PEMBERIAN TEKNIK RELAK INTENSITAS NYERI PADA DENGAN POST OPERA

Download imagery (imajinasi terbimbing, menghayalkan suatu hal yang menyenangkan), kolaborasi dalam pemberian analgetik. Tindakan evaluasi keperawat...

0 downloads 373 Views 1MB Size
PEMBERIAN TEKNIK RELAKSASI GUIDED IMAGERY TERHADAP INTENSITAS NYERI PADA ASUHAN KEPERAWATAN Tn.T DENGAN POST OPERASI LAPARATOMI DIRUANG ANGGREK RSUD Dr. SOEDIRAN MANGUN SUMARSO WONOGIRI

DI SUSUN OLEH :

EKO INDUNG PRASETIO NIM. P.13083

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2016

PEMBERIAN TEKNIK RELAKSASI GUIDED IMAGERY TERHADAP INTENSITAS NYERI PADA ASUHAN KEPERAWATAN Tn.T DENGAN POST OPERASI LAPARATOMI DIRUANG ANGGREK RSUD Dr. SOEDIRAN MANGUN SUMARSO WONOGIRI

Karya Tulis Ilmiah Uuntuk Memenuhi Salah Satuan Persyaratan Dalam Menyelesaiakan Program Diploma III Keperawatan

DI SUSUN OLEH :

EKO INDUNG PRASETIO NIM. P.13083

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2016

i

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Yang bertanda tangan dibawah ini: Nama

: Eko Indung Prasetio

NIM

: P.13083

Program Studi

: DIII Keperawatan

Judul KaryaTulisIlmiah

:Pemberian Tehnik Relaksasi Guided Imagery Terhadap

Intensitas

Keperawatan Laparatomi

Tn.T Di

Nyeri

Pada

Asuhan

Dengan

Post

Operasi

Ruang Anggrek RSUD Dr.

Soediran Mangun Sumarso Wonogiri Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil alihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri. Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atau perbuatan tersebut sesuai dengan ketentuan akademik yang berlaku. Surakarta, 11 Mei2016 Yang Membuat Pernyataan

Eko Indung Prasetio NIM. P13083

ii

HALAMAN PENGESAHAN Karya Tulis Ilmiah ini diajukan oleh : Nama : Eko Indung Prasetio NIM : P13083 Program Studi : Diploma III Keperawatan Judul : Pemberian Teknik Relaksasi Guided Imagery Terhadap Intensitas Nyeri Pada Asuhan Keperawatan Tn.T Dengan Post Operasi Laparatomi Di Ruang Anggrek RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri. Telah diujikan dan dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Karya Tulis Ilmiah Prodi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta Ditetapkan di : Surakarta Hari/Tanggal : Selasa, 31 Mei 2016 DEWAN PENGUJI (

Pembimbing : Ns. Joko Kismanto, S.Kep NIK. 200670020 Penguji 1

: Ns. Meri Oktariani, M.Kep NIK. 200981037

Penguji 2

: Ns. Joko Kismanto, S.Kep NIK. 200670020

(

)

(

Mengetahui, Ketua Program Studi DIII Keperawatan STIKES KusumaHusada Surakarta

Ns. Meri Oktariani, M.Kep NIK. 200981037

iii

)

)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat tuhan yang maha kuasa karena berkat, rahmat dan karunianya, sehingga penulis mampu menyelesaikan karya tulis ilmiah yang berjudul “Pemberian teknik relaksasi guided imagery terhadap intensitas nyeri pada asuhan keperawatan Tn.T dengan post operasi laparatomi diruang Anggrek RSUD Dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri.”. Dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini penulis banyak me ndapatkan bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi–tingginya kepada yang terhormmat: 1.

Ns. Wahyu Rima Agustin M.Kep, selaku Ketua STIkes Kusuma Husada Surakarta yang telah memberikan kesempatan untuk menimba ilmu di STIkes Kusuma Husada Surakarta.

2.

Ns. Meri Oktariani, M.Kep, selaku ketua program studi DIII Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimbailmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta. Dan selaku dosen penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini.

3.

Ns. Alfyana Nadya R. M.Kep selaku sekretaris program studi DIII Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta.

4.

Ns. Joko Kismanto, S.Kep., selaku dosen pembimbing serta pembimbing akademik yang telah membimbing penulis dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam membimbing serta memfasilitasi penulis demi kesempurnaan karya tulis ilmiah ini.

iv

5.

Semua dosen progam DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan wawasannya serta ilmu yang bermanfaat.

6.

Hartanti S.Kep., selaku pembimbing lahan diruang Anggrek Rumah Sakit Umum Daerah Wonogiri yang telah memberikan banyak masukan dan membimbing penulis dalam menyelesaikan asuhan keperawatan selama di Rumah Sakit Umum Daerah Wonogiri.

7.

Kedua orangtuaku, yang selalu menjadi inspirasi dan memberikan semangat untuk menyelesaikan pendidikan.

8.

Teman-teman Mahasiswa satu angkatan khususnya kelas 3B Program DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual. Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu keperawatan dan kesehatan . Amin

Surakarta, 11 Mei 2016

Penulis

v

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL........................................................................................

i

PERNYATAAN TIDAK PLAGIATISME .....................................................

ii

LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................

iii

KATA PENGANTAR .....................................................................................

iv

DAFTAR ISI ....................................................................................................

vi

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................

viii

DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................

ix

BAB I

BAB II

BAB III

PENDAHULUAN A. Latar belakang ........................................................................

1

B. Tujuan Penulisan ....................................................................

5

C. Manfaat Penulisan ..................................................................

6

TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori ........................................................................

7

1. Laparatomi.........................................................................

7

2. Appendiksitis .....................................................................

12

3. Nyeri ..................................................................................

14

4. Guided Imagery .................................................................

22

B. Kerangka teori ........................................................................

27

METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET A. Subjek aplikasi riset ...............................................................

28

B. Tempat dan waktu ..................................................................

28

C. Media dan alat yang digunakan..............................................

28

D. Prosedur tindakan berdasarkan aplikasi riset .........................

28

E. Alat ukur evauasi dari aplikasi tindakan berdasarkan riset ....

30

vi

BAB IV

BAB V

BAB VI

LAPORAN KASUS A. Pengkajian ..............................................................................

31

B. Perumusan masalah keperawatan ...........................................

38

C. IntervensiKeperawatan ...........................................................

39

D. ImplementasiKeperawatan .....................................................

41

E. Evaluasi ..................................................................................

47

PEMBAHASAN A. Pengkajian ..............................................................................

51

B. Diagnosa Keperawatan...........................................................

58

C. IntervensiKeperawatan ...........................................................

62

D. ImplementasiKeperawatan .....................................................

65

E. Evaluasi ..................................................................................

70

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ............................................................................

76

B. Saran.......................................................................................

79

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP

vii

DAFTAR GAMBAR

1.

Gambar 2.1 Skala Numeric Rating Scale (NRS) .......................................

19

2.

Gambar 2.2 Verbal Deskriptif Scale (VDS)..............................................

20

3.

Gambar2.3 Pain Asesment Behavioral Scale (PABS) ..............................

21

4.

Gambar 2.4 Kerangka Teori .....................................................................

27

5.

Gambar 3.1 Skala Numeric Rating Scale (NRS) ......................................

30

6.

Gambar 4.1 Genogram .............................................................................

32

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1

:UsulanJudulAplikasiJurnal

Lampiran 2

:Jurnal

Lampiran 3

:LembarKonsultasiKaryaTulisIlmiah

Lampiran 4

:Format PendelegasianPasien

Lampiran 5

:LembarObservasi

Lampiran 6

:LembarKonsultasiAskep

Lampiran 7

: Loog Book

Lampiran 8

:AsuhanKeperawatan

Lampiran 9

:SuratPernyataan

Lampiran 10

: Daftar Riwayat Hidup

ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Data WHO menunjukkan bahwa selama lebih dari satu abad, perawatan bedah telah menjadi komponen penting dari perawatan kesehatan diseluruh dunia. Diperkirakan setiap tahun ada 230 juta tindakan bedah dilakukan diseluruh dunia (Hasri, 2012). Data Tabulasi Nasional Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2009, menjabarkan bahwa tindakan bedah menempati urutan ke-11 dari 50 pola penyakit di Indonesia dengan persentase 12,8% dan diperkirakan 32% diantaranya merupakan bedah laparatomi. Pembedahan menggunakan cara

adalah

semua

tindakan

pengobatan

yang

invasif dengan membuka atau menampilkan

bagian tubuh yang akan ditangani. Pembukaan bagian tubuh ini pada umumnya menggunakan sayatan. Setelah bagian ditampilkan dilakukan

tindakan perbaikan

yang ditangani

yang diakhiri

dengan

penutupan dan penjahitan (Sjamsuhidayat, 2005). Bedah atau operasi merupakan tindakan pembedahan cara dokter untuk mengobati kondisi yang sulit atau tidak mungkin disembuhkan hanya dengan obat-obatan sederhana (Potter and Perry,

1

2

2006).Pembedahan

perut

sampai

membuka

selaput

perut adalah

laparatomi (Jitowiyono, 2010). Laparatomi adalah salah satu jenis operasi yang di lakukan pada daerah abdomen. Operasi laparatomidilakukan apabila terjadi masalah kesehatan yang berat pada area abdomen, misalnya trauma abdomen. Perawatan post laparatomiadalahbentuk pelayanan perawatan yang diberikan kepada pasien-pasien yang telah menjalani operasi pembedahan perut (Lestari, 2012). Salahsatu efek dari pembedahan adalah nyeri. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang

dan

ekstensinya

pernahmengalaminya. pemeriksaan

diagnostik

diketahui

bilaseseorang prosespenyakit,

Nyeri

terjadi

bersama

dan

proses

pengobatan.

Nyeri

sangat

mengganggu dan menyulitkan banyak orang. Perawat tidak bisa melihat dan merasakan nyeri yang dialami oleh klien, karena nyeri bersifat

subjektif

antara satu individu dengan

individu lainnya

berbeda dalam menyikapi nyeri (Andarmoyo, 2013). Nyeri

menyebabkan

pasien

menderita,

nyeri

jika

tidak

ditangani akan berdampak negatif seperti pasien mengalami cemas, anoreksia, gangguan pola tidur, gelisah, tidak mampu bergerak bebas, susah tidur, perasaan tidak tertolong, dan putus asa (Andarmoyo, 2013).

3

Nyeri yang dialami pasien post operasibersifat akut dan harus segera ditangani. Strategi pendekatan

farmakologi

penatalaksanaan maupun

nyeri

mencakup baik

non-farmakologi.Pendekatan

ini

diseleksi berdasarkan pada kebutuhan dan tujuan pasien secara individu. Semua intervensi akan berhasil bila dilakukan sebelum nyeri menjadi lebih parah dan keberhasilan terbesar sering dicapaijika beberapaintervensi ditetapkan secara stimulan (Smeltzer dan Bare, 2005). Management

nyeri

farmakologi

menggunakan

terapi

obat

analgetik. Pemberian obat analgetik yang diberikan guna mengganggu atau memblok transmisi stimulus agar terjadi perubahan persepsi dengan cara mengurangi kortikal terhadap nyeri. Jenis analgetiknya adalah narkotika dan nonnarkotika. Semua jenis analgetik dapat menimbulkan ketergantungan pada penderitanya (Andarmoyo,2013). Management nyeri non-farmakologi untuk mengurangi nyeri salah satunya imagerymerupakan

adalah

teknik

sebuah proses

guided menggunakan

imagery. kekuatan

Guided pikiran

dengan mengarahkan tubuh untuk menyembuhkan diri memelihara kesehatan melalui komunikasi dalam tubuh melibatkan semua indra (visual,

sentuhan,

penciuman,

penglihatan, pendengaran) sehingga

terbentuklah keseimbangan antara pikiran, tubuh dan jiwa (Prasetyo, 2010).

4

Guided imaginary merupakan salah satu dari teknik relaksasi sehingga manfaat dari teknik ini pada umumnya sama dengan manfaat

dari

teknik relaksasi yang lain. Para ahli dalam bidang

teknik relaksasi guided imagery berpendapat bahwa guided imagiry merupakan penyembuh yang efektif. Teknik

ini dapat mengurangi

nyeri, mempercepat penyembuhan dan membantu tubuh mengurangi berbagai macam penyakit seperti depresi, alergi dan asma (Priyanto, 2011). Guided imagery adalah metode relaksasi untuk mengkhayalkan tempat

dan

kejadian

berhubungan

dengan

rasa

relaksasi

yang

menyenangkan. Khayalan trsebut memungkinkan klien memasuki keadaan pengalaman relaksasi (Kaplan & Sadock, 2010). Imajinasi bersifat individu dimana individu menciptakan gambaran mental dirinya sendiri, atau bersifat terbimbing. Banyak teknik imajinasi melibatkan imajinasi visual tapi tehnik ini juga menggunakan indera pendengaran, pengecap dan penciuman (Potter & Perry, 2005). Guided Imagery

(imajinasi terbimbing) adalah upaya untuk

menciptakan kesan dalam pikiran klien, kemudian berkonsentrasi pada kesan tersebut sehingga secara bertahap dapat menurunkan persepsi klien terhadap nyeri

(Prasetyo, 2010). Dari hasil wawancara yang

diaplikasikan selama proses keperwatan dengan

Teknik

Relaksasi

Guided Imagery Terhadap IntensitasNyeri Pada Tn.T di ruang Anggrek

5

RSUD Wonogiri menyebutkan bahwa teknik relaksasi guided imagery efektif untuk menangani nyeri post operasi. Dari latar

belakang

diatas

penulis tertarik

untuk

mengaplikasikan pemberian teknik relaksasi guided imagery Pada Tn.T diruang Anggrek RSUD Wonogiri. B. Tujuan Penulisan 1.

Tujuan Umum Mengaplikasikan tindakan pemberian teknik relaksasiguided imagery terhadap intensitas nyeri pada pasien Tn.T dengan post laparatomi diruang Anggrek RSUD Wonogiri

2. Tujuan Khusus a. Penulis

mampu

melakukan

pengkajian pada

pasien Tn.T

denganpost laparatomi b. Penulis

mampu

menengakkandiagnosakeperawatan

pasien

postlaparatomi c. Penulis mampu menyusun rencana asuhan secara menyeluruh pada pasien post laparatomi d. Penulis

mampu

melaksanakan

asuhan

keperawatan

secara

langsung pada pasien post laparatomi e. Penulis mampu mengevaluasi efektifitas asuhan yang telah diberikan pada pasien post laparatomi f. Menganalisa tentang aplikasi tindakan Guided Imagery untuk mengurangi intensitas nyeri pada pasien post laparatomi

6

C. Manfaat Penulisan 1. Bagi Institusi Pendidikan Diharapkan Asuhan Keperawatan ini dapat menjadi referensi bacaan ilmiah untuk mahasiswa untuk mengaplikasikan penggunaan pasien post laparatomi. 2. Bagi Rumah Sakit Memberikan

masukan

bagi

pihak

rumah

sakit

untuk

menambah pengetahuan khususnya tentang penanganan nyeri pada pasien post laparatomi. 3. Bagi Profesi Meningkatkan pengetahuan perawat dan penerapan teknik non farmakologi terhadap pasien post operasiuntuk mengatasi nyeri. 4. Bagi penulis Penulis

mampu

meningkatkan

asuhan

keperawatan

dalam

Pemberian Relaksasi Guided Imagery Terhadap Intensitas Nyeri Pada Pasien Post Laparatomi serta melengkapi pengetahuan penulis dalam pembuatan Karya Tulis Ilmiah.

7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori Diagnosa Medis 1. Laparatomi a. Pengertian Laparatomi adalah pembedahan perut sampai membuka selaput perut (Jitowiyono, 2010). Laparatomi adalah salah satu jenis operasi yang dilakukan pada daerah abdomen. Operasi laparatomi dilakukan apabila terjadi masalah kesehatan yang berat

pada

Perawatan

area

post

abdomen, misalnya

laparatomi

adalah

trauma

abdomen.

bentuk pelayanan

yang

diberikan kepada pasien-pasien yang telah menjalani operasi pembedahaan perut (Lestari, 2012). b. Jenis Laparatomi Jenis-jenis laparatomi menurut Jitowiyono (2010) : 1) Midline incision, yaitu sayatan ke tepi dari garis tengah abdomen. 2) Paramedian, yaitu sayatan sedikit ke tepi dari garis tengah dengan jarak sekitar 2,5 cm dengan panjang 12,5 cm. 3) Transverse upper abdomen incision, yaitu insisi di bagian atas, misalnya pembedahan colesistotomy dan spelenektomy.

7

8

4) Transverse lower abdomen, yaitu insisi melintang dibagian bawah 4 cm di atas anterior spinal iliaka, misalnya pada operasi appendisitis. c. Etiologi Indikasi laparatomi menurut Mansjoer (2007) 1) Trauma abdomen ( tumpul atau tajam) 2) Peritonitis 3) Perdarahan saluran pencernaan (Internal Blooding) 4) Sumbatan pada usus halus dan usus besar 5) Massa abdomen d. Proses Penyembuhan Luka Post-Laparatomi Fase penyembuhan luka post-laparatomi menurut (Jitowiyono 2010)adalah: 1) Fase Pertama Berlangsung sampai hari ke-3.

Batang leukosit banyak

yang rusak atau rapuh. Sel-sel darah baru berkembang menjadi penyembuhan

dimana

serabut-serabut

bening

digunakan sebagai kerangka. 2) Fase Kedua Dari hari ke-3 sampai hari ke-14. Pengisian oleh kolagen,seluruh

pinggiran

sel

epitel

timbul

sempurna

dalam 1 minggu. Jaringan baru tumbuh dengan kuat dan kemerahaan.

9

3) Fase Ketiga Sekitar 2 sampai 10 minggu. Kolagen terus menerus ditimbun,timbul

jaringan-jaringan

baru

dan

otot

dapat

digunakan kembali. 4) Fase Keempat Fase terakhir penyembuhan akan menyusut dan mengkerut. e. Komplikasi Post-Laparatomi Komplikasi Post-Laparatomi menurut Jitowiyono (2010) adalah: 1) Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis Tromboplebitis post operasi biasanya timbul 7-14 hari setelah operasi. Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru, hati dan otak. 2) Buruknya integritas kulit sehubungan dengan dehisensi luka atau eviserasi Dehisensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka. Eviserasi luka adalah keluarnya organ-organ dalam melalui insisi. Faktor penyebab dehisensi dan eviserasi adalah infeksi luka,kesalahan menutupnya waktu pembedahan, ketegangan yang berat pada dinding abdomen sebagai akibat dari batuk atau muntah.

10

3) Buruknya integritas kulit sehubungan dengan luka infeksi. Infeksi luka sering muncul pada 36-46 jam setelah operasi. Organisme yang paling sering menimbulkan infeksi adalah

stapilokokus

aurens,

organisme,

gram

positif.Stapilokokus mengakibatkan pernanahan. f. Perawatan post laparatomi Menurut Kozier (2006), perawatan post laparatomi adalah bentuk pelayanan perawatan yang diberikan kepada pasienpasien yang telah menjalani operasi pembedahan perut. Tujuan perawataan post laparatomiadalah : 1) Mengurangi komplikasi akibat pembedahaan 2) Mempercepat penyembuhaan 3) Mengembalikan fungsi abdomen pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi 4) Mempertahankan konsep diri pasien 5) Mempersiapkan pasien pulang g. Asuhan keperawatan post laparatomi 1) Pengkajian a) Respirasi Bagaimana saluran pernafasan, jenis pernafasan, bunyi pernafasan. b) Sirkulasi Nadi, tekanan darah, dan suhu, warna kulit dn refill kapiler.

11

c) Pernafasan : tingkat kesadaran d) Balutan Balutan

mengoptimalkan

lingkungan

penyembuhan,

melindungi luka dari kontaminasi udara sekitar, dan mencegah pertumbuhan bakteri diluka. e) Peralatan Monitor yang terpasang cairan infus atau tranfusi f) Rasa nyaman Rasa sakit, mual, muntah, posisi pasien, dan fasilitas ventilasi (Sugeng, 2012) 2) Diagnosa Keperawatan Menurut Nanda (NIC dalam Huda Amin dan Kusuma Hardhi, 2013 ) pada kasus post laparatomi a) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik b) Gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan (post operasi laparatomi akibat nyeri). c) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri 3) Intervensi (1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik 1) Observasi tanda-tanda vital dan keadaan umum pasien 2) Kaji nyeri secara komperensif (PQRST) 3) Beri posisi nyaman pada pasien

12

4) Ajarkan teknik mengontrol nyeri non farmakologi dengan relaksasi guided imagery (2) Gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan (post operasi laparatomi akibat nyeri). 1) Monitor kebutuhan tidur pasien setiap jam dan hari 2) Diskusikan bersama pasien dan keluarga tentang tingkat pola istirahat 3) jelaskan pentingnya tidur yang adekuat 4) Kolaborasi tentang pemberian obat anti nyeri (3) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri 1) monitor vital sign 2) Kaji kemampuan mobilasi pasien 3) Dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi keadaan ADL 4) Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika pasien memerlukan 5) Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan 2. Appendiksitis a. Pengertian Appendiksitis

adalah

peradangan

dari

apendiks

vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik

13

laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang lakilaki berusia antara 10 sampai 30 tahun. (Arief Manjoer, 2007 : 307) b. Klasifikasi Appendiksitis Menurut Jatiwiyono dan Krisyanasari (2010), Appendiksitis terbagi atas 2 yaitu : 1) Appendiksitis akut terdiri atas : appendiksitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul struktur local, appendiksitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah. 2) Appendiksitis kronis, dibagi atas appendiksitis kronis fokalis atau parsial, setelah sembuh akan timbul struktur local, appendiksitis kronis obliteritiva yaitu appendik miring, biasanya ditemukan pada usia tua. c. Etiologi Etiologi appendiksitis menurut Dermawan (2010) yaitu : 1) Inflamasi akut pada appendik dan edema 2) Ulserasi dari epitel apendiks 3) Obstruksi pada colon oleh fecalit (feses yang keras) 4) Terhambatnya aliran mukus 5) Nekrosis 6) Tumor atau benda asing 7) Invasi bakteri usus

14

d. Manifestasi Klinis Menurut Dermawan (2010) tanda dan gejala appendiksitis yaitu : 1) Nyeri pada kuadran kanan bawah 2) Demam ringan 3) Mual muntah 4) Anoreksia 5) Spasme otot abdomen (tungkai sulit untuk digerakkan) 6) Konstipasi atau diare e. Komplikasi Appendiksitis Komplikasi appendiksitis menurut Bararah (2013) : 1) Komplikasi

utama

appendiksitis

adalah

perforasi

appendiks, yang dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses 2) Abses subfrenikus 3) Fokal sepsis intraabdominal lain 3. Nyeri a. Pengertian Nyeri adalah sesuatu yang sering membuat pasien merasa tidak nyaman. Nyeri sering dijelaskan oleh penderita dengan berbagai macam istilah, misalnya rasa tusuk, rasa tikam, rasa terobek, rasa tersengat, rasa bakar rasa sayat, rasa berdenyut, pernyataan tersebut menunjukkan lamanya waktu terasa nyeri

15

dan menyamakannya dengan hal-hal yang menyebabkan rasa tersebut pada waktu lampau yang pernah dialaminya (Potter and perry, 2006). Nyeri

didefinisikan

sebagai

suatu

keadaan

yang

mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya. Nyeri terjadi bersama proses

penyakit,

pemeriksaan

diagnostik

dan

proses

pengobatan. Nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan banyak orang. Perawat tidak bisa melihat dan merasakan nyeri

yang dialami oleh klien, karena nyeri bersifat

subjektif antara satu individu dengan individu lainnya berbeda dalam menyikapi nyeri (Andarmoyo, 2013) b. Sifat Nyeri Nyeri bersifat subjektif dan individual. Nyeri adalah segala sesuatu tentang yang di katakan seseorang tentang nyeri tersebut dan terjadi kapan saja seseorang mengatakan nyeri. Mc Mahon menemukan empat atribut pasti untuk pengalaman nyeri, antara lain: nyeri bersifat individual, tidak meyenangkan, merupakan kekuatan yang mendominasi dan bersifat tidak berkesudahan (Andarmayo 2013).

16

c. Klasifikasi Nyeri 1) Nyeri Akut Nyeri akut adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikan rupa. Menurut international for the study of pain nyeri akut adalah awitan yang tiba - tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung < 6 bulan (Herdman, 2012). 2) Nyeri Kronik Nyeri

kronik

adalah

nyeri

konstan

atau

intermiten yangmenetap sepanjang suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung di luar waktu penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitkan dengan penyebab atau cidera spesifik.

Nyeri kronis tidak

mempunyai awalan yang ditetapkan dengan tetap dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Meski nyeri akut dapat menjadi sinyal yang sangat penting bahwa sesuatu tidak berjalan sebagai mana mestinya, nyeri kronis biasanya menjadi masalah dengan sendirinya. (Judha, 2012).

17

Menurut

Tamsuri

(2006),

klasifikasi

nyeri

berdasarkan lokasi, dibagi menjadi enam yaitu: a) Nyeri super fisial adalah nyeri yang timbul akibat stimulus terhadap kulit seperti pada laserasi, luka bakar. b) Nyeri somatik adalah nyeri yang terjadi pada otot dan tulangserta penyokong lainnya. c) Nyeri viseral adalah nyeri yang disebabkan oleh karenakerusakan organ internal. Nyeri

yang timbul

bersifat difus dan durasinya cukup lama. d) Nyeri sebar (radiasi) adalah sensasi nyeri yang meluas dari daerah asal jaringan sekitar. e) Nyeri fantom adalah nyeri khusus yang dirasakan oleh pasien yang mengalami amputasi. f) Nyeri alih (reffered pain) adalah nyeri yang timbul akibatadanya nyeri viseral yang menjalar ke organ lain sehinggadirasakan menjalar ke organ lain. d. Respon Nyeri 1) Respon fisiologi terhadap nyeri Perubahan atau respon fisiologi di anggap sebagai indikator nyeri yang lebih akurat di bandingkan laporan verbal pasien. Respon fisiologi terhadap nyeri dapat sangat membayakan individu. Pada saat impuls nyeri naik ke medula spinalis menuju ke batang otak dan hipotalamus,

18

sistem saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai bagian dari respon fisiologis. Apabila nyeri berlangsung terus menerus, berat, dalam, dn melibatkan organ-organ dalam atauvisceral maka sistem simpatis akan menghasilkan suatu aksi (Andarmoyo, 2013). 2) Respon perilaku Menurut Potter dan Perrry (2006), tanda dan gejala nyeri ada bermacam-macam perilaku yang tercermin dari pasien, secara umum orang yang mengalami nyeri akan didapatkan respon psikologis berupa: a) Suara yaitu menangis, merintih dan menarik atau menghembuskan nafas. b) Efek wajah yaitu ditandai meringis, menggigit lidah, mengatupkangigi, dahi berkerut, tutup rapat atau membuka mata atau mulut, menggigit bibir. c) Pergerakan

tubuh

ditandai

mondar-mondir,gerakan

dengan

mengosok

kegelisahan,

atau

berirama,

bergerak melindungi bagian tubuh, imbolisasi dan otot tegang. e. Intensitas Nyeri Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri yang dirasakan oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual, dan kemungkinan nyeri dalam

19

intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologi tubuh terhadap nyeri itu sendiri namun, pengukuran dengan teknik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri 2012). Menurut Potter & Perry (2006) alat ukur nyeri sebagai berikut: 1) Numeric Rating Scale (NRS) Lebih

digunakan

sebagai

pengganti

alat

pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebeum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm.

Gambar 2.1 Keterangan : 0 : Tidak nyeri 1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.

20

4-6 : Nyeri sedang : menyeringai,

secara

dapat

obyektif

menunjukkan

klien

lokasi

mendesis,

nyeri,

dapat

mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik. 7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi. 10 : Nyeri sangat berat

: pasien sudah tidak mampu lagi

berkomunikasi, memukul. 2) Verbal Deskriptif Scale (VDS) Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih objektif. Skala pendeskripsi verbal merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”

Gambar 2.2 3) Pain Assesment Behavioral Scale (PABS)

21

Alat ukur nyeri dengan rentang skala nyeri 0 : tidak nyeri, 1-3: nyeri ringan, 4-6: nyeri sedang, >7: nyeri berat.

0

1

2

3

4

5

6

>7

Tidak

Nyeri

Nyeri

Nyeri

nyeri

ringan

sedang

berat

Gambar 2.3 f. Strategi penanganan nyeri 1) Management nyeri farmakologi Management

nyeri

farmakologi

menggunakan

terapi obat analgetik. Pemberian obat analgetik yang diberikan guna mengganggu atau memblok transmisi stimulus agar terjadi perubahan persepsi dengan cara mengurangi kortikal terhadap nyeri. Jenis analgetiknya adalah

narkotika

analgetik

dapat

dan

nonnarkotika.

menimbulkan

Semua

jenis

ketergantungan

pada

penderitanya (Andarmoyo, 2013). 2) Management nyeri non-farmakologi Management

nyeri

non-farmakologi

untuk

mengurangi nyeri salah satunya adalah teknik guided imagery.

Guided

imagery merupakan

sebuah proses

menggunakan kekuatan pikiran dengan mengarahkan tubuh untuk menyembuhkan diri memelihara kesehatan

22

melalui indra

komunikasi (visual,

dalam

sentuhan,

tubuh melibatkan penciuman,

semua

penglihatan,

pendengaran) sehingga terbentuklah keseimbangan antara pikiran, tubuh dan jiwa (Prasetyo, 2010). 4. Guided Imagery a. Definisi Guided

imaginary

merupakan salah satu dari teknik

relaksasi sehingga manfaat dari teknik ini pada umumnya sama dengan manfaat dari teknik relaksasi yang lain. Para ahli dalam bidang teknik

relaksasi guided imagery berpendapat

bahwa guided imagery merupakan penyembuh yang efektif. Teknik ini dapat mengurangi nyeri, mempercepat penyembuhan dan membantu tubuh mengurangi berbagai

macam penyakit

seperti depresi, alergi dan asma (Priyanto, 2011). Menurut Kaplan & sadock, 2010 dalam Novaretna, 2013 mengatakan bahwa teknik Guided imagery adalah metode relaksasi untuk menghayalkan tempat dan kejadian berhubungan dengan rasa

relaksasi

yang

menyenangkan.

Khayalan

tersebut

memungkinkan klien memasuki keadaan atau pengalaman relaksasi. b. Manfaat Manfaat dari tehnik Guided Imagery yaitu diantaranya mengurangi stres dan kecemasan, mengurangi nyeri mengurangi

23

efek samping, mengurangi tekanan darah tinggi, mengurangi level gula darah atau diabetes, mengurangi alergi dan gejala pernafasan, mengurangi sakit kepala, mengurangi biaya rumah sakit dan meningkatkan penyembuhan luka (Alimul, 2006). Guided imagery merupakan salah satu dari tehnik relaksasi sehingga maanfaat dari tehnik ini pada umumnya sama dengan manfaat dari tehnik relaksasi yang lain. Para ahli dalam bidang tehnik relaksasi guided imagery berpendapat bahwa guided imagery merupakan penyembuhan yang efektif. Tehnik ini dapat mengurangi nyeri mempercepat penyembuhan dan membantu tubuh mengurangi berbagai macam penyakit seperti depresi, alergi dan asma (Priyanto, 2011). c. Pelaksanaan Pelaksanaan

Guided

Imagerydilaksanakan dengan

membawa klien menuju tempat special dalam imajinasi mereka (misal: sebuah pantai tropis, air terjun, lereng pegunungan dll). Mereka dapat merasa aman dan bebas dari segala gangguan (interupsi). Pendengar

difokuskan

pada kedetailan

dari

pemandangan tersebut, pada apa yang terlihat, terdengar dan tercium dimana mereka berada di tempat spesial tersebut. Dalam melakukan teknik ini, dapat juga digunakan audio tape dengar music yang lembut atau suara-suara

alam

sebagai

24

background. Waktu

yang digunakan

10-20

menit. (Alimul,

2006). d. Langkah-langkah Tehnik ini dimulai dengan proses relaksasi pada umumnya yaitu meminta kepada klien untuk perlahan-lahan menutup matanya dan fokus pada nafas mereka, klien didorong untuk relaksasi mengosongkan pikiran dan memenuhi pikiran dengan bayangan untuk membuat damai dan tenang (Rahmayati, 2010). Menurut Kozier & Erb, (2009) dalam Novarenta, (2013), mengatakan bahwa langkah-langkah dalam melakukan Guided Imagery yaitu : 1) Untuk persiapan, mencari lingkungan yang nyaman dan tenang, bebas dari distraksi. Lingkungan yang bebas dari distraksi diperlukan oleh subjek guna berfokus pada imajinasi yang dipilih. Untuk pelaksanaan, subjek harus tahu rasional dan keuntungan

dari

tehnik

imajinasi

terbimbing.

Subjek

merupakan partisipan aktif dalam latihan imajinasi dan harus memahami secara lengkap tentang apa yang harus dilakukan dan hasil akhir yang diharapkan. Selanjutnya memberikan kebebasan kepda subjek. Membantu subjek keposisi yang nyaman dengan cara: membantu subjek untuk bersandar dan meminta menutup matanya. Posisi nyaman dapat meningkatkan fokus subjek selama latihan imajinasi. Menggunakan sentuhan

25

jika hal ini tidak membuat subjek terasa terancam. Bagi beberapa subjek, sentuhan fisik mungkin menganggu karena kepercayaan budaya dan agama mereka. 2) Langkah berikutnya menimbulkan relaksasi. Dengan cara memanggil nama yang disukai. Berbicara jelas dangan nada yang tenang dan netral. Meminta subjek menarik nafas dalam dan perlahan untuk merelaksasikan semua otot. Untuk mengatsi nyeri atau stress, dorong subjek untuk membayangkan hal-hal yang menyenangkan. Setelah itu membantu subjek merinci gambaran dari

bayangannya. Mendorong subjek untuk

menggunakan semua inderanya dalam menjelaskna bayangan dan lingkungan bayangan tersebut. 3) Langkah selanjutnya meminta subjek untuk menjelaskan perasaan

fisik

bayanganya.

dan

emosional

Dengan

yang

mengarahkan

ditimbulkan

oleh

subjek

untuk

mengeksplorasi respon terhadap bayangan karena ini akan memungkinkan subjek memodifikasi imajinasinya. Respon negatif dapat diarahkan kembali untk emberikan hasil akhir yang lebih positif. Selanjutnya memberikan umpan balik kontinyu kepada subjek. Dengan memberi komentar pada tanda-tanda relaksasi dan ketentraman. Setelah itu membawa subjek keluar dari bayangan. Setelah pengalaman imajinasi dan emndiskusikan

perasaan subjek mengenai pengalamnya

26

tersebut. Serta mengidentifikasi setiap hal yang dapat meningkatkan pengalaman imajinasi. Selanjutnya motivasi subjek untuk mempraktikan tehnik imajinasi secara mandiri.

27

B. Kerangka Teori Massa abdomen

Trauma abdomen

Internal blooding

Laparatomi

Kerusakan integritas kulit

Resiko infeksi

Nyeri

Non farmakologi

farmakologi

Membawa klien ke arah relaksasi membentuk bayangan yang disukai

Guided imagery Di thalamus rangsang dianalisis sehingga otak mengenali obyek tersebut Memori bayangan akan muncul dan menimbulkan persepsi yang sebenarnya dan mempengaruhi reseptor nyeri

Diterima sebagai rangsang oleh berbagai indra kemudian akan dijalankan kebatang otak menuju sensor thalamus

Mengurangi intensitas nyeri

(Greenbarg, 2003) Gambar 2.4

BAB III METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET

A. Subjek Aplikasi Riset Tindakan di lakukan pada pasien post operasi laparatomi diRuang Anggrek RSUD Wonogiri

B. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan diRuang Anggrek RSUD Wonogiri pada tanggal 4 Januari 2016 sampai dengan teanggal 16 Januari 2016.

C. Media dan Alat yang Digunakan Penelitian ini menggunakan alat lembar obsevasi ataupun media : Numerical Rating Scale

D. Presedur Tindakan Berdasarkan Riset 1. Fase Orientasi a. Menyapa pasien dan keluarga pasien. b. Meminta persetujuan tindakan. c. Menjelaskan langkah prosedur. d. Menanyakan kesiapan pasien.

28

29

2. Fase kerja a. Melihat keadaan umum pasien. b. MelakukanNumerical Rating Scale c. Melakuan guided imgery relaksasi. 1) Pastikan keadaan atau lingkungan di sekitar pasien dalam keadaan yang tenang. 2) Memakaikan selimut pasien. 3) Pasien diminta untuk memejamkan mata sambil menarik nafas panjang dan dalam secara perlahan hingga relaks. 4) Melakukan tehnik guded imagery dengan membawa pasien ke dalam keadaan yang tenang dan damai. 5) Menyuruh pasien untuk menarik nafas dalam lagi. 6) Memberikan stimulus dengan rangsangan yang menyenangkan pasien. 7) Mengembalikan pasien kedalam keadaan semula yang tenang. 3. Fase Terminasi a. Mengevaluasi pasien dan mendokumentasikan kegiatan. b. Berpamitan.

30

E. Alat Ukur Evaluasi dari Aplikasi Berdasarkan Riset Alat ukur dari aplikasi tindakan relaksasiGuided Imageryi adalah lembar observasi danNumerical Rating Scale (NRS).

Gambar 3.1 Numeric Rating Scale (NRS) (Sumber : www.painedu.org/NIPC/painassessmentscale.html )

BAB IV LAPORAN KASUS Asuhan keperawatan Tn.T dengan post laparatomi guided imagery dengan indikasi appendiksitis Rumah Sakit Umum dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri.Asuhan

keperawatan

meliputi

pengkajian,

perumusan

masalah

keperawatan, perencanaan keperawatan, dan evaluasi keperawatan. Pengkajian dilakukan pada tanggal 06 Januari 2016 jam 09.00 WIB dengan menggunakan metode alloanamnesa dan autoanamnesa A. Pengkajian Hasil pengkajian diperoleh data antara lain, nama pasien Tn. T, berjenis kelamin perempuan dengan umur 27 tahun, berstatus belum menikah, beragama islam, pendidikan terakhir Sekolah Menengah Atas (SMA), pekerjaan swasta dan bertempat tinggal di Ngadirejo, Wonogiri, diagnosa medis appendiksitis, nomor registrasi 528492. Identitas penanggung jawab adalah Ny. L berumur 40 tahun, pendidikan terakhir Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan pekerjaan wiraswasta, alamat Ngadirejo, Wonogiri, hubungan dengan pasien adalah saudara. Pasien masuk rumah sakit pada tanggal 05 Januari 2016 jam 14.30 WIB, dengan keluhan utama pasien merasakan nyeri perut kanan bagian bawah. Riwayat penyakit sekarang yaitu pasien mengatakan dengan keluhan badan terasa lemas, lesu dan merasakan nyeri perut bagian kanan bawah 1 minggu sebelum masuk rumah sakit (30 Desember 2015). Pada tanggal 05 Januari

31

32

2016 pasien datang ke IGD Rumah Sakit Umum dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri dan langsung di pindah di bangsal Anggrek. Dan hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pasien TD : 110/80 mmhg, N : 80x/menit, S : 36 C, RR : 21x/menit dan kemudian diberikan infus RL 20 tpm. Riwayat penyakit dahulu pasien mengatakan belum pernah mengalami penyakit seperti appendiksitis, danpasien mengatakan pernah mengalami kecelakaan, pasien sebelumnya pernah di rawat di RSUD Yogyakarta pada tanggal 23 Maret 2015 selama 4 hari, pasien sebelumnya belum pernah dioperasi, pasien memiliki alergi obat antalgin. Pasien dan keluarga mengatakan tidak ingat kapan terakhir kali diberikan imunisasi dan jenis imunisasi apa. Kebiasaan pasien yaitu merokok dan minum kopi. Hasil pengkajian riwayat keluarga , pasien dan keluarga mengatakan tidak mempunyai penyakit keturunan seperti HIV, hepatitis dan hipertensi. Genogram:

33

Keterangan : : Laki-laki : Perempuan : Pasien

X : Meninggal : Hubungan : Garis keturunan

: Tinggal satu rumah

Hasil genogram didapatkan Tn. T adalah anak ketiga dari tiga bersaudara kandung. Tn. T tinggal satu rumah dengan ayah dan ibunya. Hasil dari riwayat kesehatan lingkungan yaitu pasien mengatakan tempat tinggal dilingkungan yang masih asri, bersih dan jauh dari polusi udara dan ventilasi udara dalam rumah cukup dan menjaga kebersihan lingkungan. Hasil dari pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan yaitu pasien dan keluarga mengatakan jika terdapat anggota keluarga yang sakit selalu di bawa ke puskesmas atau rumah sakit terdekat. Hasil dari pola nutrisi dan metabolisme tubuh didapatkan untuk pola makan sebelum sakit 3x sehari dengan nasi ,sayur, lauk dan buah 1 porsi habis serta tidak ada keluhan dan selama sakit pasien makan 3x sehari dengan bubur, sayur, lauk dan ½ porsi habis serta tidak ada keluhan. Hasil untuk pola minum sebelum sakit pasien minum kira-kira sekitar 1300 cc dengan es teh dan air putih dan tidak ada keluhan, pola minum selama sakit pasien minum sekitar 700cc perhari dengan aur putih dan teh manis dan tidak ada keluhan.

34

Hasil pengkajian pola eliminasi, diperoleh dari BAK dan BAB. Pada pola BAK didapatkan pasien mengatakan sebelum sakit frekuensi BAK sebelum sakit 5 kali dalam sehari berwarna kuning dan tidak ada keluhan, selama sakit frekeunsi BAK 3 kali dalam sehari berwarna kuning dan tidak keluhan. Eliminasi BAB pasien mengtakan sebelum sakit frekuensi BAB 1 kali dalam sehari dengan konsistensi lunak berbentuk dan berwarna kuning serta tidak ada keluhan. Selama sakit pasien mengatakan belum pernah BAB selama di rawat di rumah sakit. Hasil pengkajian pola aktivitas dan latihan pasien mengatakan sebelum sakit dapat melakukan aktivitas secara mandiri, selama sakit pasien hanya bisa dibantu dengan orang lain seperti toileting, makan/minum, berpindah, berpakaian, mobilitas ditempat tidur. Hasil pengkajian pola istirahat tidur didapatkan pada saat sebelum sakit mengatakan setiap tidur rata-rata 6-8 jam tidur malam dan sekitar 1 jam tidur siang, tidak ada gangguan tidur. Selama sakit didapatkan hasil pengkajian, pasien mengatakan tidur kurang lebih selam 3 jam tidur malam. Adapun tanda-tanda kurang tidur turunnya konsentrasi, mudah lelah, mudah ngantuk di siang hari dan nafsu makan menurun. Hasil pengkajian pola kognitif-perseptual didapatkan data sebelum sakit pasien mengatakan tidak ada gangguan dalam hal penglihatan maupun alat indra lainnya. Selama sakit pasien dapat melihat dan berbicara dengan baik dan pasien mengeluh merasakan nyeri P: pasien mengatakan nyeri bertambah saat bergerak, Q: nyeri seperti ditekan, R: nyeri pada bagian luka post operasi laparatomi, S: skala nyeri 6, T: nyeri hilang timbul kira-kira 10 menit.

35

Hasil pengkajian pola persepsi konsep diri didapatkan pasien mengatakan sebelum dan selama sakit, harga diri pasien, pasien mengatakan sudah melakukan yang terbaik dan merasa berharga berada dilingkungan yang di sayangi, pada gambaran diri pasien mengatakan menyukai semua anggota ditubuhnya, pada ideal diri pasien mengatakan ingin menjadi seorang yang baik dan membahagiakan kedua orang tua, pada identitas diri pasien mengatakan berjenis kelamin laki-laki, usia 27 tahun, belum menikah, bekerja sebagai karyawan pabrik, pada peran diri sebagai anak nomor 3 dan membantu kebutuhan orang tua. Hasil pengkajian pola hubungan peran paada saat sebelum dan selama sakit pasien mengatakan hubungan dengan keluarganya berjalan harmonis dan lingkungan sekitar. Hasil pengkajian pola seksual reproduksi didapatkan hasil pasien mengatakan berjenis kelamin laki-laki berusia 27 tahun dan sebagai karyawan pabrik. Hasil pengkajian pola mekanisme koping didapatkan hasil sebelum dan selama sakit pasien mengatakan jika pasien ada masalah di dalam keluarga pasien selalu bercerita kepada seluruh anggota keluarga dan saat mengambil keputusan di lakukan secara bermusyawarah.Hasil pengkajian pola nilai dan keyakinan dilaporkan pada saat sebelum dan selama sakit pasien mengatakan beragama islam, selalu beribadah dan sholat 5 waktu. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan data kesadaran pasien composmentis, GCS: 15 E:4,M:6,V:5 tekanan darah: 110/80 mmhg, nadi dengan frekuensi 80x/menit, irama reguler, kekuatan atau isi kuat, pernafasan dengan frekuensi 21x/menit, berirama reguler, suhu: 36 C. Kulit kepala pasien bersih, tidak ada

36

ketombe dan tidak ada luka, rambut bersih, sedikit ikal, warna hitam, bentuk kepala mesocepal. Pemeriksaan mata pasien didapatkan palbebra tidak udem, konjungtiva kanan kiri tidak anemis, warna merah muda, sklera kanan kiri tidak ikterik, warna putih, pupil isokor kanan kiri, diameter kanan kiri simetris, reflek cahaya kanan kiri pupil mengecil saat ada cahaya dan didekati cahaya dan membesar saaat cahaya menjauh, tidak menggunakan alat bantu penglihatan. Hidung simetris, tidak ada polip, tidak ada jejas, mulut simetris, bersih, tidak ada jejas dan sariawan, bibir sedikit kering, telinga simetris tidak ada sekret dan tidak mmenggunakan alat bantu pendengaran. Gigi bersih tidak ada caries, leher tidak ada pembesaran kelenjar tyroid, tidak ada kaku kuduk. Hasil pemeriksaan dada yang meliputi paru-paru didapatkan data inspeksi pengembangan dada kanan kiri sama, tidak ada jejas, palpasi vocal premitus kanan kiri sama, perkusi suara sonor kanan kiri, dan auskultasi secara vasikuler dan irama teratur. Hasil pemeriksaan jantung didapatkan data inspeksi ictus cordis tidak nampak, palpasi ictus cordis terasa di ics 5, perkusi pekak, auskultasi bunyi jantung 1 dan 2 sama, tidak ada suara tambahan. Hasil pemeriksaan abdomen didapatkan data hasil inspeksi perut simetris, tidak ada jejas, terdapat umbilicus bersih, auskultasi terdengar bising usus normal 13 kali per menit, perkusi timpani kuadran II, III, IV, dan pekak di kuadran I, palpasi merasakan nyeri pada kuadran kanan IV. Hasil pemeriksaan genetalia pasien bersih, tidak terpasang DC, rectum bersih, tidak ada hemoroid. Hasil pemeriksaan pada ekstremitas atas didapatkan hasil kekuatan otot kanan dan kiri normal skala 5 kanan kiri, ROM

37

kanan kiri normal skal 5 kanan dan kiri, tidak ada perubahan bentuk tulang, perabaan akral hangat, capilary refile kann kiri kurang 2 detik. Hasil pemeriksaan ekstremitas bawah didapati hasil kekuatan otot kanan dan kiri normal dengan skala 5, ROM kanan kiri normal skala 5, perubahan bentuk tulang tidak ada, perubahan akral hangat, capilary refile kurang 2 detik. Pemeriksaan penunjang pada tanggal 06 Januari 2016 didapatkan hasil laboratorium WBL 10,4 k/ul (normal 4,1-10,9), LYM 2,9-2,75% l (normal 0,6-4,1), MID 0,7-6,7% m (normal 0,0-1,8), GRAND 6,8-6,58% g (normal 2,0-7,8), RBC 4,90 m/ul (normal 4,20-6,30), HGB 14,3 g/dl (normal 12,018,0), HCT 44,4% (normal 37,0-31.0), MCV 90,7 fl (normal 80,0-97,0), MCH 29,2 g/dl (normal 26,0-32,0), MCHV 32,2 g/dl (normal 31,0-36,0), RDW 14,0% (normal 11,5-14,5), PLT 350 k/ul (normal 140-440), MPV 6,2 fl (normal 0,0-99,8), Hasil pemeriksaan data appendiksitis pasien dengan nomor pemeriksaan 528493001701 pada tanggal 06 Januari 2016 USG abdomen hepar bentuk tidak membesar, parenchym homogen, permukaan rata,, sudut lancip, tepi reguler, tidak tampak lesi, duktus intra hepatica normal, ducktus ekstra hepatica normal, vena porta normal, vena hepotica norrmal. V.fellea tidak membesar, tidak tampak batu, tidak tampak AS,tidak tampak doble layer, tidak tampak massa. Pancreas tidak membesar, tidak tampak kalsifikasi, tidak tampak nodul, duct pancreticus (N), lien tidak membesar, vena lienalis normal, tidak tampak kalsifikasi, tidak tampak massa. Para aorta tidak nampak massa, tidak tampak kalsifikasi, ren kanan tidak membesar, tidak nampak

38

batu, tidak nampak AS, PCS normal dan ren kiri tidak membesar, tidak tampak batu, tidak tampak AS, PCS normal. V.V tidak nampak batu, tidak tampak AS, kesan dari data ini di dapatkan SUSPEK APENDICITIS. Pada tanggal 06 Januari 2016 sampai tanggal 08 Januari 2016terapi yang diberikan kepada pasien adalah rangger laktat 500ml/20 tpm untuk memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit, injeksi cefozolin 1gr/12jam sebagai antibiotik, Ranitidine 30mg/12jam sebagai obat untuk anti nyeri, Ketorolac 30mg/8jam sebagai analgesik non narkotik. B. Rumusan Masalah Keperawatan Perumusan masalah di tegakkan berdasarkan pengkajian yang di lakukan pada tanggal 06 Januari 2016 pukul 09.00 WIB dan didapatkan data subyektif dan data obyektif. Data subyektif didapatkan pasien mengatakan merasa nyeri P: pasien mengatakan nyeri saat digerakkan karena pasca operasi laparatomi appendiksitis, Q: pasien mengatakan nyeri seperti di tekan, R: pasien mengatakan nyeri pada perut kanan bawah, S: pasien mengatakan skala nyeri 6, T: pasien mengatakan nyeri hilang timbul kira-kira 10 menit. Data obyektif didapatkan data pasien terlihat ekspresi wajah meringis menahan nyeri, terdapat luka bekas operasi laparatomi appendiksitis, hasil USG menunjukkan terjadinya appendiksitis dan tanda-tanda vital pasien TD: 110/80 mmHg, N: 80x/menit, RR: 21x/menit, S: 36 C. Sehingga masalah keperawatan yang timbul adalah nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik. Data yang kedua didapatkan data subyektif pasien mengatakan susah tidur pada malam hari , dalam 1x24 jam pasien hanya tidur kira-kira hanya 3jam,

39

dan pasien merasakan badan pegal-pegal dan mudah lelah. Data obyektif didapatkan hasil pasien terlihat lesu, wajah pucat, mata sayup, konsentrasi menurun, mudah lelah, mudah ngantuk di siang hari dan nafsu makan menurun. Sehingga diambil masalah keperawatan gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan (pasca operasi akibat nyeri). Data yang ketiga didapatkan data subyektif pasien mengatakan semua aktifitas di rumah sakit dibantu dengan orang lain meliputi makan/minum, toileting, berpindah, mobilitas tempat tidur. Data obyektif pasien terlihat lemas, aktifitas dan latihan pasien tampak di bantu orang lain, sehingga didapatkan masalah keperawatan hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri. Prioritas diagnosa keperawatan: 1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik 2. Gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan (post operasi laparatomi akibat nyeri) 3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri C. Intervensi Keperawatan Intervensi keperawatan untuk diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik, penulis mempunyai tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan nyeri dapat teratasi dengan kriteria hasil pasien mengungkapkan nyeri berkurang dengan skala 1-3, pasien mampu mengontrol nyeri, pasien mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) dan tanda-tanda vital pasien dalam rentang normal TD:

40

120/80 mmHg, N: 60-100x/menit, RR: 16-24x/menit, S: 36,5-37.5 C. Rencana tindakan dalam mengatasi masalah keperawatan tersebut adalah O : observasi keadaan umum dan tanda-tanda vital klien, kaji skala nyeri secara komperehensif (PQRST), beri posisi yang nyaman, ajarkan tehnik relaksasi guided

imagery

(bimbingan

imajinasi,

menghayalkan

suatu

yang

menyenangkan), kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik untuk mengurangi rasa nyeri dengan tindakan farmakologi. Masalah

keperawatan

yang

kedua

adalah

gangguan

pola

tidur

berhubungan gangguan (pasca operasi akibat nyeri), penulis mempunyai tujuan setelah di lakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan gangguan pola tidur pasien dapat teratasi dengan kriteria hasil jumlah jam tidur pasien dalam batas normal 6-8 jam, perasaan segar setelah bangun tidur, tidak merasakan ngantuk. Rencana tindakan

dalam mengatasi masalah

keperawatan tersebut adalah O : monitor kebutuhan tidur pasien setiap jam dan setiap hari, diskusikan bersama pasien dan keluarga tentang tingkat pola istirahat, jelaskan pentingnya tidur yang adekuat, kolaborasi tentang pemberian obat anti nyeri. Masalah keperawatan yang ketiga adalah hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri, penulis mempunyai tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan mobilitas fisik pasien dapat teratasi dengan kriteria hasil meningkatkan aktifitas fisik pasien, pasien mampu melakukan aktifitas secara mandiri, memverbalisasikan perasaa dalam meningkatkan kekuatan dalam kemampuan berpindah. Rencana tindakan

41

dalam mengatasi masalah keperawatan tersebut adalah O: kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi, ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan, dampingi dan bantu klien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADL pasien, konsultasi dengan terapi fisik tentang rencana mobilisasi sesuai kebutuhan. D. Implementasi Keperawatan Tindakan keperawatan atau implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaaan. Tindakan keperawatan pada diagnosa pertama nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik pada tanggal 06 Januari 2016 pukul 09.30 WIB yaitu mengobservasi keadaan umum dan tanda-tanda vital pasien. Respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk di periksa keadaan umum dan tanda-tanda vital, respon obyektif

pasien tampak lemas dengan TD:

110/80 mmHg, N: 80x/menit, RR: 21x/menit, S: 36 C. Pukul 09.45 WIB mengobsevasi nyeri pasien secara komperehensif (PQRST), respon subyektif pasien mengatakan nyeri ketika saat digerakkan ( post operasi laparatomi appendiksitis), nyeri seperti ditekan, nyeri pada bagian perut kanan bawah, dengan nyeri skala 6, nyeri hilang timbul kira-kira 10 menit. Respon obyektif pasien terlihat meringis menahan nyeri. Pukul 10.00 WIB memberikan posisi yang nyaman pada pasien, respon suyektif pasien mengatakan nyaman dengan berbaring atau tiduran, respon obyektif pasien nyaman dengan keadaan berbaring. Pukul 10.15 WIB mengajarkan

tehnik relaksasi gueded imagery (imajinasi terbimbing,

42

menghayalkan

suatu

yang

menyenangkan),

respon

subyektif

pasien

mengatakan nyeri berkurang ketika melakukan relaksasi guided imagery, respon obyektif pasien terlihat melakukan relaksasi guided imagery nyeri berkurang menjadi skala 5. Pukul 10.30 WIB mengkolaborasikan dalam pemberian analgetik (cefozolin 1gr/12jam, ranitidin 30mg/12jam, ketorolac 30mg/8jam). Respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk diinjeksi, respon obyektif analgetik sudah di injeksi, tidak ada tanda-tanda alergi pada tubuh pasien. Tindakan keperawatan pada diagnosa kedua gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan (pasca operasi laparatomi akibat nyeri) pada tanggal 06 Januari 2016 pukul 10.45 WIB yaitu memonitor kebutuhan tidur pasien setiap jam dan setiap hari. Respon subyektif klien mengatakan bersedia untuk dimonitor kebutuhan tidurnya, respon obyektif pasien tampak lelah tidur dalam sehari kira-kira hanya 3 jam. Pukul 11.00 WIB mendiskusikan bersama pasien dan keluarga tentang tingkat poala istirahat, respon subyektif pasien dan keluarga mengatakan bersedia diajak diskusi. Respon obyektif pasien dan keluaraga tampak mengerti apa yg diskusikan tentang tingkat pola istirahat. Pukul 11.30 WIB menjelaskan pentingnya tidur yang adekuat, respon subyektif pasien mengatakan bersedia diberikan penjelasan, respon obyektif pasien tampak memahami apa yang dijelaskan oleh perawat tentang pentingnya tidur yang adekuat. Tindakan keperawatan pada diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri pada tanggal 06 Januari 2016 pukul 13.00 WIB,

43

mengajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan memberikan bantuan jika diperlukan, respon subyektif pasien mengatakan bersedia melakukan untuk merubah posisi, respon obyektif pasien tampak melakukan gerakan seperti memiringkan badan dan melakukan gerakkan semifowler. Pukul 13.30 WIB mendampingi dan membantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLs pasien, respon subyektif pasien mengatakan bersedia di berikan tindakan oleh perawat, respon obyektif pasien tamapak lemas dan peawat membantu pasien saat mobilisasi ditempat tidur, makan/minum dan toileting. Tindakan keperawatan pada diagonsa yang pertama nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik pada tanggal 07 Januari 2016 pukul 08.00 WIB. Mengobservasi keadaan umum dan tanda-tanda vital pasien, respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk di periksa keadaan umum dan tanda-tanda vital, respon obyektif pasien tampak lemas dengan TD: 110/90 mmHg, N: 83x/menit, RR: 20x/menit, S: 37 C. Pukul 08.15 WIB mengobservasi nyeri secara komperehensif (PQRST), respon subyektif pasien mengatakan nyeri sat di gerakkan (post operasi laparatomi), nyeri seperti di tekan, nyeri pada perut kana bagian bawah, dengan skala nyeri 5, nyeri hilang timbul kira-kira selama 8 menit. Respon obyektif pasien tampak meringis menahan nyeri. Pukul 08.30 WIB memberikan posisi yang nyaman pada pasien, respon suyektif pasien mengatakan nyaman dengan berbaring atau tiduran, respon obyektif pasien nyaman dengan keadaan berbaring. Pukul 08.45 WIB

44

mengajarkan

tehnik relaksasi gueded imagery (imajinasi terbimbing,

menghayalkan

suatu

yang

menyenangkan),

respon

subyektif

pasien

mengatakan nyeri berkurang ketika melakukan relaksasi guided imagery, respon obyektif pasien tampak melakukan relaksasi guided imagery nyeri berkurang menjadi skala 4.Pukul 09.15 WIB mengkolaborasikan dalam pemberian analgetik (cefozolin 1gr/12jam, ranitidin 30mg/12jam, ketorolac 30mg/8jam). Respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk diinjeksi, respon obyektif analgetik sudah di injeksi, tidak ada tanda-tanda alergi pada tubuh pasien. Tindakan keperawatan pada diagnosa kedua gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan (pasca operasi laparatomi akibat nyeri) pada tanggal 07 Januari 2016 pukul 10.00 WIB yaitu memonitor kebutuhan tidur pasien setiap jam dan setiap hari. Respon subyektif klien mengatakan bersedia untuk dimonitor kebutuhan tidurnya, respon obyektif pasien tampak lemas sudah bisa tidur malam meski sering terbangun.Pukul 11.00 WIB menjelaskan pentingnya tidur yang adekuat, respon subyektif pasien mengatakan bersedia diberikan penjelasan, respon obyektif pasien tampak memahami apa yang dijelaskan oleh perawat tentang pentingnya tidur yang adekuat. Tindakan keperawatan pada diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri pada tanggal 07 Januari 2016 pukul 13.00 WIB, mengobservasi kemampuan pasien dalam mobilisasi. Respon subyektif pasien mengatakan sudah mampu mobilisasi di tempat tidur, respon obyektif pasien sudah mampu melakukan memiringkan badan dan semi fowler secara mandiri.

45

Pukul 13.30 WIB mendampingi dan membantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLs pasien, respon subyektif pasien mengatakan bersedia di berikan tindakan oleh perawat, respon obyektif pasien tampak sudah bisa melakukan mobilitas ditempat tidur mandiri, makan/minum secara mandiri dan toileting masih di dampingi. Tindakan keperawatan pada diagnosa pertama nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik pada tanggal 08 Januari 2016 pukul 08.00 WIB yaitu mengobservasi keadaan umum dan tanda-tanda vital pasien. Respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk di periksa keadaan umum dan tanda-tanda vital, respon obyektif pasien tampak lemas dengan TD: 120/80 mmHg, N: 80x/menit, RR: 20x/menit, S: 36,5 C. Pukul 08.30 WIB mengobsevasi nyeri pasien secara komperehensif (PQRST), respon subyektif pasien mengatakan nyeri ketika saat digerakkan ( post operasi laparatomi appendiksitis), nyeri seperti ditekan, nyeri pada bagian perut kanan bawah, dengan nyeri skala 4 , nyeri hilang timbul kira-kira 5 menit. Respon obyektif pasien tampak tenang karena merasakan nyeri berkurang. Pukul 08.40 WIB memberikan posisi yang nyaman pada pasien, respon suyektif pasien mengatakan nyaman dengan berbaring atau tiduran, respon obyektif pasien nyaman dengan keadaan berbaring. Pukul 09.00 WIB mengajarkan

tehnik relaksasi gueded imagery ( imajinasi terbimbing,

menghayalkan

suatu

yang

menyenangkan),

respon

subyektif

pasien

mengatakan nyeri berkurang ketika melakukan relaksasi guided imagery,

46

respon obyektif pasien tampak melakukan relaksasi guided imagery nyeri berkurang menjadi skala 3. Pukul 09.30 WIB mengkolaborasikan dalam pemberian analgetik (cefozolin 1gr/12jam, ranitidin 30mg/12jam, ketorolac 30mg/8jam). Respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk diinjeksi, respon obyektif analgetik sudah di injeksi, tidak ada tanda-tanda alergi pada tubuh pasien. Tindakan keperawatan pada diagnosa kedua gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan (post operasi laparatomi akibat nyeri) pada tanggal 08 Januari 2016 pukul 10.00 WIB yaitu memonitor kebutuhan tidur pasien setiap jam dan setiap hari. Respon subyektif klien mengatakan bersedia untuk dimonitor kebutuhan tidurnya, respon obyektif pasien tampak segar sudah bisa tidur malam kira-kira 5-6 jam. Pukul 11.00 WIB menjelaskan pentingnya tidur yang adekuat, respon subyektif pasien mengatakan bersedia diberikan penjelasan, respon obyektif pasien tampak memahami apa yang dijelaskan oleh perawat tentang pentingnya tidur yang adekuat. Tindakan keperawatan pada diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri pada tanggal 08 Januari 2016 pukul 13.00 WIB, mengobservasi kemampuan pasien dalam mobilisasi. Respon subyektif pasien mengatakan sudah mampu mobilisasi di tempat tidur, respon obyektif pasien sudah mampu melakukan memiringkan badan dan merubah posisi di tempat tidur. Pukul 13.30 WIB mendampingi dan membantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLs pasien, respon subyektif pasien

47

mengatakan bersedia di berikan tindakan oleh perawat, respon obyektif pasien tampak sudah bisa melakukan mobilisasi ditempat tidur, makan atau minum secara mandiri dan toileting secara mandiri. E. Evaluasi Tindakan keperawatan yang dilakukan oleh penulis kemudian di evaluasi pada tanggal 06 Januari 2016 pukul 14.00 WIB nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik. Pasien mengatakan nyeri ketika saat digerakkan ( post operasi laparatomi appendiksitis), nyeri seperti ditekan, nyeri pada bagian perut kanan bawah, dengan nyeri skala 6, nyeri hilang timbul kira-kira 10 menit. Ekspresi pasien tampak meringis menhan nyeri dengan TD: 110/80 mmHg, N: 80x/menit, RR: 21x/menit, S: 36 C. Masalah keperawatan nyeri akut belum teratasi, lanjutkan intervensi: observasi keadaan umum dan tandatanda vital pasien, observasi nyeri secara komperehensif (PQRST), beri posisi yang nyaman, jarkan relaksasi guided imagery (imajinasi terbimbing, menghayalkan suatu hal yang menyenangkan), kolaborasi dalam pemberian analgetik. Tindakan evaluasi keperawatan pada tanggal 06 januari 2016 pukul 14.00 WIB pada diagnosa kedua gangguan pola tidur berhubungan gangguan (post operasi laparatomi akibat nyeri). Pasien mengatakan susah tidur, dalam sehari kira-kira tidur hanya 3jam, pasien tampak lesu, wajah pucat, mata sayup, konsentrasi menurun, mudah lelah, mudah ngantuk di siang hari dan nafsu makan menurun, masalah keperawatan gangguan pola tidur belum teratasi, lanjutkan intervensi: monitor kebutuhan tidur pasien setiap jam dan setiap

48

hari, diskusikan bersama pasien dan keluarga tentang tingkat pola istirahat, jelaskan pentingnya tidur yang adekuat, kolaborasi tentang pemberian obat anti nyeri. Tindakan evaluasi keperawatan pada tanggal 06 januari 2016 pukul 14.00 WIB pada diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri. Pasien mengatakan makan/minum, berpakaian, mobilitas ditempat tidur, berpindah, toileting masih dibantu orang lain, pasien tampak lemas, mobilisassi masih di bantu, masalah keperawatan hambatan mobilitas fisik belum teratasi, lanjutkan intervensi: kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi, ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan, dampingi dan bantu klien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLs pasien, konsultasi dengan terapi fisik tentang rencana mobilisasi sesuai kebutuhan. Tindakan evaluasi keperawatan pada tanggal 07 januari 2016 pukul 14.00 WIB nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik. Pasien mengatakan nyeri ketika saat digerakkan ( post operasi laparatomi appendiksitis), nyeri seperti ditekan, nyeri pada bagian perut kanan bawah, dengan nyeri skala 5, nyeri hilang timbul kira-kira 8 menit. Ekspresi pasien tampak meringis menhan nyeri dengan TD: 110/90 mmHg, N: 83x/menit, RR: 20x/menit, S: 37 C. Masalah keperawatan nyeri akutteratasi sebagian, lanjutkan intervensi: observasi keadaan umum dan tanda-tanda vital pasien, observasi nyeri secara komperehensif (PQRST), beri posisi yang nyaman, jarkan relaksasi guided

49

imagery (imajinasi terbimbing, menghayalkan suatu hal yang menyenangkan), kolaborasi dalam pemberian analgetik. Tindakan evaluasi keperawatan pada tanggal 07 januari 2016 pukul 14.00 WIB pada diagnosa kedua gangguan pola tidur berhubungan gangguan (post operasi laparatomi akibat nyeri). Pasien mengatakan sudah bisa tidur malam meski sering terbangun, pasien tampak lesu, wajah, konsentrasi menurun, mudah lelah, nafsu makan menurun, masalah keperawatan gangguan pola tidur teratasi sebagian, lanjutkan intervensi: monitor kebutuhan tidur pasien setiap jam dan setiap hari, diskusikan bersama pasien dan keluarga tentang tingkat pola istirahat, jelaskan pentingnya tidur yang adekuat, kolaborasi tentang pemberian obat anti nyeri. Tindakan evaluasi keperawatan pada tanggal 07 januari 2016 pukul 14.00 WIB pada diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri. Pasien mengatakan sudah bisa melakukan mobilitas tempat tidur, makan/minum secara mandiri, dan

toileting masih di dampingi.Masalah

keperawatan hambatan mobilitas fisikteratasi sebagian, lanjutkan intervensi: kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi, ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan, dampingi dan bantu klien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADL pasien, konsultasi dengan terapi fisik tentang rencana mobilisasi sesuai kebutuhan. Tindakan evaluasi keperawatan pada tanggal 08 januari 2016 pukul 14.00 WIB nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik. Pasien mengatakan nyeri ketika saat digerakkan (post operasi laparatomi appendiksitis), nyeri

50

seperti ditekan, nyeri pada bagian perut kanan bawah, dengan nyeri skala 3, nyeri hilang timbul kira-kira 5 menit. Ekspresi pasien tampak rileks dengan TD: 120/80 mmHg, N: 80x/menit, RR: 20x/menit, S: 36,5 C. Setelah di lakukan tindakan relaksasi guided imagery masalah nyeri pasien teratasi dengan skala nyri menjadi 3. Intervensi dihentikan Tindakan evaluasi keperawatan pada tanggal 08 januari 2016 pukul 14.00 WIB pada diagnosa kedua gangguan pola tidur berhubungan gangguan (post operasi laparatomi akibat nyeri). pasien tampak segar sudah bisa tidur malam kira-kira 5-6 jam. Masalah

keperawatan gangguan pola tidur teratasi,

intervensi dihentikan. Tindakan evaluasi keperawatan pada tanggal 08 januari 2016 pukul 14.00 WIB pada diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri. Pasien sudah bisa mobilitas ditempat tidur, mandiri dan

makan/minum

toileting secara mandiri. Masalah keperawatan

mobilitas fisik teratasi, intervensi dihentikan.

secara

hambatan

BAB V PEMBAHASAN

Bab ini penulis akan membahas tentang pemberian teknik relaksasi guided imagery terhadap penurunan intensitas nyeri pada asuhan keperawatan Tn.T dengan post operasi laparatomi diruang anggrek RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. Disamping itu penulis juga akan membahas tentang kesesuaian dan kesenjangan antara teori dan kenyataan yang

meliputi

pengkajian,

diagnosa

keperawatan,

intervensi,

implementasi, dan evaluasi.

A. Pengkajian Langkah pertama dari proses keperawatan yaitu pengkajian, dimulai perawat dengan menerapkan pengetahuan. Pengkajian keperawatan adalah proses sistematis dari pengumpulan, verikasi dan komunikasi data tentang klien. Fase proses keperawatan ini mencakup dua langkah pengumpulan data yaitu pengumpulan data primer (klien) dan sumber sekunder keluarga, kesehatan, dan analisis data sebagai dasar unutuk diagnosa keperawatan (Potter dan Perry, 2005). Pengkajian yang dilakukan penulis meliputi pengkajian identitas pasien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga dan 11 pola gordon serta pemeriksaan fisik head to toe(Potter dan Perry, 2005). 51

52

Pengkajian pada tanggal 06 januari 2016 pukul 09.00 WIB yang dilakukan dengan metode alloanamnase dan autoanamnesa didapatkan hasil pasien dengan nama Tn.T dengan diagnosa medis appendiksitis dan dilakukan appendiksitis laparatomi. Keluhan utama pada pasien post operasi laparatomi adalah nyeri pada bagian perut sebelah kanan bawah, karena terjadi pembedahan atau operasi pada daerah abdomen, yang salah satu dari efek pembedahan adalah nyeri. Data tersebut sudah sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa post op laparatomi dapat menyebabkan nyeri (Andarmoyo, 2013). Nyeri adalah sesuatu yang sering membuat pasien merasa tidak nyaman. Nyeri sering dijelaskan oleh penderita dengan berbagai macam istilah, misalnya rasa tusuk, rasa tikam, rasa terobek, rasa tersengat, rasa bakar rasa sayat, rasa berdenyut, pernyataan tersebut menunjukkan lamanya waktu terasa nyeri dan menyamakannya dengan hal-hal yang menyebabkan rasa tersebut pada waktu lampau yang pernah dialaminya (Potter and perry, 2006). Nyeri akut adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikan rupa. Menurut international for the study of pain nyeri akut adalah awitan yang tiba - tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan

53

akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung < 6 bulan (Herdman, 2012). Nyeri yang dirasakan Tn.T tergolong nyeri sedang karena skala nyeri yang dirasakan 6 (secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik). Dalam pengaplikasian jurnal ini penulis menggunakan alat ukur dari aplikasi tindakan relaksasi Guided Imagery adalah lembar observasi dan (NRS)Numerical Rating Scale(Potter dan Perry, 2006).Dimana alat ukur nyeri skala 0 : Tidak nyeri, 1-3: nyeri ringan: secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik, skala 4-6 : nyeri sedang: secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik, lebih dari skala 7-9 : nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi, skala 10 nyeri sangat berat, secara obyektif klien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul (Potter and Perry, 2006) Menurut Donovan & Girto (1984) dalam Nian (2010) dalam melakukan pengkajian karakteristik nyeri adapun teori yang digunakan penulis yaitu faktor pencetus (P ; Provocate) perawat mengkaji tentang

54

penyebab atau stimulus nyeri pada klien, kualitas (Q ; Quality) sesuatu yang subjektif yang diungkapkan oleh klien sering kali klien mendeskripsikan nyeri yang dirasakan klien, lokasi (R ; Region) mengkaji lokasi nyeri, keparahan (S : Severe) menggambarkan nyeri yang dirasakan sebagai nyeri ringan, nyeri sedang dan nyeri berat, durasi (T : Time) untuk menentukan awitan, durasi dan rangkaian nyeri. Data yang didapatkan telah sesuai dengan teori pengkajian bahwa keluhan utama yang muncul pada pasien laparatomi yaitu nyeri perut kanan bawah. Riwayat kesehatan sekarang saat dilakukan pengkajian pasien masih mengeluh nyeri perut kanan bawah seperti ditekan, lesu dan lemas.Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan tekanan darah: 110/80 mmHg, nadi: 80x/ menit, pernapasan: 21x/ menit, suhu: 36oC.Riwayat kesehatan dahulu pasien belum pernah mengalami penyakit seperti appendiksitis, dan pasien pernah mengalami kecelakaan, pasien sebelumnya pernah di rawat di RSUD Yogyakarta pada tanggal 23 Maret 2015 selama 4 hari, pasien sebelumnya belum pernah dioperasi, pasien memiliki alergi obat antalgin. Pasien dan keluarga tidak ingat kapan terakhir kali diberikan imunisasi dan jenis imunisasi apa. Kebiasaan pasien yaitu merokok dan minum kopi.penyakit Riwayat kesehatan keluarga tidak ada penyakit keturunan seperti hipertensi, HIV, hepatitis dan penyakit jantung (Brunner dan Suddart, 2005).

55

Dalam pengkajian pola Gordon, penulis hanya membahas masalah yang muncul pada pasien.Pola istirahat tidur pasien mengatakan selama sakit tidur selama kira-kira 3 jam dan merasa lemas karena menahan nyeri, tidur malam 2 jam dan siang 1 jam. Data tersebut telah sesuai

dengan

teori

yang

menyebutkan

bahwa

nyeri

akan

menyebabkan gangguan tidur dan apabila nyeri semakin parah maka akan semakin parah juga tingkat gangguan tidurnya (Albertie, 2006). Menurut Rains (2006), menyatakan bahwa nyeri dapat menyebabkan sesorang terbangun dari tidurnya sehingga total jam tidur menjadi berkurang. Pada pengkajian pola kesehatan fungsional menurut Gordon, penulis hanya membahas masalah yang muncul pada pasien. Pola aktivitas dan latihan, pasien mengatakan sebelum sakit pasien melakukan aktivitas makan/minum, mandi, toileting, berpakaian, mobilitas ditempat tidur, berpindah, ambulasi ROM dengan nilai 0 mandiri. Sedangkan selama sakit aktivitas makan/minum, mandi, berpakaian, mobilitas ditempat tidur, berpindah, ambulasi ROM dengan nilai 2 dibantu orang lain dan toileting dengan nilai 3 dibantu orang lain dan alat (Muttaqin, 2008). Pada pemeriksaan fisik penampilan umum kesadaran compos mentis, tanda – tanda vital menunjukkan TD : 110/80 mmHg, Nadi : 96x/menit, riama teratur, kekuatan kuat. RR : 21 x/menit, irama teratur, Suhu : 36 ˚C. Klasifikasi tekanan darah orang dewasa menurut

56

WHO (Depkes, 2013) tekanan darah normal 12/80 mmHg namun bila tekana sistolik antara (120 – 139) dan diastolik antara (80 – 89) maka masih dikatakan normal. Kecepatan respirasi (usia dewasa 14 tahun atau lebih) kurang dari 11 sampai dengan 24 kali per menit (Wilkinson, 2011). Dalam pemeriksaan ekstremitas atas didapatkan hasil kekuatan otot tangan kanan 4 (bergerak terbatas) dan kiri 5 (bergerak bebas), tangan kiri mampu bergerak bebas tetapi kanan gerakan terbatas karena terpasang infus RL 20tpm, perabaan akral hangat, tidak ada odema, dan capilary refill< 2 detik. Sedangkan pada pemeriksaan ekstremitas bagian bawah diperoleh hasil kekuatan otot kaki kanan 5 (bergerak bebas), kekuatan kaki kiri 5 (bergerak bebas), perabaan akral hangat, tidak ada odema, dan capilary refill< 2 detik. Kekuatan otot diuji melalui pengkajian kemampuan klien untuk melakukan fleksi dan ekstensi ekstremitas sambil dilakukan penahanan (Muttaqin, 2008). Menurut Prawirohardjo (2009), hasil yang didapatkan pada pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada pasien post operasi laparatomi adalah laboratorium WBL 10,4 k/ul (normal 4,1-10,9), LYM 2,9-2,75% l (normal 0,6-4,1), MID 0,7-6,7% m (normal 0,0-1,8), GRAND 6,8-6,58% g (normal 2,0-7,8), RBC 4,90 m/ul (normal 4,206,30), HGB 14,3 g/dl (normal 12,0-18,0), HCT 44,4% (normal 37,031.0), MCV 90,7 fl (normal 80,0-97,0), MCH 29,2 g/dl (normal 26,032,0), MCHV 32,2 g/dl (normal 31,0-36,0), RDW 14,0% (normal

57

11,5-14,5), PLT 350 k/ul (normal 140-440), MPV 6,2 fl (normal 0,099,8). Hasil data pemeriksaan penunjang USGappendiksitis pasien dengan nomor pemeriksaan 528493001701 pada tanggal 06 Januari 2016 USG (ultrasonography) abdomen hepar bentuk tidak membesar, parenchym homogen, permukaan rata,, sudut lancip, tepi reguler, tidak tampak lesi, duktus intra hepatica normal, ducktus ekstra hepatica normal, vena porta normal, vena hepotica norrmal. V.fellea tidak membesar, tidak tampak batu, tidak tampak AS,tidak tampak doble layer, tidak tampak massa. Pancreas tidak membesar, tidak tamapak kalsifikasi, tidak tampak nodul, duct pancreticus (N), lien tidak membesar, vena lienalis normal, tidak tampak kalsifikasi, tidak tampak massa. Para aorta tidak nampak massa, tidak tampak kalsifikasi, ren kanan tidak membesar, tidak nampak batu, tidak nampak AS, PCS normal dan ren kiri tidak membesar, tidak tampak batu, tidak tampak AS, PCS normal. V.V tidak nampak batu, tidak tampak AS, kesan dari data ini di dapatkan suspek apendicitis. Terapi medis yang diberikan pemberian infus RL 20tpm untuk mengembalikan

keseimbangan

elektrolit,

cefozolin

1gr/12jam

golongan anti bakteri fungsi untuk mencegah infeksi yang disebabkan oleh bakteri positif dan negatif, ranitidine 25mg/12 jam golongan antasida fungsi pengobatan jangka tukak duedenum aktif, tukak lambung aktif mengurangi gejala refluksi esofagitis, keterolac

58

20mg/8jam golongan non narkotik fungsinya untuk penatalaksnaan jangka pendek nyeri akut derajat sedang – berat segera setelah operasi. (Midian Sirait, 2014)

B. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan adalah keputusan klinik tentang respon individu, keluarga dan masyarakat tentang masalah kesehatan, sebagai dasar seleksi intervensi keperawatan untuk mencapai tujuan asuhan keperawatan sesuai dengan kewenangan perawat Setiadi (2012).Dalam merumuskan diagnosa keperawatan terdiri dari 3 komponen yaitu respon manusia (problem), faktor yang berhubungan (etiologi), tanda dan gejala (simpton) Setiadi (2012). Diagnosa yang muncul pada Tn. T yang pertama adalah nyeri akut. Nyeri akut adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikan rupa. Menurut (international for the study of pain) nyeri akut adalah awitan yang tiba - tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung < 6 bulan (Herdman, 2012 dalam Nanda 2012-2014). Hal ini sesuai dengan teori Hierarki Maslow yang menyebutkan bahwa nyeri termasuk dalam kebutuhan fisiologis. Kebutuhan fisiologis merupakan hal yang mutlak dipenuhi oleh manusia untuk

59

bertahan hidup dan harus dipenuhi terlebih dahulu dari pada kebutuhan yang lain. Kebutuhan fisiologis meliputi: oksigen, cairan, nutrisi (makan dan minum), temperatur, eliminasi, istirahat tidur, kebutuhan sex, terbebas dari rasa nyeri, stimulasi, aktivitas. (Mubarak, 2008) Nyeri akut bisa mengancam proses penyembuhan pasien, maka harus menjadi prioritas pertama perawatan, karena kemajuan fisik atau psikologis akan terganggu selama nyeri akut masih dirasakan karena pasien memfokuskan semua perhatiannya pada upaya untuk mengatasi nyeri (Potter dan Perry, 2006). Hal tersebut menjadi alasan bagi penulis,

masalah

keperawatan

nyeri

akut

menjadi

diagnosa

keperawatan pertama. Data yang menunjang pada diagnosa keperawatan yang pertama adalah nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (post operasi laparatomi

appendiksitis)

(Perry

and

Potter,

2006).Batasan

karakteristik menurut teori yang ada yaitu perubahan tekanan darah, perubahan frekuensi

jantung, perubahan frekuensi

pernafasan,

mengekspresikan perilaku (gelisah, merengek, menangis, waspada iritabilitas mendesal), perubahan posisi untuk menghindari nyeri, sikap melindungi area nyeri (Herdman, 2012). Pada Tn.T batasan karakteristik

yang

ditemukan

meliputi

data

subyektif

pasien

mengatakan nyeri saat digerakan karena pasca operasi laparatomi, rasa nyeri ditekan, pasien nyeri pada abdomen post operasi appendiksitis laparatomi dengan skala nyeri 6 dan rasa nyeri hilang timbul ± selama

60

10 menit. Data obyektif pasien terlihat menahan nyeri, terdapat luka post operasi laparatomi, dengan hasil tanda – tanda vital tekanan darah 110/80mmHg, Nadi 80x/menit, Suhu 36 ˚C, dan RR 21x/menit. Diagnosa kedua penulis merumuskan adalah gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan (post operasi laparatomi akibat nyeri). Gangguan pola tidur dapat didefinisikan sebagai gangguan jumlah dan kualitas tidur (penghentian kesadaran alami, periodik) yang dibatasi waktu dalam jumlah dan kualitas (Wilkinson, 2007). Data subyektif pasien mengatakan susah tidur pada malam hari, dalam 1x24 jam pasien hanya tidur kira-kira hanya 3 jam , tidur malam 2 jam dan tidur siang 1 jam, dan pasien merasakan pegal-pegal dan mudah lelah. Data obyektif pasien terlihat lesu, wajah pucat, mata sayup, konsentrasi menurun, mudah lelah mudah ngantuk disiang hari dan nafsu makan menurun.Tekanan darah: 110/80 mmHg, nadi: 80x/ menit, pernapasan: 21x/ menit, suhu: 36oC. Penulis mengangkat diagnosa gangguan pola tidur karena telah sesuai dengan teori (Wilkinson, 2007), yang menyebutkan bahwa batasan karakteristik gangguan pola tidur yaitu bangun lebih awal atau lebih lambat dari yang diinginkan, ketidakpuasan tidur, keluhan verbal tentang kesulitan untuk tidur, keluhan verbal tentang perasaan tidak dapat beristirahat dengan baik. Menurut kebutuhan menurut Maslow gangguan pola tidur masuk dalam kebutuhan prioritas kedua keamanan dan keselamatan (fisik dan psikologis). Penulis memprioritaskan

61

diagnosagangguan pola tidur sebagai diagnosa kedua setelah nyeri, karena gangguan pola tidur tidak bersifat urgent(Potter dan Perry, 2005). Berdasarkan batasan karakteristik maka etiologi yng dapat diambil oleh penulis adalah nyeri. Diagnosa keperawatan ketiga yang diangkat penulis adalah hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri. Karena sesuai dengan teori (Nurarif, 2013) Hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan pada pergerakan fisik tubuh atau satu lebih ekstremitas secara mandiri dan terarah, dengan batasan karakteristik adalah kesulitan membolak balikkan posisi, keterbatasan kemampuan untuk melakukan motorik kasar hal tersebut sesuai dengan batasan karakteristik hambatan mobilitas fisik, yaitu kesulitan membolak balik posisi, keterbatasan kemampuan melakukan ketrampilan motorik kasar, melambatnya pergerakan (Nurarif, 2013). Data yang menunjang pada diagnosa keperawatan yang ketiga adalah didapatkan data subyektif antara lain pasien mengatakan makan/minum, berpakaian, mobilitas ditempat tidur, berpindah, ambulasi/ROM dibantu keluarga dan alat. Data obyektif yang diperoleh pasien terlihat lemas, aktivitas dan latihan makan/minum, mandi, berpakaian, mobilitas ditempat tidur, berpindah, ambulasi ROM dengan nilai 2 (dibantu orang lain) dan toileting dengan nilai 3 (dibantu orang lain dan alat). Karena hambatan mobilitas fisik faktor penyebab adalah nyeri akut sehingga penulis menjadikan hambatan

62

mobilitas fisik sebagai prioritas diagnosa yang ketiga (Muttaqin, 2008).

C. Intervensi Keperawatan Perencanaan keperawatan adalah bagian dari fase pengorganisasian dalam proses keperawatan sebagai pedoman untuk mengarahkan tindakan

keperawatan

dalam

usaha

membantu,

meringankan,

memecahkan masalah atau untuk memenuhi kebutuhan klien. Perencanaan yang tertulis dengan baik akan memberi petunjuk dan arti pada asuhan keperawatan, karena perencanaan adalah sumber informasi bagi semua yang terlibat dalam asuhan keperawatan klien. Rencana ini merupakan sarana komunikasi yang utama, dan memelihara continuitas asuhan keperawatan klien bagi seluruh anggota tim (Setiadi, 2012). Proses perencanaan keperawatan meliputi penetapan tujuan perawatan, penetapan kriteria hasil, pemilihan intervensi

yang

tepat,

dan

rasionalisasi

dari

intervensi

dan

mendokumentasikan rencana perawatan (Setiadi, 2012). Penulis menyusun rencana tindakan dalam diagnosa keperawatan nyeri akut, gangguan pola tidur dan hambatan mobilitas fisik berdasarkan NIC (Nursing Intervention Classification) dengan menggunakan metode ONEC (Observasi, Nursing Intervention, Education, Collaboration). Tujuan dan kriteria hasil ini disusun berdasarkan

NOC

(Nursing

Output

Classification)

dengan

63

menggunakan metode SMART (Spesific, Measurable, Achievable, Realistic, Time) (Dermawan, 2012). Pada diagnosa keperawatan pertama nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik, penulis mencantumkan tujuan setelah tindakan 3x 24 jam diharapkan pasien melaporkan bahwa nyeri berkurang dari skala 6 menjadi 3 dengan menggunakan manajemen nyeri dengan rasional fungsi , ekspresi wajah pasien tidak terlihat menahan nyeri, pasien mampu mengontrol nyeri, pasien mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi, frekuensi dan tanda nyeri), tanda – tanda vital pasien dalam keadaan normal dengan TD : 120/80 mmHg, N : 80 x/menit, RR : 16 – 24 x/menit, Suhu : 36,5˚C, pasien mengatakan nyaman setelah nyeri berkurang. Intervensi yang dilakukan untuk diagnosa pertama adalah observasi tanda-tanda vital dan keadaan umum pasien dengan rasional nyeri dapat mempengaruhi tanda – tanda vital sesuai dengan batasan karakteristik. Kaji nyeri secara komperensif (PQRST) dengan rasional untuk mengetahui skala, intensitas, lokasi, frekuensi, kualitas dan waktu. Beri posisi nyaman pada pasien dengan rasional memberikan posisi yang dapat mengurangi nyeri. Ajarkan teknik mengontrol nyeri non farmakologi dengan relaksasi guided imagerydengan rasional pasien dapat mengontrol diri ketika terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri, stress fisik dan emosi pada nyeri. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik dengan rasional mengontrol / menngurangi nyeri untuk

64

meningkatkan istirahat dan meningkatkan kerja sama dengan aturan teurapetik (NIC dalam Huda Amin dan Kusuma Hardhi, 2013: 660 ). Gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan (post operasi laparatomi akibat nyeri).penulis mencantumkan tujuan setelah tindakan 3x 24 jam diharapkan tidak terjadi gangguan pola tidur, dengan kriteria hasil: jumlah jam tidur dalam batas normal 6-8 jam perhari, pasien tidak menguap lagi, perasaan segar sesudah tidur atau istirahat, tidak merasakan ngantuk dan nafsu makan meningkat dan dapat berkonsentrasi. Intervensi yang dilakukan monitor kebutuhan tidur pasien setiap jam dan hari dengan rasional untuk mengontrol istirahat pasien, diskusikan bersama pasien dan keluarga tentang tingkat pola istirahat dengan rasional untuk mengetahui pentingnya istirahat, jelaskan pentingnya tidur yang adekuat dengan rasional untuk mengintrol tidur waktu tidur pasien, kolaborasi tentang pemberian obat anti nyeri dengan rasional untuk memudahkan pasien istirahat. (NIC dalam Huda Amin dan Kusuma Hardhi, 2013: 603). Berdasarkan diagnosa keperawatan yang ketiga yaitu hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri setelah dilakukan tindakan 3 x 24 jam diharapkan tingkat mobilitas optimal dengna kriteria hasil klien meningkat dalam aktivitas fisik, memverbalkan perasaan dalam meningkatkan

kekuatan

dan

kemampuan

berpindah.

Penulis

menuliskan intervensi yang dapat dilakukan monitor vital sign dengan rasional mengetahui keadaan umum pasien. Kaji kemampuan mobilasi

65

pasien dengan rasional mengetahui perkembangan mobilitas pasien. Dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi keadaan ADL dengan rasional memelihara fleksibelitas sendi sesuai kemampuan. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika pasien memerlukan dengan rasional meningkatkan kemandirian pasien dalam kondisi keterbatasan. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana

ambulasi

sesuai

dengan

kebutuhan

dengan

rasional

meningkatkan kemampuan mobilitas dari latihan ahli fisioterapi. (NIC dalam Huda Amin dan Kusuma Hardhi, 2013: 612 ).

D. Implementasi Keperawatan Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Fokus dari intervensi keperawatan antara lain : mempertahankan daya tahan tubuh, mencegah komplikasi, menemukan perubahan sistem tubuh, mencegah

komplikasi,

menemukan

perubahan

sistem

tubuh,

memantapkan hubungan klien dengan lingkungan, implementasi pesan dokter (Setiadi, 2012). Implementasi dilakukan dari perencanan yang disusun sebelumnya. Penulis membahas implementasi dari masing-masing diangnosa. Implementasi yang penulis lakukan pada Tn.T pada diagnosa keperawatan yang pertama nyeri akut berhubangan dengan agen cidera fisik, yaitu kaji status nyeri pasien meliputi lokasi, skala, durasi dan

66

penyebaran nyeri dengan rasional berguna dalam pengawasan keefektifan obat, terapi dan kemajuan penyembuhan. Menggunakan metode PQRST, Menurut (Donovan & Girto 1984) dalam Nian (2010) dalam melakukan pengkajian karakteristik nyeri adapun teori yang digunakan penulis yaitu faktor pencetus (P ; Provocate) perawat mengkaji tentang penyebab atau stimulus nyeri pada klien, kualitas (Q ; Quality) sesuatu yang subjektif yang diungkapkan oleh klien sering kali klien mendeskripsikan nyeri yang dirasakan klien, lokasi (R ; Region) mengkaji lokasi nyeri, keparahan (S : Severe) menggambarkan nyeri yang dirasakan sebagai nyeri ringan, nyeri sedang dan nyeri berat, durasi (T : Time) untuk menentukan awitan, durasi dan rangkaian nyeri. Memonitor keadaan umum klien dan tanda-tanda vitaluntuk mendeteksi adanya perubahan sistem tubuh. Tanda – tanda vital meliputi, tekanan darah, denyut nadi, suhu, respirasi. Tanda vital mempunnyai nilai sangat tinggi pada fungsi suhu tubuh. Adanya perubahan tanda – tanda vital misal suhu tubuh menunjukan perubahan sistem kardiovaskuler, frekuensi pernafasan menunjukkan fungsi pernafasan dan tekanan darah dapat menilai kemampuan sistem kardiovaskuler yang dikaitkan dengan denyut nadi. Semua tanda vital tersebut saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Perubahan tanda vital dapat terjadi bila tubuh dalam kondisi aktivitas atau dalam

67

keadaan sakit dan perubahan tersebut merupakan indikator adanya gangguan sistem tubuh (Hidayat, 2005). Penulis menekankan pada pemberian teknik relaksasi guided imagery, dimana teknik relaksasiguided imagery adalah metode relaksasi untuk mengkhayalkan tempat dan kejadian berhubungan dengan rasa relaksasi yang menyenangkan (Kaplan and Sadock, 2010). Pemberian teknik relaksasiguided imagerymerupakan salah satu dari teknik relaksasi sehingga manfaat dari teknik ini pada umumnya sama dengan manfaat dari teknik relaksasi yang lain. Para ahli dalam bidang teknik relaksasi guided imagery berpendapat bahwa guided imagery merupakan penyembuh yang efektif. Teknik ini dapat mengurangi nyeri, mempercepat penyembuhan dan membantu tubuh mengurangi berbagai macam penyakit seperti depresi, alergi dan asma (Priyanto, 2011). Penulis melakukan pemberian teknik relaksasi guided imageryini selama 3 hari pengelolaan, teknik ini diajarkan dan diberikan selama ± 10 – 20 menit ketika pasien mengalami nyeri muncul agar mengalami penurunan dan penulis mengkaji nyeri dengan PQRST sebelum dilakukan teknik relaksasi dan sesudah diberikan teknik relaksasi guided imagerysebagai berikut pada hari pertama skala nyeri 6 turun menjadi skala 5, hari kedua skala nyeri 5 setelah dilakukan teknik relaksasi guided imageryturun menjadi skala 4, dan hari ketiga skala nyeri dari skala 4 turun menjadi 3 setelah dilakukan teknik relaksasi

68

guided imagery. Dengan demikian hal ini sesuai dengan jurnal teori (Priyanto, 2011) guided imagery berpengaruh dalam menurunkan skala nyeri yang dimana penulis setiap melakukan implementasi kepada klien mengalami penurunan skala nyeri. Penulis mengaplikasikan pemberian teknik relaksasi guided imagery sesuai jurnal, pemberian tehnik relaksasi guided imagery dilakukan 1 kali dalam sehari dengan waktu 10-20 menit selama 3 hari. Menurut jurnal (Alimul, 2006) dalam melakukan teknik relaksasi guided imagery tidak diberikan batasan hari yang ditetapkan, hanya waktu yang digunakan 10-20 menit. Pemberian tehnik relaksasi guided imagery efektif dalam mengurangi intensitas nyeri pada pasien post operasi laparatomi. Implementasi selanjutnya memberikan posisi nyaman pada pasien merupakan salah satu cara untuk membantu mengurangi rasa sakit yang dirasakan, diharapkan pasien merasa nyaman pada posisi tersebut dan dapat mengurangi kondisi saat serangan. Mengkolaborasikan pemberian obat analgesik pereda nyeri cefozolin 1gr/12jam golongan anti bakteri fungsi untuk mencegah infeksi yang disebabkan oleh bakteri positif dan negatif, ranitidine 25mg/12 jam golongan antasida fungsi pengobatan jangka tukak duedenum aktif, tukak lambung aktif mengurangi gejala refluksi esofagitis, keterolac 20mg/12jam golongan non narkotik fungsinya

69

untuk penatalaksnaan jangka pendek nyeri akut derajat sedang – berat segera setelah operasi(Midian Sirait, 2014). Diagnosa kedua gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan (pasca operasi akibat nyeri). Implementasi yang dilakukan penulis memonitor

kebutuhan tidur pasien setiap hari dan jam,

mendiskusikan bersama pasien dan keluarga tentang tingkat pola istirahat, menjelaskan pentingnya tidur yang adekuat. (NIC

dalam

Huda Amin dan Kusuma Hardhi, 2013: 603 ). Penulis mengangkat diagnosa gangguan pola tidur karena telah sesuai dengan teori (Wilkinson, 2007), yang menyebutkan bahwa batasan karakteristik gangguan pola tidur yaitu bangun lebih awal atau lebih lambat dari yang diinginkan, ketidakpuasan tidur, keluhan verbal tentang kesulitan untuk tidur, keluhan verbal tentang perasaan tidak dapat beristirahat dengan baik. Pada diagnosa keperawatan yang ketiga yaitu hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri.Hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan pada pergerakan fisik tubuh atau satu lebih ekstermitas secara mandiri dan terarah dengan batasan karakteristik adalah kesulitan membolak balikkan posisi, keterbatasan kemampuan untuk melakukan motorik kasar. (NIC dalam Huda Amin dan Kusuma Hardhi, 2013: 612 ). Diagnosa keperawatan ketiga yang diangkat penulis adalah hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri. Karena sesuai

70

dengan teori (Nurarif, 2013) Hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan pada pergerakan fisik tubuh atau satu lebih ekstremitas secara mandiri dan terarah, dengan batasan karakteristik adalah kesulitan membolak balikkan posisi, keterbatasan kemampuan untuk melakukan motorik kasar hal tersebut sesuai dengan batasan karakteristik hambatan mobilitas fisik, yaitu kesulitan membolak balik posisi, keterbatasan kemampuan melakukan ketrampilan motorik kasar, melambatnya pergerakan (Nurarif, 2013). Implementasi yang dilakukan mengkaji kemampuan mobilisasi pasien dengan rasional mengetahui perkembangan mobilitas pasien. pasien mengatakan pola aktivitas dan latihannya masih dibantu keluarga dan alat dan data obyektifnya aktivitas makan/minum, mandi, berpakaian, mobilitas ditempat tidur, berpindah, ambulasi ROM dengan nilai 2 (dibantu orang lain) dan toileting dengan nilai 3 (dibantu orang lain dan alat). Implementasi selanjutnya mendampingi dan membantu pasien saat mobilisasi keadaan ADL dengan memelihara fleksibelitas sendi sesuai kemampuan. Mengajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan

bantuan

jika

pasien

memerlukan

dengan

rasional

meningkatkan kemandirian pasien dalam kondisi keterbatasan. E. Evaluasi Tahap evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan

71

dengan cara bersinambungan dengan melibatkan klien, keluarga dan tenaga kesehatan lainnya. Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan klien dalam mencapai tujuan yang disesuaikan dengan kriteria hasil pada tahap perencanaan (Setiadi, 2012). Evaluasi dilakukan setiap hari diakhir shift dengan metode SOAP,diagnosa yang pertama nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (post operasi laparatomi appendiksitis) pada evaluasi hari pertama pada tanggal 06 januari 2015 jam 13.30 WIB diagnosa pertama dengan metode SOAP, respon subyektif pasien mengatakan nyeri saat bergerak, nyeri seperti ditekan, nyeri pada abdomen luka post operasi laparatomi, skala nyeri 6 menjadi 5, nyeri hilang timbul sekitar ± 10 menit. Respon obyektif pasien dapat mengikuti terapi non farmakologi yang diberikan (relaksasi guided imagery), pasien terlihat menahan nyeri, pasien tampak rileks dengan vital sign TD : 110/80 mmHg, Nadi : 80x/menit, RR : 21x/menit, Suhu : 36˚C. Analisa keperawatannya masalah nyeri belum teratasi. Planning, lanjutkan intervensi monitor keadaan umum pasien dan vital sign pasien, kaji status nyeri pasien, ajarkan teknik relaksasiguided imagery, berikan posisi yang nyaman pada pasien, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik yaitu keterolac 20mg/8 jam. Evaluasi hari kedua pada tanggal 07 januari 2016 jam 13.30 WIB diagnosa pertama dengan metode SOAP, respon subyektif pasien mengatakan nyeri saat bergerak, nyeri seperti ditekan, nyeri pada

72

abdomen luka post operasi laparatomi, skala nyeri berkurang dari 5 menjadi 4, nyeri hilang timbul sekitar ± 8 menit. Respon obyektif pasien dapat mengikuti terapi non farmakologi yang diberikan (relaksasiguided imagery), pasien tampak rileks, vital sign pasien dengan hasil TD : 120/90 mmHg, Nadi : 83 x/menit, RR : 20 x/menit, Suhu : 37˚ C. Analisa masalah keperawatan nyeri teratasi sebagian. Planning, lanjutkan intervensi monitor keadaan umum pasien dan vital sign pasien, kaji status nyeri pasien, ajarkan teknik relaksasi guided imagery, berikan posisi yang nyaman pada pasien, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik yaitu keterolac 20mg/8 jam. Evaluasi hari ketiga pada tanggal 08 Januari 2016, dengan metode SOAP, respon subyektif pasien mengatakan nyeri saat bergerak, nyeri seperti ditekan, nyeri pada abdomen luka post operasi laparatomi, skala nyeri berkurang dari 4 menjadi 3, nyeri hilang timbul sekitar ± 5 menit. Respon obyektif pasien dapat mengikuti terapi non farmakologi yang diberikan (relaksasiguided imagery), pasien tampak rileks, vital sign pasien dengan hasil TD : 120/80 mmHg, Nadi : 80 x/menit, RR : 20 x/menit, Suhu : 36,5 ˚C. Analisa masalah keperawatan nyeri teratasi. Planning, hentikan intervensi. Evaluasi hari pertama pada tanggal 06 januari 2016 jam 14.00 WIB masalah keperawatan gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan (pasca operasi akibat nyeri), respon subyektif klien mengatakan sulit tidur tidur sehari sekitar 3 jam, badan terasa pegal-

73

pegal. Respon obyektif pasien tampak sering menguap dan gelisah, assessment masalah belum teratasi sulit tidur, planning lanjutkan intervensi monitor kebutuhan tidur klien setiap hari dan jam, diskusikan bersama pasien dan keluarga tentang tingkat pola istirahat, jelaskan tidur yang adekuat. Evaluasi hari kedua pada tanggal 07 januari 2016 jam 14.00 WIB masalah keperawatan gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan (pasca operasi akibat nyeri), respon subyektif klien mengatakan sudah bisa tertidur meski sering terbangun. Respon obyektif pasien terlihat rileks, assessment masalah teratasi sebagian, planning lanjutkan intervensi monitor kebutuhan tidur klien setiap hari dan jam, diskusikan bersama pasien dan keluarga tentang tingkat pola istirahat, jelaskan tidur yang adekuat. Evaluasi hari ketiga pada tanggal 08 januari 2016 jam 14.00 WIB masalah keperawatan gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan (pasca operasi akibat nyeri), respon subyektif klien mengatakan klien sudah bisa tidur malam 5-6 jam. Respon obyektif pasien terlihat rileks, assessment masalah pola tidur teratasi, hentikan intervensi Evaluasi pada diagnosa keperawatan yang ketiga dengan hambatan mobilitas fisik berhubungna dengan nyeri,pada tanggal 06 januari 2016 jam 14.00 WIB dengan metode SOAP, respon subyektif pasien mengatakan

aktivitas

dan

latihannya

ADL

(Activity

Daily

74

Living)dibantu oleh keluarga dan alat. Respon obyektif pasien tampak lemas, pola aktivitas dan latihan makan/minum, mandi, berpakaian, mobilitas ditempat tidur, berpindah, ambulasi ROM (Range Of Motion) toileting dengan nilai 3 (dibantu orang lain dan alat). Analisa masalah

keperawatan

hambatan

mobilitas

fisik

belumteratasi.

Planning, lanjutkan intervensi kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi, ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan, dampingi dan bantu klien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADL (Activity Daily Living) pasien Evaluasi diagnosa kedua pada tanggal 07 januari 2016 jam 14.00 WIB dengan metode SOAP, dengan respon subyektif pasien mengatakan

sudah

bisa

melakukan

mobilitas

ditempat

tidur,

makan/minum secara mandiri, dan tolileting masih di dampingi. Respon obyektif pasien, pola aktivitas dan latihannya masih dibantu keluarga namun sudah tidak dengan alat dan data obyektifnya aktivitas makan/minum, mandi, toileting, berpakaian, mobilitas ditempat tidur, berpindah, ambulasi ROM (Range Of Motion) dengan nilai 2 (dibantu orang lain). Analisa masalah keperawatan hambatan mobilitas fisik teratasi sebagian. Planning, lanjutkan intervensi kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi, ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan, dampingi dan bantu klien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADL (Activity Daily Living)

75

Tindakan evaluasi keperawatan

pada tanggal 08 januari 2016

pukul 14.00 WIB pada diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri. Pasien sudah bisa mobilitas ditempat tidur, makan/minum secara mandiri dan toileting secara mandiri. Masalah keperawatan hambatan mobilitas fisik teratasi, intervensi dihentikan.

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Bab ini penulis akan menyimpulkan proses keperawatan dari pengkajian, penentuan diagnosa, perencanaan, implementasi, dan evaluasi pada asuhan keperawatan Tn.T dengan post operasi laparatomi diruang anggrek RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri selama tiga hari kelolaan dengan menerapkan aplikasi pemberian tehnik relaksasi guided imagery terhadap intensitas nyeri maka dapat ditarik kesimpulan: 1.

Pengkajian Keluhan utama yang dirasakan pasien yaitu kepala pusing, (P): nyeri saat bergerak (post operasi laparatomi) (Q): nyeri seperti ditekan, (R): nyeri pada perut kanan bawah (S): skala nyeri 6, (T): nyeri hilang timbul selama 10 menit menit. Pasien juga mengatakan sebelum sakit tidur 6-7 jam sehari, selama sakit pasien mengatakan tidak bisa tidur, tidur hanya kurang lebih 3 jam sehari, sering terbangun dan badan terasa lemas.

2.

Diagnosa keperawatan Hasil perumusan masalah sesuai dengan pengkajian keperawatan pada Tn.T ditegakkan diagnosa keperawatan sesuai dengan hirarki kebutuhan dasar menurut Maslow yaitu prioritas diagnosa pertama

76

77

nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik, diagnosa prioritas kedua gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan (post operasi laparatomi akibat nyeri). Diagnosa prioritas ketiga Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri 3. Intervensi Keperawatan Intervensi keperawatan pada diagnosa pertama yaitu nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik. Intervensi yang dilakukan yaitu : observasi keadaan umum dan tanda-tanda vital klien, kaji skala nyeri secara komperehensif (PQRST), beri posisi yang nyaman, ajarkan tehnik relaksasi guided imagery (bimbingan imajinasi, menghayalkan suatu yang menyenangkan), kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik untuk mengurangi rasa nyeri dengan tindakan farmakologi. 4. Implementasi Keperawatan Diagnosa

keperawatan

pertama

implementasi

dilakukan

mengobservasi keadaan umum dan tanda-tanda vital klien, mengkaji skala nyeri secara komperehensif (PQRST), memberikan posisi yang nyaman, mengajarkan tehnik relaksasi guided imagery (bimbingan imajinasi, menghayalkan suatu yang menyenangkan), berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik untuk mengurangi rasa nyeri dengan tindakan farmakologi. Diagnosa keperawatan yang kedua implementasi dilakukan memonitor kebutuhan tidur pasien setiap jam dan setiap hari,

78

mendiskusikan bersama pasien dan keluarga tentang tingkat pola istirahat, menjelaskan pentingnya tidur yang adekuat, berkolaborasi tentang pemberian obat anti nyeri. Diagnosa keperawatan yang ketiga implementasi dilakukan mengkaji kemampuan pasien dalam mobilisasi, mengajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan, mendampingi dan bantu klien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADL (Activity Daily Living) pasien, berkonsultasi dengan terapi fisik tentang rencana mobilisasi sesuai kebutuhan. 5. Evaluasi Keperawatan Hasil evaluasi yang dilakukan selama 3x24jam yang diagnosa yang pertama nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik teratasi, karena sesuai dengan kriteria hasil yang diharapkan. Nyeri akut dari skala 6 menjadi 3, pasien tampak rileks. Hasil evaluasi yang dilakukan selama 3x24jam yang diagnosa yang kedua gangguan pola tidur berhubungan gangguan (post operasi laparatomi akibat nyeri) teratasi. Karena sesuai dengan kriteria hasil yang diharapkan pasien tampak segar sudah bisa tidur malam kira-kira 5-6 jam Hasil evaluasi yang dilakukan selama 3x24jam yang diagnosa yang ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri teratasi, karena sesuai dengan kriteria hasil yang diharapkan. Pasien sudah bisa

79

mobilitas ditempat tidur, makan/minum secara mandiri dan toileting secara mandiri 6. Analisa hasil penerapan pemberian tehnik relaksasi guided imagery terhadap intensitas nyeri. Hasil penerapan tindakan keperawatan pemberian teknik relaksasi guided imagery ini selama 3 hari pengelolaan, teknik ini diajarkan dan diberikan selama ± 10 – 20 menit sebelum dilakukan teknik relaksasi dan sesudah diberikan teknik relaksasi guided imagery sebagai berikut : pada hari pertama skala nyeri 6 turun menjadi skala 5, hari kedua skala nyeri 5 setelah dilakukan teknik relaksasi guided imagery turun menjadi skala 4, dan hari ketiga skala nyeri dari skala 4 turun menjadi 3 setelah dilakukan teknik relaksasi guided imagery. Dengan demikian guided imagery berpengaruh mengurangi intensitas nyeri pasien post operasi laparatomi diruang anggrek RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. B. Saran 1. Bagi institusi pelayanan kesehatan (Rumah Sakit) Diharapkan rumah sakit khusunya RSUD Wonogiri dapat memberikan pelayanan kesehatan dan mempertahankan hubungan kerjasama baik antara tim kesehatan maupun klien serta keluarga klien. Khusunya dalam proses rehabilitasi medik dengan melibatkan keluarga klien untuk berperan aktif sehingga klien dan keluarga mengerti perawatan lanjutan dirumah.

80

2. Bagi tenaga kesehatan khususnya perawat Hendaknya perawat memiliki tanggung jawab dan ketrampilan yang

lebih

dan

selalu

memperbarui

pengetahuan

serta

keterampilannya, tidak lupa untuk koordinasi tim kesehatan lain dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami nyeri khususnya pada pasien post laparatomi. 3. Bagi institusi pendidikan. Diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan pendidikan yang lebih berkualitas dengan mengupayakan aplikasi riset dalam setiap tindakan keperawatan yang dilakukan sehingga mampu menghasilkan perawat yang professional, terampil, inovatif dan bermutu dalam memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif berdasarkan ilmu dan kode etik keperawatan. 4. Bagi penulis Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada pasien dengan pemberian tehnik relaksasi guided imagery diharapkan penulis akan dapat lebih mengetahui cara pemeberian tehnik relaksasi guided imagery yang baik dan benar terutama pada pasien post operasi laparatomi yang mengalami gangguan nyeri akut dan diharapkan akan menambah wawasan dalam menangani masalah keperawatan post op laparatomi.

DAFTAR PUSTAKA

Alimul Aziz. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Salemba Medika. 2006. Andarmoyo Sulistyo. 2013. Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri. Yogyakarta: Ar-ruzz Media. Bararah dan Jauhar. 2013.Asuhan keperawatan Panduan Lengkap menjadi Perawat Profesional. Jilid 2. Jakarta: Prestasi Pustaka Brunner & Suddart. 2005. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta: EGC DepKes RI. 2010. Profil Kesehatan Republik Indonesia. DepKes

RI 2013. Riset Kesehatan

Dasar

Diakses

23

April

2016

Dermawan, Deden. 2012. Proses Keperawatan Penerapan Konsep dan Kerangka Kerja. Gosyen Publising. Yogyakarta Herdman H. T., (2012-2014). Diagnosa keperawatan definisi dan klasifikasi. Penerjemah Monika Ester, S.Kep, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta Hidayat, A. A. 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Selemba Medika. Huda, Amin dan Kusuma, Hardi 2013. Aplikasi Nanda NIC – NOC ed. Revisi Mediaction Publising,Jakarta. Diakses 06 Mei 2016 Jitowiyono, S.dkk. 2010. Asuhan Keperawatan Post Operasi. Yogyakarta: NuhaMedika. Kozier et all,2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep Proses dan Praktik. Edisi 2, EGC, Jakarta. Mansjoer Arif. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Euculapcius UI. 2007. Midian Sirait. 2014. ISO Informasi Spesialite Obat Indonesia Jakarta. PT ISFI Penerbit.

Mubarak, Wahid Iqbal. 2007. Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia: Teori & Aplikasi Dalam Praktik. Jakarta: EGC Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2009. Asuhan Perioperatif Konsep, Proses dan Aplikasi. Jakarta : Salemba Medika. Nanda, Nic Noc 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Nanda. EGC:Jakarta. Potter and Perry. Buku Ajar Fundamental Keperawatan.Jakarta : EGC. 2006. Prasetyo, Sigit Nian. 2010. Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri. Yogyakarta : Graha Ilmu. Riyanto, Agus. 2011. Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika. Setiadi. 2007. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta : Graha Ilmu. Simon, Ellen Chernoff. 2003. (diakses 17 April 2006). Soeparman. 1990. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta Sjamsuhidayat M..Buku Ajar Ilmu Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC. 2005. Smeltzer and Bare. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Jakarta : EGC. 2002. Sugeng, Priyanto.2011. Efektifitas Teknik Relaksasi Guided Imagery Terhadap Penurunan Nyeri Pada Pasien Post Operasi. Jakarta: EGC Tamsuri, Anas 2007. Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta: EGC Wilkinson , J.M. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan; Diagnosi: NANDA, Intervensi: NIC, Kriteria Hasil: NOC. Edisi 9. Terjemahan Esti Wahyuningsih. Jakarta: EGC