MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

Download mandiri mengelola pendidikan termasuk dalam hal ini adalah lembaga pendidikan (sekolah). Manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan pilihan...

1 downloads 536 Views 90KB Size
Muhammad Idris

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH Oleh: Muhammad Idris∗ Abstrak Tulisan ini menguraikan manajemen pendidikan nasional dalam konteks kekinian, terutama setelah pendidikan menjadi salah satu sektor yang didesentralisasikan. Dengan adanya desentralisasi pendidikan, manajemen pendidikan persekolahan menjadi otonom. Sekolah memperoleh otonomi, dan dengan adanya otonomi itu, maka sekolah memiliki otonomi untuk menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan perencanaan sekolah. Dalam era otonomi khususnya otonomi pendidikan, daerah diharapkan dapat secara mandiri mengelola pendidikan termasuk dalam hal ini adalah lembaga pendidikan (sekolah). Manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan pilihan sekaligus orientasi pemerintah daerah dalam era otonomi tersebut. Pada sisi lain, penerapan MBS adalah bagian dari paradigma baru pengelolaan pendidikan, khususnya pada tingkat sekolah, yang diharapkan dapat menjadi solusi atas segala permasalahan pendidikan terutama pada tingkat mikro (sekolah). Kata Kunci: Otonomi Pendidikan, MBS Pendahuluan Sejak tahun 1999 bergulir tema besar dalam kerangka reformasi dan demokratisasi pendidikan di Indonesia.1 Sebagai bagian dari tema tersebut, diperkenalkanlah konsep manajemen berbasis sekolah (school-based management) yang disingkat dengan MBS. Secara konseptual MBS dipahami sebagai salah satu alternatif pilihan formal untuk mengelola struktur penyelenggaraan pendidikan yang terdesentralisasi dengan menempatkan sekolah sebagai unit utama peningkatan. Konsep ini menempatkan redistribusi kewenangan para pembuat kebijakan sebagai elemen paling mendasar, untuk meningkatkan kualitas hasil pendidikan. Pada sisi ini MBS merupakan cara untuk memotivasi kepala sekolah untuk lebih bertanggung jawab terhadap kualitas peserta didik. Untuk itu sudah seharusnya kepala sekolah mengem-bangkan program-program kependidikan secara menyeluruh untuk melayani segala kebutuhan peserta didik di sekolah. Semua personel sekolah



Penulis adalah dosen tetap pada Jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam STAIN Manado. 1 Sehubungan dengan reformasi pendidikan, Sidi mengemukakan bahwa ada empat isu kebijakan nasional yang perlu direkonstruksi dalam rangka otonomi daerah yang berkaitan dengan peningkatan mutu pendidikan, efisiensi pengelolaan pendidikan, relevansi pendidikan, serta pemerataan pelayanan pendidikan. Lihat Indra Djati Sidi, ”Kebijakan Penyelenggaraan Otonomi Daerah Bidang Pendidikan”, Makalah, Bandung: PPs UPI, 2000

Volume 3 Januari - Juni 2007

IQRA’ 13

Muhammad Idris selazimnya menyambut dengan merumuskan program yang lebih operasional, karena merekalah pihak yang paling mengetahui akan kebutuhan peserta didiknya.2 Inilah filosofi MBS yang paling mendasar. Di Indonesia, pendekatan MBS di samping diposisikan sebagai alternatif, juga sebagai kritik atas penyelenggaraan pendidikan yang selama ini tersentralisasi. Pendidikan sentralistis tidak mendidik menejemen sekolah untuk belajar mandiri, baik dalam hal manajemen kepemimpinan maupun dalam pengembangan institusional, pengembangan kurikulum, penyediaan sumber belajar, alokasi sumber daya dan terutama membangun partisipasi masyarakat untuk memiliki sekolah. Peningkatan pengaruh sekolah, perlu dukungan para stakeholder yang meliputi pemerintah daerah, komite sekolah (kepala sekolah, guru, orang tua siswa, dan tokoh masyarakat), serta siswa. Pengambilan putusan bersama di kalangan stakeholder pada level sekolah merupakan kunci utama dalam melaksanakan MBS.3 Kekuatan manajemen pendidikan diarahkan untuk lebih memberdayakan sekolah sebagai unit pelaksanaan terdepan dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah. Hal ini dimaksudkan agar sekolah lebih mandiri dan bersikap kreatif, dapat mengembangkan iklim kompetitif antarsekolah di wilayahnya, serta bertanggung jawab terhadap stakeholders4 pendidikan, khususnya orang tua dan masyarakat yang di era otonomi ini akan menjadi dewan sekolah. Dalam pelaksanaannya, manajemen pendidikan harus lebih terbuka, accountable, mengoptimalkan partisipasi orang tua dan masyarakat, serta dapat mengelola semua sumber daya yang tersedia di sekolah dan lingkungannya untuk digunakan seluas-luasnya bagi peningkatan prestasi siswa dan mutu pendidikan pada umumnya.5 MBS sebagai paradigma baru dalam menata ulang organisasi pendidikan, dijadikan tema dasar perubahan pendidikan. Hal ini dilakukan agar efektifitas upaya memanusiakan manusia melalui persekolahan dengan berbagai kebijakannya, akan menghasilkan pola baru dalam berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, dimana selama ini diabaikan secara sengaja. Manajemen Berbasis Sekolah Seiring dengan semangat reformasi nasional dalam bidang politik, ekonomi dan hukum, otonomi daerah telah menjadi ketetapan nasional untuk dilaksanakan mulai bulan Januari 2001. Untuk menjamin semangat otonomi daerah memang telah diberlakukan UU No.32 tahun 2004 sebagai revisi UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah. UU tersebut juga dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang Peraturan Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom. Pelaksanaan UU tersebut membawa implikasi pada berubahnya seting pendidikan baik di tingkat pusat maupun daerah.6 Sebelum era otonomi daerah, 2

A. Malik Fadjar, Kata Pengantar dalam Ibtisam Abu Duhou, School-Based Management, Penerjemah Noryamin Aini, dkk, (Jakarta: Logos, 2002), h. xv-xvi 3 A. Malik Fadjar, Kata Pengantar dalam dalam Ibtisam Abu Duhou, School-Based Management, Penerjemah Noryamin Aini, dkk, h. xvi 4 Stakeholders adalah pihak yang ikut andil dan bertanggung jawab 5 Indra Djati Sidi, Menuju Masyarakat Belajar Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 19-20 6 Namun pelaksanaan kebijakan ini tidak mudah, apalagi setelah lebih dari 32 tahun terbiasa untuk disuapi, sehingga kebanyakan kita tidak siap untuk berdiri sendiri. Peningkatan kemampuan manajemen pendidikan merupakan prasyarat yang tidak dapat dihindari. Lihat Yusufhadi Miarso.

Volume 3 Januari - Juni 2007

IQRA’ 14

Muhammad Idris pendidikan dikelola secara sentralistik. Dalam sistem sentralistik yang telah diterapkan selama hampir setengah abad sejak Indonesia berhasil memperjuangkan kemerdekaannya, pemerintah pusat memiliki peran yang amat penting dalam perencanaan, implementasi, dan pengawasan kebijakan pendidikan. Saat ini model seperti itu tidak relevan lagi. Oleh sebab itu, sudah merupakan kebutuhan yang amat mendesak bagi daerah untuk melakukan pembaruan pendidikan agar pendidikan di daerah mampu menemukan relevansinya dengan sistem pemerintahan yang mendasarkan diri pada sistem desentralisasi.7 Dalam era otonomi daerah, pendidikan perlu dikelola dengan memperhatikan kepentingan sekolah itu sendiri untuk berkembang secara optimal dan mandiri. Oleh karena itu, MBS merupakan pilihan yang tepat untuk dilakukan oleh pemerintah daerah.8 Definisi komprehensif mengenai MBS yang dikemukakan oleh Malen sebagaimana dikutip Ibtisam Abu Duhou adalah suatu perubahan formal struktur penyelenggaraan, sebagai suatu bentuk desentralisasi yang mengidentifikasikan sekolah itu sendiri sebagai unit utama peningkatan serta bertumpu pada redistribusi kewenangan pembuatan keputusan sebagai sarana penting yang dengannya pendidikan dapat didorong dan ditopang.9 Selanjutnya, Candoli mendefinisikan MBS, sebagai suatu cara untuk memaksa sekolah itu sendiri mengambil tanggung jawab atas apa saja yang terjadi pada anak menurut jurisdiksinya dan mengikuti sekolahnya. Konsep ini menegaskan bahwa ketika sekolah itu sendiri dibebani dengan pengembangan total program kependidikan yang bertujuan melayani kebutuhan anak dalam mengikuti sekolah, personil sekolah akan mengembangkan program yang lebih meyakinkan karena mereka mengetahui kebutuhan belajar siswa.10 Definisi tentang MBS menegaskan bahwa konsep tersebut mengacu pada manajemen sumber daya di tingkat sekolah dan bukan di suatu sistem atau tingkat yang sentralistik. Melalui MBS, sekolah diberi pengawasan lebih besar atas arah yang akan dicapai oleh organisasi sekolah tersebut. Pengawasan atas anggaran dianggap merupakan inti dari MBS. Terkait erat dengan kebijaksanaan anggaran adalah pengawasan atas penetapan peran, penggajian, dan pengembangan staf. Pada ekstrim lainnya, beberapa sekolah diberi pengawasan atas kurikulum sebagai bagian dari MBS. Di sini suatu kurikulum berbasis sekolah berarti bahwa masing-masing sekolah memutuskan bahan-bahan ajar apa akan digunakan, dan juga model pelaksanaan spesifik. Para staf menentukan

“Perubahan Paradigma Pendidikan Peran Tekhnologi Pendidikan dalam Penyampaian Misi dan Informasi Pendidikan”, dalam Menyemai Benih Tekhnologi Pendidikan, (Jakarta:Kencana 2005), h. 696. 7 Suyanto, Dinamika Pendidikan Nasional (Dalam Percaturan Dunia Global), (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2006, h. 60-61 8 Meskipun demikian, otonomi pendidikan akan memasuki kondisi yang membahayakan jika tidak ada proses penanganan yang sinergis antara pemerintah pusat dan daerah. Lihat Suyanto, Dinamika Pendidikan Nasional (Dalam Oercaturan Dunia Global), h. 73-74 9 Ibtisam Abu Duhou, School-Based Management, Penerjemah Noryamin Aini, dkk, (Jakarta: Logos, 2002), h.. 16 10 Candoli, Site-Based Management in Education: How to Make It Work in Your School, (Lancaster: Technomic Publishing Co, 1995), xi

Volume 3 Januari - Juni 2007

IQRA’ 15

Muhammad Idris beberapa kebutuhan pengembangan profesional mereka sendiri, serta beberapa struktur di mana proses pendidikan akan dikembangkan.11 MBS ditawarkan sebagai salah satu alternatif jawaban pemberian otonomi daerah di bidang pendidikan12, mengingat prinsip dan kecenderungannya yang mengembalikan pengelolaan manajemen sekolah pada pihak-pihak yang dianggap paling mengetahui kebutuhan riel sekolah. Oleh karena itu, jika kita semua sedang gencar berbicara tentang reformasi pendidikan, maka dalam konteks MBS, tema sentral yang diangkat adalah isu desentralisasi.13 Desentralisasi dalam pengertian sebagai pengalihan tanggung jawab pemerintahan pusat dalam hal perencanaan, manajemen, penggalian dana, dan alokasi sumberdaya ke pemerintah daerah.14 Terkait dengan desentralisasi, MBS dikembangkan untuk membangun sekolah yang efektif. Hanya saja konsep desentralisasi model MBS mengacu pada sekolah swa-manajemen (self managing school) bukan pada penyelenggara sekolah mandiri (self governing school). Respon yang muncul atas MBS bermacam-macam. Depdiknas merumuskan pengertian MBS sebagai model manajemen yang memberikan otonomi yang lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orang tua, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional. Dengan otonomi yang lebih besar, sekolah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih mandiri.15 Maksud yang sama dikemukakan oleh Miarso yang menyatakan bahwa arti pengelolaan berbasis sekolah ini adalah pelimpahan wewenang pada lapis sekolah untuk mengambil keputusan

11

Ibtisam Abu Duhou, School-Based Management, Penerjemah Noryamin Aini, dkk, h..

25 12

Dalam UU No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004 disebutkan bahwa salah satu program pembinaan pendidikan dasar dan menengah adalah mewujudkan manajemen pendidikan yang berbasis sekolah sekolah/masyarakat dengan memperkenalkan Dewan Pendidikan di tingkat Kabupaten/kota serta pemberdayaan atau pembentukan Komite Sekolah di tingkat sekolah. Sudarwan Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h.7 13 Menurut Cardoli keputusan-keputusan yang didesentralisasi adalah yang secara langsung berpengaruh pada siswa seperti keputusan program pendidikan, keputusan kurikulum, alokasi waktu dan keputusan instruksional. Lihat Candoli, Site-Based Management in Education:How to Make It Work in Your School, h. 1 14 Dalam pengertian yang sama desentralisasi diartikan sebagai penyerahan urusan pemerintah ke daerah sehingga wewenang dan tanggung jawab sepenuhnya menjadi tanggung jawab daerah, termasuk di dalamnya penentuan kebijakan perencanaan, pelaksaan, maupun yang menyangkut segi-segi pembiayaan dan aparatnya. Lihat Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (ed) Reformasi Pendidikan Dalam Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2001), h. 122. Lihat juga Nanang Fattah, Manajemrn Berbasis Sekolah, (Bandung: Andira, 2002), h. 8. 15 A. Malik Fadjar, Kata Pengantar dalam dalam Ibtisam Abu Duhou, School-Based Management, Penerjemah Noryamin Aini, dkk, h. xvii

Volume 3 Januari - Juni 2007

IQRA’ 16

Muhammad Idris mengenai alokasi dan pemanfaatan sumber-sumber berdasarkan aturan akuntabilitas yang berkaitan dengan sumber tersebut.16 Asumsi kebijakan manajemen berbasis sekolah adalah bahwa dengan pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab yang meningkat ke sekolah, serta proporsi dana lebih besar dalam mendukung pencapaian tujuan kebijakan sesuai dengan serangkaian garis pedoman kebijakan yang lebih eksplisit dan meletakkan strategi manajemen prestasi yang terartikulasi di atas perencanaan tersebut, maka hal tersebut akan memudahkan dan mendorong peningkatan efektivitas dan efisiensi pendidikan publik. Hal ini berarti bahwa tugas manajemen sekolah ditentukan sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan sekolah itu sendiri. Oleh karena itu, anggota pengelola sekolah (dewan direktur, pengawas, kepala sekolah, guru, orang tua, siswa dan seterusnya) memiliki otonomi dan tanggung jawab lebih besar dalam mengelola kegiatan pendidikan di sekolah. Tujuan utama MBS adalah meningkatkan efesiensi, mutu dan pemeratan pendidikan. Peningkatan efesiensi diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang ada, partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orang tua, kelenturan pengelolaan sekolah, peningkatan propesionalisme guru, adanya hadiah dan hukuman sebagai control, serta hal lain yang dapat menumbuhkembangkan suasana yang kondusif. Pemerataan pendidikan tampak pada tumbuhnya partisipasi masyarakat terutama yang mampu dan peduli, sementara yang kurang mampu akan menjadi tanggung jawab pemerintah.17 Di beberapa negara di dunia, sekolah dituntut untuk menerapkan "manajemen mandiri". Perubahan kebijakan dan administrasi pendidikan ini mencerminkan suatu reposisi kekuasaan dari kewenangan lebih tinggi (pusat) ke lebih rendah (sekolah) dalam kaitannya dengan kurikulum, alokasi anggaran dan sumber daya, staf dan siswa, dan dalam beberapa hal penilaian. Tema yang muncul bagi reformasi ke arah manajemen berbasis sekolah adalah kemampuan yang diperlihatkan dalam menghasilkan pelbagai macam peningkatan kualitatif bagi pendidikan. Oleh karena itu desentralisasi harus memberikan: 1. Peningkatan efektifitas keputusan berkaitan dengan kebijakan pendidikan, baik di tingkat sekolah maupun system 2. Manajemen sekolah dan leadership pendidikan yang meningkat 3. Ketentuan penggunaan sumber daya lebih efisien 4. Kualitas pengajaran yang meningkat 5. Pengembangan kurikulum yang lebih sesuai dengan tuntutan sosial dan tenaga kerja di masa mendatang 6. menghasilkan outcomes (hasil) siswa yang meningkat.18 Berdasarkan kondisi persekolahan di Indonesia dimana terdapat sekolah yang maju, sedang, dan kurang. Pada saat ini diperkirakan terdapat tiga tingkatan model yaitu: 1. Sekolah yang dapat melaksanakan MBS secara penuh, 16

Yusufhadi Miarso. “Perubahan Paradigma Pendidikan Peran Tekhnologi Pendidikan dalam Penyampaian Misi dan Informasi Pendidikan”, dalam Menyemai Benih Tekhnologi Pendidikan, h. 696-697. 17 Amiruddin Siahaan dkk, Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah, (Jakarta: Quantum Teaching, 2006), h. 5. 18 Ibtisam Abu Duhou, School-Based Management, Penerjemah Noryamin Aini, dkk, h.. 127-128

Volume 3 Januari - Juni 2007

IQRA’ 17

Muhammad Idris 2. Sekolah dengan tingkat MBS menengah (sedang), 3. Sekolah dengan tingkat MBS minimal (rendah).19 Tipe pertama adalah sekolah yang dapat memenuhi semua persyaratan, tipe kedua adalah sekolah yang dapat memenuhi sebagian persyaratan dan tipe ketiga adalah sekolah yang dapat memenuhi hanya beberapa persyaratan atau persyaratan minimal yang telah ditentukan. Demikian juga dalam implementasi MBS sebagai suatu paradigma pendidikan yang relatif masih baru, selain harus memperhatikan kondisi sekolah juga memerlukan proses pelaksanaan secara bertahap. Penerapan MBS secara menyeluruh sebagai realisasi dari desentralisasi pendidikan memerlukan perubahan-perubahan mendasar terhadap aspek-aspek yang menyangkut keuangan, ketenagaan, kurikulum, sarana dan prasarana serta partisipasi masyarakat.20 Suatu realitas bahwa struktur dan mekanisme kerja keorganisasian akan berubah sejalan dengan kebijakan desentralisasi. Persoalannya terletak pada sejauh mana perubahan pola manajemen itu mampu mengubah sikap mental aparat pelaksana atau birokrat pendidikan. Apa yang direformasi bukan semata-mata strukturnya, melainkan yang lebih penting adalah dimensi mental pelakunya. Tugas-tugas reformatif apa yang perlu dilakukan pada tingkat struktural dan sekolah menuju otonomi manajemen sekolah? Jawaban atas pertanyaan ini merupakan persyaratan eksistensial implementasi MBS, di antaranya adalah: 1. Membangun aliansi yang kuat dengan persatuan guru, 2. Mendelegasikan kekuasaan dan kewenangan pada sekolah untuk men-definisikan tugas-tugas baru, memilih staf dan mengkreasi lingkungan belajar, 3. Mendorong terciptanya otonomi dalam pembuatan keputusan sekolah, 4. Mengkomunikasikan tujuan, menentukan patok sasaran, dan mendistribusikan informasi secara akurat, 5. Menciptakan komunikasi yang dinamis antara staf sekolah dan pejabat kependidikan, 6. Memberi peluang kepada sekolah untuk bereksperimen dan membuat keputusan berisiko, 7. Memotivasi kepala sekolah untuk melibatkan guru-guru dalam membuat aneka keputusan, 8. Mengembangkan kaedah-kaedah dimana kantor pusat hanya berkedudukan sebagai fasilitator dan koordinator pembaruan sekolah, bukan sebatas mengkomando dan menyampaikan instruksi yang rigid, dan 9. Menggunakan pendekatan prestasi.21 Sebagai tolok ukur dari keberhasilan implementasi MBS adalah: 1. Efektivitas proses pembelajaran 2. Kepemimpinan sekolah yang kuat 3. Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif 4. Sekolah memiliki budaya mutu 5. Sekolah memiliki team work 6. Sekolah memiliki kemandirian 19

Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (ed), Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah, (Yogyakarta, Adicita Karya Nusa, 2001), h. 159 20 E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, konsep, Strategi dan Implementasi, (Jakarta: Remaja Rosdakarya, 2002), h. 60 21 Sudarwan Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik, h.35-38.

Volume 3 Januari - Juni 2007

IQRA’ 18

Muhammad Idris 7. Partisipasi warga sekolah dan masyarakat tinggi 8. Sekolah memiliki transparansi 9. Sekolah memiliki kemauan untuk berubah, baik psikologis maupun fisik 10. Sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan 11. Sekolah responsive dan antisipasif terhadap kebutuhan 12. Sekolah memiliki akuntabilitas 13. Sekolah memiliki sustainabilitas 14. Output adalah prestasi sekolah 15. Penekanan angka drop-out 16. Kepuasan staf sesuai dengan tugas dan kewenangan.22 Untuk mencapai efesiensi dan efektifitas yang optimal dalam manajemen dan alokasi sumberdaya yang merepresentasikan MBS, sekolah perlu merumuskan konsep akuntabilitas sekolah. Konsep-konsep sekolah selama ini harus ditata ulang, dan langkah ini menuntut keahlian dari semua pihak, terutama dewan penasehat sekolah, para pemimpin lokal dan masyarakat umum. Keahlian Kurikulum Tenaga Sarana Uang

Peserta didik

Proses BelajarPembelajaran

Hasil

Konteks Lingkungan Dampak dapat diberikan melalui sistem in-service training secara khusus dan propesional.23 Ini semua membutuhkan sikap proaktif manajemen sekolah untuk merumuskan sistem yang dapat menjawab keluhan bahwa ternyata tingkat keterlibatan masyarakat atas proses desentralisasi pendidikan sangat rendah. Hal ini disebabkan karena pola kebijakan yang menempatkan pemerintah pusat sebagai pihak yang paling berperan dan paling tahu bagaimana mengembangkan lembaga pendidikan. Kebijakan ini tidak dapat dipertahankan lagi, terutama di saat kemampuan pemerintah pusat menjadi terbatas. Meskipun demikian pemerintah pusat tidak dapat begitu saja menyerahkan kepada masyarakat. Masyarakat masih membutuhkan bimbingan. Sungguh pun MBS menampung nuansa desentralisasi dan otonomi pendidikan, namun terasa belum menyerahkan pendidikan pada masyarakat sebagai pemilik pendidikan yang sesungguhnya.24 Untuk pengembangan manajemen berbasis sekolah, Miarso menyarankan untuk menggunakan pendekatan sistem, yang memberikan gambaran yang menyeluruh terhadap semua

22

Amiruddin Siahaan dkk, Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah, h. 38 A. Malik Fadjar, Kata Pengantar dalam dalam Ibtisam Abu Duhou, School-Based Management, Penerjemah Noryamin Aini, dkk, h. xxi 24 Lihat Suyanto, Dinamika Pendidikan Nasional (Dalam Percaturan Dunia Global), h. 74 23

Volume 3 Januari - Juni 2007

IQRA’ 19

Muhammad Idris komponen serta lingkungan yang mempengaruhi sistem sekolah yang bersangkutan. 25 Ilustrasi menyeluruh tersebut meliputi komponen sebagaimana tampak pada gambar berikut: Penjelasan masing-masing komponen adalah sebagai berikut: 1. Manajemen Peserta didik Peserta didik adalah komponen utama setiap program pendidikan. Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Oleh karena itu penerimaan siswa baru harus tidak dibatasi pada kriteria keunggulan atau jenis kelamin dan suku tertentu, melainkan diterima dengan kriteria yang berlaku umum atau yang disepakati bersama dengan Komite Sekolah. 2. Manajemen kurikulum26 Dalam manajemen kurikulum, tidak seluruh materi yang terdapat dalam kurikulum itu yang harus diajarkan, yang lebih penting adalah siswa mampu menguasai kemampuan dasar (basic competencies) dari tiap mata pelajaran yang mengarah kepada pencapaian kualifikasi akademik. 3. Manajemen tenaga Pengembangan kapabilitas dan kompetensi tenaga merupakan aspek yang sangat penting dalam setiap usaha pembaruan pendidikan, meskipun disadari bahwa tenaga yang kompeten saja tidak akan cukup untuk dapat mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan. 4. Manajemen sarana Sarana yang dikembangkan disekolah meliputi ruang kelas dengan perabotnya, laboratorium dengan kelengkapannya, perpustakaan dengan koleksi buku serta bahan bekajar lain, ruang keterampilan dengan peralatannya, ruang perkantoran, ruang serba guna, dan sarana penunjang lainnya seperti mushalla, kamar kecil, dan lain-lain. 5. Manajemen uang Pendidikan yang berkualitas biasanya memerlukan biaya yang tidak sedikit, baik untuk keperluan investasi maupun untuk keperluan operasional, sementara itu anggaran yang tersedia terbatas. UU memang telah menentukan bahwa pemerintah harus menyediakan anggaran 20% dari APBN, namun kenyataannya hal itu belum terlaksana. Oleh karena itu pimpinan sekolah harus pandai-pandai mengelola keuangan dengan prinsip enterpreneur. 6. Manajemen proses belajar-pembelajaran

25

Yusufhadi Miarso. “Otonomi Pendidikan & Prospek Pelaksanaan Manajemen Berbasis sekolah”, dalam Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, h. 730 26 Dalam konteks otonomi dan desentralisasi pendidikan, menurut Azra pengertian kurikulum yang lebih tepat adalah sejumlah pengalaman pendidikan yang ditempuh peserta didik dengan bimbingan sekolah untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan sekolah masing-masing. Lihat Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekonstruksi dan Demokratisasi, (Jakarta:Kompas, 2002), h. 97. Bandingkan dengan Jean Bocock dan David Watson (ed), Managing University Curriculum Making Common Cause, (Buckingham:SRHE and Open University Press, 1994), h. 33

Volume 3 Januari - Juni 2007

IQRA’ 20

Muhammad Idris Proses belajar-pembelajaran harus berfokus pada para siswa, agar dimungkinkan berkembangnya potensi setiap siswa secara optimal sesuai dengan kondisi objektif dan karakteristik mereka. 7. Manajemen Hasil Hasil pendidikan adalah wujud kinerja sekolah. Berbagai ukuran atau penilaian dapat dilakukan atas kinerja sekolah meliputi lulusan yang dihasilkan, produktivitas prosesnya, efektivitas, dan efesiensi programnya, temuan dan pembaruan yang dikembangkannya, semangat kerjanya, perubahan yang terjadi pada dirinya. 8. Manajemen konteks/lingkungan Lembaga pendidikan termasuk sekolah dapat dipandang sebagai organisme yang berinteraksi dengan lingkungannya. Lingkungan itu seperti lingkungan fisik, nirfisik, lingkungan masyarakat, dan lingkungan organisasi atau masyarakat. Lingkungan fisik seperti lokasi dan kondisi geografis perlu dikenal dengan baik dan dimanfaatkan sebagai masukan untuk menyusun program pendidikan dan untuk menyusun proses penyelenggaraan pendidikan. Sedangkan, lingkungan nirfisik adalah lingkungan yang ada tapi tidak tampak seperti waktu dan jaringan maya.

9. Manajemen dampak Yang diamksud dengan dampak adalah hasil pendidikan jangka panjang, baik bagi individu yang bersangkutan maupun bagi masyarakat secara luas. Manajemen dampak ini memang bukan semata-mata tanggung jawab sekolah, namun sekolah mempunyai peran penting karena menghasilkan lulusan yang mampu mengembangkan dirinya dan berkarya. 10. Manajemen sistem Manajemen sistem ini meliputi semua komponen secara keseluruhan. Pembaruan pendidikan banyak tergantung pada kemampuan managerial dan kepemimpinan kepala sekolah.27 Pemberian otonomi kepada kepala sekolah sebagai konsekwensi otonomi sekolah, mengharuskan kepala sekolah meningkatkan kemampuan manajerialnya. Otonomi sekolah secara nyata membutuhkan kepala sekolah yang terampil memanfaatkan kecerdasan intelegensia manejerialnya.28 Kepala sekolah disyaratkan memilki kemampuan mengorganisasi perubahan. 27

Yusufhadi Miarso. “Otonomi Pendidikan & Prospek Pelaksanaan Manajemen Berbasis sekolah”, dalam Menyemai Benih Tekhnologi Pendidikan, h. 730-737. 28 Intelejensia managerial oleh Kydd, Crawford dan Riches diklasifikasikan sebagai berikut: 1) Mencipta yang terdiri dari: memiliki gagasan baru, menemukan pemecahan orisinal bagi masalah yang bersifat umum, mengantisipasi konsekuensi pengambilan keputusan dan tindakan, menerapkan pemikiran, menggunakan imajinasi dan intuisi, 2) Merencanakan yang terdiri dari: mengaitkan kebutuhan masa kini dengan masa yang akan datang, mengenali apa yang penting dan apa yang semata mendesak, mengantisipasi tren masa depan, dan menganalisa, 3) Mengorganisasi yang terdiri dari: m,embuat tuntutan yang adil, mengambil keputusan dengan cepat, berada di depan bilamana perlu, tetap tenang dalam situasi yang sulit dan mengetahui kapan pekerjaan selesai, 4). Berkomunikasi yang terdiri dari: memahami orang, mendengarkan, menjelaskan, komunikasi tertulis, menggugah sesama untuk berbicara, taktis, bersikap toleran terhadap kekeliruan sesama, berterima kasih dan memberikan dorongan, memastikan setiap orang memerima informasi, dan memanfaatkan

Volume 3 Januari - Juni 2007

IQRA’ 21

Muhammad Idris Perubahan itu akan mempengaruhi sikap maupun perilaku individu yang ada di organisasi sekolah. Perubahan memang tidak bisa dihindari dalam konteks meningkatkan partisipasi seluruh individu yang ada di organisasi sekolah.29 Implementasi MBS pada Madrasah Menurut Suwito, pesatnya perkembangan pendidikan di Indonesia dapat dinilai cenderung menghasilkan pendidikan ke arah sistem yang bersifat birokratis sentralistik. Berbagai kebijakan pendidikan yang ditetapkan pemerintah pusat cenderung sebagai ”sabda pandita ratu” yang mesti harus dilaksanakan oleh daerah-daerah. Hal ini dapat dilihat antara lain sejak keharusan memakai pakaian seragam sampai hal-hal yang menyangkut kurikulum. Sistem yang demikian cenderung menjadikan ”keseragaman” sebagai tujuan. Hasil kebijakan yang demikian adalah manusia-manusia yang bermentalitas ”juklak” dan ”juknis” menunggu petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis. Akibat lebih jauhnya akan melahirkan manusia yang bermentalitas di bawah bayang-bayang ketakutan dan kekhawatiran sehingga harus patuh dan tunduk pada perintah yang ada, betapapun anehnya perintah tersebut.30 Oleh karena itu, pendidikan Islam sangat berperan untuk senantiasa diaktualisasikan sehingga bisa menjadi petunjuk sesuai dengan fungsinya antara lain sebagai faktor pembimbing, pembina, pengimbang, penyaring dan pemberi arah dalam hidup menuju masyarakat yang di dalamnya tecipta persemakmuran intelektual di dalam bingkai agama. Tidak ada obat yang dapat menyembuhkan kecuali syari’at Islam itu sendiri yang di dalamnya sarat dengan petunjuk ke arah kebaikan.31 Pendidikan Islam merupakan pangkal ketaatan dan kebenaran, merupakan sarana untuk menciptakan manusia menjadi mukmin yang sempurna32 serta menjadikan manusia sebagai hamba Allah yang shaleh dalam seluruh segi kehidupannya.33 Pendidikan Islam yang tujuan akhirnya mengarahkan agar anak didik menjadi manusia yang bertaqwa kepada Allah34. tekhnologi informasi, 5) Memotivasi yang terdiri dari: menyuguhkan tantangan yang realistis, membantu sesama untuk menetapkan tujuan dan target dan membantu sesama untuk menghargai sumbangsih dan prestasi mereka sendiri, 6) Mengevaluasi yang terdiri dari: membandingkan hasil dengan niat, menilai diri sendiri, mengevaluasi pekerjaan sesama, dan meralat kekeliruan di mana perlu. Lihat Kydd, Crawford dan Riches, Professional Development for Educational Management, (Jakarta: Grasindo, 2004), h. 11-13. 29 Amiruddin Siahaan dkk, Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah, h. 164. 30 Suwito, Pendidikan Yang Memberdayakan, Pidato pengukuhan Guru Besar IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tanggal 3 Januari 2002, h.10 31

Syekh Ali Mahfuz, Hidayat al-Musyidin (Cet. VI; Kairo: al-Matba’at al-Usmaniyyah alMisiyyah, 1958), h. 69-70. 32

Sayyid Muhammad Nuh, Manhaj ahl al Sunnah Waal Jama’ah Fi Qadiyyat al-Taqayyur Bi Janibaih al-Tarbawi Wa al-Da’awiy (Cet. II;t.tp: Dar al- Wafa al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1991), h. 29. 33

Abu Khalil Abu al-Ainain, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qur'an al-Karim, (T.t: Dar al-Fikr al-Arabi, 1980), h. 154 34 Ini sama dengan tujuan pendidikan yang dirumuskan oleh al-Ghazali dalam Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Al-Tarbiyah al-Islamiyah, (T.t: t.pn, t.th), h. 9. Ibn Khaldun sebagaimana yang

Volume 3 Januari - Juni 2007

IQRA’ 22

Muhammad Idris Masalah yang muncul dalam menyikapi otonomi pendidikan adalah posisi madrasah sebagai bagian dari lembaga pendidikan Islam. Apakah madrasah yang telah lama berada di bawah naungan Departemen Agama akan segera sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat II sebagaimana sekolah-sekolah yang berada di bawah naungan Diknas atau apakah madrasah tetap dalam skema yang berjalan selama ini. Pilihan apapun yang di ambil oleh Departemen Agama akan menimbulkan tarik menarik dan mengandung implikasi tersendiri bagi keberadaan madrasah sebagai instansi pendidikan Islam. Implementasi konsep MBS Departemen Agama mengembangkannya dalam bingkai Madrasah Mandiri. Mandiri dalam mengelola program dan sumberdaya seperti: pengetahuan, tekhnnologi, kekuasaan, material, manusia, waktu, dan keuangan. Dengan system ini, sekolahsekolah dideregulasi oleh pemerintahan pusat, sementara kontrol dan pengaruh lokal diperluas dengan tujuan sekolah diberi tanggung jawab yang lebih besar untuk mengurus segala keperluan dan mengembangkan programnya. Dalam hal ini strategi peningkatan kualitas sekolah bergerak dari bawah ke atas.35 Dengan pengalihan kewenangan pengambilan keputusan ke level madrasah diharapkah madrasah lebih mandiri dan mampu menentukan arah pengembangan yang sesuai dengan kondisi dan tuntutan lingkungan masyarakat. Model ini merupakan bentuk alternatif sekolah/madrasah dalam program desentralisasi pendidikan, yang ditandai dengan adanya otonomi luas di tingkat madrasah/sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi dalam kerangka kebijakan nasional.36 Otonomi Pendidikan Suatu Kebutuhan Undang-undang otonomi daerah meletakkan kewenangan sebagian besar pemerintahan bidang pendidikan dan kebudayaan yang selama ini berada pada pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Pergeseran struktur kewenangan sistem administrasi pendidikan ini merupakan momentum yang tepat untuk melakukan reformasi sistem pengelolaan pendidikan di sekolah. Sebab pembangunan pendidikan yang selama ini didominasi oleh pemerintahan pusat terbukti kurang efektif. Hal ini terlihat dalam kenyataan bahwa berbagai program investasi perluasan akses

dikutip oleh Athiyah merumuskan dua tujuan pendidikan, 1) Tujuan yang berorientasi akhirat yaitu membentuk hamba-hamba Allah yang dapat melaksanakan kewajibannya kepada Allah, 2) Tujuan yang berorientasi dunia yaitu membentuk manusia-manusia yang mampu menghadapi segala bentuk kehidupan yang lebih layak dan bermanfat bagi orang lain. Lihat M. Athiyah al-Abrasyi, Al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falsafatuha, (Mesir: Isa al-Babi al-halabi, 1975), h. 277. Lihat juga Majid ‘Arsan alKailani, Al-Fikri al-Tarbawi inda Ibn Taimiyah, (Madinah al-Munawwarah, Maktabah Dar al-Turas, T.th), h. 107-115 35 A. Malik Fadjar, Kata Pengantar dalam Ibtisam Abu Duhou, School-Based Management, Penerjemah Noryamin Aini, dkk, h. xvii. Sebagai instituisi pendidikan, maka madrasah mempunyai kelemahan dalam sistem pendidikannya, seperti diungkapkan oleh Mastuhu, yang kenyataannya anak-anak madrasah tetap masih belum mampu bersaing dengan anak-anak sekolah umum dalam memasuki PTU dan lapangan kerja. Lihat Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta:Logos, 1999), h. 58 36 Mubin Noho, ”Implementasi Model manajemen Pendidikan di Madrasah Dalam Era Otonomi Sekolah” dalam Jurnal Foramadiahi, Vol.2 No. 1 Juni,2006, h. 33

Volume 3 Januari - Juni 2007

IQRA’ 23

Muhammad Idris pendidikan dan peningkatan mutu yang telah dilakukan belum dapat mencapai hasil seperti yang diharapkan. Karena itu otonomi (sistem dan pengelolaan) pendidikan merupakan suatu keharusan. Otonomi daerah dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan, keadilan, demokratisasi, dan penghormatan terhadap nilai-nilai budaya lokal serta menggali potensi dan keanekaragaman daerah, bukan untuk memindahkan masalah dari pusat ke kabupaten dan kota. Demikian juga otonomi pendidikan bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat, bukan memindahkan atau mengembangbiakkan masalah pendidikan yang menjadi beban pemerintahan pusat ke kabupaten dan kota. Strategi pembangunan pendidikan yang efektif mutlak diperlukan, yaitu strategi pembangunan yang memberdayakan, mem-berikan kepercayaan yang lebih luas, dan mengembalikan urusan pengelolaan pendidikan ke sekolah. Peran pemerintah lebih baik ditekankan pada pelayanan agar proses pendidikan di sekolah berjalan secara efektif dan efisien. Fokus pembangunan pendidikan harus tetap pada apa yang terjadi di sekolah, sebab strategi pembangunan yang tidak fokus pada pemberdayaan sekolah umumnya tidak memberi hasil yang memuaskan. Strategi semacam inilah yang diharapkan dapat melahirkan masyarakat belajar (learning society) karena dengan demikian seluruh jajaran pengelola dan pel;aksana pendidikan dituntut untuk terus belajar. Para siswa merasa senang karena kebutuhannya selalu bisa direspon secara baik oleh para pengelola dan pendidik di sekolahnya. Jika kondisi ini bisa dijalankan, dipastikan akan terwujud sebuah masyarakat yang diidamkan, yaitu masyarakat madani, sebuah masyarakat yang peran serta dan kontrol dari setiap anggotanya begitu besar.37 Terdapat beberapa hal yang menyebabkan otonomi sangat penting dan perlu, di antaranya adalah: 1. Akuntabilitas sekolah dalam penyelengga-raan pendidikan kepada masyarakat masih sangat rendah. 2. Penggunaan sumber daya tidak optimal. Rendahnya anggaran pendidikan merupakan kendala yang besar. 3. Partisipasi masyarakat masih rendah. 4. Sekolah tidak mampu mengikuti perubahan yang terjadi di lingkungannya.38 Peran Pemerintah yang Tersisa Melaksanakan konsep manajemen berbasis sekolah bukan merupakan hal yang mudah, karena selama ini pengelolaan sekolah telah terbiasa dengan prinsip etatisme, di mana semua wewenang ada di pusat, sedangkan mereka yang ada di daerah atau di lapangan (termasuk sekolah) hanya sekedar melaksanakan apa yang telah digariskan oleh pusat. Untuk itu diperlukan waktu dan komitmen yang sungguh-sungguh mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat (termasuk orang tua) dan sekolah sendiri. Komitmen yang sungguh-sungguh meliputi pengadaan peraturan perundangan dan ketentuan yang diperlukan, penyediaan anggaran, perumusan konsep yang tepat, serasi, dan aplikabel, penataran kemampuan para pemegang peran, profesionalisasi pengelola pendidikan, sosialisasi gagasan kepada 37

Indra Djati Sidi, Menuju Masyarakat Belajar Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, h.

29-31 38

Indra Djati Sidi, Menuju Masyarakat Belajar Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, h.

31-34

Volume 3 Januari - Juni 2007

IQRA’ 24

Muhammad Idris masyarakat, serta pembinaan dan pengawasan yang berkelanjutan. Semua hal itu perlu direncanakan secara cermat dan komprehensif, tidak secara tambal sulam sebagaimana yang telah terjadi selama ini.39 Sebagai perbandingan sebagaimana yang diungkapkan oleh Miarso dapat dikemukakan pernyataan dari Levacic, bahwa MBS mulai dicobakan di Inggris pada tahun 1979, kemudian pada tahun 1988 dikeluarkan Undang-undang Pembaruan Pendidikan (Educational Reform Act), dan baru dapat dikatakan terlaksana pada pertengahan tahun 1990-an. Jadi diperlukan waktu sekitar 15 tahunan untuk melaksanakan gagasan MBS, dan itupun dengan dukungan kebijakan yang kuat, anggaran yang cukup, dan profesionalisme para pemegang peran.40 Karena otonomi pengelolaan pendidikan berada di tingkat sekolah, maka peran lembaga pemerintah adalah memberikan pelayanan dan dukungan kepada sekolah agar proses pendidikan berjalan secara efektif dan efisien. peran pemerintah bergeser dari regulator menjadi facilitator. Keterlibatan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan ini hanya mencakup dua aspek yaitu mutu dan pemerataan. Pemerintah menetapkan standar mutu pendidikan dan akan berupaya agar semua siswa dapat berprestasi setinggi mungkin. Juga berupaya agar semua sekolah dapat mencapai standar minimum mutu pendidikan, dengan keragaman prestasi antar sekolah dalam suatu lokasi sekecil mungkin. Pemerintah juga menjamin pemerataan kesempatan bagi seluruh siswa dari semua lapisan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan. Peran ini dilakukan melalui perumusan kebijaksanaan umum, pelayanan teknis dan monitoring program secara reguler. Praktek diskriminasi terhadap siswa perempuan dan sekolah swasta baik secara langsung maupun tidak, baik yang terjadi pada level kebijaksanaan maupun implementasi, harus dihapuskan. Demikian juga alokasi dan distribusi anggaran pendidikan harus menjunjung tinggi azas keadilan dan transparansi. Perubahan peran pemerintah ini mengubah hirarki pengambilan keputusan yang selama ini selalu berawal dari pemerintahan pusat dan bermuara di sekolah. Dalam skema otonomi pengelolaan pendidikan di masa datang, hirarki pengambilan keputusan berubah menjadi piramida terbalik; kedudukan lembaga sekolah berada di atas, sedangkan lembaga pemerintah berada di bawah. Penutup Manajemen pendidikan berbasis sekolah menuntut adanya sekolah yang otonom dan kepala sekolah yang memiliki otonomi, khususnya otonomi kepemimpinan atas sekolah yang dipimpinnya. Oleh karena itu perlu langkah-langkah yang implementatif dan aplikatif untuk merealisasikan manajemen pendidikan berbasis sekolah di lembaga pendidikan persekolahan. Visi baru manajemen sekolah merupakan satu bentuk agenda reformasi pendidikan di Indonesia yang menjadi sebuah kebutuhan untuk memberdayakan peran sekolah dan masyarakat dalam mendukung pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan di sekolah terutama di bidang pendanaan. Kehadiran komite sekolah pada satuan pendidikan yang di dalamnya terdapat unsur orang tua murid, staf sekolah, lembaga swadaya masyarakat bidang pendidikan, pakar alumni, siswa, birokrasi dan lain-lain mendorong ke arah otonomi sekolah. 39

Yusufhadi Miarso. “Otonomi Pendidikan & Prospek Pelaksanaan Manajemen Berbasis sekolah”, dalam Menyemai Benih Tekhnologi Pendidikan, h. 738-739 40 Yusufhadi Miarso. “Otonomi Pendidikan & Prospek Pelaksanaan Manajemen Berbasis sekolah”, dalam Menyemai Benih Tekhnologi Pendidikan, h. 739

Volume 3 Januari - Juni 2007

IQRA’ 25

Muhammad Idris

Daftar Pustaka Al-Abrasyi, Muhammad Athiyah ,Al-Tarbiyah al-Islamiyah, T.t: t.pn, t.t -------, Al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falsafatuha, Mesir: Isa al-Babi al-halabi, 1975 Al- Ainain, Abu Khalil Abu Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qur'an al-Karim, T.t: Dar alFikr al-Arabi, 1980 Arief, Armai. 2005. Reformulasi pendidikan Islam. Jakarta: CRSD Press, Azra, Azyumardi. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekonstruksi dan Demokratisasi. Jakarta: Kompas. Bocock, Jean dan David Watson (ed). 1994. Managing University Curriculum Making Common Cause, Buckingham: SRHE and Open University Press. Campbell-Evan. 1993. “A Values Perspective on Based-Management”, Dalam C. Dimmoc, (ed). 1993. School Based Management and School Effectiveness, London: Routledge. Candoli. 1995. Site-Based Management in Education:How to Make It Work in Your School. Lancaster: Technomic Publishing Co. Danim, Sudarwan. 2006. Visi Baru Manajemen Sekolah dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik. Jakarta: Bumi Aksara. E. Mulyasa. 2002 Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep, Strategi, dan Implementasi. Jakarta: Remaja Rosdakarya. Fadjar, A. Malik. 2002. Kata Pengantar dalam Ibtisam Abu Duhou. 2002. School-Based Management. Penerjemah Noryamin Aini, dkk. Jakarta: Logos Ibtisam Abu Duhou. 2002. School-Based Management. Penerjemah Noryamin Aini, dkk. Jakarta: Logos. Fattah, Nanang. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: Andira. Jalal, Fasli dan Dedi Supriadi (ed.). 2001. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. Al-Kailani, Majid ‘Arsan. T.th. Al-Fikri al-Tarbawi inda Ibn Taimiyah. Madinah al-Munawwarah: Maktabah Dar al-Turas. Kydd, Crawford dan Riches. 2004. Propesional Development for Educational Management. Jakarta: Grasindo. Maginn, Michael D. 2005. Managing in Times of Change. Jakarta: Buana Ilmu Populer. Mahfuz, Syekh Ali. 1958. Hidayat al-Musyidin, Kairo: al-Matba’at al-Usmaniyyah al-Misiyyah.

Volume 3 Januari - Juni 2007

IQRA’ 26

Muhammad Idris Miarso, Yusufhadi. 2005. “Perubahan Paradigma Pendidikan Peran Tekhnologi Pendidikan dalam Penyampaian Misi dan Informasi Pendidikan”, dalam Menyemai Benih Tekhnologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Noho, Mubin. 2006. ”Implementasi Model manajemen Pendidikan di Madrasah dalam Era Otonomi Sekolah” dalam Jurnal Foramadiahi, Vol.2 No. 1 Juni, 2006. Nuh, Sayyid Muhammad. 1991. Manhaj ahl al Sunnah Waal Jama’ah Fi Qadiyyat al-Taqayyur Bi Janibaih al-Tarbawi Wa al-Da’awiy Cet. II;t.tp: Dar al- Wafa al-Tiba’ah wa al-Nasyr. Siahaan, Amiruddin, dkk. 2006. Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah. Jakarta: Quantum Teaching. Sidi, Indra Djati. 2001. Menuju Masyarakat Belajar Menggagas Paradigma Baru Pendidikan). Jakarta: Paramadina, -------.2000. ”Kebijakan Penyelenggaraan Otonomi Daerah Bidang Pendidikan”, Makalah. Bandung: PPs UPI Suwito. 2002. Pendidikan Yang Memberdayakan. Pidato pengukuhan Guru Besar IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tanggal 3 Januari 2002, h.10. Suyanto. 2006. Dinamika Pendidikan Nasional (Dalam Oercaturan Dunia Global). Jakarta: PSAP Muhammadiyah.

Volume 3 Januari - Juni 2007

IQRA’ 27