PEMBERIAN TERAPI PSIKORELIGIUS (SHALAT) TERHADAP FREKUENSI

skizofrenia paranoid di ruang arjuna rsjd surakarta disusun oleh : indri wulandari nim. p11 028 program studi diii keperawatan ... bab iii laporan kas...

20 downloads 642 Views 764KB Size
PEMBERIAN TERAPI PSIKORELIGIUS (SHALAT) TERHADAP FREKUENSI HALUSINASI PENDENGARAN PADA ASUHAN KEPERAWATAN JIWA Sdr.I DENGAN SKIZOFRENIA PARANOID DI RUANG ARJUNA RSJD SURAKARTA

DISUSUN OLEH :

INDRI WULANDARI NIM. P11 028

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2014

i

PEMBERIAN TERAPI PSIKORELIGIUS (SHALAT) TERHADAP FREKUENSI HALUSINASI PENDENGARAN PADA ASUHAN KEPERAWATAN JIWA Sdr.I DENGAN SKIZOFRENIA PARANOID DI RUANG ARJUNA RSJD SURAKARTA

Karya Tulis Ilmiah Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawata

DISUSUN OLEH : INDRI WULANDARI NIM. P11 028

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2014

i

ii

iii

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah dengan judul “PEMBERIAN TERAPI PSIKORELIGIUS (SHALAT) TERHADAP FREKUENSI HALUSINASI PENDENGARAN PADA ASUHAN KEPERAWATAN JIWA Sdr.I DENGAN SKIZOFRENIA PARANOID DI RUANG ARJUNA RSJD SURAKARTA” Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulisa banyak mendapat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempataan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat: 1. Atiek Murharyati, S.Kep.,Ns., M.Kep, selaku Ketua Program studi DIII Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di Stikes Kusuma Husada Surakarta. 2. Meri Oktariani, S.Kep.,Ns., M.Kep, selaku Sekretaris Ketua Program studi DIII Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di Stikes Kusuma Husada Surakarta. 3. JokoKismanto, S.Kep.,Ns., selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini. 4. Diyah Ekarini, S.Kep.,Ns selaku dosen pembimbing sekaligus sebagai penguji I yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukanmasukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini. 5. Intan Maharani S Batubara, S.Kep.,Ns, selaku dosen pembimbing sekaligus sebagai penguji II yang telah membimbing dengan cermat,

v

6. memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini. 7. Semua dosen Program studi DIII Keperawatan Stikes Kusuma Husada Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan wawasannya serta ilmu yang bermanfaat. 8. Kedua orangtuaku, yang selalu menjadi inspirasi dan memberikan semangat untuk menyelesaikan pendidikan. 9. Arifin Budhi Cahyono, yang selalu membantu, memberi dukungan, memberi semangat dan motivasi dalam menyelesaikan tugas Karya Tulis Ilmiah ini 10. Teman-teman Mahasiswa Program Studi DIII Keperawatan Stikes Kusuma Husada Surakarta dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual. Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu keperawatan dan kesehatan. Amin

Surakarta,

Mei 2014

Penulis

vi

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL......................................................................................

i

PERNYATAAN TIDAK PLAGIATISME ...................................................

ii

LEMBAR PERSETUJUAN...........................................................................

iii

LEMBAR PENGESAHAN ...........................................................................

iv

KATA PENGANTAR ...................................................................................

v

DAFTAR ISI ..................................................................................................

vii

DAFTAR GAMBAR .....................................................................................

ix

DAFTAR TABEL .......................................................................................

x

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................

xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...................................................................................

1

B. Tujuan Penulisan ................................................................................

5

C. Manfaat Penulisan ..............................................................................

6

BAB II TINJAUAN TEORI A. Konsep Dasar Halusinasi ...................................................................

8

B. Konsep Asuhan Keperawatan ............................................................

21

C. Terapi Psikoreligius............................................................................

48

BAB III LAPORAN KASUS A. Pengkajian ..........................................................................................

54

B. Rumusan Masalah ..............................................................................

61

C. Intervensi ............................................................................................

62

D. Implementasi ......................................................................................

65

E. Evaluasi ..............................................................................................

66

BAB IV PEMBAHASAN A. Pengkajian ..........................................................................................

69

B. Diagnosa Keperawatan .......................................................................

72

C. Rencana Keperawatan ........................................................................

73

D. Tindakan keperawatan ........................................................................

75

vii

E. Evaluasi ..............................................................................................

79

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan.........................................................................................

81

B. Saran ...................................................................................................

83

Daftar Pustaka Lampiran Daftar Riwayat Hidup

viii

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Gambar 2.2 Pohon Masalah Halusinasi…………………………...29 2. Gambar 3.1 Genogram…………………………………………….54 3. Gambar 3.2 Pohon Masalah……………………………………….60

ix

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Tabel 2.1 Rentang Respon Neurobiologi…………………..………….............11

x

LAMPIRAN

Lampiran 1.

Log book

Lampiran 2.

Format pendelegasian pasien

Lampiran 3.

Lembar konsultasi

Lampiran 4.

Asuhan keperawatan

”Pemberian terapi psikoreligius

(shalat) terhadap frekuensi halusinasi pendengaran pada asuhan keperawatan jiwa Sdr.I dengan skizofrenia paranoid diruang arjuna RSJD Surakarta” Lampiran 5.

Jurnal

Lampiran 6.

Daftar riwayat hidup

xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis dan sosial yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku dan koping yang efektif, konsep diri yang positif dan kesetabilan emosional. (videbeck, 2008). Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku dimana individu tidak mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat dan lingkungan. Pengertian seseorang tentang penyakit gangguan jiwa berasal dari apa yang diyakini sebagai faktor penyebab yang berhubungan dengan biopsikososial. Menurut WHO (2006) menunjukan bahwa beban yang ditimbulkan gangguan jiwa sangat besar, dimana terjadi global burden of disease akibat masalah kesehatan jiwa mencapai (8,1%). Angka ini lebih tinggi dari TBC (7,2%), kanker (5,8%), penyakit jantung (4,4%), dan malaria (2,6%). (Simanjutak dan Wardiyah, 2006). Menurut WHO (World Health Organization) memperkirakan 450 juta orang diseluruh dunia mengalami gangguan mental, sekitar 10% orang dewasa mengalami gangguan jiwa saat ini dan (25%) penduduk diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu selama hidupnya. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2007 di Indonesia,

1

2

menunjukan bahwa prevalensi gangguan jiwa secara nasional mencapai (5,6%) dari jumlah penduduk, dengan kata lain menunjukkan bahwa pada setiap 1000 orang penduduk terdapat empat sampai lima orang menderita gangguan jiwa. Berdasarkan dari data tersebut bahwa data pertahun di Indonesia yang mengalami gangguan jiwa selalu meningkat. Prevalensi gangguan jiwa tertinggi di Indonesia terdapat di Provinsi Daerah Kusus Ibu Kota Jakarta (24,3%), diikuti Nangroe Aceh Darussalam (18,5%), Sumatera Barat (17,7%), NTB (10,9%), Sumatera Selatan (9,2%), dan Jawa Tengah (6,8%). (Hidayati,2011). Salah satu bentuk gangguan jiwa yang umum terjadi adalah skizofrenia. Skizofrenia adalah suatu sindrom yang mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, dan perilaku yang aneh dan terganggu. Insiden puncak awitannya adalah 15 sampai 25 tahun untuk pria dan 25 sampai 35 untuk wanita. Prevalensi skizofrenia diperkirakan sekitar 1%

dari

seluruh

penduduk.

Di

Amerika

Serikat

angka

tersebut

menggambarkan bahwa hampir tiga juta penduduk yang sedang, telah, atau akan terkena gangguan tersebut. Insiden dan prevalensi seumur hidup secara kasat mata sama di seluruh dunia. (Videbeck, 2008). Gejala umum dari skozofrenia yaitu gangguan sensori persepsi, persepsi adalah proses diterimanya rangsangan sampai rangsangan itu disadari dan dimengerti penginderaan atau sensasi: proses penerimaan rangsangan. Dimana terdapat dua jenis utama masalah perseptual yaitu halusinasi dan ilusi. Halusinasi yang didefinisikan sebagai hilangnya kemampuan manusia

3

dalam membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata. Halusinasi dapat terjadi pada kelima indera sensori utama yaitu: pendengaran terhadap suara biasanya paling sering terjadi pada gangguan skizofrenia, visual terhadap pengelihatan, sedangkan halusinasi sentuhan (taktil) dapat terjadi pada gangguan mental yang diakibatkan penyalahgunaan kokain, halusinasi pengecap terhadap rasa seperti darah, urine dan feses dan halusinasi penghidu terhadap bau. (Rasmun, 2009). Menurut Direja (2011), akibat dari halusinasi adalah klien dapat kehilangan control dirinya sehingga bisa membahayakan diri sendiri, orang lain maupun merusak lingkungan (risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan). Hal ini terjadi jika halusinasi sudah sampai fase ke IV, di mana klien mengalami panik dan perilakunya dikendalikan oleh isi halusinasinya. Klien benar-benar kehilangan kemampuan penilaian realitas terhadap lingkungan. Dalam situasi ini klien dapat melakukan bunuh diri, membunuh orang lain bahkan merusak lingkungan. Pada tahun 1984 WHO memasukan dimensi spiritual keagamaan sama pentingnya dengan dimensi fisik, psikologis dan psikososial. Seiring dengan itu terapi-terapi yang dilakukanpun mulai menggunakan dimensi spiritual keagamaan, sebagai bagian dari terapi modalitas. Terapi yang demikian disebut dengan terapi holistik artinya terapi yang melibatkan fisik, psikologis, psikososial dan spiritual (Yosep, 2009).

4

Terapi religius pada kasus-kasus gangguan jiwa ternyata membawa manfaat, angka rawat inap pada klien gangguan jiwa skizofrenia yang mengikuti kegiatan keagamaanlebih rendah bila dibandingkan dengan mereka yang tidak mengetahuinya. (Chu dan Klein, 1985 dalam Yosep, 2009). Hasil jurnal penelitian Fanada pada tahun 2012, menunjukkan bahwa dengan melakukan shalat secara rutin dan disertai perasaan ikhlas serta tidak terpaksa, seseorang akan memiliki respon imun yang baik serta besar kemungkinan terhindar dari penyakit infeksi dan kanker bahkan penyakit kejiwaan. Secara medis, shalat

yang

demikian menyebabkan seseorang

memiliki ketahanan tubuh yang baik. Penderita gangguan jiwa di RSJD Surakarta pada tahun 2009 sebanyak 2.420 pasien dengan presentasi hunian 74%. Tahun 2010 sebanyak 2.560 pasien dengan presentasi hunian 84,49%. Tahun 2011 sebanyak 2.605 dengan presentasi hunian 75,6%. Tahun 2012 sebanyak 2.906 dengan presentasi hunian 85,79%. Tahun 2013 sebanyak 3.308 pasien dengan presentasi hunian 89,07%. (Rekam medik, 2013). Sedangkan di bangsal Arjuna berdasarkan laporan periode bulan Maret 2014, pasien dirawat di Ruang Arjuna Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta didapatkan 20 pasien mengalami gangguan jiwa, terdapat 10 pasien mengalami halusinasi (50%), 5 pasien mengalami gangguan perilaku kekerasan (25%) dan 5 pasien mengalami isolasi sosial (25%). Serta penulis tertarik untuk menulis karya tulis ilmiah dengan pemberian Terapi Psikoreligius pada klien dengan inisial Sdr.I yang

5

mengalami halusinasi, dan apabila tidak segera ditangani akan menyebabkan masalah yang lebih serius yaitu perilaku kekerasan. Halusinasi yang dialami oleh Sdr.I adalah halusinasi pendengaran yang berisi pasien mendengar suara roh yang menyuruhnya untuk membeli dagangan yang dijual oleh roh tersebut, biasanya muncul pada pagi, siang dan malam hari pada saat klien sendiri atau saat akan tidur, dalam sehari suara itu bisa muncul 6 kali kurang lebih 5 menit. Saat dirumah dan di bangsal pasien jarang untuk melakukan shalat 5 waktu. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk menulis Karya Tulis Ilmiah dengan judul “Pemberian terapi psikoreligius (shalat) terhadap frekuensi halusinasi pendengaran pada asuhan keperawatan jiwa Sdr.I dengan skizofrenia paranoid di Ruang Arjuna RSJD Surakarta”.

B. Tujuan Penulisan 1. Tujuan Umum Melaporkan pemberian terapi psikoreligius (shalat) terhadap frekuensi halusinasi pendengaran pada

asuhan keperawatan jiwa Sdr.I dengan

skizofrenia paranoid di ruang arjuna RSJD Surakarta 2. Tujuan Khusus a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada Sdr.I dengan Halusinasi. b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada Sdr.I dengan Halusinasi.

6

c. Penulis mampu menyusun rencana Asuhan Keperawatan pada Sdr.I dengan Halusinasi. d. Penulis mampu melakukan implementasi pada Sdr.I dengan Halusinasi. e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada Sdr.I dengan Halusinasi. f. Penulis mampu menganalisa hasil pemberian Terapi Psikoreligius pada Sdr.I dengan Halusinasi.

C. Manfaat Penulisan 1. Bagi penulis Menambah wawasan dan pengalaman dan memberikan asuhan keperawatan pada Sdr. I dengan Halusinasi 2. Bagi Profesi Sebagai bahan masukan bagi tenaga kesehatan lainnya dalam melaksanakan Asuham Keperawatan pada pasien dengan Halusinasi sehingga pasien mendapatkan penanganan tepat dan optimal. 3. Bagi Rumah Sakit a) Sebagai bahan masukan yang diperlukan dalam pelaksanaan praktek pelayanan perawatan khususnya pada pasien Halusinasi. b) Sebagai bahan masukan bagi tenaga kesehatan lainnya dalam melaksanakan Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Halusinasi, sehingga pasien mendapatkan penanganan yang tepat cepat dan optimal.

7

4. Bagi Institusi Sebagai sumber bacaan atau referensi untuk meningkatkan kualitas pendidikan keperawatan khususnya pada pasien Halusinasi dan dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca.

BAB II LANDASAN TEORI

A. Konsep Dasar Halusinasi 1. Pengertian Persepsi Merupakan suatu proses yang berujud diterimanya stimulus oleh individu melalui alat reseptornya. Namun proses itu tidak berhenti sampai disitu saja, melainkan stimulus itu diteruskan ke pusat susunan syaraf di otak, dan terjadilah proses psikologis, sehingga individu menyadari apa yang ia lihat, apa ia dengar dan sebagainya, individu mengalami persepsi. Karena itu proses penginderaan tidak lepas dari proses persepsi. Proses penginderaan akan selalu terjadi setiap saat, pada waktu individu menerima stimulus melalui alat indranya, melalui reseptornya. Alat indra merupakan penghubung antarsa individu dengan dunia luarnya. Stimulus yang diindra oleh individu diorganisasikan, kemudian diinterpretasikan, sehingga individu menyadari, mengerti tentang apa yang diindra itu, inilah yang disebut persepsi.( Ardani, 2013 )

2. Pengertian Halusinasi Perubahan persepsi sensori : halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami perubahan persepsi sensori, seperti merasakan sensasi palsu berupa suara, pengelihatan, pengecapan, perabaan, atau penghiduan. Klien merasakan stimulus yang sebetulnya

8

9

tidak ada. Selain itu, perubahan persepsi sensori : Halusinasi bisa juga diartikan sebagai persepsi sensori tentang suatu objek, gambaran, dan pikiran yang sering terjadi tanpa adanya rangsangan dari luar meliputi semua sistem penginderaan (pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan, atau pengecapan). (Fitria, 2009) Menurut (Yosep, 2009) Halusinasi dapat didefinisikan sebagai terganggunya persepsi sensori seseorang, dimana tidak terdapat stimulus. Tipe halusinasi yang paling sering adalah halusinasi pendengaran (Auditory-hearing voices or sounds), penglihatan (Visual-seeing persons or things), penciuman (Olfactory-smelling odors), pengecapan (Gustatoryexperiencing tastes). Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa halusinasi adalah persepsi klien yang salah terhadap lingkungan tanpa adanya

rangsangan

atau

stimulus

yang

nyata

sehingga

klien

mempersiapkan dan merasakan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi.

3. Jenis Halusinasi Menurut Kusumawati dan Hartono (2010) jenis-jenis halusinasi sebagai berikut : a. Halusinasi pendengaran atau auditory Mendengarkan suara atau kebisingan yang kurang jelas ataupun yang jelas, di mana terkadang suara-suara tersebut seperti mengajak berbicara klien dan kadang memerintah klien untuk melakukan sesuatu.

10

b. Halusinasi pengelihatan atau visual Stimulus visual dalam bentuk kilatan atau cahaya, gambaran atau bayangan yang rumit dan kompleks. Bayangan bisa menyenangkan atau menakutkan. c. Halusinasi penghidu atau olfaktori Membau bau-bauan tertentu seperti bau darah, urine, feses, parfum, atau bau yang lain. Ini sering terjadi pada seseorang pasca serangan stroke, kejang atau demensia. d. Halusinasi pengecapan atau gustatory Merasa mengecap rasa seperti darah, urine, feses atau lainnya. e. Halusinasi perabaan atau taktil Merasa mengalami nyeri, rasa tersetrum atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas. f. Halusinasi cenesthetic Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri, pencernaan makanan atau pembentukan urine. g. Halusinasi kinestetika Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.

4. Psikopatologi Beberapa orang mengatakan bahwa situasi keamanan di otak normal dibombardir oleh aliran stimulus yang berasal dari tubuh atau dari luar tubuh. Jika masukan akan terganggu atau tidak ada sama sekali saat

11

bertemu dalam keadaan normal atau patologis, materi berada dalam prasadar dapat unconsicious atau dilepaskan dalam bentuk halusinasi. Pendapat lain mengatakan bahwa halusinasi dimulai dengan keinginan yang direpresi ke unconsicious dan kemudian karena kepribadian rusak dan kerusakan pada realitas tingkat kekuatan keinginan sebelumnya diproyeksikan keluar dalam bentuk stimulus eksternal. (Damaiyanti dan Iskandar, 2012). Rentang

respon

neurobiologis

menurut

Stuart

dan

Sudeen

(Damaiyanti, 2012)

Respon maladaptif

Respon adaptif Pikiran logis

Distoris pikiran(pikiran kotor)

Ggn.pikiran/delusi

Persepsi akurat

Ilusi

Halusinasi

Emosi konsisten-

Reaksi emosi berlebihan-

Kerusakan proses-

dengan pengalaman atau kurang

emosi

Perilaku sesuai

Perilaku aneh dan tidakdisorganisasi

Perilaku biasa

Hubungan sosial

Menarik diri

Isolasi sosial

Gambar 2.1 Rentang Respon Neurobiologis

12

Dari rentang respon diatas dapat dilihat jenis respon individu. Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma-norma sosial budaya yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal jika menghadapi suatau masalah akan dapat memecahkan masalah tersebut, respon adaptif : a. Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan. b. Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan. c. Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari pengalaman ahli. d. Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas kewajaran. e. Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan lingkungan. Respon psikososial meliputi : a. Proses pikir terganggu adalah proses pikir yang menimbulkan gangguan. b. Ilusi adalah miss interpretasi atau penilaian yang salah tentang penerapan yang benar-benar terjadi (objek nyata) karena rangsangan panca indera. c. Emosi berlebihan atau kurang d. Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain.

13

Respon maladaptif : Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah yang menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan lingkungan, adapun respon maladaptif meliputi : a. Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan kenyataan sosial. b. Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah satu persepsi eksternal yang tidak realita atau tidak ada. c. Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari hati. d. Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu yang tidak teratur. e. Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu dan diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu kecelakaan yang negatif mengancam.

5. Tanda dan Gejala Menurut Kusumawati dan Hartono (2010) tanda dan gejala halusinasi sebagai berikut : a. Menarik diri b. Tersenyum sendiri c. Duduk terpaku d. Bicara sendiri

14

e. Memandang satu arah f. Menyerang g. Tiba-tiba marah h. Gelisah

6. Faktor Penyebab Menurut Yosep ( 2009 ) penyebab halusinasi ada faktor predisposisi dan faktor presipitasi : 1) Faktor Predisposisi a. Faktor perkembangan Rendahnya kontrol dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentan terhadap stress. b. Faktor sosiokultural Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya. c. Faktor biokimia Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti Buffofenon dan Dimetytranferase(DMP). Akibat stress

15

berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter otak. Misalnya terjadi ketidak seimbangan acetylcholin dan dopamin. d. Faktor psikologis Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidak mampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam khayal. e. Faktor genetik dan pola asuh Anak sehat yang diasuh oleh orangtua skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini. 2) Faktor Presipitasi a. Dimensi fisik Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama. b. Dimensi emosional Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi.

16

c. Dimensi intelektual Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa klien dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan implus yang menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol semua perilaku klien. d. Dimensi sosial Klien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal dan comforting, klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi dialam nyata sangat membahayakan. Klien asyik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. e. Dimensi spiritual Secara spiritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri.

7. Proses Terjadinya Masalah Halusinasi ditinjau dari Penyebab Menarik diri mekanismenya, berdiam diri tidak ingin berinteraksi atau behubungan dengan orang lain, preokupasi dengan pikirannya sendiri yang akhirnya menimbulkan halusinasi.

17

Menurut Fitria (2009)tanda dan gejala Isolasi Sosial: menarik diri adalah sebagai berikut: a. Kurang spontan b. Apatis (acuh terhadap lingkungan) c. Ekspresi wajah kurang berseri d. Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri e. Tidak ada atau kurang komunikasi verbal f. Mengisolasi diri g. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitar h. Asupan makanan dan munuman terganggu i. Retensi urine dan feses j. Aktivitas menurun k. Kurang energi (tenaga) l. Rendah diri m. Sering tidur, posisi tidur klien seperti posisi tidur janin

8. Proses Terjadinya Masalah Halusinasi ditinjau dari Akibat Resiko menciderai diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Klien dengan halusinasi terjadi pengembangan untuk melakukan perilaku maladaptif. Menurut Fitria (2009) klien dengan perilaku kekerasan sering menunjukkan tanda dan gejala sebagai berikut :

18

a. Fisik Mata melotot atau pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku. b. Verbal Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan nada keras dan ketus. c. Perilaku Menyerang orang lain, melukai diri sendiri atau orang lain, merusak lingkungan, amuk atau agresif. d. Emosi Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam, jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan menuntut. e. Intelektual Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan tidak jarang mengeluarkan kata-kata bernada kasar. f. Sosial Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan sindiran. g. Spiritual Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral, dan kreativitas terhambat. h. Perhatian Bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan seksual.

19

9. Tahapan Proses Terjadinya Halusinasi Menurut Direja ( 2011 ) Halusinasi melalui empat fase , yaitu sebagai berikut : a. Fase 1 (Non-psikotik) Disebut juga dengan fase comporting yaitu fase yang menyenangkan. Pada tahap ini, halusinasi mampu memberikan rasa nyaman pada klien, tingkat orientasi sedang, secara umum pada tahap inihalusinasi merupakan hal yang menyenangkan bagi klien. 1) Karakteristik : Mengalami kecemasan, kesepian, rasa bersalah, dan ketakutan.

Mencoba

berfokus

pada

pikiran

yang

dapat

menghilangkan kecemasan. Pikiran dan pengalaman sensorik masih ada dalam kontrol kesadaran. 2) Perilaku

yang

muncul

:

Tersenyum

atau

tertawa

sendiri,

menggerakan bibir tanpa suara, pergerakan mata yang cepat respon verbal lambat, diam, dan berkonsentrasi. b. Fase 2 (Non-psikotik) Disebut dengan fase condemming atau ansietas berat yaitu halusinasi menjadi menjijikkan. 1) Karakteristik :

Pengalaman sensori menakutkan, kecemasan

meningkat, melamun dan berfikir sendiri jadi dominan. Mulai dirasakan ada bisikan yang tidak jelas. Klien tidak ingin orang lain tahu dan ia tetap dapat mengontrolnya.

20

2) Perilaku yang muncul : Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan, dan tekanan darah, perhatian terhadap lingkungan menurun, konsentrasi terhadap pengalaman sensoripun menurun, kehilangan kemampuan dalam membedakan antara halusinasi dan realita. c. Fase 3 (Psikotik) Disebut dengan fase controlling dimana klien biasanya tidak dapat mengontrol dirinya sendiri, tingkat kecemasan berat, dan halusinasi tidak dapat ditolak lagi. 1) Karakteristik : Klien menyerah dan menerima pengalaman sensorinya, isi halusinasi menjadi atraktif, klien menjadi kesepian bila pengalaman sensori berakhir. 2) Perilaku yang muncul : Klien menuruti perintah halusinasi, sulit berhubungan dengan orang lain, perhatian terhadap lingkungan sedikit atau sesaat, tidak mampu mengikuti perintah yang nyata, klien tampak tremor dan berkeringat. d. Fase 4 (Psikotik) Disebut juga dengan fase conquering atau panik, klien sudah sangat dikuasai oleh halusinasi dan biasanya klien terlihat panik. 1) Karakteristik

:halusinasinya

berubah

menjadi

mengancam,

memerintah, dan memarahi klien. Klien menjadi takut, tidak berdaya, hilang kontrol, dan tidak dapat berhubungan secara nyata dengan orang lain di lingkungan.

21

2) Perilaku yang muncul :perilaku teror akibat panik, potensi bunuh diri, perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri atau katatonik, tidak mampu merespon terhadap perintah kompleks, dan tidak mampu berespon lebih dari satu orang.

B. Konsep Asuhan Keperawatan 1. Pengertian Asuhan Keperawatan adalah kegiatan profesional perawat dinamis, membutuhkan kreativitas dan berlaku rentang kehidupan dan keadaan. Adapun tahap dalam melakukan keperawatan itu yaitu : pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana, implementasi, evaluasi. (Universitas Pembangunan Nasional Veteran, 2006)

2. Pengkajian Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan atau masalah klien (Damaiyanti & Iskandar, 2012). Pengkajian keperawatanmeliputi: 1) Identitas a) Identitas klien meliputi: nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan, suku/bangsa, tanggal masuk, tanggal pengkajian, nomor rekam medik, diagnosa medik, ruang rawat dan alamat.

22

b) Identitas penanggung jawab meliputi: nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, agama, hubungan dengan klien dan alamat. 2) Alasan masuk dan faktor presipitasi Faktor pencetus yaitu stresor, sosial budaya dan biokimia. Stres dan kecemasan akan meningkat bila terjadi penurunan stabilitas keluarga, perpisahan dari orang yang penting atau diasingkan dari kelompok. Stres dan kecemasan akan merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogen dan faktor psikologis dimana intensitas yang ekstrim dan memanjang disertai terbatasnya kemampuan menangani masalah kemungkinan berkembangnya orientasi realitas dan klien biasanya mengembangkan koping untuk menghindari kenyataan yang tidak menyenangkan. Pasien dengan halusinasi biasanya berawal dari tindakan menghindarkan diri dari interaksi masyarakat. Dari tindakan tersebut menyebabkan pasien dengan halusinasi merasakan kejenuhan. Faktor pencetus yang lain (Stuart & Sundeen,1998) diantaranya adalah faktor kesehatan seperti kurang tidur dan kelelahan, lingkungan seperti kurangnya kebebasan hidup, dukungan sosial, tekanan kerja.Faktor pencetus yang biasanya tejadi adalah sikap dan perilaku, merasa tidak mampu, putus asa, merasa gagal, kehilangan kendali diri, merasa punya kekuatan berlebih dengan gejala tersebut, merasa malang tidak dapat memenuhi kebutuhan spiritual, bertindak seperti orang lain dari segi usia maupun kebudayaan, rendahnya kemampuan sosialisasi, perilaku agresif, perilaku kekerasan.

23

3) Faktor Predisposisi Faktor pendukung terjadinya halusinasi bisa disebabkan karena faktor genetik, dimana sebagian besar pasien halusinasi mempunyai riwayat keturunan dari keluarganya. Faktor pendukung lain adalah faktor neurologis, dimana kortek prefrontal dan limbik pada skizofrenia tidak pernah berkembang penuh. Ditemukan juga pada klien skizofrenia terjadi penurunan volume dan fungsi otak yang abnormal, sehingga hal ini menyebabkan pasien dengan halusinasi mengalami gangguan pada pencerapan indera karena ada saraf otak yang terganggu. 4) Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik pada klien dengan skizofrenia dilakukan dengan pendekatan persistem meliputi: a) Sistem integumen: terdapat gangguan kebersihan kulit, tampak kotor, terdapat bau badan, hal ini disebabkan kurangnya minat terhadap perawatan diri dari perilaku menarik diri. b) Sistem saraf: kemungkinan terdapat gejala ekstra piramidal seperti tremor, kaku dan lambat. Hal ini akibat dari efek samping obat anti psikotik. c) Sistem

penginderaan:

ditemukan

adanya

halusinasi

dengar,

penglihatan, penciuman, raba, pengecapan. Karena klien mengalami gangguan afeksi dan kognisi sehingga tidak mampu untuk membedakan stimulus internal dan eksternal akibat kecemasan yang meningkat.

24

d) Pemeriksaan tanda vital klien, meliputi: tekanan darah, denyut nadi, respirasidan suhu klien. 5) Aspek psikologis, sosial dan spiritual a) Aspek Psikologis (1) Genogram: berisi tentang struktur keluarga dengan minimal tiga generasi. (2) Konsep diri (a) Citra tubuh: Klien dengan halusinasi masih memperhatikan penampilan tubuhnya, jika halusinasi disebabkan karena harga diri rendah, biasanya pasien acuh tak acuh pada penampilannya. (b) Identitas diri: meliputi status dan posisi klien di keluarga dan kepuasansebagai laki-laki/ perempuan. (c) Peran diri: meliputi peran yang diemban oleh klien di keluarga dan lingkungannya. (d) Ideal diri: persepsi individu tentang bagaimana ia harus berperilaku sesuai standar pribadi. (e) Harga diri: penilaian diri terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal diri. b) Aspek sosial Klien skizofrenia dengan halusinasi biasanya bersifat curiga dan bermusuhan, menarik diri, menghindar dari orang lain, mudah

25

tersinggung sehingga klien mengalami kesukaran untuk berinteraksi dengan orang lain. c) Aspek spiritual Meliputi nilai dan keyakinan yaitu pandangan dan keyakinan klien terhadap gangguan jiwa, pandangan masyarakat tentang gangguan jiwa, kegiatan ibadah yaitu kegiatan ibadah individu dan keluarga di rumah dan pendapat klien tentang kegiatan ibadahserta pendapat klien tentang kondisinya berhubungan dengan agama yang dianutnya. 6) Status mental a) Penampilan klien dengan halusinasi tidak mengalami penyimpangan pada penampilannya. Klien ini terkadang tak terlihat jika mengalami gangguan jiwa, sebab halusinasi tidak setiap saat muncul. b) Pembicaraan Pembicaraan klien dengan halusinasi biasanya cepat dan terjadi inkoherensi. c) Aktivitas motorik Klien biasanya terlihat lesu, sering tiduran di tempat tidur, tegang, gelisah jika pasien tersebut mengalami gangguan isolasi sosial juga . Jika pasien halusinasi tanpa disertai isolasi sosial biasanya aktivitas pasien tak mengalami gangguan.

26

d) Alam perasaan Apakah klien terlihat sedih, gembira berlebihan, putus asa, ketakutan, khawatir. Pada klien skizofrenia biasanya ketakutan e) Afek Apakah afek klien datar, tumpul labil atau tidak sesuai. Biasanya klien dengan skizofrenia, afek klien labil, kadang-kadang tumpul dan tidak sesuai. f) Interaksi selama wawancara Apakah klien kooperatif, bermusuhan, kontak mata kurang. g) Persepsi Persepsi ini meliputi persepsi mengenai pendengaran, penglihatan, pengecap, penghidu, peraba, cenestetik, maupun kinestetik. Klien dengann halusinasi perlu dikaji lebih dalam tentang halusinasinya mengenai jenis, isi, frekuensi, waktu, situasidan respon pasien saat terjadi halusinasi. h) Isi pikir Kadang-kadang ada ide yang tidak realistik seperti waham. i) Proses pikir Apakah pembicaraan klien mengalami sirkumtantial, tangensial, kehilangan asosiasi, flight of idea dan blocking. j) Tingkat kesadaran Apakah klien mampu mengingat kejadian saat ini, kejadian yang baru saja terjadi dan kejadian masa lalu. Pasien dengan masalah

27

halusinasi biasanya sadar, tak mengalami gangguan tingkat kesadaran. k) Tingkat konsentrasi dan berhitung Biasanya klien kurang

memusatkan perhatian dan konsentrasi

karena tenggelam dalam halusinasinya. Pada umumnya kemampuan berhitung klien dengan halusinasi masih baik. l) Kemampuan penilaian Klien tidak mengalami kesulitan dalam menyelesaikan masalah, klien mampu mengambil keputusan dengan tepat. m) Daya tilk diri Klien biasanya mengetahui alasan masuknya dibawa ke rumah sakit. 7) Kebutuhan Persiapan Pulang Meliputi dengan siapa klien tinggal sepulang di rumah sakit, rencana klien berkaitan dengan minum obat dan kontrol, pekerjaan yang dilakukan, aktivitas untuk mengisi waktu luang serta sumber biaya, adanya orang-orang yang menjadi support system bagi klien dan tempat rujukan perawatan atau pengobatan. 8) Mekanisme koping Pada pasien dengan skizofrenia perlu dikaji mekanisme koping yang digunakan klien sebelum pasien masuk rumah sakit maupun mekanisme koping pasien selama menghadapi masalah di rumah sakit jiwa.

28

9) Masalah psikososial dan lingkungan Perlu dikaji seperti apa masalah psikososial dan masalah pasien di lingkungannya, apakah pasien sering bermasalah dengan orang di sekitarnya. 10) Pengetahuan klien Pengetahuan klien perlu dikaji untuk mengetahui seberapa jauh pasien mengenal penyakitnya. Hal ini juga digunakan untuk merencanakan kegiatan atau tindakan selanjutnya. 11) Aspek Medik Pada klien skizofrenia dengan halusinasi biasanya mendapatkan obat-obat anti psikosis seperti: Haloperidol, Clorpromazine, dan anti kolinergik seperti Triheksifenidil serta Electro Convulsive Therapy (ECT).

29

3. Pohon masalah Pohon masalah gangguan persepsi sensori : halusinasi menurut Keliat (2006) Resiko perilaku menciderai diri

Akibat

Masalah

Gangguan pemeliharaan kesehatan

Gangguan sensori/persepsi: halusinasi pendengaran

utama

Isolasi sosial : menarik diri

Penyebab

Defisit perawatan diri mandi & berhias

Gangguan konsep diri : harga diri rendah kronis

Gambar 2.2 Pohon Masalah

4. Diagnosa Keperawatan Menurut Fitria (2009) diagnosa keperawatan yang mungkin muncul diantaranya : a) Resiko perilaku menciderai diri berhubungan dengan halusinasi pendengaran. b) Gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran berhubungan dengan menarik diri.

30

c) Isolasi sosial:menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah kronis. d) Gangguan pemeliharaan kesehatan berhubungan dengan deficit perawatan diri: mandi dan berhias.

5. IntervensiKeperawatan Adapun intervensi keperawatan untuk empat masalah gangguan jiwa menurut Wardiyah & Iskandar(2012) adalah: a. Fokus intervensi resiko perilaku kekerasan Tujuan

umumnya

adalah

klien

tidak

melakukan

tindakan

kekerasan.Tujuan khusus pertama adalah klien dapat membina hubungan saling percaya. Kriteria evaluasi: klien mau membalas salam, klien mau berjabat tangan, klien mau menyebutkan nama, klien mau kontak mata, klien mau mengetahui nama perawat.

Klien mau

menyediakan waktu untuk kontak. Intervensinya adalah beri salam dan panggil nama klien. Sebutkan nama perawat sambil berjabat tangan. Jelaskan maksud hubungan interaksi. Jelaskan tentang kontrak yang akan dibuat. Beri rasa aman dan sikap empati. Lakukan kontak singkat tapi sering. Rasional: hubungan saling percaya merupakan landasan utama untuk hubungan selanjutnya. Tujuan khusus kedua adalah klien dapat mengidentifikasi penyebab

perilaku

kekerasan.

Kriteria

evaluasi:

klien

dapat

31

mengungkapkan perasaannya, klien dapat mengungkapkan penyebab perasaan jengkel/kesal (dari diri sendiri, lingkungan dan orang lain). Intervensinya adalah beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya. Bantu klien untuk mengungkap perasaannya. Rasional: dengan memberi kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya membantu mengurangi stres dan penyebab perasaan jengkel dapat diketahui. Tujuan khusus ketiga adalah klien

dapat mengidentifikasi

tanda-tanda perilaku kekerasaan. Kriteria evaluasi: klien dapat mengungkapkan perasaan saat marah atau jengkel, klien dapat menyimpulkan tanda-tanda jengkel/kesal yang dialami. Intervensinya adalah anjurkan klien mengungkapkan yang dialami saat marah/jengkel, rasional: untuk mengetahui hal-hal yang dialami dan dirasakan saat jengkel. Observasi tanda-tanda perilaku kekerasan pada klien, rasional: untuk mengetahui tanda-tanda klien saat jengkel/ marah. Simpulkan bersama klien tanda-tanda klien saat jengkel/marah yang dialami, rasional: menarik kesimpulan bersama klien supaya mengetahui secara garis besar tanda-tanda marah/jengkel. Tujuan khusus keempat adalah kliendapatmengidentifikasi perilaku kekerasaan yang biasa dilakukan. Kriteria evaluasi: klien dapat mengungkapkan perilaku kekerasan yang dilakukan, klien dapat bermain peran dengan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan, klien

32

dapat mengetahui cara yang biasa dapat menyelesaikan masalah atau tidak. Intervensinya adalah anjurkan klien mengungkapkan perilaku kekerasaan yang biasa dilakukan klien, rasional: mengeksplorasi perasaan klien terhadap perilaku kekerasan yang

biasa dilakukan.

Bantu klien dapat bermain peran dengan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan, rasional: untuk mengetahui perilaku kekerasan yang biasa dilakukan dan dengan bantuan perawat bisa membedakan perilaku konstruktif dan destruktif. Bicarakan dengan klien apakah dengan cara yang klien lakukan masalahnya selesai, rasional: dapat membantu klien dalam menemukan cara yang dapat menyelesaikan masalah. Tujuan khusus kelima adalah klien dapat mengidentifikasi akibat

perilaku

kekerasan.

Kriteria

evaluasi:

klien

dapat

mengungkapkan akibat dari cara yang dilakukan klien. Intervensinya adalah bicarakan akibat kerugian dari cara yang dilakukan klien, rasional: membantu klien menilai perilaku kekerasan yang biasa dilakukannya. Bersama klien menyimpulkan akibat cara yang dilakukan oleh klien, rasional: dengan mengetahui akibat perilaku kekerasan diharapkan klien merubah perilaku destruktif yang dilakukan menjadi perilaku konstruktif. Tanyakan pada klien apakah ia ingin mempelajari cara baru yang sehat, rasional: agar klien mengetahui cara lain yang lebih konstruktif.

33

Tujuan khusus keenam adalah klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam berespons terhadap kemarahan secara konstruktif. Kriteria evaluasi: klien dapat melakukan cara berespons terhadap kemarahan secara konstruktif. Intervensinya adalah tanyakan pada klien apakah ia ingin mempelajari cara baru yang sehat, rasional: dengan mengidentifikasi cara konstruktif dalam berespons terhadap kemarahan dapat membantu klien menemukan cara yang baik untuk mengurangi kejengkelannya sehingga klien tidak stres lagi. Beri pujian jika klien menemukan cara yang sehat, rasional: reinforcement positif dapat memotivasi dan meningkatkan harga dirinya. Diskusikan dengan klien cara lain yang sehat, secara fisik: tarik nafas jika sedang marah/jengkel, memukul benda/kasur atau olah raga atau pekerjaan yang menguras tenaga, secara verbal : bahwa anda sedang kesal, tersinggung/jengkel (saya kesal anda berkata seperti itu, saya marah karena mama tidak memenuhi keinginan saya), secara sosial: lakukan dalam kelompok cara-cara marah yang sehat, latihan asertif, latihan manajemen perilaku kekerasan,secara spiritual: anjurkan klien sembahyang, berdo’a/ibadah, meminta kepada Tuhan untuk diberi kesabaran. Rasional: berdiskusi dengan klien untuk memilih cara yang lain sesuai dengan kemampuan klien. Tujuan khusus ketujuh adalah klien dapat mengontrol perilaku kekerasan. Kriteria evaluasi:

klien dapat

mengontrol perilaku

kekerasan, misalnya cara fisik: tarik nafas olah raga dan menyiram

34

tanaman, verbal: mengatakan secara langsung dengan tidak menyakiti, dan spiritual: sembahyang, berdo’a/ibadah yang lain. Intervensinya adalah bantu klien memilih cara yang tepat untuk klien, rasional: memberikan stimulasi kepada klien untuk menilai respons perilaku kekerasan secara tepat. Bantu klien mengidentifikasi manfaat cara yang dipilih, rasional: membantu klien membuat keputusan untuk memilih cara yang akan digunakan dengan melihat manfaatnya. Bantu klien menstimulasi cara tersebut (role play), rasional: agar klien mengetahui cara marah yang konstruktif. Berikan reinforcement

positif

atas

keberhasilan klien menstimulasi cara

tersebut, rasional: pujian dapat meningkatkan motivasi dan harga diri klien. Anjurkan klien menggunakan

cara

yang

telah dipilihnya

jika ia sedang kesal atau jengkel, rasional: agar klien menggunakan cara yang telah dipilihnya jika ia sedang kesal atau jengkel. Tujuan khusus kedelapan adalah klien mendapat dukungan keluarga dalam mengontrol perilaku kekerasan. Kriteria evaluasi: keluargadapat menyebutkan cara merawat klien dengan perilaku kekerasan, keluarga klien merasa puas dalam merawat klien. Intervensinya adalah identifikasi kemampuan keluarga merawat klien dari sikap apa yang telahd ilakukan keluarga terhadap klien selama ini, rasional: kemampuan keluarga dalam mengidentifikasi akan memungkinkan keluarga untuk melakukan penilaian terhadap perilaku kekerasan. Jelaskan peran serta keluarga dalam perawatan klien,

35

rasional: meningkatkan pengetahuan keluarga tentang cara merawat klien sehingga keluarga terlibat dalam perawatan klien. Jelaskan caracara merawat klien, terkait dengan cara mengontrol perilaku marah secara konstruktif, sikap tenang bicara tenang dan jelas, membantu klien mengenal penyebab marah, rasional: agar dapat merawat klien dengan perilaku kekerasam klien. Bantu keluarga mendemonstrasikan cara merawat klien, rasional: agar keluarga mengetahui cara merawat klien melalui demonstrasi yang dilihat oleh keluarga secara langsung. Bantu keluarga mengungkapkan perasaannya setelah melakukan demonstrasi, rasional: mengeksplorasi perasaan keluarga setelah melakukan demonstrasi. Tujuan khusus kesembilan adalah klien dapat menggunakan obat dengan benar (sesuai program pengobatan). Kriteria evaluasi: klien dapat menyebutkan obat-obatan yang diminum dan kegunaannya (jenis, waktu, dosis dan efek), klien dapat minum obat sesuai dengan program. Intervensinya adalah jelaskan jenis-jenis obat yang diminum klien dan keluarga, rasional: klien dapat mengetahui nama-nama obat yang diminum oleh klien. Diskusikan manfaat minum obat dan kerugian berhenti minum obat tanpa izin dokter, rasional: klien dan keluarga dapat mengetahui obat yang dikonsumsi oleh klien. b. Fokus intervensi perubahan persepsi sensori: halusinasi Tujuan umumnya adalah klien tidak menciderai diri, orang lain, dan lingkungan.

36

Tujuan khusus pertama adalah klien dapat membina hubungan saling percaya. Kriteria hasil: klien menunjukkan tanda – tanda percaya kepada perawat: ekspresi wajah bersahabat, menunjukkan rasa senang, ada kontak mata, mau berjabat tangan, mau menyebutkan nama, mau menjawab salam, mau duduk berdampingan dengan perawat, bersedia mengungkapkan masalah yang dihadapi. Intervensinya adalah bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik: sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal, perkenalkan nama, nama panggilan dan tujuan perawat berkenalan, tanyakan nama lengkap dan nama panggilan yang disukai klien, buat kontrak yang jelas, tunjukkan sikap jujur dan menepati janji setiap kali interaksi, tunjukan sikap empati dan menerima apa adanya, beri perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar klien, tanyakan perasaan klien dan masalah yang dihadapi klien, dengarkan dengan penuh perhatian ekspresi perasaan klien. Rasional: hubungan saling percaya mempermudah interaksi berikunya. Tujuan

khusus

kedua

adalah

klien

dapat

mengenal

halusinasinya. Kriteria hasil: klien menyebutkanisi, waktu, frekuensi, situasi dan kondisi yang menimbulkan halusinasi. Klien menyatakan perasaan dan responnya saat mengalami halusinasi: marah, takut, sedih, senang, cemas, jengkel.

37

Intervensinya adalah adakan kontak sering dan singkat secara bertahap. Observasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasinya (dengar /lihat /penghidu /raba /kecap), jika menemukan klien yang sedang halusinasi:

tanyakan

apakah

klien

mengalami

sesuatu

(halusinasi dengar/ lihat/ penghidu /raba/ kecap ), jika klien menjawab ya, tanyakan apa yang sedang dialaminya, katakan bahwa perawat percaya klien mengalami hal tersebut, namun perawat sendiri tidak mengalaminya

(dengan

nada

bersahabat

tanpa

menuduh

atau

menghakimi), katakan bahwa ada klien lain yang mengalami hal yang sama, katakan bahwa perawat akan membantu klien. Jika klien tidak sedang berhalusinasi klarifikasi tentang adanya pengalaman halusinasi, diskusikan dengan klien : isi, waktu dan frekuensi terjadinya halusinasi (pagi, siang, sore, malam atau sering dan kadang-kadang ), situasi dan kondisi yang menimbulkan atau tidak menimbulkan halusinasi. Diskusikan dengan klien apa yang dirasakan jika terjadi halusinasi dan beri

kesempatan

untuk

mengungkapkan

perasaannya.Diskusikan

dengan klien apa yang dilakukan untuk mengatasi perasaan tersebut. Diskusikan tentang dampak yang akan dialaminya bila klien menikmati halusinasinya, rasional: dengan mengenal halusinasi akan memudahkan pemberian intervensi kepada klien. Tujuan

khusus

ketiga

adalah

klien

dapat

halusinasinya. Kriteria hasil: klien menyebutkan biasanya

dilakukan

untuk

mengendalikan

mengontrol

tindakan yang

halusinasinya,

klien

38

menyebutkan memilih

cara

dan

baru

mengontrol

memperagakan

cara

halusinasi,

klien

mengatasi

dapat

halusinasi

(dengar/lihat/penghidu/raba/kecap), klien melaksanakan cara yang telahdipilih untuk mengendalikan halusinasinya, klien mengikuti terapi aktivitas kelompok. Intervensinya adalah identifikasi bersama klien cara atau tindakan yang dilakukan jika terjadi halusinasi (tidur, marah, menyibukan diri). Diskusikan cara yang digunakan klien, jika cara yang digunakan adaptif beri pujian, jika cara yang digunakan maladaptif diskusikan kerugian cara tersebut. Diskusikan cara baru untuk memutus/ mengontrol timbulnya halusinasi: katakan pada diri sendiri bahwa ini tidak nyata (“saya tidak mau dengar/ lihat/ penghidu/ raba/kecap pada saat halusinasi terjadi), menemui orang lain (perawat/teman/anggota

keluarga)

untuk

menceritakan

tentang

halusinasinya, membuat dan melaksanakan jadwal kegiatan sehari hari yang telah di susun, meminta keluarga/teman/ perawat menyapa jika sedang berhalusinasi. Bantu klien memilih cara yang sudah dianjurkan dan latih untuk mencobanya. Beri kesempatan untuk melakukan cara yang dipilih dan dilatih. Pantau pelaksanaan yang telah dipilih dan dilatih, jika berhasil beri pujian. Anjurkan klien mengikuti terapi aktivitas kelompok, orientasi realita, stimulasi persepsi, rasional: kontrol halusinasi dapat mengurangi ansietas pada halusinasi.

39

Tujuan khusus keempat adalah Klien dapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol halusinasinya. Kriteria hasil: keluarga menyatakan setuju untuk mengikuti pertemuan dengan perawat, keluarga menyebutkan pengertian, tanda dan gejala, proses terjadinya halusinasi dan tindakan untuk mengendalikan halusinasi. Intervensinya adalah buat kontrak dengan keluarga untuk pertemuan (waktu, tempat dan topik ). Diskusikan dengan keluarga (pada saat pertemuankeluarga/kunjungan rumah): pengertian halusinasi, tanda dan gejala halusinasi, proses terjadinya halusinasi, cara yang dapat dilakukan klien dan keluarga untuk memutus halusinasi, obatobatan halusinasi, cara merawat anggota keluarga yang halusinasi di rumah (beri kegiatan, jangan biarkan sendiri, makan bersama, bepergian bersama, memantau obat–obatan dan cara pemberiannya untuk mengatasi halusinasi). Beri informasi waktu kontrol ke rumah sakit dan bagaimana cara mencari bantuan jika halusinasi tidak tidak dapat diatasi di rumah. Rasional: dukungan keluarga dapat menjadi motivasi kesembuhan klien. Tujuan khusus kelima adalah klien dapat memanfaatkan obat dengan baik. Kriteria hasil: klien menyebutkan manfaat minum obat, kerugian tidak minum obat, nama, warna, dosis, efek terapi dan efek samping obat, klien mendemontrasikan penggunaan obat dgn benar, klien menyebutkan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi dokter.

40

Intervensinya adalah diskusikan dengan klien tentang manfaat dan kerugian tidak minum obat, nama , warna, dosis, cara , efek terapi dan efek samping penggunan obat. Pantau klien saat penggunaan obat. Beri pujian jika klien menggunakan obat dengan benar. Diskusikan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi dengan dokter. Anjurkan klien untuk konsultasi kepada dokter/perawat jika terjadi hal-hal yang tidak

diinginkan.

Rasional:

penggunaan

obat

secara

teratur

mempercepat kesembuhan klien. c. Fokus intervensi isolasi sosial: menarik diri yaitu: Tujuan umumnya adalah klien dapat berinteraksi dengan orang lain. Tujuan khusus pertama adalah klien dapat membina hubungan saling percaya. Kriteria hasil:wajah cerah, tersenyum, mau berkenalan, ada

kontak

mata,

bersedia

menceritakan

perasaan,

bersedia

mengungkapkan masalahnya. Intervensinya adalah bina hubungan saling percaya dengan:beri salam setiap interaksi, perkenalkan nama, nama panggilan perawat dan tujuan perawat berkenalan, tanyakan dan panggil nama kesukaan klien, tunjukkan sikap jujur dan menepati janji setiap kali berinteraksi, tanyakan perasaan klien dan masalah yang dihadapi klien, buat kontrak interaksi yang jelas, dengarkan dengan penuh perhatian ekspresi perasaan klien.

41

Tujuan khusus kedua adalah klien mampu menyebutkan penyebab menarik diri. Kriteria hasil: dapat menyebutkan minimal satu penyebab menarik diri dari diri sendiri, orang lain atau lingkungan. Intervensinya adalahtanyakan pada klien tentang:orang yang tinggal serumah/ teman sekamar klien, orang yang paling dekat dengan klien dirumah atau di ruang perawatan, apa yang membuat klien dekat dengan orang tersebut, orang yang tidak dekat dengan klien di rumah atau di ruang perawatan, apa yang membuat klien tidak dekat dengan orang tersebut, upaya yang sudah dilakukan agar dekat dengan orang lain. Diskusikan dengan klien penyebab menarik diri atau tidak mau bergaul dengan orang lain.Beri pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaannya. Tujuan khusus ketiga adalah klien mampu menyebutkan keuntungan berhubungan sosial dan kerugian menarik diri.Kriteria hasil:klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan sosial, misalnya banyak teman, tidak kesepian, bisa diskusi, saling menolong, klien dapat menyebutkan kerugian menarik diri misalnya sendiri, kesepian, tidak bisa diskusi. Intervensinya adalahtanyakan pada klien tentang manfaat hubungan sosial dan kerugian menarik diri.Diskusikan bersama klien tentang manfaat berhubungan sosial dan kerugian menarik diri.Beri pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaanya.

42

Tujuan khusus keempat adalah klien dapat melaksanakan hubungan

sosial

secara

bertahap.

Kriteria

hasil:klien

dapat

melaksanakan hubungan sosial secara bertahap dengan perawat, perawat lain, klien lain dan kelompok. Intervensinya adalah observasi perilaku klien saat berhubungan sosial. Beri motivasi dan bantu klien untuk berkenalan atau berkomunikasi dengan perawat lain, klien lain, kelompok.Libatkan klien dalam terapi aktivitas kelompok sosialisasi. Diskusikan jadwal harian yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan klien bersosialisasi. Beri motivasi klien untuk melakukan kegiatan sesuai dengan jadwal yang telah dibuat. Beri pujian terhadap kemampuan klien memperluas pergaulannya melalui aktivitas yang dilaksanakan. Tujuan khusus kelima adalah klien mampu menjelaskan perasaannya setelah berhubungan sosial. Kriteria hasil:klien dapat menjelaskan perasaanya setelah berhubungan sosial dengan orang lain dan kelompok. Intervensinya adalahdiskusikan dengan klien tentang perasaanya setelah berhubungan sosial dengan orang lain dan kelompok. Beri pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaannya. Tujuan khusus keenam adalah klien mendapat dukungan keluarga dalam memperluas hubungan sosial. Kriteria hasil:keluarga dapat menjelaskan tentang pengertian menarik diri, tanda dan gejala menarik diri, penyebab dan akibat menarik diri dan cara merawat klien

43

menarik diri. Keluarga dapat mempraktekkan cara merawat klien menarik diri. Intervensinya adalah diskusikan pentingnya peran serta keluarga sebagai pendukung untuk mengatasi perilaku menarik diri. Diskusikan potensi keluarga untuk membantu klien mengatasi perilaku menarik diri. Jelaskan pada keluarga tentang pengertian menarik diri, tanda dan gejala menarik diri, penyebab dan akibat menarik diri, cara merawat klien menarik diri. Latih keluarga cara merawat klien menarik diri. Tanyakan perasaan keluarga setelah mencoba cara yang dilatihkan. Beri motivasi keluarga agar membantu klien untuk bersosialisasi. Beri pujian kepada keluarga atas keterlibatannya merawat klien dirumah sakit. Tujuan khusus ketujuh adalah klien dapat memanfaatkan obat dengan baik. Kriteria hasil: klien menyebutkan manfaat minum obat, kerugian tidak minum obat, dan nama, warna, dosis, efek samping dan efek terapi obat. Klien mendemonstrasikan penggunaan obat dengan benar. Klien menyebutkan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi dokter. Intervensinya adalah diskusikan dengan klien tentang manfaat dan kerugian tidak minum obat, nama, warna, dosis, cara, efek terapi, dan efek samping penggunaan obat. Pantau klien saat penggunaan obat. Beri pujian jika klien menggunakan obat dengan benar. Diskusikan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi dengan dokter. Anjurkan

44

klien untuk konsultasi kepada dokter / perawat jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. d. Fokus intervensi gangguan konsep diri: harga diri rendah. Tujuan umumnya adalah klien dapat berhubungan dengan orang lain secara optimal. Tujuan khusus pertama adalah klien dapat membina hubungan saling percaya. Kriteria evaluasi: ekspresi wajah klien bersahabat, menunjukkan rasa tenang dan ada kontak mata, mau berjabat tangan dan mau menyebutkan nama, mau menjawab salam dan mau duduk berdampingan dengan perawat, mau mengutarakan masalah yang dihadapi. Intervensinya adalah bina hubungan saling percaya dengan mengungkapkan prinsip komunikasi therapeutic : sapa klien dengan ramah dan baik secara verbal dan non verbal, perkenalkan diri dengan sopan, tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien, jelaskan tujuan pertemuan, jujur dan menepati janji, tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya, beri perhatian pada klien dna perhatikan kebutuhan dasar klien. Rasional: hubungan saling percaya merupakan dasar untuk kelancaran hubungan interaksi selanjutnya. Tujuan khusus kedua adalah klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.

45

Intervensinya adalah diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien, rasional: mendiskusikan tingkat kemampuan klien seperti menilai realitas, kontrol diri atau integritas ego diperlukan sebagai dasar asuhan keperawatannya. Setiap bertemu hindarkan dari memberi

nilai

negatif,

rasional:

reinforcement

positif

akan

meningkatkan harga diri klien. Usahakan memberin pujian yang realistis, rasional: pujian yang realistis tidak menyebabkan klien melakukan kegiatan hanya karena ingin mendapatkan pujian. Tujuan khusus ketiga adalah klien dapat menilai kemampuan yang digunakan. Kriteria evaluasi: klien menilai kriteria yang dapat digunakan. Intervensinya adalah diskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat dilakukan dalam sakit, rasional:

keterbukaan dan

pengertian tentang kemampuan yang dimiliki adalah prasarat untuk berubah. Diskusikan kemampuan yang masih dapat dilanjutkan penggunaannya, rasional: pengertian tentang kemampuan yang masih dimiliki

klien

memotivasi

untuk

tetap

mempertahankan

penggunaannya. Tujuan khusus keempat adalah klien dapat merencanakan kegiatan dengan kemampuan yang dimiliki. Kriteria evaluasi: klien membuat rencana kegiatan harian. Intervensinya adalah rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai dengan kemampuan: kegiatan

46

mandiri,

kegiatan

dengan

bantuan

sebagaian,

kegiatan

yang

membutuhkan bantuan total, rasional: membentuk individu yang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien, rasional: klien perlu bertindak secara realistis dalam kehidupannya. Beri contoh pelaksanaan kegiatan yang boleh dilakukan klien, rasional: contoh perilaku yang dilihat klien akan memotivasi klien untuk melaksanakan kegiatan. Tujuan khusus kelima adalah klien dapat melaksanakan kegiatan yang boleh dilakukan. Kriteria evaluasi: klien melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit dan kemampuannya. Intervensinya adalah beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah direncanakan, rasional: memberikan kesempatan kepada klien mandiri dapat meningkatkan motivasi dan harga diri klien. Beri pujian atas keberhasilan klien, rasional: reinforcement positif dapat meningkatkan harga diri klien. Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah, rasional: memberikan kesempatan kepada klien untuk tetap melakukan kegiatan yang biasa dilakukan. Tujuan khusus keenam adalah klien dapat memanfaatkan system pendukung yang ada di keluarga. Kriteria evaluasi: klien memanfaatkan system pendukung yang ada di keluarga. Intervensinya adalah beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien dengan harga diri rendah, rasional: mendorong keluarga untuk mampu merawat klien mandiri di rumah.

47

Bantu keluarga memberikan dukungan selama klien dirawat, rasional: support

system

keluarga

akan

sangat

mempengaruhi

dalam

mempercepat proses penyembuhan klien. Bantu keluarga menyiapkan lingkungan rumah, rasional: meningkatkan peran serta keluarga dalam merawat klien di rumah.

6. Implementasi Keperawatan Implementasi tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan. Tindakan yang dilakukan bertujuan untuk membantu individu dalam memenuhi kebutuhannya yang tidak dapat dipenuhi sendiri, mengarahkan atau membantu mengatasi permasalahan yang dihadapinya (Herman, 2011). Sebelum melaksanakan tindakan yang sudah direncanakan, perawat perlu memvalidasi dengan singkat, apakah rencana tindakan masih sesuai dan dibutuhkan klien saat ini.

7. Evaluasi Keperawatan Evaluasi adalah proses berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan terus menerus pada respons klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Evaluasi dibagi dua, yaitu evaluasi proses atau formatif yang dilakukan setiap selesai melakukan tindakan, evaluasi hasil atau sumatif yang dilakukan dengan membandingkan antara respons klien dan tujuan khusus

48

serta umum yang telah ditentukan (Herman, 2011). Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP sebagai pola pikir. S : Respon subyektif klien terhadap intervensi yang dilaksanakan. O : Respon obyektif klien terhadap intervensi yang dilaksanakan. A : Analisa

ulang

atas

data

subyektif

dan

obyektif

untuk

menyimpulkanapakah masalah masih tetap, sudah teratasi, atau ada masalah baru dan ada data yang kontradiksi dengan masalah yang ada. P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa pada respon klien.

C. Terapi Psikoreligius 1. Pengertian Psikoreligius Terapi psikoreligius adalah terapi yang biasanya melalui pendekatan keagamaan yang dianut oleh klien dan cenderung untuk menyentuh sisi spiritual manusia.(Fanada, 2012)

2. Jenis Terapi Psikoreligius Salah satu bentuk terapi psikoreligius antara lain Terapi Shalat dan Zikir. Dalam terapi shalat ini semua gerakan, sikap dan perilaku dalam shalat dapat melemaskan otot yang kaku, mengendorkan tegangan sistem saraf, menata dan mengkonstrusi persendian tubuh, sehinga dapat meningkatkan dampak positif terhadap kesehatan syaraf dan tubuh. Zikir

49

yang dihafalkan secara baik dan benar sesuai aturan dalam ilmu tajwid dan dipahami arti dan dihayati maknanya disertai dengan kesungguhan. ( Fanada, 2012) a. Terapi Shalat Terapi shalat adalah terapi psikoreligius dengan pendekatan keagamaan berupa doa dan gerakan shalat

yang bertujuan untuk

mendekatkan diri kepada Allah. Gerakan – gerakan shalat merupakan gerakan – gerakan teratur yang dilakukan sedikitnya lima kali dalam satu hari satu malam, sehingga berdampak sebagai olah raga yang teratur dalam siklus body bioritmic dan irama sirkadian, di dalamnya terdapat unsur olah raga, relaksasi, latihan konsentrasi, reduksi stres, dan pencegahan penyakit. ( Yosep, 2009) b. Terapi Zikir Terapi yang menggunakan media zikir mengingat Allah yang bertujuan untuk menenangkan hati dan memfokuskan pikiran. Dengan bacaan do’a dan zikir orang akan menyerahkan segala permasalahan kepada Allah, sehingga beban stress yang dihimpitnya mengalami penurunan. (Fanada, 2012)

3. Aspek psikoreligius terapi pada shalat Menurut (Haryanto, 2007) ada beberapa aspek yang terdapat dalam shalat, antara lain aspek olah raga, aspek relaksasi otot, aspek relaksasi

50

kesadaran indera, aspek meditasi, aspek auto-sugesti/self-hipnosis, aspek pengakuan dan penyaluran (katarsis), aspek pembentukan kepribadian dan terapi air. a. Aspek olah raga Kalau diperhatikan gerakan-gerakan didalam shalat, maka terlihat mengandung unsur gerakan-gerakan olahraga, mulai dari takbir, berdiri, ruku’, sujud, duduk diantara dua sujud, duduk akhir, sampai mengucapkan salam. H.A.Saboe (1986) berpendapat bahwa hikmah yang diperoleh dari gerakan-gerakan shalat tidak sedikit artinya bagi kesehatan jasmani, dan dengan sendirinya akan membawa efek pula pada kesehatan ruhaniah atau kesehatan mental/jiwa seseorang. Selanjutnya dijelaskan bila dijelaskan dari sudut ilmu kesehatan, setiap gerakan, setiap sikap, serta setiap perubahan dalam gerak dan sikap tubuh pada waktu melaksanakan shalat adalah paling sempurna dalam memelihara kondisi kesehatan tubuh. b. Aspek relaksasi otot Shalat juga mempunyai efek seperti relaksasi otot, yaitu kontraksi otot, pijatan dan tekanan pada bagian-bagian tubuh tertentu selama menjalankan shalat. Walker, dkk (1981) mengutip beberapa hasil penelitian bahwa relaksasi otot ini ternyata dapat mengurangi kecemasan dan tidak dapat tidur/insomnia.

51

c. Aspek relaksasi kesadaran indera Relaksasi kesadaran indera ini seseorang biasanya diminta untuk membayangkan pada tempat-tempat yang mengenakkan,. Misalnya seseorang diminta untuk membayangkan dipantai. Pada saat shalat seseorang seolah-olah terbang keatas menghadap kepada Allah secara langsung tanpa ada perantara. Setiap bacaan dan gerakan senantiasa di hayati dan dimengerti dan ingatannya senantiasa kepada Allah. d. Aspek meditasi Shalat juga memiliki efek seperti meditasi atau yoga bahkan merupakan meditasi atau yoga tingkat tinggi bila dijalankan dengan khusyuk. Dalam kondisi khusyuk seseorang hanya akan mengingat Allah SWT, nukan mengingat yang lain. Menurut Wibisono (1989) shalat akan mempengaruhi pada seluruh sistem yang ada dalam tubuh kit, seperti syaraf, peredaran darah, pernafasan, pencernaan, otot-otot, kelenjar, reproduksi dan lain-lain. e. Aspek auto-sugesti/self-hipnosis Bacaan-bacaan dalam shalat berisi hal-hal yang baik, berupa pujian, mohon ampun, doa maupun permohonan yang lain. Hal ini sesuai dengan arti shalat itu sendiri, yaitu shalat berasal dari bahasa Arab berarti doa mohon kebajikan dan pujian. Menurut Thoules (1992) auto sugesti adalah suatu upaya untuk membimbing diri pribadi melalui proses pengulangan suatau rangkaian ucapan secara rahasia kepada diri sendiri yang menyatakan suatu keyakinan atau perbuatan.

52

f. Aspek pengakuan dan penyaluran (katarsis) Setiap orang membutuhkan sarana untuk berkomunikasi, baik dengan diri sendiri, dengan orang lain, dengan alam maupun dengan Tuhannya. Komunikasi akan lebih dibutuhkan ketika seseorang mengalami masalah atau gangguan kejiwaan. Shalat dapat dipandang sebagai proses pengakuan dan penyaluran, proses katarsis atau kanalisasi terhadap hal-hal yang tersimpan dalam dirinya. g. Sarana pembentukan kepribadian Kepribadian seseorang senantiasa perlu dibentuk sepanjang hayatnya, dan pembentukannya bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Shalat merupakan kegiatan harian, kegiatan mingguan, kegiatan bulanan atau kegiatan amalan tahunan (shalat Idul Fitri dan Idul Adha) dapat sebagai sarana pembentukan kepribadian, yaitu manusia yang bercirikan : disiplin, taat waktu, bekerja keras, mencintai kebersihan, senantiasa berkata yang baik, membentuk pribadi “Allahu akbar”. h. Terapi air Seseorang yang akan menjalankan shalat harus bersih dari hadast baik itu hadast besar maupun kecil, sehingga ia harus menyucikan dirinya dengan berwudhu apabila memiliki hadast kecil dan mandi jika memiliki hadast besar (junub). Menurut Adi (1985) dan Effendy suara (1987) wudhu ternyata memiliki efek refreshing, penyegaran, pembersihan badan dan jiwa, serta pemulihan tenaga. Ditambah oleh

53

Utsman Najati (1985) bahwa wudhu disamping sebagai persiapan untuk shalat, bukan hanya sekedar membersihkan tubuh dari kotoran tetapi juga membersihkan jiwa dari kotoran.

BAB III LAPORAN KASUS A. Pengkajian Berdasarkan hasil pengkajian yang penulis lakukan pada tanggal 7 – 8 April 2014 pukul 10.00 WIB dengan menggunakan metode autonamnesa dan alloanamnesa didapatkan data sebagai berikut klien bernama Sdr.I, jenis kelamin laki-laki , umur 30 tahun, beragama islam, belum menikah, tempat tinggal di sukoharjo, pendidikan terakhir klien STM. Pada tanggal 20 Maret 2014 klien dibawa ke IGD RSJD Surakarta oleh kakak kandungnya yaitu Ny.N umur 35 tahun, yang sekaligus penanggungjawab dan tinggal serumah dengan klien. Klien dibawa ke RSJD Surakarta dengan alasan saat dirumah klien tidak bisa diam, suka teriak-teriak, bingung, mondar-mandir, bisik-bisik sendiri, marah-marah, membuang pakaian dan sulit minum obat. Dengan melihat kondisi klien tersebut, keluarga hanya mendiamkannya saja dan melihat kondisi klien yang semakin parah akhirnya keluarga membawa klien ke Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta untuk yang kelima kalinya. Hasil pengkajian faktor predisposisi didapatkan data sebelumnya klien pernah dirawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta pada tanggal 16 April 2011 dengan keluhan yang sama, riwayat pengobatan sebelumnya tidak berhasil karena klien tidak teratur minum obat dan tidak tepat waktu untuk

54

55

kontrol ke Rumah Sakit, dalam anggota keluarganya ada yang mengalami gangguan jiwa yaitu ayah kandungnya dan klien juga tidak pernah mengalami aniaya fisik dari siapapun. Pengkajian faktor presipitasi didapatkan data klien mengatakan stress karena setiap mendekati atau mengatakan cinta pada perempuan selalu di tolak cintanya. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan dengan mengkaji tanda-tanda vital, tekanan darah klien 120/80 mmHg, nadi 80 kali per menit, suhu 36°C, respirasi 22 kali per menit, untuk ukuran tinggi badan klien 168cm dan berat badan klien 55kg, bentuk kepala : meshocepal, rambut : pendek, hitam dan sedikit kotor, mata : simetris antara kanan dan kiri, hidung : simetris antara kanan dan kiri, tidak ada serumen, leher : tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, dada : dinding dada simetris kanan dan kiri, ekstermitas : kaki kanan dan kiri lengkap, tangan kanan dan kiri lengkap, tidak ada cacat,keluhan fisiknya yaitu klien tidak mempunyai riwayat sakit jantung, hipertensi, DM.

56

Genogram :

Mengalami gangguan jiwa

Tn.A

Gambar 3.1 Genogram Sdr.I Keterangan : : Laki-Laki : Perempuan : Pasien Tn. A

: Ayah : Meninggal : Tinggal satu rumah : Garis keturunan

dari data diatas didapatkan hasil yaitu klien merupakan anak ke 3 dari 4 bersaudara, klien tinggal bersama ayah, ibu, kakak perempuann dan adik laki-

57

lakinya. Pada riwayat keluarga didapatkan data ada yang mengalami gangguan jiwa yaitu ayah kandung dari klien tersebut. Dalam anggota keluarga klien yang menggambil keputusan adalah kakak perempuannya yang masih tinggal serumah dengan klien. Pengkajian konsep diri didapatkan data pada gambaran dirirnya, bahwa klien menyukai semua anggota tubuhnya dan tidak ada anggota tubuhnya yang tidak klien sukai. Identitas diri, klien mengatakan dirinya adalah seorang lakilaki dan merupakan anak ke 3 dari 4 bersaudara. Peran diri, klien mengatakan sebagai anak dan anggota masyarakat biasa, dan jarang mengikuti kegiatan dimasyarakatnya, sampai saat ini pasien belum pernah berkerja dan klien hanya dirumah saja membantu menunggu toko milik ibunya. Ideal diri, klien mengatakan tidak puas dengan keadaannya sekarang karena diusianya 30th belum bisa membantu orang tua dalam mencari kebutuhan ekonomi. Harga diri, klien mengatakan malu dengan orang dan tetanggakarena samapai usia saat ini belum bekerja sama sekali. Pengkajian hubungan sosial, orang yang berarti, klien mengatakan orang yang berarti dalam kehidupannya adalah kakaknya. Peran serta dalam kegiatan kelompok atau masyarakat, didapatkan data klien jarang mengikuti kegitan kelompok atau masyarakat dilingkungan tempat tinggalnya. Hambatan dalam berhubungan dengan orang lain, didapatkan data bahwa klien pendiam, bicara saat ditanya saja,lebih suka menyendiri dan jarang berkomunikasi dengan teman-temannya. Pengkajian spiritual, nilai dan keyakinan, klien

58

mengatakan bahwa dirinya beragama islam. kegiatan ibadah, didapatkan klien jarang melaksanakan ibadah shalat 5 waktu. Pengkajian status mental, selama dirawat Sdr.I berpenampilan rapi, gigi bersih, memakai seragam dari Rumah Sakit, kancing baju dikancingkan, memakai alas kaki. Pembicaraan, klien berbicara pelan dan hanya mau berbicara saat ditanya saja. Aktivitas motorik, didapatkan data klien gelisah. Alam perasaan, klien terlihat sedih dan ingin segera pulang kerumahnya dengan observasi pandangan kosong dan tampak sedih. Dalam pengkajian afek Sdr.I pada saat ini tergolong afek datar yaitu ditandai dengan tidak ada roman atau raut muka pada saat stimulus menyenangkan dan menyedihkan. Interaksi selama wawancara, klien kurang kooperatif, mau bicara saat ditanya saja dan kontak mata kurang. Pengkajian status mental selanjutnya persepsi, klien mengatakan mendengar suara roh yang menyuruhnya untuk membeli dagangan yang dijual oleh roh tersebut biasanya muncul pada pagi,siang,malam pada saat klien mau tidur dan saat klien sendiri berlangsung ± 5menit, dalam sehari bisa muncul 6 kali, klien tidak merasa takut tetapi malah ditanggapi. Pengkajian proses pikir, klien termasuk bloking karena pembicaraan terhenti tiba-tiban kemudian dilanjutkan kembali. Isi pikir saat dikaji klien tidak mengalami waham. Tingkat kesadaran, didapatkan data bahwa Sdr.I tergolong stupor dibuktikan dengan gerakan-gerakan yang diulang dengan cara kedua tangan ditempelkan ke pipi kanan dan kirinya.

59

Pengkajian status mental berikutnya yaitu memori, didapatkan klien mampu mengingat kejadian 1minggu terakhir ini. Tingkat konsentrasi dan berhitung, klien mampu menjawab pertanyaan dari perawat walaupun konsentrasinya agak lama dibuktikan dengan klien mampu menjawab tanggal dan hari ini. Kemampuan penilaian, Sdr.I mampu mengambil keputusan sederhana bahwa sebelum makan sebaiknya mandi terlebih dahulu. Daya tilik diri Sdr.I mengatakan bahwa dirinya sadar berada diRumah Sakit jiwa, klien mengatakan ingin segera pulang karena merasa tidak enak berada di Rumah Sakit. Hasil pengkajian kebutuhan persiapan pulang didapatkan bahwa Sdr.I mengatakan makan 3 kali sehari sesuai porsi yang diberikan oleh Rumah Sakit dengan menu nasi, sayur, lauk, buah dan air putih atau air teh. Dan setelah selesai makan, klien membersihkan alat makannya dan dikumpulkan jadi satu. Pada pengkajian defekasi, Sdr.I mengatakan sehari BAB 1 kali warna kuning kecoklatan, bau khas dan BAK 6 kali sehari warna kuning jernih, bau khas dan setelah memakai kamar mandi langsung dibersihkan. Kebutuhan mandi klien terpenuhi Sdr.I mengatakan mandi sehari 2 kali yaitu pagi dan sore dengan menggunakan sabun mandi dan menggosok gigi setiap hari, namun klien jarang untuk mencuci rambut, biasanya untuk mencuci rambut, potong kuku dan kumis dilakukannya setiap satu minggu sekali. Dalam berpakaian Sdr.I mengatakan setelah mandi ganti pakaian sesuai yang diberikan dari Rumah Sakit, menyisir rambut dan memakai alas kaki. Istirahat dan tidur Sdr.I mengatakan tidak pernak tidur siang, mulai tidur dari jam 21.00 WIB dan

60

bangun jam 05.00 WIB, klien tidur selama 8 jam. Penggunaan obat Sdr.I mengatakan dapat meminum obatnya sendiri. Hasil pengkajian pemeliharaan kesehatan Sdr.I mengatakan akan meminum obatnya secara teratur dan akan tepat waktu untuk kontrol. Kegiatan dirumah, Sdr.I mengatakan dirumah membantu untuk menyapu dan menunggu toko milik ibunya. Kegiatan diluar rumah, Sdr.I mengatakan jarang keluar rumah dan jarang mengikuti kegiatan dimasyarakat karena malu dengan sakitnya, klien lebih suka dirumah dan menunggu toko. Hasil pengkajian mekanisme koping Sdr.I mengatakan kalau setiap ada masalah jarang menceritakannya kepada orang lain atau keluarganya, klien lebih suka memendam masalahnya sendiri dan klien jarang mencoba untuk menyelesaikan

masalahnya

secara

mandiri.

Masalah

psikososial

dan

lingkungan Sdr.I mengatakan jarang mengikuti kegiatan diluar rumah karena malu dengan sakitnya dan klien lebih suka berada dirumahnya. Pengetahuan, klien mengatakan harus sampai kapan meminum obat tersebut karena rasanya pahit dan tidak enak. Data penunjang yang penulis dapatkan antara lain, klien mendapatkan terapi medis berupa Triheksipenidil 2mg/12 jam, yang berpengaruh pada sistem syaraf pusat digunakan untuk mengontrol dan meringankan sementara gejala insomnia dan ansietas. Chlorpromazine 1mg/24jam, dapat digunakan untuk mengontrol kelainan fisiologis dan dapat mengobati masalah perilaku

61

yang berhubungan dengan perilaku yang mudah tersinggung dan Trifloperazine 5mg/12 jam, dapat digunakan untuk mengurangi kebingungan dan halusinasi. B. Perumusan Masalah Keperawatan Berdasarkan data saat pengkajian didapatkan diagnosa utama yaitu gangguan persepsi sensori : Halusinasi pendengaran. Data subyektif Sdr.I mengatakan bahwa mendengar suara roh yang menyuruhnya untuk membeli dagangan yang dijual oleh roh tersebut. Klien mengatakan suara itu muncul pada pagi, siang, malam. Klien mengatakan suara itu muncul pada saat sendiri dan akan tidur, frekuensi 6 kali dalam sehari, berlangsung kurang lebih 5 menit. Data obyektif, Sdr.I tampak bingung dan gelisah, kontak mata kurang, kadang terlihat bicara sendiri, klien tidak merasa tidak takut tetapi malah ditanggapinya. Berdasarkan data subyektif dan obyektif tersebut dapat diambil masalah keperawatan yaitu gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran. Dari masalah keperawatan yang ada didapatkan pohon masalah sebagai berikut :

62

Resiko perilaku kekerasan

Gangguan persepsi sensori : halusinasi

Isolasi sosial : menarik diri

akibat

core problem

etiologi

Gambar 3.2 Pohon Masalah

C. Perencanaan Keperawatan Perencanaan dari masalah pada tanggal 7 April 2014 penulis menulis suatu intervensi sebagai tindak lanjut pelaksanaan asuhan keperawatan jiwa pada Sdr.I dengan diagnosa gangguan persepsi sensori : halusinasi. Tujuan umumnya klien tidak menciderai diri, orang lain dan lingkungan.Tujuan khusus yang pertama yaitu klien dapat membina hubungan saling percaya. Kriteria evaluasi, setelah 1 kali 15 menit klien dapat mengungkapkan perasaannya dan keadaannya saat ini secara verbal. Intervensi yang dilakukan yaitu, bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik, salam terapeutik, perkenalkan nama, jelaskan tujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang, buat kontrak yang jelas sesuai strategi pelaksanaan berikutnya, tepati waktu, dorong dan beri kesempatan klien untuk mengunggkapkan perasaannya, dengarkan ungkapan

63

klien dengan empati dan tujuan perawat berkenalan, tanyakan nama lengkap dan nama panggilan yang disukai klien, buat kontrak yang jelas, tunjukkan sikap jujur dan menepati janji setiap kali interaksi, tunjukkan sikap empati. Tujuan khusus yang kedua yaitu klien dapat mengenalhalusinasinya. Kriteria evaluasi, setelah dilakukan 3-4 kali pertemuan dalam waktu 20 menit interaksi klien dapat membedakan hal yang nyata dan hal yang tidak nyata dengan menceritakan hal-hal yang nyata dan klien dapat menyebutkan situasi yang menimbulkan halusinasi, sifat, isi, waktu, frekuensi halusinasi. Intervensi yang dilakukan, adakan kontak mata sering secara bertahap 5 menit setiap 1 jam, 10 menit setiap 1 jam, 15 menit setiap 1 jam, observasi tingkah laku verbal/non verbal yang berhubungan dengan halusinasi terkait dengan bicara sendiri isi bacaan, mata melotot, tiba-tiba pergi, tertawa tibatiba. Terima halusinasi sebagai hal yang nyata bagi klien tetapi tidak bagi perawat (tidak membenarkan dan tidak menyangkal), bersama klien mengidentifikasi situasi yang menimbulkan halusinasi sifat, isi, waktu dan frekuensi, bersama klien menentukan faktor pencetus halusinasi “apa yang terjadi sebelum halusinasi”, dorong klien untuk mengunggkapkan perasaannya ketika sedang berhalusinasi. Tujuan khusus yang ketiga yaitu klien dapat mengontrol halusinasinya . kriteria evaluasi, setelah 3 kali pertemuan dalam 15 menit klien dapat menyebutkan tindakan yang bisa dilakukan bila sedang berhalusinasi serta klien dapat menyebutkan 2 dari 3 caramemutus halusinasi.

64

Intervensi yang dilakukan identifikasi bersama klien tindakan apa yang dilakukan (mengajarkan shalat), indentifikasi bersama klien tindakan apa yang dilakukan bila sedang berhalusinasi, beri pujian terhadap ungkapan klien tentang tindakannya, diskusikan cara memutus halusinasi, dorong klien untuk menyebutkna kembali cara memutus halusinasi, beri pujian atas upaya klien, dorong klien untuk memilih tindakan apa yang akan dilakukan, dorong klien unyuk mengikuti terapi aktifitas kelompok, beri pujian bila dapat melakukannya. Tujuan khusus yang keempat yaitu klien dapat memanfaatkan obat dengan baik, kriteria hasil, setelah 3 kali pertemuan dalam waktu 10 menit, klien minum obat sesuai aturan. Intervensi yang dilakukan, diskusikan dengan klien tentang obat untuk mengontrol halusinasi, bantu klien untuk memastikan klien telah minum obat secara teratur untuk mengontrol halusinasinya. Tujuan khusus yang kelima yaitu klien dapat dukungan keluarga dalam mengontrol halusinasinya setelah 1 kali dalam 15 menit dirumah. Intervensi, dorong klien untuk memberi tahu keluarga ketika timbul halusinasi, lakukan kunjungan keluarga atau home visite kenalkan keluarga pada halusinasi klien, ajarkan cara merawat klien dirumah, informasikan cara memodifikasi lingkungan agar mendukung realitas dan dorong keluarga memanfaatkan fasilitas kesehatan dalam mengontrol halusinasi klien.

65

D. Implementasi Keperawatan Setelah merencanakan keperawatan penulis menyatakan implementasi pada hari senin, tanggal 07 April 2014, jam 10.30 WIB,dengan diagnosa halusinasi pendengaran dengan tindakan keperawatan yang dilakukan adalah : membina hubungan saling percaya dengan Sdr.I, memberi salam terapeutik, memperkenalkan nama perawat, menjelaskan tujuan interaksi, menciptakan lingkungan yang tenang, membuat kontrak yang jelas, dorong dan beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya, mengidentifikasi jenis halusinasi

yang

dialami

Sdr.I,

mengidentifikasi

isi

halusinasi

Tn.I,

mengidentifikasi frekuensi halusinasi yang dialami Sdr.I, mengidentifikasi waktu terjadinya halusinasi, mengidentifikasi respon Sdr.I, mengajarkan cara mengontrol halusinasi dengan cara pertama yaitu menghardik. pukul 12.00 WIB mengevaluasi cara pertama dan mengajarkan dengan cara kedua yaitu bercakap-cakap dengan orang lain, dan pada pukul 12.40 WIB mengevaluasi cara pertama dan kedua kemudian dilanjutkan mengajarkan dengan cara yang ketiga yaitu melakukan kegiatan aktivitas mengajarkan terapi psikoreligius ( shalat ) dari persiapan tempat, sajadah, sarung dan wudhu, memberi reinforcement positif kepada Sdr.I, memasukkan dalam jadwal kegiatan harian. Implementasi pada hari selasa tanggal 08 April 2014, jam 08.00 WIB penulis melakukan tindakan : Memberi salam terapeutik. Penulis menanyakan tentang perasaan Sdr.I, menanyakan tentang halusinasi yang dialami oleh Sdr.I apakah masih terjadi. penulis mengevaluasi ketiga cara yang telah diajarkan, yaitu menghardik, bercakap-cakap dengan orang lain dan melakukan kegiatan

66

aktivitas (shalat), memberikan reinforcement positif atas kegiatan yang telah dilakukan, memasukkan kedalam jadwal harian. E. Evaluasi Keperawatan Penilaian tindakan keperawatan yang dilakukan berhasil atau tidak dan mengetahui ada perkembangan pada klien serta apakah masalah sudah teratasi maka perlu dilakukan evaluasi. Evaluasi dilakukan tanggal 07 – 08 2014 April 2014. Diagnosa gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran pada tanggal 07 April 2014 jam 13.20 WIB didapatkan data subyektif klien mengatakan perasaannya senang bisa berkenalan dengan perawat, Sdr.I mengatakan suara itu sering muncul, klien mengatakan suara tersebut masih sering muncul bisa pagi, siang dan malam hari, sehari bisa 6 kali muncul dengan frekuensi kurang lebih 5 menit, Sdr.I mengatakan bersedia diajari cara yang pertama yaitu menghardik, cara yang kedua bercakap-cakap dengan orang lain dan cara yang ketiga melakukan kegiatan aktivitas spiritual(shalat) . Secara objektif klien cukup kooperatif saat diajak berinteraksi, Sdr.I mau berjabat tangan, menyebutkan nama lengkap dan nama panggilan, kontak mata Sdr.I kurang saat interaksi, Sdr.I bersedia menjawab pertanyaan yang diberikan oleh penulis, Sdr.I bersedia menceritakan masalahnya, Sdr.I memperhatikan cara menghardik, bercakap-cakap, dan melakukaan kegiatan aktivitas (shalat) yang diajarkan, Sdr.I bersedia mempraktekan cara yang telah diajarkan oleh perawat,klien sudah melakukan kegiatan shalat dengan benar. Berdasarkan

67

analisa tersebut klien mampu mengungkapkan masalah yang dihadapi dan mengenal halusinasi yang dialaminya yaitu halusinasi pendengaran dan dapat mendemonstrasikan cara yang telah diajarkan oleh perawat, Perencanaan selanjutnya adalahmengevaluasi cara yang telah diajarkan Evaluasi pada tanggal 08 April 2014 jam 12.30 WIB, didapatkan data subjektif klien mengatakan perasaannya senang bisa bertemu dengan perawat lagi, klien mengatakan masih ingat cara yang diajarkan oleh perawat yaitu menghardik, bercakap-cakap dan melakukan kegiatan aktivitas spiritual (shalat), klien mengatakan suara tersebut sudah berkurang munculnya dan frekuensinya dalam sehari bisa 3 kali muncul dengan frekuensi kurang lebih 2 menit,klien mengatakan jika halusinasinya muncul langsung mengajak temannya bercerita tentang agama islam, klien mengatakan perasaannya tenang bisa menjalankan shalat dengan teratur dan khusyuk. Data obyektif klien terlihat lebih tenang, kontak mata ada, mau berinteraksi dengan temannya. Analisa didapatkan klien mampu memperagakan cara yang sudah diajarkan oleh perawat, Perencanaan perawat adalah mengevaluasi cara yang telah diajarkan, memotivasi klien untuk selalu menjalankan shalat 5 waktu.

BAB IV PEMBAHASAN I. Pembahasan Pada bab ini akan diuraikan kesenjangan antara teori dengan praktek keperawatan yang merupakan kasus dengan halusinasi pendengaran di ruang Arjuna Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta pada tanggal 07 – 08 April 2014 terdiri dari tahap pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan tindakan keperawatan, dan evaluasi keperawatan. Menurut Direja (2011) halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dari luar). Klien memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara padahal tidak ada orang yang berbicara. Proses terjadinya halusinasi yaitu fase pertama disebut juga dengan fase comforting yaitu fase menyenangkan. Karakteristik klien mengalami stress, cemas, rasa bersalah dan kesepian yang memuncak biasanya klien mulai melamun dan memikirkan hal-hal yang menyenangkan. Perilaku klien biasanya tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakan bibir tanpa suara, pergerakan mata cepat, respon verbal yang lambat jika sedang asyik dengan halusinasinya serta suka menyendiri. Fase kedua yaitu fase condemming atau ansietas berat yaitu halusinasi menjadi menjijikan. Fase ketiga adalah fase controlling

atau

ansietas

berat

yaitu

68

pengalaman

sensori

menjadi

69

berkuasa,suara halusinasi semakin menonjol, menguasai dan mengontrol klien. Fase keempat adalah fase conquering atau panik yaitu klien lebur dengan halusinasinya (Hartono, 2010). Hasil pengkajian Sdr.I termasuk dalam kriteria halusinasi fase pertama comforting yaitu fase menyenangkan, yang didukung dengan respon klien terlihat bingung, suka menyendiri, klien juga merasa tidak takut jika suara itu muncul tetapi malah ditanggapi seperti ngomong sendiri.

A. Pengkajian Pengkajian merupakan pengumpulan data subyektif dan obyektif secara sistematis dengan tujuan membuat penentuan tindakan keperawatan bagi individu, keluarga dan komunitas Craven dan Hirnle, 2000 dalam Damaiyanti, (2012), karena itu dibutuhkan suatu format pengkajian yang dapat menjadi alat bantu perawat dalam pengumpulan data. Dalam pengumpulan data penulis menggunakan metode wawancara dengan Sdr.I, serta observasi secara langsung terhadap kemampuan dan perilaku Sdr.I dan dari status Sdr.I. Selain itu keluarga juga berperan sebagai sumber data yang mendukung dalam memberikan asuhan keperawatan pada Sdr.I. Namun, disaat pengkajian tidak ada anggota keluarga Sdr.I yang menjenguknya sehingga penulis tidak memperoleh informasi dari pihak keluarga. Menurut Fitria (2009) faktor predisposisi adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress yang diperoleh dari klien maupun keluarga yang

70

meliputi faktor perkembangan, sosiokultural, biokimia, psikologis dan genetik. Faktor genetik pada klien dilihat dari teori yaitu adanya gen yan meunujukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini. Di dalam keluarga Sdr.I ada yang mengalami gangguan jiwa yaitu ayah kandung dari klien, dalam anggota keluarga klien yang menjadi pengambil keputusan adalah kakak perempuannya yang masih tinggal satu rumah dengan klien. Adapun faktor presipitasi didapat klien mengatakan stress karena karena setiap mendekati atau mengatakan cinta pada perempuan selalu di tolak cintanya.Faktor presipitasi menurut fitria (2009), faktor pencetus atau presipitasi yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan, ancaman, atau tuntunan yang memerlukan enegri ekstra untuk menghadapinya. Menurut kusumawati dan hartono (2010) tanda dan gejala halusinasi sebagai berikut : menarik diri, tersenyum sendiri, duduk terpaku, bicara sendiri, Memandang satu arah, menyerang, tiba-tiba marah, gelisah, hal tersebut juga dialami oleh Sdr.I dimana saat itu klien terlihat gelisah, berbicara sendiri dan lebih suka duduk menyendiri. Menurut Yosep (2009) pada pengkajian proses pikir meliputi : observasi pembicaraan selama wawancara, flight od ideas, retardasi, persevarasi, circumstantiality, inkohorensi, blocking, logorea, neologisme, irelevansi, aphasia. Hal ini sesuai dengan laporan pengkajian yang dilaporkan oleh penulis, proses pikir Sdr.I termasuk blocking karena pada

71

setiap kali berinteraksi tiba-tiba berhenti dan kemudian dilanjutkan kembali. Menurut (Direja, 2011), dalam persepsi harus dijelaskan jenis-jenis halusinasi yang dialami klien, menjelaskan isi halusinasi, frekuensi, gejala yang tampak pada saat klien berhalusinasi dan perasaan klien terhadap halusinasinya. Pengkajian status mental yang penulis lakukan pada klien Sdr.I sesuai dengan teori, dimana difokuskan pada pola persepsi yaitu didapatkan data bahwa klien mengatakan

mendengar suara roh yang

menyuruhnya untuk membeli dagangan yang dijual oleh roh tersebut, suara tersebut 1 hari bisa muncul pada pagi, siang dan malam hari pada saat klien mau tidur dan pada saat klien sendiri, dengan frekuensi 6 kali sehari ± berlangsung selama 5 menit. Mekanisme koping adaptif dan maladaptif merupakan tiap upaya yang diarahkan pada pengendalian stress, termasuk upaya penyelesaian masalah secara langsung dan mekanisme pertahanan lain yang digunakan untuk melindungi diri (Fitria, 2009). Pengkajian mekanisme koping pada Sdr.I termasuk dalam mekanisme koping maladaptif dimana Sdr.I mengatakan kalau ada masalah jarang menceritakan dengan orang lain termasuk keluarganya saat dirumah sakit pun klien jarang berbicara dengan temannya. Pengkajian aspek medis, didapatkan data pasien mendapat terapi medis berupa Triheksipenidil 2mg/16 jam, yang berpengaruh pada sistem syaraf pusat digunakan untuk mengontrol dan meringankan sementara

72

gejala insomnia dan ansietas. Chlorpromazine 1mg/24jam, dapat digunakan untuk mengontrol kelainan fisiologis dan dapat mengobati masalah perilaku yang berhubungan dengan perilaku yang mudah tersinggung dan Trifloperazine 5mg/6 jam, dapat digunakan untuk mengurangi kebingungan dan halusinasi. (ISO, 2011)

B. Diagnosa keperawatan Menurut Direja (2011) diagnosa keperawatan meruypakan suatu pernyataan

yang

menjelaskan

respon

manusia

terhadap

status

kesehatan/resiko perubahan dari kelompok dimana perawat secara accontabilitas dapat mengidentifikasi darn memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan, menurun, membatasi, dan berubah. Menurut Keliat (2006) pohon masalah pada halusinasi dapat mengakibatkan klien mengalami kehilangan kontrol pada dirinya, sehingga bisa membahayakan diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal ini terjadi jika halusinasi sudah samapai pada fase ke empat, dimana klien

mengalami

panik

dan

perilakunya

dikendalikan

oleh

isi

halusinasinya. Masalah yang menyebabkan halusinasi itu adalah isolasi sosial, maka klien menjadi menarik diri dari lingkungan. Hal ini sesuai dengan data pada Sdr.I dimana ditemukan masalah isolasi sosial : menarik diri yang ditandai dengan klien terlihat suka menyendiri dan jarang berinteraksi dengan temannya, serta dari catatan perawat saat pertama kali masuk, klien sering marah-marah, membuang pakaian, hal ini mengarah

73

pada permasalahan resiko perilaku kekerasan. Berdasarkan masalahmasalah tersebut, maka disusun pohon masalah yaitu isolasi sosial (menarik diri) sebagai penyebab, gangguan persepsi sensori : halusinasi pensengaran sebagai core problem, dan resiko perilaku kekerasan yang diarahkan pada lingkungan sebagai akibat. (Rasmun, 2009) Penulis mengangkat diagnosa keperawatan utama yaitu gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran pada Sdr.I sebagai prioritas masalah utama yang didukung dengan data subyektif yaitu klien mengatakan mendengar suara roh yang menyuruhnya untuk membeli dagangan yang dijual oleh roh tersebut, suara itu muncul bisa pagi,siang dan malam hari pada saat mau tidur atau pada saat klien sendiri, sehari suara tersebut bisa muncul 6 kali dengan frekuensi kurang lebih 5 menit, klien tidak merasa takut tetapi suara tersebut malah ditanggapinya, data objektif klien tampak bingungg, gelisah, kontak mata kurang, klien terlihat bicara sendiri.

C. Rencana Keperawatan Menurut (Keliat & Akemat, 2009 dalam Damaiyanti, 2012) rencana tindakan keperawatan mencakup perumusan diagnosis, tujuan serta rencana tindakan yang telah distandarisasi. Rencana keperawatan yang penulis lakukan sama dengan landasan teori yang sudah penulis jabarkan dalam BAB III, hal ini karena rencana tindakan keperawatan tersebut telah sesuai dengan SOP (Standart Operasional Prosedur) yang telah ditetapkan.

74

Data yang diperoleh pada tanggal 07 – 08 April 2014 ditemukan permasalahan yang menjadi rumusan diagnosa keperawatan gangguan persepsi sensori : Halusinasi pendengaran. Pada perencanaan keperawatan penulis menyatakan tujuan umum adalah klien dapat mengontrol halusinasi yang dialaminya dan 5 tujuan khusus yang direncanakan namun hanya 3 tujuan khusus yang terlaksana karena keterbatasan waktu, meliputi TUK 1 yaitu membina hubungan saling percaya, kriteria hasil klien menunjukkan wajah bersahabat, menunjukkan rasa senang, ada kontak mata, mau berjabat tangan, klien mau menyebutkan nama, mau menjawab salam, klien mau duduk berdampingan dengan perawat, mau mengutarakan masalah yang dihadapinya. TUK 2 yaitu klien dapat mengenal halusinasinya, kriteria hasil klien dapat menyebutkan waktu, isi, dan frekuensi timbulnya halusinasi, klien dapat mengungkapkan bagaiman perasaannya terhadap halusinasi tersebut. TUK 3 klien dapat mengontrol halusinasinya, kiteria hasil klien dapat menyebutkan tindakan yang biasanya dilakukan untuk mengendalikan halusinasinya,

klien

dapat

menyebutkan

cara

baru

mengontrol

halusinasinya, klien dapat mendemonstrasikan cara menghardik,bercakapcakap dengan orang lain, mendemonstrasikan kegiatan sehari-hari spiritual sesuai dengan keyakinan ( shalat 5 waktu ). TUK 4 klien dapat memanfaatkan obat dengan baik, TUK 5 klien mendapat dukungan keluarga dalam mengontrol halusinasinya.

75

D. Implementasi Keperawatan Tindakan keperawatan merupakan standar dari standar asuhan yang berhubungan dengan aktivitas keperawatan profesional yang dilakukan oleh perawat, dimana implementasi dilakukan pada pasien, keluarga dan komunitas berdasarkan rencana keperawatan yang dibuat. Dalam mengimplementasikan intervensi, perawat kesehatan jiwa menggunakan intervensi yang luas yang dirancang untuk mencegah penyakit meningkat, mempertahankan dan memulihkan kesehatan fisik dan mental. (Keliat & Akemat, 2009 dalam Damaiyanti & Iskandar 2012). Menurut Damaiyanti (2012) setrategi pelaksanaan pada klien dengan gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran, setrategi yang pertama yaitu mengajarkan cara menghardik, strategi pelaksanaan kedua yaitu mengajarkan bercakap-cakap dengan orang lain, strategi pelaksanaan ketiga yaitu melakukan kegiatan aktivitas, strategi pelaksanaan keempat memberikan pendidikan kesehatan tentang obat. Pada interaksi tersebut penulis melakukan tindakan keperawatan untuk mengatasi tujuan khusus yang pertama, kedua dan ketiga, sesuai dengan strategi pelaksanaan yang penulis buat yaitu pada tujuan khusus yang pertama klien dapat membina hubungan saling percaya, pada tujuan khusus yang kedua klien dapat mengenal halusinasinya, dan pada tujuan khusus yang ketiga klien dapat mengontrol halusinasinya. Hal ini dilakukan karena hubungan saling percaya sebagai dasar interaksi yang terapeutik antara perawat dengan klien. (Rasmun, 2009).

76

Implementasi yang dilaksanakan antara lain : pada tanggal 07 April 2014 pukul 10.30 WIB, penulis melakukan strategi pelaksanaan 1, implementasi membina hubungan saling percaya dengan Sdr.I, memberi salam

terapeutik,

beri

kesempatan

klien

untuk

mengungkapkan

perasaannya, membantu mengenal halusinasi pada Sdr.I, menjelaskan cara mengontrol halusinasi, dan mengajarkan cara mengontrol halusinasi dengan SP yang ke 1 yaitu menghardik. Kemudian 1 jam selanjutnya penulis mengajarkan SP yang ke 2 yaitu bercakap-cakap dengan orang lain pada pukul 12.15 WIB dilanjutkan mengajarkan SP yang ke 3 yaitu melakukan kegiatan aktivitas spiritual sesuai dengan keyakinan klien yaitu shalat. Kemudian memberikan reinforcement posisif kepada Sdr.I apabila berhasil melakukan cara menghardik, bercakap-cakap dengan orang lain dan melakukan kegiatan shalat dengan khusyuk. Respon klien, klien mau membina hubungan saling percaya dengan perawat, klien mampu melakukan SP pertama yaitu menghardik, untuk SP ke dua yaitu bercakap-cakap klien kurang mampu memulai pembicaraan, sedangkan SP ketiga belum optimal. Implementasi pada tanggal 08 April 2014, pukul 08.00 WIB penulis memberikan salam terapeutik, penulis mengevaluasi tindakan SP pertama menghardik, mengevaluasi SP kedua bercakap-cakap dengan orang lain, mengevaluasi SP ketiga melakukan kegiatan aktivitas spiritual (shalat). Memberikan reinforcement positif atas tindakan yang dilakukan.

77

Respon klien, klien mampu melakukan cara SP pertama menghardik dengan mandiri, klien mampu melakukan cara SP kedua yaitu bercakapcakap dengan orang lain, klien juga sudah mampu melakukan SP ketiga yaitu melakukan aktivitas kegiatan (shalat dengan khusyuk) mulai dari menyiapkan tempat, sajadah, sarung dan berwudhu. Penulis melakukan tindakan psikoreligius (shalat) karena sebelum dilakukan terapi psikoreligius (shalat) klien tampak lebih suka menyendiri, bahkan berbicara sendiri, gelisah. Dengan demikian penulis berasumsi bahwa dengan diberikannya terapi psikoreligius (shalat), dapat ikut membantu penyembuhan klien. Hal ini sesuai dengan konsep Hendra pada tahun 2011 yang menyebutkan tentang teori dari Dadang Hawari, seorang psikiater yang mengembangkan

psikoterapi

holistik,

berpendapat

bahwa

shalatmenimbulkan ketenangan, disamping itu do’a juga menimbulkan percaya diri dan optimis (harapan kesembuhan). (Fanada, 2012) Terapi psikoreligius adalah terapi yang biasanya melalui pendekatan keagamaan yang dianut oleh klien dan cenderung untuk menyentuh sisi spiritual manusia.(Fanada, 2012) Shalat memiliki pengaruh yang sangat penting untuk terapi perasaan berdosa yang menyebabkan rasa gundah dan menjadi penyebab utama penyakit jiwa. Hal ini dapat terjadi karena ritual salat bisa mengampuni dosa seseorang, membersihkan jiwa dari noda-noda kesalahan, dan

78

menimbulkan harapan mendapatkan ampunan dan ridha Allah SWT. (Zaini, 2012) Kegiatan keagamaan / ibadah / shalat, menurunkan gejala psikiatrik , rise tyang lain menyebutkan bahwa menurunnya kunjungan ketempat ibadah, meningkatkan jumlah bunuh diri di USA , Kesimpulan dari berbagai riset bahwa religious mampu mencegah dan melindungi dari penyakit kejiwaan, mengurangi penderitaan meningkatkan proses adaptasi dan penyembuhan. (Mahoney et.all, 1985 dalamYosep, 2007). Dalam jurnal Wahyudin, 2013. Sudah sangat banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui manfaat kesehatan dari tiap gerakan sholat. Hasil-hasilnyapun telah tersebar di berbagai publikasi baik jurnal, buku ilmiah, buku umum ataupun internet. Berikut ini hanya kami ringkas beberapa manfaat bagi kesehatan badan yang diperoleh dari beberapa gerakan pokok sholat. Gerakan pokok sholat yang dimaksud disini adalah Takbiratul Ihram dan berdiri tegak, Ruku’, Sujud, duduk antara dua sujud, duduk tahiyat akhir dan salam. Dalam jurnal Salamattang, 2011. Manfaat shalat ditinjau dari aspek kesehatan antara lain : a.

Kebersihan, pada waktu wudhu terjadi pencucian permukaan tubuh yang pada umumnya terbuka dan mudah terkena debu yang sering mengandung bibit penyakit. Penelitian kimiawimembuktikan bahwa akan terjadi penurunan yang sangat besar kadar suatu zat jika dilakukan pembilasan minimal 3 kali.

79

b.

Pendinginan, dinginnya air wudhu menurunkan suhu permukaan tubuh.

c.

Stretching, pergerakan otot untuk menghilangkan kekakuan otot sehingga otot menjadi lebih rileks.

d.

Pembilasan otak.

e.

Relaksasi, mata hanya tertuju pada sajadah dan napas teratur serta bacaan-bacaan shalat membuat lebih relak, hal ini tentunya akan membuat lebih tenang. Penulis hanya melakukan satu diagnosa, dan melaksanakan tujuan

khusus sampai dengan TUK 3, untuk TUK 4 dan TUK 5 tidak dilakukan perawat karena keterbatasan waktu penulis sehingga pelaksanaan TUK tidak bisa dilakukan oleh perawat.

E. Evaluasi Keperawatan Semua tindakan keperawatan yang telah dilakukan oleh perawat didokumentasikan dalam format implementasi dan dievaluasi dengan menggunakan pendekatan SOAP, (Damaiyanti, 2012) S : Respon subyektif klien terhadap intervensi yang dilaksanakan. O : Respon obyektif klien terhadap intervensi yang dilaksanakan. A:Analisa ulang atas data subyektif dan obyektif untuk menyimpulkan apakah masalah masih tetap, sudah teratasi, atau ada masalah baru dan ada data yang kontradiksi dengan masalah yang ada.

80

P: Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa pada respon klien. Dalam penulisan kasus ini penulis menggunakan evaluasi hasil (sumatif) serta menggunakan system penulisan S.O.A.P sesuai dengan teori diatas. Evaluasi dilakukan setiap hari sesudah dilakukan interaksi terhadap klien. Evaluasi ini dilakukan pada pasien gangguan persepsi sensori : Halusinasi pendengaran. Hasil evaluasi yang didapatkan penulis sesuia dengan kriteria hasil evaluasi yang penulis niat. Evaluasi yang penulis dapatkan pada tanggal 07 – 08 April 2014 antara lain pada tujuan khusus yang pertama yaitu dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat, tujuan khusus yang kedua yaitu klien dapat mengenal halusinasi yang dialaminya, tujuan khusus yang ketiga adalah klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol halusinasi dengan cara menghardik (SP 1), bercakap-cakap dengan orang lain (SP 2), melakukan kegiatan aktivitas spiritual atau shalat (SP 3). Hasil evaluasi yang penulis dapatkan sesuai dengan kriteria evaluasi pada perencanaan yang penulis buat.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan Setelah perencanaan,

penulis

melakukan

implementasi

dan

pengkajian,

evaluasi

penentuan

tentang

diagnosa,

Pemberian

Terapi

Psikoreligius (shalat) pada asuhan keperawatan Sdr.I dengan halusinasi pendengaran di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta dengan mengaplikasikan Tindakan Pemberian Terapi Psikoreligius (shalat) maka dapat ditarik kesimpulan: 1. Pengkajian Merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan, dari hasil pengkajian yang didapatkan pada Sdr.I yaitu data subyektif klien mengatakan mendengar suara roh yang menyuruhnya untuk membeli dagangan yang dijual oleh roh tersebut, suara itu biasanya muncul pada pagi, siang dan malam hari, dalam sehari bisa muncul 6 kali dengan frekuensi kurang lebih 5 menit, biasanya muncul saat klien mau tidur atau saat klien sendiri. Data objektif klien tampak gelisah, bingung, duduk menyendiri, dan kadang terlihat berbicara sendiri. 2. Diagnosa Diagnosa utama yang muncul saat dilakukan pengkajian pada Sdr.I yaitu gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran.

81

3. Rencana Keperawatan Rencana tindakan yang dapat dilakukan meliputi tujuan umumya itu klien tidak menciderai diri, orang lain dan lingkungan. Tujuan khusus pertama yaitu klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat, tujuan khusus yang kedua klien dapat mengenal halusinasi yang dialaminya, tujuan khusus yang ketiga klien dapat mengontrol halusinasi, tujuan khusus yang keempat klien dapat memanfaatkan obat dengan baik, tujuan khusus yang kelima yaitu klien mendapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol halusinasinya. 4. Implementasi Keperawatan Dalam asuhan keperawatan Sdr.I dengan halusinasi pendengaran di ruang arjuna RSJD Surakarta telah disesuaikan dengan intervensi yang dibuat oleh penulis. Penulis melaksanakan strategi pelaksanaan 1 yaitu menghardik, strategi 2 yaitu bercakap-cakap dengan orang lain dan strategi 3 melakukan kegiatan aktivitas spiritual (shalat). 5. Evaluasi Evaluasi yang penulis dapatkan pada Sdr.I adalah tercapainya tujuan khusus yang pertama yaitu klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat, hail evaluasi yang penulis dapatkan dalam tujuan khusus yang kedua sesuai dengan kriteria evaluasi pada perencanaan yaitu klien mampu

mengenal

halusinasi

yang

dialaminya

dengan

mampu

menyebutkan isi, frekuensi, situasi, dan respon saat halusinasi itu muncul, evaluasi yang penulis dapatkan dalam tujuan khusus yang ketiga yaitu mampu mempraktekkan cara mengontrol halusinasinya dengan cara

82

83

menghardik, bercakap-cakap dengan orang lain dan melakukan kegiatan aktivitas spiritual (shalat) serta menganjurkan untuk memasukkan kedalam jadwal kegiatan. Serta penulis mendelegasikan kepada perawat yang sedang bertugas diruang arjuna. 6. Analisa asuhan keperawatan Penulis melakukan tindakan strategi pelaksanaan 1 – 3. Didapatkan data Subjektif, klien mengatakan setelah melakukan ketiga cara yang telah diajarkan merasa tenang, klien mengatakan suara yang muncul berkurang dalam sehari bisa muncul 3 kali dengan frekuensi 2 menit. Data objektif, klien terlihat tenang, klien sudah bisa mendemonstrasikan ketiga cara yang telah

diajarkan.

mendemonstrasikan

Analisa, cara

didapatkan

yang

telah

klien

sudah

mampu

diajarkan

dengan

optimal.

Perencanaan, memotivasi klien agar selalu melaksanakan cara-cara yang telah diajarkan oleh perawat yaitu menghardik, bercakap-cakap dengan orang lain dan melakukan kegiatan aktivitas spiritual (shalat) dengan teratur.

B. Saran Dengan memperhatikan kesimpulan diatas, penulis memberi saran sebagai berikut: 1. Bagi Rumah Sakit Diharapkan dapat memberikan pelayanan kepada pasien jiwa dengan seoptimal mungkin dan meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit.

84

2. Bagi Institusi Pendidikan Memberikan kemudahan dalam pemakaian sarana dan prasarana yang merupakan fasilitas bagi mahasiswa untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan ketrampilannya dalam melalui praktek klinik dan pembuatan laporan. 3. Bagi Profesi Menjadi referensi dan pengetehauan yang mampu dikembangkan untuk memberikan pelayanan kepada klien dengan halusinasi.

85

DAFTAR PUSTAKA

Ardani TA. 2013. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Bandung . Penerbit Buku : Karya Putra Darwati Damaiyanti & Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Penerbit Buku: PT Refika Aditama. Bandung. Direja, Ade Herma Surya. 2011. Buku Asuhan Keperawatan Jiwa. Penerbit buku: Nuha Medika. Fanada, Mery. 2012. Perawat Dalam Penerapan Therapi Psikoreligius Untuk Menurunkan Tingkat Stres Pada Pasien Halusinasi Pendengaran Di Rawat Inap Bangau Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang. www.banyuasinkab.go.id .diakses pada tanggal 03 April 2014 Farida Kusumawati&Yudi Hartono. 2010. Buku Ajaran Keperawatan Jiwa. Penerbit Buku: Salemba Medika. Jakarta. Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasaar dan Aplikasi Penulisan Laporan pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Penerbit Buku: Salemba Medika. Jakarta. Haryanto, Sentot. 2007. Psikologi Shalat. Yogyakarta. Penerbit Buku : Mitra Pustaka. Hidayati, Eni 2011. Pengaruh Terapi Kelompok Suportif Terhadap Kemampuan Mengatasi Perilaku Kekerasan Pada Klien Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Dr.Amino Gondohutomo Semarang. www.lontar.ui.ac.id diakses padat tanggal 09 April 2014 Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia. 2011. Informasi Spesialite Obat (ISO) Indonesia. Jakarta. Penerbit Buku: PT IFSI. Yogyakarta. Keliat dkk. 2006. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran : EGC Rasmun. 2009. Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan Keluarga. Jakarta. Rekam Medik. 2013. Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta Salamattang. 2011. Aspek-Aspek pendidikan Dalam Salat, Lentera Pendidikan. Volume. 14 NO. 1. http://www.uin-alauddin.ac.id. Diakses pada tanggal 16 April 2014.

86

Simanjutak dan Wardiyah. 2006. Hubungan Pengetahuan Keluarga Dengan Tingkat Kecemasan Dalam Menghadapi Anggota Keluarga Yang Mengalami Gangguan Jiwa Di Rumah Sakit Jiwa Propinsi Sumatera Utara, Medan. Volume. 2 Nomor 1. www.respository.usu.ac.id . diakses pada tanggal 12 April 2014 UPN. 2006. Universitas Pembangunan Nasional Veteran Ilmu Kesehatan Keperawatan. http://www.pasca.upnvj.ac.id/pdf/4s1eperawatan . diakses pada tanggal 10 April 2014 Videbeck, Sheila L. 2008.Buku Ajaran Keperawatan Jiwa. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran: EGC Wahyudin, Slamet. 2013. Manfaat Sholat Bagi Kesehatan. www.alirsyadcilacap.or.id .diakses pada tanggal 14 April 2014 Yosep, Iyus. 2009. Keperawatan Jiwa. Penerbit Buku: PT Refika Aditama. Bandung. Zaini, Ahmad. 2012. Salat Sebagai Terapi Bagi Pengidap Gangguan Kecemasan Dalam Perspektif Psikoterapi Islam. www.Dakwah-bpi.stainkudus.ac.id . diakses pada tanggal 10 April 2014