kurmod pedoman penan.. - Direktorat Kesehatan Keluarga

atas kerjasamanya dengan Direktorat Bina Kesehatan Anak sehingga Buku ini dapat tersusun. Seperti kita ketahui kegiatan Stimulasi Deteksi Intervensi D...

5 downloads 831 Views 17MB Size
KURIKULUM DAN MODUL PENDUKUNG PEDOMAN PENANGANAN KASUS RUJUKAN KELAINAN TUMBUH KEMBANG BALITA

KEMENTERIAN KESEHATAN RI bekerja sama dengan IDAI, PDSKJI, PERDOSRI, PERDAMI, PERHATI-KL, IFI, IOTI, IKATWI

TAHUN 2014

613.043 Ind k

Katalog dalam terbitan. Kementerian Kesehatan RI

Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Bina Gizi Dan Kesehatan Ibu dan Anak. Kurikulum Dan Modul Pendukung Pedoman Penanganan Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang Balita, Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. 2014 ISBN 978-602-235-474-1

1. Judul

I. II. III. IV.

INFANT CARE CHILD CARE CHILD HEALTH SERVICE CHILD DEVELOPMENT

ii

SAMBUTAN DIREKTUR JENDERAL BINA GIZI DAN KESEHATAN IBU DAN ANAK KEMENTERIAN KESEHATAN RI

Dengan penuh rasa syukur saya menyambut baik atas diterbitkannya buku Kurikulum dan Modul Pendukung Pedoman Penanganan Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang BalIta yang merupakan acuan untuk mempersiapkan Klinik Tumbuh Kembang di Kabupaten-Kota. Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada organisasi profesi yaitu IDAI, PERDOSRI, PSDSKJI, PERDAMI, PERHATI-KL, IFI, IKATWI, IOTI dan lintas program terkait di lingkungan Kementerian Kesehatan RI atas kerjasamanya dengan Direktorat Bina Kesehatan Anak sehingga Buku ini dapat tersusun. Seperti kita ketahui kegiatan Stimulasi Deteksi Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK) telah dilakukan di tingkat dasar dan telah mampu menjaring anak anak yang mengalami hambatan/gangguan tumbuh kembang, akan tetapi sebagai lanjutan untuk mendapatkan pelayanan rujukan ke tingkat yang lebih tinggi, hanya sebagian kecil kabupaten-kota yang memiliki klinik tumbuh kembang.

Pada tahun 2010 Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan organisasi profesi IDAI, PERDOSRI, PSDSKJI, PERDAMI, PERHATI-KL, IFI, IKATWI, IOTI, HIMPSI telah menerbitkan Pedoman Penanganan Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang Balita yang mengklasifikasikan klinik rujukan tumbuh kembang dalam 3 level, dengan harapan agar minimal di setiap kabupaten/kota mempersiapkan rumah sakit kabupaten atau klinik sebagai rujukan level 1 (satu). Dalam penerapannya di lapangan banyak anak-anak yang dirujuk adalah anak yang mengalami multiple kelainan sehingga membutuhkan penanganan berbagai spesialis. Mengingat ketersediaan tenaga spesialis yang ada di rumah sakit kabupaten tidak memenuhi semua jenis spesialis maka diperlukan suatu pedoman yang dapat dijadikan acuan bagi tenaga pelaksana di klinik rujukan tumbuh kembang untuk memberikan penanganan secara komprehensif. Akhir kata saya mengharapkan dengan diterbitkannya buku ini dapat memberi manfaat sebagai bahan dan pedoman bagi klinik tumbuh kembang dalam melaksanakan upaya pelayanan rujukan bagi anak-anak yang memiliki kelainan tumbuh kembang. Jakarta, Januari 2014 Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan RI

dr. Anung Sugihantono, M.Kes iii

iv

SAMBUTAN KETUA ORGANISASI PROFESI IDAI, PERDOSRI, PDSKJI, PERDAMI, PERHATI-KL, IFI, IKATWI, IOTI

Salam sejahtera dari IDAI, PERDOSRI, PDSKJI, PERDAMI, PERHATI-KL, IFI, IKATWI, IOTI

Organisasi profesi IDAI, PERDOSRI, PDSKJI, PERDAMI, PERHATI-KL, IFI, IKATWI, IOTI mengucapkan selamat atas diterbitkannya buku Kurikulum dan Modul Pendukung Pedoman Penanganan Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang Balita yang dapat dijadikan acuan bagi Klinik Tumbuh Kembang. Buku ini sangat diperlukan untuk mempersiapkan tenaga rujukan tumbuh kembang tingkat pertama di kabupaten/kota (level 1), dimana tenaga yang tersedia hanya dokter spesialis anak, dokter umum, terapis, bidan dan perawat.

Seperti kita ketahui, kegiatan Stimulasi Deteksi Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK) telah mampu menjaring anak-anak yang mengalami hambatan/kelainan tumbuh kembang, akan tetapi sebagai lanjutan rujukan ke tingkat yang lebih tinggi, belum semua kabupaten/kota memiliki klinik tumbuh kembang. Pada tahun 2010 Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan organisasi profesi IDAI, PERDOSRI, PDSKJI, PERDAMI, PERHATI-KL, IFI, IKATWI, IOTI, HIMPSI dan lintas program terkait di lingkungan Kementerian Kesehatan RI telah menerbitkan Pedoman Penanganan Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang Balita. Pada penerapannya di klinik tumbuh kembang level 1, didapati kendala dalam penanganan anak dengan kelainan yang membutuhkan penanganan spesialistik secara komprehensif karena tidak semua rumah sakit kabupaten/kota memiliki semua jenis dokter spesialistis. Untuk memenuhi hal tersebut Kementerian Kesehatan kembali bekerja sama dengan organisasi profesi IDAI, PERDOSRI, PDSKJI, PERDAMI, PERHATI-KL, IFI, IKATWI, IOTI menyusun Kurikulum dan Modul pendukung Pedoman Penanganan Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang Balita untuk melengkapi Pedoman Penanganan Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang yang sudah ada. Buku ini merupakan wujud nyata dari komitmen Kementerian Kesehatan dan organisasi profesi IDAI, PERDOSRI, PDSKJI, PERDAMI, PERHATI-KL, IFI, IKATWI, IOTI untuk selalu memperhatikan kesehatan dan kesejahteraan anak.

“Healthy children for Healthy Indonesia” Jakarta, Januari 2014

v

ORGANISASI PROFESI / NAMA

TANDA TANGAN

KETUA IDAI

dr. Badriul Hegar, PhD, Sp. A (K)

……….....…..........

KETUA PERDOSRI

dr. Luh Karunia Wahyuni, Sp. KFR (K)

……………………

KETUA PDSKJI

Dr. Danardi Sosrosumihardjo, Sp. KJ (K)

……………………

KETUA PERDAMI

Prof. DR. dr. Nila F. Moeloek, Sp. M (K)

……………………

KETUA PERHATI-KL

DR. dr. Ratna Dwi Restuti, Sp. THT (K)

……………............

KETUA IFI

Moh. Ali Imron, M.Fis.

……………………

KETUA IKATWI

Dwi Suharyana, A.Md. TW., S.Pd

……………………

KETUA IOTI

Cahya Buwana HTN

……………………

vi

KATA PENGANTAR DIREKTUR BINA KESEHATAN ANAK

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas perkenanNya dan kerjasama tim penyusun dari berbagai lintas program serta organisasi profesi sehingga “Buku Kurikulum dan Modul Pendukung Pedoman Penanganan Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang Balita” telah dapat disusun.

Kementerian Kesehatan melaksanakan program skrining tumbuh kembang balita sejak tahun 1987 melalui kegiatan pemantauan pertumbuhan dan perkembangan di posyandu dan pelayanan dasar lainnya. Pada anak-anak yang mengalami hambatan perkembangan yang ringan dilakukan stimulasi oleh tenaga kesehatan, namun untuk kasus yang lebih komplek dibutuhkan rujukan ke pelayanan spesialistik. Sebagai tindaklanjut hal ini pada tahun 2010 telah tersusun Pedoman Penanganan Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang Balita yang mengklasifikasikan klinik rujukan tumbuh kembang dalam 3 level, dengan harapan agar minimal di setiap kabupaten/ kota mempersiapkan rumah sakit kabupaten atau klinik sebagai rujukan level 1 (satu) dimana tenaga pelaksananya adalah dokter spesialis anak, dokter umum, terapis, bidan dan perawat. Pada kenyataannya kasus kasus rujukan anak yang mengalami hambatan pertumbuhan dan perkembangan sangatlah bervariasi dan tidak semua kasus dapat ditangani oleh dokter spesialis anak sehingga dibutuhkan pengetahuan dan ketrampilan yang terintegratif untuk menangani anak-anak dengan hambatan tumbuh kembang secara komprehensif. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut diharapkan buku kurikulum dan modul pendukung ini bisa dijadikan sebagai acuan bagi tenaga pelaksana di klinik tumbuh kembang level 1 (satu). Dengan tersedianya buku Kurikulum dan Modul Pendukung Pedoman Penanganan Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang Balita dapat dikembangkan pelatihan bagi tim pelaksana klinik tumbuh kembang level 1 di rumah sakit kabupaten/kota. Kami mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah berkontribusi terhadap tersusunnya buku kurikulum dan modul pendukung ini. Kami menyadari bahwa buku ini masih memerlukan penyempurnaan, untuk itu saran dan masukan sebagai upaya perbaikan sangat kami harapkan. Jakarta, Januari 2014 Direktur Bina Kesehatan Anak

dr. Jane Soepardi vii

TIM PENYUSUN Kurikulum dan Modul Pendukung Pedoman Penanganan Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang Balita PENGARAH dr. Kirana Pritasari, MQIH (Direktur Bina Kesehatan Anak)

PENANGGUNG JAWAB dr. Hj. Eni Gustina, MPH (Kasubdit Bina Kelangsungan Hidup Anak balita dan Prasekolah) EDITOR

Bambang Kuncoro, MOT; Dorce Tandung, S.Sos, MSi Dwi Suharyana, Amd. TW, S.Pd; Luh Karunia Wahyuni, dr. Sp.KFR (K) Nawangsasi Takarini, M.Physio; Rini Sekartini, Dr.dr. Sp.A (K) Rita S Sitorus, Prof. Dr.dr. PhD, Sp.M (K); Ronny Suwento, dr. Sp.THT-KL (K) Tjhin Wiguna, Dr. dr. Sp KJ (K) KONTRIBUTOR

Adin Nulkhasanah, dr. Sp. S Aina Fatiya, dr. Amendi Nasution, dr. Sp. KFR (K) Asteria Unik Prawati, SKM, M.Kes Bambang Kuncoro, MOT Dewi Indriawati, drg. Dian Estu, dr. Sp. M Diar Wahyu Indriarti, dr. MARS Dorce Tandung, S.Sos, MSi Dwi Suharyana, Amd. TW, S.Pd Eddy Fadlyana, Dr. dr. Sp. A (K), M.Kes Eli Zabet, SKM. M. Kes Eni Gustina, dr. Hj. MPH Ernawati Atmaningtyas, dr. Fida Afridah, SE Fikry Hamdan, dr. Sp.THT-KL Gladys Gunawan, dr. Sp. A (K) Haryadi Wibowo, dr. MARS IG. Afridoni, dr. Sp. A Kadek Pandreadi, S.Pd, MM Lestaria Ariyanti, dr. Sp. KFR (K) Lili Rahmawati, dr. Sp. A

Luh Karunia Wahyuni, dr. Sp.KFR (K) Martira Maddeppungeng, dr. Sp. A (K) Maryana Ugahary, dr. Sp. KFR Melda Gloria Manurung, dr. Mujaddid, dr. MMR Nabila Salsabila, AM. Keb Nawangsasi Takarini, M.Physio Nazdi, dr. Sp. A Nindya Savitri, dr. R. Edi Setiawan, drg. MKM Ratna D. Soebandi, Dr. dr. Sp. KFR (K) Rini Sekartini, Dr.dr. Sp.A (K) Rinni Yudhi Pratiwi Toeloes, dr. MPET Rita S Sitorus, Prof. Dr.dr. PhD, Sp.M (K) Ronny Suwento, dr. Sp.THT-KL (K) Soedjatmiko, dr. Sp. A (K), M.Si Schandra Purnamawati, dr. Tjhin Wiguna, Dr. dr. Sp KJ (K) Tri Juda Airlangga, dr. Sp. THT-KL Veronica P. Tanod, dr. Zisjkawati Hamzah, dr. Sp. KFR viii

DAFTAR ISI SAMBUTAN DIREKTUR JENDERAL BINA GIZI & KIA ....................................................

iii

TIM PENYUSUN ………………………………………………...........................................................

viii

SAMBUTAN KETUA ORGANISASI PROFESI ………..............….……………....................... KATA PENGANTAR DIREKTUR BINA KESEHATAN ANAK ........................................... DAFTAR ISI ..................................................……………….....…………………………............…

DAFTAR LAMPIRAN …………..………….............................…………………………...............… BAB I

v

vii ix x

: PENDAHULUAN ………....................................…………………………...........… 1

A. Latar Belakang …………………......……………………………….......................

B. Filosofi Pelatihan ……………....…………………………………........................

1 2

C. Dasar Hukum ………………………………………………………..........................

3

B. Fungsi

7

BAB II : PERAN, FUNGSI DAN KOMPETENSI …...................……………..............… 7 A. Peran

………………………………....................…………………………………….

…………………………….......................……………………………………

C. Kompetensi

……………………....................……………………………………..

7

7

BAB III : TUJUAN PELATIHAN .......................................………………………………… 9 A. Tujuan Umum

B. Tujuan Khusus

…………………..................…………………………………….. ……………….................………………………………………

9 9

BAB IV : PESERTA, PELATIH, DAN PENYELENGGARA ......................………… 11 A. Peserta B. Pelatih

BAB V

…………….……………………………………..................………………. …………………………………………………....................………………

C. Penyelenggara

………………………………………...................………………

11

11 11

: STRUKTUR PROGRAM …................................………….............……………… 13

BAB VI : GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PEMBELAJARAN ................……… 15 BAB VII : DIAGRAM PROSES PEMBELAJARAN ………..............…..............………… 35 BAB VIII : PROSES DAN METODE PEMBELAJARAN ……......……................………… A. PROSES PEMBELAJARAN …………………...........……......................…………

37

37

B. METODE PEMBELAJARAN …………………..……….......................…………

37

A. Evaluasi ………………………………………….....…………......................……….

41

C. RINCIAN RANGKAIAN ALUR PROSES PELATIHAN ....................……..

BAB IX : EVALUASI SERTIFIKASI PELATIHAN ……..............……...................………

B. Sertifikasi ……………………………………………………......................………..

C. Penutup ………………………….........................…………………………………… ix

38 41

42

42

DAFTAR LAMPIRAN

A. MATERI DASAR Modul 1 : Kerjasama Tim Modul 2 : Etika Profesi Tenaga Kesehatan

B.

C.

MATERI INTI Modul 3 : Modul 4 : Modul 5 : Modul 6 : Modul 7 : Modul 8 : Modul 9 :

Gangguan Penglihatan Gangguan Pendengaran Gangguan Sensori Persepsi Gangguan Komunikasi Gangguan Mental, Emosional dan Perilaku Gangguan Motorik Gangguan Pertumbuhan

MATERI PENUNJANG Modul 10 : Komunikasi Efektif Modul 11 : Membangun Komitmen Belajar Modul 12 : Rencana Tindak Lanjut

D. JADWAL TENTATIF PELATIHAN

x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Kesehatan adalah hak dan investasi, karena itu semua warga negara berhak atas kesehatannya termasuk masyarakat miskin.

Sebagai respon terhadap banyaknya kasus kelainan tumbuh kembang yang ditemukan dari penerapan pelayanan SDIDTK di lapangan, pada tahun 2009-2010, Kementerian Kesehatan bekerjasama dengan organisasi profesi dan stakeholder terkait telah menyusun Pedoman Penanganan Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang Balita. Pedoman ini antara lain berisi persyaratan untuk mendirikan klinik tumbuh kembang sebagai sarana penerima rujukan kasus kelainan tumbuh kembang. Klinik tumbuh kembang tersebut terbagi menjadi level I, level II dan level III, berdasarkan kelengkapan SDM dan sarana pendukung yang tersedia. Salah satu kendala yang dihadapi dalam penerapan pelayanan SDIDTK adalah masih banyaknya fasilitas pelayanan kesehatan rujukan (RS Kabupaten/Kota) yang belum siap menerima rujukan kasus kelainan pertumbuhan dan perkembangan yang telah ditemukan dari. Penyebabnya antara lain adalah keterbatasan tenaga kesehatan yang kompeten dalam memberi penanganan kasus kelainan tumbuh kembang balita. Hal ini menyebabkan terhambatnya pelaksanaan rujukan serta menyulitkan baik pemberi pelayanan di tingkat dasar maupun keluarga yang memiliki anak dengan kelainan perkembangan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka diperlukan pelatihan Penanganan Kelainan Tumbuh Kembang Balita. Oleh karena itu perlu untuk membuat kurikulum dan modul sebagai acuan pelaksanaan pelatihan dan bahan belajar untuk peserta pelatihan tersebut. Diharapkan kurikulum dan modul yang disusun ini akan lebih operasional di lapangan dalam mempersiapkan SDM klinik tumbuh kembang anak di level I agar dapat menerima rujukan dan melaksanakan intervensi kasus kelainan tumbuh kembang balita .

Buku Kurikulum dan Modul ini memuat materi pengetahuan dan keterampilan bagi tenaga kesehatan (dokter, perawat, bidan, terapis lainnya) yang akan menerima pendelegasian wewenang dari dokter spesialis, dan profesi terapis (Okupasi Terapi, Terapi Wicara, Fisioterapi) dalam melakukan intervensi kasus kelainan tumbuh kembang anak, dimana salah satu materi dalam modul ini adalah materi tentang kerja sama tim yang menjelaskan tentang peran masing-masing profesi dalam memberikan penanganan kelainan tumbuh kembang balita secara holistik dan terintegrasi, sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing profesi. 1

Untuk dapat melaksanakan kegiatan pelatihan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dan guna memperoleh pemahaman yang sama maka pedoman dan modul yang disusun ini dapat digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan pelatihan dimaksud.

B. Filosofi Pelatihan

Pelatihan ini diselenggarakan berdasarkan pendekatan:

1. Pembelajaran orang dewasa (Adult Learning), yakni proses pelatihan diselenggarakan dengan memperhatikan hak peserta selama pelatihan, antara lain: a. Dihargai keberadaannya selama menjadi peserta pelatihan.

b. Didengarkan dan dihargai pengalamannya terkait dengan materi pelatihan. c. Dipertimbangkan setiap ide dan pendapatnya, sejauh berada di dalam konteks pelatihan. d. Mendapatkan 1 paket bahan belajar yaitu modul Pelatihan PPK Bagi Petugas Rumah Sakit

e. Mendapatkan pelatih profesional yang dapat memfasilitasi dengan berbagai metode, melakukan umpan balik, dan menguasai materi pelatihan. f. Melakukan refleksi dan memberikan umpan balik secara terbuka.

g. Melakukan evaluasi (terhadap penyelenggara maupun fasilitator) dan dievaluasi tingkat pemahaman dan kemampuannya terkait dengan materi pelatihan.

2. Berbasis kompetensi (Competency Based), yakni selama proses pelatihan peserta diberikan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan langkah demi langkah menuju pencapaian kompetensi yang diharapkan di akhir pelatihan.

3. Belajar sambil berbuat (Learning By Doing), yang memungkinkan peserta untuk: a. Mendapat kesempatan untuk belajar sambil berbuat (melakukan sendiri) dari setiap materi pelatihan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan metode pembelajaran dimana peserta lebih aktif terlibat seperti antara lain: diskusi kelompok, studi kasus, dan latihan (exercise) baik secara individu maupun kelompok. b. Melakukan pengulangan ataupun perbaikan yang dirasa perlu untuk mencapai kompetensi yang ditetapkan. 2

C. Dasar Hukum 1. UUD 1945 amandemen a. Pasal 18 (2) Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. b. Pasal 18 (5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.

c. Pasal 18 (6) Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

d. Pasal 18 A (1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah e. Pasal 28H (1) setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

2. UU Perlindungan Anak No.23/2002

a. Pasal 4. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. b. Pasal 8. Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial.

c. Pasal 13 (1). Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan ketidakadilan.

3. UU Kesehatan No.36/2009

a. Pasal 4. Setiap orang berhak atas kesehatan

b. Pasal 5 (1). Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan.

c. Pasal 5 (2). Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau. d. Pasal 5 (3). Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggungjawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. 3

e. Pasal 7. Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab. f.

Pasal 9 (1). Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi tingginya.

g. Pasal 14 (1). Pemerintah bertanggungjawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat

h. Pasal 14 (2). Tanggung jawab pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikhususkan pada pelayanan publik i. Pasal 16. Pemerintah bertanggungjawab atas ketersediaan sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. j.

Pasal 17. Pemerintah bertanggungjawab atas ketersediaan akses terhadap informasi, edukasi dan fasilitas pelayanan kesehatan untuk meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dalam segala bentuk upaya kesehatan.

k. Pasal 18. Pemerintah bertanggung jawab memberdayakan dan mendorong peran aktif masyarakat dalam segala bentuk upaya kesehatan. l.

Pasal 19. Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien dan terjangkau.

m. Pasal 42 (1). Teknologi dan produk teknologi kesehatan diadakan, diteliti, diedarkan, dikembangkan dan dimanfaatkan bagi kesehatan masyarakat.

n. Pasal 42 (2). Teknologi kesehatan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) mencakup segala metode dan alat yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit, mendeteksi adanya penyakit, meringankan penderitaan akibat penyakit, menyembuhkan, memperkecil komplikasi dan memulihkan kesehatan setelah sakit.

o. Pasal 63 (4). Pelaksanaan pengobatan dan/atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. p. Pasal 63 (5) Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengobatan dan/atau perawatan atau berdasarkan cara lain yang dapat dipertanggung jawabkan.

q. Pasal 131 (1). Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak harus ditujukan untuk mempersiapkan generasi yang akan datang yang sehat, cerdas dan berkualitas serta untuk menurunkan angka kematian bayi dan anak. 4

r.

Pasal 131 (3). Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) menjadi tanggung jawab dan kewajiban bersama bagi orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan pemerintah daerah.

s. Pasal 167 (1). Pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat melalui pengelolaan administrasi kesehatan, informasi kesehatan, sumber daya kesehatan, upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, peran serta dan pemberdayaan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan serta pengaturan hukum kesehatan secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. t. Pasal 174 (1). Masyarakat berperan serta baik secara perseorangan maupun terorganisasi dalam bentuk dan tahapan pembangunan kesehatan dalam rangka membantu mempercepat pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. u. Pasal 174 (2). Peran serta sebagaimana dimaksud pada ayat 91) mencakup keikutsertaan secara aktif dan kreatif.

4. PP 38/tahun 2007

Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

5. Permenkes/SK menkes

a. Kepmenkes No. 857/Menkes/SK/IX/2009; tentang Penilaian Kinerja Sumber Daya Kesehatan di Puskesmas: b. Kepmenkes No.836/Menkes/SK/VI/2005; tentang Pedoman Pengembangan Manajemen Kinerja Perawat dan Bidan c. Kepmenkes No.296/Menkes/SK/III/2008; tentang Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas d. Kepmenkes No.828/Menkes/SK/IX/2008; tentang Petunjuk Teknis SPM Bidang Kesehatan e. Kepmenkes No.2556/Menkes/PER/XII/2011; tentang Petunjuk Teknis BOK

f. Kepmenkes No.922/Menkes/SK/X/2008; tentang Petunjuk Teknis Pembagian Urusan Bidang Kesehatan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota g. Kepmenpan No. PER/48/M.PAN/4/2005; tentang Jabatan Fungsional Terapis Wicara dan Angka Kreditnya. 5

6

BAB II PERAN, FUNGSI DAN KOMPETENSI

A. Peran Sebagai Tim Pelaksana Klinik Tumbuh Kembang Level 1.

B. Fungsi

Dalam menjalankan perannya maka peserta mampu memberikan pelayanan deteksi dan intervensi dini tumbuh kembang, sesuai dengan kewenangan yang dberikan.

C. Kompetensi

Setelah selesai mengikuti pelatihan, peserta memiliki kompetensi yaitu mampu melakukan penanganan sederhana pada kasus : 1. Gangguan Penglihatan

2. Gangguan Pendengaran

3. Gangguan Sensori Persepsi 4. Gangguan komunikasi

5. Gangguan Mental, Emosional dan Perilaku

6. Gangguan Motorik Kasar, Halus dan Oromotor 7. Gangguan Pertumbuhan

7

8

BAB III TUJUAN PELATIHAN

A. Tujuan Umum Setelah mengikuti Pelatihan Penanganan Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang, peserta Tenaga kesehatan di klinik tumbuh kembang level 1, mampu melaksanakan penanganan sederhana kelainan tumbuh kembang balita sesuai dengan standar dan kompetensi.

B. Tujuan Khusus

Setelah mengikuti pelatihan, peserta mampu melakukan penanganan sederhana pada kasus : 1. Gangguan Penglihatan

2. Gangguan Pendengaran

3. Gangguan Sensori Persepsi 4. Gangguan Komunikasi

5. Gangguan Mental, Emosional dan Perilaku

6. Gangguan Motorik Kasar, Halus dan Oromotor 7. Gangguan Pertumbuhan

9

10

BAB IV PESERTA, PELATIH, DAN PENYELENGGARA

A. Peserta 1. Kriteria peserta:

a. Dokter Spesialis Anak Purna waktu (full time) b. Dokter Umum

c. Perawat dan atau Bidan d. Fisioterapis

e. Bagi Perawat dan Bidan sudah terorientasi kegiatan SDIDTK (Stimulasi Deteksi Intervensi Dini Tumbuh Kembang) f. Peserta masih akan bekerja dalam tugasnya minimal 2 tahun ke depan

2. Peserta pelatihan harus merupakan satu tim di tempat bekerjanya

3. Peserta terbagi dalam 2 kelompok yang terdiri dari dokter dan non dokter (perawat dan bidan). Tiap kelompok difasilitasi oleh tim fasilitatoryang sesuai dengan jenis profesinya 4. Jumlah peserta dalam 1 kelas maksimal 30 orang

B. Pelatih /Fasilitator Kriteria :

1. Pendidikan minimal S1

2. Memiliki keahlian di bidang materi yang akan diajarkan 3. Menguasai kurikulum pelatihan

4. Menguasai materi yang disampaikan sesuai dengan Garis Garis Besar Program Pembelajaran (GBPP) yang ditetapkan dalam kurikulum pelatihan

C. Penyelenggara

Penyelenggara pelatihan Tim Tumbuh Kembang di Rumah Sakit adalah Rumah Sakit dan atau Dinas Kesehatan Propinsi, Organisasi Profesi terkait, Unit Diklat Lainnya, di bawah Koordinasi Kementerian Kesehatan.

11

12

BAB V STRUKTUR PROGRAM

Untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan maka disusunlah materi yang akan diberikan secara rinci pada tabel berikut: Tabel 1 Struktur Program

No.

Materi Pelatihan

Waktu Pembelajaran T

P

PL

Jml

A. MATERI DASAR (MD) 1. Kerjasama Tim dalam Pelayanan 2 1 3 6 Tumbuh Kembang a. Filosofi b. Peran Profesi dalam Tim Pelayanan Tumbuh Kembang c. Penanganan Komprehensif Kasus (Pleno) 2. Etika Profesi Tenaga Kesehatan 1 1 - 2 B. MATERI INTI (MI) 1. Penanganan Sederhana Gangguan Penglihatan 1 1 1 3 2. Penanganan Sederhana Gangguan Pendengaran 1 1 1 3 3. Penanganan Sederhana Gangguan Sensori Persepsi 2 1 1 4 4. Penanganan Sederhana Gangguan Komunikasi 1 2 1 4 5. Penanganan Sederhana Gangguan Mental, 2 1 1 4 Emosional dan Perilaku 6. Penanganan Sederhana Gangguan Motorik 2 2 2 6 7. Penanganan Sederhana Gangguan Pertumbuhan 1 1 1 3 C. MATERI PENUNJANG 1. Komunikasi Efektif 1 1 2 2. Membangun Komitmen Belajar 2 2 3. Rencana Tindak Lanjut 1 1

JUMLAH



14 15 11 40

Catatan: T = Teori; P = Penugasan; PL = Praktik Lapangan; 1 (satu) jam pelatihan = 45 menit 13

14

BAB VI GARIS BESAR PROGRAM PEMBELAJARAN

Materi Dasar 1

Waktu

: Kerjasama Tim Dalam Pelayanan Tumbuh Kembang

: 6 JPL ( T : 2 ; P : 1 ; PL : 3)

Tujuan Pembelajaran Umum : Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu memahami peran masing-masing profesi pada kerjasama tim penanganan gangguan tumbuh kembang Tabel 1 Materi Dasar 1

No

Tujuan Pembelajaran khusus

1 2 Setelah mempelajari materi ini peserta mampu

1 Menjelaskan batasan dan ruang lingkup Dokter SpA, SpKFR, SpKJ, SpM, SpTHT - KL, Fisioterapis, Terapis Okupasi, Terapis Wicara pada penanganan gangguan tumbuh kembang 2 Menjelaskan filosofi keilmuan profesi Dokter SpA, SpKFR, SpKJ, SpM, SpTHT - KL, Fisioterapis, Terapis Okupasi, Terapis Wicara 3 Menjelaskan bahwa pencapaian goal fungsi masing-masing individu berbeda tergantung dari diagnosis, prognosis penyakit dan kapasitas yang masih dimiliki oleh individu serta tingkat perkembangan balita

Pokok Bahasan/ Sub Pokok Bahasan

Metode Pembelajaran

Alat Bantu

Daftar Pustaka

3

4

5

6

Batasan dan ruang lingkup Dokter SpA, SpKFR, SpKJ, SpM, SpTHTKL, Fisioterapis, Terapis Okupasi, Terapis Wicara pada penanganan gangguan tumbuh kembang

Filosofi keilmuan profesi Dokter SpA, SpKFR, SpKJ, SpM, SpTHT-KL, Fisioterapis, Terapis Okupasi, Terapis Wicara

Pencapaian goal fungsi masingmasing individu berbeda tergantung dari diagnosis, prognosis penyakit dan kapasitas yang masih dimiliki oleh individu serta tingkat perkembangan balita 15

Ceramah dan tanya jawab

Projector 1. Wahyuni LK, Tulaar ABM. Slide White Book Ilmu Kedokteran Fisik PC/ dan Rehabilitasi. PB Perdosri. Laptop Jakarta, 2012 2. World Health Audio Organization Visual : ICF: Aid International Classification of Functioning, Disability, and Health. Geneva, Switzerland : World Health Organization, 2001 3. Stucki G, Kostanjsek N, Ustun B, Ewert T, Cieza A. Applying the ICF in Rehabilitation Medicine in Delisa JA. Physical Medicine and

4 Mengimplementasikan konsep kerjasama tim dalam penanganan gangguan tumbuh kembang Konsep kerjasama tim dalam penanganan gangguan tumbuh kembang

Rehabilitation Principle and Practice 5th edition. Lippincott Williams and Wilkin. Philadelpia. 2010: 301-324 4. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta, 2011 5. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Kompendium Ikatan Dokter Anak Indonesia, edisi ke-5. Jakarta, 2012 6. Kepmenkes no: 778/Menkes/ SK/VII/2008 tentang Pedoman Pelayanan Fisioterapi di Sarana Kesehatan 7. World Confederation for Physical Therapy, the 16th General Meeting of World Confederation for Physical Therapy. 2011

Konsep kerjasama tim dalam penanganan gangguan tumbuh kembang

16

Nomor

: Materi Dasar 2

Waktu

: 2 Jpl (T = 1 Jpl, P = 1 Jpl, PL = 0 Jpl)

Materi TPU

: Etika Profesi Tenaga Kesehatan

: Setelah mempelajari materi ini,peserta mampu menerapkan Kode Etik Profesi Tenaga Kesehatan dalam menjalankan Pelayanan Kesehatan

Tabel 2 Materi Dasar 2 No

Tujuan Pembelajaran khusus

1 2 Setelah mempelajari materi ini peserta mampu

1 Menjelaskan konsep etika tenaga kesehatan

2 Menerapkan Kode etik Tenaga Kesehatan

Pokok Bahasan/ Sub Pokok Bahasan

Metode Pembelajaran

Alat Bantu

Daftar Pustaka

3

4

5

6

Curah 1. Pengertian Nilai, Pendapat Etika dan Moral 2. Konsep etika tenaga kesehatan: CTJ a. Landasan teori etika kesehatan b. Prinsipprinsip dasar Etika Tenaga Kesehatan c. Fungsi Etika d. Perbedaan antara etika dan kode etik Pemutaran 1. Kode etik tenaga flm pendek kesehatan: a. Implementasi Diskusi dan koreksi terhadap penyimpangan kode etik Tenaga Kesehatan b. Penyimpangan rahasia Tenaga Kesehatan

17

LCD

1. Adji, Oemar Seno, (1991) : ProfesiDokter Laptop Etika Profesional dan Hukum Pertanggung Jawaban Dokter, Erlangga, Jakarta Indonesia. 2. Fuller, L (1978), The Morality Of Law, Yale University Press, London, UK 3. K.Bertens, Bahan (1993), Etika, tayang Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Flipchart Indonesia. 4. Koeswadji, Hermien Hadiati, (2000), “Ethical Codes: Its Nature and Development in Indonesia”, Makalah pada International Conference Ethics Educations in Medical Schools, February13-16, Eilat,

5. Undang undang No: 36 Tahun 1999 Tentang Kesehatan. 6. Peraturan Pemerintah No: 42 Tahun 2004 Tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil. 7. Peraturan Pemerintah No: 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. 8. Peraturan Menteri Kesehatan No; 008 Tahun 2012 Tentang Kode Etik Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan Kementerian Kesehatan.

18

Materi Inti 1 Waktu

: Gangguan Penglihatan

: 3 JPL ( T :1 ; P :1 ; PL : 1 )

Tujuan Pembelajaran Umum : Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu mengidentifikasi gambaran klinis kasus kelainan mata. Tabel 3 Materi Inti 1

No

Tujuan Pembelajaran khusus

1 2 Setelah mempelajari materi ini peserta mampu

Pokok Bahasan/ Sub Pokok Bahasan

Metode Pembelajaran

Alat Bantu

Daftar Pustaka

3

4

5

6

1 Menjelaskan pengertian Pengertian dan ruang Ceramah dan tanya dan ruang lingkup lingkup gangguan jawab gangguan penglihatan penglihatan : 2 Mengidentifikasi kasus kelainan kejernihan media mata

Identifikasi kasus kelainan kejernihan media mata

3 Mengidentifikasi kasus Identifikasi kasus kelainan posisi bola kelainan bola mata mata tidak lurus (juling) 4 Melakukan pemeriksaan Pemeriksaan ketajaman penglihatan ketajaman penglihatan

- Uji ketajaman penglihatan

- Uji refleks fundus merah

- Uji refleks kornea

19

Curah pendapat

Tugas baca Praktik lapangan Simulasi

1. Undang-undang Audio No 36 Tahun Visual Aid 1999 tentang Kesehatan Panduan 2. Buku Pedoman praktik Penanganan Kasus Rujukan Modul Kelainan Tumbuh Kembang, Kementerian Kesehatan RI Panduan simulasi

Materi Inti 2 Waktu

: Gangguan Pendengaran

: 3 JPL ( T : 1 ; P : 1 ; PL: 1 )

Tujuan Pembelajaran Umum : Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu melakukan penanganan sederhana kasus gangguan pendengaran

Tabel 4 Materi Inti 2 No

Tujuan Pembelajaran khusus

2 1 Setelah mempelajari materi ini peserta mampu

1 Menjelaskan struktur anatomi telinga luar dan fisiologi pendengaran Anatomi dan fisiologi telinga / pendengaran 2 Menjelaskan beberapa aspek yang berperan pada proses pertumbuhan 3 Menjelaskan adanya Kelainan atau penyakit telinga yang menyebabkan gangguan pendengaran (khusus dokter) 4 Melakukan penanganan kasus gangguan pendengaran (khusus dokter)

Pokok Bahasan/ Sub Pokok Bahasan

Metode Pembelajaran

Alat Bantu

Daftar Pustaka

3

4

5

6

Anatomi dan fisiologi telinga / pendengaran

Ceramah dan tanya jawab

Gangguan Pendengaran pada bayi dan anak

Pemeriksaan telinga luar

Simulasi

Praktik lapangan Penyakit telinga yang berpotensi menyebabkan terjadinya gangguan Tugas baca pendengaran Pemeriksaan telinga dan penanganan sederhana penyakit telinga yang dapat menyebabkan gagguan pendengaran

20

Audio Visual Aid

Panduan simu lasi Panduan praktik lapangan Modul

1. Undang-undang No 36 Tahun 1999 Tentang Kesehatan 2. Buku Pedoman Penanganan Gangguan Kasus Rujukan Tumbuh Kembang, Kemenkes RI 3. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT Edisi VI 2007 (Editor Efiaty Arsya,dkk) 4. Dhillon RS, East CA. An Ilustrated Colour Text. Ear, Nose and Throat. Churchill Livingstone, 1994 5. Andriani R, Sekartini R, Batubara JR, Suwento R, Peranan Instrumen Modifikasi Tes Daya dengar sebagai alat skrining Gangguan Pendengaran pada bayi resiko tinggi usia 0 – 6 bulan. Tesis 2010 Dept IKA FKUI RSCM

Materi Inti 3 Waktu

: Gangguan Sensori Persepsi : 4 JPL ( T : 2 ; P : 1 PL:1 )

Tujuan Pembelajaran Umum : Setelah mengikuti pelatihan peserta melakukan penanganan kasus gangguan persepsi

mampu sensori

Tabel 5 Materi Inti 3

No

Tujuan Pembelajaran khusus

2 1 Setelah mempelajari materi ini peserta mampu

3 4 5 6

Metode Pembelajaran

Alat Bantu

Daftar Pustaka

3

4

5

6

1. Ahn, R. R., Miller, L. J., Milberger, S., & McIntosh, D. N. Prevalence Menjelaskan pengaruh Pengaruh sistem Simulasi Panduan of parents’ sistem sensoris terhadap sensoris terhadap kinerja manusia pemeriksaan simulasi perceptions kinerja manusia of sensory Perkembangan Praktik Panduan processing Menjelaskan lapangan praktik disorders among perkembangan normal normal integrasi sensoris lapangan kindergarten integrasi sensoris children. Tugas baca Modul American Journal Menjelaskan gangguan Gangguan sensori of Occupational persepsi dan jenisnya sensori persepsi dan Therapy jenisnya 2004(58); 287–293 Menjelaskan diagnosis Diagnosis gangguan 2. Kranowitz CS. sensori persepsi gangguan sensori The Out-of-Sync persepsi Child Has Fun: Activities for Kids Melakukan penanganan Penanganan kasus with Sensory kasus gangguan sensori gangguan sensori Integration persepsi persepsi Dysfunction. New York: A Perigee Book. 2003; 4-5 3. Dunn W, Saiter J, Rinner L. Asperger syndrome and sensory processing: a conceptual model and guidance for intervention planning. Focus on autism and other

1 Menjelaskan definisi proses sensori 2

Pokok Bahasan/ Sub Pokok Bahasan

Definisi proses sensori

Ceramah dan tanya jawab

21

Audio Visual Aid

developmental disabilities 2002 (17); 172-185 4. Miller LJ. Sensational Kids : Hope and Help for Children with Sensory Processing Disorder. United States of America: Putnam, 2006.p. 4-5, 44-48 5. Wahyuni LK. Dasar Pendekatan Terapi Multisensoris. In Pelatihan Tim Rehabilitasi Medik Pediatrik Indonesia. RSUPN Dr. CIPTO MANGUN KUSUMO DEPARTEMEN KESEHATAN RI 2001; 85-87 6. Perdosri 2002. Penatalaksanaan gangguan perkembangan dan belajar pada anak. Perdosri 2002; 29-36 7. Dunn W. Sensory profile. United States of America: Psychcorp 2008; 1-4

22

Materi Inti 4 Waktu

: Gangguan Komunikasi

: 4 JPL ( T : 1 ; P : 2 ; PL:1 )

Tujuan Pembelajaran Umum : Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu melakukan penanganan kasus sederhana pada pasien dengan gangguan komunikasi

Tabel 6 Materi Inti 4 No

Tujuan Pembelajaran khusus

1 2 Setelah mempelajari materi ini peserta mampu

Pokok Bahasan/ Sub Pokok Bahasan

Metode Pembelajaran

Alat Bantu

Daftar Pustaka

3

4

5

6

- Buku Pedoman Penanganan Kasus Rujukan Kelainan Prasyarat agar dapat 2 Menjelaskan Simulasi Panduan Tumbuh berkomunikasi prasyarat agar dapat pemeriksaan simulasi Kembang. berkomunikasi dengan dengan baik Kementerian baik Praktik Panduan Kesehatan RI lapangan praktik - Smith C, Hill Perkembangan 3 Menjelaskan lapangan J. Language perkembangan normal normal fungsi bicaradevelopment bahasa pada anak fungsi bicara-bahasa Tugas baca Modul and disorders of pada anak communication. In: Molnar Skrining 4 Menjelaskan skrining GE, Alexander perkembangan perkembangan bicaraMA. Pediatric bicara-bahasa pada bahasa pada anak rehabilitation. anak 3rd ed.. Philadelpia; Jenis-jenis gangguan 5 Menjelaskan jenisHanley and bicara-bahasa jenis gangguan bicaraBelfus;1999. p. bahasa 57-80 - New York State Diagnosis fungsi 6 Menegakan diagnosis Department fungsi gangguan bicara- gangguan bicaraof Health. bahasa bahasa Clinical practice guideline 7 Menjelaskan intervensi Intervensi pada communication penanganan pada penanganan disorders gangguan bicara-bahasa gangguan bicaraassessment and bahasa intervention for young children Program sederhana 8 Membuat program (Age 0-3 Year). mengenai intervensi sederhana mengenai New York State intervensi dini gangguan dini gangguan bahasa Department of bicara tumbuh kembang Health 1 Menjelaskan definisi dan Definisi dan fungsi komunikasi fungsi komunikasi

23

Ceramah dan tanya jawab

Audio Visual Aid

9 Melakukan penanganan gangguan bicarabahasa

Penanganan gangguan bicarabahasa

- Driver L. Ayyangar R.Tubbergen MV.Language development disorders of communication and oral motor function. In: Alexander MA. Matthews DJ. Pediatric rehabilitation principles and practice. 4th ed. New York; Demos Medical - Sen P, Vasudeva R. No more baby talk. Singapore: Pearson Education Asia Pte Ltd; 2002

24

Materi Inti 5 Waktu

: Gangguan Mental, Emosional dan Perilaku : 4 JPL ( T : 2 ; P : 1: PL:1 )

Tujuan Pembelajaran Umum : Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu mengenali kasus jelaskan, melakukan penanganan kasus sederhana gangguan mental emosional dan perilaku Tabel 7 Materi Inti 5

No

Tujuan Pembelajaran khusus

1 2 Setelah mempelajari materi ini peserta mampu

Pokok Bahasan/ Sub Pokok Bahasan

Metode Pembelajaran

Alat Bantu

Daftar Pustaka

3

4

5

6

1 Menjelaskan latar belakang teoritik terjadinya retardasi mental, gangguan perkembangan pervasif.

Latar belakang teoritik terjadinya retardasi mental, gangguan perkembangan pervasif.

2 Menjelaskan cara melakukan deteksi dini pada retardasi mental, gangguan perkembangan pervasif.

Cara melakukan deteksi dini pada retardasi mental, gangguan perkembangan pervasif • Skrining untuk gangguan perkembangan pervasif dan retardasi mental • Kriteria diagnostik untuk retardasi mental dan gangguan perkembangan pervasif

- Faktor etiologi - faktor risiko terjadinya retardasi mental dan gangguan perkembangan pervasif.

25

Ceramah dan tanya jawab

Audio Visual Aid

- Bryan H. King, Karen E.Toth, Robert Hodapp, Elisabeth Simulasi Panduan M Dykens. pemeriksaan simulasi Intellectual disability. Praktik Panduan Comphrehensive lapangan praktik Textbook of lapangan Psychiatry, 9th Ed. Editors: Tugas Modul Benjamin James baca Sadock, Virginia Alcott Sadock, and Pedro Ruiz. 2009. P.3444 – 3744. - Clinical Practice Guideline Autism/ Pervasive Developmental Disordes Assessment and Intervention for Young Children (age 0-3 years). New York State Department of Health. New York.

3 Melakukan intervensi dini psikososial berupa psikoedukasi keluarga mengenai retardasi mental, gangguan perkembangan pervasif

• Cara melakukan penegakan diagnosis dengan menggunakan wawancara psikiatrik (khusus dokter dan dokter anak) Intervensi dini psikososial berupa psikoedukasi keluarga mengenai retardasi mental, gangguan perkembangan pervasif. • Masalah hendaya dan peran keluarga pada anak dengan retardasi mental dan gangguan perkembangan pervasif. • Kebutuhan tatalaksana dan pendekatan edukasi yang lebih spesifik pada anak dengan retardasi mental dan gangguan perkembangan pervasif.

26

- Departement of Health and Human Services USA. Autism Alarm. diunduh dari www.cdc. gov/autism and www.aap.org/ autism, April 2012,

Materi Inti 6 Waktu

: Gangguan Motorik

: 6 JPL ( T : 2 ; P : 2 ; PL: 2 )

Tujuan Pembelajaran Umum : Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu melakukan penatalaksanaan (fisioterapi, okupasi terapi dan terapi wicara) kasus pada gangguan motorik (kasar, halus, dan oromotor) sesuai peran profesi masing-masing. Tabel 8 Materi Inti 6

No

Tujuan Pembelajaran khusus

1 2 Setelah mempelajari materi ini peserta mampu

1 Menjelaskan karakteristik perkembangan motorik (kasar, halus, dan oromotor) normal 2 Menjelaskan jenis gangguan motorik (kasar, halus, dan oromotor) 3 Menegakkan diagnosis fungsional pada gangguan motorik (kasar, halus, dan oromotor)

4 Melakukan penatalaksanaan kasus gangguan motorik (kasar, halus, dan oromotor) 5 Menjelaskan fokus intervensi sesuai usia dan/atau kasus 6 Mengaplikasikan handling yang benar

Pokok Bahasan/ Sub Pokok Bahasan

Metode Pembelajaran

Alat Bantu

Daftar Pustaka

3

4

5

6

Karakteristik perkembangan motorik (kasar, halus, dan oromotor) normal Jenis gangguan motorik (kasar, halus, dan oromotor)

1. Buku Pedoman Penanganan Kasus Rujukan Kelainan Simulasi Panduan Tumbuh pemeriksaan simulasi Kembang. Kementerian Praktik Panduan Kesehatan RI lapangan praktik 2. New York State lapangan Department of Health. Diagnosis fungsional Tugas Modul Clinical Practice pada gangguan baca Guideline Motor motorik (kasar, halus, Disorders dan oromotor) Assessment and intervention for Young children Penatalaksanaan (Age 0-3 Year). kasus gangguan New York State motorik (kasar, halus, Department of dan oromotor) Health. 3. Alexander Rona, Boehme Regi, Cupps Fokus intervensi Barbara. Normal sesuai usia dan/atau Development of kasus Functional Motor Skills. Arizona: Aplikasi handling Therapy Skill yang benar Builders; 1993 4. Morris S.E., Klein M.D. Pre-Feeding Skills.2nd ed.USA:Therapy Skill Builder: 2000. p. 62-68 27

Ceramah dan tanya jawab

Audio Visual Aid

5. Aubert E.J. Motor development in the normal child. In : Tecklin J. S. Pediatric physical therapy. 4th ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins; 2008.p. 22

28

Materi Inti 7 Waktu

: Gangguan Pertumbuhan

: 3 JPL ( T : 1 ; P : 1 ; PL:1 )

Tujuan Pembelajaran Umum : Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu melakukan penanganan kasus sederhana gangguan pertumbuhan Tabel 9 Materi Inti 7

No

Tujuan Pembelajaran khusus

1 2 Setelah mempelajari materi ini peserta mampu

1 Menjelaskan karakteristik pertumbuhan normal sesuai kurun usia anak dan mahir melakukan pengukuran secara akurat dengan alat standar (sesuai buku pedoman SDIDTK)

2 Menjelaskan faktor-faktor yang berperan pada proses pertumbuhan 3 Menjelaskan pemeriksaan antropometri pada anak dan pengisian kurva pertumbuhan WHO tahun 2005 4 Melakukan interpretasi /analisa kurva pertumbuhan yang ada 5 Menegakan diagnosis gangguan pertumbuhan dan mengetahui penyebabnya (etiologi)

6 Melakukan intervensi dini/Penanganan gangguan pertumbuhan sesuai etiologi

Pokok Bahasan/ Sub Pokok Bahasan

Metode Pembelajaran

Alat Bantu

Daftar Pustaka

3

4

5

6

Karakteristik pertumbuhan normal sesuai kurun usia anak

Faktor-faktor yang berperan pada proses pertumbuhan Pemeriksaan antropometri pada anak dan pengisian kurva pertumbuhan WHO tahun 2005 Interpretasi / analisis kurva pertumbuhan WHO 2005 Diagnosis gangguan pertumbuhan dan penyebabnya (etiologi)

Intervensi dini/ Penanganan gangguan pertumbuhan sesuai etiologi 29

Ceramah dan tanya jawab

Simulasi pemeriksaan Praktik lapangan Tugas baca

Audio Visual Aid

1. Behrmann RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson textbook Panduan of pediatrics. simulasi Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders; 2011 Panduan praktik 2. Ikatan Dokter lapangan Anak Indonesia. Pedoman Modul Pelayanan Medis IDAI jilid 1. Jakarta, 2010 3. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku Ajar tumbuh kembang anak jilid 2. Jakarta, 2010

7 Melakukan evaluasi hasil intervensi dan merujuk ke level lebih tinggi apabila dianggap perlu

Evaluasi hasil intervensi

30

Materi Penunjang 1

: Komunikasi efektif

TPU

: Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu menerapkan komunikasi efektif

Waktu

: 2 Jpl (T = 1 Jpl, P = 1 Jpl, PL = 0 Jpl)

Tabel 10 Materi Penunjang 1

No

Tujuan Pembelajaran khusus

2 1 Setelah mempelajari materi ini peserta mampu

Pokok Bahasan/ Sub Pokok Bahasan

Metode Pembelajaran

Alat Bantu

Daftar Pustaka

3

4

5

6

1 Menjelaskan konsep komunikasi

Konsep komunikasi

Curah pendapat CTJ

2 Menerapkan komunikasi dengan pendekatan Neuro Linguistic Programming (NLP)

Komunikasi dengan pendekatan Neuro Linguistic Programming (NLP)

Curah pendapat

4 Mengelola konflik

Pengelolaan konflik

3 Menerapkan komunikasi asertip

Komunikasi asertip

31

CTJ

Diskusi

Role play

Komputer 1. Charles Bonar Sirait,The / Laptop Power of Public Speaking, kiat Bahan sukses berbicara tayang di depan public, Kompas LCD Gramedia, 2010 Komputer 2. Dr.Ibrahim / Laptop Elfiky,Terapi Komunikasi Bahan Efektif, dengan tayang metode praktis NLP,2009. LCD 3. Firti Rasmita SE, dkk, Pintar Soft Petunjuk Skill Membentuk role play Pribadi Unggul, B.Media, Desember 2009. 4. Kementerian Kesehatan RI, Kurikulum Modul Pelatihan Fasilitator Desa Siaga, Jakarta 2010. 5. Kementerian Kesehatan RI, Kurikulum Modul Pelatihan Fasilitator Desa Siaga, Jakarta 2010. 6. Kementerian Kesehatan RI, Kurikulum Modul NLP , Jakarta 2011.

7. Kementerian Kesehatan RI, Kurikulum Modul Peningkatan Kapasitas pejabat struktural UPT/ UPTD , Jakarta 2011. 8. Kementerian Kesehatan RI, Kurikulum Modul Peningkatan Kapasitas pejabat struktura Puskesmas , Jakarta 2011. 9. Lembaga Administrasi Negara, Modul diklat Kepemimpinan III, Jakarta,2008 10. Haryanto S, Drs, MPH, Human Relation, LAN, Bahan Diklat Spama,1999. 11. Anne Rufaidah, DR, Komunikasi Efektif, LAN, Bahan diklat Spama,1999.

32

Materi Penunjang 2

: Membangun Komitmen Belajar / Building Learning Commitment (BLC)

Waktu

: 2 Jpl (T : 0 , P: 2; PL: 0 )

Tujuan Pembelajaran Umum : Setelah mempelajari materi diharapkan peserta saling mengenal serta mampu merumuskan norma kelas yang disepakati bersama Tabel 11 Materi Penunjang 2

No

Tujuan Pembelajaran khusus

1 2 Setelah mempelajari materi ini peserta mampu

1 Melaksanakan perkenalan antara peserta, fasilitator dan panitia. 2 Mencapai suasana pencairan sehingga peserta dapat lebih siap dan berani mengemukakan pengalaman dan pandang-annya/ berpartisipasi aktif dalam pelatihan.

3 Merumuskan harapan - harapan terhadap pelatihan yang merupakan kesepakatan bersama dan menjadi norma kelas yang disepakati bersama 4 Menetapkan kontrol kolektif terhadap pelaksanaan norma kelas.

Pokok Bahasan/ Sub Pokok Bahasan

Metode Pembelajaran

Alat Bantu

Daftar Pustaka

3

4

5

6

Perkenalan.

Game perkenalan

Pencairan (Ice breaker).

Game pencairan

LCD

Laptop, White board, Spidol

Harapan materi peserta latih mampu: kekhawatiran mencapai harapan dan komitmen Harapan kelas, kekhawatiran mencapai harapan dan komitmen Penetapan kontrol kolektif terhadap pelaksanaan norma kelas.

Penugasan/ Diskusi kelompok Pleno

Game pencairan

Penugasan/ Diskusi kelompok Pleno

33

1. Departemen Kesehatan RI, 2006. Modul TOT Pelatihan Pengelola Program Kesehatan Indera Pendengaran.

2. Departemen Kesehatan RI, 2005. Modul TOT Pelatihan Pengelola Program Kesehatan Indera Penglihatan. 3. Pusdiklat Departemen Kesehatan RI, 2001. Membangun Komitmen Belajar.

4. Lembar petunjuk penugasan

Materi Penunjang 3

: Rencana Tindak Lanjut (RTL)

TPU

: Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu menyusun rencana tindak lanjut

Waktu

Tabel 12 Materi Penunjang 3 No

Tujuan Pembelajaran khusus

1 2 Setelah mempelajari materi ini peserta mampu

: 1 Jpl (T = 0 Jpl, P = 1 Jpl, PL= 0 Jpl)

Pokok Bahasan/ Sub Pokok Bahasan

Metode Pembelajaran

Alat Bantu

Daftar Pustaka

3

4

5

6

1 Menjelaskan konsep RTL Konsep RTL: a. Pengertian b. Tujuan/ manfaat c. Format

Ceramah Tayang tanya jawab LCD Diskusi

Laptop

Flipchart White board

Spidol

Format RTL

34

Modul RTL BPPSDM Kesehatan Rencana Tindak Lanjut

BAB VII DIAGRAM PROSES PEMBELAJARAN Pre Test

Pembukaan Building Learning Commitment (BLC)

E V A L U A S I

Wawasan Materi Dasar 1. Kerjasama tim dalam Pelayanan Tumbuh Kembang Nasional

2. Etika Profesi Tenaga Kesehatan

Metode ceramah tanya jawab dan pleno

Pengetahuan dan Keterampilan Materi Inti 1. Penanganan sederhana gangguan penglihatan 2. Penanganan sederhana gangguan pendengaran 3. Penanganan sederhana gangguan sensori persepsi 4. Penanganan sederhana gangguan bicara bahasa 5. Penanganan sederhana gangguan mental, emosional dan perilaku 6. Penanganan sederhana gangguan motorik kasar, halus dan oromotor 7. Penanganan sederhana gangguan pertumbuhan 8. Penanganan Komperehensif Kasus

Praktek Klinik RTL Penutupan

Post Test & Evaluasi Penyelenggaraan

35

36

BAB VIII PROSES DAN METODE PEMBELAJARAN

A. Proses Pembelajaran Proses pembelajaran dilaksanakan melalui tahapan sebagai berikut : 1. Dinamisasi dan penggalian harapan peserta serta membangun komitmen belajar diantara peserta. 2. Penyiapan peserta sebagai individu atau kelompok yang mempunyai pengaruh terhadap perubahan perilaku dalam menciptakan iklim yang kondusif dalam melaksanakan tugas. 3. Penjajagan awal peserta dengan memberikan pre-test. 4. Pembahasan materi kelas. 5. Praktik kelas dalam bentuk penugasan-penugasan dan praktik Klinik. 6. Penjajagan akhir peserta dengan memberikan post-test. Dalam setiap pembahasan materi inti, peserta dilibatkan secara aktif baik dalam teori maupun penugasan, dimana:

1. Fasilitator mempersiapkan peserta untuk siap mengikuti proses pembelajaran.

2. Fasilitator menjelaskan tentang tujuan pembelajaran yang akan dicapai pada setiap materi. 3. Fasilitator dapat mengawali proses pembelajaran dengan: a. Penggalian pengalaman peserta.

b. Penjelasan singkat tentang seluruh materi.

c. Penugasan dalam bentuk individual atau kelompok.

4. Setelah semua materi disampaikan, fasilitator dan atau peserta dapat memberikan umpan balik terhadap isi keseluruhan materi yang diberikan. 5. Sebelum pemberian materi berakhir, fasilitator dan peserta dapat membuat rangkuman dan atau pembulatan.

B. Metode Pembelajaran

Metode pembelajaran ini berdasarkan pada prinsip: 1. Orientasi kepada peserta meliputi latar belakang, kebutuhan dan harapan yang terkait dengan tugas yang dilaksanakan. 2. Peran serta aktif peserta sesuai dengan pendekatan pembelajaran. 3. Pembinaan iklim yang demokratis dan dinamis untuk terciptanya komunikasi dari dan ke berbagai arah. 37

Oleh karena itu metode yang digunakan selama proses pembelajaran diantaranya adalah: 1. Ceramah singkat dan tanya jawab. 2. Curah pendapat, untuk penjajagan pengetahuan dan pengalaman peserta terkait dengan materi yang diberikan. 3. Penugasan berupa: diskusi, dan latihan 4. Praktik Klinik

C. Rincian Rangkaian Alur Proses Pelatihan

Rincian rangkaian alur proses pelatihan sebagai berikut: 1. Pre-test



Pre-test diberikan sebelum materi diberikan untuk mengetahui sejauhmana kemampuan yang dimiliki peserta sebelum menerima materi.

2. Pembukaan Proses pembukaan pelatihan meliputi beberapa kegiatan berikut: a. Laporan ketua penyelenggara pelatihan. b. Pengarahan dari pejabat yang berwenang tentang latar belakang perlunya pelatihan. c. Perkenalan peserta secara singkat.

3. Membangun komitmen belajar Kegiatan ini ditujukan untuk mempersiapkan peserta dalam mengikuti proses pelatihan. Kegiatannya antara lain: a. Penjelasan oleh fasilitator tentang tujuan pembelajaran dan kegiatan yang akan dilakukan dalam materi membangun komitmen belajar.

b. Perkenalan antara peserta dan para fasilitator dan panitia penyelenggara pelatihan, dan juga perkenalan antar sesama peserta. Kegiatan perkenalan dilakukan dengan permainan, dimana seluruh peserta terlibat secara aktif. c. Mengemukakan kebutuhan/harapan, kekhawatiran dan komitmen masing-masing peserta selama pelatihan.

d. Kesepakatan antara para fasilitator, penyelenggara pelatihan dan peserta dalam berinteraksi selama pelatihan berlangsung, meliputi: pengorganisasian kelas, kenyamanan kelas, keamanan kelas, dan yang lainnya.

38

4. Pengisian pengetahuan/ wawasan Setelah materi Membangun Komitmen Belajar, kegiatan dilanjutkan dengan memberikan materi Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional dan Etika Profesi Tenaga Kesehatan sebagai dasar pengetahuan/wawasan yang sebaiknya diketahui peserta dalam pelatihan ini. 5. Pemberian pengetahuan dan ketrampilan

Pemberian materi berupa pengetahuan dan keterampilan tentang implementasi jaminan kesehatan di rumah sakit, sistem pelayanan, metode pembayaran kepada fasilitas kesehatan, mekanisme klaim, penganan keluhan, clinical pathway, pengenalan aplikasi sistem informasi jaminan kesehatan yang dilaksanakan di rumah sakit, dan monitoring dan evaluasi jaminan kesehatan.





Penyampaian materi dilakukan dengan menggunakan berbagai metode yang melibatkan semua peserta untuk berperan serta aktif dalam mencapai kompetensi tersebut, yaitu metode tanya jawab, diskusi kelompok, dan latihan. Peserta melakukan evaluasi terhadap fasilitator yang dilakukan tiap hari dengan cara me-review kegiatan proses pembelajaran yang sudah berlangsung, ini sebagai umpan balik untuk menyempurnakan proses pembelajaran selanjutnya.

Di samping itu juga dilakukan proses umpan balik dari pelatih ke peserta berdasarkan penilaian penampilan peserta, baik di kelas maupun di lapangan.

6. Rencana Tindak Lanjut (RTL)

Masing-masing peserta menyusun rencana tindak lanjut berupa rencana kerja yang dapat dilaksanakan setelah mengikuti pelatihan.



Post test diberikan setelah seluruh materi diberikan. Kemudian dilanjutkan dengan evaluasi terhadap penyelenggara (sarana, fasilitas, panitia, dll).



Acara penutupan dapat dijadikan sebagai upaya untuk mendapatkan masukan dari peserta ke penyelenggara dan fasilitator untuk perbaikan pelatihan yang akan datang.

7. Post-test dan evaluasi penyelenggaraan 8. Penutupan

39

40

BAB IX EVALUASI DAN SERTIFIKASI PELATIHAN

A. EVALUASI

Evaluasi yang dilakukan dalam proses pelatihan, yaitu: 1. Evaluasi terhadap peserta

Yaitu evaluasi yang dilakukan terhadap peserta pelatihan melalui:

a. Penjajakan awal melalui pre test. b. Pemahaman pembelajaran terhadap materi yang telah diterima (post test).

2. Evaluasi terhadap fasilitator

Evaluasi ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa jauh penilaian yang menggambarkan tingkat kepuasan peserta terhadap kemampuan pelatih/ fasilitator dalam menyampaikan pengetahuan dan atau keterampilan kepada peserta dengan baik, dapat dipahami dan diserap oleh peserta, meliputi: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l.

Penguasaan materi Ketepatan waktu Sistematika penyajian Penggunaan metode dan alat bantu diklat Empati, gaya dan sikap terhadap peserta Penggunaan bahasa dan volume suara Pemberian motivasi belajar kepada peserta Pencapaian TIU Kesempatan Tanya jawab Kemampuan menyajikan Kerapihan pakaian Kerjasama tim pengajar

3. Evaluasi terhadap penyelenggara

Evaluasi dilakukan oleh peserta pelatihan terhadap penyelenggara pelatihan. Obyek evaluasi adalah pelaksanaan administrasi dan akademis, meliputi: a. b. c. d. e. f.

Tujuan pelatihan. Relevansi program pelatihan dengan tugas. Manfaat setiap materi pembelajaran bagi pelaksanaan tugas. Manfaat pelatihan bagi instansi. Mekanisme pelaksanaan pelatihan. Hubungan peserta dengan penyelenggara pelatihan. 41

g. h. i. j. k. l.

Pelayanan kesekretariatan terhadap peserta. Pelayanan akomodasi dan lain-lain. Pelayanan konsumsi. Pelayanan kesehatan. Pelayanan kepustakaan. Pelayanan komunikasi dan informasi.

B. SERTIFIKAT

Setiap peserta yang telah menyelesaikan proses pembelajaran ini minimal 95% dari keseluruhan jumlah jam pembelajaran akan diberikan sertifikat yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan RI dan akan ditandatangani oleh Kepala Pusdiklat Aparatur.

C. PENUTUP

Standar kurikulum ini merupakan acuan minimal yang harus dipenuhi dalam Pelatihan Penanganan Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang Balita, kemungkinan penambahan materi sesuai kebutuhan dapat dilakukan dengan tidak mengurangi jam pelajaran.

42

SKENARIO PEMBELAJARAN KERJASAMA TIM

1. Nama Diklat : Pelatihan Penanganan Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang Balita 2. Mata Diklat

: Kerjasama Tim Dalam Pelayanan Tumbuh Kembang

3. Alokasi Waktu : 315 Menit 4. Tujuan Pembelajaran

a. Kompetensi Dasar :

Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu menjelaskan peran masingmasing profesi pada kerjasama tim penatalaksanaan gangguan tumbuh kembang.

b. Indikator Keberhasilan : Peserta mampu:

1. Menjelaskan batasan dan ruang lingkup Dokter SpA, SpKFR, SpKJ, SpM, SpTHT-KL, Fisioterapis, Terapis Okupasi, Terapis Wicara pada penatalaksanaan gangguan tumbuh kembang. 2. Menjelaskan filosofi keilmuan profesi Dokter SpA, SpKFR, SpKJ, SpM, SpTHT-KL, Fisioterapis, Terapis Okupasi, Terapis Wicara.

3. Menjelaskan bahwa pencapaian goal fungsi masing-masing individu berbeda tergantung dari diagnosis, prognosis penyakit dan kapasitas yang masih dimiliki oleh individu serta tingkat perkembangan balita. 4. Mengimplementasikan konsep kerjasama tim dalam penatalaksanaan gangguan tumbuh kembang.

5. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok

a. Batasan dan ruang lingkup Dokter SpA, SpKFR, SpKJ, SpM, SpTHT-KL, Fisioterapis, Terapis Okupasi, Terapis Wicara pada penatalaksanaan gangguan tumbuh kembang.

b. Filosofi keilmuan profesi Dokter SpA, SpKFR, SpKJ, SpM, SpTHT-KL, Fisioterapis, Terapis Okupasi, Terapis Wicara.

c. Pencapaian goal fungsi masing-masing individu berbeda tergantung dari diagnosis, prognosis penyakit dan kapasitas yang masih dimiliki oleh individu serta tingkat perkembangan balita. d. Konsep kerjasama tim dalam penatalaksanaan gangguan tumbuh kembang.

6. Kegiatan Belajar Mengajar

43

Tabel 1 Kerjasama Tim Dalam Pelayanan Tumbuh Kembang NO

TAHAPAN KEGIATAN

1

Pendahuluan

2

Penyajian

KEGIATAN FASILITATOR PESERTA

1.1 Mengenalkan diri; 1.2 Menciptakan suasana kelas yang kondusif; 1.3 Menguraikan Tujuan Pembelajaran Paparan materi mengenai : 1. Batasan dan ruang lingkup Dokter SpA, SpKFR, SpKJ, SpM, SpTHT-KL, Fisioterapis, Terapis Okupasi, Terapis Wicara pada penatalaksanaan gangguan tumbuh kembang 2. Filosofi keilmuan profesi Dokter SpA, SpKFR, SpKJ, SpM, SpTHT-KL, Fisioterapis, Terapis Okupasi, Terapis Wicara 3. Pencapaian goal fungsi masing-masing individu berbeda tergantung dari diagnosis, prognosis penyakit dan kapasitas yang masih dimiliki oleh individu serta tingkat perkembangan balita 4. Konsep kerjasama tim dalam penatalaksanaan gangguan tumbuh kembang

METODE

MEDIA/ ALAT BANTU

ALOKASI WAKTU

Memperhatikan, bertanya, menjawab, mencatat

1. BS 2. CTJ

- LCD, Laptop - Modul - Bahan Ajar

Memperhatikan, mencatat, menanggapi. Bertanya, Menjawab

1. BS 2. CTJ

- LCD, Laptop 20 Menit - Modul - Bahan Ajar

44

5 menit

7. Evaluasi Pembelajaran

a. Menjelaskan batasan dan ruang lingkup Dokter SpA, SpKFR, SpKJ, SpM, SpTHTKL, Fisioterapis, Terapis Okupasi, Terapis Wicara pada penatalaksanaan gangguan tumbuh kembang.

b. Menjelaskan filosofi keilmuan profesi Dokter SpA, SpKFR, SpKJ, SpM, SpTHTKL, Fisioterapis, Terapis Okupasi, Terapis Wicara.

c. Menjelaskan pencapaian goal fungsi masing-masing individu berbeda tergantung dari diagnosis, prognosis penyakit dan kapasitas yang masih dimiliki oleh individu serta tingkat perkembangan balita. d. Menjelaskan konsep kerjasama tim dalam penatalaksanaan gangguan tumbuh kembang.

8. Daftar Pustaka

a. Wahyuni LK, Tulaar ABM. White Book Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi. PB Perdosri. Jakarta, 2012.

b. World Health Organization : ICF: International Classification of Functioning, Disability, and Health. Geneva, Switzerland : World Health Organization, 2001. c. Stucki G, Kostanjsek N, Ustun B, Ewert T, Cieza A. Applying the ICF in Rehabilitation Medicine in Delisa JA. Physical Medicine and Rehabilitation Principle and Practice 5th edition. Lippincott Williams and Wilkin. Philadelpia. 2010: 301-324. d. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta, 2011. e. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Kompendium Ikatan Dokter Anak Indonesia, edisi ke-5. Jakarta, 2012. f. Kepmenkes no: 778/Menkes/SK/VII/2008 tentang Pedoman Pelayanan Fisioterapi di Sarana Kesehatan.

g. World Confederation for Physical Therapy, the 16th General Meeting of World Confederation for Physical Therapy. 2011.

45

SKENARIO PEMBELAJARAN ETIKA PROFESI TENAGA KESEHATAN

1. Nama Diklat : Pelatihan Penanganan Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang Balita 2. Mata Diklat : Etika Profesi Tenaga Kesehatan 3. Alokasi Waktu : 90 Menit

4. Tujuan Pembelajaran a. Kompetensi Dasar : Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta mampu menerapkan Kode Etik Profesi dalam menjalankan tugas atau pekerjaan sebagai seorang Profesi Tenaga Kesehatan. b. Indikator Keberhasilan : Peserta mampu: 1. Menjelaskan Landasan teori etika dan Kode Etik 2. Menjelaskan prinsip-prinsip dasar etika dan Kode Etik 3. Menjelaskan Perbedaaan antara etika dan kode etik 4. Menjelaskan implementasi dan koreksi terhadap penyimpangan kode etik 5. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok a. Landasan teori etika dan Kode Etik b. Prinsip-prinsip dasar etika dan Kode Etik c. Perbedaaan antara etika dan kode etik d. Implementasi dan koreksi terhadap penyimpangan kode etik 6. Kegiatan Belajar Mengajar Tabel 2 Etika Profesi Tenaga Kesehatan NO

TAHAPAN KEGIATAN

1 Pendahuluan

2 Penyajian

KEGIATAN

FASILITATOR

1.1 Mengenalkan diri; 1.2 Menciptakan suasana kelas yang kondusif; 1.3 Menguraikan Tujuan Pembelajaran

Paparan materi mengenai : 1. Landasan teori etika dan Kode Etik 2. Prinsip-prinsip dasar etika dan Kode Etik 3. Perbedaaan antara etika dan kode etik 4. Implementasi dan koreksi terhadap penyimpangan kode etik

PESERTA

METODE

MEDIA/ ALAT BANTU

ALOKASI WAKTU

Memperhatikan, bertanya, menjawab, mencatat

1. BS 2. CTJ

- LCD, Laptop - Modul - Bahan Ajar

5 menit

Memperhatikan, mencatat, menanggapi. Bertanya, Menjawab Idem Idem

1. BS 2. CTJ

- LCD, Laptop - Modul - Bahan Ajar

20 Menit

46

7. Evaluasi pembelajaran

a. Sebutkan prinsip-prinsip etika ?

b. Jelaskan isi dari kode etik profesi PNS ?

c. Jelaskan peranan dan kedudukan dari pimpinan satuan kerja pemerintah?

d. Jelaskan langkah langkah yang harus dilakukan bila ada dugaan terhadap pelanggaran Kode Etik Profesi PNS? 8. Daftar Pustaka

a. Adji, Oemar Seno, (1991) : ProfesiDokter Etika Profesional dan Hukum Pertanggung Jawaban Dokter, Erlangga, Jakarta Indonesia. b. Fuller, L (1978), The Morality Of Law, Yale University Press, London, UK c. K.Bertens, (1993), Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Indonesia.

d. Koeswadji, Hermien Hadiati, (2000), “Ethical Codes: Its Nature and Development in Indonesia”, Makalah pada International Conference Ethics Educations in Medical Schools, February13-16, Eilat, Israel.

e. Leenen Hjj, (1991), Gezondheidszorg en Recht, een Gezondheidsrechtelijke Studie, Samson, Alpheen aan den Rijn, Netherlands f. Undang undang No: 8 Tahun 1974 tentang Pokok Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang undang No: 43 Tahun 1999. g. Undang undang No: 36 Tahun 1999 Tentang Kesehatan.

h. Peraturan Pemerintah No: 42 Tahun 2004 Tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil.

i. Peraturan Pemerintah No: 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. j. Peraturan Menteri Kesehatan No: 1144/Menkes/Per/VII/2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementrian Kesehatan.

k. Peraturan Menteri Kesehatan No; 008 Tahun 2012 Tentang Kode Etik Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan Kementrian Kesehatan.

47

SKENARIO PEMBELAJARAN GANGGUAN PENGLIHATAN

1. Nama Diklat : Pelatihan Penanganan Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang Balita

2. Mata Diklat

: Gangguan Penglihatan

3. Alokasi Waktu : 180 Menit 4. Tujuan Pembelajaran

a. Kompetensi Dasar

Peserta mampu mengidentifikasi gambaran klinis kasus kelainan penyakit mata.

b. Indikator Keberhasilan Peserta mampu: 1. Melakukan pemeriksaan ketajaman penglihatan 2. Mengidentifikasi kasus kelainan kejernihan media mata 3. Mengidentifikasi kasus kelainan posisi bola mata tidak lurus (juling) 4. Merujuk sesuai dengan prosedur yang ditetapkan

5. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok a. Uji ketajaman penglihatan b. Uji refleks fundus merah c. Uji refleks kornea

6. Kegiatan Belajar Mengajar

Tabel 3 Gangguan Penglihatan NO

TAHAPAN KEGIATAN

1

Pendahuluan

2

Penyajian

KEGIATAN FASILITATOR

1.1 Mengenalkan diri; 1.2 Menciptakan suasana kelas yang kondusif; 1.3 Menguraikan Tujuan Pembelajaran Paparan materi mengenai : a. Uji ketajaman penglihatan b. Uji refleks fundus merah c. Uji refleks kornea

PESERTA

Memperhatikan, bertanya, menjawab, mencatat Memperhatikan, mencatat, menanggapi. Bertanya, Menjawab Idem 48

METODE

MEDIA/ ALAT BANTU

ALOKASI WAKTU

1. BS 2. CTJ

- LCD, Laptop - Modul

5 menit

1. BS 2. CTJ

- LCD, Laptop - Modul - Bahan Ajar

20 Menit

7. Evaluasi Pembelajaran

a. Jelaskan cara uji ketajaman penglihatan b. Jelaskan cara uji refleks fundus merah c. Jelaskan cara uji refleks kornea

8. Daftar Pustaka

a. Undang undang No: 36 Tahun 1999 Tentang Kesehatan.

b. Buku Pedoman Penanganan Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang, Kementerian Kesehatan RI.

49

SKENARIO PEMBELAJARAN GANGGUAN PENDENGARAN

1. Nama Diklat 2. Mata Diklat

: Pelatihan Penanganan Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang Balita : Gangguan Pendengaran

3. Alokasi Waktu : 180 Menit 4. Tujuan Pembelajaran

a. Kompetensi Dasar :

Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu melakukan deteksi dini dan identifikasi kasus gangguan pendengaran



Peserta mampu:

b. Indikator Keberhasilan :

1. Menjelaskan karakteristik gangguan pendengaran

2. Menjelaskan faktor risiko yang berperan untuk terjadinya gangguan pendengaran pada balita. 3. Menjelaskan pemeriksaan-memeriksaan yang diperlukan menegakkan diagnosis gangguan pendengaran pada balita.

untuk

4. Menjelaskan penatalaksanaan kasus balita dengan dugaan gangguan pendengaran.

5. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok

a. Anatomi dan fisiologi telinga / pendengaran

b. Gangguan pendengaran pada bayi dan anak

c. Penyakit telinga yang berpotensi menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran Pemeriksaan telinga dan

d. penatalaksanaan sederhana penyakit telinga yang dapat menyebabkan gagguan pendengaran

50

6. Kegiatan Belajar Mengajar :

Tabel 4 Gangguan Pendengaran NO

1

TAHAPAN KEGIATAN

Pendahuluan

KEGIATAN FASILITATOR PESERTA

1.1 Mengenalkan diri;

1.2 Menciptakan suasana kelas yang kondusif;

2

3

Penyajian

Penutup

1.3 Menguraikan Tujuan Pembelajaran Pemaparan materi: 2.1. Anatomi dan fisiologi telinga / pendengaran 2.2. Gangguan pendengaran pada bayi dan anak 2.3. Penyakit telinga yang berpotensi menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran Pemeriksaan telinga dan 2.4. Penatalaksanaan sederhana penyakit telinga yang dapat menyebabkan

METODE

MEDIA/ ALAT BANTU

ALOKASI WAKTU

Memperhatikan, bertanya, menjawab, mencatat

1. BS 2. CTJ

Memperhatikan, mencatat, menanggapi. Bertanya, Menjawab, praktek

1. BS - LCD, Laptop 20 Menit 2. CTJ - Modul 3. Praktik - Bahan Ajar - Bahan praktik

- LCD, Laptop - Modul - Bahan Ajar

5 menit

Idem

Idem

3.1 Evaluasi 3.2. Kesimpulan

10 menit

51

7. Evaluasi Pembelajaran :

a. Jelaskan karakteristik gangguan pendengaran pada balita.

b. Sebutkankan faktor risiko yang berperan untuk terjadinya gangguan pendengaran pada balita.

c. Menjelaskan pemeriksaan-memeriksaan yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis gangguan pendengaran pada balita. d. Menjelaskan penatalaksanaan kasus pendengaran

balita dengan dugaan gangguan

8. Daftar Pustaka :

a. Undang undang No: 36 Tahun 1999 Tentang Kesehatan.

b. Buku Pedoman Penanganan Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang. Kementerian Kesehatan RI c. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT. Edisi VI. 2007 (Editor Efiaty Arsyad dkk)

d. Dhillon RS, East CA. An Ilustrated Colour Text. Ear Nose and Throat. Churchill Livingstone, 1994

52

SKENARIO PEMBELAJARAN GANGGUAN SENSORI PERSEPSI

1. Nama Diklat : Pelatihan Penanganan Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang Balita 2. Mata Diklat

: Gangguan Sensori Persepsi

3. Alokasi Waktu : 180 Menit 4. Tujuan Pembelajaran

a. Kompetensi Dasar :

Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu melakukan penatalaksanaan kasus gangguan sensori persepsi



Peserta mampu:

b. Indikator Keberhasilan :

1. Menjelaskan definisi proses sensori

2. Menjelaskan pengaruh sistem sensoris terhadap kinerja manusia 3. Menjelaskan perkembangan normal integrasi sensoris 4. Menjelaskan gangguan sensori persepsi dan jenisnya 5. Menjelaskan diagnosis gangguan sensori persepsi

5. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok : a. Definisi proses sensori

b. Pengaruh sistem sensoris terhadap kinerja manusia c. Perkembangan normal integrasi sensoris d. Gangguan sensori persepsi dan jenisnya e. Diagnosis gangguan sensori persepsi

53

6. Kegiatan Belajar Mengajar :

Tabel 5 Gangguan Sensori Persepsi NO

TAHAPAN KEGIATAN

1 Pendahuluan

2 Penyajian

KEGIATAN FASILITATOR PESERTA

1.1 Mengenalkan diri; 1.2 Menciptakan suasana kelas yang kondusif; 1.3 Menguraikan Tujuan Pembelajaran Paparan materi mengenai : 1. Definisi proses sensori 2. Pengaruh sistem sensoris terhadap kinerja manusia 3. Perkembangan normal integrasi sensoris 4. Gangguan sensori persepsi dan jenisnya 5. Diagnosis gangguan sensori persepsi

METODE

MEDIA/ ALAT BANTU

ALOKASI WAKTU

Memperhatikan, bertanya, menjawab, mencatat

1. BS 2. CTJ -

- LCD, Laptop - Modul - Bahan Ajar

5 menit

Memperhatikan, mencatat, menanggapi. Bertanya, menjawab

1. BS 2. CTJ

- LCD, Laptop - Modul - Bahan Ajar

20 Menit

7. Evaluasi Pembelajaran :

a. Sebutkan definisi proses sensori

b. Jelaskan pengaruh sistem sensoris terhadap kinerja manusia c. Jelaskan perkembangan normal integrasi sensoris d. Jelaskan gangguan sensori persepsi dan jenisnya e. Jelaskan diagnosis gangguan sensori persepsi

54

8. Daftar Pustaka :

a. Ahn, R. R., Miller, L. J., Milberger, S., & McIntosh, D. N. Prevalence of parents’ perceptions of sensory processing disorders among kindergarten children. American Journal of Occupational Therapy 2004(58); 287–293

b. Kranowitz CS. The Out-of-Sync Child Has Fun: Activities for Kids with Sensory Integration Dysfunction. New York: A Perigee Book. 2003; 4-5 c. Dunn W, Saiter J, Rinner L. Asperger syndrome and sensory processing: a conceptual model and guidance for intervention planning. Focus on autism and other developmental disabilities 2002 (17); 172-185

d. Miller LJ. Sensational Kids : Hope and Help for Children with Sensory Processing Disorder. United States of America: Putnam, 2006.p. 4-5, 44-48 e. Wahyuni LK. Dasar Pendekatan Terapi Multisensoris. In Pelatihan Tim Rehabilitasi Medik Pediatrik Indonesia. RSUPN Dr. CIPTO MANGUNKUSUMO DEPARTEMEN KESEHATAN RI 2001; 85-87 f. Perdosri 2002. Penatalaksanaan gangguan perkembangan dan belajar pada anak. Perdosri 2002; 29-36 g. Dunn W. Sensory profile. United States of America: Psychcorp 2008; 1-4

55

SKENARIO PEMBELAJARAN GANGGUAN KOMUNIKASI

1. Nama Diklat 2. Mata Diklat

: Pelatihan Penanganan Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang Balita : Gangguan Komunikasi

3. Alokasi Waktu : 225 Menit

4. Tujuan Pembelajaran

a. Kompetensi Dasar : Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu menjelaskan definisi dan fungsi komunikasi, prasyarat berkomunikasi, perkembangan normal fungsi bicarabahasa, jenis-jenis gangguan bicara-bahasa, menegakkan diagnosis (khusus untuk dokter dan dokter anak), penatalaksanaan gangguan bicara-bahasa, dan bekerjasama dalam tim untuk menangani kasus gangguan komunikasi sesuai peran masing-masing anggota tim. b. Indikator Keberhasilan :

Peserta mampu: 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Menjelaskan definisi dan fungsi komunikasi Menjelaskan prasyarat agar dapat berkomunikasi dengan baik Menjelaskan perkembangan normal fungsi bicara-bahasa pada anak Menjelaskan skrining perkembangan bicara-bahasa pada anak Menjelaskan jenis-jenis gangguan bicara-bahasa Menegakan diagnosis fungsi gangguan bicara-bahasa (khusus untuk dokter dan dokter anak) 7. Menjelaskan intervensi pada penatalaksanaan gangguan bicara-bahasa 8. Membuat program sederhana mengenai intervensi dini gangguan tumbuh kembang

5. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok a. Definisi dan fungsi komunikasi b. Prasyarat agar dapat berkomunikasi dengan baik c. Perkembangan normal fungsi bicara-bahasa pada anak d. Skrining perkembangan bicara-bahasa pada anak e. Jenis-jenis gangguan bicara-bahasa f. Diagnosis fungsi gangguan bicara-bahasa g. Intervensi pada penatalaksanaan gangguan bicara-bahasa h. Program sederhana mengenai intervensi dini gangguan bahasa bicara 56

6. Kegiatan Belajar Mengajar :

Tabel 6 Gangguan Komunikasi NO

TAHAPAN KEGIATAN

1 Pendahuluan

2 Penyajian

KEGIATAN FASILITATOR PESERTA

1.1 Mengenalkan diri; 1.2 Menciptakan suasana kelas yang kondusif; 1.3 Menguraikan Tujuan Pembelajaran Paparan materi mengenai : 1. Definisi dan fungsi komunikasi 2. Prasyarat agar dapat berkomunikasi dengan baik 3. Perkembangan normal fungsi bicara-bahasa pada anak 4. Skrining perkembangan bicara-bahasa pada anak 5. Jenis-jenis gangguan bicarabahasa 6. Diagnosis fungsi gangguan bicarabahasa 7. Intervensi pada penatalaksanaan gangguan bicarabahasa 8. Program sederhana mengenai intervensi dini gangguan bahasa bicara

METODE

MEDIA/ ALAT BANTU

ALOKASI WAKTU

Memperhatikan, bertanya, menjawab, mencatat

1. BS 2. CTJ

- LCD, Laptop - Modul - Bahan Ajar

5 menit

Memperhatikan, mencatat, menanggapi. Bertanya, Menjawab

1. BS 2. CTJ

- LCD, Laptop - Modul - Bahan Ajar

20 Menit

57

7. Evaluasi Pembelajaran :

a. Jelaskan definisi dan fungsi komunikasi

b. Sebutkan prasyarat agar dapat berkomunikasi dengan baik

c. Jelaskan perkembangan normal fungsi bicara-bahasa pada anak d. Jelaskan skrining perkembangan bicara-bahasa pada anak e. Sebutkan jenis-jenis gangguan bicara-bahasa

f. Bagaimana diagnosis fungsi gangguan bicara-bahasa

g. Jelaskan intervensi pada penatalaksanaan gangguan bicara-bahasa

h. Jelaskan program sederhana mengenai intervensi dini gangguan bahasa bicara 8. Daftar Pustaka :

a. Buku Pedoman Penanganan Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang. Kementerian Kesehatan RI

b. Smith C, Hill J. Language development and disorders of communication. In: Molnar GE, Alexander MA. Pediatric rehabilitation. 3rd ed.. Philadelpia; Hanley and Belfus;1999. p. 57-80 c. New York State Department of Health. Clinical practice guideline communication disorders assessment and intervention for young children (Age 0-3 Year). New York State Department of Health

d. Driver L. Ayyangar R.Tubbergen MV.Language development disorders of communication and oral motor function. In: Alexander MA. Matthews DJ. Pediatric rehabilitation principles and practice. 4th ed. New York; Demos Medical e. Sen P, Vasudeva R. No more baby talk. Singapore: Pearson Education Asia Pte Ltd; 2002

58

SKENARIO PEMBELAJARAN GANGGUAN MENTAL, EMOSIONAL DAN PERILAKU

1. Nama Diklat : Pelatihan Penanganan Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang Balita 2. Mata Diklat : Gangguan Mental, Emosional dan Perilaku 3. Alokasi Waktu : 180 Menit 4. Tujuan Pembelajaran a. Kompetensi Dasar : Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu mengenali kasus retardasi mental dan gangguan perkembangan pervasif, serta melakukan penanganan sederhana pada kedua kasus tersebut. b. Indikator Keberhasilan : Peserta mampu: 1. Menjelaskan difinisi retardasi mental dan gangguan perkembangan pervasif. 2. Menjelakan etiologi dan faktor risiko terjadinya retardasi mental dan gangguan perkembangan pervasif, 2. Menjelaskan kriteria diagnostik retardasi mental dan gangguan perkembangan pervasif 3. Melakukan penegakan diagnosis retardasi mental dan gangguan perkembangan pervasif pervasif 4. Menjelaskan peran orangtua dalam penanganan anak dengan retardasi mental dan gangguan perkembangan pervasif 5. Melakukan intervensi psikososial dini berupa psikoedukasi kepada orangtua mengenai retardasi mental dan gangguan perkembangan pervasif, serta kebutuhan tatalaksana serta edukasi yang lebih spesifik pada anak dengan kondisi tersebut.

5. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok a. Definisi Retardasi mental dan gangguan perkembangan pervasif. b. Faktor etiologi, faktor risiko terjadinya retardasi mental dan gangguan perkembangan pervasif c. Kriteria diagnostik untuk retardasi mental dan gangguan perkembangan pervasif d. Cara melakukan penegakan diagnosis dengan menggunakan wawancara psikiatrik (khusus dokter dan dokter anak) e. Masalah hendaya dan peran keluarga pada anak dengan retardasi mental dan gangguan perkembangan pervasif f. Kebutuhan akan tatalaksana dan pendekatan edukasi yang lebih spesifik pada anak dengan retardasi mental dan gangguan perkembangan pervasif. 59

6. Kegiatan Belajar Mengajar :

Tabel 7 Gangguan Mental, emosional dan perilaku NO

TAHAPAN KEGIATAN

1 Pendahuluan

2 Penyajian

KEGIATAN FASILITATOR PESERTA

1.1 Mengenalkan diri; 1.2 Menciptakan suasana kelas yang kondusif; 1.3 Menguraikan Tujuan Pembelajaran

Memperhatikan, bertanya, menjawab, mencatat

2.1. Difinisi Retardasi Memperhatikan, mencatat, mental dan menanggapi. gangguan perkembangan Bertanya, Menjawab pervasif. 2.2. Faktor etiologi, dan melakukan praktik faktor risiko terjadinya retardasi mental dan gangguan perkembangan pervasif. 2.3. Skrining untuk gangguan retardasi mental dan perkembangan pervasif 2.4. Cara melakukan penegakan diagnosis dengan menggunakan wawancara psikiatrik (khusus dokter dan dokter anak) 2.5. Kebutuhan tatalaksana dan pendekatan edukasi yang lebih spesifik pada anak dengan retardasi mental dan gangguan perkembangan pervasif. 60

METODE

1. BS 2. CTJ

MEDIA/ ALAT BANTU

- LCD, Laptop - Modul - Bahan Ajar

1. BS - LCD, Laptop 2. CTJ - Modul 3. Praktik - Bahan Ajar - Kertas praktik

ALOKASI WAKTU

5 Menit

75 Menit (T) 90 Menit (P)

3 Penutup

2.6. Praktik dan praktik lapangan

3.1 Evaluasi 3.2 Kesimpulan

10 Menit

7. Evaluasi Pembelajaran :

a. Jelaskan difinisi retardasi mental dan gangguan perkembangan pervasif.

b. Sebutkan faktor risiko terjadinya retardasi mental dan gangguan perkembangan pervasif. c. Sebutkan kriteria diagnostik retardasi mental dan gangguan perkembangan pervasif.

d. Tunjukan cara melakukan diagnosis retardasi mental dan gangguan perkembangan pervasif (khusus dokter dan dokter anak).

e. Jelaskan peran orangtua dalam mendukung tumbuh kembang anak dengan retardasi mental dan gangguan perkembangan pervasif. f. Tunjukkan cara melakukan psikoedukasi kepada orangtua yang mempunyai anak dengan retardasi mental dan gangguan perkembangan pervasif. 8. Daftar Pustaka : a.

Bryan H. King, Karen E.Toth, Robert Hodapp, Elisabeth M Dykens. Intellectual disability. Comphrehensive Textbook of Psychiatry, 9th Ed. Editors: Benjamin James Sadock, Virginia Alcott Sadock, and Pedro Ruiz. 2009. P.3444 – 3744.

b. Clinical Practice Guideline Autism/Pervasive Developmental Disordes Assessment and Intervention for Young Children (age 0-3 years). New York State Department of Health. New York.

c. Departement of Health and Human Services USA. Autism Alarm. diunduh dari www.cdc.gov/autism and www.aap.org/autism, April 2012.

61

SKENARIO PEMBELAJARAN GANGGUAN MOTORIK

1. Nama Diklat : Pelatihan Penanganan Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang Balita 2. Mata Diklat

: Gangguan Motorik

3. Alokasi Waktu : 6 JPL ( T : 2 ; P : 2 ; PL: 2 )

4. Tujuan Pembelajaran

a. Kompetensi Dasar :

Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu melakukan penatalaksanaan (fisioterapi, okupasi terapi dan terapi wicara) kasus pada gangguan motorik (kasar, halus, dan oromotor) sesuai peran profesi masing-masing.

b. Indikator Keberhasilan :

Peserta mampu: (FT, OT, TW)

1. Menjelaskan karakteristik perkembangan motorik (kasar, halus, dan oromotor) normal. 2. Menjelaskan jenis gangguan motorik (kasar, halus, dan oromotor).

3. Menegakkan diagnosis fungsional pada gangguan motorik (kasar, halus, dan oromotor).

4. Melakukan penatalaksanaan kasus gangguan motorik (kasar, halus, dan oromotor). 5. Menjelaskan fokus intervensi sesuai usia dan/atau kasus. 6. Mengaplikasikan handling yang benar.

5. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok

a. Karakteristik perkembangan motorik (kasar, halus, dan oromotor) normal. b. Jenis gangguan motorik (kasar, halus, dan oromotor).

c. Diagnosis fungsional pada gangguan motorik (kasar, halus, dan oromotor). d. Penatalaksanaan kasus gangguan motorik (kasar, halus, dan oromotor). e. Fokus intervensi sesuai usia dan/atau kasus. f. Aplikasi handling yang benar.

62

6. Kegiatan Belajar Mengajar : Tabel 8 Gangguan Motorik

NO

TAHAPAN KEGIATAN

1 Pendahuluan

2 Penyajian

3 Demo

4 Praktek

KEGIATAN FASILITATOR PESERTA

1.1 Mengenalkan diri; 1.2 Menciptakan suasana kelas yang kondusif; 1.3 Menguraikan Tujuan Pembelajaran.

2.1. Menjelaskan tentang motorik kasar dan gangguannya pada kasus CP, DS, MDD (FT) 2.2. Menjelaskan tentang motorik halus gangguannya pada kasus CP, DS, MDD (OT) 2.3. Menjelaskan tentang oromotor gangguannya pada kasus CP, DS, MDD (TW)

3.1. Penatalaksanaan gangguan motorik kasar (FT) 3.2. Penatalaksanaan gangguan motorik halus (OT) 3.3. Penatalaksanaan gangguan oromotor (TW) 4.1. Penatalaksanaan gangguan motorik kasar (FT) 4.2. Penatalaksanaan gangguan

METODE

MEDIA/ ALAT BANTU

ALOKASI WAKTU

Memperhatikan, bertanya, menjawab, mencatat

1. BS 2. CTJ

Memperhatikan, mencatat, menanggapi. Bertanya, Menjawab

1. BS - LCD, Laptop 2. CTJ - Modul 3. Diskusi - Bahan Ajar

FT Teori 25 menit OT Teori 25 menit TW Teori 25 menit

1. CTJ - LCD, Laptop 2. Diskusi - Modul 3. Demo - Bahan Ajar - alat praktek

FT Demo 30 OT Demo 30 TW Demo 30

2. CTJ - LCD, Laptop 3. Diskusi - Modul 4. Demo - Bahan Ajar 5. Praktek

FT Praktek 55 OT Praktek 55

- LCD, Laptop - Modul - Bahan Ajar

Idem

5 menit

Idem

Memperhatikan, mencatat, menanggapi. Bertanya, Menjawab Idem Idem Memperhatikan, mencatat, menanggapi. Bertanya, Menjawab, berpraktek 63

5 Kesimpulan dan penutup

motorik halus (OT) 4.3. Penatalaksanaan gangguan oromotor (TW) Membuat resume dan kesimpulan pembelajaran.

mandiri dan kelompok, Idem Idem

Memperhatikan, bertanya, menjawab, mencatat

TW Praktek 55 1. BS 2. CTJ

- LCD, Laptop - Modul - Bahan Ajar

10 menit

7. Evaluasi Pembelajaran :

a. Jelaskan karakteristik perkembangan motorik kasar, halus dan oromotor yang normal b. Sebutkan jenis gangguan motorik kasar, halus, dan oromotor

c. Jelaskan diagnosis fungsional pada gangguan motorik kasar, halus dan oromotor

d. Jelaskan penatalaksanaan kasus gangguan motorik kasar, motorik halus dan oromotor e. Jelaskan fokus intervensi sesuai usia dan/atau kasus f. Bagaimana aplikasi handling yang benar 8. Daftar Pustaka :

a. Buku Pedoman Penanganan Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang. Kementerian Kesehatan RI.

b. New York State Department of Health. Clinical Practice Guideline Motor Disorders Assessment and intervention for Young children (Age 0-3 Year). New York State Department of Health. c. Alexander Rona, Boehme Regi, Cupps Barbara. Normal Development of Functional Motor Skills. Arizona : Therapy Skill Builders; 1993 d. Morris S.E., Klein M.D. Pre-Feeding Skills.2nd ed.USA:Therapy Skill Builder: 2000. p. 62-68

e. Aubert E.J. Motor development in the normal child. In : Tecklin J. S. Pediatric physical therapy. 4th ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins; 2008.p. 22

64

SKENARIO PEMBELAJARAN GANGGUAN PERTUMBUHAN

1. Nama Diklat : Pelatihan Penanganan Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang Balita 2. Mata Diklat

: Gangguan Pertumbuhan

3. Alokasi Waktu : 180 Menit

4. Tujuan Pembelajaran

a. Kompetensi Dasar : Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu menjelaskan pertumbuhan normal, melakukan deteksi gangguan pertumbuhan, dan penatalaksanaan dan evaluasi hasil penanganan kasus gangguan pertumbuhan sesuai peran masing-masing anggota tim. b. Indikator Keberhasilan :

Peserta mampu: 1. Menjelaskan karakteristik pertumbuhan normal sesuai kurun usia anak dan mahir melakukan pengukuran secara akurat dengan alat standar (sesuai buku pedoman SDIDTK). 2. Menjelaskan beberapa faktor-faktor yang berperan pada proses pertumbuhan. 3. Menjelaskan pemeriksaan antropometri pada anak dan penggunaan kurva pertumbuhan WHO tahun 2005. 4. Melakukan interpretasi /analisis kurva pertumbuhan yang ada. 5. Menegakan diagnosis gangguan pertumbuhan dan mengetahui penyebabnya (etiologi). 6. Melakukan intervensi dini/Penanganan gangguan pertumbuhan sesuai etiologi. 7. Melakukan evaluasi hasil intervensi dan merujuk ke level lebih tinggi apabila dianggap perlu.

5. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok a. Karakteristik pertumbuhan normal sesuai kurun usia anak b. Faktor-faktor yang berperan pada proses pertumbuhan. c. Pemeriksaan antropometri pada anak dan penggunaan kurva pertumbuhan WHO tahun 2005 d. Interpretasi /analisis kurva pertumbuhan WHO 2005 e. Diagnosis gangguan pertumbuhan dan penyebabnya (etiologi) f. Intervensi dini/Penanganan gangguan pertumbuhan sesuai etiologi g. Evaluasi hasil intervensi 65

6. Kegiatan Belajar Mengajar :

Tabel 9 Gangguan pertumbuhan

NO

TAHAPAN KEGIATAN

1 Pendahuluan

2 Penyajian

3 Penutup

KEGIATAN FASILITATOR

1.1 Mengenalkan diri; 1.2 Menciptakan suasana kelas yang kondusif; 1.3 Menguraikan Tujuan Pembelajaran

Paparan materi mengenai : 1. Karakteristik pertumbuhan normal sesuai kurun usia 2. Faktor-faktor yang berperan pada proses pertumbuhan 3. Pemeriksaan antropometri pada anak dan kurva pertumbuhan WHO tahun 2005 4. Interpretasi / analisis kurva pertumbuhan WHO 2005 5. Diagnosis gangguan pertumbuhan dan penyebabnya (etiologi) 6. Intervensi dini/ Penanganan gangguan pertumbuhan sesuai etiologi 7. Evaluasi hasil intervensi

PESERTA

METODE

MEDIA/ ALAT BANTU

ALOKASI WAKTU

Memperhatikan, bertanya, menjawab, mencatat

1. BS 2. CTJ

- LCD, Laptop 5 menit - Modul - Bahan Ajar

Memperhatikan, mencatat, menanggapi. Bertanya, Menjawab

1. BS 2. CTJ

- LCD, Laptop 30 Menit - Modul - Bahan Ajar

1. Evaluasi (Point 7) 2. Simpulan

10 menit

66

7. Evaluasi Pembelajaran :

a. Sebutkan karakteristik pertumbuhan normal sesuai kurun usia anak b. Sebutkan faktor-faktor yang berperan pada proses pertumbuhan

c. Jelaskan pemeriksaan antropometri pada anak dan penggunaan kurva pertumbuhan WHO tahun 2005 d. Jelaskan interpretasi /analisis kurva pertumbuhan WHO 2005

e. Bagaimana diagnosis gangguan pertumbuhan dan penyebabnya (etiologi)

f. Jelaskan intervensi dini/Penanganan gangguan pertumbuhan sesuai etiologi g. Jelaskan bagaimana evaluasi hasil intervensi Contoh Kasus

1. Seorang ibu membawa anaknya ke puskesmas untuk imunisasi. Bayi TI lahir di Jakarta pada tanggal 15 Juli 2012 dengan usia kehamilan 32 minggu. Berat lahir bayi TI 2000 gram dan panjang lahir 46 cm. Saat ini berat badannya 5500 gram dan panjang badan 52 cm (pemeriksaan dilakukan pada tanggal 22 Desember 2012).

Bagaimana penilaian pertumbuhan bayi TI ? plotkan berat badan bayi ke dalam kurva pertumbuhan WHO ?



Bagaimana penilaian kurva pertumbuhan bayi MA ? langkah apa yang akan dilakukan untuk mengatasi masalah anak MA ?

2. Anak MA, lahir pada tanggal 13 januari 2010. Ibunya membawa MA ke puskesmas (pada tanggal 13 Januari 2012) karena anaknya terlihat sangat kurus. Terlampir kurva pertumbuhan anak MA selama ini. Berat lahir MA 3000 gram dan panjang lahir 50 cm. 3. Lakukan pengukuran antropometri lengkap pada anak-anak ini (disediakan 3-5 bayi / anak). Gunakan kurva WHO untuk penilaian antropometri. Perhitungan usia anak sesuai dengan tanggal lahir anak dan hari saat pengukuran antropometri anak.

4. Seorang ibu membawa 2 anaknya ke puskesmas dengan keluhan anaknya terlihat lebih pendek dari kedua orangtuanya. Anak AB lahir 14 Maret 2009 (berat lahir 2700 gram, dan panjang lahir 48 cm) dan anak PI lahir 3 Desember 2007 (berat lahir 3000 gram dan panjang lahir 46 cm). Selama ini anak-anak tidak dibawa secara rutin ke posyandu. Tinggi badan ibu adalah 150 cm dan tinggi badan ayah 163 cm. Bagaimana penilaian pertumbuhan (tinggi badan) kedua anak ini ? bagaimana tatalaksana kedua anak ini ? 67

8. Daftar Pustaka

a. Behrmann RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders; 2011 b. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis IDAI jilid 1. Jakarta, 2010

c. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku Ajar tumbuh kembang anak jilid 2. Jakarta, 2010



68

MODUL 1 KERJASAMA TIM

I. DESKRIPSI SINGKAT Permasalahan fungsi yang dihadapi anak dengan gangguan tumbuh kembang dapat meliputi gangguan fungsi mental, emosional dan perilaku, komunikasi dan gerak. Karena luasnya dampak yang dihadapi maka penatalaksanaannya memerlukan kerjasama tim. Masing-masing anggota tim diharapkan memahami batasan peran dan tanggung jawabnya dalam penatalaksanaan gangguan tumbuh kembang. Materi pelatihan ini memberi pengetahuan kepada dokter spesialis anak, dokter umum, fisioterapis, perawat dan / bidan tentang filosofi keilmuan, batasan dan ruang lingkup yang akan menerima pendelegasian wewenang untuk menangani kasus gangguan tumbuh kembang.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN

A. Tujuan Pembelajaran Umum

Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu menjelaskan peran Dokter SpA, SpKFR, SpKJ, SpM, SpTHT-KL, Fisioterapis, Terapis Okupasi dan Terapis Wicara pada kerjasama tim penatalaksanaan gangguan tumbuh kembang

B. Tujuan Pembelajaran Khusus

Setelah mempelajari materi ini, peserta mampu:

1. Menjelaskan batasan dan ruang lingkup dokter SpA, SpKFR, SpKJ, SpM, SpTHT-KL, Fisioterapis, Terapis Okupasi dan Terapis Wicara pada penatalaksanaan gangguan tumbuh kembang

2. Menjelaskan filosofi keilmuan profesi dokter SpA, SpKFR, SpKJ, SpM, SpTHT-KL, Fisioterapis, Terapis Okupasi dan Terapis Wicara

3. Menjelaskan bahwa pencapaian goal fungsi masing-masing individu berbeda tergantung dari diagnosis, prognosis penyakit dan kapasitas yang masih dimiliki oleh individu serta tingkat perkembangan balita 4. Mengimplementasikan konsep kerjasama tim dalam penatalaksanaan gangguan tumbuh kembang

69

III. POKOK BAHASAN 1. Batasan dan ruang lingkup dokter SpA, SpKFR, SpKJ, SpM, SpTHT-KL, Fisioterapis, Terapis Okupasi dan Terapis Wicara pada penatalaksanaan gangguan tumbuh kembang

2. Filosofi keilmuan profesi dokter SpA, SpKFR, SpKJ, SpM, SpTHT-KL, Fisioterapis, Terapis Okupasi dan Terapis Wicara

3. Pencapaian goal fungsi masing-masing individu berbeda tergantung dari diagnosis, prognosis penyakit dan kapasitas yang masih dimiliki oleh individu serta tingkat perkembangan balita 4. Konsep kerjasama tim dalam penatalaksanaan gangguan tumbuh kembang

IV. BAHAN BELAJAR

1. Modul Kerjasama Tim

2. Buku Pedoman Penanganan Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang Balita 3. Buku teks

V. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN

Berikut merupakan langkah-langkah kegiatan pembelajaran: Langkah 1: Pengkondisian peserta Langkah pembelajaran: *



Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum pernah menyampaikan sesi di kelas, mulailah dengan perkenalan. Perkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkap, instansi tempat bekerja, materi yang akan disampaikan.

* Sampaikan tujuan pembelajaran materi ini dan pokok bahasan yang akan disampaikan, sebaiknya dengan menggunakan bahan tayang.

Langkah 2: Penyampaian Materi Langkah pembelajaran:

* Fasilitator menyampaikan paparan seluruh materi sesuai urutan pokok bahasan dan sub pokok bahasan dengan menggunakan bahan tayang. Fasilitator menyampaikan materi dengan metode ceramah tanya jawab, kemudian curah pendapat. 70

Langkah 3: Rangkuman dan Kesimpulan Langkah pembelajaran:

1. Fasilitator melakukan evaluasi untuk mengetahui penyerapan peserta terhadap materi yang disampaikan dan pencapaian tujuan pembelajaran. 2. Fasilitator merangkum poin-poin penting dari materi yang disampaikan. 3. Fasilitator membuat kesimpulan.

VI. URAIAN MATERI

Pokok bahasan 1 : Batasan dan ruang lingkup dokter SpA, SpKFR, SpKJ, SpM, SpTHT-KL, Fisioterapis, Terapis Okupasi dan Terapis Wicara pada penatalaksanaan gangguan tumbuh kembang *

Batasan dan Ruang Lingkup Dokter SpA Batasan Dokter Sp.A



Ilmu Kesehatan Anak adalah salah satu cabang ilmu Kedokteran yang khusus menangani anak sesuai dengan definisi anak, yaitu sejak janin sampai usia 18 tahun. Ranah ilmu Kesehatan Anak meliputi bidang promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Dalam penanganan kasus anak, sedapat mungkin setiap anak dapat mencapai tumbuh kembang optimal sesuai dengan potensi genetiknya. Sebagai dokter anak memiliki kewajiban untuk meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraan anak serta mengembangkan ilmu kesehatan anak. Ruang Lingkup Dokter Sp.A

1. Memberikan pengarahan, pembinaan, pengembangan, dan pelaksanaan pendidikan Ilmu Kesehatan Anak bagi tenaga kesehatan

2. Memberikan upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif di bidang kesehatan anak 3. Melakukan penelitian tentang kesehatan anak

4. Menjalin kerjasama dengan profesi kedokteran lainnya, dalam upaya peningkatan tumbuh kembang optimal

*

Batasan dan Ruang Lingkup Dokter Sp.KFR



Batasan Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi



Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi adalah spesialisasi kedokteran yang mempelajari ilmu kedokteran fisik dan menerapkan pelayanan rehabilitasi komprehensif berdasarkan pengkajian fungsi untuk menegakkan diagnosis 71



fungsional dan menetapkan terapi berupa intervensi biomedis dan teknis secara terpadu yang bertujuan mengoptimalkan fungsi individu yang mengalami atau akan mengalami disabilitas. Ruang Lingkup Dokter Sp.KFR

1. Menilai tingkat perkembangan anak dalam kaitannya dengan kondisi kesehatan, faktor-faktor personal dan lingkungan, termasuk prognosis, potensi untuk mengubah prognosis, identifikasi tujuan jangka panjang, penetapan tujuan program intervensi, penetapan tujuan siklus rehabilitasi dan target intervensi, serta evaluasi disabilitas

2. Melakukan atau menerapkan intervensi biomedis dan teknik untuk mengoptimalkan kapasitas fungsi termasuk diagnostik fisik, seperti uji elektro-neurofisiologis, penilaian ketahanan (endurance), kekuatan (force) dan koordinasi; modalitas fisik, stimulasi fungsional elektrofisiologis, blokade radiks saraf dan infiltrasi lokal; intervensi nutrisional dan farmakologis; teknologi rehabilitasi termasuk diantaranya prostesis dan ortosis, berbagai alat bantu yang sesuai untuk: *

Menstabilkan, memperbaiki atau memulihkan hendaya fungsi tubuh dan struktur termasuk de-conditioning; inkontinensia; dan menelan; instabilitas sendi; minimalisasi nyeri, fatique dan gejala lain,

* Mencegah hendaya, penyulit medis dan risiko termasuk antara lain depresi, ulkus kulit, thrombosis, kontraktur sendi dan atrofi otot, osteoporosis dan jatuh, *

Mengkompensasi atas tidak adanya atau hilangnya fungsi tubuh dan struktur termasuk antara lain amputasi; hendaya penglihatan dan pendengaran

*

Batasan dan Ruang Lingkup Dokter Sp.KJ



Batasan Kedokteran Jiwa



Ilmu Kedokteran Jiwa adalah suatu cabang ilmu kedokteran yang mempelajari aspek kesehatan jiwa serta pengaruhnya secara timbal balik terkait fungsifungsi fisiologis organo-biologis tubuh manusia. Ilmu kedokteran jiwa mempelajari keadaan jiwa manusia baik dalam keadaan sehat maupun sakit dengan menerapkan pelayanan psikiatri dengan untuk menegakkan diagnosis dan menetapkan terapi 72



Ilmu kedokteran jiwa tidak berdiri sendiri, karena selalu berkolaborasi dan segala aspeknya selalu berkaitan dengan cabang ilmu kedokteran lainnya, misalnya ilmu saraf dan ilmu penyakit dalam Ruang Lingkup Kedokteran Jiwa:

Ilmu kedokteran jiwa dibangun atas 4 fondasi dasar, yaitu:

1. Dimensi organo biologis, yaitu aspek pengetahuan tentang organ – organ tubuh serta fungsi fisiologis tubuh manusia khususnya yanng berkaitan langsung dengan aspek kesehatan jiwa (seperti Sistem Susunan Saraf Pusat) 2. Dimensi Psiko-Edukatif yaitu aspek pengetahuan tentang perkembangan psikologis manusia serta pengaruh pendidikan–pengajaran terhadap seorang manusia sejak lahir hingga lanjut usia

3. Dimensi sosial-lingkungan yaitu aspek pengetahuan tentang pengaruh kondisi sosial- budaya serta kondisi lingkungan kehidupan terhadap derajat kesehatan jiwa manusia

4. Dimensi spiritual-religius yaitu aspek pengetahuan tentang pengaruh taraf penghayatan dan pengamalan nilai-nilai spiritual-religius terhadap derajat kesehatan jiwa manusia

*

Batasan dan Ruang Lingkup Dokter SpM



Batasan



Ruang Lingkup Dokter Sp.M





Ilmu Kesehatan Mata adalah spesialisasi kedokteran yang mempelajari ilmu kesehatan mata sebagai organ penglihatan yang membantu manusia mempelajari segala hal di dunia ini di samping indera lainnya dalam rangka mengoptimalkan fungsi penglihatan individu. Ruang lingkup dokter spesialis mata pada klinik rujukan kelainan tumbuh kembang adalah melakukan penatalaksanaan kelainan mata dengan gangguan penglihatan yang berkaitan dengan gangguan tumbuh kembang balita tersebut. Fungsi penglihatan sebagai bagian penting dari proses tumbuh kembang seorang anak. Dokter spesialis mata menerima rujukan dari klinik tumbuh kembang dengan level yang lebih rendah (level 1), yang memberikan pelayanan medis sesuai dengan kompetensinya. 73

* Batasan dan Ruang Lingkup Dokter Sp.THT-KL

Pendengaran yang sehat merupakan modalitas utama bagi balita dalam masa tumbuh kembangnya.



Untuk membatasi dampak negatif cacat dengar ini diperlukan upaya bersama yang terpadu dan terintegrasi dalam suatu TIM TUMBUH KEMBANG



*

Gangguan pendengaran atau ketulian yang terjadi pada balita, khususnya yang dimulai sejak lahir dipastikan akan berdampak negatif pada proses tumbuh kembang balita. Dampak negatif ini juga akan merugikan Keluarga, Masyarakat dan Bangsa karena kelak akan dihasilkan SDM yang tidak berkualitas. Batasan dan Ruang Lingkup Fisioterapis Peran dan fungsi : * Fisioterapis bertanggung jawab sebagai pelaksana pengelola pendidik dan peneliti, seperti disebut dalam peran dan fungsi di atas sesuai jenis dan jenjang upaya fisioterapi. *

Seorang fisioterapis dalam melakukan interaksi profesi berdasarkan pada standar kompetensi, sumpah profesi etika profesi, standar praktik (standar asuhan), standar pendidikan dan legislasi fisioterapi sehingga aktivitas, kegiatan dan perilakunya dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral, etik maupun hukum.

1. Peran Pelaksana, menjalankan fungsi untuk melakukan penata-laksanaan fisioterapi pada gangguan motorik dari proses: *

Asesmen fisioterapi yang meliputi pemeriksaan dan evaluasi

*

Perencanaan fisloterapi

* * * *

Diagnosa fisioterapi

Intervensi fisioterapi

Evaluasi / re-evaluasi / re-asesmen Rekam Fisioterapi

2. Peran Pengelola. menjalankan fungsi untuk melakukan pengelolaan fisioterapi pada gangguan motorik, yaitu: * Menerapkan keterampilan manajemen dalam melakukan pelayanan fisioterapi. *

Menunjukkan sikap profesional sebagai seorang pengelola fisioterapi. 74

* Berperan serta dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan perancanaan dan pelaksanaan upaya kesehatan, sebagai tim terpadu sesuai dengan sistem upaya kesehatan.

3. Peran Pendidik, menjalankan fungsi untuk melakukan edukasi fisioterapi pada gangguan motorik, yaitu: *

Melakukan pendidikan kepada pasien/klien, keluarga dan masyarakat agar berperilaku hidup sehat.

*

Melakukan pendidikan dalam rangka pengembangan diri dan sejawat.

*

Memberikan informasi tentang fisioterapi kepada tenaga kesehatan lain.

Ruang Lingkup



Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang rentang kehidupan.

Dimensi pelayanan fisioterapi meliputi upaya peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan dan pemulihan gangguan sistim gerak dan fungsi dalam rentang kehidupan dan praseminasi sampai ajal, yang terdiri dan upaya-upaya a. Peningkatan dan cegahan (promotif dan preventif), pelayanan fisioterapi dapat dilakukan pada pusat kebugaran & spa, pusat kesehatan kerja, sekolah, kantor, pusat panti usia lanjut, pusat olah raga, tempat kerja industri dan pada pusat-pusat perbelanjaan/pusat-pusat pelayanan umum.



b. Penyembuhan dan pemulihan (kuratif dan rehabilitatif), pelayanan fisioterapi dapat dilakukan pada rumah sakit, rumah perawatan, panti asuhan, pusat rehabilitasi tempat praktik, klinik privat, klinik rawat jalan, puskesmas, rumah tempat tinggal, pusat pendidikan dan penelitian.

Berdasarkan ruang lingkup pelayanan fisioterapi dan tuntutan kebutuhan masyarakat serta globalisasi maka pelayanan fisioterapi dikembangkan sesuai kebutuhan masyarakat baik yang bersifat umum ataupun kekhususan pada fisioterapi tumbuh kembang seperti berikut ini . *

Batasan dan Ruang Lingkup Terapis Okupasi

Okupasi terapi adalah profesi kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesejahteraaan dan kesehatan dengan menggunakan okupasi/aktivitas fungsional. 75

*







Klien yang ditangani oleh okupasi terapi meliputi kasus tumbuh kembang anak, muskulosekeletal, neuromuskular, gangguan jiwa, geriatric, modifikasi lingkungan dan ergonomic.

Batasan dan Ruang Lingkup Terapis Wicara Batasan Terapis Wicara Terapi Wicara adalah bentuk pelayanan kesehatan profesional berdasarkan ilmu pengetahuan, teknologi dalam bidang perilaku komunikasi untuk meningkatkan dan memulihkan kemampuan perilaku komunikasi, yang berhubungan dengan kemampuan-kemampuan bahasa, wicara, suara, dan irama / kelancaran serta problem menelan diakibatkan oleh adanya gangguan / kelainan anatomis, fisiologis, psikologis, dan sosiologis (Per MenPan RI No : PER/48/M.PAN/4/2005). Terapis Wicara adalah seseorang yang telah lulus pendidikan Terapi Wicara baik di dalam maupun luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Peraturan MENKES RI No 867/MENKES/PER/VIII/2004). Ruang Lingkup

Ruang lingkup bidang garap Terapi Wicara tersebut adalah sebagai berikut : Gangguan wicara (artikulasi), gangguan bahasa dan gangguan suara Gangguan , Irama / Kelancaran, dan gangguan menelan (disfagia) dan oral motor

Pokok Bahasan 2 : Filosofi keilmuan profesi dokter SpA, SpKFR, SpKJ, SpM, SpTHT- KL, Fisioterapis, Terapis Okupasi dan Terapis Wicara Filosofi Keilmuan Profesi Dokter Sp.A

Anak merupakan sumber daya manusia yang penting sebagai penerus generasi yang akan datang. Masa anak terutama balita merupakan salah satu masa yang rumit, kritis, penting dan penuh risiko, karena pada masa 5 tahun pertama kehidupan dibentuk dasar-dasar kepribadian, kemampuan fisik organik, intelektual, proses berpikir, perkembangan ketrampilan bahasa dan bicara, bertingkah laku sosial/ sosialisasi Sesuai dengan konvensi hak anak (KHA), setiap anak mempunyai hak untuk hidup (survival), dilindungi (protection) dari penelantaran, kekerasan dan eksploitasi dan mendapat kebutuhan dasar (basic needs) untuk menjamin tumbuh dan berkembang yang optimal.

Upaya peningkatan kualitas tumbuh kembang anak harus dimulai sejak dini, 76

dengan mempertimbangan faktor-faktor yang mempengaruhinya sehingga dapat dicapai tumbuh kembang yang optimal. Kualitas tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh faktor genetik yang merupakan potensi dasar dan faktor lingkungan yang menentukan apakah potensi yang sudah ada akan berkembang secara optimal. Faktor lingkungan dapat dimulai sejak dalam kandungan, pada saat persalinan dan setelah lahir. Lingkungan yang optimal dimulai dari ibu sebagai lingkungan mikro, keluarga (mini), masyarakat (meso) dan pemerintah (makro). Untuk mengoptimalkan potensi bawaan seorang anak membutuhkan pengasuhan (ASUH), kasih sayang (ASIH) dan stimulasi (ASAH) secara optimal. Filosofi Keilmuan Profesi Dokter Sp.KFR

Falsafah Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi adalah meningkatkan kemampuan fungsional anak sesuai dengan potensi yang dimiliki untuk mempertahankan dan atau meningkatkan kualitas hidup dengan cara mencegah atau mengurangi hendaya, disabilitas dan kecacatan semaksimal mungkin. Filosofi Keilmuan Profesi Dokter Sp.KJ

Masalah kesehatan mental anak merupakan hal yang masalah yang perlu menjadi perhatian saat ini oleh karena terjadinya perubahan dalam berbagai aspek kehidupan, misalnya kemajuan dalam bidang teknologi informasi dan globalisasi sehingga arus informasi mengalir dengan deras tanpa saringan. Disamping itu, dengan adanya berbagai krisis di Indonesia membuat kasus kekerasan rumah tangga meningkat dan disertai dengan peningkatan perilaku kekerasan terhadap anak. Sekolah yang merupakan tempat pendidikan bagi anak, selama ini hanya berfokus dalam peningkatan akademik anak dan pendidikan keterampilan hidup belum mendapat tempat yang memadai, sehingga membuat keterampilan sosial anak tidak berkembang dengan optimal. Semua ini tentunya memberi dampak dalam terjadinya gangguan psikiatrik pada anak di Indonesia.

Data Kebijakan Nasional Kesehatan Jiwa (National Health Policy) 2001-2005 menunjukkan bahwa rasio gangguan kesehatan jiwa/emosional pada kelompok anak berusia 4-15 tahun adalah 104/1000 anak. Dalam studi prevalensi problem emosional dan perilaku pada anak usia sekolah dasar di wilayah Jakarta Pusat tahun 2003 dengan menggunakan instrumen Child behavior Checklist (Rahadian dan Wiguna, 2003) didapatkan angka 27%. Prevalensi pada anak laki-laki lebih besar dibandingkan dengan anak perempuan (30,5% vs 22,6%). Problem internalisasi (cemas, depresi, dan isolasi diri) lebih besar jika dibandingkan dengan problem ekternalisasi (30% vs 10.2%). Ang dan Wiguna (2007), melakukan studi prevalensi gangguan mental pada anak sekolah menengah pertama di wilayah 77

Jakarta Pusat dengan menggunakan instrumen MINI for Kids mendapatkan angka prevalensi sebesar 26,5 %. Gangguan mental lebih banyak ditemukan pada pelajar perempuan jika dibandingkan dengan pelajar laki-laki. Jenis gangguan mental yang paling banyak ditemukan adalah gangguan mood, gangguan cemas, gangguan pemusatan perhatian dan/ hiperaktivitas (GPPH), serta gangguan perilaku. Beberapa masalah psikososial yang berhasil dikumpulkan dari berbagai sumber adalah; *

Anak yang putus sekolah di Indonesia diperkirakan 1 juta anak di tahun 1997 dan meningkat menjadi 9 juta anak di tahun 2003 (Biro Pusat Statistik) * Tenaga kerja anak di Indonesia dilaporkan sebanyak 1,9 juta anak di tahun 1997 dan meningkat menjadi 10 juta anak di tahun 2004 * Sebelum tahun 1998, jumlah anak jalanan di Indonesia diperkirakan sebesar 50ribu anak, dan jumlah ini meningkat menjadi 1.5 juta anak di tahun 2004 (Departemen Kesejahteraan Sosial). 70% anak-anak ini hidup di jalanan karena faktor kemiskinan * Kasus kekerasan pada anak yang dilaporkan di media masa juga meningkat dengan jelas walaupun angka pasti mengenai kondisi ini secara nasional belum diketahui dengan pasti.

Memutuskan untuk membawa anak ke psikiater untuk dievaluasi seringkali sulit bagi orangtua. Mereka seringkali diliputi pelbagai perasaan dan pikiran yang terutama berkaitan dengan stigma ”gangguan jiwa”, yang harus mereka hadapi bila berhadapan dengan psikiater. Rasa malu, bersalah, amarah, rasa gagal, yang kemudian disangkal, diproyeksi dan dirasionalisasi ke mistik, dsb seringkali harus dihadapi terapis dengan sikap simpatik dan empatik, dan reassuring (membesarkan hati). Bila mungkin akan sangat bijaksana bila terapis mendorong sikap terbuka bagi dilaksanakannya evaluasi yang rinci dengan menjelaskan tujuan pemeriksaan-pemeriksaan, berapa kali pertemuan yang diperlukan untuk proses diagnostik, dan diakhiri dengan suatu kesimpulan sementara mengenai kegawatan masalahnya. Kebanyakan orang tua sudah ingin mengetahui mengenai diagnosis dan prognosis di fase permulaan evaluasi, meskipun terapis belum melihat anaknya. Sedapatnya harus dihindarkan penyimpulan dan prediksi yang terlalu prematur. Rangkaian wawancara dilaksanakan dalam suasana yang non-judgmental, tidak berargumentasi, menyalahkan, menakuti, atau sebaliknya mengentengkan dan memberi janji yang muluk-muluk. Secara luwes dan tidak kaku mewawancarai menanyakan mengenai pelbagai data, dan tidak dengan cara interogatif. 78

Memahami proses diagnostik dalam psikiatri anak dan remaja, melakukan pemeriksaan psikiatrik menurut format baku, dan membuat formulasi mengenai permasalahan / gangguan yang dihadapi, sebagai dasar untuk membuat perencanaan intervensi terapi. Memahami peran orang tua dalam konteks permasalahan anak, mengembangkan hubungan/alliance dan menata wawancara yang empatik dengan orang tua sebagai mitra dalam menangani permasalahan anak, memahami perbedaan antara ”interview dan interogasi”, memahami data-data penting apa dan bagaimana yang harus diperoleh dari orang tua, keluarga dan orang dewasa lainnya.



Dengan demikian peran seorang psikiater anak dan remaja tentunya sangat besar, tidak hanya dalam aspek kuratif saja tetapi juga dalam aspek promotif, preventif, serta rehabilitatif psikososial sehingga anak yang mengalami gangguan maupun permasalahan dalam aspek mental, emosional dan perilaku dapat terus tumbuh dan berkembang dengan optimal. Filosofi Keilmuan Profesi Dokter Sp.M

Mata merupakan organ penglihatan yang membantu manusia mempelajari segala hal di dunia ini di samping indera lainnya. Mata menjadikan manusia melihat dan mengenali segala bentuk, warna, dan dimensi dari sebuah obyek di dunia ini melalui proses cahaya yang direfleksikannya.

Mata anak bukanlah bentuk miniatur mata dewasa. Walaupun seorang anak dapat mempunyai masalah mata yang serupa seperti seorang dewasa seperti kelainan refraksi dan katarak, tatalaksana kelainan ini dan kepentingan deteksi dininya sangatlah berbeda. Perbedaan yang paling bermakna antara anak dan dewasa dalam hal sistem visual adalah adanya suatu jendela waktu yang disebut periode kritis. Periode kritis adalah suatu jendela selama perkembangan anak dimana koneksi sinaptis terbentuk secara permanen. Setelah periode kritis, pengobatan menjadi lebih kurang efektif dalam memulihkan fungsi penglihatan. Identifikasi dini dan terapi selama periode kritis ini adalah hal yang sangat penting untuk mencapai keberhasilan perkembangan visual dan pencegahan ambliopia. Diperkirakan terdapat 1,5 juta anak buta di seluruh dunia, lebih kurang 85% berada di negara berkembang di Asia dan Afrika. Di indonesia diperkirakan terdapat 70.000 anak buta. Lebih dari 50% kelainan mata penyebab kebutaan sebetulnya dapat dicegah kebutaannya apabila dideteksi dini dan diterapi dengan cepat dan tepat. 79

Filosofi Keilmuan Profesi Dokter Sp.THT-KL



Dibidang Ilmu Kesehatan THT upaya yang dilakukan mengacu pada kegiatan untuk mempertahankan dan meningkatan kesehatan indera khususnya indera pendengaran disamping indera penghidu dan pengecapan. Upaya dimaksud dimulai dengan deteksi dini, diagnosis pasti dan intervensi segera. Filosofi Keilmuan Profesi Fisioterapis Berdasarkan nilai-nilai Pancasila yang menjujung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk individu dan sebagai titik sentral pembangunan menuju masyarakat adil makmur, profesi fisioterapi memandang kapasitas gerak dan fungsi tubuh adalah hak asasi manusia sebagai esensi dasar untuk hidup sehat dan sejahtera. Kapasitas gerak adalah elemen esensial dan sehat dan sejahtera. Gerak tergantung dari integritas dan fungsi koordinasi dari berbagai jenjang pada tubuh dan dipengaruhi oleh faktor-faktor internal maupun eksternal. Fisioterapi diarahkan langsung pada kebutuhan dan potensi gerak fungsional baik individu dan populasi. Setiap individu mempunyai kapasitas untuk mengubah akibat respon terhadap faktor-faktor fisik, psikologi sosial, lingkungan. Tubuh jiwa dan semangatnya berperan dalam mengembangkan kesadaran tentang kebutuhan dan tujuan geraknya.

Fisioterapi memberikan intervensi pada populasi tertentu. Populasi meliputi lingkup kebangsaan, regional dan daerah serta kelompok khusus, seperti bayi, anak balita, anak usia sekolah, remaja, wanita hamil, usia lanjut dan sebagainya. Interaksi merupakan bagian integral pelayanan fisioterapi. Interaksi merupakan prasyarat untuk perubahan positif tentang kesadaran tubuh dan perilaku gerak yang memungkinkan peningkatan kesehatan dan kesejahteraan. Interaksi juga dimaksudkan untuk meningkatkan saling pengertian antara fisioterapis dengan pasien / klien / keluarga / pengasuh dan tenaga kesehatan lain. Interaksi melibatkan tim inter disiplin guna menentukan kebutuhan dan tujuan intervensi fisioterapi mengikutsertakan pasien/klien/keluarga/pengasuh dalam proses pencapaian tujuan intervensi fisioterapi. Interaksi dengan lembaga pemerintahan dilakukan dalam rangka menginformasikan, mengembangkan dan atau implementasi kebijakan dan strategi kesehatan yang tepat. Otonomi profesional fisioterapis diperoleh melalui pendidikan profesi yang menyiapkan tenaga fisioterapis yang mampu praktik secara otonom. Fisioterapis mampu melakukan keputusan profesional untuk menetapkan diagnosis yang diperlukan sebagai dasar intervensi, rehabilitasi dan pemulihan dari pasien/klien dan populasi. Prinsip etika diperlukan untuk mengenali otonomi praktik, guna melindungi pasien/klien dan pelayanannya. Diagnosis fisioterapi adalah hasil proses kajian klinis fisioterapi yang menghasilkan 80

identifikasi adanya gangguan tubuh dan alat gerak tubuh (impairment), dan ataupun potensi timbulnya gangguan keterbatasan fungsi (functional limitation) dan ketidak mampuan atau kecacatan (handicap / social performance limitation). Tujuan diagnosis mengarahkan fisioterapis untuk menetapkan prognosis dan strategi intervensi yang paling tepat bagi pasien/klien dan untuk memberikan informasi. Dalam proses diagnosis fisioterapis dimungkinkan memerlukan informasi tambahan dari profesi lain. Dalam proses diagnosis, bila ditemukan hal-hal di luar pengetahuan, pengalaman atau keahlian, fisioterapis akan merujuk pasien/klien kepada profesi lain yang tepat.



Sebagai suatu profesi, fisioterapi memiliki perangkat profesional yaitu standar kompetensi, sumpah profesi, etika profesi, standar asuhan (standar praktik), standar pendidikan dan legislasi fisioterapi. Filosofi Keilmuan Profesi Terapis Okupasi Tujuan utama okupasi terapi adalah mendorong atau meningkatkan kemampuan klien untuk berperan serta dalam aktivitas keseharian. Untuk mencapai tujuan tersebut, okupasi terapis bekerjasama dengan klien, keluarga dan atau masyarakat untuk meningkatkan kemampuan klien agar klien mampu terlibat dalam aktivitas fungsional/okupasi yang mereka inginkan, harapkan dan butuhkan. Disamping bekerjasama dengan klien, keluarga dan atau masyarakat, okupasi terapis merubah atau memodifikasi okupasi/aktivitas fungsional dan lingkungan untuk mendukung keterlibatan dalam okupasi/aktivitas fungsional.

Dalam memberikan pelayanan kepada klien okupasi terapi memperhatikan aset (kemampuan yang masih dimiliki) dan limitasi (keterbatasan) klien dengan harapan klien mampu mencapai kemandirian pada area okupasional yang terdiri dari aktivitas perawatan diri (self-care), produktivitas dan pemanfaatan waktu luang (leisure). Filosofi Keilmuan Profesi Terapis Wicara

1. Makhluk Individu Manusia sebagai mahluk individu yang unik dan sempurna; memiliki kemampuan berbahasa dan berbicara yang merupakan pembeda dari makhluk hidup lainnya. 2. Makhluk sosial Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan kemampuan komunikasi dalam berinteraksi dengan sesama dan lingkungannya. 3. Sehat

Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. 81

Sehat Komunikasi adalah komunikasi yang tidak menimbulkan salah pengertian dan dapat dipahami oleh pembicara maupun lawan bicaranya secara sama.

Pokok Bahasan 3 : Pencapaian Goal Fungsi Masing-Masing Individu Berbeda Tergantung dari Diagnosis, Prognosis Penyakit dan Kapasitas yang masih dimiliki oleh individu serta tingkat perkembangan balita. Area kemampuan fungsional pada manusia normal akan menentukan derajat kualitas hidupnya meliputi kemampuan melakukan aktivitas kehidupan seharihari, aktivitas kerja dan produktif, aktivitas bermain dan mengisi waktu luang, hobi dan hiburan. Keterampilan ini memerlukan proses pembelajaran dan pengalaman praktik yang sesuai dengan peran (seperti misalnya prasekolah, murid, orang tua, pekerja, sukarelawan, atau pensiunan) dan perkembangan individu.

Aktivitas kehidupan sehari-hari adalah tugas perawatan diri sendiri, antara lain kebersihan diri, berpakaian, makan, mobilitas, sosialisasi, komunikasi, dan ekspresi seksual. Aktivitas kerja dan produktif meliputi perawatan rumah, merawat orang lain, aktivitas pendidikan, dan kemampuan untuk menjalankan peranan pekerjaan sesuai dengan tahap perkembangan, budaya, dan lingkungan individu. Aktivitas bermain dan hiburan meliputi eksplorasi bermain dan performa bermain atau hiburan dalam aktivitas yang sesuai dengan usia. Untuk dapat melaksanakan fungsi tersebut harus ditunjang oleh berbagai sistem organ, yaitu organ sensorimotor, kardiorespirasi, gastrointestinal, kognitif/ integrasi kognitif, dan komponen psikososial/ psikologis.

Komponen sensorimotor meliputi fungsi sensorik, neuromuskuloskeletal, dan motorik. Fungsi sensorik meliputi kesadaran dan pemrosesan sensorik serta pemrosesan persepsi. Fungsi neuromuskuloskeletal meliputi respons refleks, ruang lingkup gerak sendi, tonus otot, kekuatan otot, ketahanan otot, kontrol postur, serta integritas jaringan lunak. Fungsi motorik meliputi koordinasi motorik kasar, cross midline, lateralisasi, integrasi bilateral, kontrol motorik, praksis, koordinasi motorik halus serta kontrol motorik oral. Komponen kognitif/integrasi kognitif mengacu pada kemampuan untuk menggunakan fungsi otak yang lebih tinggi. Yang termasuk di dalamnya antara lain tingkat respons terhadap rangsangan, orientasi, mengenali subjek, rentang perhatian, inisiasi aktivitas, penghentian aktivitas, daya ingat, mengurutkan, mengelompokkan, pembentukan konsep, operasi spasial, penyelesaian masalah, pembelajaran, dan generalisasi.

Komponen psikososial/psikologis meliputi kemampuan interaksi sosial dan proses emosional. Di dalam kategori ini antara lain nilai yang dianut, ketertarikan, konsep diri, kinerja peran, pembawaan sosial, kemampuan interpersonal, ekspresi diri, kemampuan adaptasi, manajemen waktu, dan kendali diri. 82

Kemampuan pasien dan seorang dokter untuk menghilangkan disabilitas pada penyakit kronik bergantung pada kapasitas residual dari pasien untuk adaptasi fisiologis dan psikologis. Kekuatan residual pasien harus dievaluasi dan dilatih untuk menghilangkan disabilitas. Jika suatu penyakit tidak dapat ditangani baik melalui prosedur medis maupun bedah, maka yang dapat dilakukan adalah dengan mengurangi hendayanya. Sebagai contoh, otot yang lemah dapat diperkuat atau gangguan pendengaran dapat dibantu dengan menggunakan alat bantu dengar. Dalam kasus penyakit kronis, penyakit dan hendaya tidak dapat diminimalisasi; jadi, intervensi harus tertuju pada disabilitas dan kecacatan. Kunci keberhasilan suatu program rehabilitasi adalah kemampuan dalam mengidentifikasi kemampuan fungsi yang masih utuh. Saat kemampuan fungsi yang masih utuh dapat digunakan dan diadaptasi pada suatu kondisi yang baru, maka kemandirian secara fungsional dapat dicapai. Sebagai contoh kasus, pada kasus pasien dengan fraktur humerus dan cedera saraf radialis pada tangan yang dipakai untuk menulis, perlu dipertimbangkan jika pasien mengalami disabilitas menulis tanpa pemulihan saraf radialisnya, maka pasien perlu menjalani program latihan sistematik untuk mengembangkan kemampuan menulis dengan tangan yang sehat. Dengan demikian, pasien telah mengatasi disabilitasnya walaupun masalah cedera saraf radialis masih ada.

Pokok Bahasan 4 : Konsep Kerjasama Tim dalam Penatalaksanaan Gangguan Tumbuh Kembang

Tim yang efektif berperan penting dalam program penatalaksanaan gangguan tumbuh kembang. Diharapkan nantinya dapat menghasilkan luaran yang lebih baik bagi pasien (termasuk angka ketahanan hidup) dalam berbagai macam kondisi kesehatan. Dasar teori bagi kerja tim yang efektif adalah bagaimana menyepakati tujuan, dan saling memahami bagaimana mencapai tujuan tersebut. Tim multi profesional dengan berbagai macam pengetahuan dan keterampilan harus dapat bekerja sama saling menguntungkan dan saling menghormati, termasuk keinginan untuk berbagi pengetahuan dan berbicara secara terbuka tentang keahliannya.

Koordinator tim diharapkan berperan penting dalam alur komunikasi di antara anggota tim. Oleh karena itu, pertemuan tim merupakan hal yang penting. Koordinator tim diharapkan dapat menempatkan setiap anggota tim sesuai pengetahuan dan keahliannya serta mengkoordinasikan program pelayanan di dalam tim, termasuk komunikasi dan konsultasi dengan spesialis lain mengenai penyakit dasar. Tentunya, pertukaran informasi dan pembahasan harus dilakukan secara profesional, rahasia dan disetujui oleh pasien. Selain kerja sama tim dalam hal informasi dan koordinasi, koordinator tim juga bertanggung jawab mengatur hubungan antara berbagai fasilitas kesehatan yang akan dikunjungi dan dipakai oleh pasien. 83

EVALUASI Sebutkan Batasan dan ruang lingkup dokter SpA, SpKFR, SpKJ, SpM, SpTHT-KL, Fisioterapis, Terapis Okupasi dan Terapis Wicara pada penatalaksanaan gangguan tumbuh kembang.

Jelaskan Filosofi keilmuan profesi dokter SpA, SpKFR, SpKJ, SpM, SpTHT-KL, Fisioterapis, Terapis Okupasi dan Terapis Wicara. Jelaskan Konsep kerjasama tim dalam penatalaksanaan gangguan tumbuh kembang. Mengerjakan satu kasus gangguan tumbuh kembang secara tim. RANGKUMAN Dalam program penatalaksanaan gangguan tumbuh kembang diperlukan adanya kerjasama tim dari berbagai ahli profesi, oleh karena permasalahan fungsi yang dihadapi anak dengan gangguan tumbuh kembang sangat luas. Dengan adanya kerjasama tim dari berbagai profesi dalam melakukan penatalaksaan gangguan tumbuh kembang, diharapkan akan memberikan hasil yang terbaik bagi pasien, sehingga meningkatkan kualitas maupun ketahanan hidup pasien. DAFTAR PUSTAKA 1. White Book Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi. Wahyuni LK, Tulaar ABM, PB Perdosri. Jakarta, 2012

2. World Health Organization : ICF: International Classification of Functioning, Disability, and Health. Geneva, Switzerland : World Health Organization, 2001 3. Stucki G, Kostanjsek N, Ustun B, Ewert T, Cieza A

4. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta, 2011

5. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Kompendium Ikatan Dokter Anak Indonesia, edisi ke-5 Jakarta, 2012 6. Kepmenkes no: 778/Menkes/SK/VII/2008 Fisioterapi di Sarana Kesehatan

tentang

Pedoman

Pelayanan

7. World Confederation for Physical Therapy, the 16th General Meeting of World Confederation for Physical Therapy. 2011

84

MODUL 2 ETIKA PROFESI TENAGA KESEHATAN

I. DESKRIPSI SINGKAT Tenaga Kesehatan dalam menjalankan pekerjaannya selain harus mengikuti ketentuan hukum yang berlaku juga harus taat pada kode etik yang berlaku bagi setiap Tenaga Kesehatan. Pada asas Etik merupakan landasan yang fundamental bagi Tenaga Kesehatan dalam menjalankan pekerjaannya sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Kode etik merupakan produk dari warga profesi melalui mekanisme kegiatan bagi petugas rumah sakit yang bersangkutan agar dapat berlaku efektif yang di tuangkan dalam Peraturan Pemerintah. Dalam penyusunan Kode Etik harus berbasiskan berbagai prinsip yang dipergunakan bagi petugas rumah sakit dilingkungan pemerintahan. Prinsip dimaksud adalah otomoni, halhal yang baik, tidak merugikan dan adil. Pelanggaran terhadap ketentuaan kode etik menjadi kewenangan pimpinan satuan kerja untuk melakukan tindakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku bagi petugas rumah sakit yang bersangkutan.

Pemerintah dalam hal ini Pimpinan Satuan Kerja perlu mengambil langkah langkah yang perlu agar petugas rumah sakit tetap mematuhi berbagai ketentuan berbagai norma baik dari aspek teknis maupun non teknis sehingga: 1. Masyarakat dapat dilayani dengan baik sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya; 2. Mempertahankan dan mampu meningkatkan kemampuan profesionalnya secara terus menerus, dan

3. Adanya jaminan ketentuan Kode Etik dapat dijalankan dengan baik sesuai dengan ketentuan dan jiwa Korps yang di miliki.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN

A. Tujuan Pembelajaran Umum

Setelah mempelajari materi ini, peserta mampu menerapkan Etika sebagai Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik atau pekerjaan di Rumah Sakit.

B. Tujuan Pembelajaran Khusus

Setelah mempelajari materi ini, peserta mampu: 1. Menjelaskan Pengertian Etika dan Moral 2. Menjelaskan prinsip-prinsip dasar etika 3. Menjelaskan Perbedaaan antara etika dan kode etik 4. Menjelaskan Fungsi Etika 5. Menjelaskan implementasi dan koreksi terhadap penyimpangan kode etik . 6. Menjelaskan Penyimpangan Rahasia 85

III. POKOK BAHASAN DAN SUB POKOK BAHASAN 1. Konsep Etika

1.1. Pengertian Etika dan Moral 1.2. Landasan Etika

1.3. Prinsip-prinsip dasar etika

1.4. Perbedaaan antara etika dan kode etik 1.5. Fungsi Etika

2. Kode Etik Profesi Tenaga Kesehatan

2.1. Implementasi dan Koreksi terhadap penyimpangan kode etik 2.2. Penyimpangan Rahasia

IV. BAHAN BELAJAR

1. Modul Etika Profesi Tenaga Kesehatan

2. Peraturan Perundang – undangan yang mengatur Kode Etik Profesi Tenaga Kesehatan.

V. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN

Berikut merupakan langkah-langkah kegiatan pembelajaran: Langkah 1: Pengkodisian peserta Langkah pembelajaran: • •

Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum pernah menyampaikan sesi di kelas, mulailah dengan perkenalan. Perkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkap, instansi tempat bekerja, materi yang akan disampaikan. Sampaikan tujuan pembelajaran materi ini dan pokok bahasan yang akan disampaikan, sebaiknya dengan menggunakan bahan tayang.

Langkah 2. Penyampaian Materi Langkah pembelajaran: •

Fasilitator menyampaikan paparan seluruh materi sesuai urutan pokok bahasan dan sub pokok bahasan dengan menggunakan bahan tayang. Fasilitator menyampaikan materi dengan metode ceramah tanya jawab, kemudian curah pendapat. 86

Langkah 3. Rangkuman dan Kesimpulan Langkah pembelajaran:

1. Fasilitator melakukan evaluasi untuk mengetahui penyerapan peserta terhadap materi yang disampaikan dan pencapaian tujuan pembelajaran. 2. Fasilitator merangkum poin-poin penting dari materi yang disampaikan. 3. Fasilitator membuat kesimpulan.

V. URAIAN MATERI

Pokok bahasan 1: Konsep Etika 1.1. Pengertian Etika dan Moral





Sebelum membahas lebih dalam mengenai etika, perlu dibahas terlebih dahulu beberapa pengertian Etika sehingga kita dapat lebih muda untuk memahami etika secara tepat.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini dimana dengan semakin derasnya arus informasi sehingga tidak ada lagi batasan antara satu negara dengan negara lainnya. Dampak ini juga sangat dirasakan dalam penerapan etika, sehingga seringkali kita menemukan adanya pelanggaran hak azasi manusia dan penyalagunaan wewenang dan tanggungjawab dalam pelaksanaan tugas sehari hari. Walaupun demikian dalam melaksanakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus tetap ditegakkan nilai-nilai yang secara normatif harus tetap dijaga keberadaannya. Istilah dan pengertian etika secara kebahasaan/etimologi, berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Biasanya etika berkaitan erat dengan perkataan moral yang berasal dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghin¬dari hal-hal tindakan yang buruk. Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika adalah untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku. Pengertian moralitas adalah pedoman yang dimiliki setiap individu atau kelompok mengenai apa yang benar dan salah berdasarkan standar moral yang berlaku dalam masyarakat.

Disamping itu etika dapat disebut juga sebagai filsafat moral adalah cabang filsafat yang berbicara tentang tindakan manusia. Etika tidak mempersoalkan 87





keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak, berdasarkan norma-norma tertentu.

Moralitas dipertanyakan tampak (tangible) dalam perilaku tidak jujur dan tidak tampak (intangible) dalam pikiran yang bertentangan dengan hati nurani dalam perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan. Moralitas yang dengan sengaja menentang hati nurani adalah soal integritas, yaitu keteguhan hati untuk berpendirian tetap mempertahankan nilai-nilai baku. Jadi pengertian etika dan moralitas memiliki arti yang sama sebagai sebuah sistem tata nilai tentang bagaimana manusia harus tetap mempertahankan hidup yang baik, yang kemudian terwujud dalam pola tingkah laku/perilaku yang konstan dan berulang dalam kurun waktu, yang berjalan dari waktu kewaktu sehingga menjadi suatu kebiasaan.

1.2. Landasan Teori Etika



Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara seorang Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik pekerjaannya didasarkan kepada berbagai norma yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik atau pekerjaannya melakukan berbagai kegiatan atau serangkaian kegiatan antara lain melakukan interaksi dengan berbagai subjek hukum lainnya. Norma yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat secara teoritikal dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu: 1. Norma kehidupan pribadi; dan 2. Norma kehidupan antar pribadi



Dari kedua norma kelompok tersebut dapat diperoleh 4 (empat) norma yaitu:



Norma norma tersebut memberikan corak dan warna bagi etika yang wajib dilaksanakan untuk semua Profesi Tenaga Kesehatan. Etika adalah pengetahuan tentang moralitas untuk menilai baik buruknya suatu permbuatan ditinjau dari sisi moral. Etika Tenaga Kesehatan tersebut mengandung norma kesusilaan dan norma kesopanan namun dapat dipengaruhi oleh norma agama dan norma hukum.



1. 2. 3. 4.

Norma agama; Norma kesusilaan; Norma kesopanan; dan Norma hukum

Etika adalah ilmu yang mempelajari tentang moralitas yang mencakup tentang baik buruknya suatu perbuatan dilihat dari segi moral dan benar salahnya suatu perbuatan dilihat dari sisi moral. Oleh karena itu etika Tenaga Kesehatan 88





bukan sekedar common sence tetapi didasarkan pada moral reasoning, moral justification, moral deliberation dan moral dilema.

Selain itu dalam pekerjaan atau praktik Profesi Tenaga Kesehatan, etika digunakan juga sebagai pendekatan melalui etika normatif, dan etika non normatif. Pada etika normatif merupakan landasan apakah tindakan Tenaga Kesehatan dapat diterima secara moral dan mencari alasannya. Dengan demikian pada etika normatif didapati etika normatif secara umum dan etika normatif terapan. Pada etika non normatif dicari bagaimana menyusun alasan dan melakukannya bagi Tenaga Kesehatan dalam menjalankan pekerjaan atau praktiknya, yang dikenal dengan etika deskriptif dan meta etika.

Berbagai teori memberikan arah kepada kita untuk menyelesaikan berbagai masalah etika melalui pripnsip prinsip etik yang kemudian akan dijabarkan dalam kode etik Tenaga Kesehatan yang bersangkutan.

1.3. Prinsip-Prinsip Dasar Etika

Tidak ada satupun etika dapat menjawab berbagai permasalahan pelaksanaan pekerjaan atau praktik Tenaga Kesehatan yang dapat memuaskan, namun beberapa prinsip yang harus dijadikan sebagai dasar atau sekurang kurangnya 4 (empat) yang harus dipatuhi. Prinsip tersebut tumbuh dan berkembang secara berdampingan dan kadang kadang satu sama lain bertegangan namun tetap harus dijadikan prinsip bagi Profesi Tenaga Kesehatan. Prinsip yang dimaksud meliputi: 1. Autonomy



Dalam prinsip ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan yang berkaitan dengan hak menentukan sendiri (self determination), kerahasiaan (confidentiality) dan privasi.

Bisa terjadi dalam prinsip ini terjadi ketegangan pilihan antara masyarakat yang di layani dengan Tenaga Kesehatan dalam pemberian pelayanan teknis atau manejerial.

2. Beneficience

Dalam prinsip ini Tenaga Kesehatan wajib menjaga keseimbangan antara manfaat dan kecurangan yang mungkin muncul dalam pemberian pelayanan, namun Tenaga Kesehatan senantiasa berdaya upaya secara maksimal mengantarkan masyarakat untuk memperoleh pelayanan yang terbaik baginya. Dapat terjadi masyarakat melakukan penolakan yang didasarkan pada prinsip otonomi , untuk itu diperlukan suatu komunikasi antara Tenaga Kesehatan dengan masyarakat untuk memberikan 89

penjelasan manfaat kerugiannya apabila intervensi itu tidak dilakukan atau dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan.

3. Non maleficience

Dalam prinsip ini Tenaga Kesehatan senantiasa harus melakukan sikap atau tindakan yang tidak boleh merugikan atau memperburuk masyarakat yang di layani. Di pihak lain setiap tindakan Tenaga Kesehatan pada pripnsipnya mempunyai resiko tergantung pada jenis tindakan, kondisi kebutuhan masyarakat dan hal lain yang memungkinkan kerugian yang tidak bisa dihindari. Untuk itu Tenaga Kesehatan wajib menjelaskan dan berdaya upaya secara maksimal mengambil jalan yang terbaik dari yang paling buruk bagi masyarakat yang di layani atau masyarakat yang membutuhkan.

4. Justice



Dalam prinsip ini dapat ditafsirkan keadilan yang bersifat sama rata atau keadilan secara proporsional.

Prinsip ini Tenaga Kesehatan wajib menerapkan dalam praktik atau pekerjaannya secara baik dengan menghargai otonomi pasien dan yang menguntungkan bagi masyarakat banyak pada umumnya sesuai kebutuhan.

1.4. Fungsi Etika

Etika tidak langsung membuat manusia menjadi lebih baik, melainkan etika merupakan sarana untuk memperoleh orientasi kritis berhadapan dengan pelbagai moralitas yang membingungkan. Etika ingin menampilkan ketrampilan intelektual yaitu ketrampilan untuk berargumentasi secara rasional dan kritis. Orientasi etis ini diperlukan dalam mengambil sikap yang wajar dalam suasana pluralisme. Pluralisme moral diperlukan karena: a. Pandangan moral yang berbeda-beda karena adanya perbedaan suku, daerah budaya dan agama yang hidup berdampingan;

b. Modernisasi membawa perubahan besar dalam struktur dan nilai kebutuhan masyarakat yang akibatnya menantang pandangan moral tradisional;



c. Berbagai ideologi menawarkan diri sebagai penuntun kehidupan, masingmasing dengan ajarannya sendiri tentang bagaimana manusia harus hidup.

Etika secara umum dapat dibagi menjadi etika umum yang berisi prinsip serta moral dasar dan etika khusus atau etika terapan yang berlaku khusus. Etika 90

khusus ini masih dibagi lagi menjadi etika individual dan etika sosial. Etika sosial dibagi menjadi: (1) Sikap terhadap sesama; (2) Etika keluarga

(3) Etika profesi misalnya etika untuk pustakawan, arsiparis, dokumentalis, pialang informasi (4) Etika politik

(5) Etika lingkungan hidup , serta

(6) Kritik ideologi Etika adalah filsafat atau pemikiran kritis rasional tentang ajaran moral sedangka moral adalah ajaran baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dsb. Etika selalu dikaitkan dengan moral serta harus dipahami perbedaan antara etika dengan moralitas.

1.5. Perbedaan Antara Etika Dan Kode Etik







Salah satu karakter yang membedakan antara organisasi profesi dengan organisasi lainnya adalah kode etik. Kode etik merupakan keputusan tertinggi dari organisasi profesi yang di musyawarahkan melalui kongres dan harus dipatuhi oleh anggota organisasi profesi yang bersangkutan. Di pihak lain Kode Etik bagi Tenaga Kesehatan tentu sesuai dengan jiwa Korps Petugas rumah sakit Panca Prasetya KORPRI dan di tuangkan dalam Peraturan Pemerintah dan di tindak lanjuti dengan Peraturan internal di lingkungan suatu Kementerian atau Lembaga Pemerintah Non Kementerian. Kode etik Tenaga Kesehatan yang baik merupakan penjabaran lebih lanjut dari prinsip prinsip etika baik yang bersifat pribadi maupun antar pribadi. Dengan demikian interaksi yang timbul dalam penyelenggaraan praktik atau pekerjaan di bidang pemerintahan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya wajib didasarkan pada prinsip etik. Kode etik sudah barang tentu memuat berbagai kewajiban yang harus diikuti oleh Tenaga Kesehatan yang bersangkutan baik terhadap diri sendiri, maupun dalam hubungannya dengan masyarakat yang di layani atau sesame PNS lainnya dan keluarganya. Selain itu didalam kode etik diatur juga hubungan yang berupa kewajiban Tenaga Kesehatan untuk bersikap tindak terhadap Tenaga Kesehatan lainnya, Tenaga Kesehatan yang sejenis, masyarakat dan alam sekitarnya serta Pemerintahan dan Negara.

Dalam menjalankan kode etik tersebut Tenaga Kesehatan berkewajiban menjaga, memelihara dan meningkatkan harkat martabat Tenaga Kesehatan sebagai kelompok orang yang dipercaya masyarakat. 91



Tindakan yang harus dilakukan Korps Petugas rumah sakit Negeri atau pimpinan satuan kerja di lingkungan pemerintahan terhadap petugas rumah sakit yang melakukan penyimpangan terhadap ketentuan kode etik.

Pokok bahasan 2: Kode Etik Profesi Tenaga Kesehatan Adanya kode etik didasarkan pada etika pada umumnya. Oleh karena itu isi kode etik pada dasarnya berisi berbagai kewajiban yang harus dilakukan dan ditaati oleh setiap Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik/pekerjaan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Berdasarkan hal tersebut peserta diklat dalam mata ajaran etika Tenaga Kesehatan meliputi: 2.1. Implementasi dan Koreksi Terhadap Penyimpangan Kode Etik Profesi Tenaga Kesehatan



Seperti telah dikatakan tersebut diatas kode etik merupakan peraturan internal organisasi yang harus dipatuhi oleh seluruh petugas rumah sakit. Apabila terjadi penyimpangan terhadap kewajiban-kewajiban yang harus diikuti oleh Tenaga Kesehatan dalam menjalankan pekerjaannya maka yang berperan untuk melakukan koreksi, baik berupa pembenaran maupun tindakan hanyalah urusan internal pimpinan satuan kerja yang bersangkutan. Oleh karena itu pada setiap satuan kerja pemerintahan harus dibentuk badan atau lembaga yang menangani apabila diduga adanya penyimpangan terhadap kode etik Profesi Tenaga Kesehatan. Tindakan yang dilakukan oleh lembaga tersebut dapat berupa pemberian teguran sampai tindakan disiplin sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Dapat disadari bersama bahwa norma-norma yang tercantum dalam kode etik dapat dipengaruhi oleh norma hukum, dalam hal adanya pelanggaran norma-norma hukum baru, penguasa atau aparatur penegak hukum.

2.2. Penyimpangan Rahasia Profesi Tenaga Kesehatan

Tindakan seorang Tenaga Kesehatan dapat saja melanggar kode etik dan sekaligus melanggar hukum. Namun pelanggaran terhadap kode etik belum tentu melanggar norma hukum. Rahasia profesi secara universal sudah merupakan kewajiban yang harus disimpan oleh Tenaga Kesehatan dan dijaga kerahasiannya baik menurut kode etik maupun menurut norma hukum. 92



Yang dimaksud dengan rahasia profesi adalah baik yang diketahui secara langsung maupun tidak langsung oleh Tenaga Kesehatan terhadap masyarakat dan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang harus dijaga kerahasiannya. Rahasia tersebut hanya dapat dibuka apabila:

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Persetujan masyarakat; Kehendak undang undang; Persetujuan perdata; Public figure; Hubungannya dengan pihak ketiga contoh asuransi; dan Hubungannya dengan perjanjian dalam pelaksanaan suatu pekerjaan pada suatu instansi.

VI. EVALUASI 1. 2. 3. 4.

Sebutkan prinsip-prinsip etika. Jelaskan isi dari kode etik Tenaga Kesehatan. Jelaskan peranan dan kedudukan dari pimpinan satuan kerja . Jelaskan langkah langkah yang harus dilakukan bila ada dugaan terhadap pelanggaran Kode Etik.

VII. RANGKUMAN Kode Etik merupakan landasan yang fundamental bagi Tenaga Kesehatan dalam menjalankan pekerjaannya yang merupakan produk dari Peraturan Perundangundangan. Kode etik pada dasarnya berisi berbagai kewajiban yang harus dilakukan dan ditaati oleh setiap Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik/ pekerjaan dengan didasarkan pada landasan Teori Etika Kesehatan. Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik atau pekerjaannya melakukan berbagai kegiatan atau serangkaian kegiatan antara lain melakukan interaksi dengan berbagai subjek hukum lainnya. Norma yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat secara teoritikal dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu Norma kehidupan pribadi dan Norma kehidupan antar pribadi. Prinsip-Prinsip Dasar Etika Tenaga Kesehatan meliputi: Autonomy, Beneficience, Non maleficience, dan Justice. Pemerintah sudah saatnya membentuk lembaga yang bersifat ad hoc untuk menilai ada tidaknya pelanggaran terhadap ketentuan Kode Etik. Dapat disadari bersama bahwa norma-norma yang tercantum dalam kode etik dapat dipengaruhi oleh norma hukum. 93

Tindakan seorang Tenaga Kesehatan dapat saja melanggar kode etik dan sekaligus melanggar hukum. Namun pelanggaran terhadap kode etik belum tentu melanggar norma hukum.

VIII.

DAFTAR PUSTAKA

1. Adji, Oemar Seno, (1991) : ProfesiDokter Etika Profesional dan Hukum Pertanggung Jawaban Dokter, Erlangga, Jakarta Indonesia. 2. Fuller, L (1978), The Morality Of Law, Yale University Press, London, UK 3. K.Bertens, (1993), Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Indonesia.

4. Koeswadji, Hermien Hadiati, (2000), “Ethical Codes: Its Nature and Development in Indonesia”, Makalah pada International Conference Ethics Educations in Medical Schools, February13-16, Eilat, Israel.

5. Leenen Hjj, (1991), Gezondheidszorg en Recht, een Gezondheidsrechtelijke Studie, Samson, Alpheen aan den Rijn, Netherlands 6. Undang undang No: 8 Tahun 1974 tentang Pokok Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang undang No: 43 Tahun 1999. 7. Undang undang No: 36 Tahun 1999 Tentang Kesehatan.

8. Peraturan Pemerintah No: 42 Tahun 2004 Tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil.

9. Peraturan Pemerintah No: 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. 10. Peraturan Menteri Kesehatan No: 1144/Menkes/Per/VII/2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementrian Kesehatan.

11. Peraturan Menteri Kesehatan No; 008 Tahun 2012 Tentang Kode Etik Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan Kementrian Kesehatan.

94

MODUL 3 GANGGUAN PENGLIHATAN

I. DESKRIPSI SINGKAT Uji ketajaman penglihatan, kejernihan mata (uji refleks fundus merah) dan kesejajaran mata (uji refleks kornea) merupakan pemeriksaan sederhana namun bermanfaat untuk skrining gangguan penglihatan. Bila ditemukan kelainan pada interpretasi uji, maka harus dirujuk ke level yang lebih tinggi (spesialis mata) agar memperoleh penanganan yang lebih tepat. Materi pelatihan ini memberi pengetahuan kepada dokter umum yang akan menerima pendelegasian wewenang dari dokter spesialis mata untuk melakukan skrining kasus gangguan penglihatan.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN

A. Tujuan Pembelajaran Umum

Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu mengidentifikasi gambaran klinis kasus kelainan penyakit mata.



Setelah mempelajari materi ini, peserta mampu:

B. Tujuan Pembelajaran Khusus

1. Melakukan pemeriksaan ketajaman penglihatan

2. Mengidentifikasi kasus kelainan kejernihan media mata

3. Mengidentifikasi kasus kelainan posisi bola mata tidak lurus (juling) 4. Merujuk sesuai dengan prosedur yang ditetapkan

III. POKOK BAHASAN

1. Uji ketajaman penglihatan 2. Uji refleks fundus merah 3. Uji refleks kornea

IV. BAHAN BELAJAR

1. Buku Pedoman Penanganan Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang. Kementerian Kesehatan RI 2. Buku teks

95

V. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN Berikut merupakan langkah-langkah kegiatan pembelajaran: Langkah 1: Pengkodisian peserta Langkah pembelajaran: • •

Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum pernah menyampaikan sesi di kelas, mulailah dengan perkenalan. Perkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkap, instansi tempat bekerja, materi yang akan disampaikan. Sampaikan tujuan pembelajaran materi ini dan pokok bahasan yang akan disampaikan, sebaiknya dengan menggunakan bahan tayang.

Langkah 2. Penyampaian Materi Langkah pembelajaran: •

Fasilitator menyampaikan paparan seluruh materi sesuai urutan pokok bahasan dan sub pokok bahasan dengan menggunakan bahan tayang. Fasilitator menyampaikan materi dengan metode ceramah tanya jawab, kemudian curah pendapat.

Langkah 3. Rangkuman dan Kesimpulan Langkah pembelajaran:

1. Fasilitator melakukan evaluasi untuk mengetahui penyerapan peserta terhadap materi yang disampaikan dan pencapaian tujuan pembelajaran. 2. Fasilitator merangkum poin-poin penting dari materi yang disampaikan. 3. Fasilitator membuat kesimpulan.

V. URAIAN MATERI

Pokok Bahasan 1: Uji Ketajaman Penglihatan Untuk keperluan skrining, perkembangan penglihatan anak umumnya dibagi menurut kelompok usia. Pada kelompok usia prasekolah (sampai usia 6 tahun), kelainan yang tersering ditemukan adalah strabismus, kelainan refraksi asimetrik (anisometropia), dan kelainan refraksi tinggi bilateral seperti hiperopia tinggi, yang kesemuanya dapat mengakibatkan ambliopia.

Ambliopia merupakan masalah kesehatan publik, umumnya terjadi sekitar 3-5% dari populasi, Deteksi selama usia prasekolah oleh karenanya sangat penting untuk mencapai keberhasilan terapi. 96

Skrining penglihatan secara tradisional merupakan metoda standard untuk mendeteksi ambliopia, diantaranya pemeriksaan tajam penglihatan menggunakan simbol LEA, kartu Allen, kartu Sheridan Gardiner, huruf HOTV, dan kartu Snellen gambar, yang tersedia untuk usia anak yang masih terlalu muda untuk membaca kartu snellen huruf atau angka. Belakangan diperkenalkan teknologi lain untuk skrining penglihatan pada kelompok anak usis pra-sekolah yaitu photoscreening dan retinoscopi automatis.

Uji sejajarnya mata (ocular allignment) seperti cover test, light refleks corneal test dan uji refleks fundus merah dapat dilakukan sebagai pemeriksaan tambahan yang bermanfaat selain pemeriksaan tajam penglihatan tersebut di atas. Kelainan refraksi

Untuk melihat secara jelas, mata harus memfokuskan bayangan secara tepat pada retina.

Kelainan refraksi adalah keadaan mata dimana sinar-sinar sejajar dengan garis visual (visual line) yang masuk ke pupil, tanpa akomodasi dibias tidak tepat pada retina (bintik kuning).3

a. Miopia Adalah suatu kondisi refraksi dimana bayangan difokuskan di anterior/depan retina. Anak dengan retina dapat melihat obyek yang terletak dekat secara jelas, sedangkan obyek yang terletak jauh terlihat buram.

Pada miopia, panjang bola mata anteroposterior dapat terlalu besar atau kekuatan pembiasan media refraksi terlalu kuat.



Kelainan sistemik yang sering berkaitan dengan Miopia:



Menurut derajat beratnya, miopia dibagi dalam miopia ringan (miopia < 1-3 dioptri), sedang (3-6 dioptri), dan berat (miopia >6 dioptri). Sindroma Stickler, Sindroma Marfan, Sindroma Ehler Darlos, Atrofi Gyrate, Weil-Marschesani Syndrome, Homosystinuria, Spondyloepiphyseal dysplasia congenital, Sindroma Kneist, Sindroma Down, Sindroma Prader-Willi, Sindroma Pierre-Robin, Sindroma Noonan, Sindroma Cohen, Sindroma Rubenstein-Taybi, Sindroma de Lange, Sindroma Fetal Alkohol.

b. Astigmatisma Asimetri optis pada segmen anterior mata dapat mengakibatkan astigmatisma. Asimetri ini dapat disebabkan posisi pupil, atau kornea (astigmatisma kornea) atau kurvatura lensa (astigmatisma lentikular). 97

c. Hiperopia (Hipermetropia)

Hiperopia terjadi umumnya bila aksis bola mata lebih pendek, kornea lebih datar, atau kekuatan lensa lebih lemah daripada normal: hal ini dapat diatasi dengan akomodasi bila kekuatan akomodasinya adekuat. Pasien yang lebih tua dapat memperlihatkan gejala sakit kepala, penglihatan kabur, kesulitan membaca sehingga sering mendekatkan buku. Jika akomodasinya tidak adekuat, maka penglihatan jarak jauhnya juga akan buram.

d. Anisometropia

Perbedaan interokular dalam hal status refraksi mata kanan dan kiri menyebabkan anisometropia. Komplikasi dan efek buruk dari anisometropia adalah tidak dapat menyesuaikan diri dengan kacamata, defek binokularitas, dan ambliopia.

Pengukuran kelainan refraksi.

1. Refraksi subyektif : (alat: lihat pengukuran tajam penglihatan).

Refraksi subyektif adalah suatu prosedur yang menentukan dengan cara subyektif, berapa besar lensa sferis dan/atau silindris yang harus ditempatkan pada mata pasien agar bayangan dapat terlihat jelas.Refraksi subyektif mungkin merupakan standar emas untuk refraksi orang dewasa, namun lebih sulit dilakukan pada anak anak.

2. Refraksi obyektif: Autorefraksi, Retinoskopi

3. Refraksi dilakukan dalam sikloplegia dengan menggunakan tetes mata sikloplegik. Terapi:

1. Kacamata

Pengobatan pasien miopia dengan memberikan koreksi kacamata sferis negatif terkecil yang memberikan ketajaman yang maksimal.

2. Lensa kontak:

Pada anak memberikan risiko lebih besar terhadap timbulnya keratitis bakterial ataupun konjungtivitis allergika.

3. Tindakan bedah keratorefraktif dalam pelbagai metoda dan cara dapat dilakukan dalam upaya untuk memperbaiki tajam penglihatan tanpa kacamata atau lensa kontak. Namun pada umumnya, tindakan bedah ini tidak dianjurkan pada anak dengan miopia karena besar miopia akhir sulit diprediksi, begitu pula efek jangka panjangnya. 98

Pokok Bahasan 2: Uji Refleks (Fundus) Merah (Red Reflex Test, Red Reflex Fundus Test) Tujuan pemeriksaan :

Melihat kelainan segmen posterior mata 1. SDM pelaksana

Test Red Reflex dapat dilakukan mulai dalam usia 2 bulan pertama yang dilakukan oleh dokter spesialis anak atau dokter umum yang terlatih dengan teknik pemeriksaan ini.

2. Sarana/Prasarana a. Ruangan gelap b. Ophthalmoskop indirek c. Tetes mata, bila diperlukan (lihat keterangan di bawah)



Pemeriksaan dilakukan dalam ruangan gelap dengan mata anak terbuka, menggunakan oftalmoskop direk pada jarak sejauh lebih kurang sejangkauan lengan dari mata anak.

3. Interpretasi dan kriteria rujukan

Hasil dilaporkan negatif atau normal bila refleksi kedua mata sama dalam hal warna, intensitas dan kejernihan serta tidak terdapat kekeruhan atau bintik putih /white spots (leukokoria) pada area salah satu atau kedua refleks.

Hasil pemeriksaan Refleks Merah: positif atau abnormal (tidak sama dalam hal warna, intensitas atau kejernihan refleks, atau adanya kekeruhan atau bintik putih/white spots), dan harus ditindak lanjuti:

A. Pemeriksaan refleks merah dilakukan dalam keadaan pupil dilatasi dengan memberikan tetes mata tropicamide 1% atau kombinasi tropicamide 1%/phenylephrine 2,5% atau cyclopentolate 0,25%/phenylephrine 2,5%, diteteskan pada kedua mata lebih kurang 15 menit sebelum pemeriksaan.



B. Pemeriksaan oleh dokter spesialis mata anak atau spesialis mata yang terlatih dalam pemeriksaan dan penanganan mata bayi dan anak.

Bayi dengan kategori risiko tinggi, termasuk riwayat keluarga dengan retinoblastoma, katarak kongenital, dan kelainan retinal atau lensa herediter lainnya harus dirujuk untuk segera diperiksa oleh dokter spesialis mata anak (bila memungkinkan) atau spesialis mata yang terlatih dalam pemeriksaan dan penanganan mata bayi dan anak, seperti pada (3b).

Bayi dengan riwayat leukokoria (a white pupillary reflex) pada 1 atau kedua matanya yang terdeteksi oleh orang tua atau didapatkan pada pemeriksaan mata, dan dengan tidak adanya refleks merah harus dirujuk untuk segera 99

diperiksa oleh dokter spesialis mata; bila memungkinkan oleh spesialis mata anak atau spesialis mata yang terlatih dalam pemeriksaan dan penanganan mata bayi dan anak (spesialis mata berorientasi pediatrik).

Gambar 1. Pemeriksaan Refleks Fundus Merah

 

Courtesy of ICER, FKUI/Cipto Mangunkusumo Hospital

 

V normal; X tidak normal

100

Pokok Bahasan 3: Uji Refleks Kornea Uji Refleks Cahaya Pada Kornea (corneal light reflex test, Hirschberg’ test) adalah suatu teknik skrining yang berguna untuk menilai ada/tidaknya strabismus dan memperkirakan derajat juling (misallignment). Suatu sumber cahaya yang terang (senter) di arahkan dari depan pasien, sementara mata pasien berfiksasi pada cahaya, lokasi refleks cahaya pada cornea dicatat. Selanjutnya uji tutup, buka mata (cover/uncover test) dapat dilakukan pada pasien dengan dugaan strabismus. Ocular allignment dan Strabismus

Strabismus atau mata juling adalah suatu keadaan kedudukan bola mata dimana sumbu penglihatannya tidak sejajar. Bila satu mata melihat ke arah benda yang menjadi pusat perhatiannya maka mata sebelahnya menyimpang ke arah lain.

Bayi baru lahir biasanya tidak mempunyai mata yang lurus (straight eyes, orthophoria). Studi pada suatu populasi besar melaporkan bahwa lebih kurang 30% neonatus normal mempunyai mata yang lurus, 69% exotropia atau sudut strabismus yang bervariasi, dan kurang dari 1% menunjukkan esotropia. Hanya 2 dari 2271 neonatus mempunyai esotropia pada saat lahir dan, pada kedua kasus ini, esotropia menghilang sebelum usia 2 bulan. Studi ini menunjukkan bahwa esotropia jarang terlihat pada saat lahir dan esotropia yang tampak persisten setelah usia 2 bulan kemungkinan merupakan hal yang patologik dan perlu evaluasi mata yang cermat. Strabismus

1. Dapat merupakan gejala klinis dari kelainan patologis di makula yang menyebabkan terganggunya penglihatan sentral, misalnya pada retinoblastoma, suatu tumor ganas intraokular terbanyak pada bayi dan anak.

2. Merupakan gejala dan tanda klinis tersering kedua setelah leukokoria. Sekitar 20-25% anak dengan retinoblastoma menunjukkan gejala awal strabismus yang dideteksi pertama kali oleh orang tuanya. Suatu studi di Indonesia mengindikasikan bahwa mata juling sering kurang diwapadai sebagai salah satu gejala klinis awal retinoblastoma.

3. Dapat disebabkan pelbagai keadaan yang memerlukan pemeriksaan yang detil dan spesifik, maka sebaiknya keadaan ini segera dikonsulkan ke spesialis mata (khususnya spesialis mata anak) untuk pemeriksaan yang rinci dan spesifik menentukan penyebab dan sekaligus tatalaksana yang tepat. 4. Menyebabkan tidak dapat melihat sebuah obyek dengan kedua matanya secara serentak, melainkan secara bergantian antara mata kiri dan kanan, atau terus menerus memakai satu mata sedangkan mata sebelahnya tidak digunakan. 101

Hal yang terakhir ini akan menyebabkan hambatan perkembangan mata yang tidak dipakai tadi. Mata yang tajam penglihatannya kurang berkembang ini disebut ambliopia (lazy eye)

5. Tujuan pengobatan yang utama adalah membangun atau mengembalikan penglihatan binokular tunggal, yang sangat penting dicapai dalam perkembangan fungsi penglihatan seotang anak.

6. Pengobatan bergantung pada penyebabnya, bisa berupa latihan, medikamentosa, koreksi kelainan refraksi, tindakan bedah, atau kombinasi terapi. Strabismus dapat disebabkan beberapa kelainan seperti:

1. Herediter 2. Kelainan refraksi 3. Kelainan cerebral dan sistem syaraf (misal parese n iii, n vi) 4. Kelainan sistemik (misal graves ophthalmopathy, miastenia grafis, toxoplasmosis, sindroma) 5. Kelainan otot bola mata 6. Kelainan intraokular/intraorbita (misal retinoblastoma, orbital tumor), trauma (misal fraktur dasar orbita)

VI. EVALUASI

1. Jelaskan cara uji ketajaman penglihatan 2. Jelaskan cara uji refleks fundus merah 3. Jelaskan cara uji refleks kornea

VII. RANGKUMAN

Uji ketajaman penglihatan, kejernihan mata (uji refleks fundus merah) dan kesejajaran mata (uji refleks kornea) merupakan pemeriksaan sederhana namun bermanfaat untuk skrining gangguan penglihatan.

VIII. DAFTAR PUSTAKA

1. Undang undang No: 36 Tahun 1999 Tentang Kesehatan. 2. Buku Pedoman Penanganan Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang, Kementerian Kesehatan RI

102

MODUL 4 GANGGUAN PENDENGARAN

I. DESKRIPSI SINGKAT Anatomi dan fisiologi telinga, gangguan pendengaran, pemeriksaan telinga luar, penyakit telinga yang berpotensi menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran, pemeriksaan pendengaran secara subyektif melalui Tes Daya Dengar (modifikasi), pemeriksaan pendengaran (WHO) yang umumnya merupakan pemeriksaan sederhana namun bermanfaat untuk skrining gangguan pendengaran. Bila ditemukan kelainan pada interpretasi uji, maka harus dirujuk ke level yang lebih tinggi (spesialis THT) agar memperoleh penanganan yang lebih tepat.

Materi pelatihan ini memberi pengetahuan kepada tenaga kesehatan yang akan menerima pendelegasian wewenang dari dokter spesialis THT untuk menangani kasus gangguan pendengaran. Metode yang digunakan dalam modul ini adalah ceramah, tanya jawab, demonstrasi dan praktik

II. TUJUAN PEMBELAJARAN

A. Tujuan Pembelajaran Umum Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu mengidentifikasi gambaran klinis penyakit telinga yang berpotensi menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran

B. Tujuan Pembelajaran Khusus Setelah mempelajari materi ini, peserta mampu: 1. Peserta mampu memahami anatomi dan fisiologi telinga 2. Peserta mampu mengidentifikasi gangguan pendengaran 3. Peserta mampu melakukan pemeriksaan telinga luar 4. Peserta mampu mengidentifikasi penyakit telinga yang berpotensi menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran 5. Peserta mampu melakukan skrining pendengaran secara subyektif melalui tes Daya dengar (modifikasi) 6. Peserta mampu merujuk sesuai dengan prosedur yang ditetapkan

III. POKOK BAHASAN

1. Anatomi dan fisiologi telinga 2. Gangguan pendengaran 3. Pemeriksaan telinga luar 4. Penyakit telinga yang berpotensi menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran 5. Tes daya dengar 103

IV. BAHAN BELAJAR 1. Buku Pedoman Penanganan Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang, Kementerian Kesehatan RI 2. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT. Edisi VI. 2007(Editor Efiaty Arsyad dkk) 3. Dhillon RS, East CA. An Ilustrated Colour Text. Ear Nose and Throat. Churchill Livingstone, 1994

V. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN

Berikut merupakan langkah-langkah kegiatan pembelajaran: Langkah 1: Pengkodisian peserta

Langkah pembelajaran: • Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum pernah menyampaikan sesi di kelas, mulailah dengan perkenalan. Perkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkap, instansi tempat bekerja, materi yang akan disampaikan. • Sampaikan tujuan pembelajaran materi ini dan pokok bahasan yang akan disampaikan, sebaiknya dengan menggunakan bahan tayang. Langkah 2. Penyampaian Materi Langkah pembelajaran: • Fasilitator menyampaikan paparan seluruh materi sesuai urutan pokok bahasan dan sub pokok bahasan dengan menggunakan bahan tayang. Fasilitator menyampaikan materi dengan metode ceramah tanya jawab, kemudian curah pendapat. Langkah 3. Rangkuman dan Kesimpulan

Langkah pembelajaran: 1. Fasilitator melakukan evaluasi untuk mengetahui penyerapan peserta terhadap materi yang disampaikan dan pencapaian tujuan pembelajaran. 2. Fasilitator merangkum poin-poin penting dari materi yang disampaikan. 3. Fasilitator membuat kesimpulan.

VI. URAIAN MATERI

Pokok Bahasan 1 : Anatomi Telinga dan Fisiologi Pendengaran Sistem pendengaran dibedakan menjadi 2 bagian besar, yaitu sistem pendengaran perifer dan sistem pendengaran sentral. Sistem pendengaran sentral adalah struktur saraf pendengaran setelah nervus koklearis yang mencakup kompleks nukleus koklearis, kompleks olivatorius superior, lemnikus lateral, kolikulus inferior, korpus genikulatum medial dan korteks pendengaran. Sistem pendengaran perifer merupakan struktur yang terletak di luar batang otak atau otak, yaitu telinga dan nervus koklearis. 104

Telinga dibagi atas : telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. Telinga luar Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga dilapisi oleh kulit dan dikelilingi oleh tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian dalam dikelilingi tulang. Panjangnya kira-kira 2 ½ -3 cm.

Pada sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar serumen dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada dua pertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen.

Gambar 1 Anatomi Telinga

 

 

Fisiologi pendengaran

Suara masuk ke telinga luar melalui liang telinga dan menyebabkan bergetarnya membran timpani. Energi akustik diubah oleh membran timpani menjadi energi mekanis. Dalam telinga tengah energi mekanis dihantarkan oleh tulang-tulang pendengaran ke tingkap lonjong, yang kemudian menginduksi gerakan cairan dalam koklea, mengakibatkan membran basilar dan struktur yang melekat di sekitarnya bergerak seperti gelombang dari bagian basal menuju ke apeks. Selsel rambut bergerak relatif terhadap membran tektoria dan mengalami defleksi, sehingga terjadi eksitasi sel-sel rambut yang kemudian mengakibatkan timbulnya potensial aksi pada neuron-neuron saraf auditorik. Getaran mekanis diubah menjadi getaran listrik yang akan ditransmisikan ke susunan saraf pusat oleh saraf auditorik. Pemeriksaan telinga luar

1. Struktur telinga Perhatikan struktur anatomi, kelainan serta tanda-tanda peradangan atau pembengkakan pada daun telinga dan sekitarnya. 105

2. Liang Telinga Lakukan penilaian keadaan liang telinga (lapang, sempit). Dinding liang telinga membengkak, hipermis atau terdapat laserasi. Adakah serumen, benda asing, bisul, (furunkel), polip, jaringan granulasi. Bila ada sekret atau perdarahan tentukan asalnya.

3. Membran timpani Penilaian membran timpani sebaiknya mempergunakan otoskop. Dalam keadaan normal membran timpani terlihat transparan, warnanya putih bening, mengkilap. Refleks cahaya berbentuk kerucut, ke arah jam 5 pada telinga kanan, dan jam 7 untuk telinga kiri. Bayangan kaki tulang maleus dibalik membran timpani dapat terlihat, akan lebih jelas bila ada retraksi membran timpani. Perforasi umumnya berbentuk bulat. Lokasi perforasi dapat di daerah atik, sentral ( bila disekitar perforasi masih tedapat sisa membran timpani) atau marginal (bila perforasi berbatasan langsung dengan annulus timpanikus. Dengan bantuan otoskop yang dilengkapi balon Siegle dapat dinilai pergerakan membran timpani. Pada sumbatan tuba Eustachius tidak terjadi pergerakan membran timpani saat pasien diminta menelan. 4. Daerah retro aurikuler. Terletak dibelakang daun telinga, Pada daerah ini diperhatikan adanya abses, fistel atau jaringan parut (sikatrik) baik yang disebabkan oleh abses maupun pasca pembedahan. Pokok Bahasan 2 : Gangguan Pendengaran pada Bayi dan Anak

Gangguan pendengaran atau ketulian pada bayi dapat terjadi selama masa kehamilan (prenatal), saat lahir (perinatal) dan pascanatal. Hal yang mungkin ditemukan pada masa prenatal adalah infeksi . Kehamilan trisemester I merupakan periode penting, karena infeksi bakteri maupun virus dapat menyebabkan ketulian. Infeksi yang sering menyebabkan gangguan pendengaran, antara lain adalah infeksi TORCHS (Toksoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes dan Sipilis), serta Campak dan parotitis. Obat yang bersifat ototoksik seperti antibiotika golongan aminoglikosida (gentamisin, streptomisin), kina, salisilat mempunyai potensi terjadinya kerusakan sel rambut pada koklea. Obat teratogenik seperti thalidomide dapat menyebabkan kelainan struktur anatomi telinga dan terjadinya ketulian, antara lain aplasia koklea dan atresia liang telinga. Jenis gangguan pendengaran.

1. Tuli Konduktif ( tuli hantaran).

2. Tuli Sensorineural ( tuli saraf ). 3. Tuli campur.

4. Neuropati auditorik.

106

1. Tuli konduktif.

Tuli konduktif terjadi sebagai akibat tidak sempurnanya atau tidak berfungsinya organ telinga yang berperan menghantarkan bunyi dari dunia luar ke telinga dalam, terjadi akibat adanya sesuatu yang menghalangnya bunyi dari lingkungan menuju liang telinga atau telinga tengah. Kondisi ini dijumpai pada keadaan tidak terbentuknya liang telinga sejak lahir, liang telinga tersumbat kotoran atau benda asing, telinga tengah berisi cairan, pilek atau radang tenggorok yang menyebabkan terganggunya fungsi tuba Eustachius ( saluran penghubung antara telinga tengah dengan atap tenggorok. Jenis ketulian ini dapat diperbaiki dengan obat obatan atau pembedahan.

2. Tuli sensorineural.

Tuli sensorineural disebabkan oleh kelainan / kerusakan di rumah siput (koklea), saraf pendengaran dan batang otak (brainstem) sehingga bunyi tidak dapat diproses sebagaimana mestinya.

3. Tuli campur (mixed deafness).

Tuli campur (mixed deafness) bila gangguan pendengaran/ ketulian konduktif dan sensorineural terjadi bersamaan.



Suatu keadaan gangguan pendengaran yang terjadi dengan bunyi yang secara normal memasuki sistim auditorik tetapi karena terjadi kerusakan pada saraf pendengaran maka bunyi tersebut karena tidak diorganisasikan dengan baik sehingga bagian otak tidak dapat memahami bunyi tersebut.

4. Neuropati auditorik.

Derajat ketulian (I.S.O/ International Standard Organization)

Normal Tuli ringan Tuli sedang Tuli berat Tuli sangat berat

: : : : :

0 – 25 dB 26 – 40 dB 41 – 60 dB 61 – 90 dB > 90 dB.

Indikator risiko tinggi gangguan pendengaran dibedakan menjadi 3 kelompok (US Joint Committee on Infant Hearing,1994)

1. Sejak lahir – 28 hari 2. Usia 29 hari – 2 tahun 3. Usia 29 hari – 3 tahun untuk bayi yang memerlukan monitoring terhadap gangguan pendengaran onset lambat, progresif maupun didapat. 107

Tabel 1. Indikator risiko tinggi gangguan pendengaran

Sejak lahir – 28 hari

1 Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran sensorineural 2 Infeksi in utero (TORCH) 3 Kelainan kraniofasial

4 Berat badan < 1500 gram

5 Hiperbilirubinemia yang memrlukan transfusi tukar 6 Mendapat pengobatan otototoksik 7 Meningitis bakterialis

8 Skor Apgar 0 – 4 pada menit pertama atau 0-6 pada 5 menit 9 Pemakaian ventilasi mekanik ≥ 5 hari

10 Kelainan yang merupakan bagian suatu sindroma yang melibatkan tuli sensorineural atau konduktif

Usia 29 hari – 2 tahun 1 Pada pengamatan orang tua / pengasuh terdapat keterlambatan bicara, bahasa atau perkembangan lain 2 Meningitis bakterialis atau infeksi lain yang berhubungan dengan tuli sensorineural 3 Trauma kepala disertai penurunan kesadaran dan patah tulang kepala 4 Kelainan yang merupakan bagian suatu sindroma yang berhubungan dengan gangguan pendengaran 5 Pemakaian obat obat ototoksik 6 Otitis media efusi (OME) yang menetap atau berulang kali selama 3 bulan

29 hari – 3 tahun (Dalam hal diperlukan monitoring)

1 Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran sensorineural 2 Infeksi in utero (TORCH)

3 Neurofibromatosis tipe II dan penyakit neurodegeneratif lainnya

4 Terdapat indikasi gangguan pendengaran konduktif: Otitis media efusi (OME), deformitas anatomi( misalnya atresia liang telinga) 108

SKRINING GANGGUAN PENDENGARAN Tujuan Menemukan gangguan pendengaran sedini mungkin pada bayi baru lahir agar dapat segera dilakukan habilitasi pendengaran yang optimal sehingga dampak negatif cacat pendengaran dapat dibatasi. Prinsip dasar skrining pendengaran pada bayi

Skrining pendengaran dilakukan dengan maksud membedakan populasi bayi menjadi kelompok yang tidak mempunyai masalah gangguan pendengaran ( pass/ lulus) dengan kelompok bayi yang mungkin mengalami gangguan pendengaran (refer/ tidak lulus)

Skrining pendengaran bukan diagnosis pasti karena selain kelompok Pass /lulus dan kelompok refer/ tidak lulus masih ada 2 kelompok lain, yaitu kelompok positif palsu (hasil refer namun sebenarnya pendengaran normal) dan negatif palsu (hasil pass tetapi sebenarnya ada gangguan pendengaran).

Hasil skrining pendengaran harus diterangkan dengan jelas kepada pihak orang tua untuk mencegah kecemasan yang tidak perlu. Hasil skrining pendengaran yang telah dilakukan oleh suatu unit/ kelompok masyarakat atau fasilitas kesehatan (RS,Puskesmas, praktek dokter,Klinik, BKIA) harus dirujuk ke fasilitas kesehatan yang memiliki sarana pemeriksaan pendengaran yang lengkap dan mampu melaksanakan habilitasi pendengaran dan wicara. Pada saat skrining skrining



Hasil

Setelah diagnosis

Gangguan pendengaran

Gangguan pendengaran

Tindak lanjut

Negatif Tidak ada (Pass) Tidak ada / Normal Observasi bila faktor risiko (+) smp bisa bicara Positif Mungkin ada (Refer) Ada Intervensi/ habilitasi Positif palsu Mungkin ada (Refer) Ada / Tidak ada Tergantung hasil Negatif palsu Mungkin ada (Pass) Ada / tidak ada diagnosis

Berdasarkan usia skrining gangguan pendengaran pada bayi dan anak dibedakan menjadi; 1. Skrining gangguan pendengaran pada bayi baru lahir (Newborn Hearing Screening) 2. Skrining pendengaran pada bayi (Infant Hearing Screening) 109

3. Skrining pendengaran pada pra sekolah 4. Skrining pendengaran pada usia sekolah

Berdasarkan fasilitas yang tersedia, skrining gangguan pendengaran dapat dikelompokkan menjadi ;

1. Skrining gangguan pendengaran di rumah sakit (hospital based hearing screening) 2. Skrining gangguan pendengaran pada komunitas (community based hearing screening)

Skrining gangguan pendengaran di rumah sakit (hospital based hearing screening) dikelompokan menjadi;

1. Universal Newborn Hearing Screening (UNHS). 2. Targeted Newborn Hearing Screening

Penyakit telinga yang berpotensi menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran: • Tuli kongenital • Ototoksisitas • Serumen • Otitis Eksterna • OMA (Otitis Media Akut) • OMSK (Otitis Media Supuratif Kronis) • GPAB (Gangguan Pendengaran Akibat Bising) Pokon Bahasan 3 : Pemeriksaan Pendengaran pada Bayi Dan Anak (a) Pemeriksaan pendengaran yang sederhana Untuk Bayi • • •

Arah sumber bunyi / stimulus disesuaikan dengan perkembangan motorik Sebelum usia 4 bulan belum dapat menoleh atau memutar kepala karena perkembangan otot leher yang belum memungkinkan Waktu pemeriksaan yang paling baik adalah setelah bayi menyusu atau tidak mengantuk

(b) Identifikasi bayi / anak yang diduga mengalami gangguan pendengaran/ ketulian sejak lahir • • • • • •

Bayi tidak kaget bila mendengar suara keras Bayi tidur tidak pernah terganggu oleh suara bising atau gaduh Bayi belum berceloteh/mengoceh pada umur 1 tahun Anak terlambat bicara Anak bicara tidak benar ucapannya Anak belum dapat berbicara 110

Behavior Observation Audiometry: Pada bayi kurang dari sebulan kita dapat melihat respon anak sebagai suatu reflek pada pemberian stimulus/ rangsangan seperti orang kaget yang dikenal sebagai reflek moro. Intensitas stimulus yang diberikan 60–65 dB. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan pada bayi tanpa menggunakan bedong / selimut, sehingga gerakan bayi dapat terlihat dengan jelas. Respon lain berupa mengedipkan mata, melebarkan mata, berhenti menyusu atau sebaliknya makin cepat, denyut jantung dan pernapasan yang lebih cepat. Selanjutnya kita dapat melakukan berbagai pemeriksaan dengan memperhatikan beberapa hal antara lain usia, perkembangan motorik, perkembangan mental dan keinginan untuk diperiksa.

Pemeriksaan ini dilakukan di ruangan yang tidak bising ( kurang dari 60 dB) apabila tidak terdapat ruang kedap suara ( sound proof room ). Sumber bunyi yang digunakan dapat berupa alat buatan pabrik seperti baby reactometer, Neometer,Viena tone (frekuensi 3000 Hz dengan pilihan intensitas 70,80,90 dan 100 dB ), atau bila tidak ada maka dapat dilakukan dengan tepukan tangan, tambur, bel, terompet, memukul ujung gelas dan berbagai mainan yang mempunyai frekuensi tinggi. Sebelum digunakan sebaiknya alat dikalibrasi terlebih dahulu untuk mengetahui intensitas dan frekuensinya. Sumber bunyi diberikan dengan interval 30 detik dan di luar pandang mata anak yang diperiksa. Respons yang diberikan tidak menilai ambang dengar. Pemeriksaan ini dapat diulang dua kali bila pada pemeriksaan pertama tidak memberi respons ,dan bila gagal maka ulang satu minggu lagi. Bila tetap tidak memberikan respon maka dibutuhkan pemeriksaan audiologik yang lebih lengkap. Behavior Response Audiometry

Adanya pertambahan usia memberikan perubahan sikap atau respon yang berbeda.

USIA

RESPON

3- 4 bulan

Menoleh minimal kesamping

7- 9 bulan

Melokalisir suara ke arah bawah dengan gerakan minimal

4- 7 bulan 9-13 bulan

13 -16 bulan

16 –24 bulan

Menoleh ke samping lebih jelas untuk melokalisir suara Melokalisir kearah bawah dengan lebih jelas Dapat melokalisir suara dari atas

Dapat melokalisir sumber bunyi dari semua arah. 111

Gambar 2 Behavior Response Audiometri

   

   

Pokok Bahasan 4 : Tes Daya Dengar a) Tes Perkiraan Derajat Ketulian (WHO)

Penampilan Derajat Ketulian Kedua telinga tidak dapat mendengar kata yang diucapkan Dapat mendengar beberapa kata yang diteriakkan pada sisi telinga yang lebih mendengar



Estimasi Nilai Audiometrik

Tuli sangat berat bilateral

> 81 dB

Tuli berat bilateral

61 – 80 dB

Tuli sedang bilateral

41 – 60 dB

Agak sulit mendengar, tetapi Tuli ringan bilateral biasanya dapat mendengar kata kata yang diucapkan dengan kekerasan suara yang normal

26 – 40 dB

Tidak ada masalah Normal pendengaran

Kedua telinga memiliki nilai audiometri yang normal (<25 dB)

Dapat mendengar kata kata yang diteriakkan dari jarak 3 meter

Ketulian terjadi pada satu Tuli unilateral sisi telinga

112

Telinga yang sehat mempunyai nilai audiometrik normal ( < 25 dB)

b) Tes Daya Dengar (modifikasi)





Merupakan pemeriksaan subyektif untuk deteksi dini gangguan pendengaran pada bayi dan anak dengan menggunakan kuesioner berisikan pertanyaan pertanyaan ada tidaknya respons bayi atau anak terhadap stimulus bunyi. Pertanyaan berbeda untuk 8 kelompok usia. Untuk tiap kelompok usia, daftar pertanyaan terbagi menjadi 3 kelompok penilaian kemampuan;

1. Ekspresif, 2. Reseptif 3. Visual

masing-masing terdiri dari 3 pertanyaan dengan jawaban “Ya” atau “Tidak”

Daftar pertanyaan Tes Daya Dengar (modifikasi) dapat dilihat pada lampiran.

Cara penilaian

1. Bila semua pertanyaan ( 3 buah) di jawab “Ya” berarti tidak terdapat kelainan daya dengar (Kode N/normal )

2. Bila terdapat minimal 1(satu) jawaban “Tidak” berarti kita harus hati hati terhadap kemungkinan gangguan daya dengar (Kode HTN/ Hati hati Tidak Normal). Tes harus diulang 1(satu) bulan lagi. 3. Bila semua jawaban adalah “Tidak” mungkin terdapat gangguan lain dengan atau tanpa kelainan daya dengar (Ada gangguan lain dan tidak normal).

Bila semua jawaban pada kemampuan ekspresif dan reseptif adalah “Tidak”

4. Dengan kemampuan visual normal berarti ada kelainan pada daya dengar (Kode TN/ Tidak normal) Anak dengan kode HTN, GTN, dan TN dicatat pada kemampuan mana anak tidak bisa mengerjakan; dan bila dilakukan tes di bawah kelompok usianya sampai usia mana anak bisa mengerjakan tes tersebut.

113

VII. EVALUASI Kasus : Seorang anak usia 26 bulan dengan keluhan belum dapat berbicara dengan lancar, riwayat tumbuh kembang dalam batas normal, bila di panggil kadang-kadang anak tersebut tidak memberikan respon. Jelaskan kemungkinan yang dapat terjadi dan pemeriksaan yang dapat dilakukan. 1. Jelaskan anatomi dan fisiologi telinga

2. Jelaskan jenis gangguan pendengaran

3. Jelaskan cara pemeriksaan telinga luar

4. Jelaskan jenis penyakit telinga yang berpotensi menyebabkan terjadinga gangguan pendengaran 5. Jelaskan cara melakukan tes daya dengar.

VIII. RANGKUMAN

Tim Tumbuh Kembang dalam melksanakan perannya dalam penanganan gangguan pendengaran perlu memahami anatomi telinga , fisiologi pendengaran balita,. Selain itu juga mampu mengindentifikasi masalah gangguan pendengaran yang ada di wilayah kerjanya sehingga dapat menentukan prioritas maalah gangguan pendengaran. Upaya untuk melakukan tatalaksana yang baik diawali dengan deteksi dini, seleksi kasus rujukan, diagnosis dan habilitasi agar bisa dibatasi cacad dengar.

IX. DAFTAR PUSTAKA

1. Undang undang No: 36 Tahun 1999 Tentang Kesehatan. 2. Buku Pedoman Penanganan Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang, Kementerian Kesehatan RI 4. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT. Edisi VI. 2007(Editor Efiaty Arsyad dkk) 5. Dhillon RS, East CA. An Ilustrated Colour Text. Ear Nose and Throat. Churchill Livingstone, 1994 6. Andriani R, Sekartini R, Batubara JR, Suwento R, Peranan Instrumen Modifikasi Tes daya dengar sebagai alat skrining Gangguan Pendengaran pada bayi resiko tinggi usia 0 – 6 bulan. Tesis 2010 Dept IKA FKUI RSCM

114

MODUL 5 GANGGUAN SENSORI PERSEPSI

I. DESKRIPSI SINGKAT Proses Sensori merupakan suatu istilah yang merujuk kepada proses sistem saraf menerima pesan sensori dan mengubahnya menjadi respon yang tepat. Proses sensori pada manusia harus melalui berbagai tahapan mulai dari penerimaan stimulus fisik, transduksi stimulus menjadi impuls saraf, dan persepsi, atau pengalaman sensasi yang disadari. Sensory Processing Disorder (disebut juga Disfungsi Integrasi Sensori), terjadi saat otak tidak mampu secara efisien memproses pesan sensori yang datang dari tubuh individu itu sendiri maupun dari lingkungannya. Proses penegakan diagnosis Sensory Processing Disorder (SPD) dimulai dengan skrining awal terhadap anak. Skrining akan menghasilkan salah satu dari tiga kesimpulan berikut ini : anak tidak memerlukan evaluasi lebih lanjut, anak dievaluasi kembali di kemudian hari, dan anak membutuhkan evaluasi menyeluruh.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN

A. Tujuan Pembelajaran Umum Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu melakukan penatalaksanaan kasus gangguan sensori persepsi B. Tujuan Pembelajaran Khusus Setelah mempelajari materi ini, peserta mampu : 1. Menjelaskan definisi proses sensori 2. Menjelaskan pengaruh sistem sensoris terhadap kinerja manusia 3. Menjelaskan perkembangan normal integrasi sensoris 4. Menjelaskan gangguan sensori persepsi dan jenisnya 5. Menjelaskan diagnosis gangguan sensori persepsi

III. POKOK BAHASAN 1. 2. 3. 4. 5.

Definisi proses sensori Pengaruh sistem sensoris terhadap kinerja manusia Perkembangan normal integrasi sensoris Gangguan sensori persepsi dan jenisnya Diagnosis gangguan sensori persepsi

IV. BAHAN BELAJAR

1. Modul Gangguan Sensori Persepsi 2. Buku Pedoman Penanganan Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang 3. Buku teks 115

V. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN Berikut merupakan langkah-langkah kegiatan pembelajaran: Langkah 1: Pengkondisian peserta Langkah pembelajaran: • •

Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum pernah menyampaikan sesi di kelas, mulailah dengan perkenalan. Perkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkap, instansi tempat bekerja, materi yang akan disampaikan. Sampaikan tujuan pembelajaran materi ini dan pokok bahasan yang akan disampaikan, sebaiknya dengan menggunakan bahan tayang.

Langkah 2. Penyampaian Materi Langkah pembelajaran: •

Fasilitator menyampaikan paparan seluruh materi sesuai urutan pokok bahasan dan sub pokok bahasan dengan menggunakan bahan tayang. Fasilitator menyampaikan materi dengan metode ceramah tanya jawab, kemudian curah pendapat.

Langkah 3. Rangkuman dan Kesimpulan Langkah pembelajaran:

1. Fasilitator melakukan evaluasi untuk mengetahui penyerapan peserta terhadap materi yang disampaikan dan pencapaian tujuan pembelajaran. 2. Fasilitator merangkum poin-poin penting dari materi yang disampaikan. 3. Fasilitator membuat kesimpulan.

VI. URAIAN MATERI

Pokok Bahasan 1 : Definisi Proses Sensori Proses Sensori merupakan suatu istilah yang merujuk kepada proses sistem saraf menerima pesan sensori dan mengubahnya menjadi respon yang tepat. Proses sensori pada manusia harus melalui berbagai tahapan mulai dari penerimaan stimulus fisik, transduksi stimulus menjadi impuls saraf, dan persepsi, atau pengalaman sensasi yang disadari. Proses inilah yang mendasari kemampuan seseorang untuk belajar, memutuskan tindakan yang tepat dan menyesuaikan diri dengan lingkungan (Kandel, Schwartz, & Jessell, 2000; Shepherd, 1994). 116

Pokok Bahasan 2 : Pengaruh Sistem Sensoris Terhadap Kinerja Manusia Sistem sensoris merupakan prasyarat penting untuk kinerja optimal manusia normal. Sistem sensoris merupakan alat penghantar informasi dari lingkungan mencapai susunan saraf pusat. Setiap sistem sensoris memberi masukan yang khas. Interaksi dinamis antar sistem sensoris yang bervariasi memberi gambaran lengkap mengenai diri dan lingkungan, yang memungkinkan seseorang dapat menyesuaikan diri secara tepat dan dapat merespons kebutuhan dengan cara yang sesuai. Jika hanya satu saja sistem sensoris yang tersedia maka persepsi terhadap lingkungan hanya dalam satu dimensi sehingga kehilangan dimensi lain yang diperlukan untuk kinerja normal. Pada kegiatan klinik, kita sering terjebak hanya melihat penampilan pasien dan seringkali melupakan sistem sensoris yang mendasari tingkah laku seseorang. Kinerja sistem sensoris yang optimal tidak hanya mempengaruhi kinerja motorik saja tapi juga fungsi kognitif, persepsi maupun berbahasa. Dari penelitian disimpulkan beberapa masalah psikiatri, sosial, dan perilaku dapat dihubungkan dengan kegagalan dalam memproses informasi sensoris.

Untuk keperluan penatalaksanaan pasien dari sudut pandang terapi fisik, sistem sensoris dibagi berdasarkan jenis informasi / modalitas yang dibawa, yakni somatosensoris dan sistem sensoris khusus. Somatosensoris dibagi menjadi 2 yakni sistem protopathic atau sistem protektif, yang bertangggung jawab terhadap sensasi raba halus, termasuk gatal, nyeri dan suhu yang ekstrem, dan sistem epicritic atau sistem diskriminatif, yang bertanggung jawab terhadap sensasi yang lebih kompleks dan terintegrasi seperti raba tekan, diskriminasi 2 titik, vibrasi, sterognosis (kemampuan untuk membedakan besar, ukuran dan tekstur dari objek hanya dengan perabaan) dan proprioseptif (sensasi dari aksi dan posisi otot dan sendi). Proprioseptif terdiri dari propioseptif yang disadari (kinesthesia) – reseptor sendi dan proprioseptif yang tidak disadari – reseptor muscle spindle dan tendon (golgi tendon organ). Sementara sistem sensoris khusus dibagi menjadi visual/ penglihatan, auditory/ pendengaran, olfaktori/ penghidu, gustatori/ pengecap, dan vestibuler. Kita selalu aktif menyentuh dan secara pasif disentuh oleh orang lain,kain, dan benda-benda di sekeliling kita. Rasa raba merupakan sistem sensori besar yang diperlukan tidak hanya untuk persepsi visual, motor planning dan body awareness tetapi juga untuk academic learning, emotional security dan social skill. Pengaruhnya terhadap proses belajar di sekolah juga besar. Karena banyak benda membutuhkan manipulasi tangan, misalnya alat gambar, kertas, pensil dan sebagainya. Reseptor sistem vestibular ada di dalam telinga dan terstimulasi oleh adanya gerakan dan perubahan gravitasi. Sistem vestibular memberi informasi tentang 117

posisi tubuh di permukaan bumi. Sistem ini memberi informasi tentang keseimbangan, gerak leher, mata dan tubuh, kemudian dikirim ke Susunan Saraf Pusat untuk diproses, selanjutnya tonus otot diatur agar kita bisa bergerak dengan halus dan efisien. Sistem vestibular juga memberi informasi tentang tubuh kita apakah dalam keadaan bergerak atau diam dan benda yang kita lihat dalam keadaan bergerak atau diam terhadap tubuh kita, juga arah [gerak linier (maju/mundur, ke samping, naik/turun) dan gerak berputar] dan kecepatan kita berjalan. Sistem vestibular juga mengatur tonus otot, koordinasi bilateral, proses auditory-language, proses visual-spatial, dan motor planning.

Reseptor proprioseptif terdapat pada otot, sendi, ligamen dan jaringan ikat. Fungsi sistem proprioseptif adalah meningkatkan kontrol motoris dan motor planning, mengatur jalan dan posisi tubuh. Stimulus dari otot dan sendi, berhubungan erat dengan sistem taktil dan vestibular, yaitu berupa taktil proprioseptif (somatosensoris), yang penting untuk memperkirakan berat misalnya saat memegang pensil untuk menulis, dan vestibular proprioseptif, rangsangan berupa posisi kepala dan tubuh saat anak aktif bergerak. Persepsi ini diperlukan untuk aktivitas melempar/menangkap bola, memanjat. Pokok Bahasan 3 : Perkembangan Normal Integrasi Sensoris

Perkembangan normal integrasi sensoris terjadi seperti susunan balok-balok, dimana pembentukan level tertinggi atau keterampilan/kemampuan yang lebih kompleks memerlukan dukungan level dibawahnya. Pada saat anak telah siap memasuki sekolah, maka anak harus sudah siap dengan aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan level-level dibawahnya. Pada dasarnya, setiap anak memiliki naluri ingin mendapatkan berbagai stimulus sensoris, ingin berpartisipasi aktif dalam proses integrasi sensoris. Melalui aktivitas anak mengenal lingkungannya dan selalu ingin mencoba aktivitas baru. Keberhasilan dalam menghadapi tantangan baru, akan membentuk anak menjadi lebih percaya diri. Proses perkembangan integrasi sensoris merupakan satu rangkaian yang oleh dr. Ayres dibagi menjadi 4 level. LEVEL I (Primary Sensory System)

Pada usia 2 bulan, bayi telah menerima berbagai informasi integrasi sensoris, yang merupakan dasar untuk proses belajar berikutnya. “Guru” primernya adalah kulit (Tactile sense), gravitasi dan gerakan (Vestibular sense) dari otot, sendi dan ligamen ( Proprioceptive sense) melalui stimulus sentuhan yang diterima oleh kulit dan sekitar rongga mulut yang merupakan reseptor yang peka, bayi belajar mengisap, belajar makan dan mendapatkan kasih sayang yang selanjutnya akan menimbulkan hubungan timbal balik yang positif dengan ibu atau pengasuhnya. 118

LEVEL II (Perceptual-Motor Foundations) Terintegrasi dengan level I, anak usia 1 tahun mulai merasakan/memahami posisi tubuh, bagaimana hubungannya dengan bagian tubuh yang lain dan bagaimana mereka bergerak. Dengan bantuan penglihatan, mereka memahami dirinya. Bersamaan dengan itu, timbul integrasi bilateral. Proses ini membuat anak bisa menggunakan kedua sisi tubuhnya secara simetris, halus, secara bersamaan dan dengan koordinasi yang baik. Integrasi bilateral adalah proses neurologis yang merupakan dasar koordinasi bilateral yang diperlukan untuk bergerak dari satu tangan ke tangan yang lain. Fungsi integrasi bilateral adalah lateralisasi, proses penentuan salah satu sisi otak yang dominan. Bila proses lateralisasi sudah matur, maka anak mulai bisa menggunakan satu tangan secara terpisah dan melewati garis tubuh, bisa memutar jari-jari dan mainan. Respons terhadap perubahan posisi, membaik dan menjadi gerak otomatis. Stabilitas leher membantu pandangan mata lebih stabil sehingga anak bisa melihat sekelilingnya dan geraknya lebih terkoordinasi. LEVEL III (Perceptual-motor skills)

Persepsi sensoris dan diskriminasi membaik, kemampuan berinteraksi dengan dunia luar membaik. Pendengaran (auditory sense) menjadi lebih halus. Anak mengerti bahasa dan komunikasi melalui bicara. Penglihatan lebih fokus, anak bisa menginterpretasikan apa yang dilihat. Koordinasi mata-tangan berkembang, anak mampu memegang krayon, menggambar bentuk sederhana, menangkap bola, menuang air dan menyusun puzzle. Dari aktivitas menyusun puzzle berarti anak mampu mengambil, melihat, memegang, mengerti dan meletakkan dengan tepat. Pada usia 3 tahun, keterampilan dasar terus berkembang dan makin baik. LEVEL IV (Academic readiness)

Hasil akhir dari integrasi sensoris adalah kemampuan akademis (termasuk berpikir abstrak dan membuat alasan), kemampuan motoris yang kompleks, memusatkan perhatian dan mengontrol diri, dsb. Pada usia 6 tahun, otak anak sudah cukup matur untuk spesialisasi, artinya satu bagian otak menjadi lebih efisien pada fungsi khusus sehingga gerak/aktivitas anak menjadi lebih efisien dan bertujuan. Mata dan telinga siap mengambil alih sebagai “guru” primer. Tactile discrimination membaik, anak mampu mengurangi respons yang bersifat refleks terhadap rangsangan. Kemampuan motoris kasar dan halus menjadi lebih baik sehingga mampu menggambar bentuk atau simbol 119

yang dikenal. Anak mengerti waktu (sekarang/besok), membayangkan sesuatu yang menakutkan, bermain dengan teman sebaya dan tukar mainan. Pembentukan integrasi sensoris pada anak akan berlanjut sepanjang hidup. Anak mampu mengatasi dan melakukan adaptasi pada situasi yang baru, dan anak siap sekolah. Pokok Bahasan 4 : Gangguan Sensori Persepsi dan Jenisnya

Menurut dr. Ayres, Sensory Processing Disorder (SPD) istilah baru dari disfungsi integrasi sensoris terjadi bukan karena adanya kerusakan otak, tetapi karena ketidakmampuan otak untuk memproses informasi sensoris secara efisien sehingga terjadi gangguan timbal balik antara input-proses-output. Keadaan ini bisa terjadi sebagai akibat dari hal-hal berikut ini : •

Input sensoris tidak efisien. Bila otak menerima input sensoris terlalu sedikit atau banyak, maka otak tidak dapat bereaksi dengan tepat.



Output motoris, bahasa atau emosi tidak efisien, dimana otak dalam memproses input sensoris tidak efisien sehingga outputnya tidak optimal.



Disorganisasi neurologis dimana otak tidak dapat menerima input sensoris, atau otak dapat menerima input sensoris tetapi tidak konsisten, atau otak dapat menerima input sensoris secara konsisten tetapi tidak berhubungan secara tepat dengan input sensoris lain untuk menghasilkan respons yang baik.

Sensory Processing Disorder (SPD) berdasarkan Miller et al (2007) terdiri dari gangguan modulasi sensori, gangguan diskriminasi sensori, dan gangguan sensory-based motor. Gejala klinis sensory processing disorder yang dapat dilihat adalah gangguan makan atau tidur, gelisah saat dikenakan pakaian, jarang bermain dengan mainan, menolak dipeluk, tidak tenang, tubuhnya kaku dan terdapat keterlambatan motorik, terlalu sensitif terhadap sentuhan, suara, aroma, orang lain; kesulitan dalam berteman, berpakaian, tidur, dan atau toilet training; emosi tantrum yang berkepanjangan. Pada usia sekolah dapat ditemukan gejala yang hampir sama dengan anak pre-sekolah, ditambah gejala seperti kesulitan dalam menulis atau aktivitas motorik, perhatiannya sering teralihkan, agresif, tidak sadar akan rasa sakit. 120

Pokok Bahasan 5 : Diagnosis Gangguan Sensori Persepsi Penegakan diagnosis Sensory Processing Disorder biasanya dimulai dengan skrining. Skrining akan menghasilkan salah satu dari tiga kesimpulan berikut ini: anak tidak memerlukan evaluasi lebih lanjut, anak dievaluasi kembali di kemudian hari, dan anak membutuhkan evaluasi menyeluruh. Jika hasil skrining menyimpulkan perlunya evaluasi komprehensif, maka langkah berikutnya adalah merujuknya kepada profesional yang memiliki kompetensi untuk melakukan evaluasi lebih lanjut untuk menegakkan diagnosis SPD. VII. EVALUASI 1. Sebutkan definisi proses sensori

2. Jelaskan pengaruh sistem sensoris terhadap kinerja manusia 3. Jelaskan perkembangan normal integrasi sensoris 4. Jelaskan gangguan sensori persepsi dan jenisnya 5. Jelaskan diagnosis gangguan sensori persepsi VIII. RANGKUMAN Proses Sensori merupakan suatu istilah yang merujuk kepada proses sistem saraf menerima pesan sensori dan mengubahnya menjadi respon yang tepat. Proses sensori pada manusia harus melalui berbagai tahapan mulai dari penerimaan stimulus fisik, transduksi stimulus menjadi impuls saraf, dan persepsi, atau pengalaman sensasi yang disadari. Sistem sensoris merupakan prasyarat penting untuk kinerja optimal manusia normal. Sistem sensoris merupakan alat penghantar melalui mana informasi dari lingkungan mencapai susunan saraf pusat. Proses perkembangan integrasi sensoris merupakan satu rangkaian yang oleh dr. Ayres dibagi menjadi 4 level yaitu Primary Sensory System, Perceptual-Motor Foundations, Perceptual-motor skills, Academic readiness. Menurut dr. Ayres, Sensory Processing Disorder (SPD) istilah baru dari disfungsi integrasi sensoris terjadi bukan karena adanya kerusakan otak, tetapi karena ketidakmampuan otak untuk memproses informasi sensoris secara efisien sehingga terjadi gangguan timbal balik antara input-proses-output. Penegakan diagnosis Sensory Processing Disorder biasanya dimulai dengan skrining. Skrining akan menghasilkan salah satu dari tiga kesimpulan berikut ini : anak tidak memerlukan evaluasi lebih lanjut, anak dievaluasi kembali di kemudian hari, dan anak membutuhkan evaluasi menyeluruh 121

IX. DAFTAR PUSTAKA 1. Ahn, R. R., Miller, L. J., Milberger, S., & McIntosh, D. N. Prevalence of parents’ perceptions of sensory processing disorders among kindergarten children. American Journal of Occupational Therapy 2004(58); 287–293

2. Kranowitz CS. The Out-of-Sync Child Has Fun: Activities for Kids with Sensory Integration Dysfunction. New York: A Perigee Book. 2003; 4-5 3. Dunn W, Saiter J, Rinner L. Asperger syndrome and sensory processing: a conceptual model and guidance for intervention planning. Focus on autism and other developmental disabilities 2002 (17); 172-185

4. Miller LJ. Sensational Kids : Hope and Help for Children with Sensory Processing Disorder. United States of America: Putnam, 2006.p. 4-5, 44-48 5. Wahyuni LK. Dasar Pendekatan Terapi Multisensoris. In Pelatihan Tim Rehabilitasi Medik Pediatrik Indonesia. RSUPN Dr. CIPTO MANGUNKUSUMO DEPARTEMEN KESEHATAN RI 2001; 85-87 6. Perdosri 2002. Penatalaksanaan gangguan perkembangan dan belajar pada anak. Perdosri 2002; 29-36 7. Dunn W. Sensory profile. United States of America: Psychcorp 2008; 1-4

122

MODUL 6 GANGGUAN KOMUNIKASI

I. DESKRIPSI SINGKAT Komunikasi adalah proses yang digunakan untuk bertukar informasi termasuk kemampuan memahami dan menghasilkan pesan. Pada proses komunikasi terjadi perpindahan semua jenis pesan atau informasi yang berhubungan dengan kebutuhan perasaan, keinginan, persepsi, ide dan pengetahuan. Modul ini berisi penjelasan mengenai penegakan diagnosis gangguan fungsi bicara-bahasa, penatalaksanaan gangguan fungsi bicara-bahasa, dan pencapaian fungsi bicarabahasa masing-masing individu yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Materi pelatihan ini memberikan pengetahuan kepada dokter spesialis anak dan dokter umum yang akan menerima pendelegasian wewenang untuk menangani kasus gangguan fungsi bicara-bahasa. Bila ditemukan gangguan bicara-bahasa yang disertai gangguan fungsi lain: kardiorespirasi, kesulitan makan, kasus dengan resiko aspirasi, gangguan kognitif, masalah psikososial maka harus dirujuk ke level yang lebih tinggi agar memperoleh penanganan yang lebih tepat.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN

A. Tujuan Pembelajaran Umum

Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu menjelaskan definisi dan fungsi komunikasi, prasyarat berkomunikasi, perkembangan normal fungsi bicarabahasa, jenis-jenis gangguan bicara-bahasa, menegakkan diagnosis (khusus untuk dokter dan dokter anak), penatalaksanaan gangguan bicara-bahasa, dan bekerjasama dalam tim untuk menangani kasus gangguan komunikasi sesuai peran masing-masing anggota tim

B. Tujuan Pembelajaran Khusus

Setelah mempelajari materi ini, peserta mampu: 1. Menjelaskan definisi dan fungsi komunikasi 2. Menjelaskan prasyarat agar dapat berkomunikasi dengan baik 3. Menjelaskan perkembangan normal fungsi bicara-bahasa pada anak dan petunjuk klinis adanya gangguan 4. Menjelaskan skrining perkembangan bicara-bahasa pada anak 5. Menjelaskan jenis-jenis gangguan bicara-bahasa 6. Menegakkan diagnosis fungsi gangguan bicara-bahasa (khusus untuk dokter dan dokter anak) 7. Menjelaskan intervensi pada penatalaksanaan gangguan bicara-bahasa 8. Membuat program intervensi terapi wicara pada gangguan bicara-bahasa 123

III. POKOK BAHASAN 1. Definisi dan fungsi komunikasi 2. Prasyarat agar dapat berkomunikasi dengan baik 3. Perkembangan normal fungsi bicara-bahasa pada anak dan petunjuk klinis adanya gangguan 4. Skrining perkembangan bicara-bahasa pada anak 5. Jenis-jenis gangguan bicara-bahasa 6. Diagnosis fungsi gangguan bicara-bahasa 7. Intervensi pada penatalaksanaan gangguan bicara-bahasa 8. Program intervensi terapi wicara pada gangguan bicara-bahasa

IV. BAHAN BELAJAR

1. Modul Gangguan Komunikasi 2. Buku Pedoman 3. Buku teks

V. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN Berikut merupakan langkah-langkah kegiatan pembelajaran: Langkah 1: Pengkondisian peserta

Langkah pembelajaran: • Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum pernah menyampaikan sesi di kelas, mulailah dengan perkenalan. Perkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkap, instansi tempat bekerja, materi yang akan disampaikan. • Sampaikan tujuan pembelajaran materi ini dan pokok bahasan yang akan disampaikan, sebaiknya dengan menggunakan bahan tayang. Langkah 2. Penyampaian Materi

Langkah pembelajaran: • Fasilitator menyampaikan paparan seluruh materi sesuai urutan pokok bahasan dan sub pokok bahasan dengan menggunakan bahan tayang. Fasilitator menyampaikan materi dengan metode ceramah tanya jawab, kemudian curah pendapat. Langkah 3. Rangkuman dan Kesimpulan

Langkah pembelajaran: 1. Fasilitator melakukan evaluasi untuk mengetahui penyerapan peserta terhadap materi yang disampaikan dan pencapaian tujuan pembelajaran. 124

2. Fasilitator merangkum poin-poin penting dari materi yang disampaikan. 3. Fasilitator membuat kesimpulan.

VI. URAIAN MATERI

Pokok Bahasan 1 : Definisi dan Fungsi Komunikasi Komunikasi adalah proses yang digunakan untuk bertukar informasi termasuk kemampuan memahami dan menghasilkan pesan. Pada proses komunikasi terjadi perpindahan semua jenis pesan atau informasi yang berhubungan dengan kebutuhan perasaan, keinginan, persepsi, ide dan pengetahuan. Komunikasi dapat terjadi melalui berbagai modalitas yaitu proses non linguistik verbal dan paralinguistik. 1. Proses non linguistik adalah bahasa tubuh, postur tubuh, ekspresi wajah, kontak mata, gerak kepala dan tubuh, dan jarak fisik. 2. Proses Paralinguistik meliputi afektif/emosi, sosial, intonasi dalam berbahasa. 3. Komunikasi verbal meliputi penggunaan dan pemahaman kata-kata, termasuk kemampuan untuk menghasilkan kata-kata, kalimat (bahasa ucapan dan tulisan) dengan kosakata, tata bahasa serta penggunaan aturan percakapan yang sesuai.

Berbicara adalah cara menghasilkan bunyi yang bermakna, sebagai hasil koordinasi pernapasan, fonasi, resonansi dan sistem artikulasi. Aliran udara dihasilkan dari paru-paru, melewati pita suara, dan kemudian dibentuk oleh artikulator untuk membentuk suara bicara. Kelemahan pada sistem-sistem ini akan menyebabkan dampak signifikan pada produksi bicara. Berbahasa adalah cara menggabungkan kata-kata menjadi suatu pesan yang berarti.

Bahasa umumnya mengacu pada proses dimana kita mengkode dan memproses arti pesan, dan dibagi ke dalam tiga komponen primer : bentuk, isi, dan kegunaan. Beberapa aspek berbahasa pada anak meliputi: 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Fonologi (konsonan, vokal, suku kata yang tidak mempunyai arti) Morfologi (unit terkecil dari kata yang mempunyai arti) Sintaks (merangkai kata menjadi kalimat) Semantik (menggunakan kata-kata) Pragmatik (berbicara dan komunikasi dalam lingkungan sosial) Sequence (kemampuan menyusun kalimat sesuai dengan alur cerita) 125

Pokok Bahasan 2 : Prasyarat Agar Dapat Berkomunikasi Dengan Baik Perkembangan komunikasi dimulai pada saat bayi mulai berinteraksi dengan pengasuhnya dalam bentuk bersuara, memandang, dan menggerakkan tubuh. Perkembangan komunikasi sejalan dengan kemajuan perkembangan anak terutama dalam hal kognitif, sosial emosi dan adaptasi. Secara umum anak yang sedang berkembang kaya akan gerak tubuh dan social prelinguistic sebelum produksi bahasa verbal. Untuk memperoleh kemampuan berbahasa diperlukan pembelajaran beberapa keterampilan, yang dalam kombinasinya akan memungkinkan anak untuk berkomunikasi secara efektif. Diperlukan sejumlah keterampilan yang akan mempersiapkan anak untuk belajar bicara-bahasa, diantaranya:

1. Kemampuan untuk memperhatikan dan berkonsentrasi, merupakan prekursor penting untuk pembelajaran. Jika anak tidak dapat memperhatikan atau memfokuskan perhatiannya dalam melakukan suatu tugas, maka akan mengganggu pembelajarannya. 2. Kemampuan untuk mendengar. Mendengar dibangun dari rangkaian perhatian, konsentrasi, kepatuhan (compliance), dan kerjasama. Mendengar merupakan faktor kunci dalam kemahiran berbicara dan bahasa. 3. Compliance, yaitu siap mengikuti instruksi dari orang tua, guru, tutor atau terapis. Pada awalnya anak mungkin perlu diajarkan untuk mematuhi keinginan lingkungan. Semakin anak matang, maka kepatuhan akan berkembang menjadi kerjasama. 4. Kemampuan untuk menyimpan dan mengingat informasi. 5. Keterampilan persepsi seperti mengenali gambar, memadankan benda/ gambar 6. Kemampuan untuk bersosialisasi dan bermain 7. Kemampuan dasar untuk mengambil giliran (take turn) 8. Kemampuan untuk bekerjasama 9. Struktur anatomis yang normal, diantaranya lidah, bibir, palatum durum atau palatum molle. Struktur geligi dan kesejajaran rahang dan gigi yang baik. Kelainan seperti pada sindroma Pierre-Robin, cleft lip atau cleft palate, atau pun trauma fisik pada mulut dan wajah dapat mengganggu proses bicara 10. Adanya kekuatan dan koordinasi otot-otot yang berperan dalam berbicara. Adanya kelainan neurologis atau keterlambatan perkembangan dapat menghasilkan bicara yang tidak jelas. 11. Faktor-faktor lingkungan seperti pemberian stimulasi yang tepat 126

Pokok Bahasan 3 : Perkembangan Normal Fungsi Bicara-Bahasa Pada Anak dan Petunjuk Klinis Adanya Gangguan DALAM 3 BULAN PERTAMA Tolak Ukur Normal

Petunjuk Klinis/Alasan Kekhawatiran dalam 3 bulan pertama

• Melihat pengasuh/orang lain • Berdiam sebagai respons terhadap bunyi (khususnya terhadap pembicaraan) • Menangis dengan pola berbeda ketika lelah, lapar atau nyeri • Tersenyum sebagai respons terhadap senyuman atau suara orang lain

• Kurangnya respons • Kurangnya kepekaan terhadap suara • Kurangnya kepekaan terhadap lingkungannya • Menangis dengan pola yang sama saat lelah, lapar atau nyeri • Masalah dalam menghisap atau menelan.

Tolak Ukur Normal

Tolak Ukur Normal Petunjuk Klinis/ Alasan Kekhawatiran saat usia 6 bulan

3 - 6 BULAN

• Menatap wajah orang lain • Tidak bisa fokus, mudah over• Berespon terhadap nama dengan stimulasi melihat sumber bunyi • Kurangnya kepekaan terhadap bunyi, • Secara teratur melokalisir sumber tidak melokalisir sumber bunyi/ bunyi/speaker speaker • ”cooing”, berkumur, tertawa • Kurangnya kepekaan terhadap orang dan benda di lingkungannya

6 - 9 BULAN

Tolak Ukur Normal Petunjuk Klinis/ Alasan Kekhawatiran saat usia 9 bulan

Tolak Ukur Normal

• Menirukan suara • Tidak tampak memahami dan • Menikmati permainan sosial menikmati penghargaan sosial dari resiprokal terstruktur interaksi • Memiliki vokalisasi berbeda terhadap • Kurangnya koneksi dengan orang berbagai situasi dewasa (seperti kurangnya kontak • Mengenai orang yang familiar mata, tatapan mata resiprokal, • Menirukan bunyi dan tindakan yang permainan sosial resiprokal) familiar • Tidak dapat ”babbling” atau bisa • Mengulang ”babbling” (”bababa”, dengan sedikit/tanpa konsonan ”mama-mama”), permainan vokal dengan pola intonasi, berbagai bunyi yang berbentuk kata • Menangis ketika ditinggal orang tuanya (usia 9 bulan) • Berespon secara konsisten terhadap percakapan yang lembut dan bunyi di lingkungan 127

9 - 12 BULAN Tolak Ukur Normal

Tolak Ukur Normal Petunjuk Klinis/ Alasan Kekhawatiran saat usia 12 bulan

• Menarik perhatian (seperti bersuara, batuk) • Menggelengkan kepala, mendorong barang yang tidak diinginkan • Melambai ”dadahhh” • Mengindikasikan permintaan dengan jelas; menunjuk perilaku orang lain (menunjuk benda); memberikan benda kepada orang dewasa; menarik/merenggut orang dewasa, menunjuk benda yang diinginkan • Mengkoordinasikan aksi diantara orang dewasa dan benda (melihat ke belakang dan ke depan antara orang dewasa dan benda yang diinginkan) • Menirukan bunyi/tindakan baru • Menunjukkan pola konsisten dari ”babbling” dan memproduksi vokalisasi yang terdengar seperti kata-kata pertama (”mama”, ”dada”)

• Mudah marah dengan bunyi yang tidak mengganggu bagi orang lain • Tidak menunjuk dengan jelas keinginannya akan suatu benda • Tidak mengkoordinasikan tindakan antara benda dan orang dewasa • Kurangnya pola yang konsisten dari ”babbling” yang berulang • Kurangnya respons yang menunjukkan pemahaman kata-kata atau bahasa tubuh • Bergantung secara eksklusif pada konteks untuk pemahaman bahasa

Tolak Ukur Normal

Tolak Ukur Normal Petunjuk Klinis/ Alasan Kekhawatiran saat usia 18 bulan

• Memulai produksi satu kata • Meminta benda: menunjuk, bersuara, bisa menggunakan pendekatan kata • Mendapatkan perhatian: secara vokal, fisik, atau menggunakan kata (seperti ”mama”) • Memahami bahwa orang dewasa bisa melakukan sesuatu untuknya (seperti memainkan mainan) • Menggunakan kata-kata biasa (seperti ”dahh”, ”hai”, ”terima kasih”, ”tolong”) • Protes: berkata ”nggak”, menggelengkan kepala, menjauh, mendorong benda menjauh • Berkomentar: menunjuk benda, vokalisasi atau menggunakan pendekatan kata • Pengetahuan: kontak mata, respons vokal, repetisi kata-kata

• Kurangnya bahasa tubuh untuk berkomunikasi • Tidak mencoba menirukan atau secara spontan memproduksi satu kata • Tidak persisten dalam berkomunikasi (seperti memberikan benda pada orang dewasa untuk minta bantuan, namun putus asa dengan mudahnya jika orang dewasa tidak memberikan respon segera) • Pemahaman kosakata yang terbatas (memahami kurang dari 50 kata atau frase tanpa bahasa tubuh atau petunjuk konteks) • Produksi kosakata terbatas (bicara kurang dari 10 kata) • Kurangnya pertumbuhan produksi kosakata (dari 12 sampai 18 bulan)

12 - 18 BULAN

128

18 - 24 BULAN Tolak Ukur Normal

Tolak Ukur Normal Petunjuk Klinis/ Alasan Kekhawatiran saat usia 24 bulan

• Menggunakan kata-kata untuk berkomunikasi • Memulai menggunakan kombinasi 2-kata; kombinasi pertama biasanya bentuk yang diingat dan digunakan dalam satu atau dua konteks. • Saat 24 bulan, menggunakan kombinasi dengan arti yang berhubungan (seperti ”kue lagi”, ”sepatu papa”), lebih fleksibel dalam penggunaannya • Saat 24 bulan, memiliki setidaknya 50 kata, yang bisa merupakan pendekatan pada bentuk yang digunakan orang dewasa

• Bergantung pada bahasa tubuh tanpa bahasa verbal • Produksi kosakata terbatas (kurang dari 50 kata) • Tidak menggunakan kombinasi duakata • Produksi konsonan terbatas • Percakapan tidak bertujuan • Regresi dalam perkembangan bahasa, berhenti berbicara atau memulai menggemakan frase yang dia dengar, umumnya tidak tepat

Tolak Ukur Normal

Tolak Ukur Normal Petunjuk Klinis/ Alasan Kekhawatiran saat usia 36 bulan

• Terlibat dalam dialog singkat dan mengekspresikan emosinya • Mulai menggunakan bahasa dalam cara imaginasi • Mulai menggunakan detail deskriptif untuk membantu pemahaman pendengar • Menggunakan alat untuk mendapat perhatian (seperti ”hei”) • Mampu menghubungkan ide yang tidak berhubungan dan elemen cerita • Mulai menggunakan kata hubung, kata depan dan penggunaan kata yang tepat

• Kata-kata terbatas pada silabus tunggal tanpa konsonan final • Sedikit atau tidak ada penggunaan berbagai gabungan kata • Tidak meminta respon dari pendengar • Tidak bertanya • Percakapan tidak bertujuan yang buruk • Sering mengungkapkan kemarahan ketika tidak dimengerti • Menggemakan atau menirukan percakapan tanpa tujuan komunikasi yang jelas.

24 - 36 BULAN

129

Pokok Bahasan 4 : Skrining Perkembangan Bicara-Bahasa pada Anak Skrining untuk kelainan komunikasi diperlukan saat penentuan ada atau tidak ada kelainan komunikasi. Tujuan dari skrining untuk mengidentifikasi anak yang memiliki kecenderungan kelainan komunikasi sehingga memerlukan evaluasi lebih lanjut untuk menentukan diagnosis. Ada beberapa jenis skrining kelainan komunikasi: 1. Early Language Milestone (ELM) 2. Clinical Linguistic Auditory Milestone Scale (CAT/CLAM – format dalam lampiran) untuk skrining perkembangan bahasa sejak usia lahir sampai usia 3 tahun dan kemampuan bicara untuk usia 24-48 bulan. Data didapat dari laporan orang tua dan interaksi langsung antara anak dan pemeriksa 3. Pemeriksaan pendengaran (auditory) Pokok Bahasan 5 : Jenis-jenis Gangguan Bicara-Bahasa

Keterlambatan bicara terjadi saat anak belajar suara bicara dalam susunan yang benar tetapi pada tingkat yang lebih lambat dibandingkan anak sebayanya. Anak dengan Gangguan Bicara memiliki pola pembelajaran suara bicara yang tidak konsisten, dimana anak dapat menyebutkan suara-suara yang terdapat pada perkembangan lebih lanjut, namun kesulitan dalam menyebutkan suara yang pada umumnya berkembang lebih awal.

Gangguan berbicara adalah gangguan dalam menghasilkan bunyi yang bermakna, sebagai hasil koordinasi pernapasan, fonasi, resonansi dan sistem artikulasi. Seluruh gangguan ini mempengaruhi kemampuan anak untuk memproduksi bahasa lisan yang jelas dan cerdas. Penyebab gangguan bicara :

1. Problem struktur dari organ artikulasi : lidah, bibir, palatum durum dan molle, susunan gigi, kesegarisan rahang. 2. Kelemahan atau inkoordinasi otot-otot yang terlibat dalam proses berbicara 3. Faktor lingkungan. Beberapa faktor risiko diidentifikasi sebagai penyebab, yaitu status nutrisi, tingkat pendidikan rendah, kurangnya stimulasi, dll 4. Faktor organik : kerusakan susunan saraf pusat (otak) terutama pada 1 tahun pertama kehidupan anak. 5. Variasi dari perkembangan, seperti “constitutional delay” merupakan periode perkembangan normal tetapi tercapai pada tahap akhir usia perkembangan. 6. Gangguan postur dan gangguan fungsi respirasi 7. Gangguan pendengaran 130

Kontribusi Disfungsi Artikulasi/Resonansi terhadap Gangguan Berbicara Gangguan artikulasi meliputi gangguan bunyi bicara dimana masalahnya adalah mekanisme produksi motorik bicara. Berupa distorsi, omisi, substitusi dan anak tidak dapat mengucapkan kata secara benar.

Gangguan berbicara yang berhubungan dengan kelainan artikulasi / resonansi termasuk gangguan yang merupakan hasil dari kerusakan dari komponen sistem artikulasi / resonansi, di mana hal tersebut cukup komprehensif. Termasuk di dalamnya adalah semua gangguan motor speech, termasuk disartria dan apraksia dan juga gangguan yang diakibatkan oleh kongenital seperti cleft palate. Gangguan kelancaran (Gagap)

Setiap kali anak berusaha berbicara terjadi pengulangan, perpanjangan atau penghentian kata atau bagian dari kata secara involunter. Ada beberapa pola bicara yang ditemukan pada anak yang gagap, diantaranya pengulangan frase, kata, silabus, pembetulan dan kata seru. Seringkali ketidaklancaran dimulai pada tahun pertama masa perkembangan paling cepat. Pada kebanyakan anak, gagap biasanya terkoreksi saat usia taman kanak-kanak. Sekitar 50%-80% anak yang gagap pada usia muda menjadi normal tanpa bantuan.

Keterlambatan bahasa berarti bahwa pengertian anak, pengetahuan akan konsep dan/atau kemampuan untuk mengekspresikan dirinya secara verbal tidak sesuai dengan apa yang diharapkan untuk anak seusianya. Gangguan berbahasa adalah gangguan pemahaman, penggunaan bahasa lisan, tulisan dan atau pemakaian sistim simbol (American Speech Language Hearing Association,1993). Termasuk di dalamnya setiap keterlambatan atau ketidakmampuan yang mempengaruhi kemampuan anak dalam memahami bahasa (bahasa reseptif) dan atau menggunakan kata atau gerak tubuh (bahasa ekspresif) Gangguan berbahasa meliputi satu atau kombinasi dari gangguan: 1. Bentuk bahasa (fonologi, morfologi, sintaks)

Gangguan fonologi meliputi kesalahan bunyi yang mempengaruhi suatu grup bunyi atau rangkaian bunyi. Contoh : meniadakan konsonan akhir dari suatu kata atau mengganti suatu bunyi dengan bunyi lain seperti susu jadi cucu, bola jadi boa, makan jadi makang atau matan. 2. Isi bahasa (semantik) 3. Fungsi bahasa dalam komunikasi (pragmatik) 131

Penyebab gangguan berbahasa 1. Afasia perkembangan 2. Retardasi mental 3. Kesulitan belajar 4. Psikosis masa kanak (childhood schizophrenia, autism) 5. Tuli kongenital 6. Palsi serebral berat 7. Deprivasi sosial (deprivasi maternal, deprivasi lingkungan, isolasi sosial, stimulasi yang tidak adekuat) 8. Penyebab lain (over proteksi maternal) Secara umum gangguan berbahasa dapat dikelompokkan menjadi gangguan yang berhubungan dengan : 1. defisit kognitif 2. autism dan gangguan perkembangan 3. gangguan pendengaran 4. faktor sosial / lingkungan 5. gangguan atau penyakit lain Gangguan komunikasi

1. adalah ketidakmampuan untuk menerima, mengirim, memproses, memahami konsep atau verbal, non verbal dan graphic system symbol. 2. dapat terjadi pada proses pendengaran, berbahasa dan atau berbicara. 3. dapat berkisar dari yang ringan sampai berat sekali.

4. dapat terjadi selama proses perkembangan atau didapat oleh karena sebab tertentu.

5. dapat merupakan disabilitas primer atau sekunder dari disabilitas lain (American Speech Language Hearing Association, 1993).

Saat ini belum ada kesepakatan definisi dalam hal adanya gangguan atau keterlambatan. Dalam panduan ini definisi operasional yang digunakan adalah sebagai berikut :

1. Gangguan komunikasi adalah ketidakmampuan untuk menerima, mengirim, memproses, memahami konsep atau verbal, non verbal dan graphic system symbol 2. Keterlambatan komunikasi digunakan bila tingkat perkembangan komunikasi secara bermakna berada di bawah tingkat usia yang diharapkan. 132

Keterlambatan dan gangguan/ kelainan bahasa, bicara dan gangguan menelan dan oral oral motor yang menjadi bidang garap Terapi Wicara tersebut adalah sebagai berikut : 1. Gangguan Wicara (artikulasi), yang meliputi : a. Disaudia b. Dislogia c. Disartria d. Disglosia e. Dislalia f. Apraksia

2. Gangguan Bahasa, yang meliputi : a. Aphasia Perkembangan b. Aphasia Dewasa c. Gangguan komunikasi pada hemisfer kanan d. Demensia

3. Gangguan Suara, meliputi : a. Disfonia yang terdiri dari : Gangguan nada, Gangguan kenyaringan, Gangguan kualitas b. Afonia

4. Gangguan Irama / Kelancaran, meliputi : a. Gagap b. Latah

5. Gangguan Menelan (Disfagia) dan gangguan oral motor

Pokok Bahasan 6 : Diagnosis Fungsi Gangguan Bicara-Bahasa Diagnosis ditegakkan berdasarkan: 1. 2. 3. 4. 5.

Riwayat keluarga Riwayat perkembangan bicara bahasa Riwayat perkembangan sosial dan kognitif Riwayat fungsi oromotor dan makan Tanda dan gejala dapat dideteksi melalui tahapan perkembangan anak secara menyeluruh baik aspek perkembangan motor kasar, motor halus; personal sosial dan bahasa 6. Pemeriksaan fisik. Pemeriksaan umum termasuk parameter pertumbuhan (berat badan, panjang badan; dan lingkar kepala), dismorfik wajah, atau kelainan neurologi, kemampuan berbahasa reseptif dan ekspresif (sintak, semantik, pragmatik dan fonologi), kualitas suara, resonansi dan kelancaran bahasa. 133

EVALUASI PRAGMATIS

Dengan mengobservasi komunikasi anak dengan penggunaan bahasa verbal

Abnormal

EVALUASI TINDAKAN NON VERBAL

Menggunakan observasi kontak mata, obyek, main peran, gesture, dll Abnormal

Normal

EVALUASI KECERDASAN NON VERBAL

Menggunakan tes standar penggunaan performa intelegensia

Normal

PDD, Autisme Bicara hanya pada saat – saat tertentu atau pada orang tertentu Elective Mutism (Bisu Efektif)

Abnormal

Retardasi mental, bisa disertai dengan diagnosis lain



Normal

EVALUASI WICARA DAN BAHASA

Pokok Bahasan 7 : Intervensi pada Penatalaksanaan Gangguan BicaraBahasa Tujuan terapi untuk individu perlu diidentifikasi dengan jelas dan didefinisikan dengan hasil yang dapat diukur. Tidak ada jenis intervensi bicara/bahasa yang terbaik untuk semua anak. Jenis intervensi ditujukan langsung pada permasalahan komponen tertentu dari bahasa (seperti pengucapan dan tata bahasa), karena perbaikan dalam satu area tidak selalu menyebabkan perbaikan pada area lainnya. Intervensi hendaknya juga memperhatikan tingkat perkembangan dan bahasa, kekuatan dan kebutuhan anak tersebut. Intervensi sebaiknya difokuskan pertama-tama pada peningkatan jumlah, variasi, dan keberhasilan komunikasi verbal dan non verbal, selanjutnya jika diperlukan pada intelligibility (kejelasan).

Intervensi dini dapat mempercepat perkembangan bahasa anak secara keseluruhan dan memberikan hasil fungsional jangka panjang yang lebih baik. Evaluasi menyeluruh, termasuk uji terstandar yang tepat, penting untuk membandingkan kemajuan anak dengan perkembangan anak lain seusianya. Evaluasi menyeluruh sebaiknya dilakukan setidaknya satu kali dalam setahun. 134

Tujuan Tatalaksana 1. Tujuan utama penanganan kasus anak dengan keterlambatan bicara adalah meminimalisasi rasa frustasi pada anak dan orangtua 2. Anak dapat membaca dengan suara keras 3. Memberikan informasi kepada keluarga 4. Terapi :

a. Pada masalah pendengaran perlu penggunaan alat bantu dengar atau penggunaan implant koklea b. Penanganan masalah infeksi telinga c. Edukasi

5. Terapi wicara dengan jenis sesuai kebutuhan, yaitu : a. b. c. d. e. f.

Oral Motor Pengucapan (Articulation) Kosakata & Konsep Bahasa Ketrampilan Berkomunikasi (Communication Skills) Ketrampilan Pragmatik (Pragmatic Skills) Ketrampilan Akademis (Academic Skills)

Beberapa prinsip utama terkait konsep intervensi gangguan komunikasi:

a. Intervensi adalah proses dinamis dimana tim medis akan selalu memantau perkembangan pasien dalam kaitannya mencapai tujuan pengobatan sesuai keperluan

b. Program intervensi bahasa sebaiknya didesain dengan pertimbangan cermat terkait kemampuan kognitif nonverbal anak. c. Tujuan akhir dari intervensi bahasa adalah mengajar strategi untuk memfasilitasi proses akuisisi bahasa.

d. Bahasa diperoleh dan digunakan terutama untuk tujuan komunikasi, sehingga harus diajarkan dalam konteks komunikatif. Sedapat mungkin, terapi bahasa harus terjadi dalam situasi yang realistis dan memberikan anak kesempatan untuk terlibat dalam interaksi verbal yang bermakna e. Intervensi bahasa harus berorientasi individual dan didasarkan pada sifat defisit bahasa anak secara spesifik dan gaya belajar masing-masing f. Intervensi harus dirancang untuk memastikan bahwa pengalaman anak secara konsisten sukses dalam seluruh tahapan program terapi

g. Intervensi bahasa efektif bila tujuan terapi ini dirancang untuk meningkatkan pengetahuan anak satu langkah di luar langkah saat ini 135

Intervensi pada neonatus (0 hingga 2 tahun) Neonatus memiliki kemampuan perkembangan yang pesat terkait fungsi kognitif, sosial dan perilaku komunikatif yang mendasari kemampuan sistem berbahasa. lntervensi dini penting untuk dilakukan terhadap neonatus dengan faktor risiko antara lain lahir prematur, BBLR, riwayat keluarga, komplikasi medis tertentu, dan lain sebagainya. Intervensi yang dilakukan dalam dua tahun pertama kehidupan merupakan saat yang tepat karena terkait perkembangan saraf dan kemampuan belajar otak yang masih dalam tahap perkembangan pesat. Intervensi dini dititikberatkan pada partisipasi keluarga dan edukasi. Pendekatan keluarga memudahkan dalam pemenuhan kebutuhan anak sesuai kultur, sosial dan ekonomi yang ada. Selain itu dibutuhkan juga pendekatan interdisipliner dan transdisipliner dalam menangani intervensi bahasa pada neonatus. Paparan berulang dan stimulasi adalah strategi terapi yang cocok untuk neonatus. Kemampuan prelinguistik dan kemampuan berbahasa dini terrmasuk dalam terapi utama terhadap program intervensi neonatus, akan dijabarkan, sebagai berikut: a. Lokalisasi

Neonatus menunjukan respon terhadap suara dengan menoleh dan mencari sumber suara tersebut. Hubungan auditori-visual ini menandakan awal konseptual neonatus dalam mempelajari hubungan sebab-akibat. Dokter dapat memperkuat kemampuan melokalisasi pada neonatus dengan memberikan stimulasi suara diluar lapang pandang bayi. Bayi akan merespon dengan menolehkan kepala dan mencari sumber suara tersebut. Jika bayi tidak merespon, dokter bisa membantu dengan menolehkan kepala bayi secara perlahan ke arah sumber suara untuk memperkuat kemampuan hubungan sebab-akibat. Berikut dijabarkan acuan tingkat respon yang sesuai dengan perkembangan bayi:

a) b) c) d) e)

3 hingga 4 bulan : mencoba menengokkan kepala 4 hingga 7 bulan : lokalisasi hanya ke samping 7 hingga 13 bulan : lokalisasi ke samping ataupun ke bawah 13 hingga 21 bulan : lokalisasi ke sisi samping, bawah ataupun atas 21 hingga 24 bulan : lokalisasi ke berbagai sudut

b. Joint attention

Kebersamaan dalam pemberian suatu perhatian mendasari suksesnya suatu komunikasi. Perhatian antara orang dewasa dan bayi memberi gambaran sekilas hubungan antara percakapan dengan konsep / objek yang mereka 136

wakili. Brunner (1977) mengatakan bahwa perhatian secara visual sebagai dasar dari jenis komunikasi lainnya. Salah satu cara efektif dalam melatih komunikasi visual adalah dengan memberikan suatu gambar ataupun benda bersuara di depan bayi, sambil menggoyangkan benda atau menolehkan kepala bayi hingga tercipta kontak mata terhadap benda. Terkadang dapat juga dilakukan hingga bayi mengenal nama benda tersebut.

c. Joint action dan rutinitas



Joint action antara orang dewasa dengan bayi dapat dilakukan melalui suatu permainan suara-isyarat seperti “cilukbaa”, “kutangkap kau”. Routine adalah pertukaran ritual antara orang dewasa dan bayi. Routine memiliki struktur pasti dengan awal, pertengahan dan akhir yang jelas, dan posisi khusus untuk olah vokal dan bahasa verbal yang sesuai.

Struktur ini dapat membantu mengantisipasi kejadian dan meningkatkan potensi kesuksesan dan interaksi antara orang dewasa dengan anak. Hal ini dapat memastikan keduanya dapat saling mengerti dan memperkirakan keinginan masing-masing. Ratner dan Bruner (1978) menemukan bahwa bahasa antara orang dewasa dan anak-anak memiliki suatu keterbatasan dan berada dalam konsep pengulangan pada anak-anak. Keteraturan dan ketidakseragaman dari routine ini membantu bayi untuk memecahkan kode bahasa dan membuat kata-kata pertamanya (Ferrier 1978, Newson 1979).

d. Olah vokal



Di tahun pertama kehidupan dicirikan sebagai perkembangan tubuh secara pesat dan maturasi sistem neuromuskular. Selain itu terjadi juga perkembangan kemampuan berkomunikasi dan berbicara terhadap berbagai bentuk olah vokal. Perkembangan kemampuan vokal repertoar bisa dikembangkan dengan meningkatkan frekuensi variasi, ataupun kualitas olah vokal bayi.

Dokter dapat menstimulasi kemampuan olah vokal bayi dengan mengajak berbicara, menyanyi, bersenandung, bergurau, ataupun bermain suaraisyarat. Permainan menirukan suara suatu objek dapat membantu bayi dalam berolah vokal, m seperti suara motor (‘broom”), suara sapi (‘mooo”) suara telepon (‘kringkring”), dan lain sebagainya.

e. Berkomunikasi intensif

Pada usia 9 bulan, bayi mulai mampu menyampaikan pesan dan mengekspresikan keinginannya melalui perilaku dan berbicara. Permintaan dan pernyataan adalah tahap berbicara awal pada bayi. Permintaan merupakan cara berkomunikasi yang dilakukan bayi, untuk mendapatkan sesuatu hal. Sedangkan pernyataan adalah cara bayi untuk mengarahkan perhatian orang dewasa kepada suatu hal. 137

Tahapan Komunikasi Preverbal : Tahapan

1. Mencari perhatian a. Terhadap diri sendiri b. Terhadap kejadian, objek, atau orang lain 2. Permintaan a. Objek b. Tindakan c. Informasi 3. Sapaan 4. Pemindahan 5. Memprotes/menolak 6. Merespon/mengakui 7. Memberitahu

Contoh Deskripsi Anak menarik celana ibunya agar diperhatikan Anak menunjuk pesawat untuk menarik perhatian ibunya terhadap pesawat itu

Anak menunjuk mainan yang dia inginkan Anak membawakan buku cerita kepada ibunya untuk dibacakan Anak menunjuk ke tempat biasanya ada tempat selai sambil melakukan kontak mata dengan ibunya dan menanyakan dimana tempat selai itu berada Anak mengatakan “hai” atau “dadah” Anak memberikan mainan yang baru saja dimainkannya kepada ibunya Anak menangis ketika ibunya mengambil mainannya. Anak menyingkirkan makanan bubur yang diberikan kepadanya Anak merespon dengan tepat ke arah sederhana. Anak tersenyum ketika orang tua memulai permainan favoritnya Anak menunjuk ke roda mobil-mobilannya untuk memperlihatkan bahwa mainannya rusak

138

f. Permainan non-simbolik dan simbolik

Permainan merupakan sarana yang baik untuk belajar, baik pada bayi maupun anak. Dalam bermain, bayi dan anak-anak belajar mengembangkan kemampuan bersosialisasi. Terdapat dua jenis permainan, yaitu permainan non-simbolik (seperti berlari, mengisi dan mengosongkan kotak, dan bermain air) dan permainan simbolik (seperti berbicara melalui telepon kaleng, mengibaratkan tongkat sebagai pedang). Permainan-permainan ini dapat membantu bayi dan anak dalam belajar berbahasa.

g. Kosakata pertama

Bayi mulai mengerti beberapa kata lazim antara usia 6-8 bulan, sementara mengucapkan kata pertama dengan benar terjadi sekitar usia 1 tahun. Intervensi untuk membantu penerimaan kosakata umumnya merupakan pemunculan berulang kata-kata target sebagaimana penggunaan pola intonasi vokal berlebihan terhadap aspek-aspek penting objek atau kejadian.

Intervensi pada anak (2-5 tahun)

Selama masa perkembangan, sistem linguistik mendapatkan porsi besar. Periode ini ditandai dengan perkembangan pesat dalam kosakata, kemampuan membentuk kalimat, meningkatnya panjang pengucapan, munculnya bentuk-bentuk morfologi dan pemahaman kompleksitas.

Tabel Relasi Dua Kata Semantik

Hubungan Contoh

Agen + aksi

Mama makan, papa setir

Agen + aksi

Sepatu papa, topi nenek



Aksi + objek



Benda + sifatnya

Anjing besar, gadis cantik

Rekurensi

Tambah jus, kue lagi



Makan kue, lempar bola



Benda + kepemilikannya



Tidak nyata

Tidak ada ranjang, susu habis

Benda + lokasi

Kursi ayah





Benda + penunjukan



Aksi + lokasi



Mobil papa, botol kecil Gelas ini, kucing itu

139

Pulang ke rumah

Intervensi pada anak (5-10 tahun) Periode ini merupakan masa-masa anak menggunakan bahasa sebagai alat untuk mendapatkan pendidikan sebagaimana bentuk lainnya pengetahuan. Masa-masa genting peralihan terjadi pada saat anak berada di kelas 3-4, yaitu saat “belajar membaca” menjadi “membaca untuk belajar”. Pada masa-masa ini, dapat diasumsikan bahwa anak telah menguasai keterampilan prasyarat tertentu, seperti pengaplikasian cepat dan otomatis pengetahuan, strategi pengaturan diri sendiri, dan kebiasaan bekerja mandiri. Terlebih lagi, anak diharapkan dapat mencapai tuntutan yang semakin meningkat terhadap materi bahasa oral dan tertulis yang kompleks.

Perkembangan penting selama periode ini adalah munculnya kesadaran metalinguistik atau kesadaran berbahasa. Hal ini melibatkan kemampuan untuk mengolah pesan linguistik menjadi bagian-bagian komponen dan objektif, menganalisis mereka dalam menentukan makna yang disampaikan oleh pesan. Berbagai bahasa banyak membutuhkan kemampuan untuk memanipulasi bahasa itu sendiri sebagai suatu entitas termasuk kemampuan untuk mengapresiasi humor, menafsirkan idiom, membuat penilaian tata bahasa, dan segmen/paduan suara pidato. Intervensi dini terhadap gangguan bicara dan bahasa kategori kasus ringan

Tujuan terapi untuk individu perlu diidentifikasi dengan jelas dan didefinisikan dengan hasil yang dapat diukur. Tidak ada jenis intervensi bicara/bahasa yang terbaik untuk semua anak. Jenis intervensi ditujukan langsung pada permasalahan komponen tertentu dari bahasa (seperti pengucapan dan tata bahasa), karena perbaikan dalam satu area tidak selalu menyebabkan perbaikan pada area lainnya. Intervensi hendaknya juga memperhatikan tingkat perkembangan dan bahasa, kekuatan dan kebutuhan anak tersebut. Intervensi sebaiknya difokuskan pertamatama pada peningkatan jumlah, variasi, dan keberhasilan komunikasi verbal dan non verbal, selanjutnya jika diperlukan pada intelligibility (kejelasan).

Intervensi dini dapat mempercepat perkembangan bahasa anak secara keseluruhan dan memberikan hasil fungsional jangka panjang yang lebih baik. Evaluasi menyeluruh, termasuk uji terstandar yang tepat, penting untuk membandingkan kemajuan anak dengan perkembangan anak lain seusianya. Evaluasi menyeluruh sebaiknya dilakukan setidaknya satu kali dalam setahun.

140

Keterlibatan Orang Tua dalam Intervensi Orang tua, sampai tahap mereka mau dan mampu, perlu dilibatkan dalam pengkajian dan intervensi anak mereka untuk memahami gangguan bahasa anak, pilihan terapi, prognosis, serta tujuan, metode dan hasil obyektif dari terapi. Keputusan mengenai tahapan keterlibatan orang tua dalam intervensi spesifik untuk tiap kasus dan dipertimbangkan berdasarkan; a. Kesiapan dan minat orang tua untuk berpartisipasi b. Karakteristik lingkungan rumah

c. Ketersediaan sarana penunjang latihan dan tenaga profesional

Sangat penting untuk mempertimbangkan dan menghargai budaya dan bahasa primer dalam keluarga saat menetapkan intervensi. Intervensi sebaiknya menggunakan bahasa primer yang dipakai di rumah, agar interaksi dan komunikasi yang alami dapat terjadi antara anak dan keluarga.

Karena keterlibatan orang tua merupakan suatu kesatuan dalam perkembangan bicara dan bahasa, maka para ahli yang terlibat dalam edukasi dan latihan orang tua, hendaknya kompeten dalam bahasa keluarga dan terbiasa dengan budaya mereka. Jika seorang ahli yang fasih dalam bahasa primer anak tidak tersedia, direkomendasikan ada seseorang penerjemah yang dilatih khusus membantu ahli dalam intervensi. Pokok Bahasan 8 : Program Intervensi Terapi Wicara pada Gangguan BicaraBahasa Program terapi wicara dibuat dengan menyesuaikan kondisi klien/pasien yang bersangkutan, tetapi secara umum pelayanan terapi wicara pada kasus anak ( Tumbuh Kembang ), meliputi :

1. Mengidentifikasi gangguan komunikasi yang diderita anak. 2. Pelayanan dan penatalaksanaan terapi dilakukan sedini mungkin. 3. Pendekatan pelayanan dilakukan secara multidisipliner, yaitu kerjasama dengan ahli-ahli lain yang terkait termasuk dalam hal ini adalah guru dan orang tua anak. 4. Menegakkan diagnosa sesuai dengan hasil asessmen melalui wawancara dengan orang tua dan keluarga serta observasi dan tes yang dilakukan oleh ahli terapi wicara. 5. Menyusun program penatalaksanaan terapi. 6. Melaksanakan program terapi yang telah dibuat oleh ahli terapi wicara. 7. Mengevaluasi hasil pelaksanaan terapi. 141

Deskripsi Alur Pelayanan : a. Kunjungan Klien

Pada tahap ini klien memulai pelaksanaan terapi wicara. Kunjungan klien dapat berasal dari rujukan (sesama profesi, dokter, ahli terkait), dan non rujukan/mandiri.

b. Tahap skrining

Pada tahap ini klien mendapat pemeriksaan awal yang mengarahkan temuan ada tidaknya gejala yang mengarah kepada dugaan gangguan. •

Apabila tidak ditemukan gejala, maka terapis wicara melaporkan kembali hasil skrining kepihak perujuk. Terapis wicara melakukan edukasi kepada pihak keluarga untuk mengembangkan kemampuan komunikasi klien.

• Apabila ditemukan gejala adanya dugaan gangguan maka terapis wicara mulai melakukan pengkajian data.

c. Tahap pengkajian •

Perolehan Data

1. Wawancara

Percakapan yang diarahkan pada suatu masalah yang berkaitan dengan perilaku komunikasi dan menelan, ini biasanya merupakan proses tanya jawab lisan, dimana dua orang atau lebih ( terutama dengan klien ) anggota keluarga dan teman.

2. Pengamatan

Suatu cara yang disengaja, langsung sistimatis yang bertujuan pada penilaian jawaban, reaksi yang dapat dilihat, dihitung, dan dicatat, berkaitan dengan perilaku komunikasi dan menelan.

3. Tes

Suatu cara pemeriksaan yang bertujuan untuk dapat mengukur kemampuan dasar / awal klien dengan menggunakan alat ukur yang obyektif dan subyektif, berkaitan dengan perilaku komunikasi dan menelan.

4. Studi Dokumentasi.

Suatu cara pemeriksaan dengan mempelajari hasil pemeriksaanpemeriksaan ahli yang terkait. Apabila tidak ada dan dirasakan perlu, hendaknyya terapis wicara merujuk ke ahli tim terkait sesuai dengan kebutuhan klien. 142



Pengolahan data

1) Validasi data Mengecek kembali data-data yang ada terutama yang diragukan keabsahannya untuk menyakinkan bahwa data yang diperoleh berdasarkan pengkajian dan fakta adalah akurat.

2) Analisa data Usaha untuk menemukan, menghubungkan, bahan, pendapat, keterangan, sehingga dapat menguraikan secara obyektif, sistematis dan kuantitatif perilaku komunikasi dan gangguan menelan, sebagai dasar untuk menegakan diagnosa, prognosa dan tahap pengembangan program

3) Perumusan data/Penegakan Diagnosis Penetapan dari suatu jenis penyakit ketidak normalan, kelainan, gangguan, yang diperoleh dari hasil analisa kumpulan gejala-gejala yang nampak penyebabnya, perkembangannya berdasarkan prosedur yang ada. 4) Prognosis Prediksi yang telah dipertimbangkan dengan teliti mengenai cara, lama, keefektifan, kesulitan, dan kesembuhan dari suatu penyakit/ gangguan perilaku komunikasi dan gangguan menelan.

5) Akhir dari tahap ini terapis wicara sudah dapat menemukan profil kemampuan komunikasi klien.

d. Tahapan Tindakan Terapi Wicara 1) Perencanaan

Pada tahap ini Terapis Wicara merencanakan program terapi secara matang untuk menentukan pengambilan keputusan berhubungan dengan tindakan yang akan dilaksanakan, sehingga dapat mencapai hasil yang optimal secara efektif dan efisien. Perencanaan disusun dengan menggunakan format sebagai berikut: •

Tujuan dan program terapi a. Jangka panjang b. Jangka pendek c. Harian 143



Metode terapi.



Materi / alat -alat terapi



• •

Di dalam pemilihan metode terapi wicara harus disesuaikan dengan jenis gangguan. Didalam pemilihan alat-alat terapi wicara harus disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan. Waktu Pelaksanaan terapi a. Lamanya terapi dalam setiap pertemuan : 30-60 menit. b. Frekwensi kunjungan : 1-6 kali/minggu

Tempat pelaksanaan terapi : a. Ruang khusus terapi ( individu atau kelompok ) b. Ruang terapi wicara

2) Pelaksanaan Penerapan tindakan terapi sesuai dengan rencana program terapi jangka pendek dan jangka panjang yang dilaksanakan secara harian.



• Tujuan dan programnya • Metode/teknis terapi • Alat terapi • Pelaksanaan terapi : berisi langkah-langkah yang dilakukan • Evaluasi • Advis dan tindak lanjut Selain itu perlu dilengkapi dengan daftar hadir yang ditanda tangani pihak keluarga klien.

3) Hasil Pelaksanaan program terapi Setiap pertemuan terapis wicara menyusun tujuan dan program terapi harian disesuaikan dengan diagnosisnya. 4) Evaluasi Suatu tindakan atau proses untuk menentukan tingkat keberhasilan terapi. •

Evaluasi dilaksanakan setiap akhir pertemuan dan pada akhir terapi jangka pendek. 144



Evaluasi dimaksud untuk mendapatkan informasi kemampuan klien yang telah dicapai yang berfungsi untuk menetapkan tindak lanjut.

• Setelah evaluasi dilaksanakan terapis mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak keluarga klien. e. Rekomendasi dan Tindak Lanjut

Pada tahap ini tindakan terapi telah selesai. Alasan penyelesaian program terapi bisa dikarenakan :

• Tujuan program terapi telah tercapai keseluruhan. Kemampuan komunikasi klien telah berfungsi secara optimal. Terapis Wicara memberikan rekomendasi yang bersifat memelihara kemampuan komunikasi yang telah dicapai.

• Tindakan terapi dihentikan. Proses ini dilakukan apabila klien tidak mencapai kemajuan atau klien tidak memungkinkan untuk diberikan tindakan terapi. Terapis wicara memberikan rekomendasi penggunaan alternatif lain untuk klien berkomunikasi. •

Perujukan tindakan terapi. Proses ini dilakukan apabila klien memerlukan penanganan dari ahli lain karena klien belum / tidak memungkinkan untuk melanjutkan terapi wicara, atau karena permintaan klien sendiri. Terapis Wicara juga dapat memberikan rekomendasi sesuai yang dibutuhkan klien.

VII. EVALUASI 1. Jelaskan definisi dan fungsi komunikasi

2. Sebutkan prasyarat agar dapat berkomunikasi dengan baik

3. Jelaskan perkembangan normal fungsi bicara-bahasa pada anak 4. Jelaskan skrining perkembangan bicara-bahasa pada anak 5. Sebutkan jenis-jenis gangguan bicara-bahasa

6. Bagaimana diagnosis fungsi gangguan bicara-bahasa

7. Jelaskan intervensi pada penatalaksanaan gangguan bicara-bahasa 8. Bagaimana program intervensi terapi wicara

145

VIII. RANGKUMAN Komunikasi adalah proses yang digunakan untuk bertukar informasi termasuk kemampuan memahami dan menghasilkan pesan. Perkembangan komunikasi dimulai pada saat bayi, dan berkembang sejalan dengan kemajuan perkembangan anak dimana untuk memperoleh kemampuan berbahasa diperlukan pembelajaran beberapa keterampilan, yang dalam kombinasinya akan memungkinkan anak untuk berkomunikasi secara efektif. Gangguan komunikasi adalah ketidakmampuan untuk menerima, mengirim, memproses, memahami konsep atau verbal, non verbal dan graphic system symbol. Untuk dapat melakukan terapi pada gangguan komunikasi diperlukan identifikasi yang jelas dan didefinisikan dengan hasil yang dapat diukur. Pendekatan interdisipliner dan transdisipliner serta partisipasi keluarga penting dalam penanganan gangguan komunikasi. IX. DAFTAR PUSTAKA 1. Buku Pedoman Penanganan Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang. Kementerian Kesehatan RI

2. Smith C, Hill J. Language Development and Disorders of Communication in Molnar GE, Alexander MA Pediatric Rehabilitation 3rd edition. HANLEY and BELFUS. Philadelpia. 1999: 57-80 3. New York State Department of Health. Clinical Practice Guideline Communication disorders Assessment and intervention for Young children (Age 0-3 Year). New York State Department of Health

4. Driver L. Ayyangar R.Tubbergen MV.Language Development i Disorders of Communication and Oral Motor Function in Alexander MA. MatthewsDJ. Pediatric Rehabilitation Principles and Practice.Fourth Edition.Demos Medical. New York 5. Sen P, Vasudeva R. No More Baby Talk. Pearson Education Asia Pte Ltd. Singapore. 2002.

146

MODUL 7 GANGGUAN MENTAL, EMOSIONAL DAN PERILAKU

I. DESKRIPSI SINGKAT Perkembangan mental, emosional dan perilaku, penegakan diagnosis gangguan mental, emosional, dan perilaku serta penatalaksanaan kasus gangguan mental, emosional, dan perilaku merupakan kondisi yang harus diperhatikan dan menjadi fokus dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan seorang anak.

Materi pelatihan ini memberi pengetahuan kepada dokter spesialis anak, dokter umum dan profesi kesehatan lainnya untuk menerima pendelegasian wewenang dari dokter spesialis Kedokteran Jiwa dalam menangani anak dengan retardasi mental dan gangguan perkembangan pervasif. Bila ditemukan gangguan mental, emosional dan perilaku, maka harus dirujuk ke level yang lebih tinggi agar memperoleh penanganan yang lebih tepat. Metode yang digunakan dalam modul ini adalah ceramah, tanya jawab, studi kasus, dan praktik

II. TUJUAN PEMBELAJARAN

A. Tujuan Pembelajaran Umum

Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu menjelaskan, melakukan diagnosis (khusus untuk dokter dan dokter anak), serta intervensi psikososial dini dan bekerjasama dalam tim untuk menangani kasus dengan gangguan mental, emosional dan perilaku; yaitu kasus dengan retardasi mental dan gangguan perkembangan pervasif. B. Tujuan Pembelajaran Khusus

Setelah mempelajari materi ini, peserta mampu:

1. Menjelaskan latar belakang teoritik terjadinya retardasi mental, gangguan perkembangan pervasif

2. Melakukan intervensi dini psikososial berupa psikoedukasi keluarga mengenai retardasi mental, gangguan perkembangan pervasif

III. POKOK BAHASAN

1. Faktor etiologi, faktor risiko terjadinya retardasi mental dan gangguan perkembangan pervasif.

2. Kriteria diagnostik untuk retardasi mental dan gangguan perkembangan pervasif 147

3. Cara melakukan penegakan diagnosis dengan menggunakan wawancara psikiatrik (khusus dokter dan dokter anak). 4. Masalah hendaya dan peran keluarga pada anak dengan retardasi mental dan gangguan perkembangan pervasif. 5. Kebutuhan akan pendekatan edukasi yang lebih spesifik pada anak dengan retardasi mental dan gangguan perkembangan pervasif.

IV. BAHAN BELAJAR

1. Modul gangguan mental, emosional dan perilaku 2. Bahan referensi

V. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN

Berikut merupakan langkah-langkah kegiatan pembelajaran: Langkah 1: Pengkodisian peserta (5 Menit)

Langkah pembelajaran: • Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum pernah menyampaikan sesi di kelas, mulailah dengan perkenalan. Perkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkap, instansi tempat bekerja, materi yang akan disampaikan. • Sampaikan tujuan pembelajaran materi ini dan ruang lingkup pokok bahasan yang akan disampaikan, sebaiknya dengan menggunakan bahan tayang. • Fasilitator menggali pendapat peserta tentang pokok bahasan Langkah 2. Penyampaian Materi/ Pokok Bahasan (85 Menit) Langkah pembelajaran: • • •

• •

Fasilitator menyampaikan paparan seluruh materi sesuai urutan pokok bahasan dan sub pokok bahasan dengan menggunakan bahan tayang. Fasilitator menyampaikan materi dengan metode ceramah tanya jawab, kemudian curah pendapat. Fasilitator memberikan kesempatan kepada peserta untuk menanyakan halhal yang kurang jelas, serta menjawab pertanyaan yang diajukan peserta atau terlebih dahulu meminta peserta lain untuk menjawab Fasilitator melanjutkan materi pokok bahasan dengan memberi contoh melalui demonstrasi konsep International Classification of Functioning (ICF) Fasilitator menyimpulkan materi pokok bahasan dengan meminta masukan dari peserta Fasilitator melakukan klarifikasi atas kesimpulan yang dikemukakan oleh peserta 148

Langkah 3. Penugasan/ praktik (60 Menit) Langkah pembelajaran: 1. Peserta melakukan penatalaksanaan berdasarkan konsep International Classification of Functioning (ICF) 2. Peserta diminta untuk memberi komentar/tanggapan 3. Fasilitator mengklarifikasi atas komentar/tanggapan peserta Langkah 4. Rangkuman dan Kesimpulan (30 Menit)

Langkah pembelajaran: 1. Fasilitator melakukan evaluasi untuk mengetahui penyerapan peserta terhadap materi yang disampaikan dan pencapaian tujuan pembelajaran. 2. Fasilitator merangkum poin-poin penting dari materi yang disampaikan. 3. Fasilitator membuat kesimpulan. 4. Fasilitator menutup sesi pembelajaran dengan menyampaikan ucapan terima kasih dan salam penutup.

VI. URAIAN MATERI

Pokok Bahasan 1: Retardasi Mental Definisi Retardasi mental adalah suatu kondisi yang ditandai dengan : Fungsi intelek yang dibawah normal (IQ<70), hambatan dalam kemampuan adaptif, yaitu kemampuan merawat diri, komunikasi, tinggal dirumah, fungsi sosial, kesehatan, keselamatan, fungsi akademik dan bekerja, dan manifes dalam masa perkembang (sebelum usia 18 tahun).

Epidemiologi Sekitar 3% dari seluruh populasi mempunyai IQ kurang dari 70. Delapan puluh sampai 90% merupakan retardasi mental ringan, dan kebanyakan berasal dari golongan sosial ekonomi yang kurang. Hampir 10% merupakan retardasi mental berat dan sangat berat, dan dapat berasal dari berbagai tingkat sosial ekonomi. Anak-anak retardasi mental dapat menimbulkan masalah klinis maupun masalah sosial, dimana masalah sosial kadang-kadang lebih besar dari masalah klinisnya karena mereka selalu membutuhkan perawatan dan bimbingan dalam menjalankan kehidupan mereka sehari-hari. Etiologi dan Patogenesis

Penyebab retardasi mental sangat kompleks dan multifaktorial. Beberapa faktor dapat saling memberatkan sehingga terjadi gangguan fungsi otak yang merupakan dasar terjadinya retardasi mental. Beberapa faktor yang potensial menyebabkan retardasi mental antara lain; 149

1. Faktor prakonsepsi, seperti kelainan genetik, kromosom atau mitokondria, misal pada Sindroma Fragile-X, penyakit inborn error metabolism. 2. Faktor pranatal, seperti kelainan kromosom (sindroma Down), infeksi (TORCH), teratogen (alkohol, radiasi), ibu malnutrisi, ibu DM, ibu toxemia gravidarum. 3. Faktor perinatal, seperti kelahiran prematur, BBLR, asfiksia, trauma lahir, hipoglikemia, hiperbilirubinemia, infeksi (meningitis). 4. Faktor postnatal, seperti trauma kepala, infeksi (ensefalitis, meningitis), asfiksia, gangguan metabolik, toksin, malnutrisi. 5. Faktor lingkungan, seperti kemiskinan, keluarga yang tidak harmonis, interaksi anak-pengasuh yang tidak baik, sosiokultural, penelantaran anak. 6. Penyebab yang tidak diketahui. Klasifikasi

Berdasarkan nilai IQ, retardasi mental dapat dikelompokkan sebagai : 1. Retardasi mental ringan, IQ 70 – 50 2. Retardasi mental sedang, IQ 49 – 35 3. Retardasi mental berat, IQ 34 - 20 dan 4. Retardasi mental sangat berat, IQ kurang dari 20.

Retardasi mental dapat juga dikelompokkan berdasarkan kemampuan sosial dan pendidikan yang dapat dicapai yaitu:

1. Retardasi mental ringan sebagai mampu didik, mereka dapat diajar baca dan tulis serta dapat diberi latihan keterampilan tertentu yang akan berguna bagi pekerjaan mereka setelah dewasa dan mampu mandiri sebagai orang dewasa normal. 2. Retardasi mental sedang sebagai mampu latih, mereka tidak mampu didik tetapi dapat diberi latihan keterampilan tertentu dan harus selalu dibawah pengawasan. 3. Retardasi mental berat hanya dapat dilatih higiene dasar, dan retardasi mental sangat berat memerlukan bantuan dalam semua kegiatan dan ketergantungan seumur hidup.

Pembagian yang lain berdasarkan intensitas dukungan dan pelayanan yang dibutuhkan untuk melakukan fungsi sehari-hari, yaitu intermitten, limited, extensif dan pervasif. Manifestasi klinis

Anak-anak retardasi mental berat biasanya dapat dikenali dari bentuk fisiknya, umumnya sudah dapat diidentifikasi sejak lahir atau pada awal masa bayi, contoh anak dengan sindroma Down, sindroma Fetal alkohol dan mikrosefali. 150

Tanda utama anak retardasi mental adalah terlambat mencapai milestone perkembangan. Anak-anak dengan retardasi mental berat ditandai dengan keterlambatan ketrampilan psikomotor dalam tahun pertama kehidupan, sedangkan anak dengan retardasi mental sedang mungkin menunjukkan perkembangan motorik normal, kemudian terlihat keterlambatan dalam berbicara dan bahasa. Pada retardasi mental ringan biasanya tidak dikenali karena penampilannya seperti anak normal, sampai mereka masuk sekolah dimana mereka kesulitan untuk mengikuti pelajaran. Diagnosis

Anak retardasi mental dapat diidentifikasi dari pemeriksaan perkembangan rutin dalam rangka pemeriksaan kesehatan anak secara umum. Riwayat perkembangan keterampilan dan perilaku anak dapat dikumpulkan dari laporan orang tua, pengasuh anak atau guru. Pemeriksaan sekrining perkembangan seperti DDST dilakukan untuk anak yang dicurigai dan pemeriksaan IQ untuk konfirmasi diagnosis. Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk mengevaluasi dan dilakukan sesuai indikasi. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan evaluasi laboratorium sering didapatkan faktor-faktor spesifik yang mungkin menyebabkan retardasi mental. Beberapa pemeriksaan penunjang dapat dipertimbangkan seperti :

Pemeriksaan gen dan analisa kromosom bila ditemukan gambaran dismorfik, beberapa kelainan fisik, kelainan kongenital atau ibu dengan riwayat tercemar zatzat teratogen. Pemeriksaan CT scan otak atau MRI bila dijumpai pembesaran kepala yang progresif, kejang fokal, dicurigai tuberosklerosis, atau masa intrakranial. EEG bila ada kejang atau ada gangguan bahasa reseptif yang berat. Pemeriksaan titer antibodi terhadap infeksi kongenital bila ditemukan tuli sensorineural, hepatospelomegali neonatal, kotioretinitis, mikroftalmia, mikrosefali dan kalsifikasi intrakranial. Beberapa pemeriksaan metabolik mungkin diperlukan pada pasien tertentu. Kriteria Diagnosis Retardasi Mental berdasarkan Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ III) Berdasarkan PPDGJ III Retardasi Mental termasuk dalam Blok F7 • F70 Retardasi Mental Ringan • F71 Retardasi mental Sedang • F72 Retardasi Mental Berat • F73 Retardasi Mental Sangat Berat • F78 Retardasi Mental Lainnya • F79 Retardasi Mental YTT 151

Kriteria diagnosis Retardasi Mental berdasarkan PPDGJ III 1. Retardasi mental ringan Penyandang retardasi mental ringan biasanya agak terlambat dalam belajar bahasa tetapi sebagaian besar dapat mencapai kemampuan berbicara untuk keperluan sehari-hari, mengadakan percakapan, dan dapat diwawancarai. Kebanyakan dari mereka juga dapat mandiri penuh dalam merawat diri sendiri (makan, mandi, berpakaian, buang air besar dan air kecil) dan mencapai keterampilan praktis dan keterampilan rumah tangga, walaupun tingkat perkembangannya agak terlambat daripada normal.





Kesulitan utama biasanya tampak dalam pekerjaan sekolah yang bersifat akademik, dan banyak di antaranya mempunyai masalah khusus dalam membaca dan menulis. Namun demikian, penyandang retardasi mental ringan bisa sangat tertolong dengan pendidikan yang dirancang untuk mengembangkan keterampilan mereka dan mengkompensasikan kecacatan mereka. Kebanyakan penyandang ratardasi ringan yang tingkat intelegensianya lebih tinggi mempunyai potensi melakukan perkerjaan yang lebih membutuhkan praktis daripada kemampuan akademik, termasuk pekerjaan tangan yang tidak memerlukan keterampilan atau hanya memerlukan sedikit keterampilan saja. Dalam konteks sosiokultural yang memerlukan sedikit prestasi akademik, sampai tingkat tertentu dari retardasi mental ringan tidak menunjukkan masalah. Namun demikian, bila juga terdapat imaturitas emosional dan sosial yang nyata, maka tampak akibat kecacatannya misalnya ketidakmampuan mengatasi tuntutan pernikahan atau pengasuhan anak, atau kesulitan menyesuaikan diri dengan harapan dan tradisi budaya.

Pada umumnya kesulitan perilaku, emosional dan sosial dari penyandang retardasi mental ringan, dan kebutuhan untuk terapi dan dukungan untuk ini, timbul dari mereka sendiri, lebih mirip dengan mereka yang normal inteligensianya daripada masalah spesifik dari penyandang retardasi mental sedang dan berat. Etiologi organik sudah lebih banyak di indentifikasi di antara pasien, meskipun belum merupakan mayoritas. Pedoman diagnostik •



Bila menggunakan tes IQ baku yang tepat, maka IQ 50 – 69 menunjukkan ratardasi mental ringan. Pemahaman dan penggunaan bahasa cenderung terlambat pada berbagai tingakt, dan masalah kemampuan berbicara resmi akan mengganggu perkembangan kemandiriannya yang mungkin menetap sampai usia dewasa. Keadaan lain yang dapat menyertai adalah gangguan autisme, gangguan perkembangan lain. 152

2. Retardasi mental sedang







Anak dengan retardasi mental kategori ini lambat dalam mengembangkan pemahaman dan penggunaan bahasa, prestasi akhir yang mereka capai dlam bidang pendidikan terbatas. Keterampilan merawat diri dan keterampilan motorik juga terlambat, dan sebagian dari mereka ini memerlukan pengawasan seumur hidup. Kemajuan dalam pekerjaan sekolah terbatas, tetapi sebagian dari mereka ini dapat belajar keterampilan dasar yang dibutuhkan untuk membaca, menulis dan berhitung.

Program pendidikan khusus dapat memberi kesempatan bagi mereka untuk mengem-bangkan potensi mereka yang terbatas dan memperoleh beberapa keterampilan dasar.; program ini cocok untuk orang lambat belajar (slow learner) yang prestasinya kurang. Ketika dewasa, penyandang retardasi mental sedang biasanya mampu melakukan pekerjaan praktis yang sederhana, bila tigas-tugasnya disusun rapi dan diawasi oleh pengawas yang terampil. Jarang ada yang dapat hidup mandiri sepenuhnya pada masa dewasa. Namun demikian, pada umumnya mereka dapat bergerak bebas dan aktif secara fisik dan mayoritas menunjukkan perkembangan sosial dalam kemampuan mengadakan kontak, berkomunikasi dengan orang lain, dan terlibat dalam aktivitas sosial yang sederhana. Pedoman diagnosis

IQ biasanya berada dalam rentang 35 – 49. Biasanya mereka menunjukkan penampilan kemampuan yang tidak sesuai, beberapa dapat mencapai tingkat yang lebih tinggi dalam keterampilan visuo-spatial daripada tugas-tugas yang tergantung pada bahasa, sedangkan yang lainnya sangat canggung tetapi dapat mengadakan interaksi sosial dan percakapan sederhana.

Tingkat perkembangan bahasa bervariasi: ada yang dapat mengikuti percakapan sederhana, sedangkan yang lain hanya dapat berkomunikasi seadanya untuk kebutuhan dasar mereka. Ada yang tidak pernah belajar menggunakan bahasa, meskipun mereka mungkin dapat mengerti instruksi sederhana dan belajar menggunakan isyarat tangan untuk kompensasi disabilitas berbicara mereka. Suatu etiologi organik dapat diidentifikasi pada mayoritas penyandang retardasi mental sedang. Autisme masa kanak atau gangguan perkembangan pervasif lainnya terdapat pada sebagian kecil kasus, dan mempunyai perngaruh besar pada gambaran klinis dan tipe penatalaksanaan yang dibutuhkan.

Kadang-kadang mungkin mengidentifikasi kondisi psikistrik lainnya, tetapi karena tingkat perkembangan bahasanya yang terbatas sehingga sulit menegakan diagnsosi dan harus tergantung dari informasi yang diperoleh dari orang lain yang mengenalnya. 153

3. Retardasi mental berat



Kategori ini pada umumnya mirip dengan retardasi mental sedang dalam hal gambaran klinis, terdapatnya suatu etiologi organik, dan kondisi yang menyertainya. Prestasi yang lebih rendah daripada yang disebut dalam retardasi mental sedang juga paling lazim pada kelompok ini. Kebanyakan anak dengan retardasi mental sedang menderita hendaya motorik yang cukup jelas atau defisit lain yang menyertainya, dan hal ini menunjukkan adanya kerusakan atau penyimpangan perkembangan yang bermakna secara klinis dari susunan saraf pusat. Pedoman diagnostik

IQ biasanya berada dalam rentang 20 – 34.

4. Retardasi mental sangat berat





IQ dalam katagori ini diperkirakan kurang dari 20, yang secara praktis berarti anak yang bersangkutan sangat terbatas kemampuannya untuk memahami atau mematuhi permintaan atau instruksi. Sebagian besar dari mereka tidak dapat bergerak atau sangat terbatas dalam gerakannya, inkontinensia, dan hanya mampu mengadakan komunikasi non-verbal yang belum sempurna. Mereka tidak atau hanya mempunyai sedikit sekali kemampuan untuk mengurus sendiri kebutuhan dasar mereka sendiri, dan senantiasa memerlukan bantuan dan pengawasan. Pedoman diagnostik

IQ di bawah 20. Pemahaman dan penguasaan bahasa terbatas, paling banter mengerti perintah dasar dan mengajukan permohonan sederhanan. Ketemapilan visuo-spatial yang paling dasar dan sederhana tentang memilih dan mencocokkan mungkin dapat dicapainya, dan dengan pengawasan dan petunjuk yang tepat anak mungkin dapat sedikit ikut melakukan tugas rumah tangga dan praktis. Suatu etiologi organik dapat diidentifikasi pada sebagian besar kasus. Biasanya ada disabilitas neurologis dan fisik lain yang berat yang mempengaruhi mobilitas seperti epilepsi, dan hendaya daya lihat dan daya dengar. Sering ada gangguan perkembangan pervasif dalam semua bentuk sangar berat khususnya autisme yang tidak khas (atipikal), terutama pada anak yang dapat bergerak.

5. Retardasi mental lainnya

Katagori ini hanya digunakan bila penilaian dari tingkat retardasi intelektual dengan memakai prosedur biasa sangat sulit atau tidak mungkin dilakukan karena hendaya sensorik atau fisik, seperti buta, bisu tuli, dan anak yang perilakunya terganggu berat atau fisiknya tidak mampu. 154

6. Retardasi mental YTT

Jelas terdapat retardasi mental, tetapi tidak ada informasi yang cukup untuk menggolongkannnya dalam salah satu katagori tersebut di atas.

Kebutuhan anak Retardasi mental

Anak retardasi mental mempunyai kebutuhan umum yang sama seperti anak normal lainnya, meliputi gizi, imunisasi, pelayanan kesehatan dan pengobatan penyakit. Selain itu mereka juga mempunyai kebutuhan khusus yang berkaitan dengan keterbatasannya. Kebutuhan tersebut meliputi perawatan, bimbingan, alat, fasilitas, dukungan emosi dan psikologis dan kesempatan yang lebih dari pada anak yang normal. Anak retardasi mental perlu bimbingan, perawatan dan pelayanan seumur hidupnya, dan mereka mempunyai masa-masa sulit yang dikenal sebagai masa transisi didalam perjalanan hidup mereka sampai menuju dewasa. Masa transisi pertama dari pelayanan intervensi dini ke fasilitas prasekolah, yaitu pada umur sekitar 3 tahun. Masa transisi kedua dari fasilitas pendidikan ke fasilitas latihan kerja atau lapangan kerja yaitu pada masa dewasa. Banyak anak tidak berhasil dengan baik melalui masa tersebut, terutama pada masa transisi kedua dimana mereka tidak berhasil mendapatkan lapangan kerja yang sesuai. Tatalaksana Penanganan anak retardasi mental melibatkan berbagai disiplin ilmu dan sangat individual. Dokter spesialis anak harus memberikan keterangan yang baik mengenai kecacatan anak, kemungkinan penyebab, penyakit-penyakit yang lain, rencana pengobatan, dukungan yang diperlukan dan bekerja sama dengan keluarga. Target penanganan anak retardasi mental adalah mengembangkan potensi mereka seoptimal mungkin. Semua anak harus mendapat pelayanan kesehatan umum seperti imunisasi, gizi, monitor pertumbuhan dan perkembangan, pengobatan dan lain-lain. Selain itu mungkin diperlukan terapi khusus bagi anak-anak yang membutuhkan seperti anak dengan dengan epilepsi, gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, masalah gizi, gangguan perilaku, dan lain-lain. Beberapa ahli terlibat dalam penanganan mereka seperti psikolog, dokter anak, psikiater, ahli saraf, pekerja sosial, ahli rehabilitasi medik, terapis bicara, pelayanan intervensi dini dan pendidikan luar biasa. 155

Pokok Bahasan 2: Gangguan perkembangan pervasif Definisi Gangguan perkembangan pervasif adalah sindrom perilaku akibat disfungsi neurologis, dengan karakteristik berupa gangguan pada interaksi sosial timbal balik, gangguan komunikasi verbal dan nonverbal, miskin dalam hal aktivitas imaginatif, serta aktivitas dan minat yang sangat terbatas. Epidemiologi

Prevalensi Gangguan perkembangan pervasif berkisar antara 5-15 kasus/10.000. Sindrom ini 3-4 kali lebih sering terjadi pada anak laki-laki. Tidak ada predileksi ras, etnis, ataupun kelompok sosioekonomi tertentu. Etiologi/faktor yang berkontribusi

Walaupun etiologi Gangguan perkembangan pervasif pada kebanyakan kasus tidak diketahui, namun terkadang kelainan pada otak yang mendasari hal tersebut dapat diidentifikasi. Hal tersebut termasuk infeksi kongenital (rubella, sitomegalovirus, dan toksoplasmosis); perkembangan otak abnormal (mikrosefali atau hidrosefalus, dengan atau tanpa disgenesis otak yang menyertai); penyakit metabolik (fenilketonuria dan mukopolisakaridosis), penyakit postnatal yang didapat dan bersifat merusak (ensefalitis herpes simpleks, meningitis bakterialis, dan ensefalopati akibat timbal); keganasan (tumor lobus temporal); dan kelainan genetik (tuberous sclerosis dan fragile-x syndrome). Kebanyakan anak dengan kelainan-kelainan tersebut tidak dengan gangguan perkembangan pervasif, lokasi neuropatologi mungkin lebih menentukan perkembangan perilaku dengan gangguan perkembangan pervasif daripada perjalanan penyakit atau tingkat keparahan penyakit. Kasus-kasus Gangguan perkembangan pervasif idiopatik yang diperiksa secara neuroradiologis dan neuropatologis menunjukkan dua area utama abnormalitas otak: sistem limbik dan serebelum. Sangat jarang terjadi Gangguan perkembangan pervasif akibat etiologi psikologis murni. Diagnosis

Kelainan dimulai pada masa bayi atau anak awal dengan gambaran klinis berupa: 1. Gangguan interaksi sosial dua arah a. Kurangnya kesadaran akan perasaan orang lain b. Gagal mencari bantuan/ketenangan saat dalam kesukaran c. Adanya gangguan atau tidak adanya tindakan imitasi d. Adanya abnormalitas atau tidak adanya permainan sosial e. Gangguan pada kemampuan untuk membina persahabatan dengan teman sebaya 156

2. Gangguan komunikasi dan aktivitas imajinatif (minimal satu) a. Tidak adanya komunikasi b. Komunikasi nonverbal abnormal c. Tidak adanya aktivitas imajinatif d. Cara bicara abnormal e. Isi bicara abnormal f. Ketidakmampuan untuk memulai atau mempertahankan pembicaraan

3. Daftar aktivitas dan minat yang terbatas (minimal satu) a. Gerakan tubuh stereotipik b. Preokupasi terhadap obyek tertentu c. Timbulnya distres pada perubahan lingkungan d. Desakan untuk selalu mengikuti rutinitas e. Rentang minat yang terbatas

Gambaran klinis

1. Usia Gangguan perkembangan pervasif muncul secara klinis di tahun pertama kehidupan pada 25% kasus, di tahun kedua pada 50% kasus, dan di atas usia 2 tahun pada 25% kasus. Biasanya adanya gangguan pada komunikasi, baik yang bersifat ekspresif maupun reseptif, merupakan hal pertama yang membuat Gangguan perkembangan pervasif disadari pada seorang anak. 2. Gangguan bahasa

Bahasa anak dengan gangguan perkembangan pervasif bersifat tidak biasa atau imatur. Bahasa yang dipergunakan biasanya berupa ekolalia, pembalikan kata ganti, jargon (istilah) yang tidak dapat dimengerti, dan irama abnormal. Isi bicara tidak normal, seringkali dengan pengulangan kata demi kata dari kalimat-kalimat yang berlebihan dan tidak relevan (misalnya lagu pada iklan komersial televisi). Anak biasanya mengalami kesulitan dalam memulai dan mempertahankan percakapan. Berlawanan dengan defisiensi linguistik, kemampuan nonverbal anak dengan gangguan perkembangan pervasif seringkali baik.

3. Afek dan sosialisasi

Afek anak dengan gangguan perkembangan pervasif sangat bervariasi. Beberapa anak menunjukkan penarikan diri, sementara yang lain labil secara emosional atau gelisah berlebihan. Kebanyakan anak sepertinya tidak menyadari perasaan orang lain. Mereka menghindari kontak mata dan mempunyai ketidakmampuan yang jelas untuk membangun persahabatan dengan teman sebaya atau mengajak bermain bersama. 157



Anak dengan gangguan perkembangan pervasif selalu kurang dalam hal sosialisasi, mulai dari tidak adanya minat pada orang lain sama sekali sampai dengan agresifitas yang tidak pantas dengan pertanyaan-pertanyaan yang diulang-ulang. Anak dengan Gangguan perkembangan pervasif dapat mengembangkan kemampuan sosial yang dilakukan tanpa berpikir, yang ditunjukkan sebagai suatu rutinitas yang dipelajari ketimbang sesuatu yang bersifat spontanitas. Beberapa anak dengan gangguan perkembangan pervasif dapat mengekspresikan perhatian, walaupun dapat terlihat sembarangan.

4. Bermain

Permainan anak dengan gangguan perkembangan pervasif sangat kurang dalam hal imajinasi dan seringkali ditandai dengan manipulasi mainan yang tanpa tujuan dan diulang-ulang. Perilaku stereotipik, seperti mengayunayunkan badan, jalan berjinjit, dan mengepak-epakkan tangan seringkali ditemukan. Beberapa anak dengan gangguan perkembangan pervasif menunjukkan hipersensitifitas pada sentuhan, sementara yang lain sangat menikmati kontak fisik. Banyak anak dengan Gangguan perkembangan pervasif mempunyai respons yang jelek terhadap suara, sementara yang lain menunjukkan hipersensitifitas pendengaran. Beberapa anak dengan gangguan perkembangan pervasif menunjukkan kecintaan pada musik dan mengerti irama dengan sangat baik.

5. Aktivitas

Tingkat aktivitas anak dengan gangguan perkembangan pervasif seringkali meningkat, dan rentang perhatian mereka seringkali pendek, kecuali untuk hal-hal yang mereka anggap menarik (seperti memutar-mutar kipas angin, air yang mengalir, atau lampu yang bergerak-gerak). Desakan untuk menjalani rutinitas dan timbulnya distres apabila dihadapkan dengan perubahan sangatlah khas. Gangguan tidur sering dijumpai, dengan masalah kesulitan untuk mulai tidur dan terbangun pada malam hari.

6. Perubahan dengan berjalannya waktu

Walaupun beberapa gejala gangguan perkembangan pervasif dapat hilang sejalan dengan bertambahnya usia anak, seringkali terdapat saat-saat terjadinya perburukan (misalnya pada masa remaja). Pada saat ini, anak dengan gangguan perkembangan pervasif dapat menunjukkan aktivitas berlebihan, agresi, dan perilaku yang bersifat destruktif dan dapat melukai diri sendiri. 158

7. Kejang

Kejang, baik yang bersifat umum maupun parsial (seringkali parsial kompleks), timbul pada 15-35% anak dengan gangguan perkembangan pervasif. Masa bayi (seringkali dengan spasme infantil) dan masa remaja atau dewasa awal adalah dua puncak frekuensi kejadian terbesar. Risiko kejang tertinggi pada anak dengan gangguan perkembangan pervasif dengan keterlambatan kognitif yang besar. Risiko juga lebih besar (>40%) bila terdapat defisit motorik yang menyertai.

8. Fungsi kognitif

Kebanyakan anak (75%) dengan Gangguan perkembangan pervasif mengalami keterbelakangan mental dengan IQ verbal jauh lebih rendah daripada IQ tindakan. Terkadang terdapat anak dengan gangguan perkembangan pervasif menunjukkan kemampuan khusus yang luar biasa. Pada anak-anak tersebut bakat yang luar biasa dapat terlihat pada bidang musik, seni, ingatan, kalkulasi penanggalan, dan memecahkan teka-teki.

Kriteria Diagnosis Gangguan Perkembangan Pervasif berdasarkan Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ III)

Kelompok gangguan ini ditandai oleh abnormalitas kualitatif dalam interaksi sosial dan pola komunikasi, dan kecenderugnan minat dan gerakan yang terbatas, stereotipik , berulang. Abnormalitas kualitatif ini merupakan gambaran yang meluas (pervasive) dari fungsi individu dalam segala situasi, meskipun dapat berbeda dalam derajat keparahannya. Pada kebanyakan kasus, terdapat riwayat perkembangan yang abnormal sejak masa bayi dan, kebanyakan kondisinya nyata dalam 5 tahun pertama. Biasanya, dapat terjadi hendaya kognitif umum tetapi gangguannya batasan sebagai perilaku yang menyimpang dalam hubungan dengan usia mental (tak peduli individu retardasi atau tidak). Terdapat beberapa ketidak sepakatan terhadap subdivisi dari keseluruhan kelompok gangguan pervasif ini.

Pada beberapa kasus gangguan ini dihubungkan dengan, dan diduga akibat dari, beberapa kondisi medis, seperti spasme infantile, rubella congenital, sklerosis tuberose, lipidosis serebral, dan anomaly kromosom X rapuh merupakan kondisi yang sering dijumpai, Namun demikian, gangguan ini harus didiagnosis berdasarkan pada gambaranperilaku, tanpa mempedulkan ada atau tidaknya suatu kondisi medis; kondisi ini harus, diberi kode diagnosis sendiri. Jika dijumpai retardasi mental, pentinguntuk diberikan nomor kode terpisah, dalam kelompok F70-F79, karena bukan merupakan gambaran umum dari gangguan perkembangan pervasif. 159

1. Autisme Masa Kanak

Gangguan perkembangan perfasif yang ditandai oleh adanya abnormalitas dan/ atau hendaya perkembangan yang muncul sebelum usia 3 tahun, dan dengan ciri fungsi yang abnormal dalam tiga bidang dari interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku yang terbatas dan berulang. Gangguan ini jumpai 3 sampai 4 kali lebih banyak pada anak laki-laki dibanding dengan anak perempuan.



Pedoman Diagnostik



Kondisi ini juga ditandai oleh pola perilaku, minat dan kegiatan yang terbatas, pengulangan dan setreotipik. Ini benbentuk kecenderungan untuk bersikap kaku dan rutin dalam aspek kehidupan seharihari; ini biasanya berlaku untuk kegiatan baru atau kebiasaan seharihari yang rutin danpola bermain. Terutama sekali dalam masa dini kanak, terdapat kelekatan yang aneh terhadap benda yang tak lembut. Anak dapat memeksakan suatu kegiatan rutin seperti upacara dari kegiatan yang sebetulnya tidak perlu; dapat menjadi preokupasi yang sterotipik dengan perhatian pada tanggal, rute dan jadual; sering terdapat stereotipik motorik; sering menunjukkan perhatian yang khusus terhadap unsur sampingan dari benda (seperti bau dan rasa); dan terdapat penolakan terhadap perubahan dari rutinitas atau dalam tata



Biasanya tak ada riwayat perkembangan abnormal yang jelas, tetapi tidak dijumpai, abnormalitas tampak sebelum usia 3 tahun. Selalu dijumpai hendaya kualitatif dalam interkasi sosialnya. Ini berbentuk tiadanya apresiasi adekuat terhadap isyarat sosioemosional, yang tampak sebagi kurangnya respon terhadap emosi orang lain dan/ atau kurangnya modulasi terhadao perilaku dalamkonteks sosial; buruk dalam menggunakan isyarat sosial dan lemah dalam integrasi perilaku sosial, emosional, dan komunikatif; dan khususnya, kurang respons timbale balik sosioemosional. Demikian juga terdapat hendaya kualitatif dalam komunikasi. Ini berbentuk kurangnya penggunaan sosial dari kemampuan bahasa yang ada; hendaya dalam permainan imaginative dan imitasi sosial, buruknya keserasian dan kurangnya interaksi timbal balik dalam percakapan, buruknya fleksibilitas dalam bahasa ekspresif dan relatif kurang dalam kreativitas dan fantasi dalam proses pikir; kurangnya respon emosional terhadap ungkapan verbal dan nonverbal orang lain; hendaya dalam menggunakan variasi irama atau tekanan modulasi komunikatif; dan kurangnya isyarat tubuh untuk menekankan atau mengartikan komunikasi lisan.

160





ruang dari lingkungan pribadi (seperti perpindahan dari mebel atau hiasan rumah).

Sebagai tambahan daari gambaran diagnosis yang khas ini, anak autistik sering menunjukkna beberapa masalah yang tidak khas seperti ketakutan/ fobia, gangguan tidur dan makan, mengadat (temper tantrum), dan agresivitas. Mencederai diri sendiri (sepertii, menggigit tangan) sering terjadi, khususnya jika terkait dengan retardasi mental. Kebanyakan individu dengan autism kurang dalam spontanitas, inisiatif dn kreativitas dalam mengatur waktu luang dan mempunyai kesulitan dalam melaksanankan konsep untuk menuliskan sesuatu dalam pekerjaan (neskipun tugas mereka tetap dilaksanakan dengan baik). Manifestasi khusus dari sifat deficit itu berlanjut sampai dan melewati usia dewasa dengan pola yang sama dalam sosialisasi, komunikasi, dan pola minat. Abnormalitas perkembangan harus telah tampak dalam usia 3 tahun untuk dapat menegakkan diagnosis, tetapi sindrom ini dapat didiagnosis pada semua usia. Semua tingkatan IQ dapat ditemukan dalam hubungannya dengan autism, tetapi ditemui retardasi mental yang bermakna pada tigaperempat kasus.

Termasuk : Gangguan autistic Autism infantile Psikosis infantile Sindrom Kanner

Diagnosis Banding

Selain dari variasi gangguan perkembangan pervasive yan lain, penting untuk diperhatikan: gangguan perkembangan khas berbahasa reseptif (F80.2) dengan masalah sosioemosional sekunder; gangguan kelekatan (attachment) reaktif (F94.1) atau gangguan kelekatan yang tak terkendali (F94.2); retardasi mental (F70-F79) dengan gangguan emosional/perilaku; skizofrenia (F20) dangan onset dini; dan sindro Rett.

2. Autisme Tak Khas Gangguan perkembangan pervasive yang dibedakan dari autism dalam usia awalnya atau dari tidak terpenuhinya ketiga kriteria diagnostik. Jadi abnormalitas dan/ atau hendaya perkembangan baru timbul untuk pertama kali setelah berusia diatas 3 tahun, dan/atau tidak cukup ditunjukkan abnormalitas dalam satu atau dua dari tiga bidang psikopatologi yang dibutuhkan untuk diagnosis autism (interaksi sosial timbale balik, komunikasi, dan perilaku terbatas, stereotipik, dan berulang meskipun 161

terdapat abnormalitas yang khas dalam bidang lain. Autisme tak khas sering muncul pada individu dengan retardasi mental yang berat, yang sangat rendah kemampuannya sehingga pasien tidak mampu menampakkan gejala yang cukup untuk menegakkan diagnosis autisme; ini juga tampak pada individu dengan gangguan perkembangan yang khas dari bahasa reseptif yang berat. Jadi autism tak khas secara berkmakna merupakan kondisi yang terpisah dari autism.

Termasuk : psikosis masa kanak tak khas Retardasi mental dengan gambaran autistik 3. Sindrom Asperger





Suatu gangguan dengan validitas nosologis yang belum pasti, ditandai oleh abnormalitas yang kualitatif sama seperti pada autism, yaitu hendaya dalam interaksi sosial yang timbal balik, disertai dengan keterbatasan perhatian dan aktivitas yang sifatnya stereotipik dengan pengulangan pola yang sama. Gangguan ini berbeda dengan autism karena tidak adanya keterlambatan atau retardasi umum kemampuan berbahasa atau perkembangan kognitif. Sebagian besar penderita mempunyai tingkat intelegensia rata-rata normal, tetapi sering didapatkan mereka bersikap canggung/kikuk; dan kondisi ini lebih banyak terjadi pada anak lakilaki (dengan rasio sekitar 8:1). Diduga keras bahwa pada beberapa kasus akan menunjukkan variasi autisme dengan derajat sedang, tetapi tidak dapat dipastikan bahwa hal ini akan terjadi pada semua kasus. Terdapat kecenderungan yang kuat bahwa abnormalitas yang terjadi akan berlangsung sampai masa remaja dan dewasa, dan tampaknya mereka menunjukkan suatu ciri khas tersendiri tanpa lingkungan memberikan pengaruh yang kuat. Kadang muncul episode psikosis pada masa dewasa muda. Pedoman Diagnostik

Didignosis berdasarkan kombinasi antara hambatan umum yang klinis jelas merupakan keterlambatan berbahasa atau perkembangan kognitif, disertai gejala seperti pada autism yaitu defisiensi kualitatif fungsi interaksi sosial yang timbal balik dengan pola perilaku perhatian dan aktivitas yang terbatas, berulang dan stereotipik. Mungkin terdapatatau tidak adanya masalah komunikasi yang sama seperti pada autism, tetapi terdapatnya retardasi kemampuan berbahasa yang jelas akan memastikan diagnosis.

Termasuk : Psikopati autistik Gangguan skizouid masa anak 162

4. Gangguan Perkembangan Pervasif YTT



Ini merupakan kategori diagnosis sisa yangharus dipergunakan untuk gangguan yang tidak dapat memenuhi deskripsi umum gangguan perkembangan pervasif, tetapi terdapat informasi yang tidak memadai, atau adanya hal yang kontradiktif yang tidak memenuhi kriteris umum kode F84 lainnya. Diagnosis Banding Diagnosis yang harus dieksklusi meliputi hal-hal berikut:

1. Gangguan pendengaran Penyebab penting dari gangguan dan keterlambatan bicara.

2. Gangguan perkembangan bahasa Pada keadaan ini sosialisasi, aktivitas, dan minat tidak terlalu menyimpang seperti gangguan perkembangan pervasif. 3. Sindrom Rett Hanya terjadi pada anak perempuan, dengan penarikan diri yang bersifat dengan gangguan perkembangan pervasif disertai dengan gagal tumbuh dan kehilangan penggunaan tangan. 4. Psikosis disintegratif Ditandai dengan perilaku normal yang lebih lama sebelum mulai timbulnya regresi, seringkali mengikuti terjadinya stresor dari lingkungan.

5. Sindrom Landau-Kleffner Disebut juga afasia epileptik didapat. Pada keadaan ini gangguan bahasa berhubungan dengan aktivitas kejang serta sosialisasi dan minat yang menyimpang tidak sebesar Gangguan perkembangan pervasif.

6. Skizofrenia Terjadi pada anak yang lebih tua atau orang dewasa dengan klinis defisit kognitif dan gangguan bahasa menyerupai anak dengan gangguan perkembangan pervasif. 7. Retardasi mental yang tidak dapat didiferensiasi

Pada keadaan yang berat dapat disertai dengan berbagai karakteristik perilaku dengan gangguan perkembangan pervasif.

163



Pemeriksaan Fisis



Pemeriksaan fisis dan neurologis anak dengan gangguan perkembangan pervasif kegunaannya terbatas kecuali bila terdapat penyakit yang mendasari. Pada keadaan tersebut dapat ditemukan katarak (pada rubela kongenital), hirsutisme (pada sindrom Cornelia de Lange), warna kulit yang terang (pada fenilketonuria), wajah yang tampak kasar (pada sindorm hurler atau hipotiroidisme), telinga yang menonjol dan wajah yang panjang (pada sindrom fragile-X), kulit dengan makula hipopigmentasi (pada tuberous sclerosis), atau bercak café-au-lait (pada neurofibromatosis. Abnormalitas motorik yang paling sering dijumpai pada gangguan perkembangan pervasif adalah hipotonia, diikuti dengan ataksia. Terdapat pula kidal dan kecakapan penggunaan kedua tangan yang sama baiknya dalam jumlah yang tinggi.



Pemeriksaan Penunjang

Bila penyebab gangguan perkembangan pervasif, baik dari riwayat maupun pemeriksaan fisis tidak jelas, pemeriksaan lanjutan yang dilakukan harus dibatasi, meliputi: 1. Pemeriksaan fungsi pendengaran, termasuk brainstem auditory evoked responses, yang biasanya abnormal pada 1/3 anak dengan gangguan perkembangan pervasif. 2. Elektroensefalogram, abnormal pada 1/2 anak dengan gangguan perkembangan pervasif. 3. Magnetic resonance imaging kepala, abnormal pada 1/5 anak dengan gangguan perkembangan pervasif. 4. Pada kasus-kasus tertentu pemeriksaan laboratorium lain terindikasi untuk dilakukan, seperti pemeriksaan fungsi tiroid, kadar timbal dalam darah, analisis kromosom (termasuk sindorm fragile-X), asam amino darah dan urin, TORCH (toksoplasmosis, rubela, sitomegalovirus, dan herpes simpleks), dan kadar serotonin darah (meningkat pada 1/3 anak dengan gangguan perkembangan pervasif).

Evaluasi

Semua anak dengan gangguan perkembangan pervasif harus mendapat evaluasi yang teliti dari dokter anak ahli tumbuh kembang, spesialis neurologi, psikolog atau psikiater anak, dan ahli patologi bicara-bahasa. Evaluasi yang dilakukan oleh terapis fisik maupun okupasi seringkali berguna juga. 164



Tata Laksana



1. Tata laksana pendidikan/perilaku



Batu pertama untuk tata laksana anak dengan gangguan perkembangan pervasif adalah pendidikan khusus (dengan fokus utama pada peningkatan kemampuan komunikasi) dan tata laksana perilaku. Struktur kelas sangat penting dan harus meliputi sebanyak mungkin perintah personal (satu-lawan-satu). Rutinitas harus dilakukan dalam jadwal yang teratur dan dapat diprediksi. Strategi pendidikan harus juga dilanjutkan di rumah dengan orang tua sebagai ko-terapis. Komunikasi verbal anak juga seringkali membutuhkan suplementasi (dengan bahasa atau tanda tubuh, buku atau papan komunikasi, komputer, dan alat-alat stimulasi suara). Bersamaan dengan komunikasi, kemampuan sosialisasi juga harus dikembangkan. Sangatlah penting bahwa instruksi bagi anak tersebut mencakup kemampuan hidup dasar, dan menunjukkan pada anak bagaimana caranya memperluas kemampuan tersebut untuk dapat digunakan pada keadaan lain.

Tata laksana perilaku merupakan komponen esensial dari rencana tata laksana untuk setiap anak dengan gangguan perkembangan pervasif. Sangat penting untuk melakukan tata laksana tersebut pada semua lingkungan di sekitar anak dengan gangguan perkembangan pervasif: rumah, sekolah, ruang kerja, atau lingkungan lainnya. Pada episodeepisode perilaku marah yang bersifat periodik, permainan fisik seringkali berguna. Bila diperlukan, obat dapat diberikan dari waktu ke waktu untuk membantu anak dengan gangguan perkembangan pervasif lebih dapat menerima intervensi perilaku. Psikoterapi klasik tidak berguna dalam tata laksana perilaku anak dengan gangguan perkembangan pervasif.

2. Obat

Anak dengan gangguan perkembangan pervasif yang mengalami kejang biasanya mendapat antikonvulsan. Pada kejang parsial ataupun umum, karbamazepin atau asam valproat biasanya merupakan pilihan pertama pengobatan. Kesukaran dalam memusatkan perhatian dapat dibantu dengan obat-obatan. Psikostimulan (seperti metilfenidat, dekstroamfetamin, atau pemolin) dapat dicoba, walaupun pengobatan ini biasanya kurang efektif pada anak dengan gangguan perkembangan pervasif dibandingkan dengan anak yang tidak dengan gangguan perkembangan pervasif dengan kesulitan pemusatan perhatian. Obat neuroleptik (seperti haloperidol dan klorpromazin) dapat berguna pula 165

dalam jangka pendek pada keadaan gangguan perilaku yang berat. Secara umum, psikofarmakologi terbukti mengecewakan dalam tata laksana anak dengan gangguan perkembangan pervasif.



3. Dukungan untuk keluarga



Prognosis



Bicara juga merupakan faktor prediktif untuk luaran pasien. Pada kebanyakan anak dengan gangguan perkembangan pervasif (namun tidak semua), bicara dan bahasa membaik dengan bertambahnya usia. Pada anak yang belum dapat mengembangkan kemampuan bicara yang berguna pada usia 5 tahun biasanya prognosisnya buruk.







Dukungan bagi keluarga dari anak dengan gangguan perkembangan pervasif dapat termasuk respite care, kelompok-kelompok dukungan keluarga, kelompok-kelompok bagi saudara kandung, dan konseling keluarga.

Penentu utama prognosis pada Gangguan perkembangan pervasif anak adalah ada tidaknya kelainan otak yang mendasari dan kesempatan mendapatkan tata laksana. Secara umum, anak yang sebelumnya sehat dengan gangguan perkembangan pervasif idiopatik (yang penarikan diri dengan gangguan perkembangan pervasifnya muncul setelah suatu epriode perkembangan yang normal) mempunyai masa depan yang lebih baik dibandingkan dengan anak yang gangguan perkembangan pervasifnya disebabkan oleh kelainan otak yang dapat diidentifikasi. Pada keadaan yang kedua tersebut, prognosis membaik bila kelainan otak (misalnya ensefalitis herpes simpleks) atau gejala yang menyertai (misalnya kejang) dapat diatasi.

Banyak anak dengan gangguan perkembangan pervasif yang terkadang dapat diintegrasikan dalam komunitas: 5-10% dapat menjadi orang dewasa yang mandiri (beberapa dapat terlihat normal, walaupun sisa-sisa karakteristik dengan gangguan perkembangan pervasif sebelumnya bisa masih tampak), dan 25% akan memperlihatkan kemajuan perkembangan yang baik, mencapai pendidikan kejuruan yang cukup dan hidup sendiri. Pada anak dengan gangguan perkembangan pervasif, walaupun memiliki kecerdasan yang baik, seringkali menjadi tenaga kerja yang setengah menganggur karena cara pikir yang kaku dan kemampuan sosial yang menyimpang. Dua pertiga sisanya akan terus mengalami kecacatan dan membutuhkan perawatan tingkat tinggi yang terus menerus. Tidak mencengangkan bila anak dengan gangguan perkembangan pervasif dengan IQ yang lebih rendah mempunyai luaran yang lebih buruk dibandingkan mereka yang lebih cerdas. 166

Alur Tatalaksana

Gangguan Wicara / Komunikasi Tes Modifikasi Daya Dengar

Skrining pertumbuhan dan perkembangan fisik

THT

Tidak Normal

Normal

Wawancara terstruktur berdasarkan kriteria diagnosis PPDGJ III/ ICD-X untuk gangguan autistik (SpKJ)

Edukasi (SpA)

Gangguan Autistik

1. 2. 3. 4.

M - CHAT

Tanpa perilaku: Agresif Destruktif Hiperaktif Iritable Mood

Rehabilitasi

Tidak memenuhi kriteria gangguan autistik Dengan perilaku: 1. Agresif 2. Destruktif 3. Hiperaktif 4. Iritable Mood

SpKJ (anak dan remaja)

Tidak ada kemajuan Edukasi

Evaluasi CARS (SpKJ) Ada Kemajuan

Rehabiitasi Medis Teruskan 167

Kuesioner M-CHAT Deteksi dini autis pada umur 18-36 bulan. •

Bila ada keluhan / kecurigaan dari orang tua/ pengasuh/petugas karena ada 1 (satu) atau lebih: 1. Keterlambatan bicara.

2. Gangguan komunikasi/ interaksi sosial. 3. Perilaku yang berulang-ulang.



Tanyakan dan amati perilaku anak



Interpretasi (penafsiran) CHAT

• •

9 pertanyaan untuk orangtua/pengasuh (A): ya/ tidak 5 pengamatan perilaku anak (B) : ya / tidak * *

*

Risiko tinggi menderita Autis : tidak A5, A7, B2-4 Risiko rendah menderita Autis : tidak A7, B4

Kemungkinan gangguan perkembangan lain : tidak 3 atau lebih A1-4, A6, A8-9, B1, B5

* Normal

Daftar Pertanyaan: A. Pertanyaan pada orangtua / pengasuh

1. Senang di ayun-ayun, diguncang-guncang 2. Tertarik memperhatikan anak lain 3. Suka memanjat tangga 4. Suka main ciluk-ba, petak umpet 5. Bermain pura-pura membuat minuman 6. Meminta dengan menunjuk 7. Menunjuk benda 8. Bermain dengan benda kecil 9. Memberikan benda utk menunjukkan sesuatu B. Pengamatan perilaku anak



1. 2. 3. 4. 5.

Anak memandang mata pemeriksa Anak melihat ke benda yang ditunjuk Bermain pura-pura membuat minum Menunjuk benda yang disebut Menumpuk kubus 168

VI. EVALUASI A. Kasus Retardasi Mental





An R, usia 7 tahun. Dibawa berobat setelah dilakukan pemeriksaan psikologis di sekolahnya dengan keterangan adanya gangguan belajar. Pasien telah menjalani pemeriksaan tes IQ dengan fungsi memori jangka pendek sedikit dibawah rata-rata, kemampuan ekspresif bahasa, dibawah rata-rata, dan adanya defisit yang jelas pada fungsi visuo-spasial. Pasien memiliki kesulitan untuk mengerjakan tugas menulis, dan tampak tertarik pada music dan memiliki kontak yang baik terhadap orang-orang yang memperhatikan pasien. Orang tua pasien merasa pasien “terlalu ramah”, “terlalu aktif”, dan tampak menunjukkan ketertarikan berlebihan terhadap hal-hal yang tidak biasa seperti alat penyedot debu.

Pada saat pasien berusia 3 tahun, pasien menunjukkan adanya keterlambatan dalam belajar bicara, dan fungsi motorik dibanding anak-anak sesusianya. Ayah dan ibunya memasukkan pasien ke sekolah khusus karena tidak diterima di sekolah biasa. Pasien belajar duduk sendiri pada usia 10 bulan, berjalan pada 18 bulan. Telat berbicara, dan baru dapat bicara 1 kata pada usia 20 bulan 1. Sebutkan faktor risiko terjadi nya retardasi mental 2. Sebutkan kriteria diagnostik retardasi mental 3. Tunjukan cara melakukan diagnosis retardasi mental (khusus dokter dan dokter anak) 4. Jelaskan peran orangtua dalam mendukung tumbuh kembang anak dengan retardasi mental 5. Tunjukkan cara melakukan psikoedukasi kepada orangtua yang mempunyai anak dengan retardasi mental

B. Kasus untuk gangguan perkembangan pervasif

Disukai, dan hiperaktif. Pasien hipersensitif terhadap suara bising, dan kaku An MR, usia 4 tahun, belum bersekolah, beragama islam, suku Batak, tinggal di Tambun. Berobat ke bagian psikiatri anak dengan keluhan belum dapat bicara. Pasien saat ini belum dapat bicara, kosa kata yang dimiliki sebelumnya hilang ketika pasien berusia 2 tahun, kontak mata minimal, interaksi dengan anak lain minimal, dan cenderung bermain sendiri. Pasien berontak ketika dipeluk, berperilaku agresif jika ada hal yang tidak terhadap pola dan rutinitas. Pasien masih menggunakan pampers dan selalu disuapi. 169



Dari pemeriksaan didapatkan anak laki-laki, tampak mengantuk, sesuai usia, rapih dan perawatan diri cukup baik. Pasien digendong oleh ibunya, gelisah ketika terbangun dan minta turun. Pasien tidak terlalu memberikan perhatian ketika diajak bermain oleh pemeriksa, tidak merespons ketika dipanggil, dan cenderung tidak peduli termasuk pada ibunya. Pasien tidak bicara selama pemeriksaan, mood disforik dengan afek terbatas dan kurang kooperatif. Pasien cenderung tidak mempedulikan ketika dipanggil ibunya, kontak minimal. Konsentrasi dan perhatian mudah teralih. Joint attention tidak baik. 1. Sebutkan faktor risiko terjadi nya gangguan perkembangan pervasif 2. Sebutkan kriteria diagnostik gangguan pekermbangan pervasif 3. Tunjukkan cara melakukan diagnostik gangguan perkembangan pervasif (dokter dan dokter anak) 4. Jelaskan peran orangtua dalam mendukung tumbuh kembang anak dengan gangguan perkembangan pervasif 5. Tunjukkan cara melakukan psikoedukasi kepada orangtua yang mempunyai anak dengan gangguan perkembangan pervasif

VII. DAFTAR PUSTAKA

1. Undang undang No: 36 Tahun 1999 Tentang Kesehatan. 2. Buku Pedoman Penanganan Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang. Kementerian Kesehatan RI 3. Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ III). Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. 1993 4. Intellectual disability. Comphrehensive Textbook of Psychiatry, 9th Ed.Bryan H. King, Karen E.Toth, Robert Hodapp, Elisabeth M Dykens. Editors: Benjamin James Sadock, Virginia Alcott Sadock, and Pedro Ruiz. 2009. P.3444 – 3744 5. Motor development in the normal child. In JS Tecklin, Aubert EJ. editor. Pediatric Physical Therapy. Philadelphia: Lippincott Company. 2008. 6. Clinical Practice Guideline Autism/Pervasive Developmental Disordes Assessment and Intervention for Young Children (age 0-3 years). New York State Department of Health. New York. 7. Departement of Health and Human Services USA. Autism Alarm. diunduh dari www.cdc.gov/autism and www.aap.org/autism, April 2012

170

MODUL 8 GANGGUAN MOTORIK

I. DESKRIPSI SINGKAT Perkembangan motorik artinya terdapat peningkatan tahapan kompleks kontrol terhadap penggunaan otot-otot untuk mobilitas, keseimbangan dan postur yang benar (mempertahankan kepala tegak, berguling, duduk, merangkak dan berdiri), dan memanipulasi benda untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Pergerakan awalnya muncul dalam bentuk pola acak dan bervariasi. Seiring dengan bertambahnya usia pergerakan menjadi lebih bertujuan dan keterampilan motorik menjadi tergabung dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Kemajuan ini bergantung pada keberhasilan integrasi dari berbagai proses perkembangan yang saling berhubungan. Secara umum, perkembangan motorik mencakup, keterampilan motorik kasar (keterampilan otot-otot besar seperti kontrol kepala, duduk, berdiri dan lokomotor), keterampilan motorik halus (keterampilan otototot yang lebih kecil seperti menggenggam, melepaskan dan memanipulasi benda), dan keterampilan oral-motor (makan, menelan, produksi suara dan berbicara).

II. TUJUAN PEMBELAJARAN

A. Tujuan Pembelajaran Umum

Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu melakukan penatalaksanaan (fisioterapi, okupasi terapi dan terapi wicara) kasus pada gangguan motorik kasar, motorik halus, dan gangguan oromotor sesuai peran profesi masingmasing.

B. Tujuan Pembelajaran Khusus

Setelah mempelajari materi ini, peserta mampu : 1. Menjelaskan karakteristik perkembangan motorik kasar, motorik halus dan oromotor yang normal 2. Menjelaskan jenis gangguan motorik kasar, motorik halus, dan oromotor 3. Menegakkan diagnosis fungsional pada gangguan motorik kasar, motorik halus, dan oromotor 4. Melakukan penatalaksanaan pada kasus gangguan motorik kasar, motorik halus, dan oromotor. 5. Menjelaskan fokus intervensi sesuai usia. 6. Mengaplikasikan handling yang benar 171

III. POKOK BAHASAN 1. Karakteristik perkembangan motorik kasar, motorik halus, dan oromotor yang normal 2. Jenis gangguan motorik kasar, motorik halus, dan oromotor 3. Diagnosis fungsional pada gangguan motorik kasar, motorik halus, dan oromotor 4. Penatalaksanaan pada kasus gangguan motorik kasar, motorik halus, dan oromotor 5. Fokus intervensi sesuai usia 6. Aplikasi handling yang benar

IV. BAHAN BELAJAR

1. Modul Gangguan Pertumbuhan 2. Buku Pedoman 3. Buku teks

V. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN Berikut merupakan langkah-langkah kegiatan pembelajaran: Langkah 1: Pengkondisian peserta

Langkah pembelajaran: • Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum pernah menyampaikan sesi di kelas, mulailah dengan perkenalan. Perkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkap, instansi tempat bekerja, materi yang akan disampaikan. • Sampaikan tujuan pembelajaran materi ini dan pokok bahasan yang akan disampaikan, sebaiknya dengan menggunakan bahan tayang. Langkah 2. Penyampaian Materi Langkah pembelajaran: •

Fasilitator menyampaikan paparan seluruh materi sesuai urutan pokok bahasan dan sub pokok bahasan dengan menggunakan bahan tayang. Fasilitator menyampaikan materi dengan metode ceramah tanya jawab, kemudian curah pendapat.

Langkah 3. Rangkuman dan Kesimpulan Langkah pembelajaran:

1. Fasilitator melakukan evaluasi untuk mengetahui penyerapan peserta terhadap materi yang disampaikan dan pencapaian tujuan pembelajaran. 2. Fasilitator merangkum poin-poin penting dari materi yang disampaikan. 3. Fasilitator membuat kesimpulan. 172

VI. URAIAN MATERI Pokok Bahasan 1 : Karakteristik Perkembangan Motorik (Kasar, Halus, dan Oromotor) yang normal Rangkaian perkembangan motorik yang tipikal memperlihatkan arah perkembangan yang digunakan pada sebagian besar perkembangan. Pada tabel 1. dijabarkan 10 rangkaian arah perkembangan dengan contoh-contoh bagaimana rangkaian tersebut dinyatakan dalam perkembangan normal. Tabel 1. Prinsip Arah Perkembangan

Prinsip

Kontrol/respon yang paling awal

Kontrol/ respon dengan maturasi

Reflek tonik leher yang asimetri menyebabkan anggota tubuh bergerak dalam respon terhadap posisi kepala

Anak dengan kehendak sendiri menggerakkan anggota tubuh secara independen pada posisi kepala

Kontrol proksimal sebelum distal

Anak mengembangkan stabilitas bahu dan panggul

Kontrol cephalic sebelum caudal

Bahu mengembangkan kontrol dan stabilitas

Siku, kemudian pergelangan tangan, dan lutut, kemudian pergelangan kaki, perkembangan stabilitas.

Kontrol refleks sebelum kontrol kortikal

Anak memperoleh kontrol Neonatus menggerakkan Respon total individual sendi dalam sebelum respon yang ekstremitas atas dalam ayunan yang luas dan acak menstabilkan bahu untuk terlokalisasi ketepatan genggaman dan jangkauan yang terarah secara visual

Kontrol medial sebelum lateral

Tiga jari ulnar mendominasi genggaman pertama

173

Panggul mengembangkan kontrol dan stabilitas. Ibu jari dan jari telunjuk mendominasi genggaman jepitan. Jari telunjuk mendominasi perkembangan.

Kontrol cervical sebelum rostral

Anak mempunyai kontrol motorik mulut saat lahir

Kontrol motorik kasar sebelum motorik halus

Anak menstabilkan bahu dan memegang botol dengan kedua tangan

Tonus otot fleksor sebelum otot ekstensor

Neonatus didominasi dengan fleksi fisiologis

Kontrol antigravitasi Anak mengangkat kepala pada posisi telungkup ekstensor sebelum saat berusia 4 bulan fleksor Pembebanan berat pada ektremitas yang fleksi sebelum ekstremitas yang ekstensi

Pokok Bahasan 2 : Oromotor

Anak menahan berat pada ekstremitas atas fleksi pada siku dalam telungkup pada siku

Anak mengembangkan kemampuan untuk mengatur dan memfokuskan mata

Anak mengambil butiranbutiran kecil dan kecil meletakkan di dalam botol Tonus fleksor kehilangan dominasi dan tonus ekstensor lebih nyata untuk menyeimbangkan tonus.

Anak mengangkat kepala dalam posisi terlentang pada usia 5 bulan

Anak menahan berat di atas siku yang ekstensi pada posisi telungkup di atas lengan yang ekstensi dan quadruped.

Jenis Gangguan Motorik Kasar, Motorik Halus, dan

Kelainan motorik mencakup abnormalitas tonus otot, postur, pergerakan dan kemahiran dalam keterampilan motorik, dari yang ringan sampai berat. Gangguan perkembangan motorik mencakup keterlambatan motorik yang merupakan bagian dari keterlambatan perkembangan umum, keterlambatan motorik yang dapat timbul dari hipotonia, dan disfungsi neuromotorik ringan. 1. Keterlambatan perkembangan global/umum

Secara umum, tolak ukur motorik dapat lebih mudah dikenali dibanding tolak ukur kognitif dalam setahun pertama kehidupan. Keterlambatan dalam keterampilan motorik atau perbedaan kualitatif dalam pergerakan bisa menjadi tanda pertama masalah pada anak yang kemudian didiagnosis 174

dengan kelainan kognitif. Karena beberapa sindrom bersifat genetik, penting untuk mengidentifikasi anak sedini mungkin untuk konseling perencanaan keluarga. Keterlambatan perkembangan motorik awal kadang menunjukkan suatu disfungsi neurologis tersamar, yang akan muncul dikemudian hari berupa keanehan gerakan, ADHD, dan/atau gangguan belajar.

2. Hipotonia

Hipotonia muskular membuat anak sulit untuk mempertahankan postur terhadap gravitasi, karenanya mengurangi kekuatan otot dan memperlambat kemahiran keterampilan motorik. Beberapa anak dengan hipotonia bisa memiliki kesulitan koordinasi persisten atau kesulitan berlajar nantinya.

3. Disfungsi neuromotorik ringan

Disfungsi neuromotorik ringan merupakan gangguan koordinasi motorik yang bukan sekunder terhadap retardasi mental atau gangguan neurologis lain sepert palsi serebral. Kondisi ini bisa merujuk pada gangguan perkembangan koordinasi, clumsy child syndrome, gangguan perkembangan spesifik dari fungsi motorik, dan palsi serebral minimal.

Jenis-jenis Gangguan Oromotor

Penyakit yang mendasari problem feeding berdasarkan gangguan fungsional saat mengisap, menelan, dan bernafas.

a. Etiologi gangguan mengisap Gangguan mengisap dapat disebabkan oleh masalah-masalah pada oral, gastrointestinal, kardiorespirasi dan proses menelan.

1. Kelainan anatomis, misalnya : sumbing langitan dan palatum, micrognathia, macroglosia, hemangioma pada lidah. 2. Kontrol muskular yang kurang baik. Merupakan akibat sekunder dari defisit neurologis misalnya akibat asfiksia, sindroma Down, palsi serebral. 3. Nyeri atau tidak nyaman pada rongga oral, bisa disebabkan oleh infeksi atau trauma/laserasi.

b. Etiologi gangguan proses menelan

Bisa disebabkan oleh abnormalitas anatomis atau neuromuskuler serta gangguan tahapan proses menelan. Abnormalitas anatomis bisa karena sumbing bibir dan langitan, fistula trakeoesofageal, lesi esofagus atau trauma abnormalitas neuromuskuler karena keterlambatan perkembangan akibat prematuritas, ensefalopati, hidrocephalus atau palsi serebral. 175

c. Etiologi gangguan pernafasan

Ada beberapa proses penyakit dan anomali pada sistem pernafasan yang berpengaruh terhadap proses feeding pada anak. Dibagi berdasarkan susunan anatomis sistem pernafasan. 1. Susunan saraf pusat. Defek kongenital dan anomali pada pusat pernafasan di otak dapat mengganggu ventilasi. Misalnya pada depresi susunan saraf pusat karena narkotika, pendarahan. 2. Saluran napas atas dan bawah. Obstruksi pada mulut, hidung, faring, laring, trakea, bronki, bronkioli, akan meningkatkan resistensi aliran udara sehingga meningkatkan kerja pernapasan (seperti intubasi atau ekstubasi), tracheomalacia, laringomalacia, asma, bronkitis, dll. 3. Rongga toraks. Penyakit yang mengurangi efektifitas gerak rongga toraks atau diafragma. Misalnya: kyposcoliosis, myopati, ascites, dsb.

Pokok Bahasan 3 : Diagnosis Fungsional pada Gangguan Motorik Kasar, Motorik Halus dan Oromotor Faktor Risiko kelainan motorik 1. Faktor risiko kehamilan a. Diabetes atau hipertiroid b. Hipertensi c. Infeksi intrauterin d. Gizi ibu buruk e. Kejang f. Incompetent servix g. Placenta previa h. Teratogen (alkohol, obat-obatan, paparan radiasi )

2. Faktor risiko persalinan a. Ketuban pecah dini lebih dari 24 jam infeksi b. Gawat janin c. Multiparitas d. Letak lintang, sungsang dan letak muka e. Trauma saat persalinan

3. Faktor risiko neonatus a. Prematur (kurang dari 37 minggu gestasi) b. Berat badan lahir rendah (kurang dari 1500 gram) c. Hipoksia or asfiksia d. Meningitis e. Perdarahan Interventricular f. Leukomalacia Periventricular

4. Faktor risiko lain

176

a. Sindrom genetik b. Abnormalitas kromosom c. Riwayat keterlambatan pada keluarga

Skrining perkembangan motorik dan deteksi dini gangguan motorik adalah dengan menggunakan Denver II. Untuk melakukan diagnosis pada gangguan motorik, selain melakukan anamnesis riwayat penyakit, perlu juga untuk melihat tanda-tanda klinis gangguan gerak, diantaranya : 1. Tonus otot abnormal a. Tonus atau pola gerak yang tidak simetris diantara dua sisi tubuh b. Gerakan lengan lebih lemas daripada tungkai dan kaki c. Tubuh kaku dengan bahu dan kepala tertarik ke belakang pada saat berbaring atau saat di tarik ke arah duduk d. Batang Tubuh Lemas - Bayi melorot pada saat di angkat - Saat bayi di telungkupkan di atas lengan kulit perut menggelambir e. Kaki posisi jinjit f. Tangan mengepal

2. Observasi gerak dan postur a. Berguling dengan gerakkan lengan dan tungkai sebaqai satu kesatuan setelah usia 6 bulan b. Kepala dan leher melengkung ke belakang pada saat tengkurap disertai dengan leher yang terkulai ke belakang saat di tarik menuju ke posisi duduk c. Kepala dan leher di angkat saat tengkurap tapi lengan lurus ke belakang di samping tubuh d. Anak berdiri, pada saat di tarik ke arah duduk dari posisi baring e. Kemungkinan yang dapat terjadi pada posisi duduk: - Anak duduk menumpu pada tulang ekor - Panggul dan lutut pada posisi menekuk dan mengarah ke dalam - Duduk dengan tungkai pada posisi “w” - Cenderung melemparkan tubuh ke belakang pada saat duduk f. Kemungkinan yang terjadi pada posisi merangkak: - Tungkai bergerak sebagai satu kesatuan sehingga gerakan kelinci melompat dan menghasilkan: - Tungkai tetap lurus dan saling menempel saat merayap (menarik badannya ke depan dengan lengan) - Pada saat berdiri dengan di topang tungkai terlalu lurus, saling menempel dengan kaki jinjit g. Kemungkinan yang dapat terjadi pada saat berjalan: - Tungkai dan lutut tertekuk dan kaki bertumpu di bagian dalam - Kadang - kadang berjalan jinjit dan lutut melengkung ke belakang 177

Tabel 2 Tolak ukur perkembangan motorik kasar, motorik halus, oromotor Usia (Bulan)

Motorik Kasar

Motorik Halus

0 - 1,5

• Refleks awal

1,5 - 4

• Menegakkan kepala • Memegang kerincingan • Memutar badan • Menjangkau benda dari punggung ke yang bergoyang dengan samping kedua tangannya

4-8

8 - 12

• Refleks awal mulai menghilang • Dapat mempertahankan kepalanya • Dapat melakukan posisi telungkup • Duduk sendiri

• Merangkak dengan tangan dan lutut • Berdiri sendiri • Berjalan dengan bantuan

12 - 18 • Melempar bola • Merangkak atau memanjat tangga • Menunduk dari posisi berdiri • Berjalan sendiri

Oromotor

• Mengenggam erat jari orang dewasa dengan kepalan tangannya

• Suckle on nipple

• Mengambil mainan balok • Membenturkan mainan • Menggunakan ibu jari dan telunjuk untuk mengenggam

4 – 6 bulan : • Suckle off spoon • Progress from suckle to suck 6 – 9 bulan : • Minum melalui gelas dengan bantuan • Vertical munching • Gerakan lidah ke lateral terbatas 9 – 12 bulan : • Semakin mampu minum dari gelas tanpa bantuan

• Menyusun dua balok • Melepaskan pegangan terhadap benda • Menggunakan gerakan menjepit • Dapat memegang krayon • Memutar pegangan pintu • Mendorong, menarik, menepuk mainan • Membalik halaman pada buku dengan kertas yang tebal

• Gerakan lidah ke lateral • Mengunyah diagonal • Minum lewat sedotan

• Mencoret-coret dengan • Mengunyah dengan 18 - 24 • Berdiri dari posisi membungkuk krayon gerakan rotasi • Memanjat kursi • Intake makanan • Menyelesaikan puzzle • Berdiri dengan satu berkurang setelah sederhana kaki mencapai usia 24 bulan • Mengendarai mainan mobilmobilan • Menendang bola 24-29 bulan 29-36 bulan

• Berjalan dengan kaki yang bergantian • Berlari, melompat dengan kedua kaki

• Merentangkan manikmanik • Mencoret dengan lebih terarah

• Melompat di tempat • Menggunakan gunting • Mengendarai sepeda roda tiga 178

• Maturitas meningkat • Mengunyah makanan lebih padat dan keras

Tabel 3. Gerakan tangan lainnya Usia

Perkembangan



3 tahun

Membuka tutup botol



7 tahun

Aposisi jari dan ibu jari



6 tahun

Menggunting

Gambar 1. Keterampilan Motorik Kasar

Gambar 2. Keterampilan Motorik Halus

179

Diagnosis Gangguan Oromotor Tanda-tanda klinis kemungkinan masalah makan - Waktu makan memanjang (> 30 menit) - Anak dan / atau orang tua merasa tertekan saat waktu makan tiba atau akan tiba - Refleks isap buruk, kesulitan mengisap - Makan / minum bocor lewat mulut - Retraksi / protraksi lidah berlebihan - Menahan makanan dalam mulut atau mengunyah dalam waktu lama sebelum menelan - ‘ngeces’ (drooling) berlebihan - Adanya indikasi gawat napas saat fase oral (misalnya melengkungkan punggung, mata terbuka lebar, napas cuping hidung, susah menarik napas) - Suara serak saat makan - Kesulitan mengubah tekstur sesuai masa perkembangan - Batuk atau tersedak saat makan - Sering muntah atau meludah berlebihan saat atau setelah makan - Berat badan rendah - Selera makan rendah - Memberi respons negatif terhadap pemberian makanan

Komponen pemeriksaan awal oromotor : Anamnesis, pemeriksaan fisik dan riwayat penyakit secara komprehensif - Struktur dan fungsi system oral, fasial, faringeal, respirasi dan gastrointestinal - Kondisi lain yang dapat mempengaruhi toleransi dan stamina anak (seperti kondisi jantung) Observasi pola interaksi antara anak dan pengasuh Efek dari tonus otot, postur, gerakan dan posisi

Pemeriksaan oromotor yang akan dilakukan sebelum diberikan makanan atau cairan: - Ada / tidaknya refleks oral - Struktur dan koordinasi gerakan bibir, lidah, palatum molle, dan rahang - Sensori oral - Fungsi laringeal - Kontrol sekresi oral (drooling) - Frekuensi dan usaha bernapas - Kontrol postural oral dan kualitas suara 180

Pemeriksaan makan termasuk - Lingkungan makan - Tingkat kesadaran dan atensi - Afek, temperamen dan tingkat responsif - Kemampuan untuk menenangkan diri dan regulasi diri - Nonnutritive sucking (seperti pada pacifier) - Observasi saat mencoba memberi makan - Menelan - Efek posisi alternatif dan modifikasi proses makan - Evaluasi diet untuk asupan nutrisi yang adekuat

Pokok Bahasan 4 : Penatalaksanaan pada Kasus Gangguan Motorik Kasar, Motorik Halus, dan oromotor Tidak ada pendekatan intervensi atau strategi tunggal yang sesuai untuk semua anak yang memiliki gangguan motorik. Anak yang teridentifikasi selama periode neonatus bisa mendapatkan intervensi pada usia yang sangat muda. Anak lain dapat tidak teridentifikasi selama periode neonatus atau mereka dapat memiliki indikator dini dari masalah motorik potensial yang membutuhkan pemantauan dan surveilans perkembangan sebelum menetapkan kebutuhan intervensi. Dengan tidak mempertimbangkan kapan intervensi dimulai, penting agar keputusan intervensi untuk seorang anak berhubungan erat dengan kebutuhan anak yang ditetapkan pada proses pengkajian. Penting pula untuk mempertimbangan sumber daya, prioritas, dan kekhawatiran keluarga. Karena anak yang memiliki gangguan motorik biasanya memiliki masalah pada area perkembangan yang berbeda, kerja sama tim dan kolaborasi di antara para ahli merupakan komponen yang penting untuk intervensi yang sukses. Memilih Intervensi

Terdapat banyak jenis program dan pendekatan jenis intervensi yang dapat dipertimbangan untuk anak yang memiliki gangguan motorik. Beberapa pendekatan, seperti terapi fisik, terapi okupasi, dan terapi bicara/bahasa, dapat dipertimbangkan sebagai terapi standar atau tradisional. Terdapat pula teknik terapeutik bervariasi (seperti terapi air atau terapi menunggang kuda) yang biasanya merujuk pada komplementer atau alternatif. Pendekatan ini bervariasi dalam bagaimana mereka digunakan, komitmen waktu yang dibutuhkan (intensitas), bahasa, ketersediaan, dan bahaya dan keuntungan potensial. Orang tua cenderung untuk mencari banyak informasi mengenai pilihan intervensi, termasuk tuntutan bahwa intervensi tertentu bisa memberikan perubahan 181

dramatis pada kondisi anak mereka. Orang tua perlu memahami bagaimana mengevaluasi informasi ini dan para ahli perlu untuk memahami bagaimana membantu mereka membuat keputusan intervensi.

Beberapa intervensi anak dalam masalah motorik mungkin tidak memberikan dampak untuk meningkatkan keterampilan motorik namun dapat tetap bermanfaat bagi anak jika intervensi menyediakan aktivitas fisik, interaksi sosial, atau kesempatan untuk meningkatkan perkembangan secara keseluruhan. Direkomendasikan penggunaan intervensi apapun termasuk program di rumah dari aktivitas dan latihan terapeutik, didasarkan pada pengkajian kekuatan spesifik dan kebutuhan anak dan keluarga. Mempertimbangan Status Kesehatan Anak

Sebelum memulai intervensi terhadap anak dengan gangguan motorik, penting untuk mengkonsultasikan dengan dokter primer sang anak untuk mendapat seluruh informasi mengenai status kesehatan anak dan kondisi kesehatan yang berhubungan yang mungkin mempengaruhi aktivitas motorik dan untuk meyakinkan bahwa tidak ada kontraindikasi terhadap intervensi. Penting untuk memonitor status kesehatan anak dan toleransi terhadap aktivitas motorik sepanjang intervensi. Memilih Target dan Strategi Intervensi

Model dari strategi intervensi yang komperhensif direkomendasikan untuk anak yang memiliki gangguan motorik. Model ini mencakup penerapan intervensi dalam berbagai situasi dan menyediakan jasa dukungan keluarga. Sebaiknya strategi, tujuan, dan obyektif intervensi dikembangkan dengan partisipasi orang tua, sesuai dengan budaya keluarga, dan membantu integrasi anak dan keluarganya ke dalam komunitas. Intervensi yang membantu orang tua yang mendapat pemahaman lebih luas dari perkembangan kognitif, sensorik, dan motorik anak mereka dapat memampukan mereka meningkatkan interaksi orang tua – anak. Ketika memilih strategi, tujuan, dan obyektif intervensi, penting untuk mempertimbangkan status kesehatan anak dan kebutuhan dan keterampilan perkembangan, seperti juga bahaya dan risiko potensial yang berhubungan dengan intervensi. Direkomendasikan pula target perilaku untuk tiap anak diidentifikasikan secara jelas dengan kriteria yang sesuai dan dapat diukur. Penting untuk berkerja dengan orang tua untuk menemukan cara melibatkan anggota keluarga dan pengasuh lain dalam membantu anak mencapai tujuan intervensi. Menetapkan Suasana Intervensi

Dalam menetapkan suasana yang paling tepat untuk intervensi penting untuk 182

mempertimbangkan: a. Bagaimana lingkungan alami anak mendukung obyektif intervensi b. Kesesuaian suasana untuk mendukung kebutuhan orang tua dan keluarga c. Respon anak dalam intervensi saat ini d. Perkembangan kognitif, sosial, komunikasi, dan motorik anak (kemampuan untuk mengikuti petunjuk, duduk tetap, berinteraksi dengan teman, dan sebagainya) e. Status kesehatan anak dan kondisi kesehatan yang berhubungan.

Penting untuk mengenali bahwa anak yang sudah cukup berkembang dan siap berinteraksi dengan teman sebaya lebih bermanfaat jika terlibat dalam program perkembangan motorik dalam kelompok. Menentukan Frekuensi dan Intensitas Intervensi

Dalam memutuskan frekuensi dan intensitas intervensi motorik, penting untuk mempertimbangkan kondisi keparahan anak dan kemampuan anak untuk terlibat dan bertoleransi terhadap terapi (yang berakibat dalam panjangnya sesi). Kebutuhan anak, dan tujuan bagi anak, juga harus dipertimbangkan, sejalan dengan kemajuan yang diperoleh. Situasi intervensi juga harus dipertimbangkan. Menyeimbangkan intervensi dengan jadwal dan rutinitas anak dan keluarga juga penting. Penatalaksanaan dini kasus gangguan motorik halus

* Meningkatkan Perkembangan Keterampilan Motorik Halus * Meletakkan mainan sesuai kemampuan jangkuan anak dan mendorong ia meraihnya. Tetapi jangan membuat anak frustrasi saat anak mau mencapainya kemudian anda menjauhkan lagi mainan tersebut. * Mendorong anak bermain * Meningkatkan ketrampilan makan secara mandiri * Meletakkan anak pada kursi dengan posisi yang tepat dan nyaman * Menggunakan pendekatan tahap demi tahap untuk makanan padat dan menggunakan alat * Minum minuman yang kental baru berangsur yang lebih encer * Meningkatkan keterampilan berpakaian (motorik halus & kasar) * Mendemonstrasikan di hadapan anak. * Memberikan waktu untuk mempraktekkan dan memberi waktu yang lebih lama daripada anak normal. * Memilih pakaian yang mudah dipakai * Meningkatkan keterampilan menjaga kebersihan diri 183

* Mengingatkan akan pentingnya kebersihan diri, membantu anak mempertahankankan kebersihan wajah. * Menentukan rutinitas untuk mempertahankan kebersihan diri (menggosok gigi, mandi, berpakaian, menyisir rambut, memakai make-up dll) * Ketika menginjak dewasa perlu diajarkan untuk menggunakan tampon/pad. Diskusikan untuk mengetahui kapan menstruasi dan membawa tampon saat bepergian. Penanganan Gangguan Oromotor

Untuk bayi atau anak yang mengalami masalah makan dan menelan akibat gangguan motorik, program terapi makan dapat dibuat dan dilaksanakan. Penatalaksanaan yang diberikan harus: - Aman, dengan resiko aspirasi minimal. - Fungsional, dengan cukup kalori dan asupan nutrisi dalam periode waktu tertentu - Menyenangkan, dengan peningkatan aspek nutritif (nurturing) dan komunikatif dari makanan baik untuk anak maupun keluarga.

Keberhasilan makan per oral tergantung banyak faktor, termasuk struktur anatomik, kesehatan dan perkembangan anak. Gangguan dari salah satu faktor ini dapat menyebabkan masalah makan dan menelan.

Ada berbagai pertimbangan dan teknik penanganan yang berbeda tergantung pada fase dari masalah makan atau menelan. Juga ada berbagai pertimbangan dalam penanganan anak yang diberikan makanan secara non-oral atau tube feedings dan anak yang sedang dalam perubahan dari tube menjadi per oral. Makan per oral tidak selalu merupakan tujuan yang dapat dicapai pada beberapa anak dengan masalah makan dan menelan. Pokok Bahasan 5 : Fokus intervensi sesuai dengan usia dan/atau Kasus

Intervensi untuk gangguan gerak usia lahir sampai 4 bulan di fokuskan pada perkembangan mengontrol postur (kemampuan mengontrol kepala dan batang tubuh). Perkembangan kontrol postural yang optimal sama seperti keterampilan gerak spesifik yang akan membantu memfasilitasi perkembangan selanjutnya. Kontrol postur yang buruk menunjukan kemungkinan dipergunakannya pola gerak kompensasi yang selanjutnya dimasa datang akan mengganggu perkembangan geraknya. Oleh karena itu, ada beberapa hal penting yang perlu mendapat perhatian: 1. Bayi melakukan eksplorasi taktil terhadap tubuhnya sendiri, tangan ke wajah, kepala, dada, kaki 184

2. Orientasi ke garis tengah tubuh seperti dari tangan kanan ke kiri, tangan ke kaki dan kaki kanan ke kaki kiri dan sebaliknya 3. Berguling simetris 4. Perpindangan berat badan bertahap pada posisi tengkurap dan telentang sebagai persiapan peralihan kemampuan dan bergerak dari perkembangan ketrampilan gerak horizontal (lahir - 6 bulan) menuju ke arah perkembangan gerak vertical (7 – 12 bulan) 5. Tangan ke kaki atau lutut pada posisi telentang untuk mengembangkan kekuatan otot – otot perut 6. Bermain pada posisi telungkup untuk mengembangkan kekuatan leher, panggul dan batang tubuh Fokus pada intervensi gerak halus di mulai pada usia 2 – 4 bulan. Hal ini sebagai dasar perkembangan ketrampilan halus selanjutnya. Komponen intervensi pada usia ini harus meliputi: 1. Menumpu berat badan untuk menghambat reflek genggam 2. Mengaktifkan anggota gerak atas dalam merespon mainan 3. Menggaruk dan menggenggam benda 4. Tangan ke mulut 5. Memperhatikan tangannya 6. Menggenggam mainan saat di letakkan di tangan Hal – hal yang perlu di perhatikan untuk usia 4 – 12 bulan

Penting untuk melanjutkan intervensi gerak yang berhubungan dengan kontrol postural selama tahun pertama perkembangan. Intervensi disini terfokus pada ketrampilan gerak kasar dan halus, sebagai berikut: 1. Perkembangan kontrol postural tegak untuk kepala dan pemberian beban pada alat gerak atas pada posisi tengkurap (gerak kasar) 2. Perkembangan kontrol kepala dan batang tubuh untuk kesegarisan yang optimal pada posisi duduk (gerak kasar) 3. Perkembangan kontrol postural stabilitas scapula dan kekuatan anggota gerak atas untuk membantu kontrol gerak halus (gerak halus) 4. Mampu beralih dari posisi tengkurap ke duduk, duduk bertumpu pada tangan dan lutut dan duduk ke berdiri (gerak kasar) 5. Perkembangan variasi duduk (bersila, selonjor, duduk menyamping, dll) (gerak kasar) 6. Perkembangan kekuatan tungkai untuk membantu perkembangan berdiri (gerak kasar) 185

7. Perkembangan peralihan gerakan dan mobilisasi (rolling pivot prone, merayap dengan perut, baring dan duduk bergantian, dll) untuk ekplorasi lingkungan (gerak kasar) 8. Perkembangan kontrol postural yang sesuai untuk menumpu berat badan (gerak kasar dan halus)

Bila terdapat kelemahan diperlukan latihan penguatan setelah usia 4 bulan. Hal ini penting bagi beberapa anak yang mempunyai gangguan gerak untuk memperkuat otot – otot yang diperlukan untuk stabilitas sendi dan reaksi postural. Aktivitas yang memberi tahanan dapat dipergunakan apabila diperlukan untuk mempertahankan tonus otot normal. Aktivitas itu berupa: 1. Latihan dengan tahanan yang bertahap 2. Bermain dengan berat mainan yang bervariasi 3. Mengambil benda – benda kecil 4. Mengangkat, membawa, mendorong mainan

Pada saat anak berumur 6 bulan diberikan intervensi gerak kasar dan halus yang lebih spesifik. Komponennya berupa:

1. Gerak kasar a. Perkembangan gerak yang cukup dan kekuatan tungkai untuk beralih, menumpu gerak badan dan perkembangan ketrampilan berjalan. b. Perkembangan gerakan pinggul yang berhubungan dengan tungkai dan gerak tulang belakang untuk memungkinkan anak bergerak seperti merayap dan meluncur dan menuju berdiri. c. Kemampuan memindahkan berat badan dengan mudah dalam berbagai posisi.

2. Gerak halus a. Perkembangan kemampuan bergerak melawan gravitasi, membawa tangan b. menuju ke garis tengah tubuh dan mulut. c. Stabilitas bahu saat tengkurap dan meraih. d. Perkembangan otot – otot tangan terutama lengkung tangan. e. Menjumput mainan. f. Memindahkan benda dari satu tangan ke tangan lain. g. Menjepit mainan. 186

Hal – hal penting yang perlu diperhatikan untuk anak usia 12 – 24 bulan Komponen penting intervensi meliputi:

1. Gerak kasar a. Perkembangan berjalan tanpa bantuan b. Memanjat c. Merayap naik turun tangga

2. Gerak halus a. Pola gerak halus dan manipulasi b. Koordinasi bilateral c. Melepas objek, seperti memasukkan balok ke dalam wadah d. Koordinasi mata – tangan, seperti mencocokkan puzzle e. Meningkatkan kemampuan pola menggengam, kekuatan mencengkram dan f. kontrol jari tangan seperti meletakkan benda pada wadah menggunakan g. sendok, krayon dan gelas h. Memutar lengan bawah

Hal – hal penting setelah usia 24 bulan

Komponen penting intervensi pada anak, pada periode ini:

1. Gerak kasar a. Berjalan cepat dan berlari dini b. Mulai berjalan naik dan turun tangga dengan bantuan c. Mencoba berdiri satu kaki d. Mencoba melompat e. Mendorong mainan yang beroda f. Mulai mempergunakan fasilitas arena bermain di luar ruang/rumah

2. Gerak halus a. Menggunakan alat tulis dan gunting b. Menggunakan perlatan untuk aktivitas kehidupan sehari - hari c. Manipulasi balok, biji – bijian, puzzle, gagang pintu dan tutup wadah

Prinsip umum penanganan oral- motor untuk bayi dan anak yang mengalami gangguan motorik : 1. Disarankan bahwa pendekatan terapi oromotor dipertimbangkan dalam keseluruhan seorang anak (misalnya, aman, nyaman, menyenangkan) 2. Disarankan bahwa keputusan penanganan dibuat dengan pemahaman bahwa status nutrisi dan respirasi merupakan hal yang penting. 187

3. Disarankan bahwa tenaga ahli dan orang tua tetap dengan teliti memperhatikan status nutrisi pada anak dengan gangguan motorik yang memerlukan kombinasi terapi oromotor dan tambahan kalori per oral. 4. Gangguan gastrointestinal harus ditangani secara optimal termasuk gastroesophageal reflux untuk mencapai program makan peroral dan fungsi oromotor yang bermakna sesuai tujuan. 5. Semua orang yang menangani anak dengan gangguan motorik harus menyadari dan mengingat bahwa perubahan tatalaksana diperlukan saat anak mengalami kemajuan atau kemunduran. 6. Feeding/eating merupakan proses pembelajaran. Perkembangan pola dan kemampuan feeding/eating perlu distimulasi melalui pengenalan dan pemaparan terhadap berbagai makanan dan meningkatkan pengalaman makan (penggunaan peralatan makan dan tekstur makanan, dsb). Penanganan masalah makan dan menelan sesuai fase :

1. Intervensi oromotor sebaiknya terutama diarahkan pada fase oral preparatory dan fase oral (gerakan makanan atau cairan melalui mulut untuk persiapan menelan dan gerakan menelan).

2. Selama fase oral preparatory atau fase pembentukan bolus (seperti mengunyah), strategi berikut sebaiknya dapat digunakan: • Mengubah tekstur, temperatur, dan ukuran bolus untuk memfasilitasi perbaikan timing of swallowing. • Memilih peralatan makan yang sesuai untuk terapi makan yang aman dan mendapatkan kemandirian. • Memastikan posisi kepala dan leher tepat di tengah tanpa deformitas struktural (struktur yang berbeda memerlukan modifikasi pengaturan kepala dan leher untuk memastikan makan dapat dilakukan dengan aman) • Menunggu hingga anak sudah menelan dan mulut bersih dari sisa makanan atau cairan sebelum memberikan yang berikutnya sehingga makanan dalam mulut tidak terlalu banyak hingga anak kesulitan untuk mempersiapkan proses menelan secara efektif. • Mengarahkan terapi pada struktur anatomik spesifik (seperti rahang, bibir, pipi, lidah atau langit-langit).

3. Penanganan masalah fase oral sebaiknya mempertimbangkan: • Posisi yang tepat untuk fasilitasi koordinasi yang aman antara bernapas dan menelan (posisi yang sesuai dan penopang untuk punggung, leher dan kepala sesuai kebutuhan khusus anak) 188

• • •

Aspek sensori (hiposensitivitas atau hipersensitivitas: dapat dipertimbangkan perubahan dalam temperatur, tekstur atau rasa). Penyajian (timing, ukuran bolus, peralatan makan, suasana lingkungan) Tekstur (masalah tekstur yang umum terjadi adalah cairan encer, makanan yang kering atau kasar, makanan dengan beragam tekstur, dan makanan yang tidak larut seperti buah atau sayuran tidak diolah)

4. Penanganan masalah fase faringeal secara tidak langsung antara lain: • Terapi oromotor yang membantu memperbaiki propulsi lidah terhadap bolus. • Pengaturan posisi dan perubahan tekstur untuk meningkatkan keamanan dalam pharyngeal swallow • Perubahan tekstur yang memungkinkan menelan tanpa keterlambatan, batuk, tersedak, atau tanda lainnya.

5. Penanganan masalah fase esofageal sebaiknya termasuk intervensi medis atau bedah. Pokok Bahasan 6 : Aplikasi Handling yang Benar * * * * * *

Melatih gerakan pasif dan penguluran otot yang spastik {kaku}. Latihan harus diberikan tiap hari lebih baik kalau diberikan minimal 3 kali sehari, setiap sendi dilakukan gerakan minimal 3 kali. Melatih cara menggendong anak Melatih cara memakaikan pakaian Melatih menyuapi anak tanpa atau dengan bantuan alat-alat adaptasi (sendok makan, gelas/cangkir ) Memposisikan anak pada “balance standing” sambil diberi mainan Melatih anak menulis tanpa atau dengan alat bantu

VII. EVALUASI

1. Jelaskan karakteristik perkembangan motorik halus, kasar dan oromotor yang normal 2. Sebutkan jenis gangguan motorik kasar, halus, dan oromotor

3. Jelaskan diagnosis fungsional pada gangguan motorik kasar, halus dan oromotor 4. Jelaskan penatalaksanaan pada kasus gangguan motorik kasar, motorik halus dan oromotor. 5. Jelaskan fokus intervensi sesuai usia.

6. Bagaimana aplikasi handling yang benar 189

VIII. RANGKUMAN Perkembangan motorik merupakan peningkatan tahapan kompleks kontrol terhadap penggunaan otot-otot untuk mobilitas, keseimbangan dan postur yang benar dan manipulasi benda untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Kelainan motorik mencakup abnormalitas tonus otot, postur, pergerakan dan kemahiran dalam keterampilan motorik. Gangguan perkembangan motorik mencakup keterlambatan motorik yang merupakan bagian dari keterlambatan perkembangan umum, keterlambatan motorik yang dapat timbul dari hipotonia, dan disfungsi neuromotorik ringan. Penatalaksanaan gangguan motorik meliputi skrining, pemeriksaan fisik, serta intervensi gangguan yang disesuaikan dengan usia. IX. DAFTAR PUSTAKA 1. Buku Pedoman Penanganan Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang. Kementerian Kesehatan RI 2. New York State Department of Health. Clinical Practice Guideline Motor Disorders Assessment and intervention for Young children (Age 0-3 Year). New York State Department of Health. 3. Alexander Rona, Boehme Regi, Cupps Barbara. Normal Development of Functional Motor Skills. Arizona : Therapy Skill Builders; 1993 4. Morris S.E., Klein M.D. Pre-Feeding Skills.2nd ed.USA:Therapy Skill Builder: 2000. p. 62-68 5. Aubert E.J. Motor development in the normal child. In : Tecklin J. S. Pediatric physical therapy. 4th ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins; 2008.p. 22 6. Bobath, K. (1969) The Motor Deficit in Patient with Cerebral Palsy, HeinemannMedical, London 7. Campbell, 2007, Physiotherapy Pediatrics, Lippicot, 24-153. 8. Cech, D, Martin, S, (1995). Functional Movement Development a Cross The Life Span, W.B. Saunders Company. 9. Eckersley, P.M, (1993). Elements Of Paediatric Physiotherapy, Churchill Livingstone. 10. Molnar, GE., (1985), Paediatric Rehabilitation, William & Wilkins, Baltimore 11. Scott, S.B., (1999) Handbook of Mobilization in the Management of Children with Neurologic Disorders, Butterworth Heinemann 12. Shepherd, RB., (2000) Physical Therapy in Paediatrics, 2nd ed, William Heinemann, London 13. Soetjiningsih, (1998) Tumbuh Kembang Anak, EGC, Jakarta 14. Teeklin (1989), Paediatrics Physical Therapy, Harper & Raw Publisher 190

MODUL 9 GANGGUAN PERTUMBUHAN

I. DESKRIPSI SINGKAT Modul ini menjelaskan mengenai karakteristik pertumbuhan normal, aspek yang berperan pada proses pertumbuhan, penggunaan kurva pertumbuhan WHO, penegakan diagnosis gangguan pertumbuhan, penatalaksanaan kasus gangguan pertumbuhan sesuai etiologinya Bila ditemukan penyebab gangguan pertumbuhan yang memerlukan pemeriksaan penunjang, dapat dilakukan rujukan ke level yang lebih tinggi.

Materi pelatihan ini memberi pengetahuan kepada tenaga kesehatan yang akan menerima dokter spesialis anak untuk menangani kasus gangguan pertumbuhan. Materi pelatihan ini memberi pengetahuan kepada dokter spesialis anak untuk menangani kasus gangguan pertumbuhan dan bekerja secara terintegrasi dengan tim. Metode yang digunakan dalam modul ini adalah ceramah, tanya jawab,demonstrasi, studi kasus, presentasi kasus, dan praktik

II. TUJUAN PEMBELAJARAN

A. Tujuan Pembelajaran Umum

Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu menjelaskan pertumbuhan normal, melakukan deteksi gangguan pertumbuhan, dan penatalaksanaan dan evaluasi hasil penanganan kasus gangguan pertumbuhan sesuai peran masing-masing anggota tim

B. Tujuan Pembelajaran Khusus

Setelah mempelajari materi ini, peserta mampu: 1. Menjelaskan karakteristik pertumbuhan normal sesuai kurun usia anak dan mahir melakukan pengukuran secara akurat dengan alat standar (sesuai buku pedoman SDIDTK) 2. Menjelaskan beberapa aspek yang berperan pada proses pertumbuhan 3. Menjelaskan pemeriksaan antropometri pada anak dan penggunaan kurva pertumbuhan WHO tahun 2005 4. Melakukan interpretasi /analisis kurva pertumbuhan 5. Menegakan diagnosis gangguan pertumbuhan dan mengetahui penyebabnya (etiologi) 6. Melakukan intervensi dini/Penanganan gangguan pertumbuhan sesuai etiologi 7. Melakukan evaluasi hasil intervensi dan merujuk ke level lebih tinggi apabila dianggap perlu 191

III. POKOK BAHASAN 1. Karakteristik pertumbuhan normal sesuai kurun usia anak 2. Faktor-faktor yang berperan pada proses pertumbuhan 3. Pemeriksaan antropometri pada anak dan penggunaan kurva pertumbuhan WHO tahun 2005 4. Interpretasi /analisis kurva pertumbuhan WHO 2005 5. Diagnosis gangguan pertumbuhan dan penyebabnya (etiologi) 6. Intervensi dini/Penanganan gangguan pertumbuhan sesuai etiologi 7. Evaluasi hasil intervensi

IV. BAHAN BELAJAR

1. Modul Gangguan Pertumbuhan 2. Pedoman Penanganan Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang Balita 3. Buku Teks

V. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN

Berikut merupakan langkah-langkah kegiatan pembelajaran:

Langkah 1: Pengkondisian peserta Langkah pembelajaran: • Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum pernah menyampaikan sesi di kelas, mulailah dengan perkenalan. Perkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkap, instansi tempat bekerja, materi yang akan disampaikan. • Sampaikan tujuan pembelajaran materi ini dan pokok bahasan yang akan disampaikan, sebaiknya dengan menggunakan bahan tayang. Langkah 2. Penyampaian Materi Langkah pembelajaran: • Fasilitator menyampaikan paparan seluruh materi sesuai urutan pokok bahasan dan sub pokok bahasan dengan menggunakan bahan tayang. Fasilitator menyampaikan materi dengan metode ceramah tanya jawab, kemudian curah pendapat.

Langkah 3. Rangkuman dan Kesimpulan Langkah pembelajaran: 1. Fasilitator melakukan evaluasi untuk mengetahui penyerapan peserta terhadap materi yang disampaikan dan pencapaian tujuan pembelajaran. 2. Fasilitator merangkum poin-poin penting dari materi yang disampaikan. 3. Fasilitator membuat kesimpulan. 192

VI. URAIAN MATERI Pokok Bahasan 1 : Karakteristik Pertumbuhan Normal Sesuai Kurun Usia Anak Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran dan jumlah sel serta jaringan intraseluler. Pertumbuhan merupakan perubahan fisiologis sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi fisik. Pertumbuhan juga dapat diartikan sebagai proses aktualisasi potensi herediter yang berlangsung secara berkesinambungan. Hasil pertumbuhan antara lain bertambahnya tinggi dan berat badan, tulang-tulang menjadi lebih besar-panjang-berat-kuat, perubahan pada sistem persyarafan, serta perubahan-perubahan pada struktur jasmaniah lainya. Pertumbuhan bersifat kuantitatif, sehingga dapat diamati dengan mengukur berat badan, tinggi badan, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul, lingkar lengan, dan sebagainya. Pemantauan pertumbuhan dilakukan secara berkala, sehingga penyimpangan pertumbuhan dapat dideteksi sedini mungkin dan intervensi langsung dapat dilakukan. Adapun jadwal pemantauan pertumbuhan sebagai berikut : -

Bayi lahir sampai usia 1 tahun dilakukan setiap bulan

-

Usia anak sekolah dan remaja (6-18 tahun) satu dalam setahun

-

Usia balita sampai 5 tahun setiap 3 bulan sekali

Pokok Bahasan 2 : Faktor-faktor yang Berperan pada Proses Pertumbuhan Pertumbuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu :

1. Faktor sebelum lahir. Misalnya : kekurangan gizi pada ibu dan janin; janin terkena virus, keracunan sewaktu bayi berada dalam kandungan, ibu terinfeksi oleh bakteri (syphilis, TBC, kolera, tiphus), gangguan hormon tiroid, diabetes melitus, dan sebagainya. 2. Faktor ketika lahir. Misalnya, pendarahan pada bagian kepala bayi yang disebabkan oleh tekanan dari dinding rahim ibu sewaktu ia dilahirkan, gangguan pada susunan syaraf pusat karena kelahiran bayi dengan bantuan forcep.

3. Faktor sesudah lahir. Misalnya, pengalaman traumatik (luka-luka) pada kepala, kepala bagian dalam terluka karena bayi jatuh, kepala terpukul, infeksi pada otak atau selaput otak (contoh : meningitis), dan kekurangan zat gizi. 193

Pokok Bahasan 3 : Pemeriksaan antropometri pada anak dan penggunaan kurva pertumbuhan WHO tahun 2005 •

Pengukuran berat badan, panjang/tinggi badan

1. Mengukur berat badan anak dengan timbangan tared (tared scale) Jika anak berusia di bawah 2 tahun, lakukan penimbangan dengan timbangan yang ditera.



Gb. 1 Ibu menimbang berat badan sendiri Gb. 2 Melakukan tera timbangan Gb. 3 Bayi ditimbang bersama ibunya

Jika anak berusia 2 tahun atau lebih dan dapat berdiri, timbang anak sendirian. Jika anak melompat-lompat di atas timbangan atau tidak bisa tetap berdiri diam, gunakan cara penimbangan yang ditera sebagai gantinya

2. Mengukur panjang atau tinggi Tergantung pada usia anak dan kemampuannya untuk berdiri, ukur panjang atau tinggi anak. •

Jika anak berusia kurang dari 2 tahun, ukur panjang anak dengan posisi berbaring (recumbent) menggunakan papan pengukur panjang (length board) yang diletakkan di atas permukaan datar, permukaan harus stabil misalnya meja.

Gb. 4 Papan pengukur panjang (Length board) 194





Jika anak berusia 2 tahun atau lebih, ukur tinggi dengan cara berdiri kecuali kalau anak tidak bisa berdiri. Gunakan papan pengukur tinggi (height board) dalam sudut yang tepat antara lantai dan tegak lurus dengan permukaan vertikal misalnya dinding atau tiang

Gb.5 Papan pengukur tinggi (height board)

Papan pengukur tinggi kira-kira 0.7 cm lebih pendek daripada papan pengukur panjang (recumbent length). Perbedaan ini diambil dari perhitungan standar pertumbuhan WHO. Jadi sangat penting untuk mengubah ukuran jika lebih menginginkan pengukuran panjang dibandingkan tinggi, dan sebaliknya. • Jika anak berusia kurang dari 2 tahun, pengukuran panjang tidak dilakukan dengan cara berbaring, tetapi dilakukan dengan berdiri untuk mengukur tinggi badan maka hasilnya ditambah 0.7 cm untuk menngubahnya ke dalam ukuran panjang. • Jika anak berusia 2 tahun atau lebih, tidak bisa berdiri, ukur panjang dalam posisi berbaring dan hasilnya dikurangi 0.7 cm untuk mengubahnya ke dalam ukuran tinggi. • Persiapan untuk mengukur panjang atau tinggi Siapkan mengukur panjang/tinggi segera setelah penimbangan, baju anak dipakaikan kembali. • Pengukuran panjang Tutupi papan pengukuran panjang dengan kain tipis atau kertas yang halus agar higienis dan nyaman bagi bayi.

Gb. 6 Kepala anak melawan fixed headboard

195

Gb. 7 Pengukuran panjang badan



Mengukur Tinggi Ketika Berdiri



Jika usia anak, kurang dari 2 tahun, tambahkan 0.7 cm pada hasil pengukuran tingginya untuk mengubahnya ke ukuran panjang dan catat ke dalam Catatan Kunjungan.



Pastikan papan ukur tinggi sejajar dengan lantai. Periksa sepatu, kaos kaki, dan ornamen rambut; semuanya harus dilepas.

Gb. 8 Pengukuran tinggi badan posisi berdiri

Pokok Bahasan 4 : Interpretasi /Analisis Kurva Pertumbuhan WHO 2005 Tabel 1. Interpretasi/Analisis Kurva Pertumbuhan WHO 2005

Z-score

Indikator Pertumbuhan



Panjang/tinggi Berat Berat BMI terhadap terhadap terhadap terhadap umur umur umur panjang/tinggi

Diatas 3

Lihat note 1

Lihat note 1 Obese

Obese

Underweight Wasted

Wasted

Diatas 2

Overweight Overweight

Diatas 1

Possible risk Possible risk overweight overweight (lihat note 3) (lihat note 3)

0 (median)

Dibawah -1

Dibawah -2 Stunted (lihat note 4) Dibawah -3 Severely Stunted (lihat note 4)

Severely Severely Underweight Wasted 196

Severely Wasted

Catatan: 1. Anak pada rentang ini tergolong sangat tinggi. Tinggi jarang menjadi masalah, kecuali tinggi sangat berlebihan yang mengindikasikan adanya gangguan endokrin seperti tumor yang memproduksi hormon pertumbuhan. Rujuk anak jika dicurigai adanya gangguan endokrin (misalnya jika tinggi kedua orang tua normal, namun anaknya mengalami tinggi yang berlebihan tidak sesuai dengan usianya) 2. Anak yang berat badan terhadap umur berada pada rentang ini mempunyai masalah pertumbuhan, namun lebih baik dinilai dari pengukuran berat terhadap panjang/tinggi atau BMI terhadap umur 3. Point yang diplot pada z-score di atas 1 menunjukkan adanya kemungkinan risiko (possible risk). Adanya kecenderungan menuju garis z-score 2 menunjukkan pasti berisiko (definite risk)

4. Adanya kemungkinan stunted atau severely stunted menjadi overweight * Interpretasi kecenderungan pada kurva pertumbuhan, dan menentukan apakah anak tumbuh normal, mempunyai masalah pertumbuhan atau berisiko mengalami masalah pertumbuhan -

Menyeberang/memotong garis z-score

-

Garis pertumbuhan datar (flat growth line/stagnation)

- Peningkatan dan penurunan tajam pada garis pertumbuhan (growth line) -



Kecenderungan pada BMI terhadap umur

BMI tidak meningkat sesuai dengan umur. BMI pada bayi meningkat tajam dimana pencapaian berat cepat relatif terhadap panjang badan pada 6 bulan kehidupan. BMI kemudian menurun kemudian setelah itu dan relatif stabil dari umur 2 tahun sampai 5 tahun.

Pokok Bahasan 5 : Diagnosis Gangguan Pertumbuhan dan Penyebabnya (Etiologi) A. PERAWAKAN PENDEK Perawakan pendek atau short stature adalah tinggi badan yang berada di bawah minus 2 (- 2) SD pada kurva pertumbuhan WHO 2005. 197



Langkah Diagnostik



b. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik mencakup pemeriksaan sistematis terhadap semua sistem tubuh terutama mencari secara cermat adanya gambaran dismorfik. Pemeriksaan neurologik termasuk pemeriksaan lapang pandang dan funduskopi diperlukan untuk mencari kemungkinan tumor otak. Kelenjar tiroid pada setiap anak juga harus diperiksa., serta perlu dinilai tingkat maturasi kelamin. Auskultasi untuk mencari masalah respirasi dan kardiovaskular dan gangguan abdomen.





a. Anamnesis Anamnesis terutama untuk mencari kemungkinan adanya penyebab patologi. Perlu ditanyakan mengenai riwayat kelahiran dan persalinan, tumbuh kembang, gangguan gizi, penyakit kronis, riwayat pendek dalam keluarga, aspek psikososial, dan riwayat pubertas pada orang. Hendaknya juga kapan mulai terjadi keterlambatan pertumbuhan



Pemeriksaan antropometri, yaitu berat badan, panjang / tinggi badan, dan lingkar kepala menggunakan perangkat yg baku.

c. Analisis kurva pertumbuhan Analisis kurva pertumbuhan merupakan langkah paling penting dalam evaluasi anak yang mengalami gangguan pertumbuhan. Ada empat aspek dari kurva pertumbuhan yang harus dievaluasi secara cermat, yaitu reliabilitas pengukuran, tinggi badan absolut, kecepatan pertumbuhan, dan rasio berat badan terhadap tinggi badan.

d. Penentuan tinggi badan sasaran (target height) Salah satu metode sederhana untuk menentukan apakah anak pendek sesuai dengan potensi genetiknya adalah dengan menentukan tinggi badan sasaran anak.



Rumus untuk menentukan tinggi badan sasaran pada usia 18 tahun adalah: Untuk anak laki-laki:

Tinggi badan ayah (cm) + Tinggi badan ibu (cm) + 13+ 8,5 cm Untuk anak perempuan:

2

Tinggi badan ayah (cm) + Tinggi badan ibu (cm) – 13+ 8,5 cm 2

e. Penentuan rasio segmen atas-bawah tubuh

Penilaian rasio segmen atas-bawah tubuh penting untuk menentukan apakah perawakan pendek proporsional atau tidak proporsional. Pengukuran segmen bawah tubuh dilakukan dengan mengukur jarak antara batas atas simpisis pubis dengan lantai pada anak yang berdiri tegak (tanpa memakai sepatu/sandal). Segmen atas ditentukan dengan mengurangi tinggi badan berdiri anak dengan nilai segmen bawah tubuh. Hasil rasio 198



segmen atas-bawah tubuh dibandingkan dengan nilai normal menurut usia dan jenis kelamin.

Normalnya, rasio segmen atas-bawah tubuh menurun secara progresif setelah lahir dan mencapai nadir selama pubertas awal. Dengan dimulainya pertumbuhan pubertas, rasio segmen atas-bawah tubuh akan meningkat perlahan hingga terjadi fusi epifise. Rasio segmen atas-bawah tubuh yang berkurang ditemukan pada anak dengan skeletal dysplasia, pubertas terlambat, sindrom Kallmann, atau sindrom Klinefelter.

f. Pemeriksaan Penunjang

Berdasarkan hasil analisis awal tersebut, didapatkan kondisi klinis yang menentukan langkah evaluasi selanjutnya.Hasil analisis awal akan menentukan apakah anak termasuk ke dalam kelompok klinis sebagai berikut: 1) Anak kurus yang mengalami deselerasi pertumbuhan linier; 2) Anak dengan gizi baik atau obesitas yang mengalami deselarasi pertumbuhan linier; 3) Anak pendek dengan gambaran dismorfik; 4) Anak pendek dengan kecepatan pertumbuhan normal; dan 5) Anak pendek dengan pubertas yang terlambat.

Pada anak kurus yang mengalami deselerasi pertumbuhan linier, hendaknya dipertimbangkan kemungkinan penyakit gastrointestinal, nutrisi, ginjal atau penyakit sistemik kronik lainnya sebagai penyebabnya.

Banyak penyakit sistemik kronis lainnya yang dapat menimbulkan pola gagal tumbuh yang serupa, sebagian besar tampak jelas secara klinis dan tidak memerlukan banyak pemeriksaan laboratorium.

Pemeriksaan hitung darah lengkap dengan laju sedimentasi dan pemeriksaan elektrolit serum dan urinalisis dapat bermanfaat mengidentifikasi pasien dengan inflammatory bowel disease,renal tubular acidosis atau diabetes insipidus nefrogenik.



Pada anak dengan gizi baik atau obesitas yang mengalami deselerasi pertumbuhan linier, kemungkinan endokrinopati harus dipertimbangkan. Evaluasi hendaknya dimulai dengan pemeriksaan kadar T4 dan TSH serum, penentuan usia tulang, dan pemeriksaan kadar IGF-1 dan IGFB-3 serum. Bila hasil tes-tes ini normal, mungkin diperlukan pemeriksaan tambahan untuk kelebihan glukokortikoid, termasuk kemungkinan tes supresi deksametason sepanjang malam atau pengukuran kortisol bebas dalam urin. Pada anak pendek dengan gambaran dismorfik, dipertimbangkan kemungkinan kelainan kromosom atau sindrom sebagai penyebabnya. Hendaknya dilakukan pemeriksaan kariotipe. Jika ditemukan tubuh pendek tidak proporsional, pemeriksaan survei radiologi displasia tulang (dibaca oleh ahli radiologi anak yang berpengalaman) akan membantu menentukan diagnosis displasia tulang. 199

Gambar 1. Algoritma Diagnosis Anak dengan Perawakan Pendek

PERAWAKAN PENDEK

• Anamnesis • Pemeriksaan Fisik

Tidak • Usia tulang • Darah lengkap • LED • Kimia darah • Urinalisis • T4 bebas/ TSH • IGF-1 • + Kariotipe Rasio BB:TB BB:TB Normal

• Penyakit kronis • Emotional deprivation • Asidosis tubulus ginjal • Gangguan gizi kronis

• Sesuai kurva pertumbuh (Kecepatan tumbuh) • Riwayat keluarga: perawakan pendek atau pubertas terlambat

Ya + Usia tulang

• Riwayat keluarga perawakan pendek • Perkembangan pubertas normal • Usia tulang normal

• Riwayat keluarga terlambat pubertas • Perkembangan pubertas terlambat • Usia tulang terlambat

Familiar short stature

constitutional delay

BB:U > TB:U

Endokrinopati • Hipoirodisme • Defisiensi growth hormone • Sindom Cushing • Diabetes mellitus • Diabetes insipidus Sindrom • Mixed gonadal dysgenesis • Prader-Willi • Laurence-Moon-Biedl • Turner • Noonan • Trisomi (13, 18, 21) • Russel-Silver • Cornelia de Lange Skeletal dysplasia • Ostegenesis imperfect • Osteocondroplasia Asidosis tubulus ginjal 200

BB:U < TB:U

Malnutrisi Penyakit kronis • Inflammatory bowel disease • Celiac disease • Disfungsi ginjal • Inflamasi kronik • Sickle cell disease • Thalassemia • Cystic fibrosis • Asma Penyakit jantung

Sumber: Pomeranz AJ, 2002



Pubertas yang terlambat merupakan bagian dari pola pertumbuhan pada constitutional delay of growth and adolescence (CDGA). Pada kondisi ini mungkin diperlukan pemeriksaan kadar gonadotropin serum. Pada anak pendek dengan kecepatan pertumbuhan normal memerlukan pemeriksaan usia tulang (bone age).

1 Pemeriksaan darah lengkap Pemeriksaan skrining umum harus dilakukan untuk menilai seluruh keseimbangan elektrolit, fungsi hematologi, hati dan ginjal. Pemeriksaan ini meliputi: kimia umum meliputi BUN, kreatinin dan tes fungsi hati; urinalisis; pemeriksaan darah lengkap dengan diferensial. Pemeriksaan urin dapat membantu mengidentifikasi asidosis tubular ginjal. Pemeriksaan laju endap darah bermanfaat untuk skrining kondisi inflamasi.

2 Pemeriksaan hormonal Pemeriksaan fungsi tiroid Tes fungsi tiroid diperiksa pada anak perawakan pendek yang diduga berkaitan dengan endokrinopati. Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan kemungkinan hipotiroidisme sebagai penyebab perawakan pendek. Hipotiroidisme yang tidak diterapi menyebabkan kecepatan pertumbuhan berkurang, dan usia tulang terlambat relatif terhadap usia kronologis. Pemeriksaan kadar T4 dan TSH cukup untuk skrining hipotiroidisme, tetapi bila diduga adanya hipotiroidisme sekunder atau tersier maka perlu ditambahkan pemeriksaan kadar T4 bebas (free T4). Kadar TSH yang meningkat dan T4 yang rendah menunjukkan hipotiroidisme primer. 3 Pemeriksaan usia tulang Metode yang paling umum digunakan untuk menilai usia tulang adalah menurut Greulich dan Pyle yang menilai maturasi epifise tangan dan pergelangan tangan. Metode yang menilai pusat epifise lain, seperti lutut, terutama bermanfaat pada bayi karena lempeng pertumbuhan pada tangan dan pergelangan tangannya masih terlalu imatur untuk dapat menentukan usia tulang secara akurat. 4 Pemeriksaan kariotipe Pemeriksaan kariotipe dilakukan pada anak perawakan pendek yang diduga suatu sindrom. 5 Pemeriksaan MRI otak (brain MRI) Pemeriksaan MRI otak dilakukan pada anak yang menunjukkan tanda atau gejala neurologi. 201

B. GAGAL TUMBUH







Dikatakan gagal tumbuh apabila pertumbuhan anak secara bermakna lebih rendah dibandingkan anak seusianya. Sebagai batasan adalah di bawah – 3 SD atau pertumbuhan menurun melewati 2 pita utama, misalnya dari + 1 SD ke – 1 SD dalam waktu yang singkat. Secara umum penyebab gagal tumbuh dibagi menjadi organik yaitu akibat kondisi medis dan non organik akibat gangguan piskososial, serta usia anak kurang dari 5 tahun. Langkah Diagnostik 1. Anamnesis 2. Pemeriksaan fisik 3. Observasi interaksi orangtua-anak 4. Observasi pola makan anak

Faktor organik : 1. Kesulitan menelan 2. Anoreksia, menolak makan, kaitannya dengan penyakit sistemik 3. Kelainan neurologis, penyakit jantung bawaan, kelainan endokrin (hipotiroid, hipertiroid, defisiensi hormon pertumbuhan, hiperkortisol), displasia bronkopulmoner, demam 4. Muntah terus menerus 5. Refluks gastroesofageal 6. Ruminasi 7. Malabsorpsi 8. Kelainan Kongenital 9. Kelainan Kromosom 10. Komplikasi perinatal (PJT, prematur, keracunan obat pada kehamilan) Faktor non organik : 1. Kemiskinan 2. Pemberian ASI tidak adekuat 3. Psikososial : kekerasan dan penelantaran anak, deprivasi sosial 4. Faktor lingkungan sosial yang tidak mendukung 5. Ketidaktahuan dan pengertian yang salah dalam pembuatan formula makanan, pemberian jus buah yang berlebihan, mitos dan kepercayaan mengenai pola makan

Pemeriksaan fisis

1. Antropometri

a. BB/U < - 3 SD BB/PB < - 3 SD

202

b. Penurunan arah pertumbuhan lebih dari 2 pita utama dalam 3-6 bulan c. Penurunan berat badan lebih dari 2 SD dalam 3-6 bulan

2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik mencakup pemeriksaan sistematis terhadap semua sistem tubuh terutama mencari secara cermat adanya gambaran dismorfik. Pemeriksaan neurologik termasuk pemeriksaan lapang pandang dan funduskopi diperlukan untuk mencari kemungkinan tumor otak. Kelenjar tiroid pada setiap anak juga harus diperiksa., serta perlu dinilai tingkat maturasi kelamin. Auskultasi untuk mencari masalah respirasi dan kardiovaskular dan gangguan abdomen. Pemeriksaan antropometri, yaitu berat badan, panjang / tinggi badan, dan lingkar kepala menggunakan perangkat yg baku. 3. Analisis kurva pertumbuhan Analisis kurva pertumbuhan merupakan langkah paling penting dalam evaluasi anak yang mengalami gangguan pertumbuhan. Ada empat aspek dari kurva pertumbuhan yang harus dievaluasi secara cermat, yaitu reliabilitas pengukuran, tinggi badan absolut, kecepatan pertumbuhan, dan rasio berat badan terhadap tinggi badan. 4. Penyakit yang mendasari, misalnya penyakit jantung, paru, dan lain-lain

Pokok Bahasan 6 : Intervensi Dini/Penanganan Gangguan Pertumbuhan sesuai Etiologi Terapi pada perawakan pendek Medikamentosa Anak dengan variasi normal perawakan pendek tidak memerlukan pengobatan sedangkan dengan kelainan patologis terapi sesuai dengan etiologinya.

Variasi normal perawakan pendek yang tidak memerlukan pengobatan yaitu: Familial short stature dan Consitutional delay of grwoth and puberty. Untuk terapi hormon pertumbuhan

Sebelum terapi hormonal dimulai, hendaknya diputuskan oleh suatu tim dengan kriteria anak mengalami defisiensi hormon pertumbuhan, serta harus terlebih dahulu ditetapkan sebagai berikut : 1. Tinggi badan dibawah –3 SD 2. Kecepatan tumbuh di bawah persentil 25 203

3. 4. 5. 6.

Usia tulang terlambat > 2 tahun Kadar GH < 7 ng/ml dengan 2 jenis uji provokasi IGF –1 rendah Tidak ada kelainan dismorfik, tulang dan sindrom tertentu

Suportif 1. Nutrisi yang optimal 2. Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialis lainnya dll) 3. Konsultasi psikiatri atau psikologi bila ada gangguan makan Terapi pada gagal tumbuh 1. Suportif 2. Dietetik : Kebutuhan kalori untuk tumbuh kejar :

RDA untuk umur x BB/PB ideal



Kebutuhan protein untuk tumbuh :



BB saat ini

RDA untuk umur x BB/PB ideal



BB saat ini

Tabel 1. Recommended dietary allowances (RDA), 1989

Umur



6 – 12 bulan

Kkal/kg

Protein/g

0 – 6 bulan 108 13 98

14

1 – 3 tahun 102 16 4 – 6 tahun 90 24

Pokok Bahasan 7 : Evaluasi Hasil Intervensi Setelah dilakukan intervensi selanjutnya harus dilakukan evaluasi terhadap intervensi yang telah dilakukan. Evaluasi meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan antropometri dengan menggunakan kurva WHO 2005. Evaluasi terhadap gangguan pertumbuhan dilakukan setiap bulan baik pada kasus perawakan pendek maupun gagal tumbuh. Bila dalam satu bulan pertama tidak didapatkan perbaikan sesuai dengan prediksi yang diharapkan, harus dilakukan kembali pemeriksaan, baik pemeriksaan fisik, pengukuran antropometri dan pemeriksaan penunjang serta menggali kembali faktor-faktor penyebab gangguan pertumbuhan. 204

VII. EVALUASI 1. Sebutkan karakteristik pertumbuhan normal sesuai kurun usia anak 2. Sebutkan faktor-faktor yang berperan pada proses pertumbuhan 3. Jelaskan pemeriksaan antropometri pada anak dan penggunaan kurva pertumbuhan WHO tahun 2005 4. Jelaskan interpretasi /analisis kurva pertumbuhan WHO 2005 5. Bagaimana diagnosis gangguan pertumbuhan dan penyebabnya (etiologi) 6. Jelaskan intervensi dini/Penanganan gangguan pertumbuhan sesuai etiologi 7. Jelaskan bagaimana evaluasi hasil intervensi Contoh Kasus : 1. Seorang ibu membawa anaknya ke puskesmas untuk imunisasi. Bayi TI lahir di Jakarta pada tanggal 15 Juli 2012 dengan usia kehamilan 32 minggu. Berat lahir bayi TI 2000 gram dan panjang lahir 46 cm. Saat ini berat badannya 5500 gram dan panjang badan 52 cm (pemeriksaan dilakukan pada tanggal 22 Desember 2012). Bagaimana penilaian pertumbuhan bayi TI ? plotkan berat badan bayi ke dalam kurva pertumbuhan WHO ?

2. Anak MA, lahir pada tanggal 13 januari 2010. Ibunya membawa MA ke puskesmas (pada tanggal 13 Januari 2012) karena anaknya terlihat sangat kurus. Terlampir kurva pertumbuhan anak MA selama ini. Berat lahir MA 3000 gram dan panjang lahir 50 cm. Bagaimana penilaian kurva pertumbuhan bayi MA ? langkah apa yang akan dilakukan untuk mengatasi masalah anak MA ? 3. Lakukan pengukuran antropometri lengkap pada anak-anak ini (disediakan 3-5 bayi / anak). Gunakan kurva WHO untuk penilaian antropometri. Perhitungan usia anak sesuai dengan tanggal lahir anak dan hari saat pengukuran antropometri anak.

4. Seorang ibu membawa 2 anaknya ke puskesmas dengan keluhan anaknya terlihat lebih pendek dari kedua orangtuanya. Anak AB lahir 14 Maret 2009 (berat lahir 2700 gram, dan panjang lahir 48 cm) dan anak PI lahir 3 Desember 2007 (berat lahir 3000 gram dan panjang lahir 46 cm). Selama ini anak-anak tidak dibawa secara rutin ke posyandu. Tinggi badan ibu adalah 150 cm dan tinggi badan ayah 163 cm. Bagaimana penilaian pertumbuhan (tinggi badan) kedua anak ini ? bagaimana tatalaksana kedua anak ini ? 205

VIII. RANGKUMAN Gangguan pertumbuhan pada anak harus diberikan intervensi yang optimal. Untuk mengetahui dengan pasti adanya gangguan pertumbuhan pada anak, perlu diketahui dan dipahami mengenai karakteristik pertumbuhan normal, faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan anak, catatan pemeriksaan antropometri pada anak, menggunakan kurva pertumbuhan WHO dan interpretasi kurva tersebut. Dengan demikian kita dapat melakukan deteksi dini gangguan pertumbuhan, melakukan intervensi gangguan pertumbuhan serta mengevaluasi hasil intervensi yang telah diberikan. Pemantauan pertumbuhan berkala penting dilakukan untuk deteksi dini gangguan pertumbuhan.

IX. DAFTAR PUSTAKA

1. Undang undang No: 36 Tahun 1999 Tentang Kesehatan.

2. Buku Pedoman Penanganan Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang. Kementerian Kesehatan RI

3. Kliegman RM Nelson’s Textbook pf Pediatrics, edisi III-19, WB. Saunders, Philadelpia, 2011

4. Alexander MA, Matthews DJ. Pediatric Rehabilitation. Principles and practice. 4th Edition. Demos Medical, New York, 2010 ; 461-92.

5. Behrmann RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders; 2011 6. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis IDAI jilid 1. Jakarta, 2010

7. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku Ajar tumbuh kembang anak jilid 2. Jakarta, 2010

206

MODUL 10 KOMUNIKASI EFEKTIF

I. DESKRIPSI SINGKAT Menjelaskan secara singkat tentang Komunikasi Efektif, setelah mengikuti penjelasan ini sebagai coordinator Jaminan Pelaksana akan mampu memahami Konsep Komunikasi, Komunikasi dengan pendekatan Neuro Languistic Programming/NLP, memahami komunikasi Asertif dan memahami pengelolaan konflik. Penjelasan tentang 3 (tiga) pilar komunikasi merupakan dasar dalam melakukan segala bentuk komunikasi. Komunikasi merupakan tindakan untuk mengekspresikan ide, perasaan dan memberikan informasi kepada orang lain.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN A. Umum

Setelah mengikuti penjelasan materi ini peserta mampu menerapkan komunikasi efektif.

B. Khusus Setelah mengikuti penjelasan materi ini, peserta mampu: 1. Memahami konsep komunikasi 2. Menerapkan komunikasi dengan pendekatan Neuro Programming/NLP 3. Menerapkan komunikasi asertif 4. Mengelola konflik

Languistic

III. POKOK BAHASAN DAN SUB POKOK BAHASAN

Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan dan sub pokok bahassan untuk semua jenjang sebagai berikut: 1. Konsep komunikasi 2. Komunikasi dengan pendekatan Neuro Languistic Programming/NLP 3. Menerapkan komunikasi asertif 4. Mengelola konflik

IV. BAHAN BELAJAR

1. Modul Komunikasi Efektif 2. Instrumen komunikasi.

207

V. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN Berikut disampaikan langkah-langkah kegiatan dalam proses pembelajaran materi ini. Langkah 1. Pengkondisian Langkah pembelajaran:

1. Fasilitator memperkenalkan diri, kemudian menyampaikan pembelajaran serta waktu yang tersedia untuk materi ini.

tujuan

2. Fasilitator menggali pendapat peserta mengenai modul/materi yang diperlukan dalam pelatihan. Peserta diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat, pengetahuan dan pengalamannya mengenai permasalahan jabfung Widyaiswara 3. Fasilitator memandu peserta untuk menanggapi sehingga terjadi interaksi yang dinamis antara fasilitator dengan peserta dan peserta dengan peserta. Langkah 2. Penyampaian Materi Langkah pembelajaran:

1. Fasilitator menjelaskan kepada peserta mengenai pokok bahasan

2. Fasilitator memberi kesempatan pada peserta untuk saling berbagi pengalaman dengan peserta lainnya. 3. Fasilitator menyampaikan penjelasan mengenai, komunikasi, unsur-unsur dalam komunikasi, bagaimana menerapkan komunikasi efektif Fasilitator memberikan kesempatan pada peserta untuk menyampaikan pengalaman berkomunikasi/miskomunikasi. Langkah 3: Penyampaian Materi Langkah pembelajaran:

1. Fasilitator menjelaskan kepada peserta mengenai pokok bahasan 2 tentang komunikasi dengan pendekatan NLP. Fasilitator memberi kesempatan pada peserta untuk saling berbagi pengalaman dengan peserta lainnya.

2. Fasilitator menyampaikan penjelasan mengenai, komunikasi dengan pendekatan NLP, dimulai dengan penjelasan tentang NLP, Pacing-Leading, sistem representasi, tiga pilar komunikasi, public speaking. Fasilitator memberikan kesempatan pada peserta untuk menyampaikan pengalaman berkomunikasi dengan pendekatan NLP 3. Peserta mengisi instrumen sistem representasi asertif. 208

Langkah 4: Penyampaian Materi Langkah pembelajaran:

1. Fasilitator menjelaskan kepada peserta mengenai pokok bahasan 3 tentang penerapan komunikasi asertif. Fasilitator memberi kesempatan pada peserta untuk saling berbagi pengalaman dengan peserta lainnya. 2. Fasilitator menyampaikan penjelasan mengenai, komunikasi asertif Fasilitator memberikan kesempatan pada peserta untuk menyampaikan pengalaman berkomunikasi asertif . Langkah 5: Penyampaian Materi Langkah pembelajaran:

1. Fasilitator menjelaskan kepada peserta mengenai pokok bahasan 4 tentang pengelolaan konflik. Fasilitator memberi kesempatan pada peserta untuk saling berbagi pengalaman dengan peserta lainnya pengalamannya mengalami dan menghadapi konflik.

2. Fasilitator menyampaikan penjelasan mengenai, sumber konflik, gaya/ merespon konflik, langkah-langkah mengatasi konflik dsb. Fasilitator memberikan kesempatan pada peserta untuk mengisi instrumen gaya/respon seseorang dalam menghadapi konflik. 3. Fasilitator melakukan klarifikasi hasil pengisian instrumen. Langkah 6: Rangkuman dan Kesimpulan Langkah pembelajaran:

1. Fasilitator melakukan evaluasi untuk mengetahui penyerapan peserta terhadap materi yang disampaikan dan pencapaian tujuan pembelajaran. 2. Fasilitator merangkum poin-poin penting dari materi yang disampaikan. 3. Fasilitator membuat kesimpulan.

VI. URAIAN MATERI

Pokok bahasan 1: Komunikasi A. Apakah Komunikasi itu? Definisi yang paling sederhana, komunikasi berarti proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain (Ruben dan Steward, 1996:16).



Beberapa ahli mendefinisikan ”komunikasi” sebagai berikut:

John R. Wenburg dan William William Willmot: ”Komunikasi adalah suatu usaha memperoleh makna” 209



Steward L Tubbs dan Sylvia Moss: ”Komunikasi adalah proses pembentukan makna di antara dua orang atau lebih”.



Para ahli tersebut mendefinisikan komunikasi sebagai proses, karena komunikasi merupakan kegiatan yang ditandai dengan tindakan, perubahan, pertukaran dan perpindahan.









Donald Byker dan Loren J. Anderson: ” Komunikasi (manusia) adalah berbagi informasi antara dua orang atau lebih”.

Apa saja unsur-unsur komunikasi ?

Komunikasi pada dasarnya merupakan suatu proses yang menjelaskan siapa? mengatakan apa? dengan saluran apa? kepada siapa? dengan akibat atau hasil apa? (who? says what? in which channel? to whom? with what effect?). (Lasswell 1960).

Berdasarkan definisi tersebut di atas, terdapat 5 (lima) unsur yang harus ada dalam komunikasi, yaitu: 1. Komunikator (Siapa yang menyampaikan/ mengatakan). Sumber/komunikator adalah pelaku utama/pihak yang mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi atau yang memulai suatu komunikasi, bisa seorang individu, kelompok, organisasi, maupun suatu negara sebagai komunikator.

2. Pesan (menyampaikan/mengatakan apa). Apa yang akan disampaikan/dikomunikasikan kepada penerima (komunikan), dari sumber (komunikator) atau isi informasi. Merupakan seperangkat symbol verbal/non verbal yang mewakili perasaan, nilai, gagasan/maksud sumber tadi. Ada 3 (tiga) komponen pesan yaitu makna, simbol untuk menyampaikan makna, dan bentuk/organisasi pesan.



3. Media (Melalui saluran/Channel/Media apa).



4. Komunikan (Kepada siapa pesan ditujukan)



5. Efek (Apa dampak/Efek yang ditimbulkannya).







Wahana/alat untuk menyampaikan pesan dari komunikator (sumber) kepada komunikan (penerima) baik secara langsung (tatap muka), maupun tidak langsung (melalui media cetak/elektronik dll).

Orang/kelompok/organisasi/suatu negara yang menerima pesan dari sumber. Disebut tujuan (destination)/pendengar (listener)/khalayak (audience)/komunikan/penafsir/penyandi balik (decoder).

Dampak/efek yang terjadi pada komunikan (penerima) setelah menerima pesan dari sumber,seperti perubahan sikap,bertambahnya pengetahuan, dll. 210





Dalam proses komunikasi ada tiga unsur yang mutlak harus dipenuhi karena merupakan suatu bentuk kesatuan yang utuh dan bulat. Bila salah satu unsur tidak ada, maka komunikasi tidak akan pernah terjadi. Dengan demikian, setiap unsure dalam komunikasi itu memiliki hubungan yang sangat erat dan saling ketergantungan satu dengan lainnya. Artinya, keberhasilan komunikasi ditentukan oleh semua unsur tersebut . Unsur – unsur komunikasi yaitu:

1. Komunikator/pengirim/sender.

Merupakan orang yang menyampaikan isi pernyataannya kepada komunikan. Komunikator bias tunggal, kelompok, atau organisasi pengirim berita. Komunikator bertanggung jawab dalam hal mengirim berita dengan jelas, memilih media yang cocok untuk menyampaikan pesan tersebut, dan meminta kejelasan apakah pesan telah diterima dengan baik. Untuk itu, seorang komunikator dalam menyampaikan pesan atau informasi harus memperhatikan dengan siapa dia berkomunikasi, apa yang akan disampaikan, dan bagaimana cara menyampaikannya.

2. Komunikan/penerima/receiver.



Merupakan penerima pesan atau berita yang disampaikan oleh komunikator. Dalam proses komunikasi, penerima pesan bertanggungjawab untuk dapat mengerti isi pesan yang disampaikan dengan baik dan benar. Penerima pesan juga memberikan umpanbalik kepada pengirim pesan untuk memastikan bahwa pesan telah diterima dan dimengerti secara sempurna.

3. Saluran/media/channel .

Merupakan saluran atau jalan yang dilalui oleh isi pernyataan komunikator kepada komunikan dan sebaliknya. Pesan dapat berupa kata-kata atau tulisan, tiruan, gambaran atau perantara lain yang dapat digunakan untuk mengirim melalui berbagai channel yang berbeda seperti telepon, televisi, fax, photo copy, email, sandimorse, semaphore, sms, dan sebagainya . Pemilihan channel dalam proses komunikasi tergantung pada sifat berita yang akan disampaikan (Wursanto , 1994 ) .

B. Bagaimana melakukan komunikasi yang efektif?

Komunikasi efektif bagi pengelola merupakan keterampilan penting karena perencanaan, pengorganisasian, dan fungsi pengendalian dapat berjalan hanya melalui aktivitas komunikasi. Dalam beberapa situasi di dalam organisasi, kadangkala muncul sebuah pernyataan di antara anggota organisasi, apa yang 211













kita dapat adalah kegagalan komunikasi. Pernyataan tersebut mempunyai arti bagi masing-masing anggota organisasi, dan menjelaskan bahwa yang menjadi masalah dasar adalah komunikasi, karena kemacetan atau kegagalan komunikasi dapat terjadi antar pribadi, antar pribadi dalam kelompok, atau antar kelompok dalam organisasi.

Agar komunikasi dapat berjalan dengan efektif, ke 5 (lima) unsur komunikasi di atas harus dipenuhi dengan jelas. Pertanyaan “Siapa mengatakan apa, kepada siapa, melalui media apa dan dengan harapan menimbulkan efek yang bagaimana” harus dapat dijawab oleh seorang komunikator dalam mendesain rencana komunikasinya, Information over flow

Dengan semakin berkembangnya tehnologi, seorang komunikator yang baik harus dapat menjawab tantangan dari “berkelimpahan informasi” (Information over flow). Beragam jenis pesan dikirimkan dengan berbagai jenis media pada saat yang hampir bersamaan, sehingga terlalu banyak informasi yang diterima. Seseorang dalam satu waktu menerima orang di sekitarnya, SMS, telepon/ponsel, e-mail, Iklan/berita radio, iklan/berita TV, poster banner, leaflet yang disebarkan di jalan. Information filter processing

Dengan banyaknya informasi yang masuk dalam satu waktu yang bersamaan seperti yang diuraikan di atas menyebabkan seseorang secara otomatis melakukan Information filter processing (pembatasan informasi yang masuk). Secara disadari atau tidak disadari manusia, kemudian membatasi informasi yang masuk ke dalam dirinya, berdasarkan: 1. Kepentingan dan kebutuhan 2. Minat dan ketertarikan

Dengan adanya Information over flow dan dengan didasari oleh kepentingan dan kebutuhan serta minat dan ketertarikan informasi,secara otomatis terjadi Information filter processing. Oleh karena itu seorang komunikator dituntut semakin pintar dan kreatif dalam menyampaikan informasinya agar informasi itu mendapatkan efek yang diharapkan.

Artinya, komunikasi akan menjadi efektif apabila pesan yang disampaikan oleh komunikator sesuai/ selaras dengan kepentingan dan kebutuhannya serta menarik minat/ketertarikannya atas berita/pesan tersebut dan tentunya diharapkan akan mendapatkan efek yang diharapkan. 212











Sebagai petugas pemberi pelayanan dituntut untuk dapat melakukan komunikasi efektif. Untuk dapat melakukan komunikasi efektif maka hal-hal yang mendasar perlu dibahas dalam setiap pokok bahasan. Sebagai langkah awal adalah mempelajari komunikasi dengan pendekatan NLP terutama tentang 3 pilar komunikasi yang unsurnya terdiri dari bahasa tubuh, intonasi suara dan isi dari pesan tersebut. Dengan pendekatan NLP maka komunikasi intrapersonal dan komunikasi interpersonal akan membentuk komunikasi kita. Mengembangkan kemampuan komunikasi anda

Bila anda mencoba untuk terhubung dengan lingkugan orang-orang yang lebih besar, anda perlu menjawab 5 pertanyaan dibawah ini: 1. Apakah anda menemukan kesamaan antara anda dengan lawan komunikasi anda. 2. Apakah anda membuat mereka merasa nyaman? 3. Apakah anda membuat mereka merasa dimengerti ? 4. Apakah hubungan anda dengan jelas di definisikan 5. Apakah mereka merasakan emosi yang positif akibat berinteraksi dengan anda?

Untuk memperjelas bagaimana melakukan komunikasi efektif adalah bagaimana menerapkan 14 (empat belas) point Tehnik Komunikasi Efektif 1. Berikan kesan bahwa anda antusias berbicara dgn mereka.

Ketika anda memberi mereka kesan bahwa anda sangat antusias berbicara dengan mereka dan bahwa anda peduli kepada mereka, anda membuat perasaan mereka lebih positif dan percaya diri. Mereka akan lebih terbuka kepada anda dan sangat mungkin memiliki percakapan yang mendalam dengan anda.



2. Ajukan pertanyaan tentang minat mereka.



3. Beradaptasi dengan bahasa tubuh dan perasaan mereka





Ajukan pertanyaan terbuka yang akan membuat mereka berbicara tentang minat dan kehidupan mereka. Galilah sedetail mungkin sehingga akan membantu mereka memperoleh perspektif baru tentang diri mereka sendiri dan tujuan hidup mereka.

Rasakan bagaimana perasaan mereka pada saat ini dengan mengamati bahasa tubuh dan nada suara. Dari sudut pandang ini, anda dapat menyesuaikan kata-kata, bahasa tubuh, dan nada suara anda sehingga mereka akan merespon lebih positif.

Salah satu cara terbaik untuk segera berhubungan dengan orang adalah dengan menjadi jujur dan memberitahu mereka mengapa anda menyukai atau mengagumi mereka. Jika menyatakan secara langsung dirasakan 213

kurang tepat, cobalah dengan pernyataan tidak langsung. Kedua pendekatan tersebut bisa sama-sama efektif.

4. Tunjukkan rasa persetujuan: katakan pada mereka apa yg mereka kagumi tentang mereka dan mengapa.

Salah satu cara terbaik untuk segera berhubungan dengan orang adalah dengan menjadi jujur dan memberitahu mereka mengapa anda menyukai atau mengagumi mereka.

5. Dengarkan dengan penuh perhatian apa yang mereka katakan

Jangan terlalu berfokus pada apa yang akan Anda katakan selanjutnya selagi mereka berbicara. Sebaliknya, dengarkan setiap kata yang mereka katakan dan responlah serelevan mungkin.

6. Berikan kontak mata yang lama

kontak mata yang kuat mengkomunikasikan kepada orang lain bahwa anda tidak hanya terpikat oleh mereka dan apa yang mereka katakan tetapi juga menunjukkan bahwa anda dapat dipercaya

7. Ungkapkan diri anda sebanyak mungkin

8. Berikan kesan bahwa anda berdua berada dalam tim yang sama 9. Berikan senyuman terbaik anda.

10. Menawarkan saran yang bermanfaat 11. Beri mereka motivasi

12. Tampil dengan energi sedikit lebih tinggi dibanding orang lain.

13. Sebut nama mereka dengan cara yang menyenangkan ditelinganya



14. Tawarkan untuk menjalani hubungan selangkah lebih maju

Komunikasi merupakan keterampilan dasar seorang dan merupakan elemen penting dalam pelayanan, kompetensi petugas pemberi pelayanan BPJS sebagai kepentingan dan kebutuhan, utamanya, keterampilan bagi seorang petugas pelayanan adalah: 1. 2. 3. 4. 5.

pengelola pelayanan, karena menyangkut orang yang melayani dasar berkomunikasi

Mampu saling memahami kelebihan dan kekurangan individu Mampu mengkomunikasikan pikiran dan perasaan Mampu saling menerima, menolong, dan mendukung Mampu mengatasi konflik yang terjadi dalam komunikasi Saling menghargai dan menghormati.

Dengan kata lain bahwa masalah komunikasi dalam organisasi adalah apakah anggota organisasi dapat berkomunikasi dengan baik atau tidak sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing ? 214

Pokok bahasan 2: Programmingf/ NLP

Komunikasi dengan Pendekatan Neuro Languistic

A. Komunikasi dengan pendekatan NLP





Dari semua pengetahuan dan ketrampilan yang anda miliki, pengetahuan dan ketrampilan yang menyangkut komunikasi termasuk diantara yang paling penting dan berguna. Melalui komunikasi intrapribadi anda berbicara dengan diri sendiri, mengenal diri sendiri, mengevaluasi diri sendiri, meyakinkan diri sendiri tentang ini dan itu, mempertimbangkan keputusan– keputusan yang akan diambil, dan menyiapkan pesan –pesan yang akan anda sampaikan kepada orang lain. Melalui komunikasi antarpribadi anda berinteraksi dengan orang lain, mengenal mereka dan diri anda sendiri, dan mengungkapkan diri sendiri kepada orang lain. Apakah dengan kenalan baru, kawan lama, kekasih, atau anggota keluarga, melalui komunikasi antarpribadilah anda membina, memelihara, kadang–kadang merusak (dan adakalanya memperbaiki) hubungan pribadi anda. Melalui komunikasi kelompok kecil dan organisasi anda berinteraksi dengan orang lain. Anda memecahkan masalah, mengembangkan gagasan baru, dan berbagi pengetahuan dan pengalaman. Kehidupan kerja dan social anda sebagian besar anda jalani dalam kelompok. Dari wawancara ketika melamar pekerjaan sampai ke rapat dewan eksekutif, dari pertemuan minum kopi informal sampai ke pertemuan formal yang membahas masalah – masalah internasional, anda berinteraksi dalam kelompok kecil. Melalui komunikasi terbuka, orang lain member anda informasi dan membujuk anda, dan sebaliknya anda memberikan informasi dan meyakinkan orang lain – untuk melakukan sesuatu, untuk membeli, untuk berpikir dengan cara tertentu, atau untuk mengubah sikap, pendapat, atau nilai. Melalui komunikasi antarbudaya anda mengenal budaya – budaya lain serta kehidupan di lingkungan kebiasaan, peran, dan aturan – aturanyang berbeda. Barangkali yang paling penting, anda menjadi semakin memahami cara – cara berpikir yang baru dan vara – cara berperilaku yang baru. Kerjasama antarbudaya dimulai dengan pengertian bersama. Melalui komunikasi masa anda dihibur, diberi informasi, dan dibujuk oleh media – bioskop, televise, radio, koran, dan buku.

B. Tiga Pilar Komunikasi

Percayakah Anda, bahwa komunikasi bukan hanya rangkaian kata? Kata dan kalimat yang kita ucapkan justru hanya bagian kecil dari ekspresi kita sebagai manusia. 215



Riset menunjukkan, dalam komunikasi tatap muka atau presentasi didepan banyak orang ternyata menurut Mehrabion: 1. 55% kesan ditentukan oleh sikap tubuh (body language) Anda, ekspresi wajah gerakan badan dan kontak mata. 2. 38% ditentukan oleh intonasi suara (voice tone) Anda, kalimat yang sama disampaikan dengan tone berbeda akan member arti (meaning) yang berbeda. 3. 7% ditentukan oleh isi pesan (content) yang Anda ucapkan, dengan perkataan lain sebagus apapun anda merangkai kata hanya akan member efek 7% daalam komunikasi yang dilakukan. Contoh :



Anda pernah mendengar pujian dari seseorang, yang meskipun kata–katanya manis, raut wajahnya sinis, sehingga anda merasa bahwa orang itu hanya basa basi ? Mana yang lebih anda percayai: kalimatnya atau ekspresi wajahnya ? Jadi komunikasi bukan hanya apa yang kita sampaikan, tetapi juga bagaimana kita menyampaikannya. Ternyata menurut penelitian Mehrabion, cara kita menyampaikannya jauh lebih berpengaruh daripada isi komunikasi itu sendiri.

Perselisihan antar orang semakin lama semakin sering terjadi. Dari mulai operator telepon dengan prospek pelanggan, dendam anak terhadap orang tuanya, sampai pada konflik kekeras kepalaan antar dua kepala negara yang berakhir dengan perang berkepanjangan. Komunikasi yang uruk dapat berakhir dengan pertikaian dan kebencian tetapi komunikai yang tepat dapat menggerakkan seseorang pada potensi maksimalnya. World 7%

Voice Tonality 38%

Body Language 55%

The meaning of the communication is the response that you get 216



Pacing-Leading



Menurut NLP (Neuro Linguistic Programming) yang diajarkan Richard Bandler penciptanya, ada dua hal yang harus kita pahami dalam komunikasi. Tujuan kita berkomunikasi pada dasarnya membangun kepercayaan. Kalau kita sudah percaya lawan bicara, selanjutnya komunikasi berjalan jauh lebih mudah.



Apa sebenarnya komunikasi? tepatnya, bagaimana cara kita berkomunikasi, agar lawan bicara kita menangkap pesan kita lebih utuh?



Kalau kita membuka restoran dan pelanggan sudah percaya pada kita, selanjutnya mereka menyukai kita dan kita lebih mudah menjual produk yang kita hasilkan. Namun, dari mana datangnya suka pelanggan pada kita? dari kesamaan. Ambil contoh, bila ada tiga took yang menjual barang yang kualitas, harga dan warnanya sama, mengapa anda cenderung membeli di salah toko tersebut, apa yang mendorong anda membeli ditoko tersebut ? produknya atau penjualnya ? jawabannya ialah penjualnya karena produknya sama. Dengan kata lain, kalu produknya sama persis, pertimbangan orang membeli karena “menyukai” penjualnya. Bila kita orang Indonesia dan kebetulan tidak mampu berbahasa Inggris, mana yang lebih kita sukai berbicara dengan orang Inggris, Australia atau Malaysia ? tentu saja orang Malaysia alasannya ada kesamaan bahasa dan rumpun.







Contoh lain adalah tentang si ”Anak Emas” ,mengapa ada istilah atau sebutan “Anak Emas” yang diberikan sama–sama staf dilingkungan organisasi? di unit manapun setiap petugas sudah mempunyai tugas dan fungsi yang jelas, kalau begitu apa yang membedakan kualitas dari individu tersebut? Jawabannya, cara berkomunikasi vertical atau horizontal terutama pada atasan ybs.

Jadi, mengapa seseorang menyukai orang lain, kata kuncinya: Kesamaan. Kesamaan dalam hal apa saja ? ingat, tiga kanal komunikasi ialah Kata (Content/Isi Pembicaraan), Intonasi Suara (Voice Tone), dan fisiologis (Body Language). Gunakan kata yang sama dengan lawan bicara kita misalnya lawan bicara kita orang Sunda dan bila mampu berbahasa Sunda orang itu tentu lebih menyukai. Kalau dia berdiri, usahakan kita juga dengan sopan berdiri. Kesamaan tiga hal ini: Kata, Suara, dan Sikap Tubuh akan menimbulkan kesan yang baik dan akhirnya timbul kepercayaan (Trust) orang itu kepada kita. Dalam NLP, menyamakan ketiga hal diatas disebut dengan Passing, yang bias diterjemahkan dengan longgar berarti: Memahami, Mengerti, Menyamakan atau Menyesuaikan. Setelah timbul keakraban (rapport) dan kepercayaan (trust) barulah kita leading (mengarahkan kearah komunikasi yang kita inginkan). Passing dan Leading inilah kunci komunikasi alami yang kita butuhkan dalam keseharian kita. 217



Contoh:



Sekarang, alangkah indahnya dinegeri kita bila orang tua mau Passing lebih dulu pada anak–anaknya sebelum Leading kearah yang produktif dan bermanfaat. Alangkah enaknya bila para bos dikantor mau Passing (kata–kata, intonasi dan visiologis) pada anak buahnya, sebelum Leading mereka kearah visi dan misi organisasi. Dan terakhir alangkah nikmatnya kita sebagai warga negara, apabila para Elite (legislatif, eksekutif dan yudikatif) kita mau memahami harapan, problem dan kesengsaraan rakyatnya.



Kadang orang tua terlalu cepat Leading tanpa mau Passing terlebih dahulu, sehingga meski tujuannya baik caranya salah dan timbul keributan. Juga sebagai pemimpin, Leader bertugas Leading. Namun, Leader yang baik dipercaya ialah yang memahami (Passing) anak buah terlebih dahulu. Sama halnya ketika anda berbicara dengan staf anda, tapi anda menggunakan kata dan kalimat yang banyak istilah rumit, dan staf anda tidak memahami. Siapa yang salah ? staf anda bodoh, atau anda yang tidak efektif karena tidak mau Passing (memahami) keterbatasan dunia staf anda ?

Kata-kata

Mutu suara Fisiologis

Pacing (Menyesuaikan)

Rapport (Keakraban)

Trust (Kepercayaan)

Leading (Mengarahkan)

C. Sistem Representasi (Representational Systems)

Apa itu sistem representasi ?



yang lebih disukai masing–masing atau setiap orang berbeda–beda sistem representasi yang disukainya (preference system).





Karena dalam NLP (Neuro Linguistic Programming) kita lebih peduli bagaimana orang merepresentasikan pengalaman subyektifnya (pengalam indrawi) bukan sesasi fisiologisnya maka kita menyebut sistem visual, auditori, kinestetik dan penciuman serta pengecapan sebagai sistem representasi. Umumnya orang memiliki sistem representasi Suatu sistem yang disukai seseorang hanyalah sebuah generalisasi atau penyamarataan dari orang itu. Untuk seseorang, pada kejadian tertentu, sebuah sistem akan mengambilalih sistem yang disukainya. 218



Mendeteksi sistem representasi



Kalimat itu merepresentasikan pengalaman subjektif yang berbeda terlepas dari bagaimana “tahu“ itu diperoleh. Orang pada kalimat pertama tahu dari gambaran, orang pada kalimat kedua tahu dari suara dan yang ketiga dari perasaannya.





Bagaimana cara mengetahui sistem representasi, representasi mana yang sedang digunakan seseorang? ada sekumpulan kata yang disebut sebagai predikat (umumnya kata kerja, kata keterangan dan kata sifat), yang beberapa diantaranya merefleksikan modalitas indrawi tertentu. Misalnya: “saya dapat mengamatinya”, atau “saya dapat mendengarnya”, atau “saya dapat menangkapnya”. Predikat dalam ketiga kalimat tersebut yakni mengamati, mendengar dan menangkap, menunjukkan sistem representasi visual, auditori dan kinestetik. Ketiga kalimat itu menunjukkan arti yang lebih kurang sama, yakni: “saya tahu”.

Cara mendeteksi sistem representasi seseorang biasanya melalui gaya penuturannya, sbb:

1. Seseorang yang menceritakan detail dengan memberikan gambaran dan warna-warna, maka sistem representasi cenderung VISUAL. Tipe visual lebih peduli pada apa yang mereka lihat. Individu yang mempunyai tipe ini suka menyela pembicaraan orang lain,bergerak cepat,makan cepat,penuh energi dan berbicara dengan nada tinggi, mereka juga cepat mengambil keputusan. Berkomunikasi dengan tipe visual ini, kita harus memvisualisasikan keadaan, buat mereka melihat apa yang kita katakan, tandingi energi mereka.

2. Seseorang yang menceritakan detail dengan suara-suara dan bunyi, maka sistem representasi cenderung AUDITORI. Tipe auditori lebih peduli pada apa yang mereka dengar. Individu yang dengan tipe auditori banyak mendengar, berbicara dan membuat keputusan berdasarkan analisis yang teliti. Berkomunikasi dengan tipe Auditori, kita harus berbicara pelan dan teratur, ubah-ubah warna suara. Jelaskan situasinya dengan detail dan picu diskusi lebih lanjut dengan mengajukan pertanyaan. 3. Seseorang yang menceritakan dengan emosi yang melanda, lebih banyak bercerita tentang perasaan-perasaan maka sistem representasi cenderung KINESTETIK atau emosional. Tipe kinestetik lebih peduli pada apa yang mereka rasakan. Tipe dengan dominasi kinestetik cenderung bernafas dalam dan tenang, mereka lebih mengutamakan perasaan dan emosi. Berkomunikasi dengan tipe kinestetik kita harus membuat mereka merasakan apa yang kita katakan. 219





Latihan Untuk menemukan sistem representasi kita ,anda bisa mencoba melakukan latihan dengan instrumen 1. (terlampir).

Pokok Bahasan 3: Komunikasi asertif

Pemimpin dengan tipe asertif lebih mengedepankan kesamaan yang dimiliki oleh semua orang. Mereka lebih menerapkan sifat inklusif dan akomodatif dari pada eksklusif. Pada umumnya, mereka memiliki karakter sebagai berikut:

1. Moto dan Kepercayaan a. Yakin bahwa diri sendiri berharga demikian juga orang lain. b. Asertif bukan berarti selalu menang, melainkan dapat menangani situasi secara efektif. c. “Aku punya hak. Demikian juga orang lain.”

2. Pola Komunikasi a. Efektif, pendengar yang aktif. b. Menetapkan batasan dan harapan. c. Mengatakan pendapat sebagai hasil observasi bukan penilaian. d. Mengungkapkan diri secara langsung dan jujur. e. Memperhatikan perasaan orang lain.

3. Karakteristik a. Tidak menghakimi. b. Mengamati sikap daripada menilainya. c. Mempercayai diri sendiri dan orang lain. d. Percaya diri. e. Memiliki kesadaran diri. f. Terbuka, fleksibel dan akomodatif. g. Selera humor yang baik. h. Mantap. i. Proaktif dan Inisiatif. j. Berorientasi pada tindakan. k. Realistis dengan cita-cita mereka. l. Konsisten. m. Melakukan tindakan yang sesuai untuk mencapai tujuan tanpa melanggar hak-hak orang lain.

4. Isyarat Bahasa Tubuh (Non-Verbal cues) a. Terbuka dan gerak-gerik alami. b. Atentif, ekspresi wajah yang menarik. c. Kontak mata langsung. d. Percaya diri. e. Volume suara yang sesuai. f. Kecepatan bicara yang beragam. 220

5. Isyarat Bahasa (Verbal cues) a. “Aku memilih untuk .... .” b. “Apa opsi-opsi untukku ?” c. “Alternatif apa yang kita miliki?”

6. Konfrontasi dan Pemecahan Masalah a. Bernegosiasi, menawar, menukar dan kompromi. b. Mengkonfrontir masalah pada saat terjadi. c. Tidak ada perasaan negatif yang muncul.

7. Perasaan yang dimiliki a. Antusiame. b. Mantap. c. Rasa percaya diri dan harkat diri. d. Terus termotivasi. e. Tahu dimana mereka berdiri.

Jelas saat ini bahwa tipe asertif inilah yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang. Namun, ingatlah bahwa tidak ada seseorang yang memiliki karakter ini secara sempurna. Artinya, dalam diri setiap orang pasti ada yang namanya sikap agresif, pasif dan asertif. Permasalahannya hanya pada porsi yang mendominasinya. Gaya Komunikasi dengan Orang Asertif

Orang-orang asertif yang sangat akomodatif dan inklusif tentu memerlukan pendekatan yang tidak sama dengan orang-orang yang berkarakter agresif dan pasif. Mereka lebih menyukai hal-hal yang tidak berat sebelah, yang mencakup ke dua belah pihak. Hal ini diutamakan untuk mendapatkan keputusan yang lebih komprehensif. Dengan demikian, pendekatan yang harus dilakukan terhadap orang-orang dengan karakter asertif ini adalah:

1. Hargai mereka dengan mengatakan bahwa pandangan yang akan kita sampaikan barangkali telah pernah dimiliki oleh mereka sebelumnya. 2. Sampaikan topik dengan rinci dan jelas karena mereka adalah pendengar yang baik. 3. Jangan membicarakan sesuatu yang bersifat penghakiman karena mereka adalah orang yang sangat menghargai setiap pendapat orang lain. 4. Berikan mereka kesempatan untuk menyampaikan pokok-pokok pikiran dengan tenang dan runtun. 5. Gunakan intonasi suara variatif karena mereka menyukai hal ini 6. Berikan beberapa alternatif jika menawarkan sesuatu karena mereka tidak suka sesuatu yang bersifat kaku. 7. Berbicaralah dengan penuh percaya diri agar dapat mengimbangi mereka. 221

Dengan berpedoman pada hal-hal sederhana di atas, kemungkinan besar komunikasi dengan orang asertif akan dapat dilangsungkan relatif lebih lama dan terarah.

Mereka sangat menghargai kebersamaan dan kemampuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Jangan pancing mereka untuk membicarakan sesuatu yang tidak fair. Misalnya, membicarakan seseorang yang tidak ada di tempat. Atau membicarakan sesuatu yang tidak ada tolok ukurnya. Mereka sangat cinta damai namun tegas terhadap apa yang telah disepakati bersama. Tidak boleh main-main dengan mereka untuk urusan ini. Mereka sangat serius dan tegas. Public Speaking

Keberanian pembicara public modern

Pembicara Publik Modern umumnya memiliki 5 (lima) karakter, yaitu: 1. Hasrat (passion).

2. Energi

3. Percaya diri

4. Kemampuan untuk merasakan kenikmatan saat tampil

5. Kemampuan untuk berbagi antusiame bersama audiens. Public Speaking Tips:

1. Public Speaking bukan hanya milik selebriti, Publicspeaking adalah milik semua orang.

2. Modal dasar public Speaking bukan hanya masalah bias bicara, tetapi untuk melakukan tindakan nyata, mau melakukan latihan, mau terjun langsung kelapangan. 3. Modal dasar lainnya adalah keberanian.

Teori public speaking tapi tanpa di praktikkan hanya menjadi sia-sia.

4. Public speaking tidak bias diwakilkan kepada orang lain,harus dialami langsung dan mendapatkan pengalamannya. Tehnik meningkatkan rasa percaya diri -

Demam panggung

Demam panggung pasti akan dialami oleh siapa saja yang pernah naik panggung, baik sebagai presenter hebat, artis, trainer, dosen, semua pasti pernah mengalami dan merasakan, hal ini tidak mungkin dihindari walaupun tingkat demam panggungnya berbeda-beda. 222

-

Menundukkan rasa takut

Ketakutan adalah reaksi spontan dari tekanan luar dan dalam diri yang dialami seseorang untuk menghasilkan kemampuan yang lebih maksimal dari talenta seseorang yang cenderung terpendam. Perasaan takut dialami oleh setiap orang, bukan hanya individu tertentu, masalahnya adalah setiap orang punya kemampuan berbeda dalam mengendalikan rasa takutnya

Tehnik menundukakan rasa takut antara lain adalah: 1. Tetapkan tujuan yg realistis 2. Kemampuan memvisualisasikan masa depan 3. Menghilangkan pikiran negative 4. Berpikir positif 5. Latihan 6. Berbicara dengan catatan kecil 7. Datang lebih awal 8. Bersosialisasi 9. Memvisualisasi kesuksesan 10. Kendalikan nafas anda 11. Jadi diri sendiri, dan kreatif. 12. Jaga makanan dan minuman 13. Cintai ketakutan itu, ubah untuk memicu kreatifitas anda 14. Transformasi energy rasa takut menjadi antusiasme 15. Fokus pada pesan dan audiens Membangun rasa percaya diri

Selain rasa takut sebenarnya ada rasa lain yang ada dalam diri seseorang yaitu “rasa percaya diri” yang dapat digunakan untuk mengusir rasa takut dan sudah ada sejak kita lahir kedunia.

Untuk mengusirrasa takutsebenarnya tidak terlalu sulit, cukup mengundang keberanian saja. Bagaimana kita dapat menetahui bahwa kita sudah mempunyai rasa percaya diri ? Anda mulai merasakan “Rasa percayadiri” itu muncul dalam diri anda, ketika secara perlahan intuisi mengisyaratkan bahwa anda telah mampu tampil. Jantung anda yang semula berdetak kencang menjadi kembali detak normal. Keringat yang mengalir kembali berhenti. Ketika perasaan tenang telah menguasai anda maka dapat disimpulkan bahwa benih-benih kepercayaan diri mulai timbul.

Rasa percaya diri itu muncul ketika anda mulai dapat memperkirakan atau menghitung kapan kesuksesan dapat kita raih. Dan anda sudah cukup mempunyai persyaratan untuk mencapai sukses tersebut. Tepatnya anda telah memiliki sumberdaya yang cukup untuk digunakan. 223

Ada 3 (tiga) hal yang penting untuk meningkatkan rasa percaya diri, yaitu: 1. Melakukan pemetaan atau pengamatan.

Lakukan analisis situasi yang akan anda hadapi, siapa audiens, dari kalangan mana berasal?, Berapa rata-rata usianya. Apa tujuan acara tsb?, Bila kita sudah mengetahui hal tersebut, maka persiapan kita perlu diatur dan disesuaikan dengan situasi tersebut. Kuasai secara detail.

2. Melakukan Latihan dan latihan

Tidak perlu bosan melakukan latihan-latihan, apabila perlu tampil didepan cermin.



Ingat penampilan terakhir berbicara di depan umum, asosiakan diri anda saat itu, apa yang terjadi. Apa yang menarik dan apa pula kekurangannya, hal tersebut akan menambah dan meningkatkan kembali rasa percaya diri.

3. Evalusi sukses dari penampilan terakhir

Persiapan dalam public speaking - Mengelola vocal, kualitas suara, kecepatan bicara, tempo bicara.

-

-

Pada pokok bahasan komunikasi yang efektif , disebutkan 3 (tiga) pilar komunikasi yaitu: Verbal: Kata-kata (7%), Vokal: Voice intonasi (38%) dan Visual: bahasa tubuh (55 %). Suara yang digunakan untuk menyampaikan kata-kata jauh lebih penting dari kata-kata itu sendiri. Tehnik pernafasan, cara berdiri, volume lengkingan, tehnik pengaturan tinggi rendahnya nada merupakan seni tersendiri. Membangun tehnik non verbal (bahasa tubuh)

Sinyal yang paling jelas dalam komunikasi adalah bahasa Non verbal (bahasa tubuh), berupa gerakan fisik, penampilan, peringai seorang pembicara. Pengaruh penampilan visual lebih penting dibanding efek audio (suara). Ingat penelitian telah menunjukakan bahwa separo lebih proporsi komunikasi ada di bahasa tubuh (55%). Dalam public speaking keselutuhan tubuh kita merupakan perangkat yang efektif untuk dimanfaatkan membantu komunikasi kita. Jadi bahasa tubuh kita harus selaras (kongruen) dengan pesan yang disampaikan dan disertai Voice intonasi yang selaras pula. Persiapan naskah.

Penyusunan naskah pembicara harus betul-betul sudah melalui penyaringan, agar proporsi 7 % kata-kata, benar benar sudah terpilih. 224



-

Latihan bicara.

Latihan berbicara selama 7 menit. Masing-masing mempersiapkan topik cerita dan latihan menyampaikan cerita dengan menggunakan 3 pilar komunikasi mendapatkan masukan dari berbagai aspek.

Pokok Bahasan 4 : Mengelola konflik

Konflik pada dasarnya merupakan bagian dari kehidupan sosial dimasyarakat. Maka itu hampir tidak ada masyarakat di dunia ini yang steril dari konflik. Konflik selalu ada, namun yang penting konflik dapat dipahami sebagai godaan dari kehidupan sosial sesaat. Konflik yang terjadi antar manusia bersumber pada berbagai macam sebab, diantaranya adalah masalah perbedaan keyakinan, ketersinggungan, sensitifitas, ketimpangan sosial, tidak sepaham, dan lain sebagainya. Dalam mengelola BPJS juga tidak lepas dari munculnya konfilk dari berbagai sebab, baik konflik internal maupun konflik eksternal.

Konflik yang terjadi disekitar lingkungan kerja, dapat dipastikan akan sangat mengganggu produktifitas organisasi. Selain menyita perhatian para pekerja juga menyita energi yang semestinya tidak perlu terjadi. Karena itu dalam manajemen organisasi berharap bahwa para pekerja yang bersentuhan dengan masyarakat sekitar harus mampu mengenali karakter lingkungan dan berusaha mencegah terjadinya konflik Apa yg dimaksud dengan konflik? • Segala macam bentuk pertikaian yang terjadi dalam organisasi, baik antara individu dengan individu, antara individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok yang bersifat antagonistis (hamner dan organ) • Melibatkan dua pihak atau lebih yang terjadi apabila salah satu pihak merasa kepentingannya dihalang-halangi atau akan dihalang-halangi Asumsi Dalam Manajemen Konflik

Beberapa asumsi dalam manajemen konflik adalah konflik inheren dengan kehidupan manusia dan tidak dapat dielakkan, management konflik yang efektif dapat menjadi pertumbuhan energi yang efektif, konflik tidak jelek dan tidak juga bagus. Masalah tidak akan ada dalam konflik bila manusia tidak saling tergantung, kita tidak berinteraksi dengan orang lain yang berbeda. Konflik akan merebak bila ada tindakan permusuhan, diantara anggota memasuki permainan Win-Lose, lebih senang memenangkan kemenangan pribadi, memegang posisi dengan kuat, tidak ada perlunya mencapai tujuan yg menguntungkan, memegang teguh posisinya, mempersempit komunikasi, membatasi keterlibatan satu sama lain dan keterlibatan emosional 225

4 (Empat) Hal Pokok Yg Menyebabkan Perbedaan : 1. 2. 3. 4.

Fakta: Keadaan atau masalah saat ini Cara: Cara/tehnik yang paling untuk mencapai tujuan Tujuan: Baik tujuan jangka pendek maupun panjang Nilai-nilai: Bagaimana seharusnya yang kita inginkan

Hal-hal tersebut bisa disebabkan oleh informasi, Persepsi dan Peranannya. Bagaimana Anda Memandang Konflik ?

Tidak semua individu sama dalam memandang konflik, diantaranya adalah orang pesimis melihat kesulitan dalam setiap kesulitan, orang juga pesimis melihat konflik sebagai masalah besar. Orang optimis melihat konflik sebagai kesempatan, orang optimis melihat kesempatan dalam setiap kesulitan orang (Winston Churchill) Sumber Konflik

Konflik sering kali bersumber kalau menghambat tujuan pribadi, kehilangan status (kedudukan), menghambat tujuan pribadi, kehilangan status (kedudukan), kehilangan otonomi atau kekuasaan, kehilangan sumber-sumber, ketidak adilan, mengancam nilai-nilai, mengancam norma, kebutuhan berbeda (boltom, how to manage conflik) Langkah-Langkah Menangani Konflik

Dalam menangani konflik ada beberapa langkah yaitu: 1) Mengakui adanya konflik, 2) Mengidentifikasi konflik yang sebenarnya, 3) Mendengarkan semua sudut pandang, 4) Mengkaji bersama cara Penyelesaian Konflik, 5) Menyepakati Solusi dan 6) Jadwalkan Tindak Lanjut

Cara sehat dalam mengatasi konflik antara lain mengeluarkan dan membicarakan, menghindari kesulitan sementara waktu, menyalurkan kemarahan, bersedia menjadi pengalah yang baik dan berbuat sesuatu kebaikan untuk orang lain/ memupuk solidaritas. Sering kali pada individu terjadi konflik bathin, cara sehat mengatasi konflik bathin adalah: Jangan menganggap diri super, menerima kritik dengan lapang dada, mengatur saat rekreasi, menyerahkan pada sang pencipta. Pemecahan Konflik Secara Kolaborasi

Pemecahan terhadap kejadian konflik adalah menentukan masalah berdasarkan kebutuhan, bukan pemecahan-pemecahannya, melakukan Brainstorming, memilih pemecahan yang memenuhi kebutuhan ke dua belah pihak, merencanakan siapa yang akan mengerjakan apa, dimana dan bilamana, lalu di implementasikan dan dilakukan evaluasi . 226

Gaya Tanggapan Menghadapi Konflik Berbagai respon/gaya tanggapan menghadap konflik, yaitu: 1. Menghindar

Biasanya daya asertif rendah dan kolaboratif rendah, sering menghindarkan diri dalam situasi konflik, suka menunda pembahasan persoalan, mengalihkan persoalan untuk waktu yang tidak jelas, tidak berbuat apun terhadap persoalan yang ada. Gaya ini digunakan bila masalah tidak begitu penting, tidak melihat terpenuhinya kebutuhan kedua belah pihak, mendinginkan suasana dan mencari informasi tambahan.

2. Mengakomodasi

Merupakan gaya penyelesesaian konflik yang lebih mengutamakan kepentingan orang lain, rela mengorbankan kepentingan dirinya untuk kepentingan orang lain. Gaya ini sangat efektif bila masalahnya tidak terlalu penting, masalah penting bagi pihak lain dan mendapatkan dukungan di masa dating. Menganggap stabilitas dan harmoni kelompok lebih penting, posisi kita dalam kondisi salah

3. Kompetisi/Menang-Kalah

Gaya ini lebih banyak mengorbankan kepentingan orang lain, berorientasi terhadap kekuasaan, berusaha memperoleh kekuasaan meskipun melalui konfrontasi langsung dan ingin memenangkan dengan segala cara. Berguna untuk menegakkan kesatuan kelompok, dan peraturan, kedisiplinan, situasi darurat

4. Kompromi

Merupakan strategi tengah antara keasertifan dan kekooperatifan, tidak ada menang-kalah, masing-masing pihak mencari solusi jalan tengah, penyelesaian masih bersifat sementara. Gaya ini akan efektif bila masingmasing memiliki kedudukan yg sama, kedua pihak mempunyai tujuan yang sama, ingin mencari stabilitas sementara, kedua belah pihak sama-sama mempertahankan posisinya

5. Kolaborasi

Biasanya gaya asertif tinggi dan kooperatif tinggi, dalam menyelesaikan konflik mementingkan kepentingan bersama, dalam penyelesaian masalah mementingkan consensus, memakan waktu dan energi. Penyelesaian ini berguna untuk kepentingan bersama, masalah sangat penting bagi ke dua belah pihak, ingin mencapai komitmen dalam consensus. 227

VII. EVALUASI 1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan komunikasi efektif

2. Jelaskan komunikasi dengan menggunakan pendekatan NLP 3. Sebutkan 3 pilar komunikasi

VIII. RANGKUMAN

Komunikasi Efektif, bagi pengelola merupakan keterampilan penting karena perencanaan, pengorganisasian, dan fungsi pengendalian dapat berjalan hanya melalui aktivitas komunikasi, Komunikasi dengan pendekatan Neuro Languistic Programming/NLP, memahami komunikasi Asertif dan memahami pengelolaan konflik. Penjelasan tentang 3 (tiga) pilar komunikasi merupakan dasar dalam melakukan segala bentuk komunikasi. Komunikasi merupakan tindakan untuk mengekspresikan ide, perasaan dan memberikan informasi kepada orang lain.

IX. DAFTAR PUSTAKA

1. Charles Bonar Sirait,The Power of Public Speaking, kiat sukses berbicara di depan public, Kompas Gramedia, 2010

2. Dr.Ibrahim Elfiky,Terapi Komunikasi Efektif, dengan metode praktis NLP,2009. 3. Firti Rasmita SE, dkk, Pintar Soft Skill Membentuk Pribadi Unggul, B.Media, Desember 2009.

4. Kementrian kesehatan RI, Kurikulum Modul Pelatihan Fasilitator Desa Siaga, Jakarta 2010. 5. Kementrian kesehatan RI, Kurikulum Modul Pelatihan Fasilitator Desa Siaga, Jakarta 2010. 6. Kementrian kesehatan RI, Kurikulum Modul NLP , Jakarta 2011.

7. Kementrian kesehatan RI, Kurikulum Modul Peningkatan Kapasitas pejabat struktural UPT/UPTD , Jakarta 2011.

8. Kementrian kesehatan RI,Kurikulum Modul Peningkatan Kapasitas pejabat struktura Puskesmas , Jakarta 2011. 9. Lembaga Administrasi Negara, Modul diklat Kepemimpinan III, Jakarta,2008 10. Haryanto S, Drs, MPH, Human Relation, LAN, Bahan Diklat Spama,1999. 11. Anne Rufaidah, DR, Komunikasi Efektif, LAN, Bahan diklat Spama,1999.

228

MODUL 11 MEMBANGUN KOMITMEN BELAJAR / BUILDING LEARNING COMMITMENT (BLC)

I. DESKRIPSI SINGKAT Dalam suatu pelatihan terutama pelatihan dalam kelas, bertemu sekelompok orang yang belum saling mengenal sebelumnya, berasal dari tempat yang berbeda, dengan latar belakang sosial budaya, pendidikan/ pengetahuan, pengalaman, serta sikap dan perilaku yang berbeda pula, pada awal memasuki suatu pelatihan, sering para peserta menunjukkan suasana kebekuan (freezing), karena belum tentu pelatihan yang diikuti merupakan pilihan prioritas dalam kehidupannya. Mungkin saja kehadirannya di pelatihan karena terpaksa, tidak ada pilihan lain, harus menuruti ketentuan/persyaratan.

Agar pelatihan sukses, partisipatif dan berbasis aktifitas peserta, kita harus memperkenalkan rasa percaya antar peserta. Dalam lingkungan peserta yang saling percaya, peserta akan lebih disiapkan untuk berani mengambil resiko, berkontribusi dan lebih menyenangi proses belajar dan membantu kelancaran proses pembelajaran selanjutnya. Untuk menciptakan rasa saling percaya ini, kita harus memecahkan kebekuan dengan proses pencairan (unfreezing) pada awal pelatihan dengan cara saling mengenal antar peserta dan menciptakan perasaan positif satu sama lain.

Membangun Komitmen Belajar (BLC) adalah salah satu metode atau proses untuk mencairkan kebekuan tersebut. BLC juga mengajak peserta mampu mengemukakan harapan-harapan mereka dalam pelatihan ini, serta merumuskan nilai-nilai dan norma yang kemudian disepakati bersama untuk dipatuhi selama proses pembelajaran. Jadi inti dari BLC juga adalah terbangunnya komitmen dari semua peserta untuk berperan serta dalam mencapai harapan dan tujuan pelatihan, serta mentaati norma yang dibangun berdasarkan perbauran nilai nilai yang dianut dan disepakati. Proses BLC adalah proses melalui tahapan dari mulai saling mengenal antar pribadi, mengidentifikasi dan merumuskan harapan dari pelatihan ini, sampai terbentuknya norma kelas yang disepakati bersama serta kontrol kolektifnya.

Pada proses BLC setiap peserta harus berpartisipasi aktif dan dinamis. Keberhasilan atau ketidak berhasilan proses BLC akan berpengaruh pada proses pembelajaran selanjutnya. 229

II. TUJUAN PEMBELAJARAN A. Tujuan pembelajaran umum Setelah mengikuti sesi ini peserta saling mengenal serta mampu merumuskan norma kelas yang disepakati bersama.

B. Tujuan pembelajaran khusus Setelah mengikuti sesi ini peserta mampu: 1. Melaksanakan perkenalan antara peserta, fasilitator dan panitia. 2. Mencapai suasana pencairan sehingga peserta dapat lebih siap dan berani mengemukakan pengalaman dan pandangannya/ berpartisipasi aktif dalam pelatihan. 3. Merumuskan harapan-harapan terhadap pelatihan yang merupakan kesepakatan bersama dan menjadi norma kelas yang disepakati bersama 4. Menetapkan kontrol kolektif terhadap pelaksanaan norma kelas.

III. POKOK BAHASAN DAN SUB POKOK BAHASAN

Pokok bahasan: 1. Perkenalan. 2. Pencairan (Ice breaker). 3. Harapan kelas, kekhawatiran mencapai harapan dan komitmen menjadi norma kelas. 4. Kontrol efektif.

IV. BAHAN BELAJAR

1. Modul 2. Game 3. Petunjuk diskusi

V. LANGKAH-LANGKAH/ PROSES PEMBELAJARAN Langkah 1: Perkenalan 1. Memperkenalkan diri dan menyampaikan tujuan pembelajaran. 2. Mengajak peserta untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. 3. Memandu peserta untuk proses perkenalan dengan metode: • Dalam 5 menit pertama setiap peserta diminta berkenalan dengan peserta lain sebanyak-banyaknya • Meminta peserta yang berkenalan dengan jumlah peserta terbanyak, dan dengan jumlah peserta paling sedikit untuk memperkenalkan temantemannya • Meminta peserta yang belum disebut namanya untuk memperkenalkan diri, sehingga seluruh peserta saling berkenalan 230

Langkah 2: Pencairan 1. Fasilitator menyiapkan kursi sejumlah peserta dan disusun melingkar.

2. Fasilitator meminta semua peserta duduk di kursi dan satu diantaranya duduk di tengah lingkaran.

3. Peserta yang duduk di tengah lingkaran diminta memberi aba-aba, agar peserta yang disebut identitasnya pindah duduk, misalnya dengan menyeru: ”Semua peserta berbaju merah pindah” Pada keadaan tersebut akan terjadi pertukaran tempat duduk dan saling berebut. Hal tersebut menggambarkan suasana “storming”, atau seperti “badai” yang merupakan tahap awal dari suatu pembentukan kelompok. 4. Ulangi lagi, setiap peserta yang duduk di tengah lingkaran untuk menyerukan identitas yang berbeda, misalnya peserta yang berkaca mata atau yang berbaju batik dan lain-lain. Lakukan permainan tersebut selama 10 menit.

5. Fasilitator memandu peserta untuk merefleksikan perasaannya dalam permainan tersebut serta pengalaman belajar apa yang diperolehnya.

6. Fasilitator membuat rangkuman bersama-sama peserta, agar terjadi proses yang dinamis. Langkah 3: Merumuskan harapan terhadap pelatihan dan norma yang disepakati. 1. Fasilitator membagi peserta dalam kelompok kecil masing-masing 5-6 orang, kemudian menjelaskan penugasan kelompok yaitu:

2. Masing-masing kelompok menentukan harapan terhadap pelatihan ini serta kekhawatiran dalam mencapai harapan tersebut. Mula-mula secara individu, kemudian hasil setiap individu dibahas dan dilakukan kesepakatan sehingga menjadi harapan kelompok. 3. Setiap kelompok diminta untuk mempresentasikan hasil diskusikan. Peserta lainnya diminta untuk memberikan tanggapan dan masukan.

4. Fasilitator memandu peserta untuk membahas harapan dan kekhawatiran dari setiap kelompok tersebut sehingga menjadi harapan kelas yang disepakati bersama.

5. Berdasarkan harapan kelas yang telah disepakati kemudian fasilitator memandu peserta untuk merumuskan norma kelas yang disepakati bersama. Peserta difasilitasi sedemikian rupa agar semua berperan aktif dan memberikan komitmennya untuk mentaati norma kelas tersebut. 231

Langkah 4: Menentukan Kontrol Kolektif. 1. Fasilitator memandu brainstorming tentang sanksi apa yang harus diberlakukan bagi orang yang tidak mematuhi atau melanggar norma yang telah disepakati. Tuliskan hasil brainstorming di papan flipchart agar bisa dibaca oleh semua peserta. Peserta difasilitasi sedemikian rupa sehingga aktif dalam melakukan brainstorming. 2. Fasilitator memandu membahas hasil brainstorming, sehingga dapat dirumuskan sanksi yang disepakati kelas.

3. Fasilitator meminta salah seorang peserta untuk menuliskan dengan jelas rumusan sanksi yang telah disepakati tersebut pada kertas flipchart serta menempelnya di dinding agar bisa dibaca dan dipergunakan sebagaimana mestinya. Langkah 5: Penutupan sesi

1. Fasilitator memandu peserta membuat rangkuman dari semua proses dan hasil pembelajaran selama sesi ini. 2. Fasilitator memberi ulasan singkat tentang materi yang terkait dengan BLC.

3. Fasilitator meminta peserta untuk berdiri membentuk lingkaran sambil berpegangan tangan, dan mengucapkan ikrar bersama untuk mencapai harapan kelas dan mematuhi norma yang telah disepakati. 4. Mengakhiri sesi dengan tepuk tangan bersama.

5. Fasilitator mengucapkan salam dan mengajak semua peserta saling bersalaman.

VI. URAIAN MATERI

Dalam sesi BLC, lebih banyak menggunakan metode games/permainan, penugasan individu dan diskusi kelompok. Hanya di akhir sesi ada ulasan singkat tentang materi yang terkait dengan BLC. Pokok Bahasan 1: Komitmen

Adalah keterikatan, keterpanggilan seseorang terhadap apa yang dijanjikan atau yang menjadi tujuan dirinya atau kelompoknya yang telah disepakati dan terdorong berupaya sekuat tenaga untuk mengaktualisasinya dengan berbagai macam cara yang baik,efektif dan efisien. Komitmen belajar/pembelajaran, adalah keterpanggilan seseorang/kelompok/ 232

kelas (peserta pelatihan) untuk berupaya dengan penuh kesungguhan mengaktualisasikan apa yang menjadi tujuan pelatihan/pembelajaran. Keadaan ini sangat menguntungkan dalam mencapai keberhasilan individu/kelompok/ kelas, karena dalam diri setiap orang yang memiliki komitmen tersebut akan terjadi niat baik dan tulus untuk memberikan yang terbaik kepada individu lain, kelompok dan kelas secara keseluruhan.

Dengan terbangunnya BLC, juga akan mendukung terwujudnya saling percaya, saling kerja sama, saling membantu, saling memberi dan menerima, sehingga tercipta suasana/lingkungan pembelajaran yang kondusif Pokok Bahasan 2: Harapan Terhadap Pelatihan

Adalah kehendak/keinginan untuk memperoleh atau mencapai sesuatu. Dalam pelatihan berarti keinginan untuk memperoleh atau mencapai tujuan yang diinginkan sebagai hasil proses pembelajaran. Dalam menetukan harapan harus realistis dan rasional sehingga kemungkinan untuk mencapainya besar. Harapan jangan terlalu tinggi dan jangan terlalu rendah.

Harapan juga harus menimbulkan tantangan atau dorongan untuk mencapainya, dan bukan sesuatu yang diucapkan secara asal asalan. Dengan demikian dinamika pembelajaran akan terus terpelihara sampai akhir proses. Pokok Bahasan 3: Kesepakatan Norma Kelas

Merupakan nilai yang diyakini oleh suatu kelompok atau masyarakat, kemudian menjadi kebiasaan serta dipatuhi sebagai patokan dalam perilaku kehidupan sehari hari kelompok/ masyarakat tersebut. Norma adalah gagasan, kepercayaan tentang kegiatan, instruksi, perilaku yang seharusnya dipatuhi oleh suatu kelompok. Norma dalam suatu pelatihan,adalah gagasan, kepercayaan tentang kegiatan, instruksi, perilaku yang diterima oleh kelompok pelatihan, untuk dipatuhi oleh semua anggota kelompok (peserta, pelatih/fasilitator dan panitia). Pokok Bahasan 4: Kesepakatan Kontrol Kolektif

Merupakan kesepakatan bersama tentang memelihara agar kesepakatan terhadap norma kelas ditaati. Biasanya ditentukan dalam bentuk sanksi apa yang harus diberlakukan apabila norma tidak ditaati atau dilanggar. 233

Lembar Kerja 1 Menentukan Harapan Pembelajaran dan kekhawatiran untuk mencapai harapan tersebut. Tahap 1: Menentukan harapan kelompok dan kekhawatitran mencapai harapan. 1. Peserta dibagi dalam kelompok kecil @ 5-8 orang.

2. Mula mula peserta bekerja secara individu. Secara sendiri sendiri setiap peserta mengidentifikasi apa yang menjadi harapannya terhadap pelatihan ini. Tuliskan pada kertas catatan masing masing 3 harapan yang menjadi prioritas. Tuliskan juga kekhawatiran untuk mencapai harapan 3. Kemudian diskusikan harapan masing-masing peserta dalam kelompok dipandu oleh ketua kelompok.

4. Dengan metode brainstorming setiap peserta menyampaikan pendapatnya tentang usulan harapan kelompok berdasarkan hasil renungan dan analisis dari harapan harapan semua anggota kelompok. 5. Kelompok diharapkan dapat menentukan harapan kelompok dan kekhawatiran sebagai hasil kesepakatan bersama. Setiap kelompok menentukan 3 harapan yang menjadi prioritas kelompok. 6. Tuliskan harapan kelompok dan kekhawatiran pada kertas flipchart. Tahap 2: Menentukan harapan kelas.

1. Setiap kelompok mempresentasikan harapan dan kekhawatiran kelompoknya.

2. Fasilitator memandu brainstorming untuk menentukan harapan kelas berdasarkan hasil analisis dari semua harapan kelompok dan kekhawatirannya.

3. Buat kesepakatan kelas untuk menentukan 5 harapan yang menjadi prioritas kelas serta kekhawatiran mencapai harapan. 4. Tuliskan hasilnya pada kertas flipchart. Hasil pada setiap kelompok Harapan Individu

Kekhawatiran Individu

Harapan Kelompok

234

Kekhawatiran Kelompok

Hasil pada setiap kelompok Harapan Kelompok

Kelompok 1

Harapan Kelas

Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4

Tahap 3. Menentukan norma kelas

Dalam menentukan norma kelas,peserta difasilitasi untuk melakukan brainstorming. Fasilitasi dapat dilakukan oleh fasilitator atau diplih salah seorang dari peserta untuk memandu kelas. 1. Setiap peserta diminta mengemukakan pendapatnya tentang norma kelas berdasarkan harapan kelas yang sudah disepakati (norma untuk mencapai harapan kelas)

2. Tuliskan pendapat peserta pada kertas flipchart agar terbaca oleh semua orang. Dapat juga diminta salah seorang peserta mengetik di komputer dan ditayangkan. 3. Pendapat peserta tidak boleh dikomentari dahulu.

4. Setelah semua pendapat peserta tertulis, kemudian dikompilasi/dipilah, yaitu pendapat yang serupa digabung jadi satu. 5. Hasil penggabungan kemudian dibahas, sehingga menjadi beberapa butir norma.

6. Buatlah kesepakatan bersama dan menjadikannya sebagai norma kelas yang harus ditaati.

7. Tuliskan norma kelas yang sudah disepakati pada kertas flipchart dan tempelkan di dinding agar dapat dibaca semua orang. Hasil pada setiap kelompok Harapan Kelompok

Kelompok 1

Harapan Kelas

Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4 235

Lembar Kerja 2. Menentukan Kontrol Kolektif

1. Peserta kembali ke dalam kelompok kecil

2. Norma yang di sepakati dibahas untuk ditentukan apa kontrol kolektif apabila ada yang tidak mentaati norma kelas 3. Hasil kelompok kemudian di presentasikan

4. Fasilitator memandu peserta untuk menentukan kontrol kolektif yang disepakati bersama (kelas). Tuliskan hasil kesepakatan kontrol kolektif pada kertas flipchart. Norma * * * *

Kontrol Kolektif Hasil Kelompok * * * *

Kontrol Kolektif Hasil Kesepakatan Kelas * * * *

VII. DAFTAR PUSTAKA 1. Departemen Kesehatan RI, 2006. Modul TOT Pelatihan Pengelola Program Kesehatan Indera Pendengaran. 2. Departemen Kesehatan RI, 2005. Modul TOT Pelatihan Pengelola Program Kesehatan Indera Penglihatan. 3. Pusdiklat Departemen Kesehatan RI, 2001. Membangun Komitmen Belajar. 4. Lembar petunjuk penugasan

236

MODUL 12 RENCANA TINDAK LANJUT (RTL)

I. DESKRIPSI SINGKAT Setelah peserta dibekali pengetahuan dan ketrampilan dalam Pelatihan Item Development, sesi akhir dalam pelatihan ini adalah menyusun Rencana Tindak Lanjut (RTL).

Dalam penyusunan RTL disini seyogyanya diarahkan kepada pencapaian tujuan agar Quality Control diterapkan pada setiap pelatihan yang telah terakreditasi, karena hal ini merupakan salah satu kegiatan yang harus dilakukan dalam menjamin mutu pelatihan. RTL yang disusun harus dibuat sedemikian rupa sehingga kegiatan-kegiatan yang ditentukan jelas dan konkrit sesuai dengan kondisi wilayah kerja setempat agar RTL tersebut dapat diimplementasikan. Agar peserta dapat menyusun RTL, maka dalam modul ini dijelaskan tentang : 1. Pengertian RTL 2. Analisis situasi 3. Penyusunan RTL.

II. TUJUAN

A. Tujuan Pembelajaran Umum Setelah mempelajari materi ini peserta mampu menyusun Rencana Tindak Lanjut pasca pelatihan Item Development. B. Tujuan Pembejaran Khusus

Setelah mengikuti materi ini peserta mampu: 1. Menjelaskan pengertian dan tujuan Rencana Tindak Lanjut. 2. Menjelaskan langkah-langkah dalam menyusun RTL 3. Menyusun rencana tindak lanjut

III. POKOK BAHASAN DAN SUB POKOK BAHASAN

Pokok bahasan : Rencana Tindak Lanjut Sub Pokok Bahasan : 1. Pengertian dan tujuan Rencana Tindak Lanjut 2. Langkah-langkah dalam menyusun RTL. 3. Penyusunan RTL 237

IV. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN Langkah 1 : Pengkondisian 1. Fasilitator menyampaikan tujuan pembelajaran, metode yang digunakan, alokasi waktu dan mengapa modul/materi ini diperlukan dalam pelatihan Master Of Training, serta keterkaitan dengan materi sebelumnya. 2. Fasilitator memberi kesempatan bertanya kepada peserta apabila ada hal yang dianggap belum jelas. 3. Fasilitator menjawab dan mengklarifikasi hal-hal yang dipertanyakan peserta. Langkah 2 : Penyampaian Materi

1. Fasilitator menjelaskan : ”Pengertian dan tujuan Rencana Tindak Lanjut dan Langkah-langkah penyusunan RTL. 2. Setiap selesai penyampaian pokok bahasan, fasilitator memberikan kesempatan kepada peserta untuk bertanya sampai seluruh peserta memahami penjelasan fasilitator. Langkah 3 : Penugasan Penyusunan RTL

1. Fasilitator membagi kelompok sesuai dengan asal peserta. 2. Fasilitator menjelaskan bahwa output dari penugasan ini adalah tersusunnya RTL untuk menerapkan pelatihan di wilayah kerja masing-masing. 3. Fasilitator menugaskan masing-masing kelompok untuk: • Melakukan analisis situasi • Menyusun rencana tindak lanjut 4. Fasilitator mendampingi peserta dalam melaksanakan penugasan. 5. Untuk presentasi, diakhir sesi ini kelompok dapat menulis hasil penugasan pada flipchart atau atau laptop yang ada. Langkah 4 : Presentasi

1. Wakil dari kelompok institusi yang ditunjuk menyajikan hasil penugasannya. Adapun jumlah 2. Kelompok lain diminta untuk memberikan tanggapan 3. Fasilitator mengklarifikasi hal-hal yang perlu diluruskan dari hasil presentasi dan tanggapan peserta. Langkah 5 : Rangkuman

1. Fasilitator memandu peserta dalam menyimpulkan dan merangkum pembahasan materi. 2. Fasilitator mengakhiri sesi dan mengucapkan salam. 238

V. URAIAN MATERI Pokok Bahasan 1: Pengertian Dan Tujuan RTL Pengertian RTL merupakan suatu dokumen yang menjelaskan tentang kegiatankegiatan yang akan dilakukan, setibanya peserta di wilayah kerja masing-masing dengan memperhitungkan hal-hal yang telah ditetapkan berdasarkan potensi dan sumber daya yang ada. Oleh karena itu RTL memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1. Terarah : Setiap kegiatan yang dicantumkan dalam RTL hendaknya terarah untuk mencapai tujuan. 2. Jelas Isi rencana mudah dimengerti dan ada pembagian tugas yang jelas antara orang-orang yang terlibat didalam masing-masing kegiatan. 3. Fleksibel Mudah disesuaikan dengan perkembangan situasi. Oleh karena itu RTL mempunyai kurun waktu relatif singkat. Tujuan RTL adalah agar peserta latih/ institusi memiliki acuan dalam menindaklanjuti suatu kegiatan pelatihan. Pokok Bahasan 2: Ruang Lingkup RTL

Ruang lingkup Rencana Tindak lanjut (RTL) sebaiknya minimal: 1. Menetapkan kegiatan apa saja yang akan dilakukan

2. Menetapkan tujuan setiap kegiatan yang ingin dicapai 3. Menetapkan sasaran dari setiap kegiatan

4. Menetapkan metode yang akan digunakan pada setiap kegiatan 5. Menetapkan waktu dan tempat penyelenggaraan

6. Menetapkan siapa pelaksana atau penanggung jawab dari setiap kegiatan 7. Menetapkan besar biaya dan sumbernya.

Pokok Bahasan 3: Analisis Situasi Dalam Menerapkan Pelatihan Item Development Analisis situasi merupakan suatu kegiatan yang dilakukan sebelum penyusunan RTL. Dengan analisis situasi akan memberikan gambaran singkat dari berbagai kemungkinan yang akan terjadi berkaitan dengan rencana penerapan pelatihan. 239

Analisis yang dilakukan berupa analisis terhadap situasi dan kondisi situasi, meliputi : 1. Komitmen pimpinan terhadap mutu pelatihan 2. Komitmen dari para penyelenggara pelatihan terhadap mutu pelatihan 3. Sumber daya yang dimiliki untuk menerapkan pelatihan (SDM, sarana pendukung, biaya). Pokok Bahasan 4: Penyusunan RTL

Berdasarkan hasil analisis kemudian disusun RTL dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Identifikasi dan buat perumusan yang jelas dari semua kegiatan yang akan dilaksanakan (apa/what). Pada saat menentukan kegiatan hendaknya mereview modul Pelatihan Item Development. 2. Tentukan apa tujuan dari masing-masing kegiatan yang telah ditentukan. 3. Tentukan sasaran dari masing-masing kegiatan yang telah ditentukan 4. Tetapkan cara atau metode yang akan digunakan dalam pelaksanaan setiap kegiatan (bagaimana/how). 5. Perkirakan waktu yang diperlukan untuk setiap kegiatan (kapan/when), dan tentukan lokasi yang akan digunakan dalam melakukan kegiatan (tempat/ where) 6. Perkirakan besar dan sumber biaya yang diperlukan pada setiap kegiatan. 7. Tetapkan siapa mengerjakan apa pada setiap kegiatan dan bertanggung jawab kepada siapa (siapa/who)

Oleh karena itu dalam menyusun RTL harus mencakup unsur-unsur sebagai berikut: 1. Kegiatan

yaitu uraian kegiatan yang akan dilakukan, didapat melalui identifikasi kegiatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Agar hal ini terealisasi maka di identifikasi kegiatan kegiatan apa yang diperlukan.

2. Tujuan

adalah membuat ketetapan ketetapan yang ingin dicapai dari setiap kegiatan yang direncanakan pada unsur nomor 1. Penetapan tujuan yang baik adalah di rumuskan secara konkrit dan terukur.

3. Sasaran

yaitu seseorang atau kelompok tertentu yang menjadi target kegiatan yang direncanakan. 240

4. Cara/Metode

yaitu cara yang akan dilakukan dalam melakukan kegiatan agar tujuan yang telah ditentukan dapat tercapai.



Dalam penentuan waktu sebaiknya menunjukkan kapan suatu kegiatan dimulai sampai kapan berakhir. Apabila dimungkinkan sudah dilengkapi dengan tanggal pelaksanaan. Hal ini untuk mempermudah dalam persiapan kegiatan yang akan dilaksanakan, serta dalam melakukan evaluasi. Sedangkan dalam menetapkan tempat, seyogyanya menunjukkan lokasi atau alamat kegiatan akan dilaksanakan

5. Waktu dan Tempat

6. Biaya



Agar RTL dapat dilaksanakan perlu direncanakan anggaran yang dibutuhkan untuk kegiatan tersebut. Akan tetapi perencanaan anggaran harus realistis untuk kegiatan yang benar-benar membutuhkan dana, artinya tidak mengadaada. Perhatikan/pertimbangkan juga kegiatan yang memerlukan dana tetapi dapat digabung pelaksanaannya dengan kegiatan lain yang dananya telah tersedia.

Rencana anggaran adalah uraian tentang biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan kegiatan, mulai dari awal sampai selesai.

7. Pelaksana/penanggung jawab

yaitu personal/tim yang akan melaksanakan kegiatan yang direncanakan. Hal ini penting karena personal/tim yang terlibat dalam kegiatan tersebut mengetahui dan melaksanakan kewajiban.

Untuk lebih mudahnya, penyusunan RTL dapat menggunakan Format Isian sebagai berikut :

No Kegiatan Tujuan Sasaran Cara/ Waktu & Biaya Metode Tempat

1 2

3

4

5

241

6

7

Pelaksana/ Penanggung Jawab

8

Penjelasan : Kolom 1 : Kolom nomor

Pada kolom ini dicantumkan nomor kegiatan mulai dari 1, 2, 3 dst sesuai dengan jumlah kegiatan yang direncanakan. Kolom 2 : Kolom kegiatan

Pada kolom ini dirinci kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan biasanya dimulai dari lapor pada atasan tentang pelatihan yang telah diikuti sampai dengan tujuan yang ingin dicapai. Kolom 3 : Kolom tujuan

Pada kolom ini dicantumkan tujuan dari masing-masing kegiatan, yaitu hasil yang ingin dicapai apabila kegiatan tersebut dilaksanakan. Kolom 4 : Kolom sasaran

Pada kolom ini dicantumkan siapa atau kelompok apa sasaran yang telah ditetapkan pada setiap kegiatan. Kolom 5 : Kolom cara/ metode

Pada kolom ini dicantumkan cara-cara dalam melakukan kegiatan. Kolom 6 : Kolom waktu dan tempat

Pada kolom ini dicantumkan kapan dan dimana kegiatan akan dilaksanakan. Kolom 7 : Kolom biaya

Pada kolom ini diisi pembiayaan yang meliputi: besar biaya yang dibutuhkan dan sumber biaya yang dimungkinkan, atau tidak perlu biaya atau biaya sudah tercakup dalam kegiatan yang dipadukan. Kolom 8 : Kolom pelaksana/penanggung jawab

Pada kolom ini dicantumkan nama dari pelaksana/penanggung jawab dari masing-masing kegiatan

242

LEMBAR KERJA



Peserta dibagi dalam kelompok, masing-masing anggota berasal dari propinsi yang sama.



Fasilitator menyampaikan penugasan penyusunan RTL

• •

Disetiap kelompok dipilih Ketua, Sekretaris dan Penyaji.

Ketua kelompok memandu dan melibatkan seluruh anggota kelompok untuk menyusun RTL dengan: a. Menganalisis situasi

b. Menetapkan kegiatan

c. Menentukan tujuan per kegiatan

d. Menentukan sasaran per kegiatan

e. Menentukan cara dan metode pada setiap kegiatan

f. Menentukan waktu dan tempat pelaksanaan kegiatan

g. Menentukan biaya apabila ada kegiatan ada yang harus dibiayai • •

h. Menentukan pelaksana atau penanggung jawab dari masingmasing kegiatan.

Hasil diskusi dituangkan dalam matrik RTL yang dipelajari dalam modul atau dikembangkan lagi sesuai kebutuhan. Masing-masing kelompok mempersiapkan bahan presentasi.

243

244

FORMULIR PEMERIKSAAN Fisioterapis ........................................................

TTD ........................................................

Tanggal Pemeriksaan : ........................................

Nama pasien : .............................................................................................. (L/P)

Umur : ............ Th

Alamat : ......................................................................................................................................................... Nama orang tua : ......................................................................................................................................................... Diagnosa Medis : ......................................................................................................................................................... 1. Gangguan sensasi / sensoris dan kelemahan

2. Kekuatan otot Kepala Leher

______________________________________________________________________________________________________ Trunk (leher-punggung-pinggang) ______________________________________________________________________________________________________ AGA Kanan Kiri ______________________________________________________________________________________________________ AGB Right Left 3. Kontraktur : Ada / Tidak

Kalo ada otot (group otot) apa saja (???????) .......................................

4. Keterbatasan sendi: Ada / Tidak

......................................

5. Kalo ada: Sendi apa saja (?????) LGS: (derajat) posisi keterbatasan sendi (??????) Osteoporosis : Ada / Tidak

5. Osteomilitis/infeksi tulang : Ada / Tidak 6. Decubitus / luka : Ada / Tidak Derajat:

245

Tempat: Tempat:

Tempat : 1.

2.

3.

7. Sistem pernafasan : Bagus / Ekspansi thorak berkurang / ada sputum / retensi / wheeze 8. Operasi Ortopedi : Ya / Tidak

9. Aktivitas Fungsional : Activity

Bisa (mandiri)

Tanggal Aff

Tanggal Orif

Bisa (mandiri) dengan alat bantu

: :

Tidak bisa/ tergantung

Penjelasan

Rolling Lying to sitting Sitting (balance) Sit to stand Standing (balance) Walking Wheelchair-Bed Wheelchair-Floor Squatting Kneeling Reaching Fine hand control Penjelasan lanjut kesulitan :

10. Level Ketergantungan (AKS) Aktivitas

Bisa (mandiri)

Bisa (mandiri) dengan alat bantu

Tidak bisa/ tergantung

Makan dan Minum Mempersiapkan makanan Mencuci piring Berpakaian Mandi/kebersihan diri Toileting/BAB-BAK Menyapu halaman Mencuci pakaian Belanja ke Warung

11. Penilaian terkait aktivitas mengakses fasilitas rumah (Home assessment) Fasilitas Masuk dalam Rumah 1. Akses 2. Pintu

Sulit

Mudah

Ruang Tamu

1. Akses 2. Penerangan 3. Televisi 246

Penjelasan

Keterangan

Dapur

1. 2. 3. 4. 5.

Akses penerangan Rak piring Kompor Bak cuci piring

Kamar tidur

1. 2. 3. 4.

Akses Penerangan Lemari pakaian Tempat tidur

Kamar mandi

1. Akses 2. Penerangan 3. Bak mandi 4. toilet

12. Situasi kehidupan ekonomi ...........................................................................................................................

13. Situasi kehidupan sosial a. Sikap pasien/klien atas kondisinya: Baik / Apatis b. Sikap pasien/klien atas tenaga medis: Kooperatif / Tidak (keterangan: ............................) c. Sikap keluarga atas pasien/klien: Kooperatif / Tidak / Protektif d. Sikap keluarga atas tenaga medis: Menerima / Menolak (keterangan: ...............................) e. Sikap masyarakat atas pasien/klien: Peduli / Tidak / Menjauhi (alasan: ..........................) f. Ikut kegiatan di masyarakat: Aktif / Jarang / Tidak pernah (alasan: ...................................) g. Kegiatan di masyarakat: Bertetangga / Agama / Organisasi / Sekolah / Kantor h. Pendidikan: i. Kemampuan belajar: Membaca / Menulis / Berhitung j. Ketrampilan: 14. Diagnosa pasien

Impairment/kecacatan fisik (terapis) dan letak decub

Keterbatasan fungsi

Disabiliti



15. Target terapi



Jangka Pendek Jangka Panjang (1-2 bulan ke depan)

Fisioterapis:

(____________________________________) 247

Rencana untuk mencapai Target

EVALUASI FASILITATOR PELATIHAN PENANGANAN KASUS RUJUKAN KELAINAN TUMBUH KEMBANG BALITA JAKARTA, .............. PETUNJUK UMUM

Tuliskan angka pada kolom yang telah tersedia 50 s/d 100, tetapi tidak harus selalu angka puluhan, anda dapat memberikan angka satuan (misal:67, 79, dll.) NAMA FASILITATOR : .............................................................................................................. MATA MATERI : .............................................................................................................. HARI/TANGGAL : .............................................................................................................. NO

ASPEK YANG DINILAI

NILAI

1

Penguasaan Materi

3

Kemampuan Menyajikan

2 4 5 6 7 8 9

50

Sistematika Penyajian

Ketepatan Waktu, Kehadiran, & menyajikan Penggunaan Metoda dan Sarana Diklat Sikap & Perilaku

Cara Menjawab Pertanyaan dari Peserta Penggunaan Bahasa

Pemberian Motivasi Kepada Peserta

10 Pencapaian Tujuan Pembelajaran 11 Kerapihan Berpakaian

12 Kerjasama Antar Fasilitator Saran :

248

60

70

80

90

100

EVALUASI PENYELENGGARAAN PELATIHAN PENANGANAN KASUS RUJUKAN KELAINAN TUMBUH KEMBANG BALITA TAHUN ........................ Berikan penilaian Saudara dengan mengisi kolom jawaban yang sesuai pada pertanyaanpertanyaan dibawah ini: Tulislah tanda centang (√) penilaian Saudara pada kolom yang sesuai NO HAL-HAL YANG DI EVALUASI 1

Pengalaman belajar dalam pelatihan ini

3

Tingkat semangat belajar (motivasi)

2

4

5 6

7

8 9

Rata-rata penggunaan metoda

45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

pembelajaran oleh pengajar

Saudara untuk mengikuti program latihan Tingkat kepuasan Saudara terhadap

penyelenggaraan proses belajar mengajar Kenyamanan ruang belajar

Penyediaan alat bantu pelatihan didalam kelas

Penyediaan dan pelayanan bahan belajar (seperti penggandaan, bahan diskusi)

Penyediaan dan kebersihan kamar kecil

Pelayanan Sekretariat

10 Penyediaan Pelayanan Akomodasi

11 Penyediaan dan pelayanan konsumsi

Saran/komentar anda mengenai : 1. Fasilitator

2. Penyelenggaraan / Pelayanan Panitia 3. MOT

249

Hal-hal yang dirasakan membantu maupun menghambat dalam kegiatan pelatihan ini YANG DIRASAKAN MEMBANTU

YANG DIRASAKAN MENGHAMBAT



MATERI YANG RELEVAN DALAM PELATIHAN INI

MATERI YANG KURANG RELEVAN DALAM PELATIHAN INI

250

251

Waktu

09.00 - 09.15

08.00 - 09.00

07.45 - 08.00

3 Hari ke-3

16.30 - 18.30

15.30 - 16.30

15.15 - 15.30

13.15 - 15.15

12.45 - 13.15

10.45 - 12.45

08.45 - 10.45

08.30 - 08.45

08.00 - 08.30

07.45 - 08.00

Rehat Sehat

1 PS. Gangguan Sensori Persepsi

Refleksi

2 PS. Gangguan Penglihatan

2 Lanjutan Kerjasama Tim

Rehat Sehat

2 Kerjasama Tim

ISHOMA

2 Komunikasi efektif

2 Membangun Komitmen Belajar

Rehat Sehat

Pretest

Materi

Penjelasan Mekanisme Pelatihan

Pembukaan

07.30 - 07.45

2 Hari ke-2

Peserta registrasi

Waktu JPL

14.00 - 19.00

1 Hari ke-1

No

dr. Luh Karunia Wahyuni, Sp.KFR(K)

Dorce Tandung, S.Sos, M.Si

Prof. Dr. dr. Rita Sitorus,PhD,SpM(K)

dr. Rini Sekartini, SpA(K)

dr. Luh Karunia Wahyuni, Sp.KFR(K)

Dorce Tandung, S.Sos, M.Si

Dorce Tandung, S.Sos, M.Si

dr. Luh Karunia Wahyuni, Sp.KFR(K)

Direktur Bina Kesehatan Anak

NS/Fasilitator/Pelatih

JADWAL TENTATIF PELATIHAN PENANGANAN KASUS RUJUKAN KELAINAN TUMBUH KEMBANG BALITA

Panitia

MOT

MOT

MOT

MOT

Panitia

MOT

Panitia

MOT

MOT

Panitia

MOT/ Panitia

MOT

Panitia

Panitia

Moderator dan PJ

252

12.45 - 13.45

12.15 - 12.45

11.15 - 12.15

10.15 - 11.15

09.15 - 10.15

1 Lanjutan PS. Gangguan Pertumbuhan

ISHOMA

1 PS. Gangguan Pertumbuhan

1 Lanjutan PS. Gangguan Komunikasi : Intervensi Gangguan Komunikasi

1 Lanjutan PS. Gangguan Komunikasi : Diagnosis dan Tatalaksana Gangguan Komunikasi

Rehat Sehat

1 PS. Gangguan Komunikasi : Perkembangan Normal Komunikasi

09.00 - 09.15

08.00 - 09.00

Refleksi

PS. Gangguan Pendengaran

Rehat Sehat

Lanjutan PS. Gangguan Motorik : Intervensi Gangguan Motorik Halus

Lanjutan PS. Gangguan Motorik : Intervensi Gangguan Motorik Kasar

Lanjutan PS. Gangguan Motorik : Intervensi Gangguan Oromotor

07.45 - 08.00

4 Hari ke-4

16.00 - 18.00

15.45 - 16.00

14.45 - 15.45

13.45 - 14.45

13.15 - 13.45

12.45 - 13.15

ISHOMA

Lanjutan PS. Gangguan Motorik : Diagnosis dan Tatalaksana Gangguan Motorik

dr. Rini Sekartini, SpA(K)

dr. Rini Sekartini, SpA(K)

Dwi Suharyana, A.Md, TW, S.Pd

dr. Luh Karunia Wahyuni, Sp.KFR(K)

dr. Rini Sekartini, SpA(K)

Dorce Tandung, S.Sos, M.Si

dr. Ronny Suwento, Sp.THT-KL(K)

Bambang Kuncoro, MOT

Nawangsasi Takarini, M.Physio

Dwi Suharyana, A.Md, TW, S.Pd

dr. Luh Karunia Wahyuni, Sp.KFR(K)

dr. Luh Karunia Wahyuni, Sp.KFR(K)

PS. Gangguan Motorik : Perkembangan Normal Motorik dr. Rini Sekartini, SpA(K)

11.45 - 12.45

11.15 - 11.45

Lanjutan PS. Gangguan Sensori Persepsi

09.15 - 11.15

MOT

Panitia

MOT

MOT

MOT

Panitia

MOT

MOT

MOT

Panitia

MOT

MOT

MOT

Panitia

MOT

MOT

MOT

253

15.15 - 17.15

15.00 - 15.15

14.15 - 15.00

13.30 - 14.15

2 Etika Profesi Tenaga Kesehatan

Rehat Sehat

1 PL PS. Gangguan Sensori Persepsi

1 PL PS. Gangguan Pertumbuhan

1 PL PS. Gangguan Mental Emosional dan Perilaku

1 ISHOMA

1 PL PS. Gangguan Penglihatan

12.45 - 13.30

12.15 - 12.45

11.30 - 12.15

1 PL PS. Gangguan Pendengaran

10.45 - 11.30

10.00 - 10.45

1 PL PS. Gangguan Komunikasi

Rehat Sehat

2 PL PS. Gangguan Motorik

09.45 - 10.00

08.00 - 09.45

Refleksi

1 Lanjutan PS. Gangguan Mental Emosional dan Perilaku

Rehat Sehat

2 PS. Gangguan Mental Emosional dan Perilaku

07.45 - 08.00

5 Hari ke-5

16.00 - 17.00

15.45 - 16.00

13.45 - 15.45

Dorce Tandung, S.Sos, M.Si

dr. Luh Karunia Wahyuni, Sp.KFR(K); Bambang Kuncoro, MOT

dr. Rini Sekartini, SpA(K)

Dr. dr. Tjhin Wiguna, SpKJ(K)

Prof. Dr. dr. Rita Sitorus,PhD,SpM(K)

dr. Ronny Suwento, Sp.THT-KL(K)

dr. Luh Karunia Wahyuni, Sp.KFR(K) dr. Rini Sekartini, SpA(K), Dwi Suharyana, A.Md, TW, S.Pd

MOT

Panitia

MOT

MOT

MOT

Panitia

MOT

MOT

MOT

Panitia

MOT

MOT

Panitia

MOT

dr. Luh Karunia Wahyuni, Sp.KFR(K); MOT dr. Rini Sekartini, SpA(K); Nawangsasi Takarini, M.Physio; Bambang Kuncoro, MOT; Dwi Suharyana, A.Md, TW, S.Pd

Dorce Tandung, S.Sos, M.Si

Dr. dr. Tjhin Wiguna, SpKJ(K)

Dr. dr. Tjhin Wiguna, SpKJ(K)

254

Post Test

11.00 - 11.30

11.45 - selesai

11.30 - 11.45

10.00 - 11.00

Check out & Penyelesaian Administrasi

Penutupan

1 RTL

Rehat Sehat

3 PL Kerjasama Tim

09.45 - 10.00

07.30 - 09.45

Refleksi

07.15 - 07.30

6 Hari ke-6

Direktur Bina Kesehatan Anak

Dorce Tandung, S.Sos, M.Si

Panitia

Panitia

MOT/ Panitia

MOT/ Panitia

Panitia

MOT

Prof. Dr. dr. Rita Sitorus,PhD,SpM(K); MOT Dr. dr. Tjhin Wiguna, SpKJ(K); dr. Luh Karunia Wahyuni, Sp.KFR(K); dr. Rini Sekartini, SpA(K); dr. Ronny Suwento, Sp.THT-KL(K); Nawangsasi Takarini, M.Physio; Bambang Kuncoro, MOT; Dwi Suharyana, A.Md, TW, S.Pd; Dorce Tandung, S.Sos, M.Si

Dorce Tandung, S.Sos, M.Si