PERBANDINGAN PENGARUH SUHU DAN WAKTU

Download terhadap kandungan brazilin pada kayu secang (Caesalpinia sappan Linn.) .... Ekstraksi dan pengukuran absorbansi terhadap ekstrak dengan va...

1 downloads 691 Views 2MB Size
ISSN 2460-6472

Prosiding Penelitian SPeSIA Unisba 2015

Perbandingan Pengaruh Suhu dan Waktu Perebusan terhadap Kandungan Brazilin pada Kayu Secang (Caesalpinia Sappan Linn.) 1

Hally Farhana, 2Indra Topik Maulana, 3Reza Abdul Kodir

1,2Prodi Farmasi, Fakultas MIPA, Unisba, Jl. Tamansari No. 1 Bandung 40116 e-mail: [email protected], 2 [email protected], 3 [email protected]

Abstrak. Telah dilakukan penelitian mengenai perbandingan pengaruh suhu dan waktu perebusan terhadap kandungan brazilin pada kayu secang (Caesalpinia sappan Linn.) Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data ilmiah mengenai besaran suhu serta lamanya waktu perebusan yang efektif untuk menghasilkan larutan dengan kandungan brazilin tertinggi. Pada penelitian ini, serutan kayu secang diekstraksi dengan metode perebusan menggunakan pelarut air dengan variasi suhu yaitu 25, 40, 55, 70, 85 dan 100C serta variasi waktu yaitu 10, 20 dan 30 menit. Ekstrak cair yang diperoleh diukur absorbansinya dan dipantau bentuk spektrum UV menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 280 nm. Ekstrak diidentifikasi menggunakan KLT silika gel 60 GF254 dengan eluen kloroform:metanol (7:2) dan butanol:asam asetat:air (4:1:5). Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah suhu dan waktu perebusan yang efektif untuk menghasilkan larutan dengan kandungan brazilin tertinggi yaitu 70C selama 20 menit. Kata Kunci : Caesalpinia sappan Linn, brazilin, suhu, waktu, Spektrofotometer UV-Vis

A.

Pendahuluan

Kayu secang merupakan tumbuhan yang banyak digunakan sebagai obat tradisional. Kayu secang secara empiris diketahui memiliki banyak khasiat penyembuhan dan sering dikonsumsi oleh masyarakat sebagai minuman kesehatan (Sugiyanto, dkk., 2011:2). Pemanfaatan kayu secang sebagai tumbuhan obat antara lain untuk memperlancar peredaran darah, obat diare, obat TBC, antiseptik, antiinflamasi dan penawar racun (Zerrudo, 1999:69). Kayu secang mengandung banyak senyawa kimia, diantaranya pada bagian daun mengandung 0,16-0,20% minyak atsiri, kayunya mengandung asam galat, brazilin, brazilein, delta-α-phellandrene, oscimine, resin, resorsin dan tanin (Hariana, 2006:48-49). Brazilin adalah golongan senyawa yang memberi warna merah pada kayu secang dengan struktur C16H14O5. Berdasarkan hasil penelitian Lim et al. (1997) dalam Sugiyanto (2011:2), brazilin pada kayu secang memiliki daya antioksidan yang andal dengan indeks antioksidatif ekstrak air kayu secang lebih tinggi daripada antioksidan komersial (BHT dan BHA) sehingga potensial sebagai agen penangkal radikal bebas. Pada umumnya cara pemanfaatan kayu secang sebagai obat tradisional adalah merebus kayu secang dengan air, kemudian air rebusannya diminum atau dibalurkan pada bagian tubuh yang sakit. Pemanfaatan dengan cara perebusan oleh masyarakat, umumnya tidak memperhatikan tinggi suhu dan lamanya waktu. Tinggi suhu dan lama waktu perebusan dapat berpengaruh pada kandungan suatu senyawa (Fellows, 2008:98). Dalam hal ini suhu yang terlalu tinggi dan waktu yang terlalu lama dapat mempengaruhi stabilitas senyawa brazilin (Maharani, 2003:57). Maka pada penelitian ini akan dilakukan pengujian pengaruh suhu dan waktu perebusan terhadap kandungan brazilin agar diketahui proses perebusan yang tepat sehingga mampu mengekstraksi senyawa brazilin secara maksimal.

19

20

B.

|

Hally Farhana, et al.

Landasan Teori

Kayu secang mengandung komponen yang memiliki aktivitas antioksidan dan antimikroba (Sundari dkk., 1998:1). Kayu secang mengandung banyak senyawa kimia, diantaranya pada bagian daun mengandung 0,16-0,20% minyak atsiri, bagian kayu mengandung asam galat, brazilin, brazilein, delta-α-phellandrene, oscimine, resin, resorsin dan tanin (Hariana, 2006:49). Berdasarkan hasil penelitian Fu et al., (2008) kayu secang memiliki kandungan kimia lain, diantaranya protosapanin, sapankalkon, sapanon, asam palmitat, 3- deoksisapankalkon, deoksisapanon B, isoprotosapanin B, dan 3’-O-metilbrazilin (Astina, 2010:5).

Gambar 1. Struktur Brazilin (Robinson, 1995:205) Brazilin Nama senyawa asal yang mampu diisolasi dari kayu secang adalah brazilin (Sanusi, 1989; Kim et al., 1997 dan Ferreira et al., 2004 dalam Oktaviani, 2012:6). Brazilin termasuk senyawa flavonoid yang secara struktur termasuk kelompok isoflavonoid (Robinson, 1995:204-205). Brazilin merupakan kristal berwarna kuning, akan tetapi jika teroksidasi akan menghasilkan brazilein yang berwarna merah kecoklatan dan dapat larut dalam air (Ye Min et al., 2006 dalam Adawiyah, 2012:537542). Paparan udara dan cahaya pada brazilin dapat menyebabkan teroksidasinya gugus hidroksil dari brazilin menjadi gugus karbonil (Oliveira et al., 2002 dalam Dharmawan, 2009:8). Kegunaan Brazilin Brazilin merupakan senyawa antioksidan yang mempunyai katekol dalam struktur kimianya, brazilin memiliki efek sebagai anti radikal kimia (Shafwatunida, 2009 dalam Lestari, 2013:2). Brazilin diketahui memiliki banyak kegunaan, diantaranya antiproliferasi (Han et al., 2007:31), agregasi antiplatelet, antioksidan (Hu et al., 2003:38), anti diabetes, memperlancar sirkulasi darah (Chang et al., 2013:2), antiinflamasi (Wu, 2011:118), perlindungan kultur hepatosit dari BrCCl3 (Moon et al., 1992:83), brazilin diketahui memiliki aktivitas anti kanker dengan menghambat protein inhibitor apoptosis survivin dan terlibat dalam aktivasi caspase 3 dan caspase 9 (Sugiyanto, dkk., 2011:4). Identifikasi Brazilin Brazilin dapat diidentifikasi menggunakan berbagai instrumen. Brazilin akan memberikan serapan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 254 dan 280 nm (Kim et al, 1997 dalam Adawiyah, 2012:537) serta 541 nm (Wetwitayaklung, 2005:4352). Identifikasi dengan menggunakan spektrofotometer infra merah akan memberikan serapan yang kuat pada bilangan gelombang 1650 cm-1. Karakterisasi brazilin dapat dilakukan dengan spektrofotometri massa dengan melihat berat molekul senyawanya (Adawiyah, 2012:539-540).

Prosiding Penelitian Sivitas Akademika Unisba (Kesehatan dan Farmasi)

Perbandingan Pengaruh Suhu dan Waktu Perebusan terhadap Kandungan Brazilin pada ... | 21

C.

Metode Penelitian

Pembuatan Ekstrak Kayu Secang Bahan yang digunakan yaitu serutan kayu secang yang diperoleh dari Kalijati, Sumedang. Serutan kayu secang diekstraksi dengan cara panas yaitu perebusan menggunakan pelarut air dengan mendapat perlakuan perebusan dengan variasi suhu dan waktu. Ekstraksi dan pengukuran absorbansi terhadap ekstrak dengan variasi suhu Variasi suhu yang digunakan yaitu 25C, 40C, 55C, 70C, 85C, dan 100C. Masing-masing sampel diukur dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 280 nm (Kim et al, 1997 dalam Adawiyah, 2012:537-542) dan diamati pola spektrum yang terbentuk. Ekstraksi dan pengukuran absorbansi terhadap ekstrak dengan variasi waktu pada suhu optimal Ekstraksi dilakukan dengan variasi waktu pada suhu optimal yang didapat dari hasil analisis perebusan dengan variasi suhu. Variasi waktu yang digunakan yaitu 10, 20 dan 30 menit. Masing-masing sampel diukur dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 280 nm (Kim et al, 1997 dalam Adawiyah, 2012:537-542) dan diamati pola spektrum yang terbentuk D.

Hasil Penelitian

Ekstraksi dan Pengukuran Absorbansi dengan Spektrofotometer UV-Visible Ekstraksi dilakukan terhadap serutan kayu secang dengan pelarut air menggunakan metode perebusan sehingga diperoleh ekstrak cair. Metode tersebut dipilih karena disesuaikan dengan penggunaan di masyarakat. Selain itu, senyawa brazilin yang terdapat pada kayu secang memiliki kepolaran yang tinggi sehingga penggunaan pelarut air akan lebih efektif untuk mengekstraksi senyawa tersebut. Dalam ekstraksi, polaritas dari pelarut mempunyai peran yang penting. Hal ini sesuai dengan hukum kelarutan like dissolve like yaitu suatu senyawa akan terlarut pada pelarut yang memiliki tingkat kepolaran yang sama. (Indah, dkk., 2010:4) Ekstraksi dan pengukuran absorbansi dengan variasi suhu Hasil ekstraksi dengan variasi suhu menunjukkan adanya perbedaan dari segi warna pada suhu 25C, 40C, 55C dan 70C sedangkan pada suhu 85C dan 100C menunjukkan warna yang sama. Perbedaan warna yang dihasilkan disebabkan oleh senyawa brazilin yang merupakan pigmen alami dari kayu secang. Hasil ekstraksi dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Hasil ekstraksi C. sappan dengan variasi suhu

Farmasi Gelombang 2, Tahun Akademik 2014-2015

22

|

Hally Farhana, et al.

Dari hasil ekstraksi dengan variasi suhu diperoleh nilai absorbansi yang semakin besar. Hal ini menunjukkan bahwa pada suhu ruang yaitu 25C, brazilin dapat terekstraksi walaupun nilai absorbansi yang dihasilkan sangat kecil. Seiring dengan terjadinya peningkatan suhu, warna yang dihasilkan semakin pekat dan nilai absorbansi semakin besar. Dengan data tersebut, dapat diketahui bahwa brazilin akan lebih baik diekstraksi dengan menggunakan suhu tinggi. Meskipun dengan meningkatnya suhu, nilai absorbansi yang dihasilkan semakin besar, namun terjadi perubahan bentuk spektrum UV dari brazilin. Bentuk spektrum brazilin dapat dilihat pada Gambar 3.

(a)

(b)

(c)

(d) (e) (f) Gambar 3. Bentuk spektrum brazilin (a) 25C; (b) 40C; (c) 55C; d) 70C; (e) 85C; (f) 100C Dari gambar di atas dapat terlihat spektrum UV yang terbentuk dari suhu 25C hingga 70C berbeda dengan spektrum UV yang terbentuk pada suhu 85C dan 100C. Bentuk spektrum pada suhu 25C hingga 70C menunjukkan bentuk yang sama dengan spektrum UV brazilin yang terdapat pada penelitian yang dilakukan oleh Adawiyah (2012:539). Sedangkan pada suhu 85C dan 100C, bentuk puncak brazilin berubah menjadi lebih landai. Perubahan bentuk spektrum UV ini kemungkinan disebabkan oleh adanya senyawa selain brazilin yang terekstraksi pada suhu tinggi. Ekstraksi yang dilakukan pada suhu 85C dan 100C berpotensi menurunkan kandungan brazilin karena adanya degradasi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Maharani(2003:57) menunjukkan bahwa brazilin memiliki kepekaan terhadap pemanasan, dimana dengan adanya perlakuan suhu, brazilin akan mengalami degradasi. Berdasarkan analisis bentuk spektrum dapat terlihat bahwa suhu 70C merupakan suhu optimum dimana brazilin mampu terekstraksi tanpa adanya senyawa lain yang ikut terekstraksi. Hal ini menandakan bahwa suhu 70C adalah suhu yang tepat untuk mengekstraksi brazilin. Ekstraksi dan pengukuran absorbansi dengan variasi suhu Hasil ekstraksi dengan variasi waktu pada suhu 70C tidak menunjukkan adanya perbedaan dari segi warna. Hasil ekstraksi dapat dilihat pada Gambar 4.

Prosiding Penelitian Sivitas Akademika Unisba (Kesehatan dan Farmasi)

Perbandingan Pengaruh Suhu dan Waktu Perebusan terhadap Kandungan Brazilin pada ... | 23

Gambar 4. Hasil ekstraksi C. sappan dengan variasi waktu Hasil ekstraksi dengan variasi waktu menunjukkan nilai absorbansi yang diperoleh semakin besar. Sama halnya dengan pengujian yang dilakukan pada variasi suhu, brazilin mengalami perubahan bentuk spektrum pada menit ke 30. Bentuk spektrum brazilin dengan variasi waktu dapat dilihat pada Gambar 5.

(a) (b) (c) Gambar 5. Bentuk spektrum brazilin (a) 10 menit; (b) 20 menit; (c) 30 menit Dari gambar di atas dapat terlihat spektrum yang terbentuk pada menit ke 10 dan 20 berbeda dengan bentuk spektrum pada menit ke 30. Sama halnya dengan yang terjadi pada suhu 85C dan 100C, pada menit ke 30 bentuk spektrum menjadi lebih landai, hal ini diduga disebabkan oleh senyawa lain yang ikut terekstraksi sehingga mempengaruhi bentuk spektrum brazilin. Pengujian aktivitas antioksidan Untuk mengetahui pengaruh suhu dan lamanya waktu perebusan terhadap kandungan brazilin maka dilakukan uji aktivitas antioksidan. Dari hasil pengujian aktivitas antioksidan ekstrak cair kayu secang pada lama waktu perebusan 20 menit menunjukkan penurunan absorbansi yang cukup tajam, hal ini menandakan bahwa aktivitas antioksidan dari brazilin sangat tinggi. Sedangkan pada lama waktu perebusan 30 menit menunjukkan peningkatan nilai absorbansi yang artinya terjadi penurunan aktivitas antioksidan dari brazilin. Data lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil pengukuran aktivitas DPPH setelah dicampurkan dengan ekstrak Data ke-

Absorbansi Kontrol

20 menit

30 menit

1

0,802

0,25

0,268

2

0,802

0,251

0,267

3

0,802

0,251

0,268

Farmasi Gelombang 2, Tahun Akademik 2014-2015

24

|

Hally Farhana, et al.

Hasil pengujian ini memperlihatkan bahwa kemungkinan pemanasan yang terlalu lama dan suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan brazilin terdegradasi sehingga aktivitas aktioksidannya pun menurun. Berdasarkan analisis tersebut, maka suhu dan lamanya waktu perebusan yang efektif agar diperoleh brazilin yang maksimum dan memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi adalah 70C selama 20 menit. E.

Kesimpulan

Suhu dan waktu perebusan berpengaruh terhadap kandungan brazilin dalam ekstrak cair kayu secang berdasarkan tinggi suhu dan lama waktu perebusan. Kandungan brazilin terbaik terdapat dalam ekstrak cair kayu secang dengan perebusan pada suhu 70C selama 20 menit. Daftar Pustaka Adawiyah, D.R., Lioe, H.N., Anggraeni, R. (2012). ‘Isolation and characterization of the major natural dyestuff component of Brazilwood (Caesalpinia sappan L.)’, International Food Research Journal, 19(2): 537-542. Anih A., H.A. Hidayat, I. Rosliana. (2010). Penentuan Kadar Besi (Fe) Dalam Sampel Air Limbah Dengan Metode Spektrofotomoter UV-VIS, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Astina, I.G.A. (2010). Optimasi Pembuatan Ekstrak Etanolik Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.) secara Digesti [Skripsi], Program Studi Ilmu Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Chang, Yi, Huang, S. K., Lu, W. J., Chung, C. L., Chen, W. L., Lu, S. H., Lin, K . H., Sheu, J. R. (2013). ‘Brazilin isolated from Caesalpinia sappan L. acts as a novel collagen receptor agonist in human platelets’, Chang et al. Journal of Biomedical Science, 20:4. Dharmawan, I.P.G.A. (2009). Pengaruh Kopigmentasi Pewarna Alami Antosianin dari Rosela (Hibiscus Sabdariffa L.) dengan Brazilein dari Kayu Secang (Caesalpinia Sappan L.) terhadap Stabilitas Warna pada Model Minuman Ringan [Skripsi], Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Fellows, P.J., (2002). Food Processing Technology: Principles and Practice, Second Edition, Woodhead Publishing Limited, England. Han, M. D., Kim, E. K. (2007). ‘Antiproliferative Effects of Caesalpinia sappan Extract on Human Ephitelial Cell Line HaCat and Cancer Cell Lines’, Journal of Dental Hygiene Science Vol. 7, No. 1 pp. 31-35. Hariana, Arief. (2006). Tumbuhan Obat dan Khasiatnya Seri 3, Penebar Swadaya, Depok. Hu, C. M., Kang, J.J., Lee, C. C., Li, C. H., Lia, J. W., Cheng, Y. W. (2003). ‘Induction of Vasorelaxation Through Activation of Nitric Oxide Synthase In Endothelial Cells By Brazilin’, European Journal of Pharmacology 468, 37– 45. Indah, R. I., Murwani, I. K., Presetyo, D. (2010). ‘Optimasi Ekstraksi Zat Warna Pada Kayu Intsia bijuga Dengan Metode Pelarutan’, Prosiding Tugas Akhir Semester Ganjil 2009/2010.

Prosiding Penelitian Sivitas Akademika Unisba (Kesehatan dan Farmasi)

Perbandingan Pengaruh Suhu dan Waktu Perebusan terhadap Kandungan Brazilin pada ... | 25

Maharani, Kartika. (2003). Stabilitas Pigmen Brazilin pada Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.) [Skripsi], Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Moon, C.K., Park, K.S., Kim, S.G., Won, H.S., Chung, J.H. (1992). ‘Brazilin protects cultured rat hepatocytes from BrCCl3-induced toxicity’, Drug Chem, Toxicol, 15, 81– 91. Robinson, T. (1995). Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi, Edisi VI, terjemahan Kosasih Padmawinata, Penerbit ITB, Bandung. Sugiyanto, R. N., Putri, S. R., Damanika, F. S., Sasmita, G. M. A. (2011). ‘Aplikasi Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.) dalam Upaya Prevensi Kerusakan DNA akibat paparan zat potensial karsinogenik melalui MNPCE Assay’, Program Studi Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sundari, D., Widowati, L., dan Winarno, M.W. (1998). ‘Informasi khasiat, keamanan dan fitokimia tanaman secang (Caesalpinia sappan L.)’, Warta Tumbuhan Obat Indonesia, 4(3): 1−3. Wetwitayaklung, P., Phaechamud T., Keokitichai, S. (2005). ‘The Antioxidant of Caesalpinia sappan L. Heartwood in Various Ages’, Naresuan University Journal , 13(2): 43-52. Wu, Shenhqian. (2011). Inflammation and human chondrocytes: Glycobiological aspects and anti-inflammatory activity of Caesalpinia sappan isolates in vitro [Disertasi], Universitat Wien. Zerrudo, J.V. (1999). Caesalpinia sappan L. dalam Lemmens, R., Wulijani, N. PROSEA: Sumber Daya Nabati Asia Tenggara 3, Tumbuhan-tumbuhan Penghasil Warna dan Tanin, Balai Pustaka, Jakarta.

Farmasi Gelombang 2, Tahun Akademik 2014-2015