Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi XI 2018
Makalah Utama Bidang 5 WNPG XI 2018
PENGUATAN KOORDINASI PEMBANGUNAN PANGAN DAN GIZI DALAM PENURUNAN STUNTING
Sekretariat Biro Kerja Sama Hukum dan Humas LIPI Sasana Widya Sarwono Lt.5 Jln. Jend Gatot Subroto Kav. 10 Jakarta 12710 Telp. 021-5225711 ext.1236, 1240, 1233 Fax. 021-5251834
Tim Bidang 5 PERUMUS 1. Dr. Minarto Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) TIM PAKAR 1. Pungkas Bajuri Ali, MS, PhD Kementerian PPN/Bappenas 2. Meida Octarina, MCN Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan 3. Prof. Dr. Aman Wiranatakusumah Institut Pertanian Bogor 4. Gantjang Amanullah, MA Badan Pusat Statistik 5. Dra. Haning Romdiati, MA Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 6. Dr. Ardiansyah GAPMMI 7. Entos Zaenal, SP, MPHM Kementerian PPN/Bappenas 8. Nina Hermayani S.Si, M.Si Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 9. Lutfah Ariana, STP, MPP, MSE Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 10. Piping Setyo Handayani, SST, MSE Badan Pusat Statistik SEKRETARIAT 1. Chichi Shintia Laksani, SE, ME Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 2. Nur Akbar Bahar, SKM, M.Kes Kementerian PPN/Bappenas
Alamat Korespondensi: Gedung TS2A lantai 3 Kementerian PPN/BAPPENAS Jl. Taman Suropati No. 2, Menteng Jakarta Pusat, 10310 Telp: +62 21 31934379 Email:
[email protected]
1
MAKALAH UTAMA BIDANG 5 PENGUATAN KOORDINASI PEMBANGUNAN PANGAN DAN GIZI DALAM PENURUNAN STUNTING
A. PENDAHULUAN Perbaikan gizi terutama penurunan stunting menjadi salah satu tantangan pembangunan yang paling serius, namun paling sedikit ditangani di dunia. Pada tahun 2016, sebanyak 155 juta anak-anak di dunia mengalami stunting (tinggi badan lebih rendah dari standar), yang menunjukkan tidak hanya kegagalan untuk mencapai potensi genetik tinggi badan yang bersangkutan, tetapi juga merupakan prediktor dari perkembangan lainnya, termasuk kognitif dan potensi ekonomi masa depan. Indonesia akan menikmati bonus demografi yang mencapai puncaknya pada 2030 dengan dependency ratio mencapai 46,9 (Bappenas, BPS, UNFPA, Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035, 2013). Untuk dapat memperoleh bonus demografi secara optimal, maka pada masa usia produktif harus berdaya saing, dan ini memerlukan upaya yang tepat sejak awal pembentukan janin, diantaranya dengan memberikan asupan gizi yang baik dan mencegah agar ibu dan bayi tidak mengalami infeksi penyakit. Dari seluruh daur kehidupan, maka perbaikan gizi pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK) yaitu sejak janin dalam kandungan hingga usia 2 tahun merupakan kunci untuk penurunan stunting, meningkatkan kemampuan kognitif dan capaian pendidikan yang pada gilirannya akan memicu pertumbuhan ekonomi (Hanushek & Woessmann, 2008). Oleh karenanya, investasi gizi pada ibu hamil, bayi dan anak-anak seharusnya diletakkan pada tempat paling penting dan strategis, sehingga ketika lahir anak akan bebas dari BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) dan risiko untuk gangguan pertumbuhan sehingga tidak mengalami kerdil (stunted). Data tahun 2013 menunjukkan, lebih dari satu dari tiga anak Indonesia di bawah usia 5 tahun menderita stunting. Angka ini lebih tinggi dari pada di Myanmar, Filipina, dan Vietnam, dan lebih dari dua kali lipat dari Thailand dan Malaysia. Persoalan stunting, terutama pada 1000 HPK, tidak disebabkan oleh faktor tunggal, tetapi multi dimesi, dengan akar masalah pada kondisi ekonomi dan sosial budaya. Oleh karena itu, peran pembangunan ekonomi dan sosial budaya terhadap pencegahan dan penurunan stunting perlu terus digali dan dikoordinasikan dengan upaya nasional penurunan stunting. Strategi penurunan stunting mencakup dua hal; intervensi gizi spesifik yang lebih merupakan intervensi life saving jangka pendek dengan fokus pada gizi ibu hamil dan anak pada 1000 HPK, dan intervensi gizi sensitif yang lebih berupa pembangunan di berbagai sektor di luar sektor kesehatan. Pada kenyataannya, kedua strategi tersebut belum berhasil mencapai hasil yang efektif. Salah satu permasalahan adalah belum terjadi konsolidasi implementasi kebijakan. Sebagai contoh, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan regulasi terkait stunting, seperti Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-undang No. 18 Tahun 2012 tentang pangan, akan tetapi belum sepenuhnya dilaksanakan sebagaimana mestinya. Stunting mempunyai pengaruh yang cukup kuat bagi pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan. Anak yang menderita stunting cenderung memiliki produktivitas yang rendah, karena kemampuan kognitif, motorik dan intelektual yang kurang optimal, sehingga menurunkan produktivitas, dan berpotensi menurunkan pertumbuhan 2
ekonomi. Upaya perbaikan gizi secara optimal diyakini dapat mengurangi pewarisan kemiskinan antar generasi baik secara langsung maupun tidak langsung. Hubungan antara kemiskinan dengan stunting berkaitan dengan indikator pendidikan orang tua, status keluarga, ukuran keluarga dan kondisi lingkungan yang berpengaruh kepada pendapatan, selanjutnya berpotensi menyebabkan kemiskinan dan bermuara kepada stunting. Meskipun demikian, stunting tidak selalu berkorelasi dengan status ekonomi. Data Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa angka kejadian stunting juga terjadi pada anak dari golongan pendapatan 40% ke atas. WFP (2015) juga menegaskan rendahnya pengetahuan terhadap asupan pangan dan praktek pengasuhan menjadi salah satu kunci utama untuk pengentasan kasus stunting. Hal ini menunjukkan bahwa stunting sangat berkaitan erat dengan faktor sosial-budaya atau kebiasaan masyarakat. Intervensi kebijakan terhadap perbaikan pangan dan gizi untuk penurunan stunting dianggap belum cukup efektif dan signifikan. Data Riskesdas menunjukkan prevalensi stunting balita meningkat dari 35,6% tahun 2010 menjadi 37,2% tahun 2013. Walaupun kemudian menurun menjadi 33,6% pada tahun 2016 (Sirkesnas), angka ini menunjukkan masih tingginya stunting di Indonesia yang memerlukan kebijakan yang lebih efektif. Selain tujuan nasional, Indonesia juga mempunyai komitmen global dalam menurunkan stunting yaitu seperti WHA dan SDGs. Indonesia telah melaksanakan berbagai intervensi terkait dengan penurunan stunting dan masalah gizi lainnya yang dilaksanakan oleh berbagai kementerian/lembaga. Masalah utamanya adalah belum optimalnya cakupan dan kualitas pelayanan, dan penajaman program sehingga tepat sebagai upaya menurunkan masalah stunting. Hal lain yang sangat diperlukan adalah membangun komitmen serta menjamin pelaksaan koordinasi sampai pada tahap implementasi di lapangan. Seluruh kegiatan yang dilakukan memerlukan pemantauan dan evaluasi yang tepat waktu dan terukur dalam penurunan stunting. Sebagai suatu upaya multisektor, tantangan terbesar yang dihadapi saat ini adalah bagaimana mewujudkan komitmen seluruh komponen bangsa dalam penurunan stunting. Penurunan stunting memerlukan kebijakan yang komprehensif dari sisi pangan, yaitu dari sisi produksi, industri, distribusi hingga konsumsi. Aspek pengetahuan dan perilaku juga merupakan kunci bagi penurunan stunting. Oleh karena itu penyamaan persepsi para ahli di bidang ekonomi, sosial, budaya, pertanian, industri dan teknologi pangan menjadi syarat lahirnya kebijakan yang menuju pada penurunan stunting. Dengan demikian, koordinasi untuk penurunan stunting tidak dilihat hanya dari aspek kesehatan, tetapi juga harus mencakup koordinasi di bidang ekonomi, sosial budaya, dan teknologi industri pangan. Koordinasi pada dasarnya adalah membentuk kesepakatan bersama mulai dari menetapkan tujuan, kebijakan yang diperlukan, perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi dan indikator keberhasilan. Koordinasi akan menjadikan semua kegiatan atau unsur tersebut terarah pada pencapaian tujuan yang telah ditetapkan, dan di sisi lain keberhasilan kegiatan yang satu tidak merusak keberhasilan kegiatan yang lain. Selain itu, koordinasi akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam pencapaian tujuan yang disepakati. Koordinasi lintas sektor (mulai perumusan kebijakan, program, pemantauan dan evaluasi) di daerah dan di pusat serta koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah merupakan tantangan utama dalam percepatan perbaikan gizi masyarakat. Discussion paper ini selanjutnya digunakan sebagai policy input dalam Rancangan RPJMN 2020 – 2024 khususnya dalam program perbaikan pangan dan 3
gizi melalui program penurunan prevalensi stunting di Indonesia. Dalam rangka memberikan rekomendasi terhadap WNPG XI, Bidang V telah melakukan beberapa rangkaian workshop yang melibatkan pengambil keputusan, pakar, akademisi, swasta, LSM, lembaga internasional, praktisi dan kalangan tokoh masyarakat untuk menyampaikan paparan dan analisis terhadap isu, permasalahan dan berbagi pengalaman mereka di bidang kebijakan, riset, praktik dan lain-lain. Selain sumber data tersebut, dokumen ini menggunakan beberapa pendekatan kualitatif untuk menganalisis fokus mengenai peran penting kebijakan yang pada akhirnya akan menghasilkan policy formulation. Untuk menghasilkan rekomendasi yang tepat dalam penurunan stunting, cakupan dokumen ini dibatasi pada empat hal utama yaitu koordinasi, ekonomi, sosial budaya serta industri dan teknologi pangan B. ISU STRATEGIS DALAM KELEMBAGAAN Upaya membangun koordinasi pangan dan gizi telah dimulai sejak dicanangkannya program perbaikan gizi tahun 1970-an. Instruksi Presiden Nomor 20 Tahun 1979 tentang perbaikan menu makanan rakyat menginstruksikan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat untuk mengkoordinasikan seluruh Kementerian/Lembaga terkait untuk perbaikan gizi. Sebagai implementasi kebijakan tersebut di daerah (propinsi dan kabupaten/kota) dibentuk Badan Perbaikan Gizi Daerah (BPGD). Pelaksanaan koordinasi pada periode tersebut dicatat cukup efektif, dan dapat menggerakkan seluruh kepala daerah dalam perbaikan gizi. Faktor penting dalam instruksi tersebut adalah leadership (political commitment) pimpinan dan kejelasan tugas dan pembiayaan dalam kegiatan koordinasi dan implementasi kegiatan. Pada tahun 1998 (seiring dengan era reformasi), fungsi koordinasi yang pada dasarnya top down policy mulai tidak berfungsi sebagaimana diharapkan. Untuk mempertahankan dan meningkatkan koordinasi pangan dan gizi, dikeluarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 23 tahun 1998 tentang pembentukan tim pangan dan gizi di daerah. Di tingkat nasional, koordinasi pangan dan gizi dilakukan dibawah Kementerian Pangan. Pelaksanaan koordinasi pangan dan gizi tidak berlanjut, seiring dengan tidak adanya Kementerian Pangan dalam Kabinet Pembangunan waktu itu. Upaya meningkatkan koordinasi lintas sektor kembali diupayakan sejak tahun 2010, setelah Indonesia bergabung dengan inisiatif Global berupa SUN Movement. Selanjutnya, melalui Peraturan Presiden Nomor 42 tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dibentuk satuan gugus tugas untuk mengkoordinasikan berbagai sektor untuk percepatan penurunan stunting. Secara umum tujuan Gernas ini adalah untuk percepatan perbaikan gizi masyarakat dengan fokus prioritas pada 1000 HPK. Sementara itu, secara khusus Gernas bertujuan (a) meningkatkan komitmen para pemangku kepentingan untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan gizi masyarakat; (b) meningkatkan kemampuan pengelolaan program gizi, khususnya koordinasi antar sektor untuk mempercepat sasaran perbaikan gizi; dan (c) memperkuat implementasi konsep program gizi yang bersifat langsung dan tidak langsung. Kajian terhadap pelaksanaan koordinasi di pusat dan di daerah menyimpulkan perlunya harmonisasi dan sinkronisasi berbagai kebijakan terkait perbaikan gizi. Dokumen-dokumen kebijakan terkait Gernas (seperti Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi, Pedoman Perencanaan, Kerangka Kerja Gernas, dan RAN-PG) pada kenyataan belum optimal dimanfaatkan didalam perumusan kebijakan sektor. Ini menunjukkan bahwa
4
mekanisme kerja Gernas sebagaimana diatur didalam Peraturan Presiden tersebut belum berjalan sesuai fungsinya. Komitmen pemangku kepentingan terhadap Gernas belum merata di semua tingkatan. Hasil dialog dengan anggota gugus tugas dan pemangku kepentingan terkait dengan koordinasi upaya penurunan stunting adalah sebagai berikut; a. Masih terdapat pemangku kepentingan dan informan yang belum memahami Peraturan Presiden Nomor 42 tahun 2013, antara lain belum bisa dengan baik menjelaskan pengertian, tujuan, peran sektor dalam Gerakan Nasional. b. Istilah stunting masih ada yang belum dikenal oleh sebagian pemangku kepentingan dari tingkat pusat maupun daerah. Bagi yang mengenal istilah stunting, hanya sebatas istilah saja, belum sampai pada pemahaman yang benar dan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk menanggulangi stunting. c. Pedoman yang dikeluarkan oleh Gugus Tugas (Panduan Perencanaan dan Penganggaran Gernas) belum dipedomani secara baik dalam penyusunan program oleh berbagai sektor. Penyusunan program dari berbagai sektor lebih bepedoman pada Renstra masing-masing kementerian. Pada umumnya Gernas belum menjadi pertimbangan utama kebijakan dari sektor. d. Aktivitas Gugus Tugas secara umum dapat dikatakan belum optimal, kegiatan koordinasi dibidang perencanaan dan penganggran, penggerakan, pemantauan dan evaluasi masih belum terjadi. Peta jalan yang telah disusun lebih banyak sebagai rencana kerja Sekretariat, belum menjadi rencana gugus tugas dan sektor, sehingga implementasi rencana kerja sendiri tidak ada kepastian untuk dilaksanakan. e. Di tingkat lapangan istilah Gernas belum banyak dikenal, dibandingkan dengan istilah Germas, GSC, PKH. Beberapa pemangku kepentingan sering menyebut Gerakan 1000 HPK. f. Di tingkat lapangan diamati banyak sekali kegiatan yang dilakukan oleh berbagai program seperti BOK, GSC, PKH, Germas, tetapi belum dikoordinasikan baik dari aspek perencanaan, pelaksanaan maupun pemantauan. Sebagai dampaknya, cakupan dan kualitas layanan belum optimal. g. Kapasitas penentu kebijakan pada sub-nasional dalam merencanakan, mengelola, dan memantau implementasi perbaikan gizi perlu ditingkatkan sehingga intervensi gizi yang cost effective dan target-target perbaikan gizi masyarakat menjadi sasaran prioritas dalam rencana pembangunan provinsi dan kabupaten (RPJMD). Dokumen-dokumen lain seperti RANPG dan RADPG belum secara optimal dimanfaatkan sebagai panduan penyusunan perencanaan. h. Isu stunting belum menjadi isu bersama, baik di sektor produksi pangan (jenis komoditas), distribusi (food loss), industri pangan (produk bergizi dan terjangkau), industri (fortifikasi), hingga konsumsi (perilaku, food waste, budaya). Di daerah, policy maker perlu memahami pengertian dampak timbal balik antara stunting dan ekonomi. Komunikasi antar pelaksana program di lapangan termasuk pendamping dari berbagai program masih lemah, sehingga dukungan lintas pihak terhadap program kurang optimal. Panduan-panduan yang disusun oleh masing-masing sektor belum komprehensif, kurang dikaitkan dengan panduan lain dari sektor terkait. Regulasi menjadi salah satu faktor penentu baik tidaknya koordinasi, termasuk dalam hal koordinasi perbaikan gizi. Regulasi pendukung untuk memastikan perbaikan status gizi saat ini sudah memadai walaupun belum lengkap. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah menetapkan tujuan, sasaran, dan strategi perbaikan gizi masyarakat, serta kewajiban pemerintah dalam perbaikan gizi masyarakat. Kewajiban pemerintah tersebut diterjemahkan di dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan yang antara lain menyebutkan bahwa keadaan gizi masyarakat harus menjadi salah satu 5
pertimbangan dalam perencanaan pembangunan pangan. Amanat lainnya dari UU pangan adalah pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyusun rencana aksi pangan dan gizi setiap lima tahun. Tujuan dan strategi pembangunan gizi tersebut selanjutnya diterjemahkan didalam RPJMN, sebagai dokumen perencanaan pembangunan nasional untuk setiap periode 5 tahun.Dokumen RPJMN selanjutnya dipakai sebagai dasar dalam penyusunan dokumen rencana strategis kementerian/lembaga, dan bagi daerah untuk penyusunan RPJM Daerah. Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2017 tentang Kebijakan Strategis Pangan dan Gizi menekankan perlunya mengkoordinasikan kebijakan ketahanan pangan dan gizi, dan menempatkan pengembangan kelembagaan pangan dan gizi sebagai salah satu kebijakan strategis. Salah satu isu utama lainnya dalam penurunan masalah stunting adalah belum tertatanya secara sistematis penyediaan data hasil pengukuran stunting yang dapat digunakan untuk melakukan pemantauan dan evaluasi program-program yang telah dilaksanakan. Terdapat beberapa sumber data mengenai stunting yang berpotensi tumpang tindih seperti Riskesdas dan PSG. Ketersediaan data juga menjadi penting terutama di tingkat daerah secara teratur, tidak saja berupa data prevalensi, tetapi juga data proksi untuk mengukur kinerja program baik intervensi spesifik maupun sensitif. Dalam rangka pemantauan dan evaluasi program penurunan stunting diperlukan pemantauan dan evaluasi terhadap penyebab stunting, baik penyebab langsung atau tidak langsung. Penyebab langsung stunting diantaranya adalah kurangnya asupan gizi dari makanan dan status kesehatan yang buruk. Sementara penyebab tidak langsung stunting diantaranya adalah aksebilitas pangan yang rendah, pola asuh anak yang kurang baik, dan pelayanan kesehatan masyarakat yang kurang memadai. Indikator-indikator yang dapat digunakan untuk melakukan pemantauan dan evaluasi program penurunan stunting diperlihatkan pada Tabel 1. Di sisi lain pemantauan dan evaluasi terhadap hasil intervensi juga harus dilakukan, baik upaya untuk mencegah dan mengurangi masalah gizi secara langsung maupun tidak langsung. Upaya mencegah dan mengurangi masalah gizi secara langsung diantaranya dengan mengatasi penyebab langsung dan bersifat jangka pendek. Sedangkan upaya mencegah dan mengurangi masalah gizi secara tidak langsung diantaranya adalah mengatasi permasalahan (sumber daya, lingkungan, teknologi, penduduk, kebijakan ekonomi, ideologi, politik, serta kelembagaan) dan bersifat jangka panjang. Beberapa indikator yang dapat digunakan untuk pemantauan dan evaluasi terhadap hasil intervensi diperlihatkan Tabel 2.
6
Tabel 1. Indikator Pemantauan dan Evaluasi Program Penurunan stunting No
Penyebab
Indikator/Statistik untuk Pemantauan dan Evaluasi
1
Kurangnya asupan gizi dari makanan
Prevalence of Undernourishment (PoU)
Susenas KP
Periode Penyediaan Data Tahunan
PoU pada rumah tangga yang ada balita/baduta/bumil Konsumsi protein hewani pada rumah tangga yang ada balita/baduta/bumil Kekurangan Energi Kronis pada WUS
Susenas KP
Tahunan
Susenas KP
Tahunan
Susenas Kor/ Riskesdas Susenas Kor
5 Tahunan
Cakupan PMT ibu hamil dan balita di posyandu Cakupan pemberian zat besi untuk bumil Peningkatan pengetahuan remaja mengenai gizi Cakupan pemberian suplementasi zat besi pada remaja putri Kerawanan pangan sedang dan berat menggunakan Skala Pengalaman Kerawanan Pangan(FIES) Persentase ruta yang ada balita/baduta/bumil yang mengalami kerawanan pangan sedang dan berat Keberadaan orang tua
Susenas Kor/ Riskesdas Susenas Kor/ Riskesdas Susenas Kor/ Riskesdas Susenas Kor/ Riskesdas SusenasKor
5 Tahunan
SusenasKor
Tahunan
SusenasMSBP
3 Tahunan
Pola makan anak
SusenasMSBP
3 Tahunan
Kebiasaan cuci tangan
SusenasMKP
3 Tahunan
Cakupan JKN
SusenasKor/ Riskesdas
5 Tahunan
Pemanfaatan JKN
SusenasKor/ Riskesdas
5 Tahunan
2
3
4
5
Status kesehatan yang buruk
Aksesibilitas pangan yangburuk
Pola Asuh Anak yang kurangbaik
Pelayanan kesehatan yang kurang baik
Cakupan imunisasi
7
Sumber data
Tahunan
5 Tahunan 5 Tahunan 5 Tahunan Tahunan
Tabel 2. Indikator Pemantauan dan Evaluasi intervemsi sensitif di luar sektor kesehatan No
Intervensi
1
Air bersih
2
Jenis lantai hunian
3
Penganggulangan penduduk miskin
4
Peningkatan cakupan perlindungan sosial Pola Hidup Bersih dan Sehat Ketersediaan fasilitas kesehatan Rumah sehat/ rumah layak huni
5 6 7
Indikator/Statistik untuk Pemantauan dan Evaluasi
Sumber data
Periode Penyediaa n Data Tahunan
Persentase ruta dengan air bersih (air layak) Persentase ruta dengan jenis lantai hunian tanah atau Lainnya Persentase penduduk miskin
Susenas Kor Susenas Kor Susenas KP
Tahunan
Persentase ruta yang mendapatkan perlindungan sosial Persentase ruta yang memiliki PHBS Cakupan fasilitas kesehatan per 100.000 penduduk Persentase ruta yang tinggal di rumah sehat/rumah layak huni
Susenas Kor
Tahunan
Riskesdas
5 Tahunan
Podes/Suse nas Susenas Kor
3 Tahunan
Tahunan
Tahunan
C. PERANAN EKONOMI DAN SOSIAL BUDAYA DALAM PENURUNAN STUNTING Pada saat ini global sedang mengalami perubahan cepat dalam sistem makanan, lingkungan, dan kondisi kehidupan terutama di banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah, sehingga menimbulkan transisi masalah gizi dalam bentuk beban ganda yaitu kekurangan dan kelebihan gizi terjadi pada saat bersamaan. Kelebihan berat badan termasuk kategori obesitas lebih banyak di negara berpenghasilan rendah dan menengah dari pada di negara berpenghasilan tinggi. Karena negara-negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi dan mencapai status pendapatan menengah, kerap menggunakan sumberdaya ekonomi untuk makanan-makanan yang tinggi kalori, rendah protein, sayur, dan buah, serta beraktifitas dengan kenderaaan bermotor dan jarang melakukan olahraga. Untuk mengatasi hal tersebut, terdapay kebutuhan mendesak untuk memastikan bahwa penduduk di negara miskin dan menengah di seluruh dunia memiliki akses kepada pengetahuan, sumber daya, dan layanan yang tepat untuk mencapai gizi yang baik. Rasionalisasi Ekonomi Stunting Stunting di awal kehidupan seorang anak dapat menyebabkan kerusakan permanen pada perkembangan kognitif dan memiliki konsekuensi terhadap pendidikan, pendapatan, dan produktivitas yang menjangkau jauh pada saat bersangkutan dewasa. Biaya ekonomi dari kekurangan gizi, dalam hal hilangnya produktivitas nasional dan pertumbuhan ekonomi serta berbagai dampak lainnya, signifikan mengurangi potensi PDB sebesar 2% hingga 3% PDB di beberapa negara, bahkan hingga 11% PDB di Afrika dan Asia setiap tahun (Worldbank, 2016). Dengan demikian, persoalan gizi terutama stunting memiliki kaitan yang erat dengan upaya setiap negara dalam meningkatkan pendapatan. Ekonomi dan stunting,
8
menjadi dua sisi yang saling mempengaruhi, kekurangan gizi akan menimbulkan persoalan ekonomi dan persoalan ekonomi akan bermuara pada masalah gizi. Kerugian ekonomi disebabkan masalah stunting sebagian besar dapat dicegah jika investasi yang memadai dan tepat dilakukan, terutama yang berfokus untuk memastikan gizi yang optimal pada 1000 HPK. Hoddinott, et al (2013) mengemukakan manfaat implementasi paket intervensi gizi (spesifik dan sensitif) yang telah dilaksanakan oleh beberapa negara terpilih dengan perhitungan economic return dari penelitian sebelumnya oleh Bhuta et al. (2008) dan Horton et al. (2010) termasuk penelitian terbaru Bhuta et al. (2013), menunjukkan beberapa keuntungan ekonomi yang berpotensi diraih oleh setiap negara jika berinvestasi di bidang gizi khususnya pada penurunan stunting. Tabel 3 menunjukkan bahwa di Indonesia setiap rupiah yang diinvestasikan untuk penurunan stunting berpotensi mendapatkan keuntungan 47,7 – 47,9 kali lipat. Tabel 3. Rasio Manfaat-Biaya Untuk Investasi Mengurangi Stunting DiNegaranegara Terpilih dengan Beban Gizi Tinggi Region
Sub-Sahara Afrika
Timur Tengah dan Afrika Utara Asia Selatan
Asia Timur
Negara
Rasio Manfaat-Biaya Bhutta et al.(2008) Bhuttaet al. and Horton et al. (2013) (2010) 3,8 3,5 10,7 9,8 11,5 10,6 14,1 13,0 15,9 14,6 18,7 15,2 25,0 23,0 26,6 24,4 13,4 28,6
Kongo Madagaskar Ethiopia Uganda Tanzania Kenya Sudan Nigeria Yaman Nepal Burma Banglades Pakistan India Vietnam Filipina Indonesia
13,3 17,7 18,4 29,8 34,1 35,5 43,9 47,9
12,9 17,2 17,9 28,9 38,6 35,3 43,8 47,7
Sumber: Hoddinot, et al., 2013 Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan kemiskinan dengan stunting tidak saja pada level individu tetapi juga pada tingkatan populasi. Daerah yang mempunyai tingkat kemiskinan yang tinggi akan cenderung memiliki porsi masalah stunting yang tinggi pula. Meskipun stunting umumnya pada keluarga miskin tetapi Riskesdas (2013) menunjukkan stunting juga terjadi pada keluarga kaya. Dengan demikian, pendapatan bukan satu-satunya penentu stunting: kerawanan pangan, pola makan yang kurang dalam keragaman, tingkat penyakit menular yang tinggi dan praktik pemberian makanan dan perawatan bayi yang tidak tepat, dan buruknya praktik sanitasi dan kebersihan juga berkontribusi terhadap stunting yang persisten. Krisis pangan dan keuangan, serta konflik dan bencana alam, telah memperparah masalah gizi kurang di banyak wilayah. 9
Isu Sosial Budaya terkait Gizi Masalah stunting adalah masalah intergenerasi dimana kualitas kehidupan saat ini ditentukan oleh generasi sebelumnya. Jika remaja yang mengalami gizi kurang dimasa kecilnya, atau berperilaku makan yang kurang gizi, jika hal ini terus berlanjut hingga saat menikah dan kemudian hamil, maka mereka akan sangat berisiko melahirkan bayi stunting. Lingkaran pola pengasuhan dan perilaku makan yang tidak mendukung tumbuh kembang ini terus berulang, dan bermuara pada rendahnya asupan zat gizi anak generasi berikut, dan menghasilkan kualitas sumber daya manusia yang semakin menurun. Erdawitha dan Hafiszha (2017) menunjukkan bahwa status latent poverty berhubungan dengan status pendidikan kepala rumah tangga dan ukuran rumah tangga. Pendidikan kepala rumah tangga akan mempengaruhi upah (pendapatan) dan keputusan dalam rumah tangga. Semakin besar anggota rumah tangga maka semakin besar probabilitas keluarga tersebut akan terjebak dalam kemiskinan dan diwariskan kepada anggotanya. Semakin besar anggota keluarga, kompetisi untuk memperoleh asupan gizi yang baik meningkat sehingga mengurangi porsi gizi untuk masing-masing anggota keluarga. Pekerjaan kepala rumah tangga yang menentukan pendapatan keluarga hampir selalu memberi dampak signifikan pada kondisi kesehatan dan status gizi anggota keluarganya. Semakin tinggi pendapatan keluarga, semakin baik akses keluarga dalam menyediakan makanan yang beragam dan bergizi. Data Susenas 2016 yang telah diolah dan dijustifikasi oleh Badan Ketahanan Pangan berdasarkan golongan pengeluaran menunjukkan penduduk dengan golongan pengeluaran diatas 500.000 rupiah/bulan memiliki konsumsi energi melebihi AKE (angka kecukupan energi) yang dianjurkan (>2000 kkal/kap/hari), sedangkan penduduk dengan golongan pengeluaran 999.999 sampai dengan <150.000 rupiah per bulan memiliki konsumsi energi dibawah AKE (1799–1374 kkal/kap/hari). Sejalan dengan itu, penelitian Vonny dkk. (2013) di daerah nelayan di Jayapura menunjukkan anak balita yang mempunyai orang tua dengan tingkat pendapatan kurang memiliki risiko empat kali lebih besar menderita status gizi kurang dibanding dengan anak balita yang memiliki orang tua dengan tingkat pendapatan cukup. (Puti Sari 2014, Sihadi 2014, Hermina 2011, Noviati Fuada 2011). Atas dasar pemahaman ini, program perubahan perilaku perlu memasukkan upaya meningkatkan ketersediaan pangan keluarga sebagai faktor pendukung mandatoris, misalnya kegiatan ‘pekarangan sumber gizi keluarga’ dengan dukungan bibit dari Kementan. Banyak kajian yang memperoleh hubungan positif antara capaian pendidikan dengan pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, Hanushek dan Woessmann (2008) meragukan hal tersebut karena sering menemukan penelitian dengan hasil yang berbeda. Mereka berpendapat ada permasalahan pengukuran dan menemukan faktor lain seperti keluarga yang berkontribusi terhadap pencapaian pendidikan. Dalam hal ini faktor keluarga sangat menentukan pemberian makanan yang cukup tinggi dan bergizi yang pada gilirannya akan berdampak pada keterampilan kognitif anak. Selain pencapaian pendidikan (kuantitas), Hanushek dan Woessmann menambahkan variable kualitas pendidikan yang diukur dengan kemampuan kognitif dalam model mereka. Data yang dipakai diambil dari international student achievement test tahun 1991 sebagai ukuran kualitas pendidikan. Mereka menemukan adanya hubungan yang positif dan signifikan. Dimensi Sosial Budaya Jika konsep pembangunan ekonomi diperluas menjadi pembangunan manusia, maka pembangunan tidak hanya merupakan perbaikan dari sisi ekonomi tetapi juga 'perubahan sosial budaya seperti peningkatan di bidang pendidikan, kesehatan, jaminan dalam pemenuhan kebutuhan dasar, dan menuju masyarakat 10
madani yang tertata dan teratur (Gould, 2009) dengan konsep pembangunan manusia, Todaro dan Smith (2006) mengelompokan tiga inti pembangunan, yaitu: 1) Keberlangsungan (sustenance), yaitu kemampuan memenuhi kebutuhan dasar; 2) Martabat (self-esteem): menjadi manusia yang utuh, memiliki harga diri dan rasa hormat kepada diri sendiri; 3) Kebebasan (freedom from servitude), yaitu kebebasan dalam arti memiliki pilihan, tidak terpinggirkan atau dibatasi dalam menuju pembangunan. United Nations Development Programme (UNDP), organisasi internasional yang mengembangkan ide pembangunan manusia menguraikan faktorfaktor integral dalam pembangunan manusia yang mencakup: 1) Equity-kesetaraan, kesempatan yang sama untuk semua orang; 2) Empowerment-pemberdayaan, kebebasan setiap orang untuk dapat memengaruhi keputusan atau kebijakan yang memengaruhi hajat hidup mereka, 3) Cooperation-kerja sama, partisipasi dan rasa memiliki dalam masyarakat dan kelompok sebagai alat untuk memperkaya hidup dan sumber kehidupan sosial yang berarti bagi individu; 4) Sustainabilitykeberlangsungan, memenuhi kebutuhan saat ini tanpa merusak kemampuan untuk memenuhi kebutuhan generasi mendatang; 5) Security - jaminan, dapat memanfaatkan kesempatan yang diciptakan oleh pembangunan dengan rasa percaya dan rasa aman; 6) Productivity-produktivitas masyarakat dalam proses menghasilkan pendapatan dan melakukan pekerjaan yang bermanfaat (UNDP). Dilihat dari sisi budaya, akar permasalahan stunting bisa dilihat secara kompleks. Aspek budaya erat kaitannya dengan perilaku masyarakat dalam membangun nilai-nilai dan sistem dalam pencapaian suatu tujuan kolektif. Perilaku kesehatan seperti pola makan masyarakat akan memberikan pengaruh baik langsung maupun tidak langsung terutama dalam aspek pemilihan makanan dan konsumsi. Masyarakat dengan ketersediaan dan pengadaan sumber bahan pangan yang melimpah akan memiliki pola makan dan konsumsi yang berbeda dari masyarakat di daerah terpencil yang tergantung pada bahan pangan terbatas. Nilai budaya ini bisa berperan menjadi pendorong sekaligus penghambat dalam mengatasi permasalahan stunting di daerah. Di satu sisi, nilai budaya sebagai local wisdom bisa menjadi faktor penentu keberhasilan koordinasi pembangunan gizi untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dan menjadi potensi etnosains di Indonesia. Di sisi lain, budaya negatif yang berlawanan dengan prinsip peningkatan kualitas kesehatan perlu dilakukan perbaikan dan rekayasa budaya. Perilaku budaya di beberapa daerah seperti pantangan makan pada ibu hamil dan ibu menyusui terhadap konsumsi makanan tertentu yang seharusnya dikonsumsi secara baik masih menjadi tantangan serius untuk segera ditangani. Perilaku pemberian ASI yang kurang dari 2 tahun, pemberian MP-ASI di masa dini, pola makan dan pola asuh, dan perilaku hidup bersih menjadi rangkaian permasalahan yang masih banyak berkembang dan bahkan di beberapa daerah telah menjadi kebiasaan masyarakat yang tidak dianggap serius akan menimbulkan masalah terhadap pertumbuhan anak di masa depan. Hal ini dikarenakan rendahnya pengetahuan masyarakat tentang pentingnya sumber pangan dan gizi serta pemahaman tentang teknologi pengolahan makanan agar zat gizi yang terkandung dalam makanan tidak hilang dan tidak berpotensi/berbahaya terhadap kesehatan. Di beberapa daerah, masih banyak berkembang pernikahan dini/anak dengan berbagai alasan seperti mengikuti norma agama dan adat, hamil usia muda, pergaulan bebas yang banyak dipengaruhi penyalahgunaan teknologi, komunikasi dan informasi seperti internet dan media sosial. Dalam contoh spesifik yang ditemukan di beberapa daerah di Indonesia, ada beberapa pantangan makanan yang diberlakukan terhadap ibu hamil dan nifas untuk mengkonsumsi sumber pangan yang banyak mengandung protein dan mineral. Selain itu, tingkat pemahaman masyarakat lokal terhadap pola makan pada bayi dan balita yang tidak memperhatikan 11
ketercukupan gizi dan bahkan menghilangkan pentingnya manfaat beberapa sumber pangan semakin menjadikan permasalahan gizi buruk semakin kompleks. Selain budaya dan perilaku masyarakat lokal yang masih mencerminkan kondisi buruk dari ketercukupan gizi terutama balita, faktor sanitasi lingkungan dan akses terhadap ketersediaan air bersih juga masih menjadi hal vital yang belum banyak diperhatikan oleh masyarakat. Pada kenyataannya, banyak permasalahan seperti diare, kecacingan tinggi, infeksi dan lainnya masih banyak muncul tidak hanya didaerah pedesaan melainkan di kota-kota besar di Indonesia. Oleh karena itu, aspek fisiologis, psikologis, ekonomi, sosial dan budaya adalah beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan dalam mengidentifikasi penyebab stunting secara spesifik, dan selanjutnya berdampak pada pentingnya koordinasi kelembagaan yang harus memperhatikan aspek2 tersebut. D. PERANAN TEKNOLOGI PENURUNAN STUNTING
PANGAN
DAN
INDUSTRI
PANGAN
DALAM
Akses dan kecukupan terhadap pangan yang sehat dan aman merupakan salah satu faktor keberhasilan program penanganan dan pencegahan stunting. Suplai bahan pangan dari petani hingga ke tangan konsumen sebagai bahan mentah atau segar maupun produk pangan yang sudah diolah, melibatkan suatu sistem yang kompleks diawali di sistem produksi yang melibatkan aspek lingkungan, sosial budaya serta ekonomi dan demografi penduduk yang juga kompleks di saat pangan sampai di konsumen. Lingkungan yang optimal akan mendukung keberlangsungan suplai bahan pangan dari petani baik bagi konsumen secara langsung dalam bentuk segar maupun dalam bentuk olahan yang disediakan pihak industri pangan. Ketersediaan pangan segar, semi olahan atau olahan penuh berlangsung melalui mata rantai penyediaan pangan yang panjang dari lahan pertanian sampai ke meja makan. Berbagai inovasi dan penggunaan teknologi banyak dikembangkan dan diterapkan sepanjang mata rantai penyediaan pangan tersebut, Teknologi dikembangkan dan diterapkan sejak dari hulu di produksi bahan pangan segar sampai pada teknologi yang digunakan untuk mengolah pangan tersebut menjadi pangan olahan. Peranan industri sangat penting terutama berkaitan dengan inovasi teknologi yang diterapkan pada penyediaan bibit unggul, pemupukan, budidaya produksi pertanian, teknologi penanganan hama penyakit, teknologi pengendalian lingkungan sampai pada teknologi pada proses pengolahan, pengemasan, penyimpanan, transportasi, distribusi pangan sampai ke penyajian untuk menjangkau konsumen yang jauh dari sumber pangan. Melalui inovasi teknologi di industri akan dihasilkan pangan yang lebih awet, lebih mudah dikonsumsi, bergizi dan aman dengan nilai tambah secara ekonomi bagi produk pangan tersebut, Di tingkat konsumen, ketersediaan pangan segar atau olahan tersebut memungkinkan untuk mereka memilih bahan atau produk pangan yang dipengaruhi atau ditentukan oleh kondisi sosio-ekonomi-budaya seseorang yang meliputi nilai, pengetahuan dan kesukaan.
12
Gambar 1. KerangkaPikir dalam Memastikan Ketahanan Pangan dalam Mencegah Stunting Informasi Terkini tentang Teknologi Industri Pertanian/Pangan Indonesia Industri pertanian di hulu penting dalam menyediakan produksi pangan yang cukup dan aman, Perkembangan teknologi memungkinkan tersedianya bibit/benih hasil rekayasa genetika (misalnya padi kaya zat besi dan vitamin A, padi tumbuh di air payau atau lahan gambut, kedelai ataujagung tahan hama penyakit dsb). Penggunaan teknologi di sektor hulu ini akan menentukan mutu dan keamanan bahan pengan segar atau bahan pangan yang akan di olah selanjutnya yang berasal dari tanaman maupun hewan dan perikanan/kelautan. Hal yang perlu diperhatikan adalah tentang penggunaan GMO/GMF karena tidak semua negara mengizinkan penggunaannya dalam memenuhi kebutuhan bahan pangan, atau masyarakat konsumen yang menolak menggunakan bahan pangan tersebut misalnya untuk kedelai dan jagung. Penggunaan bahan kimia atau obat-obatan dikhawatirkan akan memberikan dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan konsumen apabila masih ditemukan residu di dalam bahan pangan dalam jumlah yang membahayakan. Lingkungan yang sudah tercemar misalnya oleh logam berat atau bahan kimia akan terbawa ke dalam bahan pangan. Teknologi di sektor hulu ini sangat diperlukan untuk menyelamatkan panen pangan dari serangan hama penyakit dan perkembangan teknologi sukses dalam mendukung keberhasilan revolusi hijau selama beberapa dekade. Saat ini, untuk memenuhi harapan konsumen maka dikembangkan penggunaan teknologi precision atau smart farming dengan memakai bibit/benih non GMO, pertanian ramah lingkungan, hemat air-lahan dan energi, hidrofonik, aerofonik yang mengurangi dampak negatif dari penggunaan bahan kimia yang berlebihan, serta penggunaan mekanisasi dalam meningkatkan dan mengamankan produksi. Salah satu teknologi yang berkembang adalah teknologi pertanian organik yang menawarkan ketersediaan bahan pangan seperti yang diinginkan oleh sebagian konsumen. Satu tantangan dalam menyediakan pangan pokok, keterbatasan lahan, gangguan iklim seringkali menyebabkan gagalnya penyediaan pangan pokok yang menyebabkan bahan pangan tersebut harus diimpor. 13
Setelah bahan pangan segar dihasilkan, maka bahan tersebut dapat dikonsumsi langsung atau diolah lebih lanjut dengan menggunakan teknologi yang dikembangkan oleh industri panganpada setiap bagian rantai penyediaan pangan, Dari segi kontribusi dari industri pangan terhadap jenis, jumlah dan peredaran pangan sampai pada konsumen peran industri rumah tangan serta industri kecil menengah sangat besar karena keberadaan mereka menyebar luas tidak hanya di kota tapi juga di desa. Permasalahan utama yang menjadi perhatian dalam industri pangan, khususnya IRT dan IKM antara lain adalah keamanan dan mutu gizi. Selain itu, dengan kondisi geografis Indonesia dan infrastruktur yang belum merata, maka akses terhadap produk pangan dan pendistribusian produk pangan juga menjadi tantangan, sehingga untuk itu diperlukan teknologi yang tepat yang dapat menjamin hal-hal tersebut di atas. Teknologi yang digunakan dalam industri pangan sangat beragam, mulai dari teknologi sederhana yang bersifat tradisional/konvensional hingga teknologi modern.Teknologi sederhana banyak dipergunakan oleh industri pangan di tingkat rumah tangga dan UKM. Teknologi yang sederhana dan beragam ini akan menghasilkan mutu dan keamanan pangan yang beragam, terutama apabila menggunakan bahan tambahan yang dilarang. Bagi industry pangan besar, teknologi yang digunakan lebih modern dan bersifat global sehingga mampu memproduksi pangan olahan secara masal dengan mutu gizi dan keamanan yang lebih terstandar dan terkendali. Penerapan teknologi pangan tersebut akan menghasilkan pangan semi olahan atau olahan yang beragam yang juga dibuat dari berbagai bahan pangan yang beragam. Pemanfaatan berbagai jenis teknologi tersebut mendukung berkembangnya inovasi dalam penyediaan pangan yang aman, bergizi, dalam jumlah yang dapat diakses oleh berbagai lapisan masyarakat konsumen pada lokasi yang berbeda-beda. Perlu menjadi catatan bahwa program diversifikasi pangan khususnya bahan pangan pokok merupakan program yang sudah digaungkan sejak lebih dari tiga dekade lalu. Akan tetapi tampaknya keberhasilan program ini masih rendah sehingga menimbulkan pertanyaan apa yang menjadi hambatan dalam program diversifikasi pangan. Terlebih lagi saat ini terdapat kecenderungan adanya pergeseran pola pangan pokok beras menjadi terigu. Hal tersebut tampak dari penurunan konsumsi beras dari 139 kg/kapita/tahun menjadi 98 kg/kapita/tahun yang diiringi dengan peningkatan konsumsi terigu impor dan juga berdampak pada penurunan konsumsi sumber karbohidrat dari pangan lokal (Sulaeman, 2018). Penurunan konsumsi sumber karbohidrat dari pangan lokal non-beras tampaknya dipengaruhi oleh adanya anggapan bahwa pangan tersebut tergolong sebagai pangan inferior.Dalam konteks meningkatkan penggunaan bahan baku lokal, teknologi diharapkan dapat menjadi solusi dalam meningkatkan nilai tambah bahan pangan lokal tersebut dengan cara mengkombinasikannya sebagai bahan baku pangan yang diolah untuk menghasilkan produk pangan bermutu gizi tinggi dan aman. Demikian pula berdasarkan pada pengamatan konsumsi beras selama lima dekade, terjadi kecenderungan bahwa masyarakat konsumen Indonesia yang lebih memilih beras putih hasil penyosohan dibandingkan beras pecah kulit. Diketahui bahwa teknologi penyosohan beras untuk menghasilkan beras putih menyebabkan penurunan mutu gizi beras hingga 80% (Pambayun, 2018). Penyosohan menyebabkan hilangnya lapisan kulit ari dan lembaga beras yang sarat akan zat nutrisi seperti protein, lipida, serat, mineral dan Vitamin B1. Bagi konsumen yang sumber pangannya beragam, konsumsi beras sosoh dengan mutu gizi yang menurun dapat dikompensasi dengan sumber pangan lainnya. Akan tetapi, dikhawatirkan penerapan teknologi penyosohan untuk menyediakan beras putih memberikan tersebut akan memberikan kontribusi terhadap asupan zat gizi yang menurun terutama bagi konsumen yang menu utamanya tergantung pada beras. Untuk mendapatkan pangan yang aman, awet dan bermutu gizi baik, diperlukan teknologi pangan tepat yang baik dalam tiap tahapan proses pengolahan pangan hingga 14
proses pendistribusiannya ke tangan konsumen. Mutu gizi dan keragaman pangan olahan dapat dipenuhi melalui teknologi untukproses pencampuran, teknologi suplementasi dan fortifikasi untuk zat gizi makro dan mikro, teknologi ekstrusi dalam fabrikasi produk pangan bertekstur atau berserat dengan kombinasi bahan baku pangan yang beragam, teknologi pengawetan dengan pemanasan, pendinginan/pembekuan, penggunaan elektromagnetik, tekanan tinggi dan iradiasi, teknologi pengemasan rigid atau fleksibel, teknologi penyimpanan dengan atmosfer terkendali, teknologi transportasi yang dilengkapi dengan sistem pemanasan dan pendinginan, teknologi dalam distribusi serta penyajian dan sebagainya, merupakan hal yang krusial untuk mendapatkan pangan yang aman dan bermutu baik.Inovasi teknologi pangan menghasilkan produk pangan olahan bermutu gizi tinggi seperti pangan olahan berupa emulsi dengan teknologi enkapsulasi, suplementasi dan nano, kelengkapan zat gizi mikro dengan teknologi fortifikasi untuk pangan cair, kristal dan tepung, atau pangan olahan padat seperti beras analog yang mengkombinasikan berbagai bahan baku kaya akan protein, vitamin, lemak tidak jenuh dan karbohidrat berglikemik indeks rendah dengan teknologi ekstrusi. Produk pangan tersebut diharapkan dapat digunakan untuk mendukung penanganan dan pencegahan stunting dikembangkan berdasarkan penerapan teknologi yang tepat sesuai dengan kebutuhan. Karena aplikasi teknologi tersebut melibatkan seluruh mata rantai penyediaan bahan baku pangan di hulu yang dilanjutkanpada penanganan dan pengolahan pangan di hilir sepanjang mata rantai setelah panen sampai di meja konsumen, maka diperlukan koordinasi dan pemberdayaan teknologi dan industri yang berperan untuk mencegah dan menangani masalah stunting. Posisi Teknologi dan Industri Mendukung Koordinasi Stunting Dalam membahas peran teknologi dan industri yang memerlukan koordinasi, maka pendekatan yang dipakai dalam pembahasan ini diawali dari kebutuhan pencegahan dan penanganan stunting tersebut. Berdasarkan data dan informasi tentang stunting di Indonesia diidentifikasi dan ditetapkan siapa yang akan menjadi target groupnya serta daerah lokasi kejadiannya.Hal yang menjadi target dalam pencegahan dan penanganan stunting adalah bayi 1000 HPK, balita, anak sekolah, ibu hamil dan ibu menyusui.Dari tiap kelompok target perlu diidentifikasi produk pangan seperti apa yang sesuai untuk diberikan kepada masing2 target grup. Apabila bayi berusia 1000 HPK tentu memerlukan produk pangan yang berupa cairan atau semisolid, untuk balita bisa ditambahkan penggunaan produk pangan padat/solid. Keberadaan target grup di berbagai lokasi geografi di Indonesia akan menentukan apakah produk yang digunakan dalam intervensi tersebut bersifat generik artinya bisa digunakan di seluruh daerah/lokasi intervensi, atau merupakan produk pangan yang spesifik bagi daerah tersebut. Jenis dan bentuk produk ini akan memudahkan dalam mengembangkan inovasi teknologi yang menghasilkan produk pangan yang beragam. Namun pilihan produk pangan cair atau semisolid akan memerlukan teknologi pengemasan, pengawetan, penyimpanan dan penyajian yang khusus agar produk tersebut tetap aman dan bermutu. Pilihan teknologi fortifikasi dapat diterapkan sebagai teknologi bagi produk generik seperti garam, minyak goreng atau tepung terigu dengan mutu dan keamanan yang terjamin sehingga umumnya akan lebih efektif dilakukan oleh industri besar dengan teknologi pengolahan modern. Pelaksanaan teknologi fortifikasi memerlukan persyaratan yang khusus dengan standar yang ketat untuk menjamin keamanan dan mutu produk yang sudah difortifikasi. Apabila teknologi pertanian dan industrinya dapat menghasilkan produk pangan di tingkat lokal, maka penggunaan bahan lokal dalam upaya diversifikasi pangan juga perlu dipertimbangkan dalam rangka mengatasi masalah stunting terutama di daerah, terlebih bagi Indonesia sebagai Negara kepulauan.Tersebarnya lokasi yang sebagian sulit terjangkaujaringan transportasi dan distribusi menuntut diberdayakannya peran industri pangan rumah tangga, kecil dan menengah. Mengingat banyak sekali UKM yang 15
bergerak di bidang industri pangan ini, maka menjadi tantangan dalam pemilihan teknologi tepat guna dan bahan baku pangan yang beragam termasuk pengolahan untuk bahan pangan hasil perikanan dan peternakan yang dikombinasikan dengan pangan hasil tanaman/perkebunan. Sementara itu juga diperlukan industri besar yang memegang peran penting karena penggunaan teknologi yang lebih maju yang lebih menjamin keamanan dan kualitas gizi produk. Oleh karena itu koordinasi dan pengelolaan kelembagaan menjadi sangat penting sehingga kedua jenis industri ini tetap eksis dan saling mendukung mengisi penyediaan pangan olahan yang dibutuhkan dalam mencegah dan menangani “stunting”. Penerapan teknologi tepat guna tersebut di tiap daerah mungkin caranya berbedabeda, apakah bersifat spesifik lokal atau generik.Untuk itu perlu dipertimbangkan juga budaya konsumsi pangan setempat dan kearifan lokal.Mengangkat makanan dan minuman tradisional Indonesia yang telah teruji sebagai sumber gizi yang baik sejak jaman nenek-moyang (yang seringkali dianggap sebagai pangan yang kurang bermartabat) membutuhkan inovasi dan kebijakan yang berpihak pada kedua hal tersebut (Harmayani, 2018).Hal ini bertujuan untuk menjamin keamanan dan mutu gizi di sepanjang rantai ketersediaan pangan dalam kondisi yang seimbang dengan pelestarian dari kebudayaan dan tradisi pangan lokal. Untuk menjamin keberhasilan program pencegahan dan penanganan masalah stunting melalui keterlibatan peran teknologi dan industri pangan dari yang sederhana, spesifik lokal sampai yang modern dan global memerlukan koordinasi dan pengelolaan kelembagaan melibatkan CSOs, akademik, pemerintah pusat/daerah dan lembaga internasional terutama dalam mengembangkan berbagai jenis pilihan program intervensi yang disesuaikan dengan kebutuhan Indonesia. Pentingnya Ketersediaan Data Mendukung Teknologi dan Industri Untuk dapat memberikan rekomendasi dan strategi yang tepat dalam memberdayakan peran teknologi dan industri pangan bagi pencegahan dan penanganan masalah stunting, diperlukan basis data yang komprehensif.Data yang diperlukan merupakan data yang bersifat spesifik dan spasial hingga ke tingkat kabupaten, seperti jumlah puskemas dan posyandu.Berdasarkan kebutuhan data tersebut juga perlu dikembangkan best practices untuk pengukuran alat, metode dan operator dalam rangka memperoleh dan menganalisis data, terutama data yang bersifat rutin.Dalam kaitannya dengan teknologi dan industri pangan, data atau pengamatan yang diperlukan mencakup budaya/perilaku konsumen setempat, ketersediaan bahan baku spesifik lokal, jenis industri (rumah tangga/UKM/Industri besar), data paparan/eksposure konsumen terhadap pangan. Untuk lebih mengintensifkan perolehan data, diperlukan kerjasama antar perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan serta pemerintah daerah.Kegiatan riset dan pengabdian masyarakat (termasuk out reach dan community services) perlu ditetapkan sebagai mandate khusus kepada lembaga PT dan Litbang dalam upaya mencegah dan menangani stunting. Succes story dari daerah dalam hal PSG dan penyediaan data rutin perlu diangkat sebagai role model dalam memilih dan melakukan tindakan intervensi yang tepat. Keberhasilan dalam penyusunandata yang komprehensif memerlukan kesiapan kelembagaan, personel, anggaran dan adanya kepemimpinan/juara yang bertanggung jawab terhadap perolehan, analisis dan penggunaan data tersebut untuk menentukan intervensi dan program serta mengawal program tersebut secara berkesinambungan dan berkelanjutan sampai tujuan pencegahan dan penanganan “stunting’ tercapai. Koordinasi yang baik antara BPS dengan berbagai lembaga penelitian pengembangan, perguruan tinggi, pemerintah daerah, dunia usaha dan industri serta organisasi masyarakat sipil akan menghasilkan 16
data serta analisis yang tepat akurat dalam program aksi dan intervensi yang spesifik local maupun nasional. Rencana Aksi Penerapan Teknologi dan Implikasi Operasional Pelaksanaan rencana aksi pencegahan dan penangan stunting diawali dengan menentukan daerah intervensi melalui penggunaan data daerah.Data daerah yang diperlukan meliputi kelompok konsumen, budaya pangan, bahan pangan lokal, keberadaan perguruan tinggi, Litbang daerah, CSOs dan UKM setempat.Berdasarkan data daerah tersebut maka dapat dipilih model program intervensi dengan pilihan teknologi yang sesuai Pilihan teknologi yang tersedia meliputi jenis teknologi, skala, serta kesiapan sarana dan prasarana, serta kesiapan sumberdaya manusianya. Dari pilihan teknologi dan industri pangan tersebut membawa implikasi terhadap aksi operasional yang dapat dikelompokkan ke dalam aspek: 1. Penetapan grup target dan model intervensi 2. Penetapan jenis dan tingkatan teknologi pangan: menghasilkan produk pangan lokal/luar, mempertimbangkan budaya/keyakinan perilaku konsumsen, jaminan keamanan dan mutu gizi baik sepanjang food supply chains; jenis industri: UKM dan industri besar 3. Penetapan pengelolaan kelembagaan: leadership, kemitraan dunia usaha dan dunia industri (DUDI), kemitraan akademik, bisnis, dan pemerintah, keterlibatan CSOs, peranan wanita,kelembagaan Internasional 4. Pengaturan Koordinasi Riset: lembaga penelitian dan pengabdian masyarakat PT dan Balitbangda yang terfokus pada kebutuhan setempat. 5. Pengawalan program yang berkesinambungan dan berkelanjutan: Pemberdayaan Perguruan Tinggi, Pemda dan CSOs melalui Tridharma PT dengan keterlibatan dosen dan mahasiswa (i.e. BIMAS dan INMAS). E. STRATEGI KOORDINASI Koordinasi dalam perbaikan gizi merupakan keharusan. Sekurang-kurangnya ada empat alasan utama perlunya koordinasi. Pertama, masalah gizi sangat multisektor, sehingga memerlukan banyak pihak yangharus terlibat; Kedua,sistem kepemerintahan, tugas negara dibagi keseluruhan ke Kementerian/Lembaga; Ketiga,paradigma baru pelaksanaan pembangunan, dari money follow function ke money follow program, sehingga setiap kegiatan harus direncanakan dari awal; dan: Keempat perspektif penganggaran kinerja dan value for money (4E: Economic, Efficient, Effective, dan Equity). Salah satu hal utama yang diangkat dalam kajian ini adalah aspek koordinasi dari pemangku kepentingan yang belum berjalan dengan selaras untuk mencapai tujuan yang sama. Menurut WHO (2014), koordinasi yang baik perlu memperhatikan beberapa tujuan penting sebagai berikut: 1. Menciptakan platform yang mendefinisikan dan menyusun target nasional secara jelas 2. Mengharmonisasikan harapan dari pemangku kepentingan internasional dan nasional untuk menjamin hasil maksimal yang berkelanjutan 3. Mampu mendefinisikan dan mensinergikan prioritas yang telah ditetapkan 4. Mampu membangun program yang dapat memecahkan permasalahan dengan memperhatikan hal-hal spesifik seperti perbedaan karakteristik prevalensi lokal,
17
5. 6. 7. 8.
distribusi aspek sosio-geografikdan ketersediaan sumber daya yang berbeda-beda di setiap daerah Mampu mendefinisikan dan mengarahkan tindakan multisektor dan transdisiplin Mampu memobilisasikan dan menghubungkan sumberdaya ke lokasi yang tepat Mampu memperkuat sistem dan kapasitas dari elemen service delivery Mampu mengembangkan kerangka yang memadai untuk mengukur akuntabilitas dan monitoring kemajuan dari target nasional
Dalam implementasi peran aktor menjadi signifikan dan koordinasi nasional untuk pencegahan dan penurunan stunting di Indonesia, perludigarisbawahi tiga aspek sebagai berikut: 1. Koordinasi di level nasional yang mengutamakan isu-isu yang berbasis multisektor, adaptasi politik dan program yang jelas, pendanaan, agen pelaksana dan sektor industri/swasta. 2. Koordinasi aktor sub-nasional sebagai implementasinya, dimana mencakup semua sektor dan pemangku kepentingan terkait, keterlibatan sektor nonpemerintah yang bekerjasama dengan pemerintah lokal/daerah dan service delivery. 3. Koordinasi partisipasi masyarakat dengan mempertimbangkan isu-isu penting seperti kemiskinan dan kesejahteraan. Ketiga aspek koordinasi tersebut selanjutnya harus mampu berinteraksi dengan berbagai peran multisektor, sektor-non pemerintah, pusat-daerah, penganggaran, koordinasi ekonomi dan sosbud, dankoordinasi industri dan teknologi pangan.
Kebijakan koordinasi (policy measures)
Koordinasi di level nasional
Implementasi di level daerah/lokal
Partisipasi masyarakat lapis bawah
-
-
-
-
-
-
Mengadaptasi isu multisektor Komitmen politik dan program yang jelas Ketersediaan sumber dana/finansial Peran sektor swasta/industri
-
-
Keterlibatan multi sektor dan multi pemangku kepentingan Peran pihak non pemerintah dengan pemerintah daerah/lokal Peran infrastruktur distribusi dan jasa
-
-
Pemetaan kerangka masalah berbasis karakter sosial, ekonomi dan budaya lokal spesifik Partisipasi masyarakat lokal (Engaging communities) Potensi penurunan angka kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan
Gambar 2. Strategi Koordinasi Pencegahan dan Penanganan Stunting 18
Sementara itu, dari permasalahan ketersediaan data stunting, maka diperlukan koordinasi antar kementerian/lembaga terkait. Selain itu diperlukan juga koordinasi dalam penguatan sistem monitoring dan evaluasi, baik tingkat nasional maupun daerah. Dalam koordinasi tersebut harus ada pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas dari masing-masing kementerian/lembaga terkait. Sebagai contoh,data proses dibebankan kepada kementerian yang bertanggung jawab terhadap program-program pencegahan dan penanganan stunting. Sedangkan, untuk data output dan outcome yang akan digunakan untuk monitoring dan evaluasi harus berdasarkan data yang mempunyai metodologi dan definisi operasional yang konsisten. F. REKOMENDASI Kesadaran akan pentingnya urgensi penanganan masalah gizi/stunting dan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan baik secara vertikal dan horisontal akan sangat dibutuhkan di masa sekarang dan yang akan datang. Hal ini akan menjadi bukti nyata dari akuntabilitas di antara pelaku dan pemangku kepentingan di setiap level dan sektor yang berbeda terhadap pembangunan nasional di Indonesia. Beberapa hal penting dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. Koordinasi efektif perlu dilakukan sejak perumusan kebijakan. Oleh karena itu perlu menyelaraskan dokumen kebijakan, perencanaan dan penganggaran, dengan memastikan bahwa kegiatan/program terkait dengan stunting diberbagai KL dipertimbangkan sebagai program prioritas sehingga dapat dijamin penganggarannya. Di dalam RPJMN kedepan, diusulkan agar indikator stunting ditempatkan sebagai salah satu indikator sasaran utama(tidak dibawah bidang kesehatan). Sementara itu, indikator-indikator terkait dengan peningkatan akses pangan khususnya keluarga miskin, peningkatan pola asuh, akses tehadap pelayanan preventif dan promotif serta indikator lingkungan yang terkait dengan penyediaan air bersih dan sarana sanitasi dimasukkan di sektor terkait. 2. Untuk memastikan implementasi di lapangan perlu dipastikan agar program terkait stunting di KL menjadi bagian dari standar pelayanan minimum (SPM) pemeritah daerah. 3. Di beberapa kabupaten terdapat perbedaan periode waktu antara RPJMN dengan RPJMD. Kegiatan advokasi perlu secara sistematis dilaksanakan untuk membangun komitmen politisi dan pemerintah daerah. Komitmen para politisi dan pemerintah daerah ini sangat diperlukan untuk meningkatkan dan melanjutkan komitmen dalam perbaikan gizi. 4. Untuk menyamakan persepsi dan pemahaman tentang penanggulangan stunting diperlukan satu panduan, yang memuat kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan, proses perencanaan, penganggaran, dan kegiatan monitoring evaluasi. 5. Di tingkat lapangan, peranan petugas kesehatan dan pendamping program dari bebagai sektor sangat penting dalam penyusunan kegiatan ditingkat desa. Oleh karena itu dirasa sangat mendesak perlu meningkatkan kapasitas pendamping dari berbagai program dan petugas kesehatan di tingkat lapangan. 6. Untuk menjamin ketersediaan tenaga gizi terlatih perlu dipertimbangkan memenuhi kebutuhan tenaga gizi di semua puskesmas. Untuk meningkatkan kapasitas tenaga gizi perlu disusun kebutuhan pelatihan, yang dikaitkan dengan inisiatif percepatan 19
penurunan stunting. Perlu dikembangkan cara-cara baru, misalnya melalui pelatihan jarak jauh dengan sistem online berbasis IT. 7. Sumber dana untuk penanggulangan stunting di tingkat desa dapat berasal dari berbagai sumber, seperti ADD, dana desa, dana daripemerintah kabupaten, dari pemerintah propinsi, dan sumber dana dari berbagai sektor seperti dana BOK non teknis dari sektor kesehatan, dana perlindungan sosial dari kementerian sosial (PKH, Rastra/BPNT), kementerian pertanian dalam bentuk bantuan KRPL. Untuk mengoptimalkan berbagai sumber dana tersebut diperlukanpenguatan kapasitas sistem perencanaan dan penganggaran di tingkat kabupaten. 8. Peranan dunia usaha khususnya industri makanan bayi dan dan anak sangat potensial untuk berkontribusi dalam penanggulangan stunting. Peran yang dapat dilakukan adalah melakukan inovasi pengembangan produk yang memenuhi kebutuhan gizi anak dengan harga terjangkau. Disamping itu dunia usaha dapat berperan dalam pendampingan dan penguatan produk-produk pangan lokal yang telah berkembang di beberapa daerah. Diperlukan dialog dengan pimpinan dunia usaha dengan pemerintahpusat/daerahuntuk membangun komitmen dan kebijakan bersamayang diperlukan. 9. Koordinasi dengan Perguruan Tinggi dan dan Organisasi Profesi perlu ditingkatkan dengan tujuan meningkatkan kapasitas tenaga dan pendampingan pengelolaan program stuinting di tingkat kabupaten. 10. Koordinasi dalam penguatan sistem monitoring dan evaluasi. Perlu adanya data outcome, output, proses dan lain-laindan siapa yag melakukan. Untuk data proses, karena merupakan dalam manajemen program dibebankan pada program terkait melalui sistem survailen, sedangkan untuk outcome dan output perlu dilakukan oleh unit yang kredibel. Perlu menjaga konsistensi metodologi dan definisi operasional. 11. Upaya pembentukan Badan Pangan Nasional sebagaimana amanat UU Pangan perlu dipercepat dan untuk mensinkronkan pembangunan pangan dengan pencapaian status gizi, maka perlu dirumuskan kelembagaan perbaikan gizi di dalam Rancangan Badan Pangan Nasional. 12. Peraturan Presiden No 42/2013 perlu direvisi dengan memperbaiki fungsi, struktur, program dan dukungan SDM dan pembiayaan. Berdasarkan pengalaman pengembangan forum koordinasi sebelumnya dan pengalaman dari beberapa negara lain, untuk efektivitas koordinasi hendaknya lembaga pangan dan gizi tersebut; a. Langsung dibawah (diketuai oleh Presiden, atau Wakil Presiden). Alasan utamanya karena komitmen yang sangat tinggi (leadership), dismaping itu perbaikan stunting memerlukan lintas Kemenko. b. Tugas pokok dan fungsinya adalah mengkoordinasikan perumusan kebijakan pangan dan gizi, perencanaan, pemantauan dan evaluasi, dengan dilengkapi oleh SDM dan biaya operasional yang jelas.
13. Perlu dilakukan upaya untuk menggali kearifan lokal yang digunakan untuk penurunan stuntung dan perbaikan gizi lainnya dan sekaligus menggali sosial budaya yang perlu diluruskan untuk memperkuat perbaikan gizi. Budaya positif dan budaya yang belum mendukung perbaikan gizi perlu disosialisasikan kepada masyarakat agar dijadikan sebagai perilaku sehari-hari. 20
14. Perlu dilakukan pemetaan produk pangan sesuai dengan kondisi daerah setempat serta upaya mengembagkan teknologi tepat guna untuk meningkatkan nilai tambah, mutu gizi dan akses terhadap pangan lokal yang bermutu. 15. Diperlukan inovasim teknolgo dan produksi yang mendukung komoditi pangan dengan mutu gizi tinggi, aman dan disukai sesuai dengan karakteristik penduduk seperti pangan untuk ibu hamil, pangan untuk anak baduta dan balita. 16. Untuk memperkaya nilai gizi pangan terutama yang dikonsumsi secara umum perlu dilakukan fortifikasi zat gizi mikronutrien dengan memperhatikan peningkatan harga pangan karena fortifikasi dan teknologi yang tepat serta efektifitas fortifikasi di masyarakat. 17. Diperlukan data yang valid, akurat, kontinyu yang dikumpulkan di desa oleh petugas kompoten dan didistribusikan di setiap level sesuai keperluan seperti keperluan intervensi di tingkat Puskesmas dan Kecamatan, keperluan perencanaan di tingkat kabupaten/kota, dan keperluan penyusunan kebijakan di provinsi dan pusat.
DAFTAR PUSTAKA Adioetomo, S. M., & Pardede, E. L. 2018. Memetik Bonus Demografi: Membangun Manusia Sejak Dini. Jakarta: Raja grafindo Persada Alderman H., Hoddinott J. & Kinsey B. 2006. Long termconsequences of early childhood malnutrition. Oxford Economic Papers 58, 450–474. Hanushek E.A., & Woessmann, L. 2013.The Role of Cognitive Skills in Economic Development. Journal of Economic Literature ; 46 (3): 607-668 Harmayani, E dan Gardjito, M. 2018. Pengembangan Kearifan Lokal Melalui Pemberdayaan Masyarakat untuk Pencegahan dan Penurunan Stunting. Makalah disajikan dalam Workshop Pra WNPG XI di Jakarta, 6 Juni 2018 Hermina dan Prihatini, S. 2011. Gambaran keragaman makanan dan sumbangannya terhadap konsumsi energi protein pada anak BALITA pendek di Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan Vol. 39(2):62–73 Hoddinot J. et al. 2013.The Economic Rationale for Investing in Stunting Reduction. International Food Policy Research Institute; 9 (2) Noviati Fuada, Sri Muljati dan Tjetjep S. Hidayat. 2011. Karakteristik anak balita dengan status gizi akut dan kronis di perkotaan dan perdesaan di indonesia (RISKESDAS 2010) Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 10(3):168–179 Pambayun, R. 2018. Peran Teknologi Pengolahan Pangan (Pascapanen, Pengemasan, dan Distribusi) dalam Pencegahan dan Penurunan Stunting. Makalah disajikan dalam Workshop PraWidyakarya Nasional Pangan dan Gizi di Jakarta, 6 Juni 2018. Puti Sari H., Dwi Hapsari, Ika Dharmayanti, Nunik Kusumawardani. 2014. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap risiko kehamilan “4 Terlalu(4-T)” pada wanita usia 1059 tahun. Media Litbangkes Volume 24, No. 3
21
Sihadi dan Poedji Hastoety Djaiman. 2011. Peran kontekstual terhadap kejadian balita pendek di indonesia PGM 34(1):29–38 Sulaeman, A. 2018. Penerapan Diversifikasi Pangan, Adakah Hambatan Ekonomi, Teknologi Pangan dan Perdagangan. Makalah, disajikan dalam Workshop PraWidyakarya Nasional Pangan dan Gizi di Jakarta, 6 Juni 2018. The Worldbank. 2016.Reaching the Global Target to Reduce Stunting:How Much Will it Cost and How Can We Pay for it?. In The Economics of Human Challenges, ed B. Lomborg. Cambridge,U.K.: Cambridge University Press. WHO. 2014. Childhood Stunting: Challenges and opportunities. Report of a Promoting Healthy Growth and Preventing Childhood Stunting colloquium. Geneva: World Health Organization;
22
............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ...............................................................................................................................................................................................
............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................................................... ...............................................................................................................................................................................................
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi XI 2018
Draft Rumusan Rekomendasi Bidang 1 WNPG XI 2018
PENINGKATAN GIZI MASYARAKAT
Sekretariat Biro Kerja Sama Hukum dan Humas LIPI Sasana Widya Sarwono Lt.5 Jln. Jend Gatot Subroto Kav. 10 Jakarta 12710 Telp. 021-5225711 ext.1236, 1240, 1233 Fax. 021-5251834