KONFLIK KEPENTINGAN PIHAK BPCB (BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA)

Download Jurnal Politik Muda, Vol. 3 No. 3, Agustus-Desember 2014, 381-395. KONFLIK KEPENTINGAN PIHAK BPCB (BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA) DAN ...

0 downloads 480 Views 258KB Size
Jurnal Politik Muda, Vol. 3 No. 3, Agustus-Desember 2014, 381-395

KONFLIK KEPENTINGAN PIHAK BPCB (BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA) DAN PIHAK INDUSTRI (BATU BATA) DALAM KEBIJAKAN PELESTARIAN CAGAR BUDAYA TROWULAN KABUPATEN MOJOKERTO Maria Yasinta Chrisna Novrisa1

Abstrak Penelitian ini mengkaji tentang konflik kepentingan pihak BPCB (Balai Pelestarian Cagar Budaya) trowulan dan pihak industri batu bata dalam pelestarian cagar budaya Trowulan kabupaten Mojokerto. Oleh karenanya, berkaitan dengan konflik yang sedang terjadi kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto, studi ini berupaya mendeskripasikan hal-hal yang menjelaskan aktor siapa saja yang terlibat dalam konflik kepentingan ini dan apa saja kendala yang dialami pihak BPCB dalam melaksanakan pelestarian cagar budaya Trowulan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan data kualitatif. Data diperoleh dari wawancara dan studi dokumentasi. Hal ini sesuai dengan konseptualisasi jenis konflik (konflik kepentingan) menurut Wirawan yang disini ialah terjadi konflik kepentingan dalam bidang wisata (pelestarian) dan bidang ekonomi (mata pencaharian), tujuan konflik pun untuk mempertahankan sumber mereka masing-masing berdasar pada kepentingan menurut Ramlan Surbakti,serta faktor penyebab konflik sesuai Pruit and Rubin. Data dari hasil yang diperoleh bahwa aktor yang terlibat ialah Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Trowulan, Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Mojokerto, Badan Pengurus Pembangunan Daerah (BAPPEDA), DPRD, pihak Kecamatan, masyarakat desa, serta pelaku industri batu bata itu sendiri seperti buruh, juragan dan pemilik lahan batu bata tersebut, serta kendala yang dialami oleh BPCB ialah tidak adanya anggaran untuk pembebasan lahan, belum adanya perda cagar budaya kab. Mojokerto, serta dari kesadaran diri masyarakat industri batu bata tersebut. Kegiatan industri batu bata tersebut sampai sekarang masih berlanjut, dan belum ada titik temu yang diannggap adil dan pantas bagi kepentingan mereka masing-masing, baik untuk kepentingan dalam bidang ekonomi maupun bidang pelestarian cagar budaya. Kata kunci: konflik, kepentingan, cagar budaya Abstract

This study examines the conflict of interest BPCB (Heritage Preservation Hall) Trowulan and the brick industry in the preservation of cultural heritage Trowulan Mojokerto regency. By karenenya, related to the ongoing conflict districts Trowulan Mojokerto, this study seeks mendeskripasikan explain things that the actor who was involved in this conflict of interest and what are the constraints experienced in implementing the BPCB Trowulan preservation of cultural heritage. This study used a descriptive method with qualitative data. Data obtained from interviews and documentation studies. This is consistent with the conceptualization of the type of conflict (conflict of interest) by Wirawan here is a conflict of interest in the tourist areas (preservation) and economics (livelihoods), the goal was to maintain a source of conflict they each based on interest by Ramlan Surbakti, as well as the causes of the conflict in accordance Pruit and Rubin. Data from the results obtained that the actors involved are the Heritage Preservation Hall (BPCB) Trowulan, Department of Youth, Sports, Culture and Tourism District. Mojokerto, Regional Development Board (BAPPEDA), Parliament, the sub-district, rural communities, as well as the brick industry itself as laborers, skipper and owner of the brick fields, as well as constraints experienced by BPCB is no budget for land acquisition, the lack of regulation of cultural heritage district. Mojokerto, as well as from the public consciousness the brick industry. 1

Mahasiswi S 1 Program Studi Ilmu Politik, FISIP, Universitas Airlangga

381

Jurnal Politik Muda, Vol. 3 No. 3, Agustus-Desember 2014, 381-395

The brick industrial activities are still ongoing, and there is no common ground diannggap fair and appropriate for their interests, either for interests in economics, and the field of cultural heritage preservation. Keywords: conflict of interest, cultural heritage

Pendahuluan Pariwisata dipandang sebagai kegiatan yang mempunyai multidimensi dari rangkaian suatu proses pembangunan. Pembangunan sektor pariwisata menyangkut aspek sosial budaya, ekonomi dan politik. Sektor pariwisata merupakan kegiatan industri pelayanan dan jasa untuk meningkatkan pendapatan daerah. Usaha untuk memperbesar pendapatan asli daerah, maka dilakukan program pengembangan dan pendayagunaan sumber daya potensi pariwisata daerah agar memberikan sumbangan bagi pembangunan ekonomi daerah. Agar kegiatan pariwisata dapat berjalan baik, perlu dikeluarkan pula peraturan daerah.

Tidak semua tempat dapat dijadikan sebagai tempat wisata. Tempat yang dapat dijadikan sebagai tempat wisata adalah tempat yang menarik dan bisa menjadi tempat yang kerap didatangi oleh banyak wisatawan, dan hal ini bisa meningkatkan pendapatan asli daerah. Upaya pelestarian warisan budaya sebenarnya merupakan salah satu wujud kita untuk merepresentasikan karya leluhur masa lampau agar masyarakat sekarang dapat memanfaatkan sesuai dengan “keinginannya”. Paling tidak ada empat aspek utama suatu warisan budaya dapat diapresiasikan kepada masyarakat luas, yakni sebagai benda seni, sebagai sumber ekonomi (untuk kepariwisataan misalnya), sebagai sumber informasi pengetahuan, dan sebagai pemenuhan sosial, namun demikian empat aspek itu semua, tidak langsung tersaji begitu saja di dalam suatu warisan budaya. Perkembangan kabupaten Mojokerto saat ini pun sangat pesat dan juga menjadi salah satu kabupaten yang menyimpan budaya di Indonesia. Tidak heran apabila di kabupaten ini menyimpan banyak sekali candi-candi ataupun peninggalan-peninggalan bersejarah lainnya yang masih tersimpan, serta keaslian yang masih berdiri kokoh hingga saat ini, seperti syarat yang ditetapkan oleh Undang-Undang Cagar Budaya no 5 tahun 1992 (a) yang berbunyi: benda buatan manusia; bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.

Berbagai pihak berusaha untuk tetap menjaga kelestarian cagar budaya Trowulan ini, dan baik dari pihak BPCB (Badan Pelestarian Cagar Budaya) maupun dari pihak masyarakat, selain memelihara bangunan-bangunan cagar budaya, hal ini juga dapat memberi warna yang khas pada kepariwisataan Kabupaten Mojokerto sebagai wisata cagar Budaya, yang secara tidak langsung juga mengenalkan kepada masyarakat sekitar tentang kebudayaan Majapahit pada masa lalu. Majapahit merupakan kerajaan imperium pada abad XIII, kerajaan inilah yang mampu menyatukan sebagian wilayah Asia Tenggara secara politis dan budaya, pantas dilestarikan, hingga mampu menumbuhkan semangat juang dan kepercayaan diri bangsa. Daerah cagar budaya saat ini yang dibangga-banggakan tengah mengalami penyalah gunaan daerah yang merupakan daerah yang dilindungi atau tidak diperbolehkan untuk diadakannya perindustrian, yang ternyata semakin tahun semakin marak bermunculan perkembangan perindustrian (batu bata maupun pabrik baja). Daerah perindustrian batu bata rakyat ini terletak di kawasan Trowulan yang tersebar di berbagai desa, yaitu seperti di desa Kejagan, Bejijong, Temon, dan Trowulan, di sekitar candi Tikus, kawasan di pusaran kota Trowulan, telah menjamur industri

382

Jurnal Politik Muda, Vol. 3 No. 3, Agustus-Desember 2014, 381-395

batu bata. Industri batu bata ini dikerjakan tidak jauh dari museum Mojopahit dan Kolam Segaran, bahkan industri rumahan ini dikerjakan tanpa memandang lokasi, seperti berada di bibir kolam Segaran dan persis bersebelahan dengan Candi Tikus.

Industri batu bata yang mengepung Kecamatan Trowulan ini seolah menjadi momok bagi peninggalan arkeologis yang masih terpendam. Para penggali yang mencari bahan-bahan untuk keperluan batu bata sekaligus menemukan ‘bonus’ artefak-artefak tersebut. Apa yang mereka lakukan terhadap artefak kuno tersebut adalah menjualnya dengan harga mulai ratusan ribu rupiah, yang secara tidak langsung menyebabkan artefak begitu cepatnya dapat berpindah tangan karena proses penjualan ini.

Industri batu bata ini tidak hanya ada satu atau dua saja, melainkan terdiri dari ratusan. Mereka beramai-ramai untuk melakukan kegiatan yang menurutnya sangat menguntungkan ini. Pihak Industri PT Manunggal Sentral Baja yang dimiliki oleh pengusaha Sundoro, juga mendirikan bangunan di daerah yang termasuk kawasan dilindungi tersebut, dan sudah membangun meskipun masih berbentuk pondasi saja yang terpaksa kini telah dihentikan akibat menuai berbagai protes dari berbagai pihak. Berbagai pihak pro dan kontra atas pembangunan industri ini. Di satu sisi demi pendapatan masyarakat, tetapi disisi lain limbah-limbah yang dikeluarkan akan mengganggu masyarakat, dan mengakibatkan hal fatal yang terjadi selanjutnya seperti terinfeksi penyakit maupun pengotoran sumber daya air, disamping itu juga yang terpenting menggangu pelestarian cagar budaya Trowulan. Kekhawatiran akan situs Trowulan sebenarnya sudah dirasakan sejak 1960 an, ketika itu perusakan besar-besaran terjadi di sana. Masyarakat mengambili batu bata merah dari pekarangan rumah mereka untuk di tumbuk menjadi bahan baku pembuatan semen merah. Di kawasan Trowulan pun terdapat sekitar 300 industri bata merah bahkan lebih. Berdasar Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 260/M/2013 tentang Penetapan Satuan Ruang Geografis, Trowulan dinyatakan telah ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya Nasional peringkat Nasional, yang telah ditetapkan pada akhir Desember 2013 kemarin, yang tentu saja daerah ini tidak boleh ‘disentuh’ bahkan untuk dijadikan daerah perindustrian, dan pada pasal 66 dan 67 UU no 11 tahun 2010 pun telah mengatur tentang larangan perusakan terhadap cagar budaya, tetapi pihak industri batu bata tetap tidak mau tahu karena tanah yang mereka miliki tersebut ialah tanah dari nenek moyang mereka, di dukung pula karena pihak pemerintahan kabupaten Mojokerto juga belum memiliki perda khusus tentang cagar budaya dan mereka tetap tidak mau untuk disalahkan, tetap pada pendiriannya untuk mempertahankan industri yang mereka andalkan tersebut. Kebiasaan penduduk mencari emas dengan cara menggali lubang, kemudian menyaring pasir juga masih diramaikan sampai saat ini. Otomatis membuat tanah dan benda-benda di dalamnya ikut terganggu. Penggalian untuk mencari bata merah kuno pun mash berlangsung hingga kini karena permintaan pasar masih cukup tinggi. Industri semen merah menjadi massal karena masyarakat tidak mempunyai ketrampilan lain. Tidak mengherankan, industri lokal itu tetap berjalan tanpa bisa di cegah oleh para ilmuwan. Maka, sampai kini meskipun menurut kitab kuno Nagarakretagama (1365) terdapat ratusan candi dibangun pada massa kerajaan Majapahit, sisa-sisanya sudah tidak bisa ditemukan lagi. Sebagian besar lenyap, tergerus oleh industri batu bata atau semen merah. Tak terhitung banyaknya bata kuno yang sengaja dihancurkan masyarakat dengan dalih demi perut. Bukan hanya itu, artefak-artefak berukuran kecil pun sering ditemukan penduduk dan dijual kepada pengunjung Trowulan. Keadaan ini semakin membuat berbagai pertimbangan muncul yang juga berbenturan kepada kepentingan masing-masing pihak. Banyak masyarakat yang menuai protes pro dan kontra atas ketetapan Trowulan menjadi Kawasan Cagar Budaya Nasional.

383

Jurnal Politik Muda, Vol. 3 No. 3, Agustus-Desember 2014, 381-395

Metode Penelitian Dalam penelitian ini yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Fokus penelitian dalam penelitian ini adalah siapa saja yang terlibat konflik dalam kebjakan pelestarian cagar budaya Trowulan di kabupaten Mojokerto dan kendala apa saja yang dialami pihak BPCB dalam melaksanakan kebijakan pelestarian cagar budaya Trowulan di kabupaten Mojokerto. Unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pihak masyarakat industri batu bata di desa-desa kec. Trowulan (pemilik lahan, juragan serta buruh), Kasi. Perlindungan, Pengembangan dan Pemanfaatan, Balai Pelestarian Cagar Budaya Trowulan kab. Mojokerto, Kasi. Kesejarahaan dan kepurbakalaan Dinas Pemuda Olahraga Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Mojokerto, Kabid. Penelitian dan Pengembangan Statistik, BAPPEDA Kab. Mojokerto, Anggota Komisi C DPRD kab. Mojokerto. Lokasi penelitian mengambil tempat di Desa Temon, Jatipasar, Trowulan, Bejijong, Nglinguk Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto. Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui observasi, dokumentasi dan wawancara mendalam. Pemeriksaan keabsahan data dengan menggunakan teknik triangulasi sumber data yang dilakukan dengan membandingkan hasil data pengamatan dengan data hasil wawancara dan hasil wawancara dengan dokumen yang terkait, dan analisis data melalui reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Konseptualisasi Jenis konflik, konflik kepentingan (conflict of interest) menurut Wirawan. Jenis konflik yang mempunyai ciri konflik individual dan konflik interpersonal adalah konflik kepentingan atau konflik interes. Konflik ini berkaitan dengan konflik dalam diri seorang individu dalam suatu altar sistem sosial (organisasi atau perusahaan) yang membawa implikasi bagi individu dan sistem sosialnya. Konflik interes adalah suatu situasi konflik dimana seorang individu – pejabat atau aktor sistem sosial – mempunyai interes personal lebih besar daripada interes organisasinya sehingga memengaruhi pelaksanaan kewajibannya sebagai pejabat sistem sosial dalam melaksanakan kepentingan (tujuan) sistem sosial.

Tujuan konflik, menurut Bpk. Ramlan Surbakti yakni mendapatkan atau mempertahankan sumber-sumber. Tujuan konflik untuk mendapatkan sumber-sumber merupakan cirri manusia yang hidup bermasyarakat karena manusia memerlukan sumber-sumber tertentu baik yang bersifat materiil-jasmaniah maupun spiritual-rohaniah untuk dapat hidup secara layak dan terhormat dalam masyarakat, yang ingin diperoleh manusia meliputi hal-hal yang sesuai dengan kehendak bebas dan kepentingannya. Tujuan konflik untuk mempertahankan sumber-sumber yang selama ini sudah dimiliki juga merupakan kecenderungan hidup manusia. Manusia ingin memelihara sumber-sumber yang menjadi miliknya, dan berupaya mempertahankan dari usaha pihak lain untuk merebut atau mengurangi sumber-sumber tersebut, yang ingin dipertahankan bukan hanya harga diri, keselamatan hidup, dan keluarganya, tetapi juga wilayah/daerah tempat tinggal, kekayaan, dan kekuasaan yang dimiliki. 3 faktor penyebab konflik menurut Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, Pertama, Determinan tingkat aspirasi. Aspirasi bangkit dan kemudian menghasilkan konflik karena salah satu dari dua alasan, yaitu masing-masing pihak memiliki alasan untuk percaya bahwa mereka mampu mendapatkan sebuah objek bernilai untuk diri mereka sendiri atau mereka percaya bahwa mereka berhak memiliki objek tersebut, Kedua, Determinan persepsi tentang aspirasi pihak lain. Konflik dapat terjadi ketika salah satu pihak benar-benar merasa puas dengan posisinya dan menganggap pihak lain mengancam posisinya tersebut. Konflik juga dapat timbul ketika suatu keputusan mengenai masa depan harus diambil dan pihaknya maupun pihak lain mengambil posisi yang berbeda mengenai arah yang harus diambil, Ketiga, Tidak adanya alternatif yang dapat

384

Jurnal Politik Muda, Vol. 3 No. 3, Agustus-Desember 2014, 381-395

diterima semua pihak. Suatu pihak juga harus memiliki persepsi bahwa aspirasi kedua belah pihak tidak kompatibel satu sama lain. Pada suatu saat tampaknya tidak ada alternatif yang mungkin akan berhasil dicapai oleh kedua belah pihak, atau masing-masing pihak berusaha untuk mencapai tujuannya meskipun harus dengan membebankan kerugiannya pada pihak lain. Daerah Kawasan Cagar Budaya Peringkat Nasional

Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas. Berdasarkan keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tentang Penetapan Satuan Ruang Geografis Trowulan sebagai Kawasan Cagar Budaya Peringkat Nasional ini pun meliputi daerah areal seluas 92,6 kilometer persegi yang meliputi 49 desa, yaitu desa Prajurut Kulon, Blooto, Surodinawan, Karangkedawang, Mojoranu, Modangan, Wringinrejo, Sembiroto, Balongwono, Bicak, Budugsiderejo, Pakis, Sentonorejo, Temon, Beloh, Domas, Jambuwok, Watesumpak, Jatipasar, Trowulan, Bejijong, Kejagan, Wonorejo, Panggih, Tawangsari, Balongwono, Bicak, Jatirejo, Dinoyo, Lebakjabung, Tanggalrejo, Mojotrisno, Dukuhharho, Gebangsari, Gading, Sumengko, Kemitir, Temon, Miagan, Sentonorejo, Dukuhdimoro, Johowinong, Gemekan, Murukan, Karobelah, Kedungmaling, Panggih, Seketi dan Klinterejo dan meliputi 4 (empat) kecamatan yaitu kecamatan Trowulan, kecamatan Sooko, kecamatan Mojoagung, dan Kecamatan Mojowarno serta meliputi 2 (dua) kabupaten yaitu Kabupaten Mojokerto dan kabupaten Jombang, Provinsi Jawa Timur.

Sebagaimana dengan telah ditetapkannya Trowulan sebagai Kawasan Cagar Budaya Nasional ini membuat banyak pihak merespon dengan menuai pendapat pro dan kontra serta yang secara tidak langsung juga menuai perbedaan kepentingan antar pihak yang berkaitan, khususnya dengan industri batu bata yang berada tidak jauh dari lokasi cagar budaya tersebut.Jumlah industri batu bata ini pun tergolong tidak sedikit, yaitu sebanyak 3565 pabrik batu bata dalam skala kecil dan besar berdiri menyebar di seluruh wilayah kecamatan Trowulan. Pada setiap desa rata-rata hampir terdapat ratusan industri batu bata yang berdiri di situ, baik di sekitar kawasan cagar budaya maupun di halaman rumah masyarakat sendiri, dan pada setiap linggan (tempat untuk membuat batu bata) memiliki paling tidak 2-3 buruh untuk mengerjakan proses batu bata tersebut, jadi tidak heran apabila di kecamatan Trowulan rata-rata bermata pencaharian di bidang industry batu bata. Jumlah industri batu bata ini bukan menyusut, tetapi malah makin banyak dan tentunya makin berlipat sekarang. Aktor-aktor yang terlibat dalam Konflik Pelestarian Cagar Budaya Trowulan, Kabupaten Mojokerto Dalam program atau kegiatan pelestarian cagar budaya trowulan banyak pihak yang terlibat untuk melestarikan dan melindungin cagar budaya tidak hanya pihak pemerintah melainkan pihak masyarakat ikut berperan. Pihak yang dimaksud oleh peneliti juga bisa di sebut sebagai aktor. Aktor yang terlibat dalam konflik Pelestarian Cagar Budaya Trowulan ini adalah pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Trowulan, Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Mojokerto, Badan Pengurus Pembangunan Daerah (BAPPEDA), DPRD, pihak Kecamatan, masyarakat desa, serta pelaku industri batu bata itu sendiri seperti buruh, juragan dan pemilik lahan batu bata tersebut.

385

Jurnal Politik Muda, Vol. 3 No. 3, Agustus-Desember 2014, 381-395

BPCB Trowulan memiliki peran yang penting terkait pelestarian cagar budaya ini dalam masalahnya dengan pihak industri batu bata yang sekarang ini semakin menjamur di sekitaran lokasi yang seharusnya tidak diperkenankan untuk didirikan adanya industri. seharusnya industri batu bata tersebut tidak diperkenankan untuk didirikan di sekitar cagar budaya, atau sekitar situs. Hal ini telah terungkap karena dibuktikan dari hasil penelitian BPCB sendiri yang luas lahan di situs Trowulan sebagian besar rusak yang bisa bertambah setiap tahun mengingat geliat industri batu bata yang terus marak. Lahan yang rusak karena tanah tersebut kerap dikeruk atau diambil sebagai bahan baku batu bata itu sangat mengancam keberadaan situs tesebut.

Lembaga ini merupakan lembaga yang bertugas dalam bidang pemeliharaan, perlindungan, pemugaran, dokumentasi, penyuluhan, pengamanan terhadap peninggalan purbakala yang bergerak maupun yang tidak bergerak serta situs termasuk yang berada di lapangan, ruangan, peninggalan arkeolog bawah air ataupun sebagainya. BPCB dipimpin oleh seorang Kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Kebudayaan. Selain itu pelaksanaan zonasi cagar budaya juga dilaksanakan oleh pihak BPCB. Pemanfaatan zona pada cagar budaya ini pun dapat dilakukan untuk tujuan rekreatif, edukatif, apresiasif atau religi. Penetapan luas, tata letak, dan fungsi zona ditentukan berdasarkan hasil kajian dengan mengutamakan peluang peningkatan kesejahteraan rakyat. Dalam kasus ini pihak BPCB Trowulan selaku peran utama di Jawa Timur yang mengurus berbagai permasalahan cagar budaya yang ada di Jawa Timur, dalam penanganan khusus untuk cagar budaya Trowulan ini merasa kebingungan dan menemukan kesusahan dalam permasalahannya mengenai industri batu bata yang sudah ada dari jaman dulu, kekhawatiran akan situs Trowulan sebenarnya sudah dirasakan sejak 1960 an, ketika itu perusakan besar-besaran terjadi di sana. Masyarakat mengambili batu bata merah dari pekarangan rumah mereka untuk di tumbuk menjadi bahan baku pembuatan semen merah. Pernyataan yang sama juga diungkapkan oleh salah satu perangkat SKPD, tidak hanya pihak BPCB saja yang merasa susah mengatasi tindakan industri batu bata ini, salah satu perangkat SKPD pun merasa kesusahan saat memberikan pernyataan terkait semakin rusaknya situs Trowulan akibat penggerusan tanah dari industri batu bata ini. Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Mojokerto dalam bidang Kesejarahaan dan Kepurbakalaan ini pun sendiri memiliki tugas-tugas yang diantaranya adalah membantu pelaksanaan perijinan HO, pembebasan tanah, perijinan yang berkaitan dengan sebaran cagar budaya, melaksanakan pemantauan , serta melaksanakan tugas-tugas kedinasan lain. Disporabud tentu saja juga memantau sejumlah tempat pariwisata yang ada di kabupaten Mojokerto. Cagar budaya Trowulan juga turut serta diperhatikan oleh disporabud, karena salah satu dari cagar budaya Trowulan tersebut dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) setempat. Setidaknya ada ribuan keluarga yang menggantungkan hidupnya pada industri batu bata, di samping itu pula upaya membuka lahan pertanian juga menjadi ancaman karena Trowulan pada saat musim kemarau cenderung sangat kering.

Pertumbuhan industri batu bata yang memang telah mampu memenuhi kebutuhan dasar sebagian masyarakat ternyata sampai saat ini tidak dapat dikendalikan meskipun mereka tidak mempunyai ijin untuk membangun, mereka tetap percaya diri dalam mempertahankan tanahnya, sebagaimana yang di ungkapkan buruh batu bata di sekitar candi Brahu desa Bejijong, tanah di sekitar candi brahu adalah tanah milik masyarakat sendiri sejak dari dulu, yang secara tidak langsung pihak selain masyarakat tidak berhak untuk mengotak-atik tanah tersebut, kecuali dari pihak masyarakat sendiri apabila ada yang ingin menyewa lahan untuk industri batu bata. Untuk urusan biaya menyewa lahan pun cukup mahal apabila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, yang hanya sekitar belasan juta, berbeda dengan tahun sekarang ini yang biaya mencapai sekitar 20-30 juta per tiga tahun, yang juga dalam persetujuan penyewaan pun di

386

Jurnal Politik Muda, Vol. 3 No. 3, Agustus-Desember 2014, 381-395

sepakati seberapa dalam penggalian, rata-rata dalamnya penggalian tanah adalah 1,5 meter, apabila mereka menggali lebih dari yang mereka sepakati, mereka akan terkena biaya tambahan dari pihak pemilik lahan tersebut yang menyewakan pada juragan batu bata guna dipekerjakan untuk buruhburuh mereka. Berdasarkan kegiatan penggalian tanah yang sering mereka lakukan ini yang semakin di keruk, tidak jarang mereka menemukan berbagai macam peninggalan-peninggalan sejarah jaman kerajaan Majapahit, entah itu peninggalan yang bersifat kecil sampai besar sekalipun, maka inilah sebabnya mengapa mereka disebut-sebut oleh pihak pemerintah sebagai biang keladi yang menjadi tokoh utama yang cikal bakalnya akan mengancam punahnya situs Trowulan, karena tindakan mereka yang terus menerus mengeruk tanah untuk penggalian sebagai bahan baku tanah sendiri untuk pembuatan industri batu bata yang berada di sekitaran cagar budaya, candi-candi. Menurut ungkapan salah satu pengrajin batu bata yang pada saat itu pernah menemukan benda peninggalan sejarah Kerajaan Majapahit yang berupa semacam sendok, dan benda seperti wayang-wayangan, dia enggan membawa dan menyerahkannya ke pihak kabupaten atau pihak BPCB karena di rasa akan merugikan dirinya sendiri, seperti yang dialami oleh temannya yang berada di belakang lahan miliknya, yang membawa penemuan tersebut ke pihak kabupaten dan hanya di upahi sejumlah 10 juta rupiah saja.

Cerita lain menurut masyarakat sekitar sendiri, salah satu diantara mereka menemukan benda peninggalan yang bernilai besar, dan hal ini ternyata sampai ke telinga pihak kepolisian, lantas pihak kepolisian pun mendatanginya kemudian membawa nya ke kantor polisi, setelah di periksa dan dinyatakan tidak bersalah, dia justru tidak mendapat upah apa-apa atas benda yang telah ia temukan tersebut, yang ada malah dia berurusan dengan pihak kepolisian, dan tidak mendapatkan imbalan sepeser pun.Menurut paparan salah satu masyarakat batu bata pun mengatakan pernah menemukan piring, vas bunga dan tembikar yang kondisinya tinggal pecahannya saja, setelah melaporkan kepada pihak BPCB, mereka hanyalah datang beberapa kali ke tempat penemuan tersebut yaitu di desa Nglinguk, kecamatan Trowulan kemudian mereka tidak melakukan kegiatan apapun. Setelah mengetahui demikian hal ini membuatnya enggan untuk melaporkan kembali apabila menemukan penemuan-penemuan, dan dia lebih memilih untuk menjual nya saja. Terkait dengan batas perlindungan cagar budaya, pihak BPCB pun menjelaskan Zonasi itu perlu dilakukan untuk menegetahui batas batas perlindungan cagar budaya. Zonasi itu sendiri ada 3. Ada zona inti, zona pengembang, penyangga, penunjang. zona inti dalam wawancara di atas adalah area perlindungan utama untuk menjaga bagian terpenting Cagar Budaya. Sedangkan zona penyangga merupakan area yang melindungi zona inti. Zona pengembangan, merupakan area yang di peruntukkan bagi pengembangan potensi cagar budaya bagi kepentingan rekreasi, daerah konservasi lingkungan alam, lanskap budaya, kehidupan budaya tradisional, keagamaan dan kepariwisataan. Dan yang terakhir adalah zona penunjang, dengan area yang di peruntukkan bagi sarana dan prasarana penunjang serta untuk kegiatan komersial dan rekreasi umum.Untuk diketahui bahwa selama ini industri batu bata banyak yang didirikan di sekitar cagar budaya, banyak linggan-linggan (sebutan untuk tempat memproduksi batu bata) yang bersebelahan dan letaknya sangat dekat sekali dengan cagar budaya hanya beberapa meter saja apabila dari batas tembok tempat pariwisata budaya itu, dan kondisi seperti ini telah berlangsung dari jaman dahulu sampai sekarang, bahkan semakin banyak saja sekarang lahan-lahan baru yang di buka untuk di sewakan guna keperluan industri batu bata.

387

Jurnal Politik Muda, Vol. 3 No. 3, Agustus-Desember 2014, 381-395

Linggan yang berlokasi sangat dekat dengan tembok batas candi Tikus. Industri rumahan ini dikerjakan tanpa memandang lokasi. Seperti bersebelahan dengan Candi Tikus ini misalnya, dan mereka mengaku sudah lama membuat batu bata di area sana, dengan lahan sekitar 7m x 30m. Aktifitas ekonomi kecil seperti ini yang dikhawatirkan bisa mengancam lingkungan cagar budaya, dan semua yang mereka kerjakan tanpa meminta pertimbangan pihak pemerintahan ataupun BPCB, bahkan mirisnya salah seorang kepala lurah dan salah seorang petugas penjaga candi di salah satu tempat pariwisata cagar budaya di kecamatan Trowulan itu pun mengaku sebagai juragan batu bata yang merangkap prtugas penjaga di salah satu pariwisata cagar budaya Trowulan, sekali lagi biaya kehidupan selalu menjadi alasan yang paling kuat dan menjadi problema masyarakat industri batu bata itu sendiri, permintaan dari pasar juga masih tinggi. Tanah di kecamatan Trowulan pun bisa dibilang cukup bagus dalam tekstur dan kualitasnya sehingga hal ini menjadikan pula mengapa di kecamatan Trowulan sebagian besar warganya bermata pencaharian di bidang industri batu bata. Interaksi antar aktor dalam Konflik Pelestarian Cagar Budaya Trowulan Kabupaten Mojokerto Sebagai langkah awal dalam menghidupkan kembali sejarah kerajaan Majapahit dan juga membangkitkan kembali dari pelecahan industri yang tengah di alami di kecamatan Trowulan ini, akhirnya pihak pemerintah telah menetapkan SK pemerintahan yang berisikan bahwa Trowulan merupakan Kawasan Cagar Budaya tingkat Nasional. Sebenarnya permintaan Trowulan untuk segera di tetapkan sebagai kawasan Cagar Budaya Nasional pun sudah dari dulu dilayangkan, namun masih dalam proses yang cukup lama, sampai pada akhirnya terjadilah kasus pembangunan proyek Pabrik Baja yang berada di desa Jatipasar, yang juga berada tidak jauh hanya 500 meter saja dengan lokasi cagar budaya yaitu candi Wringin Lawang. Pihak pabrik baja telah membeli lahan seluas 3,6 hektar di perbatasan Desa Jatipasar dan Watesumpak kecamatan Trowulan, kabupaten Mojokerto untuk dibangun pabrik pengecoran dan peleburan baja. Sebelumnya lahan tersebut dipergunakan untuk industri pengolahan padi dan palawija oleh PT Pembangkit Ekonomi Desa (PED) sejak tahun 1971. Pihak pabrik baja telah meminta pertimbangan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Trowulan, hingga mengantongi izin prinsip dari Bupati Mojokerto dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) serta persetujuan warga desa Jatipasar. Sejumlah persyaratan diklaim sudah dipenuhi pihak Pabrik Baja termasuk dokumen pengelolaan lingkungan dan limbah pabrik yang tercantum dalam Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) hidup. Setelah mendapat rekomendasi dari BPCB Trowulan , barulah pihak pabrik baja mendapat izin prinsip dari bupati hingga IMB.

Pada saat itu pabrik baja masih dalam tahapan membangun pondasi, dan dalam proses perijinan bangunan, pemilik pabrik baja tersebut mengaku telah melalui prosedur yang benar, namun ternyata hal itu dibantah oleh pihak pemerintah, yang ternyata tidak memperbolehkan pabrik baja tersebut untuk didirikan di sekitar lokasi cagar budaya tersebut, dan akhirnya pihak pabrik baja pun kalah dan menghentikan proyekan tersebut karena di samping larangan dari pemerintah untuk segera memberhentikan proyek pabrik tersebut, sebagian masyarakat juga

388

Jurnal Politik Muda, Vol. 3 No. 3, Agustus-Desember 2014, 381-395

mendemo nya karena terkait dengan pelestarian cagar budaya, yang secara tidak langsung harus dijaga dan dibersihkan dari perindustrian, dan sementara itu juga limbah yang di hasilkan nantinya akan mengganggu kelangsungan hidup dan kesehatan masyarakat sekitar, selain itu ada sebagian masyarakat juga yang mendukung dengan di didirikannya pabrik di daerah tersebut dengan alasan untuk mencari nafkah.

Akibat polemik yang terjadi ini, klien dari pihak pabrik baja merasa sangat dirugikan, karena mereka telah bekerja berdasar schedule dan waktu yang direncanakan sejak awal, yang berakibat pada jadwal yang telah disusun meleset dari target. Perusahaan telah menyusun jadwal pembangunan pabrik hingga mendatangkan sejumlah mesin dan peralatan lainnya, selain itu juga terkait (modal) perbankan, dengan kejadian ini bank akan menjadi ragu. Pertumbuhan penduduk yang cepat di dalam satuan ruang geografis Trowulan menjadi kawasan yang sangat padat yang mengakibatkan banyak struktur dan benda-benda purbakala kehilangan konteksnya. Penggalian tanah yang rata-rata mencapai kedalaman 1-4 meter menyebabkan lapisan budaya Majapahit pada kedalaman itu turut terbongkar dan hilang. Mengingat saat ini tanah yang digali makin luas, maka warisan budaya Majapahit semakin rusak dan hilang dan akhirnya atas desakan sebagian masyarakat dan pemerintah maupun SKPD yang terlibat, maka SK tersebut dengan cepat telah di tetapkan. Dengan telah diterbitkannya SK ini maka secara tidak langsung telah berlaku peringatan bahwa daerah kawasan cagar budaya nasional tersebut harus bersih dari perindustrian dari skala mikro maupun besar, kecuali perindustrian yang bersifat budaya. Industri yang bersifat budaya disini ialah industri yang memproduksi seperti kuningan atau patung-patung yang menyerupai tokoh-tokoh atau segala yang berhubungan dengan peninggalan kerajaan Majapahit, sehingga dapat pula dijadikan sebagai tempat wisata.

Penerbitan kebijakan berupa SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI mengenai kawasan cagar budaya nasional ini rupanya juga menimbulkan kesalah pahaman dengan pihak BAPPEDA, waktu itu bpk kepala BAPPEDA pernah berpendapat bahwa seakan-akan Pemerintah Pusat dalam menerbitkan SK nya mengenai ketetapan kawasan Cagar Budaya Nasional dianggap cacat, karena tidak melibatkan atau berkoordinasi dngan kab. Mojokerto selaku pemilik area yang dimaksud. Telah terjadi kesalah pahaman kepala Bappeda dengan pihak pemerintah pusat, kepala Bapedda menganggap bahwa dalam penetapan tersebut pihak pemkab Mojokerto tidak di ikut serta kan dalam SK tersebut, padahal kenyataannya dalam proses, pemerintah kabupaten Mojokerto telah terlibat dalam proses, mulai dari proses pemerintah daerah maupun proses dari pusat pemerintahan. Hal ini sempat memicu ketegangan antar pihak yang terkait. Berunjuk rasa menjadi upaya perjuangan pihak masyarakat untuk menolak penetapan Kawasan Cagar Budaya Nasional

Munculnya larangan dan peringatan untuk membersihkan daerah kawasan cagar budaya nasional dari daerah perindustrian secara tidak langsung membuat daerah kawasan industri batu bata yang telah tersebar di daerah manapun harus segera di bersihkan guna kepentingan pelestarian cagar budaya Trowulan. Namun dengan telah di tetapkannya Trowulan sebagai kawasan cagar budaya nasional, ternyata menimbulkan polemik baru. Geografis kawasan cagar budaya Trowulan yang berada di pemukiman warga juga jadi kesulitan dalam pelestarian dan pengelolaan cagar budaya, dan terjadi kesenjangan pendapat antar pihak yang pro dan kontra terhadap perindustrian di kecamatan Trowulan, karena lahan yang mereka pakai untuk batu bata industri tersebut merupakan tanah milik masyarakat sendiri dan pihak selain masyarakat tidak mempunyai kuasa untuk mengusir mereka.

389

Jurnal Politik Muda, Vol. 3 No. 3, Agustus-Desember 2014, 381-395

Masyarakat yang kontra terhadap penetapan kawasan cagar budaya dan warga yang tergabung dalam LSM Peduli Lapangan Kerja ini kawatir apabila hal ini akan menghambat investor yang akan masuk dan membatasi ruang gerak masyarakat, karena apabila investasi terhambat, maka otomatis menutup terciptanya lapangan kerja, padahal jumlah masyarakat yang lulus sekolah dan siap bekerja di Mojokerto semakin bertambah, otomatis mereka merasa drugikan dan mereka tidak segan-segan melakukan tindakan apapun asal industri ekonomi tetap berjalan di Trowulan. Mereka sebenarnya mendukung upaya pelestarian cagar budaya tetapi hal itu juga tanpa mengurangi kepentingan investasi ekonomi, menurutnya pelestarian per situs saja belum benar, bisa terlihat dalam peran pemerintah pun masih terkesan cuek terhadap pariwisata budaya, dan tidak berdampak pada ekonomi masyarakat seperti misal meningkatkan kualitas hidup. Dalam aksinya, mereka menolak keputusan menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI tentang penetapan kawasan cagar budaya nasonal, dengan mengendarai ratusan sepeda motor, tiba di depan kantor BPCP trowulan yang diteruskan menuju Kabupaten Mojokerto. Warga menyampaikan tuntutanya melalui pengeras suara, spanduk dan juga kaos seragam warna putih yang bertuliskan menolak kawasan Trowulan sebagai cagar budaya nasional.

Hal ini merupakan dari salah satu jenis konflik, yaitu konflik kepentingan atau (conflict of interest). Jenis konflik yang mempunyai ciri konflik individual dan konflik interpersonal adalah konflik kepentingan atau konflik interes. Konflik ini berkaitan dengan konflik dalam diri seorang individu dalam suatu altar sistem sosial (organisasi atau perusahaan) yang membawa implikasi bagi individu dan sistem sosialnya. Konflik interes adalah suatu situasi konflik dimana seorang individu – pejabat atau aktor sistem sosial – mempunyai interes personal lebih besar daripada interes organisasinya sehingga memengaruhi pelaksanaan kewajibannya sebagai pejabat sistem sosial dalam melaksanakan kepentingan (tujuan) sistem sosial. Dalam kasus ini pihak masyarakat batu bata atau pihak masyarakat yang kontra dengan penetapan kebijakan yang telah diatur pemerintah mengenai Kawasan Cagar Budaya Nasional, berusaha untuk mempengaruhi pemerintah dalam pelaksanaan kepentingannya untuk melestarikan cagar budaya Trowulan. Mereka menganggap bahwa dengan ditetapkan Trowulan sebagai kawasan Cagar Budaya Nasional, akan mempersempit lapangan kerja bagi masyarkat sekitar, oleh sebab itu mereka melakukan demo besar-besaran agar pemerintah menghapus kebijakan penetapan Kawasan Cagar Budaya Nasional tersebut.

Kendala-kendala yang di alami pihak BPCB dalam melakukan Pelestarian Cagar Budaya Trowulan Kebijakan merupakan sebagai apa yang di nyatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan itu dapat berupa sasaran atau tujuan dari program-program pemerintah. Penetapan kebijakan tersebut dapat secra jelas diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan atau dalam pidato-pidato pejabat teras pemerintah serta program-program dan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah.Kebijakan merupakan serangkaian tindakan yang menjadi keputusan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan seseuatu yang bertujuan untuk memecahkan masalah demi kepentingan bersama.

Dalam suatu kebijakan pastilah menemukan kendala dalam setiap mencapai tujuan yang akan dilaksanakan, begitu pula dengan pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Trowulan yang juga menemui beberapa kendala dalam kepentinganngya untuk melaksanakan tugas mereka guna melestarikan dan menjaga peninggalan-peninggalan sejarah kerajaan Majapahit atau situs-

390

Jurnal Politik Muda, Vol. 3 No. 3, Agustus-Desember 2014, 381-395

situs cagar budaya yang tersebar di seluruh kecamatan Trowulan ini. Dalam kasus ini pihak BPCB menginginkan untuk melakukan pembebasan lahan pada daerah yang telah di gali untuk kepentingan industri batu bata ini, tapi keinginan itu tidak serta merta dengan mudah untuk dilakukan, ternyata pihak BPCB terhalang oleh tidak adanya anggaran yang cukup, Pihak pemerintah tidak mampu untuk melakukan pembebasan lahan yang seluas hektaran itu, menurutnya hal itu terganjal dengan urusan anggaran atau dana dari pemerintah. Pemerintah hanya mengucurkan dananya untuk proyek rumah Majapahit yang rencananya akan dilaksanakan di tiga desa yang tersebar di kecamatan Trowulan, yaitu desa Jati pasar, desa Bejijong dan desa Sentonorejo. Pihak BPCB sangat berharap agar pihak pemerintah menyisihkan anggarannya guna pembebasan lahan serta memberikan ketrampilan bagi masyarakat agar bisa beralih ke profesi lain. Selain dari aspek angggaran yang menjadi kendala pihak BPCB lainnya adalah dari pihak masyarakat sendiri, kesadaran masyarakat di sini adalah yang sangat penting dan utama untuk di perlukan dalam melaksanakan tujuan BPCB itu sendiri, apabila tidak ada rasa kesadaran diri di dalam diri masyarakat masing-masing untuk mau melestarikan cagar budaya milik daerah mereka sendiri, itu merupakan hal percuma dan sia-sia. Sering juga kita temui di lapangan banyak masyarakat industri batu bata tersebut yang menemukan barang peninggalan tetapi dia tidak malah melaporkan namun menjual sendiri atas tidak sepengathuan pihak yang berwajib sebagai pengurus bidang ini. Hal ini tentu saja sangat di sayangkan, meskipun barang yang mereka temukan kecil tapi itu adalah sebuah nilai yang luar biasa bagi pihak BPCB sendiri, karena merupakan peninggalan yang seharusnya di letakkan dan di jaga rapi di museum bukan malah di jual bebas. Meskipun dalam aturan perundang-undangan pasal 66 dan 67 UU no 11 tahun 2010 telah mengatur tentang larangan perusakan terhadap cagar budaya, masyarakat tetap tidak mau tahu, karena mereka merasa lahan itu milik mereka sendiri, terserah mereka mau melakukan apa saja, apalagi untuk urusan perut dan mata pencaharian masyarakat. Dari pihak pemerintah kabupaten Mojokerto itu sendiri yang rupanya belum memiliki perda tentang cagar budaya,juga merupakan batu sandungan yang dialami oleh pihak BPCB. Bagaimana bisa mengusir mereka, dari aspek ini saja pemkab belum punya, jelas bahwa masyarakat industri batu tidak peduli, apabila sudah ada larangan yang pasti yang tertuang pada perda cagar budaya kab. Mojokerto , barulah kemungkinan pihak masyarakat batu bata akan membuat mereka lebih berpikir dengan larangan tersebut. Upaya yang di lakukan Pihak BPCB dalam Pelestarian Cagar Budaya Trowulan

Dalam menggapai tujuannya guna kepentingan melestarikan cagar budaya, upaya BPCB telah bekerjasama dengan pihak pemda dan pemerintah pusat dalam membuat kebijakan yaitu yang menetapkan kecamatan Trowulan sebagai kawasan Cagar Budaya Nasional, yang juga sebagai langkah awal untuk mengatur kembali bidang perindustrian yang ada di kecamatan Trowulan tersebut. Selain itu pihak BPCB juga melakukan sosialisasi yang telah diadakan pada bulan Mei lalu dengan masyarakat luas terkait dengan status Trowulan sebagai daerah kawasan cagar budaya Nasional, yang berlangsung di Museum Majapahit kecamatan Trowulan kab. Mojokerto. Sosialisasi ini bertujuan untuk mendiskusikan dan membahas tentang status Trowulan sebagai daerah kawasan Cagar Budaya nasional. Untuk mengatasi masalah dengan pihak industri batu bata, pihak BPCB smpai sekarang perlahan mengambil langkah pendekatan kepada masyarakat itu sendiri, yang dimaksud pendekatan itu adalah mereka terjun langsung dengan masyarakat sekitar dan berinteraksi, selain itu juga mereka meninjau aktifitas penggalian batu bata yang berada di sekitar cagar budaya,

391

Jurnal Politik Muda, Vol. 3 No. 3, Agustus-Desember 2014, 381-395

langkah ini digunakan agar masyarakat batu bata setidaknya mau untuk mengurangi sedikit demi sedikit kegiatan yang seharusnya dilarang itu, meskipun hal ini akan melalui proses yang sangat lama, kecuali apabila pihak pemerintah memiliki anggaran untuk membebaskan lahan tersebut.

Seperti konsep tujuan konflik, bahwa secara umum ada tujuan dasar setiap konflik, yakni mendapatkan dan/atau mempertahankan sumber-sumber. Tujuan konflik untuk mendapatkan sumber-sumber merupakan ciri manusia yang hidup bermasyarakat karena manusia memerlukan sumber-sumber tertentu baik yang bersifat materiil-jasmaniah maupun spiritual-rohaniah untuk dapat hidup secara layak dan terhormat dalam masyarakat, yang ingin diperoleh manusia meliputi hal-hal yang sesuai dengan kehendak bebas dan kepentingannya. Dalam hubungannya dengan kasus ini setiap pihak pastilah ingin mempertahankan sumber daya yang mereka miliki, seperti halnya dengan pihak batu bata yang ingin mempertahankan lahan tanah nya, karena itu merupakan sumber mata pencaharaian mereka, begitu pula dengan pihak BPCB yang juga ingin mempertahankan lahannya guna kepentingan menjaga kelestarian cagar budaya yang sudah pasti menjadi tugas mereka tersebut.

Terdapat tiga faktor yang menyebabkan terjadinya konflik, Pertama, Determinan tingkat aspirasi. Aspirasi bangkit dan kemudian menghasilkan konflik karena salah satu dari dua alasan, yaitu masing-masing pihak memiliki alasan untuk percaya bahwa mereka mampu mendapatkan sebuah objek bernilai untuk diri mereka sendiri atau mereka percaya bahwa mereka berhak memiliki objek tersebut. Masing-masing pihak sama-sama yakin bahwa mereka lah yang berhak memiliki lahan yang mereka perebutkan tersebut, yang tentu saja mereka mempunyai kepentingan masing-masing dalam alasan mereka. Seperti pihak industri batu bata yang merasa berhak memiliki lahan tersebut, karena itu merupakan tanah mereka yang telah dimiliki sejak jaman dulu. Kedua, Determinan persepsi tentang aspirasi pihak lain. Konflik dapat terjadi ketika salah satu pihak benar-benar merasa puas dengan posisinya dan menganggap pihak lain mengancam posisinya tersebut. Konflik juga dapat timbul ketika suatu keputusan mengenai masa depan harus diambil dan pihaknya maupun pihak lain mengambil posisi yang berbeda mengenai arah yang harus diambil. Dalam kasus ini pihak masyarakat batu bata merasa terancam dengan adanya larangan yang muncul dari pihak pemerintah yang mengharuskan untuk sedikit demi sedikit mengurangi kegiatan penggalian tanah itu dan yang nantinya akan berharap supaya tidak ada lagi kegiatan penggalian tanah sebagai bahan baku pembuatan batu bata tersebut.

Ketiga, Tidak adanya alternatif yang dapat diterima semua pihak. Suatu pihak juga harus memiliki persepsi bahwa aspirasi kedua belah pihak tidak kompatibel satu sama lain. Pada suatu saat tampaknya tidak ada alternatif yang mungkin akan berhasil dicapai oleh kedua belah pihak, atau masing-masing pihak berusaha untuk mencapai tujuannya meskipun harus dengan membebankan kerugiannya pada pihak lain. Seperti hal nya dengan konflik ini, belum ada alternatif atau cara yang tepat yang membuat mereka merasa adil dengan keputusan, terbukti bahwa pihak BPCB yang masih belum bisa menemukan solusi yang tetapat dalam upaya nya menyelematkan dan melestarikan cagar budaya, yang tentunya juga tidak merugikan pihak industri. Kendati demikian penetapan KCBN merupakan langkah awal yang dilaksanakan oleh pihak BPCB tersebut agar kegiatan industri yang berada di sekitar cagar budaya khususnya industri batu bata dapat berangsur berkurang, sehingga lahan tersebut dapat dipergunakan untuk kepentingan pihak BPCB sendiri.

392

Jurnal Politik Muda, Vol. 3 No. 3, Agustus-Desember 2014, 381-395

Kesimpulan Dalam konflik pelestarian cagar budaya ini aktor yang terlibat ialah pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Trowulan, Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Mojokerto, Badan Pengurus Pembangunan Daerah (BAPPEDA), DPRD, pihak Kecamatan, masyarakat desa, serta pelaku industri batu bata itu sendiri seperti buruh, juragan dan pemilik lahan batu bata tersebut.

Hal ini termasuk dalam salah satu jenis konflik, yaitu konflik kepentingan atau (conflict of interest). Jenis konflik yang mempunyai ciri konflik individual dan konflik interpersonal adalah konflik kepentingan atau konflik interes. Konflik ini berkaitan dengan konflik dalam diri seorang individu dalam suatu altar sistem sosial (organisasi atau perusahaan) yang membawa implikasi bagi individu dan sistem sosialnya. Seperti konsep tujuan konflik menurut Bapak Ramlan Surbakti, bahwasecara umum ada tujuan dasar setiap konflik, yakni mendapatkan dan atau mempertahankan sumber-sumber. Tujuan konflik untuk mendapatkan sumber-sumber merupakan ciri manusia yang hidup bermasyarakat karena manusia memerlukan sumber-sumber tertentu baik yang bersifat materiil-jasmaniah maupun spiritual-rohaniah untuk dapat hidup secara layak dan terhormat dalam masyarakat, yang ingin diperoleh manusia meliputi hal-hal yang sesuai dengan kehendak bebas dan kepentingannya. Terdapat tiga faktor menurut teori konflik Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin yang menyebabkan terjadinya konflik, Pertama, Determinan tingkat aspirasi. Aspirasi bangkit dan kemudian menghasilkan konflik karena salah satu dari dua alasan, yaitu masing-masing pihak memiliki alasan untuk percaya bahwa mereka mampu mendapatkan sebuah objek bernilai untuk diri mereka sendiri atau mereka percaya bahwa mereka berhak memiliki objek tersebut, Kedua, Determinan persepsi tentang aspirasi pihak lain. Konflik dapat terjadi ketika salah satu pihak benar-benar merasa puas dengan posisinya dan menganggap pihak lain mengancam posisinya tersebut. Konflik juga dapat timbul ketika suatu keputusan mengenai masa depan harus diambil dan pihaknya maupun pihak lain mengambil posisi yang berbeda mengenai arah yang harus diambil, Ketiga, Tidak adanya alternatif yang dapat diterima semua pihak. Suatu pihak juga harus memiliki persepsi bahwa aspirasi kedua belah pihak tidak kompatibel satu sama lain. Pada suatu saat tampaknya tidak ada alternatif yang mungkin akan berhasil dicapai oleh kedua belah pihak, atau masing-masing pihak berusaha untuk mencapai tujuannya meskipun harus dengan membebankan kerugiannya pada pihak lain

393

Jurnal Politik Muda, Vol. 3 No. 3, Agustus-Desember 2014, 381-395

Daftar Pustaka

Buku : Bungin, Burhan. 2001, Metodologi Penelitian Sosial : Format-format Kuantitatif dan Kualitatif, Surabaya: Airlangga University Press Fatah, Eep S. 2010, Konflik, Manipulasi Dan Kebangkrutan Orde Baru (Manajemen Konflik Malari, Petisi 50 dan Tanjung Priok), Jakarta: Burungmerak press Hidayat Bern. 2005, Konflik-Konflik Dalam Ilmu Sosial, Yogyakarta: Kanisius

Nyoman, S Pendit. 1994, Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar Ilmu Perdana, Jakarta: PT Pradnya. Paramita Nyoman dan Pendit. 1990, Inventarisasi Industri Pariwisata Indonesia, Indonesia dalam Era Globalisasi, Jakarta: Bank Summa Pruitt, Dean G. dan Rubin, Jeffrey Z. 2004, Teori Konflik Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Rauf, Maswadi. 2001, Konsensus dan Konflik Politik, Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Surbakti, Ramlan. 2010, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Grasindo Wirawan. 2010, Konflik Dan manajemen Konflik (Teori, Aplikasi, dan Penelitian), Jakarta: Salemba Humanika Jurnal : Darwis, 2011. Elit Politik Lokal Dalam Konflik Ibukota Di Kabupaten Morowali, Jurnal Studi Pemerintahan, Volume 2 Nomor 2 Website: Cespratama,konsep Pengembangan Pariwisata. 2013, accesed 11 Oktober 2013;available from http://www.scribd.com/doc/27064086/A-KonsepPengembangan-Pariwisata-Pengembangan-Pariwisata-Merupakan

Dahlia. Candi wringinlawang. 2013, accessed 9 December 2013; available from http://candi.pnri.go.id/jawa_timur/wringinlawang/wringinlawang.htm

394

Jurnal Politik Muda, Vol. 3 No. 3, Agustus-Desember 2014, 381-395

Eko, Budiarto. Situs Trowulan. 2013, accessed 9 December 2013; available from http://kekunaan.blogspot.com/2012/05/situs-trowulan.html.

Fathoni, Ahmad. Trowulan Jawa Timur Indonesia. 2013, accesed 9 December 013; available from http://trowulan-mojokerto.blogspot.com/

Koran: Sugeng. 2013, penemuan peninggalan sejarah kerajaan Majapahit, Radar Mojokerto, 27 oktober 2013. Radar Mojokerto, Jawa Pos Peraturan: Peraturan Perundang-undangan nomer 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan Peraturan Perundang-undang nomer 11 tahun 2010 pasal 66 dan 67 tentang Larangan Perusakan terhadap Cagar Budaya Peraturan Perundang-undang Cagar Budaya no 5 tahun 1992 tentang Benda Peninggalan Jaman Sejarah Surat Keputusan Mendikbud RI Nomor260/M/2013 tentang Penetapan Satuan Geografis Trowulan sebagai Kawasan Cagar Budaya Trowulan

395