PENGANGKATAN ANAK TERHADAP CUCU LAKI-LAKI DARI ANAK PEREMPUANNYA YANG KAWIN KELUAR
ADOPTION OF GRANDSON FROM THEIR MARRIED DAUGHTER
I Putu Ekawana Putra, Aminuddin Salle, I Made Suwitra
Program Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Alamat Koresponden: Magister Manajemen Universitas Hasanuddin Hp.085739430988 Email:
[email protected]
Abstrak Peristiwa pengangkatan anak yang telah diangkat sebagai anak oleh orang tua angkatnya dengan harapan si anak mendapat perlindungan, pertanggung jawaban serta yang terpenting adalah dapat melanjutkan keturunan, memelihara orang tua angkatnya di masa tua nanti dan dapat melanjutkan darma orang tua angkatnya. Penelitian ini bertujuan mengetahui (1) pengangkatan anak baik menurut hukum adat Bali dan hukum Nasional (2) hak mewaris anak angkat terhadap harta warisan orang tua angkatnya dan harta pusaka keluarga orang tua angkatnya. Penelitian ini dilakukan di Desa Ungasan. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Dikumpulkan dengan teknik dokumentasi dan pencatatan serta wawancara. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan ciri atau karakter tertentu. Data analisis dengan menggunakan analisi penafsiran dan sistematisasi. Hasil penelitian menunjukkan pengangkatan anak menurut hukum adat Bali 1) adanya upacara pemerasan, 2) adanya siar dibanjar, 3) dicatat oleh bendesa adat. Menurut hukum Nasional anak yang telah memenuhi persyaratan dimohonkan untuk mendapatkan penetapan pengadilan Negeri setempat. Hak mewaris anak angkat terhadap harta warisan orang tua angkatnya anak angkat berhak mewarisi harta orang tua angkatnya. Untuk harta pusaka pengangkatan anak dari anak perempuannya berhak mewarisi harta pusaka keluarga orang tua angkatnya karena anak yang diangkat masih mempunyai hubungan darah dengan orang tua angkatnya. Kata Kunci: Anak Angkat dan Hak Waris.
Abstract Event of lifting child which have been adopted its foster parent on the chance the child get protection, account all important answer and also is can continue clan, looking after its foster parent in a period of/to old wait and can continue its foster parent duty. This research aim to know ( 1) lifting good child according to Bali customary law and National law ( 2) foster child heir rights to its foster parent heritage and its foster parent family inheritance. This research is conducted by in Countryside of Ungasan. Method which is used in research is research law of normatif and research empirical law. Collected with documentation technique and record-keeping and also interview. Intake of sample conducted using certain character or characteristic. Data analyzer using interpretation analyzer and systematization. Result of research show lifting child according to Bali customary law 1) existence of extortion ceremony 2) existence broadcasting of banjar 3) noted custom bendesa. According to National child law which have fulfilled conditions requested to get stipulating local district court. Heir foster child rights to its foster parent heritage of foster child is entitled to inherit its foster parent estae. For the inheritance lifting child its daughter is entitled inherit its foster parent family inheritance because lifted to child still has cognation with its foster parent Keyword: Foster Child and Rights Heir.
PENDAHULUAN Setiap manusia pada dasarnya ingin mempunyai anak sebab hal itu sangat besar artinya dalam membina keluarga, masyarakat dan umat manusia. Di samping itu anak juga merupakan penghibur yang sangat dekat dengan ibu bapaknya dan dapat membangkitkan rasa tanggung jawab dan kasih sayang. Dari perkawinan suami istri diharapkan akan mendapatkan keturunan yang baik dan diharapkan dapat menyambung cita-cita orang tuanya. Suatu perkawinan dapat dikatakan belum sempurna, jika pasangan suami istri belum dikaruniai anak, karena mempunyai kedudukan penting dan merupakan salah satu tujuan perkawinan. Pendapat Zaini, M (1992) menyatakan, bahwa keinginan untuk mempunyai anak adalah naluri manusia, hal tersebut sejalan dengan pembawaan watak kodrati manusia yang merasakan bahwa anak bagian dari darah daging orang tua, yang juga akan mewarisi pula sifat-sifat istimewa dari kedua orang tuanya. Menurut Soepomo (2007) mengatakan perbuatan mengangkat anak adalah perbuatan hukum yang melepaskan anak dari pertalian kekeluargaan dengan orang tua kandung kemudian memasukkan anak tersebut ke dalam keluarga orang tua angkatnya sehingga anak tersebut seperti anak kandung. Sistem kekeluargaan masyarakat adat di Bali, adalah bersifat patrilineal atau menurut garis kepurusa (garis keturunan laki-laki). Dengan dianutnya sistem keluarga yang patrilineal itu akan membawa akibat bahwa yang berhak mewaris hanyalah anak laki-laki, karena hanya anak laki-laki saja yang dianggap sebagai penerus keturunan atau keluarga, ( Kaler, K 1983). Pengangkatan anak di Bali, adalah perbuatan hukum yang melepaskan anak dari pertalian keluarga orang tuanya sendiri dan memasukkan anak itu ke dalam keluarga angkat, sehingga anak tersebut berkedudukan menjadi anak kandung untuk meneruskan keturunan bapak angkatnya, (Martosedono, A 1997). Dalam pengangkatan anak sesungguhnya kepentingan immaterial (keagamaan) lebih diutamakan, (Martosedono, A 1997). Oleh karena itu anak yang diangkat harus memenuhi syarat yang ada hubungannya dengan kewajiban immaterial (keagamaan). Sehingga anak angkat diutamakan berasal dari keluarga purusa (laki-laki), karena mempunyai ikatan yang erat terhadap kewajiban meteriil dan immaterial. Syarat lain dalam pengangkatan anak harus mendapatkan persetujuan dari keluarga purusa (laki-laki). Hal ini bermakna untuk mengawasi pengangkatan anak tersebut agar tidak terjadi kesalahan yang fatal terhadap harta pusaka dan benda-benda immaterial (keagamaan) lainnya,( Sutha, G 1987). Selain itu mengikuti prosedur pengangkatan anak baik menurut hukum
adat Bali maupun hukum nasional. Dalam hukum adat Bali lebih mengedepankan aspek upacara pemerasan dan siar sebagi asas publisitas kemudian dilanjutkan dengan (ilikita) pencatatan oleh Bendesa adat sebagai sahnya pengangkatan anak dalam desa adat di Bali, (Pandika, R 2012). Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak mengatur 2 (dua) jenis pengangkatan anak, hal ini sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983, yaitu; (1). Pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia (WNI) (domestic adoption). (2). Pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia (WNI) dengan Warga Negara Asing (WNA) (inter-country adoption), termasuk kategori ini adalah pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing atau sebaliknya anak Warga Negara asing diangkat anak oleh warga Negara Indonesia. Dalam perkembangannya pengangkatan anak menurut hukum adat suatu tempat diakui keberadaannya. Untuk menjamin kepastian hukum pengangkatan anak seharusnya dilanjutkan dengan memohon penetapan dari Pengadilan Negari setempat. Hal ini dilakukan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap anak angkat dari hal yang tidak diinginkan dikemudian hari yang dapat mengakibatkan kurang terjaminnya masa depan anak angkat. Perbuatan pengangkatan anak berimplikasi terhadap hubungan pewarisan dari anak yang diangkat. Unsur terpenting terjadinya pewarisan adalah adanya harta warisan. Menurut hukum adat Bali, harta warisan tidak hanya berupa barang berwujud seperti harta benda, melainkan juga berupa hak-hak kemasyarakatan, misalnya hak untuk memanfaatkan setra (kuburan milik desa), (Wignjodipoero, S 1985). Dengan kata lain harta warisan adalah semua harta benda yang memiliki nilai ekonomi maupun yang tidak memilki nilai ekonomi (mengandung nilai religius magis). Tujuan penelitian ini adalah Mendeskripsi dan menganalisis pengangkatan anak menurut hukum Adat Bali dan Hukum Nasional. Serta mengetahui hak mewaris anak angkat terhadap harta warisan orang tua angkatnya dan harta pusaka keluarga orang tua angkatnya.
METODE PENELITIAN Jenis Dan Pendekatan Penelitian Jenis penelitian yang dipilih disesuaikan dengan masalah yang akan dikaji. Artinya untuk mengkaji pengangkatan anak dalam Hukum Adat Bali dan Hukum Nasional dipergunakan penelitian hukum normatif yaitu hanya menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Untuk melengkapi kajian tersebut terutama yang berkaitan dengan aspek nilai yang
hidup dalam masyarakat dan dalam mengkaji hak mewaris anak angkat terhadap harta warisan orang tua angkatnya dipergunakan penelitian hukum empiris. Pendekatan yang dipergunakan untuk menganalisis masalah pertama yaitu pengangkatan anak dalam Hukum Adat Bali dan Hukum Nasional yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach) yaitu dengan memahami dan mendalami kaidah atau norma pengangkatan anak baik yang ada dalam hukum adat dan hukum nasional sebagai acuan dalam membuat penulisan tesis, serta dengan pendekatan analitis (analytical approach) yaitu menganalisa bahan hukum untuk mengetahui makna yang terkandung dalam perundang-undangan secara konsepsional (Amiruddin, 2012). Untuk masalah kedua yaitu hak mewaris anak angkat terhadap harta warisan orang tua angkatnya akan digunakan jenis penelitian hukum empiris dengan menggunakan pendekatan sosiologi hukum yaitu ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya secara empiris analistis, (Ibrahim, J 2011).
Karena dalam
pengangkatan anak masih adanya ketidak seragaman dalam tata cara pengangkatan anak dan pembagian harta warisan didalam hukum adat dengan hukum nasional. Populasi dan Sampel Populasi adalah keseluruhan unit atau manusia yang mempunyai ciri-ciri yang sama, dapat berupa himpunan orang, gejala, atau peristiwa. Di dalam penelitian ini sebagai populasi yaitu masyarakat yang pernah melakukan pengangkatan anak di seluruh Desa adat di wilayah Kecamatan Kuta Selatan yang terdiri dari Desa Jimbaran, Desa Ungasan, Desa Pecatu, Desa Kutuh, Desa Bualu, Desa Kampial, Desa Peminge, Desa Tengkulung dan Desa Tanjung Benoa. Sampel adalah himpunan sebagian dari populasi yang merupakan obyek penelitian. Di dalam penelitian ini sebagai sampel adalah masyarakat yang pernah melakukan pengangkatan anak di Desa Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Di Desa Ungasan pengangkatan anak dilakukan berdasarkan hukum adat Bali yaitu dengan cara dilakukan upacara pemerasan sentana disaksikan oleh prajuru adat, kemudian dilakukan siar dalam paruman Banjar. Sumber Data Data dalam penelitian ini akan diperoleh baik dari sumber pertama atau langsung dari masyarakat maupun dari sumber kedua. Jenis data yang berasal dari sumber pertama disebut data primer yang bersumber dari informan atau responden. Sedangkan jenis data yang diperoleh dari
sumber kedua disebut data sekunder yang dalam penelitian ini dikatagorikan sebagai bahan hukum baik bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik Pengumpulan Data Data sekunder dalam bentuk bahan hukum, baik primer, dan sekunder akan dikumpulkan dengan teknik dokumentasi dan pencatatan melalui sistem file dan Studi Dokumen yaitu dengan mengadakan penelitian di perpustakaan terhadap bahan pustaka atau dokumen-dokumen sebagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, makalah, jurnal atau tulisan yang berkaitan dengan pengangkatan anak, (J. Supranto, 1997). Analisis Data Analisa yang dilakukan menggunakan metode analisis deskriptif, yaitu sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar belakang individu atau institusi kedalam variabel atau hipotesis tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan, (Mooleong, L 1990).
HASIL Dalam praktik kehidupan masyarakat adat di Bali (desa pakraman), pengangkatan anak juga perlu mendapat persetujuan seluruh warga desa pakraman melalui rapat (paruman) desa, dan baru dikatakan sah menurut hukum adat Bali setelah melaksanakan upacara pamerasan. Memperhatikan ketentuan di atas, tampak ada beberapa poin penting yang patut diperhatikan apabila pasangan suami-istri ingin mengangkat anak, yaitu: (1). Anak yang diangkat berasal dari anggota keluarga sedarah terdekat, dalam garis keturunan laki-laki. (2). Perlu mendapat persetujuan keluarga dan desa pakraman. (3). Anak yang diangkat beragama Hindu. Adanya persyaratan yang relatif ketat dalam pengangkatan anak menurut hukum adat Bali dibandingkan dangan ketentuan serupa berdasarkan hukum yang lainnya, terkait dengan swadharma (tanggung jawab). Seorang anak angkat yang diangkat anak sesuai dengan hukum adat Bali, memiliki kedudukan yang sama persis dengan anak kandung. Hal ini berarti, anak angkat berkewajiban melaksanakan tanggung jawab (swadharma) terhadap keluarga dan masyarakat, dan mendapatkan hak (swadikara) yang sama dengan anak kandung. Kewajiban terhadap keluarga dan masyarakat (desa adat) yang harus dilaksanakan, dapat dikelompokkan menjadi tiga: (1). Kewajiban yang berkaitan dengan aktivitas keagamaan sesuai
dengan ajaran agama Hindu (parhayangan), (2). kewajiban yang berhubungan dengan aktivitas kemanusiaan (pawongan) dan (3). Kewajiban memelihara lingkungan (palemahan) baik itu untuk kepentingan keluarga maupun masyarakat. Kewajiban sosial-spiritual ini pada dasarnya adalah untuk meneruskan penauran (membayar utang), yang dikenal dengan tri rna (tiga utang), yang terdiri atas: (1). Dewa rna atau utang jiwa kepada Tuhan. (2). Pitra rna atau utang kehidupan kepada leluhur (orangtua). (3). Rsi rna atau utang ilmu pengetahuan kepada orang-orang suci (termasuk guru). Utang yang nyata (sekala), dibayar secara nyata dalam bentuk materi, sementara utang gaib (niskala), ''dibayar'' dengan melaksanakan upacara agama sesuai dengan ajaran agama Hindu. Kasta dapat diartikan sebagai struktur masyarakat yang bertingkat berdasarkan keturunan (wangsa) seperti di Bali (sudra, wesya, kesatria dan brahmana), atau bisa juga diartikan sebagai profesi atau jabatan (buruh, pengusaha, prajurit, presiden). Idealnya pasangan suami-istri mengangkat anak yang berasal dari kasta yang sama. Berdasarkan penelitian di lapangan yaitu wawancara dengan Bendesa Adat Desa Ungasan, syarat-syarat anak yang diangkat menurut hukum adat Desa Ungasan adalah: pertamatama anak yang diangkat atau yang mau diangkat dari lingkungan keluarga purusa, dan apabila tidak ada yang pantas diangkat dari keluarga purusa, barulah dicari anak dari keluarga predana / perempuan. Apabila tidak ada yang mau / sama sekali tidak ada anak, barulah boleh mencari anak angkat dari luar keluarga atau masyarakat luas. Pada umumnya anak yang akan diangkat itu diutamakan anak laki-laki dan apabila tidak ada anak laki-laki barulah bisa terhadap anak perempuan. Oleh karena hal ini sesuai dengan sistem kekeluargaan yang ada atau dianut di Bali yaitu patrilineal / kebapaan dan menyangkut status dari pada anak yang bersangkutan. Oleh karena anak angkat yang bersangkutan diharapkan sekali dapat sebagai penerus keturunan dari keluarga yang mengangkat. Perbuatan pengangkatan anak yang ingin dilakukan ini pun harus sesuai dengan syaratsyarat yang ditentukan. Hal ini untuk membuktikan kebenaran suatu perbuatan hukum yang dilakukan dan demi adanya kepastian hukum. Adapun persyaratan yang dipenuhi dalam hal pengangkatan anak menurut Hukum adat Bali yaitu : (1). Orang yang melakukan pengangkatan anak itu harus berhak untuk melakukan perbuatan tersebut. (2). Anak yang diangkat itu harus memenuhi syarat. (3). Harus dipenuhi syarat upacara pengangkatan anak sesuai dengan adat
istiadat setempat. (4). Orang yang melakukan pengangkatan anak harus berhak untuk melakukan perbuatan tersebut Pada umumnya pengangkatan anak dilakukan oleh pasangan suami isteri yang dalam perkawinannya tidak dikaruniai seorang anak. Pengangkatan anak tujuannya sebagai pelanjut keturunan pihak keluarga laki-laki (suami), sehingga kewenangan ini ada pada pihak laki-laki. Didalam pengangkatan anak di Bali keluarga purusa akan menunjuk keluarga-keluarga terdekat untuk bisa diangkat. Hal ini disebabkan keturunan terdekat masih mempunyai ikatan yang kuat terhadap kewajiban-kewajiban kepada leluhur yang sama. Kemudian dari segi kewajiban kepada masyarakat, seorang laki-laki yang sudah kawin dalam suatu keluarga Hindu Bali diwajibkan turun ngayah, yaitu masuk menjadi anggota banjar dan melaksanakan kewajiban adat di desa adatnya. Persyaratan turun ngayah ini hanya boleh dilakukan oleh seorang laki-laki yang sudah kawin, karena kewajiban adat ini banyak memerlukan tenaga dan biaya. Anak yang diangkat harus memenuhi syarat, Usianya lebih muda dari yang mengangkat dan Diutamakan laki-laki. Apabila yang diangkat anak perempuan maka status hukum dari anak perempuan itu diubah menjadi status hukum laki-laki (purusa). Dengan jalan menetapkan sebagai sentana rajeg, sehingga apabila ia akan melangsungkan perkawinan suaminya kemudian akan berstatus perempuan (predana).
PEMBAHASAN Pada penelitian ini menujukkan bahwa Pada umumnya pengangkatan anak dilakukan oleh pasangan suami isteri yang dalam perkawinannya tidak dikaruniai seorang anak. Di Bali pengangkatan anak harus dilakukan melalui upacara adat, bentuk upacara yang dilakukan dalam pengangkatan anak di Bali berupa upacara keagamaan yang disebut upacara pemerasan . kemudian disiarkan dalam sangkep (rapat) banjar, agar seluruh krama banjar/desa menjadi tahu akan adanya perbuatan pengangkatan anak tersebut, dan Bendesa Adat mencatat pengangkatan anak tersebut (ilikita) sebagai administrasi dalam desa adat bahwa telah terjadi pengangkatan anak yang dilakukan oleh kramenya (warganya). Umumnya tata cara pengangkatan anak yang dilakukan oleh golongan penduduk Indonesia asli adalah secara terang benderang, yaitu dengan upacara adat. Di Bali pengangkatan anak harus dilakukan dengan terang melalui upacara adat dan dengan tunai, yaitu membayar sejumlah uang sebesar seribu kepeng disertai pakaian
perempuan kepada ibu kandung si anak. Bentuk upacara yang dilakukan dalam pengangkatan anak di Bali berupa upacara keagamaan yang disebut upacara pemerasan . Upacara pemerasan ini dilaksanakan dengan membuat sajen (banten) pemerasan, dimana saat upacara benang tridatu pada sajen dibakar dan ditarik oleh anak angkat sampai putus. Adapun tujuannya sebagai pemutus hubungan si anak angkat dengan orang tua kandungnya, dan membawa suatu makna memasukkan anak itu ke dalam lingkungan keluarga yang mengangkat. Akibatnya hak dan kewajiban orang tua angkat dalam bidang agama (immateriil) beralih kepada anak angkat, seperti si anak angkat mempunyai kewajiban harus mengabenkan orang tua angkat jika meninggal dunia nanti serta melakukan upacara peribadatan di sanggah milik orang tua pengangkat. Upacara pemerasan tersebut untuk terangnya akan dihadiri oleh anggota kerabat, para prajuru desa/banjar kemudian disiarkan dalam sangkep (rapat) banjar, agar seluruh krama banjar/desa menjadi tahu akan adanya perbuatan pengangkatan anak tersebut. Kemudian Bendesa Adat mencatat pengangkatan anak tersebut (ilikita). Pada umumnya, definisi pengangkatan anak adalah pengakuan seorang anak yang tidak ada hubungan secara biologis dengan orang tua yang mengangkatnya sebagai anak sendiri atau setara sebagai anak kandungnya dan bertanggung jawab atas kehidupan anak tersebut. Hal yang sedemikian rupa sering kita lihat di Indonesia, terutama kasus-kasus pengangkatan anak yang tidak ada hubungan dengan kerabat keluarga orang tua yang mengangkatnya. Bagi orang tua angkat syarat utamanya adalah mampu dari sisi ekonomi, yang dapat menghidupi kebutuhan anak angkat tersebut, di samping syarat-syarat lainnya, karena pengangkatan anak merupakan perbuatan hukum, seperti harus berakal sehat, dewasa, tidak dipaksa, bermotif positif bagi anak dan orang tua angkat. Sedangkan bagi orang tua asal (kandung) anak syaratnya adalah bahwa anak yang dilepaskan kepada orang lain adalah benar-benar anaknya yang sah dan dalam melepaskannya harus dengan suka rela, bukan atas paksaan. Syarat bagi anak yang diangkat (SEMA No. 6/1983): (1). Dalam hal calon anak angkat tersebut berada dalam asuhan suatu Yayasan Sosial harus dilampirkan surat izin tertulis Menteri Sosial bahwa Yayasan yang bersangkutan telah diizinkan bergerak di bidang kegiatan pengangkatan anak. Ini berarti bagi pengangkatan anak yang tidak diasuh dalam Yayasan Sosial tidak memerlukan surat izin dimaksud. (2). Calon anak angkat yang berada dalam asuhan Yayasan Sosial yang dimaksud di atas harus pula mempunyai izin tertulis dari Menteri Sosial
atau Pejabat yang ditunjuk bahwa anak tersebut diizinkan untuk diserahkan sebagai anak angkat. (3). Bagi pengangkatan anak WNA oleh orang tua angkat WNI dan anak WNI oleh orang tua angkat WNA, usia anak yang diangkat harus belum mencapai umur 5 tahun; dan ada penjelasan dari Menteri Sosial/pejabat yang ditunjuk bahwa anak WNA/WNI tersebut diizinkan untuk diangkat sebagai anak angkat oleh orang tua angkat WNI/WNA yang bersangkutan . (4). Pengangkatan anak antar WNI yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dengan orang tua angkat (private adoption) diperbolehkan. Begitu pula pengangkatan anak antar WNI yang dilakukan oleh seorang yang tidak terikat dalam perkawinan sah/belum menikah (single parent adoption) diperbolehkan. (5). Sedang pengangkatan anak WNA/WNI oleh orang tua angkat WNI/WNA harus dilakukan melalui Yayasan Sosial yang memiliki izin dari Menteri Sosial, sehingga pengangkatan anak yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dengan calon orang tua angkat (private adoption) tidak diperbolehkan. Demikian juga pengangkatan anak oleh orang yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah/belum menikah (single parent adoption) tidak diperbolehkan. (6). Di samping itu bagi orang tua angkat WNA harus telah berdomisili dan bekerja tetap di Indonesia sekurang-kuranya 3 tahun dan harus disertai izin tertulis Menteri Sosial atau pejabat yang ditunjuk, bahwa calon orang tua angkat WNA memperoleh izin untuk mengajukan permohonan pengangkatan anak seorang warga negera Indonesia; Pengangkatan anak menurut hukum Nasional juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak mengatur pengangkatan anak antar warga Negara Indonesia (WNI) dan pengangkatan anak antar warga Negara Indonesia (WNI) dengan warga Negara Asing (WNA). Hubungan anak angkat dengan orang tua angkatnya merupakan suatu proses hubungan yang didasari oleh kekuatan hukum adat Bali yang dilandasi oleh keterikatan kekeluargaan yang dapat dilihat melalui garis laki-laki (patrilineal). Berdasarkan hukum adat Bali dalam hal pengangkatan anak secara sah, maka kedudukan anak angkat akan sama seperti anak kandung sendiri, (Wayan P, 1990). Dengan adanya sistem kekeluargaan yang patrilineal, maka akan melahirkan suatu hak dan kewajiban bagi orang tua angkat maupun anak angkat sama seperti kedudukan orang tua kandung terhadap anaknya. Dengan lahirnya hak dan kewajiban yang baru tersebut, maka mengakibatkan terputusnya hubungan keluarga orang tua kandungnya. Sehubungan dengan adanya hak dan kewajiban dari anak angkat, I ketut Artadi berpendapat bahwa :anak angkat
melaksanakan kewajiban-kewajiban sama seperti anak kandung sendiri dan ia memikul kewajiban-kewajiban di banjar atau desa sebagai pelanjut dari kewajiban-kewajiban orang tua angkatnya di banjar atau desa, (Artadi, K 1987).
KESIMPULAN DAN SARAN Pada umumnya pengangkatan anak dilakukan oleh pasangan suami isteri yang dalam perkawinannya tidak dikaruniai seorang anak. Di Bali pengangkatan anak harus dilakukan melalui upacara adat, bentuk upacara yang dilakukan dalam pengangkatan anak di Bali berupa upacara keagamaan yang disebut upacara pemerasan . kemudian disiarkan dalam sangkep (rapat) banjar, agar seluruh krama banjar/desa menjadi tahu akan adanya perbuatan pengangkatan anak tersebut, dan Bendesa Adat mencatat pengangkatan anak tersebut (ilikita) sebagai administrasi dalam desa adat bahwa telah terjadi pengangkatan anak yang dilakukan oleh kramenya (warganya). Pengangkatan anak menurut hukum Nasional mengatur pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia (WNI) dan pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia (WNI) dengan Warga Negara Asing (WNA), kemudian permohonan pengangkatan anak yang telah memenuhi persyaratan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan. Dalam pengangkatan anak harus diperhatikan syarat-syarat menurut hukum adat setempat dan demi kepastian dan perlindungan hukum agar di mohonkan penetapan pada Pengadilan Negeri setempat sehingga tidak menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari yang pada akhirnya dapat mengakibatkan kurang terjaminnya nasib dan masa depan si anak angkat.
DAFTAR PUSTAKA Amir Martosedono, (1997). Tanya Jawab Pengangkatan Anak dan Masalahnya, Dahara Prize, Semarang. Amiruddin, (2012). Pengantar Metode Penelitian Hukum. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Artadi Ketut, (1987). Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya dilengkapi Yurisprudensi, Setia Kawan, Denpasar. Johnny Ibrahim, (2011). Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Surabaya Kaler, Gusti, Ketut, (1983). Butir-Butir Tercecer tentang Adat Bali, Bali Agung. Lexy Mooleong, (1990). Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung Mudaris Zaini, (1992). Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Sinar Grafika, Jakarta Pangkat, Gede, Wayan, (1990). Hukum Adat Waris di Bali, Putra Persada, Denpasar. Rusli Pandika, (2012). Hukum Pengangkatan Anak, Sinar Grafika, Jakarta. Soepomo, (2007). Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta. Soerojo Wignjodipoero, (1985). Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Guna Agung, Jakarta. Supranto J, (1997). Metode Riset,. Rineka Cipta, Jakarta. Sutha, Gusti, Ketut, (1987), Bunga Rampai Beberapa Aspekta Hukum Adat, Liberty, Yogyakarta.