PERGESERAN POLA PERNIKAHAN PEREMPUAN JAWA

Download sebenarnya secara dominan dipengaruhi oleh budaya Jawa, yang didukung oleh tradisi Islam tradisional dan intervensi negara dalam menentukan...

0 downloads 468 Views 590KB Size
Pergeseran Pola Pernikahan Perempuan Jawa Madekhan*) *)

Dosen Prodi Bahasa Inggris FKIP Universitas Islam Lamongan

Abstract Artikel berikut berusaha menggambarkan perubahan pola pernikahan perempuan di keluarga Jawa. Latar kajian berada pada perubahan sosial yang terjadi di ruang institusi agama, keluarga, sekaligus relasi masyarakat patriarki. Melalui ketiga ranah perubahan demikian, akan digali implikasi lanjutan, terutama pada (1) pergeseran pola pernikahan perempuan di Jawa, dan (2) keberdayaan perempuan. Fenomena perubahan institusi keluarga terlihat dari pergeseran menuju keluarga inti (nuclear family), pola hubungan yang lebih egaliter, ukuran keluarga yang semakin kecil, dan menurunnya pasangan pernikahan usia dini. Pada tataran pendidikan, perempuan pada keluarga Jawa juga semakin memiliki peluang untuk melanjutkan pendidikan yang letaknya jauh dari komunitas tempat tinggalnya, sekaligus ke jenjang pendidikan tinggi. Hal ini berimplikasi pada semakin kecilnya peluang perkawinan pada usia dini dan pola perjodohan oleh orang tua.

A.

Perempuan Dalam Institusi Agama Dan Keluarga Jawa

Indonesia adalah negara yang besar dan luar biasa beragam, yang populasinya mencapai 220 juta orang tersebar di ribuan pulau dengan sekitar tiga ratus kelompok etnis, di antaranya yang paling penting dan menyebar luas adalah masyarakat Jawa. Berkenaan dengan kehidupan beragama, sebagian besar agama-agama besar dunia terwakili di Indonesia. Selain agama-agama lokal dan kepercayaan animistis. Di antara agama ini, Islam menduduki sekitar 87 persen dari populasi, membuatnya sebagai kelompok agama terbesar di negara ini, dan sangat mendominasi kehidupan masyarakat. Selain itu, Indonesia secara tradisi sangat berbeda dari Timur Tengah atau Barat atau Asia Selatan, terutama terkait dengan tradisi kebebasan yang lebih besar bagi perempuan di tempat publik. Seperti yang telah disebutkan di atas, dominasi sosial dan politik masyarakat Jawa adalah fitur dari masyarakat Indonesia. Masyarakat Jawa, dengan budaya dan tradisinya, mendominasi sebagian besar masyarakat Indonesia pada umumnya. Hegemoni budaya Jawa dalam masyarakat Indonesia terjadi karena dukungan politik, sistem pendidikan formal dan media. Nilainilai masyarakat Jawa, pandangan dan gaya hidup telah menjadi sumber dan referensi standar bagi banyak cita-cita dan nilai-nilai masyarakat yang lebih luas, untuk tidak menyebut masyarakat Indonesia modern1. Dalam pandangan masyarakat Jawa, nasib perempuan secara utama berpusat pada peran perempuan sebagai istri dan ibu. Ada pembenaran budaya secara umum untuk subordinasi perempuan dalam budaya Jawa di mana perempuan (istri) 1

Bani Syarif Maula, Women’s Struggle On Political, Rights In Indonesia, PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010

didefinisikan sebagai “teman di belakang” (Jawa: konco ing wingking) atau sebutan yang lebih baik "pendamping suami". Pepatah ini mengingatkan mereka bahwa peran perempuan adalah untuk duduk di belakang suaminya (baik secara literal dan kiasan) dan mendukungnya seperti yang dia butuhkan. Konsep gender ini tetap tidak berubah dan bahkan diperkuat oleh Islam. Banyak Muslim Indonesia percaya bahwa menurut Qur'an Surah An-Nisa ayat 34 jika wanita (istri) gagal untuk menghormati kewajiban ini, laki-laki (suami) memiliki hak untuk memukul mereka. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia pada umumnya sebenarnya secara dominan dipengaruhi oleh budaya Jawa, yang didukung oleh tradisi Islam tradisional dan intervensi negara dalam menentukan peran gender masyarakat. Pengaruh budaya Jawa, keyakinan agama dan ideologi gender negara, di mana sistem nilai patriarki mereka sebagian besar mendiskriminasikan perempuan, yang secara jelas bertanggung jawab untuk pengaruh yang sangat berkelanjutan dari citacita ini dalam cara subordinasi perempuan untuk laki-laki. Bagaimanapun, demokratisasi memberi perempuan kesempatan baru yang penting untuk bertindak sebagai warga negara demokratis. Untuk perempuan Indonesia, kesempatan ini datang ketika zaman otoriter Suharto, rezim patriarki Suharto kekuasaannya berakhir pada tahun 1998, dan Indonesia memulai proses transisi demokrasi baru. Perempuan Indonesia harus menentukan peran mereka, kewarganegaraan dan partisipasi dalam pemerintahan yang lebih demokratis, tugas sebagian besar dipenuhi melalui kehebatan aktivitas pergerakan sosial mereka. Sebagai negara demokrasi, konstitusi Indonesia menjamin kesetaraan di depan hukum, perlindungan hukum yang sama, dan pemenuhan hak-hak dan kewajiban yang setara untuk seluruh warga negaranya. Namun, diskriminasi gender tetap menjadi praktek. Sebagaimana disebutkan di

atas, status perempuan di Indonesia lebih rendah daripada laki-laki. Karena fakta ini, ada beberapa gerakan untuk perbaikan status perempuan dan kampanye untuk kesamaan gender yang lebih dalam masyarakat. Sebenarnya, gerakan perempuan itu sendiri dan upaya untuk kesetaraan sudah ada sejak gerakan nasionalis kemerdekaan dimulai pada awal abad kedua puluh sampai sekarang. Persepsi perempuan di kalangan umat Islam Indonesia pada umumnya telah dipengaruhi oleh berbagai elemen. Salah satunya adalah pengaruh dari tradisi Jawa dalam menafsirkan ajaran Islam dan pengajarannya. Banyak Muslim percaya bahwa perempuan dianggap sebagai godaan duniawi, untuk mitos bahwa kaum Hawa adalah penggoda. Akar devaluasi perempuan bersumber dari keyakinan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk kiri Adam. Dipengaruhi oleh budaya Jawa, banyak umat Islam Indonesia memandang bahwa, tidak seperti pria, wanita tidak dapat memiliki kekuatan spiritual karena peran mereka sebagai ibu dan istri yang direndahkan. Hanya laki-laki yang memiliki potensi untuk mencapai kekuatan spiritual dan dengan demikian mencapai kehidupan yang lancar. Dalam tradisi Jawa, sejak kecil, wanita dilatih untuk menjadi istri patuh dibanding seorang ibu. Menurut budaya Jawa, "wanita yang baik salah satunya adalah yang berada dirumah, menjadi istri setia, patuh dan mendukung, menangani pekerjaan rumah tangga dan bertanggung jawab atas anak-anak ". Gagasan tentang wanita yang baik dalam budaya Jawa kemudian berkubu dalam hukum Pernikahan Indonesia Nomor 1/1974, pasal 31, sebagaimana disebutkan di atas, yang membagi pekerjaan laki-laki dan perempuan menjadi dua daerah yang sukar, daerah umum dan pribadi. Selain itu, aturan Islam mengizinkan poligami, UU pernikahan Indonesia juga dalam pasal 3, 4 dan 5. Dalam hal ini, banyak sarjana Muslim Indonesia mencerminkan tradisi Jawa, karena salah satu tanda kekuasaan sosial, menurut Anderson, adalah kesuburan, orang Jawa menyatakan bahwa kepemilikan seorang wanita dianggap sebagai sifat alami sebuah kekuatan. Untuk memperlihatkan peran perempuan sebagai istri dan ibu yang tinggal dalam lingkungan tertutup, yang tentu saja merupakan Status subordinasi kepada pria, banyak sarjana Muslim tradisional Indonesia berpendapat dengan berfokus pada teks Al-Qur'an Sura An-Nisa ayat 34 terjemahan resmi Indonesia dari Al-Qur'an, yang berbunyi: Laki-laki adalah pemimpin (qawwamun) bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada oleh karena Allah

telah memelihara ( mereka) wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya. Maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka ( daraba). Banyak Muslim di Indonesia percaya bahwa ayat ini mengatur bahwa laki-laki adalah pemimpin (qawwam) perempuan. Argumen mereka juga didukung oleh hadits, yang biasanya dikutip dan ditafsirkan secara harfiah untuk menjaga perempuan agar tinggal di rumah. Salah satu hadis menyatakan bahwa "perempuan harus memiliki izin suami mereka jika mereka ingin pergi keluar rumah ke dunia publik, karena tempat perempuan yang tepat adalah berada dalam daerah rumah tangga" . Selain itu, seksualitas perempuan, bagi sebagian presepsi muslim, dipandang sebagai kekuatan yang sangat kuat dan bersifat merusak daripada laki-laki, dan diidentifikasi sebagai fitnah atau kekacauan. Oleh karena itu, menurut mereka, perempuan harus dikontrol untuk mencegah lakilaki dari perasaan terganggu karena tugas-tugas sosial dan keagamaan mereka. Hadits lain, yang sangat populer dan selalu dikutip oleh para sarjana Muslim konservatif Indonesia, yang menyatakan bahwa "orang tidak akan makmur jika diatur oleh seorang wanita" (dalam bahasa Arab: Lan yufliha qaum Wallau amrahum imra'ah) . Selama periode pemilu tahun 1999, ayat Al Qur'an dan hadits-hadits hangat diperdebatkan di arena publik dalam konteks pernyataan oleh beberapa ulama Muslim Indonesia bahwa perempuan tidak bisa menjadi presiden menurut hukum Islam. Kontroversi hak-hak politik perempuan, dalam konteks ini adalah hak perempuan untuk peran kepemimpinan, meletus ketika Majelis Ulama Islam Indonesia (Majelis Ulama Indonesia atau MUI) menegaskan bahwa calon presiden yang populer Megawati Soekarnoputri tidak diizinkan untuk menjadi presiden menurut hukum Islam karena dia adalah perempuan, meskipun ulama Muslim moderat lainnya memiliki tafsiran yang berbeda. Mereka percaya bahwa Qur'an dan hadits yang dikutip di atas untuk perdebatan terhadap perempuan untuk menjadi pemimpin politik adalah penyalahtafsiran dari perintah yang berkaitan dengan pekerjaan rumah tangga. Sebuah survei yang dilakukan pada tahun 2002 oleh lembaga riset PPIM menegaskan pendapat tersebut meskipun tidak diwakili oleh kebanyakan, 26 persen responden percaya bahwa seorang wanita tidak bisa menjadi presiden negara itu, sementara 7 persen berpikir seorang wanita seharusnya tidak menjadi anggota parlemen. Debat publik tentang hak-hak perempuan untuk kepemimpinan dan hasil survei di atas menunjukkan persetujuan isu-isu tentang peran perempuan baik di dalam maupun di luar keluarga memberikan kontribusi terhadap personalisasi keprihatinan politik dan visi modernisasi. Perdebatan apakah Indonesia sebagai negara

mayoritas Muslim bisa memiliki presiden perempuan akan tampak di permukaan untuk menunjukkan bahwa Islam merupakan sumber penting dari ketidakadilan gender di Indonesia. Meskipun demikian, perdebatan ini disediakan aktivis gender dengan konteks yang tepat waktu di mana untuk mendorong orang untuk mempertimbangkan kembali pemahaman mereka tentang peran perempuan dalam Islam. B. PEREMPUAN JAWA DALAM RELASI PATRIARKI Pada awal 1980-an, perempuan di Indonesia dipandang telah mewujudkan tujuan mereka dan berhasil mengubah sikap sosial terhadap peran gender, terutama ketika banyak perangkat hukum opresif diskriminatif sebagian besar telah dihapuskan. Di sini perubahan hukum memang telah terjadi, namun perubahan sosial tidak serta merta menyertainya. Feminisme dengan bantuan studi gender telah menjelaskan bahwa kita memainkan peran gender masing-masing, sebagai perempuan dan laki-laki dalam masyarakat, di mana laki-laki seharusnya berperilaku seperti lakilaki dan perempuan layaknya wanita (Andersen, 2006). Dengan bantuan tak ternilai dari studi perempuan yang kemudian dikembangkan menjadi studi gender, pegiat feminisme telah mengembangkan berbagai macam konsep yang baik dalam upaya mencoba untuk menjelaskan dan melawan subordinasi perempuan. Konsep-konsep ini sangat membantu dalam gerakan perempuan untuk kesetaraan hak. Studi perempuan maupun gender telah sangat membantu perjuangan perempuan untuk kesetaraan hak. Kita tahu saat ini perempuan telah naik ke tangga sosial yang begitu tinggi, yang memungkinkan sebagian dari mereka bisa tampil sebagai perdana menteri, anggota kabinet dan berbagai pekerjaan terkemuka lainnya telah mampu diraih oleh tangan-tangan handal perempuan. Banyak feminis sekarang berjuang agar perempuan tidak dilihat lagi sekedar makhluk seksual dan perhiasan semata2. Kebebasan seksual dimana kita menginginkan diperuntukkan bagi perempuan telah menjadi masalah besar di dunia saat ini. Seiring kecenderungan maraknya pornografi, nampaknya hanya berujung pada eksploitasi perempuan ke tingkat yang semakin berbahaya. Pada saat ini, kita semakin prihatin bagaimana seringkali perempuan yang masih muda dan miskin dieksploitasi melalui prostitusi, industri seks dan perdagangan perempuan. Di Jawa, dengan memanfaatkan “nilai ketimuran” patriarki secara leluasa menyingkirkan perempuan dengan membangun dikotomi antara 2

Nína Katrín Jóhannsdóttir, 2009.

ranah publik dan privat. Perempuan semakin termarjinalkan dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satu bentuknya adalah peminggiran peran perempuan untuk terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan politik yang berhubungan dengan kebijakan-kebijakan publik.3 Dalam konsepsi patriarki, struktur sosial dan berbagai prakteknya didominasi laki-laki, dengan menindas da mengeskploitasi perempuan. Kekuatan konsep ini mempengaruhi struktur sosial, setidaknya dikembangkan melalui enam struktur dasarnya: patriarki dalam moda dan alat produksi, hubungan patriarki dalam organisasi kerja, relasi patriarki dalam negara, kekerasan laki-laki terhadap perempuan, relasi patriarki dalam seksualitas, dan dalam kelembagaan sosial (Walby, 1990, 20)4. Kenyataan bahwa negara berwatak patriarkis, rasis, kapitalis, dan seringkali menampilkan bias kepentingan patriarkis 5. Rosalia (2003)6 mengungkapkan bagaimana relasi dominatif antara laki-laki terhadap perempuan dibungkus dan diajarkan oleh negara dan pranata keluarga dengan cita-cita keselarasan sosial. Meski begitu, sebenarnya hubungan keduanya tidak mengandalkan hubungan yang setara. Sebaliknya, hal ini didasarkan pada rantai kekuasaan yang hirarkis yang terstruktur di sepanjang ideologi gender patriarkis. Sang Bapak dianggap sebagai sumber utama kekuasaan dan sang ibu sebagai medium bawahan untuk menyalurkan kekuasaan tersebut. Sementara itu, Presiden merupakan sosok Bapak tertinggi bangsa. Secara lebih spesifik, negara melalui agenagen birokratisnya memberikan kontribusi pada tindak kekerasan rumah tangga baik dalam perlakuan tidak setara kepada perempuan dan dengan penolakan mereka untuk melindungi perempuan dengan sarana hukum (Hanmer dan Sanders, 1984). Bagaimana akibat kealpaan dalam memahami keadilan gender, kelembagaan negara dalam kebijakan-kebijakannya enggan mengakui kekerasan dalam rumah tangga sebagai masalah publik yang harus diprioritaskan secara politik7. Kekerasan laki-laki terhadap perempuan secara sistematis didukung dan ditoleransi oleh negara melalui berbagai pengabaian atas berbagai tindak kekerasan yang berlangsung. Dalam situasi subordinatif, perempuan relatif tidak memiliki kontrol atas sumberdaya ekonomi keluarga; status 3

Ibid hlm 68 Dalam Katrin, Nina, 2009 5 Walby, 1990 6 Ulasan kekerasan rumah tangga dihubungkan dengan karakter ideologi dan kebijakan negara lebih jauh bisa ditemukan dalam tulisan Rosalia Sciortino dan Ines Smith dalam Frans Husken dan Huub de Jonge (eds) Orde Zonder Order, Kekerasan dan Dendam di Indonesia, 1965-1998, LKIS, 2003, LKIS, 2003 4

7

Ibid, hal 154

lebih rendah, dan posisi pengambilan keputusan dan kekuasaan lebih didominasi si suami, dengan karakter relasi perilaku di antara keduanya lebih mencerminkan hirarki superior menindas inferior8. Di dalam memandang kekerasan dan eksistensi rumah tangga, konseptualisasi lebih berujung pada pernyataan bahwa kekerasan rumah tangga sebagai gejala subordinasi perempuan sekaligus salah satu sarana praktis untuk menjalankannya. Kekerasan fisik terhadap perempuan didasarkan atas dan berguna untuk menjaga subordinasi ini, dan memang tidak dapat dijelaskan tanpa merujuk kepada konsep subordinasi itu sendiri (Campbell, 1992; Binney, 1985)9. Kelembagaan sosial telah menjadi faktor utama dalam menjelaskan apa yang dihasilkan oleh kebijakan pembangunan, mengarahkan sikap individu dan membentuk pola interaksi sosial (North, 1990)10. Banyak literatur mengungkapkan, bagaimana ketidakadilan gender dalam pendidikan dan lapangan kerja merupakan masalah yang serius. Ketidakadilan gender ini bukan hanya mengamputasi kebebasan dasar perempuan, tetapi juga mampu menyebabkan hasil-hasil pembangunan berdampak negatif bagi seluruh masyarakat. Singkatnya, ketidakadilan gender berakar pada peran gender yang berlaku di kelembagaan sosial (seringkali informal) yang mempengaruhi perilaku hidup sehari-hari dan melahirkan „tuntutan peran‟ dimana orang-orang berupaya melaksanakan dan memenuhinya 11. Hubungan institusi sosial dan ketidakadilan gender tersebar dalam kerangka agama, sistem politik, geografis dan dan tingkat perkembangan ekonomi. Secara lebih mikro, bagaimana situasi dalam institusi sosial tertentu bisa membawa masyarakat pada rendahnya tingkat kesehatan, pelayanan pemerintah yang buruk, dan stagnasi perekonomian (Swamy, Knack, Lee, & Azfar, 2001; World Bank, 2001). Laporan Riset Kebijakan Bank Dunia Tahun 2011, mengungkap implikasi isu gender terhadap situasi ekonomi dan sosial di negara sedang berkembang. Laporan ini juga memperkuat keterkaitan konseptual dan empirikal antara gender, kebijakan publik, dan capaian pembangunan. Bukti-bukti menunjukkan bahwa masyarakat dengan diskriminasi gender cenderung lebih lambat tingkat pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinannya ketimbang masyarakat berkeadilan

gender. Untuk mendorong kesetaraan gender, hasil penelitian merekomendasikan tiga kerangka strategi yang menekankan (i) reformasi kelembagaan berpusat pada upaya penyetaraan hakhak laki-laki dan perempuan; (ii) Kebijakan ekonomi berkelanjutan; dan (iii) aktif melakukan upaya penurunan disparitas gender (World Bank, 2001)12. Perspektif relasi patriarkis dalam kelembagaan sosial, memperjelas bagaimana lakilaki menikmati posisi dominan di berbagai pranata sosial, seperti media, dan bagaimana tradisi menempatkan perempuan menjadi obyek tontonan media massa (Walby, 1990)13. Konstruksi gender yang bersifat patriarkis menempatkan perempuan sebagai kelas dua, inferior, dan harus selalu mengalah dalam hubungannya dengan laki-laki. Dalam masyarakat yang patriarkis relasi gender dilandasi hukum kebapakan. Seperti dikemukakan oleh Walby bahwa patriarki bisa dibedakan menjadi dua, yaitu patriarki privat dan patriarki publik. Inti dari teorinya itu adalah telah terjadi ekspansi wujud patriarki, dari ruang-ruang pribadi dan privat seperti keluarga dan agama ke wilayah yang lebih luas yaitu negara. Seiring berjalannya waktu, terjadi pergeseran dari patriarki privat menuju patriarki publik. Patriarki pertama berdasarkan pada aktifitas kerja produksi rumah tangga, dengan pihak lakilaki (patriarch) mengontrol individu perempuan secara langsung dalam ruang yang relatif privat di rumah. Sementara praktek patriarki publik lebih berdasar pada struktur daripada kerumahtanggaan, meski pada dasarnya keluarga juga masih dipandang sebagai ruang besar terjadinya praktek patriarki. Dalam hal ini, institusi sosial dan budaya dipandang dalam domain publik yang menjadi sentral pelestari patriarki.14Ekspansi ini menyebabkan patriarki terus menerus berhasil mencengkeram dan mendominasi kehidupan lakilaki dan perempuan. Dari teori tersebut, dapat diketahui bahwa patriarki privat bermuara pada wilayah rumah tangga. Wilayah rumah tangga sebagai daerah awal utama kekuasaan laki-laki atas perempuan, sedangkan patriarki publik menempati wilayah-wilayah publik seperti lapangan pekerjaan dan negara.

8

Ann Whitehead, Some Preliminary Notes on the Subordination of Women, IDS Bulletin Volume 37 Number 4, September 2006. Anthology, Institute of Development Studies 2006 9 Frans Husken dan Huub de Jonge (eds), 2003 10 Dalam Branisa, Boris dan Klasen, Stephan, Gender Inequality in Social Institutions and Gendered Development Outcomes, 2005. 11 Ibid hlm 24

12

The World Bank, Engendering Development - Through Gender Equality in Rights, Resources, and Voice, 2001 13 Sylvia Walby, dalam Theorising Patriarchy, 1990). 14

Ibid hlm 178

C. PERGESERAN POLA PERNIKAHAN PEREMPUAN DI JAWA Tingkat pendidikan perempuan di Indonesia merupakan salah satu faktor yang paling terkait dengan sikap terhadap pernikahan. Untuk memperjelasnya, kita bisa membagi sejarah Indonesia dalam dua periode: (1) dari tahun 1950 hingga tahun 1970-an, dan (2) dari tahun 1970 sampai sekarang. Selama periode pertama, wanita di Indonesia, khususnya di Jawa, menikah pada usia 17, sebagian disebabkan karena kemiskinan dan kurangnya fasilitas pendidikan, sehingga banyak gadis tidak melanjutkan pendidikan mereka kecuali tingkat sekolah dasar. Selama periode ini, jika ada seorang gadis yang belum menikah pada usia 17, ia akan dicap sebagai perawan tua dan akan membuat malu orangtuanya. Untuk menghindari rasa malu, beberapa orang tua sengaja menikahkan putri mereka pada usia itu atau mencari seorang pria yang sementara akan menikahi putri mereka selama seminggu atau lebih dan kemudian menceraikannya. Jika pasangan tidak bahagia dengan pernikahan yang mereka atur, putrinya bisa kembali pada orang tua setelah perceraian. Setelah perceraian itu, akan lebih mudah untuk sang putri mencari suami yang mau menanggung malu karena terlibat dengan pernikahan yang rumit15. Pada saat itu, pernikahan adalah urusan orang tua, bukan pilihan pribadi. Orang tua memiliki beberapa kepentingan dalam pernikahan anak-anak mereka. Misalnya, banyak orang tua takut anak mereka mungkin tidak memilih pasangan yang tepat dan akan jatuh ke tangan lelaki hidung belang16. Terlebih, mereka cenderung melindungi martabat keluarga dengan menikahkan putri mereka pada usia dini atau segera setelah mereka mencapai pubertas untuk menghindari perbuatan seksual dan kehamilan di luar pernikahan17. Selain itu, sebagian orang tua terdorong kepentingan ekonomi terkait penerimaan hadiah atau sumbangan dalam jumlah besar selama pesta pernikahan dari para tamu, tentu sebagai pengembalian sumbangan yang telah mereka berikan sebelumnya. Pesta pernikahan meriah bagi putri mereka juga berfungsi untuk menunjukkan

status sosial orang tua di tengah komunitasnya. Pernikahan ini, bagi banyak orang tua, merupakan perayaan ritual penting bagi putri mereka bukan hanya memasuki jenjang kedewasaannya sekaligus menyisakan pilihan untuknya apa tetap bertahan ataupun meninggalkan pernikahan tersebut 18. Karena pernikahan diatur oleh orang tua, mereka akan bertanggung jawab ketika pernikahan tidak berjalan lancar dan senang hati menyambut putri mereka kembali ke rumah. Setelah pernikahan pertamanya, anak perempuan memiliki lebih banyak kebebasan untuk memilih suaminya sendiri. Jika dia masih terlalu muda, orang tua mungkin masih mengatur pernikahan berikutnya, dengan persetujuan putrinya. Pernikahan yang diatur orang tua biasanya dimulai sejak usia dini, bahkan sebelum kelahiran anak-anaknya. Ini perjodohan yang sangat rentan terhadap perceraian karena ketidakdewasaan dan ketidakcocokan19. Pada tahun 1950an, tingkat perceraian di Jawa tercatat tertinggi di dunia dengan hampir setengah dari pernikahan berakhir dengan perceraian, yang sebagian besar terjadi pada pernikahan pertama yang diatur oleh orang tua. Tidak ada stigma untuk perceraian karena pernikahan pertama dianggap sebagai sebuah percobaan. Namun, menurut Wolf, tingginya tingkat perceraian umumnya di antara kaum Abangan, yang memandang perceraian bukan sebagai beban moral. Sementara masyarakat Santri dan Priyayi cenderung melihat perceraian sebagai beban moral dan memalukan. Selain itu, menurut Wolf, perempuan dari kalangan priyayi (kelas menengah atas) cenderung menghindari perceraian untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan ekonomi oleh suami mereka20. Sebelum tahun 1970-an, perempuan Indonesia sangat rentan terhadap pelecehan. Perempuan jarang diberi pilihan menikah karena cinta, dan ketika mereka menikah, biasanya pada usia dini, mereka rentan diceraikan secara sepihak, dimadu (polygamously) atau ditelantarkan oleh suami mereka begitu saja. Perempuan tidak memiliki hak yang jelas karena belum ada hukum di Indonesia yang mengatur hubungan pernikahan21. Situasi telah berubah sejak 1970-an,

15

Hildred Geertz, The Javanese Family: A Study of Kinship and Socialization (USA: The Free Press of Glencoe, 1961), p. 56 16 Susan Blackburn and Sharon Bessell, ‘Marriageable age: political debates on early marriage in twentieth-century Indonesia’, Indonesia, No. 63 (April) 1997, pp. 107–41. 17 Gavin W. Jones, “Modernization and divorce: Contrasting trends in Islamic Southeast Asia and the West”, Population and Development Review 23, 1 (March1997), pp. 95–114.

18

Geertz, The Javanese Family, pp. 69-70. Jones, ‘Modernization and divorce”; Rosemary Firth, Housekeeping, p. 44; Tim B. Heaton et al., “Why is the divorce rate declining in Indonesia?” Journal of Marriage 20 Diane L. Wolf, Factory Daughters: Gender, Household Dynamics, and Rural Industrialization in Java, (Berkeley: University of California Press, 1992), p. 62. 21 June S. Katz and Ronald S. Katz, 1975, dalam Nina Nurmila, The Influence Of Global Muslim Feminism 19

saat dimana Indonesia baru saja memulai perkembangannya. Pemerintah Orde Baru telah meningkatkan jalan dan transportasi dan membangun banyak sekolah di seluruh Indonesia, terutama di Jawa, dengan sebuah Sekolah Dasar di setiap Desa, SMP dan SMA di setiap kabupaten. Hal ini membuat lebih mudah bagi perempuan untuk bersekolah lebih dekat dengan rumah. Hasilnya, sejumlah besar perempuan berhasil menyelesaikan pendidikan sembilan tahun pertama. Sebagian orang tua mendukung pendidikan lanjutan bagi putri mereka, meski harus bersekolah jauh dari rumah mereka. Kondisi ini menghasilkan tingkat pendidikan, termasuk kesempatan kerja, kemapanan dan prestis ekonomi, dimana semakin banyak orang tua Indonesia lebih suka putri mereka melanjutkan sekolah daripada menikah. Pernyataan ini dapat dilihat, misalnya, dalam komentar-komentar dari tetangga untuk pernikahan dini, yang merupakan kebalikan dari apa yang terdengar pada tahun 1950. Pada tahun 1950, jika gadis berusia enam belas atau tujuh belas tahun yang belum menikah, mereka akan dicap sebagai gadis tidak laku atau perawan tua. Pasca 1970-an, jika seorang gadis tujuh belas tahun menikah, ia cenderung akan dipandang rendah atau diejek. Misalnya dengan ungkapan “Kok kawin, Masih Muda!" Kenapa dia menikah, dia begitu muda! " terutama jika pernikahan itu disebabkan oleh kehamilan di luar nikah22. Secara umum, telah terjadi peningkatan usia pernikahan sejak 1970-an, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di Asia Tenggara. Kesempatan pendidikan bagi anak perempuan mungkin telah memberi kontribusi pada peningkatan usia perkawinan. Di Indonesia, diberlakukannya undang-undang Perkawinan tahun 1974, yang menetapkan usia minimal untuk menikah, berusia 16 tahun untuk wanita dan 18 tahun untuk laki-laki, mungkin juga telah memberi kontribusi pada meningkatnya usia perkawinan. Menurut Hull, di Indonesia, rata-rata pernikahan naik menjadi di atas usia 20 tahun pada tahun 1985. Menurut Jones, usia rata-rata pernikahan meningkat mulai kurang dari 19,5 pada tahun 1980 sampai 20,9 pada tahun 1990. Peningkatan ini terus berlanjut di seluruh kawasan Melayu. Akibatnya, sejak tahun 1990, merupakan hal yang umum menemukan pria dan wanita Melayu yang belum

On Indonesian Muslim Feminist Discourse, AlJa>mi‘ah, Vol. 49, No. 1, 2011 M/1432 H. 22 Nancy J. Smith-Hefner, “The new Muslim romance: Changing patterns of courtship and marriage among educated Javanese youth’, Journal of Southeast Asian Studies 36, 3 (October 2005), p. 451.

menikah di usia tiga puluhan atau bahkan tidak menikah sama sekali sepanjang hidupnya 23. Kesempatan belajar untuk anak perempuan juga berimplikasi pada lebih banyaknya kesempatan untuk bersosialisasi dengan lawan jenis mereka, sekaligus memberi mereka lebih banyak kesempatan untuk mengenal satu sama lain di luar pengawasan orang tua. Hal ini telah menggeser pola perjodohan orangtua menjadi pernikahan hasil pilihan pribadi berdasarkan rasa cinta. Pernikahan berdasarkan rasa cinta pada usia lebih matang cenderung berlangsung lebih lama daripada pernikahan dijodohkan orangtua. Akibatnya, angka perceraian secara bertahap menurun. Tingkat penurunan perceraian juga mungkin disebabkan karena perkembangan ekonomi, yang menghasilkan peningkatan kesempatan pria dan wanita memiliki karir setelah mereka lulus. Situasi demikian menunjukkan terjadinya penurunan faktor penyebab perceraian terkait kemiskinan. Selain itu, berlakunya UU Perkawinan tahun 1974, yang mensyaratkan bahwa perceraian berlangsung di Pengadilan Agama, berkontribusi mengurangi angka perceraian. Sebelum berlakunya UU Perkawinan tahun 1974, perceraian itu sangat mudah, saat itu laki-laki hanya tinggal mengucapkan bahwa dia menceraikan istrinya, bahkan tanpa sepengetahuan istri, dan perceraian terjadi. Sebaliknya, setelah berlakunya UU Perkawinan tahun 1974, suami atau istri dipaksa untuk membawa kasus mereka ke Pengadilan dan membayar semua biaya hukum. Untuk mendapatkan perceraian, pasangan harus menghadiri setidaknya tiga arahan untuk rekonsiliasi (perdamaian) pada tahap mediasi, kedua menemukan hasil dari proses rekonsiliasi, dan jika proses rekonsiliasi tidak memiliki hasil positif, sidang ketiga mengesahkan prosedur perceraian. Secara keseluruhan, meskipun telah ada kritik dan ketidakpuasan dengan UU Perkawinan 1974, disahkannya UU ini telah melindungi hak perempuan lebih baik daripada sebelumnya. D. KEBERDAYAAN PEREMPUAN Menurut Moser dalam Daulay (2006) bahwa strategi pemberdayaan bukan bermaksud menciptakan perempuan lebih unggul dari laki – laki kendati menyadari pentingnya peningkatan kekuasaan, namun pendekatan ini mengidentifikasikan kekuasaan bukan sebagai dominasi yang satu terhadap yang lain, melainkan lebih condong dalam kapasitas perempuan meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal. Menurut Suyanto dan Susanti (1996) dalam Daulay (2006) bahwa yang diperjuangkan dalam pemberdayaan perempuan adalah pemenuhan hak 23

Terence H. Hull, 1994; Gavin W. Jones, 1995, dalam Nina K., 2011.

mereka untuk menentukan pilihan dalam kehidupan dan mempengaruhi arah perubahan melalui kesanggupan untuk melakukan kontrol atas sumber daya material dan nonmaterial yang penting24. Mengukur keberhasilan program pembangunan menurut perspektif gender, tidak hanya dilihat dari peningkatan kesejahteraan masyarakat atau penurunan tingkat kemiskinan. Tetapi lebih kepada sejauhmana program mampu memberdayakan perempuan. Dalam mengukur pengaruh sebuah kebijakan, dan atau program pembangunan terhadap masyarakat menurut perspektif gender, Moser mengemukakan dua konsep penting, yakni pemenuhan kebutuhan praktis dan kebutuhan strategis gender. Pemberdayaan perempuan berdasarkan analisis gender adalah membuat perempuan berdaya dalam memenuhi kebutuhan praktis gender dan kebutuhan strategis gender. Analisis kebutuhan praktis dan strategis berguna untuk menyusun suatu perencanaan ataupun mengevaluasi apakah suatu kegiatan pembangunan telah mempertimbangkan ataupun ditujukan untuk memenuhi kebutuhan yang dirasakan baik oleh laki-laki maupun perempuan (Moser dalam Daulay, 2006). Implikasi dari sejumlah perubahan pola pernikahan perempuan Jawa demikian, dalam perkembangan selanjutnya menyebabkan terjadinya pergeseran peran perempuan di lingkungan keluarga. Ruang lingkung aktifitas perempuan tidak lagi terbatas pada tempat dinding rumah tangga. Tiga dasawarsa terakhir, baik seiring proses perubahan sosial dalam bentuk modernisasi, keterbukaan informasi, pendidikan dan kebijakan politik Indonesia, menunjukkan, eskalasi partisipasi perempuan dalam ekonomi keluarga yang cukup signifikan. Perempuan bekerja (wanita karir) telah mendapatkan tempat dan imbalan sebagaimana profesinya. Perempuan semakin sadar bahwa dalam lingkup rumah tangga, peran ekonomi sangat besar untuk tercapainya tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga. Tingkat pendidikan perempuan yang semakin setara dengan laki-laki menyebabkan angkatan kerja nasional saat ini cukup besar ditopang oleh angkatan kerja perempuan. Perempuan semakin sadar bahwa posisi mereka tidak sekedar sebagai figur pelengkap yang menguatkan sistem patriarkhi dimana berpusat pada figur suami sebagai penopang ekonomi keluarga. Melihat realita yang ada, kini sudah banyak perempuan yang mandiri secara ekonomi dan bahkan menjadi tulang punggung keluarga, meskipun masih adapandangan sebagian masyarakat dan bahkan pengakuan yuridis kerja

ataupenghasilan wanita dianggap sebagi penghasilan tambahan belaka. Selanjutnya, ketika undang-undang pernikahan yang baru diberlakukan pada tahun 1974, perempuan Indonesia punya hak lebih lanjut dalam perlindungan hukum dan kekuatan yang lebih besar dari sebelumnya dalam lingkungan keluarga25. Secara umum, perempuan juga menjadi bagian dari proses pembangunan negara. Semakin banyak perempuan ditunjuk sebagai pejabat pemerintah termasuk menjadi figur pengambil keputusan. Ketika pemerintah melakukan serangkaian perubahan yang lebih besar atas sistem pengadilan yang sebelumnya dijalankan Islam, banyak wanita juga memegang posisi sebagai hakim, dan keputusan, khususnya tentang perceraian dan poligami, yang sewenang-wenang dan memberatkan istri. Selain itu, pada tahun 1973, Kementerian Dalam Negeri secara resmi melaksanakan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK, Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) sebagai proyek pemerintah pusat. PKK mempromosikan lima peran utama bagi perempuan, yang mana perempuan sebagai penahan yang setia dan pendukung suaminya, sebagai pengurus rumah tangganya, sebagai penghasil generasi mendatang, sebagai pen-sosialisasi utama keluarga, dan sebagai warga negara Indonesia. Program ini sangat dikritik sebagai penekanan yang berlebihan pada peran perempuan sebagai istri dan ibu dan yang menjadi channel utama komunikasi antara perempuan negara dan desa. Selain itu, struktur organisasi tersebut secara keras merupakan model top-down, yang diadopsi dari hirarki birokrasi dan militer. Kepala PKK selalu istri pemimpin birokrasi. Sebagai contoh, di provinsi manapun, istri gubernur akan secara otomatis menjadi pemimpin PKK terlepas dari kemampuannya. Setelah pembentukan PKK, banyak Asosiasi-Asosiasi istri lain yang terbentuk. Ini termasuk Asosiasi istri Angkatan Laut, Asosiasi istri Dokter, Asosiasi istri para ahli ekonomi, Asosiasi istri Pegawai Negeri Sipil, yang secara utama keanggotaanya berdasarkan status pernikahan perempuan dan posisi kerja suaminya. Hirarki organisasi disejajarkan dengan hirarki kerja birokrat suami mereka. Selain itu, selalu para istri pejabat tinggi yang secara resmi memegang posisi kepemimpinan, dan karena itu istri dengan peringkat yang lebih rendah tidak memiliki kesempatan untuk ambil bagian dalam pengambilan keputusan dalam struktur organisasi 26.

25 24

Daulay, Harmona. 2006. Pemberdayaan Perempuan: Studi Kasus Pedagang Jamu di Geding Johor Medan. Jurnal Harmoni Sosial, Volume I Nomor I, September 2006.

Munti, Ratna Batara, and Hindun Anisah, Posisi Perempuan dalam Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: LBH APIK, 2005, pp. 12-15. 26

Cooley, Laura, “Maintaining rukun for Javanese households and for the state”, in Sita van Bemmelen

Perhatian utama anggota mereka sebenarnya untuk mempertahankan peran sosial tradisional wanita dalam hubungan dengan suami dan keluarganya, dan untuk mendukung suaminya dalam lingkungan tempat kerja. Oleh karena itu, ideologi keibuan yang kuat, yang berarti bagaimana menjadi istri yang baik dan patuh, seorang ibu yang didedikasikan untuk anak-anak, dan bangsa, menjadi fokus untuk asosiasi tersebut. Dengan membentuk proyek ini, rezim Suharto bisa menjamin kesetiaan politik para istri pegawai negeri, sementara pada saat yang sama bisa mengendalikan mereka agar stabilitas politik terjamin27. Aktivis peran wanita Indonesia, sarjana dan intelektual, untuk waktu yang lama mengkritik cara kebijakan Soeharto yang menempatkan perempuan dalam status yang tidak sama penting dalam masyarakat sebagai ibu dan istri. Sejak awal 1980-an, banyak aktivis dan intelektual bekerja dengan organisasi-organisasi non-pemerintah untuk menerapkan berbagai strategi dan program yang bertujuan untuk merangsang orang untuk berpikir kritis tentang bagaimana konsepsi keluarga dan peran gender dipengaruhi dan dimanipulasi oleh kebijakan pemerintah. Di antara praktik-praktik mereka, aktivis perempuan terus berkampanye publik melalui surat kabar dan majalah editorial, televisi dan radio talk show, dan seminar untuk mempromosikan hak-hak perempuan dan mendekonstruksi dominasi ideologi patriarki. Organisasi-organisasi wanita baru berbagi keprihatinan yang sama dalam beberapa aspek, terutama melindungi hak dan kebebasan perempuan, dan mereka juga memiliki agenda yang sama menantang dominasi nilai-nilai patriarki dengan menafsirkan kembali ajaran agama dan tradisi budaya modernisasi. Demikian pula, tidak lama setelah wafatnya Presiden Suharto, beberapa organisasi Muslim radikal juga muncul pada awal tahun 2000. Organisasi tersebut berbagi keprihatinan yang sama dalam beberapa aspek, terutama dalam penerapan hukum syariat, dan mereka juga memiliki agenda yang sama dominasi menantang dan pengaruh negara-negara Barat dan ide-ide Barat, termasuk ide-ide kesetaraan gender yang dibawa oleh organisasi perempuan Muslim moderat . Sampai batas tertentu, agenda mereka cukup sukses. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya jumlah Syariah berdasarkan peraturan daerah. Pergeseran dari sebuah negara pusat yang kuat untuk otonomi daerah berdasarkan kabupaten sejak jatuhnya Suharto telah memungkinkan beberapa pemerintah daerah, yang mendukung agenda Islamis, untuk memberlakukan peraturan daerah yang membatasi otonomi

perempuan dalam hal berpakaian, bepergian, berada di depan umum setelah hari gelap, dan menyangkal hak-hak mereka untuk duduk dalam jabatan yang tinggi. Meningkatnya popularitas simbol yang mencolok dari identitas gender Islam, yaitu penutup kepala, merupakan indikasi keberhasilan Islam dalam melaksanakan agenda mereka. Selain itu, atas nama penerapan hukum syariat, di sejumlah tempat seperti Jakarta dan Kendal di Jawa Tengah, peraturan daerah menyatakan bahwa hanya kepala rumah tangga yang memenuhi syarat untuk bergabung dengan DPRD, mengingat bahwa tahun 1974 UU pernikahan mengatur bahwa laki-laki adalah kepala rumah tangga. Debat publik pada tahun 1999 tentang apakah Indonesia sebagai negara mayoritas Muslim bisa memiliki presiden perempuan adalah kasus lain, yang menunjukkan bahwa agenda Islam sebenarnya sudah ada sejak awal era reformasi 1998.

(ed), Women and Mediation in Indonesia, Leiden: Kiltlv, 1992.

Ann Whitehead, Some Preliminary Notes on the Subordination of Women, IDS Bulletin

27

Ibid, hal 238.

Faktanya, banyak Muslim moderat, yang merupakan penduduk Muslim terbesar di Indonesia, percaya bahwa apa yang Islam coba untuk menerapkan hukum syariat sebenarnya proses Arabisasi di antara mereka bukan Islamisasi. Namun, situasi ini menjadi tantangan bagi organisasi-organisasi perempuan Muslim moderat untuk melaksanakan agenda mereka untuk menegakkan kesetaraan gender di Indonesia, selain budaya lokal yang mempengaruhi status perempuan dalam kehidupan publik, sebagaimana telah disebutkan di atas. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa di era rezim otoriter Suharto, budaya Jawa mendominasi; sementara di era reformasi, budaya Arab, yang menyamar sebagai Islamisasi, diberlakukan. Yang terakhir ini benarbenar dianggap oleh banyak orang Indonesia seperti di luar tradisi muslim mereka dan tentunya di luar budaya mereka.

Daftar Pustaka: Bani Syarif Maula, Women‟s Struggle On Political, Rights In Indonesia, PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010 Rosalia Sciortino dan Ines Smith dalam Frans Husken dan Huub de Jonge (eds) Orde Zonder Order, Kekerasan dan Dendam di Indonesia, 1965-1998, LKIS, 2003, LKIS, 2003 The World Bank, Engendering Development Through Gender Equality in Rights, Resources, and Voice, 2001 Sylvia Walby, Theorising Patriarchy, 1990.

Volume 37 ------------, Number 4, September 2006. Anthology, Institute of Development Studies 2006 Branisa, Boris dan Klasen, Stephan, Gender Inequality in Social Institutions and Gendered Development Outcomes, 2005. Susan Blackburn and Sharon Bessell, „Marriageable age: political debates onearly marriage in twentieth-century Indonesia‟, Indonesia, No. 63 (April) 1997, pp. 107–41. Gavin W. Jones, “Modernization and divorce: Contrasting trends in Islamic Southeast Asia and the West”, Population and Development Review 23, 1 (March1997), pp.95–114. Geertz, Hildred,The Javanese Family, 1977 Jones, „Modernization and divorce”; Rosemary Firth, Housekeeping, p. 44; Tim B. Heaton et al., “Why is the divorce rate declining in Indonesia?” Journal of Marriage Diane L. Wolf, Factory Daughters: Gender, Household Dynamics, and Rural Industrializationin Java, (Berkeley: University of California Press, 1992), p. 62. June S. Katz and Ronald S. Katz, 1975, dalam Nina Nurmila, The Influence Of Global Muslim Feminism On Indonesian Muslim Feminist Discourse, Al-Ja>mi‘ah, Vol. 49, No. 1, 2011 M/1432 H. Nancy J. Smith-Hefner, “The new Muslim romance: Changing patterns ofcourtship and marriage among educated Javanese youth‟, Journal of Southeast Asian Studies36, 3 (October 2005), p. 451. Terence H. Hull, 1994; Gavin W. Jones, 1995, dalam Nina K., 2011. Daulay, Harmona. 2006. Pemberdayaan Perempuan: Studi Kasus Pedagang Jamu di Geding Johor Medan. Jurnal Harmoni Sosial, Volume I Nomor I, September 2006. Munti, Ratna Batara, and Hindun Anisah, Posisi Perempuan dalam Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: LBH APIK, 2005, pp. 12-15. Cooley, Laura, “Maintaining rukun for Javanese households and for the state”, in Sita van Bemmelen (ed), Women and Mediation in Indonesia, Leiden: Kiltlv, 1992. Ibid, hal 238.