KONSERVASI INDIGENOUS SPECIES EKOSISTEM HUTAN RAWA GAMBUT RIAU

Download Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013. Semirata 2013 FMIPA Unila |333. Konservasi Indigenous Species Ekosistem Hutan Rawa Gamb...

1 downloads 568 Views 602KB Size
Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013

Konservasi Indigenous Species Ekosistem Hutan Rawa Gambut Riau Haris Gunawan1, Ahmad Muhammad1, Nurul Qomar2 1Laboratorium Pengelolaan Ekosistem dan Lingkungan, Departemen Biologi, FMIPA UR, 2Program Studi Kehutanan, Fak. Pertanian UR. Email: [email protected] Abstrak. Eksosistem hutan rawa gambut Riau termasuk kawasan ekoregion tersisa di Sumatra sebagai prioritas ekosistem yang harus di lindungi. Terdapat tiga element penting dalam konservasi, yaitu peleatarian (save), penelitian (study), dan pemanfaatan (use). Kajian ini diawali sejak tahun 2005 hingga sekarang. Lokasi kajian di tiga blok ekosistem hutan gambut dengan berbagai kondisi tutupan dan penggunaannya, antara lain, hutan alam di Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu, hutan greenbelt di area hutan tanaman industri di blok Semenanjung Kampar dan hutan sekunder di blok Kerumutan. Metode penelitian menggunakan berbagai pendekatan, termasuk penjelajahan (reconnaissance), membuat garis transek dan pembuatan plot dengan metoda Nest-Quadrat, wawancara kepada masyarakat, dan metode restorasi untuk mengembalikan jenis-jenis pohon asli yang mempunyai nilai konservasi tinggi, jenis pohon dengan kemampuan regenerasi alami yang rendah, jenis-jenis pohon penyusun utama hutan rawa gambut serta bermanfaat ekonomi pada masyarakat. Berdasarkan jenis-jenis pohon dominan, diklasifikasikan menjadi empat tipe hutan rawa gambut yaitu hutan rawa gambut campuran (mixed peat swamp forest), hutan paya meranti (meranti paya forest), hutan padang suntai (padang suntai forest) dan hutan bintangur (bintangur/pole forest). Jenis-jenis pohon dengan nilai konservasi tinggi, seperti; Gonystylus bancanus, Shorea uliginosa, Shorea teysmaniana, Vatica pauciflora Blume dan Madhuca motleyana. Pengembalian (restorasi) indigenous species seperti Dyera lowii, Tetramerista glabra, Palaquium sumtranum, Palaquium burckii, Cratoxylon arborescens, dan Callophllum lowii. dengan mengkombinasikan tujuan ekonomi dan konservasi. Melalui metode regenerasi alami, beberapa indigenous species dapat bertahan, seperti jenis Callophyllum lowii, Palaquium sumatranum, Gluta aptera dan Shorea uliginosa, dan sebagian besar indigenous secondary species mampu beregenerasi dengan baik di berbagai kondisi kerusakan ekosistem hutan rawa gambut. Kata Kunci: Hutan Rawa Gambut, Indigenous species, Konservasi

PENDAHULUAN Ekosistem hutan rawa gambut di Propinsi Riau dalam kondisi terancam dan terus menurun luasannya. Dari tahun 1982– 2007 daratan Riau kehilangan 57% dari luas total yang dimiliki atau tersisa sekitar 1,8 juta Ha. Konversi hutan alam rawa gambut yang berlangsung hingga kini diduga menjadi penyebab utama kerusakan dan berdampak terhadap hilangnya berbagai potensi keanekaragaman hayati. Semenanjung Kampar, Kerumutan, Giam Siak Kecil-Bukit Batu, Libo dan Blok Senepis merupakan benteng terakhir

ekosistem hutan rawa gambut di Riau. Blok hutan rawa gambut yang tersisa di lima kawasan ini seharusnya menjadi prioritas untuk di konservasi. Semenanjung Kampar dan Kerumutan misalnya masih menyisahkan hutan rawa gambut alami terluas di Indonesia dan bahkan dunia. Sedangkan blok Senepis mampu (viable) untuk fungsi-fungsi hidrologi jangka panjang bagi Propinsi Riau seperti penyedia air tawar dan menahan banjir pada saat musim hujan. Sebaliknya kawasan Libo dan Giam Siak Kecil-Bukit Batu kondisinya mengkuatirkan, jika tidak ada upaya-upaya konservasi dan restorasi, maka lahan Semirata 2013 FMIPA Unila |333

Haris Gunawan, dkk: Konservasi Indigenous Species Ekosistem Hutan Rawa Gambut Riau

gambut di kedua kawasan ini akan menjadi terdegradasi sangat berat dan bahkan akan hilang atau punah. (4,5) Kerusakan ekosistem hutan rawa gambut membutuhkan usaha dalam merestorasi. Restorasi bertujuan mengembalikan ekosistem yang telah rusak. Sehingga suatu ekosistem dapat menyediakan kembali fungsi-fungsi utamanya. (6,7) Restorasi lahan gambut tropika bertujuan untuk menghentikan atau mengurangi terjadinya pengeringan lebih lanjut akibat pembangunan kanal-kanal, mengembalikan vegetasi asli, memelihara carbon stok dan rosot karbon (carbon sink), dan mencegah berlanjutnya kebakaran. (8,7,9) METODE PENELITIAN Penelitian dimulai sejak tahun 2005 hingga saat ini. Pengambilan sampel dilakukan di Blok Kerumutan yaitu kawasan hutan Lintas Bono dan Kawasan hutan Piring Pocah, Sedangkan di Blok Semenanjung Kampar, sampling dilakukan di hutan rawa gambut greenbelts, dan selanjutnya untuk Blok Giam-Siak Kecil Bukit Batu, pengambilan sample di Suaka Margasatwa Bukit Batu dan hutan Bukit Sembilan. Eksperimen restorasi ekologi dikerjakan di area inti dan transisi Cagar Biosfer Giam Siak Kecil Bukit Batu, Riau dengan kondisi ekossitem hutan rawa gambut bekas tebangan (logged over forest) dan terbakar. Metode penelitian menggunakan berbagai pendekatan, termasuk penjelajahan (reconnaissance), membuat garis transek dan pembuatan plot dengan metoda NestQuadrat, wawancara kepada masyarakat, dan metode restorasi untuk mengembalikan jenis-jenis pohon asli yang mempunyai nilai konservasi tinggi, jenis pohon dengan kemampuan regenerasi alami yang rendah, jenis-jenis pohon penyusun utama hutan rawa gambut serta bermanfaat ekonomi pada masyarakat. Memfasilitasi kelompokkelompok target untuk dapat berperan serta

334|Semirata 2013 FMIPA Unila

aktif dalam upaya konservasi dan restorasi ekosistem rawa gambut melalui Kelompok Masyarakat Peduli Hutan (KMPH) desa Temiang dan Kelompok Masyarakat Lestari Hutan Gambut (KMLHG) desa Tanjung Leban, Kabupaten Bengkalis Riau. HASIL DAN PEMBAHASAN Kekayaaan hutan rawa gambut di Riau diklasifikasikan berdasarkan perbedaan komposisi jenis pohon dominan (Tabel 1). Sebaran utama hutan rawa gambut adalah tipe hutan campuran (MPSF), yang didominasi oleh jenis-jenis vegetasi yang berbeda pada setiap plot pengamatan. Karakteristik utama dari tipe hutan ini adalah ukuran rata-rata diameter batang lebih besar. Selain itu, kedalaman gambut lebih rendah dari pada tipe-tipe hutan rawa gambut lainnya, dimana kedalaman gambutnya mencapai rata-rata diatas 7 meter. Tabel 1. Tipe utama hutan rawa gambut di Riau

Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013

Pada tipe hutan rawa gambut campuran terutama berada dipinggiran sungai besar, yang juga dipengaruhi oleh adanya suplai hara dari sungai. Sebaliknya kubah gambut (peatdome) yang jauh dari sungai diwakili oleh tipe hutan bintangur (BF), dan sebagian tipe hutan ini, juga merupakan campuran jenis pohon meranti bunga (Shorea teysmaniana). Kajian restorasi ekologi pada ekosistem hutan rawa gambut yang mengalami gangguan atau kerusakan, terutama disebabkan oleh kebakaran, angin dan penebangan liar. Restorasi melalui proses alami yaitu dengan menentukan kemampuan regenerasi jenis-jenis vegetasi dipengaruhi oleh tingkat kerusakan dan tipe komunitas vegetasi penyusunnya (Gambar 1).

Regenerasi jenis-jenis pohon utama penyusun hutan rawa gambut ditunjukkan hasil yang berbeda pada lokasi pengamatan di hutan greenbelts (Tabel 2) Jenis-jenis pohon utama yang mengalami regenerasi didominasi oleh Gluta aptera, Swingtonia glauca, dan Shorea uliginosa. Jenis-jenis pohon lainnya termasuk dalam jenis pohon sekunder beregenerasi cukup baik di seluruh plot pengamatan. Hasil ini menunjukkan bahwa restorasi perlu dilakukan selanjutnya, dengan mengembalikan jenis-jenis utama penyusun ekosistem hutan rawa gambut. Tabel 2. Regenerasi hutan rawa gambut greenbelts

Pada tipe hutan rawa gambut campuran bekas penebangan liar, regenerasi jenis vegetasi penyusun utama didominasi oleh Palaquium sumatranum dan pada tipe hutan Bintangur dengan gangguan angin dan bekas terbakar jenis pohon yang mengalami regenerasi yaitu Callophylum lowii. Jenisjenis pohon utama penyusun ekosistem hutan rawa gambut tidak mengalami regenerasi dengan baik.

Gambar 1. Regenerasi hutan rawa gambut

Semirata 2013 FMIPA Unila |335

Haris Gunawan, dkk: Konservasi Indigenous Species Ekosistem Hutan Rawa Gambut Riau

Tabel 3. Status konservasi vegetasi hutan rawa gambut

Selain upaya mengembalikan jenis-jenis pohon yang mengalami masalah dalam regenerasi alaminya, restorasi diperlukan sebagai upaya tetap mempertahankan keberadaan kembali jenis-jenis pohon hutan rawa gambut yang bernilai konservasi tinggi (Tabel 3). Restorasi ekologi terhadap jenis-jenis pohon selain diupayakan untuk tujuan konservasi juga didesain memberikan manfaat ekonomi, terutama untuk masyarakat tempatan, seperti jenis pohon Dyera lowii (penghasil getah), Palaquium sumatranum (buah dan biji digunakan untuk membuat minyak goreng), Shorea uliginosa (prospek bioetanol) dan Callophylum lowii (prospek biodiesel). Restorasi dikerjakan di blok hutan rawa gambut Bukit Batu, dengan kondisi bekas

336|Semirata 2013 FMIPA Unila

tebangan liar dan terbakar. Sejak awal eksperimen restorasi dikerjakan, diupayakan peran serta dan keterlibatan masyarakat, seperti dalam pengumpulan anakan, pembangunan nursery, penyiapan lokasi tanam, dan monitoring. Masyarakat lokal tergabung dalam Kelompok Masyarakat Peduli Hutan (KMPH) desa Temiang, dan Kelompok Masyarakat Lestari Hutan Gambut (KMLHG) desa Tanjung Leban. Selain itu kerjasama dengan LIPI, Universitas Riau, BBKSDA Riau, Universitas Lancang Kuning, dan CTPRC Indonesia dengan program pemberdayaan masyarakat-Biovllage, telah mendesain CAMPING Program. Came & Planting berarti datang dan menanam. Siapapun yang datang ke kawasan konservasi disarankan untuk berbuat konservasi nyata dengan membeli anakan pohon, dan jika berkesempatan dapat menanam dimana lokasi penananaman telah disiapkan oleh masyarakat lokal. Selain berperan dalam upaya konservasi, dengan membeli anakan pohon di nursery-nursery yang dikelola oleh masyarakat, akan meberikan keuntungan atau insentif ekonomi dan masyarakat dapat meningkat kesadaran arti penting konservasi. Hal ini dilakukan sebagai upaya memperluas upaya-upaya konservasi ekosistem hutan rawa gambut dengan melibatkan peran serta masyarakat dan stakeholder yang lebih luas. Penguatan upaya-upaya konservasi juga telah dikembangkan oleh BBKSDA Riau di lokasi eksperimen restorasi dengan mendesai Model Desa Konservasi. Berbagai program didesain untuk masyarakat lebih peduli terhadap konservasi, terutama sebagai upaya mengurangi tekanan dan konversi kawasan konservasi Bukit Batu. Salah satu capaian dari program Model Desa Konservasi adalah semakin menguatnya kelembagaan KMPH sebagai mitra lokal dalam berperan serta mengelola kawasan konservasi SM Bukit Batu dan terbangunnya nursery pengadaan seedling di desa.

Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013

Meskipun restorasi dikerjakan masih dalam skala terbatas, hal ini dapat sebagai acuan ataupun model awal dalam upaya melanjutkan restorasi dan konservasi ekosistem hutan rawa gambut dengan melibatkan partisipasi masyarakat, baik pada tingkat lokal, nasional, dan global pada masa akan datang. KESIMPULAN Ekosistem hutan rawa gambut diklasifikasikan menjadi empat tipe yaitu hutan rawa gambut campuran (mixed peat swamp forest), hutan paya meranti (meranti paya forest), hutan padang suntai (padang suntai forest) dan hutan bintangur (bintangur/pole forest). Jenis-jenis pohon dengan nilai konservasi tinggi, seperti; Gonystylus bancanus, Shorea uliginosa, Shorea teysmaniana, Vatica pauciflora Blume dan Madhuca motleyana. Pengembalian (restorasi) indigenous species seperti Dyera lowii, Tetramerista glabra, Palaquium sumatranum, Palaquium burckii, Cratoxylon arborescens, dan Callophllum lowii. dengan mengkombinasikan tujuan ekonomi dan konservasi. Melalui metode regenerasi alami, beberapa indigenous species dapat bertahan, seperti jenis Callophyllum lowii, Palaquium sumatranum, Gluta aptera dan Shorea uliginosa, dan sebagian besar indigenous secondary species mampu beregenerasi dengan baik di berbagai kondisi kerusakan ekosistem hutan rawa gambut. Upaya lanjutan restorasi seharusnya melibatkan peran serta masyarakat luas dan tempatan, sebagai langkah menjamin keberlanjutan dalam pengelolaan ekosistem hutan rawa gambut kedepannya, terutama di blok hutan Bukit Batu. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini penuh mendapat dukungan pendanaan dari berbagai sumber, seperti

Projek GCOE Kyoto University tahun 2009-2012, Kementerian Lingkungan, Jepang tahun 2010-2012, Universitas Riau melalui skema Unggulan Lokal tahun 20092010, dan APRIL GRUP tahun 2005-2007, untuk itu diucapkan banyak terimakasih. Peran berbagai pihak antara LIPI-melalui projek Biovilage tahun 2012-2014, BBKSDA Riau melalui projek Model Desa Konservasi tahun 2010-2011, Masyarakat di desa Temiang dan Tanjung Leban, Sinar Mas Grup sangat membantu dalam pelaksanaan dilapangan, diucapkan terimakasih. DAFTAR PUSTAKA Jarvie, J., Jeyaraj, K. & Hardiono, M. (2003) A High Conservation Value Forest Analysis of the Giam Siak Kecil Landscape—Riau, Sumatra. Report to WWF International, Second Edition, 11– 22. WWF (2008) Deforestation, Forest Degradation, Biodiversity Loss and CO2 Emission in Riau, Sumatra, Indonesia: One Indonesian Province’s Forest and Peat Soil Carbon Loss over a Quarter Century and Its Plans for the Future. WWF Indonesia Technical Report, Jakarta, Indonesia, 7–11. Uryu Y. et all. 2008. Deforestasi, Degradasi Hutan, Hilangnya Keanekaragaman Hayati, dan Emisi CO2 di Riau, Sumatra, Indonesia. Laporan Teknik WWFIndonesia. Jakarta. Indonesia. Gunawan, H. (2011). Close observation in the Giam Siak Kecil - Bukit Batu Biosphere Reserve. In Special Edition Bulletin of Research and Development Board of Riau Province, Indonesia. 2nd International Workshop on South-South Cooperation Pekanbaru, Indonesia, 4-8 October 2011, pp. 5-7.

Semirata 2013 FMIPA Unila |337

Haris Gunawan, dkk: Konservasi Indigenous Species Ekosistem Hutan Rawa Gambut Riau

Gunawan, H., Kobayashi, S., Mizuno, K., Kono, Y., (2012). Peat Swamp Forest Types and Their Regeneration in the Giam Siak Kecil-Bukit Batu Biosphere Reserve, Riau, Indonesia. Mires and Peat, Vol. 10. International Mire Conservation Group and International Peat Society. Finland. SER (2004). The SER Primer on Ecological Restoration, Version 2. Society for Ecological Restoration Science and Policy Working Group. http://www.ser.org/reading_resources.as p Page, S.E., Hoscilo, A., Wosten, H., Jauhiainen, J., Silvius, M., Rieley, J.O., Ritzema, H., Tansey, K., Graham, L.,

338|Semirata 2013 FMIPA Unila

Vasander, H. & Limin, S.H. (2008) Restoration ecology of lowland tropical peatlands in Southeast Asia: Current knowledge and future research directions. Springer Science + Business Media, LLC. DOI: 10.1007/s10021-0089216-2. Hooijer, A., Silvius, M., Wösten, H.J.M., Page, S.E. (2006) PEAT-CO2, Assessment of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics report Q3943/2006.36 pp. Jaenicke, J., Rieley, J.O., Mott, C., Kimman, P. & Siegert, F. (2008) Determination of the amount of carbon stored in Indonesian peatlands. Geoderma, 147, 151–158.