PERAN REPRESENTASI DALAM MENINGKATKAN

Download memahami konsep persamaan garis melalui berbagai representasi. Penelitian ini ... tegak lurus garis yang diketahui, dari. 38 siswa kelas du...

0 downloads 767 Views 218KB Size
PERAN REPRESENTASI DALAM MENINGKATKAN PEMAHAMAN SISWA PADA MATERI PERSAMAAN GARIS Oleh Bambang Hudiono (Matematika, PMIPA, FKIP, Universitas Tanjungpura, Pontianak E-mail: [email protected]) Abstrak: Penelitian ini mengkaji pengembangan kemampuan siswa dalam memahami konsep persamaan garis melalui berbagai representasi. Penelitian ini melibatkan dua kelompok eksperimen, dan satu kelompok kontrol dengan 216 siswa yang berpartisipasi ecara aktip. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa hasil belajar siswa yang terlibat pembelajaran dengan multi representasi dalam bentuk kelompok, lebih baik daripada yang klasikal, namun demikian keduanya lebih baik bila dibandingkan dengan siswa yang terlibat pembelajaran konvensional. Kata Kunci: Multi representasi, Persamaan garis Pendahuluan Persamaan garis merupakan konsep awal di mana siswa dapat mengembangkan konsep fungsi yang telah dipelajari sebelumnya. Berdasarkan tujuan yang diharapkan dalam kurikulum, siswa dapat menentukan persaman garis dari dua buah titik yang kordinatnya diketahui, dan menentukan koordinat sebuah atau beberapa titik yang berada pada sebuah garis yang diketahui persamaannya. Pada kenyataannya, pencapaian tujuan tersebut tidak sederhana. Pembelajaran yang menekankan pada dominasi guru dan algoritma guru yang menjadi satusatunya referensi siswa dalam menjawab permasalahan persamaan garis, mengarahkan siswa pada pembelajaran yang mekanistis dan memadamkan kreativitas siswa. Siswa berusaha sebaik mungkin menghafal cara-cara yang diberikan oleh guru dan siap menerapkannya jika diperlukan. Jarang bahkan

hampir tidak pernah terpikirkan oleh siswa untuk mengungkapkan cara lain sebagai cara yang dikuasai siswa. Penyebab tidak berkembangnya kreativitas siswa, juga dapat dikarenakan pembelajaran oleh guru yang biasannya mengikuti sebuah buku teks dari halaman pertama ke halaman berikutnya secara berurut yang sarat dengan pendekatan menggunakan symbol-simbol. Suatu proses pembelajaran matematika, sasaran utamanya adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam berfikir secara matematika. Befikir sebagai proses kontinyu dan merupakan komponen dasar dalam mempelajari matematika, memberikan konsekuensi tertentu, di antaranya pada proses pengajaran. Proses pengajaran matematika, harus menyediakan kesempatan untuk berfikir dan bernalar melalui kurikulum matematika, dan membangun pengetahuannya dengan

melibatkan pengetahuan yang telah dimiliki ke dalam pemecahan masalah di dunia nyata. Pengajaran yang demikian, selain memberikan kesempatan siswa membangun pengetahuannya melalui aktivitas matematika, juga memiliki kecenderungan untuk bertanya, elaborasi, maupun langkah pembenaran dalam proses perolehan hasil belajarnya. Penciptaan suasana pembelajaran untuk pengembangan berfikir siswa, sangat dipengaruhi oleh peran guru. Guru perlu memfasilitasi peserta didiknya untuk memahami konsep-konsep matematika yang diajarkannya, dan bukan hanya memberikan fakta, konsep dan prosedur yang lebih bersifat tertutup. Dalam pembelajaran persamaan garis, pendekatan dengan representasi simbolik tidaklah cukup. Sebagai contoh, ketika dihadapkan sebuah garis pada sumbu koordinat Cartesius, dan siswa diminta menentukan sebuah garis lain yang tegak lurus garis yang diketahui, dari 38 siswa kelas dua, seluruhnya menjawab soal tersebut menggunakan representasi simbolik (Hudiono, 2004). Siswa menyelesaikannya dengan mencari gradien dari garis yang diketahui, menentkan gradien garis yang akan dicari, mencari titik pada garis, kemudian terakhir menentukan persamaan garis yang diminta. Tidak ada satu siswapun yang berusaha menjawab soal tersebut dengan cara yang lain. Sebaiknya, guru perlu mendorong siswa untuk memecahkan masalah secara kolaboratif, saling mendengar, saling

menantang, dan menilai berbagai pendekatan masalah yang berbeda. Selanjutnya, guru juga perlu merancang dan melaksanakan suatu penilaian untuk melihat perubahan dan perkembangan kemampuan berfikir siswa, baik yang melibatkan proses maupun produk matematika yang diajarkannya. dalam pembelajaran. Guru perlu lebih memperhatikan pengetahun informal anak, mengkaitkannya dengan suasana sekolah, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun pengetahuan matematika formal, misalnya merepresentasikan peristiwaperistiwa fisik dalam berbagai model representasi: tabel, grafik, deskripsi verbal, simbolik, ataupun yang lainnya. Suatu masalah yang dianggap rumit dan kompleks, bisa menjadi lebih sederhana jika strategi dan pemanfaatan representasi matematika yang digunakan sesuai dengan permasalahan tersebut. Oleh karena itu otomatisasi pemilihan model representasi yang dimiliki siswa sangat berperan dalam pengambilan keputusan strategi pemecahan masalah matematika yang tepat dan akurat. Selanjutnya, Pape & Tchoshanov (dalam Luitel, 2001) menyatakan, “Representation can be viewed as internal-abstraction of mathematical ideas or cognitive schemata”. Sedangkan setiap skemata yang dibangun oleh siswa, terbentuk sebagai bagian dari jaringan mental internal siswa. Ini menunjukkan bahwa peran representasi dalam menggali pemahaman dalam belajar matematika adalah vital. Sebab

belajar untuk memperoleh pemahaman akan mungkin terjadi jika konsep, pengetahuan, rumus dan prinsip menjadi bagian dari jaringan representasi seseorang (Hiebert & Carpenter, 1992, h.67). Menurut Vygotsky (dalam Tchoshanov, 2001) ada hirarki dalam system representasi. Dalam pandangannya, pada awalnya representasi yang dibangun oleh anak diawali dengan bentuk yang sederhana, kemudian berkembang melalui proses kognitif dalam belajar, hingga terbentuk representasi yang lebih sempurna. Pandangan ini tampak sejalan dengan Bruner, di mana proses perkembangan kognisi dan representasi pada anak, dipengaruhi oleh aktivitasnya dan lingkungannya. Teori belajar ini memberikan konsekuensi bahwa perlunya scaffolding untuk mempercepat pemahaman siswa dan diskursus matematika disertai pembelajaran secara kelompok untuk memperoleh pemahaman yang optimal. Dari uraian di atas, terdapat tiga masalah utama. Pertama, apakah kemampuan matematika siswa dalam memahami persamaan garis dapat ditingkatkan melalui pembelajaran dengan lingkungan multi representasi? Kedua, di antara suasana pembelajaran secara grup dan klasikal, mana yang lebih baik untuk pengembangan kemampuan pemahaman matematika pada materi persamaan garis? Ketiga, apakah ada interaksi antara bentuk pembelajaran dan keragaman kemampuan siswa dalam memahami materi persamaan garis? Metode Penelitian

Disain Penelitian. Penelitian ini melibatkan pembelajaran melibatkan multi representasi secara kelompok, pembelajaran multi representasi secara klasikal, dan pembelajaran konvensional. Bentuk penelitian ini adalah eksperimen yang melibatkan tiga kelas yang terbagi menjadi tiga kolompok, yaitu dua kelompok eksperimen dan satu kelompok kontrol. Disain eksperimen yang digunakan, adalah disain kelompok kontrol pretespostes (Ruseffendi,1994:45). Untuk menjawab permasalah utama, penelitian ini melibatkan dua variabel, yaitu: pembelajaran sebagai variabel bebas; kemampuan matematik sebagai variabel terikat; dan tingkat kemampuan sebagai variabel kontrol. Analisis statistisk yang cocok, adalah menggunakan Anova Dua-Jalur (Ruseffendi, 1998:342). Partisipan. Penelitian ini melibatkan 216 siswa SMP klas dua yang terbagi menjadi dua kelas kelompok eksperimen-1, dua kelas eksperimen-2, dan dua kelas kelompok kontrol. Selanjutnya pada tiap kelas disusun dari skor tinggi ke rendah untuk penentuan kelompok siswa berdasarkan tingkat kemampuan dasar. Khusus untuk kelompok eksperimen-1, pembelajaran diberikan menggunakan kelompok kecil yang terdiri dari empat siswa dengan kemampuan heterogen. Berdasarkan tahapan tersebut, sampel ini dianggap memenuhi persyaratan untuk keperluan analisis statistik dalam penelitian yang berbentuk percobaan (Ruseffendi, 2001, h. 92). Prosedur Penelitian. Prosedur yang dilakukan dalam

penelitian ini meliputi : Menentukan subyek penelitian; Memberikan tes awal kepada enam kelas yang terpilih sebagai sampel penelitian; Melaksanakan pembelajaran matematika; Melaksanakan tes akhir. Melakukan deskripsi dari data penelitian untuk keperluan uji hipotesis; Melakukan pembahasan berdasarkan hasil uji hipotesis; dan Menyimpulkan hasil penelitian. Instrumen Penelitian. Instrumen yang digunakan berupa tes kemampuan dasar, tes hasil belajar yang mengukur kemampuan matematik dalam materi persamaan garis sebagai tes awal dan tes akhir. Validasi dan pengembangan instrumen, diuraikan berikut ini.  Tes Kemampuan Dasar. Tes ini dimaksudkan untuk memperoleh kesetaraan rata-rata kelas dan penempatan berdasarkan tingkat kemampuan dasar siswa. Materi tes adalah pelajaran matematika kelas satu. Penyusunan perangkat tes didasarkan pada aspek kognitif menurut taksonomi Bloom; Uji coba perangkat tes di suatu sekolah kemudian dilakukan analisis jawaban uji coba empiris menggunakan bantuan MicroCAT (tm) Testing System.  Tes Hasil Belajar. Tujuan penyusunan tes hasil belajar adalah untuk mengetahui sasaran penelitian yaitu kemampuan matematika siswa sebelum dan sesudah mendapat perlakuan. Tes ini disusun oleh peneliti yang terdiri dari 6 soal berbentuk isian. Teknik penyusunan perangkat tes dan penilaiannya dilakukan dengan mengkombinasikan penyusunan tes dari beberapa

sumber, yaitu : Mathematics framework for the 1996 and 2000 (NAEP, 2000), Mathematics assessment handbook (PSSA, 1998). Prosedur Analisis Data. Analisis data dilakukan dengan mendeskripsikan perolehan data dan memberikan tafsiran-tafsiran berdasarkan data tersebut, dan untuk menggali kedalaman analisis untuk kepentingan generalisasi, dilakukan uji perbedaan rata-rata hasil belajar kemampuan matematik. Adanya keterlibatan variabel bebas yaitu pembelajaran dengan variabel kontrol tingkat kemampuan siswa, maka analisis utama yang digunakan, uji ANOVA dua-jalur. Untuk keperluan perhitungan berkaitan analisis statistik, digunakan perangkat lunak Data Analysis with Mocrosoft Excel ( Berk & Carey, 2000) ; 2). Hasil Penelitian Kemampuan Dasar Matematika Siswa Penelitian ini melibatkan enam kelas yang terbagi menjadi tiga kelompok. Untuk melihat kemampuan rata-rata pada setiap kelompok, dilakukan dengan menghitung rata-rata gabungan dua kelas dari kelompok penelitian yang sama. Penelitian ini selain memperhatikan kemampuan siswa berdasarkan kelompok penelitian, juga membagi setiap kelompok penelitian menjadi tiga, yaitu : atas, menengah, dan bawah. Skor rata-rata tiap kelompok penelitian berdasarkan tingkat kemampuan siswa, diperlihatkan pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1 Skor Rata-Rata Tes Kemampuan Dasar Matematika Berdasarkan Tingkat Kemampuan

Atas

Kelompok Penelitian Eksperimen- Eksperimen1 2 Kontrol 25,21 24,67 25,17

Rata-Rata 25,01

Tingkat Menengah Bawah Rata-Rata kelompok

20,92 15,92 20,68

Tabel tersebut memperlihatkan untuk siswa dengan kemampuan dasar matematika tingkat atas pada setiap kelompok penelitian menunjukkan skor yang relatif sama. Demikian juga untuk tingkat menengah dan tingkat bawah pada setiap kelompok penelitian. Ini menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan dasar matematika siswa dari ketiga kelompok penelitian (eksperimen-1, eksperimen-2 dan kontrol), adalah sama. Untuk mengetahui kesetaraan sampel penelitian secara lebih cermat,

20,25 15,67 20,19

21,00 16,96 21,04

20,72 16,18

berikut ini dilakukan analisis statistik berupa uji hipotesis rata-rata skor kemampuan dasar matematika siswa. Analisis Kemampuan Matematik Untuk mendapatkan gambaran umum tentang perkembangan kemampuan matematik siswa selama proses peneltian, dalam Tabel 2 disajikan sebaran skor rata-rata tes awal, tes akhir, dan perolehan berdasarkan kelompok penelitian.

Tabel 2 Skor Rata-Rata Tes Awal, Tes Akhir dan Perolehan Hasil Skor Kelompok Tes Awal Tes Akhir Perolehan Eksperimen-1 1,65 11,62 9,88 Eksperimen-2 1,76 10,50 9,35 Kontrol 1,91 9.84 7,46 Keterangan : Skor tes awal dan akhir ideal adalah 17 Pada tes awal rata-rata skor dari ketiga kelompok penelitian menunjukkan hasil secara berurut

dari skor tinggi ke rendah adalah kelompok kontrol, kelompok eksperimen-1, dan kelompok

eksperimen-2. Meskipun demikian perbedaan skor tidak terlihat adanya perbedaan yang berarti. Pada tes akhir, rata-rata skor diperlihatkan dengan nilai yang berbeda. Ini menunjukkan adanya perbedaan skor rata-rata, di mana pada setiap kelompok penelitian rata-rata skor tes akhir lebih tinggi dibandingkan tes awal. Selanjutnya, pada skor ratarata perolehan secara berurut dari tinggi ke rendah adalah kelompok eksperimen-1, eksperimen-2, dan kontrol. Pada kelompok kontrol, semula skor rata-rata tes awalnya tertinggi, ternyata skor rata-rata perolehan menjadi terrendah. Ini menunjukkan bahwa perlakuan berupa pemberian pembelajaran yang berbeda, menghasilkan rata-rata kemampuan matematika siswa yang berbeda pula Pada uraian di atas, pengungkapan perbedaan skor ratarata terbatas pada keterkaitannya dengan kelompok penelitian. Uraian yang lebih rinci, yaitu keterkaitan antara pembelajaran dan tingkat kemampuan siswa yang ditunjukkan melalui tes akhir menjadi bahasan selanjutnya.

Pengaruh Pembelajaran terhadap Kemampuan Matematika Untuk melihat pengaruh pembelajaran dan tingkat kemampuan siswa terhadap kemampuan matematik, didasarkan pada skor tes akhir hasil belajar. Selain pembelajaran, menjadi pertimbangan berikutnya adalah tingkat kemampuan yang terdiri dari: tingkat atas, tingkat menengah dan tingkat bawah. Hal ini perlu diketahui, mengingat diperkirakan kemungkinan bahwa kemampuan matematik siswa akan lebih baik bila pembelajaran grup dengan multi representasi diberikan pada siswa berkemampuan tinggi atau yang berada pada tingkat atas, sedangkan klasikal multi representasi akan menghasilkan kemampuan matematik lebih baik pada siswa dengan tingkat kemampuan sedang atau rendah. Skor rata-rata tes hasil belajar kemampuan matematik yang mengkaitkan antara bentuk pembelajaran dan tingkat kemampuan siswa disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Skor Rata-Rata Hasil Belajar Kemampuan Matematik Pembelajaran Atas Kemamp Menengah Matematika Bawah Rata-rata Keterangan : Skor ideal 17

Model1 12.92 11.28 10.67 11.62

Model-2 11.54 10.62 9.34 10.50

RataRata Konv 10.08 10.64 8.79 9.84

11.51 10.85 9.60 10.65

Tabel 3 memperlihatkan bahwa skor rata-rata dari ketiga pembelajaran

memiliki pola yang sama. Skor ratarata siswa tingkat atas lebih tinggi dari tingkat menengah, dan tingkat menengah lebih tinggi dari tingkat

bawah. Untuk lebih meyakinkan, berikut ini disajikan uji Anova duajalur untuk menganalisis data-data tersebut.

Anova Dua Jalur dalam Kemampuan Matematika (menggunakan program Data Analysis with Microsoft Excel) ANOVA Source of Variation

SS

df

MS

F

Pembelajaran (A)

92.42

8.00

11.55

6.84

0.00

1.95

Tingkat Kemampuan (B)

17.05

2.00

8.52

5.05

0.01

3.01

Interaksi ( A x B )

38.03

16.00

2.38

1.41

0.13

1.66

1048.92

621.00

1.69

Inter Kelompok

P-value

F crit

Total 1196.42 647.00 Dari analisis tersebut dapat diungkapkan hasil dan kesimpulannya: Pembelajaran. Dari tabel, Fhitung = 6,84 lebih besar dari Fkritis = 1,95 dengan  = 0,05. Berarti “hipotesis nol ditolak”. Disimpulkan bahwa: Hasil belajar kemampuan matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan multi representasi secara grup atau Model-1 (11,62) secara signifikan lebih baik daripada hasil belajar siswa yang pembelajaranya menggunakan klasikal multi representasi atau Model-2 (10,50). Demikian juga hasil belajar kemampuan matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan klasikal multi representasi lebih baik daripada hasil belajar siswa yang pembelajarannya konvensional (9,84). Tingkat Kemampuan Siswa. Dari tabel, Fhitung = 5,05 lebih besar daripada Fkritis = 3,01 dengan  = 0,05. Berarti “hipotesis nol ditolak”. Disimpulkan bahwa: Hasil belajar kemampuan matematik siswa yang berada pada kemampuan tingkat atas

atau siswa pandai (11,51) lebih baik daripada siswa tingkat menengah (10,85) maupun tingkat bawah ( 9,60). Interaksi antara Bentuk Pembelajaran dan Tingkat Kemampuan. Dari tabel, Fhitung = 1,41 lebih kecil daripada Fkritis = 1,66 dengan  = 0,05. Berarti “hipotesis nol diterima”. Kesimpulannya: Tidak ada interaksi yang signifikan antara bentuk pembelajaran dan tingkat kemampuan terhadap hasil belajar kemampuan matematik siswa. Pembahasan Pemahaman persamaan garis siswa di awal penelitian menunjukkan bahwa skor rata-rata di tiga kelompok penelitian, yaitu eksperimen-1, eksperimen-2 dan kontrol berturutturut 6,7, 6,4, dan 6,9 dari skor ideal 17. Ini menunjukkan bahwa kemampuan matematik siswa di awal penelitian sangat rendah. Rendahnya kemampuan siswa di awal penelitian

lebih besar dari kelompok eksperimen-2 yaitu 22.90 (63,6%) dan kelompok kontrol yaitu 20.74 (57,6%). Hasil skor rata-rata tersebut menunjukkan bahwa untuk mengembangkan kemampuan matematik siswa, penerapan pembelajaran memanfaatkan multi representasi lebih baik daripada klasikal ataupun pembelajaran konvensional. Hal ini terjadi karena penerapan pembelajaran dengan memanfaatkan multi representasi, dapat meningkatkan potensi kecerdasan siswa melalui proses translasi dari berbagai model representasi, yang berdampak pada peningkatan pemahaman siswa. Demikian juga pemahaman matematika siswa akan lebih baik jika pembelajarannya dalam bentuk kelompok kecil. Ini mengindikasikan pembelajaran dengan memanfaatkan multi representasi menjadi lebih efektif daripada klasikal multi representasi ataupun pembelajaran konvensional. Selain skor rata-rata, akibat pembelajaran yang berbeda dapat diamati dari jawaban-jawaban siswa. Berikut ini contoh respon siswa terhadap dua soal yang diujikan, yaitu soal nomor 3 dan 4.

dapat disebabkan pembelajaran dari guru kurang menunjang. Kecenderungan guru menanamkan keterampilan aritmatik, menyebabkan pembelajaran kurang memberi kesempatan pada pengembangan daya matematik siswa. Permasalahan matematika yang disajikan kepada siswa, didominasi oleh bentuk jawaban singkat ataupun soal uraian dengan satu prosedur atau jawaban benar. Siswa kurang dilatih berinteraksi sesama siswa dalam pengembangan ide melalui pemecahan masalah matematika yang kontekstual, terbuka, dan memiliki berbagai prosedur atau berbagai jawaban benar. Hal ini memberikan konsekuensi keterbatasan pada pengetahuan, keterampilan dan pengalaman aktual siswa yang berkaitan dengan kemampuan matematik dan daya representasi dan berakumulasi sebagai pengetahuan awal. Berbeda dengan hasil tes awal yang menunjukkan kemampuan matematik dan daya representasi yang rendah dan tidak ada perbedaan yang berarti, pada tes akhir ketiga kelompok penelitian menunjukkan kemampuan yang lebih baik dan memiliki perbedaan yang berarti. Skor rata-rata tes akhir pada kelompok eksperimen-1 yaitu 26,13 (72,6%)

Soal nomor 3 Dina akan menggunakan salah satu rumus:

y y

y y

1 1  2 (A). y = mx + c; (B). y - y1 = m ( x - x1 ); atau (C). x  x1 x 2  x1 untuk menentukan persamaan garis dari data berikut

x y

0 -1

1 1

2 3

3 5

Menurut anda, manakah rumus yang paling tepat digunakan? Mengapa? Coba terapkan pilihanmu tersebut sehingga diperoleh persamaan garis yang diminta. Jawaban terhadap soal nomor 3, cukup bervariasi, terutama pada kelas eksperimen-1 yang mendapat pembelajaran melibatkan berbagai representasi dengan cara kelompok. Dari hasil analisis data diperoleh sebaran sebagai berikut: Kelompok Eksperimen1 Eksperimen2 Kontrol Jumlah

Rumus (A) 16

Rumus (B) 21

Rumus (C) 16

Salah 19

Jumlah 72

18

20

16

18

72

14 48

12 53

10 42

36 73

72 216

Soal nomor 4 Diketahui diagram seperti di bawah ini. Dapatkah anda membuat garis lain yang tegak lurus garis tersebut? Jelaskan dan tentukan persamaan garisnya. Y 4 3 2 1 0 1 2 3 4 5

Jawaban siswa: Alternatif-1: membuat garis sembarang yang tegak lurus garis yang diketahui melalui salah satu titik koordinat pada garis tersebut; menentukan dua titik yang dilalui garis yang dibuat; dan membuat persamaan garis menggunakan rumus garis melalui dua titik koordinat.

X

Alternatif ke-2 : membuat persamaan garis dari garis yang diketahui; menentukan gradien garis dari persamaan garis yang diperoleh; menentukan gradien garis untuk garis yang tegak lurus pada sebuah garis yang diketahui; menetukan salah satu titik pada garis yang diketahui; membuat

persamaan garis dengan gradien yang diperoleh dan titik yang diketahui.

koordinat dari kedua garis.

Alternatif-4: tidak dapat dikatagorikan; atau algoritma keliru; atau hanya menggambar; atau mengerjakan tetapi salah dan tidak rasional; atau tidak menjawab.

Alternatif-3: membuat garis yang tegak lurus dari garis yang diketahui; menentukan gradiennnya; membuat persamaan garis berdasarkan gradien yang diperoleh dan Kelompok

perpotongan

Eksperimen-1

Alternatif1 16

Alternatif1 15

Alternatif3 13

Eksperimen-2

13

15

14

31

72

Kontrol Jumlah

11 40

9 39

7 34

44 103

72 216

Siswa pada kelompok eksperimen-1 yang mendapat pembelajaran DMR, jawaban dan alasan sangat bervariasi dan menggunakan berbagai representasi. Siswa pada kelompok eksperimen-2 yang mendapat pembelajaran KMR jawaban dan alasan bervariasi namun dengan bentuk representasi terbatas. Sedangkan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional, tidak menunjukkan adanya variasi jawaban yang berarti, dan seandainya ada, alasan yang diberikan cenderung kurang rasional. Adanya faktor perbedaan tingkat kemampuan siswa, menjadi pelengkap temuan di atas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan matematik dan daya representasi siswa yang berada pada tingkat kemampuan atas lebih baik daripada siswa tingkat kemampuan menengah atau bawah. Meskipun demikian pengamatan lebih lanjut menemukan bahwa khusus untuk

Alternatif- Jumlah 4 28 72

penerapan pembelajaran klasikal multi representasi, kurang konsisten. Siswa yang berbeda tingkat kemampuan, hasil belajar di akhir pembelajaran tidak menunjukkan adanya perbedaan yang berarti. Penyebabnya pertama, pembelajaran klasikal kurang memungkinkan terjadinya interaksi sosial sesama siswa, sehingga tidak terjadi negosiasi ide dari siswa yang dapat meningkatkan kemampuan matematik dan daya representasi. Kedua, kurangnya pemberian bantuan dari yang lebih tahu, baik sesama siswa atau dari guru kepada siswa yang memerlukan, menjadikan siswa menyandarkan keterbatasan pengetahuan representasi yang dimiliki untuk memahami materi yang dipelajari. Ketiga, pola kebiasaan belajar siswa dalam bentuk menguasai atau menghafal algoritma solusi permasalahan matematika tanpa disertai dengan pemahaman, menjadikan

representasi yang dipelajari kurang bermakna, dan hanya sebagai pelengkap solusi. Selanjutnya, perbedaan efek bersama antara tingkat kemampuan dan pembelajaran tidak signifikan dalam pengembangan kemampuan matematik dan daya representasi siswa. Kejadian ini dapat disebabkan karena banyaknya faktor yang terlibat dalam penelitian, yaitu pembelajaran dan tingkat kemampuan yang masing-masing terdiri dari tiga klasifikasi. Padahal pada interaksi order tinggi jarang didapati yang signifikan. Ini menunjukkan bahwa secara umum ada konsistensi hasil belajar dari tiga bentuk pembelajaran. Hasil belajar siswa yang tergolong memiliki kemampuan dasar matematika tingkat atas yang mendapat pembelajaran diskursus multi representasi lebih baik daripada yang mendapat pembelajaran klasikal multi representasi maupun konvensional. Hal yang sama terjadi juga untuk siswa yang tergolong memiliki kemampuan dasar tingkat menengah dan bawah. Penutup Berdasarkan analisis data dapat disimpulkan bahwa kemampuan matematika siswa di tiga kelompok mengalami peningkatan. Pada tes awal ketiga kelompok siswa, penguasaan materi persamaan garisnya sekitar 1,77 atau sekitar 10,4%. Pada akhir pembelajaran, daya serap pada kelompok siswa yang terlibat pembelajaran dengan multi representasi mencapai 65,4%, sedangkan secara konvensional hanya sekitar 57.9 %.

Di antara ketiga bentuk pembelajaran, penggunaan multi representasi secara kelompok merupakan cara paling efektif untuk peningkatan kemampuan matematika dalam materi persamaan garis lurus, karena mencapai perolehan hingga 58,1%. Yang berikutnya adalah penggunaan multi representasi secara klasikal dengan perolehan 55 %, dan terakhir pembelajaran konvensional dengan perolehan 43,9%. Berdasarkan tingkat kemampuan, rata-rata dari tiga bentuk pembelajaran, kemampuan matematik siswa tingkat atas lebih baik daripada siswa tingkat menengah, dan kemampuan matematik siswa tingkat menengah lebih baik dari siswa tingkat bawah. Namun demikian pada siswa dari tingkat kemampuan menengah, siswa yang mendapat pembelajaran dengan multi representasi secara klasikal, tidak berbeda dengan yang mendapat pembelajaran konvensional. Perbedaan tingkat kemampuan dan perbedaan pembelajaran, tidak menunjukkan adanya interaksi yang berarti terhadap hasil belajar persamaan garis siswa. Ini menunjukkan adanya konsistensi hasil belajar siswa akibat pembelajaran dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan. Siswa pada tingkat kemampuan yang sama yang mendapat pembelajaran dengan multi representasi secara kelompok hasil belajarnya lebih baik daripada yang klasikal, dan hasil belajar siswa yang mendapat pembelajaran multi representasi secara klasikal lebih baik daripada hasil belajar siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Sedangkan siswa

tingkat kemampuan atas yang mendapat pembelajaran secara kelompok, peningkatan hasil belajarnya paling besar. Berdasarkan kesimpulan penelitian disarankan bahwa pembelajaran yang melibatkan multi representasi, baik secara kelompok atau klasikal, hendaknya menjadi salah satu alternatif pilihan guru. Pada prinsipnya penerapan pembelajaran multi representasi tidak terbatas pada materi persamaan garis. Untuk penerapan pembelajaran ini diharapkan guru mempertimbangkan pemilihan materi matematika yang mempunyai ciri-ciri serupa atau materi matematika yang memungkinkan penuangan konsepkonsep matematika dalam berbagai representasi. Daftar Pustaka Berk, K. N., & Carey, P. 2000. Data analysis with microsoft excel. New York: Duxbury Press. Hiebert, J., & Carpenter, T.P. 1992. Learning and teaching with understanding. In D.A. Grouws (Ed). Handbook of research on Mathematics teaching and learning. NCTM. New York: Macmilan Publishing Company. Hudiono, B. 2004. Solusi persamaan garis pada siswa SLTP Negeri 28 Bandung. Luitel, B. C. 2001. Multiple representations of mathematical learning. [on-

line]. Available:http:// www.matedu. cinvestav. mx/Adalira.pdf. [21 Januari 2003]. NAEP. 2000. Mathematics framework for the 1996 and 2000. Washington: National Assessment of Educational Progress. PSSA. 1998. Mathematics assessment handbook. [Online]. Tersedia: http://www.pasd.com/ PSSA/ math/ mahandbk.htm [12 Mei 2002]. Ruseffendi, E. T. 1991. Pengantar kepada membantu guru mengembangkan kompetensinya dalam pengajaran matematika untuk meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito. Ruseffendi, E. T. 1994. Dasar-dasar penelitian pendidikan dan bidang non-eksakta lainnya.Semarang: IKIP Semarang Press. Ruseffendi, E. T. 1998. Statistika dasar untuk penelitian pendidikan. Bandung: IKIP Bandung Press Tchoshanov, M. A. 2001. Representation and cognition: internalizing mathematical concepts. In H. Hitt (Ed.). Working group on representations and mathemtics visualization (1998 - 2001). [on-line]. Available:http://www.matedu. cinvestav. mx/Adalira.pdf. [11 Juni 2002].