Pengantar Memahami Astronomi Rukyat Mencari Solusi Keseragaman Waktu-waktu Ibadah oleh Dr.-Ing. H. Fahmi Amhar Astronom, Peneliti Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional Pengajar Pasca Sarjana Universitas Paramadina, Jakarta Aktivis Pusat Studi dan Khazanah Ilmu-ilmu Islam, Bogor Doktor alumnus Vienna University of Technology, 1997
1. Pendahuluan Pertanyaan yang sering muncul baik di kalangan ummat Islam maupun dari luar adalah, mengapa di dalam kalender hijri (kalender Islam) tidak ada kepastian dan konsistensi hari. Bila dalam kalender Internasional (kalender Masehi) tanggal 1 Januari 2001 jatuh hari Senin, maka di manapun 1 Januari 2001 itu adalah Senin. Namun pada kalender Hijri, tanggal 1 Syawal sering jatuh pada hari yang berbeda-beda, bahkan kadang dalam satu negeri, satu desa, bahkan satu rumah! Hal ini membuat kita bertanya-tanya, mengapa itu bisa terjadi, dan apa solusinya. Tulisan ini disarikan dari pengalaman penulis selama hampir 10 tahun serta dari ratusan kali ceramah dan diskusi dengan berbagai kalangan.
Sistem Kalender Kalender Hijri didasarkan pada perhitungan bulan murni. Sebenarnya bisa saja dibuat kalender hijri yang pasti dan konsisten. Misalnya dengan memakai suatu rumus kalender. Atau dengan hisab astronomi pada satu tempat tertentu (misal Makkah) dan dipakai untuk seluruh dunia (hisab global). Sistem kalender seperti ini pernah direkomendasikan dalam suatu pertemuan OKI dan juga telah banyak dipakai. Namun kegunaannya sebatas keperluan administrasi (misal membuat jadwal penerbangan). Sedang untuk keperluan ibadah (puasa, Ied, Haji), kalender ini tidak mengikat. Hal ini karena dalam masalah ibadah, pendapat yang lebih kuat adalah bahwa waktu-waktunya harus disesuaikan dengan fakta astronomi yang aktual (rukyatul hilal).
Astronomi Islam Kaum muslimin mulai mengembangkan astronomi yang akurat sejak mereka harus melakukan navigasi di tengah laut baik ketika mereka berbisnis ke India atau ke Cina, maupun ketika mereka harus berjihad menghadapi armada Romawi yang perkasa. Dalam astronomi ini dikembangkan metode observasi (rukyat) yang sistematis dan memenuhi kaidah serta syarat–syarat ilmiah, yaitu obyektif dan replicable. Dari ribuan observasi, maka berhasil dibuat rumusrumus hitungan (hisab) untuk melakukan prediksi ke depan. Dengan makin majunya ilmu dan teknologi, maka berhasil dibuat alat-alat rukyat yang lebih teliti dan dari observasinya berhasil lagi dibuat rumusrumus hisab yang juga makin teliti, dan seterusnya.
Hisab Hitungan hisab itu kini bisa diotomatisasi dengan pemrograman dalam komputer. Dengan demikian berbagai kesalahan manusia bisa dieliminasi. Salah satu contoh program komputer yang khusus dikembangkan untuk hisab kalender Hijri adalah software “Mawaaqit” yang semula dikembangkan oleh Club Astronomi Al-Farghani bersama ICMI Orsat Belanda dan kemudian dilanjutkan di Bakosurtanal. Mawaaqit ini menggunakan algoritma dengan ketelitian yang sangat tinggi, yaitu dari VSOP87, meskipun ada metode yang lebih sederhana. (Jean Meeus, 1991) menyatakan bahwa dengan teori dan algoritma VSOP87 akurasi yang didapatkan adalah lebih baik dari 0.01”. Untuk bumi, teori ini mengandung 2425 term periodis yang disediakan Buerau des Longitudes (Paris), yaitu 1080 term untuk bujur bumi, 348 untuk lintang dan 997 untuk vektor radius. Dengan algoritma yang lebih sederhana, misalnya dengan 49 term periodis, (Bretagnon & Simon, 1991) berani memberikan metode kalkulasi bujur dari matahari dengan akurasi 0.0006 derajat (2”.2) untuk tahun 0 sampai +2800 dan 0.0009 derajat (3”.2) untuk –4000 sampai dengan +8000. Metode ini sudah cukup untuk banyak aplikasi. Akurasi ini terbuktikan baik secara ilmiah misalnya dengan Lunar Laser Ranging, maupun secara praktis, yaitu di dunia pelayaran. Dunia pelayaran setiap hari memakai astronomi modern. Bila ada anomali atau kesalahan data astronomi, maka pasti akan langsung dirasakan para pelaut di seluruh dunia, dan mereka akan menggugat penerbit data astronomi tersebut. Dengan demikian hisab modern ini sudah mendekati pasti (qath’ie), apalagi bila ketelitian yang diperlukan cuma dalam hitungan menit. Dengan hisab modern ini bisa dihitung besaran-besaran hisab yang sangat penting, dua di antaranya adalah Ijtima’ dan Irtifa’.
Ijtima’ Ijtima’ adalah saat “bertemunya” (conjunction) bulan dan matahari pada bujur ekliptik yang sama. Bila lintangnya juga sama maka akan terjadi gerhana matahari. Sejak ratusan tahun yang lalu para astronom bisa menghitung ijtima’ ribuan tahun ke depan dengan kesalahan kurang dari satu menit. Ijtima’ terjadi serentak, dan cuma sekali setiap bulan. Peristiwa ijtima tidak bisa dilihat karena matahari di belakang bulan sangat menyilaukan. 1
Irtifa’, Wujud ul Hilal Setelah ijtima’, bulan yang makin tinggi lambat laun akan menyentuh horizon bagi tempat di muka bumi yang sedang mengalami matahari terbenam. Bila bulan ini tepat di horizon, maka dikatakan irtifa’-nya nol dan sejak itu dia “wujud” (wujud ul hilal). Makin lama irtifa’ ini makin besar. Dalam 24 jam (sehari) dia akan naik sekitar 12 derajat. Namun tidak setiap bulan di atas horizon akan membentuk “wujudul hilal”. Pada konstelasi tertentu, di lintang tertentu, bisa saja bulan berada di atas horizon meski belum ijtima’ (=wujud ul qomar). Karena itu irtifa’ harus digabung dengan umur bulan.
Karena masalah imkan belum ada konsensus, Muhammadiyah akhirnya memutuskan memakai wujudul hilal. Dari sini kelihatan bahwa meski metode hisab sama, namun bila kriteria imkan berbeda, hasilnyapun bisa berbeda satu hari. Di manakah bulan pertama kali mungkin terrukyat (imkan awal) ternyata bisa di mana saja. Tidak ada sebuah tempatpun yang memiliki privileg. Semua tergantung kondisi aktual. Secara astronomi, bisa dibuatkan garis tanggal hijri (Hijri Date Line / HDL), yaitu suatu garis tempat-tempat dengan irtifa’ (wujud, imkan) sama saat matahari terbenam di masing-masing tempat. HDL ini tiap bulan bergeser dan berubah bentuknya. Yang pasti, faktor cuaca tidak bisa diprediksi dengan hisab astronomi, karena tidak ada hubungannya.
Zona Waktu
Fig 1. Bumi-Bulan-Matahari
Rukyat ul Hilal Rukyat ul Hilal adalah metode praktis membuktikan apakah bulan sabit baru (hilal) terlihat atau tidak. Sebenarnya tidak mudah melakukan rukyatul hilal, sekalipun bagi astronom. Dalam astronomi obyek langit yang biasa dirukyat dianjurkan di atas sudut 15 derajat. Sedang rukyatul hilal justru dilakukan saat irtifa’ bulan masih sangat rendah. Sebenarnya rukyatul hilal semestinya dilakukan setelah ijtima’. Namun secara syar’i rukyat selalu harus dilakukan setiap tanggal 29 Sya’ban atau Ramadhan tanpa melihat sudah ijtima’ atau belum. Secara metodologi, pada saat ini rukyatul hilal jarang dilakukan secara ilmiah, yaitu obyektif, terrekam dan replicable. Pada umumnya yang diandalkan adalah kesaksian orang yang dianggap jujur, walaupun kini ada juga laporan rukyat yang ditolak karena nyata-nyata dimustahilkan hisab (misal irtifa’ negatif atau belum ijtima’ / masih bulan tua).
Ketika para pelaut Inggris mengelilingi dunia ke arah timur, mereka menghitung hari. Ternyata ketika kembali ke London dari arah barat, mereka dapatkan hari yang dihitung dalam perjalanan selalu lebih panjang sehari dari yang dihitung orang di London. Dan sebaliknya, bila keliling dunia ke arah barat, maka hari dalam perjalanan selalu lebih pendek sehari dibanding orang yang diam di London. Untuk menyelesaikan masalah ini, maka akhirnya para pelaut, geografer dan astronom sepakat untuk mendefinisikan suatu garis maya yang disebut garis tanggal internasional (International Date Line / IDL). Garis ini didefinisikan sebagai 180 derajat bujur barat/timur, dan melintas daerah jarang penduduk yaitu di Samudra Pasifik, meski ada sedikit modifikasi untuk tidak memotong satu negara pun di sana. Bila kita melintasi garis IDL ini, maka akan ada lompat hari. Bila dari Tuvalu kita berangkat Jum’at sore naik pesawat terbang ke West Samoa, maka setelah kurang lebih satu jam kita akan tiba di West Samoa pada Kamis sore! Meski kelihatan aneh, tapi garis maya ini harus ada agar ada konsistensi hari dan tanggal pada kalender internasional. Dan menurut garis tanggal ini pula kaum muslimin mendefinisikan nama-nama hari seperti Senin, Kamis, Jum’at dan sebagainya.
Fig 2. Hilal
Imkanur Rukyat Setiap ada kesaksian rukyat yang diterima, para ahli hisab akan melihat pada irtifa’ berapa laporan itu. Dari sini kemudian timbul berbagai teori tentang “kapan secara astronomis hilal mungkin dilihat”. Inilah konsep “imkanur rukyat”. Masalahnya angka imkan yang ada berbeda-beda. Kitab-kitab ilmu falak tua masih memakai 7 derajat. Di Turki memakai 5 derajat. Di Indonesia Jama’ah Persis konsisten memakai hisab mutlak dengan imkan 2 derajat. PBNU tetap akan merukyat namun akan menolak rukyat sementara irtifa’ masih kurang dari 2 derajat.
Fig 3. Bumi dengan IDL-nya.
2
2. Faktor-faktor Keragaman
Faktor Politis
Dari uraian di muka, terlihat ada faktor teknis yang memungkinkan keragaman waktu ibadah. Namun selain itu ada juga faktor fiqh dan faktor politis. Dan ini bisa jadi justru lebih dominan.
Dari sini kelihatan bahwa faktor fiqh dan teknis yang beraneka ragam itu harus disatukan, dan itu tidak bisa selain dengan suatu otoritas yang legitimate baik secara real politis maupun secara syar’ie, yang akan mengadopsi (tabbani) salah satu pendapat yang argumentasinya paling kuat, entah dari segi fiqh maupun teknis rukyat/hisab.
Faktor Fiqh Yang klasik dipertentangkan orang adalah disput antara “rukyat bil fi’li” (dengan mata telanjang) dan hisab yang juga di-klaim sebagai “rukyat bil ‘ilmi”. Di Indonesia hisab mutlak diwakili oleh Muhammadiyah dan Persis. Kedua ormas ini tidak merasa perlu lagi melakukan rukyat, karena hisab dianggap cukup dan tidak lagi menyulitkan. Sementara rukyat diwakili NU, walaupun sebenarnya NU juga memakai hisab, walau tetap harus disahkan rukyat. Setidaknya NU berani menolak rukyat yang dimustahilkan hisab.
Keputusan ini lebih bersifat politis, karena memang yang dihadapi tidak lagi hukum atau teknis, tetapi masalah yang berkaitan dengan politik juga, yakni semangat kebangsaan (nasionalisme) sempit atau fanatisme golongan (sektarian) yang membuat orang memilih suatu pendapat bukan secara syar’ie atau berdasarkan ilmu pengetahuan.
Disput yang kedua adalah masalah daerah berlaku rukyat (rukyat lokal vs global). Penganut rukyat lokal berpegang pada mazhab Syafii yang mengenal konsep matla (sejauh radius 120km). Dalam praktek batas matla ini tidak jelas, sehingga lalu muncul “wilayatul hukmi”. Masalahnya bila wilayah itu amat luas, seperti Rusia atau Daulah Islam di masa lalu.
Dalam menghadapi keragaman saat ibadah dewasa ini, di mana belum ada otoritas yang legitimate bagi seluruh kaum muslimin, maka mau tak mau ummat akan berpegang pada siapa yang mereka percaya, entah itu seorang ustadz, amir gerakan, pemerintah ataupun kabar dari luar negeri, misalnya Saudi.
Faktor Teknis Andaikata orang sepakat dengan hisab saja atau rukyat saja atau rukyat global, maka hasilnya tetap bisa berbeda secara teknis, yakni bila metode hitungan dan kriteria imkan yang dipakai dalam hisab berbeda, sehingga 29 sya’ban pun berbeda, dan orang akan rukyat pada hari yang berbeda. Sedang pendapat tentang syarat-syarat rukyat pun bisa beraneka ragam. Ada yang mengharuskan syarat-syarat kesehatan (misal tidak berkacamata), syarat intelektual, syarat kejujuran dsb. Demikian juga perlengkapan yang dipakai, dan petunjuk operasional pada saat rukyat dilakukan. Selain dua masalah di atas, yang termasuk problem teknis adalah masalah yang ditimbulkan oleh perbedaan IDL dengan HDL. Akibatnya suatu berita rukyat akan diterima serentak (real-time) di segala penjuru dunia pada 24 zona waktu yang berbeda. Akibatnya bisa saja terjadi, suatu berita diterima di saat yang sama (bukan terlambat!) pada tempat lain yang “masih pagi/siang” atau “sudah pagi/siang”. Andaikata hal-hal ini tidak diperhatikan, maka bisa terjadi, suatu daerah hanya berpuasa 28 hari, sebab harus serentak mengikuti rukyat daerah lain. Hal ini bisa diatasi dengan pasal tambahan misalnya, hasil rukyat global hanya diikuti daerah di sebelah kiri HDL. Yang di sebelah kanan HDL dianggap “masih siang”, sehingga baru masuk tanggal satu magrib setelah itu. Akibatnya hari untuk tanggal 1 bulan Hijri akan berbeda, walau tetap serentak. Dalam hal ini, kalender hijri untuk keperluan sipil (administrasi) bisa saja tidak perlu dirubah, dan dualisme kalender ini (sipil – ibadah) diijinkan pada saat-saat tertentu.
3. Solusi
Untuk hal-hal ibadah mahdhoh, sebenarnya tidak diperlukan kepastian yang tinggi, melainkan cukup dugaan yang kuat (ghulabatud dhon). Seperti halnya tatkala orang tidak tahu arah kiblat yang pasti, maka dia boleh sholat ke arah mana saja yang dia perkirakan paling benar. Andaipun bila kemudian ternyata keliru, dia tidak harus mengulang sholatnya. Barangkali ini adalah solusi jangka pendek. Sedang solusi jangka panjang berangkat dari kenyataan, bahwa ibadah seperti puasa atau haji tetap memiliki unsur sosial, karena berkaitan dengan keramaian akbar. Maka di sini peran penguasa yang “keputusannya mampu menghentikan perbedaan” (Amrul Imam yarfa’ul khilaf) sangat dinanti-nanti. Nantinya, penguasa ini, yang dalam Fiqh Siyasah disebut Khalifah, berkewajiban mengadopsi (tabbani) sejumlah hal, misalnya: 1.
Landasan syar’ie rukyat dan rukyat global.
2. 3.
Salah satu metode hisab yang terbukti akurat Salah satu kriteria imkan
4.
Syarat-syarat rukyat yang dapat diterima
5.
Solusi untuk masalah zone dalam rukyat global
6.
Metode penyebaran informasi rukyat
7.
Pemberlakuan hari ibadah dan sanksinya.
Namun yang jelas untuk menuju ke arah itu, institusi khilafah sendiri harus diperjuangkan dulu. Nantinya institusi ini tidak hanya akan menyeragamkan saatsaat ibadah kaum muslimin, namun juga menjawab ribuan masalah kaum muslimin di dunia saat ini, dan sekaligus memberikan solusi problematika dunia yang adil dan penuh rahmat bagi seluruh alam.
Dr. Fahmi Amhar
3
Lampiran (untuk tahun 1423H / 2002M) Untuk 1 Sya’ban 1423H Ijtima’ 6 Okt 2002 pukul 11:18 GMT. Pada tanggal 6 Okt itu dilaporkan hilal kelihatan di USA. Bila mengikuti ini, maka 7 Okt 2002 = 1 Sya’ban => 4 Nov 2002 = 29 Sya’ban (hari Rukyat adalah Senin sore!), bila hilal tampak => 5 Nov = 1 Ramadhan bila hilal tak tampak, maka istikmal => 5 Nov = 30 Sya’ban! => 6 Nov = 1 Ramadhan. Di Indonesia, pada umumnya kalendar (misalnya kalender terbitan GIP) menunjukkan 7 Okt 2002 = 30 Rojab => 4 Nov = 28 Sya’ban => 5 Nov = 29 Sya’ban (hari Rukyat adalah Selasa sore)! bila hilal tampak => 6 Nov = 1 Ramadhan; bila hilal tak tampak, maka istikmal => 6 Nov = 30 Sya’ban! => 7 Nov = 1 Ramadhan. Perbedaan 1 Sya’ban yang berakibat perbedaan hari rukyat di atas dapat ditelusuri pada gambar situasi pada 6 Oktober yang lalu di seluruh dunia. Di situ tampak bahwa pada tanggal tersebut, di wilayah USA hilal memang secara astronomis bisa dirukyat, sedang di Indonesia belum, bahkan belum ijtima’.
Fig L1: Peta ketinggian bulan pada saat matahari terbenam di masing-masing tempat untuk 6 Oktober 2002 Karena kondisi ini memungkinkan perselisihan permulaan puasa secara global, misalnya karena akan ada laporan hilal pada Senin 4 Nov 2002 itu, maka sangat penting untuk mengetahui kondisi astronomis pada 4 Nov 2002 dan 5 Nov 2002.
4
Untuk 1 Ramadhan 1423H Ijtima : 04 Nov 2002 pukul 20:35 GMT (05 Nov 2002 pukul 03:35 WIB) Artinya, di Nusantara, mustahil hilal Ramadhan 1423 H bisa dirukyat pada Senin 4 Nov 2002, karena belum ijtima’ sehingga tidak pula menarik untuk mengkajinya lagi. Jadi yang lebih penting adalah situasi pada 05 Nov 2002. Gambarnya adalah sebagai berikut:
Fig L2: Peta ketinggian bulan pada saat matahari terbenam di masing-masing tempat untuk 5 November 2002 Dari peta ini terlihat, bahwa pada Selasa 5 November 2002, irtifa’ di Indonesia berkisar antara 5 - 7 derajat. Maka diharapkan yang memegang mazhab hisab manapun (wujudul hilal, imkan 2 derajat, imkan 5 derajat) akan memulai puasa pada Rabu 6 November 2002. Para pemegang mazhab rukyatpun diharapkan juga lebih mudah mendeteksi hilal yang sudah cukup tinggi. Tentu saja, bila seluruh wilayah Nusantara terhalang awan atau kabut asap, cukup sulit untuk mengandalkan hanya rukyat lokal (rukyat matla). Bisa-bisa mereka istikmal, sehingga mulai puasa Kamis 7 November 2002. Karena itu, sudah semestinya untuk beralih ke rukyat global, dan tidak mencukupkan dengan istikmal bila mana rukyat lokal tidak melihat hilal. Yang menjadi masalah adalah bila pemegang mazhab rukyat akan merukyat pada Senin 4 November 2002. Andaikata di Indonesia Selasa 5 November 2002 itu hilal bisa dirukyat, dan serentak seluruh dunia mengikutinya, maka di Amerika Serikat yang berselisih 12 jam dengan Indonesia “sudah” atau “masih” pagi? Faktanya di sana “masih” Selasa pagi. Apakah Selasa itu juga mereka harus imsaq? Atau menunggu Maghrib? Bila Selasa itu juga mereka imsaq, sedangkan di sana baru 29 Sya’ban pagi, maka berarti bulan Sya’ban di Amerika cuma berumur 28 hari! Dan itu tidak mungkin. Lain halnya kalau 29 Sya’ban di Amerika memang lebih awal 1 hari juga.
5
Untuk 1 Syawal 1423H Ijtima’ 04 Dec 2002 pukul 07:35 GMT (04 Dec 2002 pukul 14.35 GMT) Bila 1 Ramadhan jatuh pada 6 Nov 2002, maka 29 Ramadhan (hari Rukyat Syawal) jatuh pada 4 Desember 2002.
Fig L3: Peta ketinggian bulan pada saat matahari terbenam di masing-masing tempat untuk 4 Desember 2002 Dari peta ini terlihat, bahwa pada Rabu 4 Desember 2002, irtifa’ di Indonesia masih kurang dari 1 derajat. Maka akan terjadi perbedaan hasil hisab akibat variasi mazhab. Mazhab hisab wujudul hilal barangkali akan memutuskan untuk Iedul Fitri pada Kamis 5 Desember 2002. Sementara mazhab hisab yang lain (2 derajat, 5 derajat) akan memutuskan istikmal, sehingga Iedul Fitri baru hari Jum’at 6 Desember 2002. Adapun mazhab Rukyat, kalau mereka memulai puasa 1 hari lebih awal (5 Nov 2002) tentu saja tgl 4 Desember itu sudah 30 Sya’ban, jadi mau tidak mau mereka akan Iedul Fitri Kamis 5 Desember. Sedang mereka yang 4 Desember itu masih 29 Sya’ban, akan mencoba merukyat, dan kemungkinan tidak mendapatkannya di wilayah Nusantara, sehingga bagi penganut rukyat lokal (rukyat matla), akan istikmal, atau Iedul Fitri baru 6 Desember 2002. Bagi penganut rukyat global, maka Rabu malam itu sampai Kamis dini hari mereka akan mencoba mencari berita di manca negara. Kawasan Timur Tengah, Afrika, atau Amerika Latin barangkali akan mampu melihat hilal, karena secara astronomis hilal lebih tinggi. Bisa saja ada berita hilal terlihat, sekalipun agak sulit memvalidasinya. Bisa saja berita itu bukan realita hilal terlihat, namun karena di sana sudah istikmal (karena perbedaan awal Ramadhan). Karena itu tetap ada kemungkinan mereka akan Iedul Fitri Kamis 5 Desember.
6