MANIFESTASI MISI BUDAYA PERANTAUAN ETNIS MINANGKABAU

Download ABSTRAK. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pola-pola migrasi serta bagaimana bentuk manifestasi misi budaya perantauan para penjah...

0 downloads 432 Views 170KB Size
PERSPEKTIF SOSIOLOGI, VOL. 4, NO. 1, JANUARI 2016

MANIFESTASI MISI BUDAYA PERANTAUAN ETNIS MINANGKABAU (Studi Deskriptif Penjahit Minang Perantauan di Kelurahan Lau Cimba Kecamatan Kabanjahe Kabupaten Karo)

FITRI YATI1, DRS. MUBA SIMANIHURUK, M. SI2

Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pola-pola migrasi serta bagaimana bentuk manifestasi misi budaya perantauan para penjahit minang perantauan di Kelurahan Lau Cimba Kecamatan Kabanjahe Kabupaten Karo. Jenis Penelitian adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Adapun teknik pengambilan data dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi. Informan berjumlah sebelas orang yang terdiri dari sembilan perantau Minangkabau pemilik usaha jahit dan dua orang perantau Minangkabau yang merupakan karyawan jahit. Temuan dari penelitian ini adalah 1). Penjahit minang perantauan di Kelurahan Lau Cimba dalam perantauannya melakukan pola-pola migrasi diantaranya pengiriman remitan, aktivitas pulang kampung, dan migrasi intra-interkota. 2) Penjahit minang perantauan telah melakukan apa yang disebut Merantau Cino (merantau permanen/setengah permanen) yang kemudian berujung pada berubahnya misi budaya perantauan mereka. Perubahan itu diantaranya (1) Perubahan peran dan tanggung jawab ninikmamak (paman), (2) Perubahan pandangan terhadap dua alam kosmologis dimana alam rantau sebagai basis usaha mereka juga tidak kalah penting dibanding alam Minangkabau. Disamping itu rantau juga sudah dianggap sebagai tempat tinggal permanen dan tidak kalah pentingnya dengan alam kosmologis Minangkabau, serta (3) perubahan penekanan investasi mereka yang semula dilakukan di kampung halaman menjadi di rantau. Kata kunci: misi budaya perantauan, etnis Minangkabau, penjahit minang perantauan

PENDAHULUAN Masyarakat Minangkabau sebagai salah satu kelompok etnik matrilineal terbesar di dunia dan satu-satunya contoh di Indonesia memiliki sistem sosial, ekonomi, dan budaya tradisional yang diatur oleh adat istiadat dan kebiasaan menurut ketentuan matrilineal dimana tidak hanya soal keturunan dan suku (sebagai kesatuan dasar keturunan) yang ditarik menurut garis ibu, tetapi juga termasuk ketentuan mengenai pengaturan hak-hak dan pusaka oleh mamak. Mamak (paman; saudara laki-laki dari pihak ibu) selain sebagai pembimbing dan penanggungjawab keponakannya, juga berkuasa atas pengaturan tanah dan sawah yang dimiliki suku (Murad, 1980). Hal ini menjadi begitu sulit bagi lelaki Minang yang belum 1

Mahasiswa Departemen Sosiologi FISIP USU Dosen Departemen Sosiologi FISIP USU

2

95

PERSPEKTIF SOSIOLOGI, VOL. 4, NO. 1, JANUARI 2016

menikah (sering disebut bujang), mereka tidak berkuasa atau tidak punya hak untuk memiliki harta seperti tanah dan sawah yang telah diusahakannya dan masih berstatus rendah. Untuk membebaskan diri dari status yang demikian, tidak ada pilihan bagi para bujang tersebut selain pergi merantau mengadu nasib. Amir B. dalam Ermansyah (2007: 96) mendefenisikan merantau sebagai kegiatan meninggalkan kampung halaman dan menetap di tempat lain yang dianggap dapat memberi kehidupan yang layak. Perantauan bangsa Minangkabau ke berbagai daerah terkait dengan nilai budaya yang mereka miliki dimana seseorang dianggap belum berguna bagi kampung halamannya jika belum merantau. Merantau juga merupakan cara yang ideal untuk mencapai kematangan dan kesuksesan. Masyarakat Minangkabau mengenal dua alam kosmologis yaitu alam Minangkabau yang berfungsi sebagai pusat kehidupan serta tempat menanam dan alam rantau yang berfungsi sebagai tempat mencari, menggali ilmu, harta, dan kekayaan yang akan ditanam di alam Minangkabau. Dalam perantauannya, masyarakat Minangkabau memiliki apa yang disebut dengan misi budaya perantauan yang merupakan motivasi utama migrasi mereka ke berbagai daerah. Misi budaya tersebut sangat mempengaruhi keputusan untuk merantau atau kembali dari perantauan. Begitu juga keberhasilan dan kegagalan seseorang perantau diukur dari keberhasilan misi budaya perantauan ini (Pelly, 1994:2). Misi budaya tersebut diwujudkan dengan mengirimkan uang hasil pencarian di rantau untuk tambahan biaya orangtua atau keluarga yang ada di kampung, untuk membeli tanah, membangun rumah, atau untuk menjemput sawah-sawah yang tergadai serta memperluas kepemilikan sawah. Dalam jangkauan yang lebih luas, hasil pencarian di rantau biasanya juga dipergunakan untuk memperbaiki sarana-sarana nagari, seperti mesjid, jalan, ataupun pematang sawah. Hal-hal seperti ini merupakan manifestasi loyalitas mereka terhadap misi budaya perantauan yang mereka emban. Akan tetapi, seiring perkembangannya loyalitas orang Minangkabau terhadap misi budayanya ditantang oleh kondisi rantau yang berubah cepat. Mereka mencoba memperkuat posisi mereka dengan mengumpulkan modal dan membeli tanah di rantau sebagai sebuah bentuk investasi. Strategi ini cenderung mengalihkan perhatian mereka pada daerah rantau bukan lagi kampung halaman. Dengan bergesernya penekanan investasi mereka, terjadi kecenderungan perantau untuk menetap secara permanen di rantau (Pelly 1994:281). Perubahan demi perubahan yang terjadi dalam tradisi merantau masyarakat Minangkabau baik perubahan di alam Minangkabau maupun perubahan-perubahan yang terjadi di rantau, turut mempengaruhi misi budaya perantauan yang mereka jalankan.

96

PERSPEKTIF SOSIOLOGI, VOL. 4, NO. 1, JANUARI 2016

Salah satu daya tarik Kota Kabanjahe bagi perantau Minangkabau adalah adanya peluang usaha sebagai penjahit pakaian terutama penjahit pakaian laki-laki. Penjahit minang perantauan ini biasanya adalah perantau laki-laki yang telah berkeluarga dan telah lama merantau ke Kota Kabanjahe. Mereka jarang pulang kampung karena usaha di rantau dirasakan telah mulai mapan. Di sisi lain, keluarga inti telah turut serta menetap ke rantau dan anak-anak mereka lahir dan besar di rantau. Disisi lain, berubahnya kondisi rantau sedemikianrupa sehingga mereka cenderung larut di rantau sedikit banyak mempengaruhi misi budaya perantauan yang mereka bawa. Hal inilah yang melatarbelakangi penelitian ini, seiring terjadinya perubahan cara merantau dan kondisi rantau, Bagaimana bentuk manifestasi misi budaya perantauan dan pola-pola migrasi para perantau Minangkabau khususnya para penjahit Minang perantauan yang telah lama menetap di Kelurahan Lau Cimba Kecamatan Kabanjahe Kabupaten Karo. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola-pola migrasi dan manifestasi misi budaya perantauan penjahit minang perantauan di Kelurahan Lau Cimba Kecamatan Kabanjahe. Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah menambah wawasan kajian ilmiah mengenai perubahan sosial budaya bagi mahasiswa khususnya mahasiswa di Departemen Sosiologi Fakultas ISIP Universitas Sumatera Utara.

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Merantau Dalam masyarakat Minang dikenal konsep “Rantau” yang bermakna suatu tempat diluar kampung halaman, tempat seseorang (khususnya laki-laki) mengadu nasib dengan berdagang atau menuntut ilmu, namun selalu dengan ingatan akan kampung halamannya. Dari sudut sosiologi, istilah ini mengandung sedikitnya enam unsur pokok yaitu 1). Meninggalkan kampung halaman, 2). Dengan kemauan sendiri 3). Untuk jangka waktu yang lama atau tidak, 4). Dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu atau mencari pengalaman, 5). Biasanya dengan maksud kembali pulang, dan 6).Merantau ialah lembaga sosial yang membudaya (Naim, 2013:3). Berdasarkan periode sejarahnya, Kato (2005:13) membedakan tiga jenis cara merantau yaitu merantau untuk pemekaran nagari yang dimulai dari masa legenda hingga awal abad ke-19, merantau keliling yang dimulai dari akhir abad ke-19 sampai tahun 1930-an, dan terakhir Merantau Cino yang mulai populer pasca kemerdekaan hingga saat ini.

97

PERSPEKTIF SOSIOLOGI, VOL. 4, NO. 1, JANUARI 2016

Misi Budaya Perantauan Misi budaya adalah seperangkat tujuan yang diharapkan dicapai oleh anggota-anggota suatu masyarakat tertentu, yang didasarkan pada nilai-nilai dominan dari pandangan dunia masyarakat tersebut (Pelly,1994:1). Bagi masyarakat Minangkabau, memperkaya alam Minangkabau merupakan tujuan dari misi budaya tersebut. Misi budaya tersebut juga diwujudkan dalam bentuk lainnya seperti pengiriman uang hasil usaha (remitan) kepada keluarga di kampung halaman untuk membiayai fasilitas kesehatan, pendidikan, dan konsumsi. Dua alam kosmologis yaitu alam Minangkabau dan alam rantau dihubungkan dengan sebuah kesadaran akan misi budaya yang pada akhirnya memunculkan pola migrasi yang sifatnya sementara. Tujuan dasar misi budaya perantau minang untuk memperkuat dan memperkaya alam kosmologis Minangkabau dari hasil pencarian di alam rantau. Gambar 1. Siklus Misi Budaya Perantauan Etnis Minangkabau

Sumber: Urbanisasi dan Adaptasi (Pelly, 1994: 11) Nilai Budaya merantau Horton dan Hunt (dalam Narwoko, 2004: 55) mengartikan nilai sebagai gagasan mengenai apakah suatu pengalaman itu berarti atau tidak berarti. Nilai pada hakikatnya mengarahkan perilaku dan pertimbangan seseorang, tetapi tidak menghakimi apakah sebuah perilaku tertentu itu salah atau benar. Lima dasar orientasi nilai budaya yaitu hakikat hidup manusia, hakikat karya manusia, hakikat kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, hakikat hubungan manusia dengan alam sekitarnya, dan hakikat hubungan manusia dengan sesama sangat berhubungan erat dengan nilai kebudayaan yang dipegang teguh oleh masyarakat Minangkabau. Mengenai hakikat hidup manusia, tujuan hidup bagi orang Minangkabau adalah untuk berbuat jasa seperti yang mereka pedomani dalam falsafah minang hiduik bajaso, mati bapusako (hidup berjasa, mati meninggalkan pusaka/warisan). Dalam hakikat berkarya atau bekerja, orang Minangkabau diharuskan ulet dan bersungguh-sungguh. Mereka 98

PERSPEKTIF SOSIOLOGI, VOL. 4, NO. 1, JANUARI 2016

bekerja untuk menjauhkan diri dari kemiskinan dan ketidakberdayaan seperti yang dipedomani dalam falsafah minang hilang rano dek panyakik, hilang bangso dek indak barameh (hilang warna karena penyakit, hilang bangsa karena tak berharta). Mengenai nilai budaya hakikat ruang dan waktu, orang Minangkabau selalu berusaha untuk masa depannya dan apa yang akan ditinggalkan sesudah meninggal dunia. Mereka mempedomani falsafah minang mancalik nan ka sudah (melihat apa yang sudah dilewati) untuk memperbaiki sesuatu kedepannya. Sedangkan nilai budaya mengenai hakikat pada alam tampak pada sikap Masyarakat Minangkabau yang sangat menghargai alamnya seperti yang tertuang dalam falsafah minang alam takambang jadi guru yang berarti segala sesuatu yang ada di alam bisa dijadikan sebagai tempat memperoleh pelajaran dan pengalaman. Dalam nilai budaya mengenai hakikat hidup terhadap sesama anggota masyarakat diwujudkan orang Minangkabau dengan menjunjung tinggi nilai kolektif, egaliter dan budaya musyawarah mufakat.

Nilai-nilai

tersebut

mendorong

anggota

masyarakatnya

untuk

memiliki

tanggungjawab atas kesejahteraan kaumnya bahkan lingkungan dan masyarakat nagarinya. Perubahan Sosial dan Kebudayaan Moore dalam Narwoko (2010: 362) mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan penting dalam struktur sosial, pola prilaku dan sistem interaksi sosial termasuk didalamnya perubahan norma, nilai, dan fenomena kultural. Sedangkan Kingsley Davis (dalam Soekanto, 2009:266) berpendapat bahwa perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan. Perubahan dalam kebudayaan ini mencakup semua bagian yaitu kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi bahkan perubahan bentuk dalam organisasi sosial. Dalam hal ini perubahan kebudayaan ruang lingkupnya lebih luas. Masyarakat Minangkabau menyadari benar bahwa masyarakat dan kebudayaan itu selalu berubah, hal ini telihat pada pepatah minang “sakali aia gadang sakali tapian baraliah” (sekali air besar, sekali tepian berubah) yang merupakan refleksi dari kesadaran akan perubahan itu dimana masyarakat Minangkabau relatif terbuka dan memandang perubahan sebagai sesuatu yang sangat wajar (Sairin, 2002:184). Merantau memang masih melembaga dalam masyarakat Minangkabau, bahkan dianggap sebagai titik awal perubahan pandangan yang lebih luas, sentrifugal, dan pembaharu bagi setiap individu yang melakukannya serta untuk masyarakat keseluruhan serta lingkungan inti mereka yakni Alam Minangkabau. Dewasa ini, masyarakat tradisional lebih terbuka. Konotasi merantau sebagai sebuah fenomena sosial kiranya telah berubah dan melebar, dimana seseorang dikatakan merantau jika bermigrasi di luar wilayah budayanya (Naim, 2009). 99

PERSPEKTIF SOSIOLOGI, VOL. 4, NO. 1, JANUARI 2016

METODE PENELITIAN Jenis Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif, yang bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan lebih dalam mengenai manifestasi misi budaya perantauan dan pola-pola migrasi penjahit minang perantauan. Penelitian dilakukan di Kelurahan Lau Cimba Kecamatan Kabanjahe Kabupaten karo. Adapun teknik pengambilan data dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam, observasi,

dan dokumentasi.

Data

yang diperoleh dari ketiga

sumber tersebut,

diinterpretasikan dalam bentuk narasi dan deskripsi. Informan dalam penelitian ini berjumlah sebelas orang yang terdiri dari sembilan perantau Minangkabau pemilik usaha jahit dan dua orang perantau Minangkabau yang merupakan karyawan jahit.

INTERPRETASI DATA Pola-Pola Migrasi Penjahit Minang Perantauan di Kelurahan Lau Cimba Kecamatan Kabanjahe Pola migrasi adalah tindakan baku yang dilakukan migran perantau secara berulangulang yang menggambarkan informasi awal mereka merantau sampai pada tahap bagaimana perkembangan kehidupan mereka di daerah rantau. Pola migrasi yang dilakukan penjahit minang perantauan di Kelurahan Lau Cimba Kecamatan Kabanjahe Kabupaten Karo diantaranya adalah migrasi inter-intra kota yang mereka lakukan, gambaran dunia usaha jahit, pengiriman remitan, dan aktivitas pulang kampung penjahit minang perantauan. 1. Migrasi Inter-Intra Kota Migrasi intra-interkota atau migrasi tahapan dilakukan oleh beberapa informan penjahit minang perantauan. Sebagian dari mereka pergi keluar dari kampung halaman tidak secara langsung mendatangi Kota Kabanjahe sebagai kota tujuan awal akan tetapi sudah pernah merantau ke beberapa tempat lain sebelumnya seperti ke kota Jambi, Pekanbaru, Dumai, Jakarta, dan Medan. Selain itu, para penjahit minang perantauan juga melakukan migrasi interkota atau perpindahan tempat tinggal yang dilakukan dalam rantau kota yang sama yaitu kota Kabanjahe. Migrasi interkota ini dilakukan sedikitnya sebanyak tiga sampai empat kali dan sebagian dari mereka melakukan migrasi interkota atau perpindahan tempat tinggal dalam satu kawasan pemukiman yang sama yaitu Kelurahan Lau Cimba. Penyebab utama migrasi interkota adalah posisi penjahit minang perntauan sebagai pendatang yang tentunya belum memilki rumah sendiri di daerah rantau sehingga harus mengontrak. 100

PERSPEKTIF SOSIOLOGI, VOL. 4, NO. 1, JANUARI 2016

2. Gambaran Dunia Usaha Jahit Penjahit Minang Perantauan di Kelurahan Lau Cimba Usaha jahit jas, blazer dan pakaian pria yang lebih dikenal dengan usaha jahit Tailor telah ditekuni oleh para perantau minang di Kecamatan Kabanjahe selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Semua penjahit minang perantauan yang memiliki usaha jahit, khususnya usaha jahit Tailor sudah berumur diatas empat puluh tahun dan merupakan generasi pertama yang langsung merantau dari kampung asal. Pada awalnya penjahit minang perantauan ini, pergi merantau tanpa skill menjahit sama sekali. Penjahit minang perantauan tersebut mulai menekuni dunia jahit secara bertahap. Mulai dari belajar mengerjakan atau menjahit yang sederhana sampai akhirnya mereka mahir dan mampu menerima jahitan sendiri. Hal ini dipertegas Bapak Masrizal Tanjung, penjahit minang perantauan asal Desa Cubadak Air, Kabupaten Pariaman dalam wawancara sebagai berikut: “Awalnya saya cuma bantu-bantu abang ipar saya, sambil sedikit-sedikit belajar. Lama kelamaan semakin paham, yang awalnya cuma motong aja, kemudian paham lagi cara menjahit. Karena udah lumayan, abang ipar itu mempercayakan beberapa jahitan sama saya. Begitulah seterusnya, makin banyak yang dijahit tentu ilmunya semakin banyak didapat. Kakak sama abang ipar saya itu udah pindah ke Medan sekarang. Saya yang melanjutkan usaha jahitnya ini kongsi sama abang atasan saya. Karena beberapa tahun yang lalu abang saya itu pindah tinggal ke kampung istrinya. Usaha inipun tutup, saya jadi karyawan di tempat jahit perantau lain”. (Wawancara 11 Juni 2014) Peluang usaha jahit di Kota Kabanjahe yang cukup besar, terlihat dari respon pasar. Banyak pelanggan yang menempah jas untuk acara-acara tertentu. Penjahit minang perantauan mengemukakan berbagai alasan dalam pemilihan profesi penjahit yang saat ini mereka lakoni. Seperti terangkum dalam wawancara Bapak Ariz Chaniago, penjahit minang perantauan asal Pariaman dalam wawancara sebagai berikut: “Kalau pekerjaan jahit ini, disitu pula yang pas apak rasa. Kenalan-kenalan apak selama disini penjahit. Jadi penjahitlah yang apak tahu terus pelajari selama ini. Lagian kalau pendatang di Karo ini banyak sekali mengaron istilahnya ke ladangladang orang atau kerja sama orang Cina. Orang Minang ini suka gengsi, jangankan menjadi aron (buruh tani di ladang orang lain), kerja bantu-bantu di rumah makan ajapun nggak betah, apalagi mengaron. Pantang kali rasanya disuruh-suruh itu. Maunya merdeka aja. Biarpun tak banyak uangnya”. (Wawancara 12 Juni 2014) Untuk mempertahankan eksistensi usaha jahit mereka, para penjahit minang perantauan di Kabanjahe ini dituntut untuk selalu kreatif dan dinamis dalam menjalankan 101

PERSPEKTIF SOSIOLOGI, VOL. 4, NO. 1, JANUARI 2016

usahanya. Persaingan pasar yang semakin ketat ditambah lagi banyaknya pakaian jadi yang dijual di Pusat Pasar Kabanjahe dengan harga yang lebih terjangkau turut berdampak pada semakin berkurangnya pendapatan penjahit minang tersebut. 3. Pengiriman Remitan Remitan yang dikirim ke kampung halaman tidak dikirim rutin pada waktu tertentu akan tetapi dimaksudkan untuk moment-moment tertentu. Enam dari sebelas informan jahit yang saya tanya mengirim remitan ke kampung halaman berkisar satu sampai dua juta rupiah sisanya berkisar dibawah satu juta rupiah. Remitan yang dikirim oleh penjahit minang perantauan ke kampung halaman pada umumnya bertujuan untuk membantu keluarga dikampung, untuk membiayai peringatan siklus hidup seperti pesta perkawinan (alek), membayar hutang, penanaman modal (investasi) seperti membangun rumah dan sebagai modal usaha kerabat di kampung, dan untuk jaminan hari tua bila kelak kembali ke kampung halaman.

4. Gambaran Aktivitas Pulang Kampung Penjahit Minang Perantauan di Kelurahan Lau Cimba Pulang kampung dianggap perantau sebagai ajang untuk kembali memperbaiki ikatan yang selama ini merenggang akibat terpisah secara fisik dengan daerah asal mereka. Akan tetapi, tidak semua penjahit minang perantauan di Kelurahan Lau Cimba dapat melakukan tradisi pulang kampung setiap tahunnya. Aktivitas pulang kampung juga harus mempertimbangkan berbagai kondisi seperti keuangan yang cukup dan ketersediaan waktu luang. Tidak jarang intensitas pulang kampung menurun diakibatkan kondisi rantau yang tidak memungkinkan untuk melakukan pulang kampung setiap tahunnya. Hampir semua penjahit minang perantauan mengungkapkan bahwa menurunnya intensitas pulang kampung dipengaruhi kondisi dan situasi rantau tempat mereka menetap. Semakin jarangnya perantau pulang kampung seiring dengan semakin sibuknya mereka mengurus usaha mereka di rantau. Aktivitas pulang kampung sering mereka lakukan di awal-awal merantau ketika para penjahit minang perantauan ini masih belum terlalu terikat dengan pekerjaan dan kehidupan di rantau. Akan tetapi setelah berkeluarga di rantau atau setelah memboyong istri ke rantau kegiatan pulang kampung tidak lagi menjadi prioritas utama tahunan mereka. Tradisi pulang kampung yang dilakukan penjahit minang perantauan paling sering pada moment hari-hari besar, misalnya hari besar keagamaan serta penyelenggaraan upacara 102

PERSPEKTIF SOSIOLOGI, VOL. 4, NO. 1, JANUARI 2016

yang berhubungan dengan adat oleh orang yang tinggal dikampung. Salah satu moment pulang kampung yang paling dinantikan adalah waktu menjelang ramadhan dan waktu perayaan tahun baru Islam. Karena pada saat-saat demikian mereka dapat menyaksikan langsung tradisi malamang (membuat makanan tradisional lemang dan membagikannya ke warga), mandi balimau (mandi ke sungai beramai-ramai untuk membersihkan diri saat menyambut bulan puasa) ataupun tradisi tabuik (karnaval perayaan tahun baru islam) yang tidak mungkin bisa mereka saksikan di rantau. Selain itu acara pesta pernikahan kerabat dan sanak saudara juga dijadikan moment pulang kampung dan bersilaturahmi baik dengan keluarga yang tinggal dikampung atau dengan kerabat di rantau yang lain. Pulang kampung juga menjadi moment untuk menikmati suasana nostalgia dengan kampung dan reuni serta bertukar kabar dengan orang yang tinggal di kampung. Akan tetapi, pada masa sekarang ini sudah terjadi pergeseran makna pulang kampung itu sendiri seiring dengan berubahnya cara mereka merantau yang cenderung Merantau Cino. Penjahit minang perantauan menganggap pulang kampung bukan seperti kembali ke kampung dimana mereka berasal akan tetapi hanya bersifat mengunjungi dan menjalin silaturrahmi yang renggang selama di rantau. Jalinan silaturrahmi itu ditunjukkan dengan mengunjungi kerabat-kerabat di kampung dan bernostalgia serta bertukar kabar dengan orang-orang yang tinggal di kampung. Manifestasi Misi Budaya Perantauan Etnis Minangkabau di Kelurahan Lau Cimba Penjahit Minang perantauan di Kelurahan Lau Cimba, ketika merantau masih berusia awal dua puluhan dan berstatus belum menikah. Kebanyakan penjahit Minang perantauan tidak berpendidikan tinggi. Disamping itu, perantauan yang mereka lakukan juga tidak dibekali oleh keterampilan yang cukup yang mereka bawa dari kampung. Hal ini membuat mereka untuk tidak muluk-muluk dan tidak menetapkan standart yang tinggi dalam pemilihan profesi di rantau, meskipun sebagian besar perantau menolak untuk kerja sebagi pesuruh atau pembantu. Bagi para perantau Minangkabau termasuk penjahit Minang perantauan di Kelurahan Lau Cimba, merantau merupakan bentuk eksistensi diri untuk menjadi seorang yang merdeka. Oleh karena itu, mereka akan selalu berusaha mencari profesi yang bersifat bebas, merdeka, dan tidak terikat sehingga dapat menjalankan perantauan dan pekerjaan sesuai keinginan dan tanpa kekangan apalagi diperintah. Hal ini juga menjadi alasan bagi penjahit minang perantauan untuk menggeluti profesi menjahit dan bertahan hingga kini. Belajar menjahit, menjadi karyawan jahit, hingga akhirnya mendirikan usaha jahit sendiri bagi sebagian 103

PERSPEKTIF SOSIOLOGI, VOL. 4, NO. 1, JANUARI 2016

perantau minang mereka tempuh dalam kurun waktu yang lama. Belajar menjahit mereka awali dengan mengerjakan jahitan-jahitan yang sepele atau biasa mereka sebut nempelnempel (seperti memasang risleting, memendekkan celana, menjahit baju yang sobek, memasang kancing dan pekerjaan-pekerjan lainnya. Sedikit demi sedikit mereka mulai belajar dan menguasai tahap demi tahap proses menjahit pakaian hingga akhirnya dipercaya menjahit satu potong baju dari mulai mengukur sampai selesai menjahit. 1. Alam Kosmologis Minangkabau dan Alam Rantau Bagi penjahit minang perantauan di Kelurahan Lau Cimba, hidup di rantau memiliki arti yang berbeda dengan hidup di kampung halaman. Terdapat perbedaan yang mendasar antara hidup di kampung dan di rantau. Di rantau, mereka harus dihadapkan dengan kemajemukan masyarakat dan pekerjaan yang lebih beragam. Hal ini sesuai dengan wawancara Bapak Abizar Manda sebagai berikut: “Beda disini sama di kampung, kalau di kampung itu enak memang, tapi di kampung itu hidup biasa-biasa aja, begitu-begitu aja, kerjapun Ustad, tukang panjat kelapa, atau berladang. Kalau di rantau keras memang hidup. Orang yang dihadapi pun beda-beda tapi banyak yang bisa dikerjakan”. (Wawancara 14 Juni 2014) Lama di perantauan tidak membuat para perantau melepaskan kewajiban terhadap kampung halamannya. Kewajiban tersebut diwujudkan melalui penyaluran bantuan kepada alam Minangkabau dari apa yang didapat di rantau, baik materiil maupun immateriil. Kontribusi terhadap kampung halaman atas apa yang didapat di rantau merupakan bagian penting dalam perantauan mereka. Perantau yang acuh terhadap kampung dianggap tidak punya malu, meskipun tidak membantu kampung, setidak-tidaknya perantau mampu membantu keluarga nasab ibunya di kampung. Terkadang kontribusi yang diberikan tidak hanya terhadap keluarga dan kerabat dekat di kampung ataupun keluarga dari nasab ibu saja, namun juga dalam jangkauan yang lebih luas yakni bantuan kepada kampung halaman seperti bantuan terhadap sarana dan prasarana yang ada dikampung seperti perbaikan rumah ibadah dan kantor wali nagari. Seiring dengan berubahnya kondisi rantau dan lamanya perantau menetap di rantau, terdapat pula perubahan ikatan yang mereka rasakan terhadap kampung halaman. Baik itu ikatan ketika di awal-awal perantauan ataupun saat sekarang ini dimana mereka sudah menetap di daerah rantau selama berpuluh tahun lamanya. Aktivitas pulang kampung sendiri juga berpengaruh terhadap ikatan para perantau terhadap alam kosmologis Minangkabaunya. Disamping itu, sebagian penjahit Minang masih ragu-ragu untuk pulang kampung secara 104

PERSPEKTIF SOSIOLOGI, VOL. 4, NO. 1, JANUARI 2016

permanen dan tinggal selamanya di kampung. Keraguan ini disebabkan tidak adanya yang bisa mereka kerjakan di kampung halaman kelak. Meskipun kampung halaman dianggap penting bagi para informan penjahit minang perantauan, namun alam rantau tidak kalah penting dari kampung halaman sebagai alam Minangkabau. Hal ini seperti diutarakan Bapak Murnis Sikumbang dalam wawancaranya sebagai berikut: “Daerah rantau ini penting juga, karena apak menjahit, dari situlah rezeki apak, pemasukan apak, kalau di kampung, sepandai apapun apak menjahit belum tentu terpakai, respon dari pasar tidak ada kalau di kampung”. (Wawancara 15 Juni 2014) Sebagai tempat menjalankan usaha, penjahit Minang perantauan juga merasa penting untuk memperkuat posisi mereka di rantau. Hal ini tampak pada keinginan mereka membeli tanah atau rumah di rantau sebagai bentuk investasi karena mereka berencana untuk menetap secara permanen di rantau. Banyak dari penjahit Minang perantauan yang memilih bertahan di rantau karena telah membina keluarga dan banyaknya saudara dan kerabat dekat yang turut tinggal di rantau yang sama. Dewasa ini, kondisi Kecamatan Kabanjahe sebagai rantau para penjahit Minang telah demikian berubah dan adakalanya perubahan-perubahan tersebut menghadang para perantau dan mereka harus siap mengkondisikan keadaan mereka sesuai dengan yang terjadi di rantau. Begitu sulitnya kehidupan di rantau membuat mereka juga harus memprioritaskan alam rantau sebagai tempat mereka mencari kehidupan selama ini. Mereka menyesuaikan lagi kehidupan di rantau dengan melakukan investasi dan kecenderungan tinggal di rantau dalam jangka waktu yang lama atau bahkan secara permanen. Hal ini disebabkan semakin tingginya tantangan di rantau yang harus mereka hadapi demi dapat bertahan di rantau. Hal ini seperti terungkap melalui wawancara dengan Bapak Masrizal Tanjung sebagai berikut: “Tantangannya, mungkin persaingan makin ketat. Penjahit ‘kan dimana-mana sekarang di Kabanjahe ini. Kita harus mengikuti perkembangan jaman lah. Dunia jahit ini berkembang. Kayak misal mode-mode jas ini pun makin banyak macamnya, ya harus dikuasai juga lah. Supaya nggak ketinggalan sama yang lain”. (Wawancara 11 Juni 2014) 2. Budaya Matrilineal dan Perubahannya di Rantau Bagi penjahit Minang perantauan, budaya dan sistem matrilineal yang mereka pegang teguh cukup memiliki pengaruh yang kuat dalam mendorong kepergian mereka merantau meskipun hal tersebut tidak semata-mata menjadi alasan utama mereka merantau. Dewasa ini, bahkan orang Minang melakukan perantauan karena berbagai alasan seperti pendidikan. 105

PERSPEKTIF SOSIOLOGI, VOL. 4, NO. 1, JANUARI 2016

Tidak hanya laki-laki, kini perempuan Minang pun sudah lazim merantau, tidak hanya ikut suami tapi juga karena ingin meniti karir dan melanjutkan pendidikan. Secara tradisional, masing-masing laki-laki di Minangkabau merupakan seorang mamak yang berperan sebagai pemimpin dalam keluarga asalnya (keluarga pihak ibunya) dan mempunyai tanggungjawab untuk menjaga dan melindungi semua saudara perempuannya dan anak dari saudara-saudara perempuannya, baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Sebagai seorang mamak, laki-laki di Minangkabau berkewajiban memenuhi kebutuhan materi saudara-saudara perempuannya beserta anak-anak mereka. Akan tetapi keadaan di rantau tentu jauh berbeda dengan di kampung halaman. Tinggal di luar teritorial alam Minangkabau membuat perantau secara otomatis terlepas dari ikatan dan aturan adat. Di rantau, peran mereka sebagai mamak juga berubah sedemikian rupa. Peran Mamak yang mereka emban tidak lagi berfungsi secara optimal di rantau, tanggung jawab adat mereka di rantau semakin berkurang karena mereka tidak lagi mengurus satu Rumah Gadang serta seluruh keluarga nasab ibu mereka. Penjahit minang perantauan ini juga tidak lagi bertanggung jawab atas kelangsungan hidup kemenakan-kemenakannya melainkan bertanggung jawab atas keluarga inti mereka sendiri di rantau. 3. Merantau Cino Para penjahit minang perantauan beranggapan tipe perantauan Cino yang banyak dilakukan oleh perantau Minangkabau dewasa ini bukanlah cara merantau yang baik. Akan tetapi, dimasa sekarang ini Merantau Cino juga tidak dapat dihindari karena kondisi rantau dan usaha di rantau tidak memungkinkan untuk bolak-balik dalam waktu yang singkat ke kampung halaman. Disamping itu Merantau Cino semakin banyak dilakukan perantau karena mereka mulai merasa betah dengan kondisi yang mereka rasakan di rantau seiring berkembangnya usaha perantau dan sulitnya untuk berpindah rantau dan memulai usaha dari awal kembali. Perantau bujang yang kemudian menikah di kampung akhirnya memutuskan membawa istri ke rantau dengan berbagai alasan seperti sulitnya jika tinggal berjauhan dengan istri setelah menikah serta akan memakan banyak biaya untuk pulang kampung. Perubahan dalam Misi Budaya Penjahit Minang Perantauan di Kelurahan Lau Cimba Kecamatan Kabanjahe Gambaran perubahan misi budaya penjahit minang perantauan ini secara ringkat dapat dilihat dalam matriks dibawah ini:

106

PERSPEKTIF SOSIOLOGI, VOL. 4, NO. 1, JANUARI 2016

Misi Budaya Perantauan Sebelumnya Misi budaya utama perantau Minangkabau adalah memperkaya dan memperkuat alam kosmologis Minangkabau dengan cara mengalihkan hasil pencarian dari alam rantau ke alam kosmologis Minangkabau

Misi budaya Perantauan Sekarang

Keterangan

Misi budaya perantau minangkabau tidak hanya memperkaya dan memperkuat alam kosmologis Minangkabau tetapi juga memperkuat dan mengembangkan usaha di rantau. Misi budaya ini lebih mirip misi budaya perantau etnis mandailing yaitu perluasan kampung halaman dimana alam rantau yang mereka kuasai merupakan bagian integral dari kmpung halaman.

 Penjahit minang perantauan, selain berusaha mengalihkan hasil pencarian dengan cara pengiriman remitan akan tetapi juga memperkuat dan mengembangkan usaha jahit mereka di rantau dengan membuka usaha di kios-kios dan menanamkan modal yang besar dalam usaha jahit mereka.  Sebagian perantau minang lainnya merintis usaha rumah makan atau berdagang di pusat pasar

Bagi perantau Minangkabau, diantara dua alam kosmologis yang mereka kenal yaitu alam kosmologis Minangkabau dan Alam rantau, Kampung halaman mereka yakni alam Minangkabau adalah yang utama dibanding dengan alam rantau Misi budaya perantauan seharusnya menimbulkan pola merantau sirkuler (bolak-balik) karena mereka harus mengalihkan hasil pencarian dari rantau ke kampung halaman

Bagi perantau Minangkabau sekarang, baik alam kosmologis Minangkabau maupun alam rantau adalah dua tempat yang sama pentingnya. Rantau sebagai basis usaha mereka juga tidak kalah pentingnya dibanding alam Kosmologis minangkabau

 Penjahit minang perantauan di Kelurahan Lau Cimba mengakui meski kampung halaman sangat penting sebagai tapian mandi (tempat tumbuh besar dan penuh kenangan) mereka tetapi rantau Kabanjahe juga penting sebagai tempat mereka berusaha

Pola merantau yang dilakaukan perantau Minangkabau berubah menjadi Merantau Cino (merantau permanen/ setengah permanen)

Penekanan investasi dilakukan di kampung halaman sebagai Alam kosmologis perantau meskipun hal tersebut tampak kurang produktif

Penekanan investasi dilakukan di alam rantau sebagai bentuk penguatan usaha dan kehidupan di rantau

 Bagi penjahit minang perantauan di Kelurahan Lau Cimba, sangat sulit untuk merantau sirkuler (bolakbalik) karena akan mengganggu perkembangan usaha jahit mereka di rantau  Bagi penjahit minang perantauan, perantauan Cino sulit dihindari karena perlunya basis yang kuat demi keberlangsungan usaha di rantau  Penjahit minang perantauan di Kelurahan Lau Cimba membeli rumah dan tanah di rantau  Penjahit Minang Perantauan melakukan penanaman modal dalam usaha jahit mereka

Bagi perantau Minangkabau, rantau adalah tempat tinggal sementara sedangkan kampung halaman adalah tempat kembali kelak

Rantau dipandang sebagai tempat tinggal permanen

 Penjahit minang perantauan di Kelurahan Lau Cimba enggan pulang kembali ke kampung halaman karena muncul keraguan akan apa yang dikerjakan kelak jika kembali ke kampung halaman

Bagi perantau Minangkabau, aktivitas pulang kampung merupakan moment pengalihan hasil usaha di rantau ke kampung halaman.

Aktivitas pulang kampung sebagai kunjungan dan silaturrahmi sekaligus merupakan penebusan rasa bersalah kepada orang yang tinggal di kampung karena mungkin kelak mereka tidak akan kembali tinggal di kampung

 Penjahit minang perantauan melakukan aktivitas pulang kampung tidak lagi rutin setiap tahunnya dan  Pulangkampung dianggap sebagai ajang berkunjung dan silaturahmi kepada keluarga dan erabat di kampung

107

PERSPEKTIF SOSIOLOGI, VOL. 4, NO. 1, JANUARI 2016

Salah satu penyebab dari Merantau Cino adalah kegagalan memenuhi misi budaya perantauan mereka sehingga harus larut di rantau

Pola Merantau Cino yang sekarang lebih disebabkan oleh semakin mapan dan suksesnya usaha perantau di rantau sehingga ragu untuk kembli pulang dan tinggal di kampung secara permanen

 Perantauan Cino penjahit minang perantauan di Kelurahan lau Cimba disebabkan oleh kian mapannya usaha di rantau, bukan karena mereka gagal sehingga larut di rantau

Peran dan tanggung jawab mamak sangat kuat dalam keluarga nasab ibunya termasuk tanggungjawab terhadap kehidupan kemenakan-kemenakannya

Peran dan tanggung jawab mamak yang tinggal di rantau telah berbuah. Tanggung jawab terhadap keluarga nasab ibunya serta kemenakankemenakannya berkurang sementara tanggung jawab mereka sebagai ayah semakin kuat karena mereka tinggal bersama keluarga inti di rantau

 Penjahit minang perantauan di Kelurahan lau Cimba yang merupakan seorang mamak tidak lagi mengatur kehidupan kemenakan dan keluarga nasab ibunya.  Penjahit minang perantauan lebih bertanggung jawab terhadap keluarga inti mereka di rantau sebagai suami, ayah, dan sebagai kepala keluarga

KESIMPULAN DAN SARAN Penjahit Minang perantauan di Kelurahan Lau Cimba Kecamatan Kabanjahe melakukan pola-pola migrasi diantaranya migrasi intra-interkota, pengiriman remitan ke kampung halaman untuk keperluan-keperluan seperti sumbangan alek (pesta pernikahan), perayaan mauluik (perayaan Maulid nabi Muhammad), atau untuk perbaikan rumah pusako dan makam, mereka juga melakukan aktivitas pulang kampung pada moment-moment tertentu. Selain itu terdapat pula perubahan misi budaya perantauan yang mereka lakukan dimana misi budaya tersebut tidak hanya memperkaya dan memperkuat alam kosmologis Minangkabau tetapi juga memperkuat dan mengembangkan usaha di rantau. Misi budaya ini lebih mirip misi budaya perantau Etnis Mandailing yaitu perluasan kampung halaman dimana alam rantau yang mereka kuasai merupakan bagian integral dari kampung halaman. Alam rantau sebagai basis usaha jahit mereka dianggap tidak kalah penting dibanding alam kosmologis Minangkabau sehingga penjahit Minang perantauan di Kelurahan Lau Cimba cenderung Merantau Cino (merantau permanen/ setengah permanen). Peran dan tanggung jawab mamak (paman; saudara laki-laki ibu) bagi penjahit minang perantauan di daerah rantau juga mengalami perubahan dimana peran mamak pada diri mereka hanya sebatas simbol dan tanggung jawab mereka lebih terpusat pada keluarga inti sendiri di rantau. Adapun saran dari peneliti yaitu diharapkan adanya penelitian lanjutan mengenai perantau etnis Minangkabau di Kecamatan Kabanjahe yang dilakukan oleh mahasiswa, khususnya mahasiswa Departemen Sosiologi. Hal ini dikarenakan peneliti menemukan masih banyak hal yang dapat digali, mengenai kehidupan para perantau Minangkabau.

108

PERSPEKTIF SOSIOLOGI, VOL. 4, NO. 1, JANUARI 2016 DAFTAR PUSTAKA

Elfindri dkk. 2010. Minang Entrepreneurship: Filosofi dan Rahasia Sukses Etnis Minang membangun Karakter Kewirausahaan. Jakarta: Boduose Media Kato, Tsuyoshi. 2005. Adat Minangkabau dan Merantau: dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: Balai Pustaka.

Koentjaraningrat. 2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Cetakan ke-9. Jakarta: Gramedia. Murad, Auda. 1980. Merantau: Outimigration in Matrilineal Society of West Sumatera. Canberra: Australian National University. Naim, Mochtar. 2013. Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau. Edisi Ketiga. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Narwoko, J. Dwi. Bagong Suyanto(Ed). 2010. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Prenada Media Group. Pelly, Usman. 1994. Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. Jakarta: PT Pustaka LP3ES Sairin, Sjafri. 2002. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Soekanto, Soerjono. 2009. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada Sumber Lain: Ermansyah dan Innike Rahma Dewi. 2007. Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3): Studi Deskriptif tentang Fungsi Organisasi Sosial Suku Bangsa Minangkbau di Kota Medan. Medan: Jurnal Harmoni Sosial Volume 1. Nomor 1. Januari 2007. Repository.usu.ac.id

109