PENGARUH PEMBERIAN RIFAMPISIN TERHADAP EFEK HIPOGLIKEMIK

Download Majalah Farmasi Indonesia, 14(2), 299-305, 2003 ... Rifampisin dikenal sebagai induktor enzim yang dapat meningkatkan efektivitas metabolis...

0 downloads 296 Views 177KB Size
Majalah Farmasi Indonesia, 14(2), 299-305, 2003

PENGARUH PEMBERIAN RIFAMPISIN TERHADAP EFEK HIPOGLIKEMIK GLIPIZID PADA RELAWAN SEHAT EFFECT OF RIFAMPICIN PRETREATMENT ON HIPOGLYCEMIC EFFECT OF GLYPIZIDE AMONG HEALTHY VOLUNTEERS Luciana Kuswibawati Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

ABSTRAK Antituberkulosis sering dipakai bersama antidiabetes pada penderita DM. Salah satu oral antidiabetes (OAD) yang banyak digunakan adalah glipizid, sedangkan salah satu antituberkulosis yang banyak dipakai adalah rifampisin. Rifampisin dikenal sebagai induktor enzim yang dapat meningkatkan efektivitas metabolisme obat lain jika diberikan bersama. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh pemberian rifampisin terhadap efek hipoglikemik glipizid pada 12 relawan sehat orang Indonesia, dari kedua jenis kelamin. Penelitian dilakuan secara randomized crossover design, subyek menjalani dua kali uji yaitu sebagai kelompok perlakuan glipizid dosis tunggal 5 mg tanpa praperlakuan rifampisisn dan kelompok dengan praperlakuan rifampisin 1 kali sehari 450 mg selama 7 hari. Sampel serum darah untuk pengukuran kadar glukosa darah dikumpulkan secara serial selama 7 jam sesudah minum glipizid dosis tunggal 5 mg. Kadar glukosa dalam darah dianalisis secara enzimatik mengunakan metode glukosa oksidase (GOD). Hasil penelitian menemukan bahwa praperlakuan rifampisin 1 x 450 mg selama 7 hari tidak mempengaruhi AUC0-7 kadar glukosa darah (p>0,05), namun mempengaruhi efek penurunan kadar glukosa darah pada jam ke 2,5 dan 3 (p<0,05). Pada kelompok dengan praperlakuan terjadi penurunan efek sebesar 51,38% pada jam ke 2,5 dan 20,58% pada jam ke 3. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa praperlakuan rifampisin 1x450 mg selama 7 hari tidak mempengaruhi AUC0-7 kadar glukosa darah akibat pemberian glipizid dosis tunggal 5 mg. Kata kunci : Rifampisin, glipizid, efek hipoglikemik ABSTRACT The incidence of tuberculosis in diabetic patients is high, therefore, the combination usage of antituberculosis (rifampicin) and antidiabetic (glypizide) medicines is inevitable. Rifampicin, an enzyme inductor, capable to influence the metabolism of other medicine when administered in concordance. The aimed of this study, therefore, was to investigate the influence of rifampicin pre-treatment on hypoglycaemic effect of glypizide (a second generation of sulphonylurea) among 12 Indonesia healthy volunteers, of both sexes. This study applied randomized crossover design receiving with and without rifampicin pre-treatment. Prior to starting the experiment, the pre-treatment group was given 450 mg of rifampicin orally daily for 7 days. Subsequently, single dose of 5 mg glypizide was administered to both of control and pre-treatment groups. The blood samples were then collected at a certain interval time for 7 hours. Glucose Oxydase (GOD) method were used to analyze the level of glucose in blood samples. The result showed no significant influence of rifampicin on hypoglycaemic effect of glypizide. However, it was found that rifampicin reduced significantly blood glucose level at 2.5 and 3 hours for 51.38 % and 20.58 %, respectively. The conclution of this study exhibit that pre-treatment with 450 mg of rifampicin daily for 7 days did not affect AUC0-7 blood glucose level as a result of single dose administration of 5 mg glypizide. Key words : rifampicin, glypizide, hypoglycaemic effect

Majalah Farmasi Indonesia, 14(2), 2003

299

Pengaruh Pemberian Rifampisin…….

PENDAHULUAN Diabetes mellitus (DM) adalah kelompok kelainan metabolik yang ditandai dengan adanya hiperglikemia kronik akibat defisiensi insulin baik relatif maupun absolut. Diabetes mellitus dibedakan menjadi dua tipe yaitu 1) DM yang tergantung insulin (DM tipe 1) dan 2) DM yang tidak tergantung insulin (DM tipe 2). Laporan terakhir menunjukkan bahwa angka prevalensi diabetes pada orang dewasa adalah berkisar antara 3-6%, dan 90 %-nya adalah DM tipe II (Asdie, 2000). Diabetes mellitus dapat meningkatkan kepekaan terhadap infeksi. Situasi hiperglikemia dapat mengganggu fungsi sel-sel leukosit sebagai mekanisme pertahanan tubuh. Selain itu terjadi perubahan produksi imonoglobulin dan fungsi komplemen (Pozzilli et al., 1997). Penderita DM lebih mudah terserang tuberkulosis paru dibandingkan dengan bukan penderita DM karena penderita DM mengalami penurunan fungsi pertahanan tubuh seperti fungsi lekosit dalam peranannya sebagai kemotaksis, fagositosis maupun aktivitas bakterisidal intraseluler (Hamzah et al., 1993; Patau et al., 1989; Yoesoef et al., 1989, dan Pozzilli, 1997). Menurut Fordiastiko (1995) faktor-faktor yang mempermudah timbulnya tuberkulosis paru pada penderita DM adalah meliputi 1) faktor fisikokimia yaitu hiperglikemia, asidosis diabetik, leukosit yang kurang aktif, dan peningkatan kadar gliserol akibat gangguan metabolisme lemak 2) faktor kekebalan yaitu ketidakmampuan sistem imunitas seluler untuk menghambat pertumbuhan dan membunuh kuman tuberkulosis dan 3) faktor lain seperti imunitas humoral dan angioneuropati. Prevalensi DM dengan tuberkulosis paru di Indonesia masih cukup tinggi. Di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Sardjito selama 2 tahun (Januari 1999 - Desember 2000) ditemukan 17,47% penderita DM dengan tuberkulosis paru (Budiarto & Hisyam, 2001). Penderita yang secara bersamaan menderita DM dengan tuberkulosis ini akan mendapatkan pengobatan untuk kedua penyakit tersebut (terapi konkomitan) sehingga memungkinkan terjadinya interaksi obat antara obat anti diabetes (OAD) dengan antituberkulosis. Obat yang digunakan untuk DM tipe 2 adalah golongan sulfonilurea, biguanida. dan obat golongan lain yaitu penghambat alfa-glukosidase, thiazolininedione, dan repaglinide. Sedangkan untuk obat anti tuberkulosis bisa digunakan bakterisid seperti rifampisin, isoniazid, pirazinamid, streptomisin, dan bakteriostatik seperti etambutol (Fordiastiko, 1995). Glipizid adalah OAD golongan sulfonilurea generasi kedua yang digunakan untuk pengobatan DM tipe 2. Glipizid mempunyai masa aksi yang pendek. Pada pemberian per oral akan diabsorpsi sempurna. Hampir seluruhnya (90%) dimetabolisme di dalam hepar. Kurang dari 10% obat dalam keadaan utuh akan diekskresi terutama melalui urin (>80%) dan 5-15% melalui feses. Jalur metabolisme utama glipizid melalui reaksi oksidasi yaitu 3-cis-hidroksilasi (65% dalam 24 jam) dan 4-trans-hidroksilasi (15% selama 24 jam) dengan melibatkan enzim MFO (Mixed Function Oxidation) terutama sitokrom P 450 isoenzim CYP2C9 (Dollery, 1992; Niemi et al., 2001). Rifampisin adalah antibiotika semi sintetik golongan makrolida, dalam klinik lebih banyak digunakan sebagai obat pilihan untuk antituberkulosis. Rifampisin telah dikenal sebagai penginduksi enzim mikrosomal hepar kuat yang berperan dalam metabolisme obat lain. Beberapa contoh obat yang metabolismenya dipengaruhi oleh rifampisin yaitu: midazolam (Backman et al., 1996), zolpidem (Villikka et al., 1997), ondansetron (Villikka et al., 1999), repaglinid (Niemi et al., 2000), fexofenadin (Hamman et al., 2001) dan gliburid (Niemi et al., 2001). Rifampisin mempengaruhi pembentukan enzim dalam sistem MFO, yang berperan dalam reaksi oksidasi fase pertama pada proses metabolisme obat. Lebih lanjut telah diketahui bahwa rifampisin merangsang pembentukan enzim sitokrom P-450 IIIA (CYP3A4) dan CYP2C9 pada manusia (Backman et al., 1996; Villikka et al., 1997; Villikka et al., 1999; Niemi et al., 2000, Niemi et al., 2001). Kombinasi glipizid dan rifampisin kemungkinan digunakan dalam terapi DM dengan tuberkulosis paru. Kombinasi ini kemungkinan dapat menimbulkan terjadinya interaksi yaitu meningkatnya metabolisme glipizid akibat terjadinya pemacuan enzim metabolisme khususnya CYP2C9 karena pemberian rifampisin sehingga dapat menurunkan efek hipoglikemik glipizid. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian rifampisin 450 mg selama 7 hari sebelum pemberian glipizid 5 mg, terhadap efek hipoglikemik glipizid.

METODOLOGI Subyek Penelitian Penelitian dilakukan pada dua belas relawan sehat orang Indonesia suku Jawa, berumur antara 20–40 tahun, dengan indek masa tubuh (IMT) normal. Relawan dalam keadaan sehat, dibuktikan dari hasil pemeriksaan fisik, dan laboratorik (pemeriksaan laboratorium darah dan urin rutin, pemeriksaan fungsi hati, pemeriksaan fungsi ginjal, dan pemeriksaan tes toleransi glukosa oral (TTGO). Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah individu yang mempunyai riwayat hipersensitivitas, mempunyai kebiasaan merokok, kebiasaan minum alkohol, pada pemeriksaan didapatkan hipotensi, kelainan jantung/ginjal/hati atau riwayat penyakit hati, diabetes, menggunakan kontrasepsi hormonal, dan menggunakan obat dalam waktu 2 minggu sebelum penelitian.

Majalah Farmasi Indonesia, 14(2), 2003

300

Luciana Kuswibawati

Protokol penelitian sebelumnya diajukan kepada Komisi Etik Penelitian Biomedis pada Manusia Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada untuk mendapatkan surat kelaikan etik (ethical clearance). Relawan secara sukarela menyetujui ikut berpartisipasi dalam penelitian dengan mengisi informed consent. Rancangan Penelitian Penelitian dilakukan dengan rancangan sama subyek, cross over design. Setiap subyek akan menjalani dua macam uji. Subyek secara random dikelompokkan menjadi dua, satu kelompok mendapat praperlakuan rifampisin dan perlakuan glipizid, kelompok yang lain tanpa praperlakuan rifampisin. Setelah washout period 16 hari, masingmasing kelompok akan mendapatkan perlakuan sebaliknya. Tujuan washout period adalah untuk menghilangkan efek obat pada uji pertama sehingga tidak mempengaruhi efek obat pada uji yang kedua. a. Kelompok tanpa praperlakuan, hanya diberi tablet glipizid (5 mg) dosis tunggal kemudian diukur efek hipoglikemik glipizid dengan menggunakan TTGO. b. Kelompok praperlakuan. Sebelum diberi dengan tablet glipizid (5 mg) dosis tunggal sebelumnya diberi praperlakuan rifampisin (450 mg) 1 kali sehari selama 7 hari berturut-turut peroral. Kemudian diukur efek hipoglikemik dengan menggunakan TTGO. Sesaat sebelum diberi perlakuan pemberian glipizid, dilakukan pengukuran kadar glukosa darah sebagai kadar glukosa jam ke 0. Satu jam setelah minum obat glipizid, subyek melakukan TTGO dengan diberi pembebanan glukosa sebanyak 75 gram yang dilarutkan dalam 200 ml air putih. Cuplikan darah untuk pengukuran kadar glukosa diambil sesaat sebelum minum obat glipizid (jam ke0), sesaat sebelum pembebanan glukosa (kadar glukosa jam ke1) kemudian 0,5; 1; 1,5; 2; 3; 4; dan 6 jam setelah pembebanan glukosa. Analisis kadar Glukosa Darah Kadar glukosa dalam darah dianalisis secara enzimatik metode GOD PAP, menggunakan autoanalyser COBAS MIRA Analisis Statistik Perubahan kadar glukosa dalam darah antara kelompok perlakuan glipizid dosis tunggal 5 mg tanpa dan dengan praperlakuan rifampisin 1 kali 450 mg selama 7 hari dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji t berpasangan dengan taraf kepercayaan 95 %. Dengan variabel bebas adalah jenis obat yang diberikan yaitu glipizid atau glipizid bersama rifampisin. Variabel tergantung adalah kadar glukosa darah. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh rifampisin terhadap efek hipoglikemik dari glipizid dilakukan dengan mengunakan metode TTGO. Menurut Stumvoll et al. (2000), kadar glukosa darah selama TTGO dapat digunakan untuk memperkirakan fungsi sel  pankreas dalam sekresi insulin dan sensitivitasnya. Kadar glukosa darah setiap waktu setelah pemberian glipizid dosis tunggal 5 mg tanpa, dan setelah praperlakuan rifampisin 1 kali 450 mg selama 7 hari dari 12 relawan sehat disajikan pada Tabel I dan 2, sedangkan nilai rata-rata kadar glukosa darah diperlihatkan pada gambar 1. Tabel I. Kadar glukosa darah relawan sehat pada kelompok perlakuan glipizid dosis tungal 5 mg tanpa praperlakuan rifampisin. Kadar glukosa darah (mg/dl) pada jam keSubyek 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Mean SEM

0 97 98 82 101 87 107 95 113 89 90 101 90 95,8 8,8

1 39 74 45 60 63 64 39 63 54 58 35 47 53,4 12,2

Majalah Farmasi Indonesia, 14(2), 2003

1,5 112 123 107 129 54 158 113 127 63 106 98 92 106,8 28,3

2 80 118 92 78 69 148 93 101 82 62 87 55 88,8 25,2

2,5 93 80 60 55 31 78 82 75 67 47 77 45 65,8 18,3

3 79 40 47 74 37 68 65 61 79 46 65 58 59,9 14,5

4 53 71 70 39 47 45 39 58 64 47 70 77 56,7 13,4

5 109 98 125 87 61 186 72 93 86 65 66 103 95,9 34,3

7 112 101 109 100 82 160 89 99 94 70 71 125 101,0 24,6

301

Pengaruh Pemberian Rifampisin…….

Pada jam ke-1 ada penurunan kadar glukosa darah setelah pemberian glipizid per oral 5 mg. Setelah diberi pembebanan glukosa pada jam ke-1, kadar glukosa subyek meningkat lagi, rata-rata ½ jam setelah pembebanan glukosa (Tabel I). Pada jam ke-1, kadar glukosa pada kelompok tanpa praperlakuan rifampisin berkisar antara 39 sampai 74 mg/dl. Terjadi penurunan kadar glukosa darah 1 jam setelah pemberian glipizid per oral 5 mg, yaitu antara 26 sampai 87 mg/dl (Tabel I). Setelah diberi pembebaban glukosa pada jam ke-1, kadar glukosa subyek meningkat lagi, rata-rata setelah ½ jam pascapembebanan glukosa. Setelah diberi glipizid oral dosis tunggal 5 mg tampak ada penurunan kadar glukosa darah (Gambar 1). Kadar glukosa darah pada jam ke2 pada kelompok tanpa praperlakuan lebih tinggi dibandingkan kelompok dengan praperlakuan rifampisin, namun pada jam ke 2,5; 3; 4; 5 dan 7 kadar glukosa darah tampak lebih tinggi pada kelompok dengan praperlakuan rifampisin. Tabel II. Kadar glukosa relawan sehat pada kelompok perlakuan glipizid dosis tunggal 5 mg dengan praperlakuan rifampisin 1 kali 450 mg selama 7 hari Kadar glukosa darah (mg/dl) pada jam keSubyek

0 98 78 123 97 88 91 96 90 86 89 97 80 92,7 11,5

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Mean SEM

1 73 60 71 56 69 63 87 71 36 36 38 26 57,2 18,9

1,5 96 119 77 137 60 185 92 69 76 100 124 115 104,2 34,7

2 55 102 77 76 37 162 69 53 65 78 92 72 78,2 31,5

4

5

2,5 64 108 83 116 86 63 111 77 103 63 87 73 86,2 19,3

3 98 87 65 54 74 54 83 74 94 79 75 92 77,4 14,5

4 79 56 67 43 57 44 48 64 78 67 78 84 63,8 14,2

5 112 109 150 110 96 203 95 118 107 132 144 130 125,5 30,0

7 101 123 155 123 121 146 115 106 100 136 110 114 120,8 17,2

kadar glukosa darah (mg/dl)

140 120 100 80 60 40 20 0 0

1

2

3

6 glipizid

7

8

waktu (jam)

glip+rifamp

Obat

TTGO

Makan

Gambar 1. Kadar glukosa darah rata-rata setiap waktu setelah pemberian glipizid dosis tunggal 5 mg pada kelompok tanpa dan dengan praperlakuan rifampisin 1x450 mg selama 7 hari. Pada tabel 3 disajikan AUC kadar glukosa darah selama 7 jam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai AUC0-7 kadar glukosa darah pada kelompok praperlakuan rifampisin lebih besar, rata-rata sebesar 10,77% dibandingkan kelompok tanpa praperlakuan (625,67 vs. 564,82 mg.jam/dl; p>0,05). Peningkatan nilai AUC0-7 ini Majalah Farmasi Indonesia, 14(2), 2003

302

Luciana Kuswibawati

disebabkan karena pemberian bersama rifampisin dapat menurunkan kadar glipizid dalam serum, sehingga efek penurunan kadar glukosa dari glipizid berkurang. Keadaan ini menyebabkan kadar glukosa darah pada kelompok dengan praperlakuan menjadi lebih tinggi, sehingga AUC0-7 kadar glukosa darahnya lebih besar (p>0,05). Tabel III. Nilai AUC0-7 (mg.jam/dl) kadar glukosa darah pada kelompok perlakuan glipizid dosis tunggal 5 mg tanpa dan dengan praperlakuan rifampisin 1x450 mg selama 7 hari pada 12 sukarelawan sehat. Subyek

AUC0-7 (mg.jam/dl) perlakuan glipizid dengan praperlakuan 634,50 656,25 729,00 626,50 568,00 483,75 650,50 597,25 601,00 621,00 688,75 651,50 625.67

AUC0-7 (mg.jam/dl) perlakuan glipizid tanpa praperlakuan 632,75 614,00 606,00 521,50 417,00 828,50 505,50 597,50 537,25 445,00 496,50 576,25 564,82

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Mean

efek penurunan kadar glukosa darah (mg/dl)

Tidak bermaknanya perbedaan AUC0-7 kadar glukosa darah pada kedua kelompok perlakuan disebabkan oleh 1) pada penelitian ini hanya dipergunakan glipizid dosis tunggal 5 mg, 2) kemungkinan ada pengurangan efek glipizid dalam menurunkan kadar glukosa darah namun masih dalam lingkup terapi, 3) adanya mekanisme homeostasis pengaturan kadar glukosa darah pada relawan sehat. Efek penurunan kadar glukosa darah yang dilihat dari selisih kadar glukosa darah dari keadaan baseline (sebelum pemberian glipizid) pada setiap waktu pada kelompok dengan dan tanpa praperlakuan rifampisin disajikan pada gambar 2.

40 30 20 10 0 -10 0

1

2

3

4

5

-20

6

7 8 waktu (jam)

-30 -40 -50 kontrol

interaksi rifampisin

Gambar 2. Efek penurunan kadar glukosa darah setelah pemberian glipizid dosis tunggal 5 mg pada kelompok tanpa (kontrol) dan dengan praperlakuan rifampisin 1x450 mg selama 7 hari Pada jam ke-1, efek penurunan kadar glukosa darah pada kelompok dengan praperlakuan rifampisin lebih kecil 6,83 mg/dl (16,1%) dibandingkan kelompok tanpa praperlakuan rifampisin (35,583 mg/dl vs. 42,413 mg/dl). Setelah pembebanan glukosa 75 gram, kadar glukosa darah pada kedua kelompok meningkat hampir setara. Efek penurunan kadar glukosa darah setelah pembebanan glukosa tampak lebih kecil pada kelompok dengan praperlakuan rifampisin dibandingkan dengan kelompok tanpa praperlakuan. Pada jam ke-2,5 efek penurunan kadar glukosa darah pada kelompok dengan praperlakuan rifampisin lebih kecil 14,6 mg/dl (48,6%; p<0,05)) dibandingkan dengan kelompok tanpa praperlakuan rifampisin (15,41 mg/dl vs. 29,99 mg/dl). Pada jam ke-3 dibandingkan dengan kelompok tanpa praperlakuan rifampisin, pada kelompok dengan praperlakuan rifampisin

Majalah Farmasi Indonesia, 14(2), 2003

303

Pengaruh Pemberian Rifampisin…….

terjadi pengurangan efek penurunan kadar glukosa sebesar 20,58 mg/dl (57%, p<0,05), yaitu 35,91 mg/dl vs. 15,33 mg/dl dan pada jam ke-4 terjadi pengurangan efek 25,95% (10,163 mg/dl) yaitu 39,163 mg/dl vs. 29 mg/dl. Setelah jam ke-4 semua subyek diberi makan dengan jumlah kalori yang sama, dan terlihat pada jam ke-5 dan ke-7 peningkatan kadar glukosa darah kelompok praperlakuan tampak lebih tinggi dibandingkan kelompok tanpa praperlakuan. Rifampisin telah dibuktikan merangsang pembentukan enzim sitokrom P-450 isoenzim CYP2C9 yang antara lain berfungsi untuk memetabolisme glipizid. Kombinasi glipizid dengan rifampisin memungkinkan timbulnya interaksi farmakokinetika, yaitu meningkatnya metabolisme glipizid. Profil kinetika absorpsi dan distribusi glipizid tidak dipengaruhi oleh adanya rifampisin, namun mempengaruhi profil kinetika eliminasi glipizid. Adanya rifampisin akan mempercepat eliminasi glipizid sehingga kadar glipizid dalam darah menjadi lebih rendah. Praperlakuan rifampisin 1 kali sehari 450 mg selama 7 hari sebelum pemberian glipizid dosis tunggal 5 mg tidak mengakibatkan perubahan efektivitas glipizid dosis tunggal 5 mg. Hasil ini dilihat dari nilai AUC kadar glukosa darah rata-rata selama 7 jam antara kelompok tanpa dan dengan praperlakuan rifampisin yang tidak berbeda bermakna secara statistik (p>0,05). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Niemi et al. (2001) bahwa rifampisin mempercepat kinetika eliminasi glipizid tetapi tidak mempengaruhi AUC kadar glukosa darahnya. Namun demikian telaah lebih lanjut ternyata didapatkan perbedaan nilai kadar glukosa darah pada jam ke2,5 dan 3 antara kelompok tanpa dan dengan praperlakuan rifampisin (p<0,05). Kadar glukosa darah pada kelompok dengan praperlakuan rifampisin jam ke 2,5 dan 3 lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok tanpa praperlakuan, berturut-turut 30,89% dan 29,21%. Pada kurva efek penurunan kadar glukosa darah, juga terdapat perbedaan bermakna pada jam ke-2,5 dan jam 3. Hal ini membuktikan adanya perbedaan efek hipoglikemik pada kedua kelompok perlakuan. Pemberian bersama rifampisin akan mempercepat eliminasi glipizid, sehingga kadar glipizid dalam darah menjadi lebih cepat menurun. Secara teori hal ini menyebabkan kadar obat di tempat aksi menjadi lebih sedikit sehingga akan mengurangi efek penurunan kadar glukosa. Penurunan efek ini menjadikan kadar glukosa darah pada kelompok dengan praperlakuan rifampisin menjadi relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok tanpa praperlakuan rifampisin. Rifampisin telah terbukti sebagai senyawa penginduksi enzim mikrosomal hepar yang poten, yang berperan dalam metabolisme obat lain. Sebagai senyawa penginduksi, rifampisin meningkatkan pembentukan enzim dalam sistem MFO, yang berperan dalam reaksi oksidasi fase pertama dalam metabolisme obat. Lebih jauh telah terbukti bahwa rifampisin dapat meningkatkan pembentukan sitokrom P-450 isoenzim CYP2C9 (Backman et al., 1996; Villikka et al., 1997; Villikka et al., 1999; Niemi et al., 2000; Niemi et al., 2001). Kinerja farmakologi obat salah satunya ditentukan oleh keberadaan obat dalam bentuk aktif di tempat kerjanya, yang ditentukan oleh kadar obat di dalam darah selanjutnya ditentukan oleh aturan pemberian obat. Pemberian bersama rifampisin akan meningkatkan parameter farmakokinetika eliminasi glipizid yang tentu saja akan mempengaruhi kinerja farmakologi glipizid yang berdampak pada pergeseran manfaat klinis. Pada penelitian ini tidak dijumpai penurunan efek glipizid, hal ini disebabkan karena pada penelitian digunakan glipizid dosis tunggal 5 mg. Kemungkinan sebab lain yaitu meskipun kadar glipizid dalam serum menurun, namun masih dalam lingkup terapi atau karena adanya mekanisme homeostasis pengaturan kadar glukosa darah pada relawan sehat. KESIMPULAN Praperlakuan rifampisin 1 kali 450 mg sebelum pemberian glipizid dosis tunggal 5 mg tidak mempengaruhi efek hipoglikemik glipizid yang diukur dari AUC0-7 kadar glukosa darah. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2000, Guidance for industry. Bioavailability and Bioequivalence Studies for Orally Administered Drug Prodructs. Asdie, A.H., 2000, Patogenesis dan Terapi Diabetes Mellitus tipe 2, Medika Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Backman, J.T., Olkkala, K.T. & Neuvonen, P.J. 1996, Rifampicin drastically reduces plasma concentrations and effects of oral midazolam, Clin. Pharmacol. The.r; 59:7-13. Budiarto, L. dan Hisyam, B., 2001, Beberapa aspek klinik tuberkulosis paru dengan diabetes mellitus, Lab/UPF Penyakit Dalam FK-UGM/RSUP DR. Sardjito, Yogyakarta. Dolleri, C., 1992, Therapeutic Drugs, vol 1 & 2, Churchill Livingstone Medical Division of Longman Group UK, Edinburg. Fordiastiko, 1995, Penatalaksanaan tuberkulosis paru pada penderita diabetes mellitus, Paru, 15(3): 105-110.

Majalah Farmasi Indonesia, 14(2), 2003

304

Luciana Kuswibawati

Hamman, M.A., Bruce, M.A., Hachner-Daniels, B.D., Hall, S.D., 2001, The effect of rifampicin administration on the disposition of fexofenadine, Clin. Pharmacol. Ther.; 69:114-121. Hamzah, G., Bardiman, S., & Halim, H., 1993, Insiden penderita tuberkulosis paru dengan diabetes mellitus yang dirawat di Lab/UPF Penyakit Dalam FK UNSRI RSUP Palembang (1988-1992) in Acta Medica Indonesiana, XXI:2 Maret-Juni 1993, Kongres Persatuan Penyakit Dalam Indonesia IX, Denpasar. Niemi, M., Backman, J.T., Neuvonen, M., Neuvonen, P.J., Kivisto,K.T., 2000, Rifampicin decreases the plasma concentrations and effects of repaglinide, Clin. Pharmacol. Ther.; 68:495-500. Niemi, M., Backman, J.T., Olkkala, K.T., Neuvonen, M., Neuvonen, P.J., Kivisto,K.T., 2001, Effect of rifampicin on the pharmacokinetics and pharmacodynamics of glyburide and glipizid, Clin. Pharmacol. Ther.; 69:400-406. Patau, Y., Abdullah, A., Adam, J.M.F., & Djunaedi, 1989, Beberapa aspek klinik tuberkulosis paru pada penderita diabetes mellitus in Kumpulan Makalah Kopapdi VIII Yogyakarta jilid III, Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia cabang Yogyakarta. Pozzilli, P., Signore, A., Leslie, R.D.G., 1997, Infection, immunity and diabetes in. K.G.M.M Alberti, R.A.P. Zimmet DeFonzo: International Texbook of Diabetes Mellitus, pp.1231-1241, John Wiley & Sons Ltd. Toronto. Stumvoll, M., Mitrakou, A., Pimenta, W., Jenssen, T., Yki-jarvinen, H., Van Haeften, T., Renn, W., Gerich, J., 2000, Use of the oral glucose tolerance test to asses insulin release and insulin sensitivity, Diabetes Care 23:295-301. Villikka, K., Kivisto, K.T., Luurila, H. & Neuvonen, P.J., 1997, Rifampicin reduces plasma concentrations and effects of zolpidem, Clin. Pharmacol. Ther.; 62: 629-634. Villikka, K., Kivisto, K.T. & Neuvonen, P.J., 1999, The effects of rifampicin on the pharmacokinetics of oral and intravenous ondansetron, Clin. Pharmacol. Ther.; 65: 377-381. Yoesoef, H., Tanjung, R., Pelly, R., Aisyah, N., 1989, Tuberkulosa paru dengan diabetes mellitus di Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam FK-USU RS.DR. Pirngadi Medan dalam Kumpulan Makalah Kopapdi VIII Yogyakarta jilid III, Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia cabang Yogyakarta.

Majalah Farmasi Indonesia, 14(2), 2003

305