PROSEDUR DAN AKIBAT HUKUM PENUNDAAN PEMBAYARAN HUTANG

Prosedur permohonan PKPU harus disertai daftar yang menerangkan tentang: a. Sifat dan jumlah aktiva dan pasiva harta debitor, b. ... c. Tata cara peng...

30 downloads 476 Views 214KB Size
PROSEDUR DAN AKIBAT HUKUM PENUNDAAN PEMBAYARAN HUTANG PERSEROAN TERBATAS Dr. Misahardi Wilamarta, SH, MH, LLM, MKn Dosen Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Abstract Business competition could make a liability limited company get last that makes the company could not do its duties, particularly in debt paying to the third party. In order to avoid the company was bankrupt claimed by creditor, the company could appeal to Business Court where the company is located to get delay for debt payment duty. The contents are debt payment delay for a while or debt payment time extended This initiative could get advantages for both sides, debtor and creditor. For debtor, this opportunity can be uses to make company healthy again, so it could pay all company’s debt to creditor. The other one, it can be used by creditor debt getting bigger discharging of debt as well. It is different, if debtor is putting in bankruptcy position, a creditor just be paid a part of the company’s debts, because the rest asset of the company would be divided into all creditor as proporsional way. Key words : Liability limited company, bankrupt, debt, delay, debtor and creditor. A. PENDAHULUAN Mengingat persaingan usaha yang cukup ketat diantara para perusahaan dan perubahan iklim usaha yang begitu cepat, terutama akibat krisisi ekonomi yang berkepanjangan yang hingga saat ini masih belum benar-benar pulih, sehingga risiko usaha masih tinggi, maka perusahaan dalam menjalankan usahanya adakalanya tidak terhindarkan mengalami kerugian berat, sehingga masalah Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan Kepailitan perusahaan menjadi tidak terhindarkan. Dalam kancah ekonomi yang tidak menentu ini, bila pengelolaan PT tidak profesional, maka PT itu mungkin dapat menderita kerugian dan jatuh pada keadaan tidak mampu memenuhi kewajiban utang, baik karena PT itu tidak dapat memenuhi prestasi menyerahkan sejumlah barang, maupun wanprestasi karena tidak dapat membayar hutangnya pada pihak lain. Dalam hal demikian, untuk memulihkan keadaan usaha PT agar menjadi sehat, dan sebelum PT tersebut dituntut pailit oleh pihak ketiga, maka PT itu masih ada cara memulihkan keadaan meruginya itu dengan cara mengajukan permohonan ke Pengadilan, agar PT diizinkan untuk sementara melakukan PKPU. Dengan dikabulkannya permohonan PKPU, maka PT yang berinasalah itu dapat meminta kreditor agar untuk sementara ditunda dulu pembayaran utangnya atau perpanjangan jangka waktu pelunasan utangnya. PKPU itu menguntungkan debitor yang mempunyai hutang, selain itu juga menguntungkan kreditor, karena kreditor memiliki kemungkinan lebih besar mendapatkan pelunasan piutangnya secara penuh. Umum telah mengetahui, bahwa seluruh kekayaan orang perseorangan atau perusahaan, yang sekarang ada atau kemudian hari akan ada itu dapat menjadi jaminan suatu hutang. Jadi, PT yang bermasalah itu bagaimanapun juga harus melunasi hutangnya kepada pihak lain dengan jaminan seluruh harta kekayaan PT. Undang-Undang Nomor 4 Tentang Penerapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Tentang Kepailitan

Menjadi Undang-Undang (UU Kepailitan) memberi kelonggaran pada PT yang akan pailit, dapat menempuh jalan/cara PKPU terlebih dahulu, agar PT yang bermasalah tersebut masih dapat berusaha sekuat tenaga memperbaiki keuangannya, dengan berdamai dengan pihak kreditor, baik meminta pengurangan pembayaran maupun meminta perpanjangan pembayaran hutangnya, agar PT itu dapat pulih kembali dari kesulitan keuangannya dan meningkatkan kegiatan usahanya, dengan harapan PT itu pulih kembali dari malapetaka atau memperbaiki posisi keuangannya dan kemudian memenuhi kewajibannya kepada pihak yang berkepentingan dan para kreditor. Berhubung UU Kepailitan yang baru saja diberlakukan, didalam ketentuan-ketentuannya terdapat pengaturan mengenai PKPU dan para praktisi hukum banyak yang masih belum memahami atau belum biasa menerapkan ketentuan-ketentuan tentang PKPU, maka penulis memilih judul “Prosedur Dan Akibat Hukum Penundaan Pembayaran Hutang Perseroan Terbatas”. B. PEMBAHASAN 1. Pengertian Tentang PT sebagai Badan Hukum PT adalah badan usaha yang berbentuk badan hukum. Badan hukum adalah subyek hukum, maka menciptakan Badan Hukum perlu dengan undangundang atau berdasarkan undangundang (Hajati Soeroredjo, ? : 7). Badan Hukum adalah kumpulan atau asosiasi dari orang perseorangan yang tidak perlu menanggung dan membayar sisa kekurangan hutang/kewajiban perusahaan dengan harta kekayaan pribadi, yang tidak termasuk sebagai harta kekayaan bersama dalam kelompok (Rudhi Prasetya, 2001 : 31); Badan Hukum adalah badan-badan (kumpulan manusia) yang oleh hukum diberi status “persoon” yang mempunyai hak dan kewajiban seperti manusia (C.S.T. Kansil & Cristine S.T. Kansil, 2002 : 7). Menurut R. Subekti, Badan Hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan hakim (Chidir Ali, 1999: 19). Adapun arti penting bagi PT yang telah menjadi Badan Hukum adalah PT tersebut tidak terikat lagi dengan ajaran klasik yang menganut “asas perjanjian”, tetapi padanya berlaku ajaran modern dengan “asas institusi atau lembaga”. “Asas Institusi” atau lembaga itu mengajarkan, bahwa pendiri yang menjadi pemegang saham, Direksi/Direktur atau Komisaris, pada saat melakukan perbuatan hukum itu (pendiri yang menjadi pemegang saham dan sekaligus juga menjabat selaku Direksi/Direktur atau Komisaris, sekalipun orangnya sama, namun secara fungsional peranan, tugas dan kewenangannya berbeda), terlepas, otonom dari para pemegang saham. Kedudukan PT dalam hukum adalah berdiri sendiri, otonom/terlepas dari orang perorangan yang berada dalam PT tersebut (Rudhi Prasetya, 2001: 9). PT mempunyai kedudukan mandiri. Oleh Undang-undang diberi “standi persona”, dijadikan subjek hukum mandiri di samping manusia orang perorangannya. Manusia orang perorangan yang ada dianggap lepas eksistensinya dari PT itu. “Persona standi in judicio” (Rudhi Prasetya, 2001: 9). Hal tersebut dapat diketahui dan diselami melalui kasus yang terjadi di Inggris, yang dikemukan oleh Pillai dalam rangka menjelaskan atau menggambarkan bahwa perseroan atau Limited Company itu merupakan “Separate Legal Entity” (Rudhi Prasetya, 2001: 27). Teori-Teori Badan Hukum menjelaskan : a. Teori Fiksi dari von Savigny

Menurut teori ini, Badan Hukum adalah suatu abstraksi, bukan merupakan suatu hal yang konkrit. Oleh karena itu, Badan Hukum tidak mungkin menjadi subjek dari hubungan hukum, sebab hukum memberi hak-hak kepada yang bersangkutan suatu kekuasaan dan menimbulkan kehendak berkuasa (wilsmacht). Badan Hukum itu adalah suatu fiksi yang sebenarnya tidak ada, tetapi pemerintah menciptakannya menjadi ada (buatan pemerintah), orang Menghidupkannya dalam bayangannya untuk menerangkan sesuatu hal. Sebenarnya, menurut alam hanya manusia yang dapat menjadi subjek hukum pendukung hak dan kewajiban, namun orang menciptakan sesuatu dalam bayangannya. Jadi, Badan Hukum diciptakannya selaku subjek hukum yang diperhitungkan sama dengan manusia dan manusia inilah yang melakukan perbuatan-perbuatan, sehingga yang melakukannya ialah manusia sebagai wakil-wakilnya (Chidir Ali, 1999 : 30-31). b. Teori Organ dari Otto von Gierke Menurut teori ini, Badan Hukum seperti manusia, menjadi penjelmaan yang benarbenar ada dalam pergaulan hukum. Badan Hukum itu membentuk kehendaknya dengan perantaraan alat-alat atau organ-organ badan tersebut, misalnya anggota-anggotanya atau pengurusnya, seperti manusia yang mengucapkan kehendaknya dengan perantaraan mulutnya atau dengan perantaraan tangannya, jika kehendak itu ditulis diatas kertas. Apa yang mereka (organen) putuskan adalah kehendak dari Badan Hukum. Jadi, Badan Hukum itu bukan suatu yang abstrak, tetapi benar-benar ada. Badan Hukum itu bukanlah suatu kekayaan (hak) yang tidak bersubjek, Badan Hukum itu suatu organisme yang riil, yang hidup dan bekerja seperti manusia biasa (Chidir Ali, 1999: 32-33). c. Teori kekayaan Bersama dari Rudolf von Jhering Menurut teori ini, Badan Hukum itu adalah kumpulan manusia. Kepentingan Badan Hukum adalah kepentingan seluruh anggotanya; Badan Hukum itu bukan abstraksi dan bukan organisme. Pada hakekatnya hak dan kewajiban Badan Hukum adalah hak dan kewajiban anggota bersama-sama. Mereka bertanggung jawab bersama-sama. Harta kekayaan Badan Hukum itu adalah milik (eigendom) bersama seluruh anggota. Para anggota yang berhimpun adalah suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi yang disebut Badan Hukum (Chidir Ali, 1999 : 34). d. Teori Harta Kekayaan Bertujuan dari Brinz Menurut teori ini, hanya manusia saja yang menjadi subjek hukum, namun tidak dapat dibantah adanya hak-hak atas suatu kekayaan, sedangkan tiada satu manusiapun yang dapat menjadi pendukung dari hak-hak itu. Apa yang dinamakan dengan hak-hak dari suatu Badan Hukum itu, sebenarnya adalah hak-hak yang tidak ada yang mempunyainya dan sebagai penggantinya adalah suatu harta kekayaan kepunyaan suatu tujuan (Ali Rido, 1981 : 16). 2. Pengertian tentang PKPU Undang-Undang Kepailitan (UU Kepailitan) tidak secara jelas mendefinisikan tentang PKPU, namun secara tersirat pengertian PKPU dapat terlihat dari Pasal 212 UU Kepailitan, yang mengatakan bahwa: Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan, bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan pembayaran utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat di tagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud pada umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditor konkuren.

PKPU pada dasarnya adalah penawaran perdamaian dari debitor pada kreditor dan PKPU itu merupakan pemberian kesempatan kepada debitor untuk melakukan restrukturisasi utang-utangnya, yang meliputi pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditor konkuren (Kartini Mulyadi, 1998 : 1). Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Surseance van Betaling/ Suspension of Payment) dapat diperintahkan oleh Hakim kepada debitor yang merasa tidak dapat melakukan pembayaran utangnya yang sudah tiba waktu pelunasannya, tetapi sanggup bila waktu pembayarannya diperpanjang atau sanggup meneruskan pembayaran setelah beberapa waktu yang akan datang (Andi Hamzah, 1986 : 256), Upaya PKPU itu hanya dapat diajukan oleh debitor sebelum putusan pernyataan pailit ditetapkan oleh pengadilan, karena berdasarkan Pasal 217 ayat 6 UU Kepailitan, permohonan PKPU harus diputus terlebih dahulu, apabila permohonan pernyataan pailit dan PKPU diperikaa pada saat yang bersamaan (Sutan Remy Sjahdeini, 2002: 322). Prosedur permohonan PKPU harus disertai daftar yang menerangkan tentang: a. Sifat dan jumlah aktiva dan pasiva harta debitor, b. Nama dan tempat tinggal/kediaman para kreditor. c. Jumlah piutang masing-masing kreditor. d. Surat-surat bukti selayaknya. e. Selain itu, dapat pula dilampirkan Rencana Perdamaian (accord). 3. Prosedur Beracara pada PKPU a. Hak debitor mengajukan PKPU Mengenai hal ini, diatur dalam Bab II Pasal 212 sampai dengan Pasal 279 UU Kepailitan. Dalam ketentuan-ketentuan tersebut dapat diketahui, debitor yang dapat memperkirakan atau yang tidak dapat memperkirakan, bahwa debitor sendiri tidak akan dapat melanjutkan pembayaran utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, maka kepada debitor tersebut diberikan hak untuk memohon PKPU melalui Pengadilan Niaga, dengan maksud agar debitor itu dapat mengajukan Rencana Perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran utang, baik untuk seluruh jumlah atau sebagian utangnya kepada kreditor konkuren (Sutan Remy Sjahdeini, 2002 : 325-326). b. Hak kreditor Mengajukau PKPU UU Kepailitan tidak memberikan penjelasan secara tegas mengenai hak kreditor atau para kreditor, baik masing-masing atau secara bersama-sama untuk mengajukan PKPU. Namun yang diberikan hak kepada kreditor atau para kreditor hanyalah hak untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit pada debitor yang ingkar janji, wanprestasi tidak memenuhi kewajibannya pada kreditor atau para kreditor, Permohonan PKPU harus ditanda tangani oleh debitor beserta penasihat hukumnya (Pasal 213 UU Kepailitan) dan disampaikan ke kepaniteraan Pengadilan Niaga, agar dapat diperiksa permohonannya oleh Hakim (Pasal 214 ayat 4 UU Kepailitan). c. Tata cara pengajuan permohonan PKPU Hal ini diatur dalam Pasal 4 ayat 1 dan Pasal 6 ayat 5 UU Kepailitan, yang menyatakan: 1) Permohonan PKPU didaftarkan ke Kepaniteraan Pengadilan Niaga, kemudian kepada debitor diberikan tanda bukti penerimaan (di register) permohonannya pada tanggal yang sama;

2) Sejak pendaftaran permohonan PKPU diterima, maka maksimal dalam waktu 1 x 24 jam, Panitera Pengadilan Niaga menyampaikan permohonan tersebut kepada Ketua Pengadilan Niaga untuk menentukan anggota Majelis Hakim yang akan memeriksa permohonan tersebut; 3) Sejak pendaftaran permohonan PKPU diterima, maka maksimal dalam waktu 2 x 24 jam, Majelis Hakim mempelajari dan menetapkan hari sidang; 4) Putusan PKPU Sementara diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan dapat dijalankan terlebih dahulu, meskipun mungkin ada pihak yang mengajukan upaya hukum. Permohonan PKPU dapat diajukan debitor, pada saat sebelum atau sesudah perusahaan memohon Pengadilan Niaga agar debitor dinyatakan pailit (Pasal 212 jo. Pasal 217 UU). Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka terbuka kemungkinan bahwa permohonan pernyataan pailit itu telah diterima oleh Pengadilan Niaga tetapi belum diperiksa atau sedang diperiksa, muncul lagi permohonan pernyataan pailit dari debitor dan penasihat hukumnya yang mengajukan permohonan PKPU, sehingga Pengadilan Niaga pada saat yang berdamaan menerima dan mengadili dua permohonan untuk perusahaan yang bermasalah itu. Dalam hal demikian, Pasal 217 ayat 6 UU Kepailitan mengatakan, bahwa apabila permohonan pernyataan pailit dan pemohonan PKPU diperiksa pada saat yang bersamaan, maka permohonan PKPU harus diputus terlebih dahulu. Jadi, bila pada saat permohonan PKPU masuk register di Pengadilan Niaga, sedangkan proses pemeriksaan mengenai permohonan pailit untuk perusahaan yang bermasalah itu sedang berjalan, maka proses peradilan tentang kepailitan harus ditunda oleh Hakim Pengadilan Niaga (Sutan Remy Sjahdeini, 2002 : 329-330). Untuk itu, Fred B.G. Tumbuan mengatakan, bahwa putusan PKPU yang diajukan oleh debitor dan penasihat hukumnya, setelah diajukan permohonan pernyataan pailit oleh seorang atau beberapa orang kreditornya, maka putusan PKPU-nya hanya boleh diberikan dalam hal putusan kepailitan belum diucapkan oleh Pengadilan Niaga. Apabila terbukti bahwa permohonan PKPU dari debitor dan penasihat hukumnya itu ditolak, maka konsekuensinya ialah debitor harus dinyatakan pailit, Hakim tidak perlu lagi memeriksa permohonan pernyataan pailit yang dihentikannya itu, tetapi wajib langsung menyatakan debitor pailit (Sutan Remy Sjahdeini, 2002: 330-33 1). Pasal 217A UU Kepailitan lebih jelas mengatakan, bahwa bila permohonan PKPU yang diajukan oleh debitor dan penasihat hukumnya ditolak, yaitu karena tidak tercapai kesepakatan antara debitor dan para kreditor mengenai Rencana Perdamaian yang diajukan oleh debitor, maka Pengadilan Niaga wajib menyatakan debitor bersangkutan pailit selambat-lambatnya pada hari berikutnya. Dengan demikian, PKPU terhadap pemeriksaan permohonan pailit yang ditunda karena diajukannya permohonan PKPU itu akan berakhir apabila PKPU tetap dikabulkan atau apabila PKPU Tetap ditolak. Dalam hal PKPU Tetap dikabulkan, maka penundaan pemeriksaan permohonan pernyataan pailit itu dibuka kembali. Artinya pemeriksaan yang ditunda itu dilanjutkan kembali, namun dengan ketentuan bahwa Pengadilan Niaga wajib langsung menyatakan debitor pailit, selambat-lambatnya keesokan harinya setelah PKPU Tetap ditolak oleh para kreditor, karena Rencana Perdamaian yang diajukan oleh debitor tidak dapat disepakati oleh para kreditor (Sutan Remy Sjahdeini, 2002: 330-331). Sebelum Pengadilan Niaga memutuskan PKPU tetap, maka debitor dapat mengajukan permohonan agar dijatuhkan putusan PKPU sementara (Pasal 214 ayat 2 UU Kepailitan). Pengadilan Niaga harus segera mengabulkan permohonan PKPU Sementara dan menunjuk seorang Hakim Pengawas serta mengangkat satu atau lebih Pengurus untuk mengurus

harta debitor sampai sidang berikutnya, apabila debitor telah mengajukan permohonan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 212 dan Pasal 213 UU Kepailitan. Putusan PKPU Sementara itu harus diumumkan oleh Pengurus dalam Berita Negara dan dalam satu atau lebih surat kabar harian yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas, paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sebelum tanggal sidang (Pasal 215 UU Kepailitan). Selain itu, Pengurus juga harus membuat undangan bagi para pihak yang berkepentingan untuk hadir pada rapat Permusyawaratan Hakim, yang mencantumkan tanggal, tempat, waktu sidang, Hakim Pengawas, nama dan alamat Pengurus serta menyebutkan Rencana Perdamaian (bila ada). Pemanggilan itu dilakukan melalui surat tercatat atau melalui kurir (Pasal 214 ayat 3 UU Kepailitan). PKPU Sementara berlaku sejak putusan/penetapan Pengadilan Niaga dijatuhkan sampai hari sidang, maksimal jangka waktunya adalah 45 (empat puluh lima) hari (Pasal 216 UU Kepailitan). Selama proses keputusan PKPU itu sedang berjalan, kreditor perusahaan tidak dapat memaksa debitor untuk membayar utangnya. Putusan PKPU Sementara itu, menurut Pasal 216 UU Kepailitan berlaku sejak tanggal PKPU Sementara itu ditetapkan dan berlangsung sampai dengan tanggal sidang yang ditentukan dalam Pasal 215 ayat 1 UU Kepailitan tersebut diselenggarakan (Sutan Remy Sjahdeini, 2002: 333). Dari ketentuan Pasal 217 A UU Kepailitan dapat diketahui, bahwa jangka waktu PKPU Sementara itu berakhir karena hal-hal yang diterangkan dibawah ini: a. Kreditor Konkuren tidak menyetujui pemberian PKPU tetap, atau b. Pada saat batas waktu perpanjangan PKPU telah tiba, ternyata antara debitor dan kreditor konkuren belum tercapai persetujuan tentang Rencana Perdamaian, Bila ketentuan Pasal 216 UU Kepailitan dikaitkan dengan ketentuan Pasal 217 UU Kepailitan, maka dapat diketahui bahwa selama berlangsungnya sidang dalam rangka memperoleh putusan PKPU tetap, PKPU sementara itu terus berlaku (Sutan Remy Sjahdeini, 2002: 333). Bila PKPU Tetap disetujui oleh para kreditor konkuren, maka PKPU Tetap itu harus diputuskan tidak lebih dari 270 (dua ratus tujuh puluh) hari, terhitung sejak putusan PKPU Sementara ditetapkan (Pasal 217 ayat 4 UU Kepailitan). Jangka waktu 270 (dua ratus tujuh puluh) hari itu adalah jangka waktu bagi debitor dan para kreditor konkurennya untuk merundingkan perdamaian diantara mereka (Sutan Remy Sjahdeini, 2002: 340). Pemberian PKPU Tetap dan perpanjangannya ditetapkan oleh Pengadilan Niaga berdasarkan persetujuan lebih dari 1 /2 (satu perdua) dari jumlah kreditor konkuren yang hanya diakui atau sementara diakui dan hadir serta mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh kreditor yang mempunyai tagihan yang diakui atau yang sementara diakui (Pasal 217 ayat 5 UU Kepailitan). Bila kemudian hari timbul perselisihan antara Pengurus dan para kreditor tentang hak suara kreditor, makaa untuk menyelesaikan perselisihan itu harus diputuskan oleh Hakim Pengawas. Putusan PKPU Tetap itu diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan Pengurus wajib mengumumkannya dalam Berita Negara dan 1 (satu) atau lebih surat kabar harian. Pada hakikatnya PKPU Tetap itu diberikan oleh para kreditor dan bukan oleh Pengadilan Niaga. PKPU Tetap diberikan berdasarkan kesepakatan antara debitor dan para kreditornya mengenai Rencana Perdamaian. Pengadilan Niaga hanya memberikan keputusan untuk mengesahkan dan konfirmasi saja atas kesepakatan dari debitor dan kreditor konkuren. Oleh karenanya, Pengadilan Niaga tidak dibenarkan memutuskan sesuatu yang tidak sesuai dengan kehendak dan kesepakan antara debitor dengan para kreditor (Sutan Remy Sjahdeini, 2002: 334). 4. Pihak-pihak Yang Berperan Pada Penjatuhan Putusan PKPU

a. Hakim Pengawas Hakim Pengawas diperkenalkan dalam Undang-Undang No.4 Tahun 1998 (sebelumnya adalah Perpu No. 1 Tahun 1998). Pengadilan Niaga yang menetapkan PKPU Sementara wajib menunjuk seorang Hakim Pengawas dari Hakim Pengadilan Niaga (Sutan Remy Sjahdeini, 2002: 334). b. Pengurus Menurut Pasal 226 ayat 1 UU Kepailitan, dengan diangkatnya seorang atau lebih Pengurus, maka serta-merta kekayaan debitor berada dibawah pengawasan Pengurus. Pengurus itu diangkat berdasarkan ketentuan Pasal 217 E ayat 1 UU Kepailitan dan harus independen, tidak memiliki benturan kepentingan dengan debitor atau kreditor. Tugas dan kewajiban Pengurus adalah bersama dengan debitor mengurus harta kekayaan debitor, termasuk memindahkan hak atas sesuatu bagian dari harta debitor dan apabila debitor melanggar ketentuan ini, maka Pengurus berhak melakukan segala sesuatu yang diperlukan agar harta debitor tidak dirugikan (Pasal 226 ayat 1 UU Kepailitan). Bahkan Pengurus dapat mengajukan permohonan pengakhiran PKPU (Pasal 240 UU Kepailitan). Menurut ketentuan dari Pasal 217 E ayat 3 UU Kepailitan, maka yang dapat diangkat menjadi Pengurus adalah: 1) Perorangan atau persekutuan perdata yang berdomisili di Indonesia, memiliki keakhlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus kekayaan Pengurus; 2) Telah terdaftar di Departemen Hukum dan Hak Asasi Indonesia Sejak tanggal dimulainya PKPU sementara, debitor tidak berwenang lagi melakukan tindakan pengurusan dan pengalihan kekayaan perusahaan tanpa persetujuan atau ikut sertanya Pengurus (Sutan Remy Sjahdeini, 2002:340). Tanggung jawab Pengurus dapat diketahui dari Pasal 217 E ayat 4 UU Kepailitan. Pengurus bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan yang menyebabkan kerugian pada debitor. Pasal 214 ayat 2 UU Kepailitan mengatakan, bahwa tugas pokok Pengurus adalah bersama-sama dengan debitor mengurus kepentingan debitor mengenai harta kekayaannya dan menurut Pasal 226 ayat 1 UU Kepailitan, selama PKPU, maka debitor sebelum diberi kewenangan oleh Pengurus, debitor itu tidak berwenang atau tidak dapat melakukan tindakan pengurusan dan pemilikan, seperti mengurus perusahaan dan mengalihkan hak atas harta kekayaan perusahaan. Jumlah anggota Pengunrs dapat terdiri dari 1 (satu) orang atau lebih. Bila oleh Pengadilan Niaga diangkat lebih dari 1 (satu) orang Pengurus, maka untuk melakukan suatu perbuatan hukum, harus mendapat persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) dari jumlah Pengurus dan mengenai hal tersebut menjadi kewenangan Hakim Pengawas dan ditentukan oleh Hakim Pengawas (Pasal 222 ayat 1 dan ayat 2 UU Kepailitan). Namun atas permintaan kreditor konkuren, maka Pengurus yang telah diangkat dapat juga diganti atau ditambah jumlahnya oleh Hakim Pengawas. Permintaan penggantian atau penambahan Pengurus itu, hanya dapat diajukan dan hanya akan berhasil, bila disetujuai oleh suara terbanyak biasa (suara lebih dari setengah atau 1/2 ditambah dengan 1 suara) dari para kreditor dalam rapat kreditor (Pasal 222 ayat 3 UU Kepailitan). Setelah Pengurus diangkat oleh Pengadilan Niaga dan Pengadilan Niaga telah menjatuhkan putusan PKPU Sementara, maka Pengurus itu wajib memanggil debitor dan kreditor dengan surat tercatat atau melalui kurir, untuk menghadap dalam sidang yang diselenggarakan paling lambat pada hari ke-45 (empat puluh lima), terhitung setelah putusan PKPU Sementara tersebut ditetapkan (Pasal 214 ayat 3 UU Kepailitan). Selain itu, Pengurus

yang diangkat oleh Pengadilan Niaga itu wajib segera mengumumkan putusan PKPU Sementara itu dalam Berita Negara dan dalam 1 (satu) atau lebih surat kabar harian yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas. Pengumuman itu juga harus memuat undangan kepada para pihak yang berkepentingan untuk hadir dalam persidangan yang merupakan Permusyawaratan Hakim, berikut dengan tanggal, tempat dan waktu sidang tersebut, nama Hakim Pengawas dan nama serta alamat Pengurus. Demikian juga Pasal 215 UU Kepailitan menentukan, bahwa apabila dalam surat permohonan PKPU yang diajukan oleh debitor itu dilampirkan Rencana Perdamaian, maka hal ini harus disebutkan pula dalam pengumuman tersebut. Pengumuman itu harus dilakukan dalam jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari sebelum tanggal sidang yang direncanakan (Sutan Remy Sjahdeini, 2002: 337). Biaya pengurusan dan imbalan jasa Pengurus diputuskan dalam putusan PKPU Sementara, menurut Pasal 217 E ayat 5 UU Kepailitan, Pengadilan Niaga hangs mencantumkan besarnya biaya pengurusan harta debitor oleh Pengurus dan imbalan jasa untuk Pengurus. Adapun pedoman mengenai biaya dan imbalan jasa Pengurus ditetapkan oleh Dept. Huk & HAM RI (Sutan Remy Sjahdeini, 2002: 337). Dalam rangka pengurusan terhadap perusahaan yang bermasalah itu, Pengurus setiap 3 (tiga) bulan sekali wajib melaporkan keadaan harta kekayaan debitor. Laporan tersebut harus disediakan di kantor Panitera Pengadilan Niaga, agar dapat dilihat dan diperiksa oleh para pihak yang berkepentingan tanpa dipungut biaya. Jika para pihak yang berkepentingan atau umum menghendaki laporan itu, maka pelaporan itu juga dapat diperoleh tanpa biaya. Hakim Pengawas berwenang memperpanjang jangka waktu pelaporan Pengurus itu. Jadi, apabila Pengurus menganggap jangka waktu 3 (tiga) bulan itu terlalu singkat, maka Pengurus dapat mengajukan permohonan kepada Hakim Pengawas agar jangka waktu pelaporan itu diperpanjang (Pasal 222 ayat 1 dan ayat 2 UU Kepailitan). Panitia kreditor diangkat apabila: a. Permohonan PKPU meliputi utang dalam jumlah besar atau sifatnya rumit; atau b. Pengangkatan tersebut dikehendaki oleh kreditor konkuren yang mewakili paling sedikit 1/2 (satu perdua) bagian dari seluruh kreditor yang mempunyai tagihan yang diakui (Pasal 214 ayat 2 dan pasal 217B ayat 1 UU Kepailitan). Panitia kreditor dalam menjalankan jabatannya dapat memberikan rekomendasi kepada Pengurus, yang harus diterima dan dipertimbangkan oleh Pengurus (Pasal 217B ayat 2 UU Kepailitan). Kreditor dalam PKPU adalah kreditor konkuren dan kreditor preferen/separatis. Kreditor Preferen adalah kreditor yang didahulukan dalam pembayaran tagihannya daripada kreditor lainnya (Pasal 1132 KUH Perdata). Kreditor preferen menurut Pasal 1132 KUH Perdata adalah kreditor yang mempunyai hak istimewa, gadai dan hipotik (sekarang Hak Tanggungan). Gadai dan Hak Tanggungan adalah lebih - tinggi derajatnya (hierachinya) daripada hak istimewa, kecuali dalam hal-hal tertentu diatur oleh undang-undang sebaliknya (Pasal 1134 KUH Perdata). Kreditor konkuren adalah kreditor yang memiliki piutang terhadap debitor tanpa memiliki jaminan tertentu, sehingga kreditor yang bersangkutan tidak memiliki hak untuk didahulukan dalam pelunasan piutangnya. Pelunasan piutang dilakukan di antara para kreditor konkuren secara proporsional setelah pelunasan piutang kreditor preferen. Kreditor Pemegang Hak Tanggungan, Hak Gadai atau Hak Agunan atas Kebendaan lainnya. Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. Untuk pelunasan utang

tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor lain (Pasal 1 ayat 1 UU Hak Tanggungan). Kreditor Dengan Hak Istimewa. Dalam Pasal 1134 KUH Perdata, hak istimewa adalah suatu hak yang diberikan oleh undang-undang kepada kreditor untuk didahulukan atas kreditor lain dalam menerima pembayaran atas tagihannya, setnata-mata hanya karena sifat tagihannya. Kreditor yang diistimewakan itu adalah kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUH Perdata. Contoh piutang yang diistimewakan adalah biaya perkara, uang sewa, harga pembelian benda bergerak yang belum dibayar, biaya penguburan, biaya perawatan dan pengobatan dari orang yang sakit, upah buruh dan lain sebagainya. Gadai dan Hak Tanggungan memiliki hak (derajat) lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali undang-undang menentukan sebaliknya. Namun negara, dalam hal tagihan pajak, memiliki hak lebih tinggi daripada Gadai dan Hak Tanggungan (Pasal 21 Undang-Undang No.9 Tahun 1994). Tenaga Ahli. Dalam rangka penjatuhan putusan PKPU, maka Hakim Pengawas dapt mengangkat satu atau lebih ahli untuk melakukan pemeriksaan dan penyusunan pelaporan mengenai keadaan debitor untuk jangka waktu tertentu. Bila waktu itu perlu diperpanjang, maka Hakim Pengawaslah yang menentukannya. Laporan ahli itu harus memuat: a. Pendapat ahli yang bersangkutan tentang keadaan harta kekayaan debitor dan dokumen yang telah disahkan oleh debitor, yang disertai dengan alasan lengkap tentang pendapat tersebut. b. Tingkat kesanggupan atau kemampuan debitor untuk memenuhi kewajibannya kepada para kreditor. c. Tindakan-tindakan yang harus dilakukan, agar tuntutan para kreditor itu dapat terpenuhi (Pasal 224 ayat 2 UU Kepailitan). Laporan yang dibuat oleh ahli itu terbuka untuk umum (publik atau masyarakat). Menurut Pasal 223 ayat 3 UU Kepailitan, para ahli harus menyediakan laporan di kantor Panitera Pengadilan Niaga agar dapat diperiksa oleh umum tanpa biaya. Bila para pihak yang berkepentingan atau umum menginginkan laporan tersebut, maka untuk laporan itu juga tidak dipungut biaya (Sutan Remy Sjahdeini, 2002: 343). Tenaga ahli itu diajukan oleh Pengurus, selain Pengurus Debitor juga dapat mengajukan saksi agar didengar keterangannya oleh Hakim Pengawas. Hakim Pengawas dapat mendengarkan saksi atau memerintahkan pemeriksaan oleh ahli untuk menjelaskan keadaan yang menyangkut PKPU (Sutan Remy Sjahdeini, 2002: 343). Sebagimana undang-undang pada umumnya menentukan, bahwa suami/isteri atau mantan suami/isteri, anak-anak dan keturunan selanjutnya serta orang tua, kakek-nenek debitor tidak dapat dijadikan saksi dan mereka dapat menggunakan haknya untuk dibebaskan dari kewajiban memberikan kesaksian (Pasal 217 D ayat 3 UU Kepailitan). Setelah penulis menerangkan mengenai subjek-subjek yang terlibat dalam proses PKPU, maka saat ini ada baiknya penulis terangkan juga objek-objek dalam proses PKPU, sebagai akibat hukum dari PKPU. 5. Akibat Hukum dari Putusan PKPU a. Sidang Pemeriksaan di Pengadilan Niaga Pada hari sidang, Pengadilan Niaga harus memeriksa debitor, Hakim Pengawas, Pengurus dan para kreditor yang hadir atau wakilnya yang ditunjuk berdasarkan surat kuasa. Setiap kreditor berhak hadir di persidangan, sekalipun yang bersangkutan tidak menerima

panggilan untuk itu (Pasal 217 ayat 1 UU Kepailitan). Apabila Rencana Perdamaian dilampirkan pada permohonan PKPU Sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213 UU Kepailitan atau telah disampaikan oleh debitor sebelum sidang, maka pemungutan suara tentang Rencana Perdamaian dapat dilakukan, jika ketentuan dalam Pasal 252 UU Kepailitan telah dipenuhi (Sutan Remy Sjahdeini, 2002 :339) b. Ketentuan-ketentuan Pengadilan Niaga bagi kepentingan para kreditor. Dalam keputusan PKPU, Pengadilan Niaga dapat memasukkan ketentuanketentuan yang dianggap perlu untuk kepentingan kreditor, kecuali itu, Hakim Pengawas dapat setiap waktu membuat ketentuan-ketentuan yang dianggap perlu untuk kepentingan para kreditor selama berlangsungnya PKPU. Hakim Pengawas dapat melakukan hal itu berdasarkan: 1) Prakarsa Hakim pengawas. 2) Permintaan Pengurus. 3) Permintaan salah satu atau lebih kreditor (Sutan Remy Sjahdeini, 2002: 342). c. Daftar Umum Dengan telah dijatuhkannya putusan PKPU, baik yang bersifat sementara maupun tetap, maka UU Kepailitan mewajibkan Panitera Pengadilan Niaga untuk setiap PKPU tersebut diadakan Daftar Umum yang berisi: 1) Tanggal diberikan PKPU Sementara dan tanggal-tanggal diberikan PKPU Tetap berikut perpanjangannya. 2) Kutipan putusan Pengadilan Niaga yang menetapkan PKPU Sementara maupun PKPU Tetap dan perpanjangannya. 3) Nama Hakim Pengawas dan Pengurus yang diangkat. 4) Ringkasan isi perdamaian dan pengesahan tersebut oleh Pengadilan Niaga. 5) Pengakhiran perdamaian (Pasal 217 C ayat 1 UU Kepailitan). Mengenai bentuk dan isi Daftar Umum itu ditetapkan oleh Mahkamah Agung dan Daftar Umum dimaksud terbuka bagi umum, para pihak yang berkepentingan dan umum dapat memeriksanya tanpa dipungut biaya (Pasal 217 C ayat 2 dan ayat 3 UU Kepailitan). d. Status Hukum Debitor selama PKPU Dengan diputuskannya keputusan PKPU, maka selama PKPU berlangsung, debitor tanpa persetujuan dari Pengurus tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau pemilikan atas perusahaannya. Jika debitor melakukan pelanggaran, maka Pengurus berhak melakukan segala tindakan yang diperlukan untuk memastikan agar tidak terjadi kerugian terhadap harta debitor sebagai akibat perbuatan hukum debitor tersebut, sedangkan kewajiban-kewajiban debitor yang timbal setelah dimulainya PKPU, karena perbuatan debitor yang dilakukannya, yang tanpa persetujuan atau kewenangan dari Pengurus, hanya dapat dilaksanakan atas beban harta debitor, sepanjang perbuatan hukum itu menguntungkan Debitor (Pasal 226 ayat 1 dan ayat 2 UU Kepailitan). e. Keadaan Diam Selama berlangsungnya PKPU, debitor tidak dapat dipaksa untuk membayar utangutangnya. Selain itu, semua tindakan eksekusi yang telah dimulai dalam rangka pelunasan utang harus ditangguhkan. Adapun bila ada penyitaan terhadap harta debitor, kecuali telah ditetapkan tanggal yang lebih awal oleh Pengadilan Niaga berdasarkan permintaan Pengurus, maka semua sita yang telah dilakukan berakhir:

1) Setelah ditetapkannya putusan PKPU Tetap tersebut, namun tidak mengemukakan status penyitaan setelah PKPU Sementara atau 2) Setelah persetujuan atas perdamaian telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 3) Atas permintaan Pengurus atau Hakim Pengawas. Keadaan yang disebutkan dimuka, tetap berlaku terhadap eksekusi dan sita yang telah dimulai atas barang yang tidak dibebani hak agunan, sekalipun eksekusi dan sitaan tersebut berkenaan dengan tagihan Kreditor yang dijamin dengan hak Tanggungan, Gadai atau hak angunan atas kebendaan lainnya atau dengan hak yang harus diistimewakan berkaitan dengan kekayaan tertentu berdasarkan undang-undang (Pasal 228 ayat 1, 2, 3 UU Kepailitan). Keadaan Diam tersebut, Menurut pendapat Sutan Remy Sjahdeini adalah berlaku, baik selama PKPU Sementara maupun selama PKPU Tetap berlangsung. Pengadilan Niaga (dengan berakhirnya sitaan tersebut), jika masih diperlukan, wajib menetapkan pengangkatan sita yang telah dilakukan atas barang-barang harta milik debitor. f. Kedudukan Kreditor Preferen dan Kreditor yang Diistimewakan PKPU hanya berlaku bagi kreditor konkuren dan tidak berlaku bagi kreditor pemegang hak jaminan dan kreditor yang mempunyai hak istimewa, tapi eksekusi pengadilan yang dimintaakan oleh kreditor Pemegang Hak Jaminan ditunda selama berlakunya PKPU, dengan jangka waktu 270 (dua ratus tujuh puluh) hari. Pasal 230 dan Pasal 231 A UU Kepailitan mengatur mengenai kedudukan dari tagihantagihan kreditor yang dijamin dengan Hak Tanggungan/Hipotik, Fidusia dan Gadai serta tagihantagihan yang diistimewaan. lainnya, yaitu terhadap: 1) Tagihan tagihan yang dijamin dengan Hak Tanggungan/Hipotik, Gadai, Hak Agunan atas kebendaan lainnya, atau tagihan yang diistimewakan terhadap barang-barang tertentu milik debitor. 2) Tagihan biaya pemeliharaan, pengawasan atau pendidikan yang harus dibayar. Sutan Remy Sjahdeini mengatakan: Harus dicamkan, bahwa sekalipun PKPU hanya berlaku bagi para kreditor konkuren saja dan tidak berlaku terhadap para kreditor preferen dan kreditor yang memiliki tagihan yang diistimewakan, tetapi hasil kesepakatan antara debitor dan para kreditor konkuren mengenai Rencana Perdamaian mengikat, bukan hanya kreditor konkuren saja, tetapi juga terhadap para kreditor preferen dan kreditor yang memiliki tagihan yang diistimewakan. Demikian juga berkenaan dengan tagihan biaya pemeliharaan, pengawasan atau pendidikan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 230 ayat 1 huruf b UU Kepailitan, yang menentukan bahwa Hakim Pengawas harus menetukan jumlah tagihan tersebut yang terkumpul sebelum PKPU Tetap, yang bukan merupakan tagihan dengan hak istimewa. Lebih lanjut Sutan Remy Sjahdeini menjelaskan, bahwa Pasal 230 ayat 2 UU Kepailitan mengenai kata-kata “...tidak mencukupi untuk menjamin tagihan...”, harus ditafsirkan bahwa yang tidak mencukupi adalah nilai Hak Jaminannya, bukan nilai barang jaminan yang dibebani Hak Jaminan itu. Dalam kekayaan yang dijamin dengan Hak Tangungan, Hak Gadai dan hak agunan atas kebendaan lainnya tidak mencukupi untuk menjamin tagihan, maka para kreditor yang dijamin dengan agunan tersebut (kreditor preferen) mendapat hak sebagai kreditor konkuren, termasuk mendapat hak-hak untuk mengeluarkan suara selama PKPU berlaku. Hal meniadaknn hak kreditor preferen yang ditentukan oleh undang-undang itu tidak adil, karena menurut undang undang, seorang kreditor preferen mempunyai hak untuk didahulukan daripada para kreditor lainnya, untuk

pelunasan tagihannya sampai nilai hak jaminan yang dibebankan atas suatu barang tertentu dengan ketentuan: 1) Apabila hasil eksekusi dari pengadilan atas barang yang dibebani dengan hak jaminan itu melebihi jumlah hak jaminannya, maka sisa hasil penjualan setelah dikurangi dengan Hak Jaminannya itu, akan menjadi hak para kreditor konkuren; 2) Apabila hasil eksekusi atas barang yang dibebani dengan Hak Jaminan itu tidak cukup untuk membayar seluruh tagihan kreditor, maka untuk sisa utangnya itu kreditor preferan tetap berhak untuk memperoleh pelunasan atas sisa tagihannya seperti kreditor konkuren dan bersama-sama dengan kreditor konkuren lainnya berhak memperoleh pelunasan dari hasil penjualan harta kekayaan debitor, yang tidak dijamin dengan sesuatu hak jaminan secara proporsional/pari passu menurut perbandingan besarnya jumlah masing-masing utang dari para kreditor konkuren itu. Selanjutnya, Sutan Remy Sjahdeini lebih jauh mengatakan, bahwa adalah lebih adil bila ketentuan Pasal 230 ayat 2 itu menentukan Kreditor yang dijamin pelunasan utangnya oleh Hak Jaminan, baik nilai Hak jaminannya adalah sama maupun nilainya tidak sama (lebih/kurang) dari jumlah tagihannya, berhak diberlakukan sebagai kreditor konkuren, asalkan kreditor tersebut melepaskannya Hak Jaminannya terlebih dahulu. Sehubungan dengan pelaksanaan dari ketentuan sebagimana diterangkan dimuka, maka dalam kedudukannya sebagai kreditor konkuren, kreditor preferen yang bersangkutan memperoleh hak untuk mengeluarkan suara selama PKPU berlaku, yaitu seperti halnya setiap kreditor konkuren lainnya. g. Pembayaranhutang berlangsungnya PKPU Pasal 231 UU Kepailitan mengatakan bahwa selama PKPU berlangsung, tidak boleh ada pembayaran atas utang yang terjadi sebelum PKPU, kecuali apabila dilakukan pembayaran menurut perimbangan besarnya tagihan masingmasing kreditor dengan mengingat ketentuan Pasal 171 ayat 3 UU Kepailitan. Pasal 238 ayat 1 UU Kepailitan mengatakan bahwa pelunasan kepada debitor sesudah PKPU diberikan, tetapi sebelum PKPU diumumkan, yang dilakukan untuk memenuhi perikatan yang terjadi sebelum PKPU diputuskan, maka untuk hal tersebut dapat membebaskan pihak yang melakukan pembayaran pelunasan dari harta kekayaannya, selama yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa yang bersangkutan tidak mengetahui telah ada keputusan PKPU Sementara. Namun Pasal 238 ayat 2 UU Kepailitan mengatakan, bahwa pelunasan sebagaimana diterangkan oleh Pasal 238 ayat 1 UU Kepailitan, yang dilakukan setelah PKPU diumumkan, maka untuk pelunasan tersebut tidak membebaskan selama harta kekayaannya, kecuali apabila yang bersangkutan dapat membuktikan, bahwa pengumuman mengenai PKPU itu tidak dapat diketahuinya di tempat tinggalnya (tapi hal demikian, tidak mengurangi Pengurus yang membuktikan, bahwa sebenarnya pengumuman itu dapat diketahui oleh yang bersangkutan). Pasal 238 ayat 3 UU Kepailitan mengatakan, bahwa bagaimanapun juga pembayaran pelunasan kepada debitor itu membebaskan yang bersangkutan terhadap harta kekayaan, sepanjang pelunasan itu membawa keuntungan atas harta kekayaan itu. Demikian juga menurut Pasal 239 UU Kepailitan menentukan, bahwa PKPU tidak dapat memberikan keuntungan kepada debitor lain bersama-sama dengan debitor berutang kepada kreditor dan memberikan keuntungan kepada penanggung utang. h. Kompensasi Utang dalam PKPU

Menurut Pasal 239 UU Kepailitan yang mengatur mengenai kompensasi utang atau perjumpaan utang-piutang debitor dan kreditor, seotang kreditor yang mempunyai tagihan dan sekaligus mempunyai utang kepada debitor, diperkenankan untuk mengadakan perhitungan utang-piutang (perjumpaan atau kompensasi terhadap utang dan piutangnya) dengan syarat utang atau tagihan itu terjadinya adalah sebelum ada atau sebelum berlakunya PKPU. Selanjutnya ketentuan itu mengatakan, bahwa seorang yang telah mengambil alih utang atau piutang dari harta kekayaan debitor sebelum mulai berlakunya PKPU, maka tidak boleh meminta agar dilakukan perhitungan utang-piutang, apabila pengambilalihan utang atau piutang itu tidak dilakukan dengan itikad baik. Sedangkan menurut Pasal 233 ayat 2 UU Kepailitan, untuk hat tersebut, sekali-kali tidak dapat diadakan perhitungan atas utang-piutang antara kreditor dan debitor, yang pengambilalihannya terjadi setelah ada keputusan PKPU. i. Pengajuan Gugatan Selama PKPU PKPU tidak menghentikan perkara yang sudah mulai diperiksa, demikian juga tidak menghalangi pihak manapun untuk mengajukan perkara baru. Dalam suatu perkara yang sematamata mengenai tuntutan pembayaran suatu tagihan yang telah diakui oleh debitor, sedangkan kreditor tidak mempunyai kepentingan yang telah diakui debitor sendiri dan kreditor tidak ada kepentingan untuk mendapatkan suatu putusan guna melaksanakan haknya terhadap pihak ketiga, setelah pengakuan utang debitor tersebut dicatat, maka Hakim dapat menangguhkan pengambilan keputusan mengenai hal itu sampai berakhirnya PKPU. Demikian juga Debitor, selama PKPU berlaku tidak boleh menjadi penggugat atau tergugat dalam perkara mengenai hak dan kewajiban yang menyangkut harta kekayaannya tanpa bantuan pihak Pengurus (Pasal 229 UU Kepailitan). Ketentuan tersebut harus sejalan dengan Pasal 214 ayat 2 dan Pasal 226 ayat 1 UU Kepailitan (Sutan Remy Sjahdeini, 2002: 354). j. Ketentuan-ketentuan Hukum Internasional Pengaturan utang-piutang yang ada di luar Indonesia dan menyangkut ketentuanketentuan Hukum Internasional diatur dalam Pasal 202-204 UU Kepailitan. Setelah ada PKPU, bagi kreditor konkuren yang menerima pembayaran piutangnya, baik seluruh maupun sebagian, dengan memperhitungkan barang milik debitor yang ada di luar negeri, maka kreditor itu wajib memperhitungkannya terhadap harta pailit debitor. Demikian juga bila kreditor tersebut memindahkan seluruh ataupun sebagian piutangnya kepada pihak ketiga, yang bermaksud agar kreditor secara menyendiri atau didahulukan mengambil pelunasannya atas barang debitor yang ada di luar negeri, maka kreditor tersebut wajib pula memperhitungkannya terhadap harta pailit debitor. Undang-undang tidak mengizinkan pemindahan piutang untuk memperjumpakan utang atau piutang tersebut diperhitungkan dengan suatu piutang atau dikompensasikan dengan utang yang ada di luar Indonesia. Setiap pengalihan piutang yang dilakukan dengan maksud seperti tersebut dimuka, bila pada saat pengalihan dilakukan, maka kreditor tersebut dianggap telah mengetahui mengenai pengalihan atau pemindahan piutang dalam rangka PKPU itu. k. Kasasi Jika permohonan PKPU tetap ditolak, maka debitor tidak ada upaya hukum mengajukan Kasasi. Namun bila PKPU dikabulkan, kreditor tidak ada upaya hukum mengajukan Kasasi. Hal itu merupakan konsekuensi dihapuskannya Pasal 217 A UU Kepailitan, yang menentukan,

bahwa bila permohonan PKPU tetap ditolak, maka Pengadilan Niaga harus menyatakan debitor itu pailit. Tapi bila permohonan dikabulkan, maka kreditor yang tidak menyetujuinya juga tidak dapat. lagi mengajukan Kasasi (Sutan Remy Sjahdeini, 2002 : 354-355).

1. Berakhirnya PKPU Pasal 240 UU Kepailitan mengatakan, bahwa pengakhiran PKPU dapat diputuskan oleh Hakim Pengawas; dimohonkan oleh Pengurus, atau oleh satu/lebih kreditor atau atas prakarsa Pengadilan Niaga, bila: 1) Debitor beritikad buruk mengurus hartanya. 2) Debitor mencoba merugikan para kreditor. 3) Debitor bertindak atas hartanya tanpa diberikan kewenangan dari Pengurus. 4) Debitor lalai melaksanakan tindakan yang diwajibkan oleh Pengadilan Niaga, atau sesuatu yang ditentukan/disyaratkan oleh Pengurus pada saat atau setelah PKPU diputuskan. 5) Selama waktu PKPU, keadaan harta debitor ternyata tidak lagi memungkinkan dilanjutkannya PKPU, 6) Keadaan Debitor tidak dapat diharapkan untuk memenuhi kewajibannya pada waktunya. Bila debitor beritikad buruk dan bertindak tanpa kewenangan Pengurus melakukan suatu perbuatan melawan hukum, maka Pengurus wajib mengajukan permohonan pengakhiran PKPU (Pasal 240 ayat 2 UU Kepailitan). Pengajukan permohonan pengakhiran PKPU itu harus dilakukan dalam waktu 10 (sepuluh) hari sejak diketahuinya bahwa debitor telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum, Pengadilan memeriksa masalah itu dan maksimal dalam waktu 10 (sepuluh) hari, Pengadilan Niaga akan menjatuhkan putusan pengakhiran PKPU serta menyatakan debitor pailit (Pasal 240 ayat 5 UU Kepailitan). m. Kepailitan Debitor PKPU Pasal 245 ayat 1 UU Kepailitan menyatakan, bahwa selama PKPU berlangsung, tidak boleh diajukan permohonan pernyataan pailit. Bila pernyataan pailit itu ditetapkan, maka berlaku ketentuan Pasal 13 UU Kepailitan; Bila pernyataan pailit itu dibatalkan, maka berlaku ketentuan Pasal 12 dan Pasal 14 UU Kepailitan. Pasal 13 UU Kepailitan menentukan pengangkatan Hakim Pengawas dan kurator dalam hal debotor dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. Sedangkan Pasal 12 UU Kepailitan menentukan, bahwa dalam hal keputusan pailit dibatalkan akibat adanya Kasasi atau Peninjauan Kembali, maka segala perbuatan hukum yang telah dilakukan oleh kurator sebelum atau pada tanggal kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 UU Kepailitan tetap sah dan mengikat debitor. Pasal 14 UU Kepailitan menentukan, bahwa segera setelah pernyataan pailit dibatalkan akibat diajukan Kasasi atau Peninjauan Kembali, atau akibat tenggang waktu untuk mengajukan Kasasi atau Peninjauan Kembali telah lewat, maka Pengadilan Niaga yang telah memutuskan pembatalan tersebut harus memberitahukan tentang pembatalan tersebut kepada kurator; bagian tata usaha Kantor Pos dan Telegrap di tempat kediaman debitor pailit itu. Bila pernyataan pailit dibatalkan dalam tingkat banding, maka pemberitahuan mengenai hal itu harus disampaikan kepada Panitera Pengadilan Niaga. Jika Pengadilan Niaga memutuskan dan menetapkan jumlah uang mengenai harta pailit, maka Hakim Pengadilan Niaga akan membebankan biaya kepada pihak yang mengajukan permohonan pailit itu. Putusan Hakim tersebut tidak dapat diganggu-

gugat, tidak ada satu upaya hukum pun yang dapat melawannya; Putusan tersebut juga menetapakan mengenai pengeluaran surat perintah agar dapat dipergunakan oleh kurator. Bila pernyataaan pailit dibatalkan, maka demi hukutrn hapuslah perdamaian yang mungkin telah terjadi sementara itu (Pasal 14 UU Kepailitan). Menurut Pasal 13 UU Kepailitan, kreditor harus mengumumkan tentang hal itu dalam surat-surat kabar. Dalam hal kreditor konkuren tidak menyetujui putusan PKPU Tetap karena alasan-alasan yang telah dikemukakan diatas maka Pengurus pada hari berakhirnya PKPU tetap itu wajib memberitahukan kepada Pengadilan Niaga mengenai berakhirnya PKPU tetap itu. Untuk pemberitahuan itu, Pengadilan Niaga harus memberitahukan kepada debitor bersangkutan tentang kepailitan itu, selambat-lambatnya pada hari berikutnya Pasal 217 A ayat I UU Kepailitan. Ketentuan Pasal 217 A UU Kepailitan itu menutup upaya hukum Kasasi bagi debitor bila permohonan PKPU secara tetap ditolak oleh kreditor konkuren. Sebaliknya, apabila permohonan PKPU yang diajukan oleh debitor disetujui oleh para kreditor konkurennya, maka kreditor konkuren yang tidak menyetujui PKPU tersebut tidak dapat mengajukan upaya hukum Kasasi. Menurut . Pasal 275 UU Kepailitan, bila Pengadilan Niaga menyatakan debitor pailit sebagai akibat tidak disetujuinya permohonan PKPU oleh para kreditor konkurennya, maka terhadap putusan pailit itu debitor tidak dapat mengajukan upaya hukum, baik untuk Kasasi mauputt Peninjauan kembali. Menurut Pasal 240 ayat 3 UU Kepailitan, debitor harus dinyatakan pailit dalam putusan yang sama dengan putusan berakhirnya PKPU Tetap (putusan tersebut dijatuhkan oleh Pengadilan Niaga). Atas pernyataan pailit itu, menurut Pasal 217 A ayat 2 UU Kepailitan, maka Pengurus wajib mengumukannya dalam surat kabar harian umum yang beredar ditempat permohonan PKPU tersebut diajukan dan mengenai hal itu lebih jauh diatur dalam ketentuan Pasal 215 UU Kepailitan. Bila debitor PKPU dinyatakan pailit atau PKPU diakhiri, maka terhadap debitor itu berlaku ketentuan Pasal 246 UU Kepailitan (Sutan Remy Sjahdeini, 2002: 357-359). 6. Perdamaian Dalam PKPU Tujuan akhir dari PKPU adalah tercapainya perdamaian antara debitor dan kreditor dalam rangka pembuatan atau rencana perdamaian yang diajukan oleli debitor. Untuk hal itu, dibawah ini penulis akan membahasnya dalam beberapa segi: a. Rencana perdamainan Menurut Pasal 213 ayat 2, Pasal 249 dan Pasal 250 UU Kepailitan, rencana perdamaian dalam rangka PKPU itu saatnya adalah sebagai berikut: 1) Diajukan bersamaan dengan diajukannya permohonan PKPU. 2) Sesudah permohonan PKPU diajukan, rencana perdamaian harus diajukan sebelum tanggal hari sidang PKPU sebagaimana ditentukan dalam Pasal 215 UU Kepailitan. 3) Setelah tanggal hari sidang, yaitu selama berlangsungnya PKPU atau selama waktu yang tidak melebihi 270 (dua ratus tujuh puluh) hari terhitung sejak PKPU Sementara ditetapkan. Jadi, rencana perdamaian yang berisi tawaran pembayaran seluruh utang ataupun sebagian utang kepada kreditor konkuren waktunya dapat diajukan bersamaan dengan permohonan PKPU, setelah putusan PKPU Sementara tapi sebelum sidang dimulai, atau pada tanggal yang akan, datang, asalkan dalam tenggang waktu 270 (dua ratus tujuh puluh) hari sejak putusan PKPU Sementara (Pasal 249 dan 250 UU Kepailitan).

Jika sampai batas waktu 270 (dua ratus tujuh puluh) hari tersebut belum juga tercapai persetujuan mengenai rencana perdamaian, maka paling lambat 1 (satu) hari kemudian,. Pangadilan Niaga menyatakan debitor pailit (Pasal 217 A UU Kepailitan). Setelah Rencana Perdamaian diajukan, Pengadilan Niaga menentukan: 1) Hari/tanggal paling lambat tagihan utang pada debitor, pada saat PKPU disampaikan kepada Pengurus. 2) Minimal 14 (empat belas) hari kemudian, ditentukan tanggal rapat permusyawaratan Hakim untuk memutuskan rencana perdamaian tersebut. Pengurus wajib memberitahukannya kepada semua kreditor dengan menyebutkan ketentuan Pasal 254 ayat 2 UU Kepailitan mengenai tagihan yang menjadi perhitungan dalam PKPU, dan kreditor dapat mensyaratkan, bahwa debitor harus memberikan uang muka guna biaya pengumuman dan pemberitahuan itu. Tagihan harus diajukan bersamaan dengan surat bukti tertulis yang menyebutkan sifat dan jumlahnya disertai salinan bukti utang. Namun tagihan yang tidak menjadi perhitungan dalam PKPU tidak boleh diajukan, bila diajukan tagihan seperti itu, maka PKPU akan berlaku terhadap tagihan tersebut. Demikian juga hak istimewa, hak untuk menahan (retensi), gadai, hak tanggungan ataupun hak agunan atas kebendaan lain yang melekat pada piutang tersebut akan hapus, kecuali ditarik kembali sebelum pemungutan suara dimulai (Pasal 254 UU Kepailitan). PKPU tidak berlaku terhadap : 1) Tagihan yang dijamin dengan gadai, hak tanggungan, hak agunan atas kebendaan lainnya, atau tagihan yang diistimewakan terhadap barang barang tertentu milik debitor, 2) Tagihan biaya pemeliharaan, pengawasan atau pendidikan yang harus dibayar. Bila kekayaan yang diagunkan tersebut tidak mencukupi untuk menjamin tagihan, maka kreditor tersebut masih mendapatkan hak sebagai kreditor konkuren, termasuk mendapatkan hak mengeluarkan suara selama PKPU (Pasal 230 UU Kepailitan). Hak eksekusi kreditor yang memegang hak tanggungan, hak gadai, atau hak agunan atas kebendaan lain ditangguhkan. Penangguhan ini dapat berlangsung sampai lebih dari 90 (sembilan puluh) hari, namun tetap dalam jangka waktu 270 (dua ratus tujuh puluh) hari. Penangguhan ini bertujuan untuk memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian, mengoptimalkan harta debitor dan memungkinkan Pengurus melaksanakan tugasnya secara optimal. Pengurusan membuat suatu daftar kreditor beserta piutangnya masingmasing beserta penjelasannya apakah piutang tersebut diakui atau dibantah (Pasal 256 UU Kepailitan), bila terdapat ketidakserasian antara tagihan kreditor dengan catatan/laporan debitor, maka dilakukan perundingan dengan pihak berpiutang, agar yang bersangkutan dapat menyerahkan surat-surat, melihat catatan dan bukti aslinya (Pasal 255 UU Kepailitan). Salinan dari daftar tersebut harus diletakkan di Kepaniteraan Pengadilan Niaga dalam waktu 7 (tujuh) hari sebelum Rapat Permusyawaratan Hakim diadakan. Piutang yang dimasukkan dalam daftar dapat diketahui dalam Pasal 257 - 259 UU Kepailitan sebagai berikut: 1) Piutang yang berbunga disertai perhitungan bunga sampai pada hari bermulanya pengunduran. 2) Piutang dengan syarat batal. 3) Piutang yang jumlah uangnya tidak ditetapkan, tak tertentu dan tidak dinyatakan dalam jumlah uang, maka harus ditetapkan nilainya dalam mata uang rupiah, 4) Piutang bawa yang dicocokan atas nama “si pembawa” itu.

5) Piutang yang telah dikurangi karena ada pembayaran dari penanggung. 6) Piutang tanggung-menanggung. 7) Tagihan dengan syarat tangguh untuk nilai yang berlaku pada saat mulainya PKPU, bila tidak terdapat kesepakatan antara Pengurus dengan para kreditor, maka tagihan itu harus diterima secara bersyarat, agar dapat diputus dan ditetapkan oleh Hakim Pengawas. 8) Piutang yang saat jatuh tempo dan dapat ditagih adalah tidak tentu, atau yang memberikan hak atas tunjangan-tunjangan berkala. Semua piutang yang dalam waktu 1 (satu) tahun sejak jatuh tempo diperlakukan seolaholah sudah dapat ditagih, sedangkan bila piutang baru dapat ditagih setelah lebih dari 1 (satu) tahun, maka tagihan tersebut dimasukkan dalam perhitungan harga setelah lewat waktu 1 (satu) tahun. Perhitungan jumlah piutang tersebut harus dilakukan dengan memperhatikan saat dan cara debitor melakukan angsurannya, kenikmatan dan keuntungan serta tingkat suku bunga yang dijanjikan. Piutang masih dapat dimasukkan ke dalam suatu daftar sampai 2 (dua) hari sebelum rapat, jika tidak ada keberatan dari pengurus dan pihak yang berpiutang. Bila piutang dimasukkan setelah jangka waktu tersebut, maka piutang itu tidak dapat dimasukkan dalam daftar. Ketentuan ini tidak berlaku bila pihak berpiutang berhalangan hadir, karena tempat tinggalnya yang jauh dan berhalangan hadir, tapi untuk hal tersebut debitor harus memberitahukan terlebih dahulu. Perselisihan yang timbul dalam hal pengecualian akan diputuskan oleh Pengadilan Niaga setelah meminta nasihat dari rapat (Pasal 262 UU Kepailitan). Perlu diketahui bahwa pada saat bersamaan diajukannya PKPU, maka Debitor dapat menawarkan perdamaian kepada para Kreditor, demikan juga sesudah permohonan PKPU diajukan, namun menawarkan perdamaian kepada para Kreditor itu tidak mutlak. Bila rencana Perdamaian itu tidak bersamaan waktunya dengan diajukannya permohonan PKPU, maka Rencana Perdamaian itu dapat diajukan sebelum tanggal hari sidang. Jadi, Rencana Perdamaian itu dapat diajukan dalam masa selama berlangsungnya PKPU sebagaimana ditetapkan oleh Pengadilan Niaga. Rencana Perdamaian harus diserahkan kepada Panitera Pengadilan Niaga agar dapat diperiksa oleh para pihak yang berkepentingan tanpa biaya, setelah itu harus disampaikan kepada Hakim Pengawas, Pengurus dan para ahli (bila ada), secepat mungkin setelah Rencana Perdamaian tersedia. Namun Rencana Perdamaian akan gugur demi hukum, apabila sebelum putusan yang mengeluarkan ketetapan PKPU yang berkekuatan hukum tetap ternyata kemudian muncul putusan yang berisikan penghentian PKPU tersebut (Sutan Remy Sjahdeini, 2002 364). Menurut Pasal 212 UU Kepailitan, pihak yang dapat mengajukan rencana perdamaian itu hanya debitor saja. Dengan demikian, maka yang merancang atau menyusun rencana perdamaian hanya debitor saja sepihak dan para kreditor tinggal menilai apakah rencana perdamaian itu layak dan dapat diterima atau tidak dapat diterima, menguntungkan atau merugikan, sehingga para kreditor yang menentukan akan menerima atau menolaknya. Pengadilan Niaga hanya mengesahkan atau melakukan konfirmasi saja terhadap hasil kesepakatan antara debitor dan kreditornya mengenai rencana perdamaian tersebut. Rencana perdamaian dalam PKPU debitor dapat berupa restrukturisasi utang, yang diikuti dengan restrukturisasi, tanpa restrukturisasi atau penyehatan perusahaan. Agar restrukturisasi utang berhasil dapat dilaksanakan, maka perlu dilakukan usaha penyehatan terhadap perusahaan debitor. Restrukturisasi utang debitor yang mempunyai utang pada perbankan, dianggap layak bila:

1) Perusahaan debitor masih memiliki prospek usaha yang baik dan mampu melunasi utang atau utang-utang tersebut apabila perusahaan debitor diberi PKPU atau utang tersebut dalam jangka waktu tidak melebihi waktu yang telah ditentukan (The Jakarta Inisiative menentukan jangka waktu itu tidak lebih dari delapan tahun), baik karena ada pemberian keringan atau tanpa pemberian keringan-keringan persyaratan pembayaran utang dan atau diberi tambahan utang baru, debitor dapat pulih kembali dan perusahaannya menjadi lebih sehat serta mampu memenuhi kewajibannya, baik terhadap perbankan maupun terhadap pihak ketiga. 2) Utang debitor dianggap layak untuk direstrukturisasi apabila para Kreditor memperoleh pelunasan utang-utang mereka, yang jumlahnya lebih besar melalui restrukturisasi daripada apabila perusahaan debitor dinyatakan pailit; 3) Apabila syarat-syarat utang berdasarkan kesepakatan restrukturisasi menjadi lebih menguntungkan bagi para kreditor daripada apabila tidak dilakukan restrukturisasi (Sutan Remy Sjahdeini, 2002: 367). Persetujuan antara debitor dengan para kreditor mengenai isi rencana perdamaian dapat terdiri dari beberapa bentuk. Dalam praktik di perbankan, maka restrukturisasi utang dapat berupa salah satu bentuk-bentuk dibawah ini: 1) Penjadwalan kembali pelunasan utang (rescheduling); termasuk pemberian masa tenggang waktu (grace period) yang baru atau pembebanan bunga menurut undang-undang (moratorium interest) kepada debitor. 2) Persyaratan kembali perjanjian (reconditioning). 3) Pengurangan jumlah utang pokok (hair-cut). 4) Pengurangan atau pembebasan jumlah bunga yang tertunggak, denda, dan biaya-biaya lain. 5) Penurunan tingkat suku bunga. 6) Pemberian utang baru. 7) Konversi utang menjadi modal perseroan (debt for equity conversion atau disebut juga debt equity swap). 8) Penjualan aset yang tidak produktif atau yang tidak langsung diperlukan untuk kegiatan usaha perusahaan debitor untuk melunasi utang. 9) Bentuk-bentuk yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Sutan Remy Sjahdeini, 2002: 366368). Untuk memastikan keberhasilan dan implementasi restrukturisasi utang debitor sebagaimana dimuat dalam rencana perdamaian dalam rangka PKPU, maka restrukturisasi utang itu tidaklah cukup bila tidak diikuti pula dengan upayaupaya untuk melakukan restrukturisasi atau melakukan penyehatan terhadap perusahaan debitor. Adapun upaya-upaya tersebut dapat ditempuh dengan cara melakukan salah satu atau lebih bentukbentuk dibawah ini: 1) Perubahan strategi perusahaan. 2) Perubahan visi perusahaan. 3) Perubahan struktur organisasi perusahaan. 4) Perubahan budaya kerja perusahaan (corporate culture). 5) Pemasangan perangkat keras teknologi, seperti: komputer, melakukan perubahan atau penggantian terhadap teknologi yang telah digunakan. 6) Penggantian anggota Direksi dan Komisaris Perusahaan. 7) Perubahan dan atau penambahan ketentuan-ketentuan baru dalam anggaran dasar perusahaan. 8) Pembuatan atau perubahan sistem dan prosedur perusahaan. 9) Penggabungan (merger) dengan perusahaan lain. 10) Peleburan (consolidation) dengan perusahaan lain.

11) Akuisisi sebagian saham (acquisition of stock) oleh pihak lain. 12) Tindakan-tindakan lain yang bertujuan untuk menyehatkan perusahaan yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja keuangan dan kinerja bisnis perusanaan (Sutan Remy Sjahdeini, 2002:369). Dalam rangka perdamaian itu, tentunya debitor dan para kreditor harus kepala dingin berunding untuk menyelesaikan masalah, rencana perdamaian yang diajukan oleh debitor harus benar-benar serius dipelajarinya. Adapun mengenai rencana perdamaian dalam PKPU itu, perhatian harus ditujukan pada hal-hal sebagaimana disebutkan dibawah ini: 1) Dalam hal debitor adalah suatu bank, maka harus dipastikan apakah untuk keperluan mengambil bentuk-bentuk restrukturisasi tertentu itu, telah memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari lembaga atau otoritas pembinaan dan atau pengawasan Bank sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Saat ini otoritas yang dimaksud adalah Bank Indonesia atau Badan lain, seperti Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yang saat ini sudah dibubarkan. 2) Dalam hal perusahaan debitor adalah perusahaan sekuritas, maka hendaknya dipastikan apakah untuk keperluan mengambil bentuk-bentuk restrukturisasi tertentu sebagaimana dimaksud diatas, harus memperoleh persetujuan.. terlebih dahulu dari lembaga atau otoritas pembinaan dan atau pengawasan Bank sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Saat ini otoritas yang dimaksud adalah Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). 3) Dalam hal perusahaan debitor adalah perusahaan asuransi, maka hendaknya dipastikan apakah untuk keperluan mengambil bentuk-bentuk restrukturisasi tertentu sebagaimana dimaksud diatas, harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari lembaga atau otoritas pembinaan dan atau pengawasan Bank sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Saat ini otoritas yang dimaksud adalah Departemen Keuangan. 4) Dalam hal perusahaan debitor adalah suatu lembaga pembiayaan, maka hendaknya dipastikan apakah untuk keperluan mengambil bentuk-bentuk restrukturisasi tertentu sebagaimana dimaksud diatas, harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari lembaga atau otoritas pembinaan dan atau pengawasan Bank sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Saat ini otoritas yang dimaksud adalah Departemen Keuangan. 5) Dalam hal perusahaan debitor adalah suatu Perseroan Terbatas Terbuka, restrukturisasi utang wajib dilakukan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. 6) Dalam hal perusahaan debitor adalah suatu Perseroan Terbatas yang tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan tentang penanaman modal asing, restrukturisasi utang wajib dilakukan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penamaman modal asing. 7) Dalam hal perusahaan debitor adalah suatu badan hukum Koperasi, maka restrukturisasi utang wajib dilakukan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perkoperasian (Sutan Remy Sjahdeini, 2002: 370-371). Penyusunan rencana perdamaian yang layak dalam rangka PKPU harus dibuat agar rencana perdamaian itu menguntungkan, bukan saja pada para kreditor tetapi juga debitor sendiri. Untuk itu, tentu diperlukan tenaga ahli atau profesional untuk menyusun rencana perdamaian itu yang memenuhi syarat-syarat kelayakan, seperti: Kantor Akuntan Publik, Kantor Konsultan Hukum, Kantor Konsultan Manajemen Keuangan dan Bisnis, Kantor Konsultan Pajak dan Perusahaan Penilai (appraisal company).

Menurut pengalaman Sutan Remy Syahdeini selaku bekas/ex bankir, bahwa pemberian utang baru dalam rangka penyelamatan debitor yang dinyatakan pailit melalui PKPU itu, bila dilakukan dengan cara restrukturisasi utang debitor, harus diikuti dengan atau tanpa penyehatan perusahaannya, hal tersebut memegang peranan yang sangat penting bagi suksesnya upeya penyelamatan itu. Dalam rangka PKPU bagi debitor masih dimungkinkan mendapat fasilitas kredit baru atas persetujuan Pengurus. Setelah mendapat kredit/pinjaman baru, maka pinjaman itu hanya diperbolehkan untuk meningkatkan nilai harta debitor. Atas persetujuan Hakim Pengawas, maka dalam rangka peminjaman baru itu, debitor dapat membebani hartanya, baik secara Hak Tanggungan atau gadai serta bentuk jaminan lainnya, sehingga kreditor penerima jaminan itu akan menjadi kreditor konkuren. Bila untuk pinjaman baru itu debitor tidak diwajibkan menyerahkan barang jaminan, maka untuk itu cukup mendapat persetujuan dari Pengurus saja, tanpa harus ada persetujuan dari Hakim Pengawas. Sutan Remy Syahdeini lebih jauh mengatakan, bahwa seyogianya untuk memperoleh pinjaman baru, baik dengan atau tanpa ada jaminan dengan suatu bentuk hak jaminan itu perlu mendapat persetujuan dari Pengawas, Hakim Pengawas dan kreditor konkuren atau Panitia Kreditor (bila ada). Persetujuan itu dibutuhkan, karena dengan adanya pinjaman baru itu, maka secara tidak langsung mengurangi jaminan harta debitor dan perlindungan hukum sebagaimana diterangkan dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata. Dengan adanya tambahan jumlah kreditor konkuren yang baru, yang memberikan pinjaman tanpa hak jaminan dari harta milik debitor, maka para kreditor konkuren yang telah ada itu terpaksa harus berbagi bagiannya secara proporsional (pari pasu) dengan kreditor baru itu terhadap harta kekayaan debitor yang telah ada. Sedangkan bila kreditor yang baru itu memberikan pinjaman dengan dibebani hak jaminan atas harta benda/kekayaan debitor atau bagiannya yang belum dibebani hak jaminan, yang merupakan hak kreditor konkuren, maka pembebanan jaminan atas harta benda/ kekayaan debitor itu akan mengurangi hak para kreditor konkuren. Menurut Pasal 226 ayat 5 UU Kepailitan, maka pembebanan harta debitor dengan Hak Tanggungan, gadai atau hak agunan atas kebendaan lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat 4, hanya dapat dilakukan terhadap bagian harta debitor yang belum dibebani hak jaminan. Dalam rangka rencana perdamaian yang diajukan oleh debitor, maka rencana perdamaian harus disediakan di Kantor Panitera Pengadilan Niaga, agar pihak-pihak yang berkepentingan dapat melihat dan memeriksanya (terbuka untuk umum) tanpa dipungut biaya dan untuk hal itu harus disampaikan kepada Hakim Pengawas, Pengurus serta para ahli (bila ada), serta secepatnya setelah rencana perdamaian tersebut tersedia (Sutan Remy Sjahdeini, 2002: 375). Menurut Pasal 252 UU Kepailitan, apabila rencana perdamaian itu telah diajukan kepada Panitera Pengadilan Niaga, maka Panitera Pengadilan Niaga harus menentukan: 1) Hari bagi debitor paling lambat harus telah menyampaikan kepada Pengurus tagihan-tagihan dalam perhitungan PKPU; 2) Tanggal dan waktu rencana perdamaian yang diusulkan itu akan dibicarakan dan diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim; 3) Minimal 14 (empat belas) hari kemudian, ditentukan tanggal rapat Permusyawaratan Hakim untuk memutuskan rencana perdamaiantersebut, Menurut Pasal 214 UU Kepailitan, Pengurus wajib mengumumkan penentuan waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 252 ayat 1 UU Kepailitan bersamaan dengan dimasukannya rencana perdamaian, kecuali mengenai hal ini sudah diumumkan sesuai ketentuan Pasal 215 UU Kepailitan. Selain itu, Pengurus juga wajib memberitahukan dengan surat tercatat atau melalui kurir kepada semua kreditor yang diketahuinya dan dalam pemberitahuan itu harus menyebutkan

ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 253 ayat 2 UU Kepailitan. Pengurus wajib memberitahukan rencana perdamaian kepada semua kreditor sesuai ketentuan Pasal 254 ayat 2 UU Kepailitan mengenai tagihan yang tidak diperhitungkan dalam PKPU dan Pengurus dapat mensyaratkan debitor memberikan uang muka sebagai pengganti biaya pengumuman dan pemberitahuan itu. Tagihan tersebut harus diajukan dengan dilampirkan bukti surat tertulis yang menyebutkan sifat dan jumlahnya disertai lampiran atau salinan bukti lainnya. Namun bila ada tagihan yang tidak diperhitungkan dalam PKPU, maka tagihan tersebut tidak boleh diajukan dalam rencana perdamaian, bila diajukan dalam rencana perdamaian, maka PKPU akan berlaku terhadap tagihan tersebut. Hak istimewa berupa hak untuk menahan (retensi), gadai, hak tanggungan ataupun hak agunan atas harta benda/kekayaan debitor yang menjadi jaminan dari piutang tersebut akan hapus, kecuali ditarik kembali sebelum pemungutan suara dimulai (Pasal 254 UU Kepailitan). PKPU tidak berlaku terhadap : 1) Tagihan yang dijamin dengan hak tanggungan, gadai, hak agunan atas harta benda/lainnya, atau tagihan yang diistimewakan terhadap harta benda/lainnya milik debitor; 2) Tagihan biaya pemeliharaan, pengawasan atau pendidikan yang harus dibayar oleh debitor. Bila harta benda/lainnya milik debitor yang dijaminkan tersebut tidak cukup nilainya untuk menjamin tagihan, maka kreditor tersebut masih mendapatkan hak sebagai kreditor konkuren, termasuk mendapatkan hak mengeluarkan suara selama PKPU (Pasal 230 UU Kepailitan). Hak eksekusi kreditor yang memegang hak tanggungan, hak gadai, atau hak agunan atas kebendaan lain ditangguhkan. Penangguhan ini dapat berlangsung sampai lebih dari 90 (sembilan puluh) hari, namun tetap dalam jangka waktu 270 (dua ratus tujuh puluh) hari. Penangguhan ini bertujuan untuk memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian, mengoptimalkan harta debitor dan memungkinkan Pengurus melaksanakan tugasnya secara optimal. Pengurusan membuat suatu daftar kreditor beserta piutangnya masingmasing beserta penjelasannya apakah piutang tersebut diakui atau dibantah (Pasal 256 UU Kepailitan), bila terdapat ketidakserasian antara tagihan kreditor dengan catatan/laporan debitor, maka dilakukan perundingan dengan pihak berpiutang, agar yang bersangkutan dapat menyerahkan surat-surat, melihat catatan dan bukti aslinya (Pasal 255 UU Kepailitan). Salinan dari daftar tersebut harus diletakkan di Kepaniteraan Pengadilan Niaga dalam waktu 7 (tujuh) hari sebelum Rapat Permusyawaratan Hakim diadakan. Piutang yang dimasukkan dalam daftar dapat diketahui dalam Pasal 257 - 259 UU Kepailitan sebagai berikut: 1) Piutang yang berbunga disertai perhitungan bunga sampai pada hari bermulanya pengunduran. 2) Piutang dengan syarat batal. 3) Piutang yang jumlah uangnya tidak ditetapkan, tak tertentu dan tidak dinyatakan dalam jumlah uang, maka harus ditetapkan nilainya dalam mata uang rupiah. 4) Piutang bawa yang dicocokan atas nama “si pembawa” itu. 5) Piutang yang telah dikurangi karena ada pembayaran dari penanggung. 6) Piutang tanggung-menanggung.

7) Tagihan dengan syarat tangguh untuk nilai yang berlaku pada saat mulainya PKPU, bila tidak terdapat kesepakatan antara Pengurus dengan para kreditor, maka tagihan itu harus diterima secara bersyarat, agar dapat diputus dan ditetapkan oleh Hakim Pengawas. 8) Piutang yang scat jatuh tempo dan dapat ditagih adalah tidak tentu, atau yang memberikan hak atas tunjangan-tunjangan berkala. Semua piutang yang dalam waktu 1 (satu) tahun sejak jatuh tempo diperlakukan seolaholah sudah dapat ditagih, sedangkan bila piutang baru dapat ditagih setelah lebih dari 1 (satu) tahun, maka tagihan tersebut dimasukkan dalam perhitungan harga setelah lewat waktu 1 (satu) tahun. Perhitungan jumlah piutang tersebut harus dilakukan dengan memperhatikan saat dan cara debitor melakukan angsurannya, kenikmatan dan keuntungan serta tingkat suku bunga yang dijanjikan. Piutang masih dapat dimasukkan ke dalam suatu daftar sampai 2 (dua) hari sebelum rapat, jika tidak ada keberatan dari pengurus dan pihak yang berpiutang. Bila piutang dimasukkan setelah jangka waktu tersebut, maka piutang itu tidak dapat dimasukkan dalam daftar Ketentuan ini tidak berlaku bila pihak berpiutang berhalangan hadir, karena tempat tinggalnya yang jauh dan berhalangan hadir, tapi untuk hal tersebut debitor harus memberitahukan terlebih dahulu. Perselisihan yang timbul dalam hal pengecualian akan diputuskan oleh Pengadilan Niaga setelah meminta nasihat dari rapat (Pasal 262 UU Kepailitan). Perlu diketahui bahwa pada saat bersamaan diajukannya PKPU, maka Debitor dapat menawarkan perdamaian kepada para Kreditor, demikan juga sesudah permohonan PKPU diajukan, namun menawarkan perdamaian kepada para Kreditor itu tidak mutlak. Bila rencana Perdamaian itu tidak bersamaan waktunya dengan diajukannya permohonan PKPU, maka Rencana Perdamaian itu dapat diajukan sebelum tanggal hari sidang. Jadi, Rencana Perdamaian itu dapat diajukan dalam masa selama berlangsungnya PKPU sebagaimana ditetapkan oleh Pengadilan Niaga. Rencana Perdamaian harus diserahkan kepada Panitera Pengadilan Niaga agar dapat diperiksa oleh para pihak yang berkepentingan tanpa biaya, setelah itu hares disampaikan kepada Hakim Pengawas, Penguius dan para ahli (bila ada), secepat mungkin setelah Rencana Perdamaian tersedia. Namun Rencana Perdamaian akan gugur demi hukum, apabila sebelum putusan yang mengeluarkan ketetapan PKPU yang berkekuatan hokum tetap ternyata kemudian muncul putusan yang berisikan penghentian PKPU tersebut (Sutan Remy Sjahdeini, 2002 364). Menurut Pasal 212 UU Kepailitan, pihak yang dapat mengajukan rencana perdamaian itu hanya debitor saja. Dengan demikian, maka yang merancang atau menyusun rencana perdamaian hanya debitor saja sepihak dan para kreditor tinggal menilai apakah rencana perdamaian itu layak dan dapat diterima atau tidak dapat diterima, menguntungkan atau merugikan, sehingga para kreditor yang menentukan akan menerima atau menolaknya. Pengadilan Niaga hanya mengesahkan atau melakukan konfirmasi saja terhadap hasil kesepakatan antara debitor dan kreditornya mengenai rencana perdamaian tersebut. Rencana perdamaian dalam PKPU debitor dapat berupa restrukturisasi utang, yang diikuti dengan restrukturisasi, tanpa restrukturisasi atau penyehatan perusahaan. Agar restrukturisasi utang berhasil dapat dilaksanakan, maka perlu dilakukan usaha penyehatan terhadap perusahaan debitor. Restrukturisasi utang debitor yang mempunyai utang pada perbankan, dianggap layak bila: 1) Perusahaan debitor masih memiliki prospek usaha yang baik dan mampu melunasi utang atau utang-utang tersebut apabila perusahaan debitor diberi PKPU atau utang tersebut dalam jangka waktu tidak melebihi waktu yang telah ditentukan (The Jakarta Inisiative menentukan

jangka waktu itu tidak lebih dari delapan tahun), baik karena ada pemberian keringan atau tanpa pemberian keringan-keringan persyaratan pembayaran utang dan atau diberi tambahan utang baru, debitor dapat pulih kembali dan perusahaannya menjadi lebih sehat serta mampu memenuhi kewajibannya, baik terhadap perbankan maupun terhadap pihak ketiga. 2) Utang debitor dianggap layak untuk direstrukturisasi apabila para Kreditor memperoleh pelunasan utang-utang mereka, yang jumlahnya lebih besar melalui restrukturisasi daripada apabila perusahaan debitor dinyatakan pailit; 3) Apabila syarat-syarat utang berdasarkan kesepakatan restrukturisasi menjadi lebih menguntungkan bagi para kreditor daripada apabila tidak dilakukan restrukturisasi (Sutan Remy Sjahdeini, 2002: 367). Persetujuan antara debitor dengan para kreditor mengenai isi rencana perdamaian dapat terdiri dari beberapa bentuk. Dalam praktik di perbankan, maka restrukturisasi utang dapat berupa salah satu bentuk-bentuk dibawah ini: 1) Penjadwalan kembali pelunasan utang (rescheduling); termasuk pemberian masa tenggang waktu (grace period) yang baru atau pembebanan bunga menurut undang-undang (moratorium interest) kepada debitor. 2) Persyaratan kembali perjanjian (reconditioning). 3) Pengurangan jumlah utang pokok (hair-cut). 4) Pengurangan atau pembebasan jumlah bunga yang tertunggak, denda, dan biaya-biaya lain. 5) Penurunan tingkat suku bunga. 6) Pemberian utang baru. 7) Konversi utang menjadi modal perseroan (debt for equity conversion atau disebut juga debt equity swap). 8) Penjualan aset yang tidak produktif atau yang tidak langsung diperlukan untuk kegiatan usaha perusahaan debitor untuk melunasi utang. 9) Bentuk-bentuk yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Sutan Remy Sjahdeini, 2002: 366-368). Untuk memastikan keberhasilan dan implementasi restrukturisasi utang debitor sebagaimana dimuat daiam rencana perdamaian dalam rangka PKPU, maka restrukturisasi utang itu tidaklah cukup bila tidak diikuti pula dengan upayaupaya untuk melakukan restrukturisasi atau melakukan penyehatan terhadap perusahaan debitor. Adapun upaya-upaya tersebut dapat ditempuh dengan cara melakukan salah satu atau lebih bentukbentuk dibawah ini: 1) Perubahan strategi perusahaan. 2) Perubahan visi perusahaan. 3) Perubahan struktur organisasi perusahaan. 4) Perubahan budaya kerja perusahaan (corporate culture). 5) Pemasangan perangkat keras teknologi, seperti: komputer, melakukan perubahan atau penggantian terhadap teknologi yang telah digunakan. 6) Penggantian anggota Direksi dan Komisaris Perusahaan. 7) Perubahan dan atau penambahan ketentuan-ketentuan baru dalam anggaran dasar perusahaan. 8) Pembuatan atau perubahan sistem dan prosedur perusahaan. 9) Penggabungan (merger) dengan perusahaan lain. 10) Peleburan (consolidation) dengan perusahaan lain. 11) Akuisisi sebagian saham (acquisition of stock) oleh pihak lain. 12) Tindakan-tindakan lain yang bertujuan untuk menyehatkan perusahaan yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bertujuan untuk

meningkatkan kinerja keuangan dan kinerja bisnis perusanaan (Sutan Remy Sjahdeini, 2002:369). Dalam rangka perdamaian itu, tentunya debitor dan para kreditor harus kepala dingin berunding untuk menyelesaikan masalah, rencana perdamaian yang diajukan oleh debitor harus benar-benar serius dipelajarinya. Adapun mengenai rencana perdamaian dalam PKPU itu, perhatian harus ditujukan pada hal-hal sebagaimana disebutkan dibawah ini: 1) Dalam hal debitor adalah suatu bank, maka harus dipastikan apakah untuk keperluan mengambil bentuk-bentuk restrukturisasi tertentu itu, telah memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari lembaga atau otoritas pembinaan dan atau pengawasan Bank sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Saat ini otoritas yang dimaksud adalah Bank Indonesia atau Badan lain, seperti Badan Penyehatan Perbankan Nasionat (BPPN), yang saat ini sudah dibubarkan. 2) Dalam hal perusahaan debitor adalah perusahaan sekuritas, maka hendaknya dipastikan apakah untuk keperluan mengambil bentuk-bentuk restrukturisasi tertentu sebagaimana dimaksud diatas, harus memperoleh persetujuan.. terlebih dahulu dari lembaga atau otoritas pembinaan dan atau pengawasan Bank sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Saat ini otoritas yang dimaksud adalah Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). 3) Dalam hal perusahaan debitor adalah perusahaan asuransi, maka hendaknya dipastikan apakah untuk keperluan mengambil bentuk-bentuk restrukturisasi tertentu sebagaimana dimaksud diatas, harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari lembaga atau otoritas pembinaan dan atau pengawasan Bank sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Saat ini otoritas yang dimaksud adalah Departemen Keuangan. 4) Dalam hal perusahaan debitor adalah suatu lembaga pembiayaan, maka hendaknya dipastikan apakah untuk keperluan mengambil bentuk-bentuk restrukturisasi tertentu sebagaimana dimaksud diatas, harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari lembaga atau otoritas pembinaan dan atau pengawasan Bank sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Saat ini otoritas yang dimaksud adalah Departemen Keuangan. 5) Dalam hal perusahaan debitor adalah suatu Perseroan Terbatas Terbuka, restrukturisasi utang wajib dilakukan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. 6) Dalam hal perusahaan debitor adalah suatu Perseroan Terbatas yang tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan tentang penanaman modal asing, restrukturisasi utang wajib dilakukan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penamaman modal asing. 7) Dalam hal perusahaan debitor adalah suatu badan hukum Koperasi, maka restrukturisasi utang wajib dilakukan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perkoperasian (Sutan Remy Sjahdeini, 2002: 370-371). Penyusunan rencana perdamaian yang layak dalam rangka PKPU harus dibuat agar rencana perdamaian itu menguntungkan, bukan saja pada para kreditor tetapi juga debitor sendiri. Untuk itu, tentu diperlukan tenaga ahli atau profesional untuk menyusun rencana perdamaian itu yang memenuhi syarat syarat kelayakan, seperti: Kantor Akuntan Publik, Kantor Konsultan Hukum, Kantor Konsultan Manajemen Keuangan dan Bisnis, Kantor Konsultan Pajak dan Perusahaan Penilai (appraisal company). Menurut pengalaman Sutan Remy Syahdeini selaku bekaslex bankir, bahwa pemberian utang baru dalam rangka penyelamatan debitor yang dinyatakan pailit melalui PKPU itu, bila dilakukan dengan cara restrukturisasi utang debitor, harus diikuti dengan atau tanpa penyehatan

perusahaannya, hal tersebut, memegang peranan yang sangat penting bagi suksesnya upeya penyelamatan itu. Dalam rangka PKPU bagi debitor masih dimungkinkan mendapat fasilitas kredit baru atas persetujuan Pengurus. Setelah mendapat kredit/pinjaman baru, maka pinjaman itu hanya diperbolehkan untuk meningkatkan nilai harta debitor. Atas persetujuan Hakim Pengawas, maka dalam rangka peminjaman baru itu, debitor dapat membebani hartanya, baik secara Hak Tanggungan atau gadai serta bentuk jaminan lainnya, sehingga kreditor penerima jaminan itu akan menjadi kreditor konkuren. Bila untuk pinjaman baru itu debitor tidak diwajibkan menyerahkan barang jaminan, maka untuk itu cukup mendapat persetujuan dari Pengurus saja, tanpa harus ada persetujuan dari Hakim Pengawas. Sutan Remy Syahdeini lebih jauh mengatakan, bahwa seyogianya untuk memperoleh pinjaman barn, baik dengan atau tanpa ada jaminan dengan suatu bentuk hak jaminan itu perlu mendapat persetujuan dari Pengawas, Hakim Pengawas dan kreditor konkuren atau Panitia Kreditor (bila ada). Persetujuan itu dibutuhkan, karena dengan adanya pinjaman baru itu, maka secara tidak langsung mengurangi jaminan harta debitor dan perlindungan hukum sebagaimana diterangkan dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata. Dengan adanya tambahan jumlah kreditor konkuren yang baru, yang memberikan pinjaman tanpa hak jaminan dari harta milik debitor, maka para kreditor konkuren yang telah ada itu terpaksa harus berbagi bagiannya secara proporsional (pari pasu) dengan kreditor baru itu terhadap harta kekayaan debitor yang telah ada. Sedangkan bila kreditor yang baru itu memberikan pinjaman dengan dibebani hak jaminan atas harta benda/kekayaan debitor atau bagiannya yang belum dibebani hak jaminan, yang merupakan hak kreditor konkuren, maka pembebanan jaminan atas harta benda/kekayaan debitor itu akan mengurangi hak para kreditor konkuren. Menurut Pasal 226 ayat 5 UU Kepailitan, maka pembebanan harta debitor dengan Hak Tanggungan, gadai atau hak agunan atas kebendaan lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat 4, hanya dapat dilakukan terhadap bagian harta debitor yang belum dibebani hak jaminan. Dalam rangka rencana perdamaian yang diajukan oleh debitor, maka rencana perdamaian harus disediakan di Kantor Panitera Pengadilan Niaga, agar pihak-pihak yang berkepentingan dapat melihat dan memeriksanya (terbuka untuk umum) tanpa dipungut biaya dan untuk hal itu harus disampaikan kepada Hakim Pengawas, Pengurus serta para ahli (bila ada), serta secepatnya setelah rencana perdamaian tersebut tersedia (Sutan Remy Sjahdeini, 2002: 375). Menurut Pasal 252 UU Kepailitan, apabila rencana perdamaian itu telah diajukan kepada Panitera Pengadilan Niaga, maka Panitera Pengadilan Niaga harus menentukan: 1) Hari bagi debitor paling lambat harus telah menyampaikan kepada Pengurus tagihan-tagihan dalam perhitungan PKPU; 2) Tanggal dan waktu rencana perdamaian yang diusulkan itu akan dibicarakan dan diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim; 3) Minimal 14 (empat belas) hari kemudian, ditentukan tanggal rapat Permusyawaratan Hakim untuk memutuskan rencana perdamaian tersebut, Menurut Pasal 214 UU Kepailitan, Pengurus wajib mengumumkan penentuan waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 252 ayat 1 UU Kepailitan bersamaan dengan dimasukannya rencana perdamaian, kecuali mengenai hal ini sudah diumumkan sesuai ketentuan Pasal 215 UU Kepailitan. Selain itu, Pengurus juga wajib memberitahukan dengan surat tercatat atau melalui kurir kepada semua kreditor yang diketahuinya dan dalam pemberitahuan itu harus menyebutkan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 253 ayat 2 UU Kepailitan.

Pengurus wajib memberitahukan rencana perdamaian kepada semua kreditor sesuai ketentuan Pasal 254 ayat 2 UU Kepailitan mengenai tagihan yang tidak diperhitungkan dalam PKPU dan Pengurus dapat mensyaratkan debitor memberikan uang muka sebagai pengganti biaya pengumuman dan pemberitahuan itu. Tagihan tersebut harus diajukan dengan dilampirkan bukti surat tertulis yang menyebutkan sifat dan jumlahnya disertai lampiran atau salinan bukti lainnya. Namun bila ada tagihan yang tidak diperhitungkan dalam PKPU, maka tagihan tersebut tidak boleh diajukan dalam rencana perdamaian, bila diajukan dalam rencana perdamaian, maka PKPU akan berlaku terhadap tagihan tersebut. Hak istimewa berupa hak untuk menahan (retensi), gadai, hak tanggungan ataupun hak agunan atas harta benda/kekayaan debitor yang menjadi jaminan dari piutang tersebut akan hapus, kecuali ditarik kembali sebelum pemungutan suara dimulai (Pasal 254 UU Kepailitan). PKPU tidak berlaku terhadap : 1) Tagihan yang dijamin dengan hak tanggungan, gadai, hak agunan atas harta benda/lainnya, atau tagihan yang diistimewakan terhadap harta benda/lainnya milik debitor; 2) Tagihan biaya pemeliharaan, pengawasan atau pendidikan yang harus dibayar oleh debitor. Bila harta benda/lainnya milik debitor yang dijaminkan tersebut tidak cukup nilainya untuk menjamin tagihan, maka kreditor tersebut menjadi kreditor konkuren, demikian juga untuk mengeluarkan suara dalam PKPU, haknya menjadi sama dengan krditor konkuren lainnya (Pasal 230 UU Kepailitan). Hak eksekusi kreditor yang memiliki bentuk jaminan berupa hak tanggungan, hak gadai, atau hak agunan atas kebendaan lain yang ditangguhkan, maka penangguhan ini dapat berlangsung sampai lebih dari 90 (sembilan puluh) hari, tetapi tetap dalam jangka waktu 270 (dua ratus tujuh puluh) hari. Penangguhan ini bertujuan untuk memperbesar kemungkinan tercapainnya perdamaian, mengoptimalkan harta debitor dan memungkinkan Pengurus melaksanakan tugasnya secara optimal. Selain itu, Pengurus harus membuat suatu daftar kreditor dan piutangnya masing-masing beserta penjelasannya, dengan penjelasan apakah piutang tersebut diakui atau dibantah (Pasal 256 UU Kepailitan), bila terdapat ketidakcocokan antara tagihan kreditor dengan catatan/laporan debitor, maka dilakukan perundingan dengan pihak yang berpiutang, agar yang bersangkutan menyerahkan surat-surat, melihat catatan dan bukti aslinya (Pasal 255 UU' Kepalitan). Salinan dari Daftar tersebut harus diletakkan di kepaniteraan dalam waktu 7 (tujuh) hari sebelum Rapat Permusyawaratan Hakim diadakan. Menurut Pasal 257 sampai dengan Pasal 259 UU Kepailitan, maka Piutang yang dimasukkan dalam Daftar adalah sebagi berikut: 1) Piutang yang ada beban bunganya disertai perhitungan bunga sampai hari bermulanya pengunduran waktu; 2) Piutang dengan syarat batal; 3) Piutang yang jumlah tagihannya tidak tetap, tidak tertentu, tidak dinyatakan dalam uang, maka harus ditetapkan nilainya dalam rnata uang rupiah; 4) Piutang atau tagihan atas bawa, maka jumlahnya harus dicocokkan atas nama pihak yang memiliki tagihan atas bawa itu; 5) Piutang yang telah dikurangi karena ada pembayaran dari penanggung; 6) Piutang tanggung-menanggung; 7) Tagihan dengan syarat tangguh atas nilai yang berlaku pada saat mulainya PKPU, bila tidak terdapat kesepakatan antara Pengurus dengan para kreditor, maka tagihan itu harus diterima secara bersyarat, agar dapat ditetapkan oleh Hakim Pengawas;

8) Piutang yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih adalah piutang yang tak tentu, atau piutang yang memberikan hak tunjangan-tunjangan berkala. Semua piutang yang dalam waktu 1 (satu) tahun sejak dimulainya penagihan akan diperlakukan seolah-oleh sudah dapat ditagih, sedangkan bila piutang baru itu dapat ditagih setelah lebih dari 1 (satu) tahun, maka piutang tersebut dimasukkan dalam katagori penagihan untuk harganya yang telah lewat waktu 1 (satu) tahun. Perhitungan piutang tersebut harus dibuat dengan memperhatikan saat dan cara cicilannya, kenikmatan atau keuntungannya dan tingkat suku bunga yang dijanjikannya. Piutang tersebut masih dapat dimasukkan ke dalam daftar hingga 2 (dua) hari sebelum rapat, jika tidak ada keberatan dari Pengurus dan pihak berpiutang. Bila piutang itu dimasukkan setelah jangka waktu tersebut, maka piutang itu tidak dimasukkan dalam daftar. Ketentuan ini tidak berlaku bila si berpiutang berhalangan hadir, karena tempat tinggalnya yang jauh dan berhalangan untuk melaporkan diri terlebih dahulu. Perselisihan yang timbul dalam hal pengecualian akan diputuskan oleh Pengadilan Niaga setelah meminta nasihat dari rapat (Pasal 262 UU Kepailitan). Dalam Rapat Permusyawaratan Hakim, Pengurus berhak menarik kembali setiap pangakuan atau pembantahan yang pernah dilakukannya. Debitor dan para kreditor yang hadir pun diperbolehkan untuk membantah suatu piutang, agar sehagian atau seluruhnya yang diakui oleh Pengurus. Pembantahan dan pengakuan yang dilakukan dalam rapat itu dicatat dalam Daftar piutang tersebut (Pasal 263 UU Kepailitan). Rencana perdamaian diterima bila disetujui oleh lebih dari ½ (satu per dua) kreditor konkuren yang hadir dan mewakili minimal 2/3 (dua per tiga) bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau sementara diakui (Pasal 265 ayat 1 UU Kepailitan). Bila lebih dari ½ (satu per dua) kreditor yang hadir dan mewakili minimal ½ (satu per dua) dari jumlah tagihan, maka paling lambat 8 (delapan) hari kemudian, harus ada pemungutan suara kedua, tanpa pemanggilan lagi dan tidak terikat pada suara yang dikeluarkan pada pemungutan suara pertama. Perubahan baik jumlah kreditor maupun piutang tidak mempengaruhi sahnya penerimaan maupun penolakan perdamaian (Pasal 265 jo, Pasal 142 dan 143 UU Kepailitan). Daftar para kreditor tersebut harus ditandatangani oleh Hakim Pengawas dan Panitera serta dilampirkan dalam risalah rapat. Risalah rapat itu disediakan di Kepaniteraan Pengadilan Niaga selama 8 (delapan) hari dan memuat : 1) Isi rencana perdamaian; 2) Nama para kreditor yang hadir dan yang berhak mengeluarkan suara; 3) Catatan mengenai suara yang dikeluarkan oleh kreditor; 4) Hasil pemungutan suara; 5) Catatan mengenai semua kejadian lain; 6) Lampiran daftar para kreditor yang telah diubah dalam rapat. Hakim Pengawas dapat menunda rapat berdasarkan kekuasaan jabatan atau atas permintaan Pengurus, dengan mengingat tenggang waktu 270 (dua ratus tujuh puluh) hari (Pasal 261 UU Kepailitan). Bila rencana perdamaian diterima, maka maksimal 14 (empat belas) hari kemudian, Pengadilan Niaga memberikan putusan pengesahan beserta alasan diterimanya rencana perdamaian (Pasal 268 UU Kepailitan). Setelah pengesahan memperoleh kekuatan hukum yang tetap, maka PKPU berakhir dan perdamaian itu mengikat semua kreditor konkuren tanpa kecuali. Dengan berakhirnya PKPU, maka penangguhan hak kreditor preferen/separatis terangkat (Fred B.G. Tumbuhan, 1998: 10).

Bila sebelum putusan pengesahan memperoleh kekuatan mutlak dan telah ada putusan pengakhiran PKPU, maka rencana perdamaian tersebut gugur (Pasal 251 UU Kepailitan). Sedangkan apabila Pengadilan Niaga menolak mengesahkan rencana perdamaian itu, maka dalam putusan yang sama Debitor dinyatakan pailit (Pasal 269 ayat 2 UU Kepailitan). Pengesahan juga dapat ditolak bila: 1) Harta debitor (termasuk dalam hak retensi) jauh lebih besar daripada jumlah yang disetujui dalam perdamaian. 2) Pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin. 3) Perdamaian tercapai karena penipuan, sekongkol dengan satu atau lebih kreditor, upaya tidak jujur tanpa menghiraukan apakah debitor atau pihak lain bekerja sama untuk mencapai hal ini. 4) Imbalan jasa dan biaya para ahli serta Pengurus belum dibayar/tidak dijamin. Bila terjadi kekhilafan yang menjadikan perdamaian ditolak, maka dalam waktu 8 (delapan) hari, perbaikan isi perdamaian harus diajukan ke Pengadilan Niaga dan pengesahan perdamaian dilakukan antara 8 (delapan) sampai dengan 14 (empat belas) hari kerja, sejak putusan yang mengoreksi risalah rapat tersebut diberikan. Kepailitan akibat ditolaknya perdamaian karena kekhilafan Hakim Pengawas dinyatakan batal dan tidak berlaku karena hukum (Pasal 267 UU Kepailitan). Bila rencana perdamaian ditolak, maka Hakim Pengawas wajib menyerahkan salinan rencana perdamaian dan Risalah Rapat itu kepada Pengadilan Niaga dan selanjutnya debitor dinyatakan pailit, maksimal 1 (satu) hari kemudian (Pasal 274 UU Kepailitan). Pembatalan terhadap perdamaian yang telah disahkan itu diperbolehkan bila debitor lalai memenuhi isi perdamaian, beban pembuktian bahwa perdamaian telah dipenuhi ada dipundak debitor. Hakim dapat memberikan kelonggaran kepada debitor untuk memenuhi kewajibannya, maksimal 1 (satu) bulan (Pasal 276 jo Pasal 160 UU Kepailitan). Dengan diputuskannya pembatalan perdamaian, maka debitor dinyatakan pailit (Pasal 276 UU Kepailitan) dan tidak boleh diajukan perdamaian kembali (Pasal 277 UU Kepailitan). Rencana perdamaian dinegosiasikan dan disepakati oleh debitor dan para kreditornya. Menurut sistem PKPU yang ditentukan oleh UU Kepailitan, tidak ada pihak-pihak lain selain debitor dan para kreditor yang berhak merundingkan dan menyetujui rencana perdamaian (Sutan Remy Sjahdeini, 2002: 388-389). Menurut Sutan Remy Syahdeini, PKPU mengikat baik pada debitor maupun pada semua kreditor tanpa kecuali. Bila rencana perdamaian disetujui oleh debitor dan para kreditor, baik dengan atau tanpa perubahan, yang tentunya hasil persetujuan itu dimuat dalam suatu perjanjian perdamaian, dan setelah perjanjian perdamaian itu disahkan oleh Pengadilan Niaga, maka perjanjian perdamaian tersebut mengikat baik pada debitor maupun pada semua kreditor tanpa kecuali. Adapun hubungan antara debitor dengan para kreditornya tidak lagi diatur oleh ketentuan-ketentuan menurut masing-masing perjanjian sebelumnya, tetapi diatur sesuai ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam perjanjian perdamaian itu. Kesepakatan dan pengesahan atas rencana perdamaian itu menimbulkan perjanjian baru (perjanjian perdamaian). Dalam perjanjian perdamaian itu, para kreditor, baik kreditor preferen maupun kreditor konkuren; baik kreditor yang hadir dalam rapat maupun yang tidak hadir dalam rapat yang membicarakan rencana perdamaian tersebut. Dalam hal ini tidak ada satu pun dari kreditor yang tidak terikat dengan perjanjian perdamaian yang dicapai oleh debitor dengan para kreditor; tidak ada satu kreditor pun yang dapat menyatakan, bahwa dirinya tidak terikat dengan perjanjian perdamaian itu. Adapun alasan-alasannya adalah sebagai berikut:

1) Menurut ketentuan Pasal 214 ayat 3 UU Kepailitan, segera setelah ditetapkan putusan PKPU Sementara oleh Pengadilan Niaga, maka melalui Pengurus wajib memanggil para kreditor untuk menghadap dalam sidang. 2) Menurut ketentuan Pasal 217 ayat 1 UU Kepailitan, setiap kreditor berhak untuk hadir dalam sidang pengadilan, sekalipun yang bersangkutan tidak menerima panggilan untuk itu. 3) Daftar umum yang menurut Pasal 217 C ayat 1 UU Kepailitan wajib dibuat oleh Panitera Pengadilan Niaga untuk setiap PKPU, baik PKPU sementara maupun PKPU tetap, menurut Pasal 217 C ayat 3 UU Kepailitan terbuka untuk umum dan dapat dilihat serta diperiksa oleh siapa pun tanpa ada pungutan biaya (Sutan Remy Sjahdeini, 2002: 388-389). C. KESIMPULAN Permohonan PKPU yang diajukan oleh perusahaan yang berbadan hukum atau belum berbadan hukum, terutama bagi PT yang sudah menjadi badan hukum itu, bertujuan untuk menangkis permohonan kepailitan yang diajukan oleh kreditor. Adapun caranya adalah debitor bersama penasihat hukumnya mengajukan permohonan PKPU ke Pengadilan Niaga mohon dijatuhkan putusan/penetapan PKPU baik untuk sementara maupun tetap. Tujuan PKPU adalah untuk mencapai perdamaian antara debitor dengan para kreditor. Lembaga PKPU berfungsi dengan efektif bila tercapai perdamaian antara kreditor dan debitor, selama proses PKPU dan debitor melaksanakan isi perdamaian tersebut. Baik kreditor maupun Pengurus harus waspada bila debitor beritikad buruk dengan menyalahgunakan lembaga PKPU untuk mengulur waktu pelunasan utangnya. Melihat jangka waktu PKPU dan ketentuan lain sebagaimana diatur dalam UU Kepailitan, maka dapat disimpulkan bahwa: Debitor itu harus bekerjasama dengan Pengurus dalam upaya penyelesaian kewajibannya, Pemberian PKPU itu tidak menghambat proses perkara lain di Pengadilan Niaga; Selama PKPU, tindakan eksekusi peletakan sita jaminan harus ditangguhkan, baik yang sudah dieksekusi maupun yang belum dieksekusi; Akibat hukum ditolaknya Rencana Perdamaian dan pembatalan perdamaian karena debitor tidak melaksanakan isi perdamaian adalah kepailitan dan biaya perkara PKPU seluruhnya dibebankan kepada debitor.

D. DAFTAR PUSTAKA Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Alumni, Bandung, 1981. Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986. Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1999. C.S.T. Kansil & Cristine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Badan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002. Fred B.G, Tumbuhan, “Ciri-ciri Utama Penunandaan Kewajiban Pembayaran Utang Sebagaimana dimaksud Dalam Perpu “, Makalah (dibawakan dalam Seminar Tentang Perpu No. 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Tentang Kepailitan, diselenggarakan oleh Yayasan Pusat Pengkajian Hukum), Jakarta, 29 April - 8 Mei 1998.

Hajati Soeroredjo, Status Hukum Yayasan Dalam Kaitannya Dengan Penataan Badan-Badan Usaha Di Indonesia, Media Notariat No. 14 -15 Tahun V, Ikatan Notaris Indonesia, Jakarta. Indonesia, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. __________, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. __________, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998, tentang Kepailitan. __________, Undang-Undang Nomor 4 Tahun , tentang Penerapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UndangUndang Kepailitan menjadi Undang-Undang Kepailitan. __________, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kartini Mulyadi, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Serta Dampak Hukumnya, Makalah (dibawakan dalam Lokakarya tentang Peraturan Kepailitan, diselenggarakan oleh Pengurus Daerah Ikatan Notaris Indonesia Daerah Khusus Jakarta bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman Republik Indonesia) tanggal 24 Oktober 1998. Rudhi Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas Disertai dengan Ulasan Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1995, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No.4 Tahun 1998, Temprint, Jakarta, 2002.