Media Sosial dan Perubahan Budaya Membaca Pada Remaja Oleh

untuk mengembangkan budaya literasi yang sesuai dengan kebutuhan dan ... diterima oleh kelompok mahasiswa di lingkungan kampusnya ... semua kalangan d...

51 downloads 630 Views 116KB Size
Media Sosial dan Perubahan Budaya Membaca Pada Remaja Oleh: Suprihatin, S.Pd., M.Med.Kom* Abstrak Berdasarkan Survei Data Global Web Index, Indonesia adalah negara yang memiliki pengguna sosial media yang paling aktif di Asia. Indonesia memiliki 79,7% pengguna aktif di media sosial mengalahkan Filipina 78%, Malaysia 72%, Cina 67%. Angka ini sejalan dengan pertumbuhan statistik tentang perkembangan internet di Indonesia yang mencapai 15% atau 38,191,873 pengguna internet dari total populasi kita 251,160,124. Dari jumlah pengguna internet tersebut sejumlah 74% mengakses media sosial melalui mobile/smartphone dengan durasi penggunaan sekitar 2-3 jam per hari. Masih dari sumber data yang sama, Facebook masih merajai media sosial di Indonesia dengan jumlah pengguna mencapai 25% atau sekitar 62.000.000 orang. Setelah itu menyusul Twitter, Google Plus dan Linkedin. Data-data ini memperlihatkan kepada kita perubahan pola manusia mengonsumsi dan menggunakan media. Perubahan pola konsumsi dan penggunaan media ini pada akhirnya berkaitan dengan perubahan kebiasaan atau budaya membaca. Sejak mula, budaya membaca di negeri ini belum berada pada level yang signifikan. Budaya membaca hanya dimiliki kalangan tertentu dan kelas sosial tertentu. Penyebabnya bisa karena ketidakbiasaan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang sebagian besar berada di level menengah ke bawah. Selain itu harga buku yang cenderung mahal turut berperan. Gegap gempita pengguna media sosial niscaya menyebabkan perubahan pola/kebiasaan membaca. Pembatasan karakter di media sosial yang hanya 140 karakter membuat pengguna terbiasa membaca pendek-pendek. Kebiasaan ini jika dilakukan terus menerus pada akhirnya akan menjadi pola, yang kemudian menjadi budaya. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji apakah hipotesis ini benar adanya. Dari hasil penelitian tersebut dapat dikembangkan cara-cara untuk mengembangkan budaya literasi yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan teknologi. Kata kunci: media sosial (socmed), budaya, membaca. LATAR BELAKANG MASALAH Menurut Oberzaucher, Grammer, dan Schmehl (2011:237), tindakan berkomunikasi melalui internet terdiri atas dua domain: berkomunikasi dengan mesin dan berkomunikasi antar manusia melalui mesin. Keduanya terlihat sangat berbeda namun memiliki kesamaan dalam hal efesiensi. Pada awalnya, internet hanya digunakan oleh sekelompok kecil ilmuwan untuk berkomunikasi yaitu melalui surat elektronik (email) dan bulletin. Dibandingkan dengan telepon

dan komunikasi langsung, tampak ada komponen yang hilang dalam komunikasi via internet. Hal inilah yang kemudian mendasari munculnya emoticon yang awalnya dikenal dengan istilah ‘smiley’. Emoticons dibuat sebagai bahasa untuk menyatakan emosional dengan berbagai ekspresi. Dalam bukunya The Media Equation, Reeves dan Nas (1996) menyebutkan bahwa manusia berinteraksi (atau berkomunikasi) dengan (atau via) komputer seperti mereka berkomunikasi dengan orang di dunia nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka (pengguna komputer) juga menggunakan emosi dalam melakukan tindakan komunikasi dengan atau via komputer. Pertanyaannya bentuk-bentuk interaksi seperti apa idealnya antara manusia dan mesin manakala berada dalam lingkungan sosial dan hal-hal yang berkaitan dengan emosi manusia? Penggunaan internet sebagai media komunikasi jugalah yang mendorong lahirnya sebuah pola komunikasi dan sosialisasi baru yang kita kenal dengan mIRC. mIRC merupakan sebuah aplikasi chat berbasis sistem operasi windows yang diciptakan pada tahun 1995 oleh duet Khaled Mardam-Bey.Aplikasi ini memungkinkan kita untuk mengenal teman baru, tak hanya di Indonesia melainkan juga luar Indonesia. Hanya butuh waktu 5 menit untuk terhubung, berkenalan, dan saling berbincang tentang apapun. mIRC bukanlah satu-satunya media komunikasi yang lahir untuk tujuan sosialisasi. Facebook yang usianya lebih muda dari Friendster juga lahir dengan tujuan yang kurang lebih sama. Facebook lahir dari kekecewaan seorang mahasiswa jenius di Harvard University yang tak diterima oleh kelompok mahasiswa di lingkungan kampusnya sendiri. Ia berusaha mengobati kekecewaannya dengan membuat media sosial yang kini justru membuatnya diterima oleh semua kalangan di dunia. Penerimaan ini juga yang kemudian dirasakan oleh para pengguna media sosial. Satu persatu akun media sosial lahir sebagai sarana komunikasi bagi pengguna internet. Berbagai fitur, keunggulan dan kenyamanan ditawarkan dengan satu tujuan yang sama : saling terhubung satu sama lain. Namun dengan seiring perkembangan media sosial, tujuan ini memberi dampak dan pengaruh yang luas. Bukan hanya pengaruh dalam pola komunikasi dan sosialisasi tetapi juga memberi pengaruh pada gaya hidup masyarakat.

Pelebaran dampak dan pengaruh ini secara otomatis juga melebarkan tujuan yang semula begitu sederhana: komunikasi. Denis McQuail (1991:72) mengatakan ada empat motif seseorang menggunakan media, yaitu motif informasi, motif identitas pribadi, motif interaksi dan integrasi sosial, serta motif hiburan. Bila dulu masyarakat mencari informasi dan hiburan di dunia nyata, kini masyarakat lebih suka mencari informasi dan hiburan melalui internet, diantaranya melalui media sosial. Abraham Maslow (1970) melalui teorinya tentang hierarki kebutuhan mengemukakan bahwa alasan utama seseorang menggunakan media adalah untuk mengaktualisasi diri. Aktualisasi diri dianggap Maslow merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Adalah hal yang wajar bagi setiap manusia ingin mendapat pengakuan, dukungan, dan membanggakan kemampuan yang dimilikinya. Media sosial dianggap mampu menjadi salah satu sarana dalam memenuhi kebutuhan dasar ini. Kemampuan media sosial di dalam memenuhi kebutuhan dasar inilah yang kemudian melahirkan kepercayaan masyarakat (pengguna internet) terhadap media sosial. Kepercayaan ini pada akhirnya menjadi modal utama menjamurnya berbagai situs media sosial. Berbagai inovasi dilahirkan oleh para pengembang media sosial guna merebut hati para pengguna internet. Fitur-fitur yang ditawarkan kemudian membuai pengguna internet, dan memberikan mereka sebuah perubahan pola konsumsi informasi, komunikasi, dan gaya hidup. Salah satu perubahan pola komunikasi dan gaya hidup yang disebabkan oleh teknologi adalah kemampuannya dalam “mendekatkan yang jauh, dan menjauhkan yang dekat.” Selain itu, lahirnya media komunikasi juga mengubah pola konsumsi masyarakat pada beberapa kebutuhan sekunder: mulai fashion, buku, dan kebutuhan sekunder lainnya melalui media sosial. Masyarakat tidak perlu repot mengunjungi toko hanya untuk membeli barang kebutuhannya. Cukup “klik” pada foto barang yang disukai, mengikuti prosesnya, dan barang yang dibeli siap dikirim. Masyarakat juga tak perlu repot datang ke toko buku atau perpustakaan. Mereka bisa mengakses informasi melalui internet, mengunduh sejumlah jurnal dan paper gratis di internet, tak perlu datang ke perpustakaan. Masyarakat juga tak perlu mengeluarkan sejumlah dana untuk berlangganan koran, cukup membaca berita dari media online secara gratis.

Dengan adanya beberapa perubahan komunikasi dan sosialisasi dalam dunia internet, kemudian timbul pertanyaan sederhana: bentuk-bentuk interaksi seperti apa idealnya antara manusia dan mesin manakala berada dalam lingkungan sosial dan hal-hal yang berkaitan dengan emosi manusia? Pemikiran mengenai interaksi manusia dengan komputer dan internet menjadi dasar bagi peneliti untuk menariknya dalam konteks pengaruh internet terhadap kebiasaan membaca di kalangan remaja. Minat baca buku masyarakat masih sangat rendah dengan presentasi nasional sekitar 15 persen. Kehadiran internet dengan beragam media sosial semakin membuat remaja enggan menyentuh buku. Berdasarkan data yang dilansir oleh Association For the Educational Achievement (IAEA), tercatat bahwa pada 1992 ketika Finlandia dan Jepang sudah termasuk dalam kategori negara dengan tingkat membaca tertinggi di dunia, Indonesia hanya berada pada peringkat dua terbawah dari 30 negara. Data dari IAEA ini tak berbeda jauh dengan hasil survai yang dilansir Program for International Students Assessment (PISA) pada tahun 1997 tentang budaya literasi. Indonesia menempati peringkat 40 dari 41 negara yang berpartisipasi. Selanjutnya pada tahun 2000, dengan survey yang sama, Indonesia menempati peringkat 64 dari 65 negara partisipan. Menurut SP Andriani S, selain internet, kebiasaan masyarakat Indonesia turut memengaruhi budaya membaca yang rendah. "Banyak yang baca buku sambil tiduran, baru dapat beberapa lembar lalu tertidur," kata Kepala Badan Arsip dan Perpustakaan Jateng, usai membuka Expo Perpustakaan Daerah "Penguatan Wisata Edukasi melalui informasi kearifan lokal" di Perpustakaan Daerah Jateng, Jalan Sriwijaya Semarang itu pada Sabtu (17/5). Menurutnya, keberadaan internet memang banyak memudahkan pekerjaan. Berita dan pengetahuan umum memang bisa didapat dengan mudah melalui telepon genggam dan laptop yang mudah dibawa. Namun Andriani meyakini, ilmu yang didapat tidak sebanyak dari buku. Berbagai cara ditempuh, berbagai program peningkatan minat baca dibuat, berbagai workshop literasi gratis diselenggarakan oleh sejumlah komunitas, namun hasilnya masih jauh panggang dari api. Hasil penelitian lembaga dunia terhadap daya baca di 41 negara, Indonesia

berada di peringkat ke-39 (Kompas Cyber Media, 17 Mei 2014). Perjuangan Indonesia dalam meningkatkan budaya literasi masih sangat panjang. Saat ini, literasi bukan hanya soal kebiasaan membaca dan menulis. Sama seperti perkembangan teknologi, dunia literasi kini memiliki perluasan makna dan kategori. Setidaknya literasi informasi, literasi digital dan literasi media sudah sering kita dengar. Literasi informasi sendiri bisa dijabarkan sebagai rangkaian kemampuan untuk menyadari kebutuhan informasi dan kapan informasi dibutuhkan, kemudian mengidentifikasikan dan menemukan lokasi informasi yang dibutuhkan. Setelah itu, berlanjut dengan proses mengevaluasi, mengatur dan secara efektif menciptakan, memanfaatkan secara etis dan mengkomunikasikan informasi untuk menyelesaikan satu masalah yang dihadapi (Yetty, 2009: 25). Mengacu pada pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat mencari, menemukan informasi yang dibutuhkannya melalui sebuah media. Masyarakat memanfaatkan media di dalam usaha mengumpulkan informasi. Dan beberapa media yang bisa dimanfaatkan antara lain: media cetak (surat kabar, buku, jurnal, dll), media elektronik (TV, Radio, Internet seperti blog, media sosial, portal berita, dll). Media-media ini yang akan membawa kita pada literasi digital dan literasi media. Media-media ini pula yang telah memberi pengaruh pada pola literasi masyarakat, salah satunya kebiasaan membaca. Untuk kebutuhan informasi yang berkaitan dengan tugas sekolah ataupun kuliah, remaja Indonesia lebih menyukai internet daripada buku. Selain cepat, lebih mudah dalam pencarian, sumber yang lebih banyak, remaja tak perlu repot mengeluarkan biaya mahal untuk membeli sebuah buku. Internet juga memfasilitasi mereka dengan berbagai kemudahan dalam mengakses informasi lainnya yang mereka butuhkan, seperti berita olahraga, artikel kecantikan, tren busana, berbagai informasi hiburan, hingga yang berkaitan dengan hobi para remaja. Informasi-informasi ini didapatkan dengan cara yang sangat mudah, dengan gadget yang mereka miliki, dan dengan metode yang mereka sukai di dalam media sosial mereka. Keterbatasan karakter pada media sosial tertentu seperti Twitter, mendorong berkembangnya tren share link. Mereka hanya bisa menuliskan inti sebuah informasi dan memberikan link yang akan membawa pembaca pada informasi yang lebih lengkap dan panjang. Tanpa disadari, tren

share link ini telah mempengaruhi pola baca di kalangan remaja dan pengguna internet. Salah satu contohnya adalah kebiasan me-retweet sebuah informasi tanpa membaca informasi yang disajikan secara utuh dalam bentuk link. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui lebih dalam pengaruh media sosial dalam perubahan budaya membaca di kalangan remaja Indonesia. Kerangka Teori Komunikasi via Internet Internet sering disebut-sebut dengan istilah ‘menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh’. Istilah ini muncul karena dampak kehadiran internet dianggap mampu membuat orang menghabiskan waktunya berjam-jam untuk berinteraksi dengan mesin hingga kemudian cenderung mengabaikan lingkungan di sekelilingnya. Melalui internet, pengguna bertemu dan membangun hubungan dengan orang lain. Komunikasi melalui internet juga dapat menjadi awal mula pertemuan tatap muka atau istilah yang banyak digunakan adalah ‘copy darat’. Banyak pasangan sukses membangun hubungan interpersonal melalui internet (Shedletsky dan Aitken, 2004:20). Computer Mediated Communication (CMC) adalah komunikasi di antara manusia melalui medium yang berupa komputer misalnya: email, chats rooms, bulletin boards, dan new groups (Haraway, 1991:39). CMC merupakan cara di mana perilaku manusia dipelihara atau digantikan lewat pertukaran informasi melalui mesin. Melalui internet, pengguna dapat berkomunikasi dengan pengguna internet lainnya serta membangun hubungan baru. Tidak hanya untuk meningkatkan hubungan dengan keluarga dan teman. Dalam konteks interpersonal, manusia menggunakan internet karena ketertarikan mereka dengan medium itu sendiri sebagai suatu hiburan,untuk berkomunikasi dan untuk bertemu dengan pengguna lain. Internet, Media Sosial, dan Kebiasaan Membaca Berdasarkan data dari Google.com/adplanner per Mei 2010, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 38 juta orang. Di kawasan Asia, Indonesia masuk dalam 5 besar pengguna

internet terbanyak bersama dengan China, Jepang, India, dan Korea Selatan. Pengguna layanan jejaring sosial Facebook di Indonesia juga menunjukkan angka yang tinggi yakni sebanyak 28 juta pengguna. Menurut layanan pemeringkat situs Alexa.com, sejumlah situs yang memberikan layanan untuk berbagi informasi dan berkolaborasi mengalami peningkatan pengunjung yang pesat dari Indonesia. Sebutlah selain Facebook, ada blogspot, wordpress, Youtube, dan Twitter, yang semuanya masuk dalam 20 besar situs yang paling banyak dikunjungi dari Indonesia. Pesatnya pertumbuhan pengguna internet di Indonesia sejalan dengan maraknya penggunaan akun-akun media sosial. Seperti yang dilansir Bebmen.com, dari total populasi 251.160.124 responden, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 38 juta lebih.Sementara pengguna media sosial Facebook mencapai angka 62 juta. Dilihat dari durasinya, rata-rata orang menghabiskan waktu untuk mengakses internet selama 5 jam 30 menit. Sedangkan rata-rata waktu yang digunakan orang untuk mengakses internet dari mobile/smartphone

mencapai

2

jam

30

menit.

Persentase

orang

menggunakan

mobile/smartphone untuk mengakses media sosial mencapai 74%, di mana 32% di antaranya menggunakan aplikasi layanan lokasi. Data-data ini memperlihatkan gejala mengenai tingginya tingkat aksesibilitas internet dan termasuk di dalamnya media sosial. Penggunaan mobile/smartphone menunjukkan mobilitas penggunaan internet yang tidak lagi dibatasi oleh jarak, ruang, dan waktu. Orang bisa mengakses internet dari mana saja dan kapan saja. Selain itu, data statistik ini juga memperlihatkan kepada kita perubahan pola manusia dalam mengonsumsi dan menggunakan media. Perubahan pola konsumsi dan penggunaan media ini pada akhirnya berkaitan dengan perubahan kebiasaan atau budaya membaca. Sejak mula, budaya membaca di negeri ini belum berada pada level yang signifikan. Budaya membaca hanya dimiliki kalangan tertentu dan kelas sosial tertentu. Penyebabnya bisa karena ketidakbiasaan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang sebagian besar berada di level menengah ke bawah. Selain itu harga buku yang cenderung mahal turut berperan.

Gegap gempita pengguna media sosial niscaya menyebabkan perubahan pola/kebiasaan membaca. Pembatasan karakter di media sosial yang hanya 140 karakter membuat pengguna terbiasa membaca pendek-pendek. Kebiasaan ini jika dilakukan terus menerus pada akhirnya akan menjadi pola, yang kemudian menjadi budaya. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji apakah hipotesis ini benar adanya. Dari hasil penelitian tersebut dapat dikembangkan cara-cara untuk mengembangkan budaya literasi yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan teknologi. Technology Determinism: Technology Change, People Change Ide dasar teori ini adalah bahwa cara manusia beradaptasi dan menggunakan teknologi berpengaruh terhadap cara manusia berkomunikasi. Determinism berasal dari bahasa Inggris, determine

yang berarti pengaruh untuk memutuskan atau menentukan sesuatu. Sedangkan

technological berasal dari kata technology, yang terdiri dari kata technique dan logos, yang berarti pengetahuan tentang cara atau metode dalam melakukan melakukan sesuatu (secara teknis). Secara sederhana

technological determinism dapat diartikan sebagai cara atau metode yang digunakan

manusia untuk memutuskan atau menentukan sesuatu.

Menurut McLuhan, “Technology has changed the way we communicate”. Teknologi telah mengubah cara kita berkomunikasi. Manusialah yang pada akhirnya harus beradaptasi dengan objek ciptaannya sendiri. Hal ini diperlukan untuk dapat menjadi bagian dari kehidupan sosial. Melalui teori ini McLuhan ingin menegaskan bahwa pola kehidupan masyarakat manusia --khususnya aspek interaksi sosial-- ditentukan oleh perkembangan dan jenis teknologi yang digunakan oleh masyarakat itu sendiri. McLuhan melihat media menjadi faktor yang sangat menentukan atau memengaruhi hal lainnya. McLuhan meneliti sejarah perkembangan manusia sebagai masyarakat dengan mengidentifikasi teknologi media yang dianggap memiliki peran penting dan mendominasi kehidupan manusia pada waktu tertentu. Ia membaginya ke dalam empat periode media yang berbeda yaitu periode tribal, periode literatur, periode percetakan, dan periode elektronik. Dasar pemikirannya adalah bahwa perubahan-perubahan cara manusia untuk berkomunikasi

membentuk keberadaan kita, dan sebagai budayawan ia berpendapat bahwa budaya itu terbentuk berdasarkan bagaimana kemampuan manusia dalam berkomunikasi. Periode tribal adalah masa-masa budaya ucap atau lisan mendominasi perilaku komunikasi manusia pada saat itu. Periode literatur adalah era penemuan alfabet fonetis di mana simbol-simbol tersebut digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi secara tertulis tanpa interaksi tatap muka. Selanjutnya periode percetakan yang merupakan era munculnya penulisan teks secara massal sehingga komunikasi juga dapat dilakukan secara masif walaupun masih bersifat linier. Periode yang terakhir adalah periode elektronik. Pada periode ini ditemukan teknologi komunikasi telegraf yang menjadi awal dari periode di mana fragmentasi masyarakat musnah. Konsep yang ditawarkan McLuhan ini mempunyai tiga kerangka urutan pemikiran: (1)Penemuan-penemuan hal baru dalam bidang teknologi komunikasi menyebabkan perubahan budaya; (2)Perubahan komunikasi manusia membentuk eksistensi kehidupan manusia, “We shape our tools, and they in turn shape us”. Kita membentuk alat-alat yang kita perlukan dan sekarang giliran alat-alat itu yang membentuk diri kita; dan (3)Media merupakan inti dari peradaban manusia, di mana dominasi media dalam sebuah masyarakat menentukan dasar organisasi sosial manusia dan kehidupan kolektifnya. Perkembangan iptek saat ini adalah solusi dari permasalahan yang ada. Sumbangan teknologi informasi terhadap peradaban dan kesejahteraan manusia memang harus diakui keberadaannya, namun manusia tidak bisa pula menipu diri akan kenyataan bahwa teknologi informasi mendatangkan banyak masalah dan berbagai bentuk penyimpangan-penyimpangan bagi manusia. Manfaat dan dampak dari perkembangan teknologi dapat dilihat dari berbagai bidang mulai dari bidang informasi dan komunikasi, bidang ekonomi dan industri, bidang sosial dan budaya, hingga di bidang pendidikan. Media Sosial: Idola Baru Berbicara media sosial, tak bisa dilepaskan dari teknologi yang mengiringinya, web 2.0. Teknologi yang mulai dikenal pada tahun 2004 ini memiliki karakteristik pendekatan social web,

di mana setiap pengguna aplikasi web difasilitasi untuk saling terhubung dengan memanfaatkan berbagai fasilitas, di antaranya: menambah, menghapus, menyunting, maupun mengategorikan isi dari sebuah layanan. Kualitas dan kegunaan layanan benar-benar ditentukan oleh kontribusi dari setiap pengguna sebagaimana layaknya sebuah komunitas dalam dunia nyata (Zibriel & Supangkat, 2008). Menurut Andreas Kaplan dan Michael Haenlein media sosial adalah sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang dibangun di atas dasar ideologi dan teknologi web 2.0, yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content. Web 2.0 menjadi platform dasar media sosial dalam berbagai bentuk yang berbeda: weblogs, social blogs, micro blogging, podcasts, gambar, video, rating, dan bookmark social (Kaplan dan Haenlein, 2010; Weber, 2009). Facebook, Twitter, Youtube, dan situs media sosial lainnya adalah yang termasuk dalam definisi di atas. Lalu muncul pertanyaan, apa sebenarnya kekuatan media sosial hingga media baru ini mampu menyihir dan menghipnotis para penggunanya? Berikut ini adalah karakteristik media sosial menurut Hadi Purnama (2011: 216): 1. Jangkuan: daya jangkauan media sosial mencakup skala kecil hingga khalayak global; 2. Aksesibilitas: media sosial lebih mudah diakses dengan biaya yang terjangkau; 3. Penggunaan: media sosial relatif mudah digunakan karena tidak memerlukan ketrampilan dan pelatihan khusus; 4. Aktualitas: media sosial dapat memancing respon khalayak lebih cepat; 5. Tetap: mudah dalam melakukan proses pengeditan dalam media sosial; Dengan kelima karakteristik di atas, maka tidaklah mengejutkan jika media sosial mampu memikat hati pengguna internet dalam waktu singkat. Salah satu poin yang disampaikan Hadi Purnama yaitu aktualitas, telah memperkuat teori hierarki kebutuhan sebagaimana dipikirkan oleh Abraham Maslow. Teori ini mengurutkan alasan orang menggunakan media sebagai berikut: 1. Aktulisasi diri 2. Penghargaan

3. Kasih sayang 4. Rasa aman 5. Kebutuhan fisiologi Disebutkan oleh Maslow bahwa puncak dari semua kebutuhan masyarakat terhadap media adalah sarana aktulisasi diri. Siapapun manusia di dunia ini tentu ingin menunjukkan kemampuannya, perasaannya, pemikirannya, gagasannya, dan kelebihannya yang tak bisa diungkapkan secara langsung. Media sosial di titik ini dianggap sebagai salah satu media yang bisa menjembatani (bridging) sekaligus memenuhi (completing) segala kebutuhan tersebut. Imbalan dari setiap terpenuhinya kebutuhan tersebut adalah rasa percaya. Kepercayaan masyarakat pada setiap hal yang disampaikan melalui media sosial semakin meningkat dari waktu ke waktu. Ini dibuktikan dengan peningkatan jumlah pengguna media sosial yang luar biasa. Kepercayaan pengguna internet ini yang kemudian menggeser gaya hidup masyarakat dalam mencari dan mengonsumsi informasi, baik itu berita terbaru, tren sosial, hingga bergesernya aktifitas membaca buku. Berpuluh ribu bahkan beratus-ratus ribu ebook tersebar di berbagai situs, menunggu para pecinta buku mengunduh mereka, baik secara gratis maupun berbayar. Membaca Belum Menjadi Kebiasaan Orang Indonesia Menurut Putu Laxman Pendit (2007), membaca merupakan sebuah proses yang membuat seseorang berusaha mengikuti dan menanggapi isi pesan yang disampaikan oleh penulis, sehingga pembaca dapat memahami makna pesan tersebut. Mathewson dalam Davies (1995:72), mengemukakan bahwa membaca memerlukan faktor afektif. Yaitu faktor yang berhubungan dengan sikap pembaca, motivasi membaca, dan tanggapan emosi saat membaca teks dalam konteks yang berbeda. Faktor-faktor tersebut antara lain: 1. Sikap yang menggambarkan nilai, kepercayaan dan minat seperti perilaku umum membaca (suka atau tidak suka, penting atau tidak penting); 2. Motivasi membaca yang meliputi pada motif pribadi, penghargaan, aktualisasi diri, keingintahuan dan kebutuhan estetis;

3. Suasana hati, perasaan, dan emosi ketika membaca; 4. Perasaan jasmani yang terkadang timbul dari sumber luar yang terjadi selama membaca. Sama seperti aktifitas sehari-hari lainnya, membaca juga memiliki tujuan yang berbeda bagi setiap individu. Gray dan Rogers dalam Mudjito (2001: 32) mengemukakan beberapa manfaat membaca, yakni di antaranya mengisi waktu luang, mengetahui berbagai hal aktual yang terjadi, memenuhi kebutuhan intelektual, hingga memberikan kepuasan pribadi seperti memburu bacaan yang berkaitan dengan hobi, pekerjaan, dan lainnya. Meskipun membaca memiliki berbagai tujuan dan mampu melepas dahaga kita akan berbagai informasi, kegiatan membaca belumlah menjadi kebiasaan dalam masyarakat Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari data milik Association For the Educational Achievement (IAEA), yang mencatat bahwa pada 1992 ketika Finlandia dan Jepang sudah termasuk dalam kategori negara dengan tingkat membaca tertinggi di dunia, Indonesia hanya berada pada peringkat dua terbawah dari 30 negara. Data dari IAEA ini tak berbeda jauh dengan hasil survai yang dilansir Program for International Students Assessment (PISA) pada tahun 1997 tentang budaya literasi. Indonesia menempati peringkat 40 dari 41 negara yang berpartisipasi. Selanjutnya pada tahun 2000, dengan survai yang sama, Indonesia menempati peringkat 64 dari 65 negara partisipan. Literasi: “How Literate Are We?” Membincang tentang budaya membaca tak akan bisa dilepaskan dari pembahasan seputar literasi. Kata literasi memiliki arti kemampuan membaca dan menulis (7 th Edition Oxford Advanced Learner’s Dictionary, 2005:898). Namun dalam perkembangannya, kita tak hanya mengenal literasi sebatas kegiatan membaca dan menulis saja. Istilah literasi pun berkembang dari masa ke masa, salah satunya yang paling sering kita dengar adalah literasi informasi. Literasi informasi bisa dijabarkan sebagai rangkaian kemampuan untuk menyadari kebutuhan informasi dan kapan informasi dibutuhkan, kemudian mengidentifikasikan dan menemukan lokasi informasi yang dibutuhkan. Setelah itu, berlanjut dengan proses

mengevaluasi, mengatur dan secara efektif menciptakan, memanfaatkan secara etis dan mengomunikasikan informasi untuk menyelesaikan satu masalah yang dihadapi (Yetty, 2009: 25). Mengacu pada pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat mencari dan menemukan informasi yang dibutuhkannya melalui sebuah media. Masyarakat memanfaatkan media di dalam usaha mengumpulkan informasi. Beberapa media yang bisa dimanfaatkan antara lain: media cetak (surat kabar, buku, jurnal, dll), media elektronik (TV, Radio, Internet seperti blog, media sosial, portal berita, dll). Sedikit banyak, ketiga media ini telah memberi pengaruh pada pola literasi masyarakat, salah satunya kebiasaan membaca. Pembahasan Untuk melihat bagaimana remaja menggunakan media sosial dan relevansinya dengan perubahan budaya membaca, peneliti menyebarkan kuisioner pada sejumlah kecil remaja. Sesuai dengan tujuan penelitian, maka responden yang dipilih menjadi subjek penelitian adalah mereka yang berusia 15 sampai dengan 21 tahun. Dari kuisioner tersebut diperoleh data sbb. Remaja yang menjadi responden rata-rata berusia dewasa muda, 18-21 tahun. Di media sosial, remaja dikenal sebagai publik atau kelompok sosial yang dominan. Hal ini bisa dilihat dari praeksistensi dari kelompok sosial yang aktif, interaktif, dan sebagian besar otonom yang dilayani. Umumnya remaja yang menggunakan media sosial tertentu bukan sekadar hadir sebagai individu melainkan sebagai bagian dari kelompok sosial tertentu. Melalui media sosial, remaja dapat berinteraksi dengan cepat, dan dapat segera mengekspresikan pendapatnya. Dari responden tersebut sebagian besar memiliki 4 (empat) akun media sosial. Akun media sosial yang paling banyak penggunanya adalah Facebook, kemudian Twitter, Instagram, Path, dan lainnya. Sebagian besar responden menggunakan akun media sosial lebih dari 5 tahun. Media jejaring sosial atau yang popular dengan sebutan social media (socmed) mulai popular di Indonesia sekitar awal tahun 2000-an, yang diawali dengan kehadiran Friendster. Melalui friendster, pengguna dapat terhubung dengan pengguna yang lain yang menjadi teman. Tahun 2007, Facebook hadir di Indonesia dan kemudian menjadi fenomenal karena nyaris

setiap orang kini memiliki akun di jejaring sosial tersebut. Selain Facebook atau di Indonesia kerap dikenal dengan singkatan FB, media jejaring sosial lain yang popular adalah Twitter. Jejaring sosial Twitter diciptakan di San Fransisco. Hingga tahun 2011, Indonesia menjadi negara pengguna Twitter terbesar kelima di dunia setelah Amerika Serikat, Brasil, Jepang, dan Inggris. Dari segi jumlah akun, pengguna twitter di Indonesia juga lebih aktif dari rata-rata pengguna lain di dunia. Dengan kondisi tersebut maka tidaklah mengherankan jika jumlah pengguna FB dan Twitter di kalangan remaja pun lebih mendominasi. Karena beberapa akun media sosial yang lain memang hadir belakangan seperti Instagram dan Path. Dari aspek teknologi yang digunakan sebagian besar responden menggunakan smartphone untuk mengakses akun media sosial yang dimilikinya. Hal ini sejalan dengan makin banyaknya fasilitas yang ditawarkan oleh telepon selular dan makin murahnya perangkat komunikasi ini. Hampir setiap orang termasuk remaja memiliki telepon selular. Bahkan beberapa di antaranya lebih dari 1 perangkat. Ini membuat aktivitas mengakses media sosial makin mudah dilakukan dan tidak harus menggunakan personal computer atau PC. Dari sisi content, pengguna paling sering mengakses media sosial Facebook untuk membaca update status dari teman-temannya atau mendapatkan informasi dari grup yang diikutinya. Hal ini menarik karena popularitas jejaring sosial FB terus bertahan meski berbagai jejaring sosial lain bermunculan. Sementara untuk tautan yang paling digemari adalah tautan berita. Dari jenis media yang dikonsumsi rata-rata responden lebih suka menggunakan media yang bersifat audio dan visual (televisi dan radio) jika dibandingkan dengan membaca berita di koran atau majalah. Dari sisi content atau isi media, sebagian besar responden hanya membaca headline ketika mengakses berita. Jika temuan ini dikorelasikan dengan kebiasaan membaca, tampak bahwa dengan maraknya penggunaan media sosial kebiasaan membaca pada penggunanya turut berubah. Kebiasaan membaca di kalangan remaja di Indonesia yang rendah, semakin rendah karena remaja terbiasa mengonsumsi media yang bersifat visual dan auditif. Membaca menjadi kian tidak populis karena membutuhkan waktu dan perhatian khusus sementara kehidupan modern

semakin padat aktivitas. Hal ini relevan dengan temuan penelitian di mana remaja sebagai pengguna FB lebih banyak hanya membaca headline ketika membuka tautan berupa link berita. Satu hal yang menarik dalam penelitian ini adalah temuan bahwa tidak ada responden yang menjawab ketika diberikan pertanyaan mengenai buku yang terakhir dibaca. Bisa jadi memang kebiasaan membaca buku di kalangan remaja makin menurun karena mereka lebih memilih mengonsumsi media melalui media sosial. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagian besar remaja pengguna media sosial lebih suka menggunakan media sosial untuk mencari informasi atau berita. Kebiasaan membaca tergantikan oleh budaya visual (melihat) dan auditif (mendengar). Remaja lebih suka membaca informasi-informasi singkat baik berupa status atau tweet. Untuk mencari informasi yang bersifat berita pun remaja lebih suka melakukannya melalui media sosial lewat tautan-tautan yang dibagikan oleh teman-temannya ketimbang membaca berita melalui surat kabar. Temuan ini menarik untuk menjadi perhatian bagi berbagai pihak. Bahwa budaya membaca di kalangan remaja sudah berubah menjadi digitalized. Sehingga informasi-informasi yang perlu dikonsumsi oleh remaja dapat disesuaikan dengan kondisi tersebut. Hal ini merupakan ejawantah dari persinggungan manusia dengan teknologi yang pada akhirnya mengubah cara manusia dalam berkomunikasi dan berkehidupan sosial. DAFTAR PUSTAKA Davies, Florence. 1995. Introducing Reading. London: Penguin English. Igel Zibriel, Suhono H. Supangkat. 2008. Ensiklopedia Nusantara Menggunakan Orientasi Web 2.0, e-Indonesia Initiative 2008 (EII2008). Konferensi dan Temu Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Indonesia, Jakarta. Mudjito. 2001. Materi Pokok Pembinaan Minat Baca. Jakarta: Universitas Terbuka.

Putu Laxman Pendit. 2007. Mata Membaca Kata Bersama. Kumpulan Esai tentang Buku, membaca, dan keberaksaraan. Jakarta: Cita Karyakarsa Mandiri. Yetti Y. Soebari. 2009. Membangun Minat Baca Anak Sejak Dini Sebagai upaya Menumbuhkan Literasi Informasi. Info Persada, Vol.7. http://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3415/Kominfo 3A+Pengguna+Internet+di+Indonesia+63+Juta+Orang/0/berita_satker#.VAU_v8WSyuw http://www.tempo.co/read/news/2013/05/10/072479357/Jumlah-Blogger-di-Indonesia-Capai5-Juta-Orang