ANALISIS KEANEKARAGAMAN BETA SPONGE (Porifera) DI PERAIRAN PULAU-PULAU KECIL SELAT BUTON KABUPATEN MUNA SULAWESI TENGGARA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana (S-1)
Oleh : EBIT YASAKTI F1D1 13 009
JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI JANUARI 2017
i
i
i
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunianya sehingga Skripsi dengan judul “Analisis Keanekaragaman Beta Sponge (Porifera) di Perairan Pulau - Pulau Kecil Selat Buton Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara” dapat terselesaikan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas karena adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya, penghargaan dan penghormatan kepada bapak Analuddin, S.Si., M.Si., M.Sc., Ph.D selaku pembimbing I dan bapak Drs. Nasaruddin, M.Si selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan positif kepada penulis. Ucapan rasa cinta, penghormatan dan penghargaan yang setingi-tingginya penulis tujukan kepada ayahanda LA SUNI dan ibunda tersayang NURLIA yang telah mendoakan, membesarkan dengan seluruh cinta dan kasih sayang dan memberikan segalanya yang tidak akan mungkin dapat tergantikan demi kesuksesan penulis. Terima kasih kepada adik-adikku, Elim Yazura, Emil Yafana, Nur Intan Asara, serta kepada Saban Rahim, S,Si., M.P.W, La Ode Abdul Anis, S.Pd, La Ode Sampone, La Ode Karae, La Ode Saete, Damlan, SP, Zamria dan keluarga yang tidak bias disebutkan satu-persatu, yang selalu memberikan nasehat, perhatian, kasih sayang, dorongan dan motivasi, atas segala dukungan dan bantuan
vi
selama penulis melaksanakan studi di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Halu Oleo. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini, terutama kepada: 1. Rektor Universitas Halu Oleo. 2. Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Halu Oleo. 3. Ketua Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Halu Oleo. 4. Kepala Laboratorium Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Halu Oleo. 5. Kepala UPT Laboratorium Dasar Universitas Halu Oleo 6. Kepala Perpustakaan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Halu Oleo. 7. Ibu Dr. Hj. Sitti Wirdhana Ahmad, S.Si., M.Si, selaku Penasehat Akademik penulis. 8. Seluruh Dosen Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Halu Oleo. 9. Tim penguji Bapak Dr. Jamili, M.Si, La Ode Siwi, S.P., M.Si, dan Dr. Hj. Sitti Wirdhana Ahmad, S.Si., M.Si. yang telah memberikan saran, kritikan, serta masukan positif yang sifatnya membangun. 10. Laboran Jurusan Biologi FMIPA UHO.
vii
11. Kakak-kakak senior yang telah memberikan banyak pelajaran tambahan : Alfirman, S.Si., M.P.W., La Ode Abdul Fajar Hasidu, S.Si., dan Irman, S.Si., 12. Kawan penelitian Sitti Amaliah Adriani, Alis Zarah dan Ahmad Sukrin 13. Teman-teman Biologi angkatan 2013 : Achmad Akbar Bafaddal, Clara Sesilia Mekuo, Umratul Hasanah, Misrawati M. Abdul, Yulianti, Harmawati Ane, dan semua yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dan menghibur penulis selama penelitian. 14. Adik Junior di Lab. Ekologi : Asrun Adiatma, Musdalifah, Diaz Eka Anjani, Harmonika, Alik Sander, La Ode Sahdan, Muhamad Faisal, yang selalu memberikan keceriaan, bantuan dan semangatnya. 15. Kakak-kakak senior angkatan 2012, 2011 dan junior angkatan 2014, 2015, 2016 yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan motivasinya. Penulis menyadari bahwa dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan hasil penelitian ini, sangat banyak kendala dan kekurangan, namun dengan bantuan berbagai pihak akhirnya dapat terselesaikan sebagaimana mestinya. Akhirnya penulis berharap semoga segala jenis bantuan yang telah diberikan bernilai ibadah dan mendapat pahala dari Allah SWT. Semoga hasil penelitian ini dapat menjadi sumber tambahan informasi ilmiah, terutama bagi yang membutuhkan Amin Yaa Rabbal ‘Alamiin.
Kendari, Januari 2017
Penulis
i vii
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN ABSTRAK ABSTRACT I.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Keanekaragaman Hayati B. Data Sebaran Sponge di Perairan Indonesia Timur C. Gambaran Umum Sponge D. Klasifikasi Sponge E. Morfologi Sponge F. Struktur dan Fungsi Tubuh Sponge G. Ekologi Sponge III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat B. Alat dan Bahan C. Jenis Penelitian D. Populasi dan Sampel Penelitian E. Definisi Operasional dan Indikator Penelitian F. Prosedur Penelitian G. Analisis Data IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian B. Parameter Faktor Lingkungan Perairan C. Komposisi Jenis Sponge di Perairan Pulau- Pulau Kecil D. Densitas, Frekuensi, Dominansi dan Indeks Nilai Penting
i viii
i ii iii iv v viii x xi xii xiii xiv 1 1 2 3 3 4 4 4 6 8 11 14 18 22 22 22 23 23 24 24 31 37 37 38 41 46
E. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Kemerataan (E) Jenis Sponge 50 F. Indeks Similaritas (IS) dan Indeks Disimilaritas (ID) 51 G. Pola Ordinasi Sponge ......................................................................... 52 V. PENUTUP 54 A. Simpulan 54 B. Saran 54 DAFTAR PUSTAKA 55 LAMPIRAN 59
ixi
DAFTAR TABEL No.
Judul
Halaman
1
Alat
22
2
Bahan
23
3
Parameter Faktor Lingkungan
38
4
Komposisi jenis sponge di perairan Pulau Koholifano
42
5
Komposisi jenis sponge di perairan Pulau Munante
43
6
Komposisi jenis sponge di perairan Pulau Bakealu
44
7
Kesamaan jenis sponge masing-masing pulau
45
8
Matriks Indeks Similaritas dan Indeks Disimilaritas
51
xi
DAFTAR GAMBAR
No.
Judul
Halaman
1
Gambar Sponge Kelas Hexactinellida
8
2
Gambar Sponge Kelas Demospongiae
9
3
Gambar Sponge Calcarea
10
4
Struktur sel sponge
12
5
Reproduksi seksual sponge
15
6
Cara pemasangan Transek Garis dan Plot Pengamatan
27
7
Bentuk penempatan plot pengamatan pada setiap transek
29
di perairan Pulau Koholifano 8
Bentuk penempatan plot pengamatan pada setiap transek
30
di perairan Pulau Munante dan Pulau Bakealu 9
Perbandingan Jumlah Famili dan Jenis Sponge
46
10
Histogram INP jenis sponge di perairan pulau
47
Koholifano 11
Histogram INP jenis sponge di perairan pulau Munante
48
12
Histogram INP jenis sponge di perairan pulau Bakealu
49
13
Histogram Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks
51
Kemerataan (E) 14
Grafik Ordinasi Sponge
54
15
Grafik Regresi antara Interval Ordinasi dengan Indeks
54
Disimilaritas
xii
DAFTAR LAMPIRAN No.
Judul
Halaman
1.
Peta Lokasi Penelitian
59
2.
Teknik Analisis Data
61
3.
Jenis Sponge yang ditemukan
67
4
Gambar Fasilitas dan Peralatan Dalam Penelitian
73
5
Gambar Kegiatan Pengambilan Data Lapangan
74
xiii
ANALISIS KEANEKARAGAMAN BETA SPONGE (PORIFERA) DI PERAIRAN PULAU-PULAU KECIL SELAT BUTON KABUPATEN MUNA SULAWESI TENGGARA Oleh : Ebit Yasakti F1D1 13 009
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman beta, sponge di perairan pulau-pulau kecil Selat Buton. Penelitian ini menggunakan metode transek dengan plot kuadrat (2x2m) yang diletakan secara purposif sejajar garis pantai. Jenis-jenis sponge dianalisis secara kuantitatif meliputi indeks nilai penting, indeks keanekaragaman, indeks similaritas dan disimilaritas serta analisis ordinasi. Hasil penelitian ditemukan 34 jenis sponge yang terdiri dari 19 famili dengan distribusi 28 jenis sponge di perairan Pulau Koholifano, 17 jenis di perairan Pulau Munante, dan 6 jenis di perairan Pulau Bakealu. Theonella sp. merupakan jenis sponge yang paling dominan dengan INP mencapai 202,26%. Indeks keanekaragaman jenis sponge tertinggi terdapat di perairan Pulau Koholifano dengan nilai (2,78). Indeks disimilaritas sponge meningkat seiring dengan bertambahnya jarak, sehingga keanekaragaman beta sponge di perairan pulau-pulau kecil Selat Buton Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara berasosiasi dengan heterogenitas lingkungan. Kata Kunci : Keanekaragaman beta, sponge, pulau-pulau kecil, Selat Buton
xiii i
ANALYSIS OF DIVERSITY OF BETA SPONGE (SPONGE) IN SMALL ISLANDS WATERS STRAIT BUTON MUNA DISTRICT OF SOUTHEAST SULAWESI by: Ebit Yasakti F1D1 13 009 ABSTRACT
The purpose of this study was to determine the beta diversity of sponge in the waters of small islands of Buton Strait. This study uses a transect method with plot of the squares (2x2m) purposively placed parallel to the shoreline. The types of sponge were analyzed quantitatively includes important value index, diversity index, similarity index and disimilaritas and ordination analysis. The research found 34 species of sponge consisting of 19 families with the distribution of 28 species of sponges in the waters of the Koholifano island, 17 species in the waters of the Munante island, and 6 species in the waters of the Bakealu island. Theonella sp. is a type of sponge that is most dominant with an important value index (202.26%). Species diversity index of sponge was highest in the waters of Koholifano island (2.78). Disimilarity index of sponge increases with distance, which indicated that beta diversity of sponge in the waters of small islands of Buton strait in Muna regency Southeast Sulawesi associated with environmental heterogeneity in this areas. Keywords: Beta diversity, Sponge, Small Islands, Buton Strait
xiv i
1
1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia
sebagai
negara
dengan
keanekaragaman
hayati
laut
(megabiodiversity) tertinggi di dunia, hal ini merupakan suatu potensi untuk dikembangkan dan dimanfaatkan untuk pembangunan bangsa Indonesia dan kesejahteraan
masyarakat.
Meskipun
demikian,
perlu
diketahui
bahwa
keanekaragaman hayati ekosistem laut saat ini telah mengalami penurunan yang signifikan secara global (Gaston, 2000; Pandolfi et al., 2003), sehingga perlu dilakukan perlindungan ekosistem laut yang efektif dengan skema konservasi dan sebagai pedoman pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan. Penaksiran keanekaragaman beta merupakan komponen utama terhadap survei kenekaragaman hayati yaitu perbandingan komposisi spesies yang menyusun dua tempat yang berbeda (Gray, 2000; Purvis, 2000). Keanekaragaman beta organisme laut dapat memberikan informasi mengenai hubungan lingkungan laut, hal ini sangat penting sebagai upaya konservasi lingkungan dan pembentukan perlindungan alam (Purvis, 2000; Cleary, 2003). Hubungan antara keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem menjadi hal yang paling menarik untuk menjelaskan pengaruh kehilangan keanekaragaman hayati terhadap proses-proses ekosistem. Dampak keanekaragaman hayati terhadap prosesproses ekosistem tergantung pada karakteristik fungsional suatu spesies serta interaksi diantara spesies-spesies yang menyusun suatu komunitas (Loreau, 2001). Perairan laut dangkal di daerah tropis dicirikan dengan ditemukannya hutan bakau (mangrove), padang lamun (seagrass beds) dan terumbu karang (coral reef).
1
2
Terumbu karang adalah suatu ekosistem yang terbesar pada perairan dangkal dan merupakan ekosistem yang sangat produktif serta menjadi habitat berbagai jenis sponge (Romimohtarto dan Juwana, 1999). Keberadaan sponge pada ekosistem laut merupakan indikator yang sangat potensial untuk pengembangan pesisir dan pulau- pulau kecil (Haris, 2013). Sehingga studi tentang ekologi sponge sangat penting untuk mengkaji status keberadaan dan peran-peran sponge pada produktifitas dan stabilitas ekosistem pesisir. Di beberapa wilayah Indonesia termasuk di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Kabupaten Muna masih minim informasi mengenai sponge. Keberadaan sponge di perairan sangat penting untuk dikaji, sebagai upaya merumuskan strategi pengelolaan dan pengembangan wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil, serta upaya konservasi. Oleh karena itu penelitian yang mengkaji tentang “Keanekaragaman Beta Sponge (Porifera) di Perairan Pulau-Pulau Kecil Selat Buton Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara” dilakukan. B. Rumusan Masalah Permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana komposisi jenis sponge di perairan pulau-pulau kecil Selat Buton Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara? 2. Bagaimana keanekaragaman beta sponge di perairan pulau-pulau kecil Selat Buton Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara?
3
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui komposisi jenis sponge di perairan pulau-pulau kecil Selat Buton Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara? 2. Untuk mengetahui keanekaragaman beta sponge di perairan pulau-pulau kecil Selat Buton Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara? D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai : 1. Informasi tentang komposisi jenis serta keanekaragaman beta sponge di perairan pulau-pulau kecil Selat Buton Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara? 2. Data base tentang sponge di wilayah Sulawesi Tenggara khususnya di perairan pulau-pulau kecil Selat Buton Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara, sehingga akan menjadi bahan pembanding bagi peneliti-peneliti selanjutnya yang relevan dengan penelitian ini.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Keanekaragaman Hayati Keanekaragaman hayati adalah variabilitas di antara makhluk hidup dari semua sumber, termasuk interaksi ekosistem terestrial, pesisir dan lautan serta ekosistem akuatik lain yang kompleks menjadi tempat hidup makhluk hidup menjadi bagiannya. Hal ini meliputi keanekaragaman jenis, antar jenis dan ekosistem. Pengertian yang lain, keanekaragaman hayati adalah ketersediaan keanekaragaman sumber daya hayati berupa jenis maupun kekayaan plasma nutfah (keanekaragaman genetik di dalam jenis), keanekaragaman antar jenis dan keanekaragaman ekosistem (Siluba, 1986). Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah semua kehidupan di atas bumi baik tumbuhan, hewan, jamur dan mikroorganisme serta berbagai materi genetik yang dikandungnya dan keanekaragaman system ekologi di mana mereka hidup. Termasuk didalamnya kelimpahan dan keanekaragaman genetik relatif dari organisme-organisme yang berasal dari semua habitat baik yang ada di darat, laut maupun sistem-sistem perairan lainnya (Castri, 1995). Keanekaragaman hayati merupakan istilah yang digunakan untuk derajat keanekaragaman sumberdaya alam hayati, meliputi jumlah maupun frekuensi dari ekosistem, spesies, maupun gen di suatu daerah. B. Data Sebaran Sponge di Perairan Kawasan Timur Indonesia Sponge atau porifera termasuk hewan hidup menetap pada suatu habitat pasir, batu-batuan atau juga pada karang-karang mati di dalam laut (Rizka, 2013).
5
Keragaman sponge di perairan Sulawesi cukup tinggi, terdapat sejumlah jenis sponge yang umum terdapat di semua lokasi yaitu Aaptos spp., Clathria vulpina, Callyspongia sp., Oceanopias sp., Petrosia sp., dan Xestospongia sp (Rahmat, 2007). Tabel 1. Keragaman Sponge di Perairan Kawasan Timur Indonesia Kelas Demospongiae (Rahmat, 2006) Sub Kelas Ordo Famili Spesies 1 2 3 4 Ceractinomorpha Poecilosclerida Raspailiidae Echinodictyum flabelliformis Aulospongus clathricides Microcionidae Clatrhia sp Rhabderemiidae Rhabderemia sorokinae Verongida Ianthellidae Ianthella basta Druinellidae Pseaudoceratina sp. Agelasida Agelasidae Agelas sp. Halichondria Halicondriidae Axinyssa sp. Reniochalina sp. Stylotella aurantium Spirastella cunctatii Dendroceratida Dysideidae Dysidea sp. Dysidea cf. frondosa Dysidea nigrescen Dictyonellidae Liosina sp. Liosina paradoxa Halisarcidae Halisarca sp. Haplosclerida Petrosidae Xestospongia sp Xestospongia testudinaria Xestospongia berquistia Petrosia sp. Neopetrosia longley Gellius arcuarius Niphatidae Cribrochalina sp.
6
Sub Kelas 1
Ordo 2
Famili 3
Callyspongiidae
Dyctyoceratida
Chalinidae
Phloeodictyidae Irciniidae Spongiidae
Axinellida
Thorectidae Axinellidae
Spesies 4 Cribrochalina olemda Galliodes fibulata Amphimedon sp. Callyspongia samurensis Callyspongia sp C. subarmigera C. conica C. azurea Sigmodesia amboinensis Katiba milnei Kallypelidiom sp. Kallypelidiom poseidon Haliclona sp. Haliclona clathrata Haliclona olivacea Stronglophora sp. Ircinia ramose Ircinia sp. Spongia sp. Phylospongia foliascens Coscinoderma sp. Hyrtios proteus Acanthella sp. Acanthella carteri Axynissa sp.
C. Gambaran Umum Sponge Sponge adalah salah satu hewan dari filum porifera. Sponge merupakan invertebrata laut yang hidup pada ekosistem terumbu karang (Suryati, 2000). Sponge merupakan biota laut multi sel yang fungsi jaringan dan organnya sangat sederhana (Amir, 1991). Habitat sponge umumnya adalah menempel pada pasir,
7
batu-batuan dan karang-karang mati. Biota laut ini dikenal dengan "filter feeders", yaitu mencari makanan dengan mengisap dan menyaring air melalui sel cambuk dan memompakan air keluar melalui oskulum, serta mendapatkan partikel-partikel makanan seperti bakteri, mikroalga dan detritus yang terbawa oleh aliran air (Amir, 1996). Adapun karakteristik sponge secara umum adalah memiliki bentuk tubuh yang tidak simetris, tubuh terdiri atas banyak sel, sedikit jaringan dan tidak ada organ tubuh. Sel dan jaringan mengelilingi suatu ruang yang berisi air tetapi sebenarnya tidak memiliki rongga tubuh, dan tidak memiliki sistem saraf. Semua spesies sponge bersifat sesil sebagai organisme dewasa, sedangkan pada tahap larva bersifat planktonik (Ramli, 2010). Habitat sponge yang melekat pada pasir atau bebatuan menyebabkan hewan ini sulit untuk bergerak. Suatu cara untuk mempertahankan diri dari serangan predator dan infeksi bakteri pathogen, sponge mengembangkan system "biodefense" yaitu dengan menghasilkan zat racun dari dalam tubuhnya, zat ini umumnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan farmasi (Motomasa, 1998). Tubuh sponge terdiri dari jelly seperti mesohyl yang terjepit di antara dua lapisan tipis sel. Sponge memiliki ciri yaitu tubuhnya berpori seperti busa. Di dalam tubuhnya terdapat rongga tubuh yang disebut spongosol. Sponge tidak memiliki saraf, pencernaan atau sistem peredaran darah. Sebaliknya, sebagian besar mengandalkan aliran air konstan melalui tubuhnya untuk mendapatkan makanan dan oksigen serta untuk menghilangkan limbah. Sponge hidup di air laut dan air tawar, tetapi kebanyakan hidup di laut mulai dari daerah perairan pantai yang
8
dangkal hingga kedalaman 1000 m. Hidupnya selalu melekat pada substrat (sesil) dan tidak dapat berpindah tempat secara bebas (Darmadi, 2011). D. Klasifikasi Sponge Spons merupakan kelompok hewan dari filum porifera yang terdiri atas tiga kelas, yaitu Hexactinellida, Demospongiae, dan Calcarea (Amir, 1996). 1. Hexactinellida (Hyalospongiae) Kelas Hexactinellida sering disebut dengan sponge gelas, dan kebanyakan hidup di laut dalam dan tersebar luas. Spikulanya terdiri dari silikat. Ujung spikula berjumlah enam seperti bintang, dimana masing-masing bidang terdapat dua jari-jari. Tubuhnya kebanyakan berwarna pucat dengan bentuk vas bunga atau mangkuk. Tinggi tubuhnya rata-rata 10-30 cm dengan saluran tipe sikonoid. Sponge dari kelas ini belum banyak dikenal, karena sulit didapatkan dan hanya terdapat di laut dalam (< 500 m). Contoh Hexactinellida adalah Euplectella (Amir, 1996). Gambar spons dari kelas Hexactinellida terlihat pada Gambar 1.
9
Gambar 1. Kelas Hexactinellida (Sumber: Haris, 2013).
2. Demospongiae Demospongiae adalah kelompok sponge yang paling dominan diantara beberapa kelas sponge yang lain. Kelas Demospongiae tersebar luas di alam, serta jumlah jenis maupun organismenya sangat banyak. Mereka sering berbentuk masif dan berwarna cerah dengan sistem saluran yang rumit, dihubungkan dengan kamarkamar bercambuk kecil yang bundar. Tubuh sponge ini berwarna cerah karena mengandung pigmen yang terdapat pada amoebosit. Fungsi warna diduga untuk melindungi tubuhnya dari sinar matahari. Spikulanya ada yang terdiri dari silikat dan ada dari beberapa ordo yaitu Dictyoceratida, Dendroceratida dan Verongida spikulanya hanya terdiri serat spongin, dan serat kollagen. Bentuk tubuh sponge ini tidak beraturan dan banyak yang bercabang. Tinggi dan diameternya ada yang mencapai lebih dari 1 meter (Suparno, 2005).
10
Habitat Demospongiae umumnya di laut dalam maupun dangkal, meskipun ada yang di air tawar. Demospongiae adalah satu-satunya kelompok porifera yang anggotanya ada yang hidup di air tawar. Demospongiae merupakan kelas terbesar yang mencakup 90% dari seluruh jenis porifera. (Hooper, 2002). Salah satu contoh Demospongiae adalah Stylotella aurantium. Gambar spons dari kelas Demospongiae terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Kelas Demospongiae (Dokumentasi)
3. Calcarea (Calcisspongiae) Calcarea merupakan sponge yang kesemua anggota kelasnya hidup di laut. Sponge ini mempunyai struktur sederhana dibandingkan jenis lainnya. Spikula terdiri dari kalsium karbonat dalam bentuk calcite dan tidak akan berdiri tegak tanpa adanya spikula atau sponging yang membentuk kerangka untuk menopang tubuhnya sehingga memungkinkan adanya saluran dan ruangan berflagela. Tubuhnya kebanyakan berwarna pucat dengan bentuk seperti vas bunga, dompet, kendi, atau silinder. Tinggi tubuh kurang dari 10 cm. Struktur tubuh ada yang
11
memiliki saluran air askonoid, sikonoid, atau leukonoid. Calcarea hidup di laut dangkal, salah satu contohnya yaitu sycon (Amir, 1996). Gambar sponge dari kelas Calcarea terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Kelas Calcarea (Sumber: Amir, 1996) E. Morfologi Sponge Bentuk tubuh sangat bervariasi yaitu ada yang menyerupai kipas, batang, terompet dan lainnya, hewan ini sebagian membentuk koloni yang sering tampak tidak teratur sehingga tampak sebagai tumbuhan. Warnanya bermacam-macam dan dalam tubuhnya mengandung ganggang yang memiliki warna dan mereka mengadakan simbiosis (Hooper, 2003). Sponge dapat berbentuk sederhana seperti tabung dengan dinding tipis, atau massif bentuknya dan agak tidak teratur. Banyak sponge juga terdiri atas segumpal jaringan yang tak tentu bentuknya, menempel dan membuat kerak pada batu, cangkang, tonggak, atau tumbuh-tumbuhan (Darmadi, 2011). Kelompok sponge lain mempunyai bentuk lebih teratur dan melekat pada dasar perairan melalui sekumpulan spikula. Bentuk dan ukuran jenis yang dimiliki sponge dapat beragam.
12
Beberapa jenis sponge ada yang berukuran sebesar butiran beras, sedangkan jenis yang lainnya bisa memiliki tinggi dan diameter hingga 2 meter. Beberapa jenis bercabang seperti pohon, lainnya berbentuk seperti sarung tinju, cawan, atau seperti kubah (Suharyanto, 1998). Morfologi luar sponge sangat dipengaruhi oleh faktor fisik, kimiawi, dan biologis lingkungannya. Spesimen yang berada di lingkungan yang terbuka dan berombak besar cenderung pendek pertumbuhannya atau juga merambat. Sebaliknya spesimen dari jenis yang sama pada lingkungan yang terlindung atau pada perairan yang lebih dalam dan berarus tenang, pertumbuhannya cenderung tegak dan tinggi (Voogd, 2005). Pada perairan yang lebih dalam sponge cenderung memiliki tubuh yang lebih simetris dan lebih besar sebagai akibat dari lingkungan yang lebih stabil apabila dibandingkan dengan jenis yang sama yang hidup pada perairan yang dangkal (Bergquist, 1978).
13
Gambar 4.Struktur sel sponge yang paling sederhana; a) oskulum; b) sel penutup; c) sel amoebosit; d) sel pori (porosity); e) pori saluran masuk (ostia); f) telur; g) spikula triaxon; h) mesohil; i) sel mesenkin; j) bulu cambuk (flagella); k) sel kolar (choanocytes); l) sklerosit; dan m) spikula monoaxon (Amir, 1996). Konsistensi tubuh sponge pada umumnya elastis seperti busa karet tetapi ada beberapa jenis yang agak keras dan agak rapuh. Tubuh sponge ini diperkokoh oleh suatu kerangka spikula yang mengandung kalsium karbonat atau silica dan juga didukung oleh kerangka serat-serat karatin atau spongin. Materi spongin khususnya pada tubuh sponge, sangat kenyal atau lembut dan tahan terhadap pembusukan, sehingga baik untuk bahan penggosok tubuh (Amir, 1996). Banyak sponge berwarna putih atau abu-abu, tetapi lainnya berwarna kuning, orange, merah, atau hijau. Sponge yang berwarna hijau biasanya disebabkan oleh adanya algae simbiotik yang disebut zoochlorellae yang terdapat
14
di dalamnya (Romimohtarto, 1999). Warna sponge tersebut sebagian besar dipengaruhi oleh fotosintesis makrosimbionnya. Makrosimbion sponge pada umumnya adalah Cyanophyta (Cyanobacteria dan eukariot algae seperti dinoflagellata atau zooxanthella). Beberapa sponge memiliki warna yang berbeda walaupun dalam satu jenisnya. Beberapa sponge juga memiliki warna dalam tubuh yang berbeda dengan pigmentasi di luar tubuhnya. Sponge yang hidup di lingkungan yang gelap akan berbeda warnanya dengan sponge sejenis yang hidup pada lingkungan yang cerah (Wilkinson, 1989). F. Struktur dan Fungsi Tubuh Sponge Struktur tubuh sponge terdiri dari dua lapisan yaitu epidermis dan endodermis. Epidermis (lapisan luar) terdiri dari sel-sel epitelium berbentuk pipih (pinakosit). Endodermis terdiri dari sel berflagela yang berfungsi mencerna makanan dan bercorong yang disebut sel leher atau koanosit. Diantara kedua lapisan itu terdapat bahan gelatin yang disebut mesoglea (Tanaka, 2002). 1. Sistem Kerangka Sponge Sistem kerangka Sponge terdiri dari kapur karbonat atau silikon dalam bentuk spinkula dari opal, yaitu suatu bentuk silika terhidrasi yang sama dengan kwarsa dalam reaksi kimia. Spikula bermacam-macam bentuknya karena berguna untuk menyusun sponge (Astro, 2013). Spongin dikeluarkan oleh sel berbentuk stoples yang dinamakan spongoblast, yakni sel penghasil spongin. Spikula yang tertimbun dalam sel-sel yang disebut scleroblast, yakni sel sponge yang dapat berkembangnya spinkula, dan lebih dari satu sel dapat mengambil
15
bagian dalam pembentukkan satu spikula. Kapur karbonat dan silikon di ekstrak oleh sel-sel dari air sekitarnya. Susunan serat-serat spongin dapat di amati dengan mudah dengan meletakkan sepotong sponge dibawah mikroskop. Sponge masif tak pernah berdiri berdiri tegak jika tidak karena adanya spinkula atau spongin yang membentuk kerangka, yang menopang tubuh, sehingga dapat berdiri tegak, dan mencegahnya rontok seonggok bahan kental seperti agar-agar yang tidak memungkinkan adanya suatu saluran dalam ruang-ruang berflagella (Romimohtarto, 1999). Sponge dari jenis Mycale hidup bersimbiosis dengan karang, dimana sponge tersebut hidup dalam rongga karang tersebut (Aerts, 1998). Sedangkan sponge pengebor seperti Cliona hidup dengan substrat berkapur, seperti cangkang moluska, karang dan coralline algae. Sponge pengebor dapat menyebabkan bioerosi terhadap karang (Wilkinson, 1989). Tetapi ada beberapa jenis sponge yang dapat mengikat beberapa patahan-patahan karang sampai tumbuh menjadi karang baru (Wulff, 1984). 2. Sistem Reproduksi Sponge Umumnya hewan sponge berkelamin ganda (hermaprodit), tetapi memproduksi sel telur dan sel spermanya pada waktu yang berbeda. Hewan ini dapat juga berkembangbiak (reproduksi) secara aseksual (fragmentasi) (Amir, 1996).
16
Gambar 5. Reproduksi seksual sponge (Sumber: Amir, 1996). Sponge dalam proses reproduksi seksual amoebosit menjadi arkeosit penghasil sperma dan ovum, melebur menjadi zigot amfiblastula selanjutnya menjadi porifera dewasa. Hewan ini membutuhkan air yang mengalir untuk membantu pertemuan sperma dengan telur. Pejantan melepaskan spermnya melalui oskula, kemudian mengalir dan masuk ke dalam saluran (ostia). Kemudian sperma tersebut di tangkap oleh “Chaonocyte” dan bertemu dengan telur dalam mesohil (Gambar 5). Pada jenis sponge yang ovipar, telur yang telah dibuahi dikeluarkan dari tubuh sponge dan kemudian menetas, sedangkan, pada jenis sponge vivipar, larva sponge dikeluarkan dari tubuh sponge dan berenang dengan bulu getarnya selama selang waktu tertentu sampai mendapat tempat menempel yang sesuai (Kawaroe, 2009). Larva dari kelas calcarea disebut “amphiblastula”, sedangkan
17
larva dari Kelas Demospongia disebut “parenchymula”. Setelah menempel, larva mengalami metamorfosis menjadi individu muda disebut “olynthus” pada Calcarea dan “rhagon” pada Demospongia. Pertumbuhan sponge muda menjadi individu yang dewasa dipengaruhi oleh temperatur, salinitas, kekeruhan, arus, air kemiringan, dasar, sedimentasi serta kompetisi ruang (Bergquist, 1969). Reproduksi aseksual umumnya dengan fragmentasi berupa potonganpotongan dari sponge yang patah dapat hidup dengan cadangan makanan yang ada di tubuhnya kemudian beregenerasi membentuk tunas baru atau kompleks gemmule untuk menjadi sponge dewasa (Bergquist, 1978). 3. Anatomi Sponge Tubuh sponge terdiri dari ostia yang merupakan saluran masuk air dari lingkungan ke bagian dalam tubuh sponge. Oskula berfungsi sebagai saluran pembuangan dan saluran keluarnya sperma dan ovum, choanochyte berperan menggerakkan silianya menyebabkan terjadinya aliran air yang menuju ke dalam tubuh sponge dan membawa sari-sari makanan. Selain itu juga choanochyte berperan menangkap sperma, di mana sperma dan ovum bertemu di dalam mesohil (Ackers, 2007). Spikula adalah gambaran karakteristik sponge yang fungsi utamanya adalah membentuk rangka pendukung yang mencegah rubuhnya jutaan rongga berflagella lembut dan saluran air dalam sponge. Kelas Demospongiae, spikula silikon selalu menempel atau tertanam pada spongin membuatnya lebih kaku dan pada beberapa spesies butiran pasir dimasukkan. Sekresi spikula baru atau spongin memungkinkan secara relatif perubahan cepat arsitektur pada system saluran air untuk merespon
18
perubahan tekanan dan aliran air (Harrison, 2000). Secara umum setiap individu sponge memiliki lebih dari satu macam bentuk spikula. Menurut Bergquist (1988), bentuk spikula menurut fungsinya dibagi atas dua kategori, yaitu megasklera dan mikrosklera. Megasklera adalah komponen dari kerangka primer yang berperan untuk membentuk sponge dan perkembangan substruktur internal. Mikrosklera tidak berfungsi seperti peranan megasklera, tetapi membentuk kelompok antara kumpulan megasklera atau tersebar pada permukaan atau membran internal. Kontrol genetik terhadap bentuk spikula membuat mereka berguna dalam merekonstruksi sejarah evolusi suatu ras sponge, meskipun penelitian terbaru telah menunjukkan pengaruh faktor-faktor lingkungan dalam mengatur ukuran dan bentuk spikula, ada atau tidak adanya satu atau lebih jenis spikula. Disamping itu sel pendukung sponge, spikula dapat membantu larva tinggal bertahan selama dalam bentuk plankton atau menjangkau dasar tertentu, meningkatkan kesuksesan reproduksi atau menangkap mangsa (Alcolado, 2003). G. Ekologi Sponge Menurut
Duckworth
(2003),
parameter
oseanografi
yang
sangat
mempengaruhi pertumbuhan sponge adalah silikat, nutrien, bahan organik terlarut (BOT), suhu dan salinitas. Pertumbuhan sponge sangat dipengaruhi oleh kedalaman air, struktur dasar, arus air, suhu, level nutrien dan sedimentasi (Suharyanto, 2003). Bell (2004), mengatakan bahwa ada enam faktor ekologis yang sangat mempengaruhi bentuk dan pertumbuhan sponge, antara lain kedalaman air, struktur dasar, arus air, suhu air, dan sedimentasi. sponge sangat baik pertumbuhannya dan
19
tumbuh subur pada perairan yang mempunyai kedalaman 9-60 kaki (3-20 meter). Barnes (1999), mengatakan pada kedalaman yang lebih dangkal, sponge jarang ditemukan, bila ditemukan, ukurannya kecil dan tidak dapat berkembang. Aspek lain yang menarik dari sponge adalah mempunyai berbagai metode untuk memperoleh makanannya. Hal ini bisa dilakukan secara langsung, dengan menyaring partikel-partikel nutrien secara langsung dari kolom air melalui tubuh sponge, atau secara tidak langsung dengan memperoleh partikel-partikel makanan dari endosimbionnya, contohnya dari alga dan bakteri yang menyediakan bahanbahan organik yang dibutuhkan oleh jaringan sponge. Ketika simbion memperoleh makanan mereka dengan melakukan translokasi energi cahaya ke dalam material organik (Suparno, 2005). Arus air yang lewat melalui sponge membawa serta zat buangan dari tubuh sponge, maka penting agar air yang keluar melalui oskulum dibuang jauh dari badannya, karena air ini tidak berisi makanan lagi, tetapi mengandung asam karbon dan sampah nitrogen yang beracun bagi hewan tersebut sehingga penting bagi sponge untuk hidup dalam air bersirkulasi (Storr, 1976). Faktor lingkungan yang mempengaruhi penyebaran sponge antara lain adalah, suhu, salinitas, kedalam dan sedimentasi dan bahan-bahan organik. 1. Suhu Suhu air umumnya dianggap sangat penting diantara faktor eksternal yang mempengaruhi gametogenesis pada sponge dan hewan laut lainnya pada daerah yang perubahan musimnya besar (Fromont, 1994). Suhu merupakan salah satu faktor yang amat penting bagi organisme laut, karena suhu mempengaruhi aktivitas
20
metabolisme dan perkembangbiakan. De Voogd (2004) menyatakan sponge tumbuh pada kisaran suhu optimal 26-31ºC dan di daerah empat musim suhu merupakan faktor lingkungan utama yang mengatur reproduksi sponge, berkaitan dengan perubahan suhu yang mencolok pada tiap musimnya. 2. Salinitas Organisme laut dapat hidup dengan kisaran sainitas 30-36 ‰ (Pong, 2003). Sponge hidup pada salinitas 28-38‰ (De Voogd, 2005) dan lebih sensitif terhadap salinitas yang rendah (Osinga, 1999). Budidaya sponge tidak dapat dilakukan di laut yang dekat dengan sumber air tawar seperti sungai dan danau karena dapat membunuh spons (Millan, 1996). 3. Kedalaman dan Sedimentasi Kedalaman mempengaruhi penetrasi cahaya yang masuk ke dalam perairan. Penetrasi cahaya yang optimum memicu pertumbuhan dan metabolisme alga mikrosimbionya (Rani, 2005). De Voogd (2005) menyatakan bahwa kekeruhan yang tinggi dapat meningkatkan laju sedimentasi pada permukaan sponge, sehingga memaksa sponge mengeluarkan energi lebih banyak untuk menghalau sedimen dengan jalan memproduksi lendir dalam jumlah banyak. Produksi lendir yang banyak dapat membuat sponge mati lemas, karena secara efektif mengisolasi sponge sehingga menghambat pertukaran air. Sedimentasi yang tinggi akan mematikan sponge karena menutupi ostium dan oskulum. Pronzato et al. (2000) menambahkan, sedimentasi yang tinggi menyokong perkembangan bakteri pada bagian tubuh yang terluka.
21
4. Bahan Organik Bahan organik memiliki peranan penting dalam ekosistem laut sebagai sumber energi, makanan dan vitamin. Sponge dapat memakan bahan organik terlarut dalam jumlah besar dari dalam air (De Voogd, 1997).
22
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - Mei 2016 dan bertempat di perairan pulau-pulau kecil Selat Buton Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara. Identifikasi jenis sponge yang telah diketahui di lapangan dilakukan identifikasi secara langsung, sedangkan jenis sponge yang belum diketahui dilakukan didentifikasi di Laboratorium Zoologi, Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Halu Oleo, Kendari. B. Alat dan Bahan 1. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini tercantum pada Tabel 1. Tabel 1. Alat penelitian yang digunakan serta fungsinya. No Nama Alat Satuan Fungsi 1 2 3 4 1. Meteran roll m Mengukur panjang garis transek dan luas plot 2. Perahu/sampan Sebagai transportasi saat penelitian 3. GPS (Global º (Derajat) Untuk menentukan kordinat lokasi position system) penelitian 4. Alat tulis bawah laut Mencatat data hasil penelitian (Sabak) 0 5. Hand refractometer Untuk mengukur salinitas air laut /00 6. Termometer ºC Untuk mengkukur suhu air laut 7. Current meter Untuk mengukur kecepatan arus 8. Secchi disk m Untuk mengukur kecerahan air 9. Kertas lakmus Untuk mengukur pH air laut 10 Alat snorkling Sebagai alat selam 11. Pipa paralon Untuk membuat plot penelitian 12 Kamera bawah laut Mengambil gambar dokumentasi
22
23
2. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini tercantum pada Tabel 2. Tabel 2. Bahan penelitian yang digunakan serta fungsinya. No Nama Alat Fungsi 1 2 3 1. Sponge Sebagai objek penelitian 2. Alkohol Pengawet sampel
C. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif untuk mengetahui keanekaragaman beta sponge di perairan pulau-pulau kecil Selat Buton Kabupaten Muna. D. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah kumpulan individu suatu jenis sponge yang hidup sebagai suatu individu atau koloni suatu jenis sponge yang hidup secara berkoloni yang terdapat dalam stasiun pengamatan di perairan pulau-pulau kecil Selat Buton Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara. Sedangkan sampel dalam penelitian ini adalah semua jenis sponge yang terdapat dalam plot pengamatan. E. Variabel, Definisi Operasional dan Indikator Penelitian 1. Variabel Penelitian Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah komposisi jenis dan keanekaragaman beta atau pola multidimensional sponge.
24
2. Definisi operasional Untuk menghindari adanya kekeliruan maka dijelaskan beberapa defenisi yang dianggap penting yaitu: a. Sponge merupakan hewan yang mempunyai tubuh berpori-pori, atau dikenal dengan istilah filter feeders. b. Komposisi jenis adalah jenis-jenis sponge yang menyusun komunitas perairan pulau-pulau kecil Selat Buton Kabupaten Muna. c. Keanekaragaman beta sponge adalah komposisi jenis sponge yang menyatakan perbandingan keanekaragaman jenis pada dua tempat atau lebih yang ditunjukkan dengan indeks similaritas atau disimilaritas. 3. Indikator penelitian Indikator penelitian yang diamati yaitu jumlah jenis, densitas, frekuensi, indeks nilai penting, indeks keanekaragaman, indeks kemerataan, indeks similaritas dan disimilaritas dan pola ordinasi sponge serta faktor lingkungan fisik dan kimia. F. Prosedur Penelitian 1. Penentuan Stasiun Penelitian Penelitian ini dilakukan pada empat stasiun di perairan Pulau Koholifano dan masing-masing 3 stasiun di perairan Pulau Munante dan perairan Pulau Bakealu. Penentuan stasiun ini berdasarkan pada keberadaan komunitas sponge pada kedalaman 2 meter.
25
a. Perairan Pulau Koholifano 1. Stasiun 1 adalah bagian timur perairan pulau dengan titik koordinat (04o58’25,6” LS dan 122o47’43.2” BT) yang memiliki kondisi dasar perairan yaitu substrat pasir berbatu dengan patahan-patahan karang. Jarak daratan pada saat surut terendah dengan keberadaan komunitas sponge ± 100 m dan ketinggian daratan mencapai 1-3 m di atas permukaan. 2. Stasiun 2 adalah bagian utara perairan pulau dengan titik koordinat (04o58’03,0” LS dan 122o47’41.2” BT) yang memiliki kondisi dasar perairan yaitu substrat pasir dan pantai berbatu. Bagian uatara pulau ini cenderung berhadapan langsung dengan laut dalam yaitu tembusan dengan Laut Banda. Ketinggian daratan di bagian utara mencapai 2-5 m di atas permukaan dan jarak daratan dengan keberadaan komunitas karang ± 20 m. 3. Stasiun 3 adalah bagian barat perairan pulau dengan titik koordinat (04o58’03,8” LS dan 122o47’10,1” BT) yang memiliki kondisi dasar perairan yaitu substrat pasir dan pantai berbatu. Ketinggian daratan di bagian barat mencapai 2-5 m diatas permukaan dan jarak daratan dengan keberadaan komunitas karang ± 25 m. 4. Stasiun 4 adalah bagian selatan perairan pulau dengan titik koordinat (04o58’13,9” LS dan 122o47’10,2” BT) yang memiliki kondisi dasar perairan yaitu substrat pasir dan pantai berbatu. Ketinggian daratan mencapai 2-4 m di atas permukaan dan jarak daratan dengan keberadaan komunitas karang ± 25 m.
26
b. Perairan Pulau Munante 1. Stasiun 5 adalah bagian utara perairan pulau dengan titik koordinat (04o55’16,1” LS dan 122o48’01,7” BT) yang memiliki kondisi dasar perairan yaitu substrat berpasir dengan patahan-patahan karang. Jarak daratan pada saat surut terendah dengan keberadaan komunitas sponge ± 100 m dan ketinggian daratan mencapai 1-3 m diatas permukaan. 2. Stasiun 6 adalah bagian timur perairan pulau dengan titik koordinat (04o56'14,2'' LS dan 122o47'53,8'' BT) yang memiliki kondisi dasar perairan yaitu substrat berpasir. Jarak daratan pada saat surut terendah dengan keberadaan komunitas sponge ± 100 m dan ketinggian daratan mencapai 1-2 m diatas permukaan. 3. Stasiun 7 adalah bagian timur perairan pulau dengan titik koordinat (04o55'58,4'' LS dan 122o48'16,3'' BT) dengan kondisi dasar perairan yaitu substrat berpasir. Jarak daratan pada saat surut terendah dengan keberadaan komunitas sponge ± 500 m dan ketinggian daratan mencapai 1-2 m diatas permukaan. c. Perairan Pulau Bakealu 1. Stasiun 8 adalah bagian selatan perairan pulau dengan titik koordinat (04o54'58,9'' LS dan 122o48'51,4'' BT) yang memiliki kondisi dasar perairan yaitu substrat pasir berbatu. Jarak daratan pada saat surut terendah dengan keberadaan komunitas sponge ± 50 m dan ketinggian daratan mencapai 1-3 m diatas permukaan. 2. Stasiun 9 adalah bagian timur perairan pulau dengan titik koordinat (04o54'40,3'' LS dan 122o49'06,1'' BT) dengan kondisi dasar perairan yaitu substrat pasir
27
berlumpur. Jarak daratan pada saat surut terendah dengan keberadaan komunitas sponge ± 50 m dan ketinggian daratan mencapai 1-2 m diatas permukaan. 3. Stasiun 10 adalah bagian utara perairan pulau dengan titik koordinat (04o54'35,8'' LS dan 122o48'50,2'' BT) dengan kondisi dasar perairan yaitu substrat berpasir. Jarak daratan pada saat surut terendah dengan keberadaan komunitas sponge ± 300 m dan ketinggian daratan mencapai 1-2 m diatas permukaan. 2. Penentuan Transek Pengamatan Penelitian ini menggunakan metode transek garis (line transect) dengan plot kuadrat. Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Observasi lokasi penelitian untuk menetapkan area pengambilan sampel dan penempatan transek. b. Menentukan stasiun pengamatan (4 stasiun di perairan Pulau Koholifano dan masing-masing 3 stasiun di perairan Pulau Munante dan Pulau Bakealu) dengan total jumlah plot yaitu 100 plot. c. Membuat 1 transek garis sepanjang 100 meter pada zona sublitoral sejajar dengan garis pantai pada setiap stasiun. Kemudian diletakan kuadrat 2 x 2m pada tiap jarak 10 m secara purpossive sepanjang transek.
Gambar 6. Cara pemasangan Transek Garis
28
d. Pada setiap transek pengamatan, dilakukan pengukuran faktor lingkungan seperti suhu, salinitas air laut, kecepatan arus, pH air laut dan kecerahan air. e. Mengambil data mengenai jenis sponge pada setiap plot pengamatan dengan mekanisme sebagai berikut : 1. Pengambilan data keanekaragaman jenis sponge dilakukan pada waktu surut terendah. 2. Jumlah koloni atau individu setiap jenis yang ada dalam plot pengamatan dihitung.
3. Cover koloni atau individu suatu jenis karang dalam plot pengamatan diestimasi dengan menggunakan kategori 1 (lebar koloni/individu< 25 cm), 2 (lebar koloni/individu 25-50 cm), 3 (lebar koloni/individu 50-100 cm, 4 (lebar koloni/individu 100-150 cm) dan 5 (lebar koloni/individu > 200 cm) (Bower et al, 1998 dalam Fasento Pratama, 2014). 4. Mendokumentasikan gambar sponge yang ditemukan dan melakukan identifikasi. 5. Identifikasi sponge mengunakan buku (Coral Reef ) oleh Dr. Gerald R Alen & Roger Steene, 1999).
29
Penempatan plot pada tiap transek di perairan Pulau Koholifano.
X8
B
X7
X6
X5 2m
X9
X4
X10
X3
C
b
2m
a
P
X11
X2 A
X12
X1
b
X13
X14
X16 D
X15
Gambar 7. Bentuk penempatan plot pengamatan pada setiap transek Keterangan : P = Gambar ilustrasi Pulau A = Stasiun 1 bagian timur perairan pulau B = Stasiun 2 bagian utara perairan pulau C = Stasiun 3 bagian barat perairan pulau D = Stasiun 4 bagian selatan perairan pulau a = Jarak antar plot secara purposive b = Panjang transek 100 m. X1…X16 = Plot pengamatan (2 m x 2 m).
30
Penempatan plot pada tiap transek di perairan Pulau Munante dan Pulau Bakealu
X4 2m
X3 2m
X5
X2 a
A P
X6
X1
b
X7 X12
B X8 X11
C
X10 X9
Gambar 8. Bentuk penempatan plot pengamatan pada setiap transek Keterangan : P = Gambar ilustrasi Pulau A = Stasiun 1 B = Stasiun 2 C = Stasiun 3 a = Jarak antar plot secara purposive b = Panjang transek 100 m. X1…X12 = Plot pengamatan (2 m x 2 m).
31
G. Analisis Data Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif data disajikan dalam bentuk gambar, sedangkan secara kuantitatif dianalisis dengan rumus sebagai berikut: 1. Kerapatan K=
Jumlah individu / koloni Suatu Jenis Luas Area Sampel
2. Kerapatan Relatif Kerapatan suatu Jenis
KR = Total Kerapatan seluruh Jenis x 100% 3. Frekuensi
F=
Jumlah Plot dimana Suatu Jenis terdapat Total Seluruh Plot Pengamatan
4. Frekuensi Relatif
Frekuensi Suatu Jenis x 100 % Total Frekuensi Seluruh Jenis
FR =
5. Dominansi (Dom) Jumlah Cover suatu Jenis
Dom =
Luas Area Sampel
6. Dominansi Relatif (DomR) Cover suatu Jenis
DomR =Total Cover
x 100%
seluruh Jenis
7. Indeks Nilai Penting INP = KR + FR + DomR
32
8. Indeks Keanekaragaman (H’) Indeks keanekaragaman untuk mempelajari pengaruh dari gangguan terhadap lingkungan atau untuk mengetahui tahapan suksesi dan kestabilan dari komunitas organisme tertentu (Odum,1998). Indeks diversitas ditentukan dengan menggunakan rumus Shannon – Wienner (1949) dalam Barbour, dkk., (1999) yaitu: H’ = -∑ (𝑃𝑖)(𝑙𝑛 𝑃𝑖) Dimana Pi = ni/N Keterangan : H’ = keanekaragaman jenis; ni = jumlah individu suatu jenis N = jumlah total individu seluruh jenis 9. Indeks Kemerataan Evennens (E) Untuk mengetahui keseimbangan komunitas serta ukuran kesamaan jumlah individu antar spesies dalam suatu komunitas digunakan indeks kemerataan dengan rumus: 𝐻′
E = 𝐿𝑛 𝑆 Keterangan : H’ = keanekaragaman jenis S = jumlah jenis 10. Indeks Similaritas (IS) dan Indeks Disimilaritas (ID) Indeks Similaritas (IS) dihitung dengan menggunakan rumus Sorenson dalam Muller-Dombois (1987) : 2𝑊
IS = 𝐴+𝐵
33
Keterangan : W = Jumlah nilai penting terendah dari spesies yang terdapat pada plot A dan plot B A = Jumlah total nilai penting pada plot A B =Jumlah total nilai penting pada plot B Penentuan indeks Disimilaritas (ID) dihitung dengan rumus : ID = 100 – IS Keterangan : ID = Indeks disimilaritas IS = Indeks similaritas 11. Analisis Ordinansi Analisis ordinasi merupakan suatu cara untuk menyusun beberapa informasi tentang pola komunitas sponge secara objektif dengan menderetkan nilainilai indeks ketidaksamaannya. Pola ordinansi sponge dianalisis dengan teknik ordinasi mengikuti prosedur Muller-Dombois dalam Analuddin (1997) yaitu teknik ordinasi dicari dengan cara mencari korelasi antara nilai indeks disimilaritas dengan interval ordinasi yang dipilih 10 pasangan plot secara acak. Untuk mengetahui pola pengelompokan komunitas sponge di perairan pulau-pulau kecil Selat Buton Kabupaten Muna maka dilakukan analisis keanekaragaman beta dengan menggunakan diagram ordinasi dua dimensi. Teknik ini berdasarkan nilai IS dan ID disusun diagram matrik 2 dimensi kesamaan dan ketidaksamaan antara plot-plot yang dibandingkan. Nilai IS (%) diletakkan dibagian atas garis diagonal, dan nilai ID (%) diletakkan di bawah garis diagonal. Tujuan perbandingan tersebut adalah untuk mengetahui derajat perbedaan diantara kedua komunitas.
34
Berdasarkan matrik tersebut di atas dibuat suatu diagram ordinasi. Untuk menentukan titik ordinasi pada dimensi pertama (sumbu X) dan dimensi kedua (sumbu Y), terlebih dahulu dibuat koordinat sumbu X dengan meletakkan titik A yang memiliki indeks ketidaksamaan terbesar pertama. Selanjutnya dibuat titik B dengan memilih pasangan plot yang memiliki indeks ketidaksamaan terbesar kedua. Plot-plot yang selanjutnya diletakkan di sepanjang sumbu X antara titik A dan B. Untuk menentukan jarak masing-masing plot tersebut pada sumbu X dapat ditentukan dengan Rumus Beals : X=
𝑳²+𝒅𝑨²−𝒅𝑩² 𝟐𝑳
Keterangan : X = Panjang absis L = Nilai indeks ketidaksamaan antara A dan B dA = Nilai indeks kesamaan antara sebuah plot dengan titik A dB = Nilai indeks kesamaan antara sebuah plot dengan titik B Koordinat Y ditentukan dengan meletakkan titik nol pada sumbu Y dengan memilih plot yang paling jauh terhadap sumbu X. Untuk menentukan plot yang paling jauh tersebut digunakan rumus: e2 = √𝒅𝑨² − 𝑿² Keterangan : A = Jarak masing-masing plot pada sumbu X dA= Indeks kesamaan antara titik A dengan sebuah plot X = Absis sebuah plot
35
Kemudian menentukan acuan kedua (B’) pada sumbu Y, yaitu yang mempunyai ID terbesar dari (A’). Sehingga Jarak masing-masing plot pada sumbu Y dapat dihitung dengan menggunakan rumus : Y=
𝑳′²+𝒅𝑨′²−𝒅𝑩′² 𝟐𝑳′
Keterangan : Y = Panjang ordinat dari sebuah plot L' = Indeks ketidaksamaan antara AY dan BY dA' = Indeks ketidaksamaan antara sebuah plot dengan pasangannya pada plot acuan AY dB' = Indeks ketidaksamaan antara sebuah plot dengan pasangannya pada plot acuan BY Setelah nilai masing-masing plot pada sumbu X dan Y diperoleh, nilai-nilai tersebut diproyeksikan pada grafik ordinasi 2 dimensi. Untuk mengetahui validasi suatu ordinasi dilakukan uji korelasi antara indeks ketidaksamaan dengan jarak sesungguhnya plot- plot tersebut atau interval ordinasi (IO). Persamaan garis regresi antara interval ordinasi dengan indeks disimilaritas dihitung dengan rumus : Interval ordinansi : (X) = √𝑿𝟏− 𝑿𝟐 ) + (𝒀𝟏− 𝒀𝟐 ))𝟐 Koefisien korelasi : (𝑟) =
∑ 𝐱𝐲−(∑ 𝐱𝐲.𝐲) /𝐧 √((∑ 𝐱 𝟐 –(∑ 𝐱)𝟐 /𝐧)(∑ 𝐘 𝟐 –(∑ 𝐘 𝟐 /𝐧)
36
Untuk mengetahui koefisien korelasi itu signifikan, maka digunakan student t-test dengan rumus : 𝑡=
r √n−2 √1−r2
Kemudian dibandingkan dengan t table (df = 8, P = 0,05), lebih besar (>) atau lebih kecil (<). Persamaan garis linier regresi adalah y = a+ bx dimana : y = indeks disimilaritas a = titik potong pada sumbu y b = lereng (slope) garis atau kemiringan garis x = interval ordinasi yang sesuai dengan y
37
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Selat Buton merupakan lingkungan perairan yang memisahkan antara Pulau Muna dan Pulau Buton yang membentang dari Wawonii sampai Kepulauan Gulamas. Di Selat Buton Kabupaten Muna terdapat tiga buah pulau-pulau kecil yaitu, Pulau Koholifano, Pulau Munante dan Pulau Bakealu. Pulau-pulau tersebut terletak di antara daratan Pulau Muna dan Daratan Pulau Buton. Pulau Koholifano, dan pulau Munante ini adalah bagian dari Desa Oenggumora wilayah Kecamatan Pasir Putih, sedangkan Pulau Bakealu masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Wakorumba Selatan Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara. Secara geografis Pulau Koholifano terletak antara 04o58'44'' LS dan 122o47'32'' BT, Pulau Munante terletak antara 04o55’26,10” LS dan 122o48’29,17” BT, sedangkan pulau Bakealu terletak antara 04o53'15,9'' LS dan 122o48'53,4'' BT. Letak pulau-pulau tersebut diapit oleh dua pulau besar (Pulau Muna dan Pulau Buton) sehingga gelombang laut tergantung pada musim. Kondisi topografi wilayah daratan Pulau koholifano dan Pulau Munante umumnya berbatu dan tidak terdapat sungai, sehingga sedimentasi dipantai tersebut relatif kecil. Tipe substrak Pulau Koholifano dan Pulau Munante umumnya berbatu dan berpasir. Sedangkan Pulau Bakealu memiliki topografi wilayah daratan secara umum berpasir dengan tipe substrak pasir berlumpur, dikarenakan keberadaan pulau tersebut tepat di depan muara Sungai Wakorumba.
37
38
B. Parameter Faktor Lingkungan Perairan Untuk melihat hubungan antara faktor lingkungan dengan disitribusi dan kelimpahan sponge, maka dilakukan pengukuran faktor lingkungan yaitu: pengukuran salinitas, suhu, pH, kecerahan, dan kecepatan arus. Adapun hasil pengukuran faktor lingkungan pada setiap pulau dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil Pengukuran Parameter Lingkungan di perairan Pulau-Pulau Kecil Selat Buton Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara Parameter No
Stasiun
Suhu (oC)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
I II III IV V VI VII VIII IX X
30 29 29 30 29 29 29 31 32 31
Salinitas Kedalaman (‰) (m) 31 31 31 30 31 30 31 27 27 28
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
pH
Kec. Arus (m/dtk)
7 7 8 8 8 7 7 6 6 7
0,030 0,031 0,033 0,037 0,030 0,031 0,033 0,015 0,018 0,020
1. Suhu Secara alami permukaan perairan merupakan lapisan hangat karena mendapat radiasi matahari secara langsung yang terjadi pada siang hari. Suhu sangat berpengaruh terhadap organisme di habitat perairan. Kenaikan suhu akan mempengaruhi dan mempercepat reaksi kimiawi dan proses-proses yang terjadi di dalam lingkungan perairan tersebut. Hasil pengukuran suhu perairan pada kedalaman masing-masing 200 cm memperlihatkan nilai yang tinggi terdapat di perairan Pulau Bakealu yaitu 31-32oC. Nilai suhu yang diperoleh tersebut
39
menujukan nilai yang tidak cukup jauh berbeda namun melebihi suhu optimum orgnisme sponge dimana menurut De Voog (2005) dalam Fitrianto (2009) menyatakan sponge tumbuh pada kisaran suhu optimal 26- 30oC. 2. Salinitas Sebaran salinitas di laut umumnya dipengaruhi oleh faktor-faktor, seperti: pola sirkulasi air, evaporasi, curah hujan, dan aliran air. Berdasarkan hasil pengukuran salinitas, kisaran rata-rata salinitas di perairan Pulau Koholifano dan Pulau Munate menunjukkan nilai yang tidak jauh berbeda yaitu 30- 31 ‰ dan masih dalam batas toleransi salinitas optimum organisme sponge. Sedangkan di perairan Pulau Bakealu memiliki salinitas terendah dengan nilai yaitu 27-28 ‰. De Voogd, 2005 dalam Fitrianto (2009) menyatakan bahwa
sponge hidup pada kisaran
salinitas 30-38 ‰ dan lebih sensitif terhadap salinitas yang rendah. 3. Kecerahan Kecerahan yang diperoleh setiap stasiun pengamatan di perairan pulau Koholifano dan pulau Munante sama yaitu 100%, hal ini disebabkan pada lokasi penelitian tidak ditemukan adanya proses sedimentasi baik dari sungai, aktifitas manusia maupun proses alami lainnya. Sedangkan diperairan pulau Bakealu, tingkat kecerahannya yaitu 90%, hal ini disebabkan pada lokasi penelitian tersebut mendapat asupan sedimentasi dari sungai Wakorumba. Menurut (Barnes, 1999 dalam Haris, 2013) bahwa sponge sangat menyukai perairan cukup jernih.
40
4. Kedalaman Kedalaman lokasi penelitian pada jalur transek pengamatan adalah 2 m untuk setiap stasiun dengan pengukuran kedalaman dilakukan pada saat surut terendah. 5. pH Derajat keasaman (pH) perairan pulau- pulau kecil Selat Buton Kabupaten Muna, pada setiap stasiun adalah rata-rata 6-7. Nilai ini menunjukan bahwa kondisi perairan tersebut masi dalam batasan normal. Wardoyo (1975) dalam Simangungsong (1994) menyatakan bahwa nilai pH perairan yang mendukung kelangsungan hidup organisme di dalam perairan berkisar 5,0-9,0. 6. Kecepatan Arus Kecepatan arus berperan penting dalam proses sirkulasi air dalam perairan terhadap jumlah nutrien yang dibawa. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di perairan pulau-pulau kecil selat Buton Kabupaten Muna, nilai kecepatan arus berkisar 0,015-0,037 m/dtk. Kecepatan arus tertinggi terdapat di perairan Pulau Koholifano dan terendah terdapat di perairan Pulau Bakealu. Perbedaan nilai pada setiap pulau menunjukkan nilai yang tidak jauh berbeda. Menurut Storr (1976) dalam Suharyanto (1998), sponge dapat tumbuh normal pada kecepatan arus kurang dari 0,6 m/dtk.
41
C. Komposisi Jenis Sponge di Perairan Pulau- Pulau Kecil 1. Perairan Pulau Koholifano Hasil penelitian komposisi jenis sponge di perairan Pulau Koholifano, ditemukan 28 jenis sponge yang termasuk dalam 18 famili yaitu : Thorectidae, Spongiidae, Theonellidae, Dysideidae, Petrosiidae, Plakinidae, Dictyonellidae, Tetillidae, Leucettidae, Coppatiidae, Halichondriidae, Mycalidae, Chalinidae, Biemnidae, Niphatidae, Axinellidae, Scopalinidae, dan Microcionidae (Tabel 4). Dari 28 jenis tersebut, 3 spesies diantaranya termasuk famili Petrosiidae, yaitu: Xestospongia exigua, Xestospongia testudinaria, Xestospongia sp. dan masingmasing 2 spesies yang termasuk dalam famili Plakinidae (Plakortis nigra, Plakortis sp.), Dictyonellidae (Liosina granularis, Liosin paradoxa), Tetillidae (Craniella sp., Cinachyrella australiensis), Coppatiidae (Iricinia sp., Jaspis stellifera), Halichondriidae (Halichondria cartilaginea, Stylotella aurantium), Mycalidae (Pipestela rara, Mycale flagellifer), Niphatidae (Callyspongia sp., Cribrochalina sp.), dan Scopalinidae (Stylissa carteri, Clathria sp.). Untuk famili yang lainnya masing-masing hanya terdapat satu jenis yaitu: Phyllospongia lamellose (Thorectidae), Carteriospongia sp. (Spongiidae), Theonella
sp.
(Theonellidae),
Lamellodysidea
herbacea
(Dysideidae),
Pericharax heteroraphis (Leucettidae), Haliclona sp. (Chalinidae), Neofibularia hartmani (Biemnidae), Cymbastela coralliophila (Axinellidae), dan Clathria sp. (Microcionidae).
42
Tabel 4. Komposisi jenis sponge di perairan Pulau Koholifano No Famili Jenis 1 2 3 1 Thorectidae Phyllospongia lamellosa 2 Spongiidae Carteriospongia sp. 3 Theonellidae Theonella sp. 4 Dysideidae Lamellodysidea herbacea Xestospongia exigua 5 Petrosiidae Xestospongia testudinaria Xestospongia sp. 6 Plakinidae Plakortis nigra Plakortis sp. 7 Dictyonellidae Liosina granularis Liosin paradoxa 8 Tetillidae Craniella sp. Cinachyrella australiensis 9 Leucettidae Pericharax heteroraphis 10 Coppatiidae Iricinia sp. Jaspis stellifera 11 Halichondriidae Halichondria cartilaginea Stylotella aurantium 12 Mycalidae Pipestela rara Mycale flagellifer 13 Chalinidae Haliclona sp. 14 Biemnidae Neofibularia hartmani 15 Niphatidae Callyspongia sp. Cribrochalina sp. 16 Axinellidae Cymbastela coralliophila 17 Scopalinidae Stylissa carteri Stylissa flabelliformis 18 Microcionidae Clathria sp. 2. Perairan Pulau Munante Komposisi jenis sponge di perairan Pulau Munante, ditemukan 17 jenis sponge yang termasuk dalam 12 famili yaitu : Halichondriidae (Stylotella aurantium),
Petrosiidae
(Xestospongia
testudinaria),
Desmacididae
(Desmapsamma sp., Haliclona muricata), Chalinidae (Xestospongia exigua, Xestospongia testudinaria,
Xestospongia sp.), Leucettidae (Leucetta
43
microraphis, Pericharax heteroraphis), Thorectidae (Phyllospongia lamellosa), Theonellidae (Theonella sp.), Axinellidae (Cymbastela coralliophila), Tetillidae (Craniella sp., Cinachyrella australiensis), Microcionidae (Clathria sp.), Dictyonellidae
(Liosina
granularis),
dan
Plakinidae
(Plakinastrella
mammillaris). Tabel 5. Komposisi jenis sponge di perairan Pulau Munante No Famili Jenis 1 2 3 1 Halichondriidae Stylotella aurantium 2 Petrosiidae Xestospongia testudinaria 3 Desmacididae Desmapsamma sp. Haliclona muricata 4 Chalinidae Haliclona turquoisia Haliclona sp. 5 Leucettidae Leucetta microraphis Pericharax heteroraphis 6 Thorectidae Phyllospongia lamellosa 7 Theonellidae Theonella sp. 8 Axinellidae Cymbastela coralliophila 9 Tetillidae Craniella sp. Cinachyrella australiensis 10 Microcionidae Clathria sp. Clathria reinwardti 11 Dictyonellidae Liosina granularis 12 Plakinidae Plakinastrella mammillaris 3. Perairan Pulau Bakealu Komposisi jenis sponge di perairan Pulau Bakealu, ditemukan 6 jenis sponge yang termasuk dalam 6 famili yaitu : Niphatidae (Cribrochalina sp.), Theonellidae
(Theonella
sp.),
Biemnidae
(Neofibularia
hartmani),
Microcionidae (Clathria sp.), Axinellidae (Cymbastela coralliophila), dan Halichondriidae (Stylotella aurantium).
44
Tabel 6. Komposisi jenis sponge di perairan Pulau Bakealu No Family Species 1 2 3 1 Niphatidae Cribrochalina sp. 2 Theonellidae Theonella sp. 3 Biemnidae Neofibularia hartmani 4 Microcionidae Clathria sp. 5 Axinellidae Cymbastela coralliophila 6 Halichondriidae Stylotella aurantium
Dari data komposisi jenis sponge yang terdiri dari tiga pulau pengamatan masing-masing memiliki kesamaan dan ketidaksamaan jenis. Perairan Pulau Koholifano (28 jenis) dan perairan Pulau Munante (17 jenis) terdapat 11 jenis sponge yang sama, namun 6 jenis sponge di perairan Pulau Munante yaitu, Desmapsamma sp., Haliclona muricata, Haliclona turquoisia, Leucetta microraphis, Clathria reinwardti dan Plakinastrella mammillaris tidak ditemukan di perairan Pulau Koholifano. Sedangkan semua jenis sponge yang di temukan di perairan Pulau Bakelu, juga ditemukan di perairan Pulau Koholifano. Untuk perairan Pulau Munante dan perairan Pulau Bakealu ditemukan 4 jenis sponge yang sama, akan tetapi dari 6 jenis sponge yang ditemukan di Perairan Pulau 2 diantaranya yaitu, Cribrochalina sp. dan Neofibularia hartmani tidak ditemukan di perairan pulau Munante. Kesamaan jenis sponge tiap pulaunya ditampilkan pada Tabel 7.
45
Tabel 7. Kesamaan jenis sponge masing-masing pulau Kesamaan Jenis No Koholifano-Munante Koholifano-Bakealu 1 Stylotella aurantium Cribrochalina sp. Xestospongia 2 testudinaria Theonella sp. 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Haliclona sp. Pericharax heteroraphis Phyllospongia lamellosa Theonella sp. Cymbastela coralliophila Craniella sp. Clathria sp. Cinachyrella australiensis Liosina granularis
Munante-Bakealu Stylotella aurantium
Neofibularia hartmani
Theonella sp. Cymbastela coralliophila
Clathria sp.
Clathria sp.
Cymbastela coralliophila Stylotella aurantium
Secara umum komposisi jenis sponge yang terdapat di perairan pulau-pulau kecil Selat Buton Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara, yaitu 34 jenis yang terdiri dari 19 famili. Komposisi sponge pada masing-masing perairan pulau pengamatan ditampilkan pada Gambar 9. Dari gambar tersebut nampak bahwa jumlah famili dan jenis tiap stasiun pengamatan adalah bervariasi. Jumlah famili yang paling tinggi terdapat di perairan Pulau Koholifano yaitu 18 famili, dan perairan Pulau Munante terdapat 12 famili, yakni 6 famili diantaranya tidak terdapat di perairan pulau Koholifano. Sedangkan jumlah famili yang paling rendah terdapat diperairan pulau Bakealu yaitu 6 famili. Sementara itu jumlah jenis yang paling tinggi terdapat di perairan pulau Koholifano yaitu 28 jenis, Pulau Munante 17 jenis, sedangkan jumlah jenis yang paling rendah terdapat di perairan Pulau Bakealu yaitu 6 jenis. Perbedaan komposisi jenis dari setiap perairan disebabkan oleh kondisi habitat
46
masing-masing pulau dan faktor lingkungan. Di perairan pulau Bakealu menunjukkan komposisi jumlah jenis yang sedikit dibanding dengan perairan pulau yang lain, hal ini kemungkinan disebabkan pengaruh faktor lingkungan (suhu dan salinitas) karena setiap jenis sponge dapat menanggapi perubahan yang terjadi dalam lingkungannya (De Voogd, 2005). 30 28
25 20 15
18
17 12
10 5
6
6
0
P. Kogholifano
P. Munante
Famili
P. Bakealu
Jenis
Gambar 9. Perbandingan Jumlah Famili dan Jenis Sponge yang Terdapat di Perairan Pulau-Pulau Kecil Selat Buton Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara
D. Densitas, Frekuensi, Dominansi dan Indeks Nilai Penting Hasil perhitungan densitas, frekuensi, dominansi dan Indeks Nilai Penting sponge di perairan pulau Koholifano dapat dilihat pada (Lampiran 2 Tabel 1), yaitu: nilai densitas tertinggi ditunjukan oleh jenis Theonella sp. (1,57 ind/koloni/m2), sedangkan frekuensi dan dominansi tertinggi ditunjukan oleh jenis Irincinia sp. (0,4,) dengan nilai dominansi yaitu 3,07.
47
Secara ringkas persentasi Indeks Nilai Penting sponge di perairan pulau Koholifano ditampilkan pada (Gambar 10). Berdasarkan gambar tersebut nampak bahwa jenis Theonella sp. memiliki INP tertinggi yaitu 58,31%. Hal ini mencerminkan bahwa Theonella sp. merupakan penyusun utama dalam komunitas sponge di perairan pulau Koholifano. Sedangkan jenis sponge Stylissa carteri memperlihatkan INP terendah yaitu 1,08%. Barbour et al (1999), menjelaskan bahwa jenis yang memiliki INP yang tinggi dapat memberikan kontribusi terbesar didalam komunitas tersebut, sebaliknya. Dengan demikian Theonella sp. merupakan salah satu jenis yang paling dominan perairan Pulau Koholifano. Hal ini mengindikasikan bahwa jenis sponge tersebut mempunyai penguasaan wilayah dan sumber daya yang cukup besar.
Indeks Nilai Penting (%) 70.00 60.00 50.00
58.31
40.00 37.42
30.00 27.30
20.00 18.93 10.00
10.90
1.08
0.00 Theonella sp. Xestospongia testudinaria
Liosina granularis
Iricinia sp.
Stylotella Stylissa carteri aurantium
Gambar 10. Histogram INP jenis sponge di perairan pulau Koholifano Hasil perhitungan densitas, frekuensi dan dominansi di perairan pulau Munante dapat dilihat pada lampiran 2 tabel 2, yaitu jenis sponge yang memiliki
48
densitas paling tinggi adalah jenis Theonella sp. (1,93 ind/koloni/m2), sementara itu frekuensi dan dominansi jenis yang memiliki nilai paling tinggi yaitu Cinachyrella australiensis (0.467), dengan nilai dominansi 7.06. Berdasarkan Gambar 11, nampak bahwa Theonella sp. mempunyai INP tertinggi, yaitu 19,319 %, sedangkan jenis yang mempunyai INP paling rendah yaitu Stylissa carteri (1,08 %). Hal ini menunjukan bahwa Theonella sp. merupakan penyusun utama yang memiliki peranan paling penting dalam menjaga kestabilan komunitas sponge.
Indeks Nilai Penting (%) 70.00 60.00 50.00
61.06 51.78
40.00 30.00
33.96
20.00 10.00
12.35
6.30
1.24
0.00 Xestospongia testudinaria
Leucetta microraphis
Theonella sp.
Clathria reinwardti
Liosina granularis
Plakinastrella mammillaris
Gambar 11. Histogram INP jenis sponge di perairan Pulau Munante Pada perhitungan densitas, frekuensi dan dominansi di perairan pulau Bakealu dapat dilihat pada lampiran 2 tabel 3, yaitu jenis sponge yang memiliki densitas paling tinggi adalah jenis Theonella sp. (8, 27 ind/koloni/m2), sementara itu frekuensi dan dominansi jenis yang memiliki nilai paling tinggi juga ditunjukan oleh jenis Theonella sp. (0, 633), dengan nilai densitas 4, 86.
49
Tingginya nilai densitas dan frekuensi suatu jenis mengindikasikan bahwa jenis tersebut mempunyai kelimpahan dan penyebaran yang cukup luas karena memiliki kisaran toleransi yang cukup luas terhadap kondisi dan faktor-faktor lingkungan. Sebaliknya jenis-jenis yang memiliki densitas dan frekuensi yang paling kecil mengindikasikan bahwa jenis-jenis tersebut memiliki kisaran toleransi yang paling sempit. Secara ringkas persentasi Indeks Nilai Penting sponge di perairan pulau Bakealu ditampilkan pada (Gambar 12). Berdasarkan gambar tersebut nampak bahwa jenis Theonella sp. memiliki INP tertinggi yaitu 202,26%. Hal ini mencerminkan bahwa Theonella sp. merupakan penyusun utama dalam komunitas sponge di perairan pulau Bakealu. Sedangkan jenis sponge Clathria sp. memperlihatkan INP terendah yaitu 4,87%.
Indeks Nilai Penting (%) 250.00 202.26 200.00 150.00 100.00 50.00
39.98
26.52 4.87
7.60
Clathria sp.
Cymbastela coralliophila
18.77
0.00 Cribrochalina Theonella sp. Neofibularia sp. hartmani
Stylotella aurantium
Gambar 12. Histogram INP jenis sponge di perairan pulau Bakealu
50
E. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Kemerataan (E) Jenis Sponge Hasil perhitungan indeks keanekaragaman jenis sponge di perairan pulaupulau kecil yang terdapat di Selat Buton Kabupaten Muna yang terdiri dari tiga pulau yaitu, pulau Koholifano, pulau Munante, dan pulau Bakealu (Gambar 13), menunjukan bahwa indeks keanekaragaman sponge tertinggi terdapat di perairan pulau Koholifano yaitu 2,78, pulau Munate 2,24 dan pulau Bakealu dengan indek keanekaragaman 1,08. Keanekaragaman yang tinggi merupakan indikator dari kestabilan suatu komunitas sponge. Soegianto (1994) menegaskan bahwa, suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman jenis tinggi jika disusun oleh banyak jenis dengan kelimpahan jenis yang sama atau hampir sama. Keanekaragaman jenis menyatakan suatu ukuran yang menggambarkan variasi jenis sponge dari komunitas yang dipengaruhi oleh jumlah jenis, distribusi individu dan kelimpahan relatif dari setiap jenis. Berdasarkan gambar 13, indeks kemerataan jenis sponge di perairan puaupulau kecil Selat Buton Kabupaten Muna, pulau Koholifano 0,84, kemudian di perairan pulau Munante yaitu 0,78, sedangkan di perairan pulau Bakealu yaitu 0,60 adalah tergolong pada kemerataan populasi tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa distribusi kelimpahan koloni atau individu dari masing-masing jenis sponge diperairan pulau- pulau kecil Selat Buton adalah hampir merata di seluruh stasiun pengamatan. Menurut Barbour et al.(1999), kemerataan menjadi maksimum bila suatu jenis mempunyai jumlah individu sama.
51
Indeks Keanekaragaman (H') dan Indeks Kemerataan(E) 3.00 2.50
2.78 2.24
2.00 1.50 1.00 0.50
1.08 0.84
0.79 0.60
0.00 P. Kogholifano
P. Munante
H'
P. Bakealu
E
Gambar 13. Histogram Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Kemerataan (E) pada setiap pulau-pulau kecil Selat Buton Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara F. Indeks Similaritas (IS) dan Indeks Disimilaritas (ID) Hasil perhitungan Indeks Similaritas (IS) sponge di perairan pulau- pulau kecil Selat Buton Kabupaten Muna dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Matriks Indeks Similaritas dan Indeks Disimilaritas ID \ IS P. Kogholifano P. Bakealu 72,9105 P. Kogholifano 27,0894 P. Bakealu 39,6492 25,8777 P. Munante
P. Munante 60,3507 74,1222 -
Berdasarkan tabel 8, Indeks Similaritas (IS) masing-masing pasangan perairan pulau menunjukan nilai yang hampir sama. Hal ini menunjukan bahwa jenis-jenis penyusun antara perairan pulau yang satu dengan yang lain memiliki banyak kesamaan jenis. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kombinasi setiap pulau yang memiliki indeks similaritas yang cukup besar yaitu antara perairan pulau
52
Koholifano dengan perairan pulau Munante dengan nilai (60,3507) atau indeks disimilaritas (39,6492%). Selain itu perairan pulau Bakealu dengan perairan pulau Koholifano memiliki indeks similaritas (72,9105%) atau indeks disimilaritas (27,0894), sedangkan perairan pulau Munante dengan perairan pulau Bakealu memiliki indeks similaritas (74,1222%) atau indeks disimilaritas (25,8777%). Menurut Jufri dkk, (2005) perhitungan indeks similaritas bertujuan untuk membandingkan komposisi dan variasi nilai kuantitatif jenis pada suatu lokasi. Nilai ini selanjutnya akan mengindikasikan bahwa unit sampling yang diperbandingkan jika mempunyai indeks similaritas yang tinggi berarti mempunyai kemiripan komposisi dan nilai kuantitatis jenis yang sama, demikian sebaliknya unit sampling yang diperbandingkan jika mempunyai indeks similaritas yang rendah berarti kemiripan komposisi dan nilai kuantitas jenis berbeda. G. Pola Ordinasi Sponge di perairan Pulau-Pulau Kecil Selat Buton Kabupaten Muna Untuk mengetahui pola komunitas sponge secara multi dimensional maka dilakukan analisis ordinasi dari nilai-nilai Indek Disimilaritas yang terdapat pada tabel 9. Grafik ordinasi dari 10 pasang stand yang diambil secara acak disajikan pada Gambar 14.
53
Tabel 9. Matriks Indeks Similaritas dan Indeks Disimilaritas sponge di perairan Pulau- Pulau Kecil Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara ID\IS 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 24.53 26.85 13.751 29.425 31.22 31.22 28.76 6.982 2 75.475 40.9 29.153 24.817 24.82 28.9 40.34 32.42 3 73.147 59.1 23.825 48.134 48.13 41.92 61.96 28.82 4 86.249 70.85 76.17 4.204 4.204 4.204 3.735 33.8 5 70.575 75.18 51.87 95.796 93.88 79.7 36.88 4.403 6 68.784 75.18 51.87 95.796 6.1207 80.15 36.88 2.329 7 68.784 71.1 58.08 95.796 20.299 19.85 36.88 5.914 8 71.243 59.66 38.04 96.265 63.123 63.12 63.12 58.15 9 93.018 67.58 71.18 66.201 95.597 97.67 94.09 41.85 10 68.19 48.92 49.4 69.762 73.695 73.69 67.67 39.46 53.89
Berdasarkan Gambar Ordinasi X/Y (Gambar 14) nampak bahwa sebaran stand-stand jenis sponge di perairan pulau-pulau kecil Selat Buton Kabupaten Muna dapat membentuk 3 kelompok. Kelompok A yang terdiri dari stasiun I, dan VII, , kelompok ini merupakan area kajian di perairan pulau Koholifano, dan perairan pulau Munante. Kelompok B yang terdiri dari stasiun II, III, IV, VII dan VIII merupakan area kajian di perairan Pulau Koholifano, perairan pulau Munante, dan perairan pulau Munante serta kelompok C yang terdiri dari stasiun V, VI dan IX merupakan area kajian di perairan pulau Munante dan perairan pulau Bakealu. Hasil ordinasi tersebut menunjukan bahwa stasiun-stasiun yang berada dalam satu kelompok berarti berada pada lingkungan atau komunitas yang sama. Hasil uji regresi antara Interval Ordinasi dengan Indeks Disimilaritasnya (Gambar 15) diperoleh persamaan regresi Y = 0,3327 + 43,493 dengan koefisien korelasi (R2 = 0,3295) dan uji statistik dengan menggunakan uji-t pada taraf signifikan 0,05% diperoleh probabilitas (P = 0,03049) sehingga sangat signifikan. Hal ini mengindikasikan dua stasiun ordinasi yang berdekatan memiliki banyak
10 31.81 51.077 50.599 30.238 26.305 26.305 32.326 60.543 46.11 -
54
persamaan spesies dan semakin jauh jarak atau interval ordinasi maka indeks ketidaksamaan sponge semakin tinggi. 120
C
100 VI V IX
80
Sumbu Y
IV
B VIII
60 III
40
II
VII
20
A
VII
0 0
20
40
60
I
80
100
120
Sumbu X
Gambar 14. Grafik Ordinasi Sponge di Perairan Pulau-Pulau Kecil Selat Buton Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara y = 0.3327x + 43.493 R² = 0.3295
120
Indeks Disimilaritas
100
80
60
40
20
0 0
20
40
60 80 Interval Ordinasi
100
120
140
Gambar 15. Grafik Regresi antara Interval Ordinasi dengan Indeks Disimilaritas Sponge di Perairan Pulau-Pulau Kecil Selat Buton Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara
55c
V. PENUTUP
A. Simpulan Simpulan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Komposisi jenis sponge di perairan pulau-pulau kecil Selat Buton Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara terdapat 34 jenis yang terdiri dari 19 famili, dengan Indeks keanekaragaman (H’) tertinggi terdapat di peairan pulau Koholifano (2,78), perairan pulau Munante (2,24) dan perairan pulau Bakealu (1,08). 2. Indeks Disimilaritas sponge meningkat seiring dengan bertambahnya jarak, sehingga pola multidimensional sponge di perairan pulau-pulau kecil Selat Buton Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara berasosiasi dengan heterogenitas lingkungan. B. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang komposisi dan struktur sponge di perairan pulau-pulau kecil Selat Buton Kabupaten Muna berdasarkan perbedaan kedalaman.
55 c
56
DAFTAR PUSTAKA
Ackers, R. Graham, and Moss, D., 2007, Sponges of The British Isles, Journal Marine Conservation Society, 2 (3): 67-75. Aerts, L. A. M., 1998, Sponge and Coral Interactions in Caribbean Reefs: Analysis of Overgrowth Patterns in Relation to Species Identity and Cover, Journal Mar. Ecol Prog, (175): 35-37. Alcolado., and Pedro., 2003, Reading The Code of Coral Reef Sponge Community Composition and Structure for Environmental Biomonitoring: Some Experiences from Cuba, Journal Biodiversity, Innovation and Sustainability, (3): 3-10. Alen, G. R., dan Steene, R., 1999, Coral Reef Indonesia Pacific, Memoir of the Queensland Museum, Australia. Amir, I., dan Budiyanto, A., 1996. Mengenal Spons Laut (Demospongiae) Secara Umum. Jurnal Oseana, XXI (2): 15-31. ________., 1991. Fauna Spons (Porifera) dari Terumbu Karang Genteng Besar, Pulau-Pulau Seribu. Jurnal Oseanologi Indonesia, (24): 41-54. Analuddin.1997, Analisis Vegetasi Tumbuhan Pada Beberapa Tegakan Hutan Mahoni Dan Pinus Di Gunung Merapi Dan Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta. Skripsi. UGM Yogyakarta. Asro, M.,Yusnaini., dan Halili., 2013, Pertumbuhan Spons (Stylotella aurantium) yang Ditransplantasi pada Berbagai Kedalaman. Jurnal Mina Laut Indonesia, 01 (01): 133-144. Barnes, D.K.A., 1999, High diversity of tropical intertidal-zone sponges in temperature, salinity and current extremes, Journal Ecol. Afrika, (37): 424-434. Bell., James., and Smith, D., 2004, Ecology of Sponge Assemblages (Porifera) in The Wakatobi Region, South East Sulawesi, Indonesia, Richness And Abundance, Jurnal Maritim. Bergquist, P. R., 1969, The Marine Fauna of New Zealand: Porifera Demospongiae, Part 1 (Tetractinomorpha and Lithistida). New Zealand Department of Scientific and Insdustrial Research. New Zealand oceanographic Institute Memoirs, (37): 9-104. ________.,1978, Sponges. Hutchinson, London.
56 c
c
57
________., 1988, The marine fauna of New Zealand (Porifera, demospongiae) New Zealand department of Scientific and Industrial Research. Journal New Zealand Oceanographic Institute Memoirs (96): 7-197. Darmadi., 2011, Eksplorasi Spons (Porifera), Marine science, Universits Padjajaran. De Voogd, N.J.D., 2005, Indonesian sponges Biodiversity and marincultured potential, Geboren te Dodgrecht, Netherlands. ________., Becking., Leontine E., Hoeksema, B. W., Noor, Alfian., and Soest, R. V., 2004, Sponge Interactions with Spatial Competitors in The Spermonde Archipelago, Journal Biol. Mus, 68 (1): 253-261. ________.,1997, Cross Shelf Distribution of South West Sulawesi Open Reef Sponges. Memoir of the Queensland Museum, Australia. Duckworth, A. R., 2003, Effect of Wound Size on the Growth and Regeneration of Two Temperature Subtidal Sponge, Journal. EXP. Mar. Biol. Ecol, (287): 139-153. Fromont, J., Bergquist, P. R., 1994, Reproductive Biology of Three Sponge Species of the Genus Xestospongia (Porifera: Demospongiae: Petrosida) from the great Barrier Reef, Journal Coral Reef, (13): 119-126. Haris, A., 2013. Biologi dan Ekologi Sponge. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, Makassar. Harrison, F.W, dan De Vos, L., 2000, Porifera (Microscopic Anatomy of Invertebrates), Journal Oseanologi Singapore, 2 (3)28-89. Hooper, J.N.A and Soest, R.W.M.V, 2003, Systema porifera a guide to the classification of sponges, Journal Biol. Univ. Genova, (68): 19-38. ________., 2002, Sponguide (Guide to sponge collection and identification) Queensland Museum, South Brisbane, Australia. Kawaroe, M. 2009, Fragmentasi Buatan dan Reproduksi Seksual Spons Aaptos aaptos dalam Upaya Perbanyakan Stok Koloni di Alam. Disertasi, Program Studi Ilmu Kelautan Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Kozloff, E. N., 1990. Invertebrates, Saunders College Publishing. Millan, M., 1996, Starting a Succesful Commercial Sponge Aquaqulture Farm, CTSA Publication, Hawai.
58
Mueller-Dombois and Ellenberg H., 1974, Aims and Methods of Vegetation Ecology. New York: John Wiley & Sons. Osinga, R., Beukelaer, P. B., Tramper, J., and Wijffels, R. H., 1999, Growth of the sponge Pseudosuberites andrewsi in a closed system, Journal applications for biotechnology, Wageningen University, Holland. Pong, P.R., 2003, Studi Budidaya Sponge (Auletta sp) secara Transplantasi pada Substrat Berbeda, Jurnal Maritek, 3 (1): 1-9. Pronzato, R., Bavestrello, G., Cerrano, C., Magnino, G., Manconi, R., Pantelis, J., Sara, A., and Sidri, M., 2000, Spons Farming in the Mediterranian Sea, Memoir of the queensland Museum, (44): 485-491. Pratama, F., 2014, Distribusi Dan Kelimpahan Sponge Di Perairan Pulau Karammasang Kabupaten Polewali Mandar Keterkaitan dengan Terumbu Karang dan Oseanografi Perairan, Skripsi, Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Iniversitas Hasanuddin. Rahmat, R., 2007, Spons Indonesia Kawasan Timur: Keragaman, Distribusi, Kelimpahan, dan Kandungan Metabolit Sekundernya, Jurnal Oseanologi dan Limnologi Indonesia, (33): 123-138. ________., 2006, Sensus Biota Laut dalam Kaitannya dengan Bioprospektif. LIPI, Jakarta. Ramli., 2010, Distribusi dan Kepadatan Spons pada Beberapa Pulau di Perairan Kota Makassar. Thesis, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan.UNHAS. Makassar. Rani, C., dan Haris, A., 2005, Metode Transplantasi Spons Laut Aaptos aaptos dengan Teknik Fragmentasi di Terumbu Karang Pulau Barranglompo, Makasar. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanudin, Makasar. Rizka, A., 2013, Skrining Bakteri Simbion Spons Asal Perairan Pulau Polewali dan Pulau Sarappolompo sebagai Peghasil Antibakteri terhadap Bakteri Patogen pada Manusia dan Ikan. Skripsi, Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Romimohtarto, K.,dan Juwana, S., 1999, Biologi Laut, Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI, Jakarta.
59
Storr, J.F., 1976, Ecological: Factors controlling sponge distribution in the Gulf of Mexico and the resulting zonation in Harrison of Biology, Academic Press, New York. Suharyanto., 1998, Studi Distribusi dan Persentase Penutupan Spons pada Kedalaman dan Kondisi Terumbu Karang yang Berbeda di Perairan Pulau Barrang Lompo Kota Makassar, Thesis Pascasarjana Unhas, Makassar. Suryati, E., Parenrengi, A., dan Rosmiati., 2000, Penapisan Serta Analisis Kandungan Bioaktif Sponge Clathria sp. yang efektif sebagai Antibiofouling pada teritif (Balanus amphitrit), Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, VI (3). Suparno., 2005, Kajian Bioaktif Spons Laut (Porifera : Demospongiae) Suatu Peluang Alternatif Pemanfaatan Ekosistem Karang Indonesia dalam Bidang Farmasi. Makalah Pribadi Falsafah Sains, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Tanaka, J., Aoki, S., Higa, T., Kobayashi, M., Rachmaniar, R., dan De Voogd, N.J., 2002, Indonesian Marine Sponges. Osaka University, Osaka. Wilkinson, C.R., and Cheshire, A.C., 1989, Patterns in Distribution of Sponge Population Across the Central Great Barrier Reef, Journal Coral Reefs (8): 127-134.
11 60
Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian
c
b
a Gambar . Peta Lokasi Penelitian
Gambar . (a) Perairan Pulau Koholifano Lokasi Penelitian
12 61 c
Gambar . (b) Perairan Pulau Munante Lokasi Penelitian
Gambar . (c) Perairan Pulau Bakealu Lokasi Penelitian
62 13 c
Lampiran 2. A. Contoh Perhitungan Kerapatan, Kerapatan Relatif, Frekuensi, Frekuensi Relatif, Dominansi, Dominansi Relatif dan Indeks Nilai Penting Phyllospongia lamellosa yang terdapat di pulau Kogholifano. 1. Kerapatan (K) Jumlah individu suatu jenis K Luas area sampel 10
K = 160 K = 0,06 ind/koloni/m2 2. Kerapatan Relatif (KR) Kerapatan suatu jenis KR x 100% Total Kerapatan Seluruh Jenis 0,06
KR =4,23x 100% KR = 1,47% 3. Frekuensi (F) Jumlah Plot dimana Suatu Jenis Terdapat F Total Seluruh Plot Pengamatan 8
F = 40 F = 0,2 4. Frekuensi Relatif (FR) Frekuensi Suatu Jenis FR x 100% Total Frekuensi Seluruh Jenis 0,2 FR = 2,8 x 100% FR = 7,14 % 5. Dominansi
3,94
D = 160 = 2,46 6. Dominansi Relatif
2,46
DR = 16,80 x 100% DR = 14,66 % 7. Indeks Nilai Penting (INP) INP = KR + FR + DR = 1,47% + 7,14 % + 14,66 %
14 63 c
INP = 23,27% B. Hasil Analisis Kerapatan, Kerapatan Relatif, Frekuensi, Frekuensi Relatif, Dominansi, Dominansi relative dan Indeks Nilai Penting pada Setiap Pulau Penelitian 1. Pulau Kogholifano KR FR DoR INP No Nama Jenis Jml. K F Do (%) (%) (%) (%) Phyllospongia 1 lamellosa 10 0.06 1.48 0.2 7.14 2.46 14.66 23.28 Carteriospongia 2 sp. 1 0.01 0.15 0.025 0.89 0.02 0.095 1.135 3 Theonella sp. 251 1.57 37.1 0.275 9.82 1.92 11.41 58.31 Lamellodysidea 4 herbacea 102 0.64 15.1 0.075 2.68 0.02 0.137 17.88 Xestospongia 5 exigua 9 0.06 1.33 0.2 7.14 0.43 2.577 11.05 Xestospongia 6 testudinaria 10 0.06 1.48 0.175 6.25 1.88 11.21 18.93 7 Xestospongia sp. 1 0.01 0.15 0.025 0.89 0.38 2.237 3.277 8 Plakortis nigra 2 0.01 0.3 0.05 1.79 0.03 0.157 2.238 9 Plakortis sp. 1 0.01 0.15 0.025 0.89 1.84 10.94 11.98 10 Liosina granularis 116 0.73 17.1 0.125 4.46 0.96 5.706 27.3 11 Liosin paradoxa 2 0.01 0.3 0.05 1.79 0.09 0.565 2.647 12 Craniella sp. 13 0.08 1.92 0.175 6.25 0.48 2.876 11.05 Cinachyrella 13 australiensis 7 0.04 1.03 0.1 3.57 1.5 8.947 13.55 Pericharax 14 heteroraphis 2 0.01 0.3 0.025 0.89 0.07 0.411 1.599 15 Iricinia sp. 33 0.21 4.87 0.4 14.3 3.07 18.26 37.42 16 Jaspis stellifera 6 0.04 0.89 0.125 4.46 0.62 3.688 9.038 Halichondria 17 cartilaginea 2 0.01 0.3 0.05 1.79 0.07 0.388 2.469 Stylotella 18 aurantium 11 0.07 1.62 0.25 8.93 0.06 0.35 10.9 19 Pipestela rara 1 0.01 0.15 0.025 0.89 0.01 0.042 1.083 20 Mycale flagellifer 56 0.35 8.27 0.075 2.68 0.02 0.137 11.09 21 Haliclona sp. 4 0.03 0.59 0.075 2.68 0.04 0.224 3.493 Neofibularia 22 hartmani 4 0.03 0.59 0.1 3.57 0.21 1.276 5.438 23 Callyspongia sp. 27 0.17 3.99 0.025 0.89 0.19 1.141 6.022 24 Cribrochalina sp. 1 0.01 0.15 0.025 0.89 0.33 1.945 2.986
15 64 c
No 25 26 27 28
Nama Jenis Cymbastela coralliophila Stylissa carteri Stylissa flabelliformis Clathria sp.
Jml.
K
KR (%)
F
FR (%)
Do
DoR (%)
INP (%)
1 1
0.01 0.15 0.01 0.15
0.025 0.025
0.89 0.89
0.06 0.328 0.01 0.042
1.368 1.083
1 2 667
0.01 0.15 0.01 0.3 4,23
0.025 0.05 2,8
0.89 1.79
0.01 0.068 0.03 0.182 16,80
1.109 2.263 300
2. Pulau Munante No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Nama Jenis Stylotella aurantium Xestospongia testudinaria Desmapsamma sp. Haliclona muricata Haliclona turquoisia Haliclona sp. Leucetta microraphis Pericharax heteroraphis Phyllospongia lamellosa Theonella sp. Cymbastela coralliophila Craniella sp. Cinachyrella australiensis Clathria sp. Clathria reinwardti Liosina granularis
Jml.
K
KR (%)
F
FR (%)
Do
DoR (%)
INP (%)
9
0.08
1.67 0.233
7.14
0.07 0.329 9.139
15 2
0.13 0.02
2.78 0.367 0.37 0.067
14.3 2.04
6.02 34.72 51.78 0.08 0.404 2.815
9
0.08
1.67 0.267
8.16
0.23 1.124 10.95
3 2
0.03 0.02
0.56 0.1 0.37 0.033
3.06 1.02
0.04 0.205 3.822 0.01 0.073 1.464
10
0.08
1.85 0.267
8.16
0.47 2.334 12.35
2
0.02
0.37 0.033
1.02
0.09 0.455 1.846
1 231
0.01 1.93
0.19 0.033 42.8 0.267
1.02 8.16
0.01 0.068 1.274 2.05 10.12 61.06
2 115
0.02 0.96
0.37 0.067 21.3 0.233
2.04 7.14
0.03 0.146 2.557 0.74 3.644 32.08
26 11
0.22 0.09
4.81 0.467 2.04 0.333
14.3 10.2
7.06 34.94 54.04 0.22 1.076 13.32
4 97
0.03 0.81
0.74 0.133 18 0.233
4.08 7.14
0.3 1.481 6.303 1.79 8.856 33.96
16 65 c
No 17
Nama Jenis Plakinastrella mammillaris
Jml.
K
1 540
0.01 4,5
KR (%)
F
0.19 0.033 3,27
FR (%) 1.02
Do
DoR (%)
INP (%)
0.01 0.032 1.238 20,20 300
3. Pulau Bakealu
0.04 8.27
KR FR F (%) (%) 0.49 0.167 10.6 97 0.633 40.4
2.16 4.86
DoR INP (%) (%) 28.85 39.98 64.86 202.26
11 2
0.09 0.02
1.08 0.333 0.2 0.067
21.3 4.26
0.31 0.03
4.17 0.424
26.52 4.87
3
0.03
0.29
0.1
6.38
0.07
0.924
7.6
10 1023
0.08 8,53
0.98 0.267 1,57
17
0.06 7,48
0.771
18.77 300
No
Nama Jenis
Jml.
K
1 2
Cribrochalina sp. Theonella sp. Neofibularia hartmani Clathria sp. Cymbastela coralliophila Stylotella aurantium
5 992
3 4 5 6
Do
Keterangan : D = Densitas (ind/kol/m2) DR = Densitas Relatif (%) F = Frekuensi FR = Frekuensi Relatif (%) Dom = Dominansi DomR = Dominansi Relatif (%) INP = Indeks Nilai Penting (%) C. Hasil Indeks Keanekaragaman dan Indeks Kemerataan Karang pada setiap Stasiun Pengamatan 1. Pulau Kogholifano No Nama Jenis Jml. Pi Ln Pi Pi Ln Pi
1 2 3 4 5 6
Phyllospongia lamellosa Carteriospongia sp. Theonella sp. Lamellodysidea herbacea Xestospongia exigua Xestospongia testudinaria
10 0.0776 1 0.00378 251 0.19436
-2.5561 -5.5769 -1.638
-0.1984 -0.0211 -0.3184
102 0.05961 9 0.03683
-2.82 -3.3014
-0.1681 -0.1216
10 0.06311
-2.7629
-0.1744
17 66 c
No 7 8 9 10 11 12
Pi 0.01092 0.00746 0.03994 0.09102 0.00882 0.03682
Ln Pi -4.5167 -4.898 -3.2204 -2.3967 -4.7305 -3.3017
Pi Ln Pi -0.0493 -0.0365 -0.1286 -0.2181 -0.0417 -0.1216
7 0.04518
-3.0972
-0.1399
2 0.00533 33 0.12473 6 0.03013
-5.2343 -2.0816 -3.5023
-0.0279 -0.2596 -0.1055
2 11 1 56 4
0.00823 0.03635 0.00361 0.03696 0.01164
-4.8 -3.3147 -5.6244 -3.298 -4.4529
-0.0395 -0.1205 -0.0203 -0.1219 -0.0519
4 0.01813 27 0.02007 1 0.00995
-4.0104 -3.9083 -4.6099
-0.0727 -0.0785 -0.0459
1 0.00456 1 0.00361
-5.3901 -5.6244
-0.0246 -0.0203
1 0.0037 -5.6008 2 0.00754 -4.887 677 Indeks Keanekaragaman (H’) Indeks Kemerataan (E) 2. Pulau Munante No Nama Jenis Jml. Pi Ln Pi 1 Stylotella aurantium 9 0.03046 -3.4913 Xestospongia 2 testudinaria 15 0.1726 -1.7568 3 Desmapsamma sp. 2 0.00938 -4.6689
-0.0207 -0.0369
13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Nama Jenis Xestospongia sp. Plakortis nigra Plakortis sp. Liosina granularis Liosin paradoxa Craniella sp. Cinachyrella australiensis Pericharax heteroraphis Iricinia sp. Jaspis stellifera Halichondria cartilaginea Stylotella aurantium Pipestela rara Mycale flagellifer Haliclona sp. Neofibularia hartmani Callyspongia sp. Cribrochalina sp. Cymbastela coralliophila Stylissa carteri Stylissa flabelliformis Clathria sp.
Jml. 1 2 1 116 2 13
2,7843 0,83558 Pi Ln Pi -0.1064 -0.3032 -0.0438
18 67 6c
No 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Nama Jenis Haliclona muricata Haliclona turquoisia Haliclona sp. Leucetta microraphis Pericharax heteroraphis Phyllospongia lamellosa Theonella sp. Cymbastela coralliophila Craniella sp. Cinachyrella australiensis Clathria sp. Clathria reinwardti Liosina granularis Plakinastrella mammillaris
Jml. Pi Ln Pi 9 0.03651 -3.3101 3 0.01274 -4.3631 2 0.00488 -5.3228
Pi Ln Pi -0.1209 -0.0556 -0.026
10 0.04116 -3.1902
-0.1313
2 0.00615 -5.0906
-0.0313
1 0.00425 -5.4619 231 0.20354 -1.5919
-0.0232 -0.324
2 0.00852 -4.7648 115 0.10694 -2.2355
-0.0406 -0.2391
26 11 4 97
0.18012 0.04439 0.02101 0.11321
-1.7141 -3.1148 -3.8627 -2.1785
-0.3087 -0.1383 -0.0812 -0.2466
1 0.00413 -5.4903 -0.0227 540 Indeks Keanekaragaman (H’) 2,2428 Indeks Kemerataan (E) 0,7916 3. Pulau Bakealu No Nama Jenis Jml. Pi Ln Pi 1 2 3 4 5 Cribrochalina sp. 1 5 0.13325 -2.0155 Theonella sp. 2 992 0.67419 -0.3942 Neofibularia 3 hartmani 11 0.08841 -2.4258 Clathria sp. 4 2 0.01625 -4.1197 Cymbastela 5 coralliophila 3 0.02533 -3.6756 Stylotella aurantium 6 10 0.06257 -2.7715 1.023 Indeks Keanekaragaman (H’) Indeks Kemerataan (E)
Pi Ln Pi 6 -0.2686 -0.2658 -0.2145 -0.0669 -0.0931 -0.1734 1,0823 0,60403
19 68 c
Lampiran 3. Gambar Beberapa Jenis Sponge yang Terdapat di Peraian Pulau-Pulau Kecil Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Muna
Phyllospongia lamellosa
Stylotella aurantium
Theonella sp.
Lamellodysidea herbacea
110 69 9c
Xestospongia sp.
Mycale flagellifer
Plakortis nigra
Liosina granularis
Craniella sp.
Pericharax heteroraphis
70 111 c
Iricinia sp.
Halichondria cartilaginea
Haliclona sp.
Jaspis stellifera
Pipestela rara
Xestospongia spp.
71 112 c
Xestospongia testudinaria
Neofibularia hartmani
Callyspongia sp.
Carteriospongia sp.
Plakortis sp.
Cinachyrella australiensis
72 113 c
Cymbastela coralliophila
Cribrochalina sp.
Clathria sp.
Stylissa carteri
Stylissa flabelliformis
Liosin paradoxa
73 114 c
jkhjk
Desmapsamma sp.
Haliclona muricata
Leucetta microraphis
Haliclona turquoisia
Plakinastrella mammillaris
Clathria reinwardti
115 74 c
Lampiran 4. Gambar Fasilitas dan Peralatan Dalam Penelitian
116 75 c
Lampiran 5. Gambar Kegiatan Pengambilan Data Lapangan 1. Catatan : Survey lokasi penelitian Dokumen Pendukung :
76 117 c
2. Catatan : Perjalanan Menuju Lokasi Penelitian Dokumen Pendukung :
3. Catatan : Pengukuran faktor lingkungan Dokumen Pendukung :
77 118 c
4. Catatan : Pemasangan transek dan dan plot pengamatan Dokumen Pendukung :
78 119 c
5. Catatan : Pengukuran kerapatan Dokumen Pendukung :
6. Catatan : Identifikasi dan pengambilan sampel Dokumen Pendukung :