PERSEPSI MASYARAKAT SUKU BATAK TOBA DAN BATAK

Download terhadap suku Batak Toba. Sedangkan orang Batak Toba masih bertahan dengan pemikiran yang sedikit primitif. Cukup sulit dan susah bagi mere...

4 downloads 595 Views 186KB Size
PERSEPSI MASYARAKAT SUKU BATAK TOBA DAN BATAK KARO DALAM KONTEKS KOMUNIKASI ANTARBUDAYA (Studi Kasus Masyarakat Suku Batak Toba di Desa Unjur Dan Masyarakat Suku Batak Karo di Desa Surbakti Dalam Mempersepsi Nilai-Nilai Perkawinan Antarsuku tersebut) Liberty T. Togatorop 090904066 Abstrak Penelitian ini berjudul Studi Kasus masyarakat Batak Toba di Desa Unjur dan masyarakat Batak Karo di Desa Surbakti dalam mempersepsi nilai-nilai Perkawinan Antarsuku tersebut. Penelitian bertujuan mengetahui bagaimana persepsi masyarakat suku Batak Toba di Desa Unjur terhadap masyarakat Batak Karo di Desa Surbakti, dan sebaliknya masyarakat Batak Karo terhadap Batak Toba, untuk mengetahui pergeseran nilai-nilai kebudayaan di masing-masing suku dalam memahami budaya perkawinan. Penelitian bersifat kualitatif dengan metode studi kasus dan teknik penelitian yaitu wawancara mendalam dengan purposive sampling, dengan kriteria bapak atau ibu yang sudah mempunyai anak umur 17 tahun ke atas, karena dalam umur inilah seorang anak mulai tertarik dengan lawan jenis. Dengan metode studi kasus, maka hasil penelitian ini nantinya hanya berlaku di dua daerah yang telah ditentukan oleh peneliti, yaitu Desa Unjur dan Desa Surbakti. Subjek penelitian di Desa Surbakti ada enam keluarga Batak Karo dan Desa Unjur ada Lima Keluarga Batak Toba. Hasil menunjukkan bahwa masyarakat Batak Karo di Desa Surbakti tidak lagi melarang anak untuk menikah dengan orang Batak Toba, tetapi sebaliknya, masyarakat Batak Toba di Desa Unjur masih melarang keras anaknya untuk pacaran atau menikah dengan orang Batak Karo. Faktor lain juga sangat berpengaruh dalam mempersepsi budaya seperti stereotip, etnosentrisme dan prasangka. Kata Kunci : Persepsi, Komunikasi Antarbudaya, Etnosentrisme dan Prasangka PENDAHULUAN Istilah komunikasi bukanlah suatu istilah yang baru bagi kita. Bahkan komunikasi itu sendiri tidak bias dilepaskan dari sejarah peradaban umat manusia, dimana pesan yang menjadi inti dari komunikasi itu sendiri sampai saat ini selalu menjadi suatu kajian yang tak pernah ada habisnya. Bentuk pesan dalam komunikasi ini juga terbagi menjadi dua bagian, verbal dan non verbal. Kesamaan pemaknaan terhadap penggunaan simbol verbal dan non verbal akan membuat orang yang berkomunikasi lebih mudah mencapai pengertian bersama. Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara dua orang atau lebih dengan perhatian khusus pada factor kebudayaan yang mempengaruhinya. Bagaimana dua orang atau lebih yang menjalin komunikasi, saling memaknai simbol atau lambing, juga bahasa, dengan latar 1

belakang budaya yang berbeda. Hal ini sangat penting agar menimbulkan pemaknaan yang sama untuk sebuah komunikasi yang efektif, karena salah satu asumsi dalam komunikasi antarbudaya adalah adanya perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan. Beda budaya beda persepsi. Semakin tinggi tingkat persamaan persepsi maka semakin besar kemungkinan anggota kelompok untuk berkomunikasi satu dengan yang lain, sehingga mereka bias mempertahankan identitas mereka (Liliweri, 2001:114). Dalam hal ini peneliti ingin melihat suatu proses komunikasi antarbudaya lebih spesifik lagi dari sekian banyaknya suku di Indonesia, yaitu proses komunikasi antarbudaya suku Batak Toba dan Batak Karo. Kedua suku ini berada dalam satu rumpun yaitu suku Batak. Namun demikian begitu banyak perbedaan yang kontras diantara keduanya. Perbedaan persepsi, stereotip, prasangka dan juga etnosentrisme, yang sering terealisasi dalam fenomena-fenomena di sekitar kita, bahkan yang dialami langsung oleh peneliti, yaitu orang tua batak Toba yang melarang anakanaknya untuk pacaran atau menikah dengan orang Batak Karo dan juga sebaliknya. Jika ditarik benang merah, yang jadi pemicunya adalah perbedaan persepsi, stereotip, prasangka dan etnosentrisme diantara kedua suku tersebut, yang membuat ruang lingkup komunikasi antarbudaya menjadi terbatas. Supaya lebih spesifik lagi, peneliti memilih lokasi Desa Unjur Kabupaten Samosir untuk masyarakat Batak Toba dan Desa Surbakti Kabupaten Karo untuk masyarakat Batak Karo. Metode Studi Kasus yang bersifat kualitatif dipilih peneliti agar tidak membatasi pemikiran, pendapat dan juga sanggahan dari masyarakat yang ingin diteliti. Teknik pengumpulan data purposive sampling membantu peneliti karena kriteria tertentu dalam proses penelitian, yaitu orangtua yang sudah memiliki anak 17 tahun ke atas, karena pada umur itulah seseorang mulai tertarik dengan lawan jenis (pubertas). Berdasarkan uraian latar belakang di atas, peneliti ingin melihat “Bagaimana masyarakat suku Batak Toba di Desa Unjur dan masyarakat suku Batak Karo di Desa Surbakti dalam mempersepsi nilai-nilai perkawinan antarsuku tersebut?”. Dan berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan penelitian adalah untuk mengetahui persepsi suku Batak Toba terhadap suku Batak Karo dan sebaliknya, untuk mengetahui pergeseran nilai-nilai budaya dari masing-masing suku dalam memahami budaya perkawinan antarsuku. KAJIAN PUSTAKA Komunikasi Antarbudaya Komunikasi antarbudaya selalu mempunyai tujuan tertentu yakni menciptakan komunikasi yang efektif melalui pemaknaan yang sama terhadap pesan yang dipertukarkan. Dengan demikian, untuk mencapai komunikasi yang efektif itu, individu yang saling berkomunikasi haruslah mempunyai makna yang sama terhadap pesan yang disampaikan dan diterima. Intesnsifitas kita dalam komunikasi antarbudaya mempu mengubah persepsi dan sikap kita terhadap lawan bicara (Liliweri, 2004:254). Sebagaiman kita ketahui bahwa budaya mempengaruhi orang 2

yang berkomunikasi. Cara menilai budaya lain dengan standar nilai dari budaya kita sendiri dan menolak mempertimbangkan norma-norma budaya lain, akan menentukan keefektifan komunikasi yang terjadi. Di satu pihak ada orang yang sekaligus mengetahui dan menerima kepercayaan dan perilaku orang lain, di pihak lain ada juga orang yang tidak mengetahui dan menerima, sehingga kemungkinan sangat besar untuk gagal berkomunikasi. Persepsi Persepsi adalah proses internal yang kita lakukan untuk memilih, mengevaluasi dan mengorganisasikan rangsangan dari luar atau dari lingkungan eksternal kita (Lubis, 2012). Komunikasi antarbudaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan. Perbedaan kerangka berpikir dan kerangka pengalaman seseorang (frame of refrences dan field of experience) menyebabkan perbedaan model komunikasi yang dihasilkan. Salah satu kendala dalam memahami komunikasi antarbudaya adalah masalah bahasa dan persepsi masing-masing pihak yang berkomunikasi. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam perbedaan latar belakang kebudayaan dan juga iklim komunikasi di antara individu, umumnya mengimplikasikan bahwa hambatan komunikasi antarbudaya acapkali tampil dalam bentuk perbedaan persepsi terhadap nilai-nilai budaya, norma budaya, pola berpikir dan system budaya (Liliweri, 2004:15). Agama, ideology, intelektualitas, tingkat ekonomi, pekerjaan dan citra rasa sebagai faktor-faktor internal akan mempengaruhi persepsi seseorang terhadap realitas yang ada (Rakhmat, 2007:61). Dengan demikian, persepsi itu terikat oleh budaya dan bersifat subjektif. Semakin besar perbedaan kebudayaan seseorang dengan orang lain, maka akan semakin besar perbedaan persepsi diantara mereka terhadap suatu realitas (Liliweri, 2001:15). Hambatan dalam Komunikasi Antarbudaya Ada beberapa hal yang menjadi penghambat bagi kita untuk mencapai sebuah komunikasi efektif, seperti prasangka social, stereotip dan etnosentrisme. Prasangka social adalah salah satu rintangan atau hambatan bagi suatu kegiatan komunikasi karena orang yang mempunyai prasangka, belum apa-apa sudah menaruh curiga dan menentang komunikator yang menyampaikan pesan (Liliweri, 2001:175). Stereotip yaitu kepercayaan yang kita anut mengenai kelompok-kelompok atau individuindividu berdasarkan pendapat dan sikap yang lebih dulu terbentuk (Mulyana, 2005). Kita seolah-olah sudah diberikan bayangan akan apa yang ada di depan kita, sebelum masuk ke dunia itu, seperti yang diungkapkan Lippman, bahwa kita tidak melihat dulu baru memberikan defenisi, tetapi mendefenisikan dulu baru melihat. Etnosentrisme yakni kecenderungan untuk melihat dunia melaluifilter budaya sendiri. Kebiasaan buruk setiap kelompok itu adalah menganggap kebudayaan kelompoknya sebagai kebudayaan yang paling baik. Makin besar kesamaan kita dengan mereka, makin dekat mereka dengan kita; makin besar ketidaksamaan kita dengan mereka, makin jauh mereka dari kita. Seperti yang diungkapkan oleh Ihromi 3

dalam bukunya:”Etnosentrisme menghalangi pengertian seorang individu tentang adat-istiadat orang lain dan juga menghalangi tumbuhnya pengertian yang terbuka dan kreatif mengenai kebiasaan dalam kebudayaannya sendiri”. Metode Penelitian Penelitian kualitatif dengan metode studi kasus. Studi kasus digunakan untuk menyelidiki unit sosia; yang kecil seperti keluarga, individu, sekolah, masyarakat dalam suatu desa dan kelompok kecil lainnya (Robert, 2003). Dengan semikian peneliti harus terjun langsung ke lapangan dan akan menyelidiki lebih mendalam. Kemudian peneliti akan menemukan variable yang kecil sekalipun yang terkait dengan subjek penlitian yang ditelitnya. Namun dalam hal ini, dibutuhkan kemampuan peneliti dalam mengumpulkan, memilah, mengkategorisasikan, memberikan kode, serta menafsirkan makna dari sejumlah informasi yang didapat dari seorang indidu. Sistem wawancara yang diterapkan peneliti dalam penelitian ini adalah sistem data jenuh, dimana ketika jawaban antara informan yang satu dengan yang lainnya sudah jenuh, maka peneliti akan menyudahi penelitiannya. Objek penelitian adalah persepsi terhadap nilai nilai perkawinan. Subjek penelitian atau informan, yaitu orang -orang yang dipilih untuk diwawancarai atau diobservasi sesuai dengan tujuan dan kebutuhan penelitian (Kriyantono, 2007:161). Adapun subjek penelitian lnforman ini adalah orang tua dari keluarga yang sudah memiliki anak berumur 17 tahun ke atas dari masing-masing suku,karena dalam fase inilah seorang anak mencoba bertahan untuk mencapai kebebasan fisik dan psikis dari orang tuanya ,mendapatkan pasangan ,dan mencari tempat di dunia lain ,dan orangtua mulai ketat dalam mengawasi anakanaknya, termasuk dalam hal memilih teman hidup (Feist, 2010:143). Pemilihan informan dengan cara seperti ini dinamakan teknik purpossive sampling atau sampel bertujuan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan model interaktif miles dan huberman untuk menganalisis data yang terdiri dari tiga hal utama ,yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan (Idrus, 2009). HASIL Adapun hasil penelitian setelah pengamatan dan wawancara kepada enam informan suku Batak Karo yang ada di Desa Surbakti dan kepada lima informan suku Batak Toba yang ada di Desa Unjur, adalah sebagai berikut: 1. Masyarakat batak Karo di Desa Surbakti, saat ini sudah jauh lebih terbuka terhadap suku Batak Toba. Sedangkan orang Batak Toba masih bertahan dengan pemikiran yang sedikit primitif. Cukup sulit dan susah bagi mereka untuk bias menerima keberagaman suku dalam keluarga. 2. Dari seluruh informan, didapati bahwa adat-istiadat dan juga bahasa yang berbeda menjadi salah satu hal yang paling disoroti ketika berhadapan dengan suku lain. 3. Kedekatan fisik secara geografis turut menentukan perubahan cara pandang kita. Seperti Desa Surbakti, dimana penduduknya tidak lagi murni hanya 4

masyarakat suku Batak Karo, disana juga ada masyarakat suku Batak Toba. Lain halnya dengan Desa Unjur yang murni masyarakat suku Batak Toba. 4. Tidak bias dipungkiri bahwa etnosentrisme pasti ada dalam setiap jiwa yang menjadi anggota bagian dari setiap suku. Stereotip suku Batak Toba: pekerja keras, bertanggung jawab, tidak gengsi, pemarah, kasar, keras, solidaritas yang tinggi, bersahabat, sangat menjunjung tinggi kerabat atau kekeluargaan, pejuang keras untuk meningkatkan taraf hidup yang tinggi. Stereotip suku Batak Karo: pendendam, tidak jujur, keras, egois, gengsi,malas, kuat dalam dunia mistik, sombong secara keuangan,penjorok, otak kotor dan pelit. 5. Perbedaan agama tetap menjadi hal yang paling penting untuk dipertimbangkan oleh informan ketika ingin menikahkan anak atau putrid mereka dalam perkawinan antarsuku ini. 6. Masing-masing suku tentunya dibentuk oleh adat-istiadat yang berlaku di dalamnya. Namun tidak bias dipungkiri bahwa nilai0nilai adat-istiadat itu tidak lagi seutuh zaman dahulu. Semakin banyak terjadi pengikisan nilai-nilai adat. Dikarenakan perkembangan zaman dan perdagangan bebas sekarang ini. PEMBAHASAN Menurut Mulyana (2002:167), bahwa persepsi itu muncul karena setiap penilaian dan pemilihan seseorang terhadap orang lain diukur berdasarkan penyertaan sendiri. Ada tiga elemen pokok persepsi budaya yang memiliki tiga pengaruh besar dan langsung terhadap individu-individu peserta komunikasi antarbudaya. Pertama, pandangan dunia yang mencakup kepercayaan, nilai dan tingkah laku. Kedua, sistem lambing yaitu bahasa dan yang ketiga adalah organisasi social (Sarbaugh 1998 dan Samovar, et, al, 2006). Dalam mempersepsi budaya lain, ada juga unsure lain yang akan mempengaruhi kita, namun unsure ini bukanlah suatu keharusan yang akan kita temukan dalam persepsi setiap individu. Ada kalanya unsure ini tersirat dan ada kalanya unsure ini benar-benar tidak ada. Unsure tersebut adalah prasangka, stereotip, dan etnosentrisme. Persepsi masyarakat suku Batak Karo di Desa Surbakti terhadap suku Batak Toba dalam hal perkawinan antarsuku tersebut Hal yang paling disoroti adalah sistem lambing yaitu bahasa. Inilah yang menjadi pertimbangan ketika terjadi persepsi dari masyarakat Batak Karo ke Batak Toba. Bahasa Batak Karo jauh berbeda dengan Batak Toba. Bahkan informan suku Batak Karo mengakui bahwa bahasa mereka lebih dekat dengan bahasa Batak Simalungun. Budaya yang berbeda jelas menghasilkan pandangan yang berbeda juga, termasuk di dalamnya kepercayaan, nilai yang dianut, dan juga perilaku. Dari enaminforman Batak Karo, semua sudah menganut agama. Lima Kristen Protestan dan satu agama Islam. Namun hanya ada satu informan yang menentang keras anaknya untuk menikah dengan yang berbeda agama. Nilai yang mereka anut juga menjadi sutu hal yang dipertimbangkan ketika berhadapan dengan suku lain seperti Batak Toba, antara lain; menantu dengan mertua tidak boleh bicara empat mata 5

secara langsung, hanya ada istilah pemberian kain panjang bagi pengantin bukan ulos seperti Batak Toba, tukur atau harga yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan sudah mempunyai kelas tersendiri sesuai marga perempuan, dan jauh lebih murah dari harga di Batak Toba, pesta pernikahan diadakan di tempat perempuan, sistem impal masih sangat kental, duduk berhadapan dan berseberangan dengan mertua adalah suatu hal yang tabu, dalam adat meninggal pemberi ulos adalah orang yang berduka, nilai yang paling penting untuk mereka terapkan kepada anak adalah sangkep sitelu, dimana ada tiga golongan kedudukan kekerabatan yang dihormati dalam budaya mereka. Hamper seluruh nilai-nilai itu tidak cocok dengan suku Batak Toba. Sebenarnya dari enam informan Batak Karo yang diteliti, hanya ada tiga informan yang menganut kentalnya budaya ini dan mewarisinya kepada anaknya. Satu informan merupakan pasangan campuran batak Karo dan batak Toba, mengaku bahwa nilai yang diwariskan kepada anak-anak mereka adalah nilai percampuran dari kedua suku tersebut. Sedangkan dua informan lagi tidak begitu paham jika berbicara soal adat-istiadat yang dianutnya sendiri. Selama wawancara dalam penelitian berlangsung, peneliti menemukan hal-hal yang tersirat dari semua informan yang mengungkapkan sisi stereotip suku Batak Toba dalam mind set mereka, antara lain: umumnya kasar, sangat keras, pemarah, penjorok, gila hormat, kekompakan yang luar biasa, kesopanan dan kehormatan dalam menjunjung tinggi adat istiadat budaya Batak Toba, pemikiran yang mau maju dalam meningkatkan taraf hidup, tukur atau biaya yang sangat tinggi dalam adat, semangat juang dan semangat hidup yang tinggi, tidak ada istilah gengsi, namun harga diri dalam adat dan kekerabatan sangatlah begitu penting untuk dijaga, egois, pribadi yang sangat kental dalam adat. Tidak juga terlepas dari pengakuan etnosentrisme yang tersirat dari beberapa informan yang mengakui bahwa budaya Batak Karo jauh lebih sederhana dibandingkan budaya Batak Toba. Namun ada satu informan yang menjalani pernikahan campuran dari kedua suku ini yang mengakui dari sisi stereotip bahwa sebenarnya prasangka dan stereotip yang buruk tidak lagi mereka anut, sudah lepas dari pemikiran yang demikian, diakibatkan pengalaman mereka sendiri yang mau bergaul dan membuka hati dengan orang lain yang berasal dari suku yang berbeda. Satu informan lainnya juga mengaku telah membuang stereotip suku Batak Toba yang selama ini buruk dalam pemikirannya, karena lingkungan tempat dia bekerja adalah mayoritas suku Batak Toba, dia tidak menemukan stereotip buruk yang selama ini ada dalam pemikirannya. Persepsi masyarakat Suku Batak Toba di Desa Unjur terhadap suku Batak Karo dalam hal perkawinan antarsuku tersebut Ada tiga unsure yang mempengaruhi kita dalam mempersepsi sesuatu yaitu sistem lambing (bahasa), pandangan dunia (world view), dan juga organisasi soial. Ketiga unsure ini mempengaruhi masyarakat Batak Toba di Desa Unjur dalam mempersepsi masyarakat suku Batak Karo. Dari segi bahasa, bahasa Batak Toba memang jauh berbeda dengan bahasa Batak Karo. Kelima informna dari Batak Toba ini juga mengakui akan sangat tidak baik jika menjalin hubungan atau bergaul dengan 6

orang lain di luar suku, jika kita tidak mengerti bahasanya. Karena menurut pengakuan masing-masing informan, sangat tidak efektif untuk berkomunikasi. Tetapi jika memang harus berhubungan dengan Batak Karo, yang menjadi kunci utamanya adalah kemauan belajar antarsuku tersebut, baik belajar bahasa, adat dan nilai. Sistem kepercayaan dan nilai-nilai dibentuk oleh budaya yang mendarah daging dalam diri seseorang. Menurut Tinambunan (2010), anak akan berpegang teguh pada kepercayaan yang telah dipegang teguh oleh orangtuanya. Kelima informan ini adalah penganut agama Kristen Protestan. Empat informan yang melarang keras anaknya untuk menikah dengan yang berbeda agama. Sementara satu informan menyatakan bahwa mengarahkan anak adalah wajib, namun tidak untuk menjadi paksaan bagi si anak dan melarang kera bukanlah hak orang tua. Jadi bagi kelima informna ini jelaslah bahwa agama adalah hal yang sangat dipertimbangkan dalam perkawinan. Niali yang dianut oleh setiap pribadi akan diwujudkan dalam bentuk perilaku. Selama pengamatan berlangsung ada beberap nilai dan prinsip Batak Toba yang diketahui oleh peneliti dan paling sering diwariskan kepada anak, antara lain: prinsip Anakkonki do hamoraon di au (anak ku adalah harta yang terbesar bagiku), nilai Putra dalam keluarga sangat dijunjung tinggi, Dalihan Na Tolu (kedudukan dalam kekerabatan adat-istiadat), nilai 3H yaitu Hamoraon (kekayaan), Hagabeon (kesuksesan), Hasangapon (kehormatan), adat pemakaian ulos, nilai silsilah atau Tarombo dan Suhi ni ampang na opat, sinamot (harga beli perempuan) yang jauh lebih besar daripada Batak Karo. Nilai-nilai seperti ini tentunya mempengaruhi cara pandang masyarakat Batak Toba terhadap masyarakat Batak Karo, dengan harapan apakah mereka kelak akan menemukan nilai seperti ini di suku lainnya, terutama Batak Karo, jika anak menikah dengan Batak Karo? Kekentalan pengetahuan akan budaya dan adat-istiadat masih dipegang teguh oleh kelima informan ini. Masyarakat suku Batak Toba juga mempunyai stereotip yang berbeda –beda antarinforman. Tentunya peneliti telah merangkumkan secara keseluruhan, yaitu: orang batak karo tidak beres pemikirannya (otak kotor), dunia mistik yang masih kuat, dendam berkarat, tidak mau memaafkan, keras, egois, terkesan jorok dan menjijikkan karena suka makan sirih dengan kurang teratur, jorok karena terlalu focus berladang tidak lagi memperhatikan kebersihan rumah, tidak jujur, dan merasa diri paling hebat. Ada satu informan yang mempunyai prasangka yang sangat buruk terhadap orang Batak Karo dan setelah menjalin hubungan kekeluargaan dengan Batak Karo, semua prasangka buruk itu menjadi stereotip yang sangat melekat dalam dirinya terhadap orang Batak Karo karena dia mengalami secara langsung. Sementar untuk informan lainnya, sekalipun mereka mempunyai stereotip dan prasangka demikian, namun dalam kesehariannya apabila mereka bertemu dan menjalin hubungan komunikasi dengan Batak Karo, mereka berusaha meminimalisir stereotip dan prasangka tersebut, agar tidak menjadi hambatan dalam komunikasi yang efektif.

7

Pergeseran Nilai-nilai dari masing-masing kebudayaan dalam memahami perkawinan antarsuku Batak Toba dan Batak Karo Setelah melakukan penelitian di Desa Surbakti kepada masyarakat Batak Karo dan di Desa Unjur kepada masyarakat Batak Toba, peneliti menemukan banyak nilainilai yang dianut, namun tidak bias dipungkiri bahwa Desa Surbakti (Batak Karo) dan di Desa Unjur (Batak Toba) telah terjadi pergeseran nilai-nilai kebudayaan sebagai berikut: Tabel 01. Pergeseran Nilai-nilai Kebudayaan No. 1.

2.

3.

4.

5.

6.

Pergeseran Nilai-nilai Budaya Batak Karo Percakapan antara menantu dengan mertua, antar sesama kakak ipar secara langsung tidak menjadi hal yang tabu lagi.

Pergeseran Nilai-nilai Budaya Batak Toba Pakaian adat Batak Toba yang semakin hari semakin diabaikan, cukup dengan busana kebaya dan jas dan ulos. Sementara zaman dahulu pakaian adat batak Toba itu punya cirri khas sendiri, sortali di kepala dan ulos Sadum. Penyembahan dan pemberian sesajen Pembuatan ulos batak Toba yang asli pada roh nenek moyang sudah jauh tenun sudah sangat jarang ditemukan. berkurang. Uji coba kepada menantu yang baru Penatua adat yang jumlahnya semakin dengan memasak pakai kayu bakar minim di suatu desa. Tidak ada anak tidak lagi berlaku. muda yang mau belajar budaya. Sistem Impal tidak lagi selalu Jenis aliran music yang sering dipertahankan, karena semakin digunakan dalam acara adat budaya terbuka untuk orang lain. batak Toba tidak lagi gendang, tetapi sudah membaur dengan music barat, yaitu keyboard. Kesadaran kerabat keluarga untuk Banyaknya anak muda yang tidak menghadiri pesta tahunan sebagai mengerti aksara dan bahasa batak Toba, wadah menjalin hubungan karena tidak lagi dipelajari di sekolah kekeluargaan dan belajar adat seperti zaman dahulu. semakin menurun. Semakin sedikit orangtua yang mau belajar adat budaya dan tradisi kebudayaan adat Batak Karo di Los (sejenis gedung atau wisma di desa), hanya datang, duduk, diam, makan dan pulang.

8

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan oleh peneliti, maka terdapat beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Secara umum, masyarakat Batak Karo di Desa Surbakti Kabupaten Karo tidak melarang anak mereka untuk bergaul dan bahkan menikah dengan orang Batak Toba, karena pemikiran yang sudah terbuka terhadap orang lain di luar suku, namun sebaliknya secara umum masyarakat batak Toba di Desa Unjur Kabupaten Samosir masih melarang anak untuk menikah dengan orang Batak Karo. 2. Perbedaan agama menjadi salah satu hal yang sangat penting untuk dipertimbangkan bagi kedua suku ini dalam hal perkawinan. 3. Hal yang paling disoroti masyarakat dari masing-masing suku ketika diperhadapkan dengan perkawinan antarsuku Batak Karo dengan Batak Toba adalah ketidaksamaan bahasa atau sistem lambing. 4. Stereotip dari masyarakat suku Batak Toba di Desa Unjur terhadap orang Batak Karo adalah pendendam, tidak jujur, keras, egois, gengsi, malas, masih kuat dalam dunia mistik, penjorok, otak licik. Stereotip dari masyarakat batak Karo di Desa Surbakti terhadap orang Batak Toba adalah pekerja keras, bertanggung jawab, pemarah, tidak gengsi namun harga diri sangat dijunjung tinggi apalagi dalam hal kekerabatan adat-istiadat, kasar, solidaritas yang sangat tinggi, menjunjung tinggi harkat dan martabat dalam menghormati keluarga, pemikiran yang maju untuk meningkatkan pendidikan dan taraf hidup melalui anak-anak. 5. Kedekatan fisik secara geografis turut menentukan perubahan cara pandang masyarakat di masing-masing suku. 6. Kekentalan budaya tampak lebihmelekat pada masyarakat Batak Toba daripada Batak Karo, misalnya penerapan sistem kekerabatan dalihan na Tolu (Batak Toba) dan Sangkep Sitelu (Batak Karo). 7. Kemajuan zaman, perkembangan teknologi, perdagangan bebas, tingkat kebutuhan yang meningkat, minat belajar budaya yang menurun adalah factor-faktor penyebab terjadinya pengikisan nilai-nilai budaya dan tradisi kebudayaan bagi masing-masing suku. SARAN 1. Penelitian mengenai komunikasi antarbudaya hendaknya semakin banyak lagi dikaji oleh mahasiswa/I yang mengambil program studi komunikasi, sehingga penelitian ini pun nantinya bias diperdalam lagi. 2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai hasil referensi bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi yang berencana untuk meneliti lebih lanjut mengenai komunikasi antarbudaya. 3. Besar harapan peneliti, mahasiswa akan melanjutkan penelitian ini dengan sudut pandang yang berbeda dan mendapatkan kesimpulan yang akan

9

memperkaya khasanah penelitian di bidang ilmu komunikasi khususnya mengenai komunikasi antarbudaya. 4. Hendaknya setiap orangtua tidak mewariskan budaya self-centre kepada anak, sehingga anak bebas untuk mengenali orang lain di luar suku dan budayanya. 5. Mata pelajaran bahasa daerah hendaknya tetap menjadi bagian dari subjek di sekolah, sehingga anak yang tidak mendapatkan nilai-nilai kebudayaan dalam keluarga dapat memperolehnya dan belajar di sekolah. DAFTAR REFERENSI Feist, Jess dan Georgy G. Feist. 2010. Teori Kepribadian. Jakarta: Salemba Humanika Bertens, K. 2004. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum Bungin, Burhan. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Cangara, Hafied. 2005. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Idrus, Muhammad. 2009. Metode Penelitian Ilmu Sosial. Jakarta: Erlangga Kriyantono, Rachmat. 2007. Teknik Praktis Komunikasi. Jakarta: Kencana Liliweri, Alo. 2001. Gatra-gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar -----------------. 2004. Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Lubis, Lusiana. 2012. Pemahaman Praktis Komunikasi Antarbudaya. Medan: USU PRESS Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya Robert. 2003. Studi Kasus. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Tinambunan, Djapiter. 2010. Orang Batak Kasar? Membangun Citra dan Karakter. Jakarta: Elex Media Komputindo

10