Perbedaan Kadar SGOT, SGPT, Ureum, dan Kreatinin Pada Penderita TB Paru Setelah Enam Bulan Pengobatan Siti Aminah Jurusan Analis Kesehatan, Politeknik Kesehatan kemenkes Tanjungkarang Abstrak Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan dunia. WHO 2010 melaporkan Indonesia di peringkat kelima dengan jumlah terbesar insiden TB di dunia. Tahun 2011 Kota Bandar Lampung memiliki 1314 kasus TB . Pengobatan TB diberikan paket OAT-KDT. Penggunaan OAT dalam jangka panjang mempunyai risiko hepatotoksisitas ditandai dengan peningkatan enzim transaminase dan gangguan fungsi ginjal. Mengetahui distribusi frekuensi dan perbedaan kadar SGOT, SGPT, Ureum dan Kreatinin pada penderita TB Paru setelah 6 bulan pengobatan .Jenis penelitian eksperimen rancangan One Group PretestPosttest. Variabel bebas Penderita TB Paru yang menjalani pengobatan 6 bulan dan variabel terikat SGOT, SGPT, Ureum dan Kreatinin, dilakukan pada September 2012- Juni 2013, jumlah sampel 75 orang. Diperoleh hasil jumlah penderita yang mengalami peningkatan kadar setelah 6 bulan pengobatan pada SGOT 56,0%, SGPT 49,3%, Ureum 54,6% dan Kreatinin 40,0%. Pada uji statistik didapatkan P value SGOT(0,049), SGPT (0,159), Ureum (0,005) dan Kreatinin (0,133) dapat disimpulkan, ada perbedaan kadar SGOT dan Ureum, tetapi tidak tidak ada perbedaan kadar SGPT dan Kreatinin pada penderita TB Paru setelah enam bulan pengobatan. Sebagian besar kadar meningkat namun dalam batas normal sehingga penggunaan OAT-KDT yang direkomendasikan oleh pemerintah masih aman untuk digunakan sesuai aturan dan diawasi oleh petugas kesehatan Kata kunci : Penderita TB Paru, SGOT, SGPT, Ureum, Kreatinin
Different Levels SGOT, SGPT, urea, and creatinine Pulmonary TB In Six Months After Treatment Abstract Tuberculosis (TB) is an infectious disease remains a global health problem. WHO in 2010 reported that Indonesia ranked fifth with the largest number of TB incidence in the world. In 2011 the city of Bandar Lampung has TB cases in 1314. TB treatment is given OAT-KDT package. The use of long-term OAT have an increased risk of hepatotoxicity characterized by transaminase enzymes and impaired renal function. Knowing the frequency distribution and differences in levels of SGOT, SGPT, urea and creatinine in patients with pulmonary TB after 6 months of treatment. Experimental research design type One Group Pretest-Posttest. The independent variable of TB patients who underwent 6 months of treatment and the dependent variable SGOT, SGPT, urea and creatinine, conducted in September 2012 - June 2013, the number of samples of 75 persons. The results obtained indicate the number of patients who have elevated levels after 6 months of treatment in 56.0% of SGOT, SGPT 49.3%, 54.6% urea and creatinine was 40.0%. In the statistical test P value obtained SGOT (0,049), SGPT (0.159), urea (0.005) and creatinine (0.133) it can be concluded, there is a difference levels of AST and urea, but no difference ALT and creatinine levels in patients with pulmonary TB after six months of treatment. Most of the levels are increasing but within normal limits so that the use of OAT-KDT recommended by the government is still safe to use as directed and supervised by health workers Keywords: Patients with pulmonary TB, SGOT, SGPT, Urea, Creatine
Korespondensi: Siti Aminah,S.Pd.,M.Kes, Jurusan Analis Kesehatan, Politeknik Kesehatan Kemenkes Tanjungkarang, Jalan Soekarno-Hatta No. 1 Hajimena Bandar Lampung, mobile 085269394663, e-mail
[email protected] Jurnal Analis Kesehatan: Volume 2, No. 2, September 2013
260
Siti Aminah: Perbedaan Kadar SGOT, SGPT, Ureum, dan Kreatinin Pada Penderita TB Paru
Pendahuluan Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis, yang masih menjadi masalah kesehatan dunia terutama di negara yang sedang berkembang. Angka kematian dan kesakitan akibat kuman Mycobacterium tuberculosis ini masih tinggi. Saat ini hampir sepertiga penduduk dunia terinfeksi kuman ini, dan kematian akibat tuberkulosis hampir dua juta jiwa tiap tahunnya. World Health Organization (2010) melaporkan bahwa jumlah penderita tuberculosis di Indonesia sebesar 429 ribu orang, dan Indonesia berada pada peringkat kelima dengan jumlah terbesar insiden kasus tuberkulosisdidunia.1 Situasi TB di dunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat, dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB besar (high burden countries) seperti salah satunya Indonesia. Hal tersebut disebabkan oleh karena kegagalan pengobatan 1 WHO telah merekomendasikan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) sebagai strategi dalam penanggulangan TB sejak tahun 1995. Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara Nasional di seluruh unit pelayanan kesehatan terutama Puskesmas yang diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar. Saat ini pengobatan tuberkulosis diberikan dalam bentuk paket berupa obat anti tuberkulosis kombinasi dosis tetap (OAT-KDT) secara umum yaitu Rifampisin, Isoniazid, Etambutol, dan Pyranizamid. Keuntungan pemberian OAT-KDT adalah memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan pengobatan sampai selesai, namun demikian, terdapat beberapa risiko terjadinya efek samping pada pasien. Efek samping yang paling sering ditemukan antara lain gangguan pen-cernaan, neuritis, gangguan penglihatan, serta gangguan fungsi hati, dan fungsi ginjal. Salah satu risiko hepatotoksik akibat pemberian obat antituberkulosis berhubungan dengan kejadian drug induced hepatitis. Obat antituberkulosis lini pertama yang mempunyai potensi hepatotoksik adalah isoniazid, rifampisin, dan pyrazinamide2 .Suatu penelitian di Iran 261
menunjukkan bahwa 45% penderita tuberculosis paru yang dirawat di rumah sakit mengalami Adverse Drug Reactions (ADR) akibat pemberian obat antituberkulosis. Adverse Drug Reactions (ADR) Gravendeel et all. (2003), pada penelitiaanya di Sulawesi Selatan menyatakan, fase terapi intensif keluhan gastrointestinal dan keluhan pada otot dan persendian lebih sering dikeluhkan selama lebih 2 minggu pada pasien yang mendapat terapi OAT program. Sari et all. (2011), menambahkan bahwa 10 Puskesmas di Banten dan Jawa Barat menunjukkan sebanyak 92 pasien yang mendapatkan terapi OAT, mengeluhkan 30 efek samping pada 1 bulan setelah dimulainya terapi OAT. Obat tuberkulosis isoniazid lebih banyak dilaporkan mempunyai efek samping hepatotoksisitas, yang kejadiannya bervariasi yaitu antara 1-30%. Hepatotoksisitas ini ditandai dengan peningkatan baik ringan maupun berat dari kadar Alanine Transferase (ALT). Pemberian kombinasi Isoniazid dan Rifampisin juga akan memperbesar risiko hepatotoksisitas 3 Dua macam enzim yang sering dihubungkan dengan kerusakan sel hati termasuk dalam golongan aminotransferase, yakni enzim yang mengkatalisis pemindahan gugus amino secara reversible antara asam amino dan asam alfa-keto. Aspartat aminotransferase (AST) atau glutamate oksaloasetat transaminase (GOT) mengerjakan reaksi antara aspartat dan alfaketoglutamat. Alanin aminotransfersase (ALT) atau glutamate piruvat transaminase (GPT) melakukan reaksi serupa antara alanin dan asam alfa ketoglutamat. Pada penyakit hati kadar GOT dan GPT dalam serum cenderung berubah sejajar. Jika sel hati mengalami kerusakan, enzim-enzim itu yang dalam keadaan normal berada di dalam sel akan masuk ke dalam peredaran darah4 Selain kerusakan sel hati efek samping obat tuberculosis terhadap sistem peredaran darah dan ginjal yaitu rifampisin, reaksi hipersensitivitasnya dapat berupa demam, pruritus, urtikaria, berbagai macam kelainan kulit, rasa sakit pada mulut dan lidah, eosinophilia, hemolisis, hemoglobinuria, hematuria, insufisiensi ginjal dan gagal ginjal akut. Efek samping dari Isoniazid dan pyrazinamide yang paling banyak ditemui adalah meningkatnya aktivitas enzim SGOT daan SGPT, karena itu hendaknya dilakukan pemeriksaan fungsi hati sebelum pengobatan Jurnal Analis Kesehatan: Volume 2, No. 2, September 2013
Siti Aminah: Perbedaan Kadar SGOT, SGPT, Ureum, dan Kreatinin Pada Penderita TB Paru
dengan OAT dimulai, dan pemantauan terhadap transaminase serum dilakukan secara berkala selama pengobatan berlangsung. Jika jelas timbul kerusakan hati maka terapi dengan pyrazinamid harus dihentikan karena pyrazinamid tidak boleh diberikan pada pasien dengan kelainan fungsi hati2 Kota Bandar Lampung pada tahun 2011 memiliki jumlah penduduk 894.869 jiwa dengan kasus TB berjumlah 1314 kasus diantaranya BTA positif berjumlah 1000 kasus. Hal ini menunjukkan penemuan kasus TB di Kota Bandar Lampung (CDR) sebesar 70% dengan target yang ditetapkan sebesar 75%dari perkiraan. Pada pengobatan TB Paru di Puskesmas, pasien yang didiagnosa menderita TB paru langsung diberikan OAT-KDT tanpa dilakukan pemeriksaan fungsi hati dan fungsi ginjal terlebih dulu, bahkan selama pengobatan sampai akhir pengobatan pun pasien hanya dipantau melalui pemeriksaan mikroskopis
(BTA) tanpa memantau aktivitas enzim SGOT ,SGPT, Ureum dan Kreatinin. Mengingat begitu pentingnya memantau aktivitas enzim- enzim tersebut akibat efek samping OAT-KDT terhadap fungsi hati dan fungsi ginjal maka peneliti merasa perlu dilakukan pemeriksaan SGOT,SGPT, Ureum dan Kreatinin untuk mengetahui kadar sebelum dan setelah pengobatan dengan OAT-KDT, maka berdasarkan data dan hal tersebut di atas peneliti ingin mengetahui seberapa besar pengaruh OAT-KDT terhadap aktivitas enzim pada fungsi hati dan ginjal melalui pemeriksaan SGOT, SGPT, Ureum dan Kreatinin serum pada penderita TB paru yang mendapatkan pengobatan di beberapa puskesmas di wilayah Kota Bandar Lampung. Pengobatan TB bertujuan untuk menyem-buhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT1
Tabel 1. Jenis, sifat dan dosis OAT.
Jenis OAT
Sifat
Dosis yang direkomendasikan (mg/kg) Harian 3 x seminggu
Isoniazid (H)
Bakterisid
5 (4-6)
10 (8-12)
Rifampicin (R)
Bakterisid
10 (8-12)
10 (8-12)
Pyrazinamide (Z)
Bakterisid
25 (20-30)
35 (30-40)
Streptomycin (S)
Bakterisid
15 (12-18)
Ethambutol (E)
Bakteriostatik
15 (15-20)
30 (20-35)
( Depkes RI,2010) Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia kategori 1 2HRZE/ 4(HR)3, Kategori 2 : 2HRZES/ (HRZE)/ 5(HR)3E3. Disamping kedua kategori ini disediakan juga paduan Paduan OAT kategori 1 dan kategori 2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat Kombinasi Dosis Tetap (OATKDT), sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk kombipak. Tablet Jurnal Analis Kesehatan: Volume 2, No. 2, September 2013
OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien 1 .Pengobatan tuberkulosis diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan tahap lanjutan. Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif 262
Siti Aminah: Perbedaan Kadar SGOT, SGPT, Ureum, dan Kreatinin Pada Penderita TB Paru
tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan
penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan1. Paduan OAT –KDT Kategori 1 diberikan untuk pasien baru TB paru BTA positif, pasien baru TB paru BTA negatif dengan foto toraks positif, Pasien TB ekstra paru1
Tabel 2. Dosis paduan OAT KDT kategori I: 2(HRZE)/ 4(HR)3
Berat Badan
Tahap Intensif Tiap hari selama 56 hari RHZE (150/75/400/275)
Tahap Lanjutan 3 kali seminggu selama 16 minggu RH (150/150)
30 – 37 Kg
2 tablet 4 KDT
2 tablet 2 KDT
38 – 54 Kg
3 tablet 4 KDT
3 tablet 2 KDT
55 – 70 Kg
4 tablet 4 KDT
4 tablet 2 KDT
≥ 71 Kg
5 tablet 4 KDT
5 tablet 2 KDT
Kategori 2 diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya pasien kambuh, pasien gagal, pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default). OAT Sisipan diberikan kepada pasien BTA positif yang pada akhir pengobatan intensif masih tetap BTA positif ( tidak terjadi koversi). Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selam sebulan (28 hari). Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana peng-obatan TB sangat diperlukan dapat diberikan streptomisin dan ethambutol maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan rifampisin dan isoniazid selama 6 bulan. Bila ada kecurigaan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan TB. Pasien TB dengan kelainan hati kronik dengan SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3kali maka OAT tidak diberikan dan bila sedang dalam pengobatan, maka harus dihentikan. Jika peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan dengan pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati tidak boleh menggunakan pyrazinamid. Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE. 263
Isoniazid (H), Rifampisin (R) dan Pyrazinamid (Z) dapat diekskresi melalui empedu dan dapat dicerna menjadi senyawasenyawa yang tidak toksik. OAT jenis ini dapat diberikan dengan dosis standar pada pasienpasien dengan gangguan ginjal. Streptomisin dan Ethambutol diekskresi melalui ginjal, sehingga harus dihindari penggunaannya pada pasien dengan gangguan ginjal. Apabila fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Ethambutol dan streptomisin tetap dapat diberikan dengan dosis yang sesuai fungsi ginjal. Paduan OAT yang paling aman untuk pasien dengan gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR 1 Pemeriksaan kimia darah digunakan untuk mendeteksi kelainan hati, menentukan diagnosis, mengetahui berat ringannya penyakit, mengikuti perjalanan penyakit dan penilaian akhir pengobatan. Pengukuran kadar bilirubin serum, aminotransferase, alkali fosfatase, γGT dan albumin sering disebut sebagai tes fungsi hati atau LFTs. Pada banyak kasus, tes-tes ini dapat mendeteksi penyakit hati dan empedu asimtomatik sebelum munculnya manifestasi klinis. Tes- tes ini dapat dikelompokkan dalam 3 kategori utama, antara lain peningkatan enzim aminotransferase (juga dikenal sebagai transaminase), SGPT dan SGOT biasanya mengarah pada perlukaan hepatoseluler atau inflamasi. Jurnal Analis Kesehatan: Volume 2, No. 2, September 2013
Siti Aminah: Perbedaan Kadar SGOT, SGPT, Ureum, dan Kreatinin Pada Penderita TB Paru
Keadaan patologis yang mempengaruhi sistem empedu intra dan ekstra hepatis dapat menyebabkan peningkatan fosfatase alkali dan γGT. Fungsi sintesis hati, seperti produksi albumin, urea dan faktor pembekuan. Pada keadaan gagal hati akut, glukosa darah dan pH arteri dapat juga dipertimbangakan sebagai petanda bantuan cadangan fungsional hati. Bilirubin dapat meningkat pada hampir semua tipe patologis hepatobilier4 Kadar senyawa nitrogen bukan protein (Non Protein Nitrogen, NPN) diukur sebagai indeks untuk fungsi ginjal. Bagian terbesar dari nitrogen dalam darah terdapat dalam proteinprotein dan jumlah itu mencapai ber- gram per dl. Zat- zat yang tergabung dalam NPN adalah ureum, kreatinin, asam urat, amonia dan asamasam amino; zat- zat tersebut berupa produkproduk dari metabolisme protein, sedangkan banyaknya hanya mencapai miligram per Dl 5 . Ureum adalah satu molekul kecil yang mudah mendifusi ke dalam cairan ekstra sel, tetapi pada akhirnya akan dipekatkan dalam urine dan diekskresi. Jika balans nitrogen dalam keadaan mantap, ekskresi ureum kira- kira 25 gram setiap hari. Kadar ureum dalam serum mencerminkan keseimbangan antara produksi dan ekskresi. Metoda penetapan adalah dengan mengukur nitrogen dan hasil penetapannya disebut sebagai nitrogen ureum dalam darah (Blood Urea Nitrogen, BUN). Dalam serum normal konsentrasi BUN adalah 8-25 mg/dl. Meningkatnya kadar ureum dalam darah disebut uremia. Keadaan ini paling sering disebabkan oleh ekskresi ureum yang terhambat oleh kegagalan fungsi ginjal 5 . Kreatinin adalah produk akhir dari metabolisme kreatin. Kreatin yang terutama disintesis oleh hati, terdapat hampir semuanya dalam otot rangka; di hati kreatin terikat secara reversibel kepada fosfat dalam bentuk fosfokreatinin, yakni senyawa penyimpan energi. Namun sebagian kecil dai kreatin tersebut secara irreversibel berubah menjadi kreatinin yang tidak mempunyai fungsi sebagai zat berguna dan adanya dalam peredaran darah hanya untuk diangkut ke ginjal. Jumlah kreatinin yang disusun sebanding dengan massa otot rangka; kegiatan otot tidak banyak berpengaruh. Nilai rujukan untuk pria 0,6- 1,3 mg/dl dan untuk wanita 0,5- 1,0 mg/dL serum.
Jurnal Analis Kesehatan: Volume 2, No. 2, September 2013
Banyaknya kreatinin yang disusun selama sehari hampir tidak berubah, kecuali jika banyak jaringan otot sekaligus rusak oleh trauma atau sesuatu penyakit. Ginjal dapat mengekskresi kreatinin tanpa kesulitan. Berkurangnya aliran darah dan urine tidak banyak mengubah ekskresi kreatinin, karena perubahan singkat dalam pengaliran darah dan fungsi glomerulus dapat diimbangi oleh meningkatnya sekresi kreatnin oleh tubuli. Kreatinin dalam darah meningkat apabila fungsi renal berkurang. Jika pengurangan fungsi renal terjadi lambat- lambat dan disampingnya masa otot juga menyusut secara berangsur, maka ada kemungkinan kadar kreatinin dalam serum tetap sama, meskipun ekskresi per 24 jam kurang dari normal5 Farmakokinetik adalah nasib obat didalam tubuh, atau efek tubuh terhadap obat. Farmakokinetik mencakup 4 proses, yaitu absorpsi (A), distribusi (D), metabolism (M), dan ekskresi (E). metabolism obat terutama terjadi dihati, yaitu membrane endoplasmic reticulum (mikrosom) dan di cytosol. Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat non polar (larut lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat diekresi melalui ginjal atau empedu. Obat menimbulkan efek melalui interaksi dengan reseptornya dan sel organisme. Reseptor obat merupakan komponen makromolekul fungsional hal ini mencakup 2 konsep penting. Pertama obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh. Kedua, obat tidak menimbulkan fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada.6
Metode Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan rancangan one group pre test- post test. Variabel bebas (independent )pada penelitian ini adalah Penderita TB Paru pengguna OAT-KDT. Variabel terikat (dependent) pada penelitian ini adalah SGOT, SGPT, Ureum dan Kreatinin. Penelitian dilaksanakan di 10 Puskesmas pelaksana Program TB di wilayah Kota Bandar Lampung, yaitu Puskesmas: Kedaton, Simpur, Sumur Batu, Satelit, Kota Karang, Panjang, Gedong Air, Sukaraja, Kemiling dan Sukabumi. Tempat pengambilan sampel dan pemeriksaan BTA dilakukan di 10 puskesmas tersebut di 264
Siti Aminah: Perbedaan Kadar SGOT, SGPT, Ureum, dan Kreatinin Pada Penderita TB Paru
atas. Pemilihan puskesmas-puskesmas tersebut di atas sebagai lokasi penelitian terkait dengan tingginya kasus TB pada puskesmas tersebut yang berada di wilayah Kota Bandar Lampung, tempat pemeriksaan kimia darah dilakukan di Laboratorium Klinik Swasta. Waktu penelitian September 2012 sampai dengan Juli 2013. Populasi penelitian ini adalah pasien TB Paru yang mendapatkan OAT-KDT pada bulan September sampai dengan Nopember 2012 di Puskesmas pelaksana Program TB di wilayah Kota Bandar Lampung. Sampel penelitian ini adalah semua pasien TB paru di 10 puskesmas pelaksana Program TB di wilayah Kota Bandar Lampung yaitu Puskesmas: Kedaton, Simpur, Sumur Batu, Satelit, Kota Karang, Panjang, Gedong Air, Sukaraja, Kemiling dan Sukabumi; yang telah minum OAT- KDT selama 6 bulan dan memenuhi kriteria sampel pada penelitian ini. Jumlah sampel yang telah diperiksa pada tahap awal (sebelum minum OAT-KDT) adalah 105 orang, drop out 30 orang, sehingga hanya 75 orang . Sampel yang digunakan untuk penelitian ini adalah penderita yang telah selesai pengobatan enam bulan dengan OATKDT yang memenuhi kriteria sampel yaitu usia dewasa ( usia ≥ 18 tahun) , terdiagnosa menderita Tuberkulosis Paru, kasus baru tuberkulosis, mendapat Obat Anti Tuberkulosis
Kombinasi Dosis Tetap dan diminum secara teratur selama 6 bulan, tidak menderita HIV/AIDS, tidak memiliki riwayat gangguan fungsi ginjal sebelumnya, tidak memiliki riwayat gangguan fungsi hati sebelumnya, tidak memiliki riwayat gangguan kekebalan tubuh, tidak memiliki riwayat penyakit kanker/ keganasan. Sampel penelitian ini diambil dengan teknik Non Probability Sampling (tidak secara acak) yaitu Jugement sampling, sehingga hanya sampel yang memenuhi syarat kriteria yang dijadikan sampel penelitian7 kemudian dilakukan pemeriksaan mikroskopis BTA di laboratorium 10 Puskesmas Pelaksana Program TB di wilayah kerja Kota Bandar Lampung, dan pemeriksaan kadar SGOT, SGPT, Ureum dan Kreatinin dalam serum. Data yang telah diperoleh, kemudian dilakukan analisis univariat untuk mengetahui prosentase jumlah penderita yang mengalami peningkatan, tetap, penurunan kadar . Kemudian dilanjutkan analisis bivariat untuk mengetahui perbedaan kadar SGOT, SGPT, Ureum dan Kreatinin (variabel bebas) pada penderita TB Paru setelah enam bulan pengobatan (variabel terikat). Uji yang digunakan yaitu uji T Paired/ berpasangan (Tdependent)
Hasil Penelitian Tabel 3 Distribusi frekuensi kadar SGOT, SGPT, Ureum dan Kreatinin pada penderita TB Paru setelahenam bulan pengobatan Perubahan Kadar antara sebelum dan setelah minum OAT-KDT Variabel Penelitian
Kadar Meningkat
Kadar Menurun
Jumlah Total Penderita
Jumlah Penderita
Persentase (%)
Jumlah Penderita
Persentase (%)
SGOT
41
54,7
26
34,6
8
10,7
75
SGPT
37
49,3
31
41,3
7
9,3
75
Ureum
42
56,0
26
34,6
7
9,3
75
Kreatinin
30
40,0
18
24,0
27
36,0
75
Berdasarkan tabel 5 didapatkan hasil bahwa setelah penderita TB mendapatkan 265
Tidak ada Perubahan Kadar antara sebelum dan setelah minum OAT-KDT Jumlah Persentase Penderita (%)
pengobatan OAT-KDT selama enam bulan maka jumlah pasien yang mengalami Jurnal Analis Kesehatan: Volume 2, No. 2, September 2013
Siti Aminah: Perbedaan Kadar SGOT, SGPT, Ureum, dan Kreatinin Pada Penderita TB Paru
peningkatan kadar SGOT sebanyak 41 orang (54,7%), penurunan kadar SGOT sebanyak 26 orang (34,6%) dan yang tidak mengalami perubahan kadar SGOT sebanyak 8 orang (10,7%). Pada pemeriksaan SGPT terjadi peningkatan kadar sebanyak 37 orang (49,3%), penurunan kadar sebanyak 31 orang (41,3%) dan yang tidakmengalami perubahan kadar sebanyak 7 orang (9,3%). Pada pemeriksaan
Ureum terjadi peningkatan kadar sebanyak 42 orang (56,0%), penurunan kadar sebanyak 26 orang (34,6%) dan yang tidak mengalami perubahan kadar sebanyak 7 orang (9,3%). Pada pemeriksaan Kreatinin terjadi peningkatan kadar sebanyak 30 orang (40,0%), penurunan kadar sebanyak 18 orang (24,0%) dan yang tidak mengalami perubahan kadar sebanyak 27 orang (36,0%).
Tabel 4. Distribusi Rata-Ratadan Standar Deviasi kadarSGOT, SGPT, Ureum dan Kreatinin sebelum dansetelah Pengobatan OAT-KDT selama enam bulan Sebelum Pengobatan Variabel SGOT SGPT Ureum Kreatinin
Setelah Pengobatan
Rata-rata
Standar Deviasi
Rata-rata
19,99 16,12 18,96 0,732
4,859 6,555 5,896 0,1757
21,93 17,73 21,00 0,757
Berdasarkan tabel 6 nilai rata-rata hasil SGOT sebelum pengobatan 19,99 U/L dan setelah pengobatan 21,93 U/L dengan standar deviasi sebelum pengobatan 4,859 dan setelah pengobatan 7,958. Pada hasil SGPT terdapat nilai rata-rata sebelum pengobatan 16,12 U/L dan setelah pengobatan 17,73 U/L dengan standar deviasi sebelum pengobatan 6,555 dan setelah pengobatan 9,439. Pada hasil Ureum terdapat nilai rata-rata sebelum pengobatan 18,96 mg/dl dan setelah pengobatan 21,00 mg/dl dengan standar deviasi sebelum
Standar Deviasi 7,958 9,439 6,325 0,1868
pengobatan 5,896 dan setelah pengobatan 6,325. Pada hasil Kreatinin terdapat nilai ratarata sebelum pengobatan 0,732 mg/dl dan setelah pengobatan 0,757 mg/dl dengan standar deviasi sebelum pengobatan 0,1757 dan setelah pengobatan 0,1868. Setelah dilakukan analisa univariat maka dilanjutkan dengan analisa bivariat menggunakan uji t untuk melihat seberapa besar perbedaan kadar SGOT, SGPT, Ureum dan Kreatinin pada penderita TB paru pengguna OAT-KDT setelah enam bulan pengobatan.
Tabel 5. Analisa bivariat perbedaan kadar SGOT, SGPT, Ureum dan Kreatinin pada penderita TB Paru setelah enam bulan pengobatan Variabel
Selisih rata-rata (d)
T hitung
P value
SGOT
1,94 U/L
2,003
0.049
SGPT
1,61 U/L
1,423
0,159
Ureum
2,04 mg/dl
2,881
0.005
Kreatinin
0,025 mg/dl
1,520
0,133
Berdasarkan tabel di atas terlihat selisih rata-rata (d) SGOT adalah 1,94 U/L, nilai t hitung 2,003 didapatkan P value 0,049 sehingga P value < 0,05 hal ini berarti ada perbedaan nilai antara sebelum dan sesudah pengobatan
Jurnal Analis Kesehatan: Volume 2, No. 2, September 2013
Α
5%
N
75
sehingga H0 ditolak yang berarti ada perbedaan kadar SGOT setelah enam bulan pengobatan. Hasil SGPT didapatkan selisih rata-rata (d) sebesar 1,61 U/L, nilai t hitung 1,423 didapatkan P value 0,159 sehingga P
266
Siti Aminah: Perbedaan Kadar SGOT, SGPT, Ureum, dan Kreatinin Pada Penderita TB Paru
value > 0,05 hal ini berarti tidak ada perbedaan nilai yang bermakna antara sebelum dan sesudah pengobatan sehingga gagal menolak hipotesis yang berarti bahwa tidak ada perbedaan kadar SGPT setelah enam bulan pengobatan. Hasil Ureum didapatkan selisih rata-rata (d) sebesar 2,040mg/dl, nilai t hitung 2,881 didapatkan P value 0,005 yang berarti P value < 0,05 hal ini berarti ada perbedaan yang signifikan setelah enam bulan pengobatan sehingga H0 ditolak. Hasil Kreatinin didapatkan selisih rata-rata (d) sebesar 0,025 mg/dl, nilai t hitung 1,520 didapatkan P value 0,133 yang berarti P value > 0,05 hal ini berarti tidak ada perbedaan nilai yang bermakna antara sebelum dan sesudah pengobatan sehingga gagal menolak hipotesis , yang berarti tidak ada perbedaan kadar Kreatinin pada penderita TB Paru setelah enam bulan pengobatan.
Pembahasan Perbedaan Kadar SGOT Penelitian terhadap enzim transaminase sebelum dan sesudah pengobatan TB sangat penting untuk mengetahui proses fisiologis yang berhubungan dengan peningkatan dan penurunan kadar enzim tersebut seperti pada penyakit kerusakan hati. Gangguan fisiologis terjadi karena nekrosis sel hati yang di sertai oleh bocornya enzim-enzim sitoplasma sel hati dalam jumlah yang besar sehingga menyebabkan kadar SGOT dan SGPT meningkat. Pada pemeriksaan SGOT jumlah penderita yang mengalami peningkatan kadar antara sebelum dan setelah pengobatan sebanyak 41 orang (54,7%). Terjadinya peningkatan kadar SGOT 54,7 % setelah enam bulan pengobatan, menunjukkan kecenderungan ada pengaruh penggunaan OATKDT terhadap kadar enzym transaminase, meskipun demikian peningkatan yang terjadi sebagian besar dalam batas normal walaupun ada beberapa yang meningkat di atas nilai normal, namun peningkatan kadar SGOT dapat dikatakan klinis jika meningkat dua kali di atas nilai normal. Uji t paired dilakukan untuk menganalisa hubungan antara OAT- KDT dengan kadar SGOT, hasil uji statistik SGOT didapatkan nilai P value 0,049 yang berarti < 0,05 hal ini berarti ada perbedaan nilai antara sebelum dan sesudah pengobatan sehingga H0 ditolak yang berarti 267
bahwa ada perbedaan kadar SGOT pada penderita TB Paru setelah enam bulan pengobatan meskipun perbedaan tersebut lemah. Hal ini dapat terjadi karena OAT-KDT yang terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Ethambutol (E) memiliki fungsi utama sebagai pembunuh kuman TB secara perlahan, dimana pada tahap awal (intensif) obat tersebut di minum setiap hari selama dua bulan sampai mendapatkan hasil BTA negatif (konversi), kemudian dilanjutkan sampai enam bulan (tahap lanjut) guna mematikan kuman persister agar tidak kambuh1 Dikarenakan obat dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama maka obat tersebut dapat mengakibatkan nekrosis multilobular sehingga terjadi peningkatan enzim transaminase yang merupakan penanda awal kerusakan hati2 , namun hubungan yang ada lemah sehingga penggunaan OAT-KDT masih aman untuk pengobatan TB sepanjang penggunaannya sesuai aturan dan diawasi oleh petugas kesehatan. Dalam penelitian serupa yang dilakukan sebelumnya oleh Akhmad Lishon Fadjri di RSUD Demang Sepulau Raya Lampung Tengah menyatakan ada perbedaan bermakna kadar SGOT antara sebelum dan setelah 2 bulan pengobatan dengan OAT-KDT. Perbedaan Kadar SGPT Pada pemeriksaan SGPT jumlah penderita yang mengalami peningkatan kadar antara sebelum dan setelah pengobatan sebanyak 37 orang (49,3%). Peningkatan yang terjadi sebagian besar dalam batas normal meskipun ada yang meningkat di atas nilai normal, namun peningkatan kadar SGPT dapat dikatakan klinis jika meningkat dua kali di atas nilai normal. Uji t paired dilakukan untuk menganalisa hubungan antara OAT- KDT dengan kadar SGPT, hasil uji statistik SGPT didapatkan nilai P value 0,159 yang berarti > 0,05 hal ini berarti tidak ada perbedaan nilai yang bermakna antara sebelum dan sesudah pengobatan yang berarti bahwa tidak ada hubungan penggunaan OAT-KDT dengan peningkatan kadar SGPT setelah enam bulan pengobatan. Hal ini bisa saja terjadi karena secara umum SGPT lebih cepat dibebaskan dari hepatosit ke dalam darah dalam keadaan akut3, sehingga dalam jangka waktu enam bulan kemungkinan SGPT kembali normal seolah tidak terjadi peningkatan kadar. Kadar SGPT dapat kembali menurun setelah enam bulan pengobatan antara lain karena pada Jurnal Analis Kesehatan: Volume 2, No. 2, September 2013
Siti Aminah: Perbedaan Kadar SGOT, SGPT, Ureum, dan Kreatinin Pada Penderita TB Paru
tahap lanjutan (4 bulan) OAT tidak mengandung Pirazinamid1 , dimana efek samping yang paling umum dan serius dari pirazinamid adalah kelainan hati, sehingga jika jelas timbul kerusakan hati maka terapi dengan pirazinamid harus dihentikan. Kadar SGOT yang meningkat juga akan menurun kembali jika pengobatan rifampisin dihentikan4 , namun pada tahap lanjutan rifampisin tetap diberikan hanya saja dosisnya yang berkurang. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan OAT-KDT aman untuk digunakan jika sesuai aturan dan diawasi oleh petugas kesehatan. Hasil ini berbeda dengan penelitian serupa yang dilakukan sebelumnya oleh Akhmad Lishon Fadjri di RSUD Demang Sepulau Raya Lampung Tengah menyatakan ada perbedaan bermakna kadar SGPT antara sebelum dan setelah 2 bulan pengobatandengan OAT-KDT. Perbedaan ini terjadi karena lamanya waktu pengobatan yang juga berbeda yaitu enam bulan. Perbedaan Kadar Ureum Pada pemeriksaan Ureum sebagian besar penderita mengalami peningkatan kadar setelah pengobatan, jumlah penderita yang mengalami peningkatan sebanyak 42 orang (56,0%). Uji t paired dilakukan untuk menganalisa hubungan antara OAT- KDT dengan kadar Ureum, hasil uji statistik Ureum didapatkan P value 0,005 yang berarti < 0,05 hal ini berarti ada perbedaan nilai yang signifikan antara sebelum dan sesudah pengobatan yang berarti bahwa ada hubungan yang cukup kuat penggunaan OATKDT dengan peningkatan kadar Ureum setelah enam bulan pengobatan, meskipun semua peningkatan yang terjadi masih dalam batas normal, sehingga OAT-KDT masih aman untuk digunakan selama sesuai dosis dan dalam pengawasan petugas kesehatan. Peningkatan kadar ureum terjadi karena menurut teori ginjal rentan terhadap efek toksik, obat-obatan dan bahan kimia karena ginjal menerima 25% dari curah jantung, sehingga sering dan mudah kontak dengan zat kimia dalam jumlah besar dan merupakan jalur ekskresi obligatorik untuk kebanyakan obat, serta mempunyai fungsi sebagai organ utama untuk membuang produk sisa metabolism yang tidak diperlukan lagi oleh tubuh. Produk-produk tersebut antara lain ureum dan kreatinin6 Peningkatan yang terjadi dalam batas normal ini dapat disebabkan karena rifampisin yang merupakan salah satu Jurnal Analis Kesehatan: Volume 2, No. 2, September 2013
antibiotik penyebab nefritis interstisial yaitu peradangan pada sel-sel ginjal yang bukan bagian dari unit pengumpulan cairan (kamus kesehatan,2013), dimana nefritis interstisial akut akibat obat merupakan reaksi hipersensitivitas yang terbalik terhadap sejumlah obat-obatan yang meningkat. Reaksi mulai timbul kurang lebih 15 hari setelah pemaparan dengan obat. Gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat dapat terjadi, tetapi dapat menghilang segera atau perlahan-lahan dengan dihentikannya obat6, sehingga meskipun secara statistik memang terjadi perbedaan bermakna, namun secara substansi tidaklah mempunyai perbedaan yang berarti, karena semua hasil ureum dalam batas normal, sehingga disimpulkan tidak ada peningkatan kadar ureum antara sebelum dan setelah pengobatan OAT-KDT selama enam bulan dibandingkan dengan nilai normal. Perbedaan Kadar Kreatinin Pada pemeriksaan Kreatinin jumlah penderita yang mengalami peningkatan kadar antara sebelum dan setelah pengobatan sebanyak 30 orang (40,0%). Peningkatan yang terjadi sebagian besar dalam batas normal meskipun ada beberapa yang meningkat di atas nilai normal, namun dapat dikatakan tidak berarti secara klinis . Uji statistik t paired dilakukan untuk menganalisa hubungan antara OAT- KDT dengan kadar Kreatinin, hasil uji Kreatinin didapatkan P value 0,133 yang berarti P value > 0,05 hal ini berarti tidak ada perbedaan nilai yang bermakna antara sebelum dan sesudah pengobatan. Hal ini dapat terjadi karena pada tahap lanjut (selama 4 bulan) pengobatan OATKDT yang mengandung rifampisin tidak diminum setiap hari tapi seminggu tiga kali sehingga dosisnya berkurang yang kemungkinan menyebabkan sebagian besar kadar kreatinin masih normal, dimana Rifampisin merupakan antibiotik dalam OATKDT yang memiliki efek terhadap ginjal (nefritis interstisial dan gagal ginjal akut) sebagai reaksi hipersensitif meskipun jarang terjadi4 sehingga penggunaan OAT-KDT yang direkomendasikan oleh pemerintah masih aman untuk digunakan jika sesuai aturan dan diawasi oleh petugas kesehatan. Simpulan,terjadi peningkatan kadar SGOT 41 %, SGPT 37 %, Ureum 42 %, Kreatinin 30 %. Ada perbedaan kadar SGOT dan Ureum, namun tidak ada perbedaan kadar 268
Siti Aminah: Perbedaan Kadar SGOT, SGPT, Ureum, dan Kreatinin Pada Penderita TB Paru
SGPT dan Kreatinin pada penderita TB Paru setelah enam bulan pengobatan, tetapi sebagian besar kadar meningkat namun dalam batas normal sehingga penggunaan OAT-KDT yang direkomendasikan oleh pemerintah masih aman untuk digunakan jika sesuai aturan dan diawasi oleh petugas kesehatan.
Daftar Pustaka 1. Departemen Kesehatan Republik IndonesiaPedoman Nasional Penangglangan Tuberkulosis, Departemen Kesehatan RI, Jakarta , 2010 2. Istiantoro, Yati H; Setiabudy ,Rianto , Farmakologi dan 3. Terapi Edisi 5, Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, Jakarta. 2007 Halaman 617-619. 4. Wilson, Lorraine M, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Vol2, Edisi 6. EGC, Jakarta. 2006 Halaman 867-875 5. Amirudin, Rifai, , Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV, Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI,Jakarta. 2007 Halaman 415-418. 6. Widmann, Frances K, Tinjauan Klinis atas Hasil pemeriksaaan Laboratorium. Edisi 9 EGC, Jakarta. , 1992 Halaman 254-257. 7. Guyton, Arthur C, , Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. EGC. Jakarta. 398 ,1997 8. Notoatmodjo, Soekidjo, Metodologi Penelitian Kesehatan, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. 2010 9. Djojodibroto, R Darmanto ,Respirologi (Respiratory Medicine). EGC. Jakarta. 2009 51 Halaman.
269
Jurnal Analis Kesehatan: Volume 2, No. 2, September 2013