NILAI-NILAI AJARAN ZEN BUDDHISME DALAM ESTETIKA KERAMIK TRADISIONAL

Download dipengaruhi oleh ajaran Zen Buddhisme adalah seni keramik. Seni Keramik ... keramik Jepang adalah mencari keindahan dalam ketidaksempurnaan...

0 downloads 347 Views 675KB Size
NILAI-NILAI AJARAN ZEN BUDDHISME DALAM ESTETIKA KERAMIK TRADISIONAL JEPANG NIHON NO DENTOUTEKINA YAKIMONO NO BIGAKU NO ZEN NO BUKKYOU NO KYOUKUN NO KACHI

SKRIPSI Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

OLEH: Eva Nurintan Silalahi NIM: 050708026

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena atas berkat, rahmat, anugrah dan perllindungan-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi yang berjudul “Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang” ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam mencapai gelar kesarjanaan pada Fakultas Sastra Program Studi Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara. Dalam pelaksanaan penyelesaian skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dan bimbingan moril dan materiil dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih, penghargaan, serta penghormatan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan studi dan skripsi ini, antara lain kepada: 1.

Bapak Prof. Drs. Syaifuddin M.A, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra Univeritas Sumatera Utara.

2.

Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang M.S, Ph.D, selaku Ketua Program Studi S-1 Sastra Jepang Sumatera Utara.

3.

Bapak Drs. Eman Kusdiyana M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I, yang dalam kesibukannya sebagai pengajar telah menyediakan banyak

waktu,

pikiran

dan

tenaga

dalam

membimbing,

mengarahkan, dan memeriksa skripsi ini. 4.

Ibu Adriana Hasibuan, S.S, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, yang dalam kesibukannya sebagai pengajar telah menyediakan banyak

waktu,

pikiran

dan

tenaga

dalam

membimbing,

mengarahkan, dan memeriksa skripsi ini.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

5.

Dosen Penguji Ujian Skripsi, yang telah menyediakan waktu untuk membaca dan menguji skripsi ini. Terima kasih juga penulis ucapkan Kepada semua Dosen Pengajar Program Studi S-1 Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan banyak ilmu kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dengan baik. Terima kasih juga penulis ucapkan untuk Bang Amran yang juga telah banyak membantu penulis.

6.

Keluarga penulis, Alm. S. Silalahi dan T. Br. Purba, atas segala cinta, kasih, doa dan semangat yang diberikan tiada henti. Kakakkakakku tersayang, Kak Uun, Bunda Adit, Embot, dan Nenca, serta adikku Deddy Kurniawan Silalahi yang selalu memberi semangat dan dukungan.

7.

Buat teman-teman penulis: Debby, Dewi, Mae, Ocha, Rani, Ira, Vika, Nurul, Ellys, Gunawan, Tano-six Gurupu, dann temanteman ’05 yang lain, yang selalu semangat juga menguatkan satu sama lain dalam menyelesaikan studi serta telah membagi begitu banyak hal selama menjalani proses belajar di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

8.

Kepada Bobby Hard Satria Zalukhu yang tiada bosannya memberikan semangat dan perhatian kepada penulis.

9.

Semua pihak yang telah membantu menyelesaikan Skripsi ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa tidak ada yang sempurna dalam hidup ini, termasuk juga dalam penulisan skripsi ini. Namun penulis tetap mencari

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

kesempurnaan tersebut dalam suatu nilai pekerjaan yang dilakukan secara maksimal. Maka dengan berangkat dari prinsip itu jugalah, penulis berusaha merampungkan skripsi penulis tersebut.

Medan, Oktober 2009 Penulis

(Eva Nurintan Silalahi)

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I

i iv

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah…………………………………………...1 1.2 Perumusan Masalah……………………………………...………..6 1.3 Ruang Lingkup Pembahasan………………………………………7 1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori…………………………….8 1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………………..15 1.6 Metode Penelitian……………………………….………………..16

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP KERAMIK TRADISIONAL JEPANG DAN ESTETIKA ZEN BUDDHISME DI JEPANG 2.1 Sejarah dan Perkembangan Keramik di Jepang………………….17 2.1.1 Sejarah Keramik Tradisional Jepang………………………18 2.1.2 Pengertian Keramik Tradisional Jepang…………………...19 2.1.2.1 Proses Pembuatan Keramik Tradisional Jepang…...20 2.1.2.2 Jenis-jenis Keramik Tradisional Jepang……………28 2.2 Zen Buddhisme di Jepang………………………………………..31 2.2.1 Masuknya Ajaran Zen Buddhisme di Jepang………………33 2.2.2 Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme Dalam Masyarakat Jepang……………………………………………………...36 2.3 Dasar-dasar Estetika Jepang……………………………………...42 2.3.1 Nilai Estetika Jepang Secara Umum……………………….43

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

2.3.2 Nilai Estetika Jepang Berdasarkan Ajaran Zen Buddhisme………………………………………………....48 BAB III

NILAI-NILAI ZEN BUDDHISME DALAM ESTETIKA KERAMIK TRADISIONAL JEPANG 3.1 Nilai Ketidaksimetrisan…………………………………………..54 3.2 Nilai Kealamian…………...……………………………………..57 3.3 Nilai Kesederhanaan……………………………………………..62 3.4 Nilai Kedalaman Rasa……………………………………………67

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan...…………………………………………………….73 4.2 Saran………………………………………………………...……75

DAFTAR PUSTAKA ABSTRAK

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah Seni merupakan salah satu hasil kebudayaan yang diciptakan manusia untuk dapat memenuhi kebutuhan manusia akan keindahan. Menurut Baumgarten dalam Simbolon (1996:5) seni adalah keindahan. Keindahan merupakan wujud bahkan tujuan seni. Dalam kehidupan, manusia tidak dapat dipisahkan dengan seni. Seni adalah bagian dari kehidupan manusia sejak zaman purba sampai masa kini dan nanti. Seni merupakan salah satu kebutuhan manusia yang sama mendesaknya dengan kebutuhan primer lainnya seperti sandang, pangan dan papan. Manusia memerlukan seni sebagai sarana pemuasan ekspresi dalam semua bentuknya (Dharmawan, 1987:1) Seni dibuat untuk menghadirkan estetika di tengah-tengah masyarakatnya. Menurut Batteaux dalam Dharmawan (1987:1) “Seni Murni” atau “Pure Art” adalah seni yang terutama menghasilkan karya-karya dengan kepentingan estetis seperti seni lukis, seni pahat, seni kriya (termasuk seni keramik), seni musik, dsb. Jika berbicara mengenai estetika berarti berbicara mengenai nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Dalam seni, nilai adalah kualitas yang membangkitkan apresiasi. Nilai berbeda dengan fakta, sering semata-mata bersifat khayali. Nilai diungkapkan dalam seni dengan tujuan untuk menghadirkan estetika. Estetika secara sederhana adalah ilmu yang membahas keindahan, bagaimana ia terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

Pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai sensoris, yang kadang dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa. Estetika merupakan cabang yang sangat dekat dengan filosofi seni. Dapat disimpulkan bahwa nilai estetika merupakan hal-hal abstrak yang dapat membangkitkan apresiasi terhadap karya seni. Keindahan merupakan hal abstrak yang terkandung di dalam karya seni tersebut. Dengan kata lain, keindahan merupakan salah satu dari nilai estetika yang terkandung dalam suatu karya seni. Pandangan mengenai nilai estetika oleh suatu masyarakat berbeda dengan masyarakat yang lain. Perbedaan ini pada umumnya dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain : faktor agama, struktur sosial, perekonomian dan budaya. Faktor-faktor tersebut juga mendukung terbentuknya nilai estetika yang bersifat khas pada suatu masyarakat. Salah satu nilai estetika yang bersifat khas dapat dilihat pada masyarakat Jepang. Jepang adalah suatu bangsa dengan budaya yang mempunyai pandangan estetika yang intim antara seni, kehidupan dan alam. Orang-orang Jepang hidup akrab dengan alam agar seni mereka tetap intim dengan alam. Orang Jepang senang mengamati pergantian alam dan berharap untuk menikmatinya dalam media seni (Sutrisno, 1993:111). Dengan demikian, yang menjadi titik estetika di Jepang adalah alam, karena alamlah yang mengisi hampir semua objek seni budaya Jepang. Alam pulalah yang saling memperdalam antara religiositas (keagamaan) dan semangat hidup. Kalau berbicara mengenai Jepang, mengenai

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

estetikanya, hanya ada satu fenomena Jepang yang terus mengalir menembus alur kemajuan zaman yaitu alam (Sutrisno, 1993:118). Bangsa Jepang memiliki pandang yang berbeda tentang estetika jika dilihat dari sudut pandang dunia Barat mengenai kehampaan. Salah satu dasar pemikiran Barat adalah bahwa apa yang kosong (hampa) dianggap tidak menarik. Hanya yang “berisi” atau penuh lah yang menarik. Namun, bangsa Jepang menganggap bahwa kehampaan itu mempunyai arti, memiliki sesuatu yang menarik untuk diperhatikan. Kekosongan itu dianggap “menampilkan” sesuatu. Kehampaan dapat menjadi positif dan selalu bersifat dinamis (Sutrisno, 1993:116117). Disamping itu, terdapat faktor khas yang membentuk estetika Jepang. Faktor yang membentuk nilai estetika yang khas pada masyarakat Jepang adalah faktor agama, yaitu Zen Buddhisme. Dalam ajaran Zen ditekankan nilai-nilai kesederhanaan dan juga kealamian yang mengikuti garis alam serta tidak adanya unsur buatan. Pengaruh Zen dalam kehidupan bangsa Jepang sangat kuat karena kesederhanaan ajarannya. Pandangan Zen dalam memandang keindahan pun demikian, yaitu setiap orang harus masuk ke “objek” itu sendiri, ke inti realitas dan kemudian melihat dan merasakan estetika itu sendiri dari dalam. Pendekatan ini menunjukkan bahwa Zen Buddhisme memberikan pengaruh spiritual yang sangat besar dalam memahami estetika. Salah satu seni di Jepang yang sangat dipengaruhi oleh ajaran Zen Buddhisme adalah seni keramik. Seni Keramik adalah cabang seni rupa yang mengolah material keramik untuk membuat karya seni dari yang bersifat tradisional sampai modern atau canggih. Selain itu dibedakan pula kegiatan kriya keramik berdasarkan prinsip

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

fungsionalitas dan produksinya. Pada dasarnya keramik di kategorikan dalam dua kategori, yaitu keramik tradisional dan keramik modern atau keramik canggih. Keramik tradisional dibentuk dari tanah liat, seperti gerabah, porselen, tembikar dan sebagainya. Fungsi keramik tradisional biasanya adalah sebagai peralatan makan dan minum serta benda dekor, sedangkan keramik modern berfungsi untuk bidang teknis seperti pada industri elektronika, informatika, konstruksi bahkan pada bidang kedokteran (Astuti, 1997:1-6). Keramik menggunakan materi tanah liat yang berbeda-beda serta menggunakan teknik pembuatan dan pembakaran yang berbeda pula. Namun, sebagai aplikasi dari nilai Zen tentang kesederhanaan dan kealamian, proses pembakaran cenderung tanpa teknik atau apa adanya. Dengan kata lain, memberikan kesempatan pada alam untuk memberikan bentuk dan warna pada keramik. Pada awalnya perkembangan seni keramik di Jepang dipengaruhi oleh upacara minum teh yang berkembang pada abad ke-16. Upacara minum teh sebenarnya merupakan sebuah wujud dari seni keindahan dalam kesederhanaan yang dianut dari ajaran Zen Buddhisme. Menurut Katayagani dalam Ishikawa (2005:6), upacara minum teh mengandung nilai-nilai yang disebut dengan estetika wabi-sabi yang merupakan salah satu ajaran Zen Buddhisme. Para ahli minum teh ingin agar peralatan makan dan minum mereka mengekspresikan semangat estetika wabi-sabi sehingga kemudian menggunakan pengaruh mereka dengan memerintahkan para pengrajin untuk membuat mangkuk dan peralatan yang sesuai dengan nilai estetika tersebut.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

Karya-karya keramik di Jepang pun terimbas dengan falsafah ajaran Zen Buddhisme tersebut. Bentuk keramik yang dihasilkan sangatlah sederhana, alami, dan bahkan asimetris, yaitu bagian kiri dan kanan tidak seimbang atau sama. Hal ini menunjukkan bahwasanya di dalam karya keramik tradisional Jepang terdapat nilai-nlai Zen Budhhisme sehinga menghasilkan nilai estetika yang khas. Estetika wabi-sabi tersebut mengekspresikan beberapa nilai ajaran Zen yang tidak terlepas dari kewajaran atau bersifat alami. Diantaranya adalah fukinsei (asimetris atau ketidakteraturan), kanso (kesederhanaan yang rapi dan segar), koko (esensi), shizen (kewajaran atau kealamian), yugen (bermakna atau rasa yang mendalam), datsuzoku (kebebasan yang tidak terikat), shibui (kesederhanaan dan keindahan seadanya), wabi (kekayaan dalam kesederhanaan), sabi (kesendirian dan ketidakberaturan), dan seijaku (hening atau tenang) (Iswidayati, 1995:141). Berdasarkan estetika wabi-sabi tersebut, keramik tradisional Jepang mengandung nilai-nilai ajaran Zen Buddhisme, yaitu nilai ketidaksimetrisan, nilai kealamian, nilai kesederhanaan serta nilai kedalaman rasa. Nilai-nilai tersebut merupakan estetika yang khas pada karya-karya keramik tradisional Jepang. Berdasarkan uraian di atas, seni keramik ternyata mendapat pengaruh yang besar dari Zen Buddhismen. Dalam ajaran Zen Buddhisme, terdapat suatu konsep estetika yang dipedomani di Jepang, yaitu estetika wabi-sabi. Berdasarkan estetika wabi-sabi tersebut keramik tradisional Jepang pun mengandung nilai-nilai ajaran Zen Buddhisme. Hal tersebutlah yang mendorong rasa ingin tahu penulis untuk meneliti lebih lanjut mengenai nilai estetika keramik Jepang dan memilih judul skripsi “Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme pada Estetika Keramik Tradisional Jepang”.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

1.2 Perumusan Masalah Seni keramik merupakan salah satu bentuk tradisi kebudayaan Jepang yang masih populer sampai sekarang. Seni keramik di Jepang memiliki keistimewaan., baik dari segi bentuknya maupun dari segi nilai estetika yang melekat padanya. Keramik tradisional Jepang sebagai sebuah karya seni memiliki nilai estetika yang khas. Dalam hal ini, nilai estetika pada keramik Jepang tidak terpisahkan dari pandangan hidup masyarakat Jepang yang dipengaruhi oleh ajaran Zen Buddhisme. Karena pandangan tentang nilai estetika di dalam ajaran Zen Buddhisme menampilkan keindahan dari seni keramik Jepang yang sederhana dan alami. Pandangan tentang nilai estetika dalam Zen Buddhisme yaitu estetika wabi-sabi, sangat jelas terlihat pada keramik Jepang. Karena dipengaruhi oleh nilai estetika tersebut, bentuk keramik Jepang sangatlah sederhana, alami dan bahkan asimetris (bagian kanan dan kiri tidak seimbang atau sama) sehingga bentuknya terlihat tidak sempurna. Namun, inti dari estetika wabi-sabi dalam keramik Jepang adalah mencari keindahan dalam ketidaksempurnaan tersebut. Berdasarkan estetika wabi-sabi, terdapat nilai-nilai yang menjadi karakteristik estetika Jepang, yaitu nilai fukinsei (asimetris atau ketidakteraturan), kanso (kesederhanaan yang rapi dan segar), koko (esensi), shizen (kewajaran atau kealamian), yugen (bermakna atau rasa yang mendalam), datsuzoku (kebebasan yang tidak terikat), shibui (kesederhanaan dan keindahan seadanya), wabi (kekayaan dalam kesederhanaan), sabi (kesendirian dan ketidakberaturan), dan seijaku (hening atau tenang).

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

Berdasarkan estetika wabi-sabi, terdapat beberapa nilai ajaran Zen Buddhisme yang terkandung dalam estetika keramik Jepang. Nilai-nilai tersebut adalah nilai ketidaksimetrisan, nilai kealamian, nilai kesederhanaan dan nilai kedalaman rasa. Nilai-nilai tersebutlah yang membangun keramik Jepang menjadi satu kesatuan karya seni yang memiliki estetika yang khas dan menarik untuk diteliti. Berangkat dari kenyataan-kenyataan tersebut, maka penulis membuat permasalahan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana sejarah dan perkembangan keramik tradisional Jepang? 2. Bagaimana nilai-nilai ajaran Zen Buddhisme di Jepang? 3. Bagaimana nilai-nilai ajaran Zen Buddhisme pada estetika keramik tradisional Jepang?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan Sesuai dengan judul skripsi, yaitu “Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme pada Estetika Keramik Tradisional Jepang” maka penulis akan membahas lebih lanjut mengenai keramik tradisional Jepang beserta nilai-nilai ajaran Zen Buddhisme yang terkandung dalam estetikanya. Untuk mengetahui lebih dalam tentang hubungan tersebut, penulis akan membahas sejarah dan perkembangan keramik tradisional Jepang serta ajaran Zen Buddhisme di Jepang. Penulis juga akan mengarahkan pembahasan kepada nilai estetika yang dipercayai oleh masyarakat Jepang secara umum. Kemudian, penulis akan mengarahkan pembahasan kepada nilai-nilai estetika berdasarkan ajaranZen Buddhisme yaitu estetika wabi-sabi.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

Bedasarkan nilai-nilai estetika tersebut, penulis akan mengarahkan pembahasan kepada nilai ketidaksimetrisan, nilai kealamian, nilai kesederhanaan, dan nilai kedalaman rasa yang tecermin dalam keramik tradisional Jepang. Penulis tidak membahas mengenai keramik modern karena penulis tidak melihat adanya pengaruh ajaran Zen Buddhisme yang terkandung dalam nilai estetika keramik modern Jepang. Berdasarkan fakta-fakta tersebutlah nantinya akan ditinjau bagaimana nilai-nilai ajaran Zen Buddhisme yang terkandung dalam estetika keramik tradisional Jepang dengan cara menunjukkan nilai-nilai estetika wabi-sabi tentang keindahan, kesederhanaan, ketidaksimetrisan, dan kedalaman rasa yang tercermin dalam keramik tradisional Jepang.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1. Tinjauan Pustaka Keramik merupakan salah satu dari karya seni. Setiap karya seni pastilah mempunyai nilai estetika tersendiri sesuai dengan masyarakatnya. Disini penulis telah mengutip pandangan dari beberapa tokoh tentang seni dan nilai estetika yang berguna untuk mempermudah dalam memahami nilai estetika yang terkandung pada keramik Jepang. Menurut Baumgarten dalam Simbolon (1996:5) seni adalah keindahan. Seni merupakan wujud bahkan tujuan seni. Oleh karena itu, segala manifestasi yang sempat dilahirkan sebagai hasil-hasil pengolahannya haruslah menjadikan orang lain senang. Sedangkan menurut Tolstoy dalam Simbolon (1996:6) seni menimbulkan perasaan yang pernah dialami. Dengan kata lain, seni haruslah

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

mengungkapkan keindahan baik dengan perantaraan bentuk, garis dan warna sehingga orang lain dapat merasakan dan menikmati keindahan tersebut. Menurut Hegel dalam Wiryomartono (2001:39) seni adalah manifestasi dari manusia untuk membawa keindahan alam raya ke dalam ranah budaya. Seni bukanlah produk alam. Seni adalah buah karya yang diciptakan secara mendasar untuk manusia kurang atau lebih melalui medium indrawi dan dialatkan pada tangkapan indrawinya. Seni senantiasa mengandung tujuan yang mengikatnya dengan manusia. Hagel juga mengatakan bahwa karya seni adalah untuk membawa kejelasan mana yang alami dan mana yang kultural. Sejauh prinsip-prinsip alami dipenuhi oleh sebuah karya seni, sejauh itu pula yang harus dikenali oleh manusia sebagai artisnya, sebagai penggugah rasa dan perasaan. Karya seni secara hakiki akan membuat manusia baik sebagai seniman maupun sebagai pengamatnya merasa kerasan. Karya seni disajikan untuk pemahan indrawi yang melibatkan rasa dan perasaan manusia. Menurut Sedyawati (2006:364) istilah “estetika” pada dasarnya mengacu pada wacana yang otonom mengenai “baik” dan “indah” dalam kesenian. Uraianuraian mengenai hal tersebut dapat dilihat pada operasi karya-karya seni itu sendiri, baik ketika diciptakan maupun ketika diserap dan dinikmati. Menurut

Agustinus

dalam

Sutrisno

(1993:32)

keindahan

adalah

pandangan-pandangan tentang keselarasan, keseimbangan, keteraturan, dan lainlain, sebagai ciri-ciri khas keindahan. Menurut Clive Bell dalam Sutrisno (1993:82) keindahan hanya dapat ditemukan oleh orang yang dalam dirinya sendiri punya pengalaman yang bisa

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

mengenali wujud bermakna dalam suatu benda atau karya seni tertentu dengan getaran atau rangsangan keindahan. Dalam seni keramik di Jepang terdapat nilai estetika yang khas yaitu berdasarkan ajaran Zen Buddhisme. Menurut Sutrisno (1993:130-132) pada dasarnya Zen adalah seni untuk melihat kodrat diri sendiri dan dengan demikian menjadi Buddha. Zen mampu meleluasakan kekuatan-kekuatan alami manusia, mencegah kelesuan dan menyemangati manusia menuju kebahagiaan. Pengaruh spiritual Zen juga mampu mewarnai ciri umum dalam karya seni, yaitu gaya sudut-tunggal, wabi-sabi, serta ketidaksimetrisan (bagian yang satu dengan yang lainnya tidak sama atau seimbang). Wabi-sabi sebagai sistem estetika yang komprehensif, telah mempunyai jangkauan ruang lingkup yang luas antara lain ; ajaran moral, spiritual, metaphisik, ekspresi dan kualitas benda. Prinsip-prinsip ajaran Zen telah digunakan sebagai acuan dalam menentukan kaidah-kaidah estetis termasuk unsur-unsur dan prinsip seni Jepang. Karakteristik estetika Jepang tersebut adalah fukinsei (asimetris atau ketidakteraturan), kanso (kesederhanaan yang rapi dan segar), koko (esensi), shizen (kewajaran atau kealamian), yugen (bermakna atau rasa yang mendalam), datsuzoku (kebebasan yang tidak terikat), shibui (kesederhanaan dan keindahan seadanya), wabi (kekayaan dalam kesederhanaan), sabi (kesendirian dan ketidakberaturan), dan seijaku (hening atau tenang). Wabi secara harfiah berarti kesederhaan. Wabi adalah kekayaan rohaniah (bathin) dalam kemelaratan (fisik). Dalam pemakaian sehari-hari , kata ini berarti hidup di dalam pondok kecil, kekurangan biaya hidup, bagaikan tanaman hampir layu, ketiadaan air. Dapat disimpulkan bahwa wabi adalah jalan kehidupan

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

spiritual yang dipakai dalam menghargai benda dan seni. Prinsip Zen tentang wabi adalah gabungan prinsip Konfucius, Tao, Budha dan Shinto yang berfokus pada pandangan petapa dan mengapa petapa mengejar hidup terang dalam kesendirian. Prinsip filosofinya adalah mengurangi ego dan dunia materi yang memberikan penderitaan, ketakutan akan kematian, penghargaan terhadap hidup dan menyelaraskan hidup dengan alam. Sedangkan sabi berarti suatu bentuk kesendirian, keterasingan dan ketidakberaturan. Sabi mengarah kepada objek individual dan keadaan lingkungan secara umum. Penulis sendiri berpendapat bahwa suatu karya seni haruslah memiliki nilai estetika. Nilai estetika tersebut haruslah memiliki unsur keindahan yang merupakan perpaduan antara unsur-unsur yang harmonis serta dapat memberikan arti bagi setiap penikmatnya. Dalam estetika keramik tradisional Jepang nilai-nilai ajaran Zen sangat berpengaruh besar. Estetika wabi-sabi dan nilai-nilai ajaran Zen di dalamnya membangun nilai estetika keramik tradisioanal Jepang. 2. Kerangka Teori Penulis menggunakan konsep religi yang bertujuan untuk menganalisa dengan lebih baik terhadap keterkaitan ajaran Zen Buddhisme terhadap seni keramik Jepang. Konsep religi menurut Koentjaraningrat dalam Barus (2008:9), yaitu sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan dan bertujuan mencari hubungan antara manusia dengan Tuhan, dewa-dewa atau mahluk halus yang mendiami alam gaib. Konsep historis atau sejarah juga digunakan penulis dalam penelitian ini, karena penulis menjelaskan latar belakang sejarah keramik dan masuknya ajaran

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

Zen Buddhisme di Jepang. Menurut Kaelan (2005:61), sejarah adalah pengetahuan yang tepat terhadap apa yang telah terjadi. Sedangkan menurut Nevin dalam Kaelan (2005:61), sejarah adalah deskripsi yang terpadu dari keadaan-keadaan, kejadian-kejadian atau fakta-fakta yang terjadi pada masa lampau yang ditulis berdasarkan penelitian serta studi yang kritis untuk mencari kebenaran. Pengaruh terbesar dari seluruh aliran Buddhis dalam sejarah Jepang adalah Zen, yang masuk melalui daratan Korea dan Cina, dari asalnya India. Selanjutnya Zen masuk ke Jepang pada masa Kamakura (1185-1236) yang berpengaruh secara mendalam pada kehidupan militer dan karya seni bahkan dalam kehidupan seharihari masyarakat Jepang. Pada bidang kesenian, Zen memiliki pengaruh yang amat besar bagi masyarakat Jepang dalam berkarya cipta dan dalam cara mereka memandang estetika. Estetika seni keramik Jepang juga mendapat pengaruh yang besar dari ajaran Zen. Karena itulah dalam pembahasan ini penulis akan melakukan pendekatan terhadap nilai estetika menurut ajaran Zen. Zen, pada dasarnya adalah seni untuk melihat kodrat diri sendiri dan dengan demikian menjadi Buddha. Zen mampu meleluasakan kekuatan-kekuatan alami manusia, mencegah kelesuan dan menyemangati manusia menuju kebahagiaan. Pengaruh spiritual Zen juga mampu mewarnai ciri umum dalam karya seni, yaitu gaya sudut-tunggal (ditemukan pada seni lukis), wabi dan sabi, serta ketidaksimetrisan (bagian yang satu dengan yang lainnya tidak sama atau seimbang) (Sutrisno,1993:130-132).

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

Pendekatan Zen terhadap realitas yang juga mempengaruhi ekspresi seni mereka dapat dirunut lewat pendekatannya yang berlawanan dengan pendekatan ilmiah. Zen masuk ke dalam obyek itu sendiri, ke inti realitas. Maka pengamatan terhadap realitas selalu didahului dengan pemerenungan dalam keheningan untuk melihat apakah semuanya itu memang ada sebagaimana adanya. Tidak justru keluar, mengambil jarak agar bisa menalari obyek secara logis sebagaimana terjadi dalam pemikiran barat (Sutrisno, 1993:129). Menurut Sen no Rikyu, wabi adalah suatu bentuk kekayaan dalam kemiskinan dan keindahan dalam kesederhanaan, sedangkan sabi berarti suatu bentuk kesendirian, keterasingan dan ketidakberaturan. Penggunaan nilai wabi dan sabi terdapat dalam seni keramik di Jepang yang menonjolkan ciri kealamian dan sederhananya (Hulu, 2007: 54). Menurut penulis secara pribadi, estetika keramik tradisional Jepang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai ajaran Zen Buddhisme. Nilai-nilai ajaran Zen tersebut terdapat dalam konsep estetika wabi-sabi. Nilai-nilai tersebut membangun nilai estetika yang khas pada keramik tradidional Jepang. Selain itu, dalam pembahasan skripsi ini, penulis juga melakukan pendekatan dengan teori semiotika, karena teori semiotika dapat digunakan sebagai metode dalam memaparkan nilai-nilai estetika dan sesuatu yang bersifat tekstual (Marx Bense dalam Sachari, 2002:61). Menurut Paul Cobley dan Litza Janz dalam Ratna (2004:97) semiotika berasal dari bahasa Yunani yaitu semeion/seme yang berarti tanda/penafsir tanda. Semiotika adalah studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya serta apa manfaatnya terhadap kehidupan.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

Dengan kata lain, perangkat pengertian semiotik dapat diterapkan pada semua bidang kehidupan asalkan persyaratannya dipenuhi, yaitu ada arti yang diberikan, ada pemaknaan dan ada interpretasi (van Zoest dalam Christomy, 2004:79). Menurut Pradopo (2002:271) semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotika itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Tanda mempunyai dua sapek, yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Petanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh petanda itu, yaitu artinya. Menurut Hoed dalam Nurgiyantoro (1995:40) tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain, yang dapat berupa pengalaman, perasaan, pikiran atau gagasan dan lain-lain. Bahasa adalah sistem tanda yang paling lengkap dan sempurna. Namun yang dapat menjadi tanda sebenarnya bukan hanya bahasa saja, melainkan berbagai hal yang melingkupi kehidupan ini misalnya warna, baju, bendera, karya seni dan sebagainya. Jadi, pada dasarnya analisis semiotika menganalisis atau meneliti suatu tanda yang terdapat dalam kajian yang diteliti. Dalam hal ini, proses pembuatan dan keramik tradisional Jepang itu sendiri akan dijadikan tanda yang akan menunjukkan adanya nilai-nilai ajaran Zen Buddhisme yang tercermin dalam estetika keramik tradisional Jepang.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan pembahasan di atas, penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut: 1) Untuk mengetahui sejarah dan perkembangan keramik di Jepang. 2) Untuk mengetahui nilai-nilai ajaran Zen Buddhisme di Jepang. 3) Untuk mengetahui nilai ajaran Zen Buddhisme pada estetika keramik trdisional Jepang

2. Manfaat Penelitian Dengan dibahasnya pengaruh Zen Buddhisme pada nilai estetika keramik di Jepang, maka diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi: a) Penulis sendiri yaitu dapat menambah wawasan dan pengetahuan penulis tentang keramik Jepang terutama nilai ajaran Zen Buddhisme pada estetika keramik tradisional Jepang. b) Peningakatan ilmu pendidikan khususnya di bidang pranata masyarakat dan kebudayaan Jepang.

1.6 Metode Penelitian Di dalam melakukan sebuah penelitian dibutuhkan metode sebagai penunjang untuk mencapai tujuan. Metode adalah cara melaksanakan penelitian. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif. Menurut Koentjaraningrat (1976:30), penelitian yang bersifat deskriptif yaitu memberikan gambaran secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala, atau

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

kelompok tertentu. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta,

sifat-sifat

serta

hubungan

antar

fenomena

yang

diselidiki

(Nazir,1988:63). Dalam mengumpulkan data-data penelitian ini, penulis menggunakan teknik studi kepustakaan (library research), dengan mengambil sumber acuan dari berbagai buku dan artikel yang berhubungan dengan keramik di Jepang, seni dan nilai estetika serta buku-buku lainnya sebagai literatur tambahan.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KERAMIK TRADISIONAL JEPANG DAN ESTETIKA ZEN BUDDHISME DI JEPANG

2.1 Sejarah dan Perkembangan Keramik di Jepang Seni keramik adalah seni yang paling sederhana dan sekaligus paling rumit dalam proses pembuatannya, karena dalam proses tersebut sangat bergantung pada alam. Seni keramik dipandang dari segi bentuk merupakan seni murni, atinya seni yang terbebas dari segala macam peniruan dan mempunyai esensi paling abstrak. Selain itu, seni keramik merupakan hasil kebudayaan manusia yang terwujud dalam bentuk keramik serta memiliki fungsi dan nilai-nilai tertentu. Keramik diproses melalui beberapa tahapan dan dari berbagai komponen bahan baku yang diperoleh dari lingkungan alam. Ditinjau dari bahan dasarnya, keramik mempunyai arti suatu barang atau benda yang berasal dari bahan alam, tanah dan batu-batuan silikat, anorganis, non logam, yang pembuatannya melalui proses pembakaran suhu tinggi. Selain itu, dikatakan pula bahwa yang termasuk keramik bukan hanya produk-produk yang berupa guci, melainkan termasuk bahan bangunan (semen, batu bata, kapur tohor, genteng dan lain-lain), bahan refrektori (bata tahan api dan semen tahan api dan sebagainya), bahan email, bahan gelas, dan porselen (Astuti, 1997:6). Selanjutnya keramik juga diklarifikasikan berdasar struktur bahan dan temperatur suhu bakarnya, yaitu: gerabah (earthen ware) , tembikar (stone ware), dan porselen.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

Kendatipun keanekaragaman jenis keramik yang diuraikan di atas, penulisan ini difokuskan pada pengertian seni keramik, yaitu hasil karya manusia yang menggunakan medium tanah liat sebagai wadah apresiasi manusia.

2.1.1 Sejarah Keramik Tradisional Jepang Keramik pertama kali dibuat di Jepang sekitar 13.000 tahun yang lalu. Pada saat itu, benda yang dihasilkan secara umum adalah berupa periuk besar untuk merebus. Dekorasinya dihasilkan dengan cara menggiling atau menekankan jalinan tali pada permukaannya. Karena pola dekorasi inlah, barang tanah liat pada zaman ini disebut dengan jomon doki (jo = tali; mon = pola; doki = barang tanah liat). Sekitar 5.000 tahun yang lalu, selama zaman Jomon, beberapa desain yang sangat dinamis muncul, termasuk ornament ombak pada bibir periuk dan pola-pola aneh yang menutupi setiap permukaannya. Pada zaman Yayoi berikutnya, jenis tembikar baru diperkenalkan dari semenanjung Korea. Tembikar Yayoi merupakan bagian dari kehidupan seharihari masyarakat Jepang pada saat itu, terutama digunakan sebagai tempat penyimpanan, memasak dan peralatan makan. Tembikar pada zaman ini tidak semeriah pada zaman Jomon dan warnanya yang muda menciptakan kesan lembut. Sekitar abad ke-7, para pengrajin Jepang pergi mempelajari teknik-teknik pembuatan keramik ke Korea dan Cina. Mereka mempelajari menggunakan glasir dan pembakaran dengan suhu rendah. Selama berabad-abad masyarakat Jepang menggunakan teknik seperti yang dilakukan di Cina dan Korea. Pada sekitar abad ke-11 ajaran Zen Buddhisme masuk ke Jepang dari Cina. Munculnya Zen Buddhisme di Jepang diikuti dengan masuknya kebudayaan Cina,

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

termasuk diantaranya budaya penjamuan teh. Dalam perkembangannya, Zen telah memiliki pengaruh yang kuat pada kebudayaan Jepang. Bersamaan dengan itu, berkembang pulalah kebudayaan penjamuan teh yang kemudian dikenal dengan cha no yu atau cha do. Zen Buddhisme sangat erat hubungannya dengan upacara minum teh. Berdasarkan Zen Buddhisme, upacara minum teh merupakan perwujudan dalam mencari keindahan yang mendalam, serta berperan penting dalam pengembangan kepekaan estetis dan rasa keindahan. Di lain sisi, upacara minum teh memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan keramik di Jepang. Para ahli atau guru pada upacara minum teh ingin agar peralatan makan dan minum mereka juga mengekspresikan semangat Zen khususnya nilai estetikanya (estetika wabi-sabi), sehingga kemudian menggunakan pengaruh mereka untuk memerintahkan para pengrajin keramik untuk membuat peralatan yang sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Karya-karya keramik di Jepang pun terimbas dengan falsafah ajaran Zen Buddhisme. Bentuk keramik yang dihasilkan sangatlah sederhana, alami dan bahkan asimetris atau tidak beraturan bentuknya.

2.1.2 Pengertian Keramik Tradisional Jepang Keramik dapat digolaongkan menjadi dua jenis, yaitu keramik tradisional dan keramik canggih atau keramik modern. Dalam pembahasan ini hanya akan membahas mengenai keramik tradisional saja, khususnya keramik tradisional Jepang. Untuk selanjutnya akan disebut dengan kata “keramik” saja. Keramik dapat dikategorikan dalam tiga kelompok, yaitu gerabah (earthen ware), tembikar (stone ware), dan porselen. Ketiganya terbuat dari bahan baku

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

tanah liat yang berbeda-beda. Namun gerabah dan tembikar memiliki persamaan, yaitu tanah liatnya berwarna merah dan bersifat plastis, sedangkan porselen tanah liatnya putih dan tidak plastis sehingga tidak dapat diolah dengan tangan. Dalam perkembangannya, keramik putih atau porselen tidak mendapat pengaruh berarti dari ajaran Zen Buddhisme, sehingga keramik porselen tidak digunakan dalam upacara minum teh. Hal ini disebabkan sifat tidak plastis yang dimiliki oleh porselen yang mengharuskannya menggunakan peralatan khusus dan bahan tambahan (berupa zat kimiawi) dalam proses pembuatannya. Hal ini bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Zen Buddhisme tentang kealamian dan kesederhanaan.

2.1.2.1 Proses Pembuatan Keramik Tradisional Jepang Proses pembuatan keramik terdiri dari: pengolahan bahan baku, pembentukan, dekorasi dan pewarnaan, serta pembakaran. Proses pembuatan keramik akan diuraikan dalam penjelasan berikut ini: 1. Pengolahan Bahan Baku Sebelum melakukan pembentukan, harus dilakukan pengolahan bahan baku (tanah liat mentah) yang diambil dari alam yang kemudian dibersihkan dari kotorannya dengan cara menghancurkan (funsai). Setelah bersih dan sempurna (seisei), bila perlu dicampur dengan bahan baku lainnya seperti talk, kwarsa dan lain-lain, sesuai dengan komposisi yang dikehendaki. Proses tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan metode basah maupun metode kering. Untuk mendapatkan hasil pencampuran yang maksimal perlu dilakukan penguletan (tsuchineri).

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

Penguletan (tsuchineri) dilakukan dalam tiga tahap. Tahap penguletan pertama (aramomi), yaitu dengan cara mendorong tanah liat kemudian menariknya kearah belakang yang bertujuan untuk memperoleh homogenitas tanah liat. Tahap pertama ini dilakukan 10 sampai 15 kali. Tahap kedua penguletan (kikumomi atau nejimomi) berfungsi untuk menghilangkan gelembung udara yang terdapat dalam bungkahan tanah liat. Caranya yaitu dengan memutar tanah liat dengan menggunakan tangan kanan dan tangan kiri digunakan sebagai tumpuan. Tahap ini dilakukan sampai tanah liat berlipat-lipat melingkar menyerupai bunga seruni (kiku). Tahap ketiga adalah penguletan terakhir (momiage). Tahap ini berfungsi untuk menambah keplastisan tanah liat dengan cara seperti pada tahap kedua, tetapi dibentuk memanjang, kemudian tanah liat siap dibentuk. 2. Pembentukan Keramik (Seikei) Teknik yang dilakukan untuk pembentukan keramik ada tiga macam, yaitu pembentukan dengan menggunakan tangan (tezukuri), pembentukan dengan menggunakan putaran (rokuro seikei), dan pembentukan dengan menggunakan cetakan (katazukuri). 1) Pembentukan dengan Menggunakan Tangan (Tezukuri) Pembentukan yang dilakukan dengan menggunakan tangan merupakan teknik tradisional sebelum teknik menggunakan alat putar dikenal oleh masyarakat Jepang. Teknik Tezukuri sampai saat ini masih dipertahankan masyarakat Jepang. Terdapat tiga macam teknik yang termasuk teknik Tezukuri, yaitu:

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

a. Teknik Pijit Teknik pijit yaitu suatu pembentukan yang secara langsung dilakukan dengan cara memijit-mijit gumpalan tanah liat yang telah melalui proses pengolahan sehingga membentuk sebuah bentuk sesuai dengan desain yang dikehendaki. Teknik pijit juga disebut dengan teknik Raku. b. Teknik Lilitan Teknik lilitan merupakan suatu pembentukan benda dengan cara melingkarkan lilitan tanah liat sesuai dengan bentuk yang dikehendaki, kemudian pada bagian dalamnya deratakan agar lilitan yang melingkar tersebut menyatu. c. Teknik Lempengan Teknik lempengan merupakan suatu teknik pembentukan dengan menggunakan lempengan tanah liat. Pada milanya tanah liat digilas siantara dua bialah papan dengan menggunakan rol kayu. Setelah merata dan mempunyai ketebalan tertentu, lempengan tersebut dipotong sesuai dengan bentuk dan ukuran yang dikehendaki. Untuk merekatkan antara bidang yang sau dengan yang lainnya digunakan slip atau bubur tanah sebagai perekatnya. 2) Pembentukan dengan Menggunakan Alat Putar (Rokuro Seikei) Teknik ini digunakan sebagai medium melatih konsentrasi pemusatan pikiran (mental) dan tubuh dalam meditasi. Jika seseorang tidak melakukan pemusatan pikiran dan tenaga, maka ia tidak dapat membuat keramik dengan menggunakan teknik ini. Untuk dapat melakukannya diperlukan kedisiplinan dalam berlatih. Pertama sekali yang harus dilakukan dalam teknik ini adalah meletakkan segumpal tanah liat tepat di tengah-tengan putaran. Kemudian tanah tersebut

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

ditekan dalam keadaan roda berputar untuk mencari pusat lingkaran. Dalam kondisi seperti ini memerlukan daya konsentrasi yang tinggi. Setelah menemukan titik pusat tanah liat tersebut segera dibentuk lubang sampai mendekati dasar (kurang lebih 1 cm dari dasar), kemudian tanah liat dalam posisi berputar ditarik ke atas, mengikuti gerak tangan. Bila penarikan dilakukan tegak lurus maka akan membentuk silinder, bila digerakkan kearah dalam akan membentuk cembung, demikian pula jika ditarik ke arah luar maka akan membentuk cekung. 3) Pembentukan dengan Teknik Cetak (Katazukuri) Pembentukan dengan teknik cetak dilakukan untuk jenis keramik porselen karena sifat bahan bakunya tidak plastis. Cetakan yang digunakan terbuat dari gibs, dilakukan dengan cara menuangkan bubur porselen ke dalam cetakan hingga penuh. Kemudian setelah beberapa saat massa dalam cetakan tersebut turun karena kandungan airnya terserap dinding cetakan. Selanjutnya diulang kembali sampai lapisan dinding cetakan menebal. Waktu penuangan kurang lebih 10 sampai 15 menit, bergantung pada ukurang benda yang akan dibuat. Semakin besar benda yang akan dibuat maka semakin banyak waktu yang diperlukan untuk peresapan. Menurut para ahli teh, porselen tidak dapat secara langsung dibentuk dengan tangan dan mempunyai komposisi bahan yang sempurna, sehingga ia tidak dapat digolongkan sebagai keramik teh. 3. Dekorasi dan Pewarnaan Dekorasi atau hiasan memiliki sentuhan keindahan tersendiri yang mencerminkan kekhasan kebudayaan suatu kelompok masyarakat. Penataan unsur-unsur hiasan yang terdiri dari penyederhanaan bentuk-bentuk alam, tekstur

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

dan warna, membentuk suatu motif yang digunakan sebagai dekorasi suatu benda. Hiasan yang menyertai suatu benda dapat diinterpretasikan sebagai simbol, tidak terbatas pada bentuk-bentuk yang kongkrit atau realistis. Dalam hal ini masyarakat Jeapang memiliki beberapa cara atau teknik dekorasi keramik. a. Dekorasi Engobe Engobe adalah suatu larutan tanah bewarna yang diperoleh secara alami ataupun buatan. Pada umumnya engobe alami berwarna krem, coklat, dan coklat tua dengan temperature bakar 1050 derajat celcius. Penggunaan engobe pada stone ware lebih memberikan kemungkinan warna lebih muda dan lebih cerah jika dibandingkan dengan penggunaan pada earthen ware (gerabah). Hal ini dikarenakan stone ware berwarna dasar krem keputihan atau cenderung berwarna putih keabu-abuan, sedangkan earthen ware berwarna dasar merah kecoklatan. Selain sebagai pewarna pada dekorasi keramik, engobe memiliki sifat menutup permukaan benda dengan baik, padat, serta tidak larut jika diglasir. Teknik dekorasi pelapisan engobe dilakukan dengan kuas atau dicelupkan. b. Dekorasi Irisan (Nentori) Menghiasi permukaan benda keramik dengan membuat garis-garis pada permukaannya dalam keadaan setengah kering dengan menggunakan pisau kecil atau kawat pemotong. c. Dekorasi Cap/ Tekan (Tataki Ita) Menghiasi permukaan benda dengan motif-motif yang telah dipersiapkan di atas papan kayu. Kemudian ditekan-tekankan pada permukaan benda sehingga membentuk bekas atau cap sesuai dengan desain yang dibuat. Teknik ini selain

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

sebagai dekorasi, juga berfungsi untuk memadatkan permukaan benda sebelum dibakar. d. Dekorasi Torehan Sisir (Kushine) Menghiasi permukaan benda dengan

menorehkan sisir

sehingga

membentuk guratan-guratan garis atau dilakukan dengan cara menorehkan jarum, batang ranting atau benda-benda runcing lainnya pada permukaan benda yang masih dalam keadaan setengah kering. e. Dekorasi Isi/ Inlay (Zoogan) Melukis di atas permukaan benda dengan menggunakan benda tajam kemudian bagian-bagian yang tertireh diisi dengan bubur warna. Selanjutnya, setelah kering dan sebelum di bakar dicelupkan ke dalam glasir transparan. f. Dekorasi Lilin Cair (Roonuki) Melelehkan atau menyapukan lilin cair di atas permukaannya setelah benda di bakar. Sebelum dibakar, benda tersebut terlebih dahulu di celupkan ke dalam glasir pewarna. Lilin berfungsi sebagai penutup permukaan agar tidak terkena warna. g. Dekorasi Lelehan (nagashigake) Bermula dari negri Cina, lelehan-lelehan warna dibuat dengan cara menuangkan glasir berwarna atau dengan engobe cair pada bagian punggung tempayang atau bagian lengkungan piring, sehingga secara alami warna-warna tersebut turun, tampak seperti meleleh menghiasi permukaan benda. h. Dekorasi Tobiganna atau Kusuri Mon Istilah Tobiganna ini sulit diartikan ke dalam bahasa Indonesia karena dekorasi ini ditemukan dan dikembangkan di Jepang dan tidak dimiliki oleh

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

negara-negara lain. Tobi berasal dari kata Tobu (terbang), dan ganna adalah pisau panjang semacam sabit rumput. Dalam teknik ini, sesuai dengan namanya, berupa cukilan-cukilan pisau. Cukilan-cukilan tersebut dibuat dengan cara membuat ketukan-ketukan pisau di atas permukaan benda setengah kering yang dilumuri bubur warna (engobe), pada saat benda keramik berada dalam posisi memutar di atas pemutar. Pada umumnya, warna yang dilumurkan berbeda dengan warna dasar stone ware. i.

Dekorasi Glasir(Yuuyaku) Pengglasiran mempunyai pengertian pengaplikasian glasir atau pelapisan

pada permukaan benda yang masih dalam keadaan mentah (belum dibakar) maupun pada keramik, selagi dalam proses pembakaran pertama. Beberapa cara yang dilakukan orang Jepang, yaitu dengancara pencelupan, penyemprotan, dan pengolesan. Hakeme adalah termasuk salah satu dari dekorasi glasir dengan cara mengoreskan kuas besar pada permukaan keramik. Guratan-guratan sapuan kuas tampak melingkar mengikuti arah pemutar. Sebelum mengenal glasir berwarna, orang Jepang menggunakan glasir transparan dengan memakai garam dapur sebagai pelapis permukaan keramik. Pewarnaan dilakukan sebelum pengglasiran dengan menggunakan engobe atau oksida pewarna. Selain garam dapur, juga digunakan abu kayu pohon cemara sebagai glasir dof (tidak mengkilat). Masih berkaitan dengan pewarnaan keramik selain dengan menggunakan pelapisan atau pengglasiran pada permukaan benda keramik, mereka juga melakukan pengasapan (pembakaran reduksi) yang disebut dengan istilah “Kokuto”. Pengasapan dilakukan dengan memasukkan daun cemara yang basah

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

ke dalam perapian tungku pembakarn. Asap tersebut menjadikan pembakaran reduksi dan mengakibatkan benda keramik yang berada dalam tungku pembakaran menjadi hitam. Pewarnaan alami semacam ini ditemukan pertama kali saat ajaran Zen Buddhisme mulai diterapkan dalam prinsip kesenian di Jepang, khususnya seni keramik. 4. Pembakaran Keramik Pembakaran merupakan proses terpenting dalam membuat keramik, karena suatu benda yang terbuat dari tanah liat tidak akan disebut keramik jika tidak melalui proses pembakaran. Pada mulanya, proses pembakaran tidak dilakukan di dalam tungku pembakaran yang terbuat dari batu tahan api, tetapi dilakukan di dalam lubang-lubang tanah yang ditutup dengan dahan-dahan kering atau jerami yang sekaligus berfungsi sebagai bahan bakar. Pembakaran semacam ini dapat dilakukan di mana-mana sehingga disebut dengan tungku ladang (Bon firing). Proses pembakaran dapat menentukan kualitas keramik yang dibakar. Untuk itu, perlu diperhatikan konstruksi tungku, suhu bakar (dihasilkan dari listrik, gas, minyak, kayu), sirkulasi api atau jalannya api (api naik, api terbalik), dan yang terakhir dari jenis pembakaran (pembakaran oksidasi, pembakaran netral atau pembakaran reduksi). Pada umumnya tungku pembakaran yang ada di Jepang adalah tungku untuk pembakaran suhu tinggi karena bahan baku keramik adalah jenis stone ware dan prselen. Bahan bakar tungku sebagian besar menggunakan kayu untuk tungku tradisional, dan gas atau listrik untuk tungku modern. Ada juga beberapa daerah yang menggunakan bahan bakar minyak.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

Sebagai sumber panas, listrik dan gas menciptakan temperatur yang stabil sehingga hasil pemakaran sangat sempurna. Sedangkan panas yang dikeluarkan oleh minyak dan kayu tidaklah stabil karena pengaturan api melalui cerobong asap,

sehingga

mengakibatkan

terjadinya

pembakaran

reduksi.

Namun

pembakaran tersebut bagi orang Jepang dirasakan lebih alami dan lebih digemari. Di Jepang,melakukan pembakaran keramik mempunyai makna tersendiri, yaitu mengharapkan sesuatu dengan berhati-hati agar konsentrasi yang ada tidak hilang. Dalam situsi seperti itu, biasanya mereka melakukan upacara dengan minum sake bersama pada saat pembakaran berlangsung dan setelah pembakaran selesai.

2.1.2.2 Jenis-jenis Keramik Tradisional Jepang Di Jepang, seni keramik sangat berkembang, tidak hanya menjadi rumah bagi seniman atau pengrajin keramik, namun juga merupakan bangsa dengan populasi penikmat dengan apresiasi yang sangat tinggi terhadap seni keramik. Variasi keramik Jepang sangatlah mengagumkan. Karya-karya seniman keramik di Jepang belakangan ini semakin menarik perhatian. Berikut merupakan jenisjenis keramik tradisional Jepang berdasarkan daerah asal atau tempat pembuatanya: 1. Arita dan Karatsu Tembikar Arita dipercaya sudah ada sejak abad 16 (periode Momoyama), ketika seorang pembuat keramik keturunan Korea, Ri Sampei, menemukan tanah liat di Arita, Kyushu dan memproduksi porselen. Inilah awal dari pembuatan porselen di Jepang. Bahkan sampai periode Meiji (1868-1911), wilayah Arita

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

merupakan pusat porselen di Jepang dengan gaya Sometsuke, yaitu dekoarasi kebiruan dengan lapisan glasir bawah. Disamping itu juga dikembangkan porselen bergaya Aka-e yang menggunakan glasir enamel dan polychrome. Tembikar Karatsu juga berasal dari sekelompok orang keturunan Korea. Kebanyakan produksinya adalah untuk keperluan sehari-hari dan untuk peralatan upacara minum teh (cha no yu). Daerah ini memproduksi beberapa jenis tembikar dengan corak hias berupa glasir besi, dekorasi kuas, bulir, berbintik dan lain-lain. 2. Hagi Keramik Hagi pada umumnya memproduksi keramik berupa mangkuk untuk upacara minum teh (cha no yu). Keramiknya minim dengan ekspresi pribadi dan pengglasirannya sedikit buram. 3. Bizen Keramik Bizen tampil sebagai keramik utama dalam upacara minum teh (cha no yu). Tanah liatnya kaya akan besi dan dibuat tanpa glasir sama sekali untuk menampilkan keindahan alami tanah liat. Selain itu proses pembakaran yang sederhana memunculkan tekstur “benang apai” dan “biji wijen” yang muncul secara alami yang kemudian menjadi ciri khas keramik dari daerah ini. 4. Kyoto dan Tanba Kyoto terkenal sebagai pusat budaya dan politik serta maju secara kultural juga menjadi pusat kesenian dan kerajinan. Sehingga tidak mengherankan sebagai pusat seni, Kyoto juga mengalami perkembangan pada kerajinan keramiknya. Tidak hanya keramik tradisional, tetapi keramik avant-garde pun berkembang di sana.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

Di daerah Tanba, umumnya keramik digunakan untuk peralatan rumah tangga dan sebagai peralatan upacara minum teh (cha no yu). 5. Kutani dan Kanazawa Kutani terletak di prefektur Ishikawa dengan ibukotanya Kanazawa. Kota ini juga merupakan pusat porselen di Jepang. Keramik Kutani dan Kanazawa yang diturunkan dari generasi ke generasi memiliki ciri khas pada penggunaan warna dan bentuk yang berani. 6. Seto dan Mino Daerah ini berkembang sebagai lokasi utama tungku pembakaran keramik sejak zaman kuno hingga sekarang. Teknik pembuatan keramiknya diadopsi dari Arita, Kyushu. Seiring dengan perkembangan zaman, kini pengrajin keramik di daerah ini mulai menggunakan material dan teknik dari Eropa. 7. Tokyo dan Mashiko Walaupun telah menjadi pusat budaya dan politik sejak abad 17, Tokyo bukanlah tempat terdapatnya sumber tanah liat dan bukan pula pusat tradisi pembuatan keramik. Tokyo hanyalah kota pendukung bagi mereka yang ingin menjadi pengrajin keramik. Dikatakan demikian karena Tokyo sangat mendukung dengan banyaknya institusi seni, seperti universitas seni yang dapat mendukung bagi pembelajaran mengenai seni keramik. Mashiko terletak di utara Kanto, termasuk prefektur Tokyo, merupakan pusat produksi tembikar rakyat Jepang untuk keperluan sehari-hari sejak zaman dahulu. Daerah ini menjadi pusat tembikar, berkat kepiawaian pengrajin tembikar Shoji Hamada yang memproduksi dan mengerjakan peralatan sehari-hari dari tanah liat di akhir era Taisho.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

2.2 Zen Buddhisme di Jepang Banyak orang berfikir bahwa Zen merupakan suatu yang sulit. Padahal huruf Cina yang digunakan untuk kata Zen berarti “menunjukkan kesederhanaan”. Seperti yang tercermin dalam huruf atau karakter tersebut, Zen adalah ajaran yang sangat jelas dan singkat ( Harada, 2003:15). Zen memiliki setidaknya tiga arti yang berbeda, namun saling berkaitan. Seperti yang diungkapkan oleh Chrismas Humpreys dalam Kiew Kit (2004:3) bahwa: Pertama, Zen berarti meditasi. Zen adalah istilah Jepang untuk mengungkapkan “Chan” dalam bahasa Cina, yang bila ditelusuri berasal dari Bahasa Sansekerta Dhyana. Dalam Bahasa Pali disebut. Ini adalah arti yang paling umum dari istlah tersebut Jhana Kedua, dalam arti khusus, Zen adalah nama dari kekuatan absolut atau realitas tinggi, yang tidak dapat disebut dengan kata-kata. Ketiga, dalam arti agak khusus adalah bahwa pengalaman mistis akan keabsolutan kekuatan tersebut, suatu kesadaran, tiba-tiba dan di luar batasan. Kesadaran seseorang yang darinya dunia yang kita kenal ini berasal. Pengalaman mistis ini biasanya disebut kesadaran atau Wu dalam Bahasa Cina dan Satori atau Kensho dalam Bahasa Jepang. Ketiga arti Zen tersebut berkaitan satu sama lain. Meditasi, secara umum adalah cara utama untuk mendapatkan pengalaman langsung dengan realitas tertinggi. Selain proses meditasi untuk mencapai realitas tertinggi, si pelaksana mungkin akan mengalami pemahaman realitas kosmis ini dalam situasi yang penuh dengan inspirasi saat mengalami kesadaran spiritual.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

Zen Buddhisme merupakan salah satu aliran utama dalam Buddhisme Mahayana. Sedangkan agama Budha sendiri memiliki tiga aliran utama, yaitu: Mahayana, Hinayana, dan Vajrana. Mahayana sendiri memiliki dua pandangan mengenai bagaimana mencapai keselamatan, yaitu Jiriki (upaya sendiri) dan Tariki (upaya dari yang lain). Zen menganut pandangan pertama, yaitu Jiriki, bahwa keselamatan hanyalah dapat diperoleh dengan usaha dan upaya sendiri. Zen Buddhisme yang berkembang di Jepang tidak terjadi begitu saja, tetapi mempunyai hubungan yang erat denagn Zen yang ada di Cina. Orang yang paling berjasa memperkenalkan ajaran Zen di Cina adalah Bodhidharma (440528), seorang biarawan India yang nantinya disebut Patriaki Pertama dalam penyebaran ajaran Zen di Cina. Disebutkan bahwa ketika Bodhidharma tiba di Cina, saat itulah lahir aliran Zen. Bodhidharma tiba di Cina tahun 520 kemudian diundang kaisar yang berkuasa di Cina saat itu, mereka terlibat dialog tentang ajaran Zen. Pengajaran Bodhidharma tetntang Zen adalah bahwa perbuatan baik saja tiaklah cukup tetapi melalui perbuatan baik akan mendorong kemurnian moral, suatu syarat mutlak bagi pencerahan. Pada tingkatan pencerahan tertinggi, tidak ada pemikiran dualistis (Wong Kiew Kit, 2004:103-104). Kaisar Liang Wu Di tidak siap menerima ajaran Bodhidharma karena itu dia melewatkan kesempatan untuk memperoleh pencerahan atau kesadaran. Bodhidharma pergi ke kuil Shaolin dan tiba pada tahun 527 untuk mengajarkan Zen. Di kuil tersebut Bodhidharma mengajarkan kepada para rahib tentang pentingnya menjaga kebugaran tubuh, emosi dan mental untuk pengembangan spiritual. Oleh karena itu, dia mengajarkan dua bentuk latihan, yaitu Delapan Belas Tangan Lohan dan Metamorfosis Otot, yang akhirnya

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

berkembang menjadi Kungfu Shaolin dan Chi Kung Shaolin. Bodhidharma menemukan penggantinya sebagai Patriarki Kedua di kuil tersebut. Orang tersebut bernama Ji Guang (487-583). Bodhidharma mengajarkan kepadanya tentang pentingnya arti meditasi. Ia sendiri pernah menjalani meditasi selama sembilan tahun di sebuah gua yang disebut Gua Bodhidharma. Ajaran Zen tidak bergantung pada kitab-kitab dokumen-dokumen ataupun teori-teori keagamaan dalam penyebarannya, tetapi disampaikan dari hati ke hati. Demikian juga yang dilakukan Ji Guang untuk mencari penerusnya sebagai Patriarki Ketiga. Sen can yang diangkat sebagai penerusnya juga berasal dari kuil Shaolin dan mendapat pencerahan setaelah berdialog dengannya. Seng Can kemudian membimbing muridnya Dao Xin (580-651) di kuil Shaolin selama sembilan tahun, dan kemudian menggantikannya senagai Patriarki Keempat. Dao Xin kemudian digantikan oleh muridnya Hong Jen sebagai Patriarki Kelima. Namun dalam mencari Ptriarki Keenam, tejadi perpecahan anatara murid Dao Xin. Seorang muridnya yang buta huruf, Hui Neng, dianggap lebih layak menggantikannya, tetapi murid seniornya tidak mengakuinya. Sejak saat itu, pengajaran Zen di Cina terpecah menjadi dua, yaitu aliran Utara (Shen Xiu) dan aliran Selatan (Hui Neng). Dalam perkembanganya, aliran Utara tidak dapat bertahan lama dan akhirnya lenyap.

2.2.1 Masuknya Ajaran Zen Buddhisme di Jepang Aliran Zen telah memasuki Jepang dari Cina sebelum zaman Kamakura. Pendeta Jepang telah pergi ke Cina untuk mempelajari Zen Buddhisme di tahun 654, demikian juga biarawan Cina pergi ke Jepang untuk mengajarkan Zen,

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

tepatnya di daerah Nara. Beberapa guru Zen dari Cina tersebut telah mamasuki Jepang dan menyebarkan ajaran Zen, tetapi Zen baru benar-benar mengakar dalam masyarakat Jepang setelah ajarannya disebarkan dua orang guru asli Jepang yaitu, Eisai (1141-1215) yang mendirikan sekte Rinzai dan Dogen yang mendirikan sekte Soto. Eisai pertama kali mengajarkan Zen di Kamakura. Ia didukung oleh Shogun dan membuat Zen sangat popular diantara para samurai. Ia juga membangun banyak kuil Zen di Jepang yang disebut sistem Gozan. Diantaranya adalah Kuil Rinjai di Shofukuji Hakata pada tahun 1195 (sekarang prefektur Fukuoka), kemudian ia menjadi kepala biara pertama di Kuil Jufukuji Kamakura, kemudian di Kuil Kenninji Kyoto. Para pendeta Zen dari sistem Gozan tersebut sering kali bertindak sebagai penasehat politik Keshogunan Muromachi. Peran para pendeta Zen tersebut bukan hanya dalam bidang politik, urusan luar negri dan perdagangan saja, tetapi juga memainkan peran utama di bidang seni dan ilmu pengetahuan juga kesusastraan. Dogen sebagai pendiri sekte Soto berbeda sama sekali dengan Eisai. Dogen berasal dari keluarga bangsawan, belajar Zen ke Cina tahun 1223 dan kemudian mendirikan sekte Soto di Jepang. Dogen tidak seperti Eisai yang sangat dekat dengan penguasa militer, sebaliknya ia berusaha menghindari pengaruh penguasa dalam ajaran Zen yang dianutnya. Karena itu ia memilih tinggal di propinsi Echizen tempat ia membangun kuil Eiheiji daripada tinggal di Kyoto. Dogen hanya ingin mengajarkan Zen secara murni, meninggalkan nafsu duniawi dan menjalankan meditasi. Menurut Wong Kiew Kit (2004:197) perbedaan yang paling penting antara ajaran Dogen dan Eisai mengenai Zen adalah pendekatan

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

mereka mengenai pencerahan. Ajaran Eisai, yang berkarakteristik Rinzai Zen, menekankan

penggunaan

Koan

(cerita)

sementara

ajaran

Dogan

yang

berkarakteristik Soto Zen, menekankan pada Zazen atau meditasi duduk. Meskipun demikian ajaran Soto tidak menolak Koan dalam pencapaian pencerahan, demikian juga sebaliknya. Pengaruh Zen mencapai level tertinggi terjadi selama periode Muromachi (1333-1568). Pada masa itu Zen memperlihatkan kekuatannya yang luar biasa dan menyebarluas terutama di kalangan Bushi yang merupakan penguasa Jepang pada saat itu. Ajaran Zen turut memberikan sumbangan bagi pengembangan kebudayaan perajurit menjadi dasar moral dan filosofi utama bagi banyak prajurit Jepang hingga masuk zaman modern. Bahkan sebelum berperang, banyak anggota militer memasuki kuil Zen untuk mendisiplinkan diri untuk menghadapi musuh. Mikiso Hane (1991:80) mengatakan “Tendai untuk keluarga kerajaan, Shingon untuk bangsawan, Zen untuk kelas prajurit dan Jodo untuk masyarakat”. Sepanjang periode Muromachi, Zen menggunakan pengaruhnya yang berkembang pada lukisan tinta, drama No, upacara minum teh, merangkai bunga, seni pertamanan, dan seni lukisan dan sebagainya. Jadi ajaran Zen bukan hanya sekedar teori keagamaan saja, tetapi juga turut mengembangkan seni dan budaya Jepang hingga sekarang. Periode Edo (1600-1868) menghasilkan perdamaian dan mendukung berkembangnya ajaran Zen. Para biarawan yang terkenal pada zaman Edo adalah Takuan Soho (1573-1745), Bankei Yotaku (1622-1693), dan Hakuin (1686-1769) meraka berasal dari Rinzai Zen, Takuan mengajar afinitas antara Zen dan manusia pedang, ia juga dikenal sebagai guru spiritual Miyamoto Musashi (seorang

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

pemain pedang legendaries Jepang). Bankei bertanggung jawab untuk membuat Zen dapat diperoleh kedalam bentuk tidak tertulis yang paling sederhana. Memasuki zaman Meiji (1868), pemerintah lebih mendukung Shinto dari pada agama Buddha. Meskipun demikian Zen tetap berkembang .

2.2.2 Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Masyarakat Jepang Seperti yang telah dituliskan sebelumnya, Zen diajarkan dari hati ke hati, tidak bergantung pada buku-buku, dokumen-dokumen ataupun teori-teori. Bodhidharma menekankan bahwa dalam pembinaan spiritual, intinya adalah pada pengalaman langsung, bukan melalui belajar dari buku (Wong Kiew Kit, 2004:262). Pengajaran Zen tidak dapat dipahami sepenuhnya jika diungkapkan melalui kata atau bahasa, tetapi Zen harus dialami secara pribadi. Meskipun demikian, belajar melalui buku tidak dapat disalahkan, karena melalui buku seseorang dapat dipersiapkan untuk memperoleh pencerahan. Sasaran Zen seperti yang diungkapkan Suzuki (2004:212), Zen pada dasarnya adalah seni melihat hakekat kebenaran seseorang dan menunjukkan jalan dari perbudakan ke kebebasan. Zen dapat membebaskan semua energi yang tersimpan secara alamiah untuk beraktivitas. Berarti Zen adalah seni untuk melihat kodrat diri dan mempergunakan secara maksimal kekuatan-kekuatan yang terdapat dalam diri manusia tersebut. Ajaran Zen tidak hanya terfokus pada kerohanian saja, melainkan juga mencakup penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Para rahib Zen dikatakan selalu berdoa untuk orang lain dan makhluk hidup lainnya, dan tidak pernah berdoa untuk dirinya sendiri. Kalaupun pernah, hanya berupa penyesalan atas

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

perbuatannya dan bukan meminta pertolongan. Mereka tidak hanya mengajarka tentang kasih sayang dan kebijaksanaan, tetapi juga menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari. Para pengikut Zen berusaha untuk hidup dalam disiplin yang ketat untuk membina dan menumbuhkan keutamaan, ketaatan, kesahajaan serta kerandahan hati. Pengikut Zen bukan hanya dituntut untuk hidup sederhana, disiplin, saling mengasihi dan saling membantu sesama manusia, tetapi juga harus bekerja keras untuk hidup tidak bergantung pada belaskasihan orang lain seperti yang sering dilakukan oleh par pendeta Buddha. Dalam Sutrisno (2002:51) disebutkan bahwa Shidarta Gautama yang telah menjadi Budha (orang yang diterangi) menunda masuk nirvana (kehidupan tanpa batas) guna membantu sesama untuk mencapai penerangan, sebuah usaha untuk menyelamatkan sebanyak mungkin orang. Para pengikut Zen juga diwajibkan untuk berbuat demikian (menolong sesama) untuk menjadi Budha. Jadi dapat disimpulkan bahwa Zen mengajarkan untuk tidak mementingkan diri sendiri saja, melainkan juga peduli terhadap kesusahan dan penderitaan sesama manusia. Agar dapat memahami ajaran Zen beserta nilai-nilai yang tercermin di dalamnya, penulis akan membaginya ke dalam beberapa poin, yaitu: pencerahan (satori), koan dan mondo, meditasi dan diri. 1. Pencerahan (Satori) Satori atau pencerahan adalah esensi Zen. Tanpa satori, seseorang tidak akan tahu sepenuhnya apa yang dimaksud dengan Zen. Satori adalah pengalaman utama dalam Zen sebagai seni melihat inti atau kodrat diri sehingga menjadi Budha. Suzuki dalam Sutrisno (2002:56) mengatakan:

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

“Satori adalah melihat inti kodrat diri seseorang. Kodrat ini bukan suatu entitas (kenyataan) yang dimiliki seseorang sebagaimana dibedakan dari yang lain; dan dalam melihat inti diri itu sesungguhnya tidak istilah penonton. Satori berarti ‘mengatasi akal’, ‘satu pikiran mutlak’, ‘kekinian mutlak’, ‘kemurnian yang benar-benar’, ‘kekosongan’, ‘apa adanya’, dan banyak lain lagi”. Pengertian di atas merupakan pengalaman pribadi Suzuki dalam hal satori. Bagaimanapun juga, rumusan tentang satori tersebut sangat terbatas jika diungkapkan dengan kata-kata. Seseorang harus mengalami satori itu sendiri secara langsung untuk memahaminya dengan utuh. Bedasarkan pernyataan Suzuki di atas, ajaran Zen menolak pemisahan dan pembagian antara subjek dan objek. Seluruh alam semesta merupakan satu kesatuan dan tidak ada perbedaan di dalamnya. Jalam Zen ialah menerima hidup ini sebagaimana hidup tersebut dijalani, tidak berusaha memotong-motongnya lalu memulihkan kehidupan tersebut dengan pengintelekan, Zen melestarikan kehidupan sebagai kehidupan. Satori berarti membangun kesadaran baru yang membuang dan membinasakan kerangka berpikir lama dan memandang segala sesuatunya dengan pandangan baru. Kerangka berpikir lama berarti konsep intelektual atau berpikir secara rasional. Sedangkan Zen tidak dapat dipahami sepenuhnya dengan cara berpikir rasional, karena cara berpikir tersebut sering kali tidak berhasil memecahkan masalah pribadi seseorang. Hal ini bernicara mengenai kekosongan mutlak. Kekosongan di sini bukan berarti tidak terdapat sesuatu apapun, melainkan suatu kepenuhan mutlak dan bebas dari segala konsep-konsep intelektual dan rasional. Dalam Sutrisno (1993: 141) dikatakn, prinsip pertama Buddhisme adalah kekosongan yang berarti situasi kepenuhan tanpa halangan dari semua yang ada dalam kehidupan.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

Sedangkan menurut Takuan dalam Suzuki (2004: 40-41) yang terutama adalah menjaga agar pikiran agar pikiran selalu dalam keadaan “mengalir”. Jika pikiran terhenti, maka akan terjadi gangguan yang melukai kesejahteraan pikiran. Hal ini berarti pemikiran sebaiknya tidak dihalangi oleh apapun, tidak dipusatkan atau ditfokuskan hanya pada satu tempat. Jika hal tersebut terjadi, maka pertumbuhannya akan terhenti. Maksudnya adalah bahwa pikiran seseorang itu haruslah dibiarkan mengalir dan bergerak bebas. Jadi, tujuan pokok dari Zen Buddhisme bukanlah untuk masuk dalam surga, tetapi mencapai pencerahan yang meliputi kebenaran seseorang dan memahami alam kenyataan. 2. Koan dan Mondo Salah satu metode untuk mencapai satori (pencerahan) adalah dengan cara Koan dan Mondo selain dengan cara meditasi. Namun, pada umumnya kedua metode tersebut dilakukan bersama-sama untuk mencapai pencerahan. Koan atau kung-an dalam bahasa Cina, merupakan tema meditasi, yaitu berupa persoalan yang diberikan oleh guru kepada muridnya untuk dipecahkan. Sedangkan mondo adalah suatu dialog, tanya jawab, yang langsung diadakan untuk mengetahui ada atau tidaknya pengalaman satori (Sutrisno, 2002:59-60). Koan dirancang dengan tujuan untuk mengacaukan pikiran seseorang yang rasional, hubungan logika, dan memaksanya untuk memperoleh pengertian tibatiba dan intuisi kedalaman kenyataan. Persoalan dalam koan yang dierikan guru kepada muridnya tidak dapat dipecahkan secara logis atau rasional. Antara pertanyaan dengan jawaban koan kelihatannya tidak ada hubungannya. Berikut adalah beberapa contoh koan-mondo:

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

a. Seorang biksu bertanya pada chao-chao (seorang master Zen Cina): “Adakah kodrat Budha dalam diri seekor anjing?”. Jawaban sang guru hanyalah “wu”. b. “Apakah Tao itu?” Jawabannya, “Pikiranmu setiap hari itulah tao”. c. Koan kegemaran hakuin adalah “Apakah suara yang timbul dengan bertepuk sebelah tangan?”. Para murid Zen yang diberikan soal koan tersebut, harus mampu mempertahankan koan itu dalam pikirannya sehari-hari. Dengan kata lain, murid tersebut harus bersatu dengan koan tersebut, tidak lagi memandang koan tersebut sebagai objek yang akan diteliti. Hal ini sesuai dengan prinsip Zen Buddhisme, yaitu segala sesuatunya adalah satu kesatuan dan tidak ada cara berfikir dualisme. 3. Meditasi (Zazen) Meditasi juga merupakan cara untuk mencapai satori (pencerahan). Kata zazen (dalam bahasa Jepang) berasal dari kata “za” yang berarti duduk bersila dan “zen” berarti meditasi (Sutrisno, 2002:63). Dengan kata lain zazen berarti meditasi duduk. Zazen sebenarnya berasal dari tradisi India yaitu yoga. Tetapi zazen bukan seperti yoga yang berpikir dan berkonsentrasi pada sesuatu, melainkan tidak berpikir. Para pelaksana zazen duduk dengan kaki disilang dan menariknya ke dalam, dan punggung harus benar-benar tegak lurus atau disebut juga denagn sikap badan teratai. Sikap badan seperti ini adalah tanda luar dari pencerahan. Dalam meditasi, dengan menutup seluruh pengaruh perasaan dan kesadaran berpikir, para pelaksana Zen mencoba untuk memcapai situasi konsentrasi mental setinggi mungkin. Zazen juga berbicara mewakili keadaan

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

pemikiran itu sendiri yang mengalami pencerahan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mikiso Hane (1991: 80): “Zazen memerlukan posisi tubuh yang telah ditentukan, peraturan pernafasan, konsentrasi khusus untuk menetapkan pikiran agar mengontrol emosi dan memperkuat kehendak. Kemudian seseorang melihat kedalam ‘hati dan pikiran’ untuk menemukan alam kehidupan senebarnya”. Akhirnya, dengan zazen (meditasi) tidak hanya satori (kesadaran), tetapi juga perkembangan spiritual dan moral serta sifat baik dari manusia akan timbul pada diri pelaksananya. 4. Diri Zen, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pada dasarnya adalah melihat kodrat diri manusia sebagaimana adanya. Suzuki (2004:49) mengatakan: “Mereka takut sekali menjadi ‘sujektif’. Tetapi kita haruslah ingat bahwa selama kita berada di luar, maka kita adalah orang luar, bahwa justru karena itu kita tidak pernah mampu memahami benda tersebut (atau diri kita) sendiri, bahwa yang bisa kita ketahui adalah Cuma tentang (benda atau diri kita sendiri) yang berarti bahwa kita tiada pernah bisa memahami apakah diri-sejati kita”. Hal ini berarti bahwa diri harus mengenal dirinya tanpa keluar dari dirinya sendiri. Dalam Zen, akan sia-sia belaka jika seseorang melakukan pendekatan logis untuk menerangkan apa arti “diri” (the self) dalam sistem filsafat ataupun sisitem berpikir lainnya. Menurut Suzuki (2004:50), diri dapat dibandingkan dengan sebuah lingkaran tak bertepi (tidak ada garis lingkarannya), denagn kata lain adalah kekosongan. Diri tersebutlah yang menjadi pusat semesta, asal dari segala sesuatu dan tempat bernaung bagi semua termasuk manusia. Zen juga berpengaruh dalam konsep estetika (keindahan). Konsep estetika tersebut, yaitu: furyu, wabi-sabi, iki dan sui, mono no oware, mujo, dan shizenkan.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

Konsep yang berkaitan dengan tema pembahasan ini adalah wabi-sabi. Wabi artinya mencari kesempurnaan dalam kemiskinan dan kecantikan dalam kesederhanaan dan juga menikmati hidup bebas yang tenang. Wabi juga merupakan konsep keindahan dalam upacara minum teh. Sedangkan sabi adalah kesepian, pasrah, ketenangan, namun masih bersemangat. Konsep sabi ini juga digunakan

dalam

upacara

minum

teh

yang

kemudian

mempengaruhi

perkembangan keramik tradisional di Jepang. Estetika wabi-sabi tersebut mengekspresikan beberapa nilai ajaran Zen yang tidak terlepas dari kewajaran atau bersifat alami. Diantaranya adalah fukinsei (asimetris atau ketidakteraturan), kanso (kesederhanaan yang rapi dan segar), koko (esensi), shizen (kewajaran atau kealamian), yugen (bermakna atau rasa yang mendalam), datsuzoku (kebebasan yang tidak terikat), shibui (kesederhanaan dan keindahan seadanya), wabi (kekayaan dalam kesederhanaan), sabi (kesendirian dan ketidakberaturan), dan seijaku (hening atau tenang). Nilai-nilai tersebutlah yang nantinya akan ditunjukkan dalam estetika keramik tradisional Jepang.

2.3 Dasar-dasar Estetika Jepang Estetika merupakan suatu bidang studi yang membahas keindahan dalam suatu karya seni. Estetika bagi masyarakat Jepang dikenal dengan istilah bigaku. Istilah ini ditemukan oleh Nakae Chomin pada tahun 1883. Walaupun istilah estetika baru ditemukan pada tahun 1883, namun pemahaman masyarakat akan estetika itu sendiri, sudah sejak zaman Heian. Ini terbukti dari jumlah karangan yang memuat sifat-sifat alami dari seni musik, seni tari, seni taman, seni puisi dan seni drama. Karangan –karangan tersebut, pada umumnya sangat dipengaruhi oleh

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

pemikiran estetika China, khususnya estetika Confucian klasiknya. Hal ini disebabkan karena konsep-konsep dan istilah-istilah estetika yang muncul dan berkembang pertama kali di Jepang berasal dari China.

2.3.1 Nilai Estetika Jepang Secara Umum Melihat pengaruh pemikiran estetika China di Jepang, pengarangpengarang Jepang, seperti Ki No Tsurayuki, Fujiwara No Kinto dan pengarangpengarang lainnya, semakin berusaha menciptakan karya sastra khas buatan Jepang asli. Usaha mereka akhirnya membuahkan hasil yang baik, dengan munculnya karangan dalam bidang puisi dan drama yang dinyatakan bebas dari pengaruh China. Keberhasilan mereka diikuti oleh pengarang-pengarang wanita, seperti Murasaki Shikubu dan Sei Shonagon. Mereka juga menciptakan esei, catatan harian dan prosa fiksi dengan konsep estetika mereka sendiri dan dinyatakan bebas dari pengaruh China. Pada zaman Kamakura dan Muromachi, konsep estetika cenderung dipengaruhi oleh ajaran agama Budha. Hal ini dapat dilihat pada tulisan Fujiwara No Toshinari dalam puisi, Koma Chikazane dalam musik, Prince Shonen dalam kaligrafi, Zeami dan Zenchiku dalam drama, Murata Juko dalam upacara minum teh, dan Ikenobo Seno dalam merangkai bunga. Semua karya seni mereka tersebut dipengaruhi oleh ajaran Buddha yang menekankan pentingnya pelatihan spiritual. Pelatihan spiritual ini dilakukan agar makna estetika dalam karya-karya seni mereka itu dapat lebih dipahami dengan jelas. Pada tahap berikutnya di zaman Edo, variasi konsep estetika Jepang menjadi lebih beragam, lebih humanis, dan lebih menekankan peran emosional

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

dari pengarang dan apresiasi dari penontonnya. Hal ini terbukti dari tulisan Yagyu Muenori dalam seni berperang. Tosa Mitsuoki dalam seni lukis, dan Basho dalam Haiku. Dalam seni tersebut dimuat sejumlah ide-ide tradisional Jepang yang tetap dimodifikasi sesuai dengan perkembangan zaman. Bukti yang lain dapat dilihat dari munculnya beberapa pemahaman estetika di Jepang. Pemahaman yang pertama kali muncul di zaman Edo adalah pemahaman Confusianis dengan teori seninya yang lebih pragmatis. Kemunculan teori seni ini, ditolak oleh beberapa seniman di Jepang, seperti Motoori Norinaga dan Hirata Atsutane. Penolakan mereka ditandai dengan munculnya teori seni baru yang berasal dari paham Shinto klasik. Akibat perkembangan kedua teori seni tersebut banyak muncul tulisan/karangan seni, terutama tentang Joruri dan Kabuki, yang menggunakan paham Buddha, Confusian dan Shinto. Pemahaman yang kedua mengatakan bahwa nilai estetika seni yang utama terdapat antara alam dan manusia. Agar dapat menikmati estetika seni tersebut, seorang seniman harus bersatu dengan subjek seninya dan merasakan kehidupan subjeknya itu dari dalam. Pemahaman yang ketiga mengatakan bahwa estetika seni hanya terdapat pada seni yang halus, mewah dan indah, sedangkan pada seni yang kelihatannya kasar, sederhana dan buruk, estetika seni sulit didapatkan. Estetika seni ini hanya dapat diperoleh melalui proses penyeleksian unsur-unsur keindaham seni, karena di dalam proses tersebutlah unsur-unsur kekasaran, kesederhanaan, dan keburukan tadi akan dikurangi. Walaupun banyak muncul konsep-konsep estetika pada zaman Edo, tetapi ada konsep yang paling digemari pada masa itu, yaitu konsep keagungan. Konsep

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

keagungan ini memiliki makna konotasi yang sama dengan Furyu, Yugen, Iki, dan Sui. Konsep estetika lain yang juga cukup digemari adalah konsep sementara, konsep kehalusan, dan konsep kerapuhan/kebinasaan. Konsep ini kemudian digabung dengan faham Buddha yang akhirnya menghasilkan suatu nilai estetika ideal (seperti momo no oware, yugen, wabi, dan sabi) yang sangat dihargai oleh para seniman Jepang selama berabad-abad. Selain itu, konsep kesederhanaan juga sangat dihargai di Jepang. Konsep ini menekankan pemakaian simbol-simbol dalam mengungkapkan misteri alam *) dan menolak pemakaian ornament/hiasan yang berlebihan. Intinya, konsep ini menganjurkan sifat yang sewajarnya atau sealamiah mungkin dan menghindari banyaknya campur tangan manusia. Memasuki zaman Meiji, estetika Barat mulai diperkenalkan di Jepang oleh Nishi Amame, Nori Ogai dan seniman lainnya. Seiring dengan itu, didirikanlah sebuah pusat pelatihan estetika oleh Universitas Tokyo, dengan mempekerjakan pengajar dari Barat untuk pertama kalinya. Akibatnya, orang-orang yang pertama kali ahli dalam estetika Jepang adalah orang Barat. Namun kondisi tersebut tidak bertahan lama, konsep estetika di zaman Meiji mulai mengalami perubahan ketika Kuki Shizo dan Omishi Yoshinori, kembali merintis studi filsafat estetika yang sebelumnya pernah berkembang di zaman Edo. Tindakan perintisan studi filsafat estetika ini, akhirnya memunculkan konsep-konsep estetika yang terus berkembang sampai sekarang di Jepang. Penjelasan mengenai nilai-nilai estetika tresebut dapat dilihat dalam uraian berikut: *

) Misteri alam di Jepang tidak oernah dideskripsikan dalam bentuk uraian tetapi dalam bentuk simbol-simbol

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

1. Iki

( 意気 ) Iki berarti “semangat” atau “hati”. Suatu bentuk semangat yang tinggi dan

hati yang bersih. Iki menunjukkan orang yang bersemangat tinggi dalam berbicara, bertingkah laku, dan berpakaian. Orang yang memiliki konsep Iki biasanya bersifat ceria, tenang, dan berpikiran terbuka. Iki juga menunjukkan keindahan yang penuh warna, tidak sempurna, artistik, sederhana, romantis, dan asli. Iki tidak ditemukan dalam alam tetapi dalam diri manusia itu sendiri yang menghargai keindahan alam. Penggunaan iki terdapat dalam kepribadian/kelakuan manusia, arsitektur, desain pakaian dan lain-lain. 2. Sui

(粋) Sui berarti “inti yang murni”. Sui menunjukkan orang yang mengerti

dengan baik akan hidup dan penderitaan orang lain. Penggunaan sui terdapat dalam roman Koshoku Ichidai Otoko karangan Ihara Saikaku. Karangan tersebut menggambarkan kemajuan seorang manusia yang pada awalnya sama sekali tidak mengenal pengetahuan, tapi akhirnya mengenal bahkan menguasai pengetahuan tersebut dengan bantuan teman-temannya. 3. Mujou ( 無情 ) Mujou berarti suatu ketidakkekalan. Mujou menunjukkan bahwa setiap manusia pasti mati (tidak ada yang kekal) dan semua keadaan pasti berubah. Penggunaan mujou terdapat dalam karya-karya sastra abad pertengahan seperti Haiku dan esei. Contohnya dalam dongeng “Heike” digambarkan kejatuhan Heike, seorang samurai kelas atas yang pada awalnya memiliki kemakmuran dan kekuatan besar, namun akhirya kemakmuran dan kekuatannya itu berakhir menjadi keruntuhan.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

4. Mono no Oware Mono no Oware berarti kedalaman perasaan manusia dalam kehidupan alam dan manusia. Mono no Oware berhubungan dengan kesedihan di bawah keadaan tertentu yang diikuti penghargaan dan kegembiraan. Jadi dapat dikatakan bahwa mono no oware menunjukkan perasaan manusia yang berhubungan dengan ketidakkekalan. Penggunaan mono no oware terdapat dalam Heike Monogatari, Genji Monogatari dan kritik-kritik sastra lainnya. 5. Ma ( 間 ) Ma berarti interval dalam waktu dan tempat, namun bukan berarti kosong sama sekali. Ma berhubungan dengan ritme dan pernafasan. Penggunaan Ma terdapat dalam musik, tarian, cerita, lukisan, Kabuki, dan Noh. 6. Furyuu

( 風流 )

Furyuu berarti terpelihara dalam tingkah laku. Furyuu menunjukkan rasa kagum untuk orang yang bekerja dalam seni. Penggunaan furyuu terdapat dalam : seni sastra dan seni visual. Contohnya, cerpen “furyubutsu” karangan Koda Rohan, yang menceritakan penyatuan cinta, seni, agama, dan lukisan Yosa Buson. Nilai-nilai esteika di atas terus mengalami perkembangan hingga saat ini, sehingga bentuknya sangat beragam dan jumlahnya sangat banyak. Namun, walaupun bentuknya beragam dan jumlahnya sangat banyak, semuanya tetap memusatkan konsep utamanya pada alam karena alam tidak bias dipisahkan dari kehidupan seni di Jepang, dimana alamlah yang mengisi hampir semua objek seni budaya Jepang. Alam jugalah yang

menginspirasikan seseorang untuk

memperoleh makna dalam hidupnya, dan alam pulalah yang saling memperdalam antara regiolitas dan semangat hidup orang Jepang. Itulah mengapa orang Jepang

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

mendefenisikan estetika sebagai keindahan yang alami, murni, dan sesedikit mungkin dipengaruhi oleh rekayasa tangan manusia.

2.3.2 Nilai Estetika Jepang Berdasarkan Ajaran Zen Buddhisme Pengaruh estetika Jepang tentulah tidak hanya ditemukan dalam wujudwujud alami saja, tetapi juga dalam wujud religiolitas (dalam keagamaannya). Berikut akan kita lihat bagaimana sebenarnya estetika Jepang dalam kehidupan religiolitasnya, khususnya religiolitas yang dipengaruhi oleh ajaran Zen, karena ajaran Zenlah yang sebagian besar mempengaruhi konsep estetika seni keramik Jepang. Istilah Zen sebenarnya berasal dari bahasa China “C’han” yang secara harfiah bebarti “meditasi”. Istilah ini mulai masuk dalam kebudayaan Jepang sejak abad 13. Secara lebih luas, istilah Zen sering juga digambarkan sebagai berikut: Sebuah transmisi khusus di luar kata-kata, Tidak ditemukan di atas kata-kata dan surat-surat, Secara langsung menunjuk kepada pemikiran manusia, Memahamim ke dalam alam seseorang dan mencapai alam Buddha. Gambaran klasik Zen yang terdiri dari 4 baris tersebut, menjelaskan bahwa Zen adalah sebuah seni untuk melihat kodrat diri sendiri dan demikian menjadi Buddha. Selain itu, Zen juga dijelaskan sebagai sebuah seni yang mampu meleluasakan kekuatan-kekuatan alami, mencegah kelesuan manusia dan menyemangati manusia menuju kebahagiaan.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

Zen sendiri, memiliki pendekatan yang unik dalam memandang realitas. Menurut Zen, setiap orang harus telebih dahulu berhenti dan merenung dalam keheningan untuk melihat apakah semua memang ada sebagai mana adanya (as they are). Pendekatan Zen dalam memandang keindahan pun demikian. Setiap orang harus masuk ke “objek” itu sendiri, ke inti realitas dan kemudian melihat dan merasakan estetika itu sendiri dari dalam. Berdasarkan pemikiran Zen Buddhisme, untuk dapat memahami keindahan harus dapat memisahkan antara keindahan alami dengan faktor-faktor lain yang menyebabkan terjadinya keindahan. Di lain pihak Zen Buddhisme tidak dapat memberi arti sepenuhnya terhadap makna yang terkandung dalam keindahan. Menurut pemikian Zen Buddhisme, rasa keindahan lahir ketika terjadi proses perlawanan antara subjek dan objek yang tidak terselesaikan. Selanjutnya, anatara subjek dan objek tersebut telah larut dalam kenyataan dan secara keseluruhan tidak saling mempertentangkan. Misalnya, tidak mempertentangkan antara keindahan dan kecacatan, karena sesuatu yang sempurna belum tentu indah, sebaliknya sesuatu yang indah bukan berarti yang sempurna. Dengan demikian pengertian Zen Buddhisme mengenai nilai estetika merupakan keindahan yang alami. Berkaitan dengan itu, Zen Buddhisme menggunakan istilah kensho (ken = melihat; sho = hakikat, inti). Penggabungan kedua kata tersebut secara harfiah mempunyai arti “melihat dalam keadaan yang sesungguhnya”. Dalam pemikiran Zen Buddhisme tersebut, untuk memahami suatu karya seni haruslah mampu menghilangkan sujektifitasnya, sehingga mampu menerima kehadiran objek sebagaimana adanya dengan menggunakan intuisi. Pendekatan seperti ini

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

menujukkan bahwa Zen Buddhisme memberikan pengaruh spiritual yang sangat besar dalam memahami estetika. Pengaruh pandangan Zen Buddhisme tentang keindahan itu sendiri tampak jelas pada kebudayaan khususnya kesenian dalam masyarakat Jepang. Pandangan Zen Buddhisme tentang estetika

terkonsep dalam estetika wabi-sabi yang

mengekspresikan nilai-nilai ajarannya yang tidak terlepas dari kewajaran dan kealamian. Adapun nilai-nilai estetika tersebut adalah sebagai berikut: 1. Fukinsei

( 不均斉 )

Fukinsei berarti suatu bentuk yang tidak teratur (asimetris), tidak sempurna, dan tidak terorganisir. Penggunaan fukinsei terdapat pada seni pertamanan, seni lukis, ikebana, seni keramik, dan seni bonsai. 2. Kanso

( 簡素 )

Kanso berarti suatu bentuk yang sederhana, rapi (tidak berantakan), dan segar. Sederhana di sini berarti sederhana yang alami. Penggunaan Kanso terdapat dalam seni pertamanan, seni lukis, seni bonsai, dan seni keramik. 3. Kouko

( 考古 )

Kouko berarti suatu kedewasaan (berdasarkan umur dan penampilan), dan mampu melihat dari berbagai sisi. Kouko berhubungan dengan rasa menikmati keindahan alam dengan seutuhnya. Penggunaan Kouko terdapat dalam kayu lapuk, batu taman, pohon antik, batu keramat, lingkungan, dan cuaca. 4. Shizen ( 自然 ) Shizen berarti suatu bentuk kealamian, spontan, dan melibatkan keseluruhan unsur tanpa adanya paksaan. Penggunaan Shizen terdapat dalam seni keramik.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

5. Yuugen

( 幽玄 )

Yuugen berarti suatu bentuk kemisteriusan, ketidakberaturan alam, dan rasa yang mendalam. Keindahan yugen muncul melalui sedikit kata-kata atau sapuan kuas yang dapat menunjukkan sesuatu yang tidak terlihat dan tidak terkatakan. Penggunaan yuugen antara lain terdapat dalam seni pertamanan, seni keramik, dan ikebana. 6. Datsuzoku

( 脱俗 )

Datsuzoku

berarti

suatu

kejutan,

fantasi,

dan

kreativitas

yang

mengakibatkan aturan. Penggunaan datsuzoku terdapat dalam penggunaan pasir dan batu pada seni pertamanan yang menggambarkan kejutan tersendiri bagi orang yang melihatnya, serta dalam seni keramik. 7. Shibui

( 渋い )

Shibui berarti suatu bentuk kesederhanaan, kemudahan, dan keindahan yang seadanya. Penggunaan shibui terdapat dalam arsitektur, desain interior, seni keramik, dan lain-lain. Contohnya, dalam seni keramik desain dan dekorasi yang dihasilkan sangat sederhana, sehingga para pengrajin keramik sering disebut “shibui”, karena keahlian mereka adalah membuat keramik indah namun tanpa terlihat berlebihan. 8. Wabi

( わび )

Wabi berasal dari kata wabu yang berarti memisahkan diri, dan wabishi yang berarti sendirian, yang menunjukkan bagaimana menderitanya orang yang jatuh dalam kondisi tidak menguntungkan. Jadi dapat dikatakan bahwa arti asli dari wabi adalah suatu bentuk kesendirian atau mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat, merenungkan arti kesengsaraan dan kebahagiaan. Dalam sastra, wabi

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

berarti kesedihan dan kemiskinan. Kemiskinan di sini bukan berarti tidak memiliki apapun, tetapi tidak bergantung pada harta materi. Wabi adalah membebaskan diri dari harta, kegemaran, keangkuhan, dan menyatukan diri dengan alam dan kenyataan. Wabi merupakan kesenangan akan hal sederhana. Dapat disimpulkan bahwa wabi adalah jalan kehidupan spiritual yang dipakai dalam menghargai benda dan seni. Prinsip Zen Buddisme tentang wabi adalah gabungan prinsip Confucius, Tao, Budha dan Shinto yang terfokus pada pandangan pertapa dan mengapa pertapa mengejar hidup terang dalam kesendirian. Prinsip filosofinya adalah mengurangi ego dan dunia materi yang memberikan penderitaan, ketakutan akan kematian, penghargaan terhadap hidup dan menyelaraskan hidup dengan alam. Menurut Sen No Rikyu, wabi adalah suatu bentuk kekayaan dalam kemiskinan dan keindahan dalam kesederhanaan. Penggunaan wabi terdapat dalam upacara minum teh, seni pertamanan, waka, haiku, renga, seni keramik, dan lain-lain. 9. Sabi

(寂)

Sabi berarti suatu bentuk kesendirian, keterasingan, dan ketidakberaturan. Sabi mengarah kepada objek individual dan keadaan lingkungan secara umum. Penggunaan sabi terdapat dalam puisi, upacara minum teh, seni keramik, ikebana, dan lain-lain. 10. Seijaku ( 静寂 ) Seijaku berarti suatu bentuk ketenangan dari kekuatan spiritual, kestabilan dan ketentraman ke arah pencerahan. Seijaku berhubungan dengan suatu keadaan aktif yang tenang (tanpa ada gangguan). Penggunaan seijaku terdapat dalam perasaan seseorang ketika melihat matahari terbit dan terbenam.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

Dengan melihat penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa nilai-niai estetika Zen Buddhisme memusatkan titik estetikanya pada alam. Jadi, jelas bahwa konsep estetika Zen Buddhisme memiliki kesamaan dengan konsep estetika yang diakui masyarakat Jepang secara umum. Persamaannya terletak pada alam sebagai pusat estetika, karena alam tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, dimana manusia adalah bagian dari alam. Alam tidak untuk ditaklukkan, tetapi untuk dihormati dan dihargai. Penghormatan dan penghargaan terhadap alam tampak dalam berbagai aspek budaya Jepang, salah satunya tampak pada nilai-nilai estetika yang berkembang dalam masyarakat Jepang baik secara umum maupun berdasarkan ajaran Zen Buddhisme. Nilai-nilai ajaran Zen Budhisme mengenai estetitka sangat mempengaruhi esteika keramik Jepang. Penjelasan mengenai nilai-nilai ajaran Zen Buddhisme yang sangat mempengaruhi estetika keramik Jepang dapat kita lihat pada bab berikut.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

BAB III NILAI-NILAI ZEN BUDDHISME DALAM ESTETIKA KERAMIK TRADISIONAL JEPANG

3.1 Nilai Ketidaksimetrisan Asimetris di dalam prinsip desain mempunyai pengertian tidak sama atau tidak seimbang. Dimana dalam ketidakseimbangan itu terdapat perbedaan ukuran, warna, bentuk, tekstur, ruang maupun pencahayaan. Sehingga dalam desain sering dikatakan bahwa asimetris identik dengan tidak beraturan. Sebenarnya pengertian tidak braturan ini lebih cocok diterjemahkan dalam pengertian tidak sesuai dengan patokan atau ketentuan secara umum. Dari sudut pandang Zen Buddhisme, ketidaksimetrisan mempunyai pengertian membuang kemampuan nafsu duniawi, mengosongkan maksud suci, dan

tidak

memperdulikan

kesempurnaan.

Untuk

mewujudkan

makna

ketidaksimetrisan ke dalam karya seni keramik berdasarkan nilai ajaran Zen Buddhisme tersebut, dilakukan penggubahan dan penyimpangan bentuk dari yang umumnya dilakukan. Bagi masyarakat Jepang, ketidaksimetrisan ini dibuat dengan tujuan untuk melambangkan sesuatu yang supra realis dan bersifat spiritual. Untuk lebih memahami penjelasan di atas, berikut ini penulis menyertakan beberapa gambar keramik beserta penjelasan yang berhubungan dengan nilai ketidaksimetrisan.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

permukaan bibir gelas tidak rata dan tidak seimbang permukaan gelas tidak sama dan tidak seimbang

a.

b.

d.

c.

e.

Gambar 1. Keramik Hagi Guinomi 5# (2009). Diameter: 2.3” (6cm). Tinggi: 1.9” (4.9cm). Pengrajin: Mukuhara Kashun, Hagi, Jepang. Harga: US$62.50

Keterangan gambar 1: Gambar a dan b menunjukkan perbedaan bentuk cangkir. Bentuk yang tidak sama dan tidak seimbang menunjukkan ketidaksimetrisan. -

Gambar d dan e menunjukkan perbedaan yang sangat mencolok pada ukuran (diameter) dan bentuk pada bagian bibir cangkir (gambar d) dengan bagian alas cangkir (gambar e).

-

Secara umum, bagian alas dan bagian atas cangkir harus memiliki persamaan bentuk dan ukuran (diameter). Dengan kata lain memiliki

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

bentuk

yang

simetris,

namun

dalam

cangkir

keramik

ini

ketidaksimetrisan tersebut menjadi ciri yang unik. -

Pada gambar e dapat dilihat tekstur permukaan bagian alas cangkir yang sangat tidak rata dan kasar. Hal ini berbeda dengan tekstur bagian permukaan badan dan bagian dalam cangkir yang lebih rata yang dapat dilihat pada gambar d.

-

Pewarnaan pada permukaan badan cangkir keramik di atas tidak merata, menunjukkan ketidakseimbangan dalam hal dekorasi dan pewarnaan keramik.

-

Gambar c menjukkan pola bentuk tabung atau cangkir pada umumnya, yaitu tiap bagiannya seimbang atau simetris.

-

Gambar keramik di atas sangat jelas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan ukuran, warna, bentuk, serta tekstur yang tidak sesuai dengan patokan atau ketentuan secara umum yang tergambar pada gambar c.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa nilai estetika Zen Buddhisme yang mencerminkan nilai ketidaksimetrisan ini adalah fukinsei, sabi, dan datsuzoku. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa nilai fukinsei menekankan bentuk asimetris atau tidak teratur, demikian juga nilai sabi yang menekankan ketidakberaturan dan kesendirian, sedangkan datsuzoku menekankan suatu bentuk kejutan, fantasi dan kreativitas yang mengabaikan aturan.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

3.2 Nilai Kealamian Yang dimaksud dengan kealamian adalah sesuatu yang terjadi dengan sendirinya, secara wajar dan tidak dibuat-buat, tanpa diawali dengan pemikiran atau tujuan tertentu. Di sisi lain, kealamian berkaitan dengan situasi alam. Zen Buddhisme dalam hal ini, lebih menitikberatkan dalam suasana tenang, tidak tegang seperti suasana yang diekspresikan dalam upacara minum teh (cha no yu). Demikian pengertian kealamian yang dimaksud dalam ajaran Zen Buddhisme, yaitu menekankan pada sesuatu yang terjadi secara alami akan menghasilkan bentuk-bentuk unik dan tiada duanya. Nilai kealamian dalam seni keramik tradisional Jepang dapat dilihat dari proses pembuatan keramik tersebut, yaitu: 1. Pengolahan Bahan Baku Bahan baku yang digunakan merupakan tanah liat alami. Maksudnya adalah bahwa tanah liat tersebut diambil langsung dari alam (daerah perbukitan). Bukan menggunakan bahan sintesis atai bahan buatn yang diolah dari campuran bahan-bahan kimia. 2. Pembentukan Keramik Permukaan keramik kasar, sesuai dengan hakikat tekstur tanah liat secara alami yang tidak licin atau halus. 3. Dekorasi dan Pewarnaan a. Keramik menggunakan larutan tanah yang diperoleh secara alami dari alam, berwarna krem, cokelat atau cokelat tua. Setelah tanah liat dibentuk, kemudian di olesi atau dicelupkan ke dalam larutan tersebut sehingga keramik menjadi berwarna lebih muda dan cerah.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

Selain sebagai pewarna, juga berfungsi sebagai penutup permukaan keramik, sehingga pada saat pengglasiran, tekstur tanah liatnya tidak rusak. b. Sebagai glasir transparan, masyarakat Jepang menggunakan garam dapur untuk melapisi permukaan keramik. Selain itu, sebagai glasir juga digunakan abu kayu bakar yang digunakan sebagai bahan bakar dalam tungku pembakaran. c. Warna keramik menjadi kusam karena glasir yang tidak rata atau sama sekali tidak dilakukan proses glasir. 4. Pembakaran a. Pembakaran dilakukan di dalam lubang-lubang tanah yang kemudian ditutup dengan dahan-dahan kering ataupun jerami yang sekaligus berfungsi sebagai bahan bakar. Tidak menggunakan listrik atau gas, sehingga pembakaran lebih alami. b. Masyarakat

Jepang

juga

menggunakan

teknik

pengasapan

(pembakaran reduksi), yaitu dengan memasukkan daun cemara yang basah ke dalam perapian atau tunggku pembakaran. Asap tersebut kemudian mengakibatkan keramik dalam tungku menjadi berwarna hitam. c. Dalam tungku pembakaran, akibat api perapian yang tidak stabil, mengakibatkan loncatan glasir (abu kayu bakar) yang menjadi dekorasi atau hiasan yang khas pada permukaan keramik. d. Retak pada permukaan keramik yang diakibatkan proses pembakan juga menunjukkan nilai kealamiannya.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

e. Bentuk asimetris atau tidak beraturan juga diperoleh secara alami ketika proses pembakaran terjadi. f. Secara

alami,

api

dalam

suhu

pembakaran

yang

tinggi

mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk, warna dan tekstur keramik. Menurut Zen Buddhisme, bentuk seperti ini tidak dapat ditandingi oleh

bentu-bentuk

yang

sengaja

dibuat

secara

konseptual. Untuk lebih memahami penjelasan di atas, berikut ini penulis menyertakan beberapa gambar keramik beserta penjelasan yang berhubungan dengan nilai kealamian pada keramik.

.

a. b.

Gambar 2. Cangkir Sake Bizen Guinomi (BZ-121), (2009). Pengrajin: Mimura Kimiko, Okayama, Jepang. Diameter: 2.5” (6.4cm). Tinggi: 2” (5.3cm). Harga: US$52.00

Keterangan gambar 2: -

Kealamian tampak pada warna cangkir yang kusam (a.) karena tidak mengalami proses pengglasiran.

-

Warna kehitaman pada cangkir (b.) diakibatkan oleh teknik pembakaran reduksi yang alami dengan menggunakan daun cemara

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

yang basah. Asap dari pembakaran daun cemara yang basah tersebut kemudian memberikan warna kehitaman pada cangkir. Warna kehitaman

ini

dimanfaatkan

sebagai

dekorasi

keramik

yang

menunjukkan adanya nilai kealamian pada keramik ini. -

Permukaan cangkir kasar, sesuai dengan hakikat tekstur tanah liat yang tidak licin dan tidak halus. Hal ini juga membuktikan bahwasanya dalam keramik ini terdapat nilai kealamian.

ketidaksimetrisan dekorasi biji wijen tanda hangus

a.

tanda retak

b.

Gambar 3. Gambar a. Sake Set Sangiri Bizen-128. Pengrajin: Seno-o Yusei Kiln, Okayama, Jepang. Tinggi botol: 5.1” (13.2cm). Tinggi cangkir: 2.1” (5.5cm). Harga: US$278.00 Gambar b. Furisode, Shino Tea Bowl (abad ke-16). Seto, Jepang

Keterangan gambar 3: -

Pada gambar a terdapat tanda hangus. Tanda hangus yang terdapat pada keramik ini secara tidak langsung merupakan dekorasi yang alami. Tanda hangus ini dihasilkan pada proses pembakaran keramik.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

-

Keramin Bizen pada gambar a menggunakan dekorasi biji wijen. Dekorasi pada keramik Bizen ini dihasilkan secara alami saat proses pembakaran. Dekorasi biji wijen ini kemudian menjadi ciri khas keramik Bizen yang menunjukkan nilai kealamiannya.

-

Dekorasi biji wijen ini dihasilkan pada saat proses pembakaran keramik. Hal ini disebabkan oleh api dalam tungku pembakaran yang tidak stabil mengakibatkan loncatan abu kayu bakar menempel pada permukaan keramik sehingga secara alami menghasilkan bentuk seperti biji wijen pada permukaan keramik dan disebut sebagai dekorasi biji wijen.

-

Pada gambar b terdapat tanda retak pada permukaan keramik. Tanda retak ini menunjukkan kealamian pada keramik. Tanda retak tersebut dihasilkan secara alami pada proses pembakaran keramik.

-

Pada gambar b terdapat ketidaksempurnaan keramik berupa tanda retak. Selain tanda retak, pada gambar b juga terdapat tanda hangus yang juga merupakan ketidaksempurnaan yang dihasilkan pada proses pembakaran. Keduanya dimanfaatkan sebagai dekorasi yang alami pada keramik.

-

Ketidaksimetrisan atau ketidaksempurnaan bentuk maupun tekstur serta dekorasi keramik pada gambar a dan b menunjukkan nilai kealamiannya. Hal ini diperoleh secara alami pada proses pembakaran.

Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa keramik tradisional Jepang mengandung nilai ajaran Zen Buddisme mengenai kealamian, yaitu shizen. Karena seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa shizen menekankan pada

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

kealamian yang mengikutu garis alam, spontan, melibatkan keseluruhan unsur tanpa paksaan, dan tidak mengakui adanya unsur buatan.

3.3 Nilai Kesederhanaan Kesederhanaan dalam karya seni umumnya dapat dicerminkan dalam warna dan bentuk. Dikatakan bahwa warna yang sederhana adalah warna yang tidak mencolok dan memiliki value rendah atau dalam gradasi warna monokromatik. Sedangkan bentuk yang sederhana adalah bentuk yang tidak mempunyai banyak variasi, bersifat naif dan polos, serta tidak memiliki unsur kesengajaan. Kesederhanaan yang bernilai tinggi adalah suatu perwujudan yang dapat mencerminkan dan mewakili sifat suatu benda secara utuh yang diekspresikan melalui bentuk, warna, tekstur dan sebagainya. 1. Pengolahan Bahan Baku Dalam pengolahan baha baku dilakukan penguletan yang bertujuan untuk menjadikan tanah liat mencampur dengan merata dan menambah keplastisan tanah liat. Penguletan dilakukan dalam tiga tahap yang sangat sederhana, yaitu dengan menggunakan tangan. 2. Pembuatan Keramik a. Teknik yang dilakukan dalam tahap ini adalah teknik yang sangat sederhana, yaitu dengan menggunakan tangan (tezukuri). b. Bentuk yang dihasilkan adalah bentuk yang sederhana, sesuai dengan fungsi keramik tersebut.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

3. Dekorasi dan Pewarnaan a. Pelapisan dengan menggunakan larutan tanah liat (engobe) dilakukan dengan metode yang sangat sederhana, yaitu dengan menyapukan menggunakan kuas atau dengan cara mencelupkan keramik tersebut ke dalam larutan engobe. b. Pada keramik teh (keramik yang termasuk dalam perlengkapan upacara minum teh), biasanya tanpa dekorasi (gambar maupun ornamen). Dalam keramik ini yang menjadi keutamaan adalah kesederhanaan dari komposisi warna, garis, dan tekstur keramik tersebut. c. Tekstur keramik yang bergurat dihasilkan dari teknik sederhana, yaitu dengan menyapukan kuas besar atau menggunakan mata pisau pada permukaan keramik yang masih setengah kering sebelum proses pembakaran. 4. Pembakaran Keramik a. Teknik pembakaran yang sangat sederhana, yaitu dengan cara membakar keramik dengan kayu bakar atau dengan jerami sebagai bahan bakar serta menggunakan abu kayu bakar serta daun basah sebagai glasir alami di dalam tungku pembakaran. b. Tungku pembakaran yang sangat sederhana, yaitu merupakan lubang-lubang yang dibuat di dalam tanah. c. Pembakaran sederhana dengan menggunakan kayu bakar dan minyak tanah menghasilkan pembakaran reduksi yang berperan penting dalam pewarnaan, yaitu menghasilkan glasir alami.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

d. Bentuk serta dekorasi, yaitu bentuk yang tidak beraturan, tanda hangus

serta

ketidaksempurnaan

lainnya

mencerminkan

kesederhanaan keramik tersebut, bahkan dikatakan seperti tidak dibuat oleh seorang ahli keramik, karena sama sekali tidak mencermnkan kepribadian pembuatnya. Untuk lebih memahami penjelasan di atas, berikut ini penulis menyertakan beberapa gambar keramik beserta penjelasan yang berhubungan dengan nilai kesederhanaan pada keramik.

tutup ceret

mulut ceret

dekorasi guratan pegangan

tanda hangus

Gambar 4. Bizen Yohen Tea Pot (2009). Pengrajin: Suzuki Tsuneki, Okayama, Jepang. Tinggi: 4.5” (11.5cm). Handle: 7” (18cm). Isi: 500ml. Harga: US$200.00

Keterangan gambar 4: -

Gambar di atas merupakan sebuah tempat teh (tea pot). Keramik ini memiliki bentuk yang sangat sederhana, tidak mempunyai banyak variasi bentuk, serta memiliki bentuk yang sesuai dengan fungsinya.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

-

Tempat teh ini terdiri dari sebuah pegangan yang memudahkan saat menuang teh ke dalam cangkir, dan mulut ceret, serta tutup yang sederhana.

-

Warna keramik ini sangat sederhana dan tidak mencolok, yaitu warna alami tanah liat yang alami yang merupakan bahan dasar keramik.

-

Dekorasi pada badan ceret teh ini menunjukkan nilai kealamian. Dikatakan demikian karena keramik ini tidak memiliki ornamen atau hiasan, hanya memanfaatkan tanda hangus yang alami serta dekorasi guratan.

-

Dekorasi guratan ini sangat sederhana dan tidak mencolok serta dihasilkan

dari

teknik

yang

sederhana

pula,

yaitu

dengan

menggoreskan mata pisau pada permukaan keramik yang masih basah sebelum proses pembakaran dilakukan. -

Tanda hangus yang dimanfaatkan sebagai dekorasi ini dihasilkan pada saat proses pembakaran. Proses pembakaran dilakukan dengan teknik yang sederhana dengan menggunakan kayu bakar dengan bahan bakar minyak sehingga pada saat proses pembakaran terjadi loncatanloncatan api dan abu kayu bakar yang menempel pada permukaan keramik sehinga meninggalkan tanda hangus.

-

Tanda hangus ini merupakan salah satu ketidaksempurnaan keramik yang mencerminkan kesederhanaan keramik tersebut.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

Leher botol

Tanda hangus

Gambar 5. Sake Set Sangiri Bizen-128. Pengrajin: Seno-o Yusei Kiln, Okayama, Jepang. Tinggi botol: 5.1” (13.2cm). Tinggi cangkir: 2.1” (5.5cm). Harga: US$278.00

Keterangan gambar 5: -

Gambar di atas merupakan sake set yang terdiri dari satu buah tempat sake dan dua buah cangkir sake.

-

Botol sake bentuknya sangat sederhana tanpa pegangan. Leher botol berfungsi sebagai pegangan dan dibuat ramping agar mempermudah saat menuang sake ke dalam cangkir. Bentuk botol sake ini menunjukkan nilai kesederhanaan yang tercermin dalam keramik tersebut.

-

Bentuk cangkir sangat sederhana sesuai dengan fungsinya.

-

Bentuk cangkir yang sederhana dan sesuai dengan genggaman tangan ini menimbulkan perasaan nyaman saat digenggam.

-

Proses pembentukkan keramik dilakukan dengan teknik yang sederhana, yaitu dengan menggunakan tangan (tezukuri). Hal ini dapat

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

dilihat

dari

bentuk

keramik

yang

sangat

sederhana

dan

ketidakseimbangan bentuk khususnya pada cangkir. -

Botol dan cangkir memiliki dekorasi yang sederhana dan tanpa ornamen, hanya memanfaatkan sisa hangus sebagai dekorasi.

-

Bentuk serta dekorasi pada keramik ini menunjukkan tanda-tanda ketidaksempurnaan yang semakin mempertegas kesederhanaan yang dikandungnya.

Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa nilai estetika Zen Buddhisme yang tercermin adalah kansho, shibui dan wabi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kansho menekankan bentuk kesederhanaan dan tidak berlebihan, shibui menekankan bentuk kesederhanaan dan bentuk yang seadanya, serta wabi yang menekankan pada bentuk yang sederhana dalam kekayaan spiritual.

3.4 Nilai Kedalaman Rasa Karakteristik Zen Buddhisme dalam nilai kedalaman rasa mempunyai arti tersendiri serta menciptakan kesan lain terhadap perasaan pada umumnya. Sebagai contoh, pada umumnya kegelapan diartikan sebagai kesan yang seram, menakutkan, mencekam, mistis, dan seterusnya. Namun, dalam Zen Buddhisme kegelapan mengandung pengertian cerah (kegelapan yang cerah), mempunyai kesan tentram, damai, lembut, dan tenang. 1. Pembuatan Keramik Pembuatan keramik dengan menggunakan teknik putar, pada dasarnya sama dengan melakukan meditasi Zen. Dalam hal ini diperlukan

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

pemusatan

pikiran

dan

konsentrasi

yang

tinggi,

karena

akan

mempengaruhi bentuk keramik yang dihasilkan. Pada saat seperti ini, pembuat keramik akan memusatkan pikirannya dan seolah menyatu dengan keramik yang dibentuknya. Menghayati pembentukan keramik sama seperti mencari pencerahan dalam meditasi. 2. Dekorasi dan Pewarnaan a. Dalam pewarnaan keramik, pada umumnya digunakan warnawarna redup dan tidak mencolok (tidak menggunakan glasir mengkilat), dengan tujuan untuk memperoleh kesan tenang dan lembut. b. Peralatan makan keramik dengan warna merah biasanya digunakan pada musim dingin, karena warna merah dianggap dapat menciptakan perasaan hangat. c. Bentuk serta dekorasi keramik yang tidak beraturan atau asimetris dianggap sebagai perwujudan dari sikap dan tingkah laku orang Jepang yang selalu dinamis, kontradiktif namun tetap harmonis. 3. Pembakaran Keramik a. Proses pembakaran keramik mempunyai makna kehati-hatian, kesabaran

serta

kepasrahan

dan

menghilangkan

egoisme.

Dikatakan demikian karena saat seperti itu merupakan penyerahan kepada alam untuk memberi bentuk pada keramik di dalam tungku pembakaran. b. Bentuk keramik yang dihasilkan setelah proses pembakaran sering kali mempunyai bentuk yang tidak beraturan, mempunyai tanda

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

hangus, dan ketidaksempurnaan lainnya, namun hal tersebut sangat dihargai sebagai sesuatu yang menarik, karena masyarakat Jepang percaya bahwa itu lah yang menjadi ciri keramik tersebut. Bagi mereka sangatlah penting bahwa setiap keramik mempunyai kepribadiannya sendiri sama halnya dengan manusia. c. Kesederhanaan dan kealamian (polos tanpa dekorasi gambar maupun ornamen) mempunyai arti mengungkapkan kerendahan hidup. Dalam Zen Buddhisme, kehidupan yang bergantung pada kemakmuran materi akan menghambat kesempurnaan kehidupan spiritual. Sebaliknya, sesuatu yang alami tanpa direkayasa akan menimbulkan semangat

yang

mendalam,

lebih

menyentuh

perasaan dan dapat menguasai spiritual dari pada sesuatu yang sempurna dan penuh hiasan. Masyarakat Jepang lebih dominan menggunakan dan memilih keramik sebagai peralatan makan dibandingkan peralatan yang terbuat dari bahan sintetik, melamin, maupun plastik, karena keramik dirasakan memiliki pengaruh cita rasa yang tinggi terhadap makanan yang disajikan. Bagi masyarakat Jepang makan bukan hanya untuk menghilangkan lapar, tetapi memiliki makna yang mendalam, yaitu sebagai spirit untuk kelangsungan hidup. Untuk lebih memahami penjelasan di atas, berikut ini penulis menyertakan beberapa gambar keramik beserta penjelasan yang berhubungan dengan nilai kedalaman rasa pada keramik.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

a.

b.

Gambar 6. Gambar a. Mangkuk Aka Raku Matcha 2# (2009). Pengrajin: Shoraku, Jepang. Diameter: 4.6” (11.8cm). Tinggi: 3.2” (8.3cm) Gambar b. Furisode, Shino Tea Bowl (abad ke-16). Seto, Jepang.

Keterangan gambar 6: -

Gambar a merupakan cawan teh yang berwarna merah. Peralatan makan berwarna merah biasanya digunakan pada saat musim dingin, karena masyarakat Jepang mempercayai warna merah bermakna hangat dan dipercayai akan menciptakan perasaan hangat pula. Nilai kedalaman rasa pada keramik ini ditunjukkan oleh perasaan hangat yang dirasakan oleh masyarakat Jepang saat melihat dan menikmati warna merah pada keramik ini sarta saat menggunakannya.

-

Pada gambar b terdapat keramik dengan warna yang redup atau tidak mencolok. Nilai kedalaman rasa pada keramik ini ditunjukkan oleh kesan tenang dan lembut yang dapat dirasakan saat melihat dan menggunakannya.

-

Pada gambar a dan b terdapat bentuk serta dekorasi yang tidak beraturan (tidak terpola) dan tidak simetris. Hal ini merupakan salah

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

satu nilai kedalaman rasa yang tercermin dalam keramik tersebut, karena hal tersebut dianggap sebagai perlambangan masyarakat Jepang yang selalu dinamis, kontradiktif, namun tetap harmonis. -

Pada gambar a dan b terdapat tanda-tanda ketidaksempurnaan, seperti tanda hangus, ketidaksimetrisan serta tanda retak pada keramik. Tanda –tanda ketidaksempurnaan tersebut tidak dianggap sebagai kegagalan namun sebagai ciri keramik tersebut.

-

Ciri keramik pada gambar a dan b dianggap sebagai kepribadian keramik, sama halnya dengan manusia yang membutuhkan karakter dan kepribadiannya sendiri. Sehingga saat kita melihat keramik tersebut kita seolah melihat sebuah kepribadian yang unik, yang berbeda dengan yang lainnya. Hal ini merupakan nilai kedalaman rasa yang tercermin dalam keramik tersebut.

-

Keramik pada gambar a dan b memiliki dekorasi yang sederhana dan alami, yaitu tanda hangus dan tanda retak. Kesederhanaan dan kealamian tersebut

dianggap

sebagai simbol kerendahan dan

kesederhanaan hidup. Kealamian pada keramik memberikan perasaan tenang dan tidak tegang. Hal ini merupakan nilai kedalaman rasa yang dapat dirasakan saat melihat dan mengamati keramik tersebut. -

Pembuatan keramik pada gambar a dilakukan dengan teknik putar. Melakukan tenik putar persis seperti melakukan meditasi dalam Zen. Proses ini bermakna memusatkan pikiran dan menyatu dengan keramik seperti mencari pencerahan dalam Zen. Nilai kedalaman rasa di sini adalah bagaimana kita mengartikan bahwa seseorang yang sedang

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

membuat

keramik

seolah

melupakan

kehidupan

dunia

dan

berkonsentrasi serta menyatu dengan alam untuk menciptakan suatu bentuk keramik. -

Tanda-tanda ketidaksempurnaan keramik pada gambar a dan b dihasilkan pada proses pembakaran. Proses pembakaran bermakna suatu kehati-hatian, kesabaran serta kepasrahan dan menghilangkan ogoisme. Nilai kedalaman rasa di sini dapat dilihat dari proses pembakaran keramik yang dapat dikatakan sebagai suatu kepasrahan berupa penyerahan kepada alam untuk memberi ciri pada keramik dalam tungku pembakaran yang nantinya akan menjadi identitas pada keramik tersebut.

Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa nilai estetika Zen Buddhisme yang tercermin adalah yuugen, sabi, dan seijaku. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa yuugen menekankan pada keindahan yang muncul melalui kemisteriusan, bahkan terkadang tidak terlihat mata, tidak terkatakan, namun mengandung rasa yang mendalam. Sabi menekankan pada kesendirian, keterasingan, dan ketidakberaturan yang mengarah pada onjek individual dan lingkungan secara umum. Dalam hal ini yaitu pembuat keramik dan penikmat atau pengamat keramik. Sedangkan seijaku menekankan pada suatu bentuk ketenangan dari kekuatan spiritual, kestabilan dan ketentraman ke arah pencerahan. Hal ini menggambarkan seseorang yang sedang membuat keramik seperti sedang melakukan meditasi, yaitu suatu keadaan aktif yang tenang (tanpa gangguan), memusatka pikiran dan berkonsentrasi.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1

Kesimpulan 1. Di Jepang, seni keramik telah dikenal sejak berabad-abad yang lalu. Para

seniman

keramik

Jepang

mempelajari

teknik-teknik

pembuatan keramik dari Cina dan Korea. 2. Keramik yang mendapat pengaruh besar ajaran Zen Buddhisme adalah keramik yang digunakan dalam upacara minum teh. Keramik putih (porselen) tidak mendapat pengaruh ajaran Zen Buddhisme karena tidak digunakan dalam upacara minum teh. Bahan tanah liat porselen bersifat tidak plastis sehingga tidak dapat diolah dengan menggunakan tangan dan memerlukan bahan tambahan (zat kimia). Hal ini bertentangan dengan pandangan Zen Buddhisme tentang kesederhanaan dan kealamian. 3. Perkembangan keramik hampir merata di seluruh Jepang. Hal ini dibuktikan

dengan

tersebarnya

tungku-tungku

pembakaran

keramik di Jepang. Setiap daerah membuat jenis-jenis tersendiri yang khas. 4. Proses pembuatan keramik terdiri dari pengolahan bahan baku, pembentukan,

dekorasi dan pewarnaan,

serta pembakaran.

Keseluruhan proses tersebut menggunakan teknik dan peralatan dan perlengkapan yang sederhana dan alami sesuai dengan falsafah ajaran Zen Buddhisme.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

5. Dalam proses pembuatan keramik Jepang terdapat 4 nilai estetika yang merupakan kombinasi dari beberapa nilai estetika Zen Buddhisme. Nilai-nilai tersebut adalah: -

Fukinsei, sabi, dan datsuzoku, menciptakan nilai ketidaksimetsisan.

-

Shizen, menciptakan niai kealamian.

-

Kanso,

shibui,

dam

wabi,

menciptakan

nilai

kesederhanaan. -

Yuugen, sabi, dan seijaku, menciptakan nilai kedalaman rasa.

6. Dalam ajaran Zen Buddhisme, nilai ketidaksimetrisan mempunyai pengertian membuang nafsu duniawi, mengosongkan maksud suci, dan

tidak

memperdulikan

kesempurnaan.

Ketidaksimetrisan

bertujuan utuk melambangkan sesuatu yang bersifat spiritual. 7. Nilai kealamian dalam Zen Buddhisme menekankan bahwa sesuatu yang terjadi secara alami akan menghasilkan bentuk-bentuk unik dan tiada duanya. Dalam hal ini, Zen Buddhisme menitikberatkan pada suasana tenang dan tidak tegang seperti situasi alam yang sesungguhnya. 8. Nilai kesederhanaan menurut Zen Buddhisme adalah sesuatu yang tidak mencolok, tidak memiliki banyak variasi, bersifat naïf dan polos serta tidak adanya unsur kesengajaan atau dibuat-buat. Kesederhanaan mencerminkan dan mewakili sifat suatu benda

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

secara utuh yang diekspresikan melalui bentuk, warna, tekstur, dan sebagainya. 9. Nilai kedalaman rasa menurut Zen Buddhisme adalah memahami bahwa sesuatu hal atau benda pastinya memiliki makna mendalam yang tersirat, sesuatu yang berhubungan dengan spiritual. 10. Nilai kesederhanaan, nilai kealamian, dan nilai kedalaman rasa terdapat dalam hampir setiap proses pembuatan keramik. Sedangkan nilai ketidaksimetrisan tidak dapat dilihat pada proses pembuatan keramik, melainkan dapat dilihat pada keramik secara langsung. Nilai ketidaksimetrisan ini tidak terdapat pada semua jenis keramik. 11. Dari keempat nilai estetika keramik tersebut dapat dikatakan bahwa keramik Jepang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai ajaran Zen Buddhisme. Nilai-nilai tersebut

sangat

dihargai oleh

masyarakat Jepang. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan keramik Jepang yang sangat pesat namun tetap mencerminkan nilai-nilai ajaran Zen Buddhisme.

4.2

Saran 1. Sebaiknya masyarakat Indonesia khususnya seniman keramik Indonesia juga memiliki pemahaman yang mendalam tentang nilainilai estetika yang terkandung dalam keramik Jepang, karena pemahaman tersebut dapat membantu seniman keramik Indonesia dalam mengembangkan dan mengkreasikan keramik Indonesia

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

sebagai suatu karya seni yang bernilai estetika tinggi, seperti yang telah sukses dilakukan oleh masyarakat Jepang. 2. Sebaiknya masyarakat Indonesia mau mempelajari nilai-nilai positif yang terdapat dalam budaya Jepang, seperti ketekunan, kesabaran, serta konsistensi masyarakat Jepang dalam membuat keramik, sehingga seniman keramik Indonesia juga dapat menghasilkan keramik-keramik yang bernilai estetika tinggi namun tetap konsisten dengan mempertahankan ciri khas kebudayaan Indonesia. 3. Sebaiknya masyarakat Indonesia mau mempelajari nilai-nilai positif yang terdapat dalam ajaran Zen Buddhisme khususnya ajaran tentang estetika keindahan, serta dapat merealisasikannya bukan hanya dalam bidang seni, namun juga dalam kehidupan sehari-hari.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

DAFTAR PUSTAKA

Akasaka, Moto. 1989. Jepang Dewasa Ini. Jepang: Japan Echo. Inc. Astuti, Ambar. 1997. Pengetahuan Keramik. Yokyakarta: Gajah Mada University Press. Christomy, T dan Untung Yuwono. 2004. Semiotika Budaya. Depok: Pusat Penelitian Kemayarakatan dan Budaya Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia. Dharmawan. 1987. Pendidikan Seni Rupa. Bandung: CV Amrico. Earhart, H. Byron. 1982. Japanese Religion. California: Wadsworth. Inc. Hulu,

Eva Margareth. 2007. Skripsi: Nilai Estetika Seni Bonsai dalam Masyarakat Jepang. Medan: Fakultas Sastra USU.

Ichsan, Nurdian. 2006. Aneka Jepang edisi 312(1) Hal 3-5. Jakarta: Kedutaan Besar Jepang. Ishikawa, Jun Ichi. 2005. Nipponia No. 32 Hal. 4-7. Jepang: Heibonsha Ltd. Iswidayati, Sri. 1995. Tesis: Pengaruh Zen Buddhisme pada Estetika Keramik Jepang. Jakarta: Program Pascasarjana Kajian Wilayah Jepang UI. Kaelan. 2005. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat. Yokyakarta: Paradigma. Koenjaraningrat.

1976. Metode-Metode Penenlitian

Masyarakat.

Jakarta:

Gramedia. Nazir, Mohammad. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yokyakarta: Gajah Mada University Press.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yokyakarta: Gajah Mada University Press. Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yokyakarta: Pustaka Pelajar. ____. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yokyakarta: Pustaka Pelajar. Sachari, Agus. 2002. Pengantar Metodologi Penelitian Budaya Rupa, Desain, Arsitektur, Seni Rupa, dan Kriya. Jakarta: Erlangga. Sedyawati, Edi. 2006. Budaya Indonesia, Kjian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Seiroku, Noma. 1967. The Heritage of Japanese Art. Tokyo: The Kokusai Bunka Shinkokai. Simbolon, Betman, dkk. 1996. Seni Musik. Medan: UD. Lamtorang Jaya Sutrisno SJ, Mudji dan Prof. Dr. Christ Verhaak SJ. 1993. Estetika Filasafat Keindahan. Yokyakarta: Kanisius. Tsunoda, Ryusaku. 1958. Sources of Japanese Tradition Vol. 1. Amerika: Columbia University Press. Wilson, Richard L. 1995. Inside Japanese Ceramics. Hong Kong: Weatherhill.Inc. Wiryomartono, Bagoes P. 2001. Pijar-Pijar Penyingkap Rasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

ABSTRAK

Seni merupakan salah satu hasil kebudayaan yang diciptakan manusia untuk memenuhi keutuhannya akan keindahan. Dalam karya seni terdapat nilai estetika. Pandangan mengenai nilai estetika pada suatu masyarakat berbeda dengan masyarakat lainnya. Hal tersebut dipengaruhi beberapa faktor, seperti faktor agama, struktur sosial, budaya, dan sebagainya. Di Jepang pandangan mengenai nilai estetika dipengaruhi oleh faktor agama, yaitu Zen Buddhisme. Dalam Zen Buddhisme ditekankan

nilai

kesederhanaan dan nilai kealamian adalah hal yang utama. Salah satu seni di Jepang yang mendapat pengaruh Zen Buddhisme adalah seni keramik. Pengaruh

Zen

Buddhisme

dalam seni keramik

diawali dengan

berkembangnya budaya minum teh dari Cina. Dalam upacara minum teh digunakan peralatan yang mengandung estetika Zen Buddhisme. Peralatan tersebut memiliki bentuk yang sederhana dan alami. Sehingga seni keramik Jepang mengandung estetika Zen Buddhisme. Berdasarkan Zen Buddhisme, terdapat beberapa nilai estetika. Nilai-nilai tersebut adalah, fukinsei, kansou, kouko, shizen, yuugen, datsuzoku, shibui, wabi, sabi, dan sejaku. Nilai-nilai tersebut terdapat dalam estetika keramik Jepang. Dari kesepuluh nilai estetika tersebut dapat dilihat empat nilai yang terkandung dalam nilai estetika keramik Jepang. Nilai tersebut adalah nilai ketidaksimetrisan, nilai kealamian, nilai kesederhanaan, dan nilai kedalaman rasa. Nilai tersebut dapat dilihat pada pembuatan keramik. Dalam pembuatan keramik terdapat beberapa tahap. Tahap tersebut adalah mengolah bahan baku,

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

membentuk keramik, mendekorasi dan mewarnai keramik, dan membakar keramik. Nilai ketidaksimetrisan dapat dilihat dalam bentuk keramik. Karena dipengaruhi oleh Zen Buddhisme, bentuk keramik Jepang tidak simetris. Yang dimaksud dengan tidak simetris adalah bentuk kanan kiri keramik tidak sama. Dalam ajaran Zen Buddhisme, arti dari nilai ketidaksimetrisan adalah membuang hawa nafsu, dan tidak mengutamakan kesempurnaan. Nilai ketidaksimetsian berasal dari nilai estetika Zen Buddhisme, yaitu fukinsei, sabi, dan datsuzoku. Nilai kealamian dalam seni keramik Jepang dapat dilihat pada proses pembuatan keramik. Dalam Zen Buddhisme, terdapat kepercayaan bahwa sesuatu yang terjadi secara alami akan menghasilkan bentuk unik. Nilai tersebut dalam estetika Zen Buddhisme disebut shizen. Nilai kesederhanaan dalam Zen Buddhisme adalah sesuatu yang tidak mencolok dan tidak adanya unsur kesengajaan. Kesederhanaan mencerminkan sifat suatu benda melalui bentuk, warna, tekstur, dan sebagainya. Nilai kesederhanaan berasal dari nilai estetika Zen Buddhisme, yaitu kansho, shibui, dan wabi.. Nilai kedalaman rasa dalam Zen Buddhisme adalah bahwa sesuatu hal pasti memiliki makna mendalam yang tersirat, dan berhubungan dengan hal spiritual. Nilai kedalam rasa berasal dari nilai estetika Zen Buddhisme, yaitu yuugen, sabi, dan seijaku. Dengan demikian dapat dilihat bahwa terdapat nilai-nilai ajaran Zen Buddhismme dalam estetika keramik Jepang. Sampai saat ini pun masyarakat

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

Jepang masih sangat menghargai nilai-nilai tersebut. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan keramik Jepang yang sangat pesat

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

ようし

要旨

びじゅつ

うつく

ひつよう



にんげん

そうさく

ぶんか

美術 は 美 しさの 必要 を 満たすのために人間 が 捜索された文化 の

けっか

びじゅつ

せいさく

びがく

ひと

しゃかい

しゃかい

びがく

結果である。美術の政策に美学がある。一つの社会とほうかの社会の美学 いけん

ちが

ようそ

えいきょう

たと

しゅうきょう

の意見は違 う。そのことはいくつか要素に影 響 させて、例えば 宗 教 、 しゃかい

こうぞう

ぶんか

にほん

びがく

社会の構造、文化、などである。 いけん

しゅうきょう

ようそ

えいきょう

ぜん

ぶっきょう

日本 で 美学に意見 は 宗 教 の要素 に 影 響 させて、善 の 仏 教 であ ぜん

ぶっきょう

なか

しぜん









たいせつ

る。善 の 仏 教 の中 に 自然の価値 とふきんせいの 価値は大切 なことであ にほん

ぶっきょう

えいきょう

びじゅつ



もの

びじつ



もの

る。日本で善の仏 教 を 影 響 させて美術は焼き物の美実である。焼き物の びじゅつ

なか

ぜん

ぶっきょう

えいきょう

なか

ぜん

ぶっきょう

びがく

ちゅうごく

ちゃ



はってん

ちゃ

美術の中に善の 仏 教 の影 響 は 中 国 から茶 の湯の発展 からはじまる。茶 ゆ

ふく

せつび

せつび

か た ちわ しっ そ

の湯の中に善 の 仏 教 の美学 を含んで設備をつかう。その設備の形輪質素 しぜん

にほん



もの

びじゅつ

ぜん

ぶっきょう

びがく

ふく

と自然である。それから、日本 の焼き物の美術は善 の 仏 教 の美学 を含む。 ぜん

ぶっきょう

びがく









善 の 仏 教 のとおりに、いくつか 美学 の 価値がある。その価値 は

ふきんせい

かんそ

こうこ

しぜん

ゆうげん

だつぞく

しぶ

じゃく

せいじゃく

不均斉、簡素、考古、自然、幽玄、脱俗、渋い、わび、 寂 、 静 寂 である。 びがく





にほん

もの

びがく

びがく





じゅうばんめ

その美学の価値は日本の焼き物の美学である。その美学の価値の十番目か にほん

もの

びがく





なか

よっ











ふしょう

ら、日本の焼き物の美学の価値の中に四つ価値が見える。その価値は不称 か



しぜん





かんそ





かん

ないぶ





の価値、自然の価値、簡素の価値、感の内部の価値である。

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.







もの

つく

かた

なか





もの

つく

かた

なか

その価値は焼き物の作り方の中に見える。焼き物の作り方の中には かてい

かてい

そざいりょう

かこう



もの

かたちづく

いくつか過程がある。その過程は祖材料 を加工する、焼 き物を形 作 る、 や

もの

いろ

かざ



もの

もの





焼き物を色づけると飾る、焼き物を焼くことである。 ふきんせい











ぜん

ぶっきょう

えいきょう

不均斉の価値は焼き物の価値に見える。善の 仏 教 を影 響 させるか にほん

もの

かたち

そうしょうてき

そうしょう



もの

ら、日本の焼き物 の 形 は総 称 的 じゃない。 総 称 じゃないのは焼 き物の さゆう

かたち

おな

ぶ き ょ う

なか

ふきんせい









左右 の 形 が同 じじゃない。善の 部今日の中 に、 不均斉の価値 の 意味は よくじょう



かんぜん

ゆうせん

ふきんせい





ふきんせい

じゃく

だつぞく

欲 情 を無くして、完全を優先しない。不均斉の価値は不均斉、 寂 、脱俗 ぜん

ぶっきょう

びがく





、善の仏 教 の美学の価値からである。 にほん

もの

びじゅつ



もの

せいぞう

かてい

なか

しぜん





日本の焼き物の美術で焼き物の製造の過程の中には自然の価値がみ ぜん

ぶっきょう

なか

なに

しぜん

めずら

かたち

つく

しんよう

える。善の 仏 教 の中 に何か自然 にできた、 珍 しい 形 を作るの信用 があ か



ぜん

ぶっきょう

びがく

なか

しぜん



る。その価値は善の 仏 教 の美学の中に自然と言うことである。 ぜん

ぶっきょう

なか

かんそ





いしきてき





善の 仏 教 の中 に簡素の価値は意識的なことがない、目 を引きない



かんそ

かたち

いろ











もの

ひんせい

と言 うことである。 簡素は 形 や 色やテクスチャ ーなどから 物の品性 を はんえい

かんそ





かんそ

しぶ

ぜん

ぶっきょう

びがく





反映する。簡素 の価値は簡素と渋いとわびと、善 の 仏 教 の美学 の価値か らである。

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

かん

ないぶ





ぜん

ぶっきょう

なか

もの

あんじてき

ふか





感の内部の価値 は善の仏 教 の中に物はきっと暗示的な深 い意味が せいしんてき

かんけい

かん

ないぶ





ゆうげん

じゃく

せいじゃく

あって、精神的 なことと 関係する。感 の 内部の価値 は 幽玄と 寂 と 静 寂 ぜん

ぶっきょう

びがく





と、善の 仏 教 の美学の価値からである。 にほん

もの

びがく

ぜん

ぶっきょう

きょうくん







それから、 日本 の焼き 物の美学 で 善の 仏 教 の 教 訓 の価値 が 見え いま

に ほ んし ゃか い





かんしゃ

にほん

る。今までも日本社会はその価値をとても感謝している。そのことは日本 もの

じんそく

はってん



の焼き物の迅速な発展で見える。

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.