PENGARUH ANESTESI LOKAL SAAT PENCABUTAN GIGI TERHADAP

Komplikasi serius dari anestesi lokal jarang terjadi, tetapi kejadian fatal akibat pemberian anestesi lokal telah dilaporkan. Komplikasi pemakaian ane...

74 downloads 832 Views 561KB Size
PENGARUH ANESTESI LOKAL SAAT PENCABUTAN GIGI TERHADAP TERJADINYA BELL’S PALSY

Ida Ayu Eka Putri NPM : 10.8.03.81.41.1.5.024

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR DENPASAR 2014

i

PENGARUH ANESTESI LOKAL SAAT PENCABUTAN GIGI TERHADAP TERJADINYA BELL’S PALSY

Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi pada Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

Oleh : Ida Ayu Eka Putri NPM : 10.8.03.81.41.1.5.024

Menyetujui Dosen Pembimbing

Pembimbing I

drg. Hendri Poernomo,M.Biotech NPK : 827 003 222

Pembimbing II

drg. Putu Sulistiawati Dewi NPK : 827 408 303

Tim Penguji skripsi Sarjana Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar telah meneliti dan mengetahui cara pembuatan skripsi dengan judul: “PENGARUH ANESTESI LOKAL SAAT PENCABUTAN GIGI TERHADAP TERJADINYA BELL‟S PALSY” yang telah dipertanggung jawabkan oleh calon sarjana yang bersangkutan pada tanggal 25 Februari 2014. Maka atas nama Tim Penguji skripsi Sarjana Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar dapat mengesahkan.

Denpasar, 25 Februari 2014

Tim Penguji Skripsi FKG Universitas Mahasaraswati Denpasar Ketua,

drg. Hendri Poernomo,M.Biotech NPK : 827 003 222

Anggota :

Tanda Tangan

1. drg. Putu Sulistiawati Dewi

1……………..

2. drg. Durra Mufida

2……………..

Mengesahkan, Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

drg. P.A.Mahendri Kusumawati, M.Kes., FISID. NIP 19590512 198903 2 001

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Anestesi Lokal Saat Pencabutan Gigi Terhadap Terjadinya Bell‟s Palsy” ini tepat pada waktunya. Skripsi ini disusun untuk memenuhi kewajiban penulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi (SKG) pada Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaswati Denpasar. Mengingat keterbatasan penulis maka penulis sangat menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak mungkin berjalan lancar tanpa bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat: 1. drg. Hendri Poernomo,M.Biotech selaku dosen pembimbing I dan selaku dosen penguji atas segala upaya dan bantuan beliau yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam mewujudkan skripsi ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik. 2. drg. Putu Sulistiawati Dewi selaku dosen pembimbing II dan selaku dosen penguji atas segala bimbingan dan petunjuk yang diberikan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. 3. drg. Durra Mufida selaku dosen penguji yang telah bersedia menguji serta memberikan koreksi dan masukan kepada penulis

iv

4. Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar. 5. Ayah Ibu dan keluarga yang selalu memberikan dorongan moril maupun material sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 6. Candra Yoga yang selalu memberikan semangat, perhatian dan doa. 7. Wanda, Dian, Nindia Ayu, Manik, Isma, dan teman-teman Cranter serta semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, atas dorongan dan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis

mohon

maaf

sebesar-besarnya

jika

ada

kekurangan.

Penulis

mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun. Penulis berharap semoga karya tulis ini berguna bagi pembacanya.

Denpasar, 25 Februari 2014

Penulis

v

PENGARUH ANESTESI LOKAL SAAT PENCABUTAN GIGI TERHADAP TERJADINYA BELL’S PALSY

ABSTRAK Bell’s palsy merupakan suatu sindrom kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf pusat, tanpa adanya penyakit neurologik lain. Penyebab yang pasti dari kejadian ini belum diketahui, namun penyebab terjadinya bell’s palsy di bidang kedokteran gigi dapat disebabkan oleh komplikasi setelah penyuntikan anestesi lokal pada waktu pencabutan gigi. Pada penderita bell’s palsy yang disebabkan adanya kesalahan pemberian anastesi lokal sewaktu pencabutan gigi maka kepada pasien harus dijelaskan bahwa komplikasi ini akan hilang setelah agen anastesi lokal hilang. Hal ini dapat dihindarkan dengan memberikan kedalaman suntikan yang tepat. Kata kunci: Bell’s palsy, kelemahan wajah, anestesi lokal

vi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................

i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..............................................

ii

HALAMAN PERSETUJUAN PENGUJI DAN PENGESAHAN DEKAN ...

iii

KATA PENGANTAR .....................................................................................

iv

ABSTRAK .......................................................................................................

vi

DAFTAR ISI ....................................................................................................

vii

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................

ix

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................

1

A. Latar Belakang ............................................................................

1

B. Rumusan Masalah .......................................................................

4

C. Tujuan Penelitian ........................................................................

4

D. Manfaat Penelitian ......................................................................

4

BAB II ANESTESI LOKAL ..........................................................................

5

A. Pengertian Anestesi.....................................................................

5

B. Indikasi dan Kontra Indikasi Anestesi Lokal ..............................

5

C. Persiapan Pra Anestesi ................................................................

7

D. Komplikasi Anestesi Lokal ..............................................................

8

1. Kerusakan Jarum ....................................................................

8

2. Parestesi .................................................................................

8

3. Trismus ..................................................................................

9

4. Luka Jaringan Lunak..............................................................

9

5. Hematoma .....................................................................................

9

vii

6. Nyeri ......................................................................................

10

7. Rasa Terbakar ........................................................................

10

8. Infeksi ....................................................................................

10

9. Edema ....................................................................................

11

10. Pengelupasan Jaringan ...........................................................

11

11. Lesi Intraoral Post Anestesi ...................................................

11

12. Paralisis Nervus Fasialis .......................................................

12

BAB III BELL‟S PALSY ................................................................................

14

A. Pengertian ...................................................................................

14

B. Etiologi ........................................................................................

15

C. Tanda Dan Gejala ........................................................................

20

D. Gambaran Klinis ..........................................................................

21

E. Diagnosis Banding .......................................................................

22

F. Komplikasi ...................................................................................

23

G. Perawatan dan Prognosis .............................................................

25

BAB IV PENGARUH ANESTESI LOKAL SAAT PENCABUTAN GIGI TERHADAP TERJADINYA BELL‟S PALSY ................................

28

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN..........................................................

32

A. Simpulan ......................................................................................

32

B. Saran ............................................................................................

33

DAFTAR PUSTAKA

viii

DAFTAR GAMBAR Gambar 3.1 Gambaran Bell‟s Palsy................................................................

15

Gambar 3.2 Kelumpuhan Bell (Bell‟s Palsy) (A) Waktu istirahat, (B) Penderita setelah diminta untuk memperlihatkan giginya, (C) Penderita setelah diminta untuk menutup matanya ....................

21

ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Bell’s palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf pusat, tanpa adanya penyakit neurologik lainnya. Sindrom ini pertama sekali dideskripsikan pada tahun 1821 oleh seorang anatomis dokter bedah bernama Sir Charles Bell, orang pertama yang menjelaskan kondisi ini dan menghubungkan dengan kelainan pada saraf wajah (Lowis dan Gaharu 2012). Insidens sindrom ini sekitar 23 kasus per 100.000 orang setiap tahun. Manifestasi klinisnya terkadang dianggap sebagai suatu serangan stroke atau gambaran tumor yang menyebabkan separuh tubuh lumpuh atau tampilan distorsi wajah yang akan bersifat permanen. Karena itu, perlu diketahui oleh dokter agar tata laksana yang tepat dapat diberikan tanpa melupakan diagnosis banding yang mungkin didapatkan (Lowis dan Gaharu 2012). Bell’s palsy adalah sebuah kelainan dan gangguan neurologi pada nervus cranialis VII (saraf facialis) di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Paralyse bell hampir selalu terjadi unilateral, namun demikian dalam jarak satu minggu atau lebih dapat terjadi paralysis bilateral (Attaufiq 2011).

1

2

Penyakit ini dapat berulang atau kambuh, yang menyebabkan kelemahan atau paralysis, ketidaksimetrisan kekuatan/aktivitas muskular pada kedua sisi wajah (kanan dan kiri), serta distorsi wajah yang khas. Hal ini sangat menyiksa diri karena membuat orang menjadi kurang percaya diri. Wajah menjadi asimetris karena sudut mulut dan sudut mata turun ke bawah sehingga tidak simetris dengan wajah yang tidak terkena. Mata tidak bisa berkedip, mata berair, bila tersenyum maka pada bagian yang lumpuh tetap tidak bergerak sehingga senyum menjadi tidak seimbang antara sudut kiri dan sudut kanan (Attaufiq 2011). Kelumpuhan wajah adalah gangguan yang memiliki dampak yang besar pada pasien. Kelumpuhan saraf wajah karena bawaan, neoplastik, akibat dari infeksi, trauma, eksposur beracun, penyebab iatrogenik. Penyebab paling umum dari kelumpuhan wajah unilateral bell’s palsy disebut kelumpuhan wajah idiopatik. Penyebab yang pasti dari kejadian ini belum diketahui, namun bisa terjadi akibat reaktivasi herpes simpleks atau herpes zoster pada ganglion genikulata, edema atau iskhemia syaraf, dan kerusakan syaraf akibat autoimun (Attaufiq 2011). Bell’s palsy terjadi secara tiba-tiba beberapa jam sampai beberapa hari (maksimal 7 hari). Penderita juga mengeluhkan nyeri di sekitar telinga, rasa bengkak atau kaku pada wajah walaupun tidak ada gangguan sensorik. Kadangkadang diikuti oleh hiperakusis, berkurangnya produksi air mata, hipersalivasi dan berubahnya pengecapan. Kelumpuhan saraf fasialis dapat terjadi secara parsial atau komplit. Kelumpuhan parsial dalam 1–7 hari dapat berubah menjadi kelumpuhan komplit (Elsevier 2007).

3 Prevalensi bell’s palsy di Indonesia, secara pasti sulit ditentukan. Data yang dikumpulkan didapatkan frekuensi bell’s palsy sebesar 19,55% dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21–50 tahun, peluang terjadinya pada wanita dan pria sama. Pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terkena udara dingin atau angin berlebihan (Annsilva 2010). Bell’s palsy ditandai dengan onset akut unilateral paralisis nervus cranialis 7. Ini sering dikaitkan dengan nyeri telinga dan tahap prodromal virus. Trauma nervus cranialis 7 dapat terjadi akibat patah tulang temporal, laserasi saraf wajah atau setelah operasi iatrogenik. Ramsay Hunt Syndrome ditandai dengan tiba-tiba mengalami sakit, erupsi vesicular pada saluran pendengaran eksternal dan daun telinga, gangguan pendengaran dan gangguan keseimbangan. Tumor yang terlibat dalam fasial palsy ditandai dengan hilangnya perlahan-lahan sensasi dan fungsi motorik dengan kurangnya peningkatan setelah tiga bulan. Infeksi penyebab fasial palsy termasuk virus, otitis media, HIV, tuberkulosis dan penyakit limfosit. Penyebab saraf pusat termasuk lesi yang melibatkan area motor wajah dan myasthenia gravis (Owsley dkk. 2012). Kemungkinan penyebab terjadinya bell’s palsy di bidang kedokteran gigi dapat disebabkan oleh komplikasi setelah penyuntikan anestesi pada Waktu pencabutan gigi, adanya infeksi di daerah mulut dan trauma pada waktu operasi sendi temporomandibula, operasi glandula parotis, dan fraktur pada ramus mandibula. Perawatan yang dilakukan pada penderita ini adalah istirahat, fisioterapi, dan pemberian obat-obatan (Milala 2001). Diagnosis penyebab lain dari fasial palsy meliputi: bell’s palsy, trauma, herpes zoster oticus (Ramsay Hunt Syndrome), tumor, infeksi, dan lesi system saraf pusat (Owsley dkk. 2012).

4

Maka pada penulisan ini yang akan dibahas mengenai bagaimana mengenali Terjadinya bell’s palsy, mencegah dan mengatasi komplikasi setelah penyuntikan anestesi lokal pada saat melakukan pencabutan gigi.

B. Rumusan Masalah Adapun permasalahan yang diangkat dalam penulisan ini, yaitu “Bagaimana pengaruh anestesi lokal saat pencabutan gigi terhadap terjadinya bell‟s palsy?”

C. Tujuan Kajian Pustaka Tujuan dari penulisan kajian pustaka ini adalah untuk mengetahui pengaruh anestesi lokal saat pencabutan gigi terhadap terjadinya bell‟s palsy. D. Manfaat Kajian Pustaka Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan skripsi ini, yaitu : 1. Untuk menambah pengetahuan penulis mengenai pengaruh anestesi lokal saat pencabutan gigi terhadap terjadinya paralisis fasialis perifer. 2. Untuk meningkatkan ketrampilan operator dalam mengatasi komplikasi setelah anestesi pada saat melakukan pencabutan gigi. 3. Memberikan masukan kepada pembaca khususnya dokter gigi dan mahasiswa untuk lebih memperhatikan dalam melakukan pencabutan serta komplikasi yang terjadi.

BAB II ANESTESI LOKAL

A. Pengertian Anastesi Anestesi berasal dari kata yunanian yang berarti tidak atau tanpa dan aesthētos yang berarti persepsi atau kemampuan untuk merasa. Secara umum berarti suatu tindakan yang menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Penggunaan istilah anestesi untuk pertama kali digunakan oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1948 yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena anestesi adalah pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan (Latief dkk. 2001). Anestesi lokal didefinisikan sebagai tindakan yang menghilangkan rasa nyeri atau sakit untuk sementara, tanpa disertai hilangnya kesadaran. Anestesi lokal digunakan untuk mengurangi nyeri sehingga pasien merasa nyaman saat dilakukan tindakan dan dokter gigi mampu bekerja dengan baik serta dapat digunakan untuk mengidentifikasikan penyebab nyeri pada wajah (Malamed dan Stanley 2004).

B. Indikasi dan Kontra Indikasi Anestesi Lokal Anestesi lokal telah digunakan secara luas di bidang kedokteran umum dan gigi. Komplikasi serius dari anestesi lokal jarang terjadi, tetapi kejadian fatal akibat pemberian anestesi lokal telah dilaporkan. Komplikasi pemakaian anestesi lokal berkisar dari gejala ringan yang terjadi akibat absorbsi sistemik anestesi lokal pada pemberian yang benar dan sesuai dosis sampai gejala berat pada sistem

5

6

saraf pusat (SSP) dan toksisitas pada jantung akibat penyuntikkan intravaskuler yang tidak disengaja yang dapat menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat keparahan toksisitas sistemik anastesi lokal, diantaranya faktor risiko yang ada pada pasien, obat-obatan penyerta, lokasi penyuntikkan dan teknik anestesi, jenis obat anestesi, total dosis yang digunakan, kecepatan pengenalan tanda intoksikasi dan keadekuatan pengelolaan (Rindarto dan Sutiyono 2009). Dalam bidang kedokteran gigi, secara umum anestesi lokal diindikasi untuk berbagai tindakan bedah yang dapat menimbulkan rasa sakit yang tidak tertahankan oleh pasien, diantaranya ekstraksi gigi, apikoektomi, gingivektomi, gingivoplasti, bedah periodontal, pulpektomi, pulpotomi, alveoplasti, implan gigi, perawatan fraktur rahang, reimplantasi gigi avulsi, perikoronitis, kista, bedah tumor, bedah odontoma, penjahitan dan flapping pada jaringan mukoperiosteum (Malamed dan Stanley 2004). Kontraindikasi dari pemberian anestesi lokal, antara lain adanya infeksi/inflamasi akut pada daerah injeksi apabila melakukan anestesi secara injeksi (hindari bloking saraf alveolaris inferior gigi pada dasar mulut atau area retromolar), penderita hemofilia, Christmas Disease, Von Willebrand Disease, alergi, penderita hipertensi yang tidak terkontrol, penderita penyakit hati/liver dan penderita usia lanjut perlu diperhatikan adanya kelainan hati dan ginjal (Malamed dan Stanley 2004).

7

C. Persiapan Pra Anestesi Persiapan pra anestesi ini mencakup tiga persiapan,yaitu persiapan diri, persiapan alat dan bahan, dan persiapan pasien. Persiapan diri harus sehat fisik dan psikis, memiliki pengetahuan dan keterampilan teknik anestesi yang memadai dan memiliki mental yang baik untuk mengatasi apabila terjadi keadaan yang mengancam jiwa pasien (Malamed dan Stanley 2004). Persiapan alat dan bahan anestesi yang biasa digunakan adalah syringe untuk menyutikkan bahan atau agen anestesi lokal ke daerah yang akan dianestesi. Hal ini perlu diperhatikan agar penyuntikan berjalan cepat dan lancar. Kemudian siapkan mukosa yang akan disuntik, dan siap dilakukan penyuntikan langsung pada daerah yang dikehendaki (Malamed dan Stanley 2004). Evaluasi pra anestesi dilakukan melalui anamnesis serta evaluasi kondisi fisik pasien. Dalam anamnesis pasien ditanyakan tentang riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita. Penyakit-penyakit yang umumnya ditanyakan kepada pasien dalam evaluasi pra anestesi adalah kelainan jantung, hipotensi, diabetes, gagal ginjal, penyakit liver, alergi terhadap obat, hipertensi, rematik, asma, anemia, epilepsi, serta kelainan darah. Obat-obatan yang sedang dikonsumsi, riwayat alergi, dan beberapa keluhan-keluhan yang mungkin dialami oleh pasien. Dalam evaluasi pra anestesi ini pula ditanyakan tentang ketakutan pasien sebelum dilakukan anestesi sehingga keadaan psikologis pasien dapat dievaluasi (Baart dan Brand 2008). Pemeriksaan fisik pra anestesi yang perlu dilakukan adalah inspeksi visual untuk mengobservasi adanya kelainan pada postur tubuh pasien, gerakan tubuh,

8

bicara, dan evaluasi tanda vital serta status kesehatan fisik (Malamed dan Stanley 2004).

D. Komplikasi Anastesi Lokal Menurut Baart dan Brand (2008) bahwa terdapat beberapa komplikasi anastesi lokal pada saat pencabutan, yaitu : 1. Kerusakan Jarum Penyebab umum patahnya jarum adalah gerakan tiba-tiba yang tidak terduga pada pasien saat jarum memasuki otot atau kontak periosteum. Jika pasien berlawanan dengan arah jarum maka tekanan yang adekuat ini akan menyebabkan patah

jarum.

Penyebab

utamanya

adalah

kelemahan

jarum

dengan

membengkokkannya sebelum di insersi ke dalam mulut pasien. Perawatan jika terjadi jarum patah adalah pasien diharapkan tetap tenang dan jangan panik, instruksikan pasien untuk tidak bergerak, jaga mulut pasien agar tetap terbuka, gunakan bite block dalam mulut pasien. Jika patahan masih terlihat, coba untuk mengambilnya. 2. Parestesi Pasien merasa mati rasa selama beberapa jam atau bahkan berhari-hari setelah anestesi lokal. Penyebabnya karena trauma pada beberapa saraf, injeksi anestesi lokal yang terkontaminasi alkohol atau cairan sterilisasi yang menyebabkan iritasi sehingga dapat mengakibatkan edema dan sampai menjadi parastesi. Parastesi dapat sembuh sendiri dalam waktu 8 minggu dan jika kerusakan pada saraf lebih berat maka parastesi dapat menjadi permanen, namun jarang terjadi. Perawatan pada pasien yang mengalami parastesi adalah yakinkan kembali

9

pasien dengan berbicara secara personal, jelaskan bahwa parastesi jarang terjadi hanya 22% telah dilaporkan yang berkembang menjadi parastesi, periksa pasien untuk menentukan derajat dan luas parastesi, jelaskan pada pasien bahwa parastesi akan sembuh sendiri dalam waktu 2 bulan. Jadwal ulang pertemuan setiap 2 bulan sampai adanya pengurangan reaksi sensori. Jika ada, maka konsultasi ke bagian Bedah Mulut. 3. Trismus Trismus adalah kejang tetanik yang berkepanjangan dari otot rahang dengan pembukaan mulut menjadi terbatas (rahang terkunci). Etiologinya karena trauma pada otot atau pembuluh darah pada fossa infra temporal. Kontaminasi alkohol dan larutan sterlisasi dapat menyebabkan iritasi jaringan kemudian menjadi trismus. Hemoragi juga penyebab lain trismus. 4. Luka jaringan lunak Trauma pada bibir dan lidah biasanya disebabkan karena pasien tidak hatihati menggigit bibir atau menghisap jaringan yang teranastesi. Hal ini menyebabkan pembengkakan dan nyeri yang siginifikan. Kejadian ini sering terjadi pada anak-anak handicapped. 5. Hematoma Hematoma dapat terjadi karena kebocoran arteri atau vena setelah blok nervus alveolar superior posterior atau nervus inferior. Hematoma yang terjadi setelah blok saraf alveolar inferior dapat dilihat secara intraoral sedangkan hematoma akibat alveolar blok posterior superior dapat dilihat secara extraoral.

10

Komplikasi

hematoma juga

dapat

berakibat

trismus

dan nyeri.

Pembengkakan dan perubahan warna pada region yang terkena dapat terjadi setelah 7 sampai 14 hari. 6. Nyeri Penyebab nyeri dapat terjadi karena teknik injeksi yang kurang hati-hati, jarum tumpul akibat pemakaian injeksi multiple, deposisi cepat pada obat anestesi lokal yang menyebabkan kerusakan jaringan, jarum dengan mata kail (biasanya akibat tertusuk tulang). Nyeri yang terjadi dapat menyebabkan peningkatan kecemasan pasien, menciptakan gerakan tiba-tiba pada pasien dan menyebabkan jarum patah. 7. Rasa terbakar Rasa terbakar disebabkan karena injeksi yang terlalu cepat pada daerah palatal, kontaminasi dengan alkohol dan larutan sterilisasi juga menyebabkan rasa terbakar. Jika disebabkan karena pH, maka akan menghilang sejalan dengan reaksi anestesi. Namun jika disebabkan karena injeksi terlalu cepat, kontaminasi dan obat anastesi yang terlalu hangat dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang dapat berkembang menjadi trismus, edema, bahkan parastesi. 8. Infeksi Penyebab utamanya adalah kontaminasi jarum sebelum administrasi anastesi. Kontaminasi terjadi saat jarum bersentuhan dengan membran mukosa. Ketidakahlian operator untuk teknik anastesi lokal dan persiapan yang tidak tepat dapat menyebabkan infeksi.

11

9. Edema Pembengkakan jaringan merupakan manifestasi klinis adanya beberapa gangguan. Edema dapat terjadi karena trauma selama injeksi, infeksi, alergi, hemoragi, jarum yang teriritasi, hereditary angioderma. Edema dapat menyebabkan rasa nyeri dan disfungsi dari region yang terkena. Angioneurotik edema yang dihasilkan akibat topikal anestesi pada individu yang alergi dapat membahayakan jalan napas. Edema pada lidah, faring, dan laring dapat berkembang pada situasi gawat darurat. 10. Pengelupasan jaringan Iritasi yang berkepanjangan atau iskemia pada gusi akan menyebabkan beberapa komplikasi seperti deskuamasi epitel dan abses steril. Penyebab deskuamasi epitel, antara lain aplikasi topikal anestesi pada gusi yang terlalu lama, sensitivitas yang sangat tinggi pada jaringan, adanya reaksi pada area topikal anestesi. Penyebab abses steril, antara lain iskemi sekunder akibat penggunaan lokal anestesi dengan vasokonstriktor (norepineprin), biasanya berkembang pada palatum keras. Nyeri dapat terjadi pada deskuamasi epitel atau abses steril sehingga ada kemungkinan infeksi pada daerah yang terkena. 11. Lesi intraoral post anastesi Pasien sering melaporkan setelah 2 hari dilakukan anastesi lokal timbul ulserasi pada mulut mereka terutama di sekitar tempat injeksi. Gejala awalnya adalah nyeri. RAS atau herpes simplex dapat terjadi setelah anestesi lokal. Recurrent aphthous stomatitis merupakan penyakit yang paling sering dari pada herpes simplex, terutama berkembang pada gusi yang tidak cekat dengan tulang. Biasanya pasien mengeluh adanya sensitivitas akut pada area ulse.

12

12. Paralisis Nervus Fasialis Paralisis nervus fasialis adalah suatu kelumpuhan pada nervus fasialis yang dapat disebabkan oleh adanya kerusakan pada akson, sel-sel schwan dan selubung mielin yang dapat mengakibatkan kerusakan saraf otak. Berbagai penyebab kelumpuhan wajah meliputi kelainan genetik, komplikasi dari operasi, bell’s palsy, trauma, Infeksi herpes simpleks atau herpes zoster, penyakit lyme, stroke dan gangguan sistem saraf pusat, tumor, penyakit sistemik, infeksi, penyebab miscellaneous (Facial Paralysis And Bells Palsy 2014). Kelumpuhan nervus fasialis ini dapat terjadi di bagian supranuklear, nuklear, infranuklear (perifer) dari nervus tersebut. Paralisis perifer (bell’s palsy) adalah jenis yang paling umum dari hilangnya fungsi saraf fasialis (75%). Paralisis ini dapat terjadi pada segala usia, namun lebih sering pada umur 20-50 tahun (Duus 1994 cit. Milala 2001). Paralisis nervus fasialis dapat terjadi menetap atau sementara tergantung kepada penyebab dan sifat kerusakan yang terjadi. Paralisis nervus ini biasanya bersifat sementara di bidang kedokteran gigi. Penyebab paralisis nervus fasialis belum diketahui secara pasti. Etiologi dari paralisis nervus fasialis tergantung pada lokasi lesi dari nervus fasialis (perifer, nuklear, supranuklear) (Trenggono cit. Milala 2001). Paralisis nervus fasial dapat disebabkan karena kesalahan injeksi anestesi lokal yang seharusnya ke dalam kapsul glandula parotid. Jarum secara posterior menembus kedalam badan glandula parotid sehingga hal ini menyebabkan paralisis (Baart dan Brand 2008). Pasien yang mengalami paralisis unilateral mempunyai masalah utama yaitu estetik. Wajah pasien terlihat berat sebelah. Tidak ada treatment khusus

13

kecuali menunggu sampai aksi dari obat menghilang. Masalah lainnya adalah pasien tidak dapat menutup satu matanya secara sadar, refleks menutup pada mata menjadi hilang dan berkedip menjadi susah. Paralisis nervus fasialis adalah istilah umum yang diberikan untuk pasien yang kehilangan kemampuan untuk memindahkan satu sisi wajah mereka. Bell’s palsy adalah bagian spesifik dari pasien yang memiliki kelumpuhan wajah tersebut (Malamed dan Stanley 2004).

BAB III BELL’S PALSY

A. Bell’s Palsy Bentuk yang paling umum dari kelumpuhan wajah adalah bell palsy yang disebabkan oleh peradangan pada saraf wajah. Peradangan ini menyebabkan saraf membengkak dan mencegah saraf melewati sinyal antara otak dan otot-otot wajah. Bell’s palsy merupakan kelumpuhan/paralisis nervus fasialis perifer atau kelumpuhan wajah dengan tipe lower motor neuron yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf pusat tanpa adanya penyakit neurologik lainnya (Lowis dan Gaharu 2012). Menurut Singhi (2003) Sir Charles Bell adalah orang pertama yang meneliti tentang sindroma kelumpuhan saraf fasialis dan sekaligus meneliti tentang distribusi dan fungsi saraf fasialis. Nama Bell diambil untuk diagnosis setiap kelumpuhan saraf fasialis perifer yang tidak diketahui penyebabnya. Lokasi cedera nervus fasialis pada bell’s palsy adalah di bagian perifer nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Bell’s palsy adalah suatu kelumpuhan saraf fasialis perifer yang bersifat unilateral, penyebabnya tidak diketahui (idopatik), akut dan tidak disertai kelainan neurologi lainnya (Marsk 2010). Manifestasi klinisnya terkadang dianggap sebagai suatu serangan stroke atau gambaran tumor yang menyebabkan separuh tubuh lumpuh atau tampilan distorsi wajah yang akan bersifat permanen (Lowis dan Gaharu 2012).

14

15

Gambar 3.1. Gambaran Bell‟s Palsy (Dikutip dari http://www.moveforwardpt.com/)

Wajah menjadi asimetris karena sudut mulut dan sudut mata sebelah kanan turun ke bawah. Mata tidak bisa berkedip, mata berair, bila tersenyum maka pada bagian yang lumpuh tetap tidak bergerak sehingga senyum menjadi tidak seimbang antara sudut kiri dan sudut kanan (Jessie 2014). (Gambar 3.1) Menurut Singhi (2003) insiden bell’s palsy dilaporkan sekitar 40-70% dari semua kelumpuhan saraf fasialis perifer akut. Menurut Tiemstra (2007) prevalensi rata-rata berkisar antara 10–30 pasien 100.000 populasi per tahun dan meningkat sesuai pertambahan umur. Insiden meningkat pada penderita diabetes dan wanita hamil. Sekitar 8-10% kasus berhubungan dengan riwayat keluarga pernah menderita penyakit ini. B. Etiologi Paralisis nervus fasialis adalah suatu kelumpuhan pada nervus fasialis yang dapat disebabkan oleh adanya kerusakan pada akson, sel-sel schwan dan selubung mielin yang dapat mengakibatkan kerusakan saraf otak. Kelumpuhan nervus fasialis ini dapat terjadi di bagian supranuklear, nuklear, infranuklear

16 (perifer) dari nervus tersebut. Paralisis perifer (bell’s palsy) adalah jenis yang paling umum dari hilangnya fungsi saraf fasialis (75%). Paralisis ini dapat terjadi pada segala usia, namun lebih sering pada umur 20-50 tahun (Duus 1994 cit. Milala 2001). Paralisis nervus fasialis dapat terjadi menetap atau sementara tergantung kepada penyebab dan sifat kerusakan yang terjadi. Paralisis nervus fasialis perifer (bell’s palsy) ini biasanya bersifat sementara di bidang kedokteran gigi. Etiologi dari paralisis nervus fasialis tergantung pada lokasi lesi dari nervus fasialis (perifer, nuklear, supranuklear) (Trenggono cit.Milala 2001). Paralisis nervus fasialis perifer dapat disebabkan karena kesalahan injeksi anestesi lokal yang seharusnya ke dalam kapsul glandula parotid. Jarum secara posterior menembus ke dalam badan glandula parotid sehingga hal ini menyebabkan paralisis (Baart dan Brand 2008). Secara

umum

etiologi

dari

paralisis

nervus

fasialis

ini

dapat

dikelompokkan sebagai berikut : (Milala 2001) 1. Kongenital a. Anomali kongenital (sindroma mobius) b. Trauma lahir (fraktur tengkorak, pendarahan intrakranial sebagai akibat pemakaian alat forceps) 2. Didapat a. Trauma (fraktur pada ramus mandibula) b. Penyakit tulang tengkorak c. Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan)

17

d. Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus (iskhemia dari saraf) e. Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster) Faktor-faktor penyebab paralisis nervus fasialis yang berhubungan dengan dunia kedokteran gigi, adalah: (Murniati 1991 cit. Milala 2001) 1. Komplikasi sesudah penyuntikan anestesi lokal pada waktu pencabutan gigi, dimana terjadi paralysis facialis yang bersifat sementara (bell’s palsy) disebabkan oleh : a. Infiltrasi obat anestesi yang berlebihan pada anestesi blok infraorbital yang menyebabkan paralysis otot ekstra-okular b. Jarum suntik melewati daerah batas posterior, mengenai kelenjar parotis memblokir daerah serviko fasial atau kortiko temporal dari nervus fasialis c. Kesalahan penyuntikan yang menyebaban terblokirnya serabut motoris pada quadratus labii inferior dan otot triangularis, menyebabkan paralysis bibir bawah. 2. Adanya sumber infeksi di daerah mulut (radang parotis/mumps) 3. Trauma pada waktu operasi sendi temporomandibula ( misalnya, trauma pada bagian kondilus mandibula akan menyebabkan gangguan pleksus saraf fasialis pada bagian atas ) 4. Trauma sewaktu pembuangan tumor glandula parotis ( terpotongnya nervus fasialis) dimana terjadi gangguan pada pleksus saraf fasialis bagian bawah 5. Fraktur pada ramus mandibula yang dapat mengakibatkan putusnya saraf fasialis.

18

Perbedaan lokasi kerusakan saraf fasialis dapat menimbulkan gejala yang berbeda, yaitu : (Chusid, 1993 cit. Milala 2001) 1. Paralisis perifer Lesi-lesi yang memutuskan saraf fasialis (misalnya bell’s palsy) secara primer nampak sebagai paralisis neuron motorik bawah pada otototot ekspresi muka. Baik gerak refleks maupun gerak sadar pada otot-otot fasial hilang. Kelopak mata tidak dapat dipejamkan (lagoftalmos). Waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya maka bola mata nampak terputar ke atas (tanda bell). Penderita tidak dapat bersiul atau meniup, apabila berkumur atau minum maka air keluar melalui sisi mulut yang lumpuh. Keluhan dari gejala berikutnya bergantung kepada lokasi lesi sebagai berikut : a. Lesi di luar foramen stilomastoideus Mulut tertarik kearah sisi mulut yang sehat, makanan terkumpul diantara pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang. Lipatan kulit dahi menghilang. Penderita tidak dapat bersiul, mengedip, atau mengatupkan mata dan mengerutkan dahi. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus-menerus. b. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani) Hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan lidah) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus

19

menunjukan lesi di daerah antara pons dan titik dimana korda timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis. c. Lesi di kanalis fasialis melibatkan muskulus stapedius Gejala dan tanda klinik seperti pada poin a dan b ditambah dengan adanya hiperakusis d. Lesi yang melibatkan ganglion genikulatum Gejala dan tanda klinik sepeti pada poin a, b, c disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di membrane timpani dan konka. Sindrom Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum. Lesi herpetik terlihat di membrane timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina. e. Lesi di meatus akustikus internus Gejala dan tanda klinik seperti di atas ditambah dengan tuli sebagai akibat dari terlibatnya nervus akustikus. f. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas, disertai gejala dan tanda terlibatnya nervus trigeminus, nervus akustikus, dan kadang-kadang juga nervus abdusens, nervus aksesorius, dan nervus hipoglosus. 2. Paralisis Nuklear Gejala-gejala bell’s palsy ditambah hemiplegia kontralateral (akibat terkenanya system pyramidal) dengan paralisis nervus VI dan terkadang nervus VIII (Sidharta 1995).

20

3. Paralisis Supranuklear Paralisis pada daerah supranuklear ini mengakibatkan adanya kelumpuhan terhadap pengaruh gerakan sadar, namun dapat berkontraksi atas pengaruh emosional atau mimik. Sudut mulut sisi yang lumpuh tampak lebih rendah. Lipatan nasolabial sisi yang lumpuh mendatar. Jika kedua sudut mulut diangkat, maka sudut mulut yang sehat saja yang dapat terangkat. Otot wajah bagian dahi tidak menunjukkan kelemahan yang berarti. Tanda dari bell (lagoftalmos dan elevasi bola mata) tidak dapat dijumpai (Sidharta 1995).

C. Tanda dan Gejala Tanda dan gejala bell’s palsy dapat berupa kelumpuhan otot- otot wajah pada satu sisi yang terjadi secara tiba-tiba, beberapa jam sampai beberapa hari (maksimal 7 hari). Pasien juga mengeluhkan nyeri di sekitar telinga, rasa bengkak atau kaku pada wajah walaupun tidak ada gangguan sensorik. Kadang- kadang diikuti oleh hiperakusis, berkurangnya produksi air mata, hipersalivasi dan berubahnya pengecapan (Singhi 2003). Tanda dan gejala motorik yang dijumpai pada pasien bell’s palsy adalah adanya kelemahan otot pada satu sisi wajah yang dapat dilihat saat pasien kesulitan melakukan gerakan-gerakan volunter, seperti saat gerakan aktif maupun pasif, tidak dapat mengangkat alis dan menutup mata, sudut mulut tertarik ke sisi wajah yang sehat, sulit bersiul, sulit mengembangkan cuping hidung dan otot-otot yang terkena, yaitu muskulus frontalis, muskulus orbicularis oculi, muskulus orbicularis oris, muskulus zygomaticus dan muskulus nasalis. Selain tanda-tanda

21

motorik terjadi gangguan pengecap rasa manis, asam dan asin pada 2/3 lidah bagian anterior, sebagian pasien mengalami mati rasa atau merasakan tebal-tebal di wajahnya (Singhi 2003).

Gambar 3.2. Kelumpuhan Bell (Bell‟s Palsy) (A) Waktu istirahat, (B) Penderita setelah diminta untuk memperlihatkan giginya, (C) Penderita setelah diminta untuk menutup matanya (Sumber: Peripheral Left Cranial Nerve 7 Bell's Palsy 2005).

D. Gambaran Klinis Biasanya

timbul

secara

mendadak,

penderita

menyadari

adanya

kelumpuhan pada salah satu sisi wajahnya pada waktu bangun pagi, bercermin, saat sikat gigi/berkumur atau diberitahukan oleh orang lain/keluarga bahwa salah satu sudutnya lebih rendah. Bell’s palsy hampir selalu unilateral. Gambaran klinis dapat berupa hilangnya semua gerakan volunter pada kelumpuhan total. Pada sisi wajah yang terkena ekspresi akan menghilang sehingga lipatan nasolabialis akan menghilang, sudut mulut menurun, bila minum atau berkumur air menetes dari sudut bibir, kelopak mata tidak dapat dipejamkan sehingga fisura papebra melebar

22

serta kerut dahi menghilang. Bila penderita disuruh untuk memejamkan matanya maka kelopak mata pada sisi yang lumpuh akan tetap terbuka disebut (lagoftalmus) dan bola mata berputar ke atas. Keadaan ini dikenal dengan tanda dari bell (lagoftalmus disertai dorsorotasi bola mata) karena kedipan mata yang berkurang maka akan terjadi iritasi oleh debu dan angin, sehingga menimbulkan epifora. Dalam mengembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi yang lumpuh tidak mengembung. Disamping itu makanan cenderung terkumpul diantara pipi dan gusi sisi yang lumpuh. Tidak didapati gangguan lain yang mengiringnya, bila paresisnya benar-benar bersifat bell’s palsy (Sabirin 1990 dan Sidharta 1985). (Gambar 3.2)

E. Diagnosis Banding Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi sentral dan perifer. Kelainan sentral dapat berupa stroke bila disertai kelemahan anggota gerak sisi yang sama dan ditemukan proses patologis di hemisfer serebri kontra lateral, kelainan tumor apabila onset gradual dan disertai perubahan mental status atau riwayat kanker di bagian tubuh lainnya, sklerosis multipel bila disertai kelainan neurologis lain, seperti hemiparesis atau neuritis optika dan trauma bila terdapat fraktur os temporalis pars petrosus, basis kranii atau terdapat riwayat trauma sebelumnya (Lowis dan Gaharu 2012). Kelainan perifer yang ditemukan dapat berupa suatu otitis media supuratif dan mastoiditis apabila terjadi reaksi radang dalam kavum timpani dan foto mastoid menunjukkan suatu gambaran infeksi, herpes zoster otikus bila ditemukan adanya tuli perseptif, tampak vesikel yang terasa amat nyeri di pinna dan

23

pemeriksaan darah menunjukkan kenaikan titer antibodi virus varicella zoster,sindroma Guillain Barre saat ditemukan adanya paresis bilateral dan akut,kelainan miastenia gravis jika terdapat tanda patognomonik berupa gangguan gerak mata kompleks dan kelemahan otot orbikularis okuli bilateral, tumor serebello pontin (tersering) apabila disertai kelainan nervus kranialis V dan VIII, tumor kelenjar parotis bila ditemukan massa di wajah (angulus mandibula) dan sarcoidosis saat ditemukan tanda-tanda febris, perembesan kelenjar limfe hilus, uveitis, parotitis, eritema nodosa, dan kadang hiperkalsemia (Lowis dan Gaharu 2012).

F. Komplikasi Komplikasi yang muncul pada pasien bell’s palsy merupakan kumpulan gejala sisa paska terjadinya kelemahan otot-otot wajah. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat bell’s palsy : 1. Kontraktur otot wajah Kontraktur ini tidak tampak pada waktu wajah dalam keadaan istirahat, tetapi akan terlihat jelas saat otot wajah berkontraksi yang ditandai dengan lebih dalamnya lipatan nasolabial dan alis mata lebih rendah dibandingkan sisi yang sehat. Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga lipatan nasolabialis lebih jelas terlihat pada sisi yang lumpuh dibanding pada sisi yang sehat (Widowati 1993). 2. Sinkenesis Pasien yang telah mengalami kelumpuhan wajah dapat menghasilkan sinkenesis yang merupakan hilangnya kemampuan untuk mengontrol otot-otot

24

individu wajah. Sinkenesis dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri selalu timbul gerakan bersama. Misalnya bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan timbul gerakan (involunter) elevasi sudut mulut, kontraksi platisma, atau berkerutnya dahi. Penyebabnya adalah innervasi yang salah, serabut saraf yang mengalami regenerasi bersambung dengan serabutserabut otot yang salah (Sabirin 1990). 3. Hemifacial spasm Hemifacial spasm timbul kedutan pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak terkendali) dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan. Pada stadium awal hanya mengenai satu sisi wajah saja, tetapi kemudian dapat mengenai pada sisi lainnya. Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat spasme ini. Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian (Sabirin 1990). 4. Crocodile Tears Syndrome Gejala sisa yang ditimbulkan paska serangan bell’s palsy yaitu sindroma air mata buaya (crocodile tears syndrome) yang merupakan kesalahan regenerasi saraf salivarius menuju ke glandula lakrimalis. Manifestasinya berupa keluarnya air mata pada sisi lesi saat pasien makan (Djamil 2003). Mekanisme yang tepat untuk menjelaskan bell’s palsy setelah prosedur gigi masih belum jelas. Kelumpuhan saraf wajah setelah bedah mulut sangat jarang dilaporkan dalam literatur. Meskipun penyebab sebenarnya dari bell’s palsy tidak diketahui, tetapi ada beberapa mekanisme yang diusulkan adalah peradangan pada saraf wajah, infeksi virus, neuropati iskemik, reaksi autoimun. Prosedur bedah seperti anestesi lokal, ekstraksi gigi, infeksi, prosedur pra

25

prostetik, eksisi tumor atau kista, operasi TMJ, pengobatan bedah patah tulang wajah dan bibir sumbing adalah salah satu penyebabnya (Akal dkk. 2009). Menurut Vasconcelos dkk. (2006) juga melaporkan tiga mekanisme, di mana prosedur gigi dapat merusak struktur saraf, yaitu trauma langsung ke saraf akibat kesalahan penyuntikan, pembentukan hematoma intraneural atau kompresi dan toksisitas anastesi lokal. Bell’s palsy akibat pencabutan gigi sangat jarang terjadi. Kelumpuhan wajah yang terjadi akibat komplikasi pencabutan gigi adalah akibat dari kerusakan jaringan karena hembusan udara ke dalam jaringan pada saat pembedahan melalui ruang wajah. Oleh karena itu, dianjurkan untuk tidak menggunakan kekuatan udara yang tinggi saat membersihkan tempat pencabutan. Berhati-hati menggunakan irigasi air agar dapat meminimalkan risiko cedera saraf (Bobbitt dkk. 2000).

G. Perawatan dan Prognosis Adapun perawatan yang dilakukan terhadap penderita bell’s palsy adalah : 1. Istirahat Perawatan ini dilakukan misalnya apabila bell’s palsy terjadi karena kesalahan dalam pemberian anestesi sewaktu pencabutan gigi. Pasien yang menderita komplikasi ini harus ditenangkan dan diberi tahu bahwa fungsi normal dari penampilan wajah akan kembali segera setelah efek agen anestesi lokal hilang, sekitar 3-4 jam. Namun apabila komplikasi ini mengenai suplai saraf ke kelopak mata atas sebaiknya pasien diinstruksikan menutup kelopak mata dan

26

memakai bantalan pelindung atau penutup mata. Hal ini dapat dihindari dengan cara memberikan anestesi dengan kedalaman yang tepat (Milala 2001). 2. Pemberian Obat-Obatan Obat-obatan yang diberikan adalah kortikosteroid dan antiviral. Menurut Tiemstra (2007) mengatakan bahwa kortikosteroid sangat bermanfaat dalam mencegah degenerasi saraf, mengurangi sinkinesis, meringankan nyeri dan mempercepat

penyembuhan inflamasi pada saraf fasialis sedangkan untuk

antiviral dapat digunakan acyclovir yang berguna untuk menghambat replikasi DNA virus (Yodhian 1994). 3. Pengobatan Secara Fisioterapi Bell’s palsy juga dilakukan perawatan mata, fisioterapi dan massage. Perawatan mata tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya kekeringan pada kornea karena kelopak mata yang tidak dapat menutup sempurna dan produksi air mata yang berkurang. Perawatan ini dapat dilakukan dengan menggunakan artificial tear solution pada waktu pagi dan siang hari dan salep mata pada waktu tidur. Fisioterapi dimulai pada hari kelima onset penyakit. Fisioterapi dapat dilakukan pada stadium akut atau bersamaan dengan pemberian kortikosteroid. Tujuan fisioterapi adalah untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh (Noback 2005). Latihan otot-otot wajah dan massage wajah dapat dilakukan sedini mungkin. Latihan gerak volunter diberikan setelah fase akut, latihan berupa mengangkat alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi, menutup mata dan mengangkat sudut mulut, tersenyum, bersiul/meniup (dilakukan didepan kaca dengan konsentrasi penuh). Dengan pemberian massage wajah ini akan terjadi

27

peningkatan vaskularisasi dengan mekanisme pumping action pada vena sehingga memperlancar sirkulasi darah dan limfe. Efek rileksasi dapat dicapai dan elastisitas otot dapat tetap terpelihara serta mencegah timbulnya perlengketan jaringan dan kontraktur otot dapat dicegah (Noback 2005). Prognosis bell’s palsy tergantung pada jenis kelumpuhannya, usia pasien dan derajat kelumpuhan. Perjalanan alamiah bell’s palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini sampai cedera saraf substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien dengan bell’s palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 5060% kasus membaik dalam 3 minggu. Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus fasialis persisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat serta 8% kasus dapat rekuren. Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalah palsi komplit (risiko sekuele berat), riwayat rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post aurikular, gangguan pengecapan, refleks stapedius, wanita hamil dengan bell’s palsy, bukti denervasi mulai setelah 10 hari (penyembuhan lambat) dan kasus dengan penyengatan kontras yang jelas (Lowis dan Gaharu 2012). Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah paralisis parsial inkomplit pada fase akut (penyembuhan total), pemberian kortikosteroid dini, penyembuhan awal dan perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu pertama. Untuk menentukan prognosis, House Brackmann Facial Nerve Grading System dapat digunakan untuk mengukur keparahan dari suatu serangan dan menentukan prognosis pasien bell’s palsy (Lowis dan Gaharu 2012).

BAB IV PENGARUH ANESTESI LOKAL SAAT PENCABUTAN GIGI TERHADAP TERJADINYA BELL’S PALSY

Menurut Baart dan Brand (2008) komplikasi anastesi lokal saat pencabutan gigi dapat disebabkan karena kerusakan jarum, parestesi, trismus, luka jaringan lunak, hematoma, nyeri, rasa terbakar, infeksi, edema, pengelupasan jaringan, lesi intraoral post anastesi, dan paralisis nervus fasialis. Paralisis nervus fasialis dapat terjadi menetap atau sementara tergantung kepada penyebab dan sifat kerusakan yang terjadi. Paralisis nervus fasialis perifer (bell’s palsy) ini biasanya bersifat sementara di bidang kedokteran gigi (Baart dan Brand 2008). Kelumpuhan nervus fasialis pada saat anestesi lokal dapat terjadi jika jarum telah menembus kapsul kelenjar parotis. Saraf cranial ketujuh yang terkandung dalam kelenjar parotis yang menyediakan fungsi motorik melalui lima cabang, yaitu temporalis, zygomatic, bukal, mandibular dan serviks. Penempatan jarum ke parotis dapat terjadi jika ada kelebihan insersi pada saat blok saraf alveolar inferior. Hasil anestesi dari cabang-cabang saraf ini termasuk kelumpuhan sementara atau unilateral, terdapat kelumpuhan pada otot-otot ekspresi wajah (Daniel 1998). Kelumpuhan saraf fasialis untuk injeksi anestesi lokal bersifat sementara. Risiko yang terdapat pada penderita bell’s palsy adalah membuat orang menjadi kurang percaya diri. Hal ini sangat menyiksa diri karena wajah menjadi asimetris karena sudut mulut dan sudut mata turun ke bawah sehingga tidak simetris dengan wajah yang tidak terkena. Mata tidak bisa berkedip, mata berair, bila tersenyum

28

29

maka pada bagian yang lumpuh tetap tidak bergerak sehingga senyum menjadi tidak seimbang antara sudut kiri dan sudut kanan (Attaufiq 2011). Adapun pencegahan untuk kelumpuhan saraf wajah akibat komplikasi anestesi lokal, yaitu ikuti prinsip-prinsip dasar teknik injeksi anestesi lokal yang berhubungan dengan cedera atau luka, hindari kelebihan insersi pada jarum, tidak diperbolehkan melakukan suntikan untuk blok saraf alveolar inferior, kecuali tulang telah terhubung pada kedalaman yang tepat (Daniel 1998). Untuk penanganan kelumpuhan saraf wajah, yaitu meyakinkan pasien bahwa kelumpuhan ini bersifat sementara, disarankan pasien untuk menggunakan penutup mata sampai kembali fungsi motorik, jika pasien menggunakan lensa kontak sarankan untuk melepasnya. Penanganan yang tepat akan memberikan pemulihan pasien dari peristiwa bell’s palsy ini (Daniel 1998). Mekanisme yang tepat untuk menjelaskan bell’s palsy setelah prosedur gigi masih belum jelas. Kelumpuhan saraf wajah setelah bedah mulut sangat jarang dilaporkan dalam literatur. Meskipun penyebab sebenarnya dari bell’s palsy tidak diketahui, tetapi ada beberapa mekanisme yang diusulkan adalah peradangan pada saraf wajah, infeksi virus, neuropati iskemik, reaksi autoimun. Prosedur bedah seperti anestesi lokal, ekstraksi gigi, infeksi, prosedur praprostetik, eksisi tumor atau kista, operasi TMJ, pengobatan bedah patah tulang wajah dan bibir sumbing adalah juga salah satu penyebabnya (Akal dkk. 2009). Pada prosedur bedah anestesi lokal, di sisi lain jarum dapat mengenai salah satu pembuluh darah kecil yang berjalan dalam epineurium menyebabkan perdarahan di dalam saraf yang menghasilkan kompresi dan fibrosis. Kompresi ini bisa terjadi cukup cepat (dalam waktu 20 sampai 30 menit) sehingga kerusakan

30

akan terjadi pada saat anestesi lokal. Dengan demikian, pasien akan menyadari meningkatnya tekanan pada saraf dan kerusakan yang dihasilkan (Pogrel 1995). Menurut Bobbitt dkk. (2000) bell’s palsy akibat pencabutan gigi sangat jarang terjadi. Kelumpuhan wajah yang terjadi akibat komplikasi pencabutan gigi adalah akibat dari kerusakan jaringan karena hembusan udara ke dalam jaringan pada saat pembedahan melalui ruang wajah. Oleh karena itu, dianjurkan untuk tidak menggunakan kekuatan udara yang tinggi saat membersihkan tempat pencabutan. Berhati-hati menggunakan irigasi air agar dapat meminimalkan risiko cedera saraf. Menurut Vasconcelos dkk. (2006) juga melaporkan tiga mekanisme, dimana prosedur gigi dapat merusak struktur saraf, yaitu trauma langsung kesaraf dari jarum, pembentukan hematoma intraneural atau kompresi dan toksisitas anestesi lokal. Trauma langsung tampaknya tidak mungkin karena banyak pasien melaporkan mengalami trauma pada saraf ketika mereka merasakan sengatan sensasi listrik pada suntikan jarum. Namun, hampir semua gejala ini menyelesaikan sepenuhnya tanpa ada kerusakan sisa saraf. Adapun faktor-faktor penyebab paralisis nervus fasialis yang berhubungan dengan dunia kedokteran gigi, adalah : (Murniati 1991 cit. Milala 2001) 1. Komplikasi sesudah penyuntikan anestesi lokal pada waktu pencabutan gigi, dimana terjadi paralysis facialis yang bersifat sementara (bell’s palsy) disebabkan oleh : a. Infiltrasi obat anestesi yang berlebihan pada anestesi blok infraorbital yang menyebabkan paralysis otot ekstra-okular

31

b. Jarum suntik melewati daerah batas posterior, mengenai kelenjar parotis memblokir daerah serviko fasial atau kortiko temporal dari nervus fasialis c. Kesalahan penyuntikan yang menyebabkan terblokirnya serabut motoris

pada

quadratus

labii

inferior

dan

otot

triangularis,

menyebabkan paralysis bibir bawah. 2. Adanya sumber infeksi di daerah mulut (radang parotis/mumps) 3. Trauma pada waktu operasi sendi temporomandibula (misalnya, trauma pada bagian kondilus mandibula akan menyebabkan gangguan pleksus saraf fasialis pada bagian atas) 4. Trauma sewaktu pembuangan tumor glandula parotis (terpotongnya nervus fasialis) dimana terjadi gangguan pada pleksus saraf fasialis bagian bawah 5. Fraktur pada ramus mandibula yang dapat mengakibatkan putusnya saraf fasialis.

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan Dari kajian penulis tentang pengaruh anestesi lokal saat pencabutan gigi terhadap terjadinya bell’s palsy, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan, yaitu: 1. Bell's palsy adalah suatu kondisi yang bersifat self limiting (bisa sembuh dengan sendirinya) dan hanya sementara. Penyebab terjadinya bell’s palsy di bidang kedokteran gigi dapat disebabkan oleh komplikasi setelah penyuntikan anestesi pada waktu pencabutan gigi, adanya infeksi di daerah mulut dan trauma pada waktu operasi sendi temporomandibula, operasi glandula parotis, fraktur pada ramus mandibula, peradangan pada saraf wajah, neuropati iskemik, dan reaksi autoimun. 2. Orang pada semua kelompok umur dapat terkena bell’s palsy, namun yang paling sering terkena adalah usia paruh baya. Lebih sering terjadi pada wanita dari pada pria. Pada anak-anak, kejadian ini biasanya dikaitkan dengan infeksi virus, penyakit lyme, atau sakit telinga. 3. Perawatan yang dilakukan pada bell’s palsy diantaranya ialah istirahat, misalnya pada penderita bell’s palsy yang disebabkan adanya kesalahan pemberian anastesi sewaktu pencabutan gigi maka kepada pasien harus dijelaskan bahwa komplikasi ini akan hilang setelah agen anastesi lokal hilang. Hal ini dapat dihindarkan dengan memberikan kedalaman suntikan

32

33

yang tepat. Selain itu perawatan yang dapat dilakukan pada penderita bell’s palsy adalah fisioterapi, dan pemberian obat-obatan.

B. Saran 1. Dokter gigi juga perlu mengetahui gambaran anatomi dan penjalaran saraf fasialis sehingga dapat dihindari kemungkinan terjadinya masalah dalam melakukan tindakan di daerah rongga mulut dan sekitarnya. 2. Informasi mengenai syndrome bell’s palsy akibat komplikasi anestesi pada saat pencabutan masih kurang, diharapkan untuk kedepannya dapat dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penyakit ini sehingga dapat diketahui penyebab-penyebab lain dan penanganannya.

34 DAFTAR PUSTAKA Akal UK, Sayan NB, Aydogan S, Yaman Z. 2000,„Evaluation of the neurosensory deficiencies of oral and maxillofacial region following surgery‟, Int J Oral MaxillofacSurg vol. 29 hlm. 331-6. A. Latief, Kartini Surjadi, M. Ruswan Dachlan. 2001,‟Petunjuk Praktis Anestesiologi. Ed.IV. Penerbit FK UI : Jakarta, hlm.181-184 Annsilva. 2010,‟ Bell‟s Palsy Case Report, [Online]. Available: http://annsilva.wordpress.com/2010/04/04/bell-palsy-case-report/ [04 April 2010] Attaufiq M.H. 2011, Waspada Bell‟s Palsy, [Online]. Available: http://livebeta.kaskus.us Bobbitt, TD., Subach, PF., Giordano, LS., Carmony BR. 2000,„Partial facial nerve paralysis resulting from an infected mandibular third molar‟, J Oral MaxillofacSurg, vol. 58, 6825. Cawthorne, T. 1950,„The Pathology and Surgical Treatment of Bell‟s Palsy in: Section of Otology. Proceeding of the Royal Society of Medicine, Vol. 44 hlm. 565-72. Daniel, A. Haas., DDS., PhD. 1998,‟is an associate professor and head of anesthesia, Faculty of Dentistry, and associate professor in the Department of Pharmacology, Faculty of Medicine, at the University of Toronto. CDA Journal, Vol. 26, No. 9, September. Reprinted with permission David Owsley D.M.D, Jay P. Goldsmith D.M.D, 2012,‟Bell's Palsy Following Primary Tooth Extraction A Case Report, The New York State Dental Journal, hlm. 32-33 Della N.T. Milala. 2001,‟Paralisis Nervus Fasialis dan Kaitannya Dengan Bidang Kedokteran Gigi, Tesis, Universitas Sumatera Utara, Medan Djamil, Y. 2003,‟Paralisis Bell, Kapita Selekta Neurologi, Editor: Harsono, Yogjakarta, Gadjah Mada University Press hlm. 297-300 Duus P. 1994,‟Diagnosa Topik Neurologi, Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala, Alih Bahasa: Ronardy D.H., Jakarta, EGC, hlm. 112-9 Elsevier. 2007,‟Textbook of Oral and Maxiillofacial Surgery, hlm. 464-92 Facial

Paralysis and Bells Palsy. 2014, http://www.carolinafacialplasticsurgery.com/facial-paralysis-2/

[Online].

Available:

Handoko, Lowis dan Maula, N. Gaharu. 2012, „Bell’s Palsy, diagnosis dan tata laksana di Pelayanan Primer‟, J Indon Med Assoc, Vol. 62, No. 1, hlm. 32-37 J.A. Baart, H.S. Brand. 2008. Local Anesthesia in Dentistry‟, United Kingdom: WileyBlackwell.

35 Jessie, M. VanSwearingen, PT., PhD. 2014,‟Physical Therapist's Guide to Bell Palsy‟, American Physical Therapy Association, [Online]. Available: http://www.moveforwardpt.com/ Lumbantobing, SM. 2004,‟Saraf Otak : Nervus Fasial. Dalam : Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : FK Universitas Indonesia, hlm. 55-60 Malamed dan Stanley, F. 2004. Handbook of Local Anasthesia 5th ed. St. Louis : Elsevier. Marsk E, Hammarstedt L, Berg et al. 2010,‟Early Deterioration in Bell‟s Palsy : Prognosis and Effect of Prednisolone. Otology &Neurotology, Vol. 31, hlm. 1503-07 Murniati N. 1991, „Paralisis Nervus Fasialis dan Kaitannya Dengan Bidang Kedokteran Gigi, Bandung, Jurnal Kedokteran Gigi, Vol. III, No.1, hlm. 31-3 Noback CR, Strominger NL, Demarest RJ, Ruggiero DA. 2005,‟Cranial nerves and chemical senses. In: Strominger NL, editor. The humannervous system: structure and function. 6th Ed. New Jersey: Humana Press hlm. 253. Peripheral Left Cranial Nerve 7 Bell's Palsy, [Online]. http://meded.ucsd.edu/clinicalimg/neuro_central_cn7_palsy2.htm [ 25 Agustus 2005].

Available:

Pogrel, MA., Bryan, J., Regezi JA. 1995,‟Nerve damage associated with inferior alveolar nerve blocks. J Am Dent Assoc, Vol. 126, hlm. 1150-1155. Rath, B., Linder, T., Cornblath, D. 2007,‟All That Palsies is not Bell‟s – The Need to Define Bell‟s Palsy as an Adverse event following immunization, Vol. 26, hlm. 1-14 Rindarto dan Doso Sutiyono. 2009,‟ Pengelolaan Intoksikasi Bupivakain, Jurnal Anestesiologi Indonesia, Vol. I, No. 03 Sabirin, J. 1990,‟Bell‟s Palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan Gerak. Cetakan I. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, hlm. 171-81 Sidharta, P. 1985,‟Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi ke-2. Jakarta : Dian Rakyat, hlm. 311-317 Sidharta, P. 1995,‟Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi, Jakarta : Dian Rakyat, hlm. 303317 Singhi, P. Jain, V. 2003,‟Bell‟s Palsy in Children. Seminar in Pediatric Neurotology, vol. 10, no. 4, hlm. 289-97 Tiemstra JD, Khatkhate N. 2007,‟Bell‟s Palsy, Diagnosis and Management‟, American Family Physicia, Vol. 76 no. 7 hlm. 997-1002

36 Thamrinsyam. 1991,‟Beberapa Kontroversi Bell‟s Palsy. Dalam : Thamrinsyamdkk. Bell‟s Palsy. Surabaya : Unit Rehabilitasi Medik RSUD Dr. Soetomo/FK UNAIR, hlm. 1-75. Vasconcelos, BCDE., Bessa-Nogueira, RV., Maurette, PE., AguiarCarneiro, SCS. 2006,‟Facial nerve paralysis after impacted lower third molar surgery: A literature review and case report, Med Oral Patol Oral Cir Bucal, Vol. 11, hlm. 175-8 Widowati, Trilastiti. 1993,‟Manfaat stimulasi listirk pada penderita Bell‟s Palsy, FK Undip. Semarang Yodhian, L.F. 1994,‟Catatan Kuliah Farmakologi UNSRI, bag.3, Editor : Syamsur Munaf, Jakarta, EGC, hlm. 105-17