PENINGKATAN MUTU SEKOLAH - UNESDOC

Download I.I.E.P. - 1.1.P.E.I. 9,mft.Drloc;Qu7SO^ PARIS. 2 3. JUIN 2006. CENTRE DE. DOCUMENTATION ... pemahaman yang lebih umum tentang perencanaan ...

0 downloads 729 Views 6MB Size
Peningkatan Mutu Sekolah

Jaap Scheerens Buku Serial Dasar-dasar Perencanaan Pendidikan ¡tan UNESCO lation Educational, Scientific, and Cultural Organization)

Peningkatan

MUTU SEKOLAH

til Jaap Scheerens

Peningkatan

MUTU SEKOLAH HEP

DOCUMENTAT ION

J A A ' ; ¿ ^ (_•*

t)

L 0 HO S WACANAILMU DAN PEMIKIRAN

¿- \m,i

I.I.E.P. - 1.1.P.E.I 9,mft.Drloc;Qu7SO^ PARIS

2 3. JUIN 2006 C E N T R E DE DOCUMENTATION

PENINGKATAN M U T U SEKOLAH Jaap Scheerens

Peneijemah • Abas Al-Jauhari Penyunting • Achmad Syahid Hak Cipta pada • Pengarang Hak Penerbitan pada • PT. Logos Wacana Ilmu Cover/Layout • Muis Cetakan Pertama • Agustus 2003 M Diterbidcan oleh • PT. Logos Wacana Ilmu Jl. Ir. H. Djuanda No. 50 Blok D-30, Ciputai 15412 Telp. (021) 7418816, 7418817, Fax. (021) 7418817 e-mail: [email protected] Judul Asli: Improving School Effectiveness Buku Asli Diterbidcan tahun 2000 oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization 7 place de Fontenoy, F 75352 Paris 07 SP Fundamentals of Educational Planning (Dasar-dasar Perencanaan Pendidikan) LWI 096

Jaap Scheerens Peningkatan Mutu Sekolah/ Jaap Scheerens; penerjemah, Abas al-Jauhari; penyunting, Achmad Syahid,-Jakarta : Logos, 2003 xxvi + 150 ; 14,5x21 cm Judul asli: Improving school effectiveness ISBN 979-626-141-3 1. Management dan organisasi sekolah I. Judul II. al-Jauhari, Abas 371.2

IV

Fundamentals of Educational Planning (Dasar-dasar Perencanaan Pendidlkan)

B

uklet-buklet kecil dalam serial ini ditulis untuk dua kelompok pengguna. Kelompok pertama, mereka yang terlibat dalam perencanaan dan administrasi pendidikan, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Sedang kelompok kedua, mereka yang bukan spesialis (di bidang pendidikan), seperti para pejabat tinggi pemerintah dan pembuat kebijakan yang berusaha menggali pemahaman yang lebih umum tentang perencanaan pendidikan, dan tentang bagaimana pengertian tersebut terkait dengan pembangunan nasional secara keseluruhan. Pemahaman tersebut diharapkan bermanfaat baik untuk kepentingan belajar secara pribadi maupun dalam program-program pelatihan formal.

Sejak serial ini diluncurkan pada 1967, praktik dan konsep perencanaan pendidikan mengalami perubahan yang berarti. Banyak asumsi yang semula dijadikan landasan untuk merasionalisasi proses p e n g e m b a n g a n p e n d i d i k a n telah dikritik, atau ditinggalkan. Bahkan jika model perencanaan yang sentralistik dan kaku sekarang ternyata terbukti tidak lagi memadai dan tidak tepat untuk diterapkan, tidak berarti bahwa semua bentuk perencanaan tidak lagi dibutuhkan. Sebaliknya, kebutuhan mengumpulkan data, mengevaluasi efisiensi program yang ada, melakukan serangkaian

v

studi dalam bidang yang berbeda, menatap masa depan, serta menggulirkan debat publik tentang dasar-dasar untuk memandu kebijakan pendidikan dan pembuatan keputusan bahkan menjadi lebih penting daripada sebelumnya. Ruang lingkup perencanaan pendidikan telah diperluas. Di samping sistem pendidikan formai, juga kini diterapkan pada segala usaha pendidikan penting lain dalam setting pendidikan non-formal. Perhatian terhadap pertumbuhan dan perluasan sistem pendidikan bertambah, dan bahkan terkadang digantikan oleh tumbuhnya perhatian terhadap kualitas seluruh proses pendidikan, serta kontrol atas hasil-hasilnya. Paraperencana dan administrator akhirnya menjadi semakin sadar akan pentingnya strategi implementasi dan peran pelbagai mekanisme pengaturan yang berbeda dalam hai ini: pilihan metode pembiayaan, ujian dan prosedur sertifikasi atau pelbagai aturan dan struktur insentif lainnya. Perhatian para perencana ada dua: mencapai suatu pemahaman yang lebih baik mengenai validi tas pendidikan dalam dimensinyayang khusus yang terobservasi secara empiris dan membantu dalam menentukan strategi-strategi perubahan yang tepat. Tujuan buku-buku kecil serial ini an tara lain memonitor evolusi dan perubahan dalam kebijakan pendidikan, serta pengaruhnya terhadap kebutuhan perencanaan pendidikan; menyoroti isu-isu mutakhir mengenai perencanaan pendidikan dan menganalisisnya dalam konteks latar historis dan kemasyarakatannya; dan menyebarkan metodologi perencanaan yang dapat diterapkan pada konteks, baik negara maju maupun negara sedang berkembang. Untuk membantu International Institutefor Educational Planning (IIEP), suatu badan di bawah naungan Unesco, dalam mengidentifìkasi isu-isu mutakhir dalam perencanaan dan pembuatan keputusan di pelbagai belahan dunia, ditunjuklah Dewan Editor (Editorial Board) yang terdiri atas dua orang editor umum dan seorang editor madya dari wilayah yang berbeda, yang semuanya kaum profesión al yang mempunyai reputasi tinggi di bidangnya. Dalam pertemuan pertama Dewan Editor yang bara ini padajanuari 1990,

vi

para anggotanya telah mengidentìfìkasi topik-topik penting yang akan diulas dalam isu-isu mendatang dengan judul-judul berikut: 1.

Pendidikan dan Perkembangan (education and development

2.

Pertimbangan-pertimbangan keadilan (equity considerations).

3.

Kualitas pendidikan (quality of education).

4.

Struktur, administrasi dan manajemen pendidikan (structure, administration and management of education).

5.

Kurikulum (curriculum).

6.

Biaya dan pendanaan pendidikan (cost and financing of education).

7.

Teknik-teknik dan pendekatan perencanaan (planning techniques and approaches).

8.

Sistem informasi, monitoring dan evaluasi (information systems, monitoring and evaluation). Seüap judul diulas oleh seorang atau dua editor madya.

Serial tersebut dirancang secermat mungkin, tetapi tidak ada usaha untuk menghindari kemungkinan perbedaan atau bahkan kontradiksi pandangan yang diekspresikan oleh para penulisnya. Institut sendiri tidak berkeinginan untuk memaksakan doktrin resmi apa pun. Dengan demikian, sementara pandangan di setiap edisi merupakan tanggungjawab para penulisnya sendiri, dan tidak harus didukung oleh Unesco atau International Institutefor Educational Planning, pandangan tersebut pantas diperhatikan di forum debat internasional. Memang, salah satu tujuan penerbitan serial di atas adaiah untuk merefleksikan keragaman pengalaman dan pemikiran dengan cara memberikan kesempatan kepada para penulis yang berbeda dari beragam latar belakang dan disiplin ilmu untuk mengekspresikan pandangannya tentang perubahan teori-teori dan praktik dalam perencanaan pendidikan. Efektivitas sekolah adalah sebuah konsep yang sulit diterj e m a h k a n , dan, begitu didefinisikan, sifat alamiah k o n s e p ini sulit untuk diukur.

vu

Dalam kajian yang kaya ini, Jaap Scheerens lebih melihat pada aspek-aspek dari panorama efektivitas sekolah, dengan demikian, ia menyediakan sebuah telaah menyeluruh yang berguna bagi para perencana pendidikan. Pengarang menggunakan basis pengetahuan tentang efektivitas sekolah untuk menguji pendekatan-pendekatan yang relevan dalam meningkatkan efektivitas, meskipun tidak pernah kehilangan pandangan pada fakta bahwa tiap situasi memiliki kekhususan tersendiri. Dia mengakui bahwa tampaknya lebih terbuka peluang untuk melakukan aksi bagi seseorang yang terdekat dengan level sekolah, dengan demikian, menjadi sulit bagi pihak-pihak yang berada pada level di atas sekolah untuk melakukan perencanaan tentang efektivitas. Dengan berpijak pada pemikiran di atas, dia menyarankan bahwa pendekatanpendekatan yang bersifat multi-level barangkali sangat sesuai, terutama bagi negara-negara yang sedang berkembang. Pentingnya evaluasi diri sekolah ditekankan, karena kenyataan bahwa proses evaluasi itu sendiri dapat menyumbang bagi peningkatan efektivitas. Atas dasar pada buklet ini, para perencana tenni saja akan lebih terlengkapi dalam mendiskusikan berbagai faktor berbeda yang terlibat dalam peningkatan efektivitas sekolah. HEP mengucapkan terima kasih kepada Profesor Scheerens atas kesediaannya berbagi pandangan dan pengetahuan dalam bidang kajian ini dengan menulis untuk Dasar-dasar Serial Perencanaan Pendidikan {the Fundamentals of Educational Planning series). Kami juga berhutang budi kepada Profesor Neville Postlethwaite, editor nomor seri ini, atas partisipasinya dalam penyiapan naskah awal seri ini.

Gudmund Hemes Direktur H E P

Vili

Komposisi Dewan Editor Ketua:

Gudmund Hemes Director, HEP

Editor Umum:

Françoise Caillods HEP T. Neville PosdeÜiwaite (Profesior Emiratus) University of Humburg Jerman

Dewan Editor:

Jean-Claude Eicher University of Bourgogne Perancis Claudio de Moura Castro Inter-American Development Bank Amerika Serikat Kenneth N. Ross HEP Perancis Richard Sack Association for the Development of Education in Africa (ADEA) Perancis Rosa Maria Torres Kellogg Foundation/IIEP-Buenos Aires Argentina

IX

Pengantar

P

ada dekade akhir 1990-an, literatur tentang efektivitas sekolah marak sekali. Karena karya para perencana pendidikan telah bergeser dari peningkatan pendaftaran sekolah ke peningkatan mutu pendidikan, maka para perencana harus memiliki kepedulian pada efektivitas sekolah. Lalu, apa itu sekolah efektif? Berbagai penulis telah menggunakan definisi yang berbeda mengenai 'efektif dan acapkali sulit membedakan di antara banyaknya definisi itu. Dalam pada itu, pembaca harus khawatir apakah definisi itu dapat dipanami atau tidak. Jelas sekali bahwa sekolah, dengan mendaftarnya siswa dari latar belakang keluarga yang baik, akan memiliki waktu yang lebih mudah dalam mengantarkan mereka untuk belajar, dibandingkan sekolah di mana semua muridnya berasal dari latar belakang keluarga miskin. Apa yang menarik bagi sebagian besar perencana pendidikan adalah identifìkasi faktor atau variabel yang dapat meningkatkan pembelajaran di semua sekolah, terlepas dari latar belakang siswa yang masuk ke sekolah tersebut Terutama sekali para perencana tertarik pada faktor-faktor yang terjadi pada sekolah-sekolah yang berlatar belakang keluarga miskin, yang menghasilkan prestasi murid yang tinggi. Apa saja faktor-faktor tersebut? Apakah faktor-faktor dapat digeneralisasikan kepada semua sekolah, apa saja kemungkinan biaya yang harus

XI

disiapkan jika Kementrian Pendidikan menghendaki faktorfaktor tersebut ada di semua sekolah. J u g a ada problem tambahan bahwa sekolah memiliki banyak mata pelajaran yang berbeda dan sasaran akhir yang bennacam-macam: kognitif, afektif, dan sosial. Apakah suatu faktor atau variabel hanya mempengaruhi satu bidang mata pelajaran atau seperangkat sasaran akhir, atau apakah ia dapat mempengaruhi semuanya? Seluruh bidang jenis pemikiran dan penelitian ini ditandai oleh banyaknya pendekatan, konsep, dan model, bahkan sulit bagi mereka yang terlibat untuk menangkap gambaran yang jelas mengenai pro dan kontra terhadap berbagai jenis pemikiran dan penelitian tersebut. International Institute for Educational Planning (HEP) mengundangjaab Scheerens dari Universitas Twente, Belanda, seorang yang sangat otoritatif dibidang managemen sekolah dan pendidikan efektif yang diakui, untuk menulis boklet-boklet singkat yang menjelaskan bidang yang rumit ini kepada para perencana pendidikan. Prof. Scheerens tidak hanya menggambarkan cara-cara yang berbeda bagaimana istilah 'efektif digunakan, melainkan juga 'konsep' dan 'model' berbeda yang digunakan dalam tipe penelitian ini. Dia kemudian mengaitkan temuan-temuan penelitian dalam bidang ini dengan perencanaan synoptic, teori pilihan, dan perencanaan retroactive. Akhirnya, dia mengetengahkan sekumpulan temuan dalam bidang ini namun pembaca dan pengguna yang hati-hati akan bertindak secara tepat ketika melakukan adaptasi. Jelaslah bahwa tiap-tiap sistem pendidikan perlu melakukan penelitiannya sendiri mengenai identifikasi variabel-variabel dan faktor-faktor yang diasosiasikan dengan 'efektivitas'. Diharapkan bahwa persoalan Dasar-dasar Perencana Pendidikan akan membantu para perencana pendidikan tidak hanya

Xll

bekerja dengan cara mereka sendiri melalui tìpa-tìpe penelitìan yang berbeda, melainkan akan mendorong mereka melakukan penelitìan mereka sendiri seperti itu.

T. Neville Posdethwaite Wakil Editor Umum

xiii

Daftar Isi Pengantar

xi

Pendahuluan I.

II.

1

Konseptualisasi: Perspektif tentang Efektivitas Sekolah Pengantar Definisi umum Definisi Ekonomi tentang Efektivitas Pandangan teoritis tentang efektivitas organisasi Rasionalitas ekonomi Model sistem organik Pendekatan hubungan manusia dalam organisasi.... Birokrasi Model organisasi politik Mode-mode Pendidikan yang diterima di sekolah, sebagai jalan masuk untuk meningkatkan efektivitas Ringkasan dan Kesimpulan

18 23

Penelitian: Telaah atas bukti dari Negara Maju dan Negara Berkembang Pendahuluan:

27 27

xv

5 5 5 8 11 12 13 14 15 15

Rancangan menyeluruh tentang kajian efektivitas pendidikan Bagian 1. Bukti dari Negara-negara Industri Hasil Yang Diperoleh Diberbagai Rangkaian Penelitian Tentang Efektivitas-Pendidikan Integrasi Ringkasan Meta-analisis Bagian 2. Bukti dari Negara-negara Sedang Berkembang Studi Fungsi Produksi di Negara-negara Sedang Berkembang Review tentang Penelitian tentang Efektivitas Sekolah di Negara-negara Sedang Berkembang.... Lingkup dan Pembatasan Model Efektivitas Sekolah bagi Perencana Pendidikan Ringkasan dan Kesimpulan Teori: Efektivitas Sekolah dan Perspektif tentang Perencanaan Pengantar: paradigma rasionalitas Perencanaan Synoptic dan Strukturisasi Birokrasi Penyejajaran Rasionalitas Individu dan Organisasi: Teori Pilihan-Publik Perencanaan Retroaktif dan Organisasi Pembelajaran Ringkasan dan Kesimpulan Aplikasi: Penggunaan Dasar Pengetahuan tentang Efektivitas Sekolah bagi Prosedur Monitoring dan Evaluasi Pengantar Indikator-indikator Konteks Evaluatif, Tingkat Agregasi dan Dimensi Waktu; Menuju Konseptualisasi Indikator

XVI

27 29 29 49 53 56 56 60 65 71

77 77 80 86 92 97

99 99 101

Pendidikan Lebih Lanjut Konteks Evaluatif. Tingkat Agregasi Time-frame Fungsi Indikator bagi Proses Pendidikan Contoh-contoh Berbagai Indikator Proses Sekolah Evaluasi Diri Sekolah Definisi Jenis Evaluasi Din Sekolah (School SelfEvaluation) Taksonomi Evaluasi Sekolah, Metode, Aktor dan Obyek yang Berbeda-beda Ringkasan dan Kesimpulan; Apa yang Dapat Diterapkan di Negara-negara Sedang Berkembang Mempertimbangkan Kembali Dimensi Internal/Eksternal Dukungan Ehternal Aspek biaya Politik Mikro Evaluasi Indikator Proses yang Diilhami Efektivitas Sekolah Dipertimbangkan Kembali V.

Kesimpulan: Implikasi bagi Para Perencana Pendidikan

104 104 106 107 107 110 112 113 114 124 126 126 128 130 131 133

135

Daftar Pustaka

139

Indeks

151

xvu

Pendahuluan

M

onografi ini membicarakan temapokok tentangperencanaan pendidikan: bagaimana para pembuat kebijakan, kepala sekolah, guru dan orang tua dapat merancang ahi untuk metnbantu pencapaian tujuan pendidikan? Jawaban diberikan didasarkan pada hasil-hasil penelitian empiris, yang digolongkan di bawah judul seperti: 'produktivitas pendidikan', 'efektivitas sekolah', 'fungsi-fungsi produksi pendidikan' dan 'efektivitas pengajaran'. Sejak 1980, penelitian empiris telah menghasilkan bagan pengetahuan {the body ofknowledge) yang menyediakan informasi tentang faktor-faktor perangkat lunak mana saja yang 'amat berarti' serta faktor-faktor lain mana saja yang memiliki dampak lebih kecil. Bagaimanapun, pertimbangan yang cermat mengenai dasar pengetahuan yang ada diperlukan, karena ada keberatan dan keterbatasan tertentu yang inneren dalam tradisi penelitian yang disebutkan di atas. Misalnya, sebagian besar penelitian empiris dilakukan di tingkat dasar dan menengah-bawah, serta variabel-variabel hasil (outcome) yang dipilih sebagian besar seringkali adalah mata pelajaran-mata pelajaran dasar, seperti bahasa ibu dan aritmatika atau matematika.

1

Oleh karena itu, tujuan kajian ini adalah sebagai berikut: #

Menyediakan dasar konseptual untuk mendefinisikan efektivitas sekolah;

*

Menggambarkan variabel tingkat sekolah dan kelas yang diharapkan 'bekerja' dalam pendidikan serta tercermin pada bagaimana cara agar kebijakan bisa meningkadcan efektivitas sekolah;

*

Menelaah bukti penelitian yang ada berkenaan dengan hubungan antara kondisi perangkat lunak tertentu dengan prestasi pendidikan;

#

Menggambarkan model-model teoritis yang digunakan untuk menjelaskan mengapa faktor-faktor tertentu harus bekerja serta melihat model-model mana saja yang bisa menghasilkan pengaruh yang dapat dipraktekkan untuk meningkadcan efektivitas sekolah;



Menunjukkan penerapan praktis dasar pengetahuan efektivitas sekolah bagi para perencana pendidikan.

Pada bab pertama, konsep efektivitas sekolah didefinisikan. Definisi-definisi yang dikemukakan dalam penelitian efektivitas sekolah empiris ini dibandingkan dengan definisi-definisi dalam lapangan ekonomi dan organisasi. Hal ini mengarahkan pada peta konseptual, di mana 'sebab' atau maksud, dan 'pengaruh' atau capaian tujuan pendidikan, dibedakan sebagai dua faktor dasar bagi efektivitas sekolah. Aspek penting lain yang akan diperhatikan adalah konsep 'nilai tambah' pendidikan yang diterima di sekolah serta kenyataan bahwa kriteria yang digunakan untuk menilai apakah sekolah-sekolah tersebut efektif bersifat relatif dan bukan absolut. Pada bab kedua, akan ditelaah ulang dasar pengetahuan yang dihasilkan dari berbagai kumpulan penelitian tentang efektivitas pendidikan. Perhatian khusus diberikan kepada kajian-

2

kajian yang dilakukan di negara-negara sedang berkembang. Walaupun telaah ulang mengenai bukti penelitian yang lebih kualitatif cenderung sepakat dengan seperangkat faktor yang dapat meningkatkan efektivitas, namun síntesis penelitian kuantitatif dan kajian perbandingan international menyisakan keüdakpastian yang patut dipertimbangkan mengenai dampak dan penyamarataan sebagian besar faktor-faktor tersebut, terutama sekali faktor irc/>«£-sumberdaya dan kondisi organisasi sekolah. Pada bab ketiga, bukti penelitian itu dihubungkan dengan teori ilmiah sosial yang lebih mapan dalam rangka menemukan mekanisme yang mendasari tentang apa yang membuat pendidikan yang diterima di sekolah efektif. Tiga penafsiran berbeda mengenai prinsip rasionalitas dibahas di bab ini: perencanaan synoptic, implikasi teori pilihan-publik; dan perencanaan retroactive. Walaupun bukti penelitian itu biasanya mendukung pandangan bahwa rasionalitas yang meningkat menjelaskan efektivitas sekolah, namun kesimpulan ini ditafsirkan bertentangan dengan kenyataan bahwa sebagian besar bukti itu didasarkan pada sistem pendidikan di mana kondisi sumberdaya manusia dan materi dasar tersedia dengan baik. Bab keempat melihat penggunaan faktor-faktor yang diidentifikasi dapat meningkatkan efektivitas sebagai model bagi peningkatan sekolah. Sungguhpun pendekatan ini telah memberikan hasil-hasil yang positif, bab ini menitikberatkan pada penerapan yang lebih hati-hati, di mana faktor-faktor yang diidentifikasi itu hanya digunakan sebagai target evaluasi dan monitoring pendidikan. Pendekatan ini menyisakan ruang bagi adaptasi kultural dan lokal mengenai hasil-hasil dan lebih mudah untuk berdamai dengan sikap para perencana pendidikan pusat yang lebih obyektif dalam sistem pendidikan yang didesentralisasi secara fungsional. Bab ini juga membahas penggunaan in-

3

dikator-indikator proses dalam konteks sistem indikator nasional dan evaluasi-diri sekolah. Fada bab singkat terakhir, disimpulkan secara ringkas implikasi-implikasi bagi para perencana pendidikan yang ada.

4

I.

Konseptualisasi: Perspektif tentang Efektivitas Sekolah 1

Pengantar

A

dalah masnk akal bahwa sekolah yang efektif kira-kira sama dengan sekolah yang "baik". Atas dasar pengertian ini, definisi tentang efektivitas sekolah yang lebih tepat telah dikembangkan dalam kajian-kajian penelitian empiris. Nuansa-nuansa berbeda diberikan oleh perspektif-perspektif dari berbagai disiplin yang berbeda, terutama sekali disiplin ilmu ekonomi dan organisasi. Namun, meskipun disiplin-disiplin ilmu tersebut memiliki perspektif yang berbeda, skema yang relatif sederhana, terdiri dari seperangkat kondisi perangkat lunak pendidikan yang diterima di sekolah (sebab) dan beragam jenis kriteria sederhana (pengaruh), mungkin bisa dipandang sebagai dasar bagi definisi itu. Definisi umum Efektivitas sekolah mengacu pada kinerja unit organisasi yang disebut 'sekolah'. Kinerja sekolah dapat diperlihatkan melalui 'Sebagian bab ini adalah versi yang diperbaharui dari Bab 1 Scheerens (1992), Effective schooling. Research theory and practice, diterbitkan Cassell (London).

5

output sekolah tersebut, yang pada gilirannya diukur sesuai dengan prestasi rata-rata murid pada akhir masa pendidikan formal mereka di sekolah tersebut. Persoalan efektivitas sekolah menarik karena secara umum dapat diketahui bahwa kinerja sekolah itu berbeda-beda. Persoalan berikutnya adalah sejauhmana kinerja sekolah itu berbeda, atau, lebih tepatnya, sejauhmana sekolah-sekolah berbeda ketika kemampuan bawaan dan latar belakang sosio-ekonomi murid-murid sekolah itu sedikit banyak sama. Pemyataan yang agak berbeda mengenai prinsip perbandingan yang 'fair' antara sekolah dapat dibuat dengan menilai nilai tambah selama masa pendidikan yang dia peroleh. Ini berarti menilai dampak pendidikan yang diterima di sekolah pada prestasi para murid, ketika prestasi tersebut secara khas dapat dihubungkan dengan sekolah A setelah diselesaikan dan bukan sekolah B. Akan tetapi, dalam penelitian tentang efektivitas sekolah, menilai perbedaan nilai tambah atau nilai 'bersih' (net) antar sekolah tidaklah cukup. Dalam cabang penelitian pendidikan ini, pertanyaan yang benar-benar menarik bermula ketika kita menetapkan bahwa ada perbedaan penting: mengapa sekolah A lebih baik dibanding sekolah B, jika perbedaannya tidak berkaitan dengan perbedaan populasi siswa di dua sekolah itu? Serangkaian penelitian tentang efektivitas pendidikan yang berbeda-beda telah terkonsentrasi pada jenis-jenis variabel yang berbeda untuk menjawab pertanyaan ini. Ahli ekonomi berkonsentrasi pada input sumber daya, seperti besaran belanja persiswa. Para psikolog pengajaran akan menyelidiki manajemen di ruang kelas, seperti waktu tugas dan variabel-variabel yang berhubungan dengan strategi pengajaran. Tenaga ahli pendidikan umum dan para sosiolog pendidikan melihat pada aspekaspek organisasi sekolah, seperti gaya kepemimpinan. Sebelum hendak menjelaskan serangkaian penelitian tentang efektivitas pendidikan yang berbeda-beda ini serta 6

pengintegrasian berikutnya ke dalam kajian-kajian tentang efektivitas pendidikan di berbagai level dan di berbagai disiplinnya, sedikit karakteristik dasar dari definisi efektivitas sekolah yang muncul harus digarisbawahi. Pertama-tama harus dicatat bahwa konsep efektivitas sekolah harus dilihat sebagai konsep formal, 'hampa', konsep yang tidak pandang bulu berkenaan dengan jenis-jenis pengukuran terhadap kinerja sekolah yang dipilih. Karena maksud literal dari efektivitas adalah pencapaian tujuan {goal attainment}, maka asumsi implisitnya adalah bahwa kriteria yang digunakan untuk mengukur kinerja tersebut mencerminkan sasaran-sasaran akhir pendidikan yang penting. Tentu saja, berbagai pendapat tentang apakah kriteria-kriteria tersebut harusnya boleh berbedabeda, dan konsekuensinya arah serangan yang mudah pada penelitian tentang efektivitas sekolah adalah bahwa ia gagal membicarakan berbagai sasaran pendidikan yang penting. Dalam praktek yang sebenamya, prestasi pada mata pelajaran dasar seperti matematika atau aritmatika, sains dan bahasa daerah atau bahasa asing, merupakan pengukuran yang dipilih oleh sebagian besar dari serangkaian kajian tentang efektivitas pendidikan yang empiris. Kedua, pengukuran terhadap efektivitas sekolah didasarkan pada standar komparatif dan bukan standar absolut. 'Pengaruh' diperlihatkan menurut perbedaan rata-rata yang disesuaikan antar sekolah-sekolah atau menurut persentase variasi 'yang dijelaskan' antar sekolah-sekolah yang ada. Implikasinya adalah bahwa kajian-kajian tentang efektivitas sekolah, yang dilakukan di dalam konteks nasional tertentu, tidak menyatakan apa pun tentang tingkat prestasi pendidikan yang sebenarnya di negara tersebut. Berdasarkan tingkat kinerja, definisi tentang suatu sekolah yang efektif bagi negara X bisajadi juga agak berbeda bagi negara Y. Akhimya, dalam gambaran umum mengenai efektivitas sekolah dan penelitian tentang efektivitas sekolah, penting un-

7

tuk dicatat bahwa efektivitas sekolah itu merupakan sebuah konsep kausal. Oleh karena itu, beberapa pengarang membuat perbedaan tegas antara penelitian tentang kefektifan sekolah pada satu sisi dan penelitian tentang pengaruh sekolah pada sisi lain (dikutip dari Purkey dan Smith, 1983). Dalam penelitian tentang efektivitas sekolah tidak hanya perbedaan kinerja secara keseluruhan saja yang dinilai, melainkan juga pertanyaan tambahan mengenai hubungan sebab akibat yang muncul: karakteristik-karakteristik sekolah mana saja yang menghasilkan kinerja yang relatif lebih tinggi, terutama, ketika karakteristikkarakteristik populasi siswa sebaliknya justru konstan? Dalam bab berikut akan digambarkan secara lebih rinci berbagai rangkaian penelitian tentang efektivitas pendidikan yang telah menyumbang kepada konseptualisasi tentang efektivitas sekolah di berbagai level dan di berbagai disiplin ilmu dewasa ini. Singkatnya, efektivitas sekolah dilihat sebagai gelar untuk mana saja sekolah-sekolah yang telah mencapai tujuannya, kalau dibandingkan dengan sekolah-sekolah lain yang 'setara', menurut jumlah siswa yang diterima {student-intake) dengan jalan memanipulasi kondisi-kondisi tertentu yang dilakukan oleh sekolah itu sendiri atau karena konteks yang melingkupi sekolah tersebut. Defittisi Ekonomi tentang Efektivitas Dalam ilmu ekonomi, konsep-konsep seperti efektivitas dan efisiensi dihubungkan dengan proses produksi dari suatu organisasi. Taruhlah dalam bentuk yang agak disesuaikan dengan cara produksi, suatu proses produksi dapat disimpulkan sebagai 'perputaran', atau perubahan dari 'input' ke dalam 'output'. Semua input yang masuk ke dalam suatu sekolah atau sistem sekolah termasuk para murid dengan segala karakteristik ter-

8

tentu yang ada pada mereka, serta semua bantuan keuangan dan materi pada mereka. Output meliputi prestasi yang dicapai raurid pada akhir masa pendidikannya. Proses atau alur masuk [throughput) perubahan yang terjadi dalam suatu sekolah itu dapat dipahami sebagai keseluruhan metode pengajaran, pilihan kurikulum dan prasyarat organisasi yang memungkinkan bagi para murid untuk memperoleh pengetahuan. Output jangka. panjang ditunjukkan dengan istilah ''outcome, lihat Tabel 7.

Tabel 1. Analisa faktor dalam proses produksi pendidikan

Input

Proses

Pembiayaan Metode-metode Pengajaran

Output

Outcome

Skor ujian akhir Tersebar dalam sekolah dasar pasar tenaga kerja

Efektivitas kini dapat digambarkan dengan sejauhmana tingkat output yang diinginkan tercapai. Kemudian efisiensi bisa didefinisikan sebagai tingkat output yang diinginkan dengan kemungkinan biaya yang paling rendah. Dengan kata lain, efisiensi adalah efektivitas dengan keperluan tambahan yang ingin dicapai dengan menempuh kemungkinan cara yang termurah. Cheng (1993) lebih jauh memberikan elaborasi mengenai definisi tentang efektivitas dan efisiensi, yang memasukkan dimensi output jangka pendek versus outcomejangka panjang. Meminjam kalimat Cheng: efisiensi dan efektivitas teknis mengacu pada u output sekolah yang terbatas pada mereka yang ada di sekolah atau segera setelah mereka menyelesaikan pendidikan di sekolah (misalnya, perilaku belajar, ketrampilan yang diperoleh, perubahan sikap, dll)", sedangkan efisiensi dan efektivitas sostai dihubungkan dengan "berbagai pengaruhnya pada di tengah-tengah masyarakat atau pengaruhnya pada kehidupan jangka panjang pada in-

9

dividu (misalnya, mobilitai sosial, pendapatan, produktivitas kerja)" (ibid., him. 2). Jika seseorang menggabungkan dua dimensi ini, maka empat tipe output sekolah dapat dibedakan (lihat TabelZ).

Tabel 2. Pembedaan antara efektivitas sekolah dan efisiensi sekolah, dikutipdari Cheng (1993) Sìfat output sekolah Sifat input sekolah

Di sekolah/segera setelah menyelesaikan pendidikan Pengaruh jangka pendek Internai (misalnya, perilaku belajar, ketrampilan yang diperoleh)

Pada level masyarakat Pengaruh jangka panjang Ekstemal (misalnya, mobilitas sosial, penda patan, produktivitas)

Non-moneter (misalnya, guru, metode mengajar, buku)

Efektivitas kemasyarakatan sekolah

Efektivitas teknis sekolah

Moneter (Misalnya, biaya buku, gaji, biaya kesempatan)

Efisiensi teknis sekolah (efektivitas ekonomi internai)

Efisiensi kemasyarakatan sekolah (efektivitas ekonomi ekstemal)

Adalah penting bagi análisis mengenai efisiensi dan efektivitas dalam konteks ekonomi agar mampu mengungkapkan nilai input dan output berkenaan dengan uang. Untuk menentukan efisiensi, penting mengetahui biaya-biaya input seperti materi pengajaran dan gaji para guru. Ketika output juga dapat diungkapkan dalam istilah keuangan, maka penentuan efisiensi menyerupai análisis untung rugi [cost-benefit analyst^ (Lockheed, 1988, him. 4). Akan tetapi, harus dicatat, bahwa implementasi

10

karakterisasi ekonomi mengenai efektìvitas sekolah yang disebutkan di atas secara kaku juga akan menghadapai banyak masalah. Analisis mengenai efisiensi dan efektìvitas tersebut dimulai dengan pertanyaan tentang bagaimana kita hams mendefinisikan 'output yang diinginkan' dari suatu sekolah, sekalipun kita berkonsentrasi pada pengaruh jangka pendek. Misalnya, 'produksi' atau hasil sekolah menengah dapat diukur dengan jumlah murid yang berhasil mendapatkan ijazah yang diserahkan sekolah. Dengan begitu, unit pengukurannya adalah murid setelah lulus ujian akhir. Akan tetapi, sering kali kita mencari pengukuran yang lebih tepat, yang dalam kasus ini, relevan untuk melihat, misalnya, pada peringkat yang dicapai para murid dalam berbagai mata pelajaran ujian mereka. Ditambah lagi, ada berbagai pilihan yang dibuat berkenaan dengan lingkup pengukuran efektìvitas. Apakah hanya prestasi ketrampilan dasar saja yang harus dikaji? Apakah juga mungkin memperhatikan proses kognitif yang lebih tinggi? Dan tidakkah juga hasil afektif dan/ atau sosial dalam pendidikan dapat dinilai sedemikian rupa? Permasalahan lain sehubungan dengan análisis ekonomi mengenai sekolah meliputi kesulitan menentukan nilai moneter dari input dan proses, serta tidak adanya kejelasan umum tentang bagaimana proses produksi beroperasi (justru pengukuran teknis dan prosedural diperlukan untuk mencapai oul/>ul maksimum). Selaras dengan pertanyaan tentang kegunaan definisi efektìvitas dalam istilah ekonomi, pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah menganggap sekolah sebagai suatu unit produksi dapat diterima. Pandangan teoritis tentang efektìvitas organisasi Para ahli teori organisasi kerapkali menganut tesis bahwa efektìvitas organisasi tidak bisa digambarkan dengan pengertian

11

cara langsung. Melainkan, beragam sikap merupakan hai yang biasa berkenaan dengan penafsiran terhadap konsep yang sedang dibicarakan ini. Dengan demikian, diasumsikan bahwa penafsiran yang dipilih tergantung pada teori organisasi dan kepentìngan kelompok tertentu yang mengajukan masalah efektìvitas (Cameron dan Whetten, 1983, 1985; Faerman dan Quinn, 1985). Oleh karena ini, model-model organisasi utama yang digunakan sebagai latar belakang bagi bermacam-macam definisi efektìvitas akan ditelaah secara singkat. Rasionalitas ekonomi Definisi ekonomi tentang efektìvitas sebagai disebutkan di atas diperoleh dari gagasan bahwa organisasi berfiingsi secara rasional - maksudnya, memiliki tujuan tertentu. Tujuan yang dapat dioperasionalisasikan sebagaimana outputyang akan diraih merupakan dasar untuk memilih kriteria pengaruh (kriteria pengaruh adaiah variabel yang digunakan untuk mengukur pengaruh, seperti prestasi siswa, kesejahteraan para murid, dll.). Ada bukti dari rasionalitas ekonomi ketika tujuan-tujuan dirumuskan sebagai output dari proses produksi utama sekolah tersebut. Dalam mengfungsikan suatu sekolah secara keseluruhan, sekolah lain, sekolah berbeda dan tujuan juga dapat memainkan sebagaian peran, seperti halnya kebijakan yang jelas dan tegas untuk meningkatkan jumlah pendaftaran. Bahkan berkenaan dengan tipe sasaran ini, suatu sekolah dapat beroperasi secara rasional, walaupun dia jatuh di luar penafsiran spesifik yang diberikan oleh rasionalitas ekonomi. Efektìvitas yang didefinisikan menurut rasionalitas ekonomi juga dapat diidentifikasi sebagai produktivitas organisasi. Tyler (1950) memberikan contoh yang baik sekali mengenai model rasional atau model yang berorientasi tujuan, yang digunakan baik untuk pengembangan kurikulum maupun untuk evaluasi pendidikan. Jika seseorang mempertimbangkan model-model organisasi lainnya,

12

untuk dibahas secara singkat, maka model rasionalitas ekonomi boleh jadi ditolak baik karena simplistik juga karena di luar jangkauan. Sudah sangat terkenal dalam bidang pengajaran betapa sulit mencapai kesamaan pandangan tentang tujuan, bagaimana cara menerapkan dan bagaimana pula mengukurnya. Ditinjau dari sudut bahwa nilai-nilai lain di luar produktivitas adalah juga sama pentingnya bagi organisasi untuk berfungsi, maka model rasional dianggap simplistik. Model sistem organik Menurut model sistem organik, organisasi-organisasi yang ada dapat dibandingkan dengan sistem biologis yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Karakteristik utama pendekatan ini adalah bahwa organisasi dianggap saling berinteraksi secara terbuka dengan lingkungannya. Dengan begitu, mereka tidak perlu menjadi objek manipulasi lingkungan yang pasif tetapi mereka sendiri bisa secara aktif menggunakan pengaruh pada lingkungan itu. Perlu disebutkan bahwa sudut pandang ini sebagian besar terkait dengan 'kelangsungan hidup' organisasi dalam suatu lingkungan yang kadang-kadang bermusuhan. Implikasinya bahwa organisasi harus bisa fleksibel, yakni mengamankan sumber daya penting dan input lainnya. Dengan demikian, menurut model ini, fleksibelitas dan kemampuan beradaptasi merupakan prasyarat paling penting bagi efektivitas, yaitu untuk kelangsungan hidup. Efektivitas sekolah kemudian bisa diukur menurut pemasukan tahunan, yang jika mungkin, sebagiannya, bisa disandarkan pada pengumpulan daña secara intensif atau pemasaran sekolah. Bagaimanapun juga asingnya pandangan tentang efektivitas pada awalnya, namun pandangan ini didukung oleh seluruh bidang ilmiah yang berbeda: ekonomi mikro dari sektor publik. Niskanen (1971) memperlihadcan bahwa organisasi-organisasi

13

sektor publik, terutama yang ditargetkan dapat memaksimalkan anggaran dan bahwa ada insentif eksternal yang tidak mencukupi bagi organisasi-organisasi tersebut -termasuk sekolah—Itulah yang mendorong efektivitas dan efísiensi. Dalam konteks ini menarik untuk diperiksa apakah aktivitas pengumpulan daña sekolah sebagian besar didorong oleh adanya kebutuhan akan fasilitas yang dibutuhkan [inpuij atau penyajian data output seperti hasil-hasil ujian pada tahun-tahun sebelumnya. Akhirnya, harus juga disebutkan bahwa walaupun model sistem organik cenderung ke arah input, tetapi hai ini tidak mesti harus meniadakan perhatian untuk memuaskan outputs. Ini mungkin kasus dalam situasi di mana lingkungan membuat ketersediaan input bergantung pada kuantitas dan/atau kualitas prestasi sebelumnya (output). Pendekatan hubungan manusia dalam organisasi Jika dalam sistem terbuka persepsi mengenai organisasi ada kecenderungan menuju arah lingkungan, maka dalam apa yang disebut pendekatan hubungan manusia mata analis organisasi terfokus ke dalam (inward). Aliran pemikiran organisasi yang agak klasik ini hingga tingkat tertentu tetap utuh, bahkan dengan karakterisasi organisasi yang lebih mutakhir. Dalam konsep Mintzberg mengenai birokrasi profesional, terdapat beberapa aspek pendekatan hubungan manusia, yakni penekanan pada kesejahteraan individu dalam suatu organisasi, pentingnya konsensus, hubungan kolegial, pentingnya motivasi dan pengembangan sumber daya manusia (Mintzberg, 1979). Dan perspektif ini, kepuasan kerja para pekerja dan keterlibatan mereka dalam organisasi merupakan kriteria yang tepat untuk mengukur karakteristik organisasi yang paling diinginkan. Para ahli teori organisasi yang berbagi pandangan ini menganggap kriteria tersebut sebagai kriteria efektivitas.

14

Birokrasi Masalah terpenting berkenaan dengan administrasi dan struktur organisasi, khususnya organisasi seperti sekolah yang mempunyai banyak sub-unit relatif otonom, adalah bagaimana cara menciptakan keseluruhan organisasi harmonis. Cara untuk ini dapat diberikan melalui interaksi sosial yang sesuai dan kesempatan untuk pengembangan profesional dan personal (lihat pendekatan hubungan manusia). Cara kedua diberikan melalui pengaturan, penetapan secara jelas dan formalisasi hubunganhubungan sosial tersebut. Prototipe suatu organisasi di mana posisi dan tugasnya diorganisir secara formal adalah 'birokrasi'. Dari perspektif ini, kepastian dan kesinambungan struktur organisasi yang ada merupakan kriteria efektivitas. Sudah sangat dikenal bahwa organisasi birokratis cenderung menghasilkan birokrasi yang lebih besar. Motif yang mendasari di balik ini adalah untuk memastíkan kesinambungan itu atau, masih lebih baik, jika untuk pertumbuhan salah satu departemennya. Motif kesinambungan ini dapat mulai beroperasi sebagai kriteria pengaruh dalam dirinya. Model organisasi politik Para ahli teori organisasi tertentu melihat organisasi sebagai medan perang politik (Pfeffer dan Salancik, 1978). Menurut pandangan ini, manajemen, para pekerja individu dan staf departemen menggunakan tugas-tugas dan tujuan resmi untuk mencapai agenda mereka sendiri yang tersembunyi -atau kurang tersembunyi. Kontak yang baik dengan badán di luar yang kuat dianggap sangat penting untuk kedudukan departemen mereka atau diri mereka sendiri. Dari perspektif politik pertanyaan mengenai efektivitas organisasi secara keseluruhan sukar dijawab. Pertanyaan yang lebih relevan adalah sejauhmana kelompok internal memenuhi permintaan pihak-pihak kepentingan eksternal tertentu tersebut. Dalam kasus sekolah, badán ini

15

bisa j adi berupa badán pengelola sekolah, orang tua, dan/atau masyarakat bisnis lokal. Sudan disebutkan bahwakonsep efektìvitas organisasì tìdak hanya bergantung pada jawaban teoritìs atas pertanyaan bagaimana organisasì 'disatukan' tetapi juga pada posisi golongan yang mengajukan pertanyaan efektìvitas itu. Pada tìtik ini ada perbedaan antara lima pandangan tentang efektìvitas organisasì ini. Berkenaan dengan model sistem organik dan rasionalitas ekonomi, manajemen organisasi merupakan 'aktor' utama yang mengajukan pertanyaan efektìvitas itu. Sepanjang model lainnya diperhatikan, pimpinan departemen dan para pekerja individu merupakan aktor-aktor yang berupaya mencapai pengaruh tertentu. Dalam Tabel 3 di bawah disimpulkan karakteristìk utama model-model teoritìs yang berbeda mengenai efektìvitas sekolah. Tabel 3. Model-model efektìvitas organisasi Latar Belakang teoritìs

Kriteria efektìvitas Tingkat pada Bidang perhatian masalah efektìvitas utama yang ditanyakan

(Bisnis) rasionalitas ekonomi

Produktivitas

Organisasi

Output dan faktor penentunya

Teori sistem organik

Kemampuan menyesuaikan diri

Organisasi perolehan

Perolehan input yang penting

Pendekatan hubungan manusia

Keterlibatan

Anggota individu Motivasi + organisasi

16

Teori birokrasi; teori anggota sistem; teori sosia!, psikologi, homeostatic

Kesinambungan

Organisasi + individual

Struktur formal

Teori politik tentang bagaimana organisasi berjalan

Responsivitas terhadap stakeholder eksternal

Sub-grup dan individual

Independensi, kekuasaan

Oleh karena itu, ketika dihadapkan pada beragam pandangan tentang efektivitas yang ada dalam teori organisasi, sudut pandang mana yang perlu kita diadopsi? Perlukah kita raempertimbangkan bahwa ada beberapa bentuk efektivitas, perlukah suatu pilihan dibuat, atau apakah mungkin mengembangkan konsep efektivitas yang mencakup semua berdasarkan pada beberapa pandangan yang berbeda-beda? Untuk membicarakan pertanyaan ini pembaca dirujukkan kepada Scheerens (1992) dan Scheerens dan Bosker (1997). Dan perspektif perencanaan pendidikan di negara-negara sedang berkembang, posisi yang paling menguntungkan kelihatannya hanya satu di mana produktivitas, menurut kuanütas dan kualitas output sekolah, dapat dilihat sebagai kriteria terakhir dan kriteria lainnya dilihat baik sebagai prasyarat (responsiveness) maupun 'maksud' (kriteria yang mengacu pada kondisi organisasi seperti kepuasan guru). Dalam penggunaan terapan dasar pengetahuan tentang efektivitas sekolah (akan dibahas dalam bab berikut), seperti disain dan penggunaan sistem evaluasi dan monitoring, pandangan tentang efektivitas organisasi yang lebih luas dapat berperan sebagai dasar konseptual bagi pengembangan indikator pendidikan.

17

Mode-mode Pendidikan yang diterima di sekolah, sebagai jalan masuk untuk meningkatkan efektivitas Padabagian sebelumnya telah diperlihatkan bahwakonsep efektivitas sekolah secara keseluruhan bisa didefinisikan dengan cara berbeda tergantung pada kriteria normatif yang berhubungan dengan berbagai aliran pemikiran dalam ilmu pengetahuan organisasi. Ini mendorong diskusi tentang pilihan kriteria atau tipe 'pengaruh' yang akan diukur. Mengingat bahwa efektivitas sekolah merupakan konsep kausal, maka dimensi sebab atau cara harus dipertimbangkan dan juga tipe pengaruh. Ini melibatkan identifikasi dari semua karakteristik perangkat lunak berfungsinya sekolah yang mungkin menyumbang bagi pencapaian pengaruh yang dimaksud. Perspektif yang luas seperti itu diperlukan dalam rangka memperoleh gambaran selengkap mungkin mengenai unsur-unsur dan aspek pendidikan serta berfungsinya sekolah yang secara potensial bisa digunakan untuk meningkatkan efektivitas. Berdasarkan pada pembedaan yang sudah cukup dikenal dalam ilmu pengetahuan organisasi (misalnya, Mintzberg, 1979; De Leeuw, 1982), kategori-kategori berikut dapat digunakan sebagai kerangka untuk membedakan lebih lanjut terhadap unsur-unsur dan aspek-aspek berfungsinya sekolah: Tujuan; •

Struktur posisi atau sub-unit ('Aufbau');



Struktur prosedur ('Ablauf);



Kultur;



Lingkungan organisasi;



Proses dasar organisasi

18

Kondisi-kondisi yang mendahului ini akan dirujuk sebagai mode pendidikan yangditerima di sekolah [modes of schooling. Modemode dianggap sebagai kondisi yang, pada prinsipnya, dapat digerakkan oleh sekolah itu sendiri atau para agen di luar sekolah yang mengendalikan sekolah itu. Penyamaan efektivitas secara keseluruhan, yang terdiri dari kondisi-kondisi yang mendahului pada satu sisi dan pengaruh pada sisi lain, dapat dilukiskan seperti dalam Gambar 7. Gambar 1. Gambaran skematik efektivitas sekolah

Kondisi-kondisi yang mendahului pendidikan di sekolah •

Tujuan



Aufbau •»

• Ablauf J

Pengaruh Sekolah

Struktur



Kultur



Lingkungan



Proses dasar

Kriteria normatif

Di antara mode-mode ini, tujuan memiliki peran khusus. Dalam pemikiran efektivitas-organisasi, tujuan-tujuan yang ada dapat dilihat sebagai karakteristik utama yang menentukan tentang konsep efektivitas itu sendiri. Pada bagian sebelumnya telah diperlihatkan bahwa tujuan-tujuan yang berbeda, atau kriteria efektivitas, dapat digunakan untuk menilai efektivitas. Ketika tujuan tidak ditempatkan sebagai hai yang sudah diterima [given) dalam penilaian efektivitas, tetapi lebih sebagai pilihan atau arah yang dapat dipilih oleh organisasi, maka penekanan lebih lanjut dari diskusi ini adalah pada relativitas

19

konsep efektivitas organisasi. Pertanyaannya adalah apakah sebuah organisasi memilih tujuan atau sasaran yang 'benar' dapat dilihat sebagai pertanyaan pokok yang harus didahulukan daripada pertanyaan rasionalitas instrumental, mengenai pencapaian sasaran yang sudah 'given'. Dalam hai ini pembedaan yang sudah dikenal antara 'melakukan sesuatu yang benar' dengan 'melakukan sesuatu dengan benar' menjadi taruhannya. Pada gilirannya, pertanyaan tentang 'kebenaran' dari pilihan tertentu dari tujuan-tujuan organisasional yang ada dapat dilihat sebagai instrumen untuk memenuhi permintaan stakeholder dalam lingkungan ekstemal organisasi. Dalam kasus sekolah, misalnya, hal-hal tersebut mungkin merupakan tuntutan dari masyarakat lokal atau dari asosiasi-asosiasi orangtua. Pilihan-pilihan lebih lanjut menurut tujuan yang ada adalah: Prioritisasi ketika menetapkan lebih jauh tujuan secara keseluruhan (dalam kasus sekolah, misalnya, prioritas relatif sasaran kogniüf versus non-kognitif dan penekanan relatif pada mata pelajaran dasar versus mata pelajaran 'lain'); Tingkat atau standar pencapaian tujuan yang dituntut: jika sekolah-sekolah yang ada relatif otonom mereka bisa menetapkan standar absolut, yang akan diraih oleh setìap murici, atau mereka bisa menyesuaikan standar prestasi dengan tingkat permulaan para murid; Apakah tingkat pencapaian [murid] itu disesuaikan atau tidak untuk mengakomodasi tingkat kemampuan para murid yang berbeda-beda. Akhimya, salah satu tugas organisasi mungkin dianggap akan memastikan bahwa tujuan atau target pencapaian dibagi bersama di antara para anggota organisasi. Ini terutama sekali relevan untuk organisasi seperti sekolah, di mana para guru secara tradisional memiliki banyak otonomi. Dalam teori kontrol,

20

fenomena penyatuan tujuan sub-unit organisasi (yaitu departemen dan para guru itu sendiri, dalam kasus sekolah) dikenal dengan 'koordinasi tujuan'. Tentu saja, bukan kapasitas ruang lingkup monografi ini untuk mendiskusikan berbagai mode pendidikan di sekolah secara rinci. Tabel 4 memberikan ikhtisar skematik dari subkategori-sub-kategori yang paling penting. Penyajian lebih terperinci dapat ditemukan dalam Scheerens dan Bosker (1997, Bab 1). 'Seleksi murid' merupakan kondisi yang pada umumnya berada di luar definisi tentang efektivitas sekolah, karena perhatian khusus terhadap nilai tambah dari pendidikan di sekolah, melampaui dan di atas pengaruh kemampuan bawaaan para murid, menjadi menghalangi pertimbangan pilihan ini. Namun, tergantung pada peraturan yang ditentukan oleh unit administratif yang lebih tinggi, adalah merupakan kondisi yang pasti bahwa sekolah bisa diarahkan. Seleküfitas, sebagai cara mengatur pendidikan, dapat dilihat sebagai saingan yang paling penting bagi filosofi bahwa pendidikan di sekolah membuat perbedaan melalui dedikasi staf dan pilihan teknologi tinggi. Tabel 4. Mode-mode pendidikan

Tujuan • Tujuan menurut berbagai kriteria efektivitas Prioritas dalam penentuan tujuan (kognitif - non-kognitif) Aspirasi menurut tingkat pencapaian dan distribusi pencapaian Koordinasi tujuan Aufbau (struktur posisi) Struktur manajemen Struktur dukungan Pembagian tugas dan posisi

21

*

Pengelompokan para guru dan siswa

Ablauf (struktur prosedur)

• • • •

Manajemen Manajemen Manajemen Manajemen Manajemen Kerjasama

umum produksi pemasaran personalia (di antarnya hrm, hrd) keuangan dan administratif

Perencanaan Koordinasi Pengendalian Penilaian

Kultur Pengukuran tìdak langsung • Pengukuran langsung Lingkungan Pertukaran rutin (arus sumber daya, penyerahan produk) • Penyangga Manipulasi aktif Proses dasar Pilihan kurikuler Penyejajaran kurikulum Kurikulum sesuai dengan prestrukturisasi proses pengajaran Seleksi murid Tingkat individualisasi dan diferensiasi Pengaturan pengajaran berkenaan dengan strategi mengajar dan organisasi kelas Sub-perangkat m o d e pendidikan di sekolah y a n g selama ini menjadi fokus penelitian tentang efektivitas sekolah secara empiris akan dibicarakan lebih lengkap d a l a m b a b berikut, di m a n a hasil dari berbagai rangkaian penelitian tentang efektivitas pendidikan disimpulkan. D a l a m p a d a itu, dapat dikatakan b a h w a penelitian tentang efektivitas sekolah secara empiris telah

22

terkonsentrasi pada manajemen produksi, kerjasama, aspekaspek kultur dan semua sub-kategori dari proses dasar. Seperangkat mode yang lebih lengkap, yang diperoleh dari teori organisasi, dianggap berguna untuk memberikan gambaran selengkap mungkin mengenai kondisi-kondisi yang bisa digunakan sebagai jalan bagi peningkatan sekolah. Ringkasan dan Kesimpulan Bab ini, yang menggambarkan peta konseptual tentang efektivitas sekolah, telah mulai mendiskusikan definisi ekonomi mengenai efektivitas. Akan tetapi, sebagian besar penelitian efektivitas sekolah empiris berkonsentrasi pada kajian hubungan antara input non-moneter dan outputjangka pendek, yakni efektivitas teknis dalam istilah Cheng (1993). Pendekatan teoritis tentang efektivitas organisasi telah mengungkapkan macam-macam model, yang masing-masing menekankan pada tipe kriteria yang berbeda untuk menilai efektivitas, dengan kategori utama seperti produktivitas, kemampuan beradaptasi, keterlibatan, kesinambungan, dan responsivitas stakeholder eksternal. Perbandingan cakupan kriteria efektivitas ini dengan model selengkapnya yang digunakan dalam sebagian besar kajian-kajian tentang efektivitas sekolah empiris, menunjukkan bahwa kriteria produktivitas adalah kriteria dominan dalam praktek penelitian yang sesungguhnya. Posisi ini dapat dilegitimasi dari sudut pandang perlunya kriteria cara dengan tujuan, dengan produktivitas yang diambil sebagai kriteria terakhir (Scheerens, 1992). Akan tetapi, posisi seperti itu telah disanggah oleh pengarang lain yang melihat kriteria itu sebagai 'nilai yang saling bersaing' (Faerman dan Quinn, 1985), atau pengarang yang memilih sebuah penafsiran yang lebih dinamis di mana keunggulan berbagai kriteria tunggal akan bergantung pada babak perkembangan organisasi itu sendiri (Cheng, 1993).

23

Jika efektivitas diakui sebagai konsep kausal secara esensial, di mana hubungan maksud-hingga-tujuan {means-to-endrelationship serupa dengan hubungan sebab-akibat [cause-effect relationship, maka kita bisa mempertimbangkan bahwa ada üga komponen utama dalam studi tentang efektivitas organisasi: •

Cakupan pengaruh; Kesempatan aksi yang digunakan untuk mencapai pengaruh tertentu (ditandai sebagai mode pendidikan); Fungsi-fungsi dan mekanisme yang mendasari yang menjelaskan mengapa tindakan tertentu mendorong ke arah pencapain-pengaruh.

Dalam bab ini mode pendidikan di sekolah digambarkan dengan menggunakan kategori-kategori utama anatomi organisasi berikut sebagai kerangka dasar: Tujuan; Struktur organisasi, baik yang berhubungan dengan struktur posisi maupun dengan struktur prosedur (mencakup fungsi manajemen); Kultur; Lingkungan; Proses dasar/teknologi. Masing-masing kategori utama ini diperlakukan sebagai bidang yang, pada prinsipnya, bisa digerakkan atau dipengaruhi oleh sekolah atau agen perubahan ekstemal. Atas perbandingan daftar mode dengan praktek penelitian tentang efektivitas sekolah yang empiris dewasa ini, nampak bahwa struktur prosedural (khususnya manajemen sekolah), seperti juga kondisi kultur dan pengajaran, yang banyak mendapatkan perhatian.

24

Van Kesteren (1996, him. 94) memasukkan sebagian besar perspektif yang telah dibahas dalam bab ini dalam definisinya mengenai efektivitas organisasi: "Efektivitas organisasi adalah hadar yang dimiliki sebuah organisasi, yang didasarkan atas manajemen yang kompeten, sambil menghindari usahayang tidakperlu, di dalam lingkungan tempat di mana organisasi beroperasi yang kurang lebih kompleks, mengelola untuk mengontrol kondisi internal dan lingkungan organisasi, dalam rangka menunjukkan, demi proses transformasi dirinya sendiri, demi output yangdiharapkan oleh konstituen eksternaF (diterjemahkan dari Van Kesteren, 1996, him. 94). Jelaslah bahwa dari definisi ini, sebagaimana dari pembahasan dalam keseluruhan bab ini, bahwa efektivitas sekolah pada intinya dilihat sebagai pokok persoalan sekolah itu sendiri (perspektif manajemen sekolah). Pada saat yang sama, penelitian yang mempertimbangkan pendidikan di sekolah dan faktorfaktor lainnya yang dihubungkan dengan kineija 'nilai tambah' yang relatif tinggi, ketika digeneralisasikan pada sekolah itu sendiri, diasosiasikan dengan performa yang relatif mempunyai "nilai tambah" yang tinggi. Berdasarkan p a d a pola-pola sentralisasi dan desentralisasi di suatu negara (yang mungkin berbeda untuk ranah berfungsinya pendidikan yang berbeda, seperti kurikulum atau pembiayaan), tingkat administratif sekolah di atas atau konstituen-konstituen lainnya yang mempunyai kekuasaan untuk mengambil keputusan atas beberapa kondisikondisi yang mampu meningkatkan efektivitas. Dari perspektif perencanaan pendidikan di tingkat nasional, penting mempertimbangkan isu (de)sentralisasi fungsional. Misalnya, berdasarkan pada kondisi kultural, struktural dan kebijakan secara keseluruhan, harus diputuskan, apakah model-model peningkatan efektivitas pendidikan di sekolah yang menentukan diserahkan sepenuhnya secara 'bebas' ke sekolah itu sendiri atau tidak, atau apakah langkah-langkah dorongan pusat lebih baik.

25

II.

Penelltian: Telaah atas Bukti dari Negara Maju dan Negara Berkembang

Pendahuluan: Rancangan menyeluruh kajian efektivitas pendidikan

R

ancangan pokok penelitian efektivitas-sekolah adalah sekumpulan kondisi yang dapat meningkatkan efektivitas sekolah secara hipotetis serta pengukuran output, yang biasanya dihitung berdasarkan prestasi siswa. Suatu model dasar dapat diambil dan teori sistem, di mana sekolah dilihat sebagai kotak hitam, yang di dalamnya proses atau 'throughput' berlangsung mengubah rancangan dasar ini. Dimasukkannya dimensi lingkungan atau kontekstual melengkapi model ini (lihat Gambar 2). Tugas utama penelitian efektivitas sekolah adalah untuk mengungkapkan dampak karakteristik input yang relevan pada output serta untuk 'membuka' kotak hitam dalam rangka menunjukkan faktor proses atau throughput mana yang 'berfungsi', seperti misalnya dampaknya pada kondisi kontekstual. Di dalam sekolah hai ini membantu membedakan antara tingkat sekolah dan kelas, serta proses pengajaran dan organisasi sekolah yang sesuai.

27

Gambar 2. Model sistem dasar berfungsinya sekolah

''

'' Input

Proses atau 1 hroughput

'' Output

Level Sekolah Level Kelas

Tradisi penelitìan dalam efektìvitas pendidikan bervariasi menurut penekanan yang diletakkan pada berbagai kondisi yang mendahului [antecedenti output pendidikan. Tradisi yang berbedabeda ini juga mempunyai suatu dasar disiplin sendiri-sendiri. Sebutan persamaan [common denominator) dari lima bidang penelitian tentang efektivitas merupakan rancangan pokok, yang menghubungkan output atau outcome pendidikan di sekolah dengan kondisi anteseden (input, proses atau kontekstual). Tradisi penelitìan atau bidang penelitìan berikut ini akan dilihat dalam menyimpulkan hasil penelitìan yang diperoleh dalam negaranegara maju: •

Penelitìan tentang kesamaan kesempatan memperoleh pendidikan dan signifikansi sekolah dalam konteks ini; Kajian ekonomis tentang fungsi produksi pendidikan; Evaluasi atas program compensatory; Kajian mengenai sekolah efektif luar biasa; Kajian tentang efektivitas guru, prosedur pengajaran, dan kelas.

28

Di negara-negara sedang berkembang terdapat keunggulan dari kajian yang kuat mengenai tipe fungsi produksi pendidikan. Sedikit dari kajian tersebut relatif telah diperluas hingga meliputi variabel penga) aran dan organisasi sekolah. BAGIAN 1. BUKTI DARI NEGARA-NEGARA INDUSTRI Hasil Yang Diperoleh Diberbagai Rangkaian Penelitian Tentang Efektivitas-Pendidikan

Efektivitas sekolah dalam penelitian kesempatan pendidikan yang sama Penelitian Coleman mengenai kesempatan memperoleh pendidikan, —laporan akhimya dikenal dengan laporan Coleman yang diterbitkan pada 1966—, menjadi landasan bagi kajian tentang efektivitas sekolah (Coleman et al., 1966). Sementara kajian ini dimaksudkan untuk menunjukkan sejauhmana prestasi sekolah dihubungkan dengan latar belakang sosial dan etnik siswa, pengaruh faktor 'sekolah' yang memungkinkan atas prestasi belajar juga diuji. Dalam survei, tiga c/«iter karakteristik sekolah diukur: yakni, (a) karakteristik guru; (b) fasilitas material dan kurikulum; dan (c) karakteristik kelompok atau kelas di mana para murid ditempatkan. Setelah pengaruh asal etnik dan status sosio-ekonomi murid dihapus secara Statistik, nampak bahwa tiga cluster karakteristik sekolah ini secara bersama-sama menerangkan 10 persen perbedaan antara prestasi murid. Lebih dari itu, bagian lebih besar dari perbedaan 10 persen ini terkait dengan cluster ketiga yang dioperasionalisasikan sebagai rata-rata karakteristik latar belakang murid, yang berarti bahwa, sekali lagi, asal etnik dan sosio-ekonomi -kini didefinisikan di tingkat sekolah— memainkan peran penting. Dalam reaksinya kepada laporan

29

Coleman ada kritik umum mengenai penafsiran terbatas atas karakteristik sekolah. Dalam banyak kasus, hanya karakteristik material yang diacu, seperti jumlah buku di perpustakaan sekolah, umur bangunan, pelatihan para guru, gaji guru dan besaran belanja per murid. Meskipun demikian, karakteristik lain dimasukkan dalam survei Coleman, seperti sikap kepala sekolah dan guru terhadap para murid dan sikap guru terhadap pendidikan terpadu, yaitu pengajaran multirasial dan tanpa perbedaan golongan (dalam pengertian sosial). Kajian lain berskala besar juga terfokus terutama sekali pada penyediaan data tentang persamaan kesempatan, seperti kajian Hauser, Sewell dan Alwin (1976). Yang terakhir ini juga menunjukkan korelasi relatif tinggi antara karakteristik sosio-ekonomi dan keluarga etnik pada satu sisi, dan pencapaian pembelajaran pada sisi lain, yang dibandingkan dengan pengaruh kecil atau bahkan tak berarti dari karakteristik sekolah dan pengajaran. Hasilnya dikritik oleh para pendidik karena pilihan karakteristik sekolah yang agak terbatas, dan juga alasan-alasan metodologis (dikutip dari Aitkin dan Longford, 1986), yaitu karena asosiasi multi-level tidak dianalisis dan dimodelkan secara tepat Kajian ekonomi tentangfiingsiproduksi pendidikan Fokus pendekatan ekonomi terhadap efektivitas sekolah adalah pertanyaan input perangkat lunak mana yang dapat meningkatkan output. Jika ada pengetahuan yang dapat dipercaya tentang sejauhmana seleksi input dihubungkan dengan seleksi output, maka dimungkinkan untuk mendefinisikan suatu fungsi yang akan menandai proses produksi dalam sekolah —yaitu suatu fungsi yang bisa menunjukkan dengan tepat bagaimana suatu perubahan input akan mempengaruhi output. Tradisi penelitian ini dapat diidentifikasi dengan ungkapan 'studi input-output' atau dengan ungkapan 'penelitian fungsi

30

produksi pendidikan'. Model penelitian untuk studi produksi yang berkaitan dengan ekonomi hampir tidak berbeda dengan jenis penelitian tentang efektivitas lainnya: hubungan antara karakteristik lunak sekolah dan prestasi yang dikaji di mana pengaruh dari kondisi latar belakang sosial seperti kelas sosial dan kecerdasan murid dihapuskan sejauh mungkin. Sifat spesifik penelitian fungsi produksi adalah konsentrasi pada apa yang dapat ditafsirkan dengan pengertian lebih harfiah sebagai karakteristik input hubungan guru/murid, pelatihan guru, pengalaman guru, gaji guru dan belanja per murid. Pengamatan terakhir dalam jenis penelitian ini cenderung mengemukakan bahwa predictor efektivitas yang dikenali dari penelitian psikologi pendidikan parut diperhitungkan (Hanushek, 1986). Haruslah dicatat bahwa laporan Coleman (Coleman et al., 1966) sering dimasukkan dalam kategori studi input-output. Mengingat penekanannya pada karakteristik sekolah yang lebih material, maka penggabungannya merupakan satu hai yang nyata. Temuan jenis penelitian ini sering dianggap mengecewakan. Studi yang bertujuan meninjau ulang {review), seperti dilakukan Hanushek (1986), menghasilkan kesimpulan yang sama: temuan yang tidak konsisten di seluruh penelitian yang ada dan pengaruh yang tidak cukup pada sebagian besar variabel input yang relevan. Dalam analisa ulang mereka atas seperangkat data Hanushek (1986), Magari et. al. (1994) menyimpulkan, bahwa meskipun demikian ada pengaruh belanja per murid pada "pentingnya pelaksanaan yang sungguh-sungguh" (peningkatan PPE $510 akan dihubungkan dengan 0.7 s.d. peningkatan hasil siswa). Bagaimanapun, kesimpulan ini pada gilirannya dipertentangkan oleh Hanushek.

31

label 5, dikutìp dari Hanushek, 1997, menyajikan ikhtisar 'hitungan suara' yang paling mutakhir tentang studi-studi fungsi produksi pendidikan. Tabel 5. Distribusi persentase estimasi pengaruh sumber daya kunci pada prestasi siswa, berdasarkan pada 377 studi (dikutip dari Hanushek, 1997, him. 144)

Signiiìk:in secara secara Statistik Sumber Daya

Jumlah estimasi

Positif

Négatif

Tidak signifìkan secara Statistik Positif

Négatif

Tanda Samar

Sumber daya kelas riil • Rasio guru/murid • Pendidikan guru • Pengalaman guru

277 171 207

15% 9 29

13% 5 5

27% 33 30

25% 27 24

20% 26 12

Agrégat keuangan • Gaji guru • Belanja per murid

119 163

20% 27

7% 7

25% 34

20% 19

28% 13

Penafsiran Hanushek atas hasil riset ini adalah bahwa seseorang dapat mempunyai sedikit kepercayaan diri yang menambah lebih banyak lagi berbagai sumber daya spesifik atau, sebenarnya, agrégat keuangan, akan mendorong ke arah peningkatan prestasi siswa. Variabel yang menunjukkan proporsi pengaruh positif paling tinggi adalah pengalaman guru tetapi, di sini, 'penyebab sebaliknya' bisa ikut memainkan peran, karena para guru yang lebih berpengalaman mungkin memilih sekolah dengan para murid berprestasi lebih baik (ibid., him. 144). Dalam tinjauan lainnya, misalnya Verstegen dan King (1998), memberi penafsiran yang lebih positif kepada sebagian besar seperangkat studi yang sama seperti yang juga dianalisa Hanushek (1997). Selama dekade yang lalu, beberapa studi yang

32

menaruh perhatian pada fakta bahwa faktor input sumber daya tertentu menunjukkan asosiasi positif yang signifikan dengan prestasi murid atau hasil pendidikan lainnya, yang paling penting dari hai tersebut sebagai berikut: Card dan Krueger ( 1992), yang menunjukkan asosiasi positif antara sumber daya sekolah dan perbedaan pendapatan antara para pekerja; Hedges, Laine dan Greenwald (1994) yang melakukan meta-analisa Statistik tentang sub-set perangkat data data Hanushek 1979 dan menemukan pengaruh signifikan bagi beberapa variabel input sumber daya, yang di antaranya pengaruh positif agak besar dari belanja per murid; Ferguson (1991), yang terutama sekali menemukan pengaruh variabel yang besar yang berhubungan dengan kualifikasi guru (khususnya skor uji resertifikasi guru); dan Achilles (1996) yang melaporkan pengaruh terus-menerus dari ukuran kelas yang dikurangi (14-16 dibandingkan dengan 22-24) di taman kanak kanak dan tiga pertama nilai sekolah dasar) pada prestasi siswa. Perbedaan penafsiran ini hingga tìngkat tertentu adaiah semacam: 'cangkir setengah penuh' dibandingkan dengan 'cangkir setengah kosong', digambarkan oleh presentasi Verstegen dan Milik King (1998) presentasi dalam Täbelß, dikutip dari Hanushek, 1997.

33

Tabel 6. Sumbangan Verstegen dan King (1998) terhadap tabulasi Hanushek (1997, him. 144)

Distribuai persentase estimasi pengaruh signifikan sumber daya kunci pada prestasi siswa, berdasarkan 377 studi Signifikan secara Statistik Jumlah Positif (%) estimasi (no.)

Négatif (%)

Sumber daya kelas riil • Rasio guru/murid • Pendidikan guru • Pengalaman guru

78 24 70

54 64 85

46 36 15

Agrégat keuangan • Gaji guru • Belanja per murid

32 55

74 79

26 21

Dengan menghilangkan proporsi besar studi yang menunjukkan hasil yang tidak signifikan, dan 'menambah' jumlah studi relatif kecil yang menunjukkan hasil persentase signifikan, pengarang ini nampaknya jeli melihat (atau membangun) sisi hai yangjelas. Sayangnya, seperti dalam jenis studi tentang efektivitas pendidikan lainnya, kritikus dan mereka yang mempunyai penafsiran lebih konservatif nampaknya mempunyai argumen paling baik. Hanushek, 1997, telah mendaftar sebagian besar dari mereka. •

Ketika pengukuran hasil ( outcome), seperti skor prestasi siswa, disesuaikan secara tepat untuk karakteristik latar belakang

34

siswa, dan indikator outcome 'nilai tambah' digunakan, tnaka jumlah pengaruh positif menurun. Jika data pada tìngkat agregasi tinggi (misalnya negara itu sendiri) digunakan, maka bias salah spesifikasi mungkin akan menghasilkan pernyataan yang berlebihan mengenai pengaruh (kritik ini akan berlaku bagi studi Ferguson dan Card dan Krueger). Masalah ini sering terjadi untuk variabel belanja per murid yang biasanya hanya didefinisikan di tingkat daerah. Dalam meta-analisa Statistik hipótesis null (gagal) adalah bahwa perbedaan sumber daya atau belanja, di bawah kondisi apapun juga, tidak pemah mempengaruhi prestasi siswa; dengan jelas hipótesis ini akan ditolak, bahkan pada kasus di mana hanya sebagian kecil studi yang menunjukkan asosiasi positif yang signifikan dengan variabel outcome. Banyak tinjauan ulang terbaru atas bukti penelitian tentang studi fungsi produksi pendidikan menyebutkan perlunya mencari jawaban atas pertanyaan 'mengapa uang berarti atau tidak berarti', misalnya dengan mencari kombinasi dan interaksi antara tingkat input sumber daya dan variabel pengajaran serta organisasi sekolah. Dalam koleksi artikel terbaru tentang ukuran kelas (Galton, 1999), acuan dibuat bagi perbedaan antara kultur pendidikan dengan sejuhmana kelas yang besar dianggap suatu beban bagi para guru. Perluasan lain yang diinginkan dari jenis studi mengenai fungsi produksi pendidikan dasar adalah membicarakan masalah efektivitas biaya lebih secara langsung, yang membandingkan rasio efektivitas biaya atau bahkan cost-benefit bagi pengukuran kebijakan yang berbeda. Perbandingan studi fungsi produksi pendidikan antara negara industri dengan negara sedang berkembang terutama sekali menarik, karena fenomena 'pembatasan jarak' (misalnya, sedikitnya perbedaan gaji guru

35

antar sekolah) mungkin akan menekan pengaruh pada sistem persekolahan yang relatif homogen. Hasil dari studi tentang fungsi produksi pendidikan pada negara-negara yang sedang berkembang akan disajikan dalam bagian berikut. Evaluasi Program Kompensatori Program compensatory mungkin dilihat sebagai cabang aktif dalam bidang kesempatan memperoleh pendidikan yang sama. Di Amerika Serikat, program compensatory seperti Head Start merupakan bagian dari program Presiden Johnson yang menyatakan 'perang terhadap kemiskinan'. Program Amerika besarbesaran lainnya adalah Follow-Through — sambungan Head Startdan program pembangunan nasional khusus yang dihasilkan darijudul 1 Act Pendidikan Dasar dan Lanjutan, yang ditetapkan pada 1965. Program compensatory dimaksudkan untuk meningkatkan tingkat kinerja mereka yang secara pendidikan kurang beruntung. Pada tahun enampuluhan akhir dan awal tujuhpuluhan ada juga program serupa di Netherlands, mencakup proyek Inovasi Amsterdam, Proyek Eksperimen Kelompok bermain, proyek Lingkungan Sosial dan Pendidikan Rotterdam (OSM) dan proyek Pendidikan Diferensiasi (GEON) kota besar Utrecht. Program compensatory menggerakkan kondisi-kondisi sekolah dalam rangka menaikkan tingkat prestasi kelompok murid yang tidak diuntungkan. Derajat sukses program ini telah ditunjukkan tergantung pada seperangkat faktor serupa secara dasar yang seperti apa yang diidentifikasi dalam untaian lain pada penelitian tentang efektivitas pendidikan. Bagaimanapun, memperbaiki keseimbangan dengan program compensatory efektif telah terbukti lebih sulit ketimbang yang telah diharapkan. Sesungguhnya, tidak ada sukses berlimpahan

36

yang bisa dibentuk. Ada perdebatan yang hangat di seputar bagaimana studi evaluasi yang ada hams ditafsirkan. Pertanyaan kuncinya adalah: apakah hasil-hasil studi tersebut dapat secara realistis diharapkan dari ganti rugi pendidikan, memberi pengaruh yang dominan pada akhirnya latar belakang keluarga dan keserasian teori pada üngkatan pencapaian muriti? Scheerens (1987, p. 95) menyimpulkan bahwa kesan umum yang disajikan oleh evaluasi program kompensatori adalah bahwa kemajuan kecil di dalam capaian dan pengembangan teori dapat dibedakan dengan seketika setelah suatu program selesai. Umumnya, efek jangka panjang dari program ganti rugi tidak bisa dibentuk. Lebih dari itu, sekali-kali ditunjukkan bahwa itu 'secara moderat' kurang beruntung karena kebanyakan keuntungannya diambil dari program-program yang ada, sedangkan para murid yang secara pendidikan kurang beruntung dapat membuat kurang maju. Menurut variasi program yang bersifat kompensatori, dalam kalimat sederhana, studi-studi evaluasi memberi beberapa tilikan (insight) ke dalam mana saja jenis-jenis ketetapan bidang pendidikan yang terbaik. Ketika membandingkan berbagai komponen [program] Sisipan Lanjutan (Follow Through), program yang diarahkan pada upaya mengembangkan ketrampilan dasar seperti kemampuan berbahasa dan matematdka, dan bagaimana menggunakan metoda yang sangat terstruktur, ternyata mampu memunculkan pemenang (Stebbins et al., 1977; Bereiter dan Kurland, 1982; Haywood, 1982). Evaluasi yang terbaru terhadap program yang terstruktur pada pelajaran dasar membaca di AS, seperti program Sukses untuk Semua (Success for All), membenarkan kesimpulan ini (Slavin, 1996). Dalam banyak kasus, ketika menginterpretasikan hasil-hasil evaluasi dari program-program kompensatori seseorang perlu mengingat bahwa penemuan telah terbentuk bagi populasi murid tertentu: misalnya, anak-anak yang sangat muda (bayi atau tahun per-

37

tama sekolah dasar) dari keluarga besar kelas yang berfungsi secara menguntungkan. Penelitian sekolah efektif Penelitian yang dikenal di bawah label seperti 'mengidentifikasi sekolah efektif' atau 'gerakan sekolah efektif dapat dianggap sebagai yang terdekat ke inti penelitian tentang efektivitas sekolah. Dalam survei Coleman dan Jenck, ketidaksamaan kesempatan dalam memperoleh pendidikan merupakan masalah pokok. Dalam studi input-output yang terkait dengan ekonomi, sekolah bahkan dipahami sebagai 'kotak hitam'. Dalam penelitian yang belum akan didiskusikan tentang efektivitas kelas, guru dan metode pengajaran, karakteristik pendidikan tentang tingkat agregasi yang lebih rendah di banding sekolah merupakan obyek penelitian utama. Penelitian tentang sekolah efektif biasanya dianggap sebagai tanggapan atas hasil studi seperti yang dilakukan Coleman dan Jenck, yang disimpulkan bahwa sekolah tidak berarti sangat banyak dalam kaitannya dengan perbedaan tingkat prestasi. Dari judul seperti 'Sekolah dapat m e m b u a t p e r b e d a a n ' (Brookover et al., 1979) dan 'Persoalan-persoalan Sekolah' (Mortimore et al., 1988), nampak bahwa menyangkal pesan ini adalah sumber inspirasi yang penting bagi jenis penelitian ini. Corak yang paling membedakan dari penelitian tentang sekolah yang efektif adalah kenyataan bahwa ia mencoba membuka 'kotak hitam' sekolah dengan jalan mempelajari karakteristik yang berhubungan dengan organisasi, format dan isi sekolah. Hasil awal penelitian tentang sekolah yang efektif memusat kurang lebih di sekitar lima faktor berikut ini: •

Kepemimpinan pendidikan yang kuat;



Penekanan pada perolehan ketrampilan dasar;

38



Lingkungan yang rapi dan aman; Harapan pencapaian murid yang tinggi;



Penilaian tentang kemajuan murid.

Dalam khazanah literatur, persoalan ini kadang-kadang diidentifikasi sebagai 'model lima faktor efektivitas sekolah'. Haruslah disebutkan bahwa penelitian tentang sekolah yang efektif sebagian besar dilakukan untuk sekolah dasar, sedangkan pada saat yang sama studi kebanyakan telah diselenggarakan di dalam kota dan terutama di kelas-kelas tetangga kota yang berfungsi. Dalam kontribusi yang lebih mutakhir, penelitian tentang sekolah yang efektif telah diintegrasikan dengan fungsi produksi pendidikan dan penelitian tentang efektivitas pengajaran, yang berarti bahwa campuran kondisi anteseden dimasukkan. Studi sudah meningkat dari studi kasus komparatif ke studi survei, dan modeling konseptual dan multi-level analitis telah digunakan untuk menganalisis dan menginterpretasikan hasil-hasil riset tersebut. Banyak studi yang bersifat review terhadap efektivitas sekolah telah diterbitkan sejak akhir tujuhpuluhan. Misalnya oleh Purkey dan Smith (1983) serta Ralph dan Fennessey (1983). Studi review yang lebih mutakhir dilakukan oleh Levine dan Lezotte (1990), Scheerens (1992), Creemers (1994), Reynolds et. al. (1993), Sammons et. al. (1995), dan Cotton (1995). Sudut pandang focal dari studi-studi yang bersifat review tersebut adalah pertanyaan tentang 'apa yang berfungsi'; yang secara apikal review itu menyediakan daftar kondisi yang dapat meningkatkan efektivitas. Ada konsensus agak lúas dalam review tersebut tentang kategori-kategori utama dari variabel yang akan dibedakan sebagai kondisi yang dapat meningkatkan efektivitas, bahkan

39

ketika seseorang membandingkan lebih awal dengan reviewreview yang lebih mutakhir. Tabel 7meringkas karakteristik yang didaftar dalam review yang dilakukan oleh Purkey dan Smith (1983), Scheerens (1992), Levine dan Lezotte (1990), Sammons et al. (1995), dan Cotton (1995). Tabel 7. Kondisi yang dapat Meningkatkan Efektivitas Pendidikan dalam lima studi Review (huruf miring dalam kolom studi Cotton mengacu pada sub-kategori) Purkey dan Smith, 1983

Levine dan Lezotte, 1990

Kebijakan Berorientasi

Budaya dan Iklim yang produktif

Atmosfir kerja sama, iklim tertib

Cotton, 1995

Sammons, Human dan Mortimore, 1995

Tekanan untuk b e rp restasi

Rencana dan Tujuan belajar

Berbagi Tujuan dan Visi

Konsensus, perencanaan kerja sama, suasana teratur

Perencanaan dan pengembangan kurìkulum

Lingkunran belajar, penguatan positif

Perencanaan dan tujuan pengajaran

Kon sentrasi pada pengajaran

Penilaian (tingkat daerah, sekolah, kelas)

Monitoring kemajuan

Pengembangan profesional belajar secara kolektif

Organisasi belajar

Scheerens, 1992

Tujuan jelas ketrampìlan dasar

Fokus pada pusat keterampilan pembe tajaran

Evaluas i yang sering

Monitoring yang tepat

In-service training/ pengembangan s taf

Pengembangan staf yang berorientasi praktek

Kepemimpinan yang kuat

Kepemimpinan outstanding

Kepemimpinan pendidikan

Manajemen sekolah Kepemimpinan dan organisasi, profesional kepemimpinan dan peningkatan sekolah, kepemimpinan dan perencanaan

Keterlibatan orang tua secara diam-diam

Dukungan orang tua

Keterlibatan komunitas orang tua

Evaluas i potensi sekolah, monitoring kemajuan mu rid

40

pembe laj aran

Kemitraan sekolah-rumah

Waktu tugas, penguatan, beni rutan

Aransemen pengajaran efektif

Harapan tinggí

Harapan tinggi

Pengajaran terstruktuí, waktu pembelajaran efektif, kesempatan belajar

Manajemen kelas dan organisasi, pengajaran

Pengajaran bertujuan

Interaksi murid guru

Harapan tinggi

Hak dan tanggungjawab murid Interaksi sekolah-distrik Equity Program khusus Stimuli ekstemal untuk membuat sekolah efektif Karakteristik material dan fisik sekolah Pengalaman guru Karakteristikkarakteristik dalam konteks sekolah

Konsensus terbesar berhubungan dengan faktor-faktor berikut: •

orientasi prestasi (yang berhubungan erat dengan 'harapan yang tinggi'); kerjasama;



kepemimpinan pendidikan;



monitoring yang sering;

41



waktu, kesempatan belajar dan 'struktur' sebagai kondisi pengajaran utama.

Konsensus tentang karakteristik umum ini menyembunyikan penyimpangan yang pantas dipertimbangkan dalam operasionalisasi nyata tiap-tiap kondisi. Dengan jelas konsep seperti 'produktif, iklim berorientasi prestasi' dan 'kepemimpinan pendidikan' adalah kompleks, dan studi individu boleh jadi beragam fokus mereka. Scheerens dan Bosker (1997, Bab 4) memberikan suatu analisa atas faktor yang dipertimbagkan bekerja dalam pendidikan, sebagaimana nampak dari daftar pertanyaan yang nyata dan skala yang digunakan dalam 10 studi empiris efektivitas sekolah. Tabel ringkasan mereka, di mana komponen utama dari 13 faktor umum disebutkan, dikutip di bawah sebagai Tabel 8. Tabel 8. Komponen dari 14 Faktor yang Meningkatkan Efektivitas Faktor

Komponen

Prestasi, orientasi, harapan tinggi

• • • •

Kepemimpinan Pendidikan

• • • • • •

fokus yangjelaspadapenguasaan mata pelajaran dasar harapan tinggi (tingkat sekolah) harapan tinggi (tingkat guru) arsip tentang prestasi murid

ketrampilan kepemimpinan umum pemimpin sekolah sebagai penyedia informasi orchestrator atau pengambilan keputusan partisipatif pemimpin sekolah sebagai koordinator meta-controller proses kelas waktu digunakan untuk kepemimpinan administratif dan pendidikan • penasihat dan pengontrol kualitas guru kelas • pemrakarsa dan fasilitator profesionalisasi staf

42

Konsensus dan kohesi antar staf

* Jenis dan frekuensi pertemuan-pertemuan dan konsu Itasi * muatan kerjasama * kepuasan tentang kerjasama * arti penting yang berhubungan dengan kerjasama * indikator kerjasama yang sukses

Kualitas kurikulum/ • menentukan prioritas curricular kesempatan belajar • pilihan metode dan buku teks * aplikasi metode dan buku teks * kesempatan belajar * kepuasan dengan kurikulum Iklim sekolah

(a) Atmosfir rapi * arti penting yang berikan kepada iklim rapi * aturan dan peraturan * hukuman dan penghargaan * ketidakhadiran dan drop-out * kelakuan yang baik dan perilaku murid * kepuasan dengan iklim sekolah rapi (b) Iklim dalam kaitan dengan orientasi efektivitas dan hubungan internal yang baik * prioritas dalam iklim sekolah yang meningkatkan efektivitas * persepsi tentang kondisi yang meningkatkan efektivitas * hubungan antara murid * hubungan antara guru dan murid * hubungan antara staf * hubungan: peran guru kepala * keterlibatan murid * penilaian peran dan tugas * penilaian pekerjaan dalam kaitan dengan fasilitas, kondisi tenaga kerja, tugas mengisi/memuat dan kepuasan umum * fasilitas dan bangunan

Potensi evaluatif

* * * * *

penekanan evaluasi monitoring kemajuan murid penggunaan sistem monitoring murid evaluasi proses sekolah penggunaan hasil evaluasi

43

* memelihara arsip tentang kineija murid * kepuasan dengan aktivitas evaluasi Keterlibatan orang tua

* Penekanan pada keterlibatan orangtua dalam kebijakan sekolah • hubungan dengan orang tua * kepuasan dengan keterlibatan orangtua

Iklim kelas

• * * •

Hubungan di dalam kelas tata tertib sikap kerja kepuasan

Waktu belajar efektif

• • • • * * •

pentingnya belajar yang efektif waktu monitoring ketidakhadiran waktu di sekolah waktu di tingkat kelas manajemen kelas pekerjaan rumah

Studi tentang efektivitas pengajaran Rangkaian peneliüan yang paling relevan dengan proses pengajaran dan proses belajar mengajar di kelas untuk topik yang ada adalah studi-studi tentang karakteristik guru yang efektif, dan studi yang memakai nama 'studi hasil-proses'. Kategori studi yang disebut terakhir ini juga diilhami oleh model pengajaran dan pembelajaran Carroll (1963) dan juga model off-shoot, sepertì model 'mastery learning (Bloom, 1976) dan 'pengajaran langsung' (misalnya Doyle, 1985). Hasil penelitian ini telah direview, antara lain, oleh Stallings (1985), Brophy dan Good (1986), dan Creemers (1994), serta disintesiskan secara ku an titatif dalam meta-analisis oleh Walberg (1984), Fraser et al. (1987) dan Wang, Haertel dan Walberg (1993). Pengarang terakhir ini juga memasukkan dalam análisis mereka variabel dari luar situasi kelas, seperti hubungan siswa dengan

44

kelompok kawan sebaya {peer), dan lingkungan rumah (misalnya, nonton televisi), yang diberi judul 'produktivitas pendidikan'. Pada 1960-an dan 1970-an efektivitas karakteristik pribadi tertentu dari para guru diberi perhatian khusus. Medley dan Mitzel, 1963; Rosenshine dan Fürst, 1973 dan Gage, 1965 termasuk dari mereka yang meninjau ulang temuan penelitian itu. Dari ini muncul bahwa hampir tidak ada konsistensi apa pun yang ditemukan antara karakteristik pribadi guru seperti ramah atau sikap kaku pada satu sisi, dan prestasi murid pada sisi lain. Ketika mempelajari gaya mengajar (Davies, 1972), sekumpulan perilaku guru biasanya dilihat lebih dari aspek yang dapat dilacak akar-akarnya secara mendalam dari kepribadian mereka. Di dalam kerangka 'penelitian tentang pengajaran', di situ mengikuti suatu période selama banyak perhatian dicurahkan untuk mengamati perilaku guru selama pelajaran berlangsung. Bagaimanapun, hasil pengamatan ini jarang mengungkapkan suatu hubungan dengan prestasi murid (lihat, misalnya, Lortie, 1973). Dalam tahap berikutnya, perhatian lebih eksplisit diberikan kepada hubungan antara prestasi murid dan perilaku guru yang diamati. Penelitian ini telah diidentifikasi dalam literatur sebagai 'studi proses-produk belajar'. Variabel yang 'betul-betul' muncul di berbagai studi adalah sebagai berikut (Weeda, 1986, hlm.68): •

Kejelasan: penyajian yang jelas yang disesuaikan dengan tìngkat perkembangan kognitif murid; Fleksibelitas: mengubah perilaku mengajar dan bantuan mengajar, pengaturan aktivitas berbeda-beda, dll.;



Gairah: dinyatakan dalam perilaku verbal dan non-verbal guru;

45

Tugas yang berhubungan dan/atau perilaku praktis: mengarahkan murid untuk melengkapi tugas, kewajiban, laühan dan lain-lain dengan cara praktis; •

Kritik: banyak kritik négatif juga berpengaruh négatif pada prestasi murid; Aktivitas tidak langsung: memungut gagasan, menerima perasaan murid serta merangsang aktivitas individu; Memberi kesempatan para murid untuk mempelajari kriterai materi- yaitu, korespondensi yang jelas antara apa yang diajarkan di kelas dengan apa yang diujikan dalam pengujian dan penilaian;



Menggunakan komentar yang merangsang. mengarahkan pikiran murid untuk bertanya, meringkas suatu diskusi, menunjukkan awal atau akhir suatu pelajaran, menekankan corak tertentu materi kursus; Mengubah tingkat pertanyaan kognitif dan interaksi kognitif.

Dalam studi mutakhir tentang waktu pengajaran yang efektif menjadi faktor utama. Titik anjak teoritis ini dapat ditelusuri akar-akamya pada model pengajaran-pembelajaran Carroll (Carroll, 1963). Adapun aspek-aspek utama pada model ini adalah: •

Waktu belajar bersih (nel) yang nyata dilihat sebagai hasil dari ketekunan dan kesempatan untuk belajar; Waktu belajar bersih (neíj yang diperlukan sebagai hasil dari keserasian murid, mutu pendidikan dan kemampuan murid untuk memahami pengajaran.

Model pembelajaran penguasaan yang dirumuskan oleh Bloom pada 1976 sebagian besar diilhami oleh model Carroll, dan itu juga sesuai dengan konsep 'pengajaran langsung' (direct teaching).

46

Doyle (1985) melihat efektìvitas pengajaran langsung, yang dia defìnisikan sebagai berikut: •

Tujuan pengajaran dirumuskan dengan jelas; Maten mata pelajaran yang akan diikuti secara hati-hati dipecah menjadi tugas belajar dan ditempatkan secara berurutan; Guru menjelaskan dengan jelas apa yang harus dipelajari para murid; Guru secara teratur mengajukan pertanyaan untuk mengukur tingkat kemajuan apa yang sedang diraih murid dan apakah mereka sudali memahami;



Para murid mempunyai waktu yang besar untuk berlatih apa yang telah diajarkan, dengan menggunakan 'belajar cepat' [prompt dan umpan balik (feedbacfy; Ketrampilan dilatihkan sampai penguasaannya bersifat otomatis;



Guru secara teratur menguji para murid dan menyerukan mereka bertanggung jawab atas hasil pekerjaan mereka.

Pertanyaan apakah jenis pengajaran sangat terstruktur ini bekerja sama baik untuk memperoleh proses kognitif yang rumit di pendidikan lanjutan perihal penguasaan ketrampilan dasar di tingkat sekolah dasar telah dijawab secara afirmatif (menurut Brophy dan Good, 1986). Namun, dalam setting demudan, kemajuan melalui matapelajaran dapat diambil dengan langkahlangkah lebih besar, pengujian tidak perlu begitu sering dilakukan dan di sana harus ada ruang yang diberikan untuk menerapkan strategi pemecahan masalah secara fleksibel. Doyle (ibid.) menekankan pentingnya tugas belajar yang bermacam-macam dan menciptakan situasi belajar yang menantang secara intelektual. Ini dapat diproduksi melalui iklim evaluatif dalam kelas, di

47

mana metode ambii resiko (risk-takin¿¡ disarankan, bahkan dengan tugas yang rumit. Dalam domain organisasi kelas, meta-analisis Bangert, Kulik dan Kulik (1983) mengungkapkan bahwa pengajaran individualistik pada pendidikan tingkat lanjutan hampir tidak mendorong prestasi yang lebih tinggi dan tidak punya pengaruh apapun juga pada faktor seperti self-esteem dan sikap para murid. Model 'síntesis bukti-terbaik' (best-evidence-syntheses) oleh Slavin (1996) menunjukkan pengaruh positif belajar kerjasama secara signifikan di tingkat sekolah dasar. Meta-analisis Walberg (1984) dan Fraser et. al. (1987) menemukan pengaruh paling signifikan untuk kondisi pengajaran sebagai berikut: •

Penguatan; Program khusus bagi anak-anak berbakat;



Belajar membaca terstruktur; Isyarat dan umpan balik; Penguasaan belajar ilmu fisika;



Bekerja bersama dalam kelompok kecil.

Haruslah dicatat bahwa perspektif teori yang dikembangkan baru-baru ini dan, khususnya, perspektif konstruktivis tentang pembelajaran dan pengajaran, menghadapi tantangan pendekatan yang berorientasi behaviouristik dan hasil-hasil dari tradisi penelitian proses-produk (Duffy dan Jonassen, 1992; Brophy, 1996). Menurut pendekatan konstruktivis, belajar mandili, meta-kognisi (misalnya, belajar untuk belajar), 'belajar aktif, belajar untuk meniru 'perilaku tenaga ahli' ('cognitive apprenticeship1) dan belajar dari situasi kehidupan riil i?situated cognition) harus ditekankan, walaupun efektivitas pengajaran dan pembelajaran menurut prinsip ini belum dengan kuat ditetap-

48

kan. Bagaimanapun, pengarang yang sudah membicarakan persoalan ini (Scheerens, 1994; De Jong dan Vanjoolingen, 1998), menunjukkan bahwa perbandingan secara langsung dengan pendekatan pengajaran lebih terstruktur mungkin rumit, karena pengajaran konstruktivis menekankan tujuan kognitif yang berbeda, pada tatanan yang lebih tinggi. Lebih dari itu, pengajaran terstrukur versus 'terbuka' dan 'aktif mungkin lebih baik dipahami sebagai rangkaian dari campuran aspek-aspek yang terstruktur dan 'terbuka', dan bukan sebagai dikotomi. Integrasi Dari limajenis penelitian pendidikan yang berorientasi efektívitas yang telah diünjau, dua di antaranya terfokus pada karakteristik sekolah 'material' (seperti gaji guru, fasilitas bangunan dan perbandingan guru/murid). Hasilnya agaknya mengecewakan karena tidak ada korelasi positif yang substansial dari investasi material dan prestasi pendidikan ini bisa dibangun dengan cara konsisten menurut studi itu sendiri. Atas dasar studi yang lebih mutakhir agaknya kesimpulan pesimistis ini telah ditantang, walaupun kritik metodologis padanya menunjukkan bahwa kesimpulan pesimistis yang lebih awal itu justru lebih realistis. Studi proses mendalam yang dihubungkan dengan evaluasi besar-besaran atas program kompensatori menunjukkan bahwa program yang menggunakan pendekatan pengajaran langsung, yaitu terstruktur, lebih unggul daripada pendekatan lebih 'terbuka'. Gerakan penelitian yang dikenal dengan penelitian tentang sekolah efektif teladan (atau penelitian sekolah efektif) lebih terfokus pada fungsi internal sekolah ketimbang tradisi lebih awal studi input-output. Studi ini menghasilkan bukti bahwa faktor seperti kepemimpinan pendidikan yang kuat, penekanan pada ketrampilan dasar, iklim yang aman dan rapi, harapan tinggi prestasi murid

49

dan penilaian kemajuan murid yang sering menandakan sekolah efektif tidak biasa. Hasil-hasil riset dalam bidang efektivitas pengajaran diütikberatkan pada seputar tiga faktor utama: waktu belajar efektif, pengajaran terstruktur dan kesempatan untuk belajar, dalam pengertian suatu penjajaran yang dekat an tara materi yang diajarkan dengan materi yang diujikan. Walaupun bermacam-macam nuansa dan ketegasan tersebut harus diperhitungkan ketika menafsirkan hasil umum ini, mereka nampaknya agak wajar —sejauh setting pendidikan dan jenis siswa diperhatikan. Keseluruhan pesannya adalah bahwa penekanan pada matapelajaran dasar, orientasi berorientasi prestasi, lingkungan sekolah yang rapi dan pengajaran terstruktur, yang meliputi penilaian terhadap kemajuan siswa yang sering, adalah efektif dalam pencapaian hasil pembelajaran dalam matapelajaran sekolah dasar. label 9 meringkas karakteristik utama lima tradisi penelitian tersebut. Tabel 9. Karakteristik Umum Lima Jenis Penelitian Tentang Efektivitas Sekolah Tipe Variabel Jenls Variabel Disiplin Independen dependen

Tipe Studi Utama

a. (Kelidak) sa- Status sosioCapaian maan kesempa- ekonomi dan IQmurid, karakteristik sekolah material

Sosiologi

Survey

b. Fungsi produksi

Karakteristik Tingkat sekolah material prestasi

Ekonomi

Survey

c. Evaluasi Programprogram kompensatorì

Kunkulum khusus

Pendidikan interdisipliner

Quasieksperimen

Tingkat prestasi

50

d. Sekolah yang efektif

karakteristik Tingkat 'proses' sekolah prestasi

Pendidikan interdisipliner

Studi kasus

e. Pengajaran yang efektif

Karakteristik Tingkat guru, pengajaran, prestasi organisasi kelas

Psikologi pendidikan

eksperimen observasi

Dalam studi-studi mutakhir tentang efektivitas sekolah berbagai pendekatan terhadap efektivitas pendidikan telah terintegrasi di dalamnya, yakni dalam peragaan konseptual dan pilihan variabel-variabelnya. Pada tingkat teknis, analisa multilevel secara signifikan telah menyumbang kepada pengembangan ini. Dalam sumbangannya terhadap peragaan konseptual tentang efektivitas sekolah, sekolah dilukiskan sebagai seperangkat 'lapisan yang tersimpan' {nestedlayers) (Purkey dan Smith, 1983), di mana asumsi pokoknya adalah bahwa tingkat organisasi yang lebih tinggi akan memudahkan kondisi yang meningkatkan efektivitas pada tingkat yang lebih rendah (Scheerens dan Creemers, 1989). Dengan cara ini, suatu síntesis antara fungsi produksi, efektivitas pengajaran dan efektivitas sekolah menjadi mungkin. Ini terpenuhi dengan memasukkan variabel kunci dari masingmasing tradisi, masing-masing pada 'lapisan' (layer) yang sesuai atau tingkat keberfungsian sekolah [lingkungan sekolah, tingkat organisasi dan manajemen sekolah, tingkat kelas dan tingkat siswa itu sendiri]. Model konseptual yang dikembangkan menurut perspektif integratif ini meliputì model yang dikembangkan Scheerens (1990), Creemers (1994), dan Stringfield dan Slavin (1992). Karena model Scheerens digunakan sebagai basis bagi meta-analisis yang digambarkan dalam bagian berikutnya, maka ia ditunjukkan pada Gambar 3.

51

Gambar 3. Model Efektivitas Sekolah yang Terpadu (dari Scheerens, 1990) Konteks • Stimulan berprestasi dan tingkat administratif yang lebih tinggi • Pengembangan konsumerisme pendidikan • 'covariables', seperti ukuran sekolah, komposisi OSIS [student-body), kategori sekolah, kota/desa.

Input * pengalaman guru * belanja per-murid * dukungan orang tua

Tingkat Sekolah * Tingkat kebijakan berorientasi prestasi * Kepemimpinan pendidikan * Konsensus, perencanaan kerjasa-ma para guru * Mutu curricula sekolah dalam kaitannya dengan cakupan isi, dan structur formal • Atmosfir yang rapì * potensi evaluatif

Output Prestasi siswa, yang disesuaikan dengan: • prestasi sebelumnya * kecerdasan •SES

Tingkat Kelas • waktu tugas (mencakup pekerjaan rumah) pengajaran terstrukhir kesempatan untuk belajar harapan kemajuan murid yang tinggi tingkat evaluasi dan monitoring kemajuan murid penguatan

Pilihan variabel-variabel dalam model ini didukung oleh 'tinjauan ulang terhadap tinjauan-tinjauan ulang' (review of reviews) atas penelitian tentang efektivitas sekolah yang akan diketengahkan dalam bagian berikutnya. Kasus-kasus eksemplar integratif, studi tentang efektivitas sekolah multi-level adalah studi yang dilakukan Mortimore et al. (1988), Brandsma (1993), Hill et al. (1995), Sammons et al. (1995) dan Grisay (1996).

52

Ringkasan Meta-analisis

Dalam Tabel 10 (dikutip dari Scheerens dan Bosker, 1997) diringkaskan hasil tiga meta-analisis dan análisis ulang atas seperangkat data intemasional. Hasil-hasil mengenai variabel input sumber daya didasarkan pada análisis ulang atas ringkasan Hanushek (1979) mengenai hasil dari studi fungsi produksi yang dilakukan Hedges, Laine dan Greenwald (1994). Seperti dinyatakan sebelumnya, análisis ulang ini telah dikritik, terutama sekali tentang pengaruh belanja per-murid yang besar yang tak dapat diduga-duga. Hasil tentang 'aspek pengajaran terstruktur' diambil dari meta-analisis yang dilakukan Fraser, Walberg, Welch dan Hattie (1987). Analisis intemasional dilakukan oleh R J . Bosker (Scheerens dan Bosker, 1997, Bab 7) dan didasarkan pada IEA Reading Literacy Study. Meta-analisis faktor organisasi sekolah dan kondisi pengajaran ('kesempatan belajar', 'waktu tugas', 'pekerjaan rumah' dan 'monitoring pada tingkat kelas'), dilakukan Witziers dan Bosker dan diterbidcan dalam Scheerens dan Bosker (1997, Bab 6). Jumlah studi yang digunakan untuk meta-analisis ini bervariasi per variabel, berkisar an tara 14 sampai 38 studi. Hasil dalam kolom 2 dan 3 dinyatakan sebagai korelasi antara variabel proses atau input yang dipermasalahkan dan prestasi siswa dalam matematika atau bahasa. Biasanya korelasi 0.10 ditafsirkan sebagai 'kecil'; 0.30 adaiah 'menengah' dan 0.50 atau lebih adaiah 'besar' (Cohen, 1969). 'Tanda tambah' dalam kolom pertama menunjukkan bahwa tinjauan ulang atas penelitian menyebutkan faktor ini sebagai berhubungan secara positif dengan prestasi. Hasil dalam ringkasan tinjauan ulang dan meta-analisis ini menunjukkan bahwa faktor i"«/>«/-sumber daya rata-rata mempunyai pengaruh tak berarti, faktor sekolah mempunyai pengaruh kecil, sedangkan faktor pengajaran rata-rata mempunyai

53

pengaruh besar. Kesimpulan mengenai faktor input-sumber daya agaknya mungkin perlu dimodifikasi dan agak 'sedikit berbeda', yang memberikan hasil studi lebih mutakhir sebagaimana ditunjukkan di atas, misalnya hasil eksperimen STAR mengenai pengurangan ukuran-kelas. Ada perbedaan menarik antara ukuran pengaruh yang relatif kecil untuk variabel tingkat sekolah yang dilaporkan dalam meta-analisis dan tingkat kepastian dan konsensus mengenai relevansi faktor ini dalam review penelitian yang lebih kualitatif. Haruslah dicatat bahwa tiga blök variabel bergantung pada metode penelitian yang digunakan: studi fungsi produksi pendidikan bergantung pada data Statistik dan administratif dari sekolah atau unit administratif lebih tinggi, seperti pemerintah daerah atau negara bagian; studi efektivitas sekolah terfokus pada faktor tingkat sekolah yang biasanya dilakukan sebagai studi lapangan dan survei; studi tentang efektivitas pengajaran biasanya didasarkan pada rancangan eksperimental. Yang tak berarti untuk pengaruh yang sangat kecil ditemukan dalam análisis ulang atas seperangkat data IEA yang agaknya mungkin sebagian melekat pada cara 'mewakili' dan superfisial di mana variabel yang dipermasalahkan dioperasionalisasikan sebagai item kuesioner. Suatu temuan tambahan dari studi perbandingan internasional (tidak ditunjukkan dalam tabel ini) adaiah inkonsistensi yang relatif dari signifikansi correlate efektivitas sekolah lintas negara, lihat juga Scheerens, Vermeulen dan Pelgrum (1989) dan Postlethwaite dan Ross (1992).

54

Tabel 10. Tinjauan atas Bukti dari Tinjauan kualitatif, Studi Internasional dan Sintesis Penelitian Tinjauan kualitatif Variabel input sumber daya: Rasio guru murid Pelatihan guru Pengalaman guru Gaji guru Belanja per murid Faktor organisasi sekolah: Kultur Iklim produktif Tekanan prestasi untuk mata pelajaran dasar Kepemimpinan pendidikan Monitoring/evaluasi Kerj asama/konsensus Keterlibatan orangtua Pengembangan staf Harapan tinggi Iklim rapi

+ + + + + + + +

Kondisi pengajaran: Kesempatan untuk belajar Waktu tugas/pekerjaan rumah Monitoring pada tingkat kelas

+ + +

Analisis Sintesis internasionalpenelitian

0.03 0.00

0.02 -0.03 0.04 -0.07 0.02

0.02 0.04 0.00 -0.02 0.08

0.14 0.05 0.15 0.03 0.13

0.20 0.04

0.11

+

Aspek pengajaran terstruktur - belajar bersama - umpan balik - penguatan Diferensiasi/pengajaran adaptif

0.15 0.09 0.00/-0.01(n.s .) 0.019/0.06 - 0.01 ( n.s.) 0.11 (n.s.)

0.27 0.48 0.58 0.22

55

BAGIAN 2. BUKTI DARI NEGARA-NEGARA SEDANG BERKEMBANG Dalam bagian bab ini, bukti tentang kondisi yang meningkatkan efektivitas bagi pendidikan di negara sedang berkembang akan ditinjau ulang. Tinjauan ulang ini berangkat dengan mengacu pada artikel tinjauan ulang lebih awal, khususnya oleh Hanushek (1995) dan Fuller dan Clarke (1994). Studi yangbelakangan memasukkan hasil review yang dilakukan Fuller (1987), Lockhee dan Hanushek (1988), serta Lockheed dan Verspoor (1991). Gambaran skematik berikutnya tentang 13 studi yang dilakukan setelah pada 1993 disajikan. Kesimpulan ditarik dari state of art penelitian tentang efektivitas pendidikan di negara sedang berkembang, dalam kaitannya dengan jenis faktor mana yang kebanyakan dipelajari, bagaimana hasilnya dibandingkan dengan di negara-negara industri, dan apa implikasi dan inovasi penelitian yang relevan bagi aplikasi kebijakan dan praktisnya. Studi Fungsi Produksi di Negara-negara Sedang Berkembang Berikut ini Hanushek (1995) membuat tabulasi pengaruh sumber daya di negara-negara sedang berkembang berdasarkan pada 96 studi (lihat Tabel 11).

56

Tabel 11. Ringkasan 96 Studi tentang Estimasi Pengaruh Sumber Daya pada Pendidikan di Negara-negara Sedang Berkembang (dikutip dari Hanushek, 1995) Signifikan Secara Statistik Input

Jumlah studi Positif

Tïdak Sinifikan

Négatif

Rasio guru/murid

30

8

8

14

Pendidikan guru

63

35

2

26

Pengalaman guru

46

16

2

28

Gaji guru

13

4

2

7

Belanja per murid

12

6

0

6

Fasilitas

34

22

3

9

Jika jumlah asosiasi positif yang signifikan dinyatakan dengan persentase, seperti dalam Tabel 12, maka perbandingan lebih secara langsung dapat dibuat dengan hasil yang ditunjukkan dalam Tabel 5, mengenai studi di negara industri. Tabel 12. Persentase Studi dengan Asosiasi Positif yang Signifikan mengenai Variabel Input Sumber Daya dan Prestasi yang diberikan bagi Negara-negara Industri dan Negara-negara Sedang Berkembang Input

Negara industri asosiasi positif yang signifikan %

Negara berkembang asosiasi positif yang signifikan %

15% 9% 29% 20% 27%

27% 55% 35% 30% 50%

Rasio guru/murid Pendidikan guru Pengalaman guru Gaji guru Belanja per-murid Sumber: Hanushek, 1995, 1997

57

Relevansi fasilitas-fasilitas sekolah di negara-negara sedang berkembang, tidak ditunjukkan dal am perbandingan ini, berjumlah tidak kurang dari 70 fasilitas ketika dinyatakan dengan persentase studi positif yang signifikan. Dampak lebih besar dari faktor input sumber daya ini di negara-negara sedang berkembang dapat dihubungkan dengan p e r b e d a a n lebih besar antara variabel d e p e n d e n dan independen. Sumber daya manusia dan material dalam pendidikan di negara-negara industri didistribusikan dengan cara relatif homogen antar sekolah, yaitu sekolah tidak berbeda amat banyak pada variabel ini. Mengenai variabel hasil [outcome) [misalnya prestasi pendidikan], Riddell (1997) menunjukkan bahwa sekolah-sekolah di negara-negara sedang berkembang berbeda-beda pada rata-rata 40 persen (skor kasar) dan 30 persen (skor yang disesuaikan untuk variabel masukan). Ini merupakan variasi lebih besar sekali dibanding variasi yang biasa ditemukan di negara-negara industri, di mana nilai perbedaan 10 persen sampai 15 persen antara sekolah tentang hasil yang disesuaikan nilai yang dipatok lebih umum (cf. Bosker dan Scheerens, 1999). Hasil positif dari studi fungsi produksi di negara-negara sedang berkembang membuat pengertian intuitif (yaitu, jika fasilitas dan sumber daya dasar tidak adajelas hai ini akan menjadi detrimental bagi usaha pendidikan secara keseluruhan). Pada waktu yang sama, hasil-hasil studi menaikkan interpretasi-interpretasi menarik ketika hasil-hasil studi tersebut dipusatkan pada prinsip teori ekonomi mikro. Jimenez dan Paquea (1996), misalnya, menyajikan penemuan yang mendukung tesis bahwa keterlibatn lokal dalam keuangan sekolah merangsang orientasi prestasi dan ekonomi yang dibelanjakan. Studi mereka tentang sekolah dasar negeri di Pilipina memberikan bukti bahwa keuntungan efisiensi (lebih sedikit biaya, seraya tetap memelihara standar mutu) diperoleh dalam setting di mana masyarakat mem-

58

berikan ekstra pembiayaan dan sekolah menanggung semua biaya tersebut. Pritchett dan Filmer (1997) menunjukkan keuntungan politis dari pengeluaran untuk sumber daya manusia (mengurangi ukuran kelas khususnya) dibandingkan dengan pengeluaran untuk materi pengajaran, meskipun efìsiensi jauh lebih besar dari pendekatan yang dilakukan belakangan, sedang Picciotto (1996) mengkritik seperangkat ukuran kinerja pendidikan yang sempit yang digunakan dalam kebanyakan penelitían tentang fungsi produksi pada pendidikan dan menyatakan bahwa "disain program harus diberitahukan melalui penilaian terhadap keseluruhan kinerja pendidikan terhadap sasaran kemasyarakatan; dengan mengevaluasi terhadap relevansi sasaran itu sendiri dan oleh perancangan yang bijaksana oleh institusi untuk menyediakan jasa yang diperlukan" (ibid. him. 5). Teori ekonomi mikro membuat dugaan menarik berkenaan dengan mekanisme kontrol dalam pendidikan juga; argumennya adalah bahwa ukuran kontrol birokratis adalah salah dan mahal dan bahwa keterlibatan masyarakat dan 'demokrasi langsung' akan menyajikan suatu alternatif yang lebih baik. Sekarang ini, dugaan ini harus dihargai karena fungsi heuristiknya yang merangsang bagi penelitian lebih lanjut. Bagaimanapun, bukti bukanlah kesimpulan yang cukup untuk memungkinkan keseluruhan penilaian tentang kontrol birokratis versus berbasis konsumen. Lebih dari itu, hasil kemungkian lebih tergantung pada faktor situational lainnya, seperti struktur tradisional sistem pendidikan dan aspek budaya. Karena studi menjadi lebih dipacu oleh teori (theory-driven), dan análisis untung rugi [cost-benefiij lebih sering dimasukkan, maka penelitian terhadap fungsi produksi mungkin diperlakukan sebagai suatu pendekatan yang viablebagi studi tentang efektivitas sekolah di negara-negara maju dan di negara-negara sedang berkembang. Ini terutama sekali benar untuk negaranegara sedang berkembang dalam kaitan dengan tingkat sumber

59

daya pada umumnya yang lebih rendah dan variabilitas input sekolah yang lebih besar. Review tentang Penelitian tentang Efektivitas Sekolah di Negaranegara Sedang Berkembang

Hasil-hasil studi review yang dilakukan oleh Fuller dan Clarke (1994) diringkas dalam Tabel 13. Tabel 13. input Sekolah dan Variabel Proses yang Menunjukkan Asosiasi Positif yang Signifikan dengan Prestasi dalam Sedikitnya 50 persen Studi di Negara-negara Sedang Berkembang, dianalisis oleh Fuller dan Clarke, 1994*

Jumlah pengaruh signifikan dibagi oleh jumlah análisis Faktor sekolah/guru

Sekolah dasar

Sekolah menengah

Pengeluaran sekolah Belanja per murid Total belanja sekolah

3/6 2/5

3/5 -

Input sekolah spesifik Rata-rata ukuran kelas Ukuran sekolah Ketersediaan buku teks Buku bacaan tambahan Buku latihan Pedoman mengajar Desk Media pengajaran Mutu fasilitas Perpustakaan sekolah Laboratorium ilmu pengetahuan Ilmu gizi anak dan feeding

9/26 7/8 19/26 1/1 3/3 0/1 4/7 3/3 6/8 16/18 5/12 7/8

2/22 1/5 7/13 2/2

Atribuí guru Total tahun pendidikan Prestasi yang diukur lebih awal

9/18 1/1

5/8 1/1

60

0/1

1/1 3/4 1/1 1/1

Tersier atau college guru In-service training guru Pengetahuan matapelajaran guru Jenis kelamin guru (perempuan) Pengalaman guru Tingkat gaji guru Kelas sosial guru

21/37 8/13 4/4 1/2 13/23 4/11 7/10

8/14 3/4 2/4 1/12 2/11 -

Pedagogi kelas dan organisasi Waktu pengajaran Monitoring prestasi murid yang sering Waktu persiapan kelas Pekerjaan rumah yang sering Efficacy guru Tugas belajar bersama bagi siswa

15/17 3/4 5/8 9/11 1/1 -

12/16 0/1 1/2 2/2 0/1 3/3

Manajemen sekolah Keanggotaan cluster sekolah Penilaian staf kepala sekolah Tingkat pelatihan kepala sekolah Kunjungan pemeriksaan sekolah Pekerjaan mengikuti jalan atau segregasi

2/2 3/4 3/4 2/3 murid

0/1 1/2 0/1 1/1

Sumber: Fuller dan Clarke, 1994. Tinjauan ulang ini mempertimbangkan sekitar 100 studi dan menggambarkan tinjauan ulang lebih awal oleh Fuller (1987), Lockheed dan Hanushek (1988), Lockheed dan Verspoor (1991) dan análisis atas 43 studi dalam période 1988-1992 yang dilakukan para pengarang itu sendiri.

Hanya studi yang mengontrol prestasi latar belakang keluarga siswa saja yang dimasukkan; dan hanya asosiasi yang signifikan pada tingkat 5 persen yang dilaporkan. Apa yang ditunjukkan label 73, pertama-tama, adalah bahwa terdapat studi yang lebih banyak tentang sekolah dasar dibanding sekolah menengah. Juga, variabel keuangan, material dan input sumber daya manusia diselidiki lebih sering d i b a n d i n g variabel sekolah dan proses kelas, d e n g a n pengecualian waktu pengajaran.

61

Dominannya karakteristik input yang dinilai relatif lebih mudah ini juga terbaca jelas pada Tabel 14, yang menunjukkan variabel waktu tertentu yang tercakup dalam total 43 studi. Tabel 14. Jumlah Waktu dari Total 43 Studi yang Dilakukan antara 1988 dan 1992 (sekolah dasar dan menengah diambil bersama-sama) Jenis Input Sekolah Tertentu atau Variabel Proses Diinvestigasi Pendaftaran/staf Ukuran sekolah Ukuran kelas

6 25

Variabel guru Pelatihan guru Gaji guru Pengalaman guru Persiapan guru Kemanjuran guru Jenis kelamin guru In-service training

24 3 9 1 1 5 7

Pengajaran Waktu pengajaran Pekerjaan rumah Pedagogi spesifik Ujian murid

13 3 12 5

Organisasi sekolah Negeri/Swasta Tracking Supervisi kepala sekolah

4 1 3

Peralatan dan fasilitas Fasilitas perpustakaan Fasilitas umum dan peralatan

3 15

Sumber: Fuller dan Clarke, 1994

62

Atas dasar review mereka tentang pengaruh positif yang signifìkan, Fuller dan Clarke (ibid.) menyimpulkan bahwa pengaruh sekolah yang agak konsisten dapat ditemukan dalam tiga area utama: ketersediaan buku teks, materi bacaan tambahan, dan kualitasgu.ru (misalnya, pengetahuan yang dimiliki guru mengenai materi pokok dan kecakapan lisan mereka) dan waktupengajaran dan tuntutan kerja yang ditempatkan pada siswa. Faktor kebijakan yang relevan menunjukkan inkonsistensi atau ketiadaan pengaruh nampaknya adaiah ukuran kelas dan gaji guru. Temuan yang diringkas dalam label 13 dan 14, sekali lagi, menyoroti dominannya jenis fungsi produksi dari studi tentang efektivitas di negara-negara sedang berkembang. Riddell (1997), dalam suatu review-nya yang lebih berorientasi pada metodologis, mengamaü bahwa 'gelombang ketiga' penelitian tentang efektivitas sekolah di negara-negara sedang berkembang adaiah "dalam bahaya hilang tanpa pernah menyelidiki". Dengan gelombang ketiga ini dia sedang mengacu pada apa yang pengarang gambarkan sebagai 'studi efektivitas sekolah yang terpadu', yang berisikan input sumber daya, faktor organisasi dan karakterístik pengajaran, di mana peragaan multi-level merupakan prasyarat metodologis yang vital. Seperangkat usulan menarik, yang dikembangkan Fuller dan Clarke dalam penafsiran mereka tentang bukti penelitian, mencurahkan perhaüan lebih besar pada kemungkinan peran budaya ketika mempelajari efektivitas sekolah di negara-negara yang sedang berkembang. Kemungkinan seperti itu mungkin membantu menjelaskan mengapa sekolah tertentu dan variabel tingkat kelas 'berfungsi' pada suatu negara tetapi tidak di negara lain. Mereka membedakan empat kategori kondisi budaya yang luas:

63

(a) Tingkat keluarga lokal yang membutuhkan pendidikan di sekolah; (b) Kapasitas organisasi sekolah dalam merespon tuntutan keluarga "seraya memberikan format pengetahuan yang tidak ada hubunganya dengan pengetahuan asli masyarakat itu sendiri" (Fuller dan Clarke, 1994); (c) Pilihan dan kapasitas guru dalam menggunakan alat pengajaran; (d) Tingkat persetujuan antara perilaku pedagogis guru dan norma-norma lokal mengenai otoritas orang dewasa, pengajaran didaktis dan partisipasi sosial di sekolah (ibid., him. 136). Gagasan-gagasan tersebut, dan juga gagasan tentang perlunya menanggulangi kelemahan studi tentang efektivitas sekolah lainnya (tidak adanya análisis untung rugi, kekurangan studi yang dirancang secara membujur), berimplikasi adanya tuntutan adanya disain studi baru. Menurut Riddell (1997), Fuller dan Clarke gagal menyajikan alternatif penelitian yangjelas. Dengan melakukan review atas 12 studi tentang efektivitas sekolah yang lebih mutakhir yang dilakukan di negara-negara sedang berkembang, Scheerens (1999) telah mengkonfirmasi ulang dominannya pendekatan fungsi produksi dengan suatu uraian yang baru tentang pentingnya peralatan belajar, terutama sekali buku teks, dan faktor sumber daya manusia (pelatihan guru). Menurut pengarang itu, teori pedagogis dan pengajaran nampak hampir hilang sebagai sumber inspirasi bagi studi tentang efektivitas pendidikan di negara-negara sedang berkembang. Dalam empat studi yang melihat beberapa variabel pengajaran dan organisasi sekolah, dampak dari variabel ini relatif rendah. Review (secara terbatas) atas 12 studi ini bersifat mengkonfirmasikan hasil dari tinjauan ulang yang dilakukan lebih awal oleh Anderson, Ryan dan Shapiro (1989), yang me-

64

nyatakan bahwa "variasi dalam praktek pengajaran di negaranegara sedang berkembang hanya jarang ditemukan untuk dihubungkan dengan variasi dalam pembelajaran siswa". Kemungkinan budaya, seperti diacu oleh Fuller dan Clarke, atau tidak adanya variasi dalam praktek pengajaran di beberapa negara sedang berkembang, bisa ditawarkan sebagai penjelasan hipoteüs untuk hasil ini. Lingkup dan Pembatasan Model Efektivitas Sekolah bagi Perencana Pendidikan Walaupun model efektivitas sekolah terpadu bersifat menyeluruh, dalam pengertian ia mencakup input, proses, output dan kondisi konteks serta mengenali struktur multi-level sistem pendidikan, ia mempunyai sejumlah pembatasan berikut: 1.

Fokus model ini pada tingkat sekolah itu sendiri, dan tidak membicarakan isu penting mengenai berfungsinya sistem pendidikan nasional yang sesuai; saya akan mengacu pada model ini sebagai pembatasan agregasi. Ketika subsidiarily1 diterapkan dan sekolah otonom, pembatasan ini diimbangi sampai batas tertentu, karena, menurut defînisi, sekolah mempunyai tanggung jawab formal lebih besar.

2.

Model ini mempunyai fokus yang betul-betul instrumental, yang memperlakukan tujuan dan sasaran pendidikan sebagai hai yang sebagian besarnya 'given'. Memperluas model ini menurut perspektif efektivitas organisasi yang lebih besar, sebagaimana secara singkat diacu pada Bagian I, sebagian dapat mengimbangi pembatasan ini dengan memperhitungkan respon sekolah ketika berhadapan dengan perubahan batasan lingkungan. Juga, ia tergantung pada pola desentralisasi fungsional dalam sistem pendidikan dengan sejauhmana mekanisme adaptasi di tingkat sekolah dianggap penting jika dibandingkan dengan ketetapan di tingkat

65

makro. Kita akan mengacu pada pembatasan ini sebagai pembatasan instrumentalitas. 3.

Walaupun model ini memungkinkan dimasukkannya yang masalah keadilan dan efisiensi, namun praktek penelitian sebenarnya belum berbuat sesuai dengan harapan dalam area ini. Lebih dari itu, bagaimana penelitian efektivitas sekolah berhadapan dengan isu ini juga ditentukan oleh dua pembatasan lainnya: tingkat agregasi dan instrumentalitas. Argumennya adalah bahwa, terutama sekali di negaranegara sedang berkembang, isu ini patut dihadapkan dengan perspektif yang lebih luas ketimbang dengan model efektivitas sekolah tersebut. Pembatasan ini akan diacu sebagai orientasi kualitas yang relatif sempit. Pembatasan agregasi

Sebagaimana dinyatakan dalam Gambar 3, yang menunjukkan suatu model 'terpadu', efektivitas sekolah dilihat sebagai mencakup kondisi-kondisi lunak pada berbagai tingkat sistem pendidikan, walaupun sebagian besar kondisi lunak ini terkondisikan pada tingkat sekolah. Fokus ini barangkali boleh juga dilihat sebagai pembatasan penelitian tentang efektivitas sekolah secara empiris. Komponen yang meliputi kondisi kontekstual kurang dikembangkan dengan baik. Komponen ini terkonsentrasi pada kondisi kontekstual yang dapat dihubungkan dengan rangsangan orientasi prestasi di tingkat sekolah. Contohnya adalah pengaturan standar prestasi dan rangsangan konsumerisme pendidikan. Praktek melaporkan capaian sekolah melalui media publik, menghubungkan keduanya. Maka 'pengaturan standar' dan akuntabilitas yang merangsang, dengan memperkenalkan mekanisme evaluasi dan umpan balik, merupakan ukuran yang harus tercakup dalam model efektivitas sekolah 'terpadu'. Jelas, dalam hai ini, tìdak semua perencana pen-

66

didikan nasional dapat berbuat untuk merangsang keseluruhan mutu pendidikan. Adapun isu-isu utama lainnya meliputi: Privatisasi dan desentralisasi; Menciptakan koordinasi vertikal antar tingkat pendidikan (misalnya dalam tingkat yang ada di IS CED); Menentukan standar pelatihan guru dan menyelenggarakan pelatihan guru; Menyediakan akses yang cukup ke pendidikan (yang boleh melibatkan trade-offuntara 'kuantitas' dan 'kualitas' pendidikan di negara-negara sedang berkembang) dan menyediakan distribusi yang parut dari sumber daya pendidikan yang langka. Isu desentralisasi parut mendapat beberapa perhatian lebih lanjut dalam konteks ini, sebab ia menunjuk pada konteks di mana pentingnya kondisi tingkat sekolah ditingkatkan. Rondisi lunak yang diidentifikasi oleh penelitian efektivitas sekolah dengan begitu memperoleh relevansinya. Pertama, konsep 'desentralisasi fungsionaP dan 'subsidiaritas' akan diperjelas. Konsep ini menyediakan suatu dasar untuk menentukan pentingnya sekolah secara relatif sebagai tingkat pengambilan keputusan dalam sistem pendidikan, dan, lebih dari itu, menyediakan jawaban berbeda atas pertanyaan ini yang bergantung pada ranah pengambilan keputusan tertentu. Dalam sejarah pendidikan di Belanda, istilah subsidiaritas telah digunakan untuk mengacu pada cara khusus bagaimana golongan berpengaruh dalam pendidikan bekerja sama untuk mempelajari hubungan antara negara dan korporasi yang mewakili kelompok kepentingan dalam bidang pendidikan. Menurut prinsip subsidiaritas, negara tidak semestinya turut campur tangán dalam berbagai hai yang dapat dihadapi oleh unit profesional terorganisir. Semula, unit terorganisir ini ada-

67

Iah korporasi berbasis golongan agama tertentu atau kelompok anggota penekan dalam bidang pendidikan. 'Subsidiarität' adaiah istilah yang lebih disukai oleh denominasi Katolik Roma, sedangkan kaum Protestan menyatakan 'kedaulatan di dalam lingkaran diri sendiri'. Leune (1987,379-380) menunjukkan sifat korporatis konsep semacam ini. Menurut prinsip subsidiaritas, negara hanya mengambil kendali hanya ketika diperlukan saja. Contoh sederhana subsidiaritas adaiah instruktur pengemudi, yang mengambil alih kemudi kendaraan hanya ketika peserta pelatihan melakukan kesalahan, tetapi dalam semua kasus lain dia hanya dengan tenang mengamati tanpa ikut campur tangán secara langsung. Dalam konteks Komisi Eropa, istilah subsidiaritas digunakan untuk menyatakan prinsip bahwa apa yang dapat dipenuhi oleh anggota negara harus tidak dilaksanakan oleh badan pusat Perserikatan. Tentu saja, hai ini dapat diperdebatkan sejauhmana subsidiaritas harus diberlakukan bagi pendidikan atau, dengan kata lain, fungsi sekolah yang mana bisa memenuhi tanpa ikut campur tangán dari tingkat administrasi lebih tinggi. Konsep desentralisasi fungsional membantu memberi nuansa pada pembicaraan ini dengan memperhatikan fakta bahwa suatu sistem dapat mendesentralisasi dalam beberapa bidang, tetapi tidak di bidang lain. Walaupun berbagai klasifikasi dapat ditemukan dalam literatur (cf. Van Amelsvoort dan Scheerens, 1997), bidang pendidikan yang paling umum dikenali adaiah: •

Kurikulum (mencakup tujuan dan standar);



Keuangan; Rondisi tenaga kerja dan kebijakan personil; Manajemen sekolah; Metode pengajaran; 68



Pengendalian muta.

Pola desentralisasi fungsional yang terkenal adalah liberalisasi keuangan (misalnya block grani), manajemen (cf. 'manajemen berbasis sekolah'), dan metode pengajaran, yang disertai kurikulum inti dari pusaL Dalam praktek nyata, tampaknya sulit untuk mengurangi peraturan pusat mengenai kondisi kerja personil pendidikan, yang ditetapkan melalui perundingan secara kolektif oleh serikat kerja. Mengenai tingkat desentralisasi, penting diingat bahwa unitunit pemerintah kadang-kadang disebarkan ('dekonsentrasi'), dan otoritas pengambilan keputusan kadang-kadang hanya sebagian dilimpahkan ('pendelegasian') sedangkan dalam kasus lainnya sama sekali diserahkan kepada badán lokal ('devolusi') (cf. Gemerisik, 1994). Walaupun bukti empiris masih langka, tampaknya ada beberapa dukungan bagi hipótesis yang menyatakan bahwa sentralisasi fungsional pada standar kurikulum dan penilaian yang dapat meningkatkan kinerja pendidikan (misalnya Conley, 1997). Latar standar prestasi dan menilai prestasi siswa berhubungan baik dengan kondisi-kondisi yang dapat meningkadcan efektivitas di tingkat sekolah. Setelah jelas, sasaran-sasaran yang dapat diakses dapat menambahkan pada keseluruhan maksud yang penuh arti dan orientasi prestasi sekolah. Demikian juga, ia dapat dilihat sebagai kondisi yang mendukung pada 'kepemimpinan pengajaran', dan, jika informasinya tepat diumpanbalikkan ke stakeholder, sebagai dasar pembelajaran organisasi, tanggung-jawab dan meningkatkan 'konsumerisme'. Hipótesis lebih lanjut mengenai negara-negara sedang berkembang adalah bahwa semakin rendan tingkat pendidikan orang tua dan semakin miskin keterkaitan (catchment) area sekolah, kemungkinan semakin efektif ukuran sentralisasi fungsional yang akan terjadi.

69

Ringkasnya, bagian ini telah menggarisbawahi bahwa ada kategori-kategori pentìng dari ukuran terhadap kebijakan pendidikan level-sistem yang tidak dicakup oleh model efektivitas sekolah. Sehingga pendekatan efektivitas sekolah tidak harus secara pasti dilihat sebagai obat mujarab bagi semua permasalahan pendidikan yang ada, terutama sekali sejauh negara-negara sedang berkembang diperhatikan. Semakin sistem menjadi terdesentralisasi secara fungsional, terutama sekali dalam bidang manajemen sekolah dan pedagogis, semakin penting juga menjadi kondisi lunak pendidikan yang diidentifikasi penelitian sebagai efektivitas yang menantang. Pembatasan Instrumentalitas Aspek lain dari model efektivitas sekolah adalah orientasi 'tujuan-imanen'. Fungsi 'pendeteksian tujuan' atau adaptasi tujuan menurut kondisi masyarakat yang senantiasa berubah dan kondisi kontekstual menjadi hilang. Ketika model efektivitas sekolah diperluas ruang lingkupnya dengan memperhatikan ukuran tambahan seperti kemampuan reaksi, kepuasan peserta dan struktur formal (cf. Faerman dan Quinn, 1985), maka situasi ini bertambah baik. Di negara-negara sedang berkembang, dukungan material dari masyarakat lokal tampak menjadi sangat penting, dan sebagian sekian usaha-usaha sekolah harus dicurahkan untuk memperoleh dukungan ini. Dengan orientasi instrumental dan teknisnya, model efektivitas sekolah betul-betul tidak diorientasikan ke insentif atau tarik-menarik antara kepentingan yang berkaitan dengan individu atau kepentingan tugas. Inilah satu alasan untuk mencoba menghubungkan antara teori ekonomi mikro dengan peragaan efektivitas sekolah (cf. Scheerens dan Van Praag, 1998).

70

Juga, di negara-negara sedang berkembang, 'kemampuan beradaptasi' dan ketetapan kondisi yang menciptakan insentif bagi capaian yang baik juga patut diatasi di tingkat makro. Orientasi Kualitas yang Relatif Membatasi Model efektivitas sekolah pada intinya adalah model instrumental dari output sekolah secara langsung (dibandingkan dengan output jangka panjang, hasil (outcomes) kemasyarakatan dari pendidikan di sekolah). Dengan kata lain, mutu dipertimbangkan menurut efektivitas teknisnya. Pada mulanya, penelitian tentang efektivitas sekolah diorientasikan ke arah peningkatan pendidikan di daerah 'bagian tertua suatu kota' yang lebih miskin di kota besar Amerika Serikat dan banyak studi menunjukkan penyimpangan tertentu ke arah konteks pendidikan yang kurang 'diistimewakan'. Oleh karena itu, temuan penelitian memiliki relevansi tertentu bagi penciptaan ketentuan pendidikan yang lebih sama. Keadilan lebih dibicarakan secara langsung dalam studi tentang apa yang disebut 'efektivitas diferensial', di mana efektivitas sekolah dibedakan menurut sub-kelompok; yaitu anak laki-laki/perempuan dan anak-anak dengan latar belakang status sosio-ekonomi (SES) tinggi/rendah. Bagaimanapun, studi ini langka, dan hasilnya belum dapat disimpulkan. Hal yang sama diterapkan pada studi tentang efektivitas biaya. Kondisi persoalan ini menggarisbawahi kesimpulan sebelumnya bahwa model efektivitas sekolah tidak secara memadai membicarakan keadilan dan efisiensi ketentuan pendidikan secara bebas dan bahwa, terutama sekali di negara-negara sedang berkembang, isu-isu tersebut harus dibicarakan terutama oleh kebijakan pendidikan pada tingkat makro. Ringkasan dan Kesimpulan Dalam bab ini, lima untaian penelitian tentang efektivitas pendidikan sudah dibahas. Kesimpulan umum yang dapat ditarik, 71

setelah meninjau ulang sebagian besar penelitìan, adaiah bahwa di negara-negara maju dampak faktor i'n/>«f-sumber daya relatif kecil. Hasil ini ditafsirkan berlawanan dengan latar belakang variasi yang relatif kecil dalam variabel ini di negara-negara maju. Atas dasar studi mutakhir, bagaimanapun, input sumber daya manusia, terutama sekali kualifikasi guru, dan ukuran kelas patut mendapat pertimbangan ulang. Di negara-negara sedang berkembang, signifikansi faktor in/>«i-sumber daya telah ditetapkan dalam proporsi besar studi. Beberapa penulis resensi buku menunjukkan perbedaan lebih besar antar-sekolah di negaranegara sedang berkembang (Bosker dan Witziers, 1996; Riddell, 1997^, yang bisa menjelaskan perbedaan antara negara-negara maju dan negara-negara sedang berkembang dalam hasil penelitìan ini. Program kompensatori, proyek-proyek peningkatan sekolah dan studi-studi tentang sekolah efektif yang tidak biasa di negaranegara maju dikonsentrasikan pada seperangkat variabel organisai sekolah relevan yang serupa. Para penelaah sepakat pada relevansi faktor-faktor seperti: kebijakan sekolah yang berorientasi prestasi, kepemimpinan pendidikan, konsensus dan kerjasama antar staf, kesempatan bagi pengembangan profesional staf dan keterlibatan orangtua. Ketika diberlakukan pada metaanalisis Statistik, maka dampak faktor organisasi sekolah ini relatif kecil hingga sedang. Di negara-negara sedang berkembang, faktor ini jarang dipelajari dan hasil yang ada menunjukkan dampak yang tidak substansial. Pada tingkat kelas, studi-studi tentang efektivitas guru dan pengajaran menunjukkan pengaruh sedang hingga pengaruh besar dari variabel-variabel seperti: waktu tugas, cakupan isi atau 'kesempatan untuk belajar', dan juga aspek pengajaran terstruktur termasuk monitoring kemajuan siswa yang sering, umpan balik, penguatan dan belajar bersama. Keterbatasan hasil penelitìan ini adaiah bahwa mereka tidak membicarakan sasaran pembe-

72

lajaran selain berdasarkan pada subjek sekolah tradisional saja. Pada sisi lain, sasaran pembelajaran seperti itu kemungkinan tetap relevan dan hasil ini, yang mendukung penafsiran behaviouristik, cukup kuat dipandang di samping perspektif konstruktivis tentang pembelajaran dan pengajaran. Juga, hasilnya kebanyakan tergantung pada studi-studi yang dilakukan di negara-negara sedang berkembang. Dan sejumlah studi terbatas di negara-negara sedang berkembang yang menjadi pertimbangan dalam buku ini, tidak tampak dampak substansial faktor pengajaran. Penelitian yang akan datang perlu mempertimbangkan secara lebih terperinci dan studi mendalam tentang variabel pengajaran dalam konteks negara-negara sedang berkembang, yang juga mempertimbangkan faktor latar belakang budaya, seperti diusulkan Fuller dan Clarke (1994). Dalam bab ini beberapa keterbatasan temuan penelitian juga telah ditunjukkan, termasuk berkenaan dengan penafsiran dan penggunaan temuan ini di negara-negara sedang berkembang. Masalah kekuatan basis pengetahuan tentang efektivitas sekolah, sekali lagi, perlu dipertimbangkan. Apa yang harus dicatat, pertama-tama, adalah bahwa di negara-negara maju perbedaan yang dapat dihubungkan secara langsung dengan sekolah yang sebenamya tampaknya relatif kecil ketika dinyatakan menurut kriteria ilmiah sosial biasa bagi ukuran pengaruh. Selisih bersih ('net') perbedaan antar-sekolah, yaitu proporsi perbedaan prestasi di tingkat siswa yang dapat dihubungkan dengan mengikuti sekolah tertentu, setelah disesuaikan dengan variabel latar belakang yang relevan, diperkirakan serendah 4 persen (Bosker dan Witziers, 1996). Perbedaan antar-sekolah di negara-negara sedang berkembang biasanya jauh lebih tinggi. Pertanyaan berikutnya adalah sejauhmana selisih bersih {neij perbedaan prestasi murid antar-sekolah bisa dihubungkan de-

73

ngan kondisi lunak pendidikan yang dianggap sebagai variabel 'independen'. Dalam studi Brandsma (1993), studi efektivitas sekolah 'terpadu' yang apikal, yang memuat varibel tingkat kelas dan sekolah, proporsi relevannya sekitar 60 persen. Hal ini berarti bahwa proporsi perbedaan antar-sekolah yang relatif besar (katakan variasi antara skor rata-rata sekolah tentang ujian prestasi tertentu) dijelaskan dengan variabel terpilih atas dasar model efektivitas sekolah. Bagaimanapun, seperti dinyatakan di atas, perbedaan antar-sekolah ini biasanya hanya merupakan proporsi relatif kecil dari total perbedaan prestasi murid (ratarata sekitar 10 persen di negara-negara industri dan jauh lebih besar (hingga 30-40 persen) di negara-negara sedang berkembang. Sumber alternatif penting perbedaan adalah pengaruh 'kontekstual' misalnya rata-rata kecerdasan awal siswa. Di dalam batas perbedaan kecil antara sekolah di negara-negara maju, hai ini tampaknya cukup mendukung variabel yang diusulkan seperti kondisi-kondisi yang dapat meningkatkan efektivitas hipotetis. Di negara-negara sedang berkembang, penelitian tampaknya mendukung ide common sense yang menyatakan bahwa ketetapan sumber daya dasar, terutama sekali bagi sekolah yang sangat kekurangan, membuat banyak perbedaan. Dalam konteks ini tantangan masa depan terletak pada mendalam dan seringnya studi mengenai kondisi pengajaran. Pengamatan terakhir mengenai dampak dari faktor-faktor yang terkait sangat erat dengan proses pembelajaran dan pengajaran yang nyata dibandingkan dengan faktor-faktor lebih 'jauh dari inti pembelajaran' {¿distal) seperti kondisi lingkungan dan organisasi sekolah. Dari perspektif perencanaan dan pengambilan kebijakan nasional, hasil ini harus dipertimbangkan demi efisiensi dalam melakukan perubahan pada tingkat lebih tinggi dalam sistem itu (yang memuat beberapa unit). Jika ada bukti dampak positif yang signifikan, meskipun kecil, dari gaya kepe-

74

mimpinan sekolah tertentu, kepemimpinan 'pendidikan' atau 'pengajaran' seperti ditunjukkan literatur penelitian ini, maka kursus pelatihan bagi guru kepala bisa lebih cost-effective dibanding pelatihan semua guru yang ada di seluruh pelosok negeri. Menafsirkan faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam berbagai untaian penelitian tentang efektivitas pendidikan sebagai 'pengaruh' bagi perubahan dan peningkatan memerlukan eksplorasi teori yang relevan, yang akan menjadi subyek bab berikutnya.

75

IQ. Teori: EfektMtas Sekolah dan Perspektif tentang Perencanaan Pengantar: paradigma rasionalitas

D

ari review terhadap penelitían tentang efektivitas sekolah dan integrasi terhadap hasil-hasil penelitían yang menghasilkan model tersebut, seperti dilukiskan dalam Gambar 3, jelas bahwa kondisi lunak pendidikan dapat dibedakan pada berbagai tingkat agregasi. Dinyatakan secara populer bahwa, daftar kondisi lunak ini mengacu pada 'apa bekerja' dalam pendidikan. Dalam bab ini, pertanyaan diperluas untuk menyelidiki prinsip di balik 'mengapa' faktor-faktor yang diidentifikasi itu tampak bekerja. Ini membawa kita kepada ranah teori tentang perencanaan, manajemen dan berfungsinya organisasi, serta prinsip dasar yang bisa menjelaskan perilaku berorientasi-tugas yang efektif dalam sistem sosial. Di sini, paradigma rasionalitas dipilih sebagai kerangka untuk mendiskusikan tentang model perencanaan dan cara bagaimana hai ini dapat dihubungkan dengan temuan penelitían tentang efektivitas sekolah secara empiris. Paradigma rasionalitas terletak pada inti teori tentang perencanaan dan pembuatan kebijakan publik.

77

Prinsip dasar paradigma rasionalitas adalah: •

Perilaku berorientasi tujuan; Pilihan optimal antara sarana alternatif untuk mencapai tujuan yang ada; Mengakui bahwa garis pilihan individu dan tujuan organisasi merupakan isu utama dalam penentuan organisasi.

Pembedaan penting yang bertalian dengan pertanyaan apakah tujuan dianggap sebagai sesuatu 'yang diberikan' [given) kepada perencana sosial atau designer, atau apakah proses memilih tujuan tertentu dilihat sebagai bagian dari proses perencanaan secara umum. Dalam kasus pertama pendekatannya adalah 'instrumental', sedangkan istilah 'rasionalitas substansial' (Morgan, 1986, him. 37) kadang-kadang digunakan untuk yang terakhir. Dinyatakan lebih populer, bahwa pendekatan instrumental inheren dalam ungkapan 'melakukan sesuatu hai secara benar' sedangkan perspektìf substansial meminta pertanyaan tambahan 'melakukan hai yang benar'. Pada garis besamya, model yang secara implisit digunakan dalam penelitian tentang efektivitas sekolah sesuai dengan model rasionalitas ekonomi sungguh dengan baik (lihat Bab I). Rasionalitas ekonomi menerapkan paradigma rasionalitas pada proses produksi organisasi, dan oleh karena itu, juga sering diacu sebagai model produktivitas. Hubungan dasar sarana-tujuan dianggap dalam model produktivitas dikondisikan dalam proses 'dasar' atau proses kerja organisasi. Ini juga merupakan kasus penelitian berorientasi ekonomi tentang 'fungsi produksi pendidikan' (Biarawan, 1992), dan juga skema produktifitas pendidikan yang sebagian besar tergantung pada penelitian mengenai lingkungan pengajaran dan pembelajaran (Walberg, 1984) ; (lihat Bab II).

78

Biasanya, dalam penelitian tentang efektivitas sekolah, penafsiran instrumental paradigma rasionalitas secara implisit dipilih, dengan pertimbangan karena kompetensi sekolah dasar yang akan diperoleh para murid biasanya dianggap sebagai ukuran yang diberikan bagi evaluasi terhadap efektivitas. Semata-mata mengklasifikasi penelitian tentang efektivitas sekolah dalam kaitannya dengan paradigma rasionalitas itu sendiri, juga tidak banyak membantu kita dalam mencari prinsipprinsip yang mendasari atau mekanisme yang bisa menjelaskan mengapa kondisi atau faktor tertentu tampak 'bekerja' dalam pendidikan. Bagaimanapun, harus dicatat, bahwa paradigma rasionalitas bukan hanya suatu alat analitis untuk menggambarkan kenyataan sosial, tetapi juga mempunyai konotasi preskriptif yang sangat kuat. Bergantung pada penafsiran tertentu terhadap keseluruhan paradigma, prinsip spesifìk ditekankan karena menghasilkan peningkatan bagi berfungsinya organisasi secara efektif. Tiga prinsip ini akan dibahas dan dapat disebutkan sebagai berikut: •

'perencanaan synoptic dan struktur formal';



'menyejajarkan tujuan individu dan organisasi dengan menciptakan kondisi pasar'; 'perencanaan retroactive dengan menggunakan evaluasi dan umpan balik yang sesuai'.

Jenis organisasi yang dihubungkan dengan tiga prinsip ini adalah, berturut-turut: birokrasi, sekolah otonomi atau sekolah 'yang diswastakan' (privativa), dan sekolah sebagai organisasi pembelajaran. Latar belakang teoritisnya adalah: teori perencanaan 'klasik' dan manajemen secara ilmiah, teori pilihan publik, dan siberneük.

79

Perencanaan Synoptic dan Strukturisasi Birokrasi Secara formal, 'model rasionalitas yang murni' (Dror, 1968) memungkinkan kalkulasi dari pilihan optimal antar alternatifalternatif yang ada setelah tata pilihan yang sempuma dari 'keadaan terakhir' {'end states) atau tujuan-tujuan yang mungkin dari sebuah sistem yang telah dibuat. Rondisi ideal ini dekati dalam teori keputusan matematik, seperti halnya dalam teori permainan, di mana penataan pilihan yang berbeda-beda dari para aktor yang berbeda-beda juga dapat diperhitungkan. Bagi kebanyakan situasi 'kehidupan nil' dari berfungsinya organisasi, asumsi-asumsi rasionalitas yang murni bagaimanapun terlalu kuat. Konstruk Simon (1964) mengenai 'rasionalitas yang dibatasi' memodifikasi asumsi-asumsi penting tersebut dengan pengakuan bahwa kapasitas informasi para pengambil-keputusan biasanya terbatas hanya untuk mempertimbangkan sedikit keadaan terakhir (end state) dan tujuan-tujuan alternatif yang memungkinkan. Cohen, March dan Olsen (1972) dan March dan Olsen (1976) bahkan lebih lanjut mengkritik kenyataan deskriptif dari model rasionalitas yang murni. Cohen et al. (1972) menguraikan anarki terorganisir sebagaimana ditandai oleh 'pilihanpilihan problematik', 'teknologi yang belum jelas' dan 'partisipasi yang cair'. Berkenaan dengan pilihan-pilihan problematik, mereka menyatakan bahwa organisasi dapat "lebih baik diuraikan sebagai koleksi ide yang lepas dibanding sebagai struktur koheren; ia menemukan pilihan melalui tindakan lebih daripada bertindak atas dasar pilihan" (ibid., him. 1). Teknologi yang belum jelas berarti bahwa anggota organisasi tidak memahami proses produksinya dan bahwa, oleh karena itu, organisasi berjalan atas dasar trial and error (mencoba-coba). Ketika ada partisipasi yang cair, di mana para peserta bercampur baur dalam sejumlah waktu dan usaha yang mereka curahkan bagi domain pengambilan keputusan yang berbeda-beda (ibid., him. 1).

80

Menurut Cohen et al., pengambilan keputusan dalam anarki-anarki yang terorganisir lebih seperti rasionalisasi setelah sesuatu dilakukan dibanding perencanaan berorientasi tujuan yang rasional. Mereka melihat organisasi-organisasi pendidikan tampaknya sebagai calon bagi jenis pengambilan keputusan ini. Dalam kaitan dengan koordinasi, anarki-anarki yang terorganisir mempunyai suatu struktur otoritas yang tidak jelas dan kapasitasnya kecil saja untuk merumuskan mekanisme standarisasi. Implikasi lain adalah koneksi yang lepas antara tindakan individu dan tindakan organisasi, karena tindakan individu internal mungkin dipandu oleh prinsip selain dari produksi hasil substantif (misalnya alokasi status, mendefinisikan kebenaran dan kebajikan organisasi). Meskipun adanya semua pembatasan-pembatasan ini mengenai kenyataan deskriptif dari pengambilan keputusan yang bersifat rasional dan perencanaan dalam sebuah organisasi, bahkan sebagian besar análisis kritis meninggalkan beberapa ruang bagi kemungkinan membentuk kenyataan sesuai dengan prinsip inti ini. Jenis aktivitas pertama yang bisa menyebabkan hai ini adalah perencanaan 'synoptic'. Idealnya, tujuan perencanaan synoptic adalah untuk mengkonseptualisasikan spektrum luas tujuan jangka panjang dan sarana yang memungkinkan dalam mencapai tujuan ini. Pengetahuan ilmiah tentang hubungan instrumental dianggap memainkan peran yang penting dalam pemilihan alternatif. Gagasan Campbell (1969) tentang reformasi sebagai eksperimen mengkombinasikan pendekatan perencanaan rasional dalam inovasi sosial (misalnya pendidikan) dengan pendekatan ilmiah quasi-eksperimentasi. Gagasan umum menghubungkan penelitian tentang efektivitas sekolah dengan peningkatan sekolah, di mana hasil penelitian tentang efektivitas sekolah dilihat sebagai

81

petunjuk bagi proyek peningkatan sekolah, juga sesuai dengan gagasan rasional, perencanaan synoptic sungguh baik. Aplikasi pendidikan lain dan gagasan perencanaan synoptic adalah model preskriptif dari rancangan pengajaran, seperti model Tyler yang terkenal itu (Tyler, 1950), dan model offspring? seperti yang dikembangkan Gage, model pengajaran seperti model 'pengajaran langsung' (lihat Creemers, 1994) dan kerangka untuk perencanaan pengembangan sekolah (Hargreaves dan Hopkins, 1991). Karakteristik utama dari perencanaan synoptic sebagai prinsip preskriptif yang kondusif bagi berfungsinya organisasi yang efektif, ketika diterapkan pada pendidikan, adalah: •

Sebuah pernyataan yang 'proaktiP terhadap tujuan dan deduksi yang haü-hati terhadap tujuan yang konkret, sasaran yang operasional dan instrumen penilaian;



Rancangan yang hati-hati terhadap mata pelajaran, menciptakan tata urutan dengan cara bahwa sasaran antara dan akhir didekati secara sistemaos; Penyejajaran metode-metode pengajaran (rancangan situasi didaktis) sesuai dengan golongan mata pelajaran yang ada; Monitoring kemajuan belajar para siswa, terutama dengan menggunakan tes objektif.

Sebagaimana dinyatakan sebelumnya, dengan adanya orientasi ke arah proses dasar, yang inneren dalam rasionalitas ekonomi, pendekatan perencanaan synoptic dalam pendidikan menerapkan hampir semua pada perencanaan kurikulum, rancangan buku teks, rancangan instruksional dan persiapan rangkaian pelajaran. Ketika ideal perencanaan rasional diperluas hingga ke struktur organisasi, maka prinsip-prinsip yang terkait mengenai 'pengaturan yang dikendalikan' diberlakukan pada pembagian bekerja, p e m b e n t u k a n unit-unit d a n b a g a i m a n a cara 82

pengawasannya diberi bentuk. 'Struktur mekanistik', 'manajemen secara ilmiah' dan 'birokrasi mesin' adalah anting-anting struktural organisasi dalam perencanaan rasional (cf. Morgan, 1986, Bab 2). Ide dasar konsep ini bisa dirunut kembali pada Max Weber, yang menyatakan prinsip birokrasi sebagai "suatu format organisasi yang menekankan pada ketepatan, kecepatan, kejelasan, keteraturan, keandalan, dan efìsiensi yang dicapai melalui penciptaan suatu pembagian tugas yang ditetapkan, pengawasan hirarkis, serta aturan dan peraturan yang terperinci". Organisasi-organisasi pendidikan, yaitu sekolah-sekolah dan universitär, biasanya dianggap sebagai bukan yang mengepas keseluruhan gambaran mengenao mesin birokrasi. Mintzberg (1979), sesungguhnya menguraikan suatu varian birokrasi klasik, yakni birokrasi profesional, yang secara spesifik diilhami oleh organisasi-organisasi pendidikan. Dalam birokrasi profesional, formalisasi dan standarisasi menurut peraturan, pengawasan hirarkis melekat dan spesifikasi pekerjaan menit diterapkan dengan standarisasi melalui pelatihan dan norma-norma profesional. Jika seseorang menggambarkan suatu perbandingan antara bagaimana cara perencanaan synoptic menentakan berfungsinya organisasi yang efektif dan faktor-faktor yang diidentifikasi dalam penelitian tentang efektivitas sekolah secara empiris (misalnya Sammons et al., 1995), beberapa faktor tampaknya sesuai dan yang lain tidak. Sesungguhnya, apa yang sedang membentur dari sekitar daftar faktor-faktor ini (lihat label 7), adalah campuran unsur-unsur baik berdasarkan pada prinsip birokratis maupun mekanistik dengan unsur-unsur yang sesuai dengan gambaran organisasi yang lebih 'kultural', organik dan partisipatoris. 'Kepemimpinan perusahaan dan penuh arti', 'kesatuan tujuan', 'konsistensi praktek', 'maksimalisasi waktu belajar', 'penekanan akademis', 'fokus pada prestasi', 'organisasi yang efìsien', 'kejelasan tujuan', 'pelajaran terstruktur', 'disiplin yangjelas dan fair', 'umpan balik', 'monitoring capaian murid' dan 'evaluasi'

83

semuanya merupakan faktor yang sesuai dengan model perencanaan rasional dan birokratìs, sedangkan yang lainnya seperti 'kolegialitas', 'kerja sama' dan 'harapan tinggi' lebih sejalan dengan struktur partisipatoris dan organik. Dalam model-model konseptual tentang efektivitas sekolah lainnya, misalnya model Creemers (1994), ide penting seperti konsistensi, konsensus dan kontrol menyerupai prinsip yang menolak struktur tertata yang inneren dalam gambaran birokratìs. Prinsip Rosenshine (1987) tentang 'pengajaran langsung^ seperti 'berproses dalam langkah kecil' dan 'memberikan instruksi terperinci dan berlebih', memberikan kasus lain yang tepat. Dalam studi Belanda, di mana perencanaan pelajaran dan pengembangan sekolah yang sistematis secara spesifik dipelajari bagi potensi peningkatan efektivitas yang memungkinkan, hasil mengecewakan atau ambigu ditemukan (Van der Werf, 1988; Friebel, 1994). Sebagian kerja k o n s e p t u a l yang m e m p e s o n a dan penyelidikan empiris yang berkaitan diberikan dalam uraian Stringfìeld tentang 'organisasi yang keandalannya tinggi' (Stringfield, 1995; Stringfìeld, Bedinger dan Herman, 1995). Karakteristik yang mendefinisikan organisasi yang keandalannya tinggi (contoh baik pabrik daya nuklir dan sistem penerbangan) adalah sebagai berikut: Gagasan bahwa kegagalan dalam organisasi akan celaka; Kejelasan mengenai tujuan dan perasaan kuat akan misi utama organisasi dipegang oleh staf; Penggunaan prosedur operasi standar (misalnya 'catatan'); *

Pentingnya rekruitmen dan pelatihan intensif;

*

Prakarsa yang mengidentifikasi kekurangan (misalnya, monitoring sistem);

84



Perhatian sungguh-sungguh yang diberikan pada capaian, evaluasi, and análisis untuk meningkatkan proses organisasi;

*

Monitoring dilihat sebagai hai bersama, tanpa kehilangan counter-productive terhadap keseluruhan otonomi dan kepercayaan; Siap terkejut atau tergelincir (ide bahwa kegagalan kecil bisa menyebabkan terperosok ke dalam kegagalan sistem utama); Struktur hirarkis, memungkinkan pengambilan keputusan secara kolektif selama jam beban maksimum; Peralatan dirawat dengan aturan kerja paling tinggi; Fakta bahwa organisasi yang keandalannya tinggi tak terelakkan dihargai oleh organisasi mereka yang mengawasi; Ide bahwa "efisiensi jangka pendek mengambil suatu tempat duduk belakang ke keandalan tinggi" (dari Stringfield, 1995, him. 83-91).

Baik dalam evaluasi terhadap proyek peningkatan berorientasi efektivitas yang terbesar di Amerika Serikat maupun evaluasi terhadap program sekolah dasar yang sangat terstruktur (proyek sekolah Calvert-Barclay), bukti yang ditemukan mendukung validitas gambaran organisasi yang keandalannya tinggi. Proyek Calvert-Barclay terutama sekali sangat ilustratif. la menggambarkan implementasi program sekolah swasta yang secara akademis berorientasi tradisional dan sangat terstruktur dalam sebuah sekolah bagian tertua suatu kota. Keberhasilan program dalam dua settingyang sangat berbeda ini memberikan dukungan tambahan bagi kemampuan generalisasi dari pendekatan terstruktur ini. Di samping kritik-kritik yang sudah umum diketahui tentang kegunaan dari perencanaan rasional dan pendekatan-pendekatan yang dirancang secara mekanistis di dalam organisasi 85

pendidikan (misalnya, Lotto dan Clark, 1986), contoh yang disebut belakangan ini menunjukkan bahwa suatu permohonan dapat dibuat untuk program-program pendidikan yang formal, yang didukung oleh struktur yang menekankan tatanan, koordinasi dan kesatuan maksud. Tantangan terbesar sepertinya menekankan pada bagaimana secara efektif mengkombinasikan prosedur-prosedur yang terstandardisasi dan mekanistik parsial yang distrukturkan dengan kondisi-kondisi yang meskipun demudan cukup memotivasi kepada para profesional bidang pendidikan dan masih membutuhkan tilikan (insighi) yang kreatif dari semua anggota organisasi tersebut. Penyejajaran Rasionalitas Individu dan Organisasi: Teori Pilihan-Publik

Asumsi pokok dalam perencanaan synoptic dan penafsiran birokrasi tentang paradigma rasionalitas adalah bahwa organisasi bertindak sebagai unit penuh dalam arti terpadu. Usaha-usaha individual diharapkan akan diarahkan bersama-sama ke arah pencapaian tujuan organisasi. Dalam apa yang disebut citra politik dari organisasi (Morgan, 1986, Bab 6) asumsi ini ditolak: "tujuan organisasi mungkin rasional bagi kepentingan sebagian orang, tetapi üdak bagi yang lain" (ibid., him. 195). Fakta bahwa organisasi-organisasi pendidikan yang terdiri dari para profesional yang relatif otonomi dan subsistem yang digabungkan dengan bebas dilihat sebagai kondisi umum yang merangsang perilaku politik anggota organisasi itu. Teori ekonomi mikro menggambarkan perilaku organisasi (dalam kasus sekolah: para murid, para guru dan guru kepala) dalam kaitan dengan fungsi kegunaan dan fungsi produksi (Correa, 1995). Suatu parameter penting adalah jumlah waktu dan energi anggota organisasi itu sendiri yang akan berinvestasi dalam tindakan terkait dengan tugas, sebagai berlawanan dengan aktivitas yang diarahkan lainnya, misalnya menikmati kesenangan. Jumlah aktivitas terkait dengan tugas (misalnya waktu

86

tugas) dan tiap-tiap jenis aktor utama dalam suatu organisasi sekolah dapat dimasukkan sebagai salah satu variabel penjelas dalam fungsi produksi pendidikan. Secara alternatif, pentingnya pencapaian pengaruh dapat menentukan kegunaan usaha yang terkait dengan tugas dari individu tertentu. Dari perspektif ini pertanyaan tentang bagaimana cara meningkatkan efektivitas organisasi sekarang dapat dinyatakan menurut kondisi-kondisi yang menyumbang untuk merangsang dan memberi penghargaan kepada anggota organisasi karena perilaku mereka selalu mencerminkan tugas [task-related behavior). Dalam teori pilihan-publik, tidak adanya kontrol yang efektif dari badan-badan yang dipilih secara demokratis atas organisasi-organisasi sektor-publik menandai bahwa organisasiorganisasi ini sebagai terutama sekali cenderung ke perilaku yang tidak efísien, ini secara esensial disebabkan oleh waktu luang yang berikan kepada para manajer dan para petugas untuk mencapai tujuan mereka sendiri di sela-sela melayani misi utama organisasi mereka. 3 Teori pilihan-publik menyajikan hasil diagnosa terhadap kejadian ketidakefektifan organisasi, seperti penggantian tujuan, produksi jasa berlebihan, perilaku counterproductive yang keterlaluan, 'membuat bekerja' (yaitu para pejabat yang menciptakan kerjasama kerja satu sama lain), waktu dan agenda tersembunyi - d a n energi- mengkonsumsi pemisah antara sub-sub unit yang ada. Ketika waktu luang dengan kebebasan untuk menentukan unit-unit bawahan berjalan bergandengan dengan teknologi belum jelas, ini menambah keseluruhan tanah subur bagi berfungsinya organisasi tidak efísien: lihat Cohen, March dan model bak sampah pengambilan keputusan organisasi menurut Olsen, yang telah disebutkan lebih awal (Cohen et al., 1972). Tidak hanya departemen-departemen pemerintah tetapi 3

Uraian mengenai implikasi teori pilihan publik yang lebih ekstensif bagi penelitìan efektivitas sekolah telah diberikan di tempat lain, Scheerens, 1992, Bab2.

87

juga universitas-universitas sering disebut sebagai contoh dari jenis organisasi di mana gejala tersebut mungkin terjadi. Secara teoritis, perbaikan untuk jenis malfungsi organisasi ini akan menjadi suatu kelurusan yang dekat, dan idealnya bahkan suatu perserikatan, individu, sub-unit dan tujuan organisasi yang lengkap. Pendekatan praktis pada ini, seperti ditawarkan teori pilihan-publik, adalah untuk menciptakan kondisi ekstemal yang setidaknya akan menekan sebagian penyimpangan tidak efisien antara tingkat individu dan rasionalitas organisasi dari sistem itu. Untuk ini, pengaruh yang sesuai adalah penciptaan mekanisme pasar yang mampu menggantikan kontrol administratif. Persaingan yang menghasilkan kondisi pasar ini dengan begitu menjadi insentif penting untuk membuat organisasi sektorpublik menjadi lebih efisien. Esensi pilihan sebagai alternatif bagi kontrol birokratis yang menghasilkan demokrasi keterwakilan, adalah bahwa jenis demokrasi yang lebih 'lokal' yang sama sekali berbeda dituntut. Dalam kasus terakhir, sebagian besar otoritas diberikan secara langsung kepada sekolah, orang tua dan siswa (Chubb dan Moe, 1990, him. 218). Dalam 'proposal reformasi' mereka, para pengarang ini menarik suatu gambaran sistem pendidikan di mana ada banyak kebebasan untuk menemukan sekolah, suatu sistem pembiayaan yang sebagian besar bergantung pada sukses sekolah dalam persaingan bebas bagi para siswa, kebebasan memilih bagi orang tua, dan kebebasan bagi sekolah untuk mempunyai kebijakan izin masuknya sendiri. Harus dicatat bahwa titik pengaruh 'pilihan' berbeda dengan pengaruh perencanaan synoptic dan birokrasi sebagai mekanisme alternatif yang dapat menjelaskan fenomena efektivitas pendidikan. Sementara perencanaan synoptic dan birokrasi terfokus pada rancangan proses yang utama dan kondisi manajerial yang mendukung dalam area pengawasan dan koordinasi, 'pilihan' menggerakkan kondisi lingkungan eksternal sekolah. Hal ini berarti, barangkali mengherankan, bahwa kedua meka-

88

nisme tersebut secara teoritís bisa digunakan secara serempak. Walaupun berfungsinya birokrasi internal (dalam pengertian telah digambarkan dalam bagian sebelumnya) kemungkinan besar akan dilihat sebagai melekat pada organisasi negara atau pusat yang lebih besar, hai ini tidak perlu menjadi kasus. Catatan kritik yang telah dibuat berkenaan dengan model 'pilihan' adalah bahwa: pilihan-pilihan orangtua terhadap sekolah mungkin didasarkan pada kriteria selain kriteria kinerja (Riley, 1990, him. 558); 'pilihan' mungkin saja merangsang ketidaksamaan dalam pendidikan (Hirsch, 1994); dan sekolah dasar serta menengah yang sama sekali otonom mungkin mempunyai problem dalam menetapkan tingkat pendidikan umum untuk pendidikan lebih lanjut (Leune, 1994). Lagipula, aplikasi mekanimse pasar dan persaingan yang keras antara sekolah mungkin menciptakan selektifitas dan pemisahan sosial. Karena latar belakang sosial orang tua cenderung menciptakan ketídaksamaan dalam sejauhmana mereka bisa mengambil manfaat dari 'pilihan', maka prinsip persamaan kesempatan dalam pendidikan terancam. Demikian juga, sekolah boleh jadi cenderung memilih 'siswa terbaik', dan sekolah dengan populasi siswa 'yang terbaik' menarik perhatian para guru yang terbaik pula. Temuan penelitian tentang efektivitas sekolah empiris berikut sejalan dengan implikasi dari teori pilihan-publik: Stimulan orientasi prestasi dari konteks lebih lúas sebagaimana tercakup dalam model yang dilukiskan dalam Gambar 3\ Membangun kepemimpinan instruksional yang menekankan perilaku terkait dengan tugas, berorientasi produksi; •

Konsep 'waktu tugas' murid. Dua contoh terakhir ini dapat dilihat sebagai uraian baru mengenai keseimbangan yang baik antara 'pengeluaran tambahan' (overhead), 'peluang biaya' (opportunity cost) dan

89

'biaya tak terduga' (shirking) pada satu sisi, dan perilaku terkait dengan tugas pada sisi lain. •

Keempat dan terakhir, teori pilihan-publik menawarkan penjelasan umum bagi hasil perbandingan antara sekolah swasta dan negeri. Biasanya di negara-negara maju, sekolah swasta tampaknya lebih efekuf, bahkan di negara-negara di mana sekolah swasta dan negeri dibiayai oleh negara, seperti kasus di Belanda (Dijkstra, 1992).

Penjelasan bagi keunggulan sekolah swasta yang dinyatakan itu adalah bahwa (a) orang tua yang mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah ini merupakan konsumen pendidikan yang lebih aktif dan membuat permintaan khusus atas filsafaf pendidikan sekolah; dan (b) sekolah swasta mengambil manfaat dari demokrasi internal lebih besar (kesimpulan terakhir ini digambarkan atas dasar studi empiris oleh Hofman et al. (1995)). Penjelasan lebih membumi (down-to-earth) adalah bahwa sekolahsekolah swasta biasanya lebih kecil dan lebih kohesif dibanding sekolah-sekolah negeri. Bukti keunggulan dari sekolah-sekolah yang lebih otonom (dengan mengabaikan denominasi keagamaan atau status swasta/negeri) bagaimanapun tidaklah terlalu k u a t Walaupun Chubb dan Moe (1990) mengklaim telah membuktikan hai ini, hasil penelitian mereka dikritik karena alasanalasan metodologis (Witte, 1990). Di tingkat makro, tidak ada bukti yang jelas bahwa sistem pendidikan nasional dengan otonomi yang lebih bagi sekolah melaksanakan lebih baik dalam area kompetensi dasar (Meuret dan Scheerens, 1995). Para pengarang ini membandingkan indikator prestasi, seperti ratarata prestasi dalam melek huruf antar negara-negara dengan bermacam-macam tingkat otonomi sekolah mulai dari tingkat dasarmenengah, dan tidak menemukan tanda asosiasi positif apapun antara tingkat otonomi sekolah dengan prestasinya. Perspektif politik dari berfungsinya organisasi dan teori pilihan-publik sudah pada tempatnya menentang asumsi

90

rasio nautas synoptic dan asumsi birokrasi yang menyatakan bahwa semua unit dan individu bersama-sama mengejar tujuan organisasi. Argumen dan bukti mengenai hasil diagnosa (inefisiensi disebabkan oleh penyejajaran yang gagal antara rasionalitas tingkat organisasi dan individu) lebih meyakinkan dibanding perawatan (privatisasi, pilihan) sejauh efektivitas sekolah diperhatikan. Faktor kritis tampak bahwa kekuatan pasar (misalnya pilihan sekolah orangtua) mungkin tidak dipandu oleh pertimbangan mengenai capaian sekolah, bahwa sekolah tersebut mungkin 'dihadiahi' karena selain dari capaian berorientasi tujuan yang efisien. Walaupun di negara-negara industri ada kecenderungan ke arah desentralisasi dan otonomi sekolah yang meningkat, namun bagi pendidikan dasar dan menengah kecenderungan ini lebih kuat berada di domain keuangan dan manajemen sekolah dibanding berada di domian kurikulum (Meuret dan Scheerens, 1995). Kerajaan Inggris adalah contoh, di mana manajemen lokal sekolah dikombinasikan dengan kurikulum nasional dan program penilaian nasional. Juga, dalam studi kasus 'restrukturisasi' program di Amerika Serikat dan Kanada (Leithwood et al., 1995), otonomi sekolah yang meningkat terkonsentrasi dalam manajemen (berbasis-sekolah) dan 'pemberdayaan guru' di mana kebutuhan kurikulum dan standar dipelihara atau bahkan diartikulasikan lebih lanjut di tingkat sekolah atas. Stringfield (1995, him. 70) mencatat bahwa beberapa negara bagian di Amerika Serikat sudah menciptakan standar kurikulum baru, sama sekali baru, juga menciptakan tes-tes yang lebih berbasis pada prestasi dan lebih menuntut. Kemudian apa yang tersisa sebagai arah penuh keberhasilan yang memungkinkan bagi penelitian efektivitas sekolah ke depan, sebagai hasil dari análisis atas pandangan 'politik' tentang berfungsinya organisasi ini? Metafor pasar tampaknya bermanfaat hanya dalam pengertian terbatas bagi pendidikan dasar 91

dan menengah, karena pemerintah biasanya melihat perlunya standarisasi tertentu dalam wilayah-wilayah kunci dari kurikulum dalam rangka menampilkan basis umum bagi pendidikan lebih lanjut. Pada saat yang sama, perilaku 'pilihan' konsumen pendidikan boleh jadi berbeda-beda menurut sasarannya dalam merangsang sekolah untuk meningkatkan performanya, dan berbagai efek samping yang tidak diinginkan (yang lebih tidak seimbang) tidak bisa dikesampingkan. Faktor kritis tersebut menjadi muncul karena sekolah mengalami tekanan ekstemal dan ini merupakan insentif guna meningkatkan capaian menurut wilayah-wilayah kunci dalam kurikulum. Konsumen pendidikan, jika dengan baik diberitahukan, boleh jadi merupakan salah satu sumber untuk menciptakan kondisi ini, tetapi bukan satu-satunya sumber. Dari perspektif ini, dan bertentangan dengan kepercayaan penganut aliran 'pilihan' yang kuat, konsumerisme bisa dilihat dengan baik sebagai hai yang selaras dengan kebutuhan akan akuntabilitas dari tingkat pendidikan lebih tinggi, sebagaimana mekanisme evaluasi-umpan balik yang sesuai, yang dimulai dari tingkat administratif lebih tinggi, mungkin juga 'mengerjakan tugas'. Kondisi-kondisi eksternal yang berbeda ini yang dapat merangsang capaian sekolah yang selama ini belum menjadi obyek dari banyak studi empiris (dengan perkecualian berikut: Kyle, 1985; Coleman dan LaRoque, 1990; Hofman et al., 1995) dan patut diselidiki lebih lanjut, termasuk dalam konteks perbandingan internasional. Sebagai area kedua bagi penelitian lebih lanjut, statemen tentang berfungsinya organisasi sektor publik yang secara internal 'jelek' disimpulkan dari teori pilihan-publik boleh jadi digunakan sebagai petunjuk dalam mengkaji sekolah-sekolah yang luar biasa tidak efektif. Perencanaan Retroactive dan Organisasi Pembelajaran Tipe perencanaan yang kurang menuntut dibandingkan tipe perencanaan synoptic adalah praktek yang menggunakan informasi evaluatif tentang berfungsinya organisasi sebagai basis tin92

dakan yang berorientasi peningkatan atau korektif. Dalam perencanaan kasus yang mungkin mengambil lebih 'secara bertahap', orientasi inkremental, dan 'tujuan' atau harapan diberi fungsi standar u n t u k menafsirkan informasi evaluatif. Ketidaksesuaian antara harapan dan prestasi nyata-nyata menciptakan dinamika yang pada akhirnya bisa mendorong ke arah efektivitas yang lebih besar. Alasan utama mempertimbangkan jenis perencanaan retroactive ini sebagai karena dinilai kurang menuntut dibanding tipe perencanaan proaktif, karena jenis perencanaan synoptic adalah bahwa ia memungkinkan suatu pendekatan lebih pragmatis dan praktis. Namun, menurut March dan Olsen (1976), pelajaran dari pengalaman menghadapi keterbatasan fundamental serupa sebagai perencanaan yang rasional. Ketika tujuan bersifat ambigu, sebagaimana diasumsikan para pengarang tersebut, maka ada norma-norma dan standar untuk menafsirkan informasi evaluatif. Keterbatasan lainnya adalah bagaimana cara menentukan kausalitas peristiwa yang diamati. Akhirnya, ketika informasi evaluatif berlawanan dengan berbagai vested interest dan kebiasaan sehari-hari yang mapan maka kemungkinan hai ini tak diindahkan. Literatur penelitian tentang penggunaan penelitian evaluasi untuk kepentingan keputusan kebijakan publik mengkonfìrmasi keterbatasan ini (misalnya Weiss dan Bucuvalas, 1980). Namun keterbatasan dan pembatasan ini dapat juga diambii sebagai tantangan bagi praktek evaluatif yang lebih baik (lihat contoh dalam literatur evaluasi seperti evaluasi berbasis stakeholder dan evaluasi berfokus pada kemanfaatan). Dalam sibernetik siklus penilaian, umpan balik dan tindakan korektif merupakan salah satu prinsip pokok. Morgan (1986, him. 86-87) menyatakan empat prinsip kunci sibernetik, yang merupakan 'teori komunikasi dan pembelajaran':

93

"Sistem hams mempunyai kapasitas untuk merasakan, memonitor dan meneliü aspek signifikan dari lingkungan mereka; Mereka harus mampu menghubungkan informasi ini dengan norma yang berlaku yang memandu perilaku sistem; Sistem harus mampu mendeteksi penyimpangan yang signifikan dari norma-norma tersebut; Mereka harus mampu memulai tindakan korektif ketika ketidaksesuaian terdeteksi". Dalam berbagai statemen Morgan tentang prinsip kunci ini, siklus evaluasi —> umpan balik — > tindakan korektif mempunyai orientasi ekstemal ('membaca lingkungan'). Orientasi ini lebih mendekati gagasan tentang responsifitas organisasi terhadap batasan lingkungan dibanding terhadap efektivitas dalam pengertian produktivitas dan pencapaian tujuan. Tanpa mengabaikan pembedaan antara responsifitas terhadap batasan lingkungan dan efektivitas instrumental, harus dicatat bahwa evaluasi à umpan balik à tindakan korektif dan siklus pembelajaran terdiri dari empat tahap: •

Pengukuran dan penilaian capaian; Penafsiran evaluaaf didasarkan pada norma-norma 'yang ada' atau yang baru diciptakan;



Komunikasi atau umpan balik informasi ini ke unit-unit yang mempunyai kapasitas untuk mengambil tindakan korektif, dalam kaitan dengan peningkatan yang berkaitan dengan kerja atau insentif/sanksi ke reward/aktor yang benar; (Pembelajaran) penggunaan informasi yang aktual dan berkesinambungan ini untuk meningkatkan kinerja organisasi.

94

Dalam konsepsi organisasi pembelajaran, pertanyaan mengenai pengaturan struktural mana yang kondusif bagi evaluasi —> umpan balik —> siklus peningkatan didekati dari perspektif responsifìtas terhadap lingkungan. Beberapa kondisi organisasi yang dianggap penting dalam konteks ini, bagaimanapun, juga tampaknya diterapkan pada efektivitas instrumental. Contohnya adalah: dorongan keterbukaan dan reflektivitas, pengenalan tentang pentingnya menyelidiki sudut pandang berbeda, dan menghindarkan sikap bertahan terhadap prosedur akuntabilitas birokratis (Morgan, 1986, him. 90). Model organisasi pembelajaran telah dikembangkan dalam konteks "dunia bisnis yang bergerak cepat sekarang ini" (Rist and Joyce, 1995, him. 131). Keharusan bertahan dalam suatu perubahan lingkungan yang cepat membutuhkan tingkat fleksibilitas dan kapasitas yang tinggi untuk dapat mengantisipasi masa depan secara kreatif. Walaupun beberapa pengarang juga (misalnya Simons, 1989; Murphy, 1992; Southworth, 1994) menemukannya hai yang sungguh menarik untuk merujuk pada sekolah sebagai 'organisasi pembelajaran', namun ide bahwa model ini memang bisa dilihat sebagai jenis struktur organisasi sekolah yang ideal hams tidak diterima tanpa kritik. Persoalan pokok mengenai ketepatan metafor ini bagi sekolah merupakan kompleksitas lingkungan yang dinamis itu. Dalam hai ini ada pembedaan penting antar tingkat pendidikan. Dalam pendidikan dasar dan menengah, tingkat standarisasi yang sungguh-sungguh berkaitan dengan pencapaian pendidikan yang diinginkan diperlukan untuk memberikan dasar pijakan umum bagi pendidikan lebih lanjut. Tetapi dalam area pendidikan kejuruan tingkat menengah dan tinggi, juga, ada perdebatan yang berlangsung tentang apakah menggunakan seperangkat umum kualifikasi kunci, atau kurikulum lain yang akan lebih disesuaikan secara langsung dengan, misalnya, kebutuhan industri lokal. Bahkan di sektor sistem pendidikan tinggi ini pun, sejumlah standarisasi penting dalam output, kemungkinan besar hadir. De-

95

ngan adanya stabilitas relatif yang ada dalam area lingkungan sekolah tertentu, kebutuhan untuk melakukan revisi atas standar dan norma-norma yang tetap tampaknya tak beralasan, sebagaimana kasus dengan karakteristik struktural organisasi pembelajaran yang terkait. Maka, barangkali penafsiran yang lebih sederhana mengenai model organisasi pembelajaran itu lebih sesuai. 'Sederhana' di sini berarti seperangkat corak seperti konsentrasi pada optimisasi siklus evaluasi — > umpan balik — > tindakan korektif, yang memberikan seperangkat standarisasi prestasi yang relatif stabil, penciptaan peluang yang cukup bagi pengembangan staf, dan konsultasi yang berorientasi kerja antara staf. Pengaruh yang menguntungkan dari 'monitoring kemajuan siswa yang sering' merupakan bagian dari pengetahuan yang sudah diketahui umum sebagai proses-proses sekolah yang dapat meningkatkan efektivitas. Monitoring seperti itu juga telah mendapat beberapa dukungan dari penelitian tentang efektivitas sekolah secara empiris, walaupun juga ada beberapa studi di mana faktor ini tidak bisa ditunjukkan dengan berasosiasi secara positif dengan prestasi. Meta-analisis yang diringkas dalam Bab 2 menunjukkan keseluruhan korelasi positif 0.15. Dari sudut pandang teoritis, prinsip sibemetik mengenai evaluasi — > umpan balik — > tindakan sangat kuat sebagai mekanisme penjelas dari efektivitas organisasi. Harus dicatat bahwa evaluasi dan umpan balik juga mempunyai tempat dalam perencanaan synoptic/struktur birokratis seperti juga dalam teori pilihan-publik. Dalam kasus pertama evaluasi kemungkinan besar akan didigunakan untuk tujuan /control, sedangkan dalam kasus terakhir ada penekanan pada insentif positif dan négatif yang berhubungan dengan review dan evaluasi. Perspektif organisasional tentang organisasi pembelajaran, seperti dibahas dalam bagian ini, menyoroti implikasi evaluasi pembelajaran kognitif dan adaptif. 96

Potensi tindakan, atau potensi bagi peningkatan sekolah yang menghasilkan perbandingan standar dan capaian nyata, merupakan faktor pokok dalam model sistem dinamis seperti model yang diperkenalkan Clauset dan Gaynor (1982) dan De Vos (1989). Dapat disimpulkan bahwa studi empiris mendalam mengenai evaluasi berbasis sekolah dan monitoring murid, berhubungan dengan prosedur evaluasi dan dampaknya pada berfungsinya organisasi sekolah, patut mendapat tempat yang tinggi pada agenda penelitian tentang efektivitas sekolah yang dijalankan atas dasar teori. Ringkasan dan Kesimpulan

Secara bersama-sama, tiga penafsiran berbeda tentang paradigma rasionalitas yang dibahas dalam bab ini mencakup sebagian besar correlate pendidikan yang efektif yang telah disajikan dalam bab sebelumnya. Segi-segi berbeda ditekankan pada satu sama lain. Penafsiran íyno/tfícmenekankan strukturisasi proaktif semua jenis aktivitas dalam rangka mengoptimalkan pekerjaan berorientasi tugas di sekolah 'secara teknis'. Penafsiran pilihan-publik menekankan kondisi yang merangsang sekolah berorientasi tugas daripada dipandu oleh pilihan para aktor utama dan, dalam hai ini, lebih tertarik terhadap aspek motivasional. Gagasan mengenai perencanaan retroactive pada dasarnya menunjuk kepada peran krusial mengumpulkan informasi bagi aspek-aspek kunci berfungsinya organisasi dan penggunaan informasi ini bagi evaluasi, umpan balik (baik dalam pengertian kognitif yang merangsang pembelajaran maupun dalam pengertian bersifat motivasional dengan memberikan insentif) dan tindakan korektif. Dari tiga interpretasi terhadap paradigma rasionalitas, adalah paradigma kedua (penafsiran pilihan-publik) yang sebagian besarnya bergantung pada kondisi-kondisi di luar sekolah, seperti sistem akuntabilitas nasional, sejauhmana persaingan an-

97

tar sekolah menjadi terlembagakan sedemikian rupa dan polapola (de)sentralisasi fungsional dalam sistem itu. Ketika membandingkan penafsiran pertama dan ketiga, yaitu perencanaan synoptic versus retroactive, maka perencanaan retroactive kurang menuntut dan lebih sederhana dalam membicarakan correlate pendidikan di sekolah yang efektif sebagai cetak biru bagi praktek pendidikan yang ada. Dengan adanya ketidakpastian tentang soliditas basis pengetahuan tentang efektivitas sekolah dan keterbatasan dalam fokus sebagian besar penelitìan empiris (lihat presentasi perspeküf yang lebih luas tentang efektivitas organisasi dalam bab pertama), penafsiran lebih sederhana ini tampaknya lebih bijaksana. Oleh karena itu, dalam bab terakhir, yang mendiskusikan aplikasi, penggunaan temuantemuan penelitìan tentang efektivitas sekolah akan digambarkan dalam kerangka merancang sistem dan instrumen untuk kepentingan monitoring dan evaluasi terhadap sistem pendidikan yang ada. Seseorang tidak harus menerima tanpa kritis kesimpulan yang dinyatakan di atas, yaitu bahwa rasionalisasi dan semua kelengkapannya, seperti prestrukturisasi dan menciptakan mekanisme pasar serta sistem evaluasi, merupakan prinsip dasar bagi peningkatan efektivitas pendidikan. Terutama sekali ketika aplikasi di negara-negara sedang berkembang diperhatikan, bias budaya dalam temuan penelitìan tidak harus dilewatkan. Bias budaya ini bukan sesuatu yang misterius, tetapi semata-mata fakta bahwa temuan-temuan penelitìan tentang efektivitas sekolah secara empiris sebagian besar seringkali diperoleh dalam setting di mana ketentuan pendidikan dasar menurut fasilitas, peralatan dan bahan latihan bagi guru yang telah disiapkan. Temuan studi tentang efektivitas sekolah secara empiris di negara-negara sedang berkembang menggarisbawahi pentingnya ketentuan pendidikan dasar ini, yang harus didahulukan daripada penerapanya berdasarkan pada pertimbangan teknis. 98

IV. Aplikasi: Penggunaan Dasar Pengetahuan tentang Efektivitas Sekolah bagi Prosedur Monitoring dan Evaluasi Pengantar

A

plikasi dasar pengetahuan tentang efektivitas sekolah secara langsung hendaknya lebih proaktif menggunakan hasilhasil dari program peningkatan sekolah. Dengan cara ini, hasil penelitian tentang efektivitas sekolah sebaliknya bisa memberikan substansi bagi disiplin berorientasi prosedur yang cukup dalam peningkatan sekolah. Memang ada contoh program sangat sukses yang sudah mengadaptasi pendekatan ini: Slavin's Succès for all programme and Wang's Community for Learning project adalah kasus yang tepat (Slavin, 1996; Wang, 1999). Apa yang dimiliki bersama program ini adalah pendekatan pembelajaran dan pengajaran yang sangat terstruktur, dengan monitoring kemajuan dan umpan balik yang sering dan, jika diperlukan, tindakan perbaikan segera. Karena alasan-alasan yang telah diketengahkan dalam bab sebelumnya, dan terutama sekali ketika mempertimbangkan 99

aplikasi di negara-negara sedang berkembang, tampaknya lebih baik berkonsentrasi penggunaan lebih bijaksana, yang turun menggunakan dasar pengetahuan tentang efektivitas sekolah untuk menyusun prosedur monitoring dan evaluasi. Inilah jenis aplikasi yang akan dielaborasi dalam bab ini. Meskipun demikian, karena prinsip umum yang muncul dari lebih dari tiga dekade penelitian tentang efektivitas pendidikan agak solid, maka aplikasi proaktif yang lebih ambisius akan bertahan sementara. Dari prinsip-prinsip umum tersebut maka saran-saran tentatif berikut ini penting bagi proyek pendidikan di negaranegara sedang berkembang yang bisa diderivasi dari: •

Menggambarkan kondisi umum pendidikan atas dasar seperangkat indikator inti, meliputi kondisi kemiskinan per daerah, rata-rata partisipasi dan ketersediaan sumber daya dasar; Pada tahap awal, pengembangan menekankan pada kondisi yang merangsang tingkat partisipasi yang diharapkan dan sumber daya dasar serta fasilitas (misalnya bangunan, kelas);



Investasi dalam program pendidikan substantif yang berisi empat bagian yang terintegrasi secara baik: ujian nasional atau program penilaian, prioritas kurikulum nasional dalam subjek inti, pelatihan guru (yang dipusatkan pada penguasaan pada materi-bahan ajar dan prinsip-prinsip pengajaran) dan sistem monitoring secara nasional;



Manajemen sekolah yang didesentralisasi secara fungsional, dan juga menciptakan peluang bagi partisipasi lokal dan kontrol atas kondisi keuangan dan kondisi tenaga kerja guru; Menggunakan media berbeda (pendidikan berjenjang, kursus latihan, kurikulum model, evaluasi diri sekolah 100

sendiri) untuk meningkatkan manajemen kelas, waktu pembelajaran yang efektif dan pengajaran terstruktur (dengan hasil diagnosa, umpan balik dan tindakan perbaikan segera pada inti nya) dan untuk merangsang pembelajaran yang aktif; Menyesuaikan kondisi instruksional umum ini dengan aspek budaya lokal. Dalam sisa bab ini, aplikasi evaluatif akan difokuskan. Indikator pendidikan dan evaluasi diri sekolah sendiri akan dipertimbangkan sebagai kategori utama. Selama presentasi ini menjadi jelas bahwa ada banyak format cangkokan (hybrid) dan berbagai kemungkinan kombinasi antara evaluasi internal dan eksternal dan bahwa sinergi bisa dibangun antara monitoring üngkat-sistem, evaluasi program skala luas dan evaluasi diri sekolah sendiri. Berbagai indikator proses sekolah, dipilih dengan menggunakan dasar pengetahuan tentang efektivitas sekolah, telah mereka tempatkan di tiap-tiap format evaluasi tersebut. Indikator-indikator

Berbagai indikator pendidikan bersifat Statistik yang memungkinkan pertimbangan-pertimbangan nilai dibuat tentang aspekaspek kunci bagi berfungsinya sistem pendidikan. Untuk menekankan sifat evaluatif pertimbangan tersebut, istilah 'indikator prestasi' sering digunakan. Tercakup dalam definisi indikator pendidikan ini adalah: •

Ide bahwa kita sedang menghadapi karakteristik sistem pendidikan yang terukur; Cita-cita untuk mengukur 'aspek-aspek kunci', apakah hanya memberikan "profil kondisi sekarang scara sepintas" (Nuttall, 1989) dan bukan sebuah gambaran mendalam;

101



Syarat bahwa indikator-indikator yang ada menunjukkan semacam mutu pendidikan di sekolah yang memadai, yang menyiratkan bahwa indikator-indikator yang ada adalah Statistik yang telah menjadi titik acuan (atau standar) di mana pertimbangan nilai dapat dibuat.

Biasanya pembuatan kebijakan di tingkat nasional dianggap sebagai sumber utama bagi aplikasi indikator-indikator tersebut (sistem indikator sebagai sistem informasi kebijakan). Bagaimanapun, pandangan tentang aplikasi indikator ini harus diperluas, karena konsumen dan 'kelompok ketiga' seperti industri swasta, juga dapat dilihat sebagai pemakai informasi yang disediakan oleh sistem indikator. Demikian juga, sistem pendidikan di tingkat administratif lokal dan bahkan sekolah itu sendiri juga dapat menggunakan indikator tersebut untuk mendukung pembuatan kebijakan (sistem indikator sebagai sistem informasi manajemen). Selama dekade sekarang ini, berbagai jenis koleksi indikator, yang biasanya diacu sebagai sistem indikator, telah diusulkan dan sub-perangkat dari ini telah benar-benar digunakan. Van Herpen (1989) memberi suatu ikhtisar menyeluruh tentang apa yang ia sebut 'model konseptual indikator pendidikan'. Untuk tujuan kita cukup menguraikan beberapa perkembangan utama dari berbagai pendekatan ini bagi konseptualisasi sistem indikator pendidikan. Indikator ekonomi dan sosial merupakan sumber indikator pendidikan. 'Indikator sosial pendidikan' menggambarkan aspek pendidikan populasi, sedangkan indikator pendidikan menggambarkan capaian sistem pendidikan (Van Herpen, 1989, him. 10). Kecenderungan pertama dalam pengembangan indikator pendidikan adalah transisi dari Statistik deskriptif ke pengukuran prestasi, atau, lebih umum, pergeseran ke arah Statistik pentingnya evaluatif.

102

Jika kita menoleh perkembangan indikator-indikator pendidikan di Pusat Nasional Statistik Departemen Pendidikan Amerika Serikat, kita dapat membedakan kecenderungan kedua. Pada mulanya pusat ini menawarkan Statistik deskriptif tentang keadaan sistem pendidikan, termasuk data tentang input dan sumber daya. Sejak 1982, data 'outcome' dan 'konteks' telah diberi tempat lebih terhormat, dan dalam suatu proposal yang merancang kembali sistem data pendidikan, aspek 'proses' bagi berfungsinya sistem pendidikan juga dimasukkan (Stern, 1986; Taeuber, 1987). Dengan demikian, kecenderungan kedua ini dapat ditandai sebagai gerakan menuju sistem indikator yang lebih menyeluruh, pertama-tama melalui penambahan pengukuran output dan pengukuran konteks sampai pengukuran yang lebih tradisional terhadap input dan sumber daya, dan kedua dengan menumbuhkan minat terhadap 'faktor-faktor inputyang lunak' dan karakteristik proses. Kecenderungan ketiga agaknya berhubungan dengan kecenderungan kedua, sejauh minat terhadap karakteristik proses diperhatikan. Secara tradisional, sistem indikator berkonsentrasi pada data tingkat makro, seperti rata-rata buta huruf secara nasional, proporsi para murid yang sudah melewati ujian sekunder akhir mereka, sekolah dan lain- lain. Ketika kita berpikir tentang indikator proses sebagai mengacu pada prosedur atau teknik yang menentukan transisi input ke output, minat terhadap indikator proses ini secara alamiah menimbulkan minat terhadap apa yang berlangsung di sekolah. Maka, kecenderungan ketiga dalam mengkonseptualisasikan sistem indikator adalah untuk mengukur data di tingkat lebih besar dibanding satu tingkat agregasi (sistem nasional, sekolah, barangkali bahkan kelas), misalnya lihat Taeuber (1987) dan Scheerens et al. (1988). Hal yang implisit dari paparan di atas adalah ide bahwa model konteks à input — > proses — > output (lihat Gambar 4), yang juga digunakan dalam mengkategorikan jenis-jenis faktor

103

dalam penelitian tentang efektivitas pendidikan, merupakan skema analitik terbaik untuk mensistemaüsasikan pemikiran tentang indikator-indikator pendidikan. Gambar 4. Model Konteks —> input—> proses —> output—> outcome dalam Pendidikan Konteks Misalnya permintaan konsumen, llngkungan sekolah, pengukuran kebijakan dìtìngkatadministratif lebih friggi

1

Input Kualifikasi sumber daya guru

Pro»«

Output

Outcome

Kurikuhim Organisasi sekolah Iklim sekolah

Ukuran pretasi/ capaian

Peroleh pekerjaan

»

Konteks Evaluatif, Tingkat Agregasi dan Dimensi Waktu; Menuju Konseptualisasi Indikator Pendidikan Lebih Lanjut

Konteks Evaluatif Ada tiga konteks evaluatif berbeda di mana indikator pendidikan dapat digunakan: (a) Monitoring keadaan pendidikan di tingkat nasional atau distrik; (b) Evaluasi program; (e) Èvaluasi diri sekolah;

104

Kadang-kadang indikator dapat digunakan untuk lebih dari satu konteks aplikasi pada saat yang bersamaan. Bagaimana cara indikator-indikator OECD digunakan adalah contoh monitoring di tingkat sistem nasional dengan keuntungan tambahan yang menarik dari informasi komparatif internasional, yang dapat digunakan sebagai 'standar tertinggi untuk mengetahui tingkat kualitas' ('benchmarks). Jika pinjaman lunak dari organisasi internasional digunakan untuk reformasi sistem secara lúas atau reformasi dalam sub-sub sektor yang lengkap seperti pendidikan dasar atau menengah, evaluasi program sebagian besarnya akan bersesuaian dengan monitoring di tingkat sistem. Rancangan sederhana bagi evaluasi reformasi besar-besaran seperti itu adalah dua 'penemuan' sektor pendidikan, satu sebelum implementasi dan satu lagi segera setelah implementasi program. Dapat dikemukakan berdasarkan pengalaman masa lalu bahwa perbandingan internasional boleh jadi memberikan berbagai kemungkinan menarik bagi evaluasi proyek seperti itu, hingga tingkat tertentu sifat, konteks, dan time-frame proyek di negara-negara yang berbeda dapat diperbandingkan. Ide lain dapat menggunakan beberapa indikator OECD, dalam rangka menciptakan benchmark internasional untuk mengevaluasi sebuah keberhasilan proyek. Sejauh indikator pendidikan didasarkan pada data yang dikumpulkan di tingkat agregasi lebih rendah dibanding sistem nasional, yaitu tingkat sekolah, guru dan murid, maka indikator-indikator tersebut dapat digunakan untuk tujuan evaluasi diri sekolah. Contoh sederhana adalah informasi umpan balik ke sekolah, dengan begitu kemudian sekolah dapat membandingkan posisinya dengan indikator tertentu hingga rata-rata nasional atau standar lainnya. Kemungkinan menggunakan indikator-indikator tetap harus dipertimbangkan secara serius sebagai cara efisien untuk me-

105

níngkatkan fungsi evaluasi di suatu negara, dengan demudan menyumbang bagi peningkatan sektor pendidikan. TingkatAgregasi Sistem pendidikan mempunyai struktur hierarkis dengan tingkat administratif yang 'nested'. Sistem indikator biasanya mengabaikan struktur hierarkis dengan menggunakan Statistik yang didefinisikan di tingkat nasional atau merupakan karakteristik formal dari sistem. Contohnya adalah: rasio murid/guru dihitung sebagai rasio semua murid atau semua guru di suatu negara, dan gaji guru ditetapkan atas dasar skala gaji yang ditentukan secara nasional. Bahkan ketika mempertimbangkan penggunaan indikator hanya pada skala nasional, maka ada dua keuntungan utama untuk menggunakan data pada tingkat agregasi yang terrendah: Data disaggregate yang memungkinkan adanya variasi pengujian antar unit-unit yang ada, misalnya, perbedaan antara sekolah dalam rata-rata keberhasilan pada ujian; Data disaggregate yang memungkinkan penyesuaian lebih baik dan inferensi kausal yang lebih valid, contoh terbaik dalam pendidikan yang menggunakan apa yang disebut indikator capaian 'nilai tambah' didasarkan pada skor uji prestasi yang disesuikan dengan prestasi sebelumnya dan/ atau karakteristik latar belakang murid lainnya yang relevan. Jika seseorang mencoba membangun suatu hubungan antara, katakanlah, karakteristik organisasi sekolah dan prestasi murid, data disaggregate pada tingkat murid diperlukan untuk melakukan análisis multi-level yang sesuai. Terutama sekali ketika indikator-indikator yang digunakan untuk tujuan evaluasi program, keuntungan data disaggregate yang disebutkan di atas menjadi penting, karena mereka memberi106

kan landasan yang baku untuk menjawab pertanyaan kausal tentang efektivitas program. Keuntungan tambahan terakhir adaiah bahwa relevansi sistem indikator bagi tingkat administratif yang lebih rendali (misalnya distrik sekolah atau sekolah itu sendiri) meningkat ketika data disaggregate tersedia. Time-frame Meskipun tidak ada persoalan bahwa rancangan (quastjeksperimental harus digunakan di mana saja yang memungkinkan (bandingkan ide terkenal Campbell tentang 'Reformasi sebagai Eksperimen,' Campbell, 1969), mereka seringkali tidak mungkin diterapkan {feasible). Menggunakan indikator pendidikan dengan cara longitudinal, dengan jalan mana beberapa unit diukur di beberapa poin waktu, merupakan alternatif yang viable bagi eksperimentasi. Fungsi Indikator bagi Proses Pendidikan Dalam bagian ini pandangan yang paling dekat akan ditetapkan pada indikator-indikator proses, dan yang mencerminkan kondisi lunak proses transformasi dasar dalam pendidikan akan diberikan tempat penting (lihat Gambar 4). Berfungsinya organisasi sekolah, dan pembelajaran serta pengajaran di tingkat kelas, merupakan contoh proses transformasi pendidikan seperti itu. Secara umum dapat dikatakan bahwa indikator-indikator proses seperti itu memberi beberapa keterangan kepada apa yang terjadi dalam 'kotak cetakan' ('block box') pendidikan. Indikator-indikator proses sangat menarik dari sudut pandang kebijakan dan manajemen, karena mereka mengacu pada kondisi

107

yang merupakan perangkat lunak dan, dengan demikian, merupakan subyek kebijakan yang aktif untuk meningkatkan pendidikan. Jelas bahwa dasar pengetahuan bagi penelitian tentang efektivitas sekolah dianggap sebagai dasar pemikiran yang kemungkinannya lebih besar untuk mengidentifikasi dan menyeleksi berbagai indikator proses. Karena itu, berbagai indikator proses akan dipilih mana saja indikator yang menunjukkan asosiasi positif dengan output dan outcome pendidikan. Idealnya, berbagai indikator proses seperti itu harus mampu memprediksi output (sebagaimana dalam 'fungsi produksi pendidikan': peningkatan kondisi 'proses' memprediksi peningkatan output menurut fungsi yang tepat). Jika pengetahuan instrumental seperti itu lengkap, maka sudah sepantasnya indikatorindikator proses dapat digunakan sebagai pengganti indikator oupuL Dengan adanya kenyataan bahwa fungsi produksi pendidikan diperdebatkan dan, lebih umum, pengetahuan tentang efektivitas sekolah 'tidak lengkap', untuk mengatakan kurang (lihat bab sebelumnya), penafsiran instrumental yang kuat seperti itu tidak realistis. Masalah ini menyisakan dua kemungkinan lanjutan bagi penggunaan berbagai indikator proses: *

Sebagai 'tambahan' bagi indikator output, dengan jalan mana pada masing-masing dan setiap situasi penggunaan indikator-indikator tersebut, asosiasi antara indikator proses dan output harus digali dengan maksud 'menjelaskan' perbedaan dalam outcome antar sekolah-sekolah yang ada dan antar sistem pendidikan yang diterapkan; Penafsiran yang lemah tentang instrumentalitas, di mana indikator-indikator proses harus dilihat sebagai contoh praktik yang baik dalam pendidikan, dan, dalam hai ini,

108

dapat menimbulkan pertimbangan nilai tentang mutu pendidikan bahkan dalam absennya data output. Dalam konteks evaluasi program, indikator-indikator proses kadang-kadang didefinisikan sebagai alat perikasa atas implementasi aktual program. Tafsir atas indikator-indikator proses dengan mudah dapat didamaikan dengan satu penafsiran yang digunakan dalam bagian ini. Pemeriksaan atas implementasi merupakan hai yang sangat mendasar dan merupakan jenis administratif monitoring, sedangkan indikator-indikator proses, sebagaimana didefinisikan di atas, mengacu pada proses kausal yang lebih umum mengenai berfungsinya organisasi serta pengajaran dan pembelajaran. Ketika indikator proses telah digunakan dan penerapannya di atas di periksa, indikator-indikator tersebut akan memberi banyak informasi tentang mengapa program (yang diimplementasikan) itu dapat bekerja. Gambar 5 mengilustrasikan hai ini.

Gambar 5. Penggunaan Indikator-indikator Proses dalam Konteks Evaluasi Program

Input Program

Tingkat implementasi input-input program

Proses transformasi yang mengikuti program

Ketika evaluasi program -sebagaimana dibandingkan dengan 'monitoring'—merupakan konteks evaluatif, maka kedua jenis indikator proses dapat digunakan berdampingan dengan satu sama lain.

109

Contoh-contoh Berbagai Indikator Proses Sekolah Keterlibatan masyarakat Tingkat keterlibatan nyata orangtua dalam berbagai kegiatan sekolah (proses pengajaran dan pembelajaran, kegiatan ekstra-kurikuler dan kegiatan yang mendukung)* ; Prosentase total anggaran sekolah tahunan yang diperoleh dari masyarakat lokal* *; Sejumlah dewan sekolah lokal yang secara bijaksana memperhatikan kondisi kerja guru. Sumber Daya Manusia dan Keuangan Rata-rata tahun pengalaman guru per sekolah; Rasio murid/guru tingkat sekolah*; Rata-rata ukuran kelas per sekolah*; Proporsi guru yang memiliki kualifikasi secara formal per sekolah**; 'Overhead' manajerial sekolah (fte kepala sekolah dan deputy kepala sekolah) per 1,000 siswa)*. Kebijakan Berorientasi Prestasi Apakah sekolah menyusun standar prestasi atau tidak; Sejuhmana sekolah mengikuti karir murid setelah mereka meninggalkan sekolah; Apakah sekolah melaporkan hasil prestasi/capaian ke konsütuen lokal atau tidak.

110

Kepemimpinan Pendidikan Jumlah waku yang habiskan kepala sekolah untuk mengurus masalah pendidikan, dibandingkan dengan tugas administratif dan lainnya*; •

Apakah kepala sekolah menghargai kinerja guru** atau tidak;



Jumlah waktu yang didedikasikan bagi isu-isu instruksional selama pertemuan staf*. Kontinuität dan Konsensus di antara Para Guru Jumlah perubahan staf pada période tertentu*;



Kehadiran atau ketidakhadiran kelompok kerja atau departemen bagi mata pelajaran sekolah yang berbeda (di sekolah-sekolah menengah); Frekuensi dan durasi pertemuan formal dan informal*. Iklim yangNyaman dan Rapih



Statistik tentang angka ketidakhadiran dan pelanggaran; RatingàisvpYm sekolah yang diberikan kepala sekolah, guru dan murid. Penggunaan Waktu yang Efisien Total waktu pengajaran dan waktu per bidang mata pelajaran; Rata-rata hilangangnya waktu per jam pengajaran (berkaitan dengan organisasi, perpindahan ke ruangan, lokasi, gangguang yang berbeda-beda); Prosentase pelajaran 'yang tidak diberikan' atas dasar tahunan. Ill

Kesempatan untuk Belajar Ratingguxu atau murid tentang apakah masing-masing item uji prestasi diajarkan atau tidak. Evaluasi Kemajuan Belajar Murid Frekuensi tes-tes khusus-kurikulum pada tiap-tiap tingkat kelas*; •

Frekuensi tes-tes prestasi yang distandarisasikan*;



Guru yang betul-betul menggunakan hasil tes*. Rating mutu pengajaran Mutu pengajaran sebagaimana ài-rating oleh kelompok (guru-guru lainnya);



Mutu pengajaran sebagaimana di-rating oleh para siswa.

Evaluasi Diri Sekolah Meningkatnya evaluasi diri sekolah di negara-negara Eropa selama dekade yang lalu memiliki asal usui kemasyarakatan dan ilmiah. Desentralisasi sistem pendidikan, seperti kebijakan resmi di banyak negara, telah membangkitkan minat yang meningkat terhadap akuntabilitas, responsifitas dan peningkatan diri sekolah. Perkembangan ilmiah mengimbangi kecenderungan ini, pada satu sisi melalui perluasan metodologi evaluasi pendidikan, dan pada sisi lain, melalui konseptualisasi dan penelitian dalam bidang efektivitas sekolah dan peningkatan sekolah. Sebelum fondasi lebih rinci mengenai definisi evaluasi diri sekolah diberikan, definisi kerja yang viable adalah bahwa eva* Operasionalisasi tersedia dalam OECD/INES ** Operasionalisasi tersedia dalam Belize School Effectiveness Study

112

luasi diri sekolah sendiri berkenaan dengan jenis evaluasi pendidikan di tingkat sekolah yang diprakarasi dan setidaknya sebagiannya dikontrol oleh sekolah itu sendiri. Defittisi Ada empat kategori utama aktor di semua jenis evaluasi, termasuk evaluasi sekolah: A. Kontraktor, pemberi dana dan pemrakarsa evaluasi; B. Staf (profesional) yang melakukan evaluasi; C. Individu-individu dalam situasi obyek, yang memberikan data; D. Klien atau pengguna atau audiens hasil evaluasi. Kategori A dan D sebagiannya ada yang tumpang tindih, dalam pengertian bahwa kontraktor juga hampir selalu adalah 'pengguna', meskipun mereka boleh jadi bukanlah satu-satunya kategori pengguna. Misalnya, departemen tertentu di Kementerian Pendidikan boleh jadi adalah kontraktor dan pengguna evaluasi program tertentu, meskipun kelompok penting lainnya, seperti anggota parlemen dan pembayar pajak, juga bisa dianggap sebagai audiens yang relevan. Jika semua audiens ini diletakkan dalam situasi dalam unit organisasi yang merupakan obyek evaluasi, maka kita berbicara tentang evaluasi internal. Bahkan jika unit atau team khusus diciptakan untuk evaluasi dalam unit organisasi, namun tidak berhubungan dengan 'bagian produksi/pelayanan' proyek (Nevo, 1995; him. 48), klasifikasi evaluasi 'internal' akan diterapkan. Kemudian, pembedaan bisa dibuat antara dua jenis evaluasi eksternal: (a) Ketdka kontraktor, evaluator dan klien semuanya berada di luar unit yang sedang dievaluasi; 113

(b) Ketika unit yang dievaluasi memprakarsai dan mengontrak evaluasi ke evaluator eksternal, dan penggunanya boleh jadi baik internal secara eksklusif maupun internal dan eksternal dari obyek yang dievaluasi. Perlu dicatat bahwa pembedaan antara evaluasi internal dengan unit evaluasi internal yang terspesialisasi, dan evaluasi eksternal di mana unit (sekolah) yang memprakarsai evaluasi itu, adalah semata-mata bergantung pada í£#ínginstitusional dari evaluator. Kini evaluasi diri sekolah [school self-evaluation) didefinisikan secara sederhana yaitu sebagai jenis evaluasi sekolah internal di mana kaum profesional yang bertanggung jawab atas program atau pelayanan inri organisasi (yaitu guru dan guru kepala) melakukan evaluasi terhadap organisasi mereka sendiri (yaitu sekolah). Definisi evaluasi diri sekolah sendiri analog dengan definisi 'laporan diri' (selfreport) berikut, yang dinyatakan oleh Newfeld (1990): "Laporan diri (self report) mengacu pada produk yang dihasilkan oleh teknik pengukuran apa saja di mana individu diinstruksikan berperan baik sebagai penilai maupun pengamat serta sebagai obyek penilaian atau pengamatan" (Newfield, 1990, him. 146). Bergantung pada posisi internal atau eksternal pengguna evaluasi (D), evaluasi diri sekolah sendiri (school self-evaluation) dapat dilihat sebagai (internal D) yang berorientasi peningkatan atau (eksternal D) berorientasi akuntabilitas. Jenis Evaluasi Diri Sekolah Sendiri (School Self-Evaluation) (a) Derajat orientasi internal versus eksternal Evaluasi diri sekolah (school self-evaluation) bisa berbedabeda, bergantung pada apakah evaluasi itu 'tidak ada hubungan114

nya' ('spin-offs') dengan evaluasi eksternal atau sepenuhnya ditentukan secara internal. Kategori-kategori berikut dapat dìbedakan, yang berubah-ubah dari eksternal ke internai: •

Evaluasi diri sekolah (school self-evaluation) yang merupakan hai yang tidak ada hubungannya (spin-offs) dari program penilaian tingkat nasional atau distrik, di mana hasil belajar di sekolah merupakan umpan balik terhadap sekolah itu sendiri;



Evaluasi diri sekolah (school self-evaluation) yang menyajikan kegunaan internal dan eksternal dan tunduk pada meta-evaluasi oleh inspektorat;



Evaluasi diri sekolah (school self-evaluation) yang secara eksplisit bertujuan memberi informasi kepada konstituen eksternal dan juga bagi proses peningkatan sekolah; Evaluasi diri yang merupakan bagian dari program peningkatan yang melibatkan sejumlah sekolah (evaluasi mungkin mempunyai tujuan tambahan untuk menilai pengaruh proyek peningkatan sekolah secara keseluruhan);



Evaluasi diri yang dirancang oleh sekolah itu sendiri. West dan Hopkins (1997) mendefinisikan lebih jauh tentang orientasi evaluasi bagi peningkatan sekolah. Keduanya membedakan antara: Evaluasi dari peningkatan sekolah. Dalam kasus ini outcome dari usaha-usaha peningkatan atau kejituan dari implementasi proses dilakukan fokus. Evaluasi sekolah mempunyai orientasi sumatif.



Evaluasi ¿agi peningkatan sekolah. Dalam kasus ini evaluasi digunakan selama proses peningkatan sekolah dalam rangka membentuk proses ini lebih jauh. Orientasi ini bersifat formatif dan bukan sumatif.

115

Evaluasi sebagai peningkatan sekolah. Dalam kasus ini evaluasi dan proses peningkatan adalah satu dan sama. Barangkali istilah 'action research' merupakan ekspresi terbaik dari orientasi ini. Penulis akan menafsirkannya dengan mengeksploitasi potensi refleksif dari proses evaluasi. Misalnya, semata fakta bahwa team-team sekolah melihat pada prioritas dan metode untuk menearía kekuatan dan kelemahan dari berfungsinya sekolah, yang dapat mengarah pada peningkatan rasa kesadaran yang meningkat akan tujuan pendidikan dan kerjasama antar staf. Gambar 6 menggabungkan lima orientasi internal/eksternal dengan pembedaan West dan Hopkins sebagaimana telah disajikan di atas. Gambar 6. Kategori-kategori Evaluasi diri-sekolah (school self-evaluation) yang ditentukan oleh Orientasi Internal versus Eksternal dan Jenis Asosiasi Evaluasi Sekolah dan Peningkatan Sekolah

Orientasi internal versus eksternal

Distinga versus integrasi evaluasi dan peningkatan

Evaluasi diri sekolah sebagai hai yang terpisah (spin-oß dari evaluasi sekolah eksternal Evaluasi diri sekolah bagi tujuan internal dan eksternal, dimonitor dari tingkat pusat (yaitu inspektorat) Evaluasi diri sekolah bagi tujuan internal dan eksternal Evaluasi diri sekolah sebagai evaluasi Program peningkatan sekolah yang melibatkan lebih dari satu sekolah

116

Evaluasi peningkatan sekolah; satu rancangan bagi beberapa sekolah

Evalua» diri yang dirancang bagi Bagi masing-masing sekolah

Evaluasi peningkatan sekolah (satu sekolah) Evaluasi peningkatan sekolah (formatif, satu sekolah) Evaluasi sebagai peningkatan sekolah (penelitian tindakan, satu sekolah)

(b) Pilihan ukuran untuk menilai efektivitas organisasi Sebagaimana dijelaskan secara rinci pada Bab I, model teori organisasi seperti juga model efektivitas sekolah dilihat sebagai hanya salah satu dari beberapa perspektif efektivitas. Perspektif efektivitas, di mana model efektivitas sekolah telah cocok, dirujuk sebagai model tujuan rasional, di mana produktivitas dan efisiensi merupakan ukuran pokoknya. Model alternatif adalah: model sistem terbuka, dengan pertumbuhan dan tambarían sumber daya sebagai kriteria efektivitas; model hubungan manusia, dengan pengembangan sumber daya manusia sebagai kriteria pokok; dan modelproses internal, di mana stabilitas dan kontrol merupakan isu utama. Quinn dan Rohrbaugh (1983) menggambarkan empat model ini sebagai ditentukan oleh dua dimensi: satu yang m e n a m p i l k a n fleksibelitas versus kontrol sedangkan yang satu lagi yang merepresentasikan orientasi internai versus ekstemal (lihat Gambar 7 di bawah).

117

Gambar 7. Tipologi model efektivitas.

Model Relasi Manusia

Model Sistem Terbuka Fleksibilitas

Maksud: kohesi, moral

Maksud: fleksibilitas, kesiapan

Hasil: pengembangan sumber daya manusia

Hasil: pertumbuhan, tambarían sumber daya

Kualitas output Internal

Eksternal

Maksud: manajemen informasi, komunikasi

Maksud: perencanaan, latar tujuan

Hasil: stabilitas, kontrol

Hasil: produktivitas, Efisiensi

Kontrol Model Tujuan Rasional

Model Proses Internal

Dan kerangka ini, indikator-indikator proses tambahan bagi berfungsinya sekolah boleh jadi dihasilkan. Sejauh model tujuan rasional diperhatikan, harus dicatat bahwa model ini tidak menetapkan sasaran pendidikan mana yang relevan. Di samping pengetahuan dan ketrampilan dalam subjek sekolah dasar, tujuan pendidikan lainnya boleh jadi dikenali. Dua kategori penting dari sasaran pendidikan yang lainnya adalah pengembangan sosial, emosional dan mora/pada satu sisi dan pengembangan ketrampilan kognitif umum pada sisi lain. Demi kepentingan kami, kategori-kategori tujuan pendidikan tersebut (selanjutnya ketrampilan-ketrampilan kognitif dasar difokuskan pada dalam penelitian tentang efektivitas sekolah secara empiris) relevan dalam hai bahwa mereka agaknya mung-

118

kin memerlukan pendekatan pengajaran yang berbeda dan rancangan organisasional sekolah yang berbeda-beda dibanding variabel-variabel proses yang ditunjukkan pada perkara dalam model efeküvitas sekolah tradisional (Scheerens, 1994). Menurut Goodlad dan Anderson (1987), multi-age dan inter-age grouping memiliki keuntungan meningkatkan pengembangan sosial dan emosional dan juga efektif dalam merealisasikan tujuan pendidikan tradisional. Kerugian dari suasana yang berorientasi prestasi yang kompetitif harusnya dimodifikasi oleh rancangan organisasional tersebut, sementara kerugian motivasional promoting dan non-promoting sebagaimana dalam sistem yang bertingkat {gradea) dicegah. Non-grade\dness dan team-teaching dilihat sebagai cara merealisasikan pengajaran yang bersifat adaptif dan terpadu, rute pembelajaran yang terus-menerus. Pendekatan seperti itu dianggap dapat menyumbang pada tingkat kenyamanan dan kebahagiaan siswa di sekolah. Para psikolog pendidikan semakin menekankan pentingnya pembelajaran yang mengatur diri sendiri {self-regulated learning) dan meta-kognisi. Ketrampilan kognitif bersifat 'bebas mata pelajaran' ('subject-freé) dapat dikembangkan dengan program yang mengajarkan bagaimana cara memperoleh pengetahuan ('learning to karri). Model hubungan manusia sangat concern dengan kepuasan kerja guru. Louis dan Smith (1990) mengidentifikasi tujuh 'kualitas indikator kehidupan kerja': •

Penghormatan dari masyarakat yang relevan, seperti administrator di sekolah dan distrik, orangtua, dan masyarakat secara lúas;



Partisipasi dalam pembuatan kebijakan, yang meningkatkan rasa pengaruh guru atau kontrol atas suasana kerja mereka;

119



Interaksi profesional yang bersifat mendorong dan sering di antara kelompok/wr (misalnya kerja bersama/hubungan kolegial) dalam sekolah; Struktur dan prosedur yang menyumbang kepada rasa kemanjuran yang ünggi (misalnya, mekanisme yang memungkinkan guru mendapat umpan balik akurat dan sering tentang kinerja mereka dan pengaruh spesifik dari kinerja mereka pada pembelajaran siswa) ;



Kesempatan untuk menggunakan pengetahuan dan ketrampilan yang ada secara maksimal dan serta memperoleh pengetahuan dan ketrampilan baru (pengembangan diri); kesempatan untuk bereksperimen; Sumber daya yang memadai untuk melakukan pekerjaan; lingkungan kerja fisik yang teratur dan nyaman dihuni [pleasanij; Rasa kecocokan antara tujuan personal dengan tujuan sekolah (alienasi yang rendah).

Faktor lainnya yang juga mungkin menyumbang pada kepuasan guru adalah diferensiasi tugas, kemungkinan promosi yang jelas (sungguhpun hai ini biasanya terbatas) dan insentif keuangan, meskipun pendekatan ini terbukti counter-productive, menurut beberapa pengarang (McLaughlin dan Meiling Yee, 1988). Model sistem terbukamenekaiikaxi responsivitas sekolah sesuai dengan kondisi lingkungan yang mengitarinya. Ini berarti, di satu sisi, organisasi sekolah dapat menciptakan tiang penyangga {buffer) yang efektif terhadap ancaman eksternal dan di sisi lain, bahwa sekolah dapat memanipulasi lingkungan mereka sampai tingkatan bahwa berfungsinya mereka sendiri tidak hanya terlindungi melainkan juga ditingkatkan. Di beberapa negara (misalnya Belanda) regulasi eksternal bagi sekolah sangat longgar dan otonomi sekolah ditingkatkan. Keadaan masalah ini mem120

berikan kemungkinan bam, tetapi juga mengkonfrontasikan sekolah dengan keperluan baru, seperti melakukan kebijakan keuangan mereka sendiri. Perkembangan demografis (beberapa orang) mungkin memaksa sekolah untuk aktif mendorong pendaftaran siswa dan 'pemasaran sekolah'. Perkembangan dalam teknologi pendidikan, inisiatif bagi inovasi pendidikan dan tingkat administrasi lebih tinggi dan juga keperluan akuntabilitas dapat dilihat sebagai kekuatan eksternal tambaban yang menantang kesiapan sekolah untuk berubah. Dalam suatu studi Belanda, Gooren (1989) menemukan bukti bagi dikotomi sekolah yang didasarkan pada apakah mereka bisa atau tidak menghadapi keperluan eksternal baru ini. Sekolah yang dapat menghadapi lebih sering memiliki kepemimpinan yang kuat atau struktur kolegial, kontras dengan sekolah yang tidak biasa menghadapi yang berkaitan dengan citra organisasi sekolah yang tersegmentasi, terpaksa kehilangan pasangan (loosely-coupled). Kapasitas sekolah untuk menghadapi tuntutan yang semakin meningkat dan lingkungan yang dinamis digambarkan dalam istilah seperti 'potensi penentu kebijakan sekolah' dan 'kapasitas sekolah memperbaharui diri. Karakteristik organisasi sekolah yang dianggap menyumbang kepada kapasitas ini adalah: •

Kepemimpinan (juga dalam pengertian entrepreneurship);



Kolegialitas; Kapasitas untuk evaluasi diri dan pembelajaran (lihat misalnya gambaran Morgan tentang organisasi pembelajaran - Morgan, 1986, Bab 4); Kegiatan pemasaran sekolah yang jelas;

121

Keterlibatan orangtua yang kuat; Posisi batas-jangkauan {boundary-spanning); Dukungan agen perubahan ekstemal. Indikator yang mewakili keberhasilan responsivitas adalah jumlah pendaftaran dan karakteristik bangunan serta peralatan. Sementara model hubungan manusia menekankan diri pada aspek sosial dan kultural dari 'apa yang dipertahankan organisasi secara bersama-sama', model proses internalyang mencerminkan keasyikan dengan formalisasi dan struktur. Dari perspektif ini, faktor-faktor berikut ini sangat menarik: Dokumen perencanaan yang eksplisit (seperti kurikulum sekolah, rencana pengembangan sekolah); Aturan disiplin yang jelas; •

Formalisasi posisi; Kontinuitas dalam kepemimpinan dan staffing, Kurikulum terpadu (koordinasi lintas tingkat kelas {over grades)).

Indikator-indikator yang mewakili stabilitas organisasi sekolah adalah rata-rata tingkat kehadiran, jumlah période pengajaran yang tidak diberikan, dan gambaran tentang kontinuitas dalam staffing Indikator-indikator Kualitas Gagasan tentang indikator-indikator proses tambahan yang didasarkan pada treatmentyang lebih komprehensif tentang efektivitas organisasi diringkas dalam Gambar 8 (indikator-indikator proses yang disimpulkan dari model penelitian tentang efektivitas sekolah yang lebih sempit juga dimasukkan).

122

Gambar 8. Faktor-faktor Tambahan bagi indikator-indikator proses yang dihasilkan dari kerangka Quinn dan Rohrbaugh

Model hubungan manusia

Model sistem terbuka

Kualitas indikator kehidupan kerja penghormatan - partisipasi dalam pembuatan kebijakan - interaksi profesional - umpan balik kinerja kesempatan menggunakan ketrampilan - sumber daya - tujuan personal/organisasi yang cocok

-

entrepreneurship kolegialitas kapasitas bagi pembelajaran dan evaluasi diri aktifitas pemasaran sekolah yang jelas keterlibatan orangtua posisi batas jangkauan [boundaryspanning) agen perubahan ekstemal jumlah pendaftaran siswa sumber daya (bangunan, peralatan)

Model proses internal

Model tujuan rational

-

(Penditian tentang efektivitas sekolah) - kepemimpinan pendidikan - etos berorientasi sukses - monitoring kemajuan siswa - waktu tugas - muatan dijangkau (kesempatan belajar)

dokumen perencanaan aturan disipliner sistem informasi manajemen formalisasi posisi kontínuitas dalam staffing dan kepemimpinan - kurikula terpadu - rata-rata kehadiran - pelajaran 'yang tidak diberikan'

(Seperangkat tujuan pendidikan lebih bias) - tidak bertingkat (non-gradedness) - pengajaran team - individualisasi, diferensiasi - rute pembelajaran yang kontinu - waktu dihabiskan untuk pengembangan sosial, emosional, dan moral - kegiatan 'belajar untuk belajar' - pengujian diagnostik

123

Taksonomi Evaluasi Sekolah, Metode, Aktor4 dan Obyek yang Berbeda-beda Ketika evaluasi sekolah dalam pengertian luas - bukan evaluasi diri sekolah [school self-evaluation) yang eksklusif-dipertimbangkan, dan ketika metode dibedakan atas dasar aktor dan obyek evaluasi, seperangkat pendekatan lebih yang ekstensif dapat dibedakan menjadi: Metode Evaluasi, Ketika Murid adalah Obyek: Prosedur informal evaluasi tugas pembelajaran, penilaian [marking] [guru]; Tes kemajuan berkaitan dengan kurikulum bagi subjek berbeda (yaitu tes yang tidak distandarisasikan) [guru] ; Presentasi semi-formal tugas pembelajaran yang dikomplitkan seperti portofolio [guru] Penilaian otentik, yaitu ketika kemajuan murid dievaluasi dalam kondisi natural [guru, sekolah] ; Sistem monitoring murid mengenai tes dan penugasan [assignment) yang distandarisasikan [sekolah] Sertifikasi (tidak perlu dengan diploma) [pemerintah pusat]; Tes penilaian yang diprakarsai di tingkat sekolah atas [otoritas lokal, regional atau nasional]. Metode Evaluasi, Ketika Guru adalah Obyek: Metode formal persetujuan guru [dewan sekolah, pimpinan sekolah, inspektur]; Metode informal persetujuan guru [dewan sekolah, pimpinan sekolah]; 4

Aktor ditunjukkan di antara tanda kurung persegi

124

Evaluasi guru dengan menggunakan observasi kualitas instruksi [manajemen sekolah senior]; Ratingkualitas pengajaran oleh siswa [siswa]. Melode Evaluasi, Ketika Sekolah (atau departemen dalam suatu Sekolah) adalah Obyek: •

Diagnosis sekolah dalam bentuk apa yang disebut 'GRIDS' yang bergantung pada pendapat dan persetujuan diri staf sekolah [pimpinan sekolah, departemen];



Sistem informasi manajemen sekolah, misalnya registrasi ketidakhadiran yang terkomputerisasikan [manajemen sekolah dan tingkat administrasi lainnya]; Sistem evaluasi diri sekolah terpadu di mana penilaian proses sekolah digabungkan dengan penilaian prestasi murid [manajemen sekolah, kepala departemen] ; Apa yang disebut 'komite visitasi', dengan jalan mana kelompok peer (misalnya kolega dari sekolah lain) penyaringan dan evaluasi suatu sekolah [serikat sekolah];



Akreditasi, dengan jalan mana perusahaan swasta eksternal menyaring aspek-aspek berfungsinya sekolah yang menggunakan seperangkat standar formal [agen swasta]; Inspeksi, penilaian kualitatif atau semi-kualitatif oleh inspektur sekolah [Inspektorat] ; Indikator tingkat sekolah atau data kunci (monitoring sekolah) [manajemen sekolah dan tingkat administrasi lainnya];



Penilaian dan penelitian pasar sekolah dalam lingkungannya yang relevan, misalnya berkenaan dengan harapan tentang pendaftaran ke depan [lembaga penelitian eksternal];



Tinjauan sekolah eksternal oleh [lembaga konsultansi swasta].

125

Metode Evaluasi, Ketika Sistem Sekolah adaiah Obyek: •

Penilaian nasional [pemerintah nasional]; Evaluasi program [pemerintah nasional] ; Proyek indikator pendidikan [pemerintah nasional].

Ringkasan dan Kesimpulan; Apa yang Dapat Diterapkan di Negara-negara Sedang Berkembang Presentasi mengenai indikator dan evaluasi diri sekolah [school self-evaluation) memberikan banyak pilihan untuk membentuk fungsi evaluasi di suatu negara. Sebelum menoleh ke subyek utama, yaitu penggunaan indikator-indikator proses sekolah yang diidentifikasi atas dasar penelitian tentang efektivitas sekolah, beberapa pengamatan akan dilakukan mengenai isu prioritas dan implementasi 'konteks evaluasi' lebih besar ini. Sebagian besar bukti mengenai pengalaman di Eropa, dan secara khusus hasil dari tiga proyek penelitian yang didanai oleh Komisi Eropa: proyek EEDS [Evaluation of Educational Establishments - Van Amelsvoort et al., 1998); proyek INAP [Innovative Approaches to School Self-Evalution -Tiana (Ed.), (1999) dan proyek EVA [Quality Evolution in School Education -misalnya Hingel dan Jakobson, 1998). Ketiga proyek tersebut memberikan informasi yang ekstensif tentang studi kasus mengenai kegiatan evaluasi diri sekolah di negara-negara Eropa. Mempertimbangkan Kembali Dimensi InternaUEksternal Proyek EEDS dan INAP menemukan bukti bahwa pada prakteknya semua kasus yang dikaji di lima negara (Skotlandia, Inggris dan Wales, Spanyol, Itali dan Belanda) merupakan daya pendorong eksternalyang sangat kuat bagi proyek evaluasi sekolah yang sedang dibahas. Proyek yang dikaji biasanya merupakan bentuk cangkokan [hybridd) di mana elemen internal dan

126

eksteraal dihadirkan sekaligus. Dalam semua kasus jaringan sekolah dikolaborasikan dalam kegiatan evaluasi (diri) sekolah. Sebagian besar prakarsa berasal dari unit-unit sekolah di atas, otoritas pendidikan di tingkat lokal, di kotamadya atau agen pendukung di tingkat regional. Di semua kasus sekolah-sekolah memperoleh dukungan eksternal dan biasanya menggunakan instrumen yang dikembangkan secara eksternal. Dalam sebagaian kecil kasus sekolah-sekolah mengadaptasi instrumeninstrumen yang dikembangkan secara eksternal atau mengembangkan instrumennya sendiri dengan bantuan para ahli eksternal. Buktd yang diperoleh dari proyek EVA memberikan contoh lebih banyak mengenai inisiaüf berbasis sekolah yang murni, meskipun dukungan eksternal biasanya juga hadir dalam kasus ini.5 Realitas evaluasi diri sekolah (schoolself-evaluation), terutama sekali di negara-negara di mana praktik ini merupakan fenomena sangat mutakhir, merupakan 'evaluasi eksternal dengan tingkat partisipasi sekolah yang semakin meningkat' dan bukan merupakan evaluasi diri sekolah yang genuin. Sejauh ini, prakarsa dan strategi implementasi yang paling umum di Eropa tampaknya merupakan hai terpisah (spin-qffj dari jenis evaluasi sekolah yang diprakarsai secara eksternal. Meskipun demikian, ada contoh berbasis sekolah lain yang lebih genuin. Mengacu pada contoh lebih awal, contoh sekolah dasar Belanda yang membeli sendiri sistem monitoring untuk murid mereka, merupakan kasus yang menarik. Ada juga beberapa pengalaman sangat positif di mana sekolah bekerja sama 5

Hasil ini hingga tingkat tertentu mencerminkan fokus, atau bias sampling, dari studi ini dimana EEDS dan INAP menarik sampel proyek evaluasi diri, sedangkan EVA menarik sampel sekolah itu sendiri di masing-masing negara Uni Eropa.

127

dengan para ahli eksternal untuk menentukan skala prioritas dan standar bagi evaluasi diri sekolah (school self-evaluation) (MacBeath, 1999; Schreens, 1999). Contoh terakhir ini cenderung ke arah apa yang digambarkan West dan Hopkins dengan evaluasi sebagai metode peningkatan sekolah (West dan Hopkins, 1997). Relevansi pengalaman ini bagi negara-negara sedang berkembang ada dua: Pertama, evaluasi diri sekolah [school self-evaluation) dapat dimulai sangat baik dengan mengeksploitasi keterpisahan dari evaluasi eksternal, seperti sistem monitoring nasional atau evaluasi proyek pengembangan. Prasyarat bagi praktik tersebut adalah ketersediaan informasi di tingkat agregasi lebih rendah (sekolah, kelas) dan pengukuruan khusus yang diambil untuk mengetahui umpan balik informasi ini ke sekolah dengan suatu cara yang lebih komprehensif. Kedua, pengenalan dasar dan bentuk-bentuk sampel evaluasi diri sekolah [school self-evaluation) ke sekolah-sekolah di negara-negara sedang berkembang dapat digunakan sebagai cara praktis dan sangat mungkin [feasible) untuk membawakan proses refleksi diri dan peningkatan sekolah. Bagaimanapun, praktik terakhir ini, akan mensyaratkan kader lokal dari staf yang mendukung, misalnya inspektorat. Dukungan Eksternal Dalam semua kasus yang digambarkan dalam studi Uni Eropa, ada beberapa macam dukungan eksternal bagi sekolah yang berpartisipasi dalam proyek evaluasi diri sekolah. Jenis dukungan yang diperlukan, seperti hai yang memang sudah selayaknya, bergantung pada jenis evaluasi diri sekolah yang dipilih. Dua area dukungan utama adalah dukungan teknis dan manajemen, karena penciptaan dan pemeliharaan kondisi organisasi diperlukan bagi penggunaan evaluasi diri yang efektif. 128

Dalam kasus di mana evaluasi diri sebagian besarnya merupakan sesuatu yang terpisah (spin-off) dari evaluasi eksternal yang melibatkan banyak sekolah, data akan diproses dan dianalisis secara eksternal. Upaya khusus perlu dibuat untuk menarik data umpan balik ke sekolah itu sendiri dengan cara yang dapat diakses dan dipahami. Dalam situasi seperti ini, sekolah juga akan memerlukan beberapa petunjuk untuk dapat menafsirkan hasil serta aplikasi standar dan benchmark. Ketika pilihan dan pengembangan metode-metode evaluasi merupakan evaluasi yang lebih menekankan proses bottom-up, sekolah akan memerlukan petunjuk teknis dalam merancang macam-macam pendekatan, metode dan instrumen yang memungkinkan serta dalam teknologi pengembangan instrumen. Sebagaimana dikatakan sebelumnya, aktifitas kerjasama seperti itu, hingga tingkat tertentu, merupakan kegiatan peningkatan sekolah dengan bertumpu pada hak-haknya sendiri sebagaimana mereka mendorong team sekolah untuk bekerjasama dalam merefleksikan tujuan utama dan metode pendidikan dengan jelas. Dukungan manajemen diperlukan untuk menciptakan dan memelihara kondisi organisasi yang diperlukan untuk melakukan evaluasi diri sekolah (schoolself-evaluation). Sebetulnya implementasi evaluasi diri sekolah (school self-evaluation) dapat dilihat sebagai proses pembaruan (innovatory), di mana semua prinsip praktik yang baik diterapkan, satu hai bahwa peran kepala sekolah adalah penting. Aspek lainnya termasuk mengupayakan keterlibatan semua staf dan konstituen eksternal. Keperluan organisasi mendasar bagi pelaksanaan evaluasi diri sekolah (school self-evaluation) yang baik adalah institusionalisasi beberapa macam forum di mana para staf bisa bertemu untuk merancang kegiatan evaluasi dan mendiskusikan hasil. Dalam banyak kasus, dan di samping dukungan teknis dan manajerial, sekolah juga akan memerlukan dukungan lebih 129

substantif dalam menafsirkan hasil dan merancang tindakan korektif dan remedial untuk meningkatkan berfungsinya sekolah di daerah-daerah yang lemah. Pasti ada bahaya dalam menciptakan sebuah informasi evaluatìf yang berlebihan yang tidak sepenuhnya dieksplorasi demi tindakannya yang potensial. Secara berbeda dapat dikatakan, bahwa evaluasi diri tidak harus berhenti pada diagnosis namun hendaknya digunakan secara aktif sebagai 'terapi'. Aspek biaya Perlunya dukungan ekstemal dan petunjuk akan bergantung pada tingkat masing-masing sekolah mengembangkan pendekatan 'rancangan'-nya ^tailor-made) sendiri bagi evaluasi diri sekolah [school self-evaluation). Ekonomi skala, jika bekerja dengan jaringan sekolah dan proyek yang melibatkan banyak sekolah, akan dipertimbangkan manakala sumber dayanya langka. Evaluasi diri sekolah (school self-evaluation) didasarkan pada data umpan balik yang diperoleh dari penilaian nasional yang ada atau proyek monitoring yang menerapkan prinsip ini bahkan lebih jauh. Staf dukungan lokal untuk memandu sekolah-sekolah dalam evaluasi diri tampaknya merupakan pilihan yang paling tidak realistis bagi banyak negara sedang berkembang. Bagaimanapun, ada banyak potensi dalam proyek percobaan berskala kecil di mana penggunaan evaluasi diri sekolah dapat diimplementasikan dan dikaji dalam konteks lokal yang spesifik. Di antara aplikasi di tempat lain, pengalaman seperti itu dapat digunakan dalam rancangan kursus pelatihan sebagai bagian dari pelatihan réguler para guru dan guru kepala. Berbagai pengalaman dengan kegiatan in-service teachertraining dalam evaluasi diri sekolah (school self-evaluation) dapat juga dilihat sebagai investasi jangka panjang dalam membangun 130

kapasitas lokal. Karena hai ini mendorong ketrampilan praktis yang langsung diperlukan ketika menciptakan sekolah-sekolah yang dapat menangani otonomi dan peningkatan sekolah. Politik Mikro Eoaluasi Karena evaluasi - bahkan evaluasi diri sekolah {school selfevaluatiorij—pada. akhimya mengarah pada pertìmbangan-pertímbangan dan 'penilaian', maka beberapa kategori aktor, terutama sekali para guru, kemungkinan merasa terancam. Sekolah-sekolah biasanya telah berfungsi menurut prinsip-prinsip 'birokrasi profesional' (Mintzberg, 1979), di mana akulturasi dan pelaühan profesi merupakan mekanisme kontrol kunci dan kaum profesional yang otonom dilihat sebagai menentang teknik rasional perencanaan dan monitoring. Berbagai kegiatan evaluasi sekolah mengisyaratkan potensi kontrol eksternal dalam bidang-bidang yang secara tradisional dilindungi di bawah payung otonomi profesional para guru. Transparansi lebih besar selanjutnya diharapkan dari proses dasar dari pendidikan di sekolah kepada kelompok-kelompok eksternal, misalnya, kepala sekolah dan dewan sekolah, yang mempunyai implikasi bagi keseimbangan kekuasaan di dalam sekolah. Literatur awal tentang evaluasi program, perselisihan antara para ahli evaluasi dengan praktisi didokumentasikan sebagai konfrontasi 'dua dunia' (Caplan, 1982); dan ketegangan seperti itu tidak dapat dikesampingkan begitu saja bahkan ketika evaluasi tersebut bersifat internai dan berorientasi peningkatan. Oleh karena itu, beberapa pengarang menekankan pentingnya menciptakan kondisi yang tidak mengancam bagi evaluasi sekolah (Nevo, 1995; MacBeath, 1999). Peran ahli eksternal harus seperti penasehat dan 'kawan yang kritis' bagi sekolah. Evaluasi sekolah dapat dipersepsi dalam suatu konteks akuntabilitas dan suatu konteks peningkatan. Secara teoritis se-

131

seorang akan berharap bahwa pemahaman tentang evaluasi yang lebih kuat dalam suatu konteks akuntabilitas ketimbang dalam konteks peningkatan. Dalam praktik nyata, setìdaknya di Eropa, evaluasi diri sekolah {school self-evaluation) acapkali muncul sebagai suatu konsekuensi belaka, terpisah [spin-off atau mengimbangi terhadap penilaian yang berorientasi akuntabilitas. Rekonsiliasi dan integrasi yang berorientasi akuntabilitas dan peningkatan kemungkinan lebih besar ketika elemen kontrol eksternal, khususnya sebagian besar menggunakan sangsi, kurang keras. Di Eropa ada contoh di mana penilaian yang berorientasi akuntabilitas eksternal, seperti produksi league tables, secara aktual berfungsi sebagai insentif utama bagi sekolah untuk menaikkan jenis evaluasi diri yang memperhatikan spektrum yang luas dari aspek-aspek berfungsinya sekolah. Namun, bahkan ketika tidak ada akuntabilitas ada pada tiang pancangnya, dan evaluasi diri sekolah [school self-evaluation) dirancang dari atas, isu-isu bahwa guru menjadi merasa terancam muncul. Oleh karena itu, penting bahwa evaluasi diri sekolah [school self evaluation) secara jelas dan eksplisit diperkenalkan kepada seluruh stakeholder dan partisipan dan bahwa kegiatan yang pada awalnya dialami karena memberi penghargaan secara intrinsik dan profesional. Pada akhirnya relevansi dan penggunaan data serta aplikasi standar bagi semua staf sekolah hams berfungsi sebagai insentif yang utama bagi evaluasi diri sekolah [school self-evaluation) secara berkelanjutan. Politik mikro evaluasi sekolah ada kemungkinan berbedabeda menurut struktur dan budaya pendidikan dari suatu negara yang bersangkutan. Oleh karena itu, tidak ada petunjuk yang dapat diaplikasikan secara umum yang bisa diberikan di negaranegara sedang berkembang melainkan rekomendasi kuat yang tidak mengabaikan berbagai aspek politik dan semua reaksi yang mereka miliki terhadap isu-isu koleksi data yang dapat diandalkan [reliable), keserupaan hasil-hasil, fasilitasi database

132

yang terangkai dengan baik dan kerjasama profesional yang baik antara para guru, kepala sekolah dan staf pendukung. Ketika menerapkan evaluasi diri sekolah [school self-evaluation) di negara-negara sedang berkembang, pengalaman Eropa mengenai bentuk-bentuk cangkokan dari evaluasi sekolah internal dan eksternal bisa dilihat sebagai contoh positif dan bukan négatif. Dengan biaya yang jelas, seorang ahli yang memenuhi syarat dan kenyataan bahwa di kebanyakan negara-negara sedang berkembang penilaian tingkat-sistem dan monitoring sudah diimplementasikan atau dalam suatu tahap pengembangan, evaluasi diri sekolah [school self-evaluation) dapat keluar dari pekerjaan berat yang membosankan [get off ground) dalam membangun program-program yang memiliki jangkauan luas ini. Indikator Proses yang Diilhami Efektivitas Sekolah Dipertimbangkan Kembali Sebagaimana dinyatakan di atas, indikator proses memiliki suatu tempat di masing-masing konteks evaluatif yang digambarkan dalam bab ini. Kemungkinan termasuk juga memfasilitasi sinergi antara monitoring nasional, evaluasi program dan evaluasi diri sekolah [schoolself-evaluation). Bahkan dalam kasus-kasus di mana secara teknis tidak mungkin [feasible) untuk menghubungkan indikator-indikator proses yang secara imbal balik mengarah pada outcome, maka indikator-indikator tersebut barangkali dapat digunakan sebagai dasar untuk merenungkan tentang praktik pendidikan yang baik. Informasi tentang indikator-indikator proses yang terkait dengan efektivitas, yang diukur di tingkat sekolah dan kemungkinan juga di tingkat kelas, memiliki relevansi praktis. Hal ini terletak pada kenyataan bahwa indikator-indikator proses mengacu pada kondisi perangkat lunak pendidikan di sekolah dan dengan demikian dapat digunakan secara aktif

133

oleh aktor-aktor yang relevan untuk tujuan-tujuan reformasi dan peningkatan. Sejauh ini, isu yang belum dibicarakan adalah metodologi pengukuran indikator-indikator proses yang didasarkan pada penelitian tentang efektivitas sekolah. Studi Pemerintah Belanda (Cremers-van Wees, 1996a,b) menunjukkan bahwa (di Belanda) banyak sistem evaluasi diri sekolah {school self-evaluation) yang ada gagal memberikan data yang mendalam (hard data) tentang rehabilitas dan validitas instrumen. Pada sisi lain, ketika instrumen-instrumen dari studi-studi tentang efektivitas sekolah secara empiris digunakan, seseorang akan mengira bahwa situasi ini lebih menguntungkan (favourable). Cara efisien untuk mengukur indikator proses tingkat sekolah adalah melalui penggunaan survei terstruktur, yang diberikan kepada kepala sekolah. Bagaimanapun, dari sudut pandang metodologis, pendekatan ini memunculkan beberapa persoalan, karena data pada akhimya bergantung pada laporan sendiri yang bisa jadi bias dalam pengertian 'social desirability'. Seseorang bisa membatasi masalah ini dengan membatasi sejauh mungkin pertanyaan-pertanyaan pada persoalan-persoalan faktual saja, sehingga reaksi-reaksi yang ada bisa diverifikasi dengan membandingkannya dengan informasi dari sumbersumber lain. Ini berguna sekali terutama ketika bukti bahwa cek validasi seperti itu secara aktual senantiasa dijalankan. Pemecahan metodologis lainnya yang bisa dipertimbangkan antara lain menggunakan apa yang disebut 'pengukuran non-obtrusive', seperti catatan dan jejak fisik dari prilaku yang relevan, serta penggunaan responden berganda (misalnya rating guru di samping laporan diri kepala sekolah). Dalam konteks proyek evaluasi diri sekolah (school self-evaluation) secara khusus, hasil positif telah diperoleh dengan meminta murid menyusun rating guru, dan sebaliknya, guru membuat rating kepala sekolah (Kuyper and Swint, 1996).

134

V.

Kesimpulan: Implikasi bagi Para Perencana Pendidikan

D

ilihat dari perspektif para perencana di üngkat nasional atau regional, pengetahuan tentang apa yang berjalan ditingkat sekolah adalah penting, sungguhpun banyak faktor yang diidentifikasi tidak dapat dikontrol secara langsung dari atas. Integrasi berbagai untaian penelitian tentang efektivitas pendidikan dalam model multi-level pendidikan mengangkat pendekatan sistem terbuka, yang menyisakan ruang bagi bentuk-bentuk pengaruh tidak langsung lebih besar dari tingkat sekolah di atas. Tiga kesimpulan menonjol ketika konsep efektivitas sekolah dianalisis dan bukti penelitian yang ada ditinjau ulang: Penelitian tentang efektivitas sekolah secara empiris membicarakan bidang-bidang penting berfungsinya sekolah yang dalam fokusnya membicarakan model-model pendidikan yang membuat perbedaan kinerja nilai tambah sekolah yang dapat dilihat dalam ruang lingkup materi pelajaran (subjectmatter) dasar tradisional; betapapun tidak ada ulasan yang komplit mengenai semua tujuan pendidikan yang relevan dan kriteria efektivitas organisasi; Meskipun hasil-hasil riset menunjukkan bahwa kondisi perangkat lunak yang lebih dekat dengan proses permulaan pengajaran dan pembelajaran mempunyai dampak lebih

135

substansial dibanding faktor-faktor yang lebih jauh dari, hai ini tìdak harus mengecilkan haü upaya-upaya dan tingkat sekolah yang di atas untuk meningkatkan sekolah, terutama sekali ketika hai ini dirancang sebagai pengukuran tidak langsung untuk meningkatkan kondisi efektivitas di dalam sekolah; •

Meskipun adanya konsensus dalam rieview yang lebih kualitatif terhadap bukü penelitian tersebut, namun síntesis penelitian kuantitatif dan studi perbandingan intemasional menunjukkan ketidakmenentuan yang sungguh-sungguh tentang generalisibilitas dan ukuran pengaruh aktual dari faktor-faktor yang dianggap bisa bekerja; hai ini menghasilkan rekomendasi bahwa para perencana pendidikan belum menggunakan seperangkat faktor-faktor tersebut sebagai cetak bini preskriptif secara seragam mengenai apa yang terjadi di sekolah.

Paradigma rasionalitas, prinsip meta ilmiah sosia! yang sungguh-sungguh familiar bagi para perencana, digunakan sebagai prinsip yang mendasari dalam menjelaskan mengapa seperangkat faktor yang diidentifikasi harus bekerja. Tiga penafsiran berbeda mengenai paradigma rasionalitas yang masuk pertimbangan menghasilkan tiga impératif berbeda: •

Berpikir dahulu dan pre-struktur (perencanaan synoptic); Menciptakan insenüf bagi prilaku berkaitan dengan tugas (teori pilihan publik);



Merangsang sibemetik, yaitu mekanisme evaluasi-umpan balik (perencanaan retroactive)

Merangsang rasionalitas dalam pendidikan yang menggunakan seluruh tiga penekanan ini dianggap relevan, meskipun pilihan bagi perencanaan retroactive telah ditampilkan (lihat di bawah). Kualifikasi penting dari kesimpulan ini adalah bahwa kebutuhan dasar dalam pengertian sumber daya material dan 136

manusia hams ditempatkan sebelum meningkatnya teknik rasional dapat dianggap mulai membuat perbedaan. Ide tentang sekolah sebagai organisasi semi-otonom yang memiliki sejumlah kontrol tertentu atas efektivitasnya sendiri sesuai sangat baik dengan kebijakan desentralisasi fungsional yang telah diterapkan di banyak negara. Prinsip subsidiaritas, yang menyatakan bahwa semua yang dapat dilakukan di tingkat lebih rendah tidak mesti bisa dipakai pada tingkat yang lebih tinggi, permintaan untuk kontrol yang minimal dari level yang lebih tinggi. Pola desentralisasi fungsional tampaknya berbedabeda di antara sektor pendidikan yang ada; yakni, misalnya, sangat mungkin bahwa kurikulum dan fungsi penilaian akan dikontrol secara terpusat pada pendidikan tingkat dasar di banding pada pendidikan kejuruan tingkat menengah-atas. Menciptakan kondisi lokal yang mendorong keterlibatan orangtua dan masyarakat, serta meningkatkan fungsi evaluasi, dilihat sebagai contoh kontrol minimal dan kontrol tidak langsung. Beberapa alasan ditemukan untuk memfokuskan aplikasiaplikasi praktis pada prosedur evaluasi dan monitoring: relevansi evaluasi sebagai kondisi yang dapat meningkatkan efektivitas, ketidakmenentuan dasar pengetahuan tentang efektivitas sekolah dan gambaran evaluasi dan perencanaan retroactive yang sesuai untuk sistem pendidikan yang didesentralisasi secara fungsional. Bab terakhir ini ingin mendiskusikan peran dari indikator-indikator proses, yang diidentifikasi atas dasar penelitian tentang efektivitas sekolah, di dalam konteks indikator dan sistem evaluasi diri sekolah [school self-evaluation) itu sendiri. Bentuk-bentuk cangkokan dan kombinasi dua pendekatan ini direkomendasikan, serta efektivitas biaya dari kombinasikombinasi tersebut juga diperhatikan.

137

Daftar Pustaka Achilles, C. M., 1996, "Student Achieve More in Smaller Classes", in Educational Leadership, 53, pp. 76-77 Aitkin, M.; Longford, N., 1986, "Statistical Modelling Issues in School Effectiveness Studies", ini TheJournal of the Royal Statistical Society, Series A (General), 149, Part 1, pp. 1-43 Amelsvoort, H. W. C. H., van,; Scheerens, J., 1997, "Policy Issues Surrounding Processes of Centralization and Decentralization in European Education Systems", in Educational Research and Evaluation, 3 (4), pp. 340363 Amelsvoort, H. W. C. H. van,; Barzano, G.; Donoughue, C ; Gil, R.: Mosca, S.; Pedro, E; Scheerens.J, 1998, Evaluation of Educational Establishment. Barcelona: Universidad Oberta de Catalunya. Anderson, L. W.; Ryan, D. W.; Shapiro, B.J., 1989, The IEA Classroom Environment Study. Oxford: Pergamon Press Bangert, R. L.; Kulik, J. A.; Kulik, C. C , 1983, "Individualized Systems of Instruction in Secondary Schools", in Review of Educational Research, 53, pp. 143-158 Bereiter, C ; Kurland, M., 1982, "A Constructive Look at Follow Through Results", in Interchange, 12, pp. 1-22 Bloom, B., 1976, Human Characteristics and School Learning. New York: McGraw Hill Bosker, R. J.; Witziers, B., 1996, The Magnitude of School Effects. Or: Does it Really Matter which School a Student Attends?'New York: AERA paper

139

Bosker, R. J.; Scheerens,J., 1999, "Openbare Prestatiegegeven van Scholen; Nutügheid en Validiteit", in Pedagogische Studien, 76 (1), pp. 61-73 Brandsma, H. P., 1993, Basisschoolkenmerken en de Kwaliteit van het Onderwijs (Characteristics of Primary Schools and the Quality of Education). Groningen: R I O N Bray, M., 1994, "Centralization/Decentralization and Privatization/Publication: Conceptual Issues and the Need for More Research", in W. K. Cummings and A. Riddell (ed.), Alternatives Policies for the Finance, Control, and Delivery of Basic Education [Special Issue]. International Journal ofEducational Research, 21 (8), pp. 817-824 Brookover, W. B.; Beady, C ; Flood, P., et. al., 1979, School Social Systems and Student Achievement-Schools Can Make a Difference. New York: Praeger Publishers Brophy, J., 1996, Classroom Management as Socializing Students Into Clearly Articulated Roles. New York: AERA paper Brophy, J. ; Good, Th. L. 1986. "Teacher behavior and student achievement" . In: M. C. Wittrock (Ed.), Handbook of research on teaching, pp. 328-375. New York: McMillan Inc. Cameron, K.S.; Whetten, D. A. (Eds.). 1983. Organizational Effectiveness. A Comparison of Multiple Models. New York: Academic Press. Cameron, K.S.; Whetten, D. A. 1985. "Administrative effectiveness in higher education". In The Review ofHigher Education, 9, PP. 35-49. Campbell, D. T. 1969. "Reforms as experiments". In American Psychohgist, 24 (4). Caplan, N. 1982. "Social research and public policy at the national level", In D. B. P. (Ed.), Social Science Reseach and Public Policy-Making: a Reappraisal. Windsor, U.K.: NFER-Nelson. Card, D.; Krueger, A.B. 1992."Does school quality matter? Returns to education and the characteristics of public schools in the United States", in Journal ofPolitical Economy, WO, PP. 1-40. Carroll,J. B. 1963. "A model of School Learning", In Teacher College Record, 64, PP. 722-733.

140

Cheng, Y. C. 1993. Conceptualization and Measurement ofSchool Effectiveness: an Organizational Perspective. Atlanta: AERA paper. ChubbJ. E.; Moe, T. M., 1990. Politics, Markets and American Schools". In Washington D. C : Brookings Institute. Clauset, K.H.; Gaynor, A.K. 1982."A Syistems Prespective on Effective Schools", in Education Leadership, 40(3), PP. 54-59. Cohen, J. 1969. Statistical Power Analysis for the Behavioral Sciences (2* ed.) Hillsdele, NJ: Lawrence Erlbaum Associates. Cohen, M.D.; March,J.G.; Olsen, 1972. "A Garbage can Model or Organizational Choice", In, Administrative Science Quarterly, 17, PP. 1-25. Coleman.J.S. et al. 1966. Equality of Educational Opportunity. Washington D.C.: U.S. Government Printing Office. Coleman, P.; LaRaque, L. 1990. Struggling to be 'Good Enough': Administrative Practices and School District Ethos. London: The Falmer Press. Conley, D.T. 1997. Roadmap to Restructuring. Oregon: Eric Clearinghouse on Educational management, University of Oregon. Correa, H. 1995. "The microeconomic theory of education" [Special issue]. International Journal ofEducational Research, 23 (5). Cotton, K. 1995. Effective Scholing Practices: a Research Synthesis. 1995 Update. School Improvement Reseach Series. Northwest Regional Educational Laboratory. Creemers, B.P.M. 1994. The Effective Classroom. London: Cassell. Cremers-van Wees, LM.C.M,; Rekveld, IJ.; Brandsma, H.P.; and Bosker, RJ. 1996a. Instrument voor Kwaliteitszorg: Inventarisatie en Beschrijving. Enschede Universiteit Twente, OCTO. Cremers-van Wees, L.M.C.M.; Rekveld, IJ.; Brandsma, H.P.; Bosker, RJ. 1996b. Instrumenten voor Zeifevaluatie: Beschrijving van 31 Instrumenten. Enschede: Universiteit Twente, OCTO. Davies, J.K. 1972. "Style and effectiveness in education and training: a model for organizing, teaching and learning", In Instructional Science, 2.

141

Dijkstra, A.B. 1992. De Religìeuze Factor. Onierwijskansen en Godsdienst: een Vergelijkend Onderzpek Naar Gereformecrd-Vrijgemaakte Scholen. Nijmgen: ITS. Doyle, W. 1985. Effective secondary classroom practices. In: M J. Kyle (Ed.), Reaching for Excellence. An Effective Schools Sourcebook. Washington: U.S. Government Printing Office. Dror, Y. 1968. Public Policy-Making Reexamined. Scranton, Pennsyvania: Chandler. Duffy, Th.M.; Jonassen, D.H. 1992. Constructivism and the Technology ofInstruction: a Conversation. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Ass. Faerman, S.R.; R.E. Quinn. 1985. "Effectiveness: the Perspective from Organization Theory", In The Review of Higher Education, 9, PP. 83-100. Ferguson, R.F. 1991. "Paying for Public Education: New Evidence on How and Why Money Matters". HarvardJournal on Legislation, 28, PP. 465498. Fraser, B J.; Walberg, HJ.; Welch, W.W. ; Hattie, J.A. 1987. "Syntheses of Educational Productivity Research"{Special Issue}. InternationalJournal of Educational Research Friebel, A J . J . M . 1994. Planning van Onderwijs en het Gebruik van Planningsdocumcn: Doet dat Ertoe ? (Does Planning of Education and the Use of Planning Documents Matter?). Oldenzaal: Dinkeldruk. Fuller, B. 1987. " What school factors raise achivement in the Third World ?" In Review of Educational Research, 57(3), pp. 255-292. Fuller, B.; Clarke, P. 1994. "Raising School Effects While Ignoring Culture? Local Conditions and the Influence of Clasroom Tools, Rules and Pedagogy", In Review ofEducational Research, 64{\), pp. 119- 157. Gage, N. 1965. " Desirable behaviros of teachers", In Urban Education, 1, pp. 85-95. Galton, M. 1999. "Class Size and Pupil Achievement", In Internationaljoumal of Education Research, 29. Goodlad, J.I.; Anderson, R H . 1987. The NongradedElementary School. New York: Columbia University, Teachers College.

142

Gooren, W.AJ. 1989. "Kwetsbare en weerbare scholen en het welbevinden van de leraar", Inj. Scheerens andJ.C.Verhoeven (Eds.), SchoolorganisatU, Beleid en Onderwijskwaliteit. Lisse: Swets and Zeidinger. Grisay, A. 1996. Evolution des Acquis Cognitifi et Socio-Affectifs des Eleoes au Cours des Années de College. Liege: Universite de Liege. Hanushek, E.A. 1979. "Conceptual and Empirical Issue in die Estimation of Educational Production Functions", In Journal of Human Resourch, 14, PP.351-388. Hanushek, E.A. 1986. "The Economics of Schooling Production and Efficiency in Public Schools", In Journal ofEconomic Literature, 24, PP. 1141-1177. Hanushek, E.A. 1995. "Interpreting Recent Research on Schooling in Developing Countries", In The World Bank Reseach Observer, 10. PP. 227-246. Hanushek, E.A. 1997. "Assessing die Effects of School Resources on Student Performance: an Update", In Educational Evaluation and Policy Analysis, 19, PP. 141-164. Hargreaves, D.H.; Hopkins, D. 1991. The Empowered School. London: Cassell. Hauser, R. M.; Sewell, W. H.; Alwin, D. F. 1976, "High School Effects on Achievement", in W. H. Sewell, R. M. Hauser and D. L. Featherman (eds.), Schooling and Achievement in American Society. New York: Academic Press Haywood, H. C , 1982, "Compensatory Education", in PeabodyJournal of Education, 59, pp. 272-301 Hedges, L. V.; Laine, R. D., Greenwald, R. 1994. "Does Money Matter? A Meta-Analysis of Studies of the Effects of Differential School Inputs on Student Outcomes", in Educational Researcher, 23 (3), pp. 5-14 Herpen, M. van, 1989, Conceptual Models in Usefor Educational Indicators. Paper for the Conference on Educational Indicators in San Fransisco Hill, P. W.; Rowe, K.J.; Jones, T. 1995. SJIS: School Improvement Information Service: Version 1.1. October 1995. Melbourne: The University of Melbourne: Center for Applied Educational Research Hingel, A. J.; Jakobson, L. B., 1998. EVA Newsletter 3, November 1998. Brussels: European Commission

143

Hirsch, D. 1994. School: A Matter of Choice. Paris: OECD/CERI. Hofiman, R.; Hoeben, W.: Guldemond, H. 1995, "Denominane en Effectiviteit van Schoolbusturen" (Denomination and the Effectiveness of School Boards), in Tidjschrifi voor Onderwijresearch, 20 (1), p. 63-78 Jimenez, E.; Paquea, V. 1996, "Do Local Contributions Affect the Effectiveness of Public Schools?", in Economics of Education Review, 15, pp. 377386 Jong, T. A. B. de; Joolingen, W. R. van. 1998. "Scientific Discovery Learning with Computer Simulations of Conceptual Domains", in Review of Educational Research, 68, pp. 179-201 Kesteren, J.H.M. van. 1996. Doorlichten en Herontwerpen van Organizatie Complexen (Auditing and Redesigning Organizational Complexes). Thesis: University of Groningen Kuyper, H.; Swint, F. E. 1996. Microsopisch Schoohnderzpek (Microscopic School Research: The First Three Years of Secondary Education). Groningen: GION Kyle, M.J. (ed). 1985. Reaching for Excellence: An Effective Schools Sourcebook. Washington, D.C.: U.S. Government Printing Office Leeuw, A.C.J, de. 1982. Organisaties: Management, Analyse, Outwepen Veranding; Een Systeemvisie. Assen: Van Gorcum Liethwood, K.; Jantzi, D.; Steinbach, R. 1995. "Centrally Initiated School Restructuring in Canada", Paper presented at the ICSEI Conference, Leeuwarden, the Netherlands Leune, J.M.G. 1987. "Besluitvorming en Machtsverhoudingen in het Nederlandse Onderwijsbestel", in J. A. van Kemenade et. al. (Eds.), Onderwijs, Bestel en BeleidDeel 2. Groningen: Wolters-Noordhoff Leune,J.M.G. 1994. "Onderwijskwaliteit en de Outonomie van Scholen", in B.P.M. Creemers (ed.), Deregulering en de Kwaliteit van Het Onderwijs. Groningen: R I O N Levine, D.U.; Lezotte, L.W. 1990. Unussually Effective Schools: a Review and Analysis of Research and Practice. Madison, Winconsin: National Center for Effective Schools Research and Development.

144

Lockheed, M.; Hanushek, E. 1988. "Improving Educational Efficiency in Developing Countries: What do We Know?" in Compare, 18, (1), pp. 2138 Lockheed, M.; Verspoor, A. 1991. Improving Primary Education in Developing Countries. London: Oxford University Press Lockheed, M.E. 1988. The Measurement of Educational Efficiency and Effectiveness. New Orleans: AERA paper Lortie, D.C. 1973. "Observations on Teaching as Work'', in R.M.W Travers (ed.), Second Handbook ofResearch on Teaching. Chicago: Rand McNally Lotto, L.S.; Clark, D.L. 1986. "Understanding Planning in Educational Organizations", in Planning and Changing, 19, pp. 9-18 Louis, K.S.; Smith, B.A. 1990. "Teachers' Work: Current Issues and Prospects for Reform", in P. Rayes (ed.), Productivity and Performance in Educational Organizations, pp. 23-47. Newburry Park: SAGE MacBeath, J. 1999. "Qualitative Approaches to School Self-Evaluation", in A. Tiana (ed.), Report of the EU Project: Innovative Approaches in School Evaluation. Manuscript March, J.T.; Olsen, J.P. 1976. Ambiguity and Choice in Organization. Bergen, Norway: Universitetforlagest. McLaughlin, M.W.;Mei-ling Yee, S. 1988, "School as a Place to have a Career", in A. Lieberman (ed.), Building a Professional Culture in Schools. New York: Teachers College Press Medley, D.; Metzel, H. 1963. "Measuring Classroom Behavior by Systematic Observation", in N.L. Gage (ed), Handbook ofResearch on Teaching. Chicago: Rand McNally Meuret, D.; Scheerens,J. 1995. An International Comparison ofFunctional and Territorial Decentralization of Public Educational Systems. San Francisco: ERA paper Mintberg, H. 1979, The Structuring ofOrganizations. Englewood Chiffs: Prentice Hall Monk, D.H. 1992, Microeconomics ofSchool Productions. Paper

145

Morgan, G. 1986. Images of Organization. London: Sage Mortìmore, P.: Sammons, P.; StoU, L.; Lewis, D.; Ecob, R. 1988. School Matters: TheJunior Years. Somerset: Open Books Murphy, J. 1992. "School Effectiveness and School Restructuring: Contributions to Educational Improvement'', m School Effectiveness and School Improvement, 3 (2), pp. 90-109 Nevo, D. 1995. School-Based Education: A Dialogue for School Improvement Oxford: Pergamon Newfield,J.W. 1990. "Self-Report", in H J . Walberg and G.D. Haertel (eds), The International Encyclopedia ofEducational Evaluation, pp. 146-147. Oxford: Pergamon Press Niskanen, W.A. 1971. Bureaucracy and Representative Government. Chicago: Aldine-Atherton. Nuttal, D.L. 1989. "International Educational Indicators: The Conceptual Paper", Paper for the Meeting of the OECD Educational Indicator Projed. San Fransisco Pfeffer, J.; Salancik, G.R. 1978. The External Control of Organizations: A Resource Dependence Perspective. New York: Harper and Row. Picciotto, R. 1996. What is Education Worth? From Production Function to Institutional Capital World Bank: Human Capital Development Working Paper, No. 75 Postlethwaite, T.N.; Ross, K.N. 1992. Effective Schools in Reading: Implications for Education Planners: An Exploratory Study. The Hague: IEA Pritcett, L.; Filmer, D. 1997. What Educational Production Functions Really Show: A Positive Theory of Education. World Bank: Policy Research Working Paper of the Development Research Group on Poverty and Human Resources Purkey, S.C.; Smith, M.S. 1983. "Effective Schools: A Review", in The Elementary Schooljournal, 83, pp. 427-452 Quinn, R.E.; Rohrbaugh, J. 1983. "Spatial Model of Effectiveness Criteria Towards a Competing Values Approach to Organizational Analysis", in Management Science, 29, pp. 363-377

146

Ralph, J.H.; Fannessey, J. 1983. "Science of Reform: Some Qustìons About the Effective Schools Model", in Phi Delta Kappan, 64 (10), pp. 689-694 Reynolds, D.; Hopkins, D.; Stoll, L. 1993. "Lingking School Effectiveness Knowledge and School Improvement Practice: Toward a Synergy", in School Effectiveness and School Improvement, 4 (1), pp. 37-58 RiddelL A. 1997. "Assesing Designs for School Effectiveness Research and School Improvement in Developing Countries", in Comparative Education Review, 41 (2), pp. 178-204 Riley, D.D. 1990. "Should Market Forces Control Educational Decision Making?" in American Political Science Review, 84, pp. 554-558 Rist, R.C.;Joyce, M.K. 1995. "Qualitative Research and Implementation Evaluation: A Path to Organizational Learning", in T.E. Barone (ed.), The Issues of Educational Research [Special Issue]. InternationalJournal of Educational Research, 23 (2), pp. 127-136 Rosenshine, B. 1987. "Direct Instruction", in MJ. Dunkin (ed.), The International Encyclopedia of Teaching and Teacher Education, pp. 257-263. Oxford: Pergamon Press Sammons, P.: Hillman, J.; Mortimore, P. 1995. Key Characteristics of Effective Schools: A Review of School Effectiveness Research. London: OFSTED Scheerens,J. 1987. Enhancing Educational Opportunities for Disadvantaged Learners. Amsterdam: North-Holland Publishing Company Scheerens, J. 1990. "School Effectiveness and the Development of Process Indicators of School Functioning", in School Effectiveness and School Improvement, 1, pp. 61-80. Lisse: Swets and Zeitlinger Scheerens, J. 1992, Effective Schooling, Research, Theory and Practice. London: Cassel Scheerens, J. 1994. "The School-Level Context of Instructional Effectiveness: A Comparison Between School Effectiveness and Restructuring Models", in Ttjdschrifi voor Onderwijsresearch, 19 (1), PP. 26-38 Scheerens, J. 1999, School Effectiveness in Developed and Developing Countries: A Review of the Research Evidence. World Bank paper Scheerens, J.; Bosker, RJ. 1997. The Foundations of Educational Effectiveness. Oxford: Elsevier Science Ltd.

147

Scheerens,J. Praag, B.M.S. van (ed.), 1998. Micro-.Economic Theory and Educational Effectiveness. Enschede/Amsterdam: Universiteit Twente, OCTO/ Universiteit van Amsterdam, SEO Scheerens, J.; Stoel, W.G.R.; Vermeulen, CJ.AJ.; Pelgrum, WJ. 1988. De Haalbaarheid van een Indicatorenstelsel voor het Basis-en Voorgezft Onderwijs. Enschede: Universiteit Twente Scheerens, J.; Stoel, W.G.R.; Vermeulen, CJ.AJ.; Pelgrum, WJ. 1989. "Generalizibility of Instructional and School Effectiveness Indicators Across Nations", in InternationalJournal of Educational Research, 13 (7), pp. 789-799 Simon, H.A. 1964. Administrative Behavior. New York: Macmillan Simons, P.RJ. 1989. "Leren Leren: Naar een Nieuwe Didactische Aanpak" (Learning to Learn: Towards a New Didactice Approach), in P.RJ. Simons and J.G.G. Zuylen (ed.), Handboek Huiswerkdidactiek en GeintegreerdStudievaardighedsonderwijs (Handbook for Homework Didactics and Learning How to Learn). Heerlen: Meso Consult Slavin, R.E. 1996. Education for AIL Laise: Swets and Zeitlinger Soutworth. G. 1994. "The Learning School", in P. Ribbens and E. Burridge (eds.), Improving Education: Promoting Quality in Schools. London: Cassell. Stalling, J. 1985. "Effective Elementary Classroom Practices", in M J. Kyle (ed.), Reaching for Excellence: An Effective Schools Sourcebook. Washington, D.C.: Government Printing Office Stebbins, L.B.; St. Pierre, R.G.; Proper, E.C.; Anderson, R.R.; Cerva, T.R. 1977. "An Evaluation of Follow Through", Education as Experimentation: A Planned Variation Model, Vol IV-A. Cambridge, Mass.: Abt Associates Ine Stem, J.D. 1986. The Educational Indicators Project at the U.S. Departement of Education. Center for Statistics, U.S. Departement of Education Stringfield, S.C.; Bedinger, S.; Herman, R. 1995. Implementing a Private School Programme in an Inner-City Public School: Processes, Effects, and Implications from a Four Year Evaluation. Paper presented at the ICSEI Conference, Leeuwarden, the Netherlands

148

Stringfìeld, S.C.; Slavin, R.E. 1992. "A Hierarchical Longitudinal Model for Elementary School Effects", in B.P.M. Creemers and GJ. Reezigt (ed.), Evaluation ofEffectiveness. ICO-Publication 2 Taeuber, R.C. (ed.), 1987. "Educational Data System Redesign" [Special Issue]. InternationalJournal ofEducational Research. 11 (4), Thompson, J.D. 1967. Organizßtions in Action. NbewYork: McGraw Hill Tiana, A. (Ed.). 1999. Report of the EU Project: Innovative Approach in School Evaluation. Manuscript Tyler, R 1950. Basic Principles of Curriculum and Instruction. Chicago: University of Chicago Press Verstegen, D.A.; King, R A . 1998. "The Relationship Between School Spending and Student Achievement: A Review and Analysis of 35 Years of Production Function Research", in Journal of Education Finance, 24, pp. 243-262 Vos, H. de. 1989. "A Rational-Choice Explanation of Composition Effects in Educational Research", in Rationality and Society, 1 (2), pp. 220-239 Walberg, H J . 1984. "Improving the Productivity of American Schools", in Educational Leadership, 41, pp. 19-27 Wang, M.C.; Haertel, G.D.; Walberg, H J . 1993. "Toward a Knowledge Base for School Learning", in Review of Educational Research, 63, (3), pp. 249294 Wang, M.C.; 1999. Community for Learning: Questions and Answers. Paper Presented at ICSEI Conference, San Antonio Weeda, W.C. 1986. "Effectiviteitsonderzoek van Scholen" (Effectiveness Research on Schools), in J.C. van der Wolf and J J. Hox (Eds). Kwaliteit van het Onderwijs in het Amsterdams Pedologische Centrum, nr. 2. Lisse: Swets and Zeitlinger Weiss, C.H.; Bucuvalas, M J . 1980. "Truth Tests and Utility Tests: DecisionMakers' Kramers of Reference for Social Science Research", in American Sociological Review, 45. Pp. 303-313 Werf, M.P.C, van der. 1988. Het Schoolwerkplan in het Basisonderwijs (School Development Plans in Primary Education). Lisse: Swets and Zeitlinger

149

Wets, M.; Hopkins, D. 1997. Using Evaluation Data in Improve the Quality of Schooling. Frankfurt, Germany: ECER-Conference Witte, J.F. 1990. Understanding High School Achievement: After a Decade of Research, Do Wee Have Any Confident Policy Recommendation?'San Fransisco: AERA paper

150

Indeks A

c

Achilles 33 administratif lokal 102 Aitkin 30 akuntabilitas 131 akuntabilitas birokratis 95 Alwin 30 Amerika Serikat 71, 85, 91 análisis untung rugi 10 Anderson 64, 119 anggaran sekolah 110 aritmaaka 1, 7 asosiasi; positif 57; i tua 20

Calvert-Barclay 85 Campbell 81, 107 Card 33 Carroll 44,46 Cheng 23 Chubb 90 Clarke 56, 60, 65, 73 Clauset 97 Cohen 80, 87 Coleman 29,30,31,38 Cotton 39,40 Creemers 39,51

B Bedinger 84 Belanda 67, 84, 120, 121 benchmark 129 birokrasi profesional 131 Bloom 46 Bosker 17,21,42 Brandsma 52, 74

D Data disaggregate 106, 107 demokrasi keterwakilan 88 desentralisasi 67,91; __fungsional 69, 137 dewan sekolah lokal 110 diri sekolah 129, 137 Doyle 47

151

E Efektivitas 9; biaya 35; guru 72; organisasi 11,15-17,20,23-25,65,87, 96,98,117,122,135; pendidikan 2,6-8,22, 25, 27, 28, 34, 36,40, 51, 56, 64, 71, 75, 88, 98, 100, 104, 135; pengajaran 1, 39, 44, 47, 48, 50, 51, 54; sekolah 1, 2, 3, 5- 8, 10, 11,16-19,21-25,27,29,30, 38, 39, 42, 51, 52, 54, 59, 63-67, 70, 71, 73, 74, 77-79, 81, 83, 84, 87, 89, 91, 96-101, 108, 112, 117-119, 122, 123, 126, 134, 135, 137; sekolah terpadu 66; sosial 9; teknis 9; sekolah 27 ekonomimikro 59 Eropa 126 etnik siswa 29 evaluasi; berbasis stakeholder 93; diri 132; diri sekolah 101, 112, 114, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 133; internal 114; pembelajaran kognitif 96; pendidikan 12; program 109; sekolah 113

F Ferguson 33 Filmer 59 Fraser 48,53 Fuller 56, 60, 65, 73

fungsi-fungsi produksi pendidikan 1 Fürst 45

G Gaynor 97 Goodlad 119 Gooren 121 Greenwald 33, 53 Grisay 52 guru 111

H Hanushek 31, 32, 34, 53 Hauser 30 Hedges 33,53 Herman 84 Hopkins 115, 116, 128

I indikator; output 108; pendidikan 101, 105, 107; proses 107, 108, 134; proses sekolah 101; sosial pendidikan 102; indikator proses 118, 126, 133, 134; evaluatif 93 input; non-moneter 23; perangkat lunak 30; sumber daya 6, 35, 58, 63; sumber daya 53,54, 61,72 Itali 126

152

J

M

Jenck 38

Magari 31 maksimalisasi waktu belajar 83 malfungsi organisasi 88 manajemen sekolah 70 March 80, 87 mastery learning 44 matematika 1, 7, 37, 53 metode pengajaran 9,38, 68, 69,82 Mintzberg 14,83 model; __hubungan manusia 117,119,122; pengajaran-pembelajaran Carroll 46; produktivitas 78; proses internal 117,122; rasionalitas yang murni 80; 'síntesis buktì-terbaik 48; sistem terbuka 117, 120;tujuan rasional 117, 118 Moe 90 monitoring; capaian murid 83; kemajuan siswa 72; pendidikan 3 Morgan 94 Mortimore 52 multi-level pendidikan 135

K Kapasitas sekolah 121 karakteristik; pribadi guru 45; sekolah 31; sosio-ekonomi 30 kebijakan publik 77 Kementerian Pendidikan 113 kepemimpinan; instruksional 89; pendidikan 72; sekolah 74 Kerajaan Inggris 91 Kesteren, Van 25 ketersediaan buku teks 63 keunggulan sekolah swasta 90 keuntungan efisiensi 58 King 32 KomisiEropa 68 Konsumen pendidikan 92 konsumerisme 69; pendidikan 66 kontrol birokratìs 59 Krueger 33 Kulik 48 kurikulum model 100; pasional 100

L Laine 33, 53 Leune 68 Levine 40 Lezotte 40 Longford 30

N nilai; 'bersih' (net) 6; _ _ t a m b a h 6, 25 Niskanen 13

O Olsen 80, 87 organisasi pembelajaran 95, 96

153

orientasi prestasi 89 otonomi sekolah 91 otoritas 81; pendidikan 127 outcome pendidikan 28 output 9; pendidikan 28; sekolah 6, 9, 10, 17, 71

P Paradigma rasionalitas 77, 136 pelajaran terstruktur 83 Pelgrum 54 pembatasan; agregasi 65; instrumentalitas 66 pembelajaran kognitif 96 pencapaian tujuan 7 pendekatan; konstruktivis 48; terstruktur 85 penelitian tentang pengajaran 45 pengajaran; konstruktivis 49; langsung 44, 46, 82; yang efektif 46 pengukuran; efektivitas 11; konteks 103; output 27 peningkatan sekolah 115 perencana; pendidikan 136; sosial 78 perencanaan; rasional 82; Retroactive 92; retroactive 3, 79, 93, 97, 98, 136, 137; Synoptic 80; synoptic 3, 79, 81-86, 88, 92, 93, 96, 98, 136; 'synoptic 81 perilaku berorientasi-tugas 77 perspektif substansial 78 Picciotto 59

Pilipina 58 Postlethwaite 54 predictor efektivitas 31 Presiden Johnson 36 prestasi; belajar 29; latar belakang keluarga siswa 61; pendidikan 2, 7, 49, 58; siswa 12 Prinsip; subsidiaritas 137; subsidiaritas 67 Pritchett 59 Privatisasi 67 produksi; pendidikan 35, 87, 108; pendidikan dasar 35 produktivitas pendidikan 1, 45 Program; compensatory 28, 36; penilaian 100; peningkatan sekolah 99; Sukses 37 proses 133; bottom-up 129 Protestan 68 Proyek; EEDS 126; EVA 127; Inovasi Amsterdam 36 Purkey 39, 40

R rasionalitas; ekonomi 12, 78, 82; substansial 78; synoptic 91 reformasi sistem 105 retroactive 93 Reynolds 39 Riddell 58, 64 Roma 68 Rosenshine 45 Ross 54 154

Ryan 64

S sains 7 Sammons 39, 40 Scheerens 17,21, 39, 40, 42, 54 sektor pendidikan 106 Sewell 30 Shapiro 64 Simon 80 sistem; akuntabilitas nasional 97; indikator 103; informasi kebijakan 102; pendidikan 3,59, 65-67, 88, 92, 97, 98, 100, 101-105, 108, 111, 112, 114, 140; pendidikan nasional 90 skor prestasi 34 Skotlandia 126 Slavin 51 Smith 39,40 social desirability 134 Spanyol 126 stakeholder 20, 69, 132; eksternal 23 Stallings 44 standarisasi prestasi 96 status sosio-ekonomi 71 Stringfield 51,84 Struktur; mekanistik 83; parüsipatoris 84 studi input-output 49 subsidiaritas 67 subsidiarity 65 sukses sekolah 88

sumber daya 33; 136 synoptic 81

material

T Teori; ekonomi mikro 58, 59; ilmiah sosial 3; pilihan-publik 87,90 tiga blök variabel 54 time-frame proyek 105 tingkat; agregasi 66, 77; desentralisasi 69; otonomi sekolah 90; sekolah 135 transformasi pendidikan 107 Tyler 12

u UniEropa 128 Utrecht 36

V Van Kesteren 25 variabel; keuangan 61 ; pengajaran 35; sekolah 61; __tingkat sekolah 2,54; waktu 62 Vermeulen 54 Verstegen 32

w Walberg 48, 53 Weber,Max 83 Welch 53 West 115, 116, 128

155

Buku ini diterbitkan sebagai upaya untuk memonitor evolusi dan perubahan dalam kebijakan pendidikan, serta pengaruhnya terhadap kebutuhan perencanaan pendidikan; menyoroti isu-isu mutakhir mengenai perencanaan pendidikan dan menganalisisnya dalam konteks latar historis dan kemasyarakatannya; dan menyebarkan metodologi perencanaan yang dapat diterapkan pada konteks, baik negara maju maupun negara sedang berkembang. Dalam kajian ini, Jaap Scheerens akan mengetengahkan berbagai aspek mengenai efektivitas sekolah, dengan memberikan telaah menyeluruh yang berguna bagi para perencana pendidikan. 1979-626-141-3

L 0 MO S v WACANA ILMU DAN PEMIKIRAN