PERSPEKTIF KEPATUHAN PAJAK DALAM UPAYA

Download 1 Okt 2014 ... ChairilAnwar Pohan, Perspektif Kepatuhan Pajak dalam Upaya Pemberantasan Korupsi. 33 agenda penting dalam reformasi .... pej...

0 downloads 288 Views 428KB Size
Prosiding Seminar STIAMI ISSN 2355-2883

Volume I, No. 02, Oktober 2014

PERSPEKTIF KEPATUHAN PAJAK DALAM UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI Chairil Anwar Pohan Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Mandala Indonesia [email protected] Abstract. We do not deny that there is a community effort that has begun to gradually comply with their tax obligations by paying the taxes that become obligations, while mass media enthusiastically explores news reports about government officials who commit a criminal act of corruption ranging from ministerial to echelon below even some legislators who were arrested by the Corruption Eradication Commission (KPK), but the numbers disadvantage remains prevalent indicator Corruption Perceptions Index or Corruption Perception Index (CPI) issued by Transparency International some time ago that puts Indonesia in 2013 the ranking position of 114 out of 175 countries surveyed compared with a ranking of 118 out of 174 countries surveyed in 2012 and ranks 111 out of 180 countries surveyed in 2009. Meanwhile, Indonesia's CPI score in 2012 was 32 has not changed in years 2013, but compared to other ASEAN countries such as Singapore (score 86) and Malaysia (score 50), their CPI scores have much left Indonesia, even countries like Thailand, Philippine, and India, their CPI scores are above us, respectively 35, 36 and 36. Looking at the position of the CPI that reflects the absence of significant changes to the eradication of corruption in Indonesia, and many tax cases are revealed to the surface and rolled to the court, it is fairly that Prof. Gustav F. Papanek from Boston University USA (Kompas, 30/09/14: 7) states that the need for tax reform be the next step to increase state revenue. Certainly, restructuring the tax should be included as an important agenda in the next stage of the tax reform would be carried to the new government program of President-elected if they do not want this country suffered a setback in economic performance and finances. This study aims to examine how the level of tax compliance is the better role in efforts to combat corruption. The higher the level the higher tax compliance, it is certain that the level of corruption will decrease and the CPI score will be higher. Keywords: Tax Compliance, Tax Reform, Corruption. Abstrak. Kita tidak menyangkal bahwa terdapat upaya masyarakat yang sudah mulai secara gradual mematuhi kewajiban perpajakannya dengan membayar pajak-pajak yang menjadi kewajibannya, sementara mass media dengan antusiasnya mengetengahkan berita-berita tentang pejabat-pejabat pemerintahan yang melakukan perbuatan tindak pidana korupsi mulai dari tingkat menteri hingga echelon dibawahnya bahkan ada juga anggota DPR yang ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), namun masih saja angka-angka ketidakberuntungan masih menyelimuti indikator Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perception Index (CPI) yang dikeluarkan oleh Transparency International beberapa waktu lalu yang justru menempatkan Indonesia tahun 2013 pada posisi ranking 114 dari 175 negara yang disurvey dibandingkan dengan ranking 118 dari 174 negara yang disurvey pada tahun 2012 dan ranking 111 dari 180 negara yang disurvey pada tahun 2009. Sementara itu, score CPI Indonesia yang pada tahun 2012 mencapai 32 tidak mengalami perubahan di tahun 2013, namun dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya seperti Singapura (score 86) dan Malaysia (score 50), score CPI mereka telah jauh meninggalkan Indonesia, bahkan negara-negara seperti Thailand, Philippine, dan India, score CPI mereka berada diatas kita, masing-masing 35, 36 dan 36. Melihat pada posisi CPI tersebut yang mencerminkan tidak adanya perubahan yang signifikan terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia dan banyaknya kasus-kasus perpajakan yang terungkap ke permukaan dan digelindingkan ke pengadilan, sangat wajar bila Prof. Gustav F. Papanek dari Universitas Boston AS (Kompas, 30/9/14:7) menyatakan bahwa kebutuhan reformasi perpajakan menjadi langkah berikutnya untuk meningkatkan penerimaan negara. Tentu saja restrukturisasi perpajakan harus dimasukkan sebagai 32

ChairilAnwar Pohan, Perspektif Kepatuhan Pajak dalam Upaya Pemberantasan Korupsi

agenda penting dalam reformasi perpajakan tahap berikutnya yang akan diusung untuk menjadi program pemerintahan baru dari Presiden terpilih bila tidak ingin negara ini mengalami kemunduran dalam kinerja ekonomi dan keuangannya. Studi ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana tingkat kepatuhan pajak yang semakin baik berperan dalam upaya pemberantasan korupsi. Semakin tinggi tingkat kepatuhan pajak semakin tinggi, maka dapat dipastikan tingkat korupsi akan semakin menurun dan score CPI akan semakin tinggi. Kata Kunci: Kepatuhan Pajak, Reformasi Perpajakan, Korupsi Negara Republik Indonesia adalah negara yang menjunjung supremasi hukum dan negara hukum berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban warga negara. Salah satu kewajiban warga negara adalah membayar pajak seperti terdapat dalam Undang-Undang 1945 Pasal 23A yang berbunyi ”Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan UndangUndang”. Pajak merupakan salah satu sumber dana terpenting bagi kesinambungan gerak roda pembangunan nasional yang antara lain terwujud dengan tersedianya sarana-sarana pelayanan umum yang telah kita nikmati bersama. Pajak mempunyai peranan yang penting dalam melanjutkan pembangunan di Indonesia, sebagai sumber pendapatan negara yang penting ditingkatkan peranannya secara bertahap sesuai dengan kemampuan masyarakat namun dapat memberikan keadilan bagi masyarakat agar mampu memenuhi kewajibannya dan mampu menunjang kegiatan ekonomi. Pajak merupakan urat nadi pembangunan negara. Tanpa pendapatan dari sektor pajak, sebuah negara tidak dapat melaksanakan fungsi-fungsinya untuk menyejahterakan rakyat. Pada anggaran tahun 2012, sektor pajak menyumbang 78,64 persen atau sekitar Rp1.016 triliun dari keseluruhan APBN tahun 2012. Pada 2013, penerimaan negara di sektor pajak ditargetkan mencapai Rp1.178,9 triliun. Data tersebut menunjukkan bahwa sektor perpajakan memiliki peran vital bagi kehidupan negara kita. Sistem perpajakan di Indonesia pada umumnya menganut sistem self assesment, yaitu Wajib Pajak menghitung, membayar dan melaporkan sendiri pajak terutang yang menjadi kewajibannya. Dengan dianutnya sistem self assesment dalam sistem perpajakan di Indonesia maka pengetahuan perpajakan tentang hak dan kewajiban perpajakan yang

memadai merupakan salah satu syarat yang harus dimiliki oleh Wajib Pajak agar dapat memenuhi kewajiban perpajakannya secara baik dan benar. Sistem self assesment ini diakui memang bermanfaat untuk melakukan proses pencerdasan dan kepatuhan wajib pajak. Oleh karena itu informasi yang cukup tentang hak dan kewajiban Wajib Pajak harus dapat tersosialisasikan dengan baik ke segenap lapisan masyarakat khususnya dunia usaha. Reformasi administrasi perpajakan telah digulirkan oleh pemerintah sejak diundangkannya Undang-Undang Pajak yang baru tahun 1983 (UU PPh, UU PPN, UU KUP) hingga revisi. Revisi terakhir yang dilakukan terhadap ketiga undang-undang tersebut masing-masing tahun 2008 dan 2009. Salah satu tujuan utama dari reformasi tersebut adalah untuk tercapainya tingkat kepatuhan perpajakan yang tinggi. Mengapa demikian? Karena kita sadari sendiri bahwa tingkat kepatuhan pajak di Indonesia ini masih sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga, seperti tercermin dalam angka rasio penerimaan pajak terhadap gross domestic product (tax ratio). Kalau di Indonesia tax ratio masih di sekitar 12 %, dibandingkan dengan negara-negara tetangga Asean khususnya seperti Singapura di sekitar 22 % dan Malaysia di sekitar 20 %, bahkan India di sekitar 90 %. Sejak tahun 2002 hingga 2011 angka tax ratio tersebut tidak banyak mengalami perubahan, masih sangat rendah di sekitar 12 %. Memang ironis, negara kita yang sangat kaya dengan sumber daya alam dan telah dieksploitasi secara besar-besaran oleh para pengusaha-pengusaha besar dan BUMN namun kontribusinya terhadap penerimaan negara kita masih belum mampu mendongkrak kenaikan yang signifikan pada tax ratio tersebut. Fenomena yang terjadi dalam perilaku penghindaran pajak cenderung menjadi bagian dari perilaku warga masyarakat dalam 33

Prosiding Seminar STIAMI ISSN 2355-2883

melakukan pemenuhan kewajiban perpajakannya. Permasalahan pokok yang dihadapi oleh ekonomi Indonesia dewasa ini antara lain adalah tingkat pengangguran yang masih tinggi, masih tingginya tingkat kemiskinan, ketergantungan yang sangat besar pada penerimaan pajak sebagai kontributor utama dalam APBN karena peranan sumber daya alam dari sektor pertambangan semakin mengerucut, tingkat korupsi yang masih tinggi yang terjadi di berbagai instansi atau lembaga pemerintahan. Kesemua itu memiliki pertalian satu dengan lainnya semacam hubungan kausalitas. Tidak banyak ruang untuk membahas isu-isu tersebut di atas, semuanya dalam tulisan ini, yang difokuskan di sini adalah bagaimana perspektif kepatuhan pajak dalam upaya pemberantasan korupsi. Isu korupsi sudah menasionalisasi di Indonesia, terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Korupsi sudah menjadi fenomena internasional, sehingga inilah yang menjadi latar belakang yang pada dasarnya UU RI No. 7 Tahun 2006 merupakan pengesahan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), 2003. Dalam konsiderans United Nations Convention Against Corruption dikemukakan bahwa terdapat dua alasan penting mengapa perlu diratifikasi ; pertama, tindak pidana korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal, akan tetapi merupakan fenomena transnasional yang memengaruhi seluruh masyarakat dan perekonomian sehingga penting adanya kerja sama internasional untuk pencegahan dan pemberantasannya termasuk pemulihan atau pengembalian aset-aset hasil tindak pidana korupsi; dan kedua, kerja sama internasional perlu didukung oleh integritas, akuntabilitas, dan manajemen pemerintahan yang baik (Ali, 2011: 31). Sementara ini dalam tubuh internal Pemerintahan Daerah dan Kementerian, praktik korupsi yang ditemukan oleh Indonesian Corruption Watch (ICW) menunjukkan tren yang semakin meningkat khususnya dalam dua tahun terakhir seperti terungkap berdasarkan data yang dirilis oleh ICW (Kompas, 18/8/14: 5), jumlah kasus korupsi yang tahun 2011 ada 34

Volume I, No. 02, Oktober 2014

sebanyak 436 kasus, turun pada tahun 2012 menjadi 402 kasus dan pada tahun 2013 naik kembali menjadi 560 kasus. Kondisi tersebut menunjukkan kurang efektifnya pemberantasan korupsi yang menyebabkan koruptor tak pernah jera dan selalu memiliki kesempatan untuk melakukan korupsi. Langkah progresif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberantas korupsi patut dihargai meskipun dalam mengembangkan penegakan hukum dalam ranah tindak pidana korupsi belum sepenuhnya didukung oleh kekuasaan yudikatif dan eksekutif. Selanjutnya dari rubrik opini/tajuk rencana Kompas tgl. 4 Sept’14, penulis memberikan catatan data yang disadur berikut ini, KPK yang demikian progresifnya berupaya membongkar kasus korupsi, menyelidiki dan kemudian menuntut ke pengadilan, namun vonis berada dalam kekuasaan yudikatif (misalnya kasus Gubernur Banten Atut Choisyiah, yang vonis Atut dianggap ringan karena sebelumnya jaksa menuntut Atut pidana 10 tahun penjara dan mencabut hak politik Atut karena terbukti terlibat menyuap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Muchtar, tetapi hakim menolak tuntutan jaksa yang menuntut hak politik Atut dicabut dan hanya menjatuhkan vonis 4 tahun penjara) ternyata tidak sejalan dengan KPK. Setelah vonis jatuh, kebijakan memberikan remisi atau pembebasan bersyarat ada di eksekutif (misalnya kasus Hartati Murdaya yang mendapat pembebasan bersyarat dinilai oleh KPK cacat hukum karena Hartati tidak pernah bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar tindak pidana lain yang dilakukan), yang juga tidak mendukung KPK, dan situasi ini jelas memberatkan KPK dalam memberantas korupsi. PEMBERANTASAN KORUPSI Tindak Pidana Korupsi Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk

ChairilAnwar Pohan, Perspektif Kepatuhan Pajak dalam Upaya Pemberantasan Korupsi

mendapatkan keuntungan sepihak (Wikipedia, mengutip http://www.ti.or.id Transparency International). Dalam praktiknya, korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang atau imbalan sehubungan dengan jabatan tanpa ada catatan administrasinya sebagai bukti transaksi. Menurut UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pengertian tindak pidana korupsi hanya terdapat dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3, sebagai berikut : Pasal 2 ayat (1): Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahundan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Pasal 3: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (Yunara, 2012:91) Menurut Wikipedia, dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1) perbuatan melawan hukum, 2) penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana, 3) memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan 4) merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Jenis tindak pidana korupsi di antaranya, namun bukan semuanya, adalah : 1) memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan), II) penggelapan dalam jabatan, 3) pemerasan dalam jabatan, iv. ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan IV). menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam praktiknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, yakni pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali. Terkait dengan isu korupsi tersebut, pada suatu sajian informasi paling aktual di lembaran Politik dan Hukum harian Kompas (1 Okt’14:4) mengetengahkan berita hangat yang sangat menarik, namun pasti sangat menyesakkan dada dan membekas pada hati nurani setiap pembacanya, sebagai berikut: Salah satu faktor yang cukup memengaruhi citra DPR adalah prilaku korupsi. Terseretnya sejumlah anggota DRP dalam kasus korupsi sepanjang lima tahun terakhir menjadi pemicu pesimisme publik pada lembaga ini. Proyekproyek di kementerian dan pembahasan anggaran menjadi lahan praktik korupsi anggota legislatif. Beberapa nama bisa disebut M. Nazaruddin (Demokrat) misalnya, terseret korupsi proyek di kementerian Pemuda dan Olahraga. Kasus ini akhirnya juga menjerat kolega separtainya yaitu Angelina Sondakh, Andi Alfian Mallarangeng, dan Anas Urbaningrum. Kasus suap Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah menyeret Wa Ode Nurhayati (PAN). Sementara Luthfi Hasan Ishaaq (PKS) terjerat proyek impor sapi, Zulkarnaen Djabar (Golkar) dalam korupsi pengadaan AlQuran di Kementerian Agama, dan Chaerunnisa (Golkar) dalam kasus sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi. Hampir semua responden (86 persen) sepakat bahwa praktik korupsi di legislatif telah menggurita dan hampir sulit diberantas. Dalam membahas Anggaran memungkinkan elite politik bersentuhan dengan sumber kapital yang membuka peluang praktik percaloan anggaran dan proyek. Lembaga legislatif pun disebut sebagai tempat transaksi ekonomi para politisi dan partai politik. Di paragraf lain dalam lembaran yang sama di harian tersebut mengemukakan “kasus 35

Prosiding Seminar STIAMI ISSN 2355-2883

lain adalah pemecatan Lily Wahid dan Efendy Choirie dari PKB. Pemecatan ini terkait sikap politik keduanya dalam kasus Bank Century dan pembentukan pansus untuk hak angket kasus mafia pajak yang berbeda dengan sikap PKB”. Berita tersebut di atas baru sekelumit informasi yang mengungkapkan bagaimana kompleksitas persoalan korupsi di tanah air kita ini yang bersentuhan dengan oknum-oknum pejabat-pejabat yang bercokol di semua tataran Trias Politika yakni Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Pemikiran John Locke (Inggeris) sebagai pemikir yang pertama sekali mengenai konsep Trias Politika ada di dalam Magnum Opus (karya besar) yang ia tulis dan berjudul Two Treatises of Government yang terbit tahun 1690. Dalam karyanya tersebut, Locke menyebut bahwa fitrah dasar manusia adalah “bekerja (mengubah alam dengan keringat sendiri)” dan “memiliki milik (property)." Oleh sebab itu, negara yang baik harus dapat melindungi manusia yang bekerja dan juga melindungi milik setiap orang yang diperoleh berdasarkan hasil pekerjaannya tersebut. Dengan terpisahnya tiga kewenangan di tiga lembaga yang berbeda tersebut, diharapkan jalannya pemerintahan negara tidak timpang, terhindar dari korupsi pemerintahan oleh satu lembaga, dan akan memunculkan mekanisme check and balances (saling koreksi, saling mengimbangi). (http://setabasri01.blogspot.com/2009/02/triaspolitika-pemisahan-kekuasaan). Corruption Perception Index Pembaca yang awam pun sekalipun dapat memahami betapa ringkihnya negara kita ini dari praktik-praktik korupsi yang sudah merajalela di hampir semua sektor kehidupan masyarakat dari semua lapisan atau tingkatan (bawah, menengah dan atas), dan ironisnya telah melibatkan wakil-wakil rakyat sebagai pengemban amanat rakyat dan penjaga gawang yang terakhir dalam mata rantai pelaksanaan penegakan hukum di tataran legislatif. Bukan pula menjadi suatu kejutan bila indikator Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perception Index (CPI) yang dikeluarkan oleh Transparency International beberapa waktu lalu yang justru menempatkan Indonesia tahun 2013 36

Volume I, No. 02, Oktober 2014

pada posisi ranking 114 dari 175 negara yang disurvey, sangat tertinggal jauh dibandingkan dengan negara Singapura yang masuk dalam rangking 5 dari 117 negara yang disurvey dengan score CPI pada posisi 86. (score CPI=0 berarti bahwa suatu negara dianggap sebagai sangat korup dan 100 berarti hal itu dirasakan sebagai sangat bersih). Menambahkan berita hangat yang diungkapkan di atas bagaimana permasalahan praktik korupsi di sektor pertambangan dari sejak dulu hingga sekarang juga fenomenal. Nandang Sudrajat (2013:185-198) dalam bukunya “teori dan Praktik Pertambangan Indonesia” mengemukakan, bahwa manfaat yang diperoleh negara tidak sebanding dengan nilai bahan galian yang dieksploitasi dari bumi Indonesia. “Selain karena terletak pada aspek kelemahan hukum yang mengatur pengelolaan dan pengusahaan pertambangan, juga karena banyaknya manipulasi yang berujung pada kebocoran penerimaan negara dalam setiap tahapan kegiatan usaha pertambangan”. Praktik manipulasi ini ditemukan pada: 1) Praktik manipulasi dan KKN pada tahap eksplorasi: a) meng-upgrade data kadar bahan galian yang dieksploitasi, dengan cara melakukan mark-up kadar hasil analisis bahan galian yang sebenarnya. Kerugian negara terletak pada dua hal, yaitu melesetnya proyeksi pendapatan negara dan munculnya ketidakpercayaan investor terhadap negara; b) me-reduce data kadar bahan galian, dengan cara mencantumkan kadar hasil analisis lebih rendah dari kadar sebenarnya. Implikasi dari praktik manipulasi kadar rendah bahan galian adalah hilangnya sebagian pendapatan negara yang seharusnya diperoleh sebagai sumber pendapatan negara; dan menimbulkan KKN lanjutan, yaitu praktikpraktik perhitungan pajak, retribusi, dan lainlain; 2) Praktik manipulasi dan KKN pada tahap kegiatan eksploitasi: a) Memanipulasi surat-surat kepemilikan lahan; b) Munculnya konflik atau sengketa lingkungan dengan masyarakat sekitar; c) Sengketa ketenagakerjaan; d) Manipulasi jumlah produksi; dan e) Manipulasi dan KKN atas jenis dan jumlah perolehan mineral yang berujung pada praktik KKN antara pelaku usaha dengan oknum aparat. Kerugian negara: banyaknya kehilangan sumber pendapatan yang

ChairilAnwar Pohan, Perspektif Kepatuhan Pajak dalam Upaya Pemberantasan Korupsi

seharusnya diterima negara; 3) Praktik manipulasi dan/atau KKN pada tahap pengangkutan/pengapalan dan penjualan: a) Memanipulasi dan KKN pada proses pengapalan dan penjualan di tempat pelabuhan asal bahan galian. Bentuk-bentuk tahapan ini adalah: (1) Manipulasi jumlah penjualan dengan cara mengubah tinggi draft kapal/tongkang; (2) Manipulasi kadar bahan galian yang dijual; (3) Menggelapkan bahan galian di tengah-tengah laut; dan (4) Mengubah seluruh isi dokumen transaksi bahan galian; b) Memanipulasi dan KKN pada proses penjualan atau penerimaan di tempat pelabuhan tujuan bahan galian: (1) Tidak menerapkan sistem antrian pada proses un-loading atau bongkar bahan galian; (2) Manipulasi kadar bahan galian; dan (3) KKN pada saat proses penagihan; dan c) Implikasi dari manipulasi atau KKN di atas adalah terjadinya kerugian bagi industri pemakai, dan terjadinya kerugian bagi supplier karena harus menanggung beban biaya ekonomi tinggi, serta terjadinya kerugian bagi negara. Puncak gunung es masalah KKN/korupsi ini dapat dilihat di Kementerian ESDM seperti yang diberitakan oleh berbagai mass media akhir-akhir ini dan ini menambah daftar panjang kasus-kasus korupsi dalam birokrasi pemerintahan yang ditangani oleh KPK. Penyakit Birokrasi yang Menimbulkan Korupsi Mengutip pendapat dari Siagian (1994: 36) yang memaparkan penyakit/patologi birokrasi dapat dikategorikan dalam 5 kelompok, yakni: 1) Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya managerial para pejabat di lingkungan birokrasi. 2) Patologi yang disebabkan karena kurangnya atau rendahnya pengetahuan dan ketrampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional. 3) Patologi yang timbul karena tindakan para anggota birokrasi yang melanggar norma-norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4) Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif. 5) Patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai instansi dalam lingkungan pemerintahan. (Jaka Permana, 2014: 27). Prilaku yang ditunjukkan oleh birokrat yang termasuk dalam butir 3 dan 4 di atas

sangat terkait dengan korupsi, kolusi, mark up atas pembelian/pengadaan barang dan jasa. Dalam hubungan ini, Guy Benveniste (1994:167) menuliskan beberapa jenis korupsi yang terdapat dalam Pasal 2-Pasal 12 UndangUndang No.31 Tahun 1999, yakni: 1) Discretionary Corruption adalah korupsi yang dilakukan karena ada kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan; 2) Illegal Corruption adalah tindakan yang dimaksud untuk mengacaukan bahasa atau maksud hukum; 3) Mercenary Corruption adalah tindakan korupsi untuk kepentingan pribadi; dan 4) Ideological Corruption adalah korupsi untuk mengejar tujuan kelompok. (www.psychologymania.com/2013/01/jenisjenis-korupsi). Prilaku yang ditunjukkan oleh birokrat yang termasuk dalam butir 3 dan 4 di atas sangat terkait dengan korupsi, kolusi, mark up atas pembelian/pengadaan barang dan jasa. Benveniste (1994:167) menuliskan beberapa jenis korupsi, antara lain apa yang disebut sebagai mercenary corruption yaitu jenis korupsi yang bertujuan untuk mengeruk kekayaan atau keuntungan pribadi yang dilakukan baik secara illegal maupun karena memiliki kekuasaan/kewenangan. Bagi Thomson (2002:1) kasus-kasus yang terjadi seperti gambaran di atas disebutnya sebagai akibat dari “tangan-tangan kotor demokratik”. Suhubungan dengan penyakit birokrasi tersebut, praktik korupsi di birokrasi sudah sedemikian melembaga dan mendarah daging (institutionalized & internalized). Bahkan koran Republika menjuluki Indonesia sebagai “republik drakula” karena birokrasinya yang korup. Kesan (image) tidak hanya datang dari kalangan internal masyarakat dan pengusaha Indonesia sendiri, tetapi juga dari kalangan investor dan masyarakat internasional. Birokrasi Indonesia dikenal paling korup sehingga risiko investasi sangat tinggi dan modal asing (langsung maupun portfolio) enggan masuk ke dalam perekonomian Indonesia (Rachbini, 2001: 102). Ibarat sebuah penyakit kronis dari sebuah masyarakat, tampaknya perilaku koruptif belum bisa hilang dari segala aspek kehidupan kita. Bentuk korupsi terjadi mulai dari yang halus hingga kasar seperti penyuapan, pemerasan dan pencurian aset Negara. Sedangkan bentuk halus 37

Prosiding Seminar STIAMI ISSN 2355-2883

menurut UNCAC dengan menjanjikan atau menawarkan keuntungan dalam kapasitas tugas dan permohonan langsung atau tidak langsung keuntungan yang tidak semestinya dengan melawan hukum. Meskipun berbagai upaya ditempuh pemerintah untuk mengikis korupsi mulai pembentukan Badan/Institusi pencegahan dan penindakan korupsi seperti Tim Gabungan Pemberantasan Korupsi, Tim Pemberantasan Korupsi, Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat negara (KPKPN), Lembaga Ombudsman, Namun sejauh ini belum memberi efek jera kepada pelaku korupsi untuk menghentikan tindakan korupsi. Fenomena di Zaman Orde Baru pemerintahan Soeharto korupsi semakin menjadi-jadi di semua tingkat mulai pemerintahan paling rendah hingga Presiden. Akibat terburuk korupsi telah merusak tatanan kehidupan masyarakat dengan alasan minimnya gaji pegawai negeri menjadi pemicu praktik korupsi. Harapan baru untuk pemberantasan korupsi muncul di jaman reformasi pasca orde baru dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan UU No 30 Th 2002 dengan tugas mencegah, menindak atau memberantas korupsi. Nampaknya era pemberantasan korupsi mulai menampakkan hasil yang signifikan dengan terseretnya para pelaku korupsi mulai kalangan swasta, pejabat pemerintah, kalangan DPR, Petinggi Parpol, aparat penegak hukum sebagai penindak korupsi sendiri yaitu jaksa, Polri tidak luput dari perkara jeratan korupsi. Korupsi telah menjadi kejahatan yang amat mengakar dan menyentuh sendi-sendi kekuasaan sampai sistem peradilan, aparat penegak hukum dan DPR. Semua pihak seolaholah menjadi terbiasa dengan perilaku korupsi yang telah menyentuh seluruh tingkat kehidupan masyarakat. Walaupun KPK belum mengarah pemberantasan korupsi hingga ke akar-akarnya, setidaknya efek jera yang timbul akan mampu meredam niat masyarakat untuk berbuat tindakan yang koruptif. Upaya penghilangan perilaku korupsi tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada lembaga KPK dan aparat lain seperti Kejaksaan dan Polri. Semua lembaga baik institusi kampus, LSM, perusahaan, Pemerintah pusat dan daerah harus bersama masyarakat sepakat untuk mencegah 38

Volume I, No. 02, Oktober 2014

dan menindak terjadinya perilaku korupsi yang telah merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Sebagaimana dirilis oleh Masyarakat Transparansi Indonesia (2008), bahwa korupsi telah menyebabkan rusaknya tatanan kehidupan berbangsa yaitu: 1) Korupsi mendelegetimasi proses demokrasi dengan mengurangi kepercayaan publik terhadap proses politik melalui politik uang. 2) Korupsi mendistorsi pengambilan keputusan pada kebijakan publik, membuat tiadanya akuntabilitas publik, dan menafikan the rule of law. Hukum dan birokrasi hanya melayani kepada kekuasaaan dan pemilik modal. 3) Korupsi meniadakan sistim promosi dan hukuman yang berdasarkan kinerja karena hubungan patron-client dan nepotisme. 4) Korupsi mengakibatkan proyekproyek pembangunan dan fasilitas umum bermutu rendah dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga mengganggu pembangunan yang berkelanjutan. 5) Korupsi mengakibatkan kolapsnya sistem ekonomi karena produk yang tidak kompetitif dan penumpukan beban utang luar negeri. Yang kita harapkan adalah penurunan Indeks Persepsi Korupsi dari Indonesia yang diikuti penurunan IPK beberapa instansi pelayanan publik untuk menunjukkan bahwa perbuatan korupsi bisa berkurang dengan melakukan upaya perbaikan pelayanan masyarakat. Bagaimanapun juga penerapan transparansi dan konsistensi peraturan perundang-undangan harus diupayakan seoptimal mungkin untuk menciptakan suatu pelayanan yang efisien dengan menerapkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik yaitu good corporate governance secara berkesinambungan. Potensi Penerimaan Negara yang Hilang Kontribusi Pajak terhadap penerimaan negara Indonesia sangat substantial dan sangat signifikan, seperti terlihat dalam tabel 1 di bawah ini disajikan perbandingan besarnya sumber penerimaan negara dari sektor pajak dibandingkan dengan sumber penerimaan dari sektor-sektor lainnya seperti dari sumber daya alam (migas dan non migas) yang terdapat dalam realisasi APBN dengan perkembangan pendapatan negara tahun 2007 hingga 2011. Dari presentasi data pada tabel 1 tersebut di

ChairilAnwar Pohan, Perspektif Kepatuhan Pajak dalam Upaya Pemberantasan Korupsi

atas, dapat terlihat bahwa kontribusi penerimaan pajak terhadap jumlah seluruh penerimaan negara berturut-turut dari tahun 2007, 2008, 2009, 2010 dan 2011 adalah sebesar 69,4 %, 67,1 %, 73 %, 72,7 % dan 72,2 %. Ketergantungan pemerintah terhadap penerimaan pajak sebagai tulang punggung sumber keuangan negara terbesar untuk pembiayaan APBN adalah sangat dominan. Pajak benar-benar menjadi primadona pembiayaan pembangunan nasional dan belum dapat digantikan oleh sumber lainnya. Ini dapat terlihat secara jelas bila dibandingkan dengan penerimaan negara dari sumber-sumber keuangan negara (state financial resources) lainnya dalam kurun waktu secara berturutturut dari tahun 2007, 2008, 2009, 2010 dan 2011, dengan rasio-rasio penerimaan sebagai berikut: 1) dari sektor minyak dan gas bumi (migas) sebagai sumber yang tidak dapat diperbarui (non renewable resorces) hanya menduduki 17,6 %, 21,6 %, 14,8 %, 15,3 % dan 16 % dari jumlah seluruh penerimaan negara dalam tahun yang bersangkutan; 2) sedangkan dari penerimaan nonmigas terdiri dari sektor pertambangan umum, kehutanan dan perikanan dan panas bumi, hanya menduduki 1,1 %, 1,3 %, 1,6 %, 1,6 % dan 1,7 % dari jumlah seluruh penerimaan negara dalam tahun yang bersangkutan. Lihat Tabel 1. Di satu sisi kita bangga bagaimana besarnya kiprah pajak dalam pembangunan nasional, tetapi ironisnya adalah ketidaksignifikan persentase kontribusi non migas (1,7%) khususnya sektor pertambangan dalam penerimaan negara padahal sedemikian besarnya luas lahan pertambangan yang telah dieksploitasi secara besar-besaran oleh para investor bidang pertambangan yang hanya menguntungkan segelintir pengusaha tertentu tanpa memberikan dampak yang luas pada peningkatan kesejahteraan masyarakat umum dan bahkan penerimaan pajak dari sektor ini juga sangat kecil/tidak signifikan. Ratio penerimaan tersebut diatas memberikan indikasi bahwa sebenarnya masih besar potensi penerimaan negara yang belum tergali atau ditemukan dari sektor non migas khususnya dari sektor pertambangan dan pajak yang dihasilkan daripadanya, baik dari Penerimaan Perpajakan maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak, yang menuntut tingkat kesadaran wajib

pajak (tax payers’ awareness) yang lebih baik dan meningkat serta kepatuhan (tax compliance) dan kepedulian (tax care) dari para pengusaha pertambangan untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan benar, benar perhitungan pajaknya (tidak direkayasa), dan benar penyetorannya ke kas negara serta benar pelaporannya ke kantor pelayanan pajak. Pemerintahan yang Bersih Berbasiskan Penegakan Hukum Menciptakan Keunggulan Kreativitas Kelas Dunia Negara Singapura yang tidak memiliki sumber daya alam sekalipun namun mampu merevitalisasikan semua sektor kegiatan ekonomi dengan mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Buah kesuksesan yang mereka peroleh dari hasil kerja keras semua unit/sentra ekonomi tersebut sebenarnya terletak pada bagaimana birokrat pemerintah di negara ini memegang komitmen yang sangat kuat dengan disiplin yang tinggi untuk mewujudkan suatu tatanan pemerintahan yang bersih di semua kelembagaan pemerintahan berbasiskan pelaksanaan penegakan hukum (law enforcement) yang tidak pandang bulu. Sadar akan kelemahan di bidang sumber daya alam yang praktis tidak tersedia di negara itu, justru menjadi trigger effect untuk mengobarkan semangat rakyatnya menciptakan keunggulan kreativitas kelas dunia mereka di bidang lain yang akhirnya mendulang suatu membuat rasa takjub kita yang besar terhadap pencapaian kemajuan kinerja mereka yang tinggi di bidang industrialisasi, bahkan tidak tanggung-tanggung sektor pariwisata menjadi salah satu primadona piranti ekonomi yang menjadi “cash cow” buat negeri yang dijuluki kota singa ini patut diperhitungkan terutama di kawasan ASEAN. Padahal negeri ini dulunya tidak memiliki lahan untuk tempat parawisata, pasir tanahnya pun dibeli dari Indonesia untuk menciptakan suatu pantai buatan dengan cara mereklamasi pantai secara artifisial sedemikian rupa untuk kepentingan pariwisata, panorama dan pelayanannya dibuat sangat mengesankan turis-turis mancanegara yang berkunjung kesana, bersih dalam penataan ruang perkotaan dan bersih dalam tata kelola pemerintahan. Wikipedia mencatat keberhasilan Singapura sebagai pusat keuangan terdepan keempat di dunia dan sebuah kota dunia kosmopolitan 39

Prosiding Seminar STIAMI ISSN 2355-2883

Volume I, No. 02, Oktober 2014

TABEL 1. PERKEMBANGAN PENDAPATAN NEGARA 2007-2011 (triliun rupiah)

I. PENERIMAAN DALAM 1. Penerimaan Perpajakan NEGERI

2007 Real. 706,1 491,0

a. Pajak Dalam Negeri

470,1

Uraian

1) Pajak penghasilan a) Migas b) Nonmigas

238,4 44,0 194,4

2) PPN

154,5

3) PBB

23,7

4) BPHTB 5) Cukai 6) Pajak lainnya b. Pajak Perdagangan Int'l

6,0 44,8 2,7 20,9

1) Bea masuk

16,7

2) Bea keluar

4,2

2. Penerim. Negara Bukan Pajak a. Penerimaan SDA 1) Migas a) Minyak bumi b) Gas Bumi 2) Non Migas

215,1 132,9 124,8 93,6 31, 2 8,1

a) Pertambangan umum

5,9

b) Kehutanan

2,1

c) Perikanan

0,1

d) Panas bumi b. Bagian Laba BUMN

23,2

c. PNBP Lainnya

56,9

d. Pendapatan BLU

2,1

II. PENERIMAAN HIBAH

1,7

Jumlah Penerimaan

707,8

40

% 99,8 69,4 % % 66,4 % 33,7 % 6,2 % 27,5 % 21,8 % 3,3 % 0,8 % 6,3 % 0,4 % 3,0 % 2,4 % 0,6 % 30,4 % 18,8 % 17,6 % 13,2 % 4,4 % 1,1 % 0,8 % 0,3 % 0,0 % 0,0 % 3,3 % 8,0 % 0,3 % 0,2 % 100,0 %

2008 Real. 979,4 658,8 622,4 327,5 77,0 250,5

% 99,8 67,1 % % 63,4 % 33,4 % 7,8%

25,4

25,5 % 21,4 % 2,6%

5,6

0,6%

51,3

5,2%

3,0

0,3%

36,4

3,7%

22,8

2,3%

13,6

1,4%

320,5

42,6

32,6 % 22,9 % 21,6 % 17,2 % 4,3%

12,8

1,3%

9,5

1,0%

2,3

0,2%

0,1

0,0%

0,9

0,1%

29,1

3,0%

63,3

6,4%

3,7

0,4%

2,3

0,2%

981,7

100,0%

209,6

224,4 211,6 169,0

2009 Real. % 847 99,8 620 73,0 ,3 % ,0 % 601 70,8 ,3 % 317 37,4 ,6 % 50, 5,9% 0 267 31,5 ,6 % 193 22,7 ,1 % 2 2,9% 4,3 6 0,8% ,5 5 6,7% 6,7 3 0,4% ,1 18, 2,2% 7 1 2,1% 8,1 0 0,1% ,6 227 26,8 ,2 % 139 16,4 ,0 % 125 14,8 ,8 % 9 10,6 0,1 % 3 4,2% 5,7 1 1,6% 3,2 1 1,2% 0,4 2 0,3% ,3 0 0,0% ,1 0 0,0% ,4 2 3,1% 6,0 5 6,3% 3,8 8 1,0% ,4 1 0,2% ,7 848 100,0% ,8

ChairilAnwar Pohan, Perspektif Kepatuhan Pajak dalam Upaya Pemberantasan Korupsi

2011 % Real. I. PENERIMAAN DALAM 99,7 1.205,3 1. Penerimaan Perpajakan 72,7 873,9 NEGERI % % a. Pajak Dalam Negeri 694,4 69,8 819,7 % 1) Pajak penghasilan 357,0 35,9 431,1 % a) Migas 58, 5,9 73,1 9 % b) Nonmigas 298,2 30,0 358,0 % 2) PPN 230,6 23,2 277,8 % 3) PBB 28, 2,9 29,9 6 % 4) BPHTB 8,0 0,8 % 5) Cukai 66, 6,7 77,0 2 % 6) Pajak lainnya 4,0 0,4 3,9 % b. Pajak Perdagangan Int'l 28, 2,9 54,1 9 % 1) Bea masuk 20,0 2,0 25,3 % 2) Bea keluar 8,9 0,9 28,9 % 2. Penerim.Negara Bukan Pajak 268,9 27,0 331,5 % a. Penerimaan SDA 168,8 17,0 213,8 % 1) Migas 152,7 15,3 193,5 % a) Minyak bumi 111,8 11,2 141,3 % b) Gas Bumi 40,9 4,1 52,2 % 2) Non Migas 16, 1,6 20,4 1 % a) Pertambangan umum 12, 1,3 16,4 6 % b) Kehutanan 3,0 0,3 3,2 % c) Perikanan 0,1 0,0 0,2 % d) Panas bumi 0,3 0,0 0,6 % b. Bagian Laba BUMN 30, 3,0 28,2 1 % c. PNBP Lainnya 59, 6,0 69,4 4 % d. Pendapatan BLU 10, 1,1 20,1 6 % II. PENERIMAAN HIBAH 3,0 0,3 5,3 % Jumlah Penerimaan 995,3 100,0 1.210,6 Sumber: Kementerian keuangan, Nota Keuangan 2013, diolah% penulis Uraian

2010 Real. 992,2 723,3

% 99,6% 72,2% 67,7% 35,6% 6,0% 29,6% 22,9% 2,5% 0,0% 6,4% 0,3% 4,5% 2,1% 2,4% 27,4% 17,7% 16,0% 11,7% 4,3% 1,7% 1,4% 0,3% 0,0% 0,0% 2,3% 5,7% 1,7% 0,4% 100,0%

41

Prosiding Seminar STIAMI ISSN 2355-2883

Volume I, No. 02, Oktober 2014

Tabel-1. Perbandingan Jumlah WP Terdaftar Terhadap Populasi Dan Angkatan Kerja Negara

Indones ia Malaysi a Thailan d Cina India

Populasi(Juta orang) Total Labor Populasi Force

241,60

Jumlah WP Terdaftar (Juta Indikator Relative Orang) PPh Op PPh PPN % WPOP % Badan Terdaftar WPOP erhadap Labor Terhadap Force Populasi 117,37 20,17 1,92 0,80 17,2 8,3

28,96

12,68

7,20

0,7

N/A

56,80

24,9

64,08

38,90

9,20

0,38

0,40

23,70

14,4

1.341,98 1.197,81

785,80 447,00

N/A 31,03

N/A 0,49

N/A N/A

N/A 6,9

N/A 2,6

Sumber : Asia Development Bank, 2014

yang memainkan peran penting dalam perdagangan dan keuangan internasional. Pelabuhan Singapura adalah satu dari lima pelabuhan tersibuk di dunia (http://id.wikipedia.org/wiki/Singapura). PERSPEKTIF KEPATUHAN PAJAK DALAM UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI Kepatuhan Pajak Dalam pembangunan suatu negara, aspek kepatuhan pajak (tax compliance) sangat penting dikedepankan, dibangun dan ditingkatkan secara kontinyu sampai mencapai suatu tingkatan kesadaran secara sukarela (voluntary tax compliance,) yakni tingkatan kesadaran untuk mematuhi peraturan perpajakan dan sekaligus terhadap administrasi pajak yang berlaku tanpa perlu disertai dengan aktivitas tindakan dari otoritas pajak. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh James and Nobes dalam bukunya The Economics of Taxation, Principle, Policy and Practice (Hamonangan dan Mukhlis, 2012:84-85), a more appropriate definition might therefore include the degree of compliance with the tax law and administration without the need for enforcement activity. Untuk mencapai suatu kepatuhan secara sukarela (Voluntary tax compliance) ditopang oleh tiga pilar yang bersinergi, yaitu pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Kepatuhan tersebut menyangkut 42

perilaku wajib pajak sebagai warga negara dalam memenuhi kewajiban kenegaraannya dan kewajiban perpajakannya. Kepatuhan pajak berbanding lurus dengan penerimaan pajak, yang tentunya semakin tinggi tingkat kepatuhan pajak maka akan berdampak langsung pada semakin besarnya penerimaan pajak oleh negara (James and Nobes, 1997:137). Kepatuhan tersebut bisa dilihat secara formal dan material dalam arti bahwa wajib pajak bersedia mematuhi seluruh ketentuan perpajakan, baik dalam kebenaran perhitungan pajak yang terutang, pembayaran/ penyetoran pajak dan pelaporan pajak secara tepat waktu. Perkembangan di Indonesia menunjukkan proyeksi kepatuhan pajak baru mencapai lebih kurang 38 % (Ditjen Pajak, 2005) atau dalam kata lain tingkat ketidakpatuhan 62 % menunjukkan potensi pajak di Indonesia masih sangat besar. Tingkat kepatuhan pajak di beberapa negara ASEAN lainnya jauh lebih tinggi, misalnya Malaysia 63,9 % dan Singapura 92 % (Asean Annual Report, 2005). Perbedaan kepatuhan pajak di Indonesia dengan di Singapura dan Malaysia tersebut merefleksikan perbedaan struktur pendapatan masyarakat di ketiga negara (Hamonangan dan Mukhlis, 2012:84-85). Untuk menganalisis lebih lanjut tentang bagaimana Indikator Relative persentase Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) Terdaftar terhadap Labor Force dan persentase WPOP

ChairilAnwar Pohan, Perspektif Kepatuhan Pajak dalam Upaya Pemberantasan Korupsi

Terdaftar terhadap Populasi, disajikan Tabel-1 berikut ini: (lihat tabel 1) Dari sajian Tabel-1 di atas menunjukkan bahwa Negara Indonesia yang memiliki jumlah penduduk sebanyak 241,6 juta jiwa dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 117,37 juta jiwa, ternyata WPOP terdaftar baru 17,2 % dari jumlah tenaga kerja yang ada atau 8,3 % dari keseluruhan jumlah penduduk, dibandingkan dengan negara Malaysia yang memiliki jumlah penduduk sebanyak 28,96 juta jiwa dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 12,68 juta jiwa, ternyata WPOP terdaftar sebanyak 56,8 % dari jumlah tenaga kerja yang ada atau 24,9 % dari keseluruhan jumlah penduduk. Demikian pula dibandingkan dengan Thailand, WPOP terdaftar sebanyak 23,7 % dari jumlah tenaga kerja yang ada atau 14,4 % dari keseluruhan jumlah penduduk. Hal ini menunjukkan betapa masih besar potensi penerimaan pajak dari WPOP yang belum terdaftar, dan ini sekaligus juga mengindikasikan bahwa ternyata tingkat kesadaran membayar pajak di Indonesia dari WPOP masih sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya (selain Myanmar). Sebagai lawan dari voluntary tax compliance adalah wajib pajak tidak patuh (tax payer of non compliance). Dari pemberitaan di berbagai mass media kita juga dapat melihat banyaknya free rider alias orang-orang berduit yang tidak bayar pajak tetapi ikut menikmati hasil pembangunan. Termasuk dalam free rider ini adalah mereka yang melakukan penggelapan pajak(tax evasion) untuk pengayaan diri sendiri tetapi bisa terlepas dari jeratan hukum dengan menghalalkan segala macam cara agar terhindar dari sanksi hukum yang berlaku, dan mereka itulah sebenarnya menjadi motivator ketidakpatuhan para wajib pajak. Sementara itu, hukum seakan-akan berjalan di tempat. Law enforcement berbanding lurus dengan tax compliance, artinya semakin rendah law enforcement terhadap pelanggaran perpajakan oleh para wajib pajak, maka akan semakin rendah pula ketidakpatuhan wajib pajak. Tingkat/derajat kepatuhan tersebut dapat diukur dari adanya tax gap, yaitu perbedaan antara seberapa besar pajak yang dapat dikumpulkan dengan besar pajak yang seharusnya terkumpul, sebagaimana dinyatakan oleh James and Alley(1999), bahwa “Tax gap

represent the difference between the actual revenue collected and the amount that what would be collected”. Pendapat serupa dinyatakan oleh James and Nobes (1997:137) yang mengemukakan, bahwa “the definition of compliance is usually cast in terms of the degree to which tax payers comply tax law. It has then been said that the degree of non compliance can be measured in terms of the tax gap”. Lebih jauh dijelaskan, bahwa “tax compliance in this context would appear to indicate compliance with government policy in a wider sense, rather than only compliance with the tax law, and therefore what could be expected from a responsible citizen”. Dengan demikian kepatuhan pajak ini lebih merujuk pada bagaimana sikap pembayar pajak yang memiliki rasa tanggungjawab sebagai warga negara bukan hanya sekedar takut akan sanksi dari hukum pajak yang berlaku (Hamonangan dan Mukhlis, 2012:84-85). Alm dan Torgler (2005) dan Ximing et al.(2006) yang meneliti pengaruh tax morale terhadap kepatuhan pajak di Spanyol dan Amerika, menemukan bahwa tax morale (yakni motivasi instrinsik wajib pajak bersedia membayar pajak) yang signifikan tinggi di negara Amerika daripada Spanyol, sebagai akibat dari perbedaan budaya yang mempengaruhi nilai-nilai wajib pajak dalam membayar pajak. Demikian pula penelitiannya dengan data cross section multivariate terhadap 14 negara-negara Eropah dan Amerika, menemukan bahwa individu di Amerika memiliki tax morale yang tertinggi diantara seluruh negara, diikuti oleh Austria dan Swiss. Keterbukaan politik, transparansi dan kepercayaan terhadap pemerintah merupakan perlakuan pemerintah yang ramah dan berdampak terhadap masyarakat yang merasa puas dan meyakini bahwa pajak yang dipungut benar-benar dipergunakan untuk kebutuhan publik. (Hamonangan dan Mukhlis, 2012:196-197). Untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak (tax compliance) tersebut dibutuhkan dukungan masyarakat maupun DPR agar koordinasi dengan setiap instansi maupun instansi pemerintahan dapat lebih kuat, serta disebarkannya program kampanye sadar dan peduli pajak yang berkesinambungan dan merata serta program pelayanan pengembangan 43

Prosiding Seminar STIAMI ISSN 2355-2883

pelayanan perpajakan. Karena kekurangankekurangan yang terdapat dalam pelaksanaan program-program tersebut sehingga masih banyak wajib pajak yang belum tahu bagaimana melakukan penghitungan dan pelaporan pajak, maka mereka mengambil jalur pintas dengan cara meminta bantuan aparat pajak untuk melakukannya. Situasi semacam ini menjadi lahan empuk bagi segelintir oknum aparat pajak untuk menawarkan jasanya kepada wajib pajak untuk membuat SPT yang sesuai dengan kemauan wajib pajak, menekan pembayaran pajak serendah mungkin. Komitmen dan bukti kerja keras yang serius dari fiskus dan seluruh jajaran Departemen Keuangan untuk suksesnya program modernisasi administrasi perpajakan secara berkesinambungan akan meningkatkan citra Direktorat Jenderal Pajak. Penegakan hukum (law enforcement) dengan menindak tegas perbuatan oknum-oknum pajak yang mengotori wajah instansi tersebut akan menjadi efek jera bagi bagi pelaku-pelaku yang korup atau sebaliknya memberikan efek gaung (deterrent effect) bagi peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap administrasi perpajakan agar tercipta keterbukaan antara Direktorat Jenderal Pajak dan masyarakat. Ketauladanan dalam hal mematuhi kewajiban pajak (tax compliance) perlu mendapat perhatian dari kita semua. Menurut Purnomo (Mantan Dirjen Pajak 2001-2006) dalam buku ”Era Baru Kebijakan Fiskal” (2009:183) ada tiga strategi yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan meningkatkan kepatuhan perpajakan, yakni, pertama, dengan membuat program dan kegiatan yang diharapkan dapat menyadarkan dan meningkatkan kepatuhan sukarela khususnya wajib pajak yang selama ini belum patuh. Kedua, memelihara tingkat kepatuhan wajib pajak patuh atau meningkatkan pelayanan terhadap wajib pajak yang relatif sudah patuh sehingga tingkat kepatuhannya dapat dipertahankan atau ditingkatkan. Ketiga, memerangi ketidakpatuhan (combatting noncompliance) dengan berbagai program dan kegiatan yang diharapkan dapat menangkal ketidakpatuhan perpajakan. Ketiga strategi kepatuhan tersebut memang bukan hal yang mudah untuk dilaksanakan meskipun diakui 44

Volume I, No. 02, Oktober 2014

sudah dilakukan secara gradual. Banyaknya tokoh dan figur dari berbagai kalangan dan profesi termasuk politisi dan birokrat yang terbukti mangkir membayar Pajak Penghasilan merupakan preseden buruk bagi masyarakat wajib pajak secara keseluruhan. Ironisnya, fenomena ini tidak saja dijumpai di kalangan masyarakat kelas bawah yang memiliki keterbatasan wawasan dan pengetahuan soal pajak, tapi juga di kalangan masyarakat kelas atas yang tahu betul fungsi dan peran pajak tersebut. Oleh karena itu, ketauladanan ini tentu saja harus dimulai dari jajaran pemerintah sendiri sebagai pengelola pajak. Jika pemerintah mampu memberikan teladan dan juga diikuti tokoh-tokoh dan figur publik lainnya, tentu masyarakat akan tergugah dan lebih mudah untuk menyadarkan mereka betapa pentingnya kontribusi pajak bagi kehidupan dan masa depan negara dan bangsanya. Sebaliknya, jika figur-figur pemerintah, para pemimpin, dan tokoh-tokoh populis tersebut sudah memperlihatkan ketidakpatuhannya terhadap kewajiban pajak ini, tentunya hal ini akan menjadi efek pemicu (trigger effect) terhadap resistensi bagi penegakan kepatuhan pajak bagi masyarakat kalangan bawah dan mereka menjadi akan lebih sulit diajak menjadi pembayar pajak yang baik. Melihat kenyataan masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap kewajiban membayar pajak, perlu sosialisasi secara intentif kepada seluruh lapisan/kelas masyarakat dari semua jenjang mulai dari lapisan/kelas atas hingga ke lapisan/kelas masyarakat usaha kelas bawah dalam upaya kampanye sadar pajak dan peduli pajak, disertai dengan contoh ketauladanan dari pejabat pemerintah maupun wakil-wakil rakyat yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (Pusat dan Daerah) untuk membayar pajak secara benar. Semua pihak harus berbenah diri tidak hanya bisa menyoroti pihak lain seperti peribahasa Indonesia mengatakan gajah di pelupuk mata tidak terlihat sedangkan semut di seberang lautan tampak. Sambil berjalan, masalah penegakan hukum (law enforcement) di bidang perpajakan kelihatannya masih berjalan di tempat dan ini satu lagi pekerjaan rumah pemerintah yang masih belum beresberes. Pemahaman masyarakat kebanyakan

ChairilAnwar Pohan, Perspektif Kepatuhan Pajak dalam Upaya Pemberantasan Korupsi

masih melihat pajak sebagai masalah administratif belaka. Itu sebabnya, masih sangat sulit untuk menjerat masyarakat yang tidak pernah membayar pajak. Permasalahan pajak harus lebih dilihat dari perspektif hukum tata negara, bukan lagi hukum administrasi negara. Dalam arti, jika terjadi pelanggaran, wajib pajak akan dikenai denda pidana yang lebih berat dan bukan lagi hanya masalah administratif berupa denda administratif yang ringan. Hambatan-Hambatan Pelaksanaan Pemungutan Pajak Dan Keterbukaan Informasi Tidak dapat dipungkiri bahwa sudah banyak usaha yang sudah dilaksanakan oleh pemerintah untuk meningkatkan penerimaan dari pajak, namun masih banyak ditemui hambatan-hambatan dalam pelaksanaan pemungutan pajak. Hambatan-hambatan tersebut antara lain adalah 1) Citra pajak yang negatif di masyarakat, 2) masih adanya citra aparatur yang tidak bersih, 3) Pelaksanaan yang tidak konsekuen, merata dan adil. Masih adanya kompromi-kompromi, 4) Kurang keterpaduan tindak antar instansi pemerintah sendiri dalam melaksanakan maupun mendorong pelaksanaan sistem perpajakan, 5) Kurangnya pengertian masyarakat mengenai pajak dan pungutan-pungutan resmi lainnya, yang dirasakan amat memberati, 6) Kurang adanya keteladanan pejabat-pejabat bayar pajak. Perlunya diadakan informan pajak dan pemberian insentif kepada mereka . Law enforcement harus terus dilaksanakan berkesinambungan secara adil, konsekuen dan tanpa kompromi. Informasi mengenai law enforcement ini juga harus dibukakan kepada pers. Diperlukan keterbukaan dan informasi mengenai pengelolaan uang dari penerimaan pajak sehingga terjadi mekanisme kontrol oleh masyarakat. Diperlukan keterbukaan dunia usaha terhadap pemerintah maupun pers dalam masalah perpajakan. Reformasi dan Kelemahan-Kelemahan dalam Administrasi Perpajakan Reformasi perpajakan membutuhkan penguatan-penguatan dalam tata kelola administrasi perpajakan sebagai instrumen penting yang mampu mewujudkan

terlaksananya fungsi-fungsi pajak baik fungsi budgetair yang dipergunakan sebagai alat untuk memasukan dana secara optimal ke kas negara berdasarkan undang-undang yang berlaku untuk membiayai pengeluaranpengeluaran negara dalam penyelenggaraan pemerintahan, maupun fungsi regulerend atau fungsi mengatur sebagai fungsi tambahan/pelengkap yang digunakan sebagai alat kebijaksanaan pemerintah. Sebagai fungsi utama, fungsi budgetair inilah yang secara historis pertama kali timbul, berdasarkan fungsi ini pemerintah memungut dana dari penduduknya untuk membiayai berbagai kepentingan negara. Untuk menegakkan fungsi budgetair ini, pemerintah melakukan penyempurnaan regulasi perpajakan dari berbagai jenis pajak, melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi dalam pemungutan pajak hingga pengenaan sanksi perpajakan. Bagi wajib pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya menurut undang-undang perpajakan, maka akan diancam pengenaan sanksi pidana. Untuk mewujudkan tata kelola administrasi perpajakan yang memenuhi prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih bukanlah persoalan sederhana, sebagaimana dikemukakan oleh Bahl (1991: 20). Persoalan administrasi perpajakan berkaitan dengan sumber daya manusia. Ditemukan kelemahan yang terdiri dari: 1) buruknya desain administrasi implementasi; 2) Implementasi dalam metode prosedur administrasi; 3) tidak tepatnya prosedur manajemen; 4) fasilitas yang tidak mencukupi; 5) kurangnya dukungan politik untuk menegakkan hukum yang adil; 6) lingkungan yang mendukung terjadinya perundingan, korupsi dan lainnya (rent seeking) (Summers et al., 1990:40, dalam Irianto, 2009:178). Kelemahan-kelemahan dalam administrasi perpajakan merupakan manifestasi dari implementasi sistem dan praktik politik dari sisi yang tidak favourable yang berkembang di tanah air ini, yang pada pokoknya disebabkan oleh tiga faktor mendominasinya, yakni faktor politik, faktor budaya dan faktor sumber daya manusia. Sistem dan praktik politik yang terjadi selama ini dalam kurun waktu lebih dari 30 tahun telah menciptakan suatu pusat kekuasaan dan otoritas yang dikuasai oleh 45

Prosiding Seminar STIAMI ISSN 2355-2883

sekelompok/golongan tertentu yang mengakibatkan tidak bekerjanya transparansi atau keterbukaan dan demokrasi dalam sistem administrasi perpajakan. Praktik-praktik penyimpangan pajak banyak berseliweran di tataran birokrat dan birokrasi serta para pengusaha menengah-besar tampak tanpa kendali yang mumpuni, yang resultante dari kebijakan yang dibuat bermuara pada tidak optimalnya penerimaan negara, tidak saja penerimaan dari sektor pajak tetapi juga dari sektor penerimaan bukan pajak (sumber daya alam). Menurut Nasucha (2004: 258-259), wajib pajak sebagai pihak aktor pajak akan patuh dalam menuaikan kewajiban pajaknya apabila lembaga perpajakan meningkatkan pelayanan disertai dengan penegakan hukum melalui audit kepatuhan. Banyaknya wajib pajak yang tidak mendaftarkan diri sebagai wajib pajak, padahal mereka termasuk kategori kelompok yang mempunyai kewajiban membayar pajak, disebabkan oleh pertama, rendahnya kepatuhan wajib pajak mendaftarkan diri. Dari 210 juta penduduk Indonesia pada 2002, jumlah wajib pajak orang pribadi dan badan yang terdaftar berkisar 2.583.960. Jumlah tersebut belum dapat mewujudkan pembagian beban pajak (tax burden) yang adil. Kedua, rendahnya kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban pelaporan surat pemberitahuan (SPT). Ketiga, rendahnya kepatuhan wajib pajak dalam perhitungan dan pembayaran pajak1. Keempat, rendahnya kepatuhan pajak dalam membayar tunggakan pajak. Pada umumnya, semua masyarakat menginginkan pemerintahan yang bersih bebas dari korupsi, masyarakat ingin agar sistem pemerintahan yang ada di negara ini harus berjalan dengan baik tanpa menimbulkan dampak negatif pada masyarakat. Terselenggaranya tata kelola pemerintahan yang baik atau “good governance” merupakan impian sekaligus ekpektasi semua bangsa di dunia. Filosofinya, reformasi melalui pelaksanaan good governance, upaya penciptaan aparatur pemerintah yang bersih, bebas dari tindakan yang tidak terpuji, keberpihakan pada kepentingan masyarakat, diharapkan dapat diwujudkan secara nyata sebagai dukungan yang kuat untuk 46

Volume I, No. 02, Oktober 2014

memperbaiki dan mengangkat harkat dan martabat bangsa kita menjadi bangsa dan negara yang maju dan terhormat di mata dunia. Impelementasi Prinsip-Prinsip Clean and Good Governance Clean and Good Governance sering digunakan sebagai standar sistem good local governance di katakan baik dalam menjalankan sistem desentralisasi dan sebagai parameter yang lain untuk mengamati praktik demokrasi dalam suatu negara. Para pemegang jabatan publik harus dapat mempertangung jawabkan kepada publik apa yang mereka lakukan baik secara pribadi maupun secara publik. Dengan penerapan Clean and Good Governance ini dapat dipastikan menjadi salah satu penangkal dalam upaya pemberantasan korupsi di tanah air ini. Lembaga Administrasi Negara (LAN) telah menyimpulkan sembilan aspek fundamental dalam perwujudan clean and good governance, yakni: 1) Partisipasi (Participation), 2) Penegakan hukum (Rule of law), 3) Tranparansi (Tranparency), 4) Responsive (Responsiveness), 5) Orientasi kesepakatan (Consensus Orientation), 6) Keadilan (Equity), 7) Efektifitas (Effectiveness) dan Efesiensi (Efficiency), 8) Akuntabilitas (accountability), 9) Visi strategi (Strategic Vision).(Sadamcenter.blogspot.com/2011/07/tat a-kelola-kepemerintahan yang baik). Menurut Nasucha, dari sejumlah wajib pajak yang melakukan penghitungan dan pembayaran perpajakannya pada tahun 2002 tercatat hanya 41.35 % (1.068.467 wajib pajak) dari keseluruhan wajib pajak efektif yang mengembalikan SPT (2.583.960 wajib pajak). Hal tersebut menunjukkan kepatuhan wajib pajak dalam menghitung dan melakukan pembayaran kewajiban pajaknya masih jauh dari persentase mereka yang terdaftar.(Irianto, 2009:180) Menurut UU KUP No. 6 Tahun 1983 yang terakhir telah diubah sebagaimana mestinya dengan UU No. 16 Tahun 2009, bahwa Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran

ChairilAnwar Pohan, Perspektif Kepatuhan Pajak dalam Upaya Pemberantasan Korupsi

rakyat. Dari aspek publik finance, perpajakan harusnya mendapat perhatian dengan tujuan agar manfaat pemungutan pajak dari masyarakat dapat dimonitoring dan dievaluasi, dan selanjutnya dilakukan tindakan refresif dan preventif agar penggunaan dana pajak tersebut tidak melenceng dari sasaran aplikasi/distribusinya. Proses selanjutnya adalah mengambil kebijakan publik yang transparan sehingga masyarakat wajib pajak dapat mengetahui dan merasakan langsung manfaatnya. Di era globalisasi yang menuntut pengelolaan keuangan negara yang lebih transparan secara demokratis, maka sudah selayaknya sebagai bentuk akuntabilitas pengelolaan keuangan negara yang bersumber dari pajak dengan penerapan Clean and Good Governance, agar para birokrat tidak hanya memanfaatkan masyarakat sebagai “sapi perahan” karena adanya undang-undang perpajakan yang melegitimasi pemungutan pajak dan memberikan otorisasi kepada fiskus untuk menarik pajak dari wajib pajak yang sifatnya dapat dipaksakan, sehingga tidaklah berlebihan bila masyarakat sebaliknya juga ingin lebih banyak akses untuk mendapat informasi dari pemerintah sudah sejauh mana kegunaan pajak yang mereka bayar ke negara itu telah dialokasikan untuk kepentingan rakyat banyak sesuai dengan pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, apalagi ditambah dengan pasal 34 yang menegaskan “ Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Senyatanya, kenyataan yang tercapai sekarang ini masih jauh dari harapan yang menjadi obsesi filosofis seperti yang dinukilkan diatas dalam lembar konstitusi negara kita. Masih ada keterkaitannya dengan kepentingan rakyat terhadap pajak tersebut berkenaan dengan opini yang berkembang di masyarakat, bahwa uang pajak tersebut banyak yang di salah gunakan oleh pengelola pajak. Korupsi dalam perpajakan dinilai telah terjadi secara menyeluruh, karena di samping hebatnya kolusi antara aparat perpajakan dengan

masyarakat pembayar pajak ditambah dengan maraknya penggelapan uang pajak oleh aparatur pemerintahan melalui rekayasa angka proyek publik. Dalam hal ini, negara banyak dirugikan akibat praktik-praktik pengelolaan pajak yang tidak transparan. Dalam kondisi semacam inilah diperlukan political will dari negara untuk menerapkan pola pengelolaan pajak yang berdimensi demokratis. (Irianto dan Syarifuddin Jurdi, 2005:101). Salah satu aspek yang fundamental dalam perwujudan clean and good governance adalah adanya partisipasi. Secara teoritis, pemungutan pajak dibangun atas dasar teori partisipasi. Sesuai falsafah Undang-Undang Perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Partisipasi rakyat memiliki peranan yang sangat penting untuk mendukung program pembiayaan pemerintah melalui APBN dalam penyelenggaraan negara. Partisipasi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kepatuhan (compliance). Tanpa partisipasi rakyat maka akan sulit bagi pemerintah untuk menjamin kelangsungan kegiatan pemerintahan dengan baik karena akan terganjal dengan hasil pemungutan pajak dari rakyat/wajib pajak akibat ketidakpatuhan mereka. Menurut penulis, partisipasi rakyat/wajib pajak harus dilihat dari dua mata pisau yang tajam: pertama, partisipasi dalam bentuk pemenuhan kewajiban perpajakan sebagai warga negara dan pembayar pajak yang sesuai dengan undang-undang dan, kedua, partisipasi dalam bentuk hak melakukan kontrol sosial terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang transparan, akuntabel dan efisien, yang dengan demikian rakyat sebagai wajib pajak harus diikut sertakan dalam proses implementasi kontrol sosial tersebut secara berkesinambungan. Pada gilirannya nilai-nilai yang terbentuk dari partisipasi rakyat tersebut akan dapat melahirkan kebijakan perpajakan yang aspiratif yang bisa memenuhi para stakeholders. Implementasi dan instrumen pengawasan atau kontrol rakyat harus ditegakkan sebagai perwujudan kontrol yang maksimal atas pengelolaan perpajakan atau implementasi kebijakan perpajakan yang dilakukan oleh 47

Prosiding Seminar STIAMI ISSN 2355-2883

pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak, untuk mengetahui sejauh mana anggaran pajak yang telah terkumpul dari rakyat yang berasal dari dana pajak yang diterima oleh pemerintah dimanfaatkan alokasinya dalam programprogram sosial kemanusiaan. Menyitir batasan pengawasan dari Newman (Muchsan, 2000: 37), bahwa pengawasan merupakan “Control is assurance that the performance conform to plan”. Pengawasan harus dipahami sebagai upaya bersama rakyat dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan seluruh kegiatan negara yang berkaitan dengan uang pajak, tujuannya agar dapat menjamin terlaksananya program-program sosial kemanusiaan rezim- guna memberikan jaminan sosial yang adil kepada rakyat-baik kepada pembayar pajak maupun yang memperoleh keadilan dari penggunaan kaum borjuasi yakni rakyat miskin (baik pedesaan maupun pinggiran perkotaan) (Irianto dan Jurdi, 2005:168). Bukan rahasia umum lagi bila di masa lalu bahkan masih saja berlanjut hingga ke masa kini bahwa banyak aparat pajak melakukan persekongkolan atau kolusi dengan wajib pajak dengan cara melakukan penggelapan pajak (tax evasion) demi untuk mendapatkan kekayaan pribadi yang melimpah, koleksi rumah mewah, mobil mewah, dan sebagainya. Kebocorankebocoran dalam sistem pengelolaan uang negara khususnya dalam sistem perpajakan dimungkinkan karena adanya ketertutupan dalam pengelolaan pajak yang sebenarnya sudah tidak zamannya lagi sekarang ini di negara kita yang bersendikan demokrasi. Kebijakan perpajakan harus aspiratif mengedepankan rakyat untuk menangkal praktik-praktik yang tidak terpuji dari para koruptor yang pada akhirnya akan merugikan masyarakat secara keseluruhan. Korupsi di sektor perpajakan menjadi perhatian publik sejak mencuatnya kasus korupsi yang dilakukan oleh dua oknum petugas pajak, yakni Gayus Halomoan Tambunan dan Dhana Widyatmika. Kedua kasus ini membuka “kotak pandora” praktik korupsi di sektor perpajakan yang selama ini hanya menjadi rahasia umum. Fenomena korupsi yang melanda bangsa ini juga menyulitkan distribusi yang merata terhadap sumber-sumber ekonomi secara adil. Dalam 48

Volume I, No. 02, Oktober 2014

praktiknya, penyakit korupsi ditularkan melalui dua mekanisme prosedur yakni prosedur resmi dan tak resmi. Dengan prosedur resmi dapat dilakukan melalui proyek-proyek pemerintah yang bisa dimenangkan oleh pengusaha-pengusaha spekulan dengan menyebar dana kepada pejabat-pejabat pemerintah dan anggota legislatif seperti yang terjadi pada kasus Hambalang yang melibatkan Andi Malarangreng dan Anas Purbaningrum. Cara tidak resmi masih dijumpai pada praktik gelap yang masih dijumpai pada oknum-oknum aparat pajak yang mengerjakan pembukuan dan SPT pajak para wajib pajak tertentu dengan mendapat imbalan tertentu dari pengusaha yang bersangkutan. Secara faktual hal semacam ini masih dijumpai dalam praktik perpajakan, sekalipun intensitasnya sudah berkurang, selain kondisi sosial politik yang semakin terbuka, juga dorongan kuat dari para pengelola pajak untuk mengurus uang rakyat sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Keterbukaan Pejabat dan Manfaat Langsung Membayar Pajak Lewis (1982) beranggapan bahwa sikap terhadap pemerintah akan menimbulkan kegairahan membayar pajak. Pemerintah yang menimbulkan perasaan pada rakyat bahwa pemerintah bersifat koersif, rakyat merasa tidak punya jalur untuk menyampaikan kata hatinya, dan rakyat merasa tersaingi dari pemerintah dalam beberapa hal, khususnya dalam penyusunan kebijakan perpajakan, akan membuat rakyatnya menghindari pembayaran pajak. Di Amerika Serikat, rakyat dapat langsung merasakan manfaat mereka membayar pajak. Misalnya penduduk dari negara bagian tertentu membayar murah untuk pelayanan yang mereka terima di negara bagian ditempat mereka hidup. Supaya kelihatan secara langsung kaitan antara pajak dengan pelayanan yang diterima, tampaknya perlu dijelaskan, bahwa pelayanan yang mereka terima adalah hasil pajak yang telah mereka bayar. Misalnya, kalau ada pembangunan jalan yang biayanya bersumber dari pajak, maka perlu dimumkan bahwa pembangunan tersebut dibiayai oleh uang pajak. Hal yang demikian menuntut adanya pemisahan antara biaya pembangunan yang

ChairilAnwar Pohan, Perspektif Kepatuhan Pajak dalam Upaya Pemberantasan Korupsi

bersumber dari pajak, dan yang bersumber dari sektor lainnya. Kejelasan kaitan antara pajak dengan hasil pembangunan harus dibuat sejelas mungkin di mata si pembayar pajak. (Ancok, 1990:106-107) Pejabat pemerintah adalah orang sering menjadi panutan masyarakat. Kalau sekiranya pejabat pemerintah ini dalam segala strata jabatannya telah membayar pajak dengan baik, maka besar kemungkinan masyarakat akan mengikuti jejak yang demikian. Dalam hal membayar pajak hendaknya ada keterbukaan. Di Amerika Serikat, rakyat dapat mengetahui berapa besar pajak yang dibayar oleh para Senator, Para Menteri dan pejabat lainnya. Stuart Henry dalam bukunya “The Hidden Economy” mengatakan bahwa bukan polisi dan bukan hukum yang mencegah terjadinya perilaku kriminal, tetapi masyarakatlah yang menjadi pencegah perilaku kriminal. Adanya kelompok-kelompok sadar pajak ini, maka diharapkan akan besar sumbangannya bagi peningkatan penghasilan dari sektor pajak, karena kebocoran pajak akan dibendung oleh kesadaran masyarakat itu sendiri. (Ancok, 1990:109). Dampaknya secara langsung atau tidak langsung, dari tindakan pejabat pemerintah yang menyiksa rakyatnya melalui komersialisasi jabatan, korupsi dan kebiasaan mempersulit segala urusan yang mudah, akan menyebabkan masyarakat tidak antusias membayar pajak. Landasan Hukum Pajak dalam Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Landasan hukum pajak dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi ditinjau dari pelanggaran UU Perpajakan adalah menggunakan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (UU KUP) dan Undang-undang Pajak Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh). Penentuan tentang siapa-siapa saja yang dikenakan pajak, apa-apa saja (jenis penghasilan) yang dikenakan pajak dan berapa besarnya jumlah pajak yang dikenakan, yang kita sebut dengan hukum pajak materiil diatur dalam UU PPh, sedangkan ketentuan yang mengatur tentang prosedur

pemenuhan kewajiban perpajakan beserta sanksinya yang kita sebut dengan hukum pajak formal diatur dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Dalam Pasal 35Ayat (1) UU KUP, dinyatakan bahwa dalam rangka pengawasan kepatuhan pelaksanaan kewajiban perpajakan sebagai konsekuensi penerapan sistem self assessment, data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan yang bersumber dari instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain sangat diperlukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Data dan informasi dimaksud adalah data dan informasi orang pribadi atau badan yang dapat menggambarkan kegiatan atau usaha, peredaran usaha, penghasilan dan/atau kekayaan yang bersangkutan, termasuk informasi mengenai nasabah debitur, data transaksi keuangan dan lalu lintas devisa, kartu kredit, serta laporan keuangan dan/atau laporan kegiatan usaha yang disampaikan kepada instansi lain di luar Direktorat Jenderal Pajak. Dalam keterkaitannya dengan hukum pajak tersebut diatas, salah satu tugas dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan berdasarkan UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dalam Pasal 12 huruf f menyatakan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait; sehingga tentunya diperlukan kerja sama dengan Direktorat Jenderal Pajak untuk dapat memberikan data wajib yang diperlukan olek KPK. Sedangkan menurut Pasal 34 Ayat (3) UU KUP dijelaskan bahwa untuk kepentingan negara, misalnya dalam rangka penyidikan, penuntutan, atau dalam rangka mengadakan kerja sama dengan instansi pemerintah lain, keterangan atau bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak dapat diberikan atau diperlihatkan kepada pihak tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Dalam surat izin yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan harus dicantumkan nama Wajib Pajak, nama pihak yang ditunjuk, dan nama pejabat, ahli, atau tenaga ahli yang diizinkan untuk memberikan keterangan atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak. Pemberian izin tersebut dilakukan 49

Prosiding Seminar STIAMI ISSN 2355-2883

secara terbatas dalam hal-hal yang dipandang perlu oleh Menteri Keuangan. Selanjutnya pada ayat (4) UU KUP menjelaskan bahwa untuk melaksanakan pemeriksaan pada sidang pengadilan dalam perkara pidana atau perdata yang berhubungan dengan masalah perpajakan, demi kepentingan peradilan, Menteri Keuangan memberikan izin pembebasan atas kewajiban kerahasiaan kepada pejabat pajak dan para ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) UU KUP (seperti petugas pajak, ahli bahasa, akuntan, dan pengacara yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak) atas permintaan tertulis hakim ketua sidang pengadilan. Dalam Pasal ini hanya menyebutkan bahwa pemberian izin pembebasan atas kewajiban kerahasiaan menyangkut antara lain a. SPT, laporan keuangan, dan lain-lain yang dilaporkan oleh wajib pajak; b. data yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan; c. dokumen dan/atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang bersifat rahasia; d. dokumen dan/atau rahasia wajib pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkenaan. Permasalahannya adalah bahwa pemberian izin pembebasan atas kewajiban kerahasiaan hanya diberikan pada pengadilan semata, sepertinya belum membuka akses bagi KPK untuk dapat memanfaatkan data wajib pajak guna kepentingan penyidikan terhadap wajib pajak. Oleh sebab itu, perlu suatu perubahan dalam UU Pajak tersebut agar akses tersebut tidak terganjal, mungkin solusinya dengan membuat suatu Perpu yang berkenaan. Melalui koordinasi yang baik diantara aparat penegak hukum baik KPK, Kejaksaan, POLRI dengan Ditjen Pajak dapat dicapai suatu mekanisme penanganan kasus pidana korupsi yang bernuansa pidana pajak. Begitu kasus korupsi yang menyangkut subjek pajak baik orang pribadi maupun badan mencuat maka segera diteliti pemenuhan kewajiban perpajakan oleh subjek pajak bersangkutan. Terlebih dahulu Ditjen Pajak meneliti status terdaftar sebagai wajib pajak sehingga mempunyai hak dan kewajiban dari sisi perpajakan. Apabila WPOP misalnya yang tersangkut kasus pidana korupsi ternyata dari sisi UU Perpajakan terbukti tidak memenuhi kewajiban diantaranya tidak mendaftarkan diri, 50

Volume I, No. 02, Oktober 2014

tidak mengisi SPT atau mengisi SPT tetapi isinya tidak benar, maka dengan segera DJP melalui Penyidik Pegawai Negeri Sipil selaku Penyidik Pajak segera bisa menjerat ke dalam kasus pidana pajak tanpa menunggu proses penyelesaian kasus pidana korupsi yang ditangani KPK. Pembukuan dan Pembuktian Timbulnya kasus korupsi bisa dicegah melalui adanya transparansi dalam dokumen pembukuan perusahaan. Sesuai dengan konvensi yang ditetapkan oleh Badan Anti Korupsi PBB atau United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) sebagaimana diringkas oleh Setyawati (2008: 10) bahwa pembukuan dan laporan keuangan perusahaan berperan penting dalam upaya pencegahan terjadinya tindakan korupsi di perusahaan. Indikator yang dapat menjadi petunjuk adanya tindakan korupsi adalah: 1) adanya catatan-catatan diluar pembukuan perusahaan, 2) adanya transaksi diluar pembukuan dan tidak teridentifikasi dengan jelas, 3) Pencatatan pengeluaran fiktif seolah-olah ada, 4) Pencatatan kewajiban (utang) yang fiktif tanpa disertai tujuan yang benar, 5) Penggunaan dokumen pembukuan yang palsu, 6) Pemusnahan dengan sengaja dokumen pembukuan yang lebih awal dari yang ditentukan oleh ketentuan Undang-undang (hukum). Produk pembukuan adalah laporan keuangan yang dapat digunakan oleh stakeholders untuk berbagai macam kepentingan. Persoalannya dan sudah menjadi rahasia umum adalah bahwa dalam praktiknya selama ini banyak perusahaan/orang pribadi yang membuat laporan keuangan komersial untuk kepentingan bank (guna pengajuan kredit bank) berbeda jumlahnya secara material dengan laporan keuangan untuk (lampiran) SPT Tahunan Pajak Penghasilan Badan/Wajib Pajak Orang Pribadi karena dimungkinkan ada faktor rekayasa atau manipulasi pajak. Oleh sebab itu pengawasan akan kebenaran penyelenggaraan pembukuan dan laporan keuangan tersebut harus dilakukan oleh pihak pemerintah berkolaborasi dengan pihak ketiga seperti Bank (pemberi kredit), dan lembaga-lembaga keuangan lainnya, untuk mendorong tingkat

ChairilAnwar Pohan, Perspektif Kepatuhan Pajak dalam Upaya Pemberantasan Korupsi

kepatuhan wajib pajak lebih meningkat. Dengan cara ini akan tercapai suatu kondisi pengungkapan transparansi informasi yang dapat mencegah orang/badan berbuat curang (fraud) yang bermuara pada tindakan korupsi yang berkesinambungan. Pada dasarnya, dari sudut pandang peraturan perundang-undangan perpajakan, orang yang korupsi dapat dijerat melalui pembuktian (antara lain melalui pembukuan/pencatatan yang memiliki supporting documents yang valid) bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana fiskal. Permasalahan utama adalah bagaimana menerapkan ketentuan UU Perpajakan supaya uang hasil korupsi tersebut dapat menjadi sumber penerimaan Negara. UU Pajak No 28 Tahun 2007 tentang KUP Pasal 38, 39 telah memberi ruang yang cukup untuk menjerat kasus pidana pajak dengan ancaman penjara maksimal enam tahun penjara dan denda paling tinggi empat kali jumlah pajak yang terutang. Proses penanganan kasus pidana pajak dapat dilaksanakan secara simultan tanpa menghentikan penanganan kasus pidana korupsi sehingga pemerintah dapat mempercepat upaya penyelamatan keuangan negara yang diperoleh dari kasus pidana pajak. Seorang subjek pajak dalam negeri (Pasal 2 ayat (2) dan (3) UU KUP) akan menjadi wajib pajak apabila memperoleh penghasilan melebihi penghasilan tidak kena pajak (PTKP) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU PPh. Otoritas Perpajakan dapat segera menelusuri ketidaksinkronan antara SPT WP Orang Pribadi yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi dengan sinyalemen kepemilikan dana hasil korupsi yang ditemukan oleh penyidik KPK dan Kejaksaan. Selanjutnya Ditjen Pajak dapat memilih apakah melakukan penyidikan terhadap indikasi ketidakbenaran SPT yang dilaporkan oleh terdakwa korupsi yang selanjutnya diarahkan dan disidik dengan ancaman pidana penjara dan mengganti kerugian Negara sesuai pasal 38 dan 39 UU KUP. Sebaliknya dengan alasan kepentingan penerimaan Negara maka kasus penyidikan pidana pajak dapat dihentikan dan dilanjutkan dengan penerbitan Surat ketetapan pajak untuk mengganti jumlah nilai kerugian Negara. Sejak dimulainya penyidikan sampai dengan pemberkasan hingga penuntutan dan

penjatuhan vonis, proses pengungkapan kasus korupsi membutuhkan waktu cukup panjang, ditambah lagi masa persidangan yang dapat berlarut-larut sampai keputusan yang tertinggi peradilan mempunyai kekuatan yang tetap. Sedangkan di sisi lain, tujuan utama pemberantasan korupsi untuk menyelamatkan asset Negara yang hilang tidak mampu dihasilkan oleh pengungkapan kasus pidana korupsi oleh aparat hukum. Untuk mengisi kekosongan ruang penyelamatan kerugian Negara dibutuhkan suatu terobosan aturan dan Undang-undang yang mampu mendorong sistem pengungkapan kasus korupsi mengutamakan juga upaya penggantian kerugian Negara yang hilang. Di sinilah peran Undang-Undang Perpajakan dapat memberi kontribusi untuk kepentingan penyelamatan kerugian Negara. Pelaku korupsi dapat dijerat dengan Undang-undang Pajak sebagai pelaku pidana pajak sehingga lebih mudah untuk langkah penyelamatan kerugian Negara. Walaupun penyelesaian kasus korupsi memakan waktu lama, namun disisi lain upaya menagih hasil korupsi yang ditempuh dari penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atas penghasilan koruptor akan lebih mudah/cepat untuk diaplikasikan. Aparat pajak dapat membidik sumber uang diperoleh oleh koruptor dan menempatkan sebagai sumber penghasilan yang menjadi objek pajak penghasilan sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (1) dan ayat (3) UU PPh tanpa melihat apakah sumber penghasilan tersebut halal atau hasil korupsi. Namun upaya menjerat pelaku korupsi ke dalam ranah perpajakan tidak mudah dilaksanakan. Para ahli hukum dan pihak yang berperkara akan memempertahankan penanganan proses peradilan koruptor hingga selesai dalam proses Criminal Justice System mulai peradilan tingkat pertama (pengadilan negeri) hingga proses Kasasi ke Mahkamah Agung yang memakan waktu lama. Disinilah diperlukan kearifan berbagai pihak instansi terkait untuk merumuskan pemikiran alternatif penyelesaian kasus korupsi menjadi kasus penagihan dengan SKP sesuai Undang-undang Pajak. UU Tindak Pidana Korupsi sendiri sebagaimana diatur dalam Undang-undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan 51

Prosiding Seminar STIAMI ISSN 2355-2883

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengharuskan kepada terpidana korupsi untuk membayar ganti rugi disamping menjalankan hukuman pidana penjara. Sehingga disinyalir akan memperpanjang kerumitan penanganan pidana korupsi yang dibidik sekaligus dengan pengenaan penagihan pajak dengan UndangUndang Perpajakan. Persoalannya, mana yang didahulukan apakah memberantas pidana korupsi atau mendapatkan penerimaan Negara lebih cepat masuk ke kas Negara dari hasil korupsi yang dilakukan oleh koruptor. Sebagian pakar berpendapat agar kasus pidana korupsi sebaiknya tidak diarahkan menjadi kasus pidana pajak karena bertele-tele dan melelahkan dan mungkin akan mengalami jalan buntu dalam penyelesaiannya yang memakan waktu lama. Melalui penerapan mekanisme Undang-undang Pajak yaitu UU KUP dan UU PPh dalam mekanisme sistem perpajakan berdasarkan self assesment sudah cukup untuk menjerat pelaku korupsi ke dalam proses penagihan utang pajak yang belum dilaporkan. Walaupun si terdakwa pidana korupsi belum terdaftar sebagai wajib pajak, maka aparat pajak dapat menetapkan secara jabatan apabila ditemukan adanya sumber penghasilan yang telah berjumlah lebih besar dari Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU PPh. Persoalan lainnya adalah apabila kasus pidana korupsi diarahkan menjadi kasus penagihan pajak maka pertanyaan adalah apakah kasus pidana korupsi dapat serta merta dihapuskan demi penyelesaian kasus penagihan pajaknya? Penyelesaian Kasus Korupsi melalui Penyidikan Pidana Pajak Penyidikan pidana pajak merupakan upaya terakhir (ultima remedium) dari serangkaian proses penegakan hukum (law enforcement) Undang-Undang Pajak Indonesia yang didasarkan pada filosofi self assessment. Definisi penyidikan pajak sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 31 UU KUP adalah ”serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya”. Proses penyidikan pidana pajak didahului oleh tindakan 52

Volume I, No. 02, Oktober 2014

pemeriksaan bukti permulaan untuk mendapat bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana dibidang perpajakan. Sebagai rangkaian dari penegakan hukum terlihat bahwa pemeriksaan bukti permulaan merupakan awal penentuan penyelesaian sengketa administrasi pajak menjadi sengketa pidana. Suatu kasus pelanggaran yang memenuhi kriteria pelanggaran pidana pajak sesuai pasal 38 dan 39 UU KUP baru bisa dilanjutkan ke tingkat penyidikan apabila tersangka tidak mampu membayar jumlah taksiran kerugian negara berikut sanksi empat kali lipat sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 B UU KUP. Pasalnya, demi tujuan penerimaan negara, sehingga tujuan penegakan hukum termasuk penyidikan pajak seolah-olah dikesampingkan dan dapat dihentikan. Hukum pajak melalui penerapan Undang-Undang Pajak bukan untuk memenuhi penjara dengan pelanggar UU Pajak melainkan menuju manfaat kepentingan optimalisasi penerimaan Negara. Berdasarkan permohonan WP atau kuasa sesuai ketentuan pasal 44 B UU KUP, sepanjang kasusnya belum dilimpahkan ke pengadilan umum setelah membayar atau melunasi terlebih dahulu pokok pajak berikut denda 4(empat) kali lipat tanpa menunggu diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak. Kemudian Dirjen Pajak mengusulkan ke Menteri Keuangan untuk meneruskan ke Jaksa Agung yang menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan. Tentunya hal ini menimbulkan perbedaan penanganan antara kasus pidana pajak dan kasus pidana korupsi perihal penghentian penyidikan. Dalam proses penghentian penyidikan pajak secara otomatis akan menghilangkan tuntutan hukum setelah Wajib Pajak melunasi tuntutan kerugian Negara. Sesuai dengan analisis Burton, Richard dan Ilyas Wirawan (2008:158-159) yang mempertanyakan kemungkinan terjadinya persepsi yang berbeda dalam mengintreprtetasikan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat apabila kasus pidana pajak serta merta dihentikan setelah adanya pelunasan pokok pajak berikut denda oleh wajib pajak. Dilema yang dihadapi adalah bahwa di satu sisi akan terdapat kepastian hukum berupa penyelesaian penagihan pajak melalui Undang-

ChairilAnwar Pohan, Perspektif Kepatuhan Pajak dalam Upaya Pemberantasan Korupsi

undang Pajak namun disisi lain akan mengusik rasa keadilan di dalam masyarakat. Sesuai dengan pendapat Prodjodikoro, Wirjono (Burton, Richard dan Ilyas Wirawan, 2008:159) mengemukakan bahwa tujuan dari hukum pidana termasuk penerapan hukum pidana korupsi adalah untuk memenuhi rasa keadilan. Lebih lanjut diuraikan bahwa penyelesaian tindak pidana dengan hanya melunasi denda ditambah sanksi administrasi akan menimbulkan preseden kepada masyarakat untuk menyelesaikan perkara korupsi dengan penyelesaian sanksi administrasi tanpa menjalani hukuman penjara. Pemerintah sepertinya mementingkan aspek penerimaan Negara sebagai prioritas dalam penanganan kasus pidana pajak walaupun tidak mengesampingkan pengenaan sanksi pidana. Sesuai dengan tujuan hukum menurut pendapat Gustav Radbruch dalam Burton, Richard dan Ilyas Wirawan (2008:160) yaitu mencapai suatu kepastian, keadilan dan kemanfaatan, Tampaknya hukum pajak lebih dominan menyelesaikan kasus pidana pajak dengan tujuan memberi kepastian dan kemanfaatan yaitu kepastian tercapainya penerimaan Negara dari sektor pajak. Dengan kata lain, Undangundang Pajak memberi peluang yang seluasluasnya kepada otoritas pajak qq Dirjen Pajak untuk lebih mengedepankan pengenaan sanksi administrasi dari pada pengenaan sanksi pidana kepada wajib pajak yang melanggar ketentuan Undang-undang Pajak. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif, yakni suatu metode yang digunakan untuk menemukan pengetahuan terhadap subjek penelitian pada suatu saat tertentu. Penelitian kualitatif deskriptif berusaha mendeskripsikan seluruh gejala atau keadaan apa adanya pada saat penelitian dilakukan. (Mukhtar, 2013:10-11). Pendekatan kualitatif menerapkan paradigma naturalistik yang tujuannya adalah memahami secara mendalam makna yang terkandung dan kategori-kategori atau entitas-entitas yang terkait dengan isu konsep penelitian, pada hakikatnya mutual simultaneous shaping “saling memperkuat”. Penelitian naturalistik adalah penelitian deskriptif yang mengungkap realitas secara

alamiah apa adanya, sekalipun demikian dia tetap saja memberikan makna dibalik peristiwa alamiah yang ditunjukkan subjek. Prinsip penelitian ini menekankan perilaku sosial dan makna di balik tindakan sosial (Mukhtar, 2013:36). Sedangkan teknik pengumpulan data menggunakan teknik wawancara dengan informan. SIMPULAN Penelitian ini ditutup dengan kesimpulan sebagai berikut: 1) Menerapkan prinsip good corporate governance dalam tata kelola pemerintahan dengan memperjelas reward and punishment serta tanggung jawab pekerjaan adalah suatu keharusan sebagai upaya pemberantasan korupsi; 2) Mengefektifkan sosialisasi pencegahan korupsi kepada kalangan masyarakat terutama pelajar/mahasiswa untuk dapat mendorong langkah pencegahan korupsi yang lebih baik dari pada penindakan; 3) Tingkat kesadaran membayar pajak di Indonesia dari WPOP masih sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya (selain Myanmar), sehingga diperlukan program plan of action intensifikasi dan ekstensifikasi pajak yang tepat dari pemerintah khususnya kementerian keuangan secara terintegrated dengan kementerian lainnya untuk dapat menjaring wajib pajak baru lebih banyak dan wajib pajak yang efektif agar lebih meningkatkan kepatuhan materilnya (menghitung dan membayar pajak secara benar) sehingga diharapkan tax ratio dan tax coverage ratio makin meningkat; 4) Supaya kelihatan secara langsung kaitan antara pajak dengan pelayanan yang diterima, tampaknya perlu dijelaskan dan diumumkan, bahwa pelayanan yang diterima oleh rakyat adalah hasil pajak yang telah mereka bayar. Dengan demikian dituntut adanya pemisahan antara biaya pembangunan yang bersumber dari pajak, dan yang bersumber dari sektor lainnya; 5) Pembukuan dan laporan keuangan perusahaan berperan penting dalam upaya pencegahan terjadinya tindakan korupsi di perusahaan. Pengawasan akan kebenaran penyelenggaraan pembukuan dan laporan keuangan tersebut harus dilakukan oleh pihak pemerintah berkolaborasi dengan pihak ketiga seperti Bank (pemberi kredit), dan lembaga-lembagan 53

Prosiding Seminar STIAMI ISSN 2355-2883

keuangan lainnya, untuk mendorong tingkat kepatuhan wajib pajak lebih meningkat; 6) Pemberian izin pembebasan atas kewajiban kerahasiaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) UU KUP hanya diberikan pada pengadilan semata, sepertinya membatasi akses bagi KPK untuk dapat memanfaatkan data wajib pajak guna kepentingan penyidikan terhadap wajib pajak. Hal ini perlu suatu perubahan dalam UU Pajak tersebut agar akses tersebut tidak terganjal, mungkin dengan membuat suatu Perppu yang berkenaan; 7) Untuk mencapai suatu kepastian, keadilan dan kemanfaatan, nampaknya hukum pajak lebih dominan menyelesaikan kasus pidana pajak dengan tujuan memberi kepastian dan kemanfaatan yaitu kepastian tercapainya penerimaan Negara dari sektor pajak. Sementara penyelesaian kasus korupsi di tingkat KPK hingga proses peradilan memakan waktu lama, namun proses penanganan kasus pidana pajak dapat dilaksanakan secara simultan tanpa menghentikan penanganan kasus pidana korupsi sehingga pemerintah dapat mempercepat upaya penyelamatan keuangan negara yang diperoleh dari kasus pidana pajak. Di sisi lain upaya menagih hasil korupsi yang ditempuh dari penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atas penghasilan koruptor akan lebih mudah/cepat untuk diaplikasikan; 8) Memberikan akses langsung kepada masyarakat pembayar pajak (melalui lembaga/institusi penegak hukum, yakni Kejaksaan, KPK, Kepolisian dan Badan Peradilan) untuk mengetahui dan mengontrol penggunaan pajak yang dilunasi, sehingga hal ini dapat memotivasi masyarakat untuk membayar pajak dengan benar (yang berarti tingkat kepatuhan pajak akan semakin meningkat) tanpa berupaya melakukan pengemplangan pajak; 9) Mensinkronisasikan langkah koordinasi antara instansi penegak hukum yang bertugas memberantas korupsi dengan Direktorat jenderal Pajak untuk mengedepankan penyelesaian pengusutan pemenuhan kewajiban perpajakan apabila seseorang atau perusahaan diduga melakukan tindak pidana korupsi. Mengedepankan upaya penerimaan Negara dari pengembalian kerugian Negara yang diindikasikan berasal dari tindak pidana pajak dengan menggunakan mekanisme 54

Volume I, No. 02, Oktober 2014

penghentian penyidikan sebelum dilakukan penuntutan oleh jaksa ke pengadilan umum yaitu sesuai pasal 44 B UU KUP; dan 10) Mengordinasikan penelitian/penyelidikan bersama antara KPK beserta aparat penegak hukum lainnya (Kepolisian dan Kejaksaan) yang sedang menangani kasus pidana korupsi dan Direktorat Jenderal Pajak mengenai kewajiban pemenuhan perpajakan dari tersangka korupsi untuk diteliti dan diarahkan penanganannya menjadi pidana pajak. DAFTAR KEPUSTAKAAN Ali, Mahrus. 2011. Hukum Pidana Korupsi Indonesia. Yogyakarta: UII Press. Alm, and Torgler. 2005. Culture Differences and Tax Morale In The United States and in Europe, Journal of Public Finance and Public Choice 19:143-168. Ancok Djamaluddin. 1990. Kenapa Orang Kurang Antusias Membayar Pajak, dalam Yozar Anwar(Ed.) Strategi Perpajakan Mendukung Pembangunan. Jakarta. PT. Bina Rena Pariwara, Benveniste, Guy. 1994. (Diterjemahkan oleh Sahat Simamora). 1997. Birokrasi [Bureaucracy]. Jakarta: Rajawali Press. Dye, Thomas R.2002. Understanding Public Policy, 10th edition. New Jersey: Prentice Hall Girsang, Juniver. 2012. Abuse of Power. Jakarta: JG Publishing. Ilyas,Wirawan B dan Burton,Richard. 2008. Hukum Pajak, Edisi 4. Jakarta: Salemba Empat. . Irianto, Edi Slamet dan Syafruddin Jurdi. 2005. Politik Perpajakan Membangun Demokrasi Negara. Yogyakarta: UII Press. Irianto, Edi Slamet. 2009. Pajak Negara Demokrasi dan Konsep Impelementasinya Di Indonesia. Yogyakarta: LaksBang Mediatama. James and Nobes.1997. The Economics of Taxation, Principle, Policy and Practice. Europe: Prentice Hall.

ChairilAnwar Pohan, Perspektif Kepatuhan Pajak dalam Upaya Pemberantasan Korupsi

Nandang Sudrajat. 2013. Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia .Yogyakarta:Pustaka Yustisia.

Kompas. 2014. Mengimbangi Progresivitas KPK(Tajuk Rencana Kompas, 4 Sept’14). Jakarta.

Nasucha, Chaizi. 2003. Pengaruh Reformasi Administrasi Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak. Disertasi S3 Ilmu Sosial Universitas Pajajaran.

Sadamcenter.blogspot.com/2011/07/tata-kelola-

Purnomo, Hadi. 2004. Reformasi Administrasi Perpajakan Dalam Heru Subiyanto dan Singgih Riphat(Ed.) Kebijakan Fiskal, Pemikiran, Konsep dan Implementasi. Editor, Jakarta: Kompas Rachbini, J. Didik. 2001. Ekonomi Politik Utang. Jakarta: Ghalia Indonesia. Setyawati, Deni. 2008. KPK Pemburu Corruptor .Yogyakarta: Pustaka Timar. Simanjuntak, Timbul Hamonangan dan Imam Mukhlis. 2012. Dimensi Ekonomi Perpajakan Dalam Pembangunan Ekonomi. Depok : Penerbit Raih Asa Sukses. Siagian, Sondang P. 1994. Patologi Birokrasi : Analisis, identifikasi dan terapinya. Jakarta: Ghalia Indonesia. Sommerfeld et al. 1994. Concept of Taxation. San Diego: The Dryden Press. The Encyclopedia Americana. International Edition.Volume 8. 1977, hlm.22. Corruption. New York, USA: Americana Corporation. Yunara, Edi. 2012. Korupsi & Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Bandung : PT.Citra Aditya Bakti. Wikipedia Encyclopedia Bebas Sumber Lain: Wahyu Yohan. 2014. DPR, Citra dan Politik Partai (Kompas, 1 Okt’14). Jakarta.

kepemerintahan yang baik. http://setabasri01.blogspot.com/2009/02/triaspolitika-pemisahan-kekuasaan. http://indotaxclear.blogspot.com/2009/03/peran -undang-undang-perpajakan. www.psychologymania.com/2013/01/jenisjenis-korupsi. Jaka Permana. 2014. STIAMI. 2014. Reformasi Birokrasi, Penyakit Birokrasi, dan Etika Administrasi, Suatu Pertanyaan Besar Dalam Transparansi, Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi, Volume VI, Nomor 01, Maret 2014. Transparency International Indonesia. 2008. Indeks Persepsi Korupsi 2008.http://Wikipedia.org Transparency International Indonesia.2009. Indeks Indonesia naik signifikan.http://www.ti.or.id Undang-Undang: Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001

FAJ. 2014. Tren Korupsi Naik Lagi (Kompas, 18 Agt’14). Jakarta.

55