Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 13, 2017, Banda Aceh, Indonesia
Pertukaran Kation pada Beberapa Jenis Tanah di Lahan Kering Kabupaten Aceh Besar Provinsi Aceh (Indonesia) 1*Sufardi, 2Lukman
Martunis, 1Muyassir
Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh 23111, Indonesia; 2 Mahasiswa Program Magister Konservasi Sumberdaya Lahan, Program Pascasarjana, Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh 23111, Indonesia. 1
*Corresponding Author:
[email protected] Abstrak Pertukaran kation merupakan fenomena penting untuk menilai kualitas dan tingkat kesuburan tanah. Studi lapangan dan analisis laboratorium telah dilakukan untuk mengetahui sifat-sifat pertukaran kation pada beberapa jenis tanah di lahan kering suboptimal Kabupaten Aceh Besar Provinsi Aceh (Indonesia) sebagai informasi dasar dalam perencanaan pengelolaan tanah. Observasi dilakukan pada enam jenis tanah yang terdapat di Kecamatan Jantho, Kecamatan Kuta Cot Glie, Kecamatan Lembah Seulawah dan Kecamatan Darussalam. Setiap jenis tanah diambil 5-10 sampel tanah lapisan atas (0-20 cm) pada 46 lokasi untuk dianalisis di laboratorium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lahan kering di Kabupaten Aceh Besar umumnya bereaksi agak masam hingga agak alkalis dengan pH bervariasi (5,53-7,89) sedangkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah bervariasi dari rendah hingga tinggi (11,9-35,3 cmol kg-1), sedangkan kejenuhan basa (KB) bervariasi dari rendah hingga sangat tinggi. Tanah Kambisol Haplik, Kambisol Distrik, dan Lithosol mempunyai KTK dan KB tanah yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai KTK dan KB pada Kambisol Eutrik, Andosol Umbrik dan Alluvial Eutrik. Walaupun terjadi perbedaan terhadap sifat-sifat pertukaran kation tanah, tetapi sebagian besar tanah pada lahan kering di Kabupaten Aceh Besar mempunyai status kesuburan yang rendah, sehingga perlu penambahan amelioran untuk memperbaiki kualitas tanah. Kata Kunci: Lahan kering, reaksi tanah, pertukaran kation, kesuburan tanah. Pendahuluan Kabupaten Aceh Besar (Indonesia) memiliki lahan kering seluas 89.134,34 hektar yang terbentuk atas beberapa jenis tanah seperti Podsolik, Kambisol, Aluvial, Litosol, Andosol, dan Renzina. Areal lahan kering tersebut sebagian telah dimanfaatkan sebagai lahan tegalan, ladang, kebun campuran, sawah tadah hujan, dan padang pengembalaan, tetapi masih luas juga yang hanya dibiarkan saja sebagai lahan terlantar. Produksi pertanian pada lahan kering jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan poduksi pertanian pada sistem lahan basah. Hal ini terjadi karena lahan basah umumnya memiliki tingkat kesuburan tanah yang relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan lahan kering. Abdurachman et al. (2008) menyatakan bahwa lahan kering umumnya memiliki tingkat kesuburan tanah yang rendah karena kadar bahan organik rendah. Sanchez (2004), menyatakan bahwa beberapa kendala utama pada sistem pertanian lahan kering di wilayah tropika basah antara lain reaksi tanah yang masam, kandungan C organik dan N rendah, kapasitas tukar kation dan kejenuhan basa rendah, fiksasi fosfat yang tinggi dan masalah erosi dan ketersediaan air. Gillman (1984) menyatakan bahwa tanah-tanah di iklim tropis tersebut digolongkan sebagai tanah dengan sistem muatan variabel dan A45
Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 13, 2017, Banda Aceh, Indonesia
memiliki aktivitas liat yang rendah (low activity clay). Liat aktifitas rendah disebabkan karena komposisi tanahnya tersusun atas fraksi-fraksi oksia dan hidroksida Fe dan Al yang mengandung muatan negatif rendah (Sufardi, 1999) sehingga salah satu ciri tanah yang demikian adalah mempunyai KTK rendah dan memiliki titik muatan nol (point of zero charge=PZC) tinggi (Bohn et al., 2005; Sposito, 2010). Titik muatan nol tinggi pada tanah-tanah di kawasan tropika disebabkan komponen penyusun tanah memiliki PZC yang tinggi akibat pelapukan yang intensif. Uehara dan Gillman (1981) menyatakan bahwa Intensitas pelapukan yang lanjut menyebabkan tanah tersebut didominasi oleh liat dengan aktivitas rendah karena tersusun dari mineral tipe 1:1 (kaolinit, haloisit) dan oksida-hidrat -Al dan -Fe sehingga tanah mempunyai kapasitas tukar kation yang rendah. Kelompok ini diwakili oleh tanah-tanah yang termasuk ke dalam ordo Oxisol, Ultisol, dan Alfisol (Theng, 1980). Komponen lain yang merupakan sumber muatan berubah adalah fraksi alumina-silikat amorf (alofan, imogolit, dan kompleks-humus -Al dan -Fe) yang diwakili oleh ordo Andisol dan Inceptisol serta fraksi campuran dari kaolinit, beidelit-smektit dan gibbsit yang diwakili oleh ordo Spodosol (Wada, 1986). Di sisi lain, bahan organik merupakan bahan yang memiliki titik muatan nol rendah, sehingga peran bahan organik di dalam tanah sangat penting untuk menjaga kualitas tanah terutama pada lahan-lahan kering suboptimal. Keberadaan bahan organik selain berfungsi menjaga kualitas tanah, juga dapat berfungsi untuk menurunkan titik muatan nol (PZC) sehingga dengan tingginya bahan organic, maka muatan koloid tanah menjadi bertambah dan meningkatkan KTK tanah (Uehara dan Gillman, 1981; Sufardi, 1999). Namun, persoalan pada lahan kering di iklim tropika adalah rendahnya bahan organik tanah (Sanchez, 2004; Sufardi et al., 2017). Secara alami kandungan bahan organik tanah di daerah tropis cepat menurun dan penurunannya mencapai 30-60% dalam waktu 10 tahun (Suriadikarta et al. 2002). Keadaan ini semakin memperburuk sifat-sifat pertukaran ion di dalam tanah. Hambatan utama dalam mendayagunakan lahan kering untuk pertanian adalah tingkat kesuburan tanah rendah disebabkan oleh kendala kimia yang membatasi pertumbuhan tanaman. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka untuk memperbaiki kualitas dan meningkatkan tingkat kesuburan tanah maka perlu dilakukan kajian awal terhadap reaksi tanah dan sifat-sifat pertukaran kation karena kedua hal ini sangat penting sebagai indikasi kesuburan tanah. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kemasaman tanah dan sifat-sifat pertukaran ion pada beberapa jenis tanah di lahan kering Kabupaten Aceh Besar Provinsi Aceh sebagai informasi dasar dalam menyusun strategi pengelolaan tanah. Bahan dan Metode Studi ini dilaksanakan di Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh pada bulan Juni sampai November 2015, menggunakan metode survai deskriptif yaitu melalui survai lapangan dan analisis laboratorium. Sampel tanah lapisan atas (0-20 cm) diambil pada 46 lokasi (sites) lahan kering yang dipilih secara perposif pada enam jenis tanah yang tersebar di Kecamatan Kota Jantho, Kecamatan Jantho Baru, Kecamatan Kuta Cot Glie, Kecamatan Lembah Seulawah dan Kecamatan Darussalam, Kabupaten Aceh Besar (Tabel 1). Identifkasi jenis tanah dilakukan dengan membuat profil tanah sedalam 125-150 cm sebagai pewakil atau sampai terdapat lapisan bahan induk. Untuk verifikasi jenis dan sebaran tanah dilakukan pengeboran tanah pada setiap titik pengamatan. Karakteristik kimia tanah yang dianalisis yang berkaitan dengan pertukaran kation adalah pH (H 2O), C organik (metode Walkley and Black), kapasitas tukar kation (KTK) dengan menggunakan metode 1N NH4COOCH4 pH 7, kadar kation basa tertukar yaitu Ca-tertukar (Ca-dd), Mgtertukar (Mg-dd), K-tertukar (K-dd) dan Ma-tertukar (Na-dd) yang diekstrak dengan 1N NH4COOCH4 pH 7, Jumlah kation basa, serta persentase kejenuhan basa atau KB = [(∑(Ca+Mg+K+Na)/KTK * 100%)].
A46
Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 13, 2017, Banda Aceh, Indonesia
Tabel 1. Deskripsi lokasi dan jenis tanah pada setiap titik pengambilan sampel di lahan kering Kabupaten Aceh Besar
Jantho Baru Jantho Baru
Kalsifikasi Tanah SNI (2014) USDA (2014) Kambisol Eutrik Typic Eutrudepts Podsolik Haplik Typic Hapludults
Jantho Baru
Kambisol Dystrik
Jalin Teureubeh
Lithosol Lihosol
T. Green land Cucum
Lithosol Podzolic Haplik
Rabo/ Naloi Kuta Cot Glie
Kecamatan
Lokasi/Desa
Jantho Baru
Jumlah Titik Sampel 4 5
Kambisol Distrik
Typic Dystrudepts Lithic Udorthents Lithic Udorthents Lithic Udorthents Typic Kandiudults Typic Dystrudepts
2 2 2 5 3 2
Sp. Wd Keliling
Kambisol Distrik
Typic Dystrudepts
6
Lembah Seulawah
BBH/ Saree
Andosol Umbrik
Typic Hapludands
5
Darussalam
Darussalam
Aluvial Eutrik
Typic Udifluvents
10
Kota Jantho
46
Total SNI = Sistem Klasifikasi Tanah Indonesia
Penamaan jenis tanah didasarkan pada dua sistem klasifikasi tanah, yaitu menurut Sistem Nasional Indonesia (SNI, 2014) dan Sistem Taksonomi USDA (2014). Interpretasi sifat-sifat pertukaran kation tanah didasarkan pada kriteria penilaian sifat kimia tanah menurut Pusat Penelitian Tanah (1985), sedangkan status kesuburan tanah dinilai dengan menggunakan parameter Kapasitas Tukar Kation (KTK), Kejenuhan Basa (KB), P 2O5 total, K2O total, dan kandungan C organik tanah. Data karakteristik kimia tanah di setiap jenis tanah diolah dengan menggunakan metode statistik deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Hasil dan Pembahasan Hasil identifikasi lapangan pada beberapa lokasi lahan kering di Kabupaten Aceh Besar terdapat enam macam tanah yaitu Kambisol Eutrik (Typic Eutrudepts), Kambisol Haplik (Typic Hapludults), Kambisol Distrik (Typic Dystrudepts), Litosol, Andosol Umbrik (Typic Hapludands), dan Aluvial distrik (SNI, 2014). Hal ini menunjukkan bahwa menurut Klasifikasi Tanah USDA (2014), beberapa lahan kering yang disurvai di Kabupaten Aceh Besar terdiri atas empat ordo tanah yaitu Inceptisols, Ultisols, Entisols, dan Andisols. A. Reaksi Tanah dan Pertukaran Kation Hasil analisis pH tanah dan beberapa sifat kimia tanah yang berkaitan dengan pertukaran kation disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2.
Rata-rata reaksi tanah dan sifat-sifat pertukaran kation pada beberapa jenis tanah di lahan kering Kabupaten Aceh Besar
Jenis Tanah
pH H2O
pH KCl
KTK
Kation basa (cmol/kg)
Ca-dd
Mg-dd
Kambisol Eutrik 6,35 AM 4,99 M 5,23 R 5,23 T M SM Podsolik Haplik 5,53 4,43 5,11 R 1,98 S Kambisol Distrik 6,01 AM 4,95 M 4,38 R 1,06 R SM AM 4,41 5,83 R 2,44 T Lithosol 5,98 AM M Andosol Umbrik 6,25 5,10 6,84 S 2,59 T AA N Aluvial Eutrik 7,89 6,90 8,23 S 5,14 T SR/R/S/T/ST = sangat rendah/rendah/sedang/tinggi/sangat AM/M/N/AA = agak masam/masam/netral/agak alkalis
A47
K-dd 0,21 R 0,07 SR 0,17 R 0,11 R 0,51 S 0,26 R tinggi
Na-dd 0,21 0,82 0,63 0,58 0,86 0,47
R T S S T S
cmol/kg 16,8 R 18,0 R 24,5 S 25,2 S 35,3 T 11,9 R
KB (%) 51,7 T 45,3 S 26,5 R 40,1 S 31,8 R 100 ST
Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 13, 2017, Banda Aceh, Indonesia
Kemasaman Tanah (pH) Tabel 1 memperlihatkan bahwa hasil analisis pH H2O tanah untuk setiap jenis tanah di lahan kering Kabupaten Aceh Besar ternyata sebagian besar jenis tanah yang terdapat pada sistem pertanian lahan kering rata-rata memiliki reaksi tanah masam hingga agak masam. Hal ini bermakna bahwa sebagian besar lahan kering di Aceh Besar bermasalah dengan kemasaman tanah karena pH tanah berada antara pH 5,53-6,35 (masam hingga agak masam). Menurut Sufardi (2012), suatu tanah dikategorikan sebagai tanah masam jika pH tanahnya (pH H2O) <6,50. Berdasarkan pendapat tersebut, maka lahan kering yang memiliki masalah dengan kemasaman tanah di Kabupaten Aceh Besar terdapat pada jenis tanah Podsolik Haplik, Kambisol Eutrik, Kambisol Distrik, Lithosol, dan Andosol Umbrik. Tabel 1 memperlihatkan bahwa tanah Aluvial Eutrik mempunyai reaksi tanah rata-rata 7,89 atau lebih besar dari 7,50 (agak alkalis). Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa hanya tanah Aluvial Eutrik saja yang tidak bermasalah dengan kemasaman tanah. Reaksi tanah (pH) merupakan karakteristik kimia tanah yang sangat penting diketahui karena implikasinya sangat luas terhadap kualitas tanah dan produktivitas lahan (Bohn et al., 2005). Reaksi tanah berhubungan erat dengan kelarutan unsur hara, toleransi tanaman, penyerapan hara, aktifitas mikoorganisme, dan fiksasi ion di dalam tanah (Sanchez, 2004; Foth, 2010; Havlin et al., 2010; Sufardi, 2012). Jika tanah bereaksi masam, maka sebagian tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik karena toleransinya berkurang (Foth, 2010), sedangkan jika tanah terlalu masam, maka sering terjadi keracunan Al dan Fe serta sering terjadi fiksasi anion seperti fosfat dan sulfat (Sanchez, 2004). Penyerapan hara dan pertumbuhan tanaman umumnya kurang optimal jika tanah bereaksi masam (Sufardi, 1999; Mengel dan Kikrby, 2007; Sufardi, 2012). Berdasarkan pendapat di atas, maka salah satu persoalan pada lahan kering di Kabupaten Aceh Besar adalah reaksi tanah yang masam. Permasalahan kemasaman tanah ini jika tidak diperbaiki dapat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman yang diusahakan pada lahan kering. Salah satu kendala yang sering ditemukan pada lahan kering yang bereaksi masam adalah tingginya kelarutan Al-tertukar (Al-dd) yang dapat menimbulkan racun pada tanaman khususnya tanaman yang tidak toleran seperti jagung, kedelai, dan kacang tanah (Fageria et al., 1988). Namun, berdasarkan hasil studi lapangan dan analisis terhadap Aldd tanah yang dilakukan oleh Sufardi et al., 2017, ternyata tidak ditemukan adanya indikasi keracunan Al, karena keracunan Al ini baru terjadi jika pH tanah <5,50. Sanchez (2004) menyatakan bahwa Al-dd akan berubah menjadi bentuk yang tidak larut [Al(OH) 3] jika pH di atas 5,5. Dengan demikian, maka pemberian kapur untuk menon-aktifkan Al-dd ini tidak diperlukan pada beberapa jenis tanah di lahan kering Aceh Besar. Perbandingan nilai pH tanah (pH-H2O dan pH KCl) pada beberapa jenis tanah di lahan kering Kabupaten Aceh Besar dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Perbandingan pH H2O dan pH KCl tanah pada setiap jenis tanah di lahan kering Kabupaten Aceh Besar A48
Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 13, 2017, Banda Aceh, Indonesia
Kadar Kation Basa (Ca, Mg, K, dan Na) Hasil analisis tanah terhadap kadar kation basa tertukar (Ca-dd, Mg-dd, K-dd, dan Na-dd) memperlihatkan bahwa secara umum kadar kation basa tertukar pada lahan kering Kabupaten Aceh Besar tergolong rendah terutama Ca-dd dan K-dd, sedangkan Mg-dd dan Na-dd umumnya sedang hingga tinggi. Variasi kadar kation-kation basa tersebut lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 1.
Aluvial Eutrik
Aluvial Eutrik
Aluvial Eutrik
Aluvial Eutrik
Gambar 2. Perbedaan kadar kation basa tertukar (Ca, Mg, K, dan Na) pada setiap jenis tanah di lahan kering Kabupaten Aceh Besar Kadar Ca-dd pada jenis tanah Kambisol Eutrik, Podsolik Haplik, Kambisol Distrik dan Lithosol rendah yaitu berkisar dari 4,38-5,83 cmol kg-1, sedangkan pada jenis tanah Andosol Umbrik dan Aluvial Eutrik tergolong sedang dan berkisar dari 6,84-8,23 cmol kg-1 (Tabel 2). Gambar 2 dapat dilihat bahwa kadar Ca-dd relatif tidak begitu variasi antara jenis tanah kecuali pada tanah Aluvial Eutrik. Berdasarkan data tersebut, maka permasalah defisiensi Ca mungkin akan ditemukan pada tanah Kambisol Eutrik, Kambisol Distrik, Lithosol, dan Podsolik Haplik. Kalsium (Ca) merupakan salah satu unsur hara berbentuk kation yang termasuk ke dalam unsur makro tanaman yang sangat penting bagi tanaman karena dapat berfungsi sebagai penyusun dinding sel dan menjaga elastisitas sel (Mengel dan Kikrby, 2007). Di dalam tanah, Ca-dd dapat berperan untuk mengimbangi pengaruh negatif dari kation Al, Fe, dan Mn (Sanchez, 2004). Jika kadar Ca-dd rendah, maka tanaman akan mudah terpengaruh oleh tingginya ion Al dan Fe sehingga dapat membahayakan pertumbuhan tanaman (Fageria et al., 1988). Oleh karena itu, maka pada lahan kering yang mengalami kekurangan Ca, diperlukan kapur atau bahan amelioran organik. A49
Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 13, 2017, Banda Aceh, Indonesia
Gambar 2 dapat dilihat ternyata kadar Mg-dd tanah sangat bervariasi antar jenis tanah dan berada pada kriteria rendah hingga tinggi dengan kisaran nilai 1,06-5,23 cmol kg-1. Nilai Mg-dd yang rendah hanya ditemukan pada tanah Kambisol Distrik saja sedangkan tanah lainnya sudah mencukupi (Tabel 2). Sebagai unsur makro sekunder, Mg juga sangat penting di dalam tanah dan tanaman. Magnesium berfungsi sebagai penyusun klorofil yang terlibat dalam berbagai sistem enzim tanaman (Mengel dan Kikrby, 2007). Di dalam tanah, Mg juga berperan sama seperti Ca yaitu selain sebagai sumber hara juga berguna untuk mengimbangi kelarutan Al dan Fe yang berlebihan pada tanah masam (Havlin et al., 2010). Namun berdasarkan hasil penelitian ini, maka pada lahan kering Aceh Besar relatif tidak bermasalah dengan Mg-dd. Gambar 2 juga dapat dilihat bahwa kadar K-dd tanah di lahan kering Kabupaten Aceh Besar bervariasi dari rendah hingga sedang, namun secara umum rendah dengan nilai berada antara 0,07-0,26 cmol kg-1 dan hanya pada jenis tanah Andosol Umbrik saja yang kadar Kdd sedang (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan kalium pada lahan kering di Aceh Besar menjadi masalah. Kalium merupakan salah satu unsur hara makro utama yang sangat penting bagi tanaman (Mengel dan Kikrby, 2007), sehingga jika K tersedia di dalam tanah rendah, maka tanaman akan terjadi defisiensi kalium (Sufardi, 2012). Selanjutnya dari tabel juga terlihat bahwa Na-dd tanah pada lahan kering di Kabupaten Aceh Besar ternyata cukup bervariasi antar jenis tanah dan berada pada kisaran rendah hingga tinggi. Ion natrium (Na+) bukanlah sebagai unsur hara esensial, tetapi keberadaan ion ini di dalam tanah perlu mendapat perhatian. Tanah yang baik adalah tanah yang mengandung Na-dd rendah atau < 1,0 cmol kg-1) karena jika konsentrasi ion Na tinggi, maka akan berpengaruh buruk pada tanah dan tanaman (Foth, 2010). Berdasarkan hasil analisis tanah ini, mka bahaya natrium pada lahan kering Kabupaten Aceh Besar relatif tidak ada. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikemukakan bahwa kadar kation basa pada lahan kering di Kabupaten Aceh Besar secara umum tergolong rendah, kecuali kation Mg. Berdasarkan hal ini, maka untuk mengatasi kendala rendahnya kation Ca dan K perlu diberikan pemupukan secara berimbang. KTK dan Kejenuhan Basa (KB) Tabel 2 memperlihatkan bahwa nilai KTK pada setiap jenis tanah di lahan kering Kabupaten Aceh Besar ternyata rata-ratanya berariasi dari 11,9-35,3 cmol kg-1 (rendah sampai tinggi). Nilai KTK rendah dijumpai pada tanah Kambisol Eutrik, Podsolik Haplik dan Aluvial Eutrik, sedangkan KTK sedang dijumpai pada tanah Kambisol Distrik dan Lithosol. Tanah dengan KTK tinggi hanya ditemukan pada jenis Andosol Umbrik. Berdasarkan fakta ini menunjukkan bahwa secara umum KTK tanah di lahan kering Aceh Besar adalah rendah hingga sedang. Bohn et al. (2005) menyatakan bahwa salah satu yang mempengaruhi nilai KTK tanah adalah kandungan humus tanah dan jenis mineral liat. Tanah yang didominasi oleh fraksi oksida-hidrat Al dan Fe biasanya memiliki muatan negatif yang rendah pada permukaan koloid (Sposito, 2010), sehingga nilai KTK tanah biasanya rendah. Kondisi ini sering ditemukan pada tanah-tanah mineral (lahan kering) yang terdapat di iklim tropika basah (Sufardi, 1999; Ali dan Sufardi, 1989; Sanchez, 2004). Sebaliknya, tanah-tanah yang memiliki bahan organik sedang hingga tinggi, biasanya memiliki KTK tanah yang relative lebih tinggi daripada tanah-tanah yang rendah bahan organik (Suriadikarta et al. 2002). Berdasarkan hal ini, maka penyebab rendahnya KTK tanah di lahan kering Aceh Besar adalah karena tanah-tanah tersebut memiliki kandungan bahan organik yang rendah sebagaimana dilaporkan oleh Sufardi et al., 2017. Kemungkinan penyebab yang kedua adalah tipe mineral liat tanah yang sangat boleh jadi tersusun atas fraksi-fraksi oksida Fe dan Al karena beberapa jenis tanah di lahan kering tersebut merupakan tanah yang telah berkembang seperti pada tanah Podsolik Haplik dan kambisol, namun hal ini dibuktikan dari hasil analisis mineral tanah. Selanjutnya, hasil perhitungan kejenuhan basa (KB) menunjukkan bahwa nilai KB tanah juga bervariasi antara jenis tanah. Persentase kejenuhan basa tanah ternyata tidak sejalan dengan KTK tanah. Menurut Foth (2010), nilai KTK tanah biasanya berkorelasi positif dengan kejenuhan basa (KB), karena semakin tinggi KTK berarti kadar kation basa dalam tanah akan semakin tinggi pula. Namun pada kasus A50
Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 13, 2017, Banda Aceh, Indonesia
tanah ini, ternyata tingginya KTK tidak selalu diikuti dengan makin meningkatnya KB tanah. Hal ini terjadi karena KTK yang dihitung di sini bukanlah KTK yang real (efektif), melainkan KTK potensial. Hal ini menunjukkan bahwa KTK pada tanah-tanah di daerah tropis tidak selalu menggambarkan jumlah kation yang dijerap tanah melainkan hanyalah sebagai KTK yang terbentuk dari muatan variabel (variable charge) dan tidak menggambarkan aktual kation yang dijerap pada permukaan koloid (Uehara dan Gillman, 1981; Wann dan Uehara, 1978). Tidak ada korelasi antara KTK tanah dengan KB pada tanah-tanah di lahan kering Aceh Besar lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 3.
Aluvial Eutrik Aluvial Eutrik
Aluvial Eutrik
Gambar 3. Rerata nilai KTK tanah dan kejenuhan basa (KB) tiap jenis tanah di lahan kering Kabupaten Aceh Besar B. Rasio Kation Basa Tertukar Hasil perhitungan rasio-rasio antara kation basa dan status kesuburan tanah disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan rasio-rasio kation dapat dikemukakan bahwa perimbangan antara kation basa pada berbagai jenis tanah pada lahan kering Kabupaten Aceh Besar secara umum kurang baik karena beberapa kation terjadi persaingan karena rasio molaritas kationnya tidak proporsional. Jones et al. (1991) menyatakan bahwa rasio yang ideal antara kation Ca/Mg = 2,5-6,0; Ca/K = 8-18; Mg/Na = 2-5; Mg/K = 2-6; dan K/Na = 3-8. Tabel 3.
Rasio kation-kation basa tertukar pada beberapa jenis tanah di lahan kering Kabupaten Aceh Besar
Jenis Tanah
Ca:Mg
Kambisol Eutrik 1,00 Podsolik Haplik 2,58 Kambisol Distrik 4,13 Lithosol 2,39 Andosol Umbrik 2,64 Aluvial Eutrik 1,60 Sumber : Data diolah (2016)
Ca:K
Mg:K
+ +
Mg:Na
24,9 + 24,9 + 24,9 + 73,0 + 28,3 + 2,41 25,8 + 6,23 1,68 + + 53,0 + 22,2 + 4,21 13,4 5,08 3,01 + 31,7 + 19,8 + 10,9 + +) Berpotensi terjadi kompetisi ion
K:Na 1,00 0,10 0,27 0,19 0,59 0,55
+ + + + + +
Kesuburan Tanah Rendah Rendah Rendah Rendah Tinggi Tinggi
Berdasarkan data rasio kation pada Tabel 3, maka dapat dikemukakan bahwa sebagian besar kation basa di dalam tanah ternyata melebihi atau kurang dari rentang yang ideal, sehingga kemungkinan terjadi defisiensi suatu kation akibat kompetisi ion pengimbangnya sangat mungkin terjadi. Jika dilihat secara lebih detail, tampak bahwa salah satu ion yang bias memberikan kompetisi terhadap sesama kation basa adalah Mg dan Na. Kadar Mg-dd dan Na-dd pada lahan kering Kabupaten Aceh Besar berada pada kriteria sedang hingga tinggi, sehingga akan bersaing dengan Ca, dan K yang kadarnya umumnya rendah. A51
Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 13, 2017, Banda Aceh, Indonesia
Persaingan tersebut akan menyebabkan terhambatnya penyerapan kalsium (Ca) dan kalium (K) oleh tanaman (Mengel dan Kikrby, 2007; Sufardi, 2012). Dengan demikian, maka penambahan amelioran dan pupuk yang proporsional sangat dibutuhkan untuk mengurangi tekanan akibat tingginya ion Mg dan Na. C. Status Kesuburan Tanah Tabel 3 terlihat bahwa dari enam jenis tanah di lahan kering Kabupaten Aceh Besar yang diteliti ternyata tingkat kesuburan dari empat jenis tanah (Kambisol Eutrik, Podsolik Haplik, Kambisol Distrik, Lithosol) tergolong dalam kriteria rendah, sedangkan dua jenis tanah lainnya (Andosol Umbrik dan Aluvial Eutrik) tergolong dalam kriteria tinggi. Faktor pembatas yang terdapat pada jenis tanah yang memiliki status kesuburan tanah rendah adalah kandungan C-organik rendah, kandungan P2O5 dan K2O rendah, serta kejenuhan basa rendah. Hasil penelitian ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Sufardi et al. (2017) yang menyatakan bahwa sebagian besar tanah-tanah pada lahan kering Kabupaten Aceh Besar memiliki tingkat kesuburan tanah yang rendah. Bahan organik dalam hal ini kandungan C-organik tanah sangat berperan terhadap kemampuan tanah untuk mempertahankan kesuburan dan produktivitas tanah melalui aktivitas mikroorganisme tanah. Bahan organik tanah merupakan elemen sentral dalam kesuburan tanah, produktivitas lahan dan kualitas lahan (Katyal dan Reddy, 2001; Agus et al., 2001; Tolaka, 2013) karena sangat berperan dalam menciptakan kondisi tanah yang subur. Bahan organik juga menjadi sumber utama pembentukan koloid humus (Sufardi, 2012). Kesimpulan (1) Lahan kering Kabupaten Aceh Besar memiliki reaksi tanah agak masam hingga masam dan mempunyai sifat-sifat pertukaran kation yang bervariasi tergantung jenis tanah. Kadar Ca-dd dan K-dd tanah umumnya rendah, sedangkan Mg-dd dan Na-dd sedang hingga tinggi. (2) Kapasitas tukar kation (KTK) tanah dan kejenuhan basa (KB) tanah bervariasi dari rendah hingga tinggi. Komposisi ion Mg dan Na yang tidak berimbang dapat berpengaruh terhadap penyerapan Ca dan K oleh tanaman. (3) Status kesuburan empat jenis tanah yaitu Kambisol Eutrik, Kambisol Haplik, Kambisol Distrik, dan Lithosol adalah rendah sedangkan Andosol Umbrik dan Alluvial Eutrik tergolong tinggi. Pada tanah dengan tingkat kesuburan rendah diperlukan penambahan bahan organik dan pemupukan yang berimbang. Ucapan Terimakasih Tim Penulis mengucapkan penghargaan kepada Proyek ACIAR No. SMCN/2012/103 yang telah memberikan dukungan terhadap terlaksananya penelitian ini. Daftar Pustaka Abdurrahman. A, Dariah, A., dan Mulyani, A. (2008). Strategi dan Teknologi Pengelolaan Lahan Kering Mendukung Pengadaan Pangan Nasional. Jurnal Balai Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor Agus, F., Noordwijk, M. V., dan Garrity, G. (2001). Technical and Institutional Innovations for Environmentally Sustainable Agriculture. International Center for Research in Agroforestry, Bogor. Ali, S.A., dan Sufardi. (1998). Pengaruh ukuran limbah eceng gondok dan CaCO3 terhadap ciri muatan koloid dan pelepasan fosfat tanah Ultisols. J. Agrista Fakultas Pertanian Unsyiah 2:87-99. Bohn, H.L., Mc Neal, B.L. and O'Connor, G.A. (2005). Soil Chemistry. John Wiley & Sons, New York. Fageria, N.K., Baligar, V.C., and Wright, R.J. (1988). Aluminum toxicity in crop plants. J. Plant Nutr. 11:303-319. A52
Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 13, 2017, Banda Aceh, Indonesia
Foth, D. (2010). Fundamentals of Soil Science. John Wiley and Sons, New York. Gillman, G.P. (1984). Using variable charge characteristics to understand the exchangeable cation status of oxic soils. Austr. J. Soil Res. 22:71-80. Havlin, J.L., Tisdale, S.L., Nelson, W.L., and Beaton J.D. (2010). Soil Fertility and Fertilizers.(6th edition). Prentice-Hall of India. Prt Ltd. New Delhi. Jones, J.B., Wolf, B., and Mills, H.A. (1991). Plant analysis handbook. A practical sampling preparation, analysis and interpretation guide. Micro-Macro Publ., Inc., Athens, GA. Katyal, J.C., Rao, N.H., and Reddy, M.N. (2001). Critical aspects of organic matter management in the Tropics: the example of India. Nutrient Cycling in Agroecosystems. Mengel, K., and Kirkby, E.A. (2007). Principles of Plant Nutrition. Inter. Potash Inst. Worblaufen-Bern/Switzerland. Mizota, C., and Van Reeuwijk, L.P. (1989). Clay mineralogy and chemistry of soils formed in volcanic material in diverse climatic regions. ISRIC, Wageningen, Netherlands. Sanchez, P.A. (2004). Properties and Management of soils in the Tropics. John Wiley & Sons, New York. SNI. (2014). Pedoman Teknis Klasifikasi Tanah Nasional. Balai Besar Penelitian Sumberdaya lahan Pertanian. Balitbang Pertanian, Bogor. Sposito, G. (2010). The chemistry of Soils. Oxford Univ. Press., London. Sufardi, Darusman, Zaitun, S. Zakaria, and T.F. Karmil. (2017). Chemical characteristics and status of soil fertility on some dryland areas of Aceh Besar District (Indonesia). Proceeding of International Conference on Sustainable Agriculture. Yogyakarta 1718, 2017. Sufardi. (1999). Karakteristika muatan, fisikokimia, dan adsorpsi fosfat pada Ultisol bermuatan berubah akibat pemberian kompos dan pupuk fosfat. Disertasi Doktor, Program Pascasarjana Unpad, Bandung. Sufardi. 2012. Pengantar Nutrisi Tanaman. Universitas Syiah Kuala. Bina Nanggroe. Banda Aceh. Suriadikarta, D.A., Prihatini, T., Setyorini, D., dan Hartatiek, W. (2002). Teknologi Pengololaan Bahan Organik Tanah hlm 339 – 358. Dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Theng, B.K.G. (1980). Soil with variable charge. Department of Scientific and Industrial Research. Soil Bureau, Lower Hutt, New Zealand. Tolaka. W. (2013. Sifat Fisik Tanah pada Hutan Primer, Agroforestri dan Kebun Kakao di Subdas Wera Saluopa. Desa Leboni. Kecamatan Pamina, Peselemba Kabupaten Poso. Jurusan Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Tadulako. Warta Rimba Vol. 1 No 1 Uehara, G., and Gillman, G.P. (1980). Charge characteristics of soils with variable and permanent charge minerals. Soil Sci. Soc. Am. J. 44:250-252. USDA (2014). Keys to Soil Taxonomy. Soil Survey Staff, USDA, Ames. USA. Wada, K. (1986). Ando soils in Japan. Kyushu Univ. Press. Tokyo, Japan. Wann, S.S., and Uehara, G. (1978). Surface charge manipulation of constant surface potential soil colloid. I. Relation to Sorbed Phosphorus. Soil Sci. Soc. Am. J. 42:565-570.
A53