yang masih tersimpan di dunia (Siahaan, 2007:1-3). Dampak negatif yang ditimbulkan proyek panas bumi yang sangat merugikan kehidupan masyarakat, adalah menurunnya potensi air tanah, mata air serta menurunnya keanekaragaman jenis flora. Selain itu, adanya proyek ini menumbuhkan keengganan pemuda yang berpendidikan SLTP dan SLTA melanjutkan usaha sapi perah yang dirintis orang tuanya karena adanya peluang kerja lain. Hal yang menguntungkan dari proyek geothermal ini adalah penyediaan energi listrik, tersedianya lapangan pekerjaan dan meningkatkan pendapatan asli daerah. Proyek geothermal ini juga menyebabkan dibuatnya prasarana jalan raya dan telekomunikasi yang semakin baik. Keadaan ini memudahkan peternak untuk mengangkut hijauan dari lahan hijauan yang lokasinya sekitar 2-5 Km dari tempat tinggal peternak. Di sisi lain, membaiknya prasarana jalan raya menyebabkan peternak-peternak muda beralih profesi sebagai penyedia jasa ojeg. Hal ini karena

241 anggapan bahwa pendapatan sebagai peternak sapi perah tidak sesuai dengan curahan jam kerja yang dibutuhkan. Pengaruh lingkungan usaha terhadap produktivitas peternak sapi perah di Kabupaten Bandung dirumuskan dalam Hipotesis 4 penelitian ini, yaitu: “Lingkungan usaha berpengaruh nyata terhadap produktivitas peternak sapi perah.” Hipotesis 4 ini diuji dengan model statistik Analisis Jalur (Path analysis). Hipotesis tersebut ternyata tidak terbukti karena dari lima lingkungan usaha (sarana, prasarana, informasi; kelembagaan peternak; kelembagaan sosial; kelembagaan penyuluhan; dan kebijakan pemerintah) yang diajukan, faktor sarana, prasarana, informasi dan kelembagaan penyuluhan yang mempunyai pengaruh nyata terhadap produktivitas peternak sapi perah di Kabupaten Bandung. Gambaran selengkapnya pengaruh peubah yang diteliti terlihat pada Gambar 12. Produktivitas peternak di Kabupaten Bandung secara langsung dan positif dipengaruhi oleh ketersediaan sarana, prasaran, informasi, dan kelembagaan penyuluhan. Produktivitas peternak di Kabupaten Bandung terbangun apabila tersedia sarana dan prasarana yang mudah diperoleh dan sesuai dengan kebutuhan peternak untuk dapat mengaplikasikan informasi/inovasi yang diperoleh didukung pula oleh kelembagaan penyuluhan yang profesional. ε = 0,057 Sarana prasarana, informasi

0,630**

Produktivitas peternak (Y2)

0,050

Kebijakan pemerintah

0,061 0,003 Kelembagaan peternak

Kelembagaan sosial

0,289** Kelembagaan penyuluhan

Gambar 12. Lingkungan Usaha yang Mempengaruhi Produktivitas Peternak di Kabupaten Bandung Pada Tabel 28 memperlihatkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,943; artinya, produktivitas peternak di Kabupaten Bandung, sebesar 94 persen

242 dipengaruhi oleh sarana, prasarana, informasi, dan kelembagaan penyuluhan. Konstanta sebesar – 0,100 menunjukkan bahwa tanpa pengaruh sarana, prasarana, informasi dan kelembagaan penyuluhan maka produktivitas peternak menunjukkan kecenderungan negatif. Selanjutnya dituliskan model regresi faktor-faktor lingkungan usaha yang mempengaruhi produktivitas peternak sapi perah di Kabupaten Bandung, yaitu: Y2 = - 0,100 + 0,636 X21 + 0,343 X24

Pengaruh Kompetensi Kewirausahaan terhadap Produktivitas Peternak Sapi Perah Faktor selanjutnya yang diduga berhubungan dengan produktivitas adalah kompetensi kewirausahaan. Kompetensi kewirausahaan peternak di Kabupaten Pasuruan dan Bandung berhubungan sangat nyata dengan produktivitas peternak. Selanjutnya dilakukan analisis regresi, ternyata selain berhubungan sangat nyata, kompetensi kewirausahaan berpengaruh sangat nyata terhadap produktivitas peternak di Kabupaten Pasuruan dan Bandung. Hal ini sesuai dengan pendapat Balai Pengembangan Produktivitas (Sedarmayanti, 2001:72) yang menyatakan bahwa produktivitas tenaga kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor dan salah satunya adalah kewirausahaan yang tercermin dalam kreativitas dalam berusaha. Produktivitas menggambarkan sejauh mana peternak mampu mencapai sasaran atau tujuan usaha dengan cara mengelola sumberdaya yang ada secara tepat. Pengaruh kompetensi kewirausahaan terhadap produktivitas peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan dan Bandung dirumuskan dalam Hipotesis 5 penelitian ini, yaitu: “ Kompetensi kewirausahaan berpengaruh nyata terhadap produktivitas peternak sapi perah.” Hipotesis 5 ini diuji dengan model statistik Analisis Jalur (Path analysis). Hipotesis tersebut ternyata terbukti bahwa kompetensi kewirausahaan mempunyai pengaruh nyata terhadap produktivitas peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung. Gambaran selengkapnya pengaruh kompetensi kewirausahaan terhadap produktivitas peternak terlihat pada Gambar 14. Berdasarkan Gambar 14 dan hasil Analisis Jalur yang telah dilakukan diketahui bahwa produktivitas peternak di

243 Kabupaten Pasuruan secara langsung dan positif dipengaruhi oleh kompetensi kewirausahaan peternak dengan koefisien jalur sebesar 0,579. Berdasarkan analisis regresi yang telah dilakukan maka diperoleh koefisien determinasi (R2) sebesar 0,336 artinya produktivitas peternak di Kabupaten Pasuruan, sebesar 34 persen dipengaruhi oleh kompetensi kewirausahaan peternak. Konstanta sebesar – 0,019 menunjukkan bahwa tanpa kompetensi kewirausahaan peternak maka produktivitas peternak menunjukkan kecenderungan negatif. Untuk menghasilkan produktivitas peternak sapi perah dibutuhkan sejumlah kompetensi kewirausahaan yang dimiliki peternak sapi perah. Selanjutnya dituliskan model regresi pengaruh faktor kompetensi kewirausahan terhadap produktivitas peternak di Kabupaten Pasuruan, yaitu: Y2 = - 0,019 + 0,900 Y1 Kompetensi kewirausahaan (Y1)

0,579**

Produktivitas peternak (Y2) ε = 0,664

Gambar 13. Pengaruh Kompetensi Kewirausahaan terhadap Produktivitas Peternak di Kabupaten Pasuruan Gambaran selengkapnya hubungan antara kompetensi kewirausahaan dengan produktivitas peternak terlihat pada Gambar 14. Berdasarkan Gambar 14 dan hasil Analisis Jalur yang telah dilakukan diketahui bahwa produktivitas peternak di Kabupaten Bandung secara langsung dan positif dipengaruhi oleh kompetensi kewirausahaan peternak dengan koefisien lintas sebesar 0,777. Kompetensi kewirausahaan (Y1)

0,777**

Produktivitas peternak (Y2) ε = 0,397

Gambar 14. Pengaruh Kompetensi Kewirausahaan terhadap Produktivitas Peternak di Kabupaten Bandung Berdasarkan analisis regresi yang telah dilakukan maka diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,603 artinya produktivitas peternak di Kabupaten Bandung, sebesar 60 persen dipengaruhi oleh kompetensi kewirausahaan pe-

244 ternak. Konstanta sebesar 0,158 menunjukkan bahwa tanpa kompetensi kewirausahaan yang dimiliki peternak maka produktivitas peternak telah menunjukkan kecenderungan positif.

Selanjutnya dituliskan model regresi pengaruh faktor

kompetensi kewirausahan terhadap produktivitas peternak di Kabupaten Bandung, sebagai berikut: Y2 = 0,158 + 0,798Y1

Pengaruh Karakteristik, Lingkungan Usaha, dan Kompetensi Kewirausahaan terhadap Produktivitas Peternak Sapi Perah Arah dan besar pengaruh karakteristik, lingkungan usaha, dan kompetensi kewirausahan terhadap produktivitas peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan divisualisasikan pada Gambar 15. Produktivitas peternak di Kabupaten Pasuruan dipengaruhi secara langsung oleh karakteristik peternak yaitu: kemampuan peternak mengakses informasi; dipengaruhi oleh lingkungan usaha yaitu: ketersediaan sarana, prasarana, informasi, kelembagaan peternak, dan kelembagaan penyuluhan, serta kompetensi kewirausahaan peternak. Produktivitas peternak dipengaruhi secara tidak langsung oleh karakteristik peternak yaitu: kemampuan peternak mengakses informasi; dipengaruhi oleh lingkungan usaha yaitu: kelembagaan penyuluhan melalui kompetensi kewirausahaan peternak.

245

Motivasi

0,024

0,649**

Kemampuan akses info

0,354* Kompetensi Kewirausahaan

0,018 Sarana, prasarana, Informasi

0,112

0,132

Jumlah

0,093 0,579**

0,564**

0,686** 0,279** 0,088* Kelembagaan peternak

0,056

0,044

ternak

Kebijakan pemerintah

Produktivitas Peternak 0,032

Kelembagaan sosial

0,166* Kelembagaan penyuluhan

Gambar 15. Pengaruh Antar Peubah terhadap Produktivitas Peternak Sapi Perah di Kabupaten Pasuruan Secara konseptual arah dan besarnya pengaruh karakteristik, lingkungan usaha, dan kompetensi kewirausahan terhadap produktivitas peternak sapi perah di Kabupaten Bandung divisualisasikan pada Gambar 16. Produktivitas peternak di Kabupaten Bandung dipengaruhi secara langsung oleh karakteristik peternak yaitu: kemampuan peternak mengakses informasi dan motivasi peternak mengembangkan usaha sapi perah; dipengaruhi oleh lingkungan usaha yaitu: ketersediaan sarana, prasarana, informasi dan kelembagaan penyuluhan serta kompetensi kewirausahaan peternak. Produktivitas peternak dipengaruhi secara tidak langsung oleh karakteristik peternak yaitu: kemampuan peternak mengakses informasi dan motivasi peternak mengembangkan usaha sapi perah; dipengaruhi oleh lingkungan usaha yaitu: kelembagaan penyuluhan dan kebijakan pemerintah melalui kompetensi kewirausahaan peternak.

246

Motivasi Kemampuan akses info

0,524**

0,344**

Kompetensi Kewirausahaan

0,022 0,356**

0,114

0,190

0,777**

0,292**

0,319** Sarana, prasarana, 0.599 informasi

0,630**

Produktivitas Peternak

0,061

Kelembagaan peternak

0,050

Kebijakan 0,050 pemerintah 0,688**

0,289** 0,003

Kelembagaan penyuluhan

Kelembagaan sosial

Gambar 16. Pengaruh Antar Peubah terhadap Produktivitas Peternak Sapi Perah di Kabupaten Bandung Menumbuhkan Kompetensi Kewirausahaan dan Produktivitas Peternak Sapi Perah Kasus di Kabupaten Pasuruan Pendidikan rendah dan ketidaksesuaian jenis pendidikan dengan bidang usaha yang ditekuni saat ini menyebabkan peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan sangat memerlukan informasi untuk menjalankan usaha. Tanpa kemampuan mengakses informasi, maka ada kecenderungan kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan, negatif. Oleh karena itu, untuk menumbuhkan kompetensi peternak adalah memberikan akses yang seluas-luasnya kepada peternak sapi perah untuk berinteraksi dengan sumber-sumber informasi baik media massa ataupun individu.

247 Kemampuan berkomunikasi yang terbatas menyebabkan peternak lebih mampu berkomunikasi dengan orang-orang di dalam komunitasnya dibanding dengan orang-orang di luar komunitasnya. Oleh karena itu, peran penyuluh sebagai agen perubahan sangat diharapkan untuk mampu menjembatani peternak berinteraksi dengan sumber-sumber informasi di luar komunitasnya. Kompetensi kewirausahaan yang telah terbentuk memerlukan bimbingan penyuluh yang profesional yang berpihak pada kepentingan peternak sapi perah sehingga melahirkan produktivitas peternak yang tinggi. Kegiatan penyuluhan, selain menawarkan inovasi yang belum dikuasai peternak sapi perah seperti aspek manajerial, kemampuan recording, deteksi dan pengobatan penyakit secara sederhana, kemampuan memanfaatkan sumberdaya yang ada, dan kemampuan menghasilkan pedet setiap tahun, juga diarahkan untuk menciptakan kemandirian peternak dalam mengakses informasi dan mau mengadopsi inovasi serta melakukan diseminasi inovasi kepada sesama peternak sapi perah. Mengingat modal yang terbatas yang dimiliki peternak maka uji coba inovasi dapat dilakukan di lingkungan kelompok.

Semakin berkembang kompetensi kewirausahaan

peternak menyebabkan produktivitas ternak yang dipelihara semakin meningkat juga kreativitas dan keinovatifan peternak dalam memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki atau yang ada disekitar peternak, semakin baik.

Kasus di Kabupaten Bandung Di Kabupaten Bandung, tersedia banyak limbah pertanian yang dapat digunakan untuk pakan hijauan. ternak. Selain itu, biaya hidup cukup tinggi. Hal tersebut memotivasi peternak untuk mengembangkan usaha sapi perah. Motivasi yang telah terbentuk, memerlukan informasi-informasi sebagai bahan belajar untuk meningkatkan kompetensi kewirausahaan. Oleh karena itu, peternak sangat memerlukan dukungan sarana, prasarana, dan informasi yang sesuai dengan kebutuhan peternak. Pendidikan rendah dan ketidaksesuaian jenis pendidikan dengan bidang usaha yang ditekuni saat ini menyebabkan peternak sapi perah di Kabupaten

248 Bandung sangat memerlukan penyuluh sebagai sumber informasi. Penyuluh yang profesional yang tidak sekedar memberikan informasi tentang aspek teknik budidaya sapi perah tetapi penyuluh yang mampu mendorong peternak berani menjalankan usaha sapi perah secara profesional dengan menguasai aspek manajerial dan pemanfaatan sumberdaya secara efisien. Kebijakan pemerintah yang memperhatikan kepentingan peternakan sapi perah dalam setiap keputusannya merupakan penghargaaan bagi peternak yang mampu menumbuhkan kebanggaan dan memotivasi peternak untuk mengembangkan usahanya. Penghargaan tersebut mengukuhkan bahwa pekerjaan sebagai peternak merupakan pekerjaan mulia yang mampu memberi sumbangan produk pangan bagi masyarakat Indonesia. Strategi Meningkatkan Kompetensi Kewirausahaan dan Produktivitas Peternak Sapi Perah Menurut Glueck (1998:6), strategi adalah satu kesatuan rencana yang komprehensif dan terpadu yang menghubungkan kekuatan strategi organisasi dengan lingkungan yang dihadapinya, kesemuanya menjamin agar tujuan organisasi tercapai. Perumusan strategi untuk meningkatkan kompetensi kewirausahaan dan produktivitas peternak sapi perah bertujuan untuk menyederhanakan faktor-faktor yang secara konseptual berpengaruh terhadap kewirausahaan kewirausahaan dan produktivitas peternak sehingga mampu menjelaskan keadaan suatu sistem. Selanjutnya model dan bentuk yang dihasilkan dapat diaplikasikan ataupun memberi sumbangan bagi perkembangan ilmu. Faktor-faktor yang menurut teori dan logika berpengaruh terhadap kompetensi kewirausahaan dan produktivitas dianalisis menggunakan Analisis Jalur (path analysis) berdasarkan data empirik yang dikumpulkan dari lapangan berdasarkan wawancara, pengamatan dan pengamatan mendalam. Analisis Jalur digunakan untuk melihat pengaruh langsung dan tidak langsung ataupun pengaruh bersama-sama serta pengaruh di luar model untuk setiap faktor yang diduga mempengaruhi sebuah peubah.

249 Berdasarkan hasil Analisis Jalur yang tersaji pada Tabel 29, selanjutnya dilakukan proses dekomposisi korelasi antar peubah bebas dengan peubah terikat dengan tujuan untuk menemukan besarnya pengaruh langsung dan tidak langsung. Berdasarkan besarnya pengaruh langsung dan tidak langsung maka dilakukan interpretasi data yang diperoleh. Pengaruh langsung dan tidak langsung faktorfaktor yang berpengaruh terhadap produktivitas peternak disajikan pada Tabel 29. Tabel 29. Hubungan Langsung dan Tidak Langsung Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Produktivitas Peternak Sapi Perah Total Pengaruh Nilai % Kabupaten Pasuruan - Jumlah ternak yang dipelihara - Kemampuan mengakses informasi

-

Motivasi Sarana, prasarana, informasi Kelembagaan peternak Kelembagaan sosial Kelembagaan penyuluhan Kebijakan pemerintah Kompetensi Kewirausahaan

Pengaruh Langsung Nilai %

Pengaruh Tidak Langsung

Nilai

%

0,044 0,655 0,578 0,762 0,098 0,097 0,371 0,110 0,579

100 100 100 100 100 100 100 100 100

0,044 0,279 0,564 0,686 0,088 0,032 0,166 0,056 0,579

100,00 42,60 97,58 90,03 89,80 32,99 44,74 50,91 100,00

0,376 0,014 0,076 0,010 0,065 0,205 0,054 -

57,40 02,42 09,97 10,20 67,01 45,26 49,09 -

0,726 0,955 0,778 0,150 0,020 0,566 0,277 0,777

100 100 100 100 100 100 100 100

0,319 0,688 0,630 0,061 0,003 0,289 0,050 0,777

43,94 72,04 80,98 40,67 15,00 50,06 18,15 100,00

0,407 0,267 0,148 0,089 0,017 0,277 0,227 -

56,06 27,96 19,02 59,23 85,00 49,94 81,85 -

Kabupaten Bandung - Kemampuan mengakses informasi

-

Motivasi Sarana, prasarana, informasi Kelembagaan peternak Kelembagaan sosial Kelembagaan penyuluhan Kebijakan pemerintah Kompetensi Kewirausahaan

Kasus di Kabupaten Pasuruan Berdasarkan Tabel 29 terlihat bahwa jumlah ternak sapi perah yang dipelihara mempunyai pengaruh langsung sebesar 0,044 terhadap produktivitas. Koefisisen yang kecil tersebut menunjukkan bahwa sumbangan jumlah ternak yang dipelihara peternak terhadap tumbuhnya produktivitas peternak, sangat kecil. Hal

250 ini disebabkan usaha sapi perah yang masih bersifat subsisten. Upaya yang dapat dilakukan adalah memberikan informasi tentang keuntungan-keuntungan membudidayakan ternak sapi perah dan mendampingi peternak saat melakukan adopsi inovasi.

Keterbatasan tenaga penyuluh menyebabkan pendampingan belum

terlaksana. Oleh karena itu, pemanfaatan peternak-peternak yang berkompeten sebagai tenaga pendamping kepada peternak-peternak yang belum berhasil, merupakan solusi yang dapat dilaksanakan. Kemampuan peternak mengakses informasi mempunyai pengaruh langsung sebesar 0,279 terhadap produktivitas peternak dan pengaruh tidak langsung sebesar 0,376 melalui kompetensi kewirausahaan.

Hal tersebut memiliki arti

bahwa informasi yang diperoleh lebih efektif apabila terlebih dahulu dipahami sebagai pengetahuan yang kemudian digunakan sebagai dasar untuk mengubah sifat dan menambah keterampilan untuk menghasilkan produktivitas peternak yang lebih baik. Kompetensi kewirausahaan peternak semakin membaik apabila didukung oleh informasi yang relevan dengan kebutuhan peternak dan akurat. Informasi dan praktek tentang manajerial yang mencakup kemampuan merencanakan, mengevaluasi usaha, dan mengkoordinasikan tugas-tugas yang menjadi tanggung jawab peternak, serta kemampuan memanfaatkan peluang usaha dan menghadapi kendala usaha merupakan materi-materi yang sangat diperlukan peternak untuk meningkatkan kompetensi kewirausahaan. Sedangkan informasi tentang teknik budidaya yang telah dikuasai peternak juga perlu dikembangkan melalui diskusi-diskusi dengan sesama peternak, kegiatan anjangsana dan anjang karya ke peternak yang berhasil agar terjadi tukar informasi sesama peternak. Semakin baik kompetensi kewirausahaan yang dimiliki peternak menyebabkan peternak mampu melahirkan ide-ide kreatif untuk menghasilkan produktivitas peternak yang semakin membaik. Motivasi peternak mengembangkan usaha ternak sapi perah berpengaruh langsung terhadap produktivitas sebesar 0,564 dan mempengaruhi secara tidak langsung sebesar 0,014 melalui kompetensi kewirausahaan. Berdasarkan besarnya pengaruh langsung dan tidak langsung faktor motivasi terhadap produktivitas peternak maka dapat dilihat bahwa orientasi peternak mengembangkan usaha sapi

251 perah adalah untuk menghasilkan produk susu yang kemudian dijual ke koperasi untuk mendapatkan uang. Produktivitas tidak dihasilkan dari ide-ide kreatif peternak tetapi dari penanaman modal yang besar. Peternak belum termotivasi untuk belajar mengembangkan kompetensi kewirausahaan untuk menghasilkan produktivitas peternak yang tinggi ataupun memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki secara efisien. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan motivasi peternak sapi perah adalah menumbuhkan motivasi peternak untuk mengembangkan usaha sapi perah melalui kegiatan penyuluhan yang lebih berorientasi untuk mengembangkan kreativitas peternak dalam memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki ataupun yang ada di sekitarnya secara efisien. Selain susu, sapi perah juga menghasilkan pedet dan kotoran yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Peternak perlu belajar bagaimana agar mendapatkan pedet setiap tahun, bagaimana memberi nilai tambah pada produk susu sehingga memiliki nilai jual yang lebih tinggi, bagaimana cara menghemat biaya pakan, serta memanfaatkan kotoran sapi menjadi produk yang memiliki nilai ekonomis. Proses belajar yang dilakukan peternak menghasilkan kompetensi kewirausahaan dalam diri peternak yang mampu melihat peluang usaha. Sarana, prasarana, dan informasi berpengaruh langsung terhadap produktivitas peternak sebesar 0,686 dan berpengaruh secara tidak langsung sebesar 0,076 melalui kompetensi kewirausahaan. Hal ini berarti bahwa sarana, prasarana, dan informasi yang ada lebih banyak dimanfaatkan peternak untuk menghasilkan produk sapi perah dibandingkan memberi nilai tambah atau mengembangkan kreativitas untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada. Sarana. prasarana, dan informasi belum dijadikan sebagai sarana untuk belajar mengembangkan kompetensi kewirausahaan peternak. Upaya untuk mengatasi hal tersebut adalah mendorong peternak untuk secara mandiri mencari informasi melalui pertemuanpertemuan antar peternak baik tingkat kecamatan, kabupaten, propinsi, ataupun nasional difasilitasi oleh pihak koperasi, ataupun dengan mengikuti pelatihan. Selanjutnya peternak perlu didorong untuk mengaplikasikan inovasi-inovasi yang diperoleh dalam kegiatan kelompok. Uji coba yang dilakukan dalam kelompok

252 diharapkan mempercepat proses difusi dan adopsi inovasi sehingga kompetensi peternak semakin berkembang.. Selama ini, ada kecenderungan bahwa sumber informasi peternak adalah individu. Media massa belum banyak dimanfaatkan peternak sebagai rujukan apabila menghadapi masalah usaha. Upaya yang dapat dilakukan adalah membelajarkan kepada peternak untuk memanfaatkan media massa. Pemerintah perlu memberikan pelayanan informasi kepada peternak tentang pesan-pesan yang dibutuhkannya dengan bahasa-bahasa yang mudah dipahami peternak. Kebijakan ini sekaligus untuk mengatasi keterbatasan tenaga penyuluh. Kelembagaan peternak (kelompok dan koperasi peternakan sapi perah) berpengaruh langsung terhadap produktivitas peternak sebesar 0,088 dan secara tidak langsung sebesar 0,010 melalui kompetensi kewirausahaan.

Pengaruh

langsung dan tidak langsung dari kelembagaan peternak terhadap produktivitas sangat kecil, hal ini disebabkan oleh kurangnya dukungan kelembagaan peternak terhadap berkembangnya kompetensi kewirausahaan dan produktivitas peternak. Kelompok peternak dibentuk oleh koperasi dengan tujuan untuk memudahkan koordinasi dalam pemasaran susu dan pelayanan sarana produksi. Koperasi dibentuk oleh pemerintah dengan salah satu tugasnya adalah memberikan bantuan kredit sapi kepada peternak. Pembentukan yang bersifat top down pada kelompok maupun koperasi menyebabkan fungsi lembaga peternak tersebut tidak optimal. Kelompok dan koperasi belum merupakan lembaga peternak yang berfungsi sebagai wadah bagi peternak untuk belajar berorganisasi, berdiskusi untuk mengembangkan kompetensi diri. Upaya untuk mengubah keadaan ini adalah dengan penguatan kelompok peternak. Di masa yang akan datang, kelompok peternak dibentuk oleh peternak dengan jumlah anggota maksimal sebanyak 20 orang. Pembentukan kelompok disesuaikan dengan letak TPS/TPK untuk memudahkan koordinasi dalam hal pemasaran produk maupun pelayanan koperasi. Pembentukan kelompok yang berdekatan domisilinya diharapkan mampu mengefektifkan proses interaksi anggota kelompok sehingga terbentuk jaringan sosial. Terbentuknya jaringan sosial dapat digunakan sebagai upaya pendampingan terhadap peternak-peternak

253 yang belum mampu dalam mengaplikasikan teknologi baru. Selain itu, kelompok perlu digiatkan untuk mengadakan pertemuan secara rutin untuk membahas kendala-kendala usaha ataupun masalah-masalah dalam menjalankan usaha dan pemupukan modal bersama. Salah satu kegiatan yang dapat dilaksanakan oleh kelompok adalah penggalangan modal dengan cara arisan untuk peremajaan ternak ataupun perbaikan kandang. Selama ini, peran koperasi selain sebagai lembaga peternak, juga berperan sebagai lembaga penyuluhan, dan lembaga ekonomi. Peran sebagai lembaga peternak mengharuskan koperasi berpihak kepada kepentingan peternak. Peran sebagai lembaga penyuluhan menuntut koperasi sebagai perpanjangan tangan pemerintah untuk menyampaikan program-program pemerintah yang tidak jarang bertentangan dengan kepentingan peternak. Peran koperasi sebagai lembaga ekonomi menyebabkan koperasi berupaya mendapatkan keuntungan. Peran yang banyak ini menyebabkan koperasi belum mampu meningkatkan produktivitas peternak yang berbasis kompetensi peternak. Upaya yang dapat dilakukan adalah mengoptimalkan peran koperasi untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Sebagai badan usaha, koperasi dapat terus dijalankan tetapi pengembangan usaha yang dilakukan koperasi hendaknya mendukung kegiatan usaha sapi perah anggotanya. Sebagai contoh koperasi memberi bantuan kepada kelompok alat untuk membuat produk-produk olahan yang berbahan dasar susu seperti, karamel susu, dodol susu, kerupuk susu, es krim, es putar, yoghurt, atau susu kental manis. Selanjutnya produk-produk ini dipasarkan oleh pihak koperasi. Hal ini merupakan rintisan untuk membentuk Usaha Kecil Menengah (UKM). Fungsi penyuluhan yang diemban oleh koperasi dapat terus dijalankan tetapi tetap di bawah tanggung jawab Dinas Peternakan setempat. Dinas Peternakan bertanggung jawab terhadap kompetensi dan pelaksanaan penyuluhan yang dilaksanakan oleh penyuluh koperasi. Di samping itu, Dinas Peternakan tetap melakukan penyuluhan dengan materi yang saling melengkapi dengan materi yang disampaikan oleh penyuluh koperasi, untuk membentuk peternak produktif dan mandiri.

254 Mengingat pengetahuan dan teknologi senantiasa berkembang, maka koperasi perlu mengembangkan SDM yang dimilikinya (pengurus, karyawan, atau anggota koperasi) secara terjadual dan berkelanjutan. Pengembangan SDM dapat dilakukan dengan mengalokasikan dana untuk pengembangan SDM dari SHU yang diperoleh koperasi.

Pengembangan SDM dapat berupa melaksanakan

pelatihan, magang, karya wisata, anjang karya, dan membuka akses kepada sumber-sumber informasi yang berkompeten. Upaya pengembangan SDM dapat juga dilakukan dengan memberi beasiswa pendidikan bagi anak-anak peternak yang berprestasi tetapi tidak mempunyai biaya untuk melanjutkan sekolah. Pemilihan sekolah disesuaikan dengan kebutuhan koperasi. Selanjutnya setelah selesai, anak peternak tersebut ditempatkan sebagai tenaga kerja di koperasi. Dengan kebijakan seperti ini diharapkan kinerja koperasi semakin baik karena dikelola oleh anggota keluarga peternak yang berpendidikan. Kelembagaan sosial berpengaruh langsung terhadap produktivitas peternak sebesar 0,032 dan berpengaruh secara tidak langsung sebesar 0,065 melalui kompetensi kewirausahaan peternak. Kecilnya nilai pengaruh langsung dan tidak langsung kelembagaan sosial terhadap produktivitas peternak disebabkan oleh nilai-nilai dalam masyarakat Pasuruan yang masih menganggap bahwa usaha peternakan merupakan matapencaharian, maka peternak kurang termotivasi untuk belajar mengembangkan kompetensi kewirausahaan untuk mendapatkan produktivitas kerja yang tinggi. Sifat yang lain adalah cepat puas terhadap hasil kerjanya, ”nrimo”, dan kurang memperhatikan mutu, sifat-sifat tersebut merupakan sifat yang menghambat tumbuhnya kompetensi kewirausahaan. Upaya yang diharapkan dapat mengubah pandangan masyarakat adalah melakukan transformasi sosial melalui pendekatan kepada pemimpin informal yang menekankan pentingnya menjaga mutu, memiliki etos kerja yang tinggi, dan disiplin. Menghasilkan produk bermutu merupakan motto yang harus disosialisasikan kepada masyarakat peternakan sapi perah Indonesia. Ditumbuhkan rasa malu bila menghasilkan produk yang kurang bermutu. Mengubah pandangan ini dapat dimulai dengan memberikan penghargaan bagi peternak yang berhasil untuk mengikuti seminar, pelatihan, ataupun magang

255 di perusahaan sapi perah sehingga mampu menumbuhkan kebanggaan dalam diri peternak atas prestasi yang dicapai. Kebanggaan sebagai peternak sapi perah memotivasi peternak untuk senantiasa belajar dan mencoba hal-hal baru. Penghargaan selanjutnya adalah dengan memberikan kesempatan kepada peternak berprestasi untuk menceritakan pengalamannya saat pelaksanaan penyuluhan. Peternak-peternak berhasil ini selanjutnya dapat dijadikan penyuluh swadaya yang bertugas membantu penyuluh ”menemani” peternak lainnya dalam mengelola usaha ternak sapinya. Kelembagaan penyuluhan berpengaruh langsung terhadap produktivitas peternak sebesar 0,166 dan berpengaruh secara tidak langsung sebesar 0,205 melalui kompetensi kewirausahaan peternak. Koefisien-koefisien tersebut menunjukkan bahwa penyuluhan lebih menekankan kepada berkembangnya kompetensi kewirausahaan peternak untuk mencapai produktivitas peternak. Dari segi teknis, penyuluhan telah berhasil meningkatkan kompetensi peternak, tetapi dari segi manajerial masih perlu kerja keras untuk membentuk peternak yang memiliki jiwa wirausaha. Upaya yang perlu dilakukan adalah menawarkan materi-materi tentang manajemen usaha dilengkapi dengan praktek atau memberikan akses kepada peternak untuk berhubungan dengan pengusaha-pengusaha yang telah berhasil. Materi lain yang perlu diberikan kepada peternak sapi perah adalah masalah recording. Faktor ketidaktelatenan peternak dalam mencatat peristiwa yang berkaitan dengan ternak sapi perahnya memberikan kontribusi pada belum optimalnya produktivitas ternak. Inbreeding dapat terjadi disebabkan tidak adanya catatan riwayat ternak. Proses ”distokia” (kesulitan melahirkan) juga dapat terjadi apabila perkawinan ternak kurang memperhatikan bangsa sapi perah yang di IB dengan semen yang dipakai untuk IB. Recording ternak sangat diperlukan untuk seleksi ternak. Upaya yang dapat dilakukan pemerintah ataupun koperasi agar peternak melakukan recording terhadap prestasi sapi perahnya adalah menyediakan kartu catatan bagi setiap pedet yang dilahirkan, diberikan kepada peternak bersamaan dengan saat pemberian ear tag pada pedet. Catatan ini dijadikan sebagai jaminan pada saat penjualan ternak. Informasi ini perlu disosialisasikan kepada peternak

256 sehingga mampu meningkatkan keterampilan peternak dalam membudidayakan ternaknya. Kebijakan pemerintah berpengaruh langsung terhadap produktivitas peternak sebesar 0,056 dan berpengaruh secara tidak langsung sebesar 0,054 melalui kompetensi kewirausahaan peternak. Kecilnya koefisien pengaruh langsung dan tidak langsung dari kebijakan pemerintah terhadap produktivitas peternak karena kebijakan pemerintah selama ini dirasakan oleh peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan belum mendukung tumbuhnya kompetensi kewirausahaan dalam diri peternak maupun produktivitas peternak. Naiknya harga susu yang dibarengi dengan naiknya harga pakan konsentrat menyebabkan peternak masih berkutat untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sehingga tidak ada waktu untuk belajar dan melahirkan atau menerapkan inovasi.

Upaya yang dapat dilakukan untuk

mengatasi hal ini adalah pemerintah melakukan promosi minum susu segar kepada masyarakat Indonesia sehingga memacu peternak untuk menghasilkan susu yang berkualitas. Penjualan susu langsung ke konsumen menyebabkan harga susu lebih tinggi dibandingkan dengan harga yang ditetapkan IPS. Harga yang lebih baik diharapkan mampu lebih memotivasi peternak untuk mengembangkan usaha sapi perah. Kompetensi kewirausahaan peternak berpengaruh langsung terhadap produktivitas peternak sebesar 0,579. Peternak yang memiliki kompetensi kewirausahaan mampu menghasilkan produktivitas peternak yang baik. Produktivitas peternak di Kabupaten Pasuruan terbentuk bila penyediaan sarana, prasarana, dan informasi sesuai dengan kebutuhan peternak dan mudah diakses peternak.

Selain itu, perlu mendorong peternak untuk meningkatkan

kemampuan dalam mengakses informasi. Semakin banyak informasi yang diperoleh peternak maka banyak pengetahuan dan wawasan menyebabkan peternak memiliki kompetensi kewirausahaan yang sangat dibutuhkan untuk mengelola usaha ternaknya. Peran sarana, prasarana, informasi sangat penting dalam meningkatkan kompetensi kewirausahaan maupun produktivitas peternak. Oleh karena itu, perlu dibangun Pusat informasi baik oleh pemerintah maupun swasta di Pasuruan yang

257 menyediakan informasi-informasi yang dibutuhkan dan mudah diakses peternak sapi perah, serta dukungan sarana, prasarana untuk memudahkan aplikasi informasi yang telah diperoleh peternak. Penyediaan Pusat Informasi diharapkan mampu menciptakan kemandirian peternak dalam mendapatkan informasi. Kasus di Kabupaten Bandung Kemampuan peternak mengakses informasi mempunyai pengaruh langsung sebesar 0,319 terhadap produktivitas peternak dan pengaruh tidak langsung sebesar 0,407 melalui kompetensi kewirausahaan. Hal tersebut memiliki arti bahwa informasi yang diperoleh peternak terlebih dahulu dipahami sebagai pengetahuan yang kemudian digunakan sebagai dasar untuk mengubah sifat dan menambah keterampilan untuk menghasilkan produktivitas peternak yang lebih baik. Menumbuhkembangkan kompetensi kewirausahaan peternak perlu didukung oleh informasi yang relevan dengan kebutuhan peternak. Informasi dan praktek tentang manajerial yang mencakup kemampuan merencanakan, mengevaluasi usaha, dan mengkoordinasikan tugas-tugas yang menjadi tanggung jawab peternak, serta kemampuan memanfaatkan peluang usaha dan menghadapi kendala usaha serta mengembangkan produktivitas peternak melalui diversifikasi usaha merupakan materi-materi yang sangat diperlukan peternak untuk meningkatkan kompetensi kewirausahaan. Informasi tentang teknik budidaya yang telah dikuasai peternak perlu dikembangkan melalui diskusi-diskusi dengan sesama peternak, kegiatan anjangsana dan anjang karya ke peternak yang berhasil agar terjadi tukar informasi sesama peternak. Motivasi peternak mengembangkan usaha ternak sapi perah berpengaruh langsung terhadap produktivitas sebesar 0,688 dan mempengaruhi secara tidak langsung sebesar 0,267 melalui kompetensi kewirausahaan. Koefisien pengaruh motivasi mengembangkan usaha sapi perah terhadap produktivitas lebih besar dibandingkan dengan pengaruh tidak langsung melalui kopetensi kewirausahaan. Hal ini menunjukkan bahwa motivasi peternak mengembangkan usaha sapi perah adalah untuk menghasilkan produk susu yang kemudian dijual ke koperasi untuk mendapatkan uang. Produktivitas peternak tidak dihasilkan dari ide-ide kreatif

258 peternak untuk mengoptimalkan sumberdaya yang dimiliki tetapi dari penanaman modal yang besar. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan motivasi peternak sapi perah melalui mengembangkan kompetensi kewirausahaan adalah dengan kegiatan pelatihan, anjang karya, atau magang kepada usaha peternakan sapi perah yang telah berhasil, bagi peternak yang berprestasi. Upaya ini diharapkan dapat mengembangkan kompetensi kewirausahaan untuk meraih produktivitas kerja yang tinggi. Kegiatan tersebut juga diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran peternak bahwa untuk menghasilkan produk yang maksimal tidak tidak harus dengan menanamkan modal besar tetapi melalui manajemen usaha yang baik dan melahirkan ide-ide kreatif mengoptimalkan sumberdaya yang ada. Sarana, prasarana, dan informasi berpengaruh langsung terhadap produktivitas peternak sebesar 0,630 dan berpengaruh secara tidak langsung sebesar 0,148 melalui kompetensi kewirausahaan. Hal ini berarti bahwa sarana, prasarana, dan informasi yang ada lebih banyak dimanfaatkan peternak untuk menghasilkan produk-produk sapi perah dibandingkan dengan untuk mengembangkan kompetensi kewirausahaan. Upaya untuk mengatasi hal tersebut adalah mendorong peternak untuk memanfaatkan informasi dari sumber-sumber informasi untuk mengembangkan kompetensi kewirausahaan melalui pelatihan dan diskusi-diskusi antar peternak. Selanjutnya peternak perlu didorong melakukan uji coba tentang inovasi-inovasi yang telah diperoleh dalam kelompoknya. Uji coba yang dilakukan dalam kelompok diharapkan mempercepat proses difusi dan adopsi inovasi. Kelembagaan peternak (kelompok dan koperasi peternakan sapi perah) berpengaruh secara langsung terhadap produktivitas peternak sebesar 0,061 dan secara tidak langsung sebesar 0,089 melalui kompetensi kewirausahaan. Nilai yang kecil pada pengaruh langsung maupun tidak langsung dari kelembagaan peternak kepada produktivitas peternak karena kurangnya dukungan kelembagaan peternak terhadap berkembangnya kompetensi kewirausahaan dan produktivitas peternak. Meskipun penyuluhan telah dilakukan tetapi adopsi inovasi tergantung dari individu peternak. Oleh karena itu, bagi peternak yang kurang inovatif perlu dilakukan pendampingan saat melakukan adopsi inovasi.

259 Peran kelompok selama ini adalah memudahkan koperasi dalam melakukan pelayanan, demikian juga dengan koperasi yang lebih berperan sebagai badan usaha yang berorientasi mencari keuntungan. Upaya untuk mengubah keadaan ini adalah melalui penguatan kelompok. Kelompok peternak dibentuk oleh peternak dengan jumlah anggota maksimal sebanyak 20 orang. Pembentukan kelompok disesuaikan dengan letak TPS/TPK untuk memudahkan koordinasi dalam hal pemasaran produk maupun pelayanan koperasi. Kelompok difungsikan sebagai wadah belajar dan melakukan penelitian-penelitian sederhana yang mengkaji pengetahuan-pengetahuan setempat yang dapat digunakan untuk mendukung usaha peternakan sapi perah. Kajiankajian terhadap pengetahuan masyarakat setempat diperlukan untuk menekan biaya produksi. Kelompok juga perlu dimanfaatkan untuk bargaining position peternak untuk membela apa yang menjadi halnya. Tugas koperasi sebagai lembaga peternakan adalah mendukung kegiatan kelompok. Koperasi memberi fasilitas untuk pengembangan kemampuan peternak. Penyuluh dari koperasi difungsikan sebagai mediator dan fasilitator apabila peternak melakukan kemitraan dengan pihak lain. Salah satu peran koperasi sebagai lembaga peternakan adalah sebagai perantara antara peternak sapi perah dengan IPS dalam hal penjualan susu. Melalui GKSI, perlu dilakukan pengkajian ulang tentang harga susu. Penetapan harga susu tidak ditentukan oleh IPS tetapi perlu dipertimbangkan biaya produksi yang dikeluarkan peternak. Susu merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri. Tempat penampungan susu kurang bersih dan proses pemerahan yang lama menyebabkan kualitas susu tidak optimal. Untuk mengatasi hal ini, maka perlu dipikirkan tentang bantuan kredit pengadaan mesin pemerah susu bagi kelompok. Diharapkan dengan menggunakan mesin pemerah susu maka kualitas susu dapat ditingkatkan. Kelembagaan sosial berpengaruh langsung terhadap produktivitas peternak sebesar 0,003 dan berpengaruh secara tidak langsung sebesar 0,017 melalui kompetensi kewirausahaan peternak. Kecilnya nilai pengaruh langsung dan tidak langsung kelembagaan sosial terhadap produktivitas peternak disebabkan oleh

260 nilai-nilai dalam masyarakat Bandung yang masih menganggap bahwa usaha peternakan merupakan pekerjaan kurang terhormat, karena bersentuhan dengan ternak. Upaya yang diharapkan dapat mengubah pandangan masyarakat adalah melakukan transformasi sosial melalui pendekatan kepada pemimpin informal yang menekankan penghargaan terhadap seseorang bukan dari jenis pekerjaan tetapi dari prestasi kerja. Bekerja dengan giat merupakan motto yang harus disosialisasikan kepada masyarakat. Mengubah pandangan ini dapat dimulai dengan memberikan penghargaan bagi peternak yang berhasil untuk mengikuti seminar, pelatihan, ataupun magang di perusahaan sapi perah sehingga mampu menumbuhkan kebanggaan dalam diri peternak atas prestasi yang dicapai. Kebanggaan sebagai peternak sapi perah memotivasi peternak untuk senantiasa belajar dan mencoba hal-hal baru. Penghargaan selanjutnya adalah dengan memberikan kesempatan kepada peternak berprestasi untuk menceritakan pengalamannya saat pelaksanaan penyuluhan. Peternak-peternak berhasil ini selanjutnya dapat dijadikan penyuluh swadaya yang bertugas membantu penyuluh ”menemani” peternak dalam mengelola usaha ternak sapinya. Upaya lain yang dapat dilakukan adalah melakukan penyuluhan kepada pemuda yang memiliki pendidikan SLTP dan SLTA sebagai calon peternak. Pelaksanaan penyuluhan untuk pemuda-pemuda perlu dilanjutkan dengan anjang karya atau magang di peternakan sapi perah yang berhasil, dengan tujuan memotivasi dan mengubah pandangan pemuda yang negatif tentang usaha peternakan sapi perah menjadi pandangan yang positif, bahwa usaha sapi perah juga suatu pekerjaan yang mampu menghasilkan pendapatan yang tidak sedikit. Setelah itu, pemuda-pemuda diberi kesempatan membentuk kelompok sendiri.

Kelompok-

kelompok yang telah terbentuk selanjutnya diberikan bantuan sapi perah sebagai wahana untuk mempraktekkan kompetensi yang dimiliki sekaligus sebagai latihan kerja bagi pemuda. Upaya mempromosikan susu yang dilakukan oleh Departemen Peranian perlu ditanggapi secara baik oleh masyarakat. Budaya minum susu perlu dimasyarakatkan, bahwa susu bukan makanan mahal tetapi makanan yang bergizi

261 yang sangat dibutuhkan manusia untuk membentuk manusia yang berkualitas. Penyadaran pentingnya minum susu dapat melalui PKK dan posyandu. Kelembagaan penyuluhan berpengaruh langsung terhadap produktivitas peternak sebesar 0,289 dan berpengaruh secara tidak langsung sebesar 0,277 melalui kompetensi kewirausahaan peternak. Koefisien-koefisien tersebut menunjukkan bahwa penyuluhan oleh KPBS Pangalengan lebih menekankan kepada produktivitas peternak dibandingkan dengan mengembangkan kompetensi kewirausahaan peternak. Hal ini menyebabkan peternak sapi perah di Kabupaten Bandung cenderung menghasilkan produk-produk dengan menanamkan modal yang besar. Upaya yang perlu dilakukan adalah menumbuhkan kesadaran dalam diri peternak tentang pentingkan kompetensi kewirausahaan dalam menjalankan usaha. Kompetensi kewirausaan peternak melahirkan kemampuan budidaya yang efisien biaya dan kemampuan memanaj usaha secara profesional. Pemanfaatan limbah pertanian yang tidak terbatas menyebabkan total solid susu yang dihasilkan kurang optimal. Upaya mengatasi hal ini yaitu dengan melaksanakan penyuluhan tentang batas pemberian limbah pertanian sehingga susu yang dihasilkan peternak tetap memilki kualitas yang baik. Pendampingan terhadap pembuatan pakan hijauan awetan juga perlu dilakukan, hal ini mengingat lahan yang dimiliki peternak relatif terbatas. Kebijakan pemerintah berpengaruh langsung terhadap produktivitas peternak sebesar 0,050 dan berpengaruh secara tidak langsung sebesar 0,227 melalui kompetensi kewirausahaan peternak. Kebijakan pemerintah menekankan pentingnya membangun kompetensi kewirausahaan bagi peternak sapi perah.

Oleh

karena itu, pemerintah menghapuskan penetapan BUSER oleh IPS dengan tujuan untuk memacu peternak Indonesia untuk mampu bersaing dengan peternak luar negeri dalam menghasilkan susu yang berkualitas. Pembatasan impor bibit telah memacu kreativitas peneliti menghasilkan teknik-teknik pengembangbiakan ternak yang lebih menghemat biaya. Salah satunya adalah hasil penelitian aplikasi IB dengan teknologi sexing sperma yang dikembangkan oleh Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Singosari sejak tahun 2004. Dengan teknik ini dapat dihasilkan semen beku sexing dalam jumlah sangat besar dalam waktu singkat.

262 Kompetensi kewirausahaan peternak berpengaruh langsung terhadap produktivitas peternak sebesar 0,777. Peternak yang memiliki kompetensi kewirausahaan mampu menghasilkan produktivitas peternak yang baik. Produktivitas peternak di Kabupaten Bandung terbentuk bila peternak memiliki motivasi dalam mengembangkan usaha peternakan sapi perah sehingga mau belajar dari sumber-sumber informasi untuk meningkatkan kompetensi kewirausahaan peternak. Motivasi yang tinggi untuk mengembangkan usaha sapi perah yang didukung dengan kompetensi kewirausahaan yang baik dalam diri peternak mampu melahirkan produktivitas peternak yang optimal.

Mengem-

bangkan kompetensi kewirausahaan peternak memerlukan dukungan sarana, prasarana, dan informasi yang sesuai dengan kebutuhan peternak. Motivasi peternak dapat ditingkatkan dengan memberi penghargaan kepada peternak sapi perah. Penghargaan tidak sebatas dalam bentuk insentif tetapi juga pengakuan dari koperasi, pemerintah, maupun masyarakat sekitar terhadap prestasi peternak. Salah satu bentuk penghargaan pemerintah terhadap usaha sapi perah di Kabupaten Bandung adalah perlunya mengkaji ulang kebijakan pemerintah terhadap pembangunan pembangkit listrik dengan memanfaatkan panas bumi (geothermal). Efek pembuatan proyek tersebut menyebabkan air sulit diperoleh peternak, padahal air merupakan hal yang sangat dibutuhkan dalam usaha sapi perah. Dampak lainnya adalah kecenderungan pemuda-pemuda yang berpendidikan SLTA yang lebih tertarik bekerja di proyek ini dibandingkan dengan melanjutkan usaha yang telah dirintis orang tuanya.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan (1) Kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan dan Bandung adalah pada tingkat sedang. Peternak telah menguasai aspek teknik budidaya sapi perah, tetapi masih rendah dalam penguasaan aspek manajerial. Produktivitas peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan pada tingkat sedang karena peternak sapi perah telah mampu menghasilkan ternak yang memiliki produktivitas sedang demikian juga dalam hal keinovatifan melahirkan ide-ide yang mampu memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki ataupun yang ada di sekitarnya. Produktivitas peternak sapi perah di Kabupaten Bandung adalah pada tingkat tinggi. Hal ini disebabkan peternak telah mampu menghasilkan ternak-ternak yang memiliki produktivitas tinggi tetapi peternak belum mampu melahirkan ide-ide kreatif memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki atau yang ada di sekitarnya. (2) Karakteristik peternak di Kabupaten Pasuruan yang berpengaruh nyata terhadap kompetensi kewirausahaan peternak adalah kemampuan peternak mengakses informasi, sedangkan di Kabupaten Bandung adalah kemampuan peternak mengakses informasi dan motivasi peternak dalam mengembangkan usaha sapi perah.

Karakteristik peternak di Kabupaten Pasuruan dan

Kabupaten Bandung yang berpengaruh nyata terhadap produktivitas peternak adalah kemampuan peternak mengakses informasi dan motivasi peternak dalam mengembangkan usaha sapi perah. Faktor lingkungan usaha yang berpengaruh nyata terhadap kompetensi kewirausahaan peternak di Kabupaten Pasuruan adalah kelembagaan penyuluhan, sedangkan di Kabupaten Bandung adalah kelembagaan penyuluhan dan kebijakan pemerintah. Lingkungan usaha peternak yang mempunyai pengaruh terhadap produktivitas peternak di Kabupaten Pasuruan adalah sarana, prasarana, informasi, kelembagaan peternak dan kelembagaan penyuluhan, sedangkan di Kabupaten Bandung adalah sarana, prasarana, informasi, dan kelembagaan penyuluhan.

264

(3) Kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan terbentuk bila peternak berinteraksi dengan sumber-sumber informasi, difasilitasi oleh penyuluh dan dukungan kelembagaan peternak yang dinamis. Kompetensi kewirausahaan peternak di Kabupaten Bandung terbentuk karena motivasi peternak yang tinggi dalam

mengembangkan usaha sapi perah.

Pemberian motivasi berupa insentif dan penghargaan kepada usaha peternakan sapi perah, didukung oleh sarana, prasarana, informasi yang sesuai kebutuhan peternak, serta kelembagaan peternak, kelembagaan penyuluhan, dan kebijakan pemerintah yang mendukung usaha peternakan sapi perah menumbuhkan kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah di Kabupaten Bandung. (4) Strategi untuk mencapai kompetensi kewirausahaan peternak di Kabupaten Pasuruan adalah melalui penyediaan sarana, prasarana, dan informasi yang sesuai dengan kebutuhan peternak dan mudah diakses peternak, serta mendorong peternak untuk meningkatkan kemampuan dalam mengakses informasi dan memberikan kesempatan belajar dalam kelompok untuk mengembangkan kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah.

Strategi

untuk mencapai kompetensi kewirausahaan peternak di Kabupaten Bandung adalah dengan mempertahankan motivasi peternak dalam mengembangkan usaha peternakan sapi perah yang didukung oleh sarana, prasarana, dan informasi yang sesuai dengan kebutuhan peternak.

Saran (1) Kompetensi teknis yang telah dikuasai peternak secara baik, perlu dipertahankan dan disosialisasikan melalui diskusi dalam atau antar kelompok peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung.

Sedangkan,

produktivitas peternak dan kompetensi manajerial perlu dikembangkan dengan cara pelatihan, membuka akses hubungan dengan pengusaha ternak sapi perah yang telah berhasil, dan pendampingan peternak sapi perah, saat mengadopsi inovasi.

265

(2) Koperasi sebagai lembaga yang menyediakan sarana, prasarana, dan informasi bagi peternak sapi perah di Pasuruan dan Bandung, perlu senantiasa mengevaluasi kebutuhan anggotanya, sesuai dengan tingkat kompetensi yang dimiliki peternak sapi perah. Pengembangan usaha koperasi bertujuan untuk mendukung usaha anggotanya dengan cara memberikan bantuan alat-alat dan bimbingan untuk membuat produk-produk pangan berbahan dasar susu. Kelompok difungsikan sebagai wadah pengembangan diri peternak sapi perah. (3) Dinas Peternakan Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bandung perlu melaksanakan penyuluhan kepada peternak sapi perah dengan materi yang saling melengkapi dengan materi yang disampaikan oleh penyuluh koperasi. Dalam membuat kebijakan, baik pemerintah pusat ataupun daerah (Kabupaten Pasuruan dan Bandung) perlu memperhatikan perkembangan usaha peternakan sapi perah rakyat sebagai salah satu potensi wilayah, sehingga kebijakan yang diambil tidak merugikan peternak sapi perah rakyat. Kebijakan yang mendukung pengembangan usaha sapi perah merupakan penghargaan pemerintah terhadap peternak sapi perah dan memotivasi peternak sapi perah di Kabupaten Bandung untuk mengembangkan usahanya. (4) Transformasi sosial tentang nilai-nilai positif (disiplin, kerja keras, dan menghasilkan produk bermutu) dan menghargai pekerjaaan peternak sapi perah sebagai pekerjaan yang terhormat, perlu segera dilakukan kepada masyarakat Indonesia. Penghargaan tersebut dapat memotivasi peternak sapi perah untuk mengembangkan usaha sapi perah. Selain itu, perlu dibudayakan minum susu sebagai upaya membentuk SDM berkualitas.