L

Download Jurnal Spirits Vol. 2 No. 1, November 2011 ISSN: 2087-7641. 1. RESILIENSI ORANG TUA DALAM MEMBESARKAN. ANAK RETARDASI MENTAL. Sekar Ayu  ...

0 downloads 654 Views 80KB Size
RESILIENSI ORANG TUA DALAM MEMBESARKAN ANAK RETARDASI MENTAL Sekar Ayu Wijayani1 dan Hafsah Budi A2 Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta

Abstract The purpose of this research is to know how far parent reciliency is towards their child which gets mental retardation. Research method, in collecting data, this research uses some instrumens involving observation and interview. Data analysis techniques are collecting data, triangulation, concluding data. Resilience may play a role in raising a child with mental retardation. The results of the data analysis it can be concluded that in general the four subjects were able to accept and acknowledge the child's condition properly, and always try to build a good relationship with the child. These four subjects also reveal the problems experienced and able to express the problem in a positive and fun activities for heart. Each subject also uses humor in parenting and life difficulties experienced thus making it lighter. The four subjects had concerns on the lives of children who would come if the subject is not there. Each subject has confidence in interacting with others and being able to adapt and exchange information about the child. Each subject also have empathy when he saw other parents who also have children with special needs.

Key Word : Resiliency, Mental Retardation, Parents

                                                             1

Penulis pertama adalah alumnus program studi S1 Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa. 2 Penulis kedua dosen tetap di Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (email: [email protected]).  Jurnal Spirits Vol. 2 No. 1, November 2011         ISSN: 2087‐7641                                        1   

PENDAHULUAN Anak adalah anugerah yang diberikan oleh Tuhan, yang harus dijaga, dirawat, dan diberi bekal sebaik-baiknya, bagaimanapun kondisi anak tersebut ketika dilahirkan. Orang tua akan merasa senang dan bahagia apabila anak yang dilahirkan memiliki kondisi fisik dan psikis yang sempurna. Sebaliknya, orang tua akan merasa sedih apabila anak yang dimiliki lahir dengan kondisi fisik yang tidak sempurna atau mengalami hambatan perkembangan. Salah satu hambatan perkembangan yang dialami oleh seorang anak adalah retardasi mental. Istilah retardasi mental merujuk pada keterbatasan nyata fungsi kognitif dan adaptif. Retardasi mental ini merupakan disabilitas kognitif yang muncul pada masa kanak-kanak (sebelum usia 18 tahun ) yang ditandai dengan fungsi intelektual di bawah normal (IQ sekitar 2 standar deviasi di bawah normal, dalam rentangan 65 sampai 75 atau kurang) disertai keterbatasan-keterbatasan lain pada sedikitnya dua area fungsi adaptif : berbicara dan berbahasa, ketrampilan merawat diri, kerumahtanggaan, ketrampilan sosial, penggunaan sumber-sumber komunitas, pengarahan diri, kesehatan dan keamanan, akademik fungsional, bersantai, dan bekerja. (Bets, 2009) Marion (dalam Zamralita, 2004) berpendapat bahwa seringkali orang tua tidak memahami mengenai retardasi mental sehingga mereka merasa bimbang terhadap kondisi anaknya dan mengalami konflik dalam diri. Konflik tersebut terkait dengan keinginan dan harapan yang tidak terpenuhi untuk memiliki anak yang dapat dibanggakan dalam lingkungan, sehingga terdapat ketidaksesuaian antara kenyataan dengan idealisme. Konflik juga berpotensi terjadi karena adanya perbedaan penanganan terhadap anak abnormal dibandingkan anak normal. Orang tua yang resilien dapat mengatasi perasaan sedih dan terpuruknya tersebut dengan mencari jalan keluar atas kenyataan bahwa mereka mempunyai anak yang mengalami retardasi mental. Dalam wawancara terhadap orang tua anak yang mengalami retardasi mental, diperoleh gambaran bahwa kepercayaan yang paling kuat dalam diri orang tua ialah, bahwa anak adalah anugerah dan amanah dari Tuhan. Anggapan bahwa orang tua yang diberikan anak dengan kebutuhan khusus adalah suatu pertanda, bahwa orang tua tersebut dipilih Tuhan

Jurnal Spirits Vol. 2 No. 1, November 2011         ISSN: 2087‐7641                                        2   

agar menjadi lebih kuat dan menjadi salah satu penghuni surga kelak. Perasaan jujur juga harus ada, karena dengan menyembunyikan anak retardasi mental yang dimiliki maka orang tua akan selalu dikejar perasaan negatif dalam diri mereka. Dengan menerima dan jujur pada diri sendiri dan masyarakat akan memberikan suatu perasaan ikhlas dalam membesarkan anak retardasi mental. Perasaan sedih juga dialami oleh orang tua, terutama saat pertama kali dokter memberikan vonis bahwa anak yang dimiliki lahir dengan kondisi fisik yang tidak sempurna atau mengalami hambatan perkembangan. Rasa khawatir juga muncul saat anak jatuh sakit dan saat mengingat bahwa tidak selamanya orang tua bisa merawat dan menjaganya. Akan ada saat dimana orang tua tidak mampu lagi untuk memberikan nafkah dan kasih sayangnya pada anak. Bagi orang tua, kebahagiaan anak adalah hal yang sangat penting bagi mereka, oleh karena itu orang tua selalu berusaha untuk membuat anaknya bahagia. Orang tua menganggap bahwa anak yang dimiliki adalah permata yang tidak ternilai harganya walaupun anak mereka merupakan anak retardasi mental. Orang tua menyatakan bahwa kerjasama yang baik dalam keluarga akan sangat membantu serta memberikan motivasi dalam membesarkan anak retardasi mental yang mereka miliki. Keluarga adalah faktor yang sangat penting dalam memberikan sumbang saran bagi perkembangan anak. Grotberg (1995) menyatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup. Karena setiap orang itu pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan. Orang tua yang menyadari bahwa anak yang mengalami retardasi mental memerlukan tempat aman bagi perkembangan jiwa anak. Jamaris (2005) berpendapat bahwa karakter dan integritas perkembangan anak terbentuk pertamatama di lingkungan keluarga. Di lingkungan kecil itulah individu mengenal dan belajar tentang berbagai tata nilai melalui pendidikan yang diberikan, tata nilai akan ditumbuhkembangkan agar yang bersangkutan siap memasuki dunia nyata di luar kehidupan keluarga.

Jurnal Spirits Vol. 2 No. 1, November 2011         ISSN: 2087‐7641                                        3   

Orang tua yang dapat menerima keadaan dirinya yang mempunyai anak retardasi mental akan tetap memberikan perhatian dan kasih sayang kepada anak retardasi mental seperti anak-anak lain yang dimilikinya agar dapat menciptakan relasi atau hubungan sehat dengan anak dan menyediakan kebutuhan fisik, serta keamanan bagi anak sehingga tercipta keluarga yang harmonis.

Retardasi Mental Retardasi mental atau disebut juga tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah ratarata. Dalam kepustakaan bahasa asing digunakan istilah mental retardation, mentally retarded, mental deficiency, mental defective, dan lain-lain. Istilah tersebut sesungguhnya memiliki arti yang sama menjelaskan kondisi anak yang kecerdasannya jauh di bawah rata-rata dan ditandai oleh keterbatasan inteligensi dan ketidakcakapan dalam interaksi sosial (Somantri, 2006). Dalam PPDGJ III (Maslim, 2003) dikatakan bahwa retardasi mental adalah suatu keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama

masa

perkembangan,

sehingga

berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh, misalnya kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan sosial. Retardasi mental dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa atau gangguan fisik lainnya. Handaya perilaku adaptif selalu ada, tetapi dalam lingkungan sosial terlindung dimana sarana pendukung cukup tersedia, handaya ini mungkin tidak tampak pada penyandang retardasi mental ringan. Maslim (2003) dalam PPDGJ III memaparkan enam tingkatan klasifikasi retardasi mental, diantaranya ialah: 1. Retardasi mental ringan, 2. Retardasi mental sedang, 3. Retardasi mental berat, 4. Retardasi mental sangat berat, 5. Retardasi mental lainnya, 6. Penyakit mental YTT. Menurut Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa Ke-1 (Maramis, 2005) faktor-faktor penyebab retardasi mental adalah: a) Infeksi dan atau intoksinasi, b) Terjadinya rudapaksa dan / atau sebab fisik lain, c) Gangguan metabolisme, pertumbuhan atau gizi, d) Penyakit otak yang nyata, e) Penyakit

Jurnal Spirits Vol. 2 No. 1, November 2011         ISSN: 2087‐7641                                        4   

atau pengaruh prenatal, f) Kelainan kromosom, g) Prematuritas, h) Akibat gangguan jiwa yang berat, i) Deprivasi psikososial Deprivasi artinya tidak terpenuhinya kebutuhan.

Resiliensi Resiliensi berasal dari kata Latin `resilire' yang artinya melambung kembali. Awalnya istilah ini digunakan dalam konteks fisik atau ilmu fisika. Resiliensi berarti kemampuan untuk pulih kembali dari suatu keadaan, kembali ke bentuk semula setelah dibengkokkan, ditekan, atau diregangkan. Bila digunakan sebagai istilah psikologi, resi1iensi adalah kemampuan manusia untuk cepat pulih dari perubahan, sakit, kemalangan, atau kesulitan (Rimasekarani, 2010). Menurut American Psychological Association (Siebert, 2005), "resiliensi" didefinisikan sebagai "produk interaktif antara kepercayaan, sikap, pendekatan, perilaku, dan fisiologi yang membantu orang menjadi lebih baik selama dalam situasi yang sulit dan lebih cepat pulih. Menurut Grotberg (2000), disisi lain resiliensi merupakan kapasitas yang bersifat universal dan dengan kapasitas tersebut, individu, kelompok ataupun komunitas mampu mencegah, meminimalisir ataupun melawan pengaruh yang bisa merusak saat mereka mengalami musibah atau kemalangan. Menurut Wolin & Wolin (Compton, 2005) memaparkan tujuh karakteristik resiliensi yaitu: 1. Pemahaman, ialah kemampuan mental untuk bertanya pada diri sendiri dan memberikan penjelasan serta menjawab dengan jujur, 2. Kemerdekaan, ialah kemampuan untuk mengambil jarak secara emosional maupun fisik dari sumber masalah dalam hidup seseorang, 3. Hubungan yang baik, ialah individu yang resilien mampu membuat ikatan emosional yang sehat dengan orang, 4. Inisiatif, melibatkan keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab atas kehidupan sendiri atau masalah yang dihadapi, 5. Kreativitas, melibatkan kemampuan memikirkan berbagai pilihan, konsekuensi, dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup, 6. Rasa Humor, ialah kemampuan untuk melihat sisi terang dari kehidupan, menertawakan diri sendiri, dan menemukan kebahagiaan dalam situasi apapun, 7. Akhlak yang terpuji, ialah orientasi pada nilai-nilai ditandai dengan keinginan untuk hidup secara baik dan produktif.

Jurnal Spirits Vol. 2 No. 1, November 2011         ISSN: 2087‐7641                                        5   

Menurut Weiss (2008), menyebutkan bahwa ada tiga domain spesifik resiliensi, yaitu: a) Aspek penguasaan, terdiri dari dua hal yaitu: (1) Kepercayaan diri dan (2) Pengendalian diri. b) Aspek Berhubungan, terdiri dari empat hal yaitu: i. Kepercayaan, ii. Akses pendukung, iii. Lingkungan yang nyaman, iv. Saling menghargai. b) Reaksi emosional, terdiri dari dua hal yaitu: i) Sensitivitas dan ii) Peyembuhan. Dalam ciri-ciri individu yang memiliki resiliensi terdapat lima kategori yaitu: (i) Memiliki control, (ii) Mengetahui cara-cara membentengi diri dari stress, (iii) Memiliki emosi positif, (iv) Mampu mengambil keputusan dalam menyelesaikan masalah, (v) Mampu belajar dari kegagalan maupun kesuksesan. Grotberg

(1995)

mengemukakan

faktor-faktor

resiliensi

yang

diidentifikasikan berdasarkan sumber-sumber yang berbeda yaitu i.) ‘I Am’, untuk kekuatan individu, dalam diri pribadi, ii.) ‘I Have’, dukungan eksternal dan sumber-sumbernya, iii.) ‘I Can’, sedangkan untuk kemampuan interpersonal. Bagaimana tanggapan dan sikap orang tua yang memiliki anak retardasi mental. Bagaimana para orang tua menyikapi permasalahan-permasalahan yang timbul karena memiliki anak retardasi mental. Penelitian ini diharapkan mampu mengungkap lebih jauh kemampuan resiliensi orang tua dalam membesarkan anak retardasi mental.

METODE Subjek Penelitian. Subjek dalam penelitian ini adalah empat orang ibu yang mempunyai anak retardasi mental. Ibu dipilih karena ibu memiliki faktor kelekatan yang lebih dengan anak dibandingkan ayah, ibu juga lebih terlibat dalam proses membesarkan anak retardasi mental. No.

Nama

Usia

Jenis

Pendidikan

Keterangan

Kelamin 1.

Subjek 1 (WG)

44 tahun

P

SMA

Subjek Inti

2.

Subjek 2 (WD)

62 tahun

P

SMA

Subjek Inti

3.

Subjek 3 (RE)

36 tahun

P

SMA

Subjek Inti

4.

Subjek 4 (IN)

44 tahun

P

S1

Subjek Inti

Jurnal Spirits Vol. 2 No. 1, November 2011         ISSN: 2087‐7641                                        6   

Instrumen Penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan teknik wawancara dan observasi. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dilakukan melalui pendekatan lain (Banister dalam Poerwandari, 1998). Observasi adalah kegiatan pemuatan perhatian terhadap sesuatu objek dengan menggunakan seluruh alat indra (Sugiyono, 2007). Observasi akan dilakukan untuk memperoleh data pendukung tentang keadaan dan kondisi responden. Prosedur Penelitian. Pelaksanaan penelitian dilakukan di dua tempat yaitu di sekolah anak subjek dan di rumah subjek. Penelitian dilakukan sesuai dengan waktu yang telah disepakati oleh subjek dan peneliti. Subjek meminta agar penelitian dilaksanakan di tempat yang leluasa agar orangtua dapat sekaligus mengamati anaknya. Penelitian dimulai dari tanggal 25 Juni 2012 sampai pada tanggal 1 September 2012.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian, ditemukan bahwa masing-masing subjek orang tua mempunyai resiliensi yang berbeda selama membesarkan anak retardasi mental. Dalam aspek karakteristik resiliensi terdapat tujuh kategori yang mempengaruhi resiliensi. Masing-masing kategori tersebut dikemukakan dalam uraian sebagai berikut: 1. Pemahaman, dalam kategori ini ditemukan bahwa dari dua subjek yaitu RE dan IN menerima dan mengakui kondisi anaknya dengan baik, 2. Kemerdekaan, dari kategori ini ditemukan bahwa dari dua subjek yaitu WG dan IN mempunyai kemandirian dalam membesarkan anak dan selalu menghadapi permasalahan yang dialaminya, 3. Hubungan yang baik, dari kategori ini ditemukan bahwa keempat subjek selalu berusaha membangun hubungan yang baik dengan anak. Sedangkan dari tiga subjek yaitu WG, WD, dan IN dapat menjalin hubungan yang baik dengan tetangga sekitar, 4. Inisiatif, dalam kategori ini ditemukan bahwa WG mempunyai kemampuan untuk bertanggung jawab dan

Jurnal Spirits Vol. 2 No. 1, November 2011         ISSN: 2087‐7641                                        7   

berusaha untuk menyelesaikan permasalahan sendiri dan mempunyai rasa percaya diri dalam mencari penyelesaiannya. Sedangkan subjek IN mempunyai rasa percaya diri untuk menyelesaikan permasalahan yang didukung penuh oleh keluarga dan orang-orang sekitarnya, 5. Kreatifitas, dalam kategori ini ditemukan bahwa keempat subjek dapat mengungkapkan permasalahan yang dihadapi dan mempunyai cara untuk mengekspresikan permasalahan tersebut dengan aktivitas yang positif yang dapat menyenangkan hati subjek, 6. Rasa humor, dalam kategori ini peneliti menemukan bahwa keempat subjek mempunyai kemampuan untuk menggunakan rasa humornya dalam menghadapi kesulitan hidup dan membuat kesulitan tersebut menjadi lebih ringan, 7. Akhlak yang terpuji, dalam kategori ini ditemukan bahwa keempat subjek tidak merasa takut pada pendapat orang lain dalam membesarkan anak. Dan dari ketiga subjek yaitu WG, RE, dan IN selalu mengadakan evaluasi untuk memperbaiki cara membesarkan anak selama ini. Dalam aspek domain spesifik resiliensi, delapan kategori resiliensi orang tua dalam membesarkan anak retardasi mental yaitu, a) Kepercayaan diri, dalam kategori ini ditemukan bahwa keempat subjek memiliki kemampuan untuk menyikapi kehidupan dari segi yang positif. Namun, keempat subjek juga menyatakan kekhawatiran yang kurang lebih sama yaitu bahwa subjek merasa khawatir pada kehidupan anak nanti apabila subjek sudah tidak ada. b) Pengendalian diri, dalam kategori ini ditemukan bahwa keempat subjek mempunyai rasa percaya diri dalam berinteraksi dengan lingkungan sekolah anak. Keempat subjek mampu beradaptasi dengan orang lain dan dapat bertukar berbagai informasi dengan orang lain. Dalam kategori kedua yaitu Aspek berhubungan, terdapat empat sub kategori yaitu, (1) Kepercayaan, dalam kategori ini ditemukan bahwa subjek IN mempunyai kepercayaan pada orang-orang sekitar sehingga dapat dengan mudah menerima dan menyetujui apa yang diberikan oleh orang-orang sekitar subjek, (2) Akses pendukung, dalam kategori ini bahwa ketiga subjek WG, WD, dan IN mempunyai kepercayaan penuh pada lingkungan sekitar dan merasakan adanya bantuan yang diberikan dari lingkungan sekitar. Sedangkan RE tidak mempunyai kepercayaan pada lingkungan sekitar karena pernah merasa sakit hati pada sikap masyarakat, (3) Lingkungan yang nyaman, dari kategori ini

Jurnal Spirits Vol. 2 No. 1, November 2011         ISSN: 2087‐7641                                        8   

ditemukan bahwa WG, WD, dan IN mempunyai kenyamanan dengan lingkungan sekitarnya. Begitupun dengan anak masing-masing subjek yaitu yang juga merasakan kenyamanan tersebut. Berbeda dengan RE dan anaknya, yang tidak merasa nyaman dengan lingkungan sekitarnya, (4) Saling menghargai dalam keberagaman, dalam kategori ini ditemukan bahwa keempat subjek mempunyai perbedaan pikiran dengan masyarakat namun hanya WG dan IN saja yang dapat mengungkapkan pikirannya pada masyarakat. Subjek WG dan IN mempunyai kemampuan untuk mengekspresikan pikirannya dengan nyaman dan bersikap terbuka pada masyarakat tentang apa yang terjadi pada anaknya. Dalam kategori ketiga yaitu reaksi emosional terdapat dua subkategor yaitu: a. Sensitifitas, dalam kategori ini ditemukan bahwa keempat subjek dapat mengetahui ketika anak sedang marah. Masing-masing subjek juga memiliki cara untuk menanggapi hal tersebut, namun hanya subjek WG dan IN yang mempunyai kreatifitas dalam mencari cara untuk menghadapi anak, b. Penyembuhan, dalam kategori ini ditemukan bahwa bahwa keempat subjek mempunyai kemampuan untuk meredam emosi. Dalam aspek ketiga yaitu ciri-ciri individu yang memiliki resiliensi, terdapat lima kategori yang mempengaruhi resiliensi yaitu, (1) Memiliki kontrol, dalam kategori ini ditemukan bahwa subjek WG dan IN mempunyai kontrol diri dalam menghadapi anak ataupun permasalahan yang dihadapi. Perbedaan dari kedua subjek ialah WG lebih tertutup dalam mengungkapkan emosi, sedangkan IN lebih bersikap terbuka dan dapat menyampaikan emosinya. (2) Mengetahui cara-cara membentengi diri dari stress, Dalam kategori ini ditemukan bahwa ketiga subjek yaitu WG, RE, dan IN pernah merasa stress ketika menghadapi anak. Sedangkan WD merupakan individu yang mudah merasa stress ketika menghadapi sesuatu yang menekan. Namun, keempat subjek mampu membentengi diri dari stress dengan cara yang disukai serta mencari cara untuk keluar dari stress dan mengantisipasi agar stress tersebut tidak menjadikannya berlarut-larut, (3) Memiliki emosi positif, dalam kategori ini ditemukan bahwa ketiga subjek yaitu WG, RE, dan IN merupakan individu yang mampu berpikir positif dalam menghadapi permasalahan. Namun RE merupakan individu yang lebih rapuh

Jurnal Spirits Vol. 2 No. 1, November 2011         ISSN: 2087‐7641                                        9   

karena kurang mendapat dorongan dan semangat dari orang-orang di sekitarnya, (4) Memiliki tujuan dan harapan yang realistik, dalam kategori ini ditemukan bahwa keempat subjek mempunyai harapan yang sama pada anak yaitu anak dapat mandiri. Masing-masing subjek juga mempunyai kekhawatiran yang hampir sama yaitu kehidupan anak jika subjek sudah tidak ada. 5) Mampu mengambil keputusan dalam menyelesaikan masalah. Aspek keempat ialah faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi terdapat 12 kategori, yaitu (a) Bangga terhadap diri sendiri, dalam kategori ini ditemukan bahwa keempat subjek mempunyai perasaan bangga ketika mengingat usaha yang dilakukan selama ini dalam membesarkan anak. Dan ini menimbulkan suatu kepercayaan diri dan rasa syukur seperti yang diungkapkan oleh RE dan IN, (b) Perasaan dicintai dan sikap yang menarik, dalam kategori ini ditemukan bahwa keempat subjek menyatakan bahwa keluarga merupakan orang-orang yang selalu memberikan semangat pada subjek. Terutama pada WD dan IN yang mampu mengekspresikan perasaan sayangnya kepada orang-orang yang dicintai seperti keluarga dan saudara-saudara. (c) Mencintai, empati, dan altruistic, dalam kategori ini ditemukan bahwa masing-masing subjek mempunyai empati ketika melihat ada orang tua yang mempunyai anak berkebutuhan khusus seperti subjek. Namun dari keempat subjek, RE sangat peduli dan bersedia membagi pengalaman serta menolong orang tua lain yang mempunyai permasalahan yang sama seperti RE. (d) Mandiri dan bertanggung jawab, dalam kategori ini ditemukan bahwa keempat subjek dapat melakukan kegiatan lain disamping merawat anak. WG dan WD juga turut andil dalam kegiatan kemasyarakatan dan menjalankan tanggung jawab sebagai pengurusnya. Sedangkan IN merasa apabila semakin banyak mengikuti kegiatan maka akan semakin sedikit pula waktu untuk anak. Tanggung jawab yang dijalankan IN merupakan tanggung jawab moriil pada anak agar mendapatkan kasih sayang yang cukup darinya. (e) Memberi semangat agar mandiri, dalam kategori ini ditemukan bahwa keempat subjek pernah mengalami kondisi darurat pada anak, namun hanya tiga subjek yaitu WG, WD, dan IN yang mendapatkan bantuan dari instansi tertentu atau dari orang-orang sekitar. (f) Struktur dan aturan rumah, dalam kategori ini ditemukan bahwa kedua subjek

Jurnal Spirits Vol. 2 No. 1, November 2011         ISSN: 2087‐7641                                        10   

yaitu WG dan IN menerapkan aturan tertentu untuk anak dan mampu menerapkannya pada anak. Sedangkan WD dan RE belum mempunyai cara yang tepat agar anak mau menerapkan aturan yang dibuat oleh subjek. (g) Role Models, Dalam kategori ini ditemukan bahwa keempat subjek selalu berkonsultasi baik itu dengan psikolog, ahli terkait, dokter, guru kelas, yayasan, atau dengan temanteman sesama orang tua anak berkebutuhan khusus. Namun hanya WG, WD, dan IN yang berusaha menerapkan tips-tips yang diberikan. Ketiga subjek mampu menerapkan tips-tips tersebut walaupun hasilnya belum tentu sesuai dengan apa yang diinginkannya. (h) Mempunyai hubungan, dalam kategori ini ditemukan bahwa bagi ketiga subjek yaitu WG, WD, dan IN suami dan anak-anak subjek yang lain berperan penting dalam perkembangan anak selama ini. Dari peran tersebut subjek merasa bahwa dirinya mempunyai orang-orang yang siap membantu subjek dalam membesarkan anak, (i) Mengatur berbagai perasaan dan rangsangan, dalam kategori ini bahwa keempat subjek pernah merasa marah pada anak. Keempat subjek mengekspresikan perasaan marah tersebut dengan memarahi anak, berteriak, dan memukul anak. Namun hanya dua subjek yaitu WG dan IN yang mempunyai cara tertentu untuk menasihati anak, (j) Mencari hubungan yang dapat dipercaya, dalam kategori ini ditemukan bahwa keempat subjek mempunyai orang-orang yang dipercaya untuk mengetahui permasalahan yang sedang dialaminya. Subjek mampu untuk berdiskusi dan menerima saran yang diberikan sehingga mendapatkan masukan untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. (k) Ketrampilan berkomunikasi, dalam kategori ini ditemukan bahwa kedua subjek yaitu WG dan IN

mampu mengekspresikan

pikirannya pada masyarakat dan terbuka untuk membagi informasi dengan orang lain. (l) Mengukur temperamen diri sendiri, Dalam kategori ini ditemukan bahwa dua subjek yaitu WG dan IN merupakan individu yang mampu mengenali permasalahan dan mengetahui apa yang harus dilakukan untuk memecahkan masalah. Dari pembahasan di atas, peneliti menemukan fakta-fakta baru yaitu keluarga merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam meningkatkan resiliensi orang tua yang memiliki anak retardasi mental. Hal

Jurnal Spirits Vol. 2 No. 1, November 2011         ISSN: 2087‐7641                                        11   

tersebut dikarenakan keluarga merupakan orang-orang terdekat dari orang tua dan merupakan sumber kekuatan bagi orang tau. Dorongan dan dukungan dari keluarga dapat membuat orang tua tidak merasa sendirian dalam menghadapi permasalahan-permasalahan dalam membesarkan anak. Lingkungan sekitar juga merupakan faktor penting dalam meningkatkan resiliensi orang tua yang memiliki anak retardasi mental. Dengan adanya pengertian dan sikap terbuka pada anak dan orang tua dari lingkungan sekitar, membuat orang tua merasa bahwa dirinya tidak berbeda dengan orang lain yang mempunyai anak normal. Hal ini didasari dengan adanya salah satu subjek yang merasakan ketidaknyamanan dengan lingkungan sekitarnya karena pernah merasa sakit hati dengan perilaku masyarakat pada dirinya dan anak. Hal tersebut membuat orang tua merasa rendah diri dan tidak dapat mengungkapkan pikirannya pada lingkungan sekitar. Fakta lain yang ditemukan ialah bahwa orang tua harus dapat berfikir kreatif dalam menghadapi anak. Orang tua harus dapat mencari cara ketika anak tidak mau melakukan apa yang diinginkan orang tua. Orang tua harus dapat mengendalikan emosi dan perasaan marahnya karena hal tersebut dapat membuat anak semakin tidak mau melakukan hal yang diinginkan orang tua. Dengan bersikap lembut dan sabar pada anak akan membuat anak mau menurut. Fakta lain yang ditemukan ialah bahwa dengan berkonsultasi dengan orang lain dan ahli-ahli terkait, dapat meningkatkan pengetahuan orang tua seputar perkembangan anak. Sehingga orang tua dapat mengetahui hal apa saja yang dapat dilakukan ketika menghadapi anak. Bertukar informasi pada sesama orang tua anak berkebutuhan khusus juga dapat membuat orang tua merasa bahwa dirinya tidak sendiri. Orang tua dapat memperoleh berbagai pengetahuan dan kiatkiat dalam membesarkan anak. Dengan terbuka pada orang lain dapat membuat orang tua merasakan kelegaan dan mengurangi perasaan rendah diri, karena dengan menutupi keberadaan anak atau menyembunyikannya akan membuat orang tua merasa dirinya berbeda dan merasa tidak nyaman dengan lingkungannya.

Jurnal Spirits Vol. 2 No. 1, November 2011         ISSN: 2087‐7641                                        12   

Kesimpulan Resiliensi dapat berperan dalam membesarkan anak retardasi mental. Hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa secara umum keempat subjek mampu menerima dan mengakui kondisi anak dengan baik, serta selalu berusaha membangun hubungan yang baik dengan anak. Keempat subjek juga dapat mengungkapkan permasalahan yang dialami serta mampu mengekspresikan permasalahan tersebut dengan aktifitas yang positif dan menyenangkan hati, Hal tersebut juga merupakan cara subjek untuk membentengi diri dari stress. Masingmasing subjek juga menggunakan rasa humor dalam membesarkan anak dan menghadapi kesulitan hidup yang dialami sehingga membuatnya menjadi lebih ringan. Keempat subjek memiliki kemampuan untuk menyikapi kehidupan dari segi yang positif, namun masing-masing subjek juga mengungkapkan kekhawatiran pada kehidupan anak yang akan datang jika subjek sudah tidak ada. Masing-masing subjek mempunyai rasa percaya diri dalam berinteraksi dengan orang lain dan mampu beradaptasi serta bertukar informasi seputar anak dengan orang lain. Masing-masing subjek juga mempunyai empati ketika melihat orang tua lain yang juga mempunyai anak berkebutuhan khusus. Untuk orang tua diharapkan untuk lebih meningkatkan resiliensi dengan cara: 1) Lebih bersabar ketika menghadapi anak, 2) Berfikir kreatif dalam mencari solusi permasalahan ketika menghadapi anak yang tidak mau melakukan hal yang diinginkan oleh orang tua, 3) Mengerti kondisi anak sehingga tidak terlalu banyak menuntut anak untuk melakukan sesuatu di luar batas kemampuannya. 4) Perasaan terbuka pada lingkungan sekitar dan mau bertukar pikiran dapat mengurangi beban yang dirasakan oleh orang tua, 5) Perasaan terbuka pada keluarga juga dapat membuat orang tua merasa bahwa tidak sendirian dalam menghadapi kesulitan, karena dukungan dari keluarga merupakan faktor penting untuk menciptakan resiliensi pada orang tua yang membesarkan anak retardasi mental. Keluarga berperan dalam meningkatkan resiliensi, cara yang dapat dilakukan ialah : 1) Keluarga diharapkan mampu mengerti dan menerima bahwa anak mempunyai perberbedaan dengan anak lainnya. 2) Keluarga diharapkan

Jurnal Spirits Vol. 2 No. 1, November 2011         ISSN: 2087‐7641                                        13   

dapat memberi dukungan dan semangat pada orang tua agar orang tua merasakan adanya kekuatan yang mendorongnya, 3) Keluarga diharapkan tanggap dengan keadaan anak dan orang tua ketika menghadapi kesulitan dalam membesarkan anak. Daribeberapa hal tersebut dapat menumbuhkan rasa hangat pada orang tua dan memberikan orang tua keyakinan bahwa dirinya tidak sendirian. Untuk peneliti selanjutnya diharapkan mampu mengungkap lebih dalam sejauh mana resiliensi orang tua dalam membesarkan anak retardasi mental dan melihat dari bebagai faktor lainnya seperti keluarga dan lingkungan sekitar.

Daftar Pustaka Bets, dkk. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatrik, Edisi 5. Jakarta: EGC. Compton, William. C. 2005. Introduction to Positive Psychology. Thomson Wadsworth. Grotberg, E.H. 1995. A Guide to Promoting Resilience in Children: Strengthening The Human Spirit. Benard Van Leer Fondation. Grotberg, E.H. 2000. Tapping Your Inner Strength; How to Find the Resilience to Deal with Anything. New Harbinger Publication, Inc. Jamaris, M. 2005. Perkembangan dan Pengembangan Anak Usia Taman KanakKanak. Jakarta : Grasindo Maslim, R. 2003. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta: Nuh Jaya. Poerwandari, E.K. 1998. Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Jakarta. Universitas Indonesia Rimasekarani. 2010. http://rimuu.wordpress.com/2010/05/26/aku-bisa-bertahandan-bangkit-kembali-resiliensi-diri/. Dikases 23 April 2012 Somantri, S. 2006. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung : Refika Aditama Sugiyono. 2007. Statistika Untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta.

Jurnal Spirits Vol. 2 No. 1, November 2011         ISSN: 2087‐7641                                        14