PENGARUH SUPLEMENTASI MULTIVITAMIN MINERAL TERHADAP STATUS GIZI DAN KADAR SENG (Zn) SERUM PADA WANITA PEKERJA USIA SUBUR
Alia Latifah Hanum
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBER DAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN ALIA LATIFAH HANUM. Pengaruh Suplementasi Multivitamin Mineral Terhadap Status Gizi dan Kadar Seng (Zn) Serum pada Wanita Pekerja Usia Subur. (Dibawah bimbingan CESILIA METI DWIRIANI dan RIMBAWAN). Penelitian ini bertujuan untuk 1) Mempelajari karakteristik sosio demografi (pendapatan, pendidikan, usia, besar keluarga) contoh 2) Mempelajari tingkat kecukupan intake energi, protein, dan seng contoh dari makanan 3) Menganalisis pengaruh suplementasi multivitamin dan multimineral terhadap perubahan status gizi contoh (IMT dan LILA), dan 4) Menganalisis pengaruh suplementasi multivitamin dan multimineral terhadap perubahan kadar seng serum contoh. Desain penelitian ini adalah eksperimental murni teracak buta ganda (double blind randomized controlled trial). Penelitian lapang dilaksanakan selama 4 bulan, yaitu mulai bulan Februari hingga Mei 2008 di PT Ricky Putra Globalindo, Citeurep, Kabupaten Bogor. Kegiatan analisa kadar seng (Zn) serum dilakukan di Laboratorium Seng Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Gizi dan Makanan, Departemen Kesehatan, Bogor. Populasi adalah adalah wanita usia subur usia 15-45 tahun (Depkes 2003), sedangkan contoh adalah kelompok populasi yang memenuhi kriteria inklusi yang dipilih secara acak, dengan kriteria Inklusi tertentu. Selanjutnya dilakukan penentuan besar contoh menggunakan analogi penelitian Raqib et al. (2001). Pada awal penelitian masing-masing kelompok perlakuan terdiri atas 35 orang contoh, dalam proses intervensi terjadi drop out sehingga pada akhirnya diperoleh besar contoh masing-masing 27 orang untuk kelompok perlakuan plasebo, dan 31 orang untuk kelompok perlakuan multivitamin. Sebelum perlakuan, kadar seng serum, pola konsumsi, dan status gizi contoh diperiksa sebagai dasar (baseline). Perlakuan diberikan setiap hari kepada contoh selama sepuluh minggu. Kemudian setelah 10 minggu dilakukan kembali pemeriksaan (endline). Suplemen multivitamin mineral yang digunakan dalam penelitian ini berupa kaplet yang berisi 1000 mg vitamin C, 45 mg vitamin E, 700 g vitamin A, 6.5 mg vitamin B6, 400 g asam folat, 9.6 g vitamin B12, 10 g vitamin D, 10 mg Zn, 110 g Se, 0.9 mg Cu, dan 5 mg Fe. Karakteristik contoh yang diamati pada penelitian ini terdiri atas pendapatan, tingkat pendidikan, usia, dan jumlah anggota keluarga contoh. Contoh pada kelompok plasebo memiliki rata-rata pendapatan per kapita per hari sebesar Rp. 1853.80 Sedangkan contoh pada kelompok perlakuan multivitamin memiliki rata-rata pendapatan sebesar Rp. 18319.53 per kapita per hari. Uji statistik menujukkan bahwa tingkat pendapatan perkapita per hari antar kelompok perlakuan tidak berbeda nyata (P=0.916). Berdasarkan kategori, seluruh responden dari kedua kelompok perlakuan tergolong dalam kategori sejahtera. Hal ini diduga karena pihak perusahaan memberikan bayaran pada pekerjanya sesuai UMR, sehingga pendapatan per kapita per hari contoh dapat melebihi batas kemiskinan kabupaten Bogor, yakni Rp.6102.233 per kapita per hari. Usia contoh dibedakan menurut kelompok usia <20 tahun, 20-29 tahun, 3039 tahun, dan ≥40 tahun . Pada kelompok plasebo, separuh contoh (51.85%) berada dalam rentang kelompok usia 20-29 tahun dan hanya terdapat 7.41% contoh yang berusia > 40 tahun. Sedangkan pada kelompok multivitamin, lebih dari separuh contoh (67.74%) berada dalam rentang usia 30-39 tahun dan terdapat 3.23% contoh yang berusia > 40 tahun. Uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada usia contoh antar pelakuan plasebo dan multivitamin (P=0.225).
Pada kelompok plasebo, 40.74% contoh berpendidikan tamat SLTA dan terdapat 7.40% contoh yang tidak tamat SD. Sedangkan pada kelompok perlakuan multivitamin mayoritas contoh berpendidikan tamat SD, yakni sebesar 38.70%. Terdapat 3.23% contoh yang tidak tamat SD, serta 3.23% contoh yang berpendidikan tamat D1/D3. Pada kelompok perlakuan plasebo sebagian besar contoh (88.89%) memiliki jumlah anggota keluarga < 4 orang dan hanya 11.11% contoh yang memiliki jumlah anggota keluarga 5-7 orang. Demikian pula pada kelompok perlakuan multivitamin, dimana sebagian besar contoh (90.32%) memiliki jumlah anggota keluarga < 4 orang dan hanya 9.67% contoh yang memiliki jumlah anggota keluarga 5-7 orang. Uji statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada jumlah anggota keluarga antara kelompok perlakuan plasebo dan multivitamin (P=0.861). Pada kelompok perlakuan plasebo rata-rata IMT pada pemeriksaan awal adalah 24.31 kg/m2, sedangkan pada kelompok multivitamin rata-rata IMT contoh adalah 23.99 kg/m2 . Uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada status gizi antar kelompok perlakuan (P=0.726). Demikian pula halnya dengan nilai LLA contoh, dimana tidak terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok perlakuan (P=0.810). Nilai rataan LILA pada kelompok perlakuan plasebo adalah 28.01 cm sedangkan nilai rataan pada kelompok perlakuan multivitamin adalah 27.92 cm. Setelah intervensi, lebih dari separuh contoh baik pada kelompok plasebo (81.5%) maupun kelompok perlakuan multivitamin (96.8%) berada dalam status gizi normal menurut LLA. Hanya terdapat 18.5% contoh pada kelompok plasebo, dan 3.2% contoh pada kelompok perlakuan multivitamin yang menderita KEK. Berdasarkan hasil uji T berpasangan terdapat perubahan LLA antara data baseline dan endline untuk kelompok perlakuan plasebo (P=0.04). Sedangkan untuk kelompok perlakuan multivitamin tidak terdapat perbedaan (P=0.80). Walaupun hasil uji T berpasangan menunjukkan adanya perubahan yang terjadi terhadap LLA contoh pada kelompok perlakuan plasebo, namun demikian berdasarkan hasil analisis ragam terlihat bahwa perlakuan suplementasi tidak berpengaruh terhadap LLA (P=0.47). Pada pemeriksaan baseline, kadar seng serum responden adalah homogen. Hal ini dapat terlihat dari hasil uji statistik yang tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada kadar serum seng contoh kelompok perlakuan plasebo maupun multivitamin (P=0.395). Pada kelompok perlakuan plasebo, nilai rataan serum seng nya adalah 0.78 mol/L sedangkan pada kelompok perlakuan multivitamin nilai rataan serum seng nya adalah 0.77 mol/L. Pada pemeriksaan baseline sebagian besar contoh pada kelompok plasebo (85.2%) maupun kelompok perlakuan multivitamin (80.6%) berada dalam status seng normal. Setelah intervensi selama 10 minggu, terdapat peningkatan jumlah contoh yang status seng nya normal, yakni menjadi 100% pada kelompok plasebo dan 87.1% Uji T berpasangan antar perlakuan terhadap kadar seng serum contoh dilakukan untuk mengetahui adakah perbedaan kadar seng serum contoh pada kedua kelompok perlakuan sebelum dan sesudah suplementasi. Berdasarkan hasil uji T berpasangan terdapat perubahan kadar seng serum contoh antara data baseline dan endline baik untuk kelompok perlakuan plasebo maupun kelompok perlakuan multivitamin (P (2-arah)<0.05). Namun demikian berdasarkan hasil analisis ragam terlihat bahwa perlakuan suplementasi tidak berpengaruh terhadap kadar seng serum (P=0.89).
Pengaruh Suplementasi Multivitamin Mineral Terhadap Status Gizi dan Kadar Seng (Zn) Serum pada Wanita Pekerja Usia Subur
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
ALIA LATIFAH HANUM
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul
: Pengaruh Suplementasi Multivitamin Mineral Terhadap Status Gizi dan Kadar Seng (Zn) Serum pada Wanita Pekerja Usia Subur
Nama
: Alia Latifah Hanum
NRP
: A54104054
Disetujui, Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr. Rimbawan
Ir. Cesilia Meti Dwiriani, MSc
NIP. 131 629 744
NIP. 131 629 744 Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Soepandie, M.Agr. NIP. 131 124 019
Tanggal Disetujui
:
PRAKATA Segala puji bagi Allah SWT pencipta yang agung yang melimpahkan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Tak lupa pula shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada nabi kita Muhammad SAW beserta keluarganya dan para sahabatnya. Terselesaikannnya penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terimakasih sebesar-besarnya kepada : 1. Ir. Cesilia Meti Dwiriani Msc. Dan Dr.Rimbawan sebegai dosen pembimbing skripsi, yang telah membimbing dengan penuh kesabaran, serta memberikan banyak ilmu dan nasehat bagi penulis. 2. Fitrah Ernawati Msc. Yang telah melibatkan penulis dalam penelitian payung “Pengaruh Suplementasi Multivitamin Mineral Terhadap Imunitas Humoral dan Seluler”, untuk semua bantuan, bimbingan, dan pengalaman berharga. 3.
Dr.Ir. Lilik Kustiyah,MS selaku dosen pemandu seminar, atas semua saran dan kritik yang membuat skripsi ini menjadi lebih baik.
4. Dr.Ir. Evy Damayanthi, MS selaku dosen penguji, atas semua saran dan kritik yang membangun. 5. Firdaus dan Febrina Sulistiawati, atas kerjasama yang baik dan sangat menyenangkan selama penelitian. 6. Keluarga penulis, ayah, ibu, Zaky, dan Ridho. Atas semua doa, dukungan, dan semangat. 7. Teman-teman
GaMaSaKers
’41,
atas
seluruh
kebersamaan
dan
persahabatan yang tidak ternilai. You’re the best, Guys.. 8. Rekan-rekan BKG (Rizka, Ceu-ceu, Mei, Kiki, Icus, Onye, Bagus), untuk saat-saat sibuk yang menyenangkan. 9. Femphy Pisceldo S.Kom. Untuk semua doa, bantuan, dan semangat. 10. Ibu-Ibu responden karyawan PT.Ricky Putra Globalindo, atas kerjasama yang baik, dan saat-saat yang tidak terlupakan saat penelitian. 11. Rio Ardhiyanto,SH. dan keluarga (Om, Tante, Amel, dll). Atas semua bantuan, doa, dan dukungannya. Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2009
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada 29 Oktober 1986. Penulis merupakan putri pertama dari pasangan Drs. H. Muryadi Nurta dan Ir. Zahro (Almh.). Penulis menempuh pendidikan pada SD Al-Ghazaly dan Mts.S Al-Ghazaly Bogor, serta SMUN 5 Bogor. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2004. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan maupun kemasyarakatan. Pada tahun 2006 penulis aktif sebagai pengurus HIMAGITA (Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Gizi Pertanian), serta sebagai pengurus BKG (Badan Konsultasi Gizi) periode 2006-2008. Selain itu penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan yang diadakan HIMAGITA. Pada tahun 2006, penulis juga pernah menjadi relawan penanggulangan korban gempa dan bencana alam di Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. Di bawah koordinasi Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL..............................................................................................
i
DAFTAR GAMBAR..........................................................................................
ii
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................
iii
PENDAHULUAN..............................................................................................
1
Latar Belakang.................................................................................................
1
Tujuan ................................................................................................... .......
3
Kegunaan Penelitian........................................................................................
3
TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................
4
Seng (Zn) dalam Tubuh Manusia ........................................................... ....... Fungsi Seng (Zn) dan Akibat Defisiensi Seng ........................................ …… Metabolisme dan Penyerapan Seng (Zn) ............................................... …… Ketersediaan Seng (Zn) dalam Tubuh dari Konsumsi Makanan ............. …… Suplemen Multivitamin Mineral .............................................................. …… Peranan Suplementasi dalam Mengatasi Masalah Defisiensi Seng ....... ……
4 5 7 10 13 15
METODE PENELITIAN...................................................................................
18
Desain, Waktu dan Tempat Penelitian ................................................... …… Penentuan Jumlah Contoh .................................................................... …… Cara Pengambilan Contoh ..................................................................... …… Jenis dan Cara Pengumpulan Data ....................................................... …... Pengolahan dan Analisis Data ............................................................... …… Definisi Operasional .............................................................................. ……
18 18 19 21 22 25
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. ……
27
Karakterisik Contoh ............................................................................... …… Satus Gizi Contoh Sebelum Intervensi ................................................... …… Intake Energi, Protein, dan Seng Contoh dari Makanan ......................... …… Pengaruh Perlakuan Suplementasi Terhadap IMT dan LLA ................... …… Pengaruh Perlakuan Suplementasi Terhadap Kadar Serum Seng ......... ……
27 30 31 37 38
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. ……
43
Kesimpulan ........................................................................................... …… Saran ..................................................................................................... ……
43 44
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. .......
45
LAMPIRAN ............................................................................................ .......
50
i
DAFTAR TABEL NOMOR
HALAMAN
Tabel 1. Kandungan seng dan bioavailabilitas seng makanan secara in vitro pada beberapa desa di Bogor...............................................................................
12
Tabel 2. Kategori suplemen multivitamin mineral menurut beberapa survey......................................................................................................................
14
Tabel 3 Formula suplemen multivitamin mineral....................................................
21
Tabel 4 Pengelompokan status gizi orang dewasa menurut IMT............................
25
Tabel 5. Sebaran status ekonomi dan usia contoh..................................................
27
Tabel 6. Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan dan besar keluarga....... ....................................................................................... ........
29
Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan nilai IMT dan LLA........................................
30
Tabel 8 Sebaran contoh menurut status gizi berdasarkan nilai IMT dan LLA…….
31
Tabel 9 Intake energi, protein, dan seng contoh dari makanan...............................
32
Tabel 10. Jenis-jenis pangan sumber seng yang paling banyak dikonsumsi contoh........ ................................................................................ ........
33
Tabel 11 Tingkat konsumsi energi, protein, dan seng contoh dari makanan .. ……
34
Tabel 12. Status gizi contoh pada pemeriksaan endline................................ ……
37
Tabel 13. Status seng contoh pada pemeriksaan baseline dan endline ........ ……
39
ii
DAFTAR GAMBAR NOMOR
HALAMAN
Gambar 1. Penyaluran seng dalam tubuh..............................................................
9
Gambar 2 Diagram alir penelitian..........................................................................
20
iii
DAFTAR LAMPIRAN NOMOR
HALAMAN
Lampiran 1. FFQ contoh..........................................................................................
50
Lampiran 2. Kuisioner Penelitian.............................................................................
55
Lampiran 3. Hasil Uji statistik...................................................................................
66
Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian.......................................................................
73
Lampiran 5. Ethical Clearance.................................................................................
74
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam sepuluh tahun terakhir ini zat gizi mikro (micronutrient), terutama vitamin dan mineral secara internasional telah mendapat perhatian yang lebih besar dalam ilmu gizi. Hal ini disebabkan makin banyaknya penemuan penelitian gizi baru yang mengungkapkan mengenai makin luas dan pentingnya peranan vitamin dan mineral bagi kesehatan dan kesejahteraan manusia. Usia dan kualitas hidup manusia sangat bergantung pada peran vitamin dan mineral dalam mengatur fungsi otak, ketahanan tubuh (imunitas), fungsi kehamilan, dan pengolahan energi. Kekurangan zat gizi mikro pada tingkat ringan sekalipun diketahui
akan
dapat
mengganggu
kemampuan
belajar,
menurunkan
produktivitas kerja, bahkan memperparah penyakit dan meningkatkan kematian (Soekirman 2000). Defisiensi beberapa jenis zat gizi mikro pada wanita umum terjadi di seluruh dunia. Padahal, status zat gizi mikro pada wanita, terutama wanita usia subur bukan hanya mempengaruhi kesehatan wanita itu sendiri, namun juga mempengaruhi kesehatan generasi yang akan datang (Bartley et al. 2005). Wanita dewasa pada umumnya memiliki stamina yang lebih rentan dibandingkan dengan pria. Hal ini antara lain disebabkan oleh keadaan fisologis wanita yang berbeda dengan pria, contohnya pada keadaan hamil dan menyusui (Sekarindah 2004). Wanita di masa sekarang juga dituntut untuk mampu berperan ganda, yakni sebagai pencari nafkah dan sebagai ibu rumah tangga. Selain itu wanita mengalami menstruasi secara berkala dan cenderung mengikuti diet yang mengakibatkan rendahnya asupan vitamin dan mineral. Hal-hal tersebut menyebabkan wanita rentan terkena masalah yang terkait dengan kekurangan zat gizi mikro, termasuk diantaranya adalah defisiensi seng (Zn). Seng (Zn) merupakan salah satu zat gizi mikro esensial yang berperan penting dalam proses pertumbuhan, perkembangan, dan pemeliharaan sistem kekebalan tubuh (Fischer-Walker et al. 2005). Selain itu seng juga berperan dalam kerja lebih dari 70 jenis enzim, karena peranannya dalam sintesis DNA dan RNA serta protein, maka defisiensi seng dapat menghambat pembelahan sel, pertumbuhan dan pemulihan jaringan, serta diduga seng berinteraksi dengan defisiensi vitamin A dalam proses terjadinya buta senja (Wood 2000). Hampir seluruh vitamin dan mineral (termasuk seng) tidak dapat disintesa oleh tubuh, sehingga harus diperoleh dari makanan terutama buah, sayur dan
2
pangan hewani. Namun demikian, saat kebutuhan seng tidak dapat dipenuhi dengan cara perbaikan pola makan, terdapat beberapa cara alternatif untuk mengatasi defisiensi seng, antara lain dengan cara suplementasi dan fortifikasi (Soekirman 2008). Dalam kondisi tidak terpenuhinya vitamin dan mineral yang bersumber dari makanan, suplemen zat gizi dapat digunakan sebagai alternatif pilihan. Dalam International Conference on Nutrition Tahun 1992, FAO/WHO menetapkan bahwa suplementasi zat gizi harus dibatasi untuk kelompok rawan (vulnerable group) yang tidak dapat memenuhi kebutuhannya akan zat gizi melalui makanan, seperti bayi dan anak-anak, lansia, kelompok dengan sosial ekonomi rendah, orang terlantar, pengungsi, penduduk yang berada dalam kondisi darurat, dan wanita usia subur (FAO/WHO 1992). International Market Research Report (IMRR 2005) melaporkan bahwa food suplements (termasuk vitamin dan mineral) market di Indonesia diperkirakan mencapai $ 100 juta pada tahun 2001, dan meningkat 10% pada tahun 2002 menjadi $ 110 juta. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan permintaan pasar antara lain adalah perubahan pola makan, kesadaran untuk hidup sehat, pengaruh turis dan warga negara asing, mahalnya harga obatobatan, pengaruh pelajar yang belajar di luar negeri, ketidak seimbangan antara diet dengan gaya hidup yang stress, stabilnya penghasilan, serta merebaknya penyakit epidemik. Defisiensi seng pada manusia menyebar secara luas di beberapa bagian dunia. Defisiensi seng terjadi pada berbagai populasi di negara berkembang dan kemudian meningkat menjadi masalah kesehatan yang penting (ACC/SCN 1997). Dari hasil penelitian Riyadi (1995) diketahui bahwa prevalensi seng pada perempuan di semua kelompok umur berkisar antara 41.5% - 59.7%. Lebih jauh hasil penelitian Puslitbang Gizi dan Departemen Kesehatan pada 7 provinsi di Indonesia tahun 2006 menunjukkan terjadinya prevalensi defisiensi seng antara 7.96% – 44.44% (Anonim 2007). Kesadaran
masyarakat
maupun
pemerintah
semakin
meningkat
mengenai pentingnya peranan konsumsi seng dalam kesehatan, hal tersebut diiringi dengan semakin tingginya tingkat konsumsi suplemen makanan di Indonesia (IMMR 2005), termasuk suplemen multivitamin mineral dengan kandungan seng di dalamnya. Namun demikian belum banyak penelitian di Indonesia
yang
mempelajari
tingkat
keberhasilan
konsumsi
suplemen
multivitamin dan mineral dalam mengatasi masalah kekurangan zat gizi mikro,
3
terutama seng, pada golongan wanita usia subur yang bekerja. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini.
Tujuan Tujuan Umum : Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh suplementasi multivitamin mineral (vitamin C, E, A, B6, Asam folat, B12, D, Zn, Se, Cu, dan Fe) terhadap status gizi dan kadar seng (Zn) serum pada wanita pekerja usia subur.
Tujuan Khusus : 1. Mempelajari karakteristik sosio demografi (pendapatan, pendidikan, usia, besar keluarga) contoh. 2. Mempelajari tingkat kecukupan intake energi, protein, dan seng contoh dari makanan. 3. Menganalisis pengaruh suplementasi multivitamin dan multimineral terhadap perubahan status gizi contoh (Indeks Massa Tubuh (IMT) dan Lingkar Lengan Atas (LLA)).
4. Menganalisis pengaruh suplementasi multivitamin dan multimineral terhadap perubahan kadar seng serum contoh . Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai keefektifan konsumsi suplemen multivitamin dan mineral dalam mengatasi defisiensi seng,
sehingga diharapkan
dapat
menjadi bahan
pertimbangan bagi masyarakat dalam menentukan perlu atau tidaknya mengkonsumsi suplemen multivitamin dan multimineral.
4
TINJAUAN PUSTAKA Seng (Zn) dalam Tubuh Manusia Winarno (1997) menyatakan bahwa seng merupakan komponen penting dalam berbagai enzim. Sedikitnya 15-20 metalo enzim yang mengandung seng telah diisolasi dan dimurnikan. Salah satu contohnya dalah enzim karbonat anhidrase yang terdapat dalam sel darah merah. Selain itu seng juga terdapat dalam karboksi peptidase dan dehidrogense dalam hati. Sebagai kofaktor, seng dapat meningkatkan keaktifan enzim lainnya. Berdasarkan kadar seng tubuh total yakni sekitar 20 g Zn/g, maka diduga bayi yang baru lahir mengandung sekitar 60 mg seng. Selama pertumbuhan dan pematangan, kadar seng tubuh manusia meningkat menjadi sekitar 30 g Zn/g. Kandungan seng tubuh total orang dewasa berkisar dari 1.5 gram pada wanita dewasa sampai 2.5 gram pada laki-laki dewasa. Seng terdapat dalam semua organ, jaringan, cairan, dan sekresi-sekresi tubuh. Seng terutama merupakan ion intraselular, dengan lebih dari 95% seng tubuh total ditemukan dalam sel-sel. Seng berhubungan dengan semua organel sel, tetapi sekitar 60-80% seng selular ditemukan dalam sitosol (Shils, Olson, dan Shike 1994). Sediaoetama (2000) menjelaskan bahwa seng dalam tubuh manusia tersebar luas dalam berbagai jaringan dengan konsentrasi yang bervariasi, sebesar 10-200 g Zn/g jaringan basah. Pankreas mengandung seng dengan kadar 20-30 g Zn/g, sedangkan jaringan hati, otot skeletal dan jaringan tulang mengandung kadar 60-180 g Zn/g jaringan basah. Darah lengkap mengandung seng sekitar 900 g Zn/dl, sedangkan plasma mengandung seng kira-kira 120 g Zn/dl. Seng yang terdapat dalam plasma sekitar 34% terikat erat pada globulin dan 66% terikat lemah pada protein darah secara umum, yang diperkirakan sebagai bentuk transpor. Sanstead dan Evans (1984) yang diacu dalam Riyadi (2002) menyatakan bahwa tidak ada simpanan seng khusus dalam tubuh. Selain metallotionin, bentuk simpanan seng belum dapat diidentifikasi dalam jaringan halus. Jadi, jika konsumsi makanan tidak mencukupi kebutuhan seng, maka akan terjadi redistribusi seng dalam tubuh melalui katabolisme metalloprotein dalam otot dan jaringan halus lainnya untuk menyediakan seng bagi lokasi-lokasi yang membutuhkan.
5
Pada semua spesies yang diteliti, penurunan intake seng makanan yang tajam dengan cepat diikuti oleh tanda-tanda defisiensi seng. Namun demikian, beberapa sumber seng endogen dipertahankan secara khusus pada jaringanjaringan tertentu sebagai tanggapan atas penurunan seng makanan. Sebagai contoh, pada defisiensi seng, kadar dan uptake seng tulang menurun, tetapi laju turnover dan pembebasan seng tidak meningkat nyata. Sebaliknya pengurangan intake makanan yang berhubungan dengan defisiensi seng dapat menyebabkan katabolisme jaringan otot dan pembebasan seng kedalam plasma (Shils, Olson, dan Shike 1994) Diperkirakan kebutuhan seng adalah 15 mg bagi setiap anak diatas usia 11 tahun. Telah dibuktikan bahwa seng dalam protein nabati kurang tersedia dan lebih sulit digunakan tubuh manusia dibandingkan dengan seng yang terdapat dalam protein hewani. Hal tersebut mungkin disebabkan karena adanya asam phytate yang mampu mengikat ion-ion logam. Para ahli gizi berpendapat dengan konsumsi jumlah protein hewani yang dianjurkan maka kebutuhan seng tubuh akan terpenuhi. Meskipun seng terdapat dalam berbagai bahan pangan namun yang merupakan sumber utama seng adalah daging, unggas, ikan laut, telur, keju, dan susu (Winarno 1997). Fungsi Seng (Zn) dan Akibat Defisiensi Seng Seng memegang peranan penting dalam banyak fungsi tubuh. Seng berperan pada kegiatan ebih dari 200 enzim, seng juga berperan dalam berbagai aspek metabolisme, seperti reaksi-reaksi yang berkaitan dengan sintesis dan degradasi karbohidrat, protein, lipida, dan asam nukleat. Misalnya sebagai bagian dari karbonik anhidrase dalam sel darah merah. Seng berperan dalam pemeliharaan keseimbangan asam basa dengan cara membantu mengeluarkan karbon dioksida dari jaringan serta mengangkut dan mengeluarkan karbon dioksida dari paru-paru pada proses pernapasan. Sebagai bagian dari enzim peptidase karboksil yang terdapat dalam cairan pankreas, seng berperan dalam pencernaan protein (Almatsier 2002). Peran penting lainnya dari seng yakni sebagai bagian dari enzim DNA polimerase dan RNA polimerase yang sangat diperlukan dalam proses pembentukan (sintesis) DNA dan RNA. Selain itu seng juga berfungsi dalam proses pembentukan kulit, metabolisme jaringan ikat, serta berperan dalam proses penyembuhan luka. Seng juga memiliki peran dalam fungsi kekebalan tubuh, yakni dalam fungsi sel T dan dalam pembentukan antibodi oleh sel B.
6
Kadar seng darah yang rendah dihubungkan dengan hipogeusia atau kehilangan indra rasa. Hipogeusia biasanya disertai dengan penurunan nafsu makan dan hiposmia atau kehilangan indra bau. Hal ini biasanya terjadi pada stress akibat luka bakar, fraktur tulang, serta infeksi (Almatsier 2002). Linder (1992) menyatakan bahwa seng berfungsi dalam metabolisme dan pemeliharaan kulit, pankreas, dan organ-organ reproduksi pada pria. Selain itu seng juga memiliki peran dalam proses detoksifikasi alkohol serta dalam metabolisme pigmen visi bervitamin A, yakni suatu enzim yang memerlukan seng. Seng juga diperlukan dalam sintesis protein pengikat retinol dalam hati yang dibutuhkan untuk proses distribusi vitamin melalui plasma. Suatu hipotesis menyatakan bahwa seng memainkan peran biokimia yang sama dengan vitamin E, dengan cara menstabilkan struktur membran dan dengan menurunkan kerusakan peroksidatif terhadap sel. Luka pada hati yang diakibatkan oleh karbon dioksida adalah model lain untuk mempelajari luka radikal bebas terhadap jaringan. Hewan-hewan yang dipelihara dengan pola hidup seng, jika terdapat luka-luka biokimia ini memberi kesan bahwa seng melindungi terhadap luka radikal bebas. Seng juga menahan rangkaian radikal bebas yang tergantung pada metramadezone yang serupa (Prasad 1993). Sebuah penelitian tahun 1960an di Iran, mengidentifikasi bahwa defisiensi
seng
merupakan
penyebab
utama
stunting
dan
penundaan
kematangan sexual pada manusia (Hambidge 2000). Selain itu, ditemukan bahwa defisiensi seng pada bayi dan anak-anak tidak hanya menghambat proses pertumbuhan dan perkembangan, namun juga menurunkan imunitas dan meningkatkan morbiditas dan kematian karena penyakit infeksi. Peran fisologis seng dalam masa pertumbuhan dan perkembangan menggambarkan pula pentingnya peran seng untuk pertumbuhan bayi sejak dalam kandungan (Saskia et al. 2003). Selain itu, defisiensi seng akan memperlama proses penyembuhan tubuh, menurunkan kemampuan indra perasa (Ma dan Betts 2000), dan menurunkan perkembangan saraf (Hotz et al. 2003). Smith (1988) yang diacu dalam Riyadi (2002) menjelaskan bahwa pada kondisi defisiensi seng, maka fungsi kulit dapat terganggu. Acrodermatitis enteropathica, suatu penyakit defisiensi seng yang jarang terjadi pada manusia dapat diperbaiki dengan sempurna setelah pengobatan dengan seng. Luka kulit yang berkembang akibat komplikasi dengan KEP juga berespon terhadap pengobatan dengan seng. Selain itu seng juga memiliki peran yang penting
7
dalam metabolisme vitamin A. Defisiensi seng mengarah pada gangguan sintesis protein pengikat vitamin A dan menurunkan pembebasan simpanan vitamin A di hati kedalam aliran darah. Sebagai tambahan, retinol dehydrogenase, seperti dehydrogenase lainnya merupakan metalloenzim yang tergantung seng. Prasad (1993) menjelaskan bahwa defisiensi seng mungkin terjadi akibat intake yang tidak cukup dan ketersediaan seng makanan yang rendah, yang dihubungkan dengan intake serat makanan, polifosfat, besi, tembaga, dan phytate yang berlebihan . Disamping itu defisiensi seng juga dapat diakibatkan oleh keadaan kesehatan. Gejala klinis yang tampak menonjol pada penderita defisiensi seng antara lain adalah :
Pertumbuhan terhambat
Rasa dan penciuman rusak atau terganggu
Anoreksia atau gangguan nafsu makan dan intake makanan
Tertundanya kematangan seksual atau impotensia
Hipogonadisme dan hipospermia
Pertumbuhan rambut terhenti (alopesia)
Penyembuhan luka tertunda
Gangguan perilaku, depresi, pikiran labil, dan tidak konsentrasi
Kekebalan tubuh menurun
Buta senja, fotofobia, blefaritis
Kuku berhenti tumbuh
Lesi kulit pada jari, perineum, parietal nasobial, dan lipatan-lipatan
Diare Metabolisme dan Penyerapan Seng (Zn) Metabolisme merupakan semua proses baik fisik maupun kimia yang
terjadi di dalam tubuh dan diperlukan untuk mempertahankan kehidupan. Proses-proses ini berupa pemecahan zat-zat gizi untuk menghasilkan energi atau membentuk struktur tubuh (Almatsier 2002). Vitamin, mineral dan cairan di absorbsi secara bersamaan melalui mucosa usus. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas vitamin dan mineral, termasuk ada tidaknya zat gizi yang spesifik. Kebanyakan vitamin dan air berjalan dari usus halus ke aliran darah melalui
difusi pasive tanpa mengalami perubahan. Akan tetapi mineral di
absorbsi lebih komplek dan berjalan melalui 3 tahap. Pada tahap pertama, yaitu intraluminal stage, terjadi reaksi kimia dan interaksi yang terjadi di dalam
8
lambung dan usus halus. Reaksi ini sebagian besar ditentukan oleh pH dan komposisi makanan yang memasuki lambung, terutama mempengaruhi kation. Anion yang kecil seperti florida tidak dipengaruhi baik oleh pH maupun oleh komposisi makanan dan diserap dengan bebas. Tahap kedua adalah translocation stage, yang melewati membran menuju sel mukosa usus halus. Transpor anion yang kecil kemungkinan terjadi hanya melalui difusi yang sederhana. Untuk sebagian besar unsur kation, mekanisme dapat terjadi melalui difusi fasilitatif atau transpor aktif. Selama tahap ketiga, yaitu mobilization stage, mineral dapat diangkut melalui permukaan serosal usus menuju aliran darah atau dipisahkan di dalam sel. Beberapa mineral dibawa dengan cara berikatan dengan protein pembawa/protein pengangkut. Protein pengangkut tersebut ada yang bersifat spesifik misalnya transferin yang berikatan dengan besi atau yang bersifat umum misalnya albumin mengikat berbagai mineral (Beyer 2004). Istilah bioavailabilitas secara umum didefinisikan sebagai penyerapan dan pemanfaatan zat gizi (Fairweather-Tait 1997). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas, yaitu bentuk kimia dari zat gizi; komposisi zat gizi dalam makanan atau suplemen; interaksi antar zat gizi dan faktor dari dalam individu sendiri yang meliputi usia, jenis kelamin, faktor fisiologis, dan patologis
(Krebs
2001).
Faktor
bioavailabilitas antara lain
fisiologis
yang
dapat
mempengaruhi
kondisi pencernaan, umur, fungsi ginjal, jenis
kelamin, aktivitas fisik, komposisi tubuh, status gizi, status kesehatan, pola dan komposisi makan, suplemen makanan, alkohol, suku bangsa, dan faktor lingkungan seperti polusi, stres, dan penggunaan obat-obatan ( Solomon et al.. 2001). Banyaknya jumlah seng yang dapat diserap tubuh berkisar antara 1540%. Seperti halnya besi (Fe), penyerapan seng dipengaruhi oleh status seng tubuh. Bila lebih banyak seng yang dibutuhkan maka akan semakin banyak pula seng
yang
diserap.
Selain
itu
jenis makanan
yang
dikonsumsi juga
mempengaruhi penyerapan seng. Serat dan phytate akan menghambat bioavailabilitas seng. Sebaliknya protein histidin akan membantu penyerapan seng. Tembaga dalam jumlah melebihi kebutuhan tubuh juga akan menghambat penyerapan seng. Nilai albumin dalam plasma merupakan penentu utama penyerapan seng, albumin merupakan alat transport utama seng. Penyerapan seng akan menurun bila albumin darah menurun, misalnya dalam keadaan kurang gizi, atau kehamilan (Almatsier 2002).
9
Gambar 1. Penyaluran seng dalam tubuh
Seng makanan
sel saluran cerna
meningkatkan seng ke albumin dan transferin
darah mengangkut seng dalam albumin dan transferin Hati Pankreas membentuk enzim pencernaan dari seng dan mengeluarkannya kedalam saluran cerna
Darah membawa seng dlm albumin ke jaringan tubuh lain
Menyimpan kelebihan sebagai metallotionin
Ketersediaan Seng (Zn) dari Konsumsi Makanan
Sebagian hilang melalui urin, kulit, darah, dan mani
Sumber : Almatsier (2002) Proses penyerapan membutuhkan alat angkut dan terjadi di bagian atas usus halus (duodenum). Seng diangkut oleh albumin dan transferin masuk kedalam aliran darah dan kemudian dibawa ke hati (Gambar 1). Kelebihan seng akan disimpan di hati dalam bentuk metallotionin, lainnya dibawa ke pankreas serta jaringan tubuh lain. Dalam pankreas seng digunakan untuk membuat enzim pencernaan, yang akan dikeluarkan kedalam saluran cerna pada proses pencernaan makanan. Dengan demikian saluran cerna menerima seng dari dua sumber, yakni dari makanan dan dari cairan pencernaan yang berasal dari pankreas. Penyaluran seng dalam tubuh dari pankreas ke dalam saluran cerna dan kemudian kembali lagi ke pankreas dinamakan siklus enteropankreatik (Almatsier 2002). Penyerapan seng diatur oleh metallotionin yang disintesis dalam sel dinding saluran cerna. Bila konsumsi seng meningkat, dalam sel dinding saluran
10
cerna sebagian akan diubah menjadi metallotionin sebagai simpanan, sehingga penyerapan akan menurun. Metallotionin di dalam hati akan mengikat seng hingga saat dibutuhkan oleh tubuh. Metallotionin diduga mempunyai peranan dalam mengatur kandungan seng dalam cairan intraselular. Penyaluran seng antara cairan ekstraselular, jaringan, dan organ dipengaruhi oleh keseimbangan hormon dan situasi stress. Hati memegang peranan penting dalam redistribusi ini (Almatsier 2002). Lebih jauh Groff et al. (1995) menjelaskan bahwa seng diserap kedalam enterocyte oleh sebuah media pembawa yang menggunakan, atau tanpa menggunakan energi. Menurut Lonnerdal (2000), terdapat 10 faktor yang berhubungan dengan pola makan (dietary factors) yang dapat mempengaruhi proses penyerapan seng dalam tubuh, yakni :
Intake seng
Jumlah dan kualitas protein
Keberadaan phytate dan serat dalam makanan
Konsumsi kalsium
Konsumsi zat besi
Konsumsi tembaga
Konsumsi kadmium
Ligan dan kelat dengan berat molekul rendah
Keberadaan asam amino
Keberadaan asam oganik Ketersediaan Seng (Zn) dalam Tubuh dari Konsumsi Makanan Brown dan Wuehler (2000), menjelaskan bahwa efisiensi absorpsi seng
dalam tubuh dipengaruhi oleh berbagai faktor. Selain oleh status seng dalam tubuh, diantaranya juga oleh jumlah seng yang terkandung dalam susunan makanan, proses pemasakan, serta bioavailabilitas seng dari setiap jenis makanan di dalam susunan makanan. Bioavailabilitas seng diartikan sebagai jumlah seng yang dapat diserap oleh tubuh. Absorpsi seng yang berasal dari makanan terutama ditentukan oleh kelarutannya dalam lumen usus. Tingkat kelarutan tersebut dipengaruhi oleh bentuk atau struktur kimia dari seng, serta adanya faktor penghambat atau pendorong absorpsi seng yang terkandung dalam makanan. Faktor penghambat absorpsi seng yang utama adalah myoinositol hexaphosphate (phytate), yang terdapat dalam banyak jenis pangan nabati
11
khususnya serealia dan kacang-kacangan, dan ikatan-ikatan seng yang tidak dapat berubah dalam kondisi lumen usus. Organ dalam dan daging hewan menyusui (mamalia), unggas, ikan, dan kerang merupakan jenis pangan yang kaya akan seng serta tidak mengandung phytate. Telur dan produk ternak tidak mengandung phytate akan tetapi memiliki kandungan seng yang lebih rendah dibandingkan dengan kandungan seng dalam daging dan organ dalam hewan (Nasoetion 2003). Serealia dan kacang-kacangan memiliki kandungan seng yang tergolong cukup, namun karna jenis pangan tersebut mengandung phytate yang tinggi, maka jumlah seng yang dapat diserap tubuh menjadi jauh berkurang. Bila pangan sumber karbohidrat difermentasi (roti, tape beras) maka organisme yang melakukan proses fermentasi akan memproduksi
enzim phytase yang akan
memecah phytate sehingga jumlah seng yang dapat diabsorpsi tubuh akan meningkat. Beras, akar berpati, dan umbi-umbian memiliki kadar seng yang lebih sedikit dibandingkan dengan kacang-kacangan dan serealia selain beras. Buahbuahan dan sayuran pada umumnya memiliki kandungan seng yang rendah, kecuali pada beberapa jenis sayuran berdaun hijau seperti bayam yang memiliki cukup kandungan seng, meskipun belum jelas bioavailabilitasnya (Nasoetion 2003). Menurut Solomons (1985) yang diacu dalam Riyadi (2002), penyerapan seng dari makanan berkisar antara 14-41%. Namun tentu saja angka tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor pembantu dan penghambat seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Lebih jauh Prasad (1993) menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang berpengaruh pada jumlah seng yang dapat diserap oleh sel usus, mencakup a) zat pengikat, ada yang menghambat dan ada yang mempercepat penyerapan, b) status seng, penyerapan seng meningkat bila terjadi defisiensi seng, c) mekanisme transpor aktif seng, d) sekresi seng endogen ; sekresi seng dalam jumlah cukup kedalam lumen usus berlangsung melalui sekresi dari sel epitel, empedu, dan pankreas. Penyerapan seng secara in vitro pada beberapa makanan di pedesaan Bogor disajikan pada tabel 1
.
12
Tabel 1. Kandungan seng dan bioavailabilitas seng makanan secara in vitro pada beberapa desa di Bogor Jenis makanan
Kandungan Zn
Bioavailabilitas (%)
(mg/100g) Nasi putih
0,84
6,84
Nasi uduk
0,74
6,56
Nasi goreng
0,79
3,76
Lontong sayur
0,56
6,65
Ikan cue goreng
0,62
10,72
Ikan teri cue goreng
0,69
16,50
Ikan mas goreng
0,78
16,16
Ikan layur goreng
0,38
31,36
Tempe goreng
1,10
6,67
Bakwan sayur
0,54
4,70
Sayur sop
0,37
7,00
Sayur asem
0,53
4,85
Bayam tumis
0,63
3,93
Kangkung tumis
0,51
6,96
Buncis tumis
0,64
3,65
Sumber : Riyadi (1995) Lebih jauh, Solomons (1985) yang diacu dalam Riyadi (2002) menjelaskan bahwa dalam lumen usus, terdapat berbagai faktor yang dapat mempengaruhi ketersediaan seng untuk diserap (bioavailabilitas seng). Terdapat faktor-faktor yang membantu atau menghambat penyerapan. Faktor-faktor ini antara lain adalah zat-zat yang diproduksi dan dicerna secara endogen. Zat-zat berbobot molekul tinggi seperti metionin, histidin, sistein, sitrat, pikolinat, prostaglandin E2, glutation tereduksi, dan ligan-ligan kecil lainnya terbukti membantu penyerapan seng dalam usus halus. Selain itu penyerapan seng dalam bentuk kompleks seng histidin terbukti 30-40% lebih tinggi daripada penyerapan seng dalam bentuk seng sulfat. Penghambat anorganik penyerapan seng antara lain adalah kadmium, tembaga, fosfat, kalsium, dan besi non heme. Sedangkan penghambat organik adalah phytate, komponen serat makanan, termasuk hemiselulosa dan lignin.
13
Suplemen Multivitamin Mineral Dewasa ini, penggunaan suplemen semakin meningkat di seluruh dunia. Konsumen suplemen terbesar adalah wanita dan anaknya, orang tua, masyarakat dengan pendidikan dan pendapatan tinggi, masyarakat dengan gaya hidup dan makanan sehat, dan penderita penyakit berat seperti kanker. Banyak dari mereka merasa lebih baik setelah mengkonsumsi suplemen. Namun sayangnya, populasi yang beresiko tinggi mengalami ketidakcukupan intik zat gizi yang kemungkinan akan memperoleh lebih banyak manfaat dari konsumsi suplemen multivitamin mineral sangat sedikit mengkonsumsi suplemen (NIH State of the Science Panel 2007). The European Commission mengusulkan definisi suplemen sebagai sumber zat gizi padat (terutama vitamin dan mineral) yang dipasarkan dalam bentuk obat (seperti kapsul, tablet, serbuk, dan lain-lain) untuk menambah intik zat gizi pada makanan normal (Official Journal of the European Communities 2002). Sedangkan menurut FAO/WHO (2001), suplementasi merujuk pada pemberian sediaan farmakologi zat gizi secara periodik dalam bentuk kapsul atau tablet, atau melalui suntikan untuk kelompok yang beresiko menderita kurang gizi. Meskipun telah banyak digunakan, suplemen multivitamin mineral belum memiliki standar atau definisi dan masih merujuk kepada produk-produk dengan beragam komposisi dan karakteristik yang berbeda-beda. Selain itu, belum ada juga aturan yang dibuat untuk multivitamin mineral (Yetley 2007). Di Amerika, suplemen makanan dapat mengandung beragam bahan, termasuk vitamin, mineral, tumbuhan obat atau tumbuh-tumbuhan lainnya, dan asam amino; bahan makanan yang digunakan untuk menambahkan makanan dengan meningkatkan jumlah intik makanan; konsentrat, metabolit, dan ekstrak; atau kombinasi dari satu atau lebih bahan-bahan ini (US Food and Drug Administration 2001).
14
Berikut adalah beberapa contoh kategori suplemen multivitamin mineral yang digunakan dalam beberapa survey (Yetley 2007): Tabel 2 Kategori suplemen multivitamin mineral dalam beberapa survey Kategori Multivitamin mineral Gabungan beberapa vitamin dan mineral; multivitaminmultimineral
Kombinasi antara beberapa vitamin dan mineral dengan produk lain
Multivitamin Multivitamin, gabungan beberapa vitamin
Multivitamin dengan vit. C
Multimineral Multimineral
Kombinasi mineral
Definisi Tidak didefinisikan ≥ 3 vitamin dengan atau tanpa mineral (tidak merujuk pada vitamin dan mineral tertentu Minimal mengandung vit. B1, B2, niasin, vit. A, B12, B6, C, dan D; Ca, Fe, tanpa flourida Mengandung vit. A, D, E, C, B6, B12, B1, B2, niasin, asam folat, Ca, P, I, Fe, dan Mg Tidak didefinisikan Minimal mengandung 1 vitamin dan 1 mineral ditambah bahan lain
Tidak didefinisikan ≥ 2 vitamin Tanpa mineral, dengan vit. A, D, E, C, B6, B12, B1, B2, asam folat, dan niasin Harus mengandung vit. C, B1, B2, niasin, vit. A, dan vit. D
Tidak didefinisikan ≥ 2 mineral tanpa vitamin Tidak mengandung vitamin dan Ca, P, I, Fe, dan Mg Tidak mengandung vitamin, Ca, P, I, Fe, Mg, mengandung ≥ 2 mineral
Survey NHANES I, II; NHIS 1987, 1992, 2000, 2002; CSFII NHANES 1999-2000
NHANES III
NHIS 1986
NHANES 1999-2000, NHANES 2001-2002 NHIS 1986
NHANES I, II, III; NHIS 1987, 1992, 2000; CSFII NHANES 1999-2000 NHIS 1986
NHANES III
NHANES III, NHANES 2001-2002 NHANES 1999-2000 NHIS 1986 NHIS 1986
Sumber: Yetley (2007) dari beragam sumber Ket.:
CSFII, Continuing Survey of Food Intakes by Individuals; NHANES, National Health and Nutrition Examination Survey; NHIS, National Health Interview Survey
15
Peranan Suplementasi dalam Mengatasi Masalah Defisiensi Seng Brown dan Wuehler (2000) menyatakan bahwa terdapat beberapa upaya mengatasi masalah defisiensi seng yang dapat dilaksanakan baik secara langsung maupun tidak langsung. Upaya langsung mencakup diversifikasi atau modifikasi susunan makanan untuk meningkatkan konsumsi atau absorpsi seng, suplementasi bahan mengndung seng, dan fortifikasi seng kedalam bahan makanan antara. Upaya tidak langsung diantaranya adalah pelaksanaan program kesehatan masyarakat yang ditujukan untuk mencegah kejadiankejadian yang dapat mempengaruhi status gizi seperti diare atau gangguan pencernaan lainnya. Suplementasi merupakan suatu cara pemberian tambahan zat gizi, dalam hal ini adalah seng kepada sasaran. Suplementasi zat gizi lebih banyak diberikan dalam bentuk bahan kimia atau bentuk obat dibandingkan dalam bentuk pengaturan makanan. Beberapa manfaat pemberian suplemen dalam bentuk bahan kimia atau obat, diantaranya adalah biaya pengadaan bahan kimia relatif lebih murah dibanding biaya pengadaan bahan makanan yang dapat menyediakan seng yang dapat diserap tubuh dalam jumlah yang sama, demikian pula dalam hal kemampuan untuk mencapai jumlah target sasaran (Nasoetion 2003). Saat ini pemerintah semakin menyadari pentingnya peranan zat gizi mikro, termasuk seng, dalam proses metabolisme dan pemeliharaan kesehatan. Hal ini terlihat dari beberapa program suplementasi maupun fortifikasi seng yang dijalankan pemerintah, yang antara lain dituangkan dalam keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.153 tahun 2001, tentang Standar Nasional Indonesia Tepung Terigu. SNI ini mewajibkan fortifikasi tepung terigu dengan beberapa zat gizi mikro, termasuk seng (Soekirman 2008). Hal-hal yang perlu mendapat perhatian dalam penyelenggaraan kegiatan suplementasi adalah bentuk fisik dan kimia dari bahan kimia yang mengandung seng, serta dosis seng yang diberikan. Selain itu efek mengonsumsi, penyertaan zat gizi mikro lain kedalam bahan suplemen, cara penyajian tanpa/dengan menggunakan media bahan makanan, sistem pengepakan dan distribusi, serta kemungkinan adanya resiko sampingan terjadi keracunan (Nasoetion 2003). Menurut Mc.Dowell (1992), ikatan seng yang ada di alam memiliki kelarutan yang bervariasi dalam air pada pH netral. Ikatan seng yang larut air umumnya lebih mdah diserap dibandingkan dengan ikatan yang tidak larut air,
16
khususnya pada individu yang produksi asam lambungnya rendah. Hal ini banyak terjadi terutama di daerah yang memiliki banyak penderita gizi salah/gizi kurang sekaligus juga penderita infeksi Helicobacter pylori, karena 2 kelompok penderita tersebut umumnya mengalami gangguan sekresi asam lambung. Selain itu karena ikatan garam mengandung seng yang larut air umumnya memiliki rasa yang kurang sedap. Seng lebih mudah diserap tubuh dari suplemen berbentuk cairan daripada berbentuk makanan. Tetapi bila suplemen seng berbentuk cairan tersebut diberikan pada jarak waktu hanya sesaat sebelum atau sesudah makan, maka bila dalam makanan tersebut terdapat zat penghambat absoprsi seng, besar kemungkinan zat penghambat tersebut akan bekerja menurunkan kemampuan tubuh untuk mengabsorpsi seng dari suplemen. Telah diketahui bahwa beberapa jenis pangan atau komponen-komponen pangan berperan menghambat absorpsi mineral. Tetapi beberapa jenis lainnya justru berperan mempercepat absorpsi mineral. Identifikasi interelasi antar zat gizi termasuk antar vitamin dan mineral sangat penting untuk menentukan kebutuhan masing-masing zat gizi dalam suplemen multivitamin dan mineral tersebut. Artinya tubuh memerlukan jumlah tertentu untuk setiap jenis zat gizi dalam hubungannya dengan zat-zat gizi lain agar diperoleh respon yang paling baik (Fischer-Walker 2005). Menurut Bodwell dan Erdman (1988) yang diacu dalam Nasoetion (2003), terdapat 2 kemungkinan interelasi atau interaksi antar vitamin dan mineral yakni koadaptasi absorpsi di usus dan kompetisi absorpsi secara langsung di usus. Selanjutnya Brown dan Wuehler (2000) menyatakan bahwa salah satu jenis mineral yang diduga menghambat absorpsi seng adalah besi (Fe) yang mungkin disertakan dalam suplemen zat gizi mikro. Namun terdapat bukti bahwa pengaruh besi terhadap absorpsi seng menjadi minimal bila rasio molarnya mendekati 1:1, dan tidak lebih dari 2:1. Akan tetapi masih terdapat perbedaan temuan antar peneliti mengenai hal tersebut. Menurut Brown & Wuehler (2000), untuk menaksir jumlah seng yang dapat terabsorpsi tubuh dari suatu susunan menu, dilakukan dengan menghitung rasio molar antara kandungan phytate dengan kandungan seng dalam susunan menu tersebut seperti berikut : Nilai Rasio Molar Phytate/Zn suatu susunan menu = (kandungan phytate menu/660) / (kandungan Zn menu/ 65.4). angka 660 dan 65.4 masing-masing adalah berat molekul atau berat atom berturut-turut phytate
17
dan seng. Apabila nilai rasio molar phytate/Zn < 5, maka jumlah seng yang tersedia untuk diabsorsi sebesar 45%-55%, dinyatakan menu tersebut termasuk dalam kategori memiliki tingkat availabilitas seng tinggi. Jika nilai rasio molarnya antara 5-15, maka jumlah seng tersedia untuk absorpsi antara 30%-35%, dinyatakan termasuk dalam kategorimemiliki tingkat availabilitas seng sedang. Bila nilai rasio molar tersebut >15, maka jumlah seng yang tersedia untuk diabsorpsi sangat rendah, yaitu antara 10%-15%, termasuk dalam kategori tingkat availabilitas seng rendah.
18
METODOLOGI Desain, Waktu dan Tempat Penelitian Desain penelitian ini mengacu pada penelitian payung “Pengaruh Suplementasi Multivitamin Mineral Terhadap Imunitas Humoral dan Seluler”, yaitu eksperimental murni teracak buta ganda (double blind randomized controlled trial). Penelitian lapang dilaksanakan selama 4 bulan, yaitu mulai bulan Februari hingga Mei 2008 di PT Ricky Putra Globalindo, Citeurep, Kabupaten Bogor. Alasan Pemilihan lokasi pabrik karena kemudahan mendistribusikan bahan suplemen
dan kemudahan mengontrol kepatuhan mengkonsumsi
suplemen, serta karyawannya memiliki tingkat sosial ekonomi dan aktivitas yang hampir sama. Selain itu pabrik ini mempunyai jumlah karyawan perempuan terbanyak di Jabotabek. Kegiatan analisa kadar seng (Zn) serum dilakukan di Laboratorium Seng Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Gizi dan Makanan, Departemen Kesehatan, Bogor. Penentuan Jumlah Contoh Pengulangan merupakan salah satu prinsip dasar percobaan. Ulangan merupakan pengalokasian perlakuan tertentu terhadap beberapa unit percobaan pada kondisi yang seragam (Mattjik dan Sumertajaya 2002). Penentuan jumlah ulangan dalam penelitian ini dilakukan menggunakan analogi penelitian Raqib et al.. (2004) dengan asumsi bahwa α = 5% (Zα = 1.96); power of test = 90% (Zβ = 1.28) menggunakan rumus:
n
2 2 [ Z Z ]2
2
Keterangan: n = Besar unit percobaan σ = 0.03 (perkiraan standar deviasi serum Seng berdasarkan penelitian Raqib et al.. (2004)) Zα = 1.96 Zβ = 1.28 δ = 5 (peningkatan kadar seng serum yang diharapkan setelah intervensi Raqib et al.. (2004)). Dari perhitungan di atas, diperoleh besar minimal unit percobaan/contoh (n) = 26 unit percobaan untuk setiap kelompok.
19
Cara Pengambilan Contoh Populasi adalah adalah wanita usia subur (usia 15-45 tahun) (Depkes 2003), sedangkan contoh adalah kelompok populasi yang memenuhi kriteria inklusi yang dipilih secara acak, dengan kriteria Inklusi sebagai berikut :
Wanita dewasa (usia produktif 15 – 45 thn)
Tidak menderita penyakit kronis
Tidak sedang melakukan diet
Tidak sedang mengandung
Tidak sedang menyusui
Tidak merokok
Tidak minum alkohol
Tidak sedang menstruasi pada saat pengambilan contoh darah
Bersedia menandatangani informed consent
Bersedia mengikuti tahap penelitian sampai selesai
Pada tahap awal sebelum penelitian dilakukan screening terhadap populasi untuk memilih contoh yang akan diikutkan dalam penelitian. Jumlah seluruh karyawan pabrik adalah 2600 orang, dengan jumlah karyawan wanita yang tergolong dalam kelompok wanita usia subur (15–45 tahun) adalah 1300 orang. Dari jumlah tersebut, yang merupakan karyawan tetap sebanyak 60% (780 orang) yang kemudian dipilih sebagai responden karena mobilitasnya dianggap tidak terlalu tinggi jika dibandingkan dengan karyawan kontrak. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan klinis terhadap responden. Responden yang memenuhi kriteria inklusi dan bersedia menandatangani informed consent resmi menjadi target penelitian. Selanjutnya dilakukan penentuan besar contoh menggunakan analogi penelitian Raqib et al.. (2001). Pada awal penelitian masing-masing kelompok perlakuan terdiri atas 35 orang contoh, dalam proses 10 minggu intervensi terjadi drop out sehingga pada akhirnya diperoleh besar contoh masing-masing 27 orang untuk kelompok perlakuan plasebo, dan 31 orang untuk kelompok perlakuan multivitamin. Secara acak contoh dibagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok multivitamin-mineral dan kelompok plasebo yang masing-masing terdiri atas 31 dan 27 orang. Sebelum diberikan perlakuan, kadar seng serum sample diperiksa sebagai dasar (baseline). Selanjutnya kedua kelompok tersebut diberikan perlakukan, yakni multivitamin zat gizi mikro dan plasebo. Perlakuan diberikan setiap hari kepada contoh selama sepuluh minggu. Kemudian setelah 10 minggu (Wolvers et al.. 2006)
20
dilakukan kembali pemeriksaan kadar seng serum (endline). Sebelum menerima perlakuan semua sample diberikan obat cacing merk Albendazole untuk meminimalisir gangguan absorpsi.
Untuk lebih jelasnya, alur penelitian
digambarkan pada Gambar 2. Suplemen diberikan setiap hari kepada contoh oleh petugas dan perawat di klinik perusahaan. Suplemen yang diberikan berbentuk tablet dan diminum langsung oleh contoh di depan petugas. Jenis suplemen yang diberikan kepada masing-masing contoh tidak diketahui baik oleh peneliti maupun oleh petugas. Pengacakan contoh hanya diketahui oleh petugas khusus yang tidak terlibat dalam penelitian. Sementara itu, formula suplemen multivitamin dan mineral yang diberikan pada penelitian dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Formula suplemen multivitamin mineral Zat Gizi Vitamin
Mineral
Satuan
Kandungan
C
mg
1000
E
mg
45
A
µg
700
B6 Asam folat
mg
B12
D
AKGa 19-29 30-49 th th
% AKG
Upper Limit
Batasan BPOM
75
1333
2000
1000
15
15
300
1000
400 UI
500
500
140
3000
1500
100
100
75
6.5 400 9.6 10
400
400
100
1000
800
2.4
2.4
685
ND
200
5
5
200
50
10
b
Zn
mg
10
9.3
9.8
102
40
30
Se
110
30
30
366
400
200
Cu
mg
10
30
0.9
Fe mg 5 26 26 19.2 45 30 Ket: a) Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi Tahun 2004 b) % AKG untuk wanita usia 30-49 tahun Institute of Medicine (1967, 1998, 2000, 2001), Surat Keputusan kep. Badan Pengawas Obat dan Makanan RI (2004); ND (not determined)
21
Penentuan unit percobaan (contoh)
n = 58
n = 27
n = 31
Plasebo
MVM
Pengambilan darah awal (baseline)
Penilaian status gizi (baseline)
Pengujian serum Seng
Suplementasi 10 minggu
Drop Out
Drop Out
Plasebo n=27
MVM n=31
Pengambilan darah akhir (endline)
Penilaian status gizi (endline)
Pengujian serum Seng
Gambar 2 Diagram alir penelitian
22
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang diambil pada penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer terdiri atas data sosio demografi, data konsumsi, antropometri, dan kadar seng serum contoh. Data sekunder yang diambil berupa daftar nama dan keterangan pribadi karyawan yang diperoleh dari pihak administrasi perusahaan. Data sosio demografi (pendapatan, pendidikan, usia, dan besar keluarga contoh) diperoleh dengan cara wawancara menggunakan kuisioner. Data konsumsi diperoleh dengan cara FFQ dan recall 4 x 24 jam yang diambil 2 kali, yakni pada waktu sebelum intervensi (baseline) dan setelah intervensi (endline), masing-masing 2 x 24 jam. Data antropometri yang diambil berupa berat badan, tinggi badan, dan lingkar lengan atas (LLA). Barat badan diukur dengan timbangan digital merk SECA dengan ketelitian 0.1 kg, tinggi badan diukur dengan alat ukur Microtoise, LLA diukur pita LLA dengan ketelitian 0.1 mm.
Pengukuran antropometri dilakukan oleh tenaga terlatih dari Program
Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Institut Pertanian Bogor. Data kadar seng serum contoh diperoleh dengan cara pengambilan darah untuk kemudian dianalisis kadar sengnya, pengambilan darah dilakukan sebanyak dua kali (baseline-endline) dan dilakukan oleh tenaga ahli dari Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Gizi dan Makanan, Departemen Kesehatan Bogor. Metode penelitian ini telah mendapat persetujuan dari Departemen Kesehatan dengan nomor ethical clearance LB.03.04/KE/4294/2007. Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dilakukan secara bertahap, mulai data yang terkumpul di lapangan hingga data siap untuk dianalisis. Terhadap data hasil pengumpulan di lapangan
dilakukan pengeditan
(editing), pengkodean
(coding), dan
pemasukan data ke dalam komputer (entry data). Kemudian dilakukan pembersihan data (cleaning) dengan cara melihat distribusi frekuensi setiap peubah. Bila terdapat kesalahan memasukkan data ke dalam komputer, dilakukan pengecekan ulang terhadap kuesioner. Data pendapatan per kapita per hari keluarga contoh diperoleh dari total pendapatan keluarga per hari dibagi jumlah anggota keluarga. Kemudian berdasarkan pendapatan tersebut, keluarga contoh dikategorikan menurut batas kemiskinan
kabupaten
Bogor
tahun
2005-2006,
yakni
sejahtera
jika
pendapatannya lebih dari sama dengan Rp. 6102.233 per kapita per hari, dan tidak sejahtera jika pendapatannya kurang dari Rp. 6102.233 per kapita per hari
23
(BPS 2007). Pendidikan contoh diukur berdasarkan jenjang pendidikan, yaitu tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, tamat SLTP, tamat SLTA, dan tamat PT/akademi. Usia contoh dibedakan menurut kelompok usia <20 tahun, 20-29 tahun, 30-39 tahun, dan ≥40 tahun. Besar keluarga diukur dari jumlah anggota keluarga. Kriteria besar keluarga menurut BPS dibedakan atas keluarga kecil jika jumlah anggota keluarga ≤4 orang, sedang jika jumlah anggota 5 sampai 7 orang, dan besar jika jumlah anggota keluarga >7 orang. Data konsumsi pangan yang didapatkan dengan metode recall 2x24 jam meliputi jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi selama dua hari. Pengukuran dilakukan dengan menghitung konsumsi pangan dari satuan ukuran rumah tangga (URT) kedalam satuan berat (gram). Dari satuan berat yang diperoleh selanjutnya dihitung asupan zat gizi dari setiap bahan pangan berdasarkan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). Jumlah zat gizi dari setiap bahan pangan yang dikonsumsi dihitung dengan rumus (Hardinsyah dan Briawan 1994):
KGij = (Bj/100) x Gij x (BDD/100) Keterangan: KGij = Kandungan zat gizi bahan pangan yang dikonsumsi Bj
= Berat bahan pangan yang dikonsumsi (gram)
Gij
= Kandungan zat gizi yang dikonsumsi dalam 100 gram BDD
BDD = Bagian bahan pangan yang dapat dimakan (% BDD) Selanjutnya, dihitung angka kecukupan energi dan protein yang dikoreksi dengan berat badan aktual (nyata) dengan rumus sebagai berikut:
AKGi = (Ba/Bs) x AKG Keterangan: AKGi = Angka kecukupan energi atau protein individu Ba
= Berat badan aktual nyata (kg)
Bs
= Berat badan standar menurut WNPG 2004
AKG = Angka kecukupan energi atau protein menurut WNPG 2004 Sedangkan untuk mengukur kecukupan vitamin dan mineral tidak dilakukan koreksi terhadap berat badan aktual, namun langsung digunakan AKG untuk masing-masing zat gizi. Untuk mengetahui tingkat konsumsi zat gizi, konsumsi
24
zat gizi aktual dibandingkan dengan kecukupan gizi yang dinyatakan dalam persen sesuai dengan rumus berikut:
TKGi = (Ki/AKG) x 100% Keterangan: TKGi = Tingkat konsumsi zat gizi individu Ki
= Konsumsi zat gizi individu
AKG = Angka Kecukupan Gizi Tingkat konsumsi energi dan protein selanjutnya dikategorikan menjadi empat kategori, yaitu defisit tingkat berat jika tingkat konsumsi <70%, defisit tingkat ringan jika tingkat konsumsi 70-80%, cukup jika tingkat konsumsi 80-90%, dan normal jika tingkat konsumsi >90% (Depkes 1990). Sedangkan tingkat konsumsi seng dibagi menjadi dua kategori, yaitu kurang jika tingkat konsumsi <77% dan cukup jika tingkat konsumsi ≥77% (Gibson 2005). Sedangkan frekuensi konsumsi bahan pangan yang diperoleh melalui food frequency questionnaire (FFQ) ditabulasi secara deskriptif. Data konsumsi pangan yang didapatkan dengan metode recall 2x24 jam meliputi jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi selama dua hari berturutturut. Data ini selanjutnya dikonversikan ke dalam bentuk jumlah zat gizi menggunakan Program Nutrisoft for Windows. Dari konversi tersebut dapat diketahui rata-rata konsumsi zat gizi per individu per hari. Penilaian status gizi melalui antropometri dilakukan menggunakan indikator lingkar lengan atas (LLA) dan indeks massa tubuh (IMT). Nilai LLA dikategorikan sebagai KEK (kurang energi kronis) bila LLA kurang dari 23.5 cm, dan normal bila LLA lebih dari atau sama dengan 23.5 cm (Depkes 1999). Nilai IMT dihitung dengan rumus sebagai berikut:
IMT
BB TB 2
Keterangan: IMT = indeks massa tubuh; BB = berat badan (kg); TB = tinggi badan (m)
Status
gizi
berdasarkan
nilai
IMT
tersebut
selanjutnya
dikelompokkan
berdasarkan Depkes RI (1996) sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 4.
25
Sedangkan analisis kadar serum Seng darah dilakukan dengan metode AAS (Atomic Absorption Spectrophotometric) menggunakan alat spektrofotometer. Tabel 4 Pengelompokan status gizi orang dewasa menurut IMT IMT (kg/m2)
Status gizi
Gizi buruk
< 17.0
Gizi kurang
17.0 – 18.4
Gizi baik
18.5 – 24.9
Gizi lebih (overweight)
25.0 – 27.0
Obesitas
> 27.0
Sumber: Depkes RI (1996) Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara deskriptif dan statistik menggunakan program Microsoft Excel dan SPSS for Windows versi 15.0. Untuk mengetahui perubahan status gizi serta kadar serum seng sebelum dan setelah suplementasi digunakan uji t berpasangan (t paired test). Sedangkan untuk mengetahui pengaruh perlakuan kelompok digunakan analysis of variance (ANOVA) dan analysis of covariance (ANCOVA). Definisi Operasional Wanita usia subur adalah wanita pekerja yang berusia antara 15 – 45 tahun
Suplementasi adalah pemberian sediaan farmakologi multivitamin mineral dalam bentuk tablet setiap hari selama 10 minggu pada wanita usia subur. Suplemen multivitamin mineral adalah kaplet yang mengandung 1000 mg vitamin C, 45 mg vitamin E, 700 g vitamin A, 6.5 mg vitamin B 6, 400 g asam folat, 9.6 g vitamin B12, 10 g vitamin D, 10 mg Zn, 110 g Se, 0.9 mg Cu, dan 5 mg Fe; yang diberikan setiap hari selama 10 minggu pada wanita usia subur. Plasebo adalah kaplet yang secara fisik sama dengan kaplet suplemen multivitamin mineral dari bentuk, ukuran, warna dan rasa, tetapi hanya selulosa, pengisi dan pewarna yang diberikan.
26
Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan utilisasi (utilization) zat gizi makanan, yang terlihat melalui parameter indeks massa tubuh (IMT) dan lingkar lengan atas (LLA) Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah hasil perbandingan antara berat badan (kg) dengan kuadrat tinggi badan (m) berdasarkan hasil pengukuran secara antropometri dan diklasifikasikan menurut Depkes RI (1996) Konsumsi pangan adalah jumlah, jenis, dan waktu mengkonsumsi pangan seseorang yang diukur dengan metode recall 2x 24 jam secara berturut-turut. dan kebiasaan makan seseorang yang diukur dengan metode food frequency questionaire (FFQ)
Kadar seng serum adalah kandungan serum seng dalam darah responden yang merupakan cerminan dari hasil asupan zat gizi, konsumsi suplemen dan penggunaan seng dalam tubuh dengan pemeriksaan laboratorium biokimia. Status seng adalah kadar seng dalam serum contoh penelitian yang diukur dengan metode AAS yang dinyatakan dengan µmol/L dan digolongkan sebagai defisiensi jika kadarnya kurang dari 0.7 µmol/L, dan normal jika lebih dari atau sama dengan 0.7 µmol/L.
27
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisik Contoh Karakteristik contoh yang diamati pada penelitian ini terdiri atas pendapatan, tingkat pendidikan, usia, dan jumlah anggota keluarga contoh. Tabel 5 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan kategori status ekonomi dan usia. Contoh pada kelompok plasebo memiliki rata-rata pendapatan per kapita per hari sebesar Rp. 1853 + 8525 Sedangkan contoh pada kelompok perlakuan multivitamin memiliki rata-rata pendapatan sebesar Rp. 18319 + 7087 per kapita per hari. Uji statistik menujukkan bahwa tingkat pendapatan perkapita per hari antar kelompok perlakuan tidak berbeda nyata (P=0.916). Berdasarkan kategori, seluruh responden dari kedua kelompok perlakuan tergolong dalam kategori sejahtera. Hal ini diduga karena pihak perusahaan memberikan bayaran pada pekerjanya sesuai UMR, sehingga pendapatan per kapita per hari contoh dapat melebihi batas kemiskinan kabupaten Bogor, yakni Rp.6102.233 per kapita per hari. Tabel 5. Sebaran status ekonomi dan usia contoh Variabel
Plasebo
Multivitamin n %
n
%
Status Ekonomi Sejahtera Tidak Sejahtera
27 0
100 0
31 0
100 0
Total
27
100
31
100
14 11 2 27
51.9 40.7 7.4 100
9 21 1 31
29.0 67.7 3.2 100
Usia 20-29 Tahun 30-39 Tahun >= 40 Tahun Total
Berg (1986) menjelaskan bahwa faktor pendapatan mempunyai peranan besar dalam persoalan gizi dan kebiasaan pangan masyarakat. Pendapatan menentukan kualitas dan kuantitas pangan yang dibeli oleh individu atau keluarga. Keluarga dengan tingkat pendapatan tinggi dapat membeli pangan yang lebih beragam dan jumlah lebih banyak dibandingkan dengan keluarga dengan pendapatan yang rendah. Pendapatan yang meningkat sangat mendukung perbaikan kesehatan dan gizi anggota keluarga, sebaliknya pendapatan yang rendah tidak memungkinkan untuk mengatasi peningkatan kesehatan dan gizi anggota keluarga. Hal ini berkaitan dengan lemahnya kemampuan untuk menyediakan pangan yang sehat.
28
Usia contoh dibedakan menurut kelompok usia <20 tahun, 20-29 tahun, 30-39 tahun, dan ≥40 tahun . Pada kelompok plasebo, separuh contoh (51.85%) berada dalam rentang kelompok usia 20-29 tahun dan hanya terdapat 7.41% contoh yang berusia > 40 tahun. Sedangkan pada kelompok multivitamin, lebih dari separuh contoh (67.74%) berada dalam rentang usia 30-39 tahun dan terdapat 3.23% contoh yang berusia > 40 tahun. Uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada usia contoh antar pelakuan plasebo dan multivitamin (P=0.225). Tabel 6 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan dan jumlah anggota keluarga. Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizi, karena dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan atau informasi gizi yang dimiliki menjadi lebih baik (Berg 1986). Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari khususnya dalam kesehatan dan gizi (Atmarita & Fallah 2004). Pada kelompok plasebo, 40.74% contoh berpendidikan tamat SLTA dan terdapat 7.40% contoh yang tidak tamat SD. Sedangkan pada kelompok perlakuan multivitamin mayoritas contoh berpendidikan tamat SD, yakni sebesar 38.70%. Terdapat 3.23% contoh yang tidak tamat SD, serta 3.23% contoh yang berpendidikan tamat D1/D3. Banyaknya jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi pendapatan perkapita dan pengeluaran untuk konsumsi pangan. Bagi keluarga miskin, pemenuhan kebutuhan makanan akan lebih mudah jika memiliki keluarga yang kecil. Oleh karena itu hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan gizi kurang sangat nyata pada keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga yang banyak. Jumlah anak yang sedikit dalam suatu keluarga akan mengurangi resiko ibu terhadap gizi kurang (Suhardjo 1989).
29
Tabel 6. Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan dan besar keluarga Variabel
Plasebo
Multivitamin
n
%
n
%
Tidak Tamat SD
2
7.41
1
3.23
Tamat SD
4
14.81
12
38.71
Tamat SLTP
10
37.04
11
35.48
Tamat SLTA
11
40.74
6
19.35
Tamat D1-D3
0
0
1
3.23
Total
27
100
31
100
<= 4 Orang
24
88.89
28
90.33
5-7 Orang
3
11.11
3
9.67
27
100
31
100
Pendidikan
Jumlah Anggota Keluarga
Total
Pada kelompok perlakuan plasebo sebagian besar contoh (88.89%) memiliki jumlah anggota keluarga < 4 orang dan hanya 11.11% contoh yang memiliki jumlah anggota keluarga 5-7 orang. Demikian pula pada kelompok perlakuan multivitamin, dimana sebagian besar contoh (90.32%) memiliki jumlah anggota keluarga < 4 orang dan hanya 9.67% contoh yang memiliki jumlah anggota keluarga 5-7 orang. Uji statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada jumlah anggota keluarga antara kelompok perlakuan plasebo dan multivitamin (P=0.861). Besar keluarga merupakan faktor yang sangat penting dilihat dari upaya pemenuhan pangan keluarga, terutama pada kondisi pendapata keluarga rendah. Dari Tabel 6 dapat terlihat bahwa sebagian besar contoh terdiri atas keluarga kecil. Dalam kondisi pendapatan rendah, maka keberadaan anggota keluarga yang dalam kondisi rawan gizi, seperti ibu hamil, ibu menyusui, bayi, dan anak-anak akan meningkatkan kebutuhan gizi dan pangan keluarga (Nasoetion 2003). Pada penelitian dengan intervensi, contoh diharapkan berada pada keadaan yang sehomogen mungkin pada saat pegambilan data awal (baseline), sehingga diharapkan perubahan yang terjadi setelah penelitian adalah sematamata karena pengaruh perlakuan yang diberikan. Analisis ragam menunjukkan bahwa karakteristik contoh antar kelompok perlakuan yang terdiri atas status ekonomi, usia, dan jumlah anggota keluarga tidak berbeda nyata. Karakteristik status ekonomi keluarga yang diduga akan berpengaruh terhadap daya beli dan
30
intake zat gizi responden, termasuk intake seng, ternyata tidak berbeda nyata (P=0.916), demikian juga halnya dengan karakteristik
usia (P=0.225), jumlah
anggota keluarga (P=0.861) dan tingkat pendidikan contoh (P=0.214) antar kelompok perlakuan tidak berbeda nyata. Satus Gizi Contoh Sebelum Intervensi Tabel 7 menunjukkan status gizi contoh digambarkan berdasarkan nilai Indeks Massa Tubuh (IMT) dan Lingkar Lengan Atas (LLA). Pada kelompok perlakuan plasebo rata-rata IMT pada pemeriksaan awal adalah 24.31 kg/m 2, sedangkan pada kelompok multivitamin rata-rata IMT contoh adalah 23.99 kg/m2. Uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada status gizi antar kelompok perlakuan (P=0.726). Demikian pula halnya dengan nilai LLA contoh, dimana tidak terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok perlakuan (P=0.810). Nilai rataan LLA pada kelompok perlakuan plasebo adalah 28.01 cm sedangkan nilai rataan pada kelompok perlakuan multivitamin adalah 27.92 cm. Sebaran nilai IMT contoh pada kedua kelompok perlakuan yang terdapat pada Tabel 7 selanjutnya dikelompokkan menjadi 5 golongan status gizi berdasarkan nilai IMT berdasarkan Depkes RI (1996). Pada kelompok plasebo, hampir separuh contoh (44.44%) berada dalam status gizi baik, dan terdapat satu orang contoh (3.70%) yang berada dalam status gizi kurang. Sedangkan pada kelompok perlakuan multivitamin lebih dari separuh contoh (67.74%) berada dalam status gizi baik, serta terdapat satu orang contoh (3.23%) yang berada dalam status gizi buruk (Tabel 8). Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan nilai IMT dan LLA Variabel
Plasebo
Multivitamin
24.31 + 3.73
23.99 + 3.15
Indeks Massa Tubuh Rataan + SD (kg/m2) P value
0.726
Lingkar Lengan Atas Rataan + SD (cm) P value
28.01+ 3.18
27.92 + 2.53 0.481
Nilai LLA dikategorikan sebagai KEK (Kurang Energi Kronis) bila nilai LLA dibawah 23.5 cm, dan normal bila nilai LLA lebih dari atau sama dengan 23.5 cm (Depkes 1999). pada kelompok perlakuan plasebo sebagian besar contoh (92.60%) berada dalam status gizi normal dan hanya 2 orang contoh (7.40%) yang menderita KEK. Demikian pula halnya dengan contoh pada kelompok
31
perlakuan multivitamin, dimana sebagian besar contoh (96.80%) berada dalam status gizi normal, dan hanya terdapat 1 orang contoh (3.23%) yang menderita KEK (Tabel 8). Dari hasil pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa interpretasi status gizi dapat berbeda-beda sesuai dengan kategori yang digunakan. Dilihat dari IMT, terdapat 2 orang dari kedua kelompok yang mengalami gizi kurang / buruk, dan terdapat 25 orang dari kedua kelompok yang berstatus gizi lebih / obesitas. Sedangkan jika dilihat dari LLA dari kedua kalompok hanya terdapat 3 orang yang mengalami KEK, dan sisanya seluruh responden berstatus gizi normal, tanpa terdeteksi adanya yang mengalami gizi lebih / obesitas. Tabel 8 Sebaran contoh menurut status gizi berdasarkan nilai IMT dan LLA Variabel
Plasebo
Multivitamin
N
%
n
%
Gizi buruk
0
0
1
3.23
Gizi kurang
1
3.70
0
0
Gizi baik
12
44.44
21
67.74
Gizi lebih
7
25.93
4
12.90
Obesitas
7
25.93
5
16.13
Total
27
100
31
100
KEK
2
7.41
1
3.23
Normal
25
92.59
30
96.77
Total
27
100
31
100
Indeks Massa Tubuh
Lingkar Lengan Atas
Menurut Almatsier (2002), permasalahan gizi dan kesehatan di Indonesia cenderung lebih kompleks karena saat ini Indonesia mengalami masalah gizi ganda, yakni di satu sisi banyak terdapat masalah gizi kurang seperti busung lapar, marasmus, kwasiokhor, GAKY, KVA, dll, namun di sisi lain juga banyak terdapat kasus gizi lebih yakni dengan meningkatnya prevalensi penderita penyakit degenaratif seperti obesitas , Diabetes Mellitus (DM), dan penyakit kardiovaskular terutama di daerah-daerah perkotaan. Intake Energi, Protein, dan Seng Contoh dari Makanan Tabel 9 menunjukkan jumlah intake energi, protein, dan seng contoh dari makanan saat pemeriksaan baseline dan endline. Intake energi contoh pada kelompok placebo mengalami penurunan pada pemeriksaan endline. Sedangkan contoh pada kelompok perlakuan multivitamin mengalami peningkatan intake energi pada pemeriksaan endline. Uji statistik
tidak menunjukkan adanya
32
perbedaan yang nyata pada kedua kelompok, baik pada pemeriksaan baseline (P=0.727) maupun endline (P=0.373). Intake protein contoh mengalami peningkatan pada pemeriksaan endline, baik untuk kelompok plasebo maupun untuk kelompok multivitamin. Uji statistik juga tidak menunjukkan adanya perbedaan antar kelompok, baik pada pemeriksaan baseline (P=0.997) maupun endline (P=0.997). Tabel 9 Intake energi, protein, dan seng contoh dari makanan Variable Konsumsi energi Baseline
Plasebo
Multivitamin
1161.98 + 382.79
1140.64 + 281.99
Rataan + SD (kal) P value
0.727
Konsumsi energi Endline
1154.67 + 327.29
1398.36 + 384.25
Rataan + SD (kal) P value
0.373
Konsumsi protein Baseline
39.40 + 17.42
40.30 + 10.67
Rataan + SD (g) P value
0.997
Konsumsi protein Endline
42.93 + 13.56
46.96 + 14.77
Rataan + SD (g) P value
0.997
Konsumsi seng Baseline Rataan + SD (mg)
4.44 + 1.95
P value
4.51 + 1.25 0.773
Konsumsi seng Endline Rataan + SD (mg) P value
5.10 + 1.67
5.18 + 1.59 0.864
Jumlah intake seng contoh pada saat pemeriksaan baseline tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar kelompok perlakuan (P=0.773). Kelompok plasebo memiliki nilai rataan konsumsi 4.44 mg/hari sedangkan pada kelompok perlakuan multivitamin nilai rataan konsumsinya 4.51 mg/hari. Setelah intervensi, dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan jumlah asupan seng contoh pada kedua kelompok perlakuan dimana kelompok perlakuan plasebo memiliki nilai rataan konsumsi seng sebesar 5.10 mg/hari sedangkan kelompok perlakuan multivitamin memiliki nilai rataan konsumsi seng sebesar 5.18 mg/hari, namun demikian hasil uji statistik pada pemeriksaan endline juga tidak menunjukkan perbedaan jumlah konsumsi seng yang nyata antar kedua kelompok perlakuan (P=0.864). Berdasarkan hasil uji T berpasangan, didapati bahwa tidak terjadi
33
perubahan asupan seng dari makanan antara data baseline dengan data endline baik untuk kelompok plasebo maupun untuk kelompok perlakuan multivitamin (P (2-arah) > 0.05). Data recall yang diperoleh merupakan pola konsumsi contoh di hari kerja (week days). Biasanya pola makan akan mengalami perubahan saat hari kerja dan hari libur (weekends). Namun demikian contoh pada penelitian ini memiliki pola konsumsi yang relatif sama antara hari kerja dan hari libur sehingga data recall yang diperoleh dapat menggambarkan pola makan contoh secara keseluruhan. Tabel 10. Jenis-jenis pangan sumber seng yang paling banyak dikonsumsi contoh No.
Jenis Pangan
Kandungan Seng
Sumber Seng
(mg /100 g)
No.
Jenis Pangan
Kandungan Seng
Sumber Seng
(mg /100 g)
Baseline
Endline
1
Nasi putih
0.4
1
Nasi putih
0.4
2
Tempe goreng
1.6
2
Jeruk manis
0.1
3
Telur dadar
1.5
3
Sambal
0.8
4
Bihun goreng
0.3
4
Telur ayam rebus
1.1
5
Tempe orek/sayur
0.9
5
Tempe goreng
1.6
6
Mie instan
0.5
6
Daging ayam goreng
1.9
7
Tauge kacang hijau
0.6
7
Tempe orek/sayur
0.9
8
Telur ayam rebus
1.1
8
Telur dadar
1.5
9
Tahu goreng
0.7
9
Bakso
3.8
10
Jeruk manis
0.1
10
Tahu goreng
0.7
Tabel 10 menunjukkan jenis-jenis pangan sumber seng yang paling banyak dikonsumsi contoh dari kedua kelompok pada pemeriksaan baseline dan endline. Jenis-jenis pangan sumber seng yang dikonsumsi contoh relatif tidak berbeda dari pemeriksaan baseline dan endline, kecuali terdapat beberapa tambahan jenis pangan yang dikonsumsi pada pemeriksaan endline seperti bakso dan daging ayam goreng yang tergolong jenis pangan yang memiliki kandungan seng cukup tinggi serta bioavailabilitas yang cukup baik. Jenis pangan sumber seng lain yang sering dikonsumsi contoh adalah telur, tempe dan tahu. Nasoetion (2003) menjelaskan bahwa organ dalam dan daging hewan menyusui (mamalia), unggas, ikan, dan kerang merupakan jenis pangan yang kaya akan seng serta tidak mengandung phytate. Telur dan produk ternak tidak
34
mengandung phytate akan tetapi memiliki kandungan seng yang lebih rendah dibandingkan dengan kandungan seng dalam daging dan organ dalam hewan. Tabel 11 menunjukkan hasil pengkategorian tingkat konsumsi energi, protein, dan seng contoh berdasarkan AKG. Lebih dari separuh contoh baik pada kelompok plasebo (59.3%) maupun multivitamin (64.5%) mengalami defisit energi tingkat berat pada pemeriksaan baseline. Pada pemeriksaan endline terjadi peningkatan jumlah contoh yang mengalami defisit energi tingkat berat pada kelompok plasebo menjadi 63.0%, sedangkan pada kelompok multivitamin jumlahnya menurun menjadi 51.6%. Tingkat konsumsi protein contoh pada pemeriksaan baseline menunjukkan bahwa hampir separuh contoh pada kelompok plasebo (48.1%) maupun kelompok perlakuan multivitamin (41.9%) berada dalam status normal. Jumlah tersebut sama sekali tidak mengalami perubahan saat pemeriksaan endline. Tabel 11 Tingkat konsumsi energi, protein, dan seng contoh dari makanan Variabel Tingkat intake energi baseline Defisit tingkat berat Defisit tingkat ringan Cukup Normal Total Tingkat intake energi endline Defisit tingkat berat Defisit tingkat ringan Cukup Normal Total Tingkat intake protein baseline Defisit tingkat berat Defisit tingkat ringan Cukup Normal Total Tingkat intake protein endline Defisit tingkat berat Defisit tingkat ringan Cukup Normal Total Tingkat intake seng baseline Kurang Cukup Total Tingkat intake seng endline Kurang Cukup Total
Plasebo
Multivitamin n %
n
%
16 5 1 5 27
59.3 18.5 3.7 18.5 100
20 4 3 4 31
64.5 12.9 9.7 12.9 100
17 3 3 4 27
63.0 11.1 11.1 14.8 100
16 4 4 7 31
51.6 12.9 12.9 22.6 100
9 2 3 13 27
33.3 7.5 11.1 48.1 100
7 7 4 13 31
22.6 22.6 12.9 41.9 100
9 2 3 13 27
33.4 7.4 11.1 48.1 100
7 7 4 13 31
22.6 22.6 12.9 41.9 100
24 3 27
88.89 11.11 100
31 1 31
96.77 3.23 100
21 6 27
77.78 22.22 100
24 7 31
77.42 22.58 100
35
Pada pemeriksaan baseline, sebagian besar contoh (88.90%) pada kelompok plasebo berada dalam kategori kurang dan hanya 11.11% contoh yang berada dalam kategori cukup konsumsi seng nya. Hal ini tidak jauh berbeda dengan contoh pada kelompok perlakuan multivitamin dimana terdapat sebagian besar contoh (96.80%) yang berada dalam kategori kurang, dan hanya 3.20% contoh yang berada dalam kategori cukup konsumsi seng nya. Pada pemeriksaan endline, sebagian besar (77.78%) contoh pada kelompok plasebo berada dalam kategori kurang konsumsi seng dan 22.22% contoh berada dalam kategori cukup. Sedangkan pada kelompok perlakuan multivitamin, sebagian besar (77.42%) contoh berada dalam kategori kurang konsumsi seng, dan 22.58% contoh berada dalam kategori cukup konsumsi seng. Hasil ini merupakan
jumlah
seng
yang
didapat
dari
makanan
contoh,
apabila
ditambahkan kadungan seng yang terkandung dalam suplemen maka tingkat konsumsi seluruh contoh dalam kelompok perlakuan multivitamin akan lebih dari 100%. Hasil uji T berpasangan untuk data tingkat konsumsi seng contoh berdasarkan AKG menunjukkan bahwa tidak terjadi perubahan untuk status asupan seng contoh baik pada kelompok plasebo maupun kelompok perlakuan multivitamin (P (2-arah) > 0.05). Berdasarkan
data
FFQ,
konsumsi
pangan
hewani
contoh
saat
pemeriksaan baseline maupun endline pada kedua kelompok didominasi oleh ayam, ikan segar dan telur. Pada pemeriksaan baseline hampir separuh contoh (48.4%) pada kelompok plasebo, dan sebagian besar contoh (75.0%) pada kelompok perlakuan multivitamin mengkonsumsi daging ayam sebanyak 1-2 kali sebulan. Separuh contoh pada kedua perlakuan juga mengkonsumsi ikan segar sebanyak 1-2 kali sebulan. Sedangkan untuk konsumsi telur, hampir separuh contoh pada kelompok plasebo (41.9%) dan lebih dari separuh contoh pada perlakuan multivitamin (56.3%) mengkonsumsi telur 3-5 kali per minggu. Hasil ini juga tidak jauh berbeda dengan hasil pada pemeriksaan endline (Lampiran 1). Nasoetion (2003) menyatakan bahwa organ dalam dan daging hewan menyusui (mamalia), unggas, ikan, dan kerang merupakan jenis pangan yang kaya akan seng serta tidak mengandung phytate. Telur dan produk ternak tidak mengandung phytate akan tetapi memiliki kandungan seng yang lebih rendah dibandingkan dengan kandungan seng dalam daging dan organ dalam hewan. Konsumsi sayuran pada contoh di kedua kelompok, baik pada pemeriksaan baseline maupun endline didominasi oleh bayam, daun singkong,
36
kacang panjang dan kangkung (Lampiran 1). Pada pemeriksaan baseline, lebih dari separuh contoh pada kedua kelompok mengkonsumsi bayam 1-2 kali per bulan. Sebanyak 38.7% contoh pada kelompok plasebo dan lebih dari separuh contoh (53.1%) kelompok multivitamin mengkonsumsi daun singkong 1-2 kali per bulan. Sebanyak 35.5% contoh pada kelompok plasebo dan lebih dari separuh contoh (65.6%) pada kelompok multivitamin mengkonsumsi kacang panjang 1-2 kali per bulan. Sedangkan untuk kangkung, lebih dari separuh contoh pada kedua kelompok mengkonsumsi kangkung 1-2 kali per bulan. Dari data tersebut dapat terlihat bahwa konsumsi daun sayuran pada kelompok perlakuan multivitamin lebih banyak daripada kalompok plasebo. Buah-buahan dan sayuran pada umumnya memiliki kandungan seng yang rendah, kecuali pada beberapa jenis sayuran berdaun hijau seperti bayam yang memiliki cukup kandungan seng, meskipun belum jelas bioavailabilitasnya (Nasoetion 2003). Konsumsi serealia, umbi dan kacang-kacangan contoh juga dapat dilihat pada Lampiran 1. Pada pemeriksaan baseline seluruh contoh pada kedua kelompok mangkonsumsi nasi 2-3 kali sehari. Sebanyak 25.8% contoh pada kelompok plasebo dan 37.5% contoh pada kelompok multivitamin mengkonsumsi ubi jalar 1 kali sebulan. Sebesar 38.7% contoh pada kelompok plasebo mengkonsumsi kacang hijau 1 kali perbulan, sedangkan pada kelompok multivitamin 31.3% contoh mengkonsumsi kacang hijau 1-2 kali per bulan. Nasoetion (2003) menyatakan bahwa serealia dan kacang-kacangan memiliki kandungan seng yang tergolong cukup, namun karna jenis pangan tersebut mengandung phytate yang tinggi, maka jumlah seng yang dapat diserap tubuh menjadi jauh berkurang. Bila pangan sumber karbohidrat difermentasi (roti, tape beras) maka organisme yang melakukan proses fermentasi akan memproduksi enzim phytase yang akan memecah phytate sehingga jumlah seng yang dapat diabsorpsi tubuh akan meningkat. Beras, akar berpati, dan umbi-umbian memiliki kadar seng yang lebih sedikit dibandingkan dengan kacang-kacangan dan serealia selain beras. Menurut Lonnerdal (2000), terdapat 10 faktor yang berhubungan dengan pola makan (dietary factors) yang dapat mempengaruhi proses penyerapan seng dalam tubuh, yakni :
Intake seng
Jumlah dan kualitas protein
Keberadaan phytate dan serat dalam makanan
37
Konsumsi kalsium
Konsumsi zat besi
Konsumsi tembaga
Konsumsi kadmium
Ligan dan kelat dengan berat molekul rendah
Keberadaan asam amino
Keberadaan asam oganik Pengaruh Perlakuan Suplementasi Terhadap IMT dan LLA Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi 4 penilaian
yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Cara penilaian status tersebut dapat dilakukan secara tunggal (satu indikator). Keputusan indikator yang digunakan sangat tergantung pada waktu, biaya, tenaga, dan tingkat ketelitian penelitian yang diinginkan serta banyaknya orang yang dinilai status gizinya. Oleh karena itu penilaian status gizi yang digunakan harus sesuai dengan tujuan penilaian status gizi tersebut (Riyadi 2003). Tabel 12 menunjukkan satus gizi contoh berdasarkan IMT dan LLA pada pemeriksaan endline. Berdasarkan nilai IMT, lebih dari separuh contoh berada dalam status gizi baik, pada kelompok plasebo (51.9%) maupun pada kelompok perlakuan multivitamin (61.3%). Berdasarkan hasil uji T berpasangan tidak terdapat perubahan IMT antara data baseline dan endline baik untuk kelompok perlakuan plasebo maupun kelompok perlakuan multivitamin (P (2-arah)>0.05). Tabel 12. Status gizi contoh pada pemeriksaan endline Variabel
Plasebo
Multivitamin
n
%
n
%
Gizi buruk
0
0
1
3.2
Gizi kurang
2
7.4
0
0
Gizi baik
14
51.9
19
61.3
Gizi lebih
1
3.7
6
19.4
Obesitas
10
37.0
5
16.1
Total
27
100
31
100
KEK
5
18.5
1
3.2
Normal
22
81.5
30
96.8
Total
27
100
31
100
Indeks Massa Tubuh
Lingkar Lengan Atas
38
Setelah intervensi, lebih dari separuh contoh baik pada kelompok plasebo (81.5%) maupun kelompok perlakuan multivitamin (96.8%) berada dalam status gizi normal menurut LLA. Hanya terdapat 18.5% contoh pada kelompok plasebo, dan 3.2% contoh pada kelompok perlakuan multivitamin yang menderita KEK. Kurang Energi Kronis (KEK) didefinisikan sebagai suatu keadaan tetap dimana intake energi seseorang sama dengan pengeluaran energi walaupun simpanan energinya rendah dan berat badannya rendah (Riyadi 2003). Berdasarkan hasil uji T berpasangan terdapat perubahan LLA antara data baseline dan endline untuk kelompok perlakuan plasebo (P=0.04). Sedangkan untuk kelompok perlakuan multivitamin tidak terdapat perbedaan (P=0.80). Walaupun hasil uji T berpasangan menunjukkan adanya perubahan yang terjadi terhadap LLA contoh pada kelompok perlakuan plasebo, namun demikian berdasarkan hasil analisis ragam terlihat bahwa perlakuan suplementasi tidak berpengaruh terhadap LLA (P=0.47). Selama ini terdapat anggapan bahwa konsumsi suplemen makanan (termasuk suplemen mulivitamin mineral) dapat membuat tubuh menjadi lebih gemuk. Namun demikian hasil analisis ragam menggambarkan bahwa suplementasi tidak memiliki pengaruh terhadap Indeks Massa Tubuh (P=0.83) maupun terhadap LLA (P=0.47). Sekarindah (2004) menjelaskan bahwa konsumsi suplemen multivitamin tidak akan menyebabkan kegemukan selama dikonsumsi dalam dosis yang tepat dan tidak berlebihan. Selain itu, yang harus diingat adalah, suplemen tidak bisa menggantikan vitamin dan mineral yang ditemukan dalam makanan. Sehingga konsumsi makanan dengan kandungan gizi seimbang harus tetap dilakukan. Pengaruh Perlakuan Suplementasi Terhadap Kadar Serum Seng Winarno (1997) menyatakan bahwa seng merupakan komponen penting dalam berbagai enzim. Sedikitnya 15-20 metalo enzim yang mengandung seng telah diisolasi dan dimurnikan. Salah satu contohnya dalah enzim karbonat anhidrase yang terdapat dalam sel darah merah. Selain itu seng juga terdapat dalam karboksi peptidase dan dehidrogense dalam hati. Sebagai kofaktor, seng dapat meningkatkan keaktifan enzim lainnya. Berdasarkan kadar seng tubuh total yakni sekitar 20 g Zn/g, maka diduga bayi yang baru lahir mengandung sekitar 60 mg seng. Selama pertumbuhan dan pematangan, kadar seng tubuh manusia meningkat menjadi sekitar 30 g Zn/g. Kandungan seng tubuh total orang dewasa berkisar dari 1.5
39
gram pada wanita dewasa sampai 2.5 gram pada laki-laki dewasa. Seng terdapat dalam semua organ, jaringan, cairan, dan sekresi-sekresi tubuh. Seng terutama merupakan ion intraselular, dengan lebih dari 95% seng tubuh total ditemukan dalam sel-sel. Seng berhubungan dengan semua organel sel, tetapi sekitar 60-80% seng selular ditemukan dalam sitosol (Shils, Olson, dan Shike 1994). Pada pemeriksaan baseline, kadar seng serum responden tercatat homogen. Hal ini dapat terlihat dari hasil uji statistik yang tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada kadar serum seng contoh kelompok perlakuan plasebo maupun multivitamin (P=0.395). Pada kelompok perlakuan plasebo, nilai rataan serum seng nya adalah 0.78 + 0.08 mol/L sedangkan pada kelompok perlakuan multivitamin nilai rataan serum seng nya adalah 0.77 + 0.08 mol/L. Menurut Gibson (2005) kadar seng serum normal untuk wanita usia subur adalah lebih dari sama dengan 0.7 mol/L, dan defisiensi jika kurang dari 0.7 mol/L. Tabel 13 menunjukkan status seng contoh pada pemeriksaan baseline dan endline. pada pemeriksaan baseline sebagian besar contoh pada kelompok plasebo (85.2%) maupun kelompok perlakuan multivitamin (80.6%) berada dalam status seng normal. Setelah intervensi selama 10 minggu, terdapat peningkatan jumlah contoh yang status seng nya normal, yakni menjadi 100% pada kelompok plasebo dan 87.1% pada kelompok perlakuan multivitamin. Hal ini diduga berkaitan dengan intake seng contoh dar makanan yang memang mengalai peningkatan pada pemeriksaan endline baik pada kelompok plasebo maupun
kelompok
perlakuan
multivitamin.
Sedangkan
untuk
kelompok
multivitamin, peningkatan tersebut juga dipengaruhi oleh kandungan seng dari multivitamin yang dikonsumsi.
40
Tabel 13 Status seng contoh pada pemeriksaan baseline dan endline Variabel
Plasebo
Multivitamin
n
%
n
%
Defisiensi
4
14.8
6
19.4
Normal
23
85.2
25
80.6
Total
27
100
31
100
Defisiensi
0
0
4
12.9
Normal
27
100
27
87.1
Total
27
100
31
100
Status seng baseline
Status seng endline
Meskipun tingkat asupan seng contoh pada pemeriksaan baseline menunjukkan bahwa sebagian besar contoh kurang asupan seng nya, namun demikian sebagian besar contoh berada dalam status seng yang normal. Hal ini diduga terjadi karena beberapa hal, antara lain bioavailabilitas seng dari jenis pangan yang dikonsumsi. Dari data konsumsi dapat terlihat bahwa contoh pada kedua kelompok mengkonsumsi protein hewani jenis ayam, ikan segar dan telur. Organ dalam dan daging hewan menyusui (mamalia), unggas, ikan, dan kerang merupakan jenis pangan yang kaya akan seng serta tidak mengandung phytate. Telur dan produk ternak tidak mengandung phytate akan tetapi memiliki kandungan seng yang lebih rendah dibandingkan dengan kandungan seng dalam daging dan organ dalam hewan (Nasoetion 2003). Selain itu, seng juga tergolong jenis mineral yang memiliki bentuk simpanan dalam tubuh. Almatsier (2002) menjelaskan bahwa penyerapan seng diatur oleh metallotionin yang disintesis dalam sel dinding saluran cerna. Bila konsumsi seng meningkat, dalam sel dinding saluran cerna sebagian akan diubah menjadi metallotionin sebagai simpanan, sehingga penyerapan akan menurun. Metallotionin di dalam hati akan mengikat seng hingga saat dibutuhkan oleh tubuh. Metallotionin diduga
mempunyai peranan dalam mengatur
kandungan seng dalam cairan intraselular. Uji T berpasangan antar perlakuan terhadap kadar seng serum contoh dilakukan untuk mengetahui adakah perbedaan kadar seng serum contoh pada kedua kelompok perlakuan sebelum dan sesudah suplementasi. Berdasarkan hasil uji T berpasangan terdapat perubahan kadar seng serum contoh antara data baseline dan endline baik untuk kelompok perlakuan plasebo maupun kelompok
perlakuan
multivitamin
(P
(2-arah)<0.05).
Namun
demikian
41
berdasarkan hasil analisis ragam terlihat bahwa perlakuan suplementasi tidak berpengaruh terhadap kadar seng serum (P=0.89). Brown dan Wuehler (2000), menjelaskan bahwa efisiensi absorpsi seng dalam tubuh dipengaruhi oleh berbagai faktor. Selain oleh status seng dalam tubuh, diantaranya juga oleh jumlah seng yang terkandung dalam susunan makanan, proses pemasakan, serta bioavailabilitas seng dari setiap jenis makanan di dalam susunan makanan. Bioavailabilitas seng diartikan sebagai jumlah seng yang dapat diserap oleh tubuh. Absorpsi seng yang berasal dari makanan terutama ditentukan oleh kelarutannya dalam lumen usus. Tingkat kelarutan tersebut dipengaruhi oleh bentuk atau struktur kimia dari seng, serta adanya faktor penghambat atau pendorong absorpsi seng yang terkandung dalam makanan. Kenaikan kadar seng serum yang terjadi pada kelompok perlakuan multivitamin memang tidak signifikan meskipun suplementasi telah dilakukan secara terus menerus selama 10 minggu. Hal ini diguga terjadi karena banyak faktor yang mempengaruhi penyerapan seng dalam tubuh. Telah diketahui bahwa beberapa jenis pangan atau komponen-komponen pangan berperan menghambat absorpsi mineral. Tetapi beberapa jenis lainnya justru berperan mempercepat absorpsi mineral. Identifikasi interelasi antar zat gizi termasuk antar vitamin dan mineral sangat penting untuk menentukan kebutuhan masingmasing zat gizi dalam suplemen multivitamin dan mineral tersebut. Artinya tubuh memerlukan jumlah tertentu untuk setiap jenis zat gizi dalam hubungannya dengan zat-zat gizi lain agar diperoleh respon yang paling baik (Fischer-Walker 2005). Kenaikan kadar seng serum yang juga terjadi pada kelompok perlakuan plasebo diduga terjadi antara lain karena asupan seng dari makanan yang memang meningkat saat pemeriksaan endline , sehingga akan berpengaruh pada peningkatkan kadar seng serum contoh. Selain itu kenaikan kadar seng serum pada kelompok plasebo juga diduga terjadi karena efek plasebo (placebo effect). Ransley et. al (2001) menjelaskan bahwa efek plasebo menekankan pada pentingnya keyakinan dan rasa percaya diri pasien pada proses penyembuhan.
Plasebo
bekerja
berdasarkan
sugesti.
Jika
seseorang
beranggapan bahwa sebuah suplemen dapat membuatnya merasa lebih sehat, dan jika anggapan ini didukung oleh para pakar kesehatan dan media massa, maka kemungkinan besar orang tersebut akan benar-benar merasa lebih sehat.
42
Oleh karena itu sepertinya kebanyakan suplemen kesehatan bekerja seperti plasebo. Untuk mengetahui pengaruh suplementasi terhadap kadar seng serum contoh, dengan memasukkan faktor tingkat asupan seng contoh yang diduga dapat menjadi faktor pengganggu maka dilakukan analisis peragam. Namun demikian hasil analisis peragam (ANCOVA) menunjukkan bahwa baik perlakuan suplementasi (P=0.88) maupun jumlah asupan seng dari makanan contoh (P=0.62) tidak berpengaruh terhadap kadar seng serum contoh pada pemeriksaan endline. Menurut Bodwell dan Erdman (1988) yang diacu dalam Nasoetion (2003), terdapat 2 kemungkinan interelasi atau interaksi antar vitamin dan mineral yakni koadaptasi absorpsi di usus dan kompetisi absorpsi secara langsung di usus. Selanjutnya Brown dan Wuehler (2000) menyatakan bahwa salah satu jenis mineral yang diduga menghambat absorpsi seng adalah besi (Fe) yang mungkin disertakan dalam suplemen zat gizi mikro. Namun terdapat bukti bahwa pengaruh besi terhadap absorpsi seng menjadi minimal bila rasio molarnya mendekati 1:1, dan tidak lebih dari 2:1. Akan tetapi masih terdapat perbedaan temuan antar peneliti mengenai hal tersebut. Banyaknya jumlah seng yang dapat diserap tubuh berkisar antara 1540%. Seperti halnya besi (Fe), penyerapan seng dipengaruhi oleh status seng tubuh. Bila lebih banyak seng yang dibutuhkan maka akan semakin banyak pula seng
yang
diserap.
Selain
itu
jenis makanan
yang
dikonsumsi juga
mempengaruhi penyerapan seng. Serat dan phytate akan menghambat bioavailabilitas seng. Sebaliknya protein histidin akan membantu penyerapan seng. Tembaga dalam jumlah melebihi kebutuhan tubuh juga akan menghambat penyerapan seng. Nilai albumin dalam plasma merupakan penentu utama penyerapan seng, albumin merupakan alat transport utama seng. Penyerapan seng akan menurun bila albumin darah menurun, misalnya dalam keadaan kurang gizi, atau kehamilan (Almatsier 2002). Hal-hal yang perlu mendapat perhatian dalam penyelenggaraan kegiatan suplementasi adalah bentuk fisik dan kimia dari bahan kimia yang mengandung seng, serta dosis seng yang diberikan. Selain itu efek mengonsumsi, penyertaan zat gizi mikro lain kedalam bahan suplemen, cara penyajian tanpa/dengan menggunakan media bahan makanan, sistem pengepakan dan distribusi, serta kemungkinan adanya resiko sampingan terjadi keracunan (Nasoetion 2003).
43
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Berdasarkan uji statistik, karakteristik responden yang diamati pada awal penelitian yang terdiri pendapatan per kapita per hari (P=0.916), sebaran usia contoh (P=0.224), dan jumlah anggota keluarga contoh (P=0.861) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar kelompok perlakuan.
Terjadi peningkatan jumlah intake seng dari makanan pada kedua kelompok. Pada pemeriksaan baseline kelompok plasebo memiliki nilai rataan konsumsi 4.44 mg/hari, dan kelompok perlakuan multivitamin 4.51 mg/hari. Sedangkan pada pemeriksaan endline kelompok plasebo memiliki nilai rataan konsumsi 5.10 mg/hari, dan kelompok perlakuan multivitamin 5.18 mg/hari. Uji T berpasangan tidak menunjukkan adanya perubahan asupan seng sebelum dan sesudah suplementasi pada kedua kelompok perlakuan (P (2-arah) > 0.05).
Hasil uji T berpasangan menunjukkan tidak terdapat perubahan IMT antara data baseline dan endline baik untuk kelompok perlakuan plasebo maupun kelompok perlakuan multivitamin (P (2-arah)>0.05). Selain itu hasil analisis ragam juga menunjukkan bahwa suplementasi tidak berpengaruh terhadap Indeks Massa Tubuh (P=0.83).
Berdasarkan hasil uji T berpasangan terdapat perubahan LLA antara data baseline dan
endline
untuk kelompok perlakuan plasebo
(P=0.04).
Sedangkan untuk kelompok perlakuan multivitamin tidak terdapat perbedaan (P=0.80). Namun demikian hasil analisis ragam menunjukkan bahwa suplementasi tidak berpengaruh terhadap LLA (P=0.47).
Pada pemeriksaan baseline kadar seng serum responden homogen (P=0.395). Berdasarkan hasil uji T berpasangan terdapat perubahan kadar seng serum contoh antara data baseline dan endline baik untuk kelompok perlakuan plasebo maupun kelompok perlakuan multivitamin (P (2arah)<0.05).
Hasil
analisis
ragam
menunjukkan
bahwa
perlakuan
suplementasi tidak berpengaruh terhadap kadar seng serum (P=0.89).
Hasil analisis peragam (ANCOVA) menunjukkan bahwa baik perlakuan suplementasi (P=0.88) maupun jumlah asupan seng dari makanan contoh (P=0.62) tidak berpengaruh terhadap kadar seng serum contoh pada pemeriksaan endline.
44
Saran
Konsumsi berbagai suplemen multivitamin dan multimineral yang tampaknya telah menjadi trend sekarang ini hendaknya juga diimbangi dengan pengetahuan gizi yang cukup. Terutama mengenai pola makan dengan asupan gizi yang seimbang, serta pengetahuan mengenai jenis-jenis pangan yang dapat menghambat penyerapan zat gizi, dalam hal ini seng,
agar
manfaat konsumsi suplemen tersebut dapat dimaksimalkan.
Penelitian serupa yang akan dilakukan dimasa yang akan datang diharapkan dapat menggali informasi lebih banyak mengenai pengaruh konsumsi suplemen terhadap peningkatan status kesehatan dengan metode yang lebih baik.
45
DAFTAR PUSTAKA ACC/SCN. 1997. The Third Report on The World Nutrition Situation. WHO. Switzerland. Almatsier S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta Almarita dan Fallah. 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. dalam Soekirman, Kusumaseta, Pribadi, Ariani, Jus’at, hardinsyah, Dahrulsyah, Firdausy (Eds), widyakarya nsional pangan dan gizi. Jakarta. LIPI Anonim. 2007. Defisiensi Seng Dapat Ditanggulangi dengan Empat Cara. [TerhubungBerkala]. Http://www.suarakaryaonline.com/news.html?id=173194. [6 Desember 2008]. Bartley KA, Underwood BA, dan Deckelbaum RJ. 2005. A life cycle micronutrient perspective for women’s health. Am J Clin Nutr 81 (suppl) : 1188S-93S Berg A. 1986. Peranan Gizi dalam Pembangunan Nasional (Zahara D.Noer, penerjemah). Jakarta : BPS Beyer PL. 2004. Digestion, absorption, transport, and excretion of nutrients. Di dalam: Mahan LK and Escott-Stump S, editor. Krause’s Food, Nutrition, & Diet Therapy. 11th ed. USA: Elsevier. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2004. Keputusan Kepalan Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia nomor HK.00.0523.3644. Tahun 2004 Tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Suplemen Makanan. Jakarta : BPOM. BPS.2007. Data dan Informasi Kemiskinan 2005-2006. Buku 2 : Kabupaten. Badan Pusat Statistik : Jakarta Brown KH, Wuehler SE. 2000. Seng and Human Health Result of Recent Trials and Implication for Program Intervention and Research. Int. Dev Research Centre (IDRC). Departemen Kesehatan. 2003. Program Penanggulangan Anemia Gizi pada Wanita Usia Subur. Jakarta : Departemen Kesehatan ___________________. 1999. Status Gizi dan Imunisasi Ibu dan Anak di Indonesia. Jakarta : Departemen Kesehatan ___________________. 1996. Pedoman Praktis Menilai Status Gizi Orang Dewasa. Jakarta: Departemen Kesehatan. Fairweather-Tait SJ. 1997. From absorption and excretion of minerals to the importance of bioavailability and adaptation. J Nutr 130(S):95(S)-100(S).
46
FAO/WHO. 2001. Human Vitamin and Mineral Requirement. Report of a joint FAO/WHO expert consultation. Bangkok, Thailand. Roma: Food and Nutrition Division. _________.1992. International Conference on Nutrition. World Declaration and Plan of Action for Nutrition. Roma: FAO Fischer-Walker C, Kordas K, Stoltzfus RJ, dan Black RE. 2005. Interactive effect of iron and seng on biochemical and functional outcomes in supplementation trials. Am J Clin Nutr 82:5-12 Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assessment. Oxford University Press. Groff JL, Gropper SS, and Hunt MS. 1995. Advanced Nutrition and Human Metabolism. West Publishing. San Francisco. Hambidge M. 2000. Human Zinc deficiency. J.Nutr. 130:1344S-1349S. Hardinsyah, Briawan D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Institut Pertanian Bogor. Hotz C, Lowe NM, Araya M, and Brown KH. 2003. Assesment of the trace element status of individuals and populations: the example of seng and copper. J.Nutr. 1563S-1568S. International Market Research Report (IMRR). 2005. [IOM] Institute of Medicine. 1997. Dietary Reference Intakes For Calcium, Phosphorus, Magnesium, Vitamin D, and Fluoride. Washington DC: National Academy Press. _________. 1998. Dietary Reference Intakes For Thiamin, Riboflavin, Niacin, Vitamin B6, Folate, Vitamin B12, Pantothenic Acid, Biotin, and Choline. Washington DC: National Academy Press. _________. 2000. Dietary Reference Intakes For Vitamin C, Vitamin E, Selenium, and Carotenoids. Washington DC: National Academy Press. _________. 2000. Dietary Reference Intakes. Applications Assessment. Washington DC: National Academy Press.
in
Dietary
_________. 2001. Dietary Reference Intakes For Vitamin A, Vitamin K, Arsenic, Boron, Chromium, Copper, Iodine, Iron, Manganese, Molybdenum, Nickel, Silicon, Vanadium, and Zinc. Washington DC: National Academy Press. Krebs NF. 2001. Bioavailability of dietary supplements and impact of physiologic state: infants, children and adolescents. J Nutr 131:1351(S)-1354(S). Linder MC. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme dengan Pemakaian Secara Klinis. (Parakasi A, penerjemah). UI Press : Jakarta
47
Lonnerdal B. 2000. Dietary factors influencing Zinc absorption. J.Nutr. 130: 1378S-1383S. Ma J, Betts NM. 2000. Zinc and copper intakes and their major food sources for older adults in the 1994-1996 continuing survey of food intakes by individuals (CSFII). J.Nutr. 130:2838-2843. Mattjik AA, Sumertajaya M. 2002. Perancangan Percobaan. Edisi ke-2. Bogor: IPB Press. Mc. Dowell LR. 1992. Minerals in Animal and Human Nutrition. Academic Press. Inc. Moriarty-Craige SE, Ramakishnan U, Neufeld L, Rivera J, dan Martorell R. 2004. Multivitamin-mineral supplementation is not as efficacious as is iron supplementation in improving hemoglobin concentrations in nonpregnant anemic women living in Mexico. Am J Clin Nutr 80:1308-11 Nasoetion A., 2003. Pengaruh suplementasi Formula Biskuit Multigizi pada Ibu Hamil terhadap Kualitas ASI dengan Pokok Bahasan Utama Mineral Seng (Zn). [Disertasi]. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. NIH State of the Science Panel. 2007. National Institute of Health State-of-the Science Conference Statement: Multivitamin/mineral supplements and chronic disease prevention. Am J Clin Nutr 85:257S-264S. Official Journal of the European Communities. Directive 2002/46/EC of the European Parliament and of the Council of 10 June 2002 on the approximation of the laws of the Member States relating to food supplements. [Terhubung Berkala]. http://europa.eu.int/eurlex/pri/en/oj/dat/2002/I_183/I_183 20020712en00510057.pdf [21 juli 2008]. Prasad AS, Beck FWJ, Bao B, Fitzgerald JT, Snell DC, Steinberg JD, dan Cardozo LJ. 2007. Zinc supplementation decreases incidence of infection in the elderly: effect of seng on generation of cytokines and oxidative stress. Am J Clin Nutr 85:837-44 __________. 1993. Biochemestry of Zinc. Plenum Press. New York and London. Raqib R, Roy SK, Rahman MJ, Azim T, Ameer SS, Chisti J, dan Andersson J. 2004. Effect of zinc supplementation on immune and inlflammatory responses in pediatric patients with shigellosis. Am J Clin Nutr 79:444-50 Ransley JK, Donnelly JK, dan Read NW. 2001. Food and Nutritional Supplement. Their Role in Health and Disease. New York : Springer. Riyadi H. 2003. Penilaian Status Gizi Secara Antropometri. [Diktat]. Bogor : Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. ________. 2002. Pengaruh Suplementasi Seng (Zn) dan Besi (Fe) terhadap Status Anemia, Status Seng dan Pertumbuhan Anak Usia 6-24 Bulan. [Disertasi]. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
48
________. 1995. Studi Identifikasi Kandungan Seng Makanan, Bioavailabilitas, Prevalensi, dan Faktor Penyebab, serta Upaya Mengatasi Defisiensi Seng. Laporan Penelitian. PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor. Sediaoetama AD. 2000. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Jilid 1. Dian Rakyat. Jakarta. Sekarindah T. 2004. Suplemen untuk Wanita, Seberapa Penting?. [Terhubung berkala]. www.gizinet.com. [24 November 2008] Shils ME, Olson JA, dan Shike M. 1994. Modern Nutrition in Health and Disease. Lea & Febriger, Ed.8 : Philadelphia Soekirman. 2008. Fortifikasi Pangan : Program Gizi Utama Masa Depan?. Koalisi Fortifikasi Indonesia. Micronutrient Initiative. _________. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Dirjen Pendidikan Tinggi, Depdiknas. Jakarta Solomons NW. 2001. What impact does stage of physiological development and/or physiological state have on bioavailability of dietary supplements? Summary of Workhsop Discussion. J Nutr 131:1392S1395S. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor . Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. US Food and Drug Administration, Center for Food Safety and Applied Nutrition. 2001. Overview of dietary supplements. [Terhubung Berkala] http://www.cfsan.fda.gov/~dms /ds-oview.html#what [21 Juli 2008]. Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Wolvers DAW, van Herpen-Broekmans, Wendy MR, Logman MHGM, van Der Wielen RPJ, dan Albers R. 2006. Effect of a mixture of micronutrients, but not of bovine colostrums concentrate, on immune function parameters in healthy volunteers : a randomized placebo-controlled study. Nutrition Journal 5 :28. Wood RJ. 2000. Assesment of marginal seng status in humans. J.Nutr. 130: 1350S-1354S. Yetley EA. 2007. Multivitamin and mineral dietary supplements: definitions, characterization, bioavailability, and drug interactions. Am J Clin Nutr 85:269S-276S.
49
LAMPIRAN
50 Lampiran 1. FFQ Contoh Frekuensi Baseline 1x sehari 2-3 x sehari 3-5 x seminggu 1-2 x sebulan 2-3 x sebulan 1x sebulan Tidak pernah
Frekuensi Endline 1x sehari 2-3 x sehari 3-5 x seminggu 1-2 x sebulan 2-3 x sebulan 1x sebulan Tidak pernah
Nasi Plasebo (%) MVM (%) 0 0 100
100
0
0
0
0
0
0
0 0
0 0
Nasi Plasebo (%) MVM (%) 0 0 100
100
0
0
0
0
0
0
0 0
0 0
Jenis Pangan Pokok Roti Jagung Plasebo (%) MVM (%) Plasebo (%) MVM (%) 0 6.5 12.5 3.2
Ubi jalar Plasebo (%) MVM (%) 0 0
0
0
0
0
12.5
3.2
9.4
40.6
45.2
43.8
22.6
31.3
12.9
9.4
6.5
18.8
25.8
6.3
3.2
3.1 0
16.1
12.5
25.8
37.5
29.0
9.4
22.6
12.5
0
0
0
29.0
31.3
45.2
3.2
Jenis Pangan Pokok Roti Jagung Plasebo (%) MVM (%) Plasebo (%) MVM (%)
Ubi jalar Plasebo (%) MVM (%) 0 3.1
9.7
21.9
3.2%
3.1
0
0
0
0
32.3
25.0
3.2
6.3
3.2
3.1
45.2
46.9
61.3
53.1
22.6
21.9
6.5
0
9.7
6.3
9.7
15.6
3.2
6.3 0
12.9
21.9
38.7
21.9
9.7
9.4
25.8
34.4
3.2
0
0
51 Lampiran 1. FFQ Contoh Frekuensi Baseline 1x sehari 2-3 x sehari 3-5 x seminggu 1-2 x sebulan 2-3 x sebulan 1x sebulan Tidak pernah
Frekuensi Endline 1x sehari 2-3 x sehari 3-5 x seminggu 1-2 x sebulan 2-3 x sebulan 1x sebulan Tidak pernah
Ayam Plasebo(%) MVM (%) 0 3.1
Daging sapi Plasebo (%) MVM (%) 0 0
Jenis Protein Hewani Ikan segar Plasebo (%) MVM (%) 3.2 3.1%
Telur Plasebo (%) MVM (%)
Susu Plasebo (%) MVM (%)
19.4
12.5
6.5
3.1
3.2
9.4
0
0
0
0
0
0
0
0
22.6
6.3
3.2
3.1
16.1
15.6
41.9
56.3
3.2
3.1
48.4
75.0
6.5
3.1
54.8
53.1
25.8
18.8
6.5
15.6
22.6
6.3
16.1
9.4
12.9
6.3
6.5
0
0
3.2
3.1
16.1
40.6
6.5
9.4
3.1
58.1
40.6
6.5
9.4
0 83.9
6.3
3.2
0 3.2
Ayam Plasebo(%) MVM (%) 0 0 0
0
16.1
21.9
67.7
65.6
12.9 0 3.2
Daging sapi Plasebo (%) MVM (%) 0 0 0
Jenis Protein Hewani Ikan segar Plasebo (%) MVM (%) 0 3.1
0 0 0
Telur Plasebo (%) MVM (%)
68.8
Susu Plasebo (%) MVM (%)
3.2
9.4
3.2
3.1
0
0
0
0
0
0
0
3.1
19.4
9.4
64.5
65.6
0
3.1
9.7
15.6
51.6
56.3
32.3
25.0
3.2
6.3
12.5
22.6
12.5
6.5
6.3
0
0
0
0
0 0
22.6
25.0
16.1
12.5
43.8
6.5
12.5
0 0
0 93.5
3.1
45.2
0 0
0
84.4
52 Lampiran 1. FFQ Contoh Frekuensi Baseline 1x sehari 2-3 x sehari 3-5 x seminggu 1-2 x sebulan 2-3 x sebulan 1x sebulan Tidak pernah
Frekuensi Endline 1x sehari 2-3 x sehari 3-5 x seminggu 1-2 x sebulan 2-3 x sebulan 1x sebulan Tidak pernah
Tempe Plasebo (%) MVM (%)
Jenis Protein Nabati Tahu Kacang hijau Plasebo (%) MVM (%) Plasebo (%) MVM (%) 0 0 22.6 18.8
25.8
21.9
3.2
9.4
3.2
3.1
45.2
53.1
48.4
53.1
19.4
12.5
25.8
21.9
0
0
0
0 0
0 0
0 0
0 0 6.5
Tempe Plasebo (%) MVM (%)
0 0
3.1
3.1
12.9
15.6
3.2
15.6
3.2
6.3
38.7
28.1
22.6
21.9
32.3
18.8
61.3
50.0
25.0
3.2
0
0
0
48.4
56.3
48.4
43.8
29.0
12.5
41.9
31.3
41.9
6.5
0
0
0 0
3.1
0 0
0
0
31.3
Jenis Protein Nabati Tahu Kacang hijau Plasebo (%) MVM (%) Plasebo (%) MVM (%) 0 0 9.7 15.6
0
0
25.8
12.9
3.1
0
Kacang merah Plasebo (%) MVM (%) 0 0
0
0
0
0
0
21.9
12.9
6.3
6.5
12.5
0
9.4
6.3
25.8
37.5
16.1
25.0
3.1
25.8
25.0
71.0
59.4
0
0
Kacang merah Plasebo (%) MVM (%) 0 0
3.1
53 Lampiran 1. FFQ Contoh
Frekuensi Baseline 1x sehari 2-3 x sehari 3-5 x seminggu 1-2 x sebulan 2-3 x sebulan 1x sebulan Tidak pernah
Frekuensi Endline 1x sehari 2-3 x sehari 3-5 x seminggu 1-2 x sebulan 2-3 x sebulan 1x sebulan Tidak pernah
Bayam Plasebo (%) MVM (%) 0 3.1 0
0
Daun singkong Plasebo (%) MVM (%) 0 0
Jenis Sayuran Kacang panjang Plasebo (%) MVM (%) 0 0
Kangkung Plasebo (%) MVM (%) 0 0
Daun katuk Plasebo (%) MVM (%) 0 0
0
0
0
0
0
0
0
0 0
19.4
18.8
35.5
9.4
38.7
9.4
12.9
15.6
3.2
64.5
53.1
38.7
53.1
35.5
65.6
51.6
59.4
25.8
9.4
0
6.3
6.5
15.6
3.2
9.4
0
3.1
0
6.3
3.2
0 15.6
9.7
12.5
9.7
3.1
6.5
6.3
6.5
15.6
9.7
6.3
12.9
9.4
29.0
12.5
64.5
65.6
12.9
Bayam Plasebo (%) 0
MVM (%) 0
Daun singkong Plasebo (%) MVM (%) 0 0
0
0
0
12.9
25.0
9.7
54.8
53.1
58.1
16.1
3.1
6.5 9.7
0
Jenis Sayuran Kacang panjang Plasebo (%) MVM (%) 0 0
Kangkung Plasebo (%) MVM (%) 0 0
0
0
0
0
22.6
6.3
3.2
12.5
62.5
54.8
59.4
45.2
6.5
12.5
6.5
15.6
6.3
9.7
12.5
6.5
12.5
16.1
12.5
9.7
0
Daun katuk Plasebo (%) MVM (%) 0 0 0
0
0
0
68.8
9.7
3.1
9.7
3.1
0
12.5
6.3
12.9
6.3
6.5
18.8
12.5
29.0
9.4
83.9
65.6
54 Lampiran 1. FFQ Contoh Frekuensi Baseline
1x sehari 2-3 x sehari 3-5 x seminggu 1-2 x sebulan 2-3 x sebulan 1x sebulan Tidak pernah
Frekuensi Endline 1x sehari 2-3 x sehari 3-5 x seminggu 1-2 x sebulan 2-3 x sebulan 1x sebulan Tidak pernah
Jambu Biji Plasebo MVM (%) (%)
Jenis Buah Pepaya Plasebo (%) MVM (%) 0
Jeruk Plasebo (%)
MVM (%)
9.7
3.1
0
3.1
3.2
3.1
3.2
0
0
0
22.6
34.4
16.1
18.8
41.9
43.8
45.2
28.1
48.4
37.5
41.9
40.6
3.2
6.3
3.2
9.4
0
3.1
6.5
6.3
6.5
12.5
3.2
19.4
18.8
22.6
18.8
3.2
0 3.1
Jambu Biji Plasebo (%) MVM (%) 0 0
0
Jenis Buah Pepaya Plasebo (%) MVM (%) 0 0
Jeruk Plasebo (%) MVM (%) 6.5
9.4
0
0
0
0
0
0
12.9
28.1
16.1
9.4
45.2
59.4
48.4
46.9
45.2
65.6
38.7
31.3
9.7
3.1
6.5
6.3
6.5
9.7
6.3
9.7
9.4
19.4
15.6
22.6
9.4
3.2 0
0 0 0
55
KUISIONER Kode No. Urut
: A1 /A2 /B1 /B2 /C1 /C2 :………………………
PENGARUH SUPLEMENTASI ZAT GIZI MIKRO TERHADAP RESPON IMUN HUMORAL DAN SELULER SERTA SUPEROXIDA DISMUTASE (SOD)
I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama Ibu
: ……………………………………………..
2. Tanggal lahir/ Umur Ibu
: ................................/
3. Status perkawinan
: 1.
4. Pernah mendapat vaksinasi TT:
1.
.tahun
Menikah
2.
janda
ya
2.
tidak
5. Kapan terakhir mendapat Vaksinasi TT
:
5. Pendidikan terakhir
bulan-------
: 1. Tidak sekolah
th--------2.
Tidak tamat SD
3. Tamat SD
4.. Tamat SLTP
5.
Tamat SLTA
6. Tamat D1/D3
7.
Tamat S1
5. Jenis pekerjaan
: 1.
pekerja tetap
2.. tidak tetap
6. Devisi pekerjaan
:
7. Merokok
: 1.
ya
2. tidak
8. Minum alkohol
:
1.
ya
2. tidak
9. Sedang berdiit
:
1.
ya
2. tidak
…………………………..
10. Berapa kali ibu pernah melahirkan : 1. ................. kali 2. jumlah anak hidup
: ..................
3. Jumlah anak meninggal: .................. 4. Jumlah anak keguguran : ................. 11. Jumlah Anggota Keluarga
:…………………. Orang
56
12. Ikut serta KB
:
1.
ya
2. tidak
Bila ya, lanjut no 13, bila tidak lanjut ke no.14 13. Jenis KB
Pil
2. suntik(……..bln/x, tgl……….)
3.
IUD
4. Spiral
5.
Steril
6. Kondom
7.
Implant/susuk
: 1.
14. Apakah Ibu melakukan Olah Raga? 1. ya
2. tidak
Bila ya, lanjtu ke no.15. bila tidak, stop 15. Jenis Olah Raga yang biasa dilakukan : a. Jogging b. Senam c. Badminton d. Lainnya………………… 16. Lama tiap kali Olah raga………..menit 17. Berapa kali melakukan Olah Raga dalam 1 minggu? (……..kali/minggu) II. ANTROPOMETRI IBU 1. Berat badan: …………………………… kg 2. Tinggi badan : ………………………......cm 3. LLA :........................................................cm
L. Pinggang :.............cm L. Pinggul :................cm
III. SOSIAL EKONOMI 1. Penghasilan Istri per bulan
Rp............................
2. Penghasilan Suami per bulan
Rp.............................
3. Penghasilan Tambahan Istri per bulan
Rp.............................
4. Penghasilan Tambahan Suami per bulan Rp.............................
57
PEMERIKSAAN KESEHATAN Data Dasar Morbiditas 1. Apakah ibu sedang mendapat menstruasi ? 1. ya
2. tidak
2. Apakah dalam 2 bulan terakhir Ibu menderita sakit : Jenis penyakit Ya/tidak Jika ya, berapa hari Panas/demam Batuk Pilek Diare Lainnya ”* ” : 1 = puskesmas, 2= Rumah sakit, 3= Klinik, 4= diobati sendiri
Dibawa kemana*
3. Apakah dalam 1 bulan terakhir hingga saat ini Ibu menderita sakit : Jenis penyakit Ya/tidak Jika ya, berapa hari Panas/demam Batuk Pilek Diare Lainnya ”* ” : 1 = puskesmas, 2= Rumah sakit, 3= Klinik, 4= diobati sendiri
Dibawa kemana*
58
PEMERIKSAAN KLINIS VI. Pemeriksaan Fisik: Vital sign: TD: ………………..Suhu: N/…………..Nadi: N/…..
pernafasan : N/............
1. Keadaan umum:
1. tampak sehat
2. tampak sakit
2. Wajah
1. Normal
2. .............
a. Conjungtiva mata
1. Normal
2. pucat
b. Sklera mata
1. Normal
2. ikterik
c. Lainnya.
...............
...............
4. . Telinga
1.Normal
2. Tuli
5. Hidung
1. Normal
2. ..............
6. Tenggorokan
1. Normal
2. ……......
7. Mulut
1. Normal
2. .……….
8. Gigi
1. Normal
2. ……….
9. Leher
1. Normal
2...............
a. .Jantung
1. Normal
2...............
b. Thorax/paru-paru
1. Normal
2. ..............
a. Hati
1. Normal
2. ..............
b. Limpa
1. Normal
2. ..............
12. Genital
1. Normal
2. ..............
13. Ekstremitas atas
1. Normal
2. ..............
14. Ekstremitas bawah
1. Normal
2. ..............
15. Kulit
1. Normal
2. ..............
3.Mata:
10
11. Abdomen:
Diagnosis kerja/Kesimpulan:1 Sehat 2.Tidak sehat, sebutkan...................... Editor
………………………………….
59
IV. Anamnese penyakit yang pernah diderita sebelumnya/penyakit dahulu ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------V. PEMERIKSAAN LABORATORIUM: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Titer IgG:..................................... Kadar Ureum................................ Kadar vitamin C........................... Kadar vitamin E........................... Kadar vitamin A........................... Kadar Zn........................................ Kadar Se........................................ Kadar Cu....................................... Kadar Hb........................................
60
RECALL 2 X 24 JAM HARI KE-1 Formulir Konsumsi makanan dan minuman Nama Responden Tanggal Waktu 1. Pagi
2. Siang
3. Malam
: :
Nama Makanan/minuman
Petugas:
Nama Bahan Makanan
Jumlah URT
Gram
61
RECALL 2 X 24 JAM HARI KE-2 Formulir Konsumsi makanan dan minuman Nama Responden Tanggal Waktu 1. Pagi
2. Siang
3. Malam
: :
Nama Makanan/minuman
Petugas:
Nama Bahan Makanan
Jumlah URT
Gram
62
FOOD FREQUENCIES QUESTIONARE
Bahan makanan
Frekuensi konsumsi makanan 1x/hr
Nasi Mie Roti Jagung Biskuit Kacang Ijo Kacang Merah Melinjo Ubi Jalar Tempe Tahu Telur Oncom Ayam Daging Sapi Hati sapi Hati ayam Ikan segar Bayam Kangkung Daun singkong Kac.Panjang Selada air Sawi Daun katuk Jambu Biji Pepaya Jeruk Salak Susu bubuk Keju
2-3 x/hr
3-5x/mgg
1-2x/mgg
2-3x/bln
1x/bl
Tidak pernah
63
Formulir Monitoring Intervensi PENGARUH SUPLEMENTASI ZAT GIZI MIKRO TERHADAP RESPON IMUN HUMORAL DAN SELULER SERTA SUPEROXIDA DISMUTASE (SOD) Kode No Urut Minggu ke Hari
: A1/A2/B1/B2/C1/C2 : Tgl
Nama Responden : Petugas :
Minum Suplemen Ya Tidak
Minggu ke Hari
I
VI
II
VII
III
VIII
IV
IX
V
X
Tgl
Minum Suplemen Ya Tidak
64
Informed consent:
SURAT PERSETUJUAN UNTUK PEMERIKSAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini adalah :
Nama
:
Umur
:
Alamat
:
Telah mendapat penjelasan dan mengerti tentang pemeriksaan “ PENGARUH SUPLEMENTASI ZAT GIZI MIKRO TERHADAP RESPON IMUN HUMORAL DAN SELULER SERTA SUPEROXIDA DISMUTASE (SOD) “ dan setuju untuk ikut dalam penelitian ini, dengan catatan bahwa bila suatu waktu merasa dirugikan dalam bentuk apapun kami berhak untuk membatalkan persetujuan ini.
Mengetahui
Ka.Perusahaan, (__________________)
Bogor,_______________2008
Yang menyetujui, (__________________)
65
DATA MONITORING MORBIDITAS (ditanyakan 1 kali/ minggu)
Apakah dalam 1 minggu terakhir hingga saat ini Ibu menderita sakit : Jenis penyakit Ya/tidak Jika ya, berapa hari Panas/demam Batuk Pilek Diare Lainnya ”* ” : 1 = puskesmas, 2= Rumah sakit, 3= Klinik, 4= diobati sendiri
Dibawa kemana*
66 Lampiran 3. Hasil analisis statistik Hasil uji t berpasangan asupan seng contoh dari makanan Selang Kepercayaan 95% Rataan
SD
SE Terbawah
Tertinggi
t
df
P (2-arah)
Placebo
-0.66
2.03
0.39
-1.46
0.15
-1.66
26
0.11
Multivitamin
-0.68
1.87
0.34
-1.36
0.01
-2.01
30
0.05
Hasil uji t berpasangan status asupan seng contoh berdasarkan AKG Selang Kepercayaan 95% Rataan
SD
SE
t Terbawah
Tertinggi
df
P (2-arah)
Placebo
-6.91
21.35
4.11
-15.36
1.53
-1.68 26.00
0.10
Multivitamin
-7.03
19.43
3.49
-14.16
0.09
-2.02 30.00
0.05
Hasil uji T berpasangan antar perlakuan terhadap IMT contoh Selang Kepercayaan 95% Rataan
SD
SE Terbawah
Tertinggi
t
df
P (2-arah)
Placebo
0.36
1.84
0.35
-0.37
1.09
1.03
26.00
0.31
Multivitamin
-0.15
0.52
0.09
-0.34
0.04
-1.64
30.00
0.11
Hasil uji T berpasangan antar perlakuan terhadap LLA contoh Selang Kepercayaan 95% Rataan
SD
SE Terbawah
Tertinggi
t
df
P (2-arah)
Placebo
0.64
1.55
0.30
0.03
1.26
2.14
26.00
0.04
Multivitamin
-0.05
1.13
0.20
-0.47
0.36
-0.25
30.00
0.80
67 Hasil uji T berpasangan antar perlakuan terhadap kadar seng serum contoh Selang Kepercayaan 95% Rataan
SD
SE Terbawah
Tertinggi
t
df
P (2-arah)
Placebo
-0.08
0.09
0.02
-0.11
-0.04
-4.30
26.00
0.00
Multivitamin
-0.10
0.12
0.02
-0.14
-0.05
-4.55
30.00
0.00
Hasil analisis ragam untuk data endline IMT Sumber
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
0.57
1.00
0.57
0.05
0.83
33377.09
1.00
33377.09
2670.72
0.00
0.57
1.00
0.57
0.05
0.83
Galat
699.86
56.00
12.50
Total
34256.15
58.00
700.43
57.00
Model Terkoreksi Intercept Suplementasi
Total Terkoreksi
R Squared = .001 (Adjusted R Squared = -.017)
Hasil analisis ragam untuk data endline LLA Sumber
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
3.78
1.00
3.78
0.53
0.47
44339.50
1.00
44339.50
6200.57
0.00
3.78
1.00
3.78
0.53
0.47
Galat
400.45
56.00
7.15
Total
45012.37
58.00
404.23
57.00
Model Terkoreksi Intercept Suplementasi
Total Terkoreksi
R Squared = .009 (Adjusted R Squared = -.008)
68 Hasil analisis ragam untuk data endline kadar seng serum Sumber
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Model Terkoreksi
0.00
1.00
0.00
0.02
0.89
Intercept
43.05
1.00
43.05
3441.29
0.00
Suplementasi
0.00
1.00
0.00
0.02
0.89
Galat
0.70
56.00
0.01
Total
43.97
58.00
Total Terkoreksi
0.70
57.00
R Squared = .00 (Adjusted R Squared = -.018)
Hasil analisis peragam untuk data endline kadar seng serum Sumber
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Model Terkoreksi
0.00
2.00
0.00
0.13
0.88
Intercept
4.02
1.00
4.02
316.81
0.00
Perlakuan
0.00
1.00
0.00
0.02
0.88
Asupan Seng
0.00
1.00
0.00
0.24
0.62
Galat
0.70
55.00
0.01
Total
43.97
58.00
Total Terkoreksi
0.70
57.00
R Squared = .005 (Adjusted R Squared = -.031)
69
Frequencies Notes Output Created
10-DEC-2008 01:09:40
Comments
Input
Data
E:\alia\data lengkap alya.sav
Filter
Weight
Split File
Kode Perlakuan
N of Rows in Working Data File
58
Definition of Missing
User-defined missing values are treated as missing.
Cases Used
Statistics are based on all cases with valid data.
Missing Value Handling
FREQUENCIES VARIABLES=status_eko K_PPBULAN k_lla3 k_imt3 kz1 kz3 K_usia /ORDER= ANALYSIS .
Syntax
Elapsed Time
0:00:00.02
Resources Total Values Allowed
224841 Statistics
Kode Perlakuan
Status Ekonomi Keluarga Valid
A1
k_lla3
k_imt3
kz1
kz3
Kategori Usia
27
27
27
27
27
27
27
0
0
0
0
0
0
0
31
31
31
31
31
31
31
N Missing
C2
K_PPBULAN
N Valid
70
Missing
0
0
0
0
0
0
0
Frequency Table Status Ekonomi Keluarga Kode Perlakuan
A1
C2
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Sejahtera
11
40.7
40.7
40.7
Valid Tidak sejahtera
16
59.3
59.3
100.0
Total
27
100.0
100.0
Sejahtera
12
38.7
38.7
38.7
Valid Tidak sejahtera
19
61.3
61.3
100.0
31
100.0
100.0
Total
K_PPBULAN Kode Perlakuan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
A1
Valid Sejahtera
27
100.0
100.0
100.0
C2
Valid Sejahtera
31
100.0
100.0
100.0
k_lla3 Kode Perlakuan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent KEK
A1
Valid Normal Total
5
18.5
18.5
18.5
22
81.5
81.5
100.0
27
100.0
100.0
71
KEK C2
Valid Normal Total
1
3.2
3.2
3.2
30
96.8
96.8
100.0
31
100.0
100.0
k_imt3 Kode Perlakuan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Gizi kurang
2
7.4
7.4
7.4
14
51.9
51.9
59.3
Valid Gizi lebih
1
3.7
3.7
63.0
Obesitas
10
37.0
37.0
100.0
Total
27
100.0
100.0
1
3.2
3.2
3.2
19
61.3
61.3
64.5
Valid Gizi lebih
6
19.4
19.4
83.9
Obesitas
5
16.1
16.1
100.0
31
100.0
100.0
Gizi baik A1
Gizi buruk Gizi baik C2
Total
kz1 Kode Perlakuan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Defisiensi
A1
Valid Normal Total
4
14.8
14.8
14.8
23
85.2
85.2
100.0
27
100.0
100.0
72
Defisiensi C2
Valid Normal Total
6
19.4
19.4
19.4
25
80.6
80.6
100.0
31
100.0
100.0
kz3 Kode Perlakuan A1
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid Normal Defisiensi
C2
Valid Normal Total
27
100.0
100.0
100.0
4
12.9
12.9
12.9
27
87.1
87.1
100.0
31
100.0
100.0
Kategori Usia Kode Perlakuan
A1
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent 20-29 Tahun
14
51.9
51.9
51.9
30-39 Tahun
11
40.7
40.7
92.6
>= 40 Tahun
2
7.4
7.4
100.0
27
100.0
100.0
20-29 Tahun
9
29.0
29.0
29.0
30-39 Tahun
21
67.7
67.7
96.8
>= 40 Tahun
1
3.2
3.2
100.0
31
100.0
100.0
Valid
Total
C2
Valid
Total
73 Lampiran 4 Dokumentasi penelitian
74
Lampiran 5 Ethical Clearance