MASTITIS MIKOTIK DI INDONESIA

Download pada paparan ini perlu diketahui etiologi, penyebaran, patogenesis, gejala klinis, diagnosa penyakit dan ... Mastitis mikotik adalah penyak...

0 downloads 479 Views 506KB Size
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011

MASTITIS MIKOTIK DI INDONESIA (Mycotic Mastitis in Indonesia) RIZA ZAINUDDIN AHMAD Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata No. 30 Bogor 16114

ABSTRACT Mycotic mastitis is caused by pathogenic fungi (mold and yeast). This disease leads to loss to dairy cattle as it caused deterioration of milk. These cases in Indonesia was reported during 1985 – 1987 and it is assumed that it is still present until now. This case is difficult to be recognized because it commonly has subclinical symptom and the disease appeared chronicly. Due to the importance of the disease therefore this paper explains the etiology, distribution, pathogenesis, clinical symptoms, diagnosis and control of the disease to reduce and eradicate mycotic mastitis in Indonesia. Key Words: Mastitis, Mycotic, Indonesia ABSTRAK Mastitis mikotik disebabkan oleh cendawan patogenik (kapang dan khamir). Penyakit ini merugikan bagi ternak sapi perah karena rusaknya kualitas susu. Kasus-kasus ini di Indonesia dilaporkan pada periode tahun 1985 – 1987, tetapi diduga hingga kini kasusnya masih ada. Kasus ini sulit diketahui karena umumnya bergejala subklinis dan onset penyakitnya bersifat kronis. Mengingat pentingnya penyakit tersebut, maka pada paparan ini perlu diketahui etiologi, penyebaran, patogenesis, gejala klinis, diagnosa penyakit dan pengendaliannya untuk membantu memusnahkan mastitis mikotik di Indonesia. Kata Kunci: Mastitis, Mikotik, Indonesia

PENDAHULUAN Mastitis adalah peradangan pada jaringan internal ambing atau kelenjar mammae oleh mikroba, zat kimiawi dan luka akibat mekanis atau panas. Mastitis juga merupakan penyakit yang umum terjadi pada peternakan sapi perah di seluruh dunia dan secara nyata menurunkan produksi susu (BLOMQUIST, 2008; DUVAL, 1997; MCDONALD, 2009; RAZA, 2009). Mastitis mikotik adalah penyakit mastitis yang disebabkan oleh infeksi cendawan patogenik (kapang dan khamir) (JAVIE dan NIKKI, 2003; SPANAMBERG et al., 2009; CHAHOTA et al., 2001). Kasus ini biasanya terjadi akibat pengobatan antibiotika yang tidak terkontrol dan lingkungan perkandangan, serta manajemen yang kurang baik dan kotor. Meskipun mastitis mikotik prevalensinya kecil namun diperkirakan dapat mencapai 2 – 3% dari keseluruhan kasus mastitis. Kasus mastitik mikotik harus diwaspadai karena umumnya bersifat subkinis dan kronis. Mastitis pada sapi perah

mengakibatkan kerugian yang besar dalam produksi susu, kualitas dan komposisi susu, sehingga menimbulkan kerugian ekonomi yang besar nilainya (MCDONALD, 2009; STANOJEVIC dan KRANJAJIC, 2009; THOMPSON et al., 1978; VESTWEBER dan LEIPOLD, 1995). Cendawan patogen sebagai penyebab penyakit sering dilupakan bila terjadi kasus mastitis. Umumnya pengobatan hanya diberikan antibiotika yang efektif untuk membunuh bakteri penyebab radang ambing tersebut, sehingga pengobatan mastitis tidak tuntas bila penyebab utamanya karena cendawan belum dimusnahkan. Meskipun kasus-kasus mastitis mikotik banyak terdapat di berbagai belahan dunia seperti di Inggris yang merupakan masalah no. 3 terbesar pada sapi perah yang cukup sulit pengendaliannya (AINSWORTH dan AUSTWICK, 1959; UNIVERSITAS READING, 2009), namun di Indonesia sangat jarang dipublikasikan (HASTIONO et al., 1983; NATALIA dan HASTIONO, 1985; SUDARWANTO, 1987). Hasil

403

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011

penelitian HASTIONO et al. (1983), dari 25 ekor sapi perah dan yang 22 ekor bergejala klinis, diperoleh 100 sampel air susu dengan 20 sampel positif mengandung cendawan. Selanjutnya SUDARWANTO (1987) pada peternakan rakyat menemukan kasus mastitis mikotik pada sapi perah di Bogor, Sukabumi dan Cianjur. Dari 161 ekor sapi perah dengan 65% menunjukkan gejala klinis mastitis diperoleh 344 sampel air susu dengan 33,7% positif ditemukan cendawan (kapang dan khamir). Dua puluh tiga tahun kemudian AHMAD dan GHOLIB (2011) melaporkan dari 40 ekor sapi perah dengan 2 ekor yang bergejala klinis diperoleh 160 sampel air susu dengan 60 sampel mengandung cendawan. Cendawan patogen tersebut dari 3 hasil penelitian di atas umumnya didominasi oleh khamir Candida sp. dan Saccharomyces sp. dengan prevalensi kasus pada tahun 1983, 1987 dan 2010 secara berurutan: 20; 33,7 dan 37,5%.

Mengingat Indonesia negara tropis yang lembab dan hangat maka cendawan akan mudah tumbuh. Cemaran cendawan patogenik dan toksigenik ditemukan pada bahan pakan, pakan dan lingkungan (AHMAD, 2009). Hal ini memungkinkan dapat terjadinya cemaran di mana-mana, termasuk di kandang sapi yang pada akhirnya dapat menginfeksi ambing sapi. Kemungkinan pada tahun 2011 ini masih dapat ditemukan atau terus bertambah jumlahnya karena umumnya kasus mastitis mikotik ini tergolong mastitis subklinis. Hanya saja mungkin belum dilaporkan atau dipublikasikan kembali, kemungkinan lain mungkin tidak terdeteksi atau diketahui oleh peternak. Di Bogor saja ditemukan kasus mastitis mikotik di Kebon Pedes (AHMAD dan GHOLIB, 2011) Tujuan dari penulisan ini untuk memaparkan pentingnya mastitis mikotik, serta diharapkan menambah pengetahuan tentang pengendalian mastitis secara total sehingga pada akhirnya kasus mastitis mikotik di Indonesia dapat ditanggulangi.

Tabel 1. Etiologi dan kejadian penyakit mastitis mikotik Genus agen penyebab mastitis mikotik 1

2

3

4

5

6

+ +

7

8

+ +

+

+

+

+

+

+

+ +

9

10

11

12

13

+

Pustaka

+

Amerika

FARNSWORTH dan SORENSEN (1972)

+

Belanda

OVERGOOR dan VOS (1983); VEEN dan KREMER (1992)

Brazil

COSTA et al. (1993); SPANAMBERG et al. (2008)

Denmark

AALBAEK et al. (1994)

Indonesia

HASTIONO et al. (1983); NATALIA dan HASTIONO, (1985)

India

CHAHOTA et al. (2001);

+

+

+

+

+ +

Negara tempat kejadian

+

+

+

TARFAROSH (2008) + +

+

+

+

PUROHIT

Israel

ELAD et al. (1995)

Polandia

KRUKOWSKI et al. (2006) KRUKOWSKI (2003)

+

dan

Yugoslavia

dan

SABA

STANOJEVIC dan KRANJAJIC (2009)

+: Positif; 1: Aspergillus spp.; 2: Penicillium spp.; 3: Alternaria spp.; 4: Phoma spp.; 5: Epicocum spp.; 6: Geotrichum spp.; 7: Cryptococcus spp.; 8: Rhodoturulla spp.; 9: Candida spp.; 10: Trichosporon spp.; 11: Aerobasidium spp.; 12: Pichia spp.;13: Saccharomyces spp.

404

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011

Agen etiologi dan penyebarannya Meskipun pada umumnya mastitis disebabkan oleh bakteri, namun kadangkadang cendawan patogenik (kapang dan khamir) dapat juga menyerang ambing (SPANAMBERG et al., 2008). Penyebab mastitis mikotik ini dari golongan kapang patogenik (Aspergillus spp., Alternaria spp., Aerobasidium spp., Epicocum spp., Geotrichum spp., Penicillium spp., Phoma spp. dan Pichia spp.) dan golongan khamir patogenik (Candida spp., Cryptococcus sp., Rhodoturulla spp., Trichosporon spp. dan Saccharomyces spp.) namun umumnya kasus mastitis yang dominan adalah khamir khususnya Candida spp. (FARNSWORTH dan SORENSEN, 1972; HASTIONO et al., 1983; NATALIA dan HASTIONO, 1985; COSTA et al., 1993; SPANAMBERG et al., 2008; CHAHOTA et al., 2001; TARFAROSH dan PUROHIT, 2008; KRUKOWSKI et al, 2006; KRUKOWSKI dan SABA, 2003). Adapun penyebarannya dapat

terjadi di seluruh dunia (Tabel 1), meliputi Amerika, Belanda, Brazil, Denmark, Indonesia, India, Israel, Polandia dan Yugoslavia. Meski penyebaran dapat terjadi di seluruh dunia namun kejadiannya lebih banyak ditemukan di daerah tropis. Di Indonesia juga pernah dilaporkan temuan Candida spp. yang menginfeksi sapi produktif pada tahun 1985 – 1987 (HASTIONO et al., 1983; NATALIA dan HASTIONO, 1985; SUDARWANTO, 1987). Beberapa isolat penyebab kasus mikotik yang ditemukan dapat dipelajari untuk pengendaliannya melalui pencegahan sampai pemusnahannya yang aman untuk hewan dan lingkungan seperti cendawan berikut ini: (1) Aspergillus spp.; (2) Penicillium spp.; (3) Trichosporon spp.; (4) Candida spp.; (5) Saccharomyces spp. yang diwarnai lactofenol blue dan (6) Cryptococcus spp. dengan pewarnaan tinta cina. Pengamatan ini dilakukan pada mikroskop dengan pembesaran 45 × 10 (Gambar 1).

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Gambar 1. Morfologi mikroskopik isolat-isolat cendawan yang ditemukan pada kasus mastitis Aspergillus spp. (1); Penicillium spp. (2); Candida spp. (3); Cryptococcus spp. (4); Trichosporon spp. (5); Saccharomyces spp. (6) (AHMAD, 2008)

405

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011

Patogenesis Proses infeksi mastitis pada sapi oleh bakteri atau cendawan terjadinya tidak banyak berbeda karena selalu dipengaruhi oleh faktor predisposisi seperti lingkungan, cemaran dan jalan masuknya mikroba (Gambar 2). Umumnya infeksi khamir oleh Candida sp. dan Cryptococcus sp. (STANOJEVIC and KRANJAJIC, 2009). Infeksi mastitis dapat terjadi melalui beberapa tahapan, yaitu pertama melalui kontak dengan mikroorganisme kemudian selanjutnya sejumlah mikroorganisme mengalami multiplikasi di sekitar lubang puting (sphincter), setelah itu dilanjutkan dengan masuknya mikroorganisme ke dalam jaringan akibat lubang puting yang terbuka ataupun karena adanya luka. Tahap selanjutnya terjadi respon imun pada induk semang. Respon pertahanan pertama ditandai dengan berkumpulnya lekosit-lekosit untuk mengeliminasi mikroorganisme yang telah menempel pada sel-sel ambing. Apabila respon ini gagal, maka mikroorganisme akan mengalami multiplikasi dan sapi dapat

Predisposisi: (1) Lingkungan yang kotor (2) Cemaran mikroba pada air & kotoran (3) Adanya jalan masuk ke ambing (perlukaan & invasi M.O.)

memperlihatkan respon yang lain, misalnya demam. Bila hewan lemah maka akan terjadi mastitis, bila hewan sehat maka hewan akan meningkatkan imunitas sehingga menimbulkan kekebalan dan pada akhirnya hewan akan tetap sehat (HURLEY dan MORIN, 2000; CHAMBERS, 2009). Candida sp. adalah khamir komensal yang berhabitat di daerah mukokutaneus, umumnya ada pada saluran pencernaan dan genital. Cryptococcus sp. ditemukan pada debu, kulit, dan saluran pencernaan hewan (STANOJEVIC dan KRANJAJIC, 2009). Bila hewan dalam kondisi sehat maka infeksi Candida sp. tidak berpengaruh dan hewan tidak akan terinfeksi. Namun bila hewan lemah maka hewan akan terinfeksi. Infeksi lain yang merupakan faktor predisposisi dapat berasal dari kanula, jarum, cemaran pada preparat antibiotika dan perlukaan. Umumnya infeksi cendawan patogen terjadi setelah pengobatan oleh antibiotika yang tidak tuntas, serta dapat juga terjadi dari cemaran lingkungan yang masuk ke ambing melalui puting susu yang tercemar oleh lingkungan kotor.

Candida sp., Cryptococcus sp.

Hewan yang peka

Kondisi hewan lemah

Kondisi hewan kuat

Imunitas menurun

Imunitas meningkat Ambing sakit (mastitis)

Ambing sehat

Gambar 2. Proses terjadinya mastitis (CHAMBERS (2009); STANOJEVIC and KRANJAJIC (2009)

406

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011

Gejala klinis Berdasarkan respon radang yang terjadi, mastitis dapat dibedakan menjadi: mastitis perakut, akut, subakut, subklinis dan kronis. Kasus mastitis subklinis merupakan mastitis yang paling umum terjadi, diperkirakan 15 – 40 kali lebih banyak dibandingkan dengan mastitis klinis (HURLEY dan MORIN, 2000; HURLEY, 2009; MORIN, 2009). Gejala klinis ditandai dengan adanya kelenjar ambing membengkak, udematus berisi cairan eksudat disertai tanda-tanda peradangan lainnya, seperti: suhu meningkat, kemerahan, rasa sakit dan penurunan fungsi. Namun seringkali sulit untuk mengetahui kapan terjadinya suatu peradangan, sehingga diagnosis terhadap mastitis harus dilakukan melalui pengujian pada produksi susunya, misalnya dengan melakukan penghitungan jumlah sel somatik (JSS) dalam susu (BRAMLEY, 1991). Terjadinya peradangan ditandai oleh perbarahan, panas, kemerahan, rasa sakit pada ambing, menurunnya produksi susu serta perubahan warna dan komposisi susu (MCDONALD, 2009; MORIN, 2009; HURLEY dan MORIN, 2000). Berdasarkan gejala yang nampak mastitis dapat digolongkan menjadi klinis dan yang tidak nampak gejala klinis (subklinis). Mastitis berdasarkan onset penyakit terbagi dalam mastitis perakut, akut, subakut dan kronis. Perakut ditandai dengan onset yang tiba-tiba, terjadi peradangan yang parah pada ambing, air susu berubah menjadi serous. Pada mastitis akut terjadi dengan tiba-tiba, peradangan pada ambing derajatnya sedang sampai parah. Mastitis subakut mempunyai reaksi peradangan yang ringan, tidak terlihat perubahan penampilan ambing, namun terjadi perubahan dari komposisi penampilan air susu, juga akan terjadi pecahnya permukaan susu. Terkadang susu tidak berwarna. Mastitis subklinis tidak jelas gejala klinisnya namun terkadang terjadi perubahan komposisi air susu. Pada mastitis kronis gejalanya seperti mastitis subkinis namun kejadiannya berlangsung lebih lama (MORIN, 2009). Menurut MACDONALD (2009) mastitis subklinis sangat berbahaya, dari setiap 1 kasus mastitis klinis terdapat 20 sampai 40 kali kejadian mastitis subklinis. Jika tidak ditangani dengan baik maka kasus mastitis subklinis pada akhirnya menjadi mastitis klinis dalam waktu yang cukup lama. Mastitis mikotik

umumnya tergolong kronis dan subklinis. Sehubungan dengan hal tersebut seringkali terjadi kesalahan dalam mendiagnosis sehingga terlambat penanganannya. Diagnosis penyakit Di dalam melakukan pengobatan terlebih dahulu harus ditentukan diagnosa mikroba agen penyebab penyakit, melalui isolasi dan identifikasi mikroba patogen yang mengakibatkan respon peradangan ambing. Masing-masing ambing umumnya berbeda ciri infeksinya. Akibat dari reaksi peradangan maka ambing akan menghasilkan air susu yang tidak normal. Secara tradisional peternak dapat mendeteksi sapi yang sehat atau menderita mastitis melalui pengamatan seperti ambing yang terlihat membengkakan, kemerahan, serta perubahan rasa dan bentuk air susu (HILLERTON, 2000). Mastitis klinis dapat dengan mudah dilihat gejala klinisnya yaitu adanya reaksi peradangan pada ambing. Sedangkan pada mastitis subklinis tidak nampak gejalanya sehingga perlu dikembangkan uji untuk mendeteksi mastitis dengan cara menghitung jumlah sel somatik yang terdapat pada air susu. Menurut BRAMLEY (1991) mastitis subklinis dapat didiagnosa bila jumlah sel somatik melebihi 200.000 sel/ml susu. Pada mastitis yang disebabkan oleh cendawan/fungi maka dilakukan tahap lanjutan yaitu isolasi dan identifikasi cendawan patogen dari air susu yang telah dikategorikan sebagai mastitis. Melalui gambaran morfologi mikroskopik dapatlah ditentukan genus/spesies cendawan tersebut sebagai contoh seperti pada Gambar 1. Selain itu mastitis klinis dapat dideteksi melalui palpasi terjadi pembengkakan dengan konsistensi keras pada ambing yang sakit. Untuk peneguhan diagnosa dapat pula dilakukan pemeriksaan perubahan patologi anatomi dan histopatologi bila hewan telah disembelih. Pada jaringan organ mammae yang terinfeksi akan ditemukan hifa atau spora kapang/cendawan yang menginfeksi jaringan. Pengendalian Di dalam pengendalian mastitis mikotik lebih baik dilakukan pencegahan dibandingkan

407

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011

dengan pengobatan karena lebih murah dan praktis juga akan lebih ekonomis. Pencegahan Di dalam melakukan pencegahan mastitis banyak yang dapat dilakukan dengan mudah dan sederhana oleh peternak seperti hal-hal berikut ini: (1) Memperbaiki lingkungan yang kotor agar menjadi baik dan bersih; (2) Menghindari sapi digembalakan pada lingkungan yang kotor; (3) Mencuci rumput lebih baik dari pada membuat kandang yang baru untuk menjamin pemberian pakan yang bersih; (4). Bila ada beberapa kasus mastitis maka harus diperhitungkan waktu pengobatan untuk proses penyembuhan; (5) Bila ada riwayat induk telah terkena mastitis maka keturunannya yang telah dewasa diperiksa/ dirawat 1 bulan sekali; (6) Melakukan prosedur pemerahan dengan baik dan benar. Hal ini dilakukan dengan cara: (a) Mempersiapkan sapi-sapi yang bersih dan sehat serta bebas stress di lingkungannya; (b) Memeriksa dan mendesinfektan alat pemerahan dan membersihkan ambing secara rutin; (c) Mencuci puting ambing, dan permukaan bawah ambing dengan larutan sanitasi yang hangat; (d) Melakukan dipping puting sebelum pemerahan minimal selama 1 menit; (e) Mengeringkan puting secara menyeluruh; (f) Mengatur dan memasang mesin alat pemerah otomastis dengan benar; (7) Dalam mengobati harus sampai tuntas dan area pengobatan harus bersih; (8) Melaksanakan metode kering kandang; (9) Melakukan culling untuk sapi penderita mastitis kronis; (10) Nutrisi harus diberikan dengan baik dan benar; (11) Konsultasi dengan ahli nutrisi untuk pengembangan rencana nutrisi; (12) Konsultasi dengan dokter hewan untuk rencana kesehatan hewan (BLOMQUIST, 2008; MC DONALD, 2009; RAZA, 2009). Pengobatan Sapi penderita mastitis dapat diobati dengan Nistatin dengan dosis 10 g/kuartir, obat diaplikasikan melalui puting sesudah selesai diperah, dan didesinfektan dengan larutan

408

povidin iodine, pengobatan dilakukan setiap hari selama 15 hari (STANOJEVIC dan KRNJAJIC. 2009). Selain itu dapat pula dipakai anti cendawan/fungi lainnya seperti Amphotericin, Clotrimasol, Fluorocitosin, Miconasol, Nistatin dan Polimixin (MCDONALD, 1987; KRUKOWSCI dan SABA, 2003; STANOJEVIC dan KRANJAJIC, 2009). Pengendalian melalui pencegahan akan lebih baik dari pada mengobati kasus mastitis. Pencegahan lebih murah secara ekonomis, lebih praktis penerapannya dari pada mengobati. Tidak ada efek resistensi ataupun sisa residu pada hewan. Pengetahuan tentang mastitis mikotik dan penyebabnya harus terus dipelajari. Oleh karena itu dengan paparan ini diharapkan pengendalian mastitis mikotik mudah diaplikasikan sehingga pada akhirnya kasus mastitis mikotik akan berkurang dan musnah. KESIMPULAN Mastitis mikotik di Indonesia pada umumnya merupakan mastitis yang bersifat subklinis dan kronis yang keberadaannya belum atau kurang mendapat perhatian, namun penyakit ini cukup berbahaya dan berdampak pada kerugian ekonomi. Pencegahan lebih baik dari pengobatan, maka melalui pencegahan yang baik, teratur dan terus menerus maka akan menekan terjadinya kasus. Diharapkan dengan pengetahuan tentang penyebab mastitis mikotik yang memadai maka kita akan dapat mengendalikan kasus yang terjadi. Selain itu kasus mastitis mikotik dapat dikurangi dan dimusnahkan dari Indonesia. DAFTAR PUSTAKA AALBAEK, B., J. STENDERUP, H.E. JENSEN, J. VALBAK, B. NYLIN and A. HUDA 1994. Mycotic and algae bovine mastitis in Denmark. APMIS: 102(6): 451 – 6. AHMAD, R.Z. 2008. Komunikasi Pribadi. AHMAD, R.Z. 2009. Cemaran kapang pada pakan dan pengendaliannya. J. Litbang Pertanian 28(1): 15 – 22. AHMAD, R.Z. dan D. GHOLIB 2011. Komunikasi Pribadi.

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011

AINSWORTH, G.C. and P.K.C. AUSTWICK. 1959. Chapter 13: Mycotic Mastitis (Yeasts, moulds, actinomycetes, colourless algae). Commonwealth Mycological Institute, Kew, Surrey, England. Fungal Diseases of Animals. Review Series. No: 6. The Common Wealth Bureau of animal Health, F.L.S. Central Veterinary Laboratory, Weybridge, Surrey, England. http:// www. Aspergillus rg.uk/secure/veterinary/Fung disanim 13.htm. (9-12-2009). BLOMQUIST, N. 2008. Mastitis in Beef CowsFrequently asked question. Alberta. Agricultural and Rural development. http: www 1. agric. gov.ab.ca/$ department/ deptdocs.nsf/ all/faq8106 (5-1-2010). BRAMLEY, A.J. 1991. Mastitis. Physiology or Pathology? Flem.Vet. J(62): Suppl. 1: 3 – 11. CHAHOTA, R., R. KATOCH, A. MAHAJAN and S. VERMA. 2001. Clinical bovine mastitis caused by Geotrichum candidum. Vet. Archiv. 71: 197 – 201. CHAMBERS, J.V. 2009. The infection process of mastitis: understanding and managing the host-parasite relationship. http: //www.dfamilik. com/pathlab/pdfs/the infection-process-of-mastitis pdf.: 1 – 10. COSTA, E.O., C.R. GANDRA, M.F. PIRES, S.D. COUTINHO, W. CASTILHO and C.M. TEIXEIRA. 1993. Survey of bovine mycotic mastitis in dairy herds in the State of São Paulo, Brazil. Mycopathologia 124(1): 13 – 7. DUVAL, J. 1997. Treating mastitis without antibiotics. Ecological Agriculture Projects. http://www.eap.mcgill.ca/Publications/EAP69. htm. (15-11-2001). ELAD, D., N.Y. SHPIGEL, M. WINKLER, I. KLINGER, V. FUCHS, A. SARAH and D. FAINGOLD. 1995. Feed contamination with Candida krusei as a probable source of mycotic mastitis in dairy cows. J. Am. Vet. Med. Assoc. 1; 207(5): 620 – 2. FARNSWORTH, R.J. and D.K. SORENSEN. 1972 Prevalence and Species Distribution of Yeast in Mammary Glands of Dairy Cows in Minnesota. Can. J. Comp. Med. 36 (October), 329 – 323 HASTIONO, S., D. GHOLIB, SUDARISMAN, P. ZAHARI dan L. NATALIA. 1983. Mastitis mikotik pada sapi perah. Penelitian pendahuluan. Pros. pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar, Cisarua, 6 – 9 Desember 1982: 193 – 201.

HILLERTON, J.E. 2000. Detecting Mastitis Cow-side. National Mastitis Council Annual Meeting Proc. p. 48 – 53. HURLEY, W.L. and D.E. MORIN. 2000. Mastitis Lesson A. Lactation Biology. ANSCI 308. http://classes aces.uiuc.edu/Ansci 308/. (20-12-2002). HURLEY, W.L. 2009. Mastitis Cases Studies. Resource Library. Mastitis Detective Cass. University of Illinois-Urbana-Champaign. http: // www. mastitis.htm. (13-7-2009). JAVIE, K. and C. NIKKI. 2003. Miscellaneous pathogen Mastitis. New Bolton Center Filed Service Departement. http://w.w.w. Miscellaneous pathogen./mastitis. Html. (9-11-2009). KRUKOWSKI, H. and L. SABA. 2003. Bovine Mycotic Mastitis (A Review) Folia Veterinaria, 47(1): 3 – 7. KRUKOWSKI, H., A. LISOWSKI, P. RÓZAŃSKI, A. KÓRKA 2006. Yeasts and algae isolated from cows with mastitis in the south-eastern part of Poland. Pol. J. Vet. Sci..9(3): 181 – 4. MCDONALD. 2009. Mastitis in cow. Dairy Cattle Production 342 – 480. A McDonald Campus of McGill University. Faculty of Agricultural & Environmental Sciences. Departement of Animal Science 1 – 12. MORIN, D. 2009. Mastitis Case Studies. Mastitis Clinical Syndromes. Mastitis Detective Cases. University of Illinois. http;//www.Mastitis detective cases. Mastitis.resources 2017.htm (10-9-2009). NATALIA, L. dan S. HASTIONO. 1985. Candida albicans salah satu penyebab mastitis mikotik berhasil diisolasi dari air susu. Penyakit Hewan XVII. 30: 71 – 74. OVERGOOR, G.H. and A.J. VOS. 1983. (The litter Aspergillus - mastitis) Tijdschr Diergeneeskd. 1983 Feb. 1;108(3): 103 – 6. RAZA, S.H. 2009. Mastitis: A. Monster Treath to Dairy Industry. Pakistan. Com. http:// w.w.w. mastitis monster treath to dairy Industry 5 html.(10-11-2009). SPANAMBERG, A., E.A. SANCHES, J.M. CAVALLINI, E. SANTURIO, L. FEREIRO. 2009. Mycotic mastitis in ruminants caused by yeasts. Cienc. Rural (online). 39(1): 282 – 290.

409

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011

SPANAMBERG, A., E.A. WÜNDER, D.I.B. PEREIRA, J. ARGENTA, E.M.C. SANCHES, P. VALENTE, L. FERREIRO. 2008. Mastitis in Southern Brazil Diversity of yeasts from bovine. Rev. Iberoam Micol. 25: 154 – 156. STANOJEVIC, S. and D. KRANJAJIC. 2009. YEAST MASTITIS IN COWS Internet J. Food Safety V.1. 8 – 10 http://www.foodhaccp. com/internetjournal IJFSv1-3.pdf. SUDARWANTO, M. 1987. Mastitis mikotik pada sapisapi perah di Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Cianjur JawaBarat. Penyakit Hewan XIX (34) II; 70 – 73.

410

TARFAROSH, M.A. and S.K. PUROHIT. 2008. Isolation of Candida spp. from Mastitic cows and Milkers. Vet. Scan. (3): 28. THOMPSON, K.G., M.E. DI MENNA, M.E. CARTER and M.G. CARMAN. 1978. Mycotic Mastitis in two Cows. N.Z. Vet. J. 26: 176 – 177. UNIVERSITY OF READING. 2009. Mastitis disease of cattle from the cattle site. The cattle site.com. jttp://.w.w.w. mastitis. Univ. Reading. Html.(10-10-2009). VEEN, V.H.S. and W.D. KREMER 1992. (Mycotic mastitis in cattle) Tijdschr Diergeneeskd. 15; 117(14): 414 – 6.