10 II KAJIAN KEPUSTAKAN 1.1 SAPI PERAH SAPI PERAH MERUPAKAN

Download Pemerahan dengan mesin perah merupakan proses pengeluaran susu dari ambing sapi menggunakan mesin yang beroperasi secara otomatis. Pemeraha...

0 downloads 487 Views 37KB Size
10

II KAJIAN KEPUSTAKAN 1.1

Sapi Perah Sapi perah merupakan bangsa sapi yang menghasilkan produksi susu baik

dengan jumlah yang besar. Sapi ini merupakan salah satu bangsa sapi yang dapat dibudidayakan untuk pemenuhan protein hewani masyarakat. Seekor sapi perah rata-rata dapat menghasilkan susu hingga 11 liter/hari dengan sistem pemeliharaan tradisional (Boediyana, 2008). Perkembangan sapi perah di Indonesia di mulai pada abad ke-17 bersamaan dengan masuknya Belanda ke Indonesia. Tujuan awal dibawanya sapi perah ke Indonesia hanya untuk berdagang, akan tetapi seiring berjalannya waktu sapi-sapi tersebut mulai diternakkan untuk mencukupi kebutuhan dagang berupa daging dan susunya. Pada Abad ke-19, Belanda mendatangkan jenis sapi perah dari negaranya yaitu Fresian Hollstein, dan Shorthorn, Ayshire dan Jersey dari Australia. Sapi-sapi tersebut didatangkan karena memiliki kualitas susu yang baik dan produksi susu yang tinggi sehingga bisa mencukupi kebutuhan pada masa itu (Sudono, 1999). Perkembangan sapi perah di Indonesia diawali pada tahun 1990 dengan berdirinya peternakan sapi perah di daerah Lembang dan Cisarua, dan berdirinya usaha pembibitan sapi perah di Klaten Jawa Tengah. Pembangunan usaha tersebut bertujuan untuk menghasilkan daging dan susu yang besar dan menjadi tempat pembibitan sapi perah sehingga dapat disebarluaskan ke seluruh Indonesia (Santosa, dkk, 2009). Jenis sapi perah yang dominan berada di Indonesia adalah jenis sapi perah Fries Holland. Sapi perah Fries Holland atau lebih dikenal dengan sapi FH ini berasal dari Belanda. Ciri-ciri khas yang dimiliki oleh sapi perah FH yaitu warna bulu hitam dengan bercak-bercak putih pada umumnya, namun ada yang berwarna coklat ataupun merah dengan bercak putih, bulu ujung ekor berwarna putih, bagian

11

bawah dari kaki berwarna putih, dan tanduk pendek serta menjurus kedepan (Makin, 2011). Pemeliharaan sapi FH yang baik membutuhkan suhu lingkungan dan kelembapan yang optimum. Menurut Ensminger (1995), sapi perah dewasa membutuhkan suhu optimum berkisar antara 5-21oC dengan kelembaban udara yang baik sebesar 60% dengan kisaran 50%-75%. Sapi perah FH betina dewasa memiliki bobot badan ideal sebesar 682 kg dan jantan dewasa 1000 kg (Sudono dkk., 2003). Sapi FH merupakan sapi perah yang memiliki produksi susu lebih tinggi dibandingkan bangsa sapi perah lainya. Produksi susu yang dihasilkan sapi perah FH dapat berkisar diantara 12.000-15.000 kg/laktasi (DeLaval, 2005). Di Amerika dan Inggris sapi perah FH menghasilkan susu sebanyak 8.000 kg/tahun. Di tempat asalnya, produksi susu per masa laktasi rata-rata sebanyak 7.245 liter atau sekitar 20 liter per hari (Putranto, 2006). Sedangkan, di Indonesia sapi FH menghasilkan susu sebanyak 2.500-5.000 liter/laktasi (Siregar, 1992).

1.2

Usaha Peternakan Sapi Perah Usaha peternakan sapi perah di Indonesia pada saat ini masih di dominasi

oleh peternakan rakyat. Berdasarkan SK KEMENTAN No. 751/kpts/Um/10/1982 mengenai pembinaan dan pengembangan usaha peningkatan produksi dalam negeri, usaha peternakan sapi perah dibagi menjadi dua bentuk. Pertama, peternakan sapi perah rakyat yang dilaksanakan sebagai usaha sampingan dengan kepemilikan sapi perah dewasa berjumlah 10 ekor. Kedua, usaha peternakan sapi perah yang dilaksanakan untuk tujuan komersil dengan produksi utama susu sapi dengan kepemilikian lebih dari 10 ekor sapi dewasa atau 20 ekor sapi campuran. Daerah usaha peternakan sapi perah di Indonesia umumnya terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu. Menurut Sutardi (1981), usaha peternakan sapi perah

12

di Indonesia terletak pada dua wilayah ekstrim yaitu wilayah yang memiliki kondisi alam yang rendah tetapi memiliki kondisi sosial ekonomi yang tinggi dan wilayah dengan kondisi alam yang tinggi tetapi mempunyai kondisi sosial ekonomi yang rendah. Berdasarkan karakteristik tersebut, timbul beberapa kelemahan diantaranya pada wilayah daratan rendah terjadi rendahnya penyediaan hijauan dan performa produksi susu, dan pada wilayah dataran tinggi terjadi minimnya penyediaan konsentrat dan rantai pemasaran susu yang terbatas. Usaha peternakan sapi perah merupakan salah satu usaha peternakan yang potensial dikembangkan di Indonesia. Menurut Nurhayati (2009), usaha peternakan sapi perah memiliki peluang yang besar karena kemampuan pasok susu segar sebanyak 25-30% dari kebutuhan susu nasional. Pertumbuhan pengolan susu pada tahun 2013 sebesar 12% atau meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 10% (Kemenperin, 2015). Peternakan sapi perah di Indonesia berdasarkan segi kelembagaan merupakan anggota koperasi susu. Koperasi merupakan lembaga yang bertindak sebagai mediator antara peternak dengan industri pengolahan susu. Koperasi susu sangat menentukan posisi tawar peternak dalam menentukan jumlah penjualan susu, waktu penjualan, dan harga yang akan diterima peternak. Peranan koperasi sebagai mediator perlu dipertahankan. Pelayanannya perlu ditingkatkan dengan cara meningkatkan kualitas SDM koperasi serta memperkuat networking dengan industri-industri pengolahan (Daryanto, 2009).

1.3

Mekanisasi Pemerahan Susu merupakan cairan putih yang disekresi oleh kelenjar mamae (ambing)

pada binatang mamalia betina untuk bahan makanan dan sumber gizi bagi anaknya (Winarno, 1993). Susu hanya didapatkan pada akhir siklus reproduksi dan sangat tergantung pada sekresi sejumlah hormon yang diatur oleh sistem neuroendokrin

13

(Senger, 2003). Proses pengeluaran susu yang disebut ejeksi susu (milk let down), memerlukan suatu lingkungan bebas stress emosional untuk sapi perah dalam mencapai pelepasan oksitosin berkelanjutan untuk pengeluaran susu hingga pengosongan ambing selesai (Bruckmaier, 2005). Susu yang keluar dari ambing merupakan bahan pangan yang mudah rusak dan tidak tahan lama. Kerusakan dapat terjadi akibat pencemaran mikroba yang berasal dari ambing sendiri atau masuk melalui puting susu. Menurut Santoso dkk. (2012), kontaminasi susu oleh bakteri bersumber dari tubuh sapi, tangan pemerah dan kandang kotor. Pemerahan secara manual menimbulkan kontaminasi bakteri jumlahnya cukup banyak dan semakin bertambah saat susu dikumpulkan di tempat penampungan susu dan koperasi. Pemerahan merupakan kegiatan rutin yang dilakukan pada usaha peternakan sapi perah. Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan jumlah susu yang maksimal dari ambing. Jadwal kegiatan pemerahan biasanya dilakukan 2-3 kali sehari. Menurut Ditjen Peternakan (2009), lama pemerahan untuk setiap sapi perah sekitar kurang lebih 8 menit, tergantung pada banyaknya produksi susu yang di hasilkan. Pemerahan dengan mesin perah merupakan proses pengeluaran susu dari ambing sapi menggunakan mesin yang beroperasi secara otomatis. Pemerahan dilakukan dengan membuat tekanan vakum pada penampung susu. Susu yang dihasilkan langsung terkumpul di wadah tanpa berinteraksi langsung dengan udara luar, sehingga susu yang dihasilkan lebih bersih dan higienis. Mesin perah pertama kali diciptakan dan dikeluarkan pada tahun 1850 oleh seorang petani dari Amerika yang bernama Anna Baldwin. Alat tersebut berbentuk sebuah pompa yang dihubungkan dengan pipa yang berujung pada sebuah mangkok yang berlubang empat untuk menyedot susu dari keempat putting, dan diujung lain terdapat sebuah ember untuk menampung susu hasil pemerahan. Seiring dengan

14

perkembangan teknologi terciptalah mesin perah modern yang tersusun atas pompa vakum, pulsator, milk claw, sedotan puting (teat cup), wadah susu (bucket). Model mesin perah modern dibedakan menjadi mesin perah: (1) sistem bangsal pemerahan (milking parlor system) merupakan pemerahan yang dilakukan pada ruangan khusus pemerahan sehingga satu mesin melayani satu ekor sapi dan susu yang dihasilkan langsung di tampung pada cooling unit. (2) sistem ember (bucket system) yang cocok digunakan pada peternakan kecil karena system ini dilakukan secara portable dan susu yang dihasilkan di tampung dalam ember pada mesin, lalu di pindahkan pada cooling unit, dan (3) sistem pipa (pipe line system) dilakukan secara portable, akan tetapi susu yang dihasilkan dialirkan ke dalam cooling unit melaui pipa tanpa berhubungan langsung dengan udara luar. Manajemen sistem pemerahan di Indonesia masih menggunakan sistem ember (bucket system), sehingga masih memungkinkan adanya interaksi antara peternak dan ternak. Menurut Rushen dkk. (2001), kehadiran manusia dapat menurunkan beberapa tingkah laku kegelisahan dan detak jantung pada sapi yang diperah pada tempat asing. Meski demikian, penanganan yang kasar pada sapi dapat menyebabkan sapi menjadi ketakutan terhadap orang tersebut yang berakibat pada peningkatan residual susu dan pengurangan produksi susu. Mesin perah secara normal menimbulkan pelepasan oksitosin dan ejeksi susu melalui reflek neuroendokrin, tetapi mesin perah terkadang dapat menimbulkan stres dan menyebabkan turunnya produksi susu (Tancin dkk., 1995). Hal tersebut dapat terlihat dari peningkatan kadar kortisol (Lupoli dkk., 2001). Peningkatan kortisol darah dapat terjadi sekitar 15 ng/mL sampai 25 ng/mL saat terjadinya perlawanan sapi perah pada proses pemerahan (Negrao dkk., 2004). Penggunaan mesin perah berdasarkan sisi sosial ekonomi juga memberikan keuntungan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi dari pemerahan dan tenaga kerja (White dkk., 2006). Efektivitas dan efisiensi kerja pada umumnya

15

tercermin pada tingkat produktivitas kerja, yaitu pada saat hasil yang dicapai sebanding dengan proses-proses kegiatan yang dilakukan, dimana terdapat rasio antara output dengan input.

1.4

Tenaga Kerja Tenaga kerja (labor economics) dalam ekonomi diasumsikan mempunyai

tujuan untuk memaksimumkan nilai guna (utility maximization). Seseorang diasumsikan harus berupaya mencapai tujuan untuk membuat dirinya sebahagia mungkin pada tingkat sumber daya yang terbatas (Ehrenberg dan Smith, 2012). Oleh karena itu, secara rasional seorang pekerja dapat merespon positif terhadap insentif ekonomi (upah tenaga kerja) dan insentif nonekonomi (seperti kenyamanan kerja, fasilitas kerja, dan jaminan bagi pekerja), serta merespon negatif (atau menghindari) disinsentif ekonomi suatu pekerjaan. Tenaga kerja merupakan setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat (UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan). Mulyadi (2003) menyatakan bahwa tenaga kerja adalah penduduk dalam usia kerja (berusia 15-64 tahun) atau jumlah penduduk dalam suatu negara yang dapat memproduksi barang dan jasa jika ada permintaan terhadap tenaga kerja mereka dan jika mereka mau berpartisipasi dalam aktifitas tersebut. Tenaga kerja dapat dilihat berdasarkan segi keahlian dan pendidikannya yaitu tenaga kerja kasar, tenaga kerja terampil dan tenaga kerja terdidik (Sukirno, 2005). Tenaga kerja kasar adalah tenaga kerja yang tidak berpendidikan atau rendahnya pendidikan dan tidak memiliki keahlian dalam suatu pekerjaan. Tenaga kerja terampil adalah tenaga kerja yang memiliki keahlian dari pelatihan atau pengalaman kerja. Tenaga kerja terdidik adalah tenaga kerja yang memiliki pendidikan cukup tinggi dan ahli dalam bidang ilmu tertentu.

16

Tenaga kerja dalam usahatani merupakan faktor penting khususnya tenaga kerja petani dan anggota keluarganya, dimana tenaga kerja menjadi unsur penentu terutama dalam usahatani komersial (Tohir, 1991). Tenaga kerja dalam usahatani sebagian besar berasal dari keluarga petani sendiri yang terdiri dari ayah sebagai kepala keluarga, istri dan anak. Tenaga kerja dari luar keluarga dapat berupa tenaga kerja harian atau borongan tergantung pada keperluannya (Mubyarto, 1989). Potensi tenaga kerja rumah tangga petani adalah jumlah tenaga kerja potensial yang tersedia pada tingkat rumah tanga yang meliputi tenaga kerja pria, wanita, anak-anak,ternak dan tenaga kerja mekanik (Hernanto, 1989). Tenaga kerja pria selama satu tahun bekerja selama 300 hari kerja, tenaga kerja wanita bekerja selama 220 hari dan tenaga kerja anak-anak 140 hari kerja, serta tenaga kerja ternak dua kali tenaga kerja pria. Hari kerja potensial untuk daerah kering adalah 630 hari kerja per hektar dan daerah sawah 870 hari kerja per hektar atau rata-rata 750 hari kerja per hektar (Hernanto, 1989). Menurut Hemanto (1989), tenaga kerja dibedakan atas tiga jenis, yaitu tenaga kerja manusia, tenaga kerja temak, dan tenaga kerja mekanik. Tenaga kerja manusia dapat mengerjakan semua jenis pekerjaan usahatani berdasarkan tingkat kemampuannya. Tenaga kerja temak digunakan untuk pengolahan tanah dan untuk angkutan sedangkan tenaga kerja mekanik digunakan untuk pengolahan tanah, pemupukan, penanaman dan lain-lain yang sifatnya substitusi pengganti tenaga kerja temak dan atau manusia. Penggunaan tenaga kerja yang efisien pada usaha petemakan sapi perah di Indonesia, yaitu seorang tenaga kerja menangani 6-7 sapi dewasa. Soeharjo dan Patong (1973) menyatakan bahwa satuan-satuan ukuran tenaga kerja yang dapat dijadikan ukuran usahatani adalah jumlah hari kerja orang (HKO). Soekartawi, dkk (2005) mengemukakan bahwa curahan kerja yang dipakai adalah besarnya tenaga kerja yang efektif dengan satuan hari kerja orang (HKO).

17

1.5

Distribusi Tenaga Kerja Distribusi merupakan kegiatan yang fungsinya sangat bermanfaat bagi

sektor ekonomi. Dalam segi ekonomi, pengertian distribusi lebih dekat dengan proses pemasaran suatu barang. Tjiptono (2008) menyatakan bahwa pendistribusian adalah kegiatan pemasaran yang berusaha mempelancar dan mempermudah penyampaian barang dan jasa dari produsen ke konsumen sehingga penggunaanya sesuai dengan yang diperlukan (jenis, jumlah, harga, tempat dan saat dibutuhkan). Distribusi tenaga kerja di bidang peternakan menyangkut kegiatan pemeliharaan sehari-hari. Kegiatan pemeliharaan sapi perah yang rutin dilakukan diantaranya memberi pakan, membersihkan kandang dan memandikan sapi, pemerahan dan mencari rumput. Pendistibusian tenaga kerja pada masing-masing kegiatan bertujuan untuk mempermudah kegiatan pemeliharaan, sehingga penggunaan tenaga kerja dapat sesuai dengan kebutuhannya. Analisis ketenagakerjaan di bidang peternakan menjelaskan bahwa penggunaan tenaga kerja dinyatakan oleh besarnya curahan tenaga kerja. Curahan tenaga kerja adalah besarnya waktu tenaga kerja efektif yang digunakan untuk bekerja (Soetriono, 2003). Menurut Handayani dan Artini (2009), terdapat jenisjenis kegiatan yang memerlukan curahan waktu yang banyak dan kontinu, tetapi sebaliknya ada pula jenis-jenis kegiatan yang memerlukan curahan waktu kerja yang terbatas. Pola curahan waktu kerja rumah tangga pada dasarnya merupakan pencerminan strategi rumah tangga dalam mempertahankan hidup dan kesejahteraan. Curahan waktu kerja merupakan jumlah jam kerja yang dicurahkan untuk berbagai kegiatan. Dalam kehidupan nyata perilaku individu dalam mengalokasikan waktu kerjanya tidak hanya dipengaruhi oleh tingkat upah, tetapi juga peubah-peubah sosial ekonomi lainnya (Sabainingrum, 1998).

18

Menurut Baruwadi (2008), alokasi waktu kerja merupakan curahan waktu kerja oleh petani dan keluarga dalam kegiatan produktif pada sebuah usahatani, yaitu usahatani tahunan, usahatani tanaman pangan, beternak, buruh tani dan kegiatan lain di luar sektor pertanian. Sedangkan menurut Chamdi (2004), alokasi waktu kerja adalah proporsi kerja yang dilakukan tenaga kerja baik untuk rumah tangga, sosial, maupun untuk urusan mencari nafkah, yang dianalisis melalui nilai waktu dan dihitung dengan melihat banyaknya waktu yang dicurahkan.

1.6

Biaya Tenaga Kerja Biaya merupakan salah satu sumber informasi yang paling penting dalam

analisis strategi suatu usaha. Proses penentuan dan analisis biaya dapat menggambarkan kinerja usaha yang dijalankan pada masa yang akan datang. Oleh sebab itu untuk dapat mencapai produksi yang efisien, maka diperlukan suatu pengendalian terhadap biaya produksi yang akan dikeluarkan. Menurut Ralph S. Polimeni (1985) tenaga kerja merupakan daya fisik atau mental yang dikerahkan untuk menghasilkan suatu produk. Ketersediaan tenaga kerja dalam suatu usaha merupakan faktor utama dalam menjalankan kegiatan produksi, karena tenaga kerja merupakan pelaku utama dalam proses produksi. Sehingga, tenaga kerja memerlukan biaya dalam menjalankan kegiatannya, diantaranya untuk pemberian gaji, upah maupun bonus. Biaya tenaga kerja merupakan biaya kedua setelah biaya pakan, sehingga penggunaanya harus disesuaikan dengan kebutuhannya. Komponen biaya tenaga kerja biasanya tidak terlalu di perhitungkan pada biaya produksi peternakan akan tetapi, biaya tenaga kerja merupakan salah satu penentu skala usaha peternakan tersebut. Semakin banyak tenaga kerja digunakan maka dapat dikatakan skala usaha peternakan tersebut telah berkembang dan memiliki populasi ternak yang banyak.

19

Biaya tenaga kerja di peternakan dianggap sebagai upah tenaga kerja. Dalam UU No.13 Tahun 2003 menyatakan bahwa upah merupakan hal pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan sesuai perjanjian kerja, kesepakatan, atau peratuaran perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Sistem pengupahan di Indonesia menggunakan sistem yang berbasis indeks biaya hidup dan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) per Kapita sebagai proksi dari tingkat kemakmuran. Sistem ini menjamin kehidupan yang layak bagi pekerja dan keluarganya, mencerminkan imbalan atas hasil kerja seseorang dan menyediakan insentif untuk mendorong peningkatan produktivitas kerja. Penghasilan yang diterima oleh setiap tenaga kerja dapat berbentuk gaji/upah dan tunjangan (beras, gula, dan pakaian).

1.7

Efisiensi Biaya Tenaga Kerja Konsep efisiensi dalam kegiatan ekonomi tertuju pada bagaimana

penciptaan barang dan jasa dengan menggunakan biaya yang paling rendah yang mungkin dapat dicapai, serta mampu mengalokasikan sumber-sumber ekonomi pada penggunaan yang paling bernilai (Taswan, 2006). Menurut Sukirno (2008) menyatakan bahwa sebuah usaha dikatakan mencapai skala ekonomis apabila pertambahan produksi menyebabkan biaya produksi rata-rata menjadi semakin rendah. Menurut Sukirno (2008) beberapa faktor penting yang dapat menimbulkan skala ekonomi adalah (1) Spesialisasi faktor-faktor produksi dengan melakukan pembagian unit-unit kerja kedalam bidang-bidang tertentu secara khusus, (2) Penambahan kapasitas produksi (skala usaha), dan (3) Penggunaan teknologi

20

(mekanisasi), yang menggantikan penggunaan jasa manusia, sehingga permintaan terhadap tenaga manusia berkurang yang kemudian akan menyebabkan biaya input yang harus dikeluarkan akan berkurang pula. Efisiensi dengan pendekatan biaya adalah mengukur sejauh mana biaya yang dikeluarkan oleh suatu unit ekonomi atau usaha untuk mendapatkan hasil (keluaran) tertentu yang diharapkan, sehingga dapat dibuat perbandingan diantara kedua variabel tersebut. Dalam Sumarjono, Djoko (2004), efisiensi akan tercapai ketika pendapatan marjinal sama dengan biaya marjinal. Kusnadi, dkk (1999) menuturkan bahwa usaha akan mengalami kondisi yang tidak efisien ketika biaya marjinal untuk menambah hasil produksi sudah lebih besar dari pendapatan marjinalnya (MC>MR). Sehingga ketika memproduksi dengan tambahan biaya yang semakin besar akan memperkecil keuntungan (laba usaha). Efisiensi tenaga kerja merupakan wujud dari tingkat produktivitas kerja dimana hasil yang dicapai sebanding dengan proses-proses kegiatan yang dilakukan, sehingga terdapat ratio antara output dengan input. Peningkatan skala usaha pada usaha ternak sapi perah akan berpegaruh pula pada penyerapan tenaga kerja yang dibutuhkan, sehingga dengan adanya teknologi mekanisasi pemerahan maka penggunaan tenaga kerja dapat optimal dan efisien.