STUDI KASUS PASANGAN SUAMI-ISTRI SUKU JAWA-BATAK TOBA D

Download Dari sekian banyak pernikahan campuran yang terjadi di kota Medan, peneliti akan memilih pernikahan campuran antara etnis Batak Toba dan et...

0 downloads 442 Views 221KB Size
STRATEGI KOMUNIKASI EFEKTIF SUAMI-ISTRI BEDA BUDAYA DALAM MENDIDIK ANAK (Studi Kasus Pasangan Suami-Istri Suku Jawa-Batak Toba Dalam Mendidik Anak di Kota Medan) Lucy V. Hutajulu Abstrak

ABSTRAK Penelitian ini berjudul Strategi Komunikasi Efektif Pasangan Suami-Istri Suku JawaBatak Toba dalam Mendidik Anak di kota Medan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi komunikasi efektif dalam mendidik anak dalam pernikahan Jawa-Batak Toba di kota Medan. Penelitian ini menggunakan metode studi kasus yakni metode analisis data kualitatif yang menekankan pada kasus-kasus tertentu yang terjadi pada objek analisis. Metode ini menggunakan analisis deskriptif dan pendekatan induktif dalam menganalisa datanya serta dilengkapi oleh teknik triangulasi untuk mengembangkan validitas data. Subjek penelitiannya adalah empat keluarga pernikahan campuran Jawa-Batak Toba yang ada di kota Medan dan juga anggota keluarga serta keluarga terdekat untuk memperkuat hasil penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunikasi antarbudaya pasangan suami-istri Batak TobaJawa telah berjalan dengan efektif. Secara keseluruhan strategi komunikasi efektif dalam setiap pasangan Jawa-Batak Toba dilakukan terus-menerus sepanjang pernikahan. Lima komponen yang tercakup dalam komunikasi efektif tersebut adalah keterbukaan, empati, perasaan positif, dukungan, dan keseimbangan. Sepanjang pernikahan komunikasi yang terjalin dengan kelima komponen tersebut akan membuat anak-anak yang patuh pada orang tua sekalipun dalam pernikahan beda budaya dengan karakter yang cukup berbeda.

Kata kunci : Strategi Komunikasi, Pernikahan Campuran, Mendidik Anak PENDAHULUAN Manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa ingin berhubungan dengan manusia lainnya. Ia ingin mengetahui lingkungan sekitarnya, bahkan ingin mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya (Hafied Cangara, 2006 : 1). Manusia sebagai makhluk sosial artinya manusia membutuhkan orang lain dan lingkungan sosialnya sebagai sarana untuk bersosialisasi. Dengan menyadari bahwa manusia adalah makhluk sosial, dalam kehidupan sehari-hari, manusia selalu melakukan interaksi dengan lingkungan di sekitarnya. Dalam hidup bermasyarakat, ketika manusia melakukan interaksi, komunikasi merupakan kebutuhan

1

yang sangat fundamental. Profesor Wilbur Schram menyebutnya bahwa komunikasi dan masyarakat adalah dua kata kembar yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Sebab tanpa komunikasi tidak mungkin masyarakat terbentuk sebaliknya tanpa masyarakat maka manusia tidak mungkin dapat mengembangkan komunikasi (Hafied Cangara, 2006 :2). Alo Liliweri mengatakan bahwa sebagai bagian dari tuntutan globalisasi yang semakin tidak terkendali seperti saat ini, mendorong kepada kita terjadinya sebuah interaksi lintas budaya, lintas kelompok, serta lintas sektoral.Secara alamiah, proses komunikasi antarbudaya berakar dari relasi antarbudaya yang menghendaki adanya interaksi sosial. Salah satu perspektif komunikasi antarbudaya menekankan bahwa tujuan komunikasi antarbudaya adalah mengurangi tingkat ketidakpastian tentang orang lain. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk. Kemajemukan itu terdapat karena banyaknya suku atau etnik. Sumatera Utara adalah salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan budaya adat istiadat. Kota Medan sebagai ibukota Sumatera Utara adalah salah satu kota metropolitan di Indonesia. Sebagai salah satu kota ketiga terbesar di Indonesia, Medan merupakan salah satu kota yang diwarnai dengan keanekaragaman suku bangsa. Pluralisme yang ada di kota Medan sangat memberikan peluang terjadinya pernikahan campuran. Dari sekian banyak pernikahan campuran yang terjadi di kota Medan, peneliti akan memilih pernikahan campuran antara etnis Batak Toba dan etnis Jawa. Dua etnis besar ini dalam dekade terakhir sering terlibat dalam pernikahan campuran. Berdasarkan data statistik Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara 2010, kedua etnis ini adalah etnis yang terbesar menduduki wilayah Sumatera Utara, dimana suku Jawa menempati posisi teratas dan yang kedua adalah suku Batak (www.sumut.bps.go.id). Batak Toba sebagai salah satu suku bangsa dari enam puak suku Batak memiliki ciri khas tersendiri, yaitu dinamik, keras dan ulet dalam kemandirian. Bagi suku bangsa Batak Toba, anak adalah kekayaan, sehingga menyekolahkan anak setinggi-tingginya adalah tujuan utama bangsa ini. Suku ini juga sangat menjunjung prinsip 3H, yaitu Hagabeon (banyak keturunan dan panjang umur),Hamoraon (kaya raya), dan Hasangapon (kehormatan dan kemuliaan) dipandang sebagai misi budaya (Irmawati, 2007). Prinsip inilah yang melahirkan suku bangsa Batak Toba ini sebagai pejuang dan keras dalam meraih cita-citanya. Sangat berbeda dengan karakter suku Jawa. Dari segi bertutur kata, suku Jawa lebih sering berkata secara pelan dan halus, dan tidak berkata secara langsung-langsung. Suku ini cenderung bersikap sopan dan enggan. Mereka pada umumnya menyembunyikan perasaan, dan menampik tawaran secara halus dengan alasan etika. Konsep hidup nerimo ing pandum (ora ngoyo) adalah konsep hidup suku Jawa. Konsep hidup ini mengisyaratkan bahwa suku Jawa 2

yang tidak terlalu berambisi.Namun, perbedaan tidak menghalangi terjadinya pernikahan campuran di antara dua suku bangsa ini. Dalam pernikahan campuran antara Batak Toba dan Jawa ini, persoalan paling mendasar adalah persoalan latarbelakang masing-masing pelaku pernikahan tersebut. Karakter yang khas dari kebudayaan masing-masing cukup menjadi hal yang mendasar bagi persoalan rumah tangga ketika tidak ada keterbukaan satu sama lainnya. Pernikahan campuran merupakan sebuah tantangan baru bagi orang tua pelaku pernikahan campuran tersebut dalam hal mendidik anak. Latarbelakang budaya yang berbeda dari masing-masing pihak akan sangat menentukan dalam pola mendidik anak. Hal ini kerapkali menjadi pemicu konflik ketika kedua pihak pelaku pernikahan terkesan saling mendominasi dalam menerapkan pola mendidik anak. Etnis Batak Toba dengan gaya otoriternya, dan suku Jawa dengan gayanya yang halus, bisa menjadi satu hal pemicu konflik.Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti strategi komunikasi efektif suami istri pada pernikahan beda budaya suku Batak Toba–Jawa dalam mendidik anak

di kota Medan.

Fokus Masalah Berdasarkan konteks masalah yang telah diuraikan di atas, peneliti merumuskan fokus masalah adalah “Bagaimanakah Strategi Komunikasi Efektif Suami-Istri Suku Jawa-Batak Toba dalam Mendidik Anak di kota Medan?” KAJIAN PUSTAKA Persepsi Dalam pengertian yang sederhana, persepsi adalah dimana setia individu memilih, mengevaluasi, dan mengorganisasikan rangsangan (stimuli) yang berasal dari dunia luar. Persepsi adalah proses dimana kita mempertahankan hubungan dengan dunia di lingkungan kita, kita dapat menyadari apa yang terjadi di luar kita. Menurut Sarbaugh (1998) dan Samovar, et.al (2006:12-14 bahwa ada tiga elemen pokok persepsi budaya yang memiliki tiga pengaruh besar dan langsung terhadap individuindividu peserta komunikasi antarbudaya. Yang pertama adalah pandangan budaya dunia (kepercayaan, nilai, dan sistem tingkah laku), kedua sistem lambang (verbal dan non verbal), dan ketiga organisasi sosial (keluarga dan institusi) (dalam Lubis, 2012:63).

3

Pola Asuh pada Anak Tarmizi (2009) dan Ira Pentrato (2006) menjelaskan pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak, dari segi negatif maupun positif. Menurut Baumrind (1967) terdapat 3 macam pola asuh orang tua antara lain: demokratis, otoriter, permisif (Ira Pentrato 2006). 1. Pola Asuh Demokratis Pola asuh demokratis yaitu pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, dan tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak. 2. Pola Asuh Otoriter Pola asuh otoriter sebaliknya cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya disertai dengan ancaman-ancaman. Misalnya, “kalau tidak mau makan, maka tidak akan diajak bicara”. Orang tua tipe ini juga cenderung memaksa, memerintah, menghukum. 3. Pola Asuh Permisif Pola asuh permisif atau pemanja biasanya memberikan pengawasan yang sangat longgar. Memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka.

Strategi Komunikasi Antarbudaya yang Efektif Kata kunci efektivitas komunikasi adalah “Kemampuan seorang komunikator untuk menjaga keseimbangan antara kegiatan interaksi, relasi, dan komunikasi di antara dua kebudayaan yang berbeda” (Lubis, 2012 : 145). DeVito (1978) mengemukakan beberapa faktor penentu efektivtas komunikasi antarpribadi, yakni : (1) keterbukaan, (2) empati, (3) perasaan positif, (4) dukungan, dan (5) keseimbangan (dalam Liliweri, 2001). 1. Keterbukaan. Derlega et.al (1993) mengatakan bahwa keterbukaan diri adalah mengungkapkan secara verbal pikiran, perasaan dan pengalaman kepada orang lain dengan terbuka. Yovetich dan Drigotas (1999) mengungkapkan bahwa keterbukaan diri memiliki makna mengungkapkan informasi tentang diri kepada orang lain baik secara implisit maupun eksplisit untuk tersebut.

4

2. Empati. George & Cristiani (1981), empati adalah kemampuan untuk mengambil kerangka berpikir klien sehingga memahami dengan tepat kehidupan dunia dalam dan makna-maknanya dan bisa dikomunikasikan kembali dengan jelas. Stewart (1986) merumuskan empati sebagai kemampuan untuk menempatkan diri di tempat orang lain supaya bisa memahami dan mengerti kebutuhan dan perasaannya. 3. Perasaan Positif. Sikap positif (positiveness) ditunjukkan dalam bentuk sikap dan perilaku. Dalam bentuk sikap, maksudnya adalah bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi interpersonal harus memiliki perasaan dan pikiran positif, bukan prasangka dan curiga. 4. Dukungan. Hubungan yang efektif adalah hubungan dimana terdapat sikap mendukung (supportiveness). Artinya masing-masing pihak yang berkomunikasi memiliki komitmen untuk mendukung terselenggaranya interaksi secara terbuka.

5. Keseimbangan. Keseimbangan (equality) ialah pengakuan bahwa kedua belah pihak memiliki kepentingan, kedua belah pihak sama-sama bernilai dan berharga, dan saling memerlukan.

METODE PENELITIAN Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif tidak mengandalkan bukti berdasarkan logika matematis, prinsip angka, atau metode statistik. Pembicaraan yang sebenarnya, isyarat, dan tindakan sosial lainnya adalah bahan mental untuk analisis kualitatif (Mulyana, 2001:150).Penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus. Studi kasus adalah uraian dan penjelasan komprehensif mengenai berbagai aspek seorang individu, suatu kelompok, suatu organisasi (komunitas), suatu program, atau suatu situasi sosial(Mulyana, 2001:201).

Objek Penelitian Menurut Sugiyono (2009:38) pengertian objek penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, objek atau kegiatan yangmempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajaridan kemudian ditarik kesimpulannya. Objek daripenelitian ini adalah strategi komunikasi efektif pasangan suami-istri dalam mendidik anak. 5

Subjek Penelitian Subjek penelitian adalah pasangan perniakahan campuran suku Jawa-Batak Toba. Untuk studi kasus, jumlah informan dan individu yang menjadi informan dipilih sesuai dengan tujuan dan kebutuhan penelitan. Orang-orang yang dapat dijadikan informan adalah orang yang memiliki pengalaman sesuai dengan penelitian, orang-orang dengan peran tertentu dan tentu saja yang mudah diakses (Bogdan, 1992:5).

Kerangka Analisis Kerangaka mengorganisasikan

analisis data,

yang

dilakukan

memilah-milahnya

dengan

jalan

menjadi

satuan

bekerja

dengan

yang dapat

data,

dikelola,

mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.

Teknik Analisis Data Tahapan analisis data adalah sebagai berikut (1) Menemukan tema dan merumuskan hipotesis kerja. Sejak menganalisis data di lapangan, peneliti sudah mulai menentukan tema dan hipotesis kerja. (2) Menganalisis berdasarkan hipotesis kerja. Sesudah memformulasikan hipotesis kerja, peneliti mengalihkan pekerjaan analisisnya dengan mencari dan menemukan apakah hipotesis kerja itu didukung oleh data dan apakah hal itu benar.

HASIL DAN PEMBAHASAN Kasus Pertama Informan dalam kasus pertama adalah keluarga Bapak Yosef Hariatmo (suku Jawa) dan Ibu Rayani Nadapdap (suku Batak Toba). Serta seorang orangtua angkat mereka, yaitu Bapak Siburian. Pasangan ini menikah pada tahun 1997 dan memiliki empat orang anak, tiga putri dan satu putra. Putri pertamanya sedang duduk di bangku SMA, putri kedua sedang duduk di bangku SMP, putri ketiga sedang duduk di bangku SD, dan putra terakhirnya sedang duduk di bangku TK. Ibu Rayani sebagai istri memutuskan untuk mengikut suami dengan pindah agama ke agama Katolik sebelum pernikahan mereka. Ibu Rayani adalah seorang ibu yang mendidik dengan otoriter dan bapak Yosef mendidik dengan permisif. Dalam mendidik anak, mereka membawakan gaya mendidik masing-masing, namun tidak menekankan identitas budaya masing-masing kepada anak. Mereka memutuskan untuk tidak mendominasikan satu budaya pun dalam mendidik anak, sehingga anak sudah kehilangan 6

identitas suku orang tua masing-masing. Strategi komunikasi efektif yang dibangun keluarga bapak Yosef dilakukan terus-menerus sepanjang pernikahan. Permasalahan yang cukup menjadi perdebatan besar dalam keluarga ini adalah saling menyalahkan ketika mereka mendapati anak melakukan kesalahan, dimana kesalahan anak pada umumnya diakibatkan pergaulan bebas yang kurang terkontrol oleh orang tua. Sedangkan baak Siburian sebagai orang tua angkat mereka memiliki peran yang besar dalam mengatasi konflik pernikahan keluarga bapak Yosef dan membina komunikasi efektif di antara mereka.

Kasus Kedua Informan adalah keluarga Ibu Lamria Nababan, dan ibu Lamria adalah satu-satunya informan dalam keluarga ini. Ibu ini bersuku Batak Toba. Keluarga ini menikah pada tahun 2005 dan telah dikaruniai dua anak, satu laki-laki dan satu perempuan. Ibu Lamria Silaban yang berlatar belakang suku Batak berasal dari kota Medan, sedangkan pak Rahmat yang berlatar belakang suku Jawa berasal dari kota Pati. Pasangan suami-istri ini menikah pada tahun 2005. Diawali pertemuan mereka pada tahun 2004, di sebuah acara seminar. Pada acara seminar tersebut, bapak Rahmat dan ibu Lamria berkenalan melalui seorang teman. Pertemuan itu pun berlanjut kepada hubungan yang lebih serius, sehingga pada tahun berikutnya mereka memutuskan untuk menikah.

Kasus Ketiga Informan adalah keluarga bapak M.Naim dan M.Simanjuntak. dan informannya adalah seorang putrinya yang bernama SN. SN merupakan putri pertama dari keluarga M.Naim dan M.Simanjuntak. M.Naim pada saat ini berumur 67 tahun, sedangkan istrinya M.Simanjuntak telah meninggal pada tahun 2001. Keluarga ini dikaruniai sembilan orang anak, tujuh putra dan tiga putri. Keadaan komunikasi kurang efektif yang dapat ditemui dalam keluarga ini. Ayah yang sudah menutup diri dengan anak sejak meninggalnya istrinya. Komunikasi semakin menjauh sejak ayah mereka menikah dengan perempuan lain di bawah tangan. Komunikasi yang terjalin sebelum ibunya meninggal masih berjalan dengan efektif walaupun mereka sering mengeluhkan keadaan ekonomi. Namun dalam pewarisan budaya, anak sebagian mewarisi budaya ibu yaitu Batak Toba, dan sebagian budaya ayahnya, Jawa. Ketertutupan komunikasi di antara keluarga menggambarkan bahwa keluarga yang tidak rukun. Sebagai 7

anak yang sudah dewasa, mereka tetap berusaha menjalin komunikasi yang baik di antara mereka, dan juga kepada ayahnya.

Kasus Keempat Informan keempat adalah keluarga Ibu Herlianti Situmorang, dan beliau adalah informan tunggal dalam keluarga ini. Pasangan ini menikah sejak tahun 1992 dan dikaruniai dua orang putri. Putri pertama duduk di bangku SMA dan putri kedua duduk di bangku SMP. Di keluarga ini ibu menjadi sosok yang dominan dalam mendidik anak. Walaupun dulunya beragama Kristen, ibu ini sangat kuat tekadnya dalam mendidik anak sesuai agama yang dianut oleh keluarganya sekarang, yaitu agama Islam. Dalam keluarga ini walaupun sosok ayah kurang dominan, namun komunikasi terjalin dengan baik dalam keluarga ini, sepanjang pernikahan. Demikian halnya dengan anak-anak mereka, walaupun terkadang di beberapa waktu jarak antar putri dan ayahnya cukup dijaga Bahwa pola asuh para orang tua berdampak bagi karakter dan sikap anak. Anak yang dididik dengan pola asuh yang sangat berbeda akan cenderung tidak memenuhi harapan orang tua.Komunikasi efektif selalu dijalankan sepanjang pernikahan. Dalam keterbukaan, peneliti menemukan adanya keterbukaan pada masing-masing informan. Kasus ibu Rayani dan bapak Yosef yang usia pernikahannya sudah lebih dari sepuluh tahun, sudah mengalami banyak sekali hambatan pernikahan. Dalam kasus ibu Lamria, keterbukaan merupakan hal yang cukup sulit untuk dilaksanakan beliau. Peneliti menyimpulkan bahwa pengungkapan diri yang dilakukan oleh ibu Lamria masih mengalami kesulitan pada awalnya. Namun, proses yang telah dijalani bersama selama pernikahan, membuat ibu Lamria merasakan prosesnya dengan baik. Dalam kasus pada keluarga bapak Naim, SN sebagai putri dari keluarga ini merasakan bahwa keterbukaan masih terpelihara ketika ibunya masih hidup, dan berangsur-angsur menurun setelah ibunya meninggal. Namun, anak-anak masih menjaga keterbukaan sampai pada saat ini. Sedangkan kasus ibu Herlianti, keterbukaan tetap dijaga walaupun awal pernikahan mereka tidak direstui oleh orang tua beliau. Dapat disimpulkan bahwa keterbukaan merupakan salah satu elemen yang sangat penting sebagai awal untuk melaksanakan komunikasi efektif. Dalam keterbukaan, diperlukan kejujuran dalam hubungan suami-isti. Secara keseluruhan, suami-istri ini mempertahankan kejujuran sepanjang pernikahan. Berbeda dengan kasus keluarga bapak Naim, kejujuran sudah menurun setelah istrinya meninggal.

8

Empati sebagai salah satu elemen yang harus diperhatikan dalam hubungan suamiistri. Dalam kasus ini, empati yang dibangun selama pernikahan mendorong komunikasi yang efektif di rumah tangga. Ketika seseorang sudah memiliki empati, maka ia mampu memahami dan mengerti kebutuhan pasangan. selain itu, masuk ke dalam pandangan dunia pasangan dan melihat dengan pikiran pasangan. Empati mencakup dua komponen yaitu komponen kognitif dan komponen afektif. Komponen kognitif menurut Fesback adalah kemampuan membedakan dan mengenali kondisi emosional yang berbeda. Sedangkan Strayer mendefenisikan bahwa proses empati mencakup pemahaman akan perbedaan antara individu dan orang lain. Jadi, sepanjang pernikahan, hal ini dapat dipahami dengan baik oleh keluarga dalam penelitian. Hanya saja di kasus bapak SN, empati semakin berkurang setelah istrinya meninggal, dan beliau memilih untuk menikah dengan perempuan lain. Komponen afektif dalam empati adalah mampu mengidentifikasi pikiran dan perasaan orang lain. Berperasaan positif dapat dilihat dari sikap dan perilaku. Hal ini mencakup sikap menghargai pasangan dan tidak menaruh curiga pada pasangan. selama pernikahan dalam keempat kasus di atas, hal ini berlangsung dengan cukup baik dan saling menjaga selama pernikahan. Sedangkan pada kasus bapak Naim, hal ini menurun setelah istri beliau sudah meninggal. Memberikan dukungan berarti bahwa masing-masing pihak mampu saling mendukung dalam melakukan interaksi dengan terbuka. Tidak saling menjatuhkan, dan sepakat menjalankan komitmen dalam mendidik anak dengan baik. Sedangkan wujud keseimbangan dalam keluarga adalah mampu menyeimbangkan diri dengan setara akan kepentingan pasangan. terjadinya komunikasi dua arah dan tidak saling memaksakan kehendak. Jadi, sepanjang pernikahan hal ini tidak dapat terwujud dengan baik di setiap harinya. Oleh sebab itu, keefektifan komunikasi dapat berjalan dengan baik ketika kelima hal di atas, yaitu keterbukaan, empati, perasaan positif, dukungan, dan keseimbangan.

PENUTUP Kesimpulan Dari hasil penelitian tentang strategi komunikasi efektif pasangan suami-istri suku Jawa-Batak Toba dalam mendidik anak, maka dapat ditarik kesimpulan : 1. Strategi komunikasi efektif dalam pernikahan campuran yang dominan adalah keterbukaan dari masing-masing pasangan suami-istri dalam mendidik anak. 2. Keterbukaan yang dicapai dalam setiap rumah tangga dilakukan dengan mengungkapkan secara verbal pikiran, perasaan, dan pengalaman kepada pasangan 9

dengan terbuka. Pandangan dunia akan suku masing-masing dan nilai yang akan ditanamkan kepada anak disampaikan dengan jujur kepada pasangan. 3. Empati yang dibangun selama pernikahan mencakup pemahaman sikap dan perasaan pasangan, serta mampu mengidentifikasi dan memahami pikiran dan perasaan. 4. Wujud perasaan positif dapat ditunjukkan dengan menghargai pasangan dalam mendidik anak, tidak menaruhkan curiga dan memiliki komitmen dengan pasangan. 5. Dukungan yang dilakukan terhadap masing-masing pasangan terwujud dengan melaksanakan komitmen dengan pasangan dan tidak saling menyalahkan.

Saran 1. Hendaknya pasangan pernikahan beda budaya dapat menjalin komunikasi efektif. Dan hal ini juga dilakukan kepada seluruh keluarga besar untuk menjalin hubungan yang harmonis. 2. Hendaknya pasangan pernikahan beda budaya dapat menjalin komunikasi antarbudaya dalam kehidupan sehari-hari. 3. Hendaknya pasangan beda budaya dapat mengatasi segala perbedaan dalam pola mendidik anak dengan keterbukaan dan sikap saling menerima.

DAFTAR PUSTAKA Cangara, Hafied. (2006). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Irmawati, 2007. Nilai-nilai yang Mendasari Motif-Motif Penentu Keberhasilan Suku Batak Toba. Jurnal Wawasan Volume 13. Hal 57-76 Liliweri, Alo. 2001. Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Lubis, Lusiana A. 2012. Pemahaman Praktis Komunikasi Antarbudaya. Medan : USU Press. Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat. 2001. Komunikasi Antarbudaya : Panduan Berkomunikasi Dengan Orang – Orang Berbeda Budaya. Bandung : Remaja Rosdakarya. www.sumut.bps.go.id. 2010. Penduduk Indonesia Menurut Provinsi. (tanggal Oktober 2012)

10

akses 10

11